Jilid XXIV
MELIHAT betapa sebatang toya hitam yang berat sekali menyambar ke arah pinggangnya sedangkan seuntai tasbeh putih menyambar ke arah kepalanya, Tek Hong cepat menggerakkan pedang diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus ia dapat menangkis dua serangan yang menuju ke pinggang dan kepala ini. Kemudian ia cepat melompat ke kanan untuk menjauhi dua orang penyerangnya sambil berkata,
“Eh, eh, ji wi suhu ini benar benar aneh. Aku datang hanya untuk mencegah pertempuran yang berat sebelah dilanjutkan. Tidak kusangka sama sekali, bahkan sam wi memusuhiku dan menyerang hebat. Aku datang bukan bermaksud buruk,” biasanya Tek Hong tidak bisa bicara panjang, sekarang ia bicara hanya karena ia merasa amat penasaran melihat sikap tiga orang hwesio yang ia lihat berkepandaian tinggi itu.
Adapun Siang Cu yang kini sudah ditinggalkan oleh dua orang pengeroyoknya, mendapat kesempatan untuk memandang dan melihat pemuda itu dengan baik baik. Ia melihat seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, dengan sepasang alis seperti golok dan sepasang mata tajam berpengaruh. Tak terasa lagi ia menjadi tertarik, apa lagi setelah ia mengetahui bahwa pemuda itu telah mengalahkan Thian Beng Hwesio dalam waktu begitu cepat. Kemudian ia mendengar bahwa kedatangan pemuda ini hanya untuk menolong dia yang tadi dikeroyok, maka merahlah wajah Siang Cu. Ia melompat maju dan menggerak gerakkan pedangnya sambil berkata keras dan sinar matanya ditujukan ke arah Tek Hong dengan tajam,
“Eh, orang lancang! Apa kaukira aku takut menghadapi dua lutung tua ini? Bukan kau seorang saja yang memiliki kepandaian.” Setelah melontarkan kata kata keras kepada Tek Hong, Siang Cu lalu menghadapi Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio sambil berkata,
“Kalian ini orang orang tua yang mau memperlihatkan kepandaian mengeroyokku, apakah kalian masih hendak melanjutkan pertempuran? Kalau demikian, majulah, biar kita bertempur lagi sampai seribu jurus!” Kata kata ini ditutup dengan pedang digerakkan cepat di depan dada, merupakan sinar kehijauan yang menyilaukan mata.
“Iblis wanita, kalau tidak dapat mengalahkan kau, pinceng bertiga tidak mau disebut lagi Go bi Sam thaisu!” bentak Thian Lok Hwesio sambil menggerakkan tasbehnya menyerang Siang Cu. Juga Thian Seng Hwesio menggerakkan Ouwtiat pang di tangannya, menghantam kepala gadis itu sekuat tenaga.
Kembali terjadi pertempuran hebat. Melihat dua orang saudaranya sudah maju kembali mengeroyok Siang Cu, Thian Beng Hwesio yang senjatanya sudah ia patahkan tadi ketika ia dikalahkan oleh Tek Hong, menjadi tidak enak kalau tidak membantu, ia merasa kalah dan malu terhadap Tek Hong, akan tetapi terhadap Siang Cu ia belum kalah dan cepat ia lalu mengeluarkan senjata senjata rahasianya berupa touw kut cui (bor penembus tulang). Senjata rahasia ini bentuknya seperti piauw, akan tetapi ujungnya merupakan bor dan kalau dilepas, jalannya memutar sehingga jangankan tulang manusia, bahkan besipun dapat ditembusnya.
“Rebahlah kau!” bentaknya dan sebatang touw kut cui menyambar ke arah dada Siang Cu. Gadis ini terkejut sekali. Menghadapi keroyokan tiga orang tadi, ia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi setelah Thian Beng Hwesio mempergunakan senjata rahasia, bahayanya menjadi lebih besar karena ia tidak dapat menghadapi lawan ke tiga ini secara langsung,
“Tua bangka curang!” serunya sambil mengelak cepat, akan tetapi gerakan ini mendatangkan kesempatan bagi Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio yang cepat mendesak dengan senjata senjata mereka yang lihai. Kini kedua orang hwesio ini sengaja mengeroyok dari kiri kanan agar memberi kesempatan bagi Thian Beng Hwjaio untuk mempergunakan senjata rahasianya.
Berkali kali Thian Beng Hwesio melepaskan am gi (senjata gelap) sedangkan kedua orang bwesio lain menyerang dengan desakan hebat dari kiri kanan. Kembali Siang Cu terdesak hebat dan biarpun gadis ini memutar pedangnya sambil memaki maki tiga orang kakek itu, tetap saja ia berada dalam kedudukan amat berbahaya.
Karena sudah lima kali ia melepas touw kut cui tanpa hasil, Thian Beng Hwesio menjadi penasaran sekali. Kini ia tidak mau menyambitkan senjata gelapnya begitu saja melainkan menanti kesempatan baik. Ia mencari ketika dan pada saat Siang Cu sudah terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang lemah, ia cepat melemparkan dua batang touw kut cui, satu ke arah leher dan yang ke dua ke arah lambung gadis itu!
Siang Cu terkejut dan tanpa terasa ia berseru! “Celaka….!” Pedangnya sedang dipergunakan untuk
menangkis toya yang menyambar ke atas kepala, sedangkan
tangan kirinya dipergunakan untuk menyampok datangnya serangan tasbeh.
Untuk senjata rahasia yang menyambar leher, ia dapat menggerakkan kepalanya mengelak, akan tetapi senjata rahasia ke dua agaknya akan menembusi lambungnya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara nyaring den senjata rahasia yang mengancam lambung Siang Cu tiba tiba tertahan lajunya dan runtuh di atas tanah. Sepotong batu hitam melayang dari tempat Tek Hong berdiri dan dengan tepatnya menolong nyawa Siang Cu. Tadinya Tek Hong tertegun ketika mendengar pengakuan Thian Lok Hwesio bahwa tiga orang hwesio tua itu adalah Go bi Sam thaisu. Ia belmu pernah bertemu muka dengan tiga orang hwesio ini sebelumnya, akan tetapi nama mereka telah sering kali disebut sebut oleh ayahnya sebagai tokoh tokoh besar, ketua ketua dari Go bi pai yang besar dan ternama. Oleh karena inilah maka ia merasa ragu ragu antuk menolong gadis gagah itu dan timbul keheranannya mengapa tokoh tokoh besar seperti Go bi Sam thaisu mengeroyok seorang gadis muda yang memiliki ilmu pedang begitu luar biasa.
Akan tetapi ketika ia melihat betapa Thian Beng Hwesio mempergunakan senjata rahasia sehingga keselamatan Siang Cu terancam, ia tidak dapat bertahan diri untuk berpeluk tangan saja. Semenjak tadipun ia telah mengambil tiga potong batu karang hitam yang berada di dekatnya dan dengan batu batu ini ia bersiap sedia membantu. Batu pertama dilepasnya untuk menyelamatkan nyawa Siang Cu ia tidak tinggal diam sampai di situ saja, melainkan mengayun tangan dua kali. Batu ke dua menghantam toya Ouw tiat pang di tangan Thian Seng Hwesio sedangkan batu ke tiga membentur tasbeh di tangan Thian Lok Hwesio.
Tiga orang ketua Go bi pai itu terkejut bukan main. Tadi Thian Beng Hwesio sudah merasai sendiri betapa tingginya kepandaian pemuda asing itu, kemudian ia melihat betapa touw kut cui yang dilepaskan untuk menyerang gadis itu lelah terbentur dan runtuh oleh sepotong batu yang dilemparkan oleh Tek Hong. Hal ini saja sudah membuat ia kagum dan jerih. Kemudian, ketika Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio tiba tiba merasa senjata di tangan mereka tergetar dan telapak tangan mereka terasa perih ketika terpukul oleh batu baiu kecil itu, keduanya melompat mundur dan memandang kepada Tek Hong dengan alis berkerut.
“Barangkali memang kami sudah terlalu tua dan harus mengundurkan diri. Biarlah, kami mengaku kalah dan hanya kepada iblis tua Lam hai Lo mo kami hendak mengadu nyawa,” kata Thian Seng Hwesio dan ketiga orang hwesio tua itu lalu pergi dan situ dengan wajah muram.
Tek Hong menjadi makin kaget mendengar disebutnya nama Lam hai Lo mo, musuh besarnya yang agaknya juga menjadi musuh besar tiga orang tokoh Go bi san ini Akan tetapi, apakah hubungannya Lam hai Lo mo dengan pertempuran yang sekarang ini? Ia hendak mengejar dan bertanya kepada tiga orang hwesio itu, akan tetapi mereka sudah jauh dan pula ia merasa malu mengingat betapa tadi ia telah mengalahkan dan membikin malu kepada mereka. Kini ternyata bahwa mereka juga memusuhi Lam hai Lo mo! Ah, ayahnya tentu akan menegurnya dan marah kalau mendengar akan hal ini.
“Kau manusia lancang!”
Teguran dengan suara nyaring dan halus ini membuat Tek Hong teringat kembali akan gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu. Ia menoleh dan menjadi penasaran.
“Sudah dua kali kau mengatakan aku lancang. Itukah terima kasihmu kepadaku?” katanya gemas.
“Siapa mau berterima kasih? Aku tak pernah mengharapkan pertolonganmu, tak pernah membuka mulut minta tolong kepadamu. Campur tanganmu tadi bahkan menjengkelkan aku dan merugikan namaku sebagai orang gagah. Dan kau mengharap aku berterima kasih?” kata Siang Cu dengan sikap menantang, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan.
Selama hidupnya Tek Hong belum pernah bertemu dengan seorang gadis segalak ini. Biasanya gadis gadis selalu bersikap malu malu dan ramah kepadanya, kecuali adiknya sendiri, Siauw Yang tentunya. Adiknya hampir sama dengan gadis ini, galak dan aneh, akan tetapi tetap saja gadis ini lebih galak dan lebih aneh, juga lebih cantik menarik!
“Gadis sombong,” katanya gemas, “aku tidak mengemis terima kasih darimu, akan tetapi setidaknya kau harus bersukur karena terlepas daripada maut yang tadi mengancammu” Tek Hong marah dan mendongkol dan dalam pandangan Siang Cu, bulu bulu alis yang berbentuk golok itu seakan akan berdiri.
Gadis itu tersenyum mengejek, menjebikan bibirnya, akan tetapi dalam pandangan pemuda itu wajah dara ini menjadi makin ayu saja!
“Siapa takut mati? Aku sudah berani hidup, sudah berani menderita, mengapa takut mati? Pula, mereka itu tidak bersalah. Akulah yang bersalah dalam pertempuran tadi, maka bantuanmu tadi tidak tepat sama sekali, kau lancang turun tangan membantu orang bersalah. Sungguh bodoh dan gegabah!” Sambil berkata demikian, Siang Cu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi berlari dengan cepat sekali.
Tek Hong terpaku dan tidak bergerak sampai beberapa lama. Sikap gadis itu benar benar menakjubkan hatinya. Mana ada orang mengaku bahwa diri sendiri bersalah? Mana ada orang, apalagi seorang dara muda, yang jujur dan berani? “Eh, nona, tunggu dulu!” teriaknya. Hatinya tertarik sekali dan ingin ia mengenal gadis itu lebih baik lagi. Ingin ia tahu apa sebabnya gadis itu bertempur melawan tiga orang tokoh besar Go bi pai itu. Biarpun gadis itu sendiri sudah mengakui kesalahannya, namun Tek Hong tidak mau percaya.
Seorang gadis demikian aneh dan luar biasa, yang mau mengakui bahwa ia bersalah, tak mungkin seorang berwatak jahat. Sinar matanya demikian jujur, demikian gagah berani, wajahnya demikian cantik menarik….!
“Nona, tunggu dulu, aku ingin bicara denganmu,” katanya sambil melompat mengejar.
Akan tetapi Siang Cu tidak memperdulikan nya, bahkan mempercepat larinya.
“Nona, mengakulah. Kau siapakah dan apa hubunganmu dengan Lam hai Lo mo?” tanya Tek Hong sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat mengejar nona yang sudah berlari jauh itu.
Sambil berlari terus. Siang Cu menjawab tanpa menoleh, hanya mengerahkan khikang mempergunakan Ilmu Coan im jib bit (Mengirim Suara Dari Jauh).
“Kita tidak ada hubungan dan tak perlu saling mengenal nama. Selamat tinggal!”
Tek Hong terpaksa menahan kakinya karena sudah terang gadis itu tidak mau mengenalnya. Selain gadis itu dapat berlari cepat sekali sehingga belum tentu a akan dapat menyusulnya, juga amat tidak baik kalau ia terlalu mendesak. Jangan jangan ia akan dianggap seorang pemuda ceriwis tak kenal malu.
Sambil menghela napas berulang ulang saking kecewanya, ia lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke
Sian hoa san untuk mencari supek nya, yakni Sin pian Yap Thian Giok kalau kalau mungkin minta pertolongan nenek gurunya, wanita sakti Mo bin Sin kun.
Kalau ia teringat kembali akan keadaan adiknya, Siauw Yang, yang tertawan oleh Tung Hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, teringat pula akan rumahnya di Tit le yang sudah menjadi abu dan pelayan pelayan terbunuh oleh Lam hai Lo mo, kemudian tidak tahu pula di mana adanya kedua orang tuanya, ia menjadi amat gelisah. Terutama sekali mengingat akan nasib Siauw Yang. Kegelisahannya membuat ia berlari cepat sekali menuju ke Sian hoa san yang tidak jauh lagi dari situ. Namun, betapapun cepatnya ia berlari dan betapapun gelisah hatinya memikirkan adiknya, bayangan gadis galak yang baru saja meninggalkannya tak pernah meninggalkan ruang hatinya.
Pada saat Tek Hong berlari lari menuju ke Bukit Sian hoa san yang sudah nampak menjulang tinggi dan jauh, di puncak Sian hoa san sendiri terjadi hal yang hebat. Lima orang hwesio berkepala gundul, berjubah serba hitam dan bertubuh tinggi besar, dengan sikap yang menyeramkan berlari lari cepat sekali di puncak itu, menuju ke sebuah pondok bambu yang berada di puncak bukit. Pondok ini dahulu menjadi tempat bertapa wanita sakti Mo bin Sin kun, akan tetapi akhir akhir ini dijadikan tempat tinggal muridnya, yakni Sin pian Yap Thian Giok.
Ketika itu, Thian Giok sedang berada di dalam pondoknya. Orang tua gagah ini merasa agak kecewa karena ketika ia mencari muridnya, yakni Liem Pun Hui di tengah hutan di mana ia tinggalkan, pemuda itu tidak kelihatan lagi dan tidak ada tanda tanda ke mana perginya. “Dasar kutu buku yang tidak suka akan kekerasan,” Sin pian Yap Thian Giok menghela napas, lalu ia pulang ke Sian hoa san. Ia merasa berduka sekali karena setelah Pun Hui tidak menjadi muridnya, ia merasa betapa sunyi hidupnya, ia tidak beristeri, berketurunan, tidak mempunyai murid dan Mo bin Sin kun yang dianggap sebagai ibu sendiri telah pergi meninggalkannya, ia mengambil keputusan untuk pergi merantau sekali lagi barangkali saja ada seorang murid yang berjodoh dengannya. Kalau akhirnya tidak juga ia memjumpai murid, ia akan bertapa di Sian hoa san dan tidak akan memcampuri urusan dunia lagi. Di samping merantau mencari murid, juga ia hendak membantu Song Bun Sam dan isterinya mencari anak anak mereka, Tek Hong dan Siauw Yang.
Tiba tiba telinganya yang berpendengaran amat tajam itu mendengar suara tindakan kaki di luar pondok. Ia tahu bahwa ada lima orang berkepandaian tinggi datang dan berada di luar pondok, ia menduga duga siapa gerangan hina orang tamu yang datang, karena puncak Sian hoa san jarang sekali kedatangan tamu. Akan tetapi oleh karena ia mempunyai amat banyak kawan di dunia kang ouw ia tidak dapat menduga siapa lima orang tamu ini.
“Selamat datang di puncak Sian hoa san!” kata Sin pian Yap Thian Giok dan ia melompat keluar dari pintu pondoknya.
Akan tetapi, ia terheran heran karena melihat lima orang hwesio tinggi besar berdiri di depan pondok dan ia sama sekali tidak pernah melihat mereka ini dan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan. Akan tetapi Sin pian Yap Thian Giok adalah seorang terpelajar yang menghargai kesopanan. Sebagai seorang tuan rumah yang peramah, ia cepat menjura dengan penuh hormat sambil berkata.
“Selamat datang, ngo wi su bu (lima bapak pendeta) yang terhormat, selamat datang di Sian hoa san. Silahkan masuk di pondokku yang buruk.”
Akan tetapi, lima orang Hwesio yang berkulit agak kehitaman dan bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab, hanya memandang kepada Thian Giok dengan mata mereka yang lebar. Dua orang di antara mereka sudah berusia tua sekali akan tetapi masih kelihatan kuat. Adapun tiga orang yang lain adalah hwesio hwesio berusia empatpuluh tahunan. Pakaian mereka semua sama, yakni berwarna hitam. Hanya badanya, dua orang hwesio tua itu tidak membawa bungkusan bungkusan besar di punggungnya dan pedang tergantung di belakang punggung.
“Di mana Mo bin Sin kun?” terdengar seorang di antara hwesio tua yang pipinya codet bertanya, tanpa memperdulikan keramahan Thian Giok. Adapun hwesio ke dua yang usianya paling tua, memandang ke dada Thian Giok dengan penuh perhatian. Hwesio tua ini bertubuh gemuk sekali dan kepada hwesio yang tidak bicara inilah sekarang Thian Giok memandang, ia merasa kenal hwesio tua ini, akan tetapi sudah lupa lagi entah di mana.
“Guruku tidak berada di sini, sedang turun gunung dan entah kapan aku dapat bertemu dengan dia lagi. Ada keperluan apakah ngo wi mencarinva? Kalau perlu, boleh diberitahukan kepadaku agar sedatangnya, dapat kusampaikan.”
Tiba tiba kakek ke dua yang sejak tadi memandang kepada Thian Giok, kakek yang bertubuh gemuk sekali itu melangkah maju dan bertanya dengan suara keras,
“Bukankah kau yang bernama Thian Giok, murid Mo bin Sin kun?” Mendengar suara ini, teringatlah Sin pian Yap Thian Gok siapa adanya kakek gemuk ini. Hal ini menimbulkan rasa tidak enak di dalam hatinya karena hwesio tua ini bukan lain adalah Sam thouw hud (Buddha Berkepala Tiga). Seorang tokoh Tibet yang lihai sekali dan yang dulu pernah membantu Lam hai Lo mo dan Pat jiu giam ong memusuhi Mo bin Sin kun, Kim Kong taisu dan dikalahkan oleh Song Bun Sam. Melihat akan hal ini, dengan hati tidak enak ia dapat menduga bahwa musuh besar gurunya ini tentu datang membawa maksud yang tidak baik.
“Benar dugaanmu, losuhu. Dan sekerang aku pun teringat bahwa losuhu tentulah Sam Thouw hud dari Tibet, bukan?”
Akan tetapi agaknya Sam thouw hud tidak memperhatikan ucapan Thian Giok ini. Hal ini tidak aneh kalau orang mengetahui bahwa Sam thouw hud telah menjadi tuli saking tuanya, ia tidak dapat mendengar sama sekali, maka biarpun ia yang tertua, ia tidak menimpin pembicaraan dan tugas ini ia serahkan kepada kakek ke dua yang sebetulnya masih sutenya (adik seperguruannya) sendiri yang berjuluk Ang tung hud (Buddha Bertongkat Merah). Tiga orang hwesio lainnya adalah murid muridnya yang sudah memiliki kepandaian tinggi pula.
Tiba tiba Sam thouw hud berkata kepada kawan kawannya, atau juga kepada Thian Giok karena biarpun ia memandang kepada kawan kawannya, akan tetapi ia berkata dalam Bahasa Tionghoa,
“Murid jahat guru bertanggung jawab, guru jahat murid ikut menanggung dosanya. Gurunya tidak ada, muridnya lebih dulu menerima hukuman.”
Mendengar ucapan ini, tiga orang hwesio yang lebih muda segera mencabut pedang yang berada di punggung, lalu serentak maju mengeroyok Thian Gok dengan gerakan pedang mereka yang cepat dan kuat.
“Sudah kuduga bahwa kalian dalang membawa maksud buruk!” seru Thian Giok yang cepat meloloskan senjatanya Pek giok joan pian (cambuk dari batu kemala putih) yang selalu dilibatkan di pinggangnya. Senjatanya inilah yang membuat Thian Giok dijuluki Sin pian (Pian Sakti) karena dengan senjata ini ia telah merobohkan banyak sekali penjahat di dunia kang ouw. Kini, menghadapi keroyokan tiga orang murid Sam thouw hud, ia memutar pian nya dengan hebat karena maklum bahwa lawan lawannya bukanlah orang lemah.
Thian Giok sekarang bukanlah Thian Giok ketka masih muda. Ia telah mendapat tambahan ilmu silat dari Mo bin Sin kun dan ditambah oleh pengalamannya yang luas, ilmu silatnya amat lihai, jasa tenaganya amat besar. Setelah pertempuran berjalan duapuluh jurus lebih, ternyatalah bahwa kepandaian tiga orang murid Sam thouw hud itu, biarpun cukup lihai, namun tidak berdaya menghadapi pek giok joan pian di tangan Thian Giok yang menyambar nyambar laksana seekor naga putih yang sakti.
Melihat ini, Ang tung hud menjadi tidak sabar. Tadinya memang suhengnya dan dia ingin mengukur sampai di mana tingginya murid Mo bin Sin Kun, karena ia dan suhengnya merasa terlalu rendah untuk menghadapi “orang biasa” saja. Akan tetapi, melihat gerakan Pek giok joan pian itu, ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tiga orang murid keponakannya takkan menang dan kalau sampat mereka roboh, hal itu berarti akan membuat mereka kehilangan muka.
Tadi Thian Giok hanya mempergunakan pian nya untuk mempertahankan diri dan betapapun juga, ia tidak ingin menjatuhkan tangan maut kepada lawannya. Kini, melihat gerakan hwesio tua yang memegang tongkat merah ini, tahulah ia bahwa kalau tidak ingin roboh, ia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, yang berarti bahwa iapun harus mengeluarkan serangan serangan maut yang mungkin merenggut nyawa lawannya yang sudah tua ini. Ia merasa tidak tega untuk melakukan hal ini, karena sesungguhnya yang menjadi musuh besar gurunya hanyalah Sam thouw hud saja. Oleh karena itu ia membentak,
“Tahan dulu! Siapakah losuhu ini dan ada hubungan apakah dengan Sam thouw hud?”
“Pinceng adalah Ang tung hud, sute dari Sam thouw hud. Kami sengaja datang untuk membalaskan malu yang diderita oleh suheng paluhan tahun yang lalu. Karena gurumu merupakan salah seorang di antara musuh musuhnya, maka kau sekarang harus membayar untuk gurumu itu. Nah, bersiaplah untuk binasa!”
“Kalian ini benar benar tidak tahu diri! Sam thouw hud dahulu berurusan dengan guruku dan kawan kawannya hanya karena ia terbawa bawa oleh kejahatan Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, dan dia kena dikalahkan. Mengapa sekarang kalian datang dari tempat jauh hanya untuk mencari permusuhan dan melakuan pengacauan? Apakah kau benar benar mengambil keputusan untuk membunuh aku?”
“Tak usah banyak cerewet. Kau murid Mo bin Sin kun harus mati lebih dulu!”
“Bagus! Kaukira aku takut kepadamu? Majulah!” Thian Giok marah sekali dan sebagal murid terkasih dari Mo bin Sin kun, tentu saja ia tidak takut menghadapi musuh musuh ini. Ang tung hud menggerakkan tongkatnya dan benar saja. Gerakannya hebat sekali dan mendatangkan angin dingin yang menyambar sebelum tongkat itu datang. Thian Giok tidak gentar dan cepat mengelak sambil membalas serangan itu dengan sambaran piannya.
Ang tung hud menangkis dan cepat menyusul dengan pukulan tongkatnya ke arah kepala Thian Giok. Namun jago dari Sian hoa san ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya menyampok ke arah tongkat itu. Sebelum tangannya mengenai tongkat, angin pukulannya telah membuat tongkat itu terpental ke belakang!
“Hebat!” seru Ang tung hud kaget sekali dan ia cepat melompat ke belakang dan melakukan serangan lagi, kini amat hati hati karena maklum bahwa lawannya yang jauh lebih muda ini memiliki ilmu pukulan yang dahsyat sekali.
“Hati hati, sute. Pukulannya itu adalah Soan hong pek lek jiu, harus kaulawan dengan Hek mo kang!” kata Sam thouw hud yang mengenal pukulan tangan kiri itu sebagai salah satu ilmu pukulan yang lihai dari Mo bin Sin kun.
Ang tung hud memiliki kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat kepandaian Sam thouw hud, maka iapun lihai sekali. Kini, setiap kali Thian Giok melancarkan pukulan tangan kirinya, yakni pukulan Soan hong pek lek jiu, lawannya bergerak merendahkan tubuh dan mencerahkan pukulan tangan kiri atau kanan dari bawah yang mendatangkan angin pukulan panas dan hebat pula. Tubuh Thian Giok sering kali terpental ke belakang apabila dua macam ilmu pukulan ini bertemu, tanda bahwa pukulannya masih kalah ampuh dan lweekangnya kalah kuat! Setelah bertempur selama tigapuluh jurus, tahulah Thian Giok bahwa keadaannya berbahaya sekali. Hwesio tinggi besar dan kurus ini memiliki ilmu tongkat yang hebat, ilmu pukulan yang dahsyat dan pengalaman bertempur yang luas. Untuk menghadapi lawan ini saja sukar sekali baginya untuk mencapai kemenangan, apalagi kalau Sam thauw hud sendiri yang turun tangan, belum diperhitungkan bantuan tiga orang hwesio tadi yang kepandaiannya juga sudah amat tinggi. Benar benar ia menghadapi lawan lawan tangguh dan bahaya besar karena mereka ini bertekad untuk membunuhnya! Akan tetapi, Thian Giok bukanlah seorang pengecut yang merasa gentar menghadapi bahaya maut. Ia bahkan lebih bersemangat lagi dan Pek giok joan pian di tangannya bergerak cepat, lenyap berobah menjadi segulung sinar putih yang berkelebatan membungkus tubuhnya sehingga setiap desakan tongkat merah itu dapat ditolak ke belakang. Namun amukannya ini bukan berarti bahwa ia telah dapat mengatasi kepandaian Ang tung hud, karena ia selalu masih berada di fihak yang terdesak oleh tongkat merah yang benar benar lihai itu.
Tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan bayangan tubuh yang gesit berkelebat memasuki gelanggang pertempuran.
“Siluman busuk dari mana berani mengganggu Sian hoa san?”
Ang tung hud melihat sinar putih berkelebat dan tangannya yang memegang tongkat menjadi tergetar ketika sebatang pedang menangkis tongkat itu dengan gerakan digetarkan dan dengan luncuran yang amat aneh. Ia melompat mundur dan melihat bahwa yang membantu Sin pian Yap Thian Gok adalah seorang pemuda tampan yang gagah sekali kelihatannya, walaupun pakaiannya menunjukan bahwa pemuda ini adalah seorang ahli surat. “Tek Hong, kebetulan sekali kedatanganmu?” Seru Yap Thian Giok girang. “Mari bantu aku mengusir lima siluman jahat ini. Yang tua dan gemuk itu adalah Sam thouw hud, tentu kau pernah mendengar namanya.”
Tek Hong terkejut dan memandang ke arah kakek hwesio yang seorang lagi, yang memegang tongkat kepala naga di tangan kanan dan sebuah kebutan hitam di tangan kiri. Ia teringat akan cerita ayahnya bahwa di antara anggauta anggauta Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Berdarah) yang dibentuk di kota raja dibawah pimpinan Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo belasan tahun yang lalu, terdapat seorang tokoh Tibet yang berjuluk Sam thouw hud dan yang memiliki kepandaian lihai sekali. Jadi orang inikah yang sekarang datang mengganggu Sian hoa san?
“Mereka ini mau apa, supek?” tanyanya.
Sebelumnya Thian Giok menjawab, tiga orang hwesio murid Sam thouw hud sudah bergerak maju. Mereka ini memang merasa gentar menghadapi Yap Thian Giok yang berkepandaian tinggi maka mereka tadi diam saja, menyerahkan tugas menghadapi pendekar Sian hoa san itu kepada susioknya yang jauh lebih lihai daripada mereka. Akan tetapi ketika mereka melihat kedatangan Tek Hong dan mendengar dari percakapan antara Tek Hong dan Thian Giok bahwa pemuda ini hanya murid keponakan dari Yap Thian Giok, mereka memandang rendah dan serentak maju mengeroyok Tek Hong!
Tingkat kepandaian Tek Hong, biarpun ia jauh lebih muda, kalau dibandingkan sudah banyak melebihi tingkat kepandaian Thian Giok! Hal ini adalah karena kalau Yap Thian Giok hanya menghisap sari pelajaian ilmu silat tinggi dari seorang guru saja yakni Mo bin Sin kun, adalah Tek Hong mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya dan karenanya ia menghisap sari pelajaran ilmu silat yang diturunkan kepada ayahnya oleh Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, dan Bu tek Kiam ong! Oleh karena ini pula maka Tek Hong sudah mempelajari bersama Siauw Yang, dengan amat baik ilmu ilmu silat seperti Thai lek Kim kong jiu dari Kim Kong Taisu, Soan hong pek lek jiu dan Mo bin Sin kun, Kim kong Kiam hwat dari Kim Kong Taisu pula, dan akhirnya ilmu pedang yang merajai pada waktu itu, yakni Tee coan liok kiam sut dari Bu Tek Kiam ong Si Raja Pedang. Semua kepandaian ini ia terima dari ayahnya, bersama sama Siauw Yang adiknya yang lincah. Dalam hal ilmu pedang, adiknya yang lebih lincah dan gesit lebih unggul daripadanya, akan tetapi dalam hal ilmu pukulan, Tek Hong menang jauh apalagi tenaga lweekang pemuda ini memang sudah tinggi sekali, berkat dari bakatnya sendiri dan dari gemblengan ayahnya yang tak kenal lelah.
Kini menghadapi serangan tiga orang hwesio gundul yang memegang pedang itu, Tek Hong berlaku amat tenang. Serangan hwesio pertama ditangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya. Terdengar suara keras dan pedang di tangan hwesio itu patah, sedangkan si hwesio sendiri menjerit kesaktian, karena ketika menangkis, pedang di tangan Tek Hong meluncur terus melalui gagang pedang tawan melukai jari tangan yang memegang pedang. Hwesio itu melepas gagang pedangnya dan mengaduh aduh sambil memegangi tangannya yang berdarah.
Serangan hwesio ke dua merupakan tusukan pedang dengan gerak tipu yang hampir sama dengan gerakan pedang Sian jin tit louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Tek Hong yang sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan, tidak menangkis lagi ataupun mengelak, melainkan ia menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan dan aneh sekali. Sebelum ujung pedang mengenai dada Tek Hong, lebih dulu hwesio itu memekik dan tubuhnya terpental ke belakang seperti terdorong oleh tenaga raksasa, ia mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi tetap saja terguling roboh sambil memegangi dadanya yang terasa sakit dan sukar bernapas. Itulah Ilmu Pukulan Soan hong pek lek jiu yang dilakukan dengan baik sekali.
“Bagus !” Thian Giok memuji kagum.
Melihat betapa ilmu pukulan dari suhunya dilakukan demikian baik oleh Tek Hong, ia makin kagum kepada Song Bun Sam Si Raja Pedang. Bun Sam hanya menerima latihan sebentar saja oleh Mo bin Sin kun akan tetapi sekarang dapat menurunkan ilmu pukulan itu kepada puteranya yang dapat melakukan dengan baiknya, seolah olah pemuda ini mendapat bimbingan langsung dari Mo bin Sin kun sendiri! Thian Giok tentu saja sebagai murid Mo bin Sin kun dapat melakukan ilmu pukulan itu lebih baik dari Tek Hong, akan tetapi ia tidak sembarang mengeluarkan ilmu pukulan ini kalau tidak menghadapi lawan tangguh. Dan tadi, ketika ia mempergunakan Soan hong pek lek jiu terhadap Ang tung hud ia mendapat lawan Ilmu Pukulan Hek mo kang yang luar biasa dari hwesio tua itu.
Hwesio ke tiga murid Sam thouw hud juga sudah tiba dengan serangan pedangnya. Kini Tek Hong berlaku amat tenang, bahkan pemuda ini menyarungkan pedangnya dengan sikap seakan akan tidak melihat datangnya serangan pedang hwesio itu yang membabat lehernya dengan gerak tipu yang hampir sama dengan Han ya pok cui (Burung Goak Menyambar Air). Akan tetapi, setelah pedang itu sudah hampir menempel kulit lehernya, Tek Hong menundukkan kepalanya dan cepat sekali tangan kirinya meluncur ke atas memegang pergelangan tangan hwesio itu. Gerakan ini disusul oleh tangan kanannya yang menyerbu ke arah perut dan dalam lain saat tubuh hwesio itu terangkat tinggi tinggi oleh Tek Hong dan sekali di lemparkan, tubuh hwesio itu melayang dan jatuh berdebuk di dekat kawan kawannya bagaikan sebatang pohon tumbang. Kali ini Tek Hong mempergunakan ilmu silat tangan kosong warisan Kim Kong Taisu.
Melihat ini Sam thouw hud dan Ang tung hud marah sekali. Lebih lebih Sam thouw hud yang melihat betapa tiga orang muridnya telah dikalahkan dalam sejurus saja dengan cara yang demikian memalukan, ia mengeluarkan seruan seperti seekor binatang buas, dan tubuhnya bergerak dengan cepat sekali. Amat mengherankan kalau dilihat betapa tubuh yang gemuk sekali itu ditambah pula usia yang sudah amat tua sehingga kalau berdiri kelihatan sebagai orang tua yang sudah amat lemah dan hanya dapat bergerak lambat sekali, akan tetapi begitu ia bergerak menyerang Tek Hong, serbuannya tidak kalah cepat dan kuatnya daripada serbuan seekor harimau jantan yang sedang marah. Tongkat Kim liong pang di tangan kanannya bergerak terputar putar di atas kepala, lalu meluncur ke arah kepala Tek Hong bagaikan seekor naga menyambar. Adapun kebutan di tangan kirinya meluncur pula, menotok ke arah ulu hati pemuda itu. Dua serangan yang dilakukan berbareng ini merupakan sepasang tangan maut yang menjangkau nyawa!
Menghadapi serangan ini, Tek Hong Cepat mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sedemikian rupa di atas kepalanya untuk menangkis sambaran tongkat. Adapun totokan ujung kebutan yang mengarah dadanya itu, ia elakkan dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menyampok dengan tangan kirinya, mempergunakan tenaga dari pukulan That lek kim kong jiu. Pedang dan tongkat beradu, membuat Tek Hong merasa telapak tangannya tergetar, sedangkan tangan kirinya yang menyampok ujung kebutan juga terasa pedas dan panas! Tahulah pemuda ini bahwa ia menghadapi lawan yang amat tangguh dan ia dapat menduga pula bahwa Sam thouw hud tentu telah memperdalam ilmu silatnya semenjak dahulu dikalahkan oleh ayahnya sebagaimana ia mendengar dari penuturan ayahnya, ia berlaku hati hati sekali dan cepat ia mainkan Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut, sedangkan tangan kirinya digerakkan menurut Ilmu Pukulan Thai tek kim kong jiu.
Memang betul bahwa Sam thouw hud telah memperdalam ilmu silatnya dan jika dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, ia kini jauh lebih tangguh ia bersilat sambil mengerahkan tenaga Hek mo kang yang hebat, dengan amat bernafsu ia mendesak Tek Hong dan mengirim serangan serangan maut.
Di lain fihak, Ang tung hud juga cepat menyerbu dan menyerang lagi Yap Thian Giok yang terpaksa menghadapinya dengan mati matian. Pertempuran terbagi menjadi dua dan berjalan dengan serunya sehingga empat orang yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata tertutup oleh gulungan sinar senjata yang di gerakkan cepat sekali.
Biarpun Tek Hong mengaku bahwa ia masih kalah tingkatnya oleh lawannya, namun kehebatan Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut masih dapat memungkinkan ia melakukan perlawanan hebat dan tidak begitu terdesak seperti halnya Yap Thian Giok. Sin pian Yap Thian Giok jago dari Sian hoa san ini benar benar terdesak hebat oleh Ang tung hud dan dalam pertempuran mati matian, ia hanya dapat mempertahankan diri saja. Beberapa kali ia bebas dari bahaya maut ketika tongkat merah menyambar, dan hanya mendapat pukulan dua kali di bagian tubuh yang tidak berbahaya sehingga ia masih dapat melakukan perlawanan. Namun harus diakui bahwa keadaannya amat berbahaya dan agaknya tak lama lagi ia terpaksa harus menyerah kalah.
Tek Hong yang bertempur melawan Sam thouw hud, tahu akan keadaan supeknya ini, maka ia menjadi amat gelisah. Pemuda yang cerdik ini diam diam mengatur langkahnya sehingga ia berada dekat dengan supeknya dan dapat bersikap membela supeknya kalau nyawa supeknya terancam oleh lawannya.
Baiknya ia melakukan hal ini karena benar saja, pada suatu saat ia mendengar supeknya berteriak dan satu benturan hebat antara tongkat merah dan Pek giok juan pian membuat pian dari supeknya itu putus! Selagi Thian Giok terhuyung huyung ke belakang, Ang tung hud tertawa sambil menubruk dan melakukan serangan hebat dengan serudukan kepalanya ke arah perut Yap Thian Giok!
Sin pian Yap Thian Giok tak kuasa mengelak dari serangan dahsyat ini dan tiba tiba Tek Hong yang melihat datangnya bahaya ini, melompat dan menghadapi Ang tung hud!
Serangan kepala Ang tung hud sudah dekat dan Thian Giok yang melihat murid keponakannya mewakili dirinya menerima serangan itu berseru,
“Awas, Tek Hong!”
Akan tetapi pemuda itu telah memalang kedua tangan di depan dada dan pedangnya menusuk ke depan. Akan tetapi, kedua tangan Ang tung hud menggerakkan tongkat menangkis pedang sedangkan kepalanya terus menyeruduk ke arah perut Tek Hong. Pemuda ini hanya menggunakan tangan kiri saja yang menjaga perutnya dan ketika kepala itu tiba, ia merasa betapa tangannya sakit sekali dan tubuhnya terlempar ke belakang seakan akan terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya.
Tek Hong terlempar lebih dua tombak dan jatuh di atas tanah dalam keadaan duduk. Pergelangan tangan kirinya patah dan dadanya terasa panas. Ia maklum bahwa ia telah menderita luka di dalam tubuh maka ia cepat mengatur pernapasannya. Adapun Ang tung hud juga merasa betapa kepalanya kesemutan, maka ia terkejut sekali, ia mencoba untuk mengatur jalan darah di kepalanya, namun ternyata bahwa tangan kiri Tek Hong yang mengandung tenaga Thai lek kim kong jiu tadi telah mendatangkan luka di kepalanya. Setelah terhuyung huyung, Ang tung hud menjerit dan roboh pingsan.
Bukan main marahnya Sam thouw hud melihat ini. Sambil memekik keras tongkatnya menyambar hendak memukul Tek Hong yang masih bersila di atas tanah sambil meramkan matanya
“Jangan bunuh dia secara curang!” Yap Thian Giok melompat dan menggunakan dua tangan yang diisi dengan tenaga Soan hong pek lek jiu itu ia menangkis sambaran tongkat Kim hong pang. Akan tetapi, ia kalah tenaga dan tangkisannya membuat ia terpental ke belakang dan di lengan kanannya nampak tanda membiru karena benturan dengan tongkat. Baiknya tulangnya tidak patah, dan tangkisan itu pun membuat Sam thouw hud terhuyung ke belakang. Kini Sam thouw hud menyerang lagi, melompat dan tongkatnya menyambar kepala Tek Hong. Thian Giok yang terlempar dan tidak berdaya menolong, hanya meramkan matanya agar jangan melihat kengerian itu. Agaknya kepala pemuda itu akan pecah terpukul tongkat yang demikian beratnya.
“Siancai, siluman tua bangka sungguh kejam,” terdengar suara halus dan sehelai sinar merah menyambar ke arah tongkat yang memukul kepala Tek Hong. Sam thouw hud terkejut sekali ketika merasa tongkatnya direnggut oleh tenaga yang kuat sekali, ia mengerahkan tenaga membetot, namun tongkatnya tidak terlepas dan libatan benda merah itu. Tiba tiba benda merah itu melepaskan libatannya dan meluncur menyerang pundak Sam thouw hud. Dilepaskan tiba tiba saja, Sam thouw hud sudah terhuyung ke belakang, ditambah lagi oleh serangan hebat ini, membuat dia tidak tertahan lagi terjengkang ke belakang. Baiknya ia gesit dan cepat berpoksai (membuat salto) sehingga terhindar dan jatuh ia mengenal selendang merah itu dan wajahnya berobah pucat.
Benar dugaannya, ketika ia memandang, ia melihat Mo bin Sin kun berdiri di situ dengan selendang merah di tangan kanan. Wanita ini tidak berobah, masih nampak gagah dan cantik biarpun usianya tua sekali, tidak kurang dari tujuhpuluh tahun.
“Sam thouw hud, kau datang mau apakah?” bentak Mo bin Sin kun dengan suara keren.
Sam thouw hud kehilangan semangat dan keberaniannya. Dahulu ia telah merasai kelihaian wanita sakti ini, dan tadi serangan selendang merah itu membuktikan bahwa kepandaian dan tenaga Mo bin Sin kun ternyata tidak berkurang, bahkan makin hebat.
Sekarang, empat orang kawannya telah terluka semua dan kalau dia sendiri harus menghadapi Mo bin Sin kun tanpa kawan, ia merasa amat jerih. Lagi pula di sana masih ada Thian Giok yang kepandaiannya tidak rendah, dan pemuda itu pula yang agaknya kini sudah dapat mengatasi lukanya.
“Sam thouw hud, mengapa kau diam saja?” kembali Mo bin Sin kun bertanya, akan tetapi oleh karena Sam thouw hud memang sudah tuli, mana ia bisa mendengar pertanyaan ini.
“Suthai, agaknya siluman tua ini memang tidak dapat mendengar lagi. Dia datang untuk mencari suthai dan hendak membalas dendam. Ia telah membawa empat orang kawannya yang kesemuanya telah dikalahkan oleh Tek Hong, akan tetapi sebaliknya Tek Hong juga menderita luka,” kata Thian Giok kepada gurunya.
Sementara itu, Sdm thouw hud lalu menghampiri sutenya mengangkat tubuh yang pingsan itu dan dipanggulnya, kemudian ia berkata kepada Mo bin Sin kun, “Kawan kawanku telah terluka. Biarlah kali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku pasti akan datang lagi!” Setelah berkata demikian, ia lalu mengajak tiga orang muridnya untuk pergi dari situ. Sambil terpincang pincang dan meringis kesakitan, tiga orang hwesio murid Sam thouw hud itu mengikuti suhu mereka.
Mo bin Sin kun sekarang jauh berbeda dengan Mo bin Sin kun belasan tahun yang lalu. Dahulu ia terkenal memiliki watak keras sekali akan tetapi kini ia menjadi jauh lebih sabar setelah bertapa dan mengasingkan diri dan dunia ramai beberapa tahun lamanya. Ia tidak mau mengejar Sam thouw hud melainkan menghampiri Tek Hong. Sudah lama ia tidak bertemu dengan pemuda ini, semenjak pemuda ini masih kecil, ia kagum melihat pemuda ini yang parasnya, mirip dengan ibunya, akan tetapi pada saat itu, Tek Hong nampak pucat sekali.
Sebaliknya, Tek Hong sudah dapat mengatasi lukanya dan kini dadanya tidak begitu sakit lagi rasanya. Melihat Mo bin Sin kun, ia cepat berlutut memberi hormat kepada nenek gurunya itu. Mo bin Sin kun mengangkat bangun Tek Hong dan ketika ia menyentuh kedua pundak pemuda itu, ia berkata,
“Kau menderita luka di dalam dada. Baiknya tubuhmu telah kuat berkat latihan yang baik sehingga tidak membahayakan nyawa.” Nenek tua yang sakti ini lalu menotok dua kali ke arah punggung Tek Hong, kemudian mengeluarkan bungkusan obat dan memberi tiga butir pel merah kepadanya.
“Telanlah tiga butir ini dan kau akan sembuh kembali dalam beberapa hari saja,” katanya. Sambil menghaturkan terima kasih, Tek Hong menelan pel itu lalu ia mengikuti Mo bin Sin kun dan Yap Thian Giok yang mengajaknya masuk ke dalam pondok untuk bercakap cakap.
Setelah Yap Thian Giok menuturkan tentang kedatangan Sam thouw hud, Ang tung hud dan tiga orang muridnya kepada Mo bin Sin kun, Tek Hong dengan muka sedih lalu menuturkan pula segala pengalamannya, ia menceritakan betapa adiknya tertawan oleh Tung hai Sian jin, menuturkan pula tentang Liem Pun Hui yang masih berada di pulau itu menanti dengan setia sampai Siauw Yang tertolong. Juga ia menuturkan perihal Lam hai Lo mo yang hidup kembali dan bagaimana kakek sakti yang jahat dan kini buntung kakinya itu membakar rumah orang tuanya di Tit le.
“Hm, tidak tahunya Pun Hui telah pergi bersama Siauw Yang. Bagus, anak itu memang baik dan boleh dipercaya,” kata Yap Thian Giok mendengar tentang muridnya.
Adapun Mo bin Sin kun mengerutkan keningnya dan berkali kali menghela napas panjang.
“Gagallah maksudku mencuci tangan dari urusan dunia satelah sekarang mengetahui bahwa si jahat Lam hai Lo mo masih hidup. Setelah dia turun gunung, dan Tung hai Sian jin serta orang orang jahat seperti Sam thouw hud juga datang mengacau, mana bisa aku enak enak di atas gunung? Terpaksa akupun harus turun tangan. Thian Giok, besok kau ikut aku pergi ke Sam liong to!” Tentu saja Thian Giok setuju dan menyatakan kesediaannya.
Tek Hong girang sekali. Setelah supeknya dan nenek gurunya mau turun tangan, harapannya timbul kembali untuk dapat menolong adiknya, “Terima kasih atas pertolongan supek dan sucouw, akan tetapi teecu akan pulang dulu ke Tit le. Di sana tidak ada apa apa dan kalau sewaktu waktu ayah bunda teecu pulang, mereka tentu akan bingung sekali. Teecu hendak meninggalkan surat di sana baru teecu akan menyusul ke Sam liong to.” Setelah berkata demikian, Tek Hong lalu memberi penjelasan kepada Thian Giok dan Mo bin Sin kun tentang letak Pulau Sam liong to itu.
Kemudian ia berpamit untuk kembali ke Tit le, setelah mendapat nasehat nasehat dari dua orang tua itu dan menerima lagi tiga butir pel merah dari Mo bin Sin kun.
“Sebaiknya, dalam dua pekan ini, hindarkan segala pertempuran karena luka di dalam dadamu belum pulih kembali,” kata Mo bin Sin kun dan Tek Hong menyanggupi untuk mentaati pesan ini. Maka berangkatlah pemuda ini turun dari Sian hoa san dengan dada lapang, karena kini ia mendapat bantuan orang orang sakti yang membikin fihaknya kuat.
“Siauw Yang…! Siauw Yang….!”
Panggilan ini di teriakkan berkali kali dan suara panggilan itu bergema di permukaan air laut. Suara ini keluar dari sebuah perahu kecil yang terapung apung di atas air laut, dan di dalam perahu kelihatan seorang pemuda
berpakaian sasterawan memegang dayung dan mendayung perahu itu hilir mudik mengelilingi sekumpulan pulau yang berada di situ.
Pemuda ini nampak kurus sekali dan wajahnya pucat ia kelihatan sedih dan suaranya yang tak pernah mendapat jawaban itu membuat suasana di sekelilingnya menjadi makin sunyi.
Telah sepekan lebih pemuda itu yakni bukan lain Liem Pun Hui, setiap hari dari pagi sampai petang, menaiki perahu itu dan mendayungkannya perahunya ke semua pulau yang berada di situ untuk mencari Sauw Yang, gadis perkasa yang sudah menawan hatinya.
Kasihan sekali keadaan pemuda ini. Ia lupa makan, lupa tidur dan sama sekali tidak memelihara kesehatannya lagi sehingga ia menjadi kurus kering dan pucat, ia amat gelisah, bahkan gelisah kalau kalau tidak akan bertemu dengan dara yang dicintainya itu, melainkan gelisah memikirkan keadaan Siauw Yang ia tahu akan kejahatan manusia seperti Bong Eng Kiat dan ayahnya, dan tahu betul bahaya besar apa yang mengancam diri gadis itu.
Sepekan lebih ia tidak pernah makan hanya minum saja dan jarang sekali ia tidur, maka tubuhnya terpaksa lemas dan lemah. Pada saat itu ia memanggil manggil sampai suaranya menjadi parau dan perahunya mendekati sebuah pulau yang sudah ada tiga kali ia darati, tiba tiba ia melihat seorang wanita di pantai pulau itu melambaikan saputangan kepadanya. Pun Hui menggosok gosok matanya, khawatir kalau kalau pikirannya sudah terganggu atau matanya sudah tidak sempurna lagi. Sudah tiga kali ia mendarat di pulau ini. Seperti juga di pulau pulau yang lain, akan tetapi selalu tidak bertemu dengan seorangpun manusia. Sekarang ada wanita itu, dan manakah datangnya? Apakah dia Siauw Yang.... ? Berpikir demikian, hatinya berdebar keras dan ia mendayung perahunya ke pantai itu.
“Siauw Yang….!” Suara yang diteriakkan ini tidak keluar, tersumbat di kerongkongannya karena ia merasa amat terharu, juga khawatir kalau kalau yang ia hadapi itu hanya lamunan atau impian belaka. Kini perahunya telah menempel di darat dan wanita itu telah berdiri tak jauh dari perahunya. Tak salah lagi, itulah Siauw Yang, gadis yang selama ini dicari carinya, ditunggu tunggunya, yang kini berdiri dengan mata bersinar sinar dan bibir tersenyum.
“Siauw Yang….!” Pun Hui melompat keluar dari perahunya ke atas pantai berpasir, terhuyung huyung menghampiri gadis itu dan setelah mendapat kenyataan bahwa ia benar benar tidak mimpi dan gadis itu benar benar Siauw Yang, ia hanya dapat mengeluh penuh kebahagiaan. “Siauw Yaaang …..” lalu roboh di depan kaki gadis itu, tak sadarkan diri!
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Siauw Yang sedang memijit mijit leher, pundak, dan punggungnya sambil memanggil manggil namanya.
“Liem suheng, kau kenapakah ?”
Liem Pun Hui bergerak dan bangku, lalu duduk di atas pasir, di dekat Siauw Yang yang sedang berlutut
“Aku tidak apa apa, aku amat girang melihat kau masih selamat dan hidup, sumoi,” jawabnya sambil mencoba untuk bersembunyi dan melupakan keletihan dan kelaparan yang membuatnya lemas sekali.
“Akan tetapi kau pucat sekali, dan kurus! Padahal baru sepekan kita berpisah. Kau kenapakah, suheng? Sakitkah kau?” Siauw Yang mendesak sambil memandang tajam ke arah wajah pemuda itu. “Tidak, tidak sakit. O, ya, tahukah kau aumoi bahwa belum lama ini aku telah bertemu dengan kakakmu Song Tek Hong di pulau kecil itu! Tapi sekarang ia telah pergi lagi untuk mencari bantuan.” Pun Hui sengaja mengubah arah percakapan agar tak usah menjawab pertanyaan gadis itu tentang keadaannya.
“Betulkah?” Siauw Yang benar saja amat tertarik hatinya mendengar itu. Pun Hui lalu menceritakan pengalamannya dengan Song Tek Hong yang di dengarkan oleh Siauw Yang penuh perhatian.
“Jadi setelah putus asa mencariku, ia lalu kembali untuk memberi laporan tentang keadaanku yang tertawan kepada ayah bundaku? Akan tetapi mengapa kau mendiri masih ada di sini, Liem suheng? Mengapa kau tidak ikut dengan twako untuk kembali ke daratan?”
“Aku… aku tinggal di pulau itu untuk menanti kalau
kalau kau akan datang .”
Mendengar jawaban yang gagap ini, Siauw Yang memandang tajam. Gadis ini otaknya cerdik luar biasa maka melihat keadaan pemuda itu, mendengar suara panggilan tadi, dan kini mendengar penuturannya, ia dapat menduga. Tak terasa pula wajahnya menjadi merah dan matanya berlinang air mata.
“Liem suheng, kau tinggal di pulau dan kau setiap hari berperahu mencari cariku selami ini?”
“Habis…. tidak ada sesuatu yang dapat ku kerjakan ”
“Dan kau selalu memanggil manggilku, menjelajah sekumpulan pulau pulau ini tanpa kenal lelah.”
“Itu kewajibanku, sumoi ”
“Dan dalam melakukan hal ini, kau sampai tidak pernah makan, mungkin tak pernah tidur! Kau menyiksa dirimu sendiri hanya untuk mencari aku, suheng ”
“Habis bagaimana aku bisa makan dan tidur, bagaimana aku bisa hidup kalau kalau….” Sampai di sini Pun Hui tertegun dan tak dapat melanjutkan kata katanya. Tadinya ia hanya akan menyangkal seberapa dapat agar kelihatannya ia jangan terlalu memikirkan gadis ini, akan tetapi dalam kata katanya, ia telah terpeleset sehingga bukan menyembunyikan, bahkan ia membuka perasaan hatinya secara terang terangan!
“Liem suheng…. kau baik sekali....” kata Siauw Yang dengan terharu dan juga jengah, ia memang sudah menduga bahwa pemuda sasterawan ini “ada hati” terhadapnya, akan tetapi tak disangkanya sampai demikian mendalam!
Adapun Pun Hui setelah tanpa di sengaja telah membuka sendiri rahasia hatinya, buru buru menyimpangkan pembicaraan itu dengan pertanyaan,
“Dan kau bagaimana bisa tiba tiba muncul di pulau ini, sumoi? Terus terang saja, sudah tiga kali aku mendarat di sini, akan tetapi tidak pernah aku melihatmu atau orang lain di pulau ini.”
Siauw Yang tersenyum, “Baru saja aku tiba di sini dan sebelum aku bercerita, kaumakanlah dulu, suheng. Aku tadi telah makan buah buah yang enak sekali yang terdapat di pulau ini. Kau makanlah.” Siauw Yang mengeluarkan beberapa buah yang berwarna kekuningan dan memberikan itu kepada Pun Hui. Melihat buah ini dan mencium baunya yang harum, perut Pun Hui yang kosong itu mulai berkeruyuk dan mulutnya membasah. Ia cepat menerima dan makan buah itu, enak harum rasanya. “Terima kasih buah ini enak sekali, sumoi.” Sambil memandang pemuda itu makan buah Siauw Yang tersenyum lagi. Lucu rasanya dan senang hatinya melihat pemuda itu makan dengan lahapnya.
“Bukan rasa buah itu yang luar biasa, melainkan seleramu dan rasa lapar yang membikin segala apa menjadi enak dimakan,” katanya.
Satelah Pun Hui selesai makan dan rasa lapar mereda, Siauw Yang lalu menceritakan pengalamannya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam pertempuran melawan Tung hai Sian jin dan puteranya, yakni Bong Eng Kiat, Siauw Yang tertawan dan dipondong pergi oleh Bong Eng Kiat, sedangkan pedangnya Kim kong kiam dirampas oleh Tung hai Sian jin yang memimpin para bajak laut meninggalkan pulau kosong di mana Pun Hui menggeletak dalam keadaan pingsan.
Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiai membawa gadis itu ke sebuah perahu dan mereka mendayung perahu itu cepat cepat ke tengah laut, lalu mengembangkan layar sehingga perahu itu cepat berlayar ke tengah samudera, diikuti oleh perahu perahu layar dari para bajak laut.
“Ayah, aku minta agar dikawinkan dengan gadis jelita ini!” beberapa kali Bong Eng Kiat merengek rengek sambil memandang ke arah tubuh Siauw Yang yang menggeletak di dalam perahu dalam keadaan tak sadar. Tubuh itu amat menggairahkan dalam pandangan matanya dan menurut keinginan hatinya, ia ingin segera mendapatkan gadis ini sebagai isterinya.
Ayahnya tertawa tawa saja sambil menghiburnya, “Sabar, Eng Kiat. Aku maklum bahwa kau tentu tergila gila kepada gadis ini yang memang patut menjadi jodohmu. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kau adalah anak tunggalku putera dari Tung hai Sian jin. Tidak mungkin puteraku akan melakukan pernikahan begitu saja seperti orang liar! Harus diadakan upacara yang sah, dihadiri oleh semua orang di dunia kang ouw. Kalau kau menikah, kau harus menikah secara terhormat. Berbeda lagi kalau kau hanya ingin main main saja dengan wanita ini.”
“Tidak, ayah. Aku cinta kepadanya, aku tidak mungkin memperlakukan dia sebagai wanita biasa yang hanya ingin kupermainkan lalu kubuang lagi. Aku ingin ia menjadi isteriku yang sah, menjadi ibu dari anak anakku! Aku cinta dan kasihan melihat wajahnya yang ayu.” Sambil berkata demikian, Eng Kiat mendekati Siauw Yang dan mengelus elus kepala dan rambut gadis itu yang halus dan panjang menghitam. Nyata sekali bahwa ia menaruh hati sayang kepada Siauw Yang, bukan semata terdorong oleh nafsu. Betapapun jahat seseorang, pada suatu waktu ia tentu akan bertemu dengan seorang wanita yang menjatuhkan hatinya dan membuat ia ingin menjadi seorang suami dan ayah yang baik, seorang wanita yang dapat merobah watak yang jahat menjadi baik, merobah watak yang kejam itu menjadi penuh belas kasihan!
“Bagus!” jawab Tung Hai Sian jin dengan wajah berseri. “Memang akupun seorang manusia biasa yang ingin sekali melihat kau berbahagia, hidup tenteram bersama seorang isteri yang cocok, ingin menimang seorang cucu. Ha, ha, ha! Kalau begitu, kau harus bersabar, anakku. Kita harus mencari kesempatan untuk melangsungkan pernikahanmu dengan gadis ini secara baik baik!”
Bong Eng Kiat berseri wajahnya, akan tetapi hanya sebentar saja. Tiba tiba ia mengerutkan keningnya dan wajahnya nampak berduka.
“Akan tetapi, ayah. Dahulu ia pernah menolak lamaranku, dan orang tuanya tentu tidak setuju. Bagaimana dia mau menjadi isteriku?”
“Itulah sebabnya maka kita harus mencari jalan yang baik. Dia sudah berada di kekuasaan kita, hal ini merupakan senjata yang amat ampuh bagi kita. Biarlah untuk sementara kita mendarat di pulau kosong dan membujuk sambil mencari kesempatan dan akal.”
Akan tetapi, agaknya para dewa yang berkuasa di lautan merasa muak menyaksikan kejahatan Tung hai Sian jin, puteranya dan anak buah mereka yakni bajak bajak laut yang sudah terlalu sering melakukan kejahatan dan kekejaman itu. Tiba tiba saja, benar benar di luar dugaan dan perhitungan para bajak laut yang sudah tahu akan keadaan lautan entah mengapa sebabnya, timbul taufan yang hebat. Perahu bajak yang kecil itu tertiup taufan dan tentu akan tenggelam kalau mereka tidak lekas lekas menurunkan layar. Tung hai Sian jin terkejut sekali dan agar lebih memudahkan menurunkan layar, ia menggunakan tangannya menghajar pangkal tiang layar.
“Kraakk!” Tiang layar sebesar paha manusia itu tumbang dan patah setelah sekali saja terkena babatan tangan Tung hai Sian jin yang dimiringkan.
Namun taufan masih mengamuk hebat dan gelombang sebesar gunung pergi datang mengombang ambingkan perahu perahu itu. Para bajak berteriak teriak ketakutan, disusul oleh pekik dan jerit kematian ketika beberapa buah perahu mulai terbalik membawa para penumpangnya keluar dan terjungkal ke dalam air. Lengan lengan tangan dengan jari jari terbuka, jerit jerit mengerikan, bercampur aduk dengan suara angin berderu. Jari jari tangan itu diulur hendak mencari pegangan, namun apa daya mereka terhadap kekuatan ombak yang besar? Mereka diangkat ke
atas, dihempaskan lagi ke dalam air sampai habis tenaga dan napas mereka dan tenggelamlah tubuh para bajak laut itu menjadi santapan ikan ikan besar.
Di antara perahu perahu kecil itu, hanya perahu yang ditunggangi oleh Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat saja yang dapat menahan serangan ombak dan taufan. Tung hai Sian jin cepat berseru kepada puteranya untuk memegangi pinggiran perahu dan menggunakan tenaga menekan dorongan ombak sehingga prrahu itu tidak terbalik. Mereka berdua harus bekerja mati matian dan sepenuh tenaga. Melihat tubuh Siauw Yang terguling ke kanan kiri di dalam perahu dan kepala gadis itu terbentur pinggiran perahu, Eng Kiat lalu menarik tubuh Siauw Yang dan dipangkunya, dipeluknya erat erat agar tubuh gadis itu tidak terlempar ke luar. Tangan kirinya memeluk Siauw Yang sedangkan tangan kanannya memegangi pinggiran perahu dengan pengerahan tenaga lweekang.
Sementara itu, dengan sebelah tangan memegang pinggiran perahu, Tung hai Sian jin mempergunakan dayung dengan tangan kirinya, mendayung sedapatnya agar perahunya dapat keluar dan gelanggang maut itu. Akhirnya ia berhasil, perahu kecil itu meluncur keluar dari permainan ombak, akan tetapi ternyata bahwa perahu mereka telah tiba di bagian samudera yang amat jauh dan kelompok pulau pulau kecil tempat mereka. Ternyata bahwa taufan telah membawa perahu mereka jauh ke timur!
Ketika mereka melihat ke sekeliling mereka, tak sebuah pun perahu anak buah mereka nampak. Agaknya mereka semua telah menjadi korban taufan dan tenggelam di laut.
“Benar benar Thian masih melindungi kita,” kata Tung hai Sian jin sambil menarik napas panjang dengan hati merasa ngeri, “di antara sekian banyak orang, hanya kita berdua yang selamat.” “Bertiga, ayah, bukan berdua. Bahkan orang ke tiga, adik Siauw Yang ini yang agaknya membawa nasib baik. Orang secantik dia, mana ada iblis bertega hati untuk membunuhnya? Oleh karena itu, hatiku lebih tetap lagi untuk mengambilnya sebagai isteriku yang tercinta!”
Tung hai Sian jin mengangguk angguk. “Mungkin kau benar. Mari kita mencari tempat mendarat.”
Tak lama kemudian, mereka melihat sebuah pulau yang berada di tengah laut, jauh terpencil dan bukan merupakan sebuah di antara pulau pulau yang pernah mereka tinggali. Mereka mendarat, dan Eng Kiat memondong tubuh Siauw Yang ke darat. Dengan girang mereka mendapat kenyataan bahwa pulau itu amat subur, mempunyai pohon pohon yang berbuah dan terdapat pula binatang bnaiang hutan yang dapat dijadikan penolak kelaparan.
Pada saat itu, Siauw Yang siuman dari pingsannya oleh pengaruh totokan yang lihai. Selelah pikirannya jernih kembali dan melihat betapa ia di pondong oleh Bong Eng Kiat, ia menjadi gemas sekali, ia mengangkat tangan dan mengirim pukulan ke arah lambung pemuda itu, Bong Eng Kiat telah mempelajari ilmu silat dari ayahnya dan kepandaiannya telah mencapai tingkat yang tinggi, maka ia dapat merasa gerakan gadis ini. Ia terkejut sekali dan cepat menggunakan tangan menangkis pukulan itu, akan tetapi ia terpaksa melepaskan Siauw Yang.
“Eh, eh, adik Yang, mengapa kau memukulku? Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu.” Eng Kiat menegur sambil tersenyum dan memandang kepada gadis itu dengan penuh cinta kasih dan berahi
Siauw Yang cemberut. Sekejap mata saja ia dapat melihat betapa keadaannya tidak berdaya sama sekali. Pedangnya telah terampas oleh Tung hai Sian jin. Dengan pedang di tangan saja, ia masih sukar untuk mengalahkan Bong Eng Kiat, apa lagi Tung hai Sian jin. Sekarang ia tidak berpedang, tentu saja sia sia kalau ia melakukan perlawanan, ia bukan seorang gadis bodoh dan mata gelap yang tidak tahu bahaya dan yang melakukan sesuatu atas dorongan nafsu marah belaka. Otaknya bekerja dan ia mengambil keputusan untuk berlaku sabar dan menahan kemendongkolannya, menanti datangnya kesempatan baik.
“Kau menggendongku, masih bilang tidak melakukan sesuatu yang buruk? Siapa sudi kau gendong seperti anak kecil?”
Bong Eng Kiat tertawa bergelak. Hatinya girang sekali melihat gadis itu tidak terus menyerang dan mengamuk, hal yang tadinya diduga duganya dan yang akan menyakitkan hatinya.
“Adik Yang, apa salahnya kau kugendong? Kalau tidak kugendong, bagaimana kau bisa terhindar dari bahaya maut ketika taufan menyerang hebat perahu kita? Kau masih belum sadar kembali, tentu saja harus kupondong.”
“Aku tidak sudi. Tidak sudi aku bersentuhan kulit denganmu, tahu?”
Tung hai Sian jin tertawa masam dan berkata, “Eng Kiat, gadis yang kaucinta ini galak bukan main, apakah kau tetap tergila gila kepadanya?”
“Biar galak, akan tetapi ia baik, ayah. Galak nya itu bukan menjadi watak dasarnya. Coba ayah lihat, biarpun ia bicara marah marah, bukankah wajahnya masih terang dan manis seperti bulan purnama? Adik Yang, kau jangan marah marah. Bagiku, kalau kau marah wajahmu menjadi makin menarik, akan tetapi hal itu amat tidak baik untukmu sendiri. Orang yang suka marah marah apalagi seorang dara muda, dapat menjadi lekas tua!” Eng Kiat dan Tung Hai Sian jin tertawa, akan tetapi Siauw Yang tetap cemberut.
“Aku tidak akan marah asal saja kau tidak menggangguku. Aku tahu bahwa kini aku tidak berdaya dan percuma saja andaikata aku melawan.”
“Lihat dan dengar ayah, bukankah dia seorang dara yang selain gagah perkasa dan cantik jelita juga amat cerdik dan pandai mempergunakan otaknya? Di dunia ini mana ada seorang gadis seperti dia?” berkata Eng Kiat sambil tersenyum senyum gembira.
“Akan tetapi,” kata Siauw Yang tanpa memperdulikan pujian orang, “sekali saja kau berlaku kurang ajar Kepadaku, biarpun aku harus mati, aku akan menyerangmu dengan nekat,”
“Adik Yang. Bagaimana aku dapat mengganggumu? Aku cinta sepenuh jiwaku kepadamu, aku kasihan kepadamu. Aku bersumpah takkan mengganggumu.”
Mendengar kata kata puteranya ini, Tung hai Sian jin menjadi geli hatinya dan tersenyum pahit.
“Sudahlah, kalian orang orang muda boleh ribut mulut dan bertengkar membangun cinta kasih akan tetapi aku orang tua tidak sabar lagi mendengarnya. Aku hendak menyelidiki keadaan pulau ini. Eng Kiat, hati hatilah. Dia ini bukan gadis sembarangan, jangan sampai kau kena diakali olehnya di waktu berada berdua dengan dia. Kalau dia menyerang, pergunakan senjatamu, dengan tangan kosong saja tak mungkin dia akan mengalahkanmu. Pula, jangan lupa segera memanggilku kalau dia berlaku jahat.”
Setelah berkata demikian, Tung hai Sian jin meninggalkan dua orang muda itu di pantai dan sekali melompai kakek sakti ini telah lenyap di balik pohon pohon yang memenuhi pulau itu.
Siauw Yang mendongkol sekali, juga amat khawatir, tidak disangkanya bahwa Tung hai Sianjin begitu cerdik dan dapat menduga akan isi hatinya, ia maklum bahwa pemuda ini benar benar cinta kepadanya dan sudah tergila gila, dan agaknya bolah dipercaya bahwa untuk sementara waktu ini, pemuda itu takkan mengganggunya dan takkan menggunakan kekerasan. Akan tetapi, berapa lamakah akan dapat dipertahankan hal ini? Pemuda macam Eng Kiat kalau sudah dikuasai deh nafsu, tentu takkan mundur untuk melakukan sesuatu yang melanggar norma kesusilaan dan perikemanusiaan. Berpikir sampai di sini, diam diam Siauw Yang bergidik. Namun ia bersyukur bahwa selama ia pingsan, pemuda itu tidak melakukan sesuatu. Kalau terjadi demikian, aku akan mengadu nyawa dengan mereka, pikirnya gemas.
Benar saja seperti dugaannya, Eng Kiat biarpun selalu bicara manis kepadanya dan barsikap halus, tidak pernah memperlihatkan tanda tanda hendak mengganggunya atau berlaku kurang ajar. Bahkan di waktu malam hari, ketika Siauw Yang tidak dapat pulas dan berpura pura tidur, Eng Kiat menghampirinya, bukan untuk mengganggu, melainkan untuk duduk dekat nona itu dan menggunakan baju luarnya mengusir nyamuk yang berani datang menggigit kulit tubuh yang putih halus dari nona pujaan hatinya! Diam diam Siauw Yang yang tidak tidur itu merasa terharu akan tetapi juga gemas sekali. Cinta kasih yang diperlihatkan oleh Eng Kiat kepadanya hanya mendatangkan rasa jemu di dalam hatinya, ia teringat akan Pun Hui. Pemuda itu lain lagi. Memang halus dan sopan lahir batin, bukan berpura pura. Dan di dalam hatinya, ia selalu merasa kasihan kepada Pun Hui, sungguhpun ia sendiri tidak tahu apakah itu tanda hati cinta atau bukan. Akan tetapi kalau ia teringat akan Pun Hui yang menggeletak pingsan seorang diri di atas pulau itu, hatinya gelisah sekali.
Tung hai Sian jin juga tidak perduli kepadanya dan tidak pernah bicara dengan dia, bahkan memandangnya jarang. Kakek ini dengan cepatnya telah dapat menemukan sebuah gua besar dan gua ini mereka jadikan tempat tinggal untuk sementara waktu.
Pernah terjadi pada suatu senja, Bong Eng Kiat pergi dari pulau itu. Siauw Yang tidak tahu ke mana perginya pemuda ini, sama sekali tidak menduga bahwa Eng Kiat telah berperahu, pergi ke pulau di mana ia dan ayahnya menawan Siauw Yang. Pemuda ini teringat akan Pun Hui yang belum tewas dan ia pergi ke sana dengan maksud membunuh pemuda itu. Hal ini terjadi karena di dalam hatinya timbul perasaan cemburu yang besar terhadap Pun Hui dan ia takkan merasa puas sebelum membunuh pemuda sasterawan itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia bertemu dengan Tek Hong dan cepat cepat melarikan diri di dalam perahunya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani menuturkan peristiwa itu kepada Siauw Yang bahkan diam diam ia memberi tahu kepada ayahnya tentang pertempuran ini.
“Ayah, kalau tidak lekas lekas adik Yang menjadi isteriku, aku khawatir kalau kalau Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan puteranya akan menyusul ke mari.”
Ayahnya tersenyum. “Kau boleh memperisteri dia di sini juga siapa yang akan melarangmu?”
“Mana dia mau, ayah?” “Anak bodoh. Biarpun di dalam hati ia mau atau tidak, seorang gadis tidak nanti mengangguk angguk menyatakan mau apabila hendak diperisteri orang. Penolakannya hanya untuk kepantasan saja. Sekali ia telah menjadi isterimu, tentu ia takkan banyak rewel lagi.”
“Mempergunakan kekerasan, ayah?”
Tung hai Sian jin mengangguk angguk dan dari sikap ini saja sudah dapat diukur betapa buruknya watak Tung hai Sian jin yang di waktu mudanya juga merupakan seorang pemuda yang kurang baik.
“Menggunakan kekerasan tentu. Kemudian, setelah ia dapat ditundukkan dan tidak banyak rewel lagi, barulah aku akan menemui Thian te Kiam ong dan minta dengan resmi lalu diada kau upacara resmi yang disaksikan oleh semua orang kang ouw.”
“Tidak! Tidak bisa, ayah! Aku tidak tega melakukan hal itu kepada adik Yang. Kalau lain gadis mungkin aku mau melakukan hal itu kepadanya, akan tetapi adik Yang aku ingin dia menjadi isteriku dengan rela. Aku
ingin iapun mencinta aku sebagai suaminya, ayah!” “Bocah totol! Habis apa yang dapat kaulakukan?”
“Ayah, pergilah menemui Thian te Kiam ong, nyatakan bahwa puterinya telah berada di dalam tawanan kita. Dengan sedikit ancaman ayah dapat memaksanya untuk menyerahkan puterinya kepada kita. Tentu ia tidak tega melihat puterinya berada dalam bahaya dan lebih suka melihat puterinya hidup sebagai isteriku yang tercinta daripada binasa. Ayah, kau bukanlah seorang sembarangan dan agaknya Thian te Kiam ong akan berpikir panjang, akan merasa bahwa menjadi besanmu bukanlah hal yang memalukan atau rendah. Ayah, tolonglah anakmu kali ini, dan bujuk atau ancamlah orang tua itu supaya dia tunduk dan suka menerima pinangan kita.”
Menghadapi anaknya yang merengek rengek ini, akhirnya Tung hai Sianjin kalah. Barkali kali ia menarik napas panjang.
“Perempuan…. perempuan…. kau selalu mengacaukan keadaan! Baiklah, Eng Kiat, aku akan pergi menemui Thian te Kiam ong. Seandainya dia marah, ia kau kuhadapi ia dengan nekat, belum tentu akan kalah. Memang kata katamu betul juga, dengan adanya Siauw Yang bersama kita, Thian te Kiam ong tentu tak berani menggangguku. Akan tetapi, kau haru berhati hati benar. Kalau kutinggalkan berdua dengan gadis itu, keadaanmu amat berbahaya. Sekali saja ia dapat memegang senjata pedang, kau akan celaka, Eng Kiat! Kita harus akui bahwa kepandaiannya lihai sekali dan agaknya kau takkan dapat menang kalau bertanding pedang dengan dia.”
Eng Kiat mengangguk angguk. “Aku mengerti, ayah. Kalau tidak selihai itu dia, agaknya cintaku juga akan berkurang. Justru karena dia dapat menangkan kepandaianku maka aku makin kagum kepadanya. Aku sudah cukup berhati hati, ayah, dan pedang Kim kong kiam itu kau bawa sajalah, sekalian untuk diperlihatkan kepada Thian te Kiam ong sebagai bukti bahwa memang betul puterinya telah kita tawan. Dengan pedangku di tangan dan dia bertangan kosong, tak mungkin dia bisa memberontak.”
Maka berangkatlah Tung hai Sian jin untuk mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, meninggalkan Siauw Yang dan Bong Eng Kiat berdua saja di atas pulau itu.
Biarpun tidak diberi tahu perihal perginya Tung hai Sian jin, namun hati Siauw Yang menduga bahwa tentu kakek itu akan melakukan sesuatu yang menimbulkan tidak rasa enak di dalam hatinya. Apalagi ketika melihat betapa perahu itu dibawa pergi oleh Tung hai Sian jin, ia menjadi makin gelisah. Memang betul bahwa dengan perginya kakek itu, lebih besar harapannya untuk melepaskan diri dari Eng Kiat, akan tetapi andaikata ia dapat merobohkan pemuda ini, bagaimana ia dapat keluar dari pulau itu? Akhirnya Tung hai Sian jin akan datang kembali dan kalau melihat ia merobohkan puteranya, tentu kakek itu akan membalas dendam dan ia akan kalah! Gadis ini bingung sekali. Ke mana saja ia pergi, pemuda itu tidak mau berpisah dari sampingnya, dan untuk mencari siaaat dan kesempatan, terpaksa Siauw Yang berlaku kurang galak bahkan agak manis sehingga pemuda itu merasa terapung apung di sorga ke tujuh.
Pada keesokan harinya, Eng Kiat mengajak Siauw Yang memancing ikan di tepi pantai. Udara jernih sekali dan andaikata yang di dekatnya itu bukan Eng Kiat, tentu Siauw Yang akan merasa gembira, karena ia memang seorang dara yang berwatak periang.
“Eng Kiat, ke manakah perginya ayahmu?” tanyanya. Sebutan ini beberapa kali membuat Eng Kiat tidak puas.
Berkali kali ia membujuk Siauw Yang supaya suka menyebut koko (Kanda) kepadanya akan tetapi gadis itu
tidak sudi menurut, bahkan menjebikan bibir mengejek. Oleh karena itu, akhirnya ia menerima juga sebutan yang sederhana itu, yakni memanggil namanya langsung begitu saja.
“Adik Yang, ayah pergi untuk menemui ayahmu.”
Siauw Yang terkejut, kemudian tersenyum. “Sama halnya dengan seekor kelinci menemui harimau. Ayahmu takkan kembali dengan kepala masih menempel di lehernya.” Eng Kiat tersenyum sabar. “Mungkin demikian kalau ayah pergi menemuinya dengan maksud buruk. Akan tetapi kali ini ayah pergi menemui ayahmu untuk merundingkan urusan antara kita.”
“Ada urusan apa antara kita selain bahwa kau dan ayahmu telah menggunakan kekerasan menawanku? Ayahku akan marah sekali dan….”
“Bukan demikian, adikku yang manis. Ayahku akan mengajukan usul agar supaya kita menjadi jodoh yang cocok dan saling mencinta. Aku amat mencintaimu, adik Yang, dan dunia agaknya akan menjadi neraka kalau aku harus berpisah dari sampingmu!”
“Cih! Tak tahu malu! Aku tidak sudi!”
“Tak mungkin menolak kalau ayahmu sudah setuju, adikku sayang. Kita akan menjadi suami isteri yang hidup rukun sampai di hari tua, mempunyai anak anak dan menimang nimang cucu kita.”
“Cukup!” Tangan Siauw Yang menampar dan biarpun Eng Kiat mengelak, masih saja jari jari tangan Siauw Yang mengenai pipinya, menimbulkan suara “plak” dan pipi pemuda itu menjadi merah.
“Aduh, panas panas enak bekas tanganmu!” kata Eng Kiat sambil mengelus elus pipinya dengan senyum di mulut. Melihat sikap Eng Kiat, tidak karuan rasa hati Siauw Yang. Ingin ia menangis keras untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Ia tidak bodoh untuk menyerang terus, karena kalau pemuda itu mencabut pedang, tentu ia takkan dapat melawannya, ia merasa terharu, geli, gemas, dan juga gelisah menghadapi pemuda yang nyata telah tergila gila kepadanya itu. “Eng Kiat, apakah betul betul kau mencintaiku?” tanyanya.
“Aku bersumpah, disaksikan langit, bumi, dan laut bahwa aku mencintaimu setulus ikhlas hatiku, adik Yang.”
“Aku tidak butuh sumpahmu!” jawab Siauw Yang ketus, kemudian disambungnnya lagi dengan suara halus,
“Dan apakah kau kasihan kepadaku?”
Dengan suara sungguh, Eng Kiat m menjawab, “Kalau aku tidak berbelaskasihan kepadamu, apakah kaukira kau masih akan hidup sampai saat ini dan apakah kaukira aku akan dapat menahan nahan berahiku melihatmu yang cantik molek ini? Tidak, adikku sayang, aku tidak mau menyakitimu, tidak mau menyakiti hati ataupun tubuhmu.”
“Kalau kau berbelaskasihan, mengapa kau tidak membiarkan aku pergi? Eng Kiat, di sini aku merasa seperti seekor burung dalam sangkar. Bebaskanlah aku dan selamanya aku akan berterima kasih kepadamu.”
Mendengar kata kata ini, tiba tiba pemuda itu menangis. Siauw Yang menjadi terheran heran dan mengira bahwa pemuda ini memang tidak normal otaknya.
“Siauw Yang….” ucapanmu ini lebih menyakitkan dari pada tusukan ujung pedang beracun. “Kau tahu aku cinta kepadamu, tergila gila kepada mu, ingin selama hidupku tak pernah berpisah lagi denganmu, bagaimana kau minta aku membebaskanmu? Adikku sayang, kaulah yang harus kasihan kepadaku….”
“Cih, sebal aku mendengarmu!” setelah berkata demikian, Siauw Yang lalu berlari pergi meninggalkan Eng Kiat. Pemuda itu mengejarnya dan tidak mau terpisah jauh darinya. Siauw Yang memutar otaknya, memeras seluruh kecerdikannya. Bagaimana ia harus bersikap? Bagaimana ia dapat melepaskan diri dari pemuda itu? Ia tahu bahwa Tung hai Sian jin hendak memaksa ayahnya menyetujui perjodohan itu, tentu dengan mengancam akan membunuhnya kalau ayahnya tidak menyetujui atau kalau ayahnya membunuh Tung hai Sian jin, tentu Eng Kiat yang tak dapat menahan nafsu berahinya akan melakukan paksaan kepadanya. Bagaimana baiknya? Menitik air mata di pipi gadis ini, makin dipikir sedihlah dia sehingga akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk di atas rumput sambil menangis.
“Adikku sayang, mengapa kau berduka? Jangan menangis, adik Yang, kau membikin hatiku perih,” terdengar suara Eng Kiat di belakangnya. Menurutkan suara hatinya, ingin sekali Siauw Yang berdiri dan memukul pecah kepala pemuda ini. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Ia adalah seorang gadis yang tabah dan tenang, yang memiliki kecerdikan dan yang selain mempertimbangkan apa yang hendak dilakukannya, tidak semata mata terdorong oleh nafsu marah.
Cepat ia menghapus air matanya dan berkata dengan suara pilu, “Eng Kiat, cintamu kepadaku palsu! Rasa belas kasihanmu juga pura pura saja. Kau amat kejam, membiarkan aku di pulau ini, jauh keramaian, jauh dari manusia manusia lain. Aku bisa menjadi gila kalau harus tinggal terus di sini tanpa hiburan.”
“Kau ingin hiburan? Maukah kau kalau aku bernyanyi untukmu? Adik Yang, aku banyak mempelajari nyanyian indah. Dengarlah aku bernyanyi untukmu!” Setelah berkata demikian, Eng Kiat mencabut pedangnya dan mempergunakan pedang itu diketok ketokkan pada sebuah batu karang untuk menimbulkan irama lagu, kemudian ia bernyanyi.