Jilid XXII
“MEMANG sumoi. Dan yang paling membikin aku kagum sekali adalah ketajaman perasaanmu, yang dapat mengupas lukisan itu demikian jelasnya. Kau berbakat seni, sumoi.” Siauw Yang tertawa, “Ayahku pernah berkata, bahwa hidup ialah seni abadi. Perwujudan manusia inilah seni yang paling agung. Bentuk bentuk bunga, daun, batu, mega dan lain lain itulah seni terindah yang tiada taranya. Seni buatan manusia hanyalah, jiplakan belaka!”
Pun Hui memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak.
“Sumoi, kau merendahkan kaum seniman!”
Siauw Yang tersenyum geli. “Eh, eh, suheng jangan lantas ngamuk! Aku hanya mengulangi ucapan ayah saja.”
“Kalau demikian anggapan ayahmu, tentu kau telah mendengar pula mengapa ayahmu berpendapat seperti itu.”
“Memang, akupun sudah bertanya penjelasannya dan ia telah pula menjelaskannya.”
“Bagaimana penjelasannya?”
“Nanti dulu, kau harus berjanji jangan marah marah seperti itu, karena aku hanya seorang bodoh dan yang akan kusampaikan ini hanya pandangan ayah. Pula, kau tidak boleh marah kepada ayahku, karena di dunia ini tidak ada orang yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih pandai melebihi ayahku, yakni menurut pendapaku.”
Pun Hui tersenyum kembali dan mengangguk angguk. “Memang seharusnya demikianlah pikiran seorang anak yang berbakti. Baiklah, sumoi. aku akan mendengarkan penjelasanmu dengan tenang. Nah, katakan mengapa ayahmu menganggap bahwa seni buatan manusia itu hanya jiplakan belaka?”
“Misalnya lukisan ini. Memang indah sekali lukisan ini, bukan? Dan tanpa ragu ragu aku sendiri berani menyatakan bahwa lukisan ini adalah hasil seni manusia yang amat
indah dan baik. Akan tetapi, lukisan ini takkan jadi apabila pujangga Li Po tidak menciptakan sajaknya MINUM ARAK BERSAMA BULAN DAN BAYANGAN yang kau
bacakan tadi. Si pelukis ini bukan menciptakan lukisan atas hasil ciptanya sendiri, melainkan ia menjiplak dan isi sajak pujangga Li Po, Bukankah ini termasuk jiplakan?”
“Hm, aku mengerti maksudmu. Akan tetapi, bukankah ciptaan Li Po yang merupakan sajak indah itu tidak menjiplak dari siapapun juga?” bantah Pun Hui.
“Bukan demikian anggapan ayah. Betapapun indahnya sajak itu, tetap saja ia jiplakan. Keindahannya hanya sebagai cukilan tak berarti daripada keindahan keadaan yang sudah ada, daripada keindahan bulan, kakek, dan bayangan yang sudah ada dan sudah memiliki keindahan sepenuhnya! Coba kaukatakan, kalau tidak ada bulan, tidak ada bayangan dan tidak ada kakek itu mungkinkah Li Po menciptakan sajak tadi? Bukankah ia hanya meminjam saja daripada keindahan alam dan isinya yang sudah ada? Nah, itulah maka ayah berani mengatakan bahwa segala hasil seni manusia hanya jiplakan belaka daripada seni alam yang diciptakan tanpa contoh dan tanpa meniru oleh Thian Yang Kuasa!”
Pun Hui tertegun. Di dalam semua kitab yang pernah dibacanya, ia belum pernah mendengar tentang filsafat seperti ini. Sampai lama ia termenung lalu menghela napas dan berkata,
“Sumoi, ayahmu itu orang luar biasa. Aku ingin sekali bertemu dengan dia!”
Siauw Yang tertawa girang, akan tetapi ketika ia menoleh ke kiri dan membaca tulisan sajak yang tergantung di itu, ditulis dengan tulisan yang bergaya indah tiba tiba wajahnya menjadi muram. Pun Hui menjadi heran dan cepat membaca sajak itu dengan suara lantang.
Disaksikan barisan gunung biru di utara kota, Dan di timur nampak memutih air samudera.
Di sini kau harus tinggalkan aku dan
mengalir pergi Seperti tangkai bunga hanyut di air sungai.
Akan kukenang kau seperti awan
berarak di angkasa Yang harus berpisah dengan matahari
di barat sana.
Tangan melambai selamat berpisah…. Kudaku meringkik ringkik, merintih sudah…..
Sehabis membaca ini, tiba tiba Pun Hui meraja seakan akan kerongkongannya tersumbat. Teringatlah ia bahwasanya iapun akan mengalami perpisahan menyedihkan ini. Akan tiba saatnya bahwa iapun harus melepas Siauw Yang pergi meninggalkannya! Dengan perlahan ia menengok dan alangkah terharunya ketika ia melihat betapa sepasang mata gadis itu menjadi merah, kemudian tiba tiba gadis itu membalikkan tubuh membelakanginya, ia dapat menduga bahwa Siauw Yang melakukan hal ini untuk menyembunyikan dua butir air mata yang melompat keluar dari pelupuk matanya.
“Pujangga Li Po memang seorang perengek!” tiba tiba Pun Hui berkata keras dengan maksud menghibur hati siauw Yang. “Di dalam sajak sajaknya selalu terbayang kelemahan hatinya, selalu ia merengek dan mengeluh. Apa gunanya semua keluh kesah itu? Tidak ada persatuan yang tak pernah berakhir, seperti juga tidak ada perceraian yang kekal. Ah, jemu aku kepada si perengek itu!”
Pada saat itu, keadaan yang amat berkesan di dalam hati mereda itu lenyap oleh terbukanya pintu. Baru mereka ingat bahwa semenjak tadi mereka sedang menunggu di luar pintu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang pesuruh tadi telah masuk lama sekali. Tentu saja Siauw Yang tidak tahu bahwa dua orang pesuruh tadi mence ritakan keadaan mereka, juga kelihaian gadis itu dan terutama sekali kelihaian pemuda yang dianggap luar biasa, kepada Siauw ong ya Ciong Pak Sui.
“Selamat datang di rumahku yang buruk. Sungguh menggembirakan sekali bahwa ji wi suka datang memenuhi undanganku untuk bermain catur. Aku mendengar bahwa ji wi asyik sekali bermain di rumah penginapan, maka aku sengaja mengundang kepada ji wi untuk datang main main di sini dan bermain catur yang juga menjadi kegembiraanku,” kata seorang laki laki yang membuka pintu dan yang menjura kepada mereka.
Siauw Yang dan Pun Hui memandang tajam. Orang laki laki ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berwajah gagah dengan cambang melintang dan bertubuh kekar. Pakaiannya amat mewah, dengan baju sulam benang emas. Mulutnya selalu tersenyum mengejek dan yang membuat senyum itu lebih kuat adalah lekuk di tengah tengah dagunya. Ia melayangkan pandang matanya kepada Siauw Yang, dengan kagum sekali.
Siauw Yang meniru Pun Hui yang membalas penghormatan tadi, kemudian gadis ini mendahului Pun Hui dengan ucapan yang terdengar halus penuh sindiran. “Memang, kami berdua sedang bermain catur dengan asyik dan sepanjang pengetahuan kami, permainan catur kami tidak mengusik seorangpun. Akan tetapi sayang, permainan itu terganggu oleh datangnya pencuri jahanam yang membawa lari kudaku Ang ho ma, bahkan ia telah membawa lari pula tiga biji catur sehingga kami tidak dapat melanjutkan permainan catur kami.”
Mendengar ucapan ini, pangeran muda itu tertawa gembira dan berkata,
“Ha, ha, ha, kau jenaka sekali, nona. Mari, mari, silahkan masuk di ruang ini dan kita dapat bicara dengan enak.” Ia membuka pintu itu lebar lebar dan mempersilakan dua orang muda itu masuk.
Dengan tenang dan tabah, Pun Hui dan Siauw Yang memasuki ruang lian bu thia itu. Enam orang laki laki lain yang rata rata memiliki sifat gagah, berdiri dari tempat duduk mereka dan memberi hormat yang dibalas dengan sederhana oleh Siauw Yang dan dengan hormat oleh Pun Hui. Kemudian dua orang muda ini menduduki bangku yang disediakan oleh tuan rumah, duduk mereka menghadapi tujuh orang itu.
Di atas meja yang berada di depan dua orang muda ini, benar saja sudah tersedia papan catur yang lebar dan indah, terbuat daripada kain sutera putih yang diberi gambar kotak kotak untuk bermain catur. Di dekat papan catur ini terdapat sebuah peti kecil terbuat daripada emas, sudah terbuka tutupnya dan nampak biji biji catur yang mengkilat dan indah sekali, terbuat daripada gading! Inilah seperangkat alat catur yang amat indah dan luar biasa harganya. Sebagai seorang ahli catur, tentu saja Pun Hui merasa suka sekali dan tak terasa pula tangannya menyentuh papan dan biji biji catur sambil memuji, “Benar benar indah sekali!”
Pangeran muda Ciong Pak Sui tertawa, lain ia cepat cepat berkata,
“Hanya seorang ahli catur yang pandai saja yang dapat menghargai barang barang ini. Saudara muda, mari kita bertanding catur. Memang aku mengundang kalian ini untuk diajak bertanding catur!”
“Apa taruhannya?” Siauw Yang bertanya dengan suara tegas “Apakah kudaku sendiri yang tercuri akan dipertaruhkan oleh orang lain?”
“Sabar, nona,” Ciong siauw ong berkata sambi menggerakkan tangannya, “Kudamu terpelihara baik baik dan kami hanya ingin membuktikan apakah benar benar kuda itu tak terkalahkan. Tak tahunya, hanya kuda biasa saja, siapa yang mau mencurinya? Baiklah sekarang kita bertaruh. Kalau aku kalah bermain catur dengan suhengmu ini, aku hendak memberikan seperangkat alat catur ini, sebaliknya kalau dia kalah, kau harus tinggalkan kuda merah mu di sini.”
Siauw Yang berdiri dengan marah. Ia menggebrak meja dan terdengar suara keras. Biarpun papan meja yang amat tebal itu tidak tergetar sama sekali, namun ketika ia mengangkat kedua tangannya dari atas meja, nampak dua lubang bekas tangannya tadi. Ternyata bahwa meja itu di bagian yang terpukul telapak tangannya, telah berlubang!
“Enak saja orang bicara! Mana ada orang orang gagah bertaruh dalam bermain catur? Memalukan! Pertaruhan boleh tetap menggunakan alat catur dan kudaku, karena suhengku agaknya suka melihat alat catur ini. Akan tetapi bukan dengan bermain catur, melainkan dengan mengukur kepandaian silat!”
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Siauw Yang, enam orang kawan pangeran itu bangkit berdiri dan seorang di antaranya berseru,
“Bagus! Nona muda hendak mengagulkan kepandaian disini!”Akan terapi, pangeran itu tertawa dan dengan isarat tangannya, ia menyuruh enam orang kaki tangannya itu duduk kembali. Lalu ia tertawa tawa mengadapi Siauw Yang sambil berkata,
“Bun (setera) dan bu (ilmu silat) tak boleh dipisah pisahkan, suhengmu ini memberi contoh yang baik sekali nona. Lihat saja, sungguhpun ia lihai, pakaiannya seperti sasterawan dan ia suka bermain catur. Sungguh cocok dengan aku sendiri! Tentu saja, dalam penemuan yang menggembirakan ini, harus tedengar suara pedang beradu dan bunga api berpijar. Marilah kita atur seadil adilnya. Suhengmu ini suka bermain catur dan kau agaknya lebih suka bermain silat. Maka biarlah pertandingan dilakukan dua babak, sebabak permainan catur dan sebabak lagi pertandingan silat. Untuk permainan catur suheng itu yang maju dan untuk pertandingan silat, kau yang maju. Dalam pertandingan catur, kau tidak boleh membantu suhengmu, sebaliknya dalam pertandingan silat, suhengmu tak boleh membantu. Bagaimana, apakah kau setuju, nona?”
Siauw Yang tersenyum, ia dapat melihat isi hati tuan rumah ini yang hendak berlaku cerdik, ia tahu bahwa mungkin sekali tuan rumah ini menganggap bahwa kepandaian silat Pun Hui tentu lebih lihai dari padanya. Hal ini memang sudah semestinya, karena tentu saja kepandaian seorang suheng tentu lebih lihai daripada kepandaian seorang sumoi. Oleh karena itu, pangeran muda itu hendak berlaku cerdik, yakni mengajak Pun Hui bermain catur dan mengajak dia bertanding silat. “Baiklah,” kata Siauw Yang cepat cepat ketika melihat wajah Pun Hui nampak khawatir ketika mendengar ia ditantang silat. “Akan tetapi, bagaimana kalau terjadi seri? Kepandaian catur suhengku amat tinggi, aku tidak khawatir dia akan kalah, akan tetapi ilmu silatku masih rendah sekali. Bagaimana kalau dalam pertandingan catur suheng menang dan dalam pertandingan silat aku kalah?”
Ciong Pak Sui tertawa lagi. “Ha, ha, ha, nona, kau benar benar berpandangan luas dan jauh. Memang betul sekali apa yang kaukatakan tadi. Ada kemungkinan kita berhasil seri dalam dua pertandingan. Oleh karena itu, baik diatur begini saja. Kalau ternyata berhasil seri yakni satu kali kalah satu kali menang, maka diadakan pertandingan ke tiga untuk menentukan hasilnya, yakni adu balap.”
“Berpacu kuda maksudmu?” tanya Siauw Yang.
“Benar, berpacu kuda. Kau menaiki kuda merahmu dan aku akan menaiki kudaku sendiri, bagaimana?”
“Baik, jadilah. Akan tetapi, oleh karena pertandingan silat merupakan pertandingan yang paling menentukan, kuminta supaya penandingan catur didahulukan, kemudian pertandingan pacu kuda. Setelah terjadi seri, barulah pertandingan silat yang akan menentukan menang kalahnya.
Ucapan ini diterima salah oleh pangeran muda she Ciong itu. Ia mengira bahwa gadis ini agak jerih kepadanya, maka ia tertawa gembira dan menyatakan persetujuannya. Padahal ucapan Siauw Yang tadi dilakukan dengan pemikiran yang amat masak. Gadis ini memang cerdik sekali, ia pikir bahwa permainan catur suhengnya itu memang benar benar sudah amat lihai dan ketika memberi pelajaran catur kepadanya, pemuda ini dapat menjelaskan seluruh gaya permainan berikut tehnik dan taktiknya secara terperinci. Pengetahuannya dalam permainan ini amat mendalam dan luas. Oleh karena itu, banyak harapan pertandingan akan dimenangkan oleh Pun Hui. Adapun tentang pertandingan kedua, yakni berpacu kuda, ia percaya penuh akan kecepatan Ang ho ma. Menurut ayah nya, kuda putih milik ayahnya sudah merupakan seekor kuda yang jarang tandingannya, akan tetapi setelah ia mendapatkan Ang ho ma ia mendapat kenyataan bahwa kecepatan Ang ho ma agaknya masih melebihi Pek hong ma, milik ayahnya. Maka kalau dia yang menunggang Ang ho ma, agaknya ia takkan mungkin dikalahkan oleh pangeran itu. Hal ini bukan karena ia meragukan kemenangannya dalam pertandingan pibu (adu kepandaian silat). Akan tetapi ia hanya seorang diri, Pun Hui tak dapat diandalkan sama sekali dalam pertandingan silat. Kalau dalam pertandingan ke dua itu ia menang, setidaknya lawan sudah dapat mengukur sampai di mana batas kepandaiannya dan tentu akan mengatur siasat yang curang. Sebaliknya, kalau pertandingan pibu dilakukan terakhir, ia akan mengerahkan seluruh kepandaian dan akan menawan pangeran itu, sehingga ia dapat memaksanya menyerahkan kuda dan memberi jalan keluar untuk dia dan suhengnya.
Pertandingan pertama sudah disiapkan. Meja untuk bermain catur dipasang di tengah ruangan itu, dan meja ini spesial untuk bermain catur, yakni agak rendah ukurannya. Dua buah bangku yang memakai kasur rumput di atasnya, dipasang berhadapan di belakang meja itu. Papan catur sudah dipasang di atas meja dan peti terisi biji biji catur pun sudah disediakan.
“Silahkan, saudara muda, mari kita mulai pertandingan catur!” kata pangeran itu sambil memberi tanda kepada Pun Hui untuk menduduki bangku sebelah selatan. Sebelum penandingan dimulai, sudah selayaknya kalau aku mengetahui lebih dulu nama lawanku!”
“Siauwte bernama Liem Pun Hui, dan nama siauw ong ya sudah siauwte ketahui, yakni Ciong Pak Sui siauw ong. Betul atau tidaknya, masih mengharapkan penjelasan.” jawab Pun Hui dengan sikapnya yang hormat sebagai seorang sasterawan terpelajar.
Ciong Pak Sui tertawa. “Benar benar hebat seekor harimau berkulit domba. Siapa tahu kalau di balik sikap dan tutur sapamu yang ramah dan sopan santun itu bersembunyi kelihaian silat yang luar biasa? Ha, ha, Liem siucai, dugaan mu itu benar. Aku adalah Pangeran Ciong Pak Sui.”
Sebelum pertandingan dimulai, pangeran ini menerima sebatang huncwe panjang dari seorang wanita, lalu ia mengisi tembakau pada huncwe itu dan menyalakannya. Asap hitam mengebul keluar dari huncwe itu dan baunya bukan main kerasnya. Melihat betapa pangeran itu tidak mengisap asap itu ke dalam dada, hanya dari mulut, Siauw Yang menjadi terkejut sekali. Ia adalah puteri seorang tokoh kang ouw dan telah banyak mendengar dari ayahnya betapa lihai dan jahat serta curangnya orang orang di dunia kang ouw, maka melihat hal ini ia sudah mendapat dugaan bahwa dengan asap tembakau yang keras itu, pangeran itu hendak membikin Pun Hui terpengaruh oleh asap itu dua menjadi pening kerena baunya. Dan dengan demikian, tentu pemuda itu akan menjadi kacau pikirannya, dan tak dapat bermain dengan baik.
Setelah berpikir sebentar, Siauw Yang lalu mengeluarkan saputangannya yang disimpan di balik baju di bagian dada, yaitu sehelai saputangan hijau dari sutera. Dengan cepat ia mencabut saputangan itu dan menyerahkannya kepada Pon Hui sambil berkata, “Suheng, pakailah saputangan ini untuk menghapus peluh nanti.”
Merah sekali wajah Pun Hui ketika ia menerima saputangan itu. Ia melihat sendiri betapa saputangan itu dikeluarkan dari balik pakaian di bagian dada, dan kini diberikan kepadanya di depan banyak orang.
Pada saat itu, Ciong Pak Sui mengebulkan asap tembakaunya ke depan dan tentu saja ada sebagian asap yang mengenai hidung Pun Hui. Hampir saja pemuda ini terbangkis bangkis ketika ia mencium bau tembakau yang amat keras itu. Tanpa disadarinya ia lalu membekap hidangnya dengan tangan yang memegang saputangan hijau dan alangkah harumnya saputangan itu. Selain harum, juga mengandung keharuman yang menghilangkan bau tidak enak dan tembakau tadi. Pikirannya yang cerdik bekerja cepat dan…. ia memandang kepada Siauw Yang dengan mata penuh terima kasih dan pengertian, namun hatinya agak kecewa! Ia berterima kasih karena sekarang ia tahu akan maksud dara itu memberi saputangan itu kepadanya, yakni untuk menolak hawa busuk dari tembakau itu. Dan ia kecewa karena ternyatalah sekarang olehnya bahwa pemberian saputangan itu bukan sekali kali sebagai pernyataan suara hati seperti yang tadi disangkanya, melainkan untuk menolongnya itulah! Jadi bukan sekali kali untuk menghapus peluh, melainkan untuk ditutupkan di depan hidung sehingga asap tembakau yang keras itu takkan mengganggunya dalam permainan catur yang akan dilangsungkan ini.
Pertandingan segera dimulai. Ciong Pak Sui yana memandang rendah lawannya, mempersilakan Pun Hui memilih biji putih dan menyuruhnya bermain lebih dulu. Pun Hui mulai bermain dengan amat hati hati dan sekejap kemudian perhatiannya dicurahkan seluruhnya pada biji biji catur dan kotak kotak catur. Ia tahu bahwa pertandingan ini amat penting, untuk mendapatkan kendali kuda Ang ho ma yang amat disayang oleh Siauw Yang, sekali kali ia tidak ingat lagi akan biji biji catur gading yang indah ini. Ia tidak bermain untuk mencari kemenangan dan merebut seperangkat alat catur, melainkan untuk mempertahankan kuda Siauw Yang.
Ketika melihat cara Pun Hui mengajukan bji bij caturnya, Ciong Pak Sui mulai terkejut sekali. Gerakan gerakan itu bukanlah sembarangmu gerakan, melainkan gerakan seorang ahli benar benar. Setiap langkah diperhitungkannya baik baik, berisi tenaga serangan dahsyat namun di situ bersembunyi pula daya tahan yang amat kokoh kuat! Pangeran ini lalu melakukan serangan besar besaran dalam bentuk serangan cara Mongol. Dan sayap kanan kiri dan juga dari tengah, barisan caturnya menyerang dengan bergelombang, mengancam pertahanan Pun Hui dan selalu mengincar raja catur dari pemuda itu. Sekali saja Pun Hui salah mengajukan biji catur, tentu benteng pertahanannya akan bobol dan ia akan kalah! Sementara itu, huncwe bertembakau hitam itu tiada hentinya mengebulkan asap hitam dan makin banyak pula sekarang asap hitam itu menyambar ke arah muka Pun Hui, seakan akan asap hitam ini ikut pula bertanding dalam gelanggang pertempuran di papan catur! Memang inilah siasat eurang daripada pemain catur yang sudah kawakan.
Namun Siauw Yang selalu memandang penuh perhatian dan dengan cemas. Setelah ia melihat betapa saputangannya kini selalu dipergunakan untuk menutupi hidung pemuda itu dan ternyata bahwa minyak wangi sari kembang culan dan obat pemberian ayahnya penolak racun yang sudah dipergunakan untuk merendam saputangan itu ternyata dapat menolak serangan asap hitam, hatinya
menjadi lega dan ia terenyum senyum pula. Biarpun belum lama ia belajar permainan catur, namun kini iapun asik menonton.
Adapun Pun Hui selelah menghadapi serangan lawannya yang ganas dan galak, segera dapat menyelami taktik permainan lawan. Diam diam ia merasa girang karena di dalam permainan catur, orang yang mainkan serangan terlampau bernafsu, biasanya pertahanannya sendiri menjadi lemah. Oleh karena ini, sambil mempertahankan diri dan membuat benteng yang amat kokoh, diam diam Pun Hui mengincar dan mencari cari lowongan yang memungkinkan ia menyerobot dan menyerbu lawan dengan gerakan mematikan.
Mulailah ia memancing mancing dan sedikit demi sedikit mengurangi pertahanannya, membiarkan biji biji catur lawan memasuki daerahnya dan meninggalkan daerah sendiri sehingga sang kaisar catur tidak terlindung kuat.
Melihat betapa keadaan pemuda itu amat terdesak. Siauw Yang mulai menjadi cemas sekali. Sebaliknya, sambil tersenyum senyum Pangeran Ciong Pak Sui mendesak makin bernafsu, ingin segera mengalahkan lawan dan membuat kaisar catur putih tak berdaya.
Untuk menjaga rajanya, Pun Hui sengaja memasang perdana menterinya di belakang kuda, sehingga merupakan penahanan yang biarpun kuat namun kedudukannya buruk sekali. Akan tetapi, sebetulnya ini merupakan pancingan yang lihai. Ketika dengan amat bernafsu pangeran itu menyerang raja dan tertawa tawa karena tidak lama lagi lawannya pasti kalah, tiba tiba Pun Hui menggerakkan kudanya ke belakang melindungi raja dan karenanya perdana menterinya terbuka dan langsung merupakan ancaman pada raja hitam yang terbuka kedudukannya. Terkejutlah pangeran itu. Ia cepat menggerakkan biji catur lainnya mundur untuk melindungi raja. Namun kini giliran Pun Hui untuk menyerang. Pemuda ini menggerakkan biji biji caturnya dengan tepat sekali dan setiap gerakan merupakan ancaman maut bagi kaisar hitam.
Lima kali gerakan pula dan matilah raja hitam, tiada jalan untuk lari lagi.
“Kau menang, Suheng,” kata Siauw Yang dengan gembira sekali dan dara ini lalu berlompat lompat seperti anak kecil dan memegang tangan Pun Hui, ditariknya keluar dari bangkunya.
Bagi orang lain, juga bagi Pun Hui, sikap gadis ini amat mengherankan. Akan tetapi sesungguhnya amat tepat karena tanpa diketahui oleh Pun Hui namun sudah diduga oleh Siauw Yang, ketika melihat kekalahannya, dengan muka merah pangeran itu lalu mengirim tendangan dan bawah meja, mengarah anggauta tubuh berbahaya dari pemuda itu. Kalau saja pun Hui tidak ditarik oleh Siauw Yang, tentu ia akan menjadi mayat terkena tendangan itu. Andaikata ia memiliki kepandaian tinggi pun belum tentu ia akan dapat mengelak dari serangan menggelap yang tiba tiba ini, apalagi memang ia belum belajar ilmu silat sama sekali.
Karena dara itu keburu membetot lengan Pun Hui, maka Pangeran Ciong Pak Sui menarik kembali tendangannya dan ia bangkit dengan muka merah.
“Hebat sekali kepandaianmu bermain catur,” katanya sambil menjura kepada Pun Hui. “Aku terima kalah, Liem siucai.”
“Hal itu hanya mungkin terjadi karena kau memang sengaja berlaku murah hati dan mengalah. Siauw ong ya,” kata Pun Hui merendah, akan tetapi ia merasa bangga
sekali kepada Siauw Yang, karena bukankah kemenangannya ini berarti memungkinkan gadis itu menerima kembali kudanya?
“Sekarang giliranku untuk mencoba kepandaianmu naik kuda,” kata Siauw Yang kepada pangeran itu dengan sinar mata mengejek.
“Baik, baik, nona. Jangan kau girang girang dulu, masih ada satu pertandingan lagi. Akan tetapi aku sudah mengetahui nama suhengmu, akan tetapi kau sendiri, siapakah namamu, nona?”
“Namaku Siauw Yang. Sudahlah, soal nama tak perlu diributkan benar. Lebih baik lekas kau keluarkan Ang ho ma dan mari kita segera mulai pertandingan ini.”
Pangeran itu tertawa bergelak.
“Ha, ha, ha, jangan khawatir, nona. Kudamu telah dipersiapkan di tegal sebelah barat kota. Marilah kita ke sana dan segera kita mulai berlumba.”
Mendengar ini, hati Siauw Yang girang sekali. Tadinya ia masih merasa khawatir karena kalau sampai terjadi pertempuran yang ia duga pasti akan terjadi di dalam bangunan ini, ia merasa kurang leluasa. Pangeran itu tentu mempunyai banyak anak buah dan kalau sampai terjadi pengeroyokan, di tempat tertutup itu ia akan merasa rugi, apalagi kalau harus melindungi Pun Hui. Akan tetapi di luar, di udara terbuka, ia akan merasa lebih leluasa. Karena ini ia merasa lega, dan mengambil keputusan apabila ia sampai kalah dalam pacuan kuda, ia akan mendesak pangeran itu untuk melanjutkan pibu di tempat pacuan kuda itu saja.
Ketika mereka tiba di lapangan rumput di sebelah barat kota, tempat yang amat sunyi, benar saja di situ sudah berkumpul sedikitnya duapuluh orung anak buah pangeran itu dan dua ekor kuda sudah berada di tempat itu pula. Enam orang kaki tangan pangeran itu memang semenjak tadi mengikuti rombongan ini, seakan akan mereka ini tidak mau terpisah dan Pangeran Ciong Pak Sui. Sebetulnya enam orang ini adalah pengawal pribadi dari pangeran itu.
Melihat bahwa seekor di antara dua kuda itu adalah Ang ho ma, Siauw Yang menjadi girang sekali dan ia berlari cepat menghampiri kudanya, terus memeluk leher dan menepuk nepuk punggung kuda itu. Memang benar kata kata pangeran tadi, Ang ho ma kelihatan terawat baik bulunya bersih mengkilap dan agaknya ia sudah kenyang. Hanya sedikit yang menarik perhatian Siauw Yang, yakni kudanya ini kelihatan pendiam dan amat jinak, bahkan matanya yang biasanya bersinar penuh perasaan, kini nampak seperti mata yang muram.
Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk menyelidiki keadaan kudanya lebih lama, karena Pangeran Ciong Pak Sui telah melompat ke atas punggung kudanya, yakni seekor kuda berwarna coklat yang tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Kuda ini tingginya melebihi Ang ho ma dan sekali pandang saja tahulah Siauw Yang bahwa kuda itupun seekor kuda yang amat baik dan kuat. Namun ia tidak gentar dan bahkan di dalam hatinya ia merasa yakin bahwa kuda merahnya pasti akan menang dalam pacuan ini.
“Mari kita mulai!” kata pangeran itu, “Kau lihat lapangan rumput ini, nona? Nah, kita berpacu mengelilingi lapangan rumput ini sejauh lima kali putaran. Kita mulai dari sini dan berakhir di sini pula.”
Siauw Yang dengan tenang lalu melompat ke atas punggung Ang ho ma. Gerakannya yang lincah dan riagan sekali membuat kugum semua orang.
“Pangeran, bagaimana kita hendak berpacu? Dengan cara bebas ataukah dengan syarat syarat tertentu?” tanya Siauw Yang dengan suara tenang pula.
Mendengar ini Pangeran Ciong tertegun. Tak pernah disangkanya, bahwa dara ini agaknya seorang ahli berpacu kuda yang mengerti tentang peraturan berpacu pula. Akan tetapi ia masih ragu ragu dan hendak mengukur sampai di mana pengertian gadis itu, maka ia bertanya, pura pura tidak mengerti.
“Nona, apakah yang kau maksudkan dengan acara bebas?”
Siauw Yang tersenyun sindir. “Pangeran Ciong, benar benarkah kau yang terkenal sebagai ahli kuda tidak mengerti ini? Yang disebut berpacu dengan acara bebas, orang yang berpacu boleh mempergunakan segala cara dan daya untuk mencapai kemenangan, ia boleh menghadang perjalanan kuda lawan, boleh memukul kuda, merampas kendali bahkan boleh memukul lawan yang duduk di atas kudanya. Apakah kau menghendaki acara ini? Ataukah kau hendak memakai lain acara?”
Pangeran Gong merasa heran di dalam hatinya. Ah, tidak tahunya gadis ini benar benar seorang ahli dalam pacuan kuda. Akan tetapi di luarnya, ia tertawa.
“Ha, ha, ha, nona Siauw Yang, kaukira aku ini seorang kasar yang biadab? Tidak, aku ingin berpacu mengadu kecepatan kuda dan kesigapan penunggangnya. Tidak boleh menyerang lawan, juga tidak boleh menggunakan akal busuk lain.”
“Jadilah!” kata Siauw Yang. “Hayo beri tanda mulai!”
Seorang anak buah pangeran itu telah memegangi sehelai bendera merah dan ia memang sudah siap semenjak tadi. Setelah mendapat isyarat dari pangeran itu, ia mengebutkan bendera merah itu dan pacuanpun dimulailah. Siauw Yang memeluk leher kudanya dan menggentak dengan kakinya. Ang ho ma melompat ke depan bagaikan terdorong oleh tenaga yang besar sekali dan mulailah dua ekor kuda itu berlari cepat sekali. Namun baru seputaran saja sudah dapat dilihat bahwa Ang ho ma benar benar dapat berlari lebih cepat daripada lawannya. Apalagi kalau Siauw Yang yang menungangnya, gadis itu seakan akan tidak menginjak tanah.
“Bagus!” teriak Pun Hui girang melihat nona itu telah menang beberapa tombak jauhnya, baru dalam satu kali putaran saja. “Ang ho ma, terbanglah! Terbanglah cepat!” ia berteriak teriak seperti laku seorang pecandu pacuan kuda yang menjagoi kudanya dalam taruhan uang besar.
Biarpun ia sudah mencambuki kudanya dan berusaha sedapat mungkin untuk mengejar, namun Pangeran Ciong harus mengakui keunggulan kuda merah itu, ia masih saja kelihatan tertawa tawa, seakan akan tidak khawatir kalah sama sekali.
Tiga putaran sudah dilalui dan selalu kuda Ang ho ma mendahului lawannya, kini sampai setengah putaran jauhnya. Dan kuda coklat masih terus mengejar cepat. Pada putaran ke empat, tiba tiba Ang ho ma terhuyung huyung dan kalau Siauw Yang tidak cepat melompat turun dan memegangi kendali kuda itu, tentu Ang ho ma akan terjungkal ke depan. Kuda itu terengah engah, meringkik ringkik, tubuhnya gemetar peluhnya membasahi seluruh tubuh dan ia tak kuat lari lagi.
Anak buah Pangeran Ciong bersorak sorak melihat betapa kuda pangeran itu dapat menyusul dan bahkan terus berlari cepat satu kali lingkaran lagi, berarti sudah lima putaran dan kuda nona itu masih saja berdiri muntah muntah.
Pun Hui mengerti gelagat dan untuk mencegah jangan sampai nona itu mendapat malu serta hendak menghiburnya, ia lalu berlari menghampiri Siauw Yang. Ternyata gadis itu wajahnya pucat sekali dan melihat Pun Hui, ia berkata marah, “Akan kuhancurkan kepala pangeran jahanam itu,” katanya perlahan. “Ia telah meracun Ang ho ma.”
Mendengar ini Pun Hui menjadi pucat. Ia melihat Siauw Yang menggerakkan tangan hendak mencabut pedangnya, maka ia cepat memegang lengan tangan gadis itu.
“Sumoi, jangan berlaku bodoh.”
“Suheng, aku bukan pengecut. Kejahatan harus dibalas dengan kekerasan yang adil!”
“Nanti dulu, sumoi. Salah sekali pikiranmu itu. Kalau kau menyerang mereka, kau akan rugi besar. Pertama tama kau akan menimbulkan keributan dan permusuhan sehingga Ang ho ma yang terkena racun takkan mendapat obat. Ke dua, kau berarti akan melanggar peraturan sehingga kau berada di fihak salah. Ke tiga, kalau kau menyerang dengan kekerasan, tentu kau akan dikeroyok. Ke empat, penyeranganmu itu akan berarti bahwa kita sudah kalah dalam pertandingan dan pertaruhan ini dan kalau kita memaksa mereka menyerahkan kuda, namamu akan rusak di dunia kang ouw sebagai seorang gagah yang tidak memegang janjinya.”
Siauw Yang tertegun. Tak pernah ia berpikir sejauh itu. Bukan main luasnya pandangan pemuda ini. Ia mengangguk angguk dan bertanya, “Habis, bagaimana baiknya, suheng? Mereka telah meracun kudaku, apakah aku harus diam saja? “Tentu saja tidak,” kata Pun Hui berbisik, “kau pura pura tidak tahu tentang kuda ini dan mengaku kalah. Kemudian kau tentu akan menghadapi dalam pertandingan terakhir, yakni pertandingan silat. Nah, di dalam pertandingan ini, aku mengharap saja sepenuh hatiku agar kau dapat mengatasinya, kau mengalahkan dia, akan tetapi jangan sekali kali membunuhnya, hanya kalau bisa membikin dia tidak berdaya dan mengancam agar supaya ia mau mengobati dan mengembalikan kuda serta berjanji takkan mengganggu kita. Bukankah ini lebih halus dan lebih baik lagi daripada menghadapi keroyokan mereka? Bukankah lebih baik menghadapi seorang lawan daripada kulihat sedikitnya ada duapuluh tujuh orang lawan?”
Mau rasanya Siauw Yang memeluk pemuda itu saking girang dan kagumnya, juga karena ia berterima kasih sekali. Memang siasat ini jauh lebih sempurna daripada kalau ia menurutkan nafsu amarah dan mengamuk seperti seorang pengacau yang tidak tahu aturan.
Ia lalu menuntun kudanya, menghampiri Pangeran Ciong yang sudah turun dan kuda dan dengan bangga menanti kedatangan Siauw Yang dan Pun Hui.
“Nah, kali ini aku lebih beruntung dan menang!” katanya. “Kita masih seri, dan menurut perjanjian….” Sampai di sini ia memandang tajam kepada Pun Hui, “menurut perjanjian, yang akan maju sebagai wakil kalian untuk menghadap pibu, adalah nona ini, bukan kau, Liem siucai.”
Pun Hui tersenyum geli, mentertawakan dalam hati atas ketololan pangeran ini yang mengira ia lebih lihai daripada Siauw Yang.
“Kami tahu,” katanya, “dan orang gagah takkan menarik kembali omongannya.” “Memang tadi aku kalah karena sedang sial,” kata Siauw Yang, menahan amarah sedapat mungkin dan senyumnya masih manis dan makin lebar saja, akan tetapi matanya makin bercahaya tajam, “kudaku tiba tiba saja menderita sakit. Biarlah, untuk penghabisan kali aku mengharapkan petunjuk dari Pangeran Ciong. Dalam pertandingan terakhir ini aku minta agar supaya dilakukan di sini saja, tempatnya lebih luas. Bagaimana yang kau kehendaki, pangeran? Dengan senjata atau bertangan kosong?”
“Dengan senjata,” kata Pangeran Ciong Pak Sui cepat, karena ia tidak melihat nona ini membawa senjata maka segera mencari keuntungan oleh kenyataan ini, “akan tetapi jangan di sini lebih baik di lian bu thia di rumahku. Di sana banyak tersedia segala macam senjata dan kau boleh memilih sebuah di antaranya.”
Siauw Yang menggeleng kepalanya. “Aku menerima permintaanmu untuk menggunakan senjata dalam pibu ini, akan tetapi tidak di sana harus di tempat ini juga. Tentang senjata, terima kasih, aku tidak perlu pinjam senjatamu.”
“Akan tetapi kau tidak bersenjata.” “Biarlah, aku akan mencari di sini saja.”
“Akan tetapi, tidak boleh kau meninggalkan tempat ini lebih dulu untuk mencari senjata,” pangeran itu berkata dengan licin sekali.
“Tak perlu pergi dari sini, pangeran. Kalau kau sudah siap, lekaslah kau keluarkan senjatamu. Aku akan menghadapimu sekarang juga!” Senyum gadis ini makin lebar saja.
“Bagus!” Pangeran itu berkata girang sambil menoleh kepada para pengawalnya. “Kalian menjadi saksi. Nona ini hendak menghadapiku di sini tanpa pergi mencari senjata.” Sambil berkata demikian, Ciong Pak Sui menerima senjatanya yang diberikan kepadanya dari seorang pengawal yakni senjata tombak dengan ronce ronce merah. Tombak ini panjang dan besar, kelihatannya berat sekali, namun di tangan pangeran itu, kelihatan amat ringan.
“Aku siap, nona. Apakah kau hendak menghadapiku dengan tangan kosong saja?”
“Sabar dulu. Pangeran Ciong, jangan kira bahwa aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Lihat pedangku!” Begitu tangan gadis ini menyambar ke bslik bajunya, berkelebat sinar kuning mas dan tahu tahu Kim kong kiam telah berada di tangan kanannya.
Ciong Pak Sui terkejut sekali melihat pedang yang bercahaya itu. Ia maklum bahwa lawannya ini mempergunakan sebatang po kiam (pedang mustika). Akan tetapi ia tidak merasa gentar dan segera membentak keras,
“Nona, awas senjata!” Sambil berkata demikian, tombaknya menyerang dengan ilmu tombak yang disebut Sauw jeng kun Jio hoat (Ilmu Tombak Untuk Menyerampang Ribuan Tentara). Gerakan tombaknya cepat dan kuat sekali, sehingga ketika tombak itu bergerak gerak, terdengar bunyi mengaung dan ujung tombak berpecah pecah, seakan akan menjadi beberapa batang banyaknya.
Siauw Yang cepat menangkis dan mengerahkan Kim kong kiam untuk merusak tombak itu. Akan tetapi ketika pedangnya beradu dengan tombak, hanya suara keras terdengar namun tombak itu tidak rusak sama sekali, tanda bahwa tombak itupun terbuat daripada bahan logam yang keras dan baik. Dan hebatnya, setiap kali tombaknya ditangkis, tombak itu berbalik dan melanjutkan serangannya dengan gagang yang tidak kurang berbahayanya, karena gagang logam itu dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Baru belasan jurus saja, tahulah keduanya bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang tangguh. Diam diam pangeran itu merasa menyesal sekali mengapa ia tidak bisa melihat orang dan berani mencari gara gara kepada nona ini yang ternyata memiliki kepandaian luar biasa sekali. Pedang nona ini lenyap berobah menjadi segulung sinar kuning emas dan kemana saja tombaknya menyambar, selalu dihalau pergi oleh gulungan sinar itu. Baru nona ini saja sudah begitu lihai apalagi suhengnya itu kalau turun tangan!
Sementara itu, Siauw Yang juga mendapat kenyataan bahwa lawannya ini memang benar benar lihai sekali ilmu silatnya, ia pernah menghadapi Bu beng Sin kai dan Sam thouw liok ciang kai dua orang pembantu dari Sin tung Lo kai si raja pengemis, akan tetapi kalau dibandingkan dengan mereka berdua ini, kepandaian Pangeran Ciong masih jauh lebih lihai. Bahkan, harus ia akui bahwa kepandaian pangeran ini masih lebih tinggi daripada kepandaian Thio Leng Li, puteri raja pengemis itu! Oleh karena ini, Siauw Yang berlaku hati hati sekali dan setiap gerakannya ia lakukan dengan pengerahan tenaga serta kelincahan yang sudah terlatih hebat, ia kalah tenaga namun menang lincah serta dalam hal ilmu silat, ilmu pedangnya tak perlu menyerah kalah terhadap ilmu tombak dari pangeran itu.
Sama sekali Siauw Yang tidak tahu bahwa ilmu tombak yang dimainkan oleh pangeran itu adalah ilmu tombak yang dipelajarinya dari Pat jiu Giam ong Liem Po Cuan yang pernah ia dengar namanya dari ayah bundanya. Sebaliknya, Pangeran Ciong Pak Sui juga tidak menduga bahwa ia berhadapan dengan puteri dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan
pendekar besar ini dan tidak mengenal pedang Kim kong kiam yang dimainkan oleh Siauw Yang, namun nama besar Thian te Kiam ong sudah lama ia dengar.
Setelah ia bertempur tigapuluh jurus lebih dan keadaan mereka masih berimbang, Siauw Yang menjadi penasaran sekali. Tadinya ia hanya mainkan Kim kong Kiam sut saja, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya terlalu tangguh, ia lalu membentak keras dan tiba tiba Pangeran Ciong Pak Sui menjadi terkejut dan matanya silau. Pedang di tangan gadis itu kini menyambar nyambar dengan gerakan yang luar biasa sekali, bukan lagi merupakan segulung sinar pedang yang masih dapat ia hadapi dengan tombaknya, melainkan tiba tiba terpecah menjadi enam gulung sinar pedang yang kecil kecil dari yang mengurung serta menyerangnya dan enam jurusan, kanan kiri, depan belakang, bawah dan atas! Inilah Tee coan Liok kiam sut, raja dari sekalian ilmu pedang!
Pangeran Ciong Pak Sui mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, lalu memberi tanda dengan suitan mulutnya agar kawan kawannya maju mengeroyok lawan! Akan tetapi, Siauw Yang begitu melihat hal ini, mengkhawatirkan keadaan Pun Hui, maka ia mendapat akal dan berkata,
“Suheng, kalau tikus tikus itu bergerak maju, kauwakililah aku menghancurkan kepala pangeran busuk ini dan biarkan aku yang memberi hajaran kepada para tikus itu!”
Gertakan ini berhasil. Menghadapi gadis ini saja Pangeran Ciong sudah sibuk sekali, apalagi kalau harus menghadapi suhengnya! Ia lalu membentak kepada orang orangnya supaya mundur kembali dan pada saat itu, terdengar suara keras dibarengi dengan terpentalnya tombaknya yang ternyata terbabat putus di bagian leher
gagang tombak itn memang terbuat daripada logam yang berbeda dengan kepala tombak, mana dapat menahan sabetan Kim kong kiam?
Ciong Pak Sui biarpun merasa kaget dan gentar, namun tidak mau menyerah kalah begitu saja. Ia masih dapat mempergunakan gagang tombaknya sebagai toya dan masih mengamuk hebat. Namun, dengan enaknya, berturut turut pedang di tangan Siauw Yang membabat putus gagang tombak itu sehingga akhirnya tinggal pendek saja.
Pangeran Ciong mandi keringat. Permainan silatnya sudah kacau dan ngawur sehingga sebuah tendangan kilat melayang ke dadanya tanpa dapat ia elakkan pula. Tubuhnya terlempar ke atas lalu terbanting jauh. Siauw Yang tidak mau berhenti sampai di situ saja, karena ia teringat akan nasehat Pun Hui. Maka cepat ia melompat dan sedetik kemudian, ujung pedangnya telah ditodongkan ke arah tenggorokan pangeran itu dan ia berkata dengan suara dingin.
“Pangeran yang curang! Kalau suhengku tidak mempunyai hati yang penuh welas asih dan sabar, tentu pedangku ini sekarang sudah kulanjutkan menusuk lehermu agar kau mampus!”
“Eh, eh, nona. Bagaimanakah ini? Aku sudah kalah, ini aku terima dan kau boleh mengambil taruhannya. Bawalah kudamu dan alat catur itu, akan tetapi mengapa kau masih menghinaku? Apakah ini laku seorang gagah?” kata pangeran itu dengan wajah pucat.
Siauw Yang tertawa menyindir. “Bangsat rendah! Kau masih berpura pura bersikap seakan akan kau seorang tokoh kang ouw yang terhormat dan gagah. Akan tetapi apa kaukira aku tidak tahu bahwa kudaku Ang ho ma itu telah kau beri makanan beracun? Dan apakah kaukira aku tidak
tahu bahwa kau memang selain bermaksud merampas kuda, juga mau menjatuhkan kami berdua dengan jalan curang?”
“Apa… apa kehendakmu sekarang, nona?”
Pangeran itu memotong bicara Siauw Yang karena merasa malu, bingung, dan juga takut.
“Kau harus dapat menyembuhkan kudaku, memberikan alat catur itu kepada kami dan berjanji takkan mengganggu kami lagi! Kalau kau tidak lekas melakukan semua permintaan ini, tentu lehermu akan tertembus pedang dan semua orangmu akan dihancurkan oleh suhengku.”
Pangeran Crong Pak Sui pernah diberi tahu oleh mendiang suhunya, yakni Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, bahwa ilmu tombak yang telah dipelajarinya itu sudah amat tinggi. Kecuali murid murid tokoh besar dunia persilatan, yakni empat yang lain seperti Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, Lan hai Lo mo dan Bu tek Kiam ong, agaknya sukar untuk mengalahkannya. Akan tetapi sekarang ia jatuh oleh pedang seorang gadis yang baru belasan tahun usianya!
“Nona Siauw Yang, kau benar benar berani sekali menghina aku, seorang pangeran!” bentaknya marah.
“Dunia orang gagah tidak membedakan pangkat atau harta! Yang ada hanya dua golongan, yakni yang baik dan yang jahat harus dibasmi,” kata Siauw Yang dengan suara lantang.
“Akan tetapi, aku adalah murid dari Pat jin Giam ong! Apa setelah mendengar nama ini kau tidak memandang muka mendiang orang tua itu?”
“Kebetulan sekali, gurumu itu memang musuh besar ayahku, Thian te Kiam ong!” Mendengar nama ini, pucatlah wajah Pangeran Ciong.
“Celaka! Orang orangku bermata buta! Hayo kalian penuhi semua permintaan lie taihiap (nona pendekar besar) ini!” serunya kepada semua orangnya.
Kuda Ang ho ma lalu diberi minum obat penawar racun, kemudian seperangkat alat catur diberikan kepada Pun Hui. Bahkan setelah dilepaskan oleh Siauw Yang, pangeran itu memberi hormat dengan sopan dan memberi persembahan sekantong uang emas sebanyak limapuluh tail lebih.
Siauw Yang tidak sudi menerima persembahan ini, akan tetapi Ciong Pak Sui berkata,
“Harap lie taihiap sudi menerimanya, biarlah ini sebagai tanda penghargaan dan pernyataan maaf dariku yang telah berlaku sembrono.”
Akhirnya diterima jugalah pemberian ini oleh Siauw Yang dan kedua orang muda itu lalu berpamit pergi. Mereka menuju ke rumah penginapan, mengambil kuda tunggangan Pun Hui dan buntalan pakaian mereka, lalu mereka melanjutkan perjalanan pada hari itu juga.
“Sumoi, kau benar benar amat mengagumkan. Kalau tidak karena kepandaian mu yang luar biasa itu tentu kita telah mengalami bencana hebat di tangan pangeran itu,” kata Pun Hui di tengah perjalanan.
“Suheng, semua berjalan dengan baik berkat adanya kau.”
“Eh, jangan kau menyindir, sumoi. Aku sudah merasa malu sekali karena disangka orang memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripadamu.”
“Siapa menyindir, suheng. Memang aku bicara terus terang, kalau tadi kukatakan bahwa memang kaulah yang telah menolong kita terbebas daripada bahaya. Kalau saja aku menurutkan nafsu marah, tidak mentaati nasehatmu, mungkin akan terjadi sebaliknya. Di samping itu persangkaan mereka bahwa kau memiliki kepandaian tinggi bukanlah hal yang memalukan, bahkan hal itu patut dibuat bangga, karena hal itulah yang membuat mereka itu takut untuk mengangkat tangan.”
“Akan tetapi, kalau kelak mereka bertemu lagi dengan aku dan melihat bahwa sebetulnya aku tidak bisa apa apa, bukankah aku yang akan malu sekali?”
“Mengapa kau mengkhawatirkan hal itu? Bukankah kau adalah murid dari Yap supek dan akan menjadi seorang gagah kelak?”
Mendengar ini, Pun Hui tersenyum dan berkata, “Aku mengharapkan pertolonganmu untuk kelak memintakan ampun kepada suhu dan untuk sedikit mengisi kekosongan dalam diriku sehingga tidak terlalu memalukan kelak kalau bertemu lagi dengan mereka.”
Siauw Yang mengangguk angguk.
Pengalaman yang dialami oleh dua orang muda itu membuat hubungan mereka menjadi makin erat saja dan biarpun keduanya maklum bahwa kepandaian Pun Hui masih jauh sekali untuk patut menjadi suheng, namun Siauw Yang merasa bahwa pemuda itu memang suhengnya sendiri dan iapun selalu taat akan semua nasihat. Sebaliknya, Pun Hui menganggap Siauw Yang seperti sumoinya sendiri dan ia tidak ragu ragu untuk mengemukakan pandangannya tentang hidup yang tentu lebih masak karena pemuda ini telah banyak mempelajari filsafat dari kitab kuno.
Perjalanan dilakukan dengan cepat sekali karena kini kuda Ang ho ma sudah sembuh sama sekali, dan kuda yang ditunggangi oleh Pun Hui juga bukan kuda lemah.
Siauw Yaug memang sengaja mengambil jalan dari utara karena gadis ini bermaksud hendak mengunjungi kota raja lebih dulu sebelum menuju ke Pulau Sam liong to. Ia mendengar dari penuturan Tek Hong bahwa pulau itu termasuk dalam Kepulauan Couwsan di sebelah selatan pelabuhan Sianghai. Keterangan ini cocok dengan petunjuk yang ia dapat dari Pun Hui, maka kini mereka bermufakat untuk menuju ke timur dan setelah tiba di pantai laut, hendak menggunakan perahu berlayar di sepanjang pantai timur daratan Tiongkok, terus ke selatan menuju ke Sianghai, sengaja gadis ini mengambil jalan memutar, bukan tanpa maksud. Telah lama sekali ia ingin mengembara dan selalu dihalangi dan tidak diperbolehkan oleh orang tuanya. Sekarang ia mempunyai keinginan hendak mencari pembuat peta yang dianggapnya sengaja memancing datang ayahnya, dan dalam kesempatan ini ia hendak menjelajah semua propinsi lebih dahulu. Iapun berpikir bahwa banyak kemungkinan ayah bundanya atau kakaknya akan menyusulnya. Kalau ia langumg menuju ke Kepulauan Couwsao, tentu ia akan tersusul dan maksudnya untuk merantau akan gagal.
Demikianlah setelah tiba di pantai, Siauw Yang lalu dibawa oleh Pun Hui mengunjungi seorang sahabatnya di Tang Sin yang berada di pantai Laut Po Hai. Sahabatnya ini seorang she Tan dan pernah menjadi kawan sekolahnya ketika Pun Hui menempuh ujian di kota raja dahulu. Tan siucai seorang laki laki setengah tua yang mewarisi sebuah rumah gedung dan beberapa bidang sawah. Orangnya peramah sekali dan terpelajar, dan kedatangan Pun Hui bersama Siauw Yang diterima dengan gembira. Kepada
Tan siucai inilah kuda Ang ho ma dan kudanya sendiri dititipkan dengan pesan agar di rawat baik baik dan kelak akan diambil kembali.
Setelah menghaturkan terima kasih. Siauw Yang dan Pun Hui lalu mencari nelayan yang banyak tinggal di tepi pantai, Dengan beberapa tail emas pemberian dari Pangeran Muda Ciong, Siauw Yang membeli sebuah perahu yang kecil namun yang diperlengkapi dengan dua buuh dayung yang kuat dan seperangkat layar yang msaih baru. Maka berangkatlah dua orang muda ini berlayar di sepanjang pantai, terus menuju ke selatan.
Perjalanan hanya ditunda kalau keduanya ingin makan dan beristirahat. Di waktu matahari amat teriknya, keduanya lalu mendayung perahu dan mendarat, mencari tempat yang teduh. Diam diam kesempatan seperti inilah Pun Hui tidak menyia nyiakan waktunya dan mulai mempelajari ilmu silat dari Siauw Yang. Sebaliknya gadis itu banyak mendengar sajak sajak indah dan mempelajari atau memperdalam pengetahuannya tentang kesusasteraan dan filsafat.
Sepasang orang muda ini diam diam makin terikat erat satu kepada yang lain. Sikap keduanya saling sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda saling mengasihi, namun hubungan mereka benar benar seperti seorang suheng terhadap sumoinya. Makin sukalah hati Siouw Yang ketika mendapat kenyataan bahwa memang pemuda sasterawan itu sopan sekali, tidak pernah berlaku atau bicara secara kurang ajar. Sebaliknya Pun Hui makin kagum kepada Siauw Yang yang merupakan seorang gadis pilihan, seorang gadis yang cerdik sekali, periang dan memiliki ilmu silat yang tinggi. Perjalanan melalui air lebih cepat dan tidak melelahkan. Kalau angin baik mereka tidak usah keluar tenaga, dan mengandalkan lancarnya perantauan itu kepada layar dan angin. Adapun di waktu angin diam, Siauw Yang merupakan seorang pendayung yang kuat dan agaknya tak kenal lelah.
Hubungan antara dua orang muda ini makin akrab, dan biarpun dari mulut mereka tak pernah terdengar kata kata yang menyatakan isi hati mereka, namun pandang mata yang mesra kadang kadang menyatakan seribu satu ucapan yang membawa suara hati masing masing.
Setelah keluar dan Laut Po Hai dan memasuki Laut Kuning, perahu bergerak maju cepat sekali. Berpekan pekan mereka tiba di Laut Tiongkok Timur. Kepulauan Couwsan sudah nampak berkelompok dan jauh.
“Sumoi, itulah pulau pulau yang menjadi tujuan kita,” kata Pun Hui sambil menunjuk ke arah pulau pulau kecil di sebelah timur. Mereka mendarat dan berteduh di bawah pohon pohon yang tumbuh di tepi pantai, karena hawa amat panasnya.
Siauw Yang memandang dengan hati tertarik. “Yang manakah Pulau Sam liong to, suheng?”
“Kita akan selidiki, tentu takkan jauh dari pulau kosong
yang dijadikan sarang bajak bajak laut. Akan tetapi, sumoi, bajak bajak laut itu ganas dan kejam sekali, bagaimana kalau kita nanti bertemu dengan mereka?”
Siauw Yang meraba pedangnya sambil tersenyum. “Apa kau takut?”
Pun Hui menggeleng kepala. “Takut sih tidak hanya aku merasa khawatir apakah kau akan dapat bertahan menghadapi keroyokan manusia buas itu.”
Siauw Yang menjadi merah mukanya. “Suheng, kau memang aneh sekali. Kalau andaikata aku tidak dapat bertahan, apa kau kira kau juga takkan tertimpa bencana? Kau hanya mengkhawatirkan aku, akan tetapi lupa kepada dirimu sendiri.”
Pun Hui menghela napas. “Mengapa aku harus memusingkan soal diriku, sumoi? Bagiku sendiri, aku tidak khawatir. Nasibku sudah cukup buruk, dan terserahlah apa yang akan menimpa diriku selanjutnya. Hanya bagimu….. akan sakit hatiku kalau melihat kau menderita.”
Makin merah muka Siauw Yang. “Sudahlah, kau memang terlalu baik. Mari kita berangkat, sudah cukup kita beristirahat.”
Mereka lalu menaikkan guci air yang mereka isi penuh dan darat, masuk ke dalam perahu dan segera perahu kecil itu bergerak menuju ke Kepulauan Couwsan. Karena Pun Hui memberi tahu bahwa laut antara pulau pulau itu terdapat banyak ikan buas, Siauw Yang tidak lupa untuk membawa batu batu kecil sebesar ibu jari kaki, yakni batu batu karang yang putih dan keras.
Baiknya angin tenang tenang saja sehingga perahu mereka meluncur cepat tanpa gangguan. Setelah perahu mendekati kelompok pulau, tiba tiba Siauw Yang menunjuk ke depan dan berkata tenang,
“Agaknya itulah ikan ikan hiu yang kaukatakan tadi, suheng,”
Pun Hui memandang dan biarpun ia seorang tabah, namun apa yang dilihatnya membuat ia merasa ngeri juga. Dari depan nampak barisan ikan yang membuat air laut bergelombang dan barisan ikan ini nampak kehitaman, kadang kadang timbul di permukaan air dan kelihatan mulut ikan yang mengerikan. Pernah ia melihat barisan ikan seperti ini, akan tetapi ia melihat dari sebuah kapal besar yang aman, tidak dari perahu kecil seperti yang mereka naiki sekarang ini, perahu yang besarnya mungkin kalah oleh seekor di antara ikan ikan itu!
“Tenang, suheng!” kata Siauw Yang dan gadis ini menggerakkan tangan kinnya berulang ulang ke arah barisan ikan itu. Terdengar air bergelombang dan di antara barisan ikan itu menjadi kacau. Ternyata bahwa beberapa butir batu yang disambalkan oleh Siauw Yang mengenai sasaran. Tiap butir yang mengenai kepala ikan, merupakan peluru peluru yang menembus tulang kepala dsn cukup membuat ikan itu bergulingan. Darah yang keluar dari luka menjadi sasaran ikan ikan lain dan ikan ikan yang luka segera dikeroyok, dijadikan mangsa.
“Sumoi, celaka, dari kanan itu “ kata Pun Hui.
Siauw Yang menengok, dan betul saja, dari sebelah kanan datang pula serombongan ikan dengan cepatnya.
“Biar kuberi bagian kepada mereka!” kata Siauw Yang dan dara perkasa ini segera membagi bagikan batu batunya dengan kedua tangan. Terjadilah hal yang sama seperti kelompok ikan di depan tadi. Beberapa ekor ikan yang terluka oleh “peluru” batu yang disambitkan oleh Siauw Yang, menjadi korban keroyokan kawan sendiri dan dijadikan mangsa.
Akan tetapi, tiba tiba Pun Hui berkata.
“Lihat, sumoi, beberapa ekor ikan menuju ke sini!” “Siauw Yang memandang dan benar saja. Beberapa ekor ikan hiu berenang cepat dan kanan kiri menyerang perahu, ia berpikir cepat. Kalau ia menyerang dengan batunya dan membuat ikan ikan itu terluka di dekat perahu, akan berbahayalah keadaan mereka. Tentu ikan ikan lain akan datang mengeroyok ikan ikan yang terluka dan kalau hal ini terjadi di dekat perehu, maka perahu mereka dapat terguling dan sekali mereka terlempar keluar perahu, tak dapat diragukan lagi tentu mereka akan menjadi mangsa ikan ikan liar ini.
“Suheng, kesinikan dayungmu dan kau berpeganglah kuat kuat pada pinggiran perahu!” seru Siauw Yang. Lalu dengan kedua dayung di tangan kanan kiri, gadis ini melompat ke atas dan tahu tahu ia telah menggunakan kedua kakinya untuk menunggang badan perahu seperti orang menunggang kuda, kemudian setelah ikan ikan itu datang dekat, ia menggunakan dua batang dayungnya menekan kepala ikan di kanan kiri.
Pun Hui hampir berseru kaget ketika tiba tiba perahu yang mereka tunggangi itu dapat terbang ke atas. Memang perahu itu telah terbang. Ketika Siauw Yang menekan kepala kepala ikan dengan sepasang dayungnya, gadis ini mengerahkan tenaga lweekang. Sambil meminjam kepala ikan ikan itu, gadis ini menekan tiba tiba dan tubuhnya dienjot ke atas. Perahu berikut Pun Hui terbawa oleh kempitan betisnya dan perahu ini meluncur ke atas permukaan air melewati kepala kepala ikan itu dan turun lagi di depan. Siauw Yang cepat mendayung perahunya dan melihat beberapa ekor ikan mengejarnya, ia lalu menyambit, membunuh empat ekor ikan yang segera menjadi mangsa yang lain. Namun dengan adanya halangan ini, perahu mereka dapat meluncur cepat ke arah kiri tanpa ada gangguan yang menghadangnya. Setelah jauh dari rombongan ikan itu, baru Pun Hui sempat bernapas lega.
“Sumoi, kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, aku takkan percaya. Kau hebat sekali, seakan akan main sulap saja yang kaulakukan tadi.”
Siauw Yang tersenyum. “Ayah sering kali berkata, bahwa segala sesuatu memang kelihatan aneh dan mentakjubkan bagi orang yang belum mengerti dan belum dapat. Kalau kau sudah mempelajari ilmu. tentu hal tadi kauanggap biasa saja, suheng. Yang diperlukan hanya ketabahan, kesigapan dan perhitungan yang tepat.”
“Akan tetapi, tenagamu tadi benar benar luar biasa. Siapa orangnya yang dapat melompat sambil menjepit perahu seperti itu? Hampir aku tidak percaya !”
“Bukan tenagaku yang besar sekali, melainkan berat badan ikan ikan tadilah. Tenaga mereka yang besar, suheng, karena tadi aku hanya meminjam tenaga mereka melalui tekanan dayungku.”
Sambil mendayung perahu, Siauw Yang memberi keterangan tentang penggunaan tenaga lweekang dan tentang cara meminjam tenaga.
“Demikianlah siasat siasat dalam penggunaan tenaga bagi seorang ahli silat tinggi, suheng. Tak perlu kita menghabiskan tenaga sendiri, karena lawan merupakan sumber tenaga yang kita pinjam dan kita pergunakan untuk mengalahkannya.”
Pun Hui memang belum pernah melihat Pulau Sam liong to, hanya dapat menduga bahwa pulau tempat tinggal nona Siang Cu tentu berada di dekat pulau yang dijadikan sarang para bajak laut. Melihat deretan pulau pulau itu, Siauw Yang tertarik kepada sebuah pulau kecil yang nampak dari jauh seperti bukit kecil kehijauan. Ia lalu mendayung perahu mendekati pulau itu. Bukan main girangnya ketika ia melihat pulau itu ditumbuhi pohon pohon yang mengandung buah buah yang enak dimakan di antara daun daun pohon yang segar kehijauan.
“Kita mendarat di sini saja!” kata Siauw Yang sambil mendayung perahu ke pinggir. Akan tetapi tiba tiba pun Hui berseru, “Celaka, sumoi. Itu mereka datang!”
“Siapa?”
“Bajak bajak laut itu!”
Siauw Yang menengok dan benar saja, dari jauh nampak layar layar hitam mengambang. Beberapa buah perahu dengan cepat sekali meluncur ke arah mereka.
“Bagus sekali baiknya kita bertemu dengan mereka di sini. Lebih leluasa bagiku untuk menghadapi mereka di darat,” kata Siauw Yang. Gadis ini cepat menarik perahu mereka ke darat, kemudian berkata kepada pemuda itu untuk duduk saja di dekat perahu.
Rombongaa perahu bajak mendekat dan segera kelihatan para bajak yang bertubuh pendek pendek itu melompat turun sambil berteriak teriak dan mengacungkan golok dan pedang. Semua ada duapuluh orang dan mereka ini berlompatan mendekat dengan sikap mengancam.
Namun orang orang kate ini tidak menarik perhatian Siauw Yang. Sebaliknya, ia memandang tajam kepada dua orang yang turun paling akhir dari perahu, akan terapi yang cepat mendahului semua bajak dengan jalan mereka yang amat cepat. Melihat cara mereka berjalan, tahulah Siauw Yang bahwa dua orang ini memiliki kepandaian tinggi sekali. Dan orang laki laki ini adalah seorang tua bertubuh tinggi yang membawa tongkat kepala raga dan seorang
pemuda berusia duapuluhan yang amat tampan dan gagah, juga bertubuh tinggi. Mereka berdua memakai pakaian yang mewah dan sikap mereka angker sekali.
“Nona Siang Cu, kau pulang dari manakah?” dari jauh orang muda itu berseru dan mendengar suara yang dikirim dari jauh ini, Siauw Yang makin heran. Tak salah lagi, benar benar seorang lawan yang berat.
“Itulah Tung hai Sian jin dan puterenya sumoi,” kata Pun Hui perlahan dengan suara penuh kekhawatiran. “Mereka itu lihai sekali. Kau berhati hatilah!”
Siauw Yang berdebar, ia pernah mendengar nama Tung hai Sian jin dari ayahnya dan tahu bahwa kakek itu lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut dan dengan cepat mencabut pedang dan berdiri dengan tenang, menanti kedatangan mereka.
Sebentar saja Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat sudah tiba di hadapannya, sedangkan para anak buah bajak laut masih berlari lari mendatangi.
Ketika melihat bahwa nona cantik yang berdiri dengan pedang di tangan ini sama sekali bukan Ong Siang Cu seperti yang tadi disangkanya, Eng Kiat memandang dengan terheran heran. Apalagi ketika ia mengenal Siauw Yang sebagai puteri Thian te Kiam ong yang pernah dilamar dan dirindukannya, ia berdiri seperti paiurg.
“Kau…? Kau…?” katanya gagap.
Sebaliknya Siauw Yang lalu tersenyum dan berkata kepada kakek itu “Tung hai Sian in, sungguh tak tersangka sama sekali kita saling bertemu di tempat ini.”
Seperti juga puteranya, Tung hai Sian jin bengong dan terheran heran. Teringat olehnya betapa dahulu, dua tahun yang lalu, puteranya tergila gila kepada gadis ini di Tit le, akan tetapi lamarannya ditolak oleh Thian te Kiam ong sehingga ia dan puteranya bertempur melawan Raja Pedang itu dan puterinya ini. Dan ia menderita kekalahan. Sekarang gadis ini berada di sini, tentu saja timbul marahnya dan sakit hatinya.
“Bagus! Puteri Thian te Kiam ong sengaja datang di sini, memudahkan aku untuk membalas dendam,” kata Tung hai Sian jin sambil menggerakkan tongkatnya.
“Ayah, jangan lukai dia, aku masih cinta kepadanya,” kata Eng Kiat.
Mendengar seruan puteranya ini Tung hai Sian jin tertawa.
“Anak manja! Sudah berobah lagi hatimu? Bukankah kau suka kepada murid Lam hai Lo mo dan ingin mengambil dia menjadi isitrimu?”
“Tidak, ayah. Aku lebih suka kepada nona ini. Kalau tidak bisa mendapatkan nona ini sebagai isteri, baru aku mau mengambil Siang Cu.”
“Jadi, kau suka kepada keduanya?” “Kalau keduanya mau, lebih baik ayah.”
Tung hai Sian jin tertawa bergelak. Akan tetapi Siauw Yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Bangsat rendah bermulut kotor,” makinya dan sinar kuning emas melayang menuju ke tenggorokan Eng Kiat.
Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis ini dan dahulu di Tit le iapun hampir saja tewas di ujung pedang kalau saja gadis ini tidak dicegah oleh Tian te Kiam ong. Maka cepat ia mempergunakan siang kiamnya (sepasang pedangnya) untuk menangkis sambil melompat mundur. Dalam kemarahannya, Siauw Yang mendesak
terus, akan tetapi tiba tiba tongkat kepala naga di tangan Tung hai Sian jin bergerak menghadangnya sehingga gadis ini terpaksa melayani kakek yang sakti itu.
Tung hai Sian jin pernah menghadapi Thian te Kiam ong Song Bun Sam ayah gadis ini dan ia menderita kekalahan oleh ilmu pedang yang luar biasa dan raja pedang itu. Kini ia menghadapi puteri nya dan biarpun ilmu pedang yang dimainkan oleh Siauw Yang sama dengan ilmu pedang ayah nya dan hanya tingkatnya kalah sedikit namun tenaga dan pengalaman gadis ini jauh di bawah tingkat ayahnya. Oleh karena itu, pertempuran berjalan ramai sekali. Tung hai Sian jin dengan tongkatnya yang berat dan ilmu tongkatnya yang lihai sekali, mengamuk dan bernafsu sekali mengalahkan puteri musuhnya ini. Akan tetapi ilmu pedang dari Siauw Yang benar benar amat mengagumkan. Pedangnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan ke manapun juga tongkatnya menyambar, selalu dapat ditangkis oleh sinar pedang. Sebaliknya, biarpun dengan kelincahannya dan dengan ilmu pedangnya, Siauw Yang seakan akan berada di fihak yang mendekat, namun tiap kali pedangnya beradu dengan tongkat kakek itu, Siauw Yang merasa telapak tangannya tergetar, tanda bahwa tenaga kakek ini masih lebih besar daripada tenaganya sendiri.
Pertempuran ini berjalan seimbang dan sukarlah untuk diduga lebih dulu siapa yang akan menang. Berpuluh jurus telah berlalu dan bayangan Tung hai Sian jin dan Siauw Yang telah lenyap diselimuti gundukan sinar pedang dan sinar tongkat. Gulungan sinar pedang demikian ringannya seakan akan sepucuk api beterbangan, sebaliknya gerakan tongkat mendatangkan angin dan tenaga sehingga debu mengebul tinggi dan daun daun pohon terkena sambaran angin bergoyang goyang. Agaknya pertempuran ini akan berjalan lama sekali. Melihat ini, Eng Kiai menjadi khawatir, ia tahu bahwa kini tidak mungkin bagi ayahnya untuk mengalahkan gadis itu tanpa melukainya, maka ia segera menggerakkan sepasang pedangnya sambil berkata,
“Ayah, mari kita bersama menangkap gadis liar yang cantik ini. Jangan lukai dia, ayah!” Ia melompat dan mulai bergeraklah sepasang pedangnya membantu ayahnya. Ilmu pedang dan Eng Kiat juga sudah tinggi dan kepandaiannya tidak kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siauw Yang, hanya kekalahannya terletak pada ilmu pedang.
Melihat pemuda itu maju, Pun Hui menjadi marah, ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata keras,
“Sungguh tak tahu malu. Dua orang laki laki mengeroyok seorang gadis muda. Mana ada aturan seperti ini?”
Mendengar ini, Eng Kiat membentak keras dan berkata kepada anak buahnya, “Beri dia limapuluh kali cambukan biar dia menutup mulutnya!”
Seorang algojo bajak menyeringai dan maju Mengayun cambuknya ke arah Pun Hui yang segera jatuh.
“Jangan ganggu dia!” Siauw Yang menjerit sambil melompat hendak menyerang algojo itu, akan tetapi Tung hai Sian jin dan Eng Kiat mencegahnya turun tangan. Terpaksa gadis ini dengan marah sekali memutar pedangnya menghadap keroyokan ayah dan anak ini. Hatinya serasa disayat sayat ketika ia mendengar bunyi cambuk berkali kali menimpa tubuh Pun Hui. Biarpun tidak terdengar satu kalipun keluhan atau ratapan dari mulut Pun Hui, namun pemuda yang lemah itu mana kuat menghadapi hukuman cambuk sampai limapuluh kali? Ia telah menjadi pingsan dan selanjutnya tidak merasai lagi perihnya ujung cambuk memecah kulit.
Menghadapi Tung hai Sian jin seorang saja keadaannya sudah seimbang, apalagi sekarang Eng Kiat maju mengeroyok. Agaknya Siauw Yang masih akan dapat melakukan perlawanan mati matian dan nekad kalau saja ia tidak melihat keadaan Pun Hui yang membuat kedua kakinya gemetar saking kasihan dan terharunya. Ia mendengar betapa Pun Hui tadi memaki Eng Kiat dan hendak membelanya, dan sekarang pemuda yang lemah namun gagah perkasa itu dicambuki sampai pingsan tanpa mengaduh sedikitpun juga. Melihat betapa Pun Hui sudah telentang tak bergerak dengan muka pucat dan pakaian penuh darah, lemaslah Siauw Yang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tung hai Siang jin untuk mengirimkan tusukan dengan gagang tongkatnya yang tepat mengenai jalan darah di pangkal lengan gadis itu. Siauw Yang mengeluh, pedangnya terlepas dan pegangan lalu ia roboh lemas tak berdaya lagi.
Tung hai Sian jin menyuruh anak buahnya cepat cepat meninggalkan pulau itu dan ia tertawa berkelak ketika melihat puteranya dengan wajah girang memondong tubuh Siauw Yang dibawa ke perahu bajak. Sambil tertawa tawa kakek ini memungut pedang Kim kong kiam yang tadi terlepas dan tangan Siauw Yang, lalu mengikuti puteranya menuju ke perahu. Sebentar saja, perahu perahu bajak itu sudah berlayar pergi, meninggalkan Pulau Sam liong to yang kosong dan meninggalkan tubuh Pun Hui yang menggeletak di atas tanah dalam keadaan setengah mati.
Seorang pemuda yang gagah mendayung perahunya dengan cepat sekali. Ia memandang ke kanan kiri dengan heran. Banyak sekali ikan hiu di laut itu, yang mengherankan adalah beberapa ikan hiu yang mati dan mengambang di atas laut, menjadi keroyokan ikan ikan lain.
“Aneh,” pikirnya. “Ikan ikan ini tidak bisa mati begitu saja, agaknya ada orang telah turun tangan ketika dikeroyok oleh ikan ikan ini.”
Pemuda gagah ini bukaa lain adalah Song Tek Hong, putera dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini meninggalkan Tit le atas perintah ayah bundanya untuk menyusul adiknya, Siauw Yang. Ia merasa gemas dan mendongkol sekali kepada Siauw Yang, adiknya yang terkenal keras kepala itu. Gadis itu pergi tanpa meninggalkan jejak, hanya memberi tahu hendak pergi ke Sam liong to, ke mana ia harus mencari? Ayahnya menduga bahwa Siauw Yang tentu akan merantau dan sangat boleh jadi Siauw Yang pergi ke kota raja yang sudah lama ingin dilihatnya.
Tek Hong menyusul ke kota raja, akan tetapi tetap saja ia tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hatinya menjadi mendongkol akan tetapi tercampur rasa gelisah. Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada adiknya yang amat dikasihinya itu? Semenjak kecil Tek Hong amat sayang kepada Siauw Yang, dan sungguhpun berkali kali Siauw Yang amat nakal dan mengganggunya, namun ia tetap sabar dan mencinta.
“Bocah bengal, sekali aku bertemu denganmu, akan kujewer telingamu sampai merah!” Tek Hong mengomel panjang pendek sambil melanjutkan perjalanannya keluar dari kota raja. Ia melakukan perjalanan sambil berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, kalau kalau adiknya pernah lewat di situ. Oleh karena inilah maka biarpun Siauw Yang melakukan perjalanan lebih dulu, dara ini lebih cepat tiba di Sam liong to. Akhirnya Tek Hong tiba di pantai timur dan dengan sebuah perahu ia mencari Pulau Sam liong to di antara Kepulauan Couwsan. Ia telah memeriksa dan memnaca peta palsu yang dibawa oleh Coa Kiu, maka ia segera mencari Pulau Kura kura dan mencari pulau ke tujuh dari pulau ini.
Ketika melihat bangkai bangkai ikan yang terapung dan dijadikan mangsa oleh ikan ikan lain, pemuda yang cerdik ini telah dapat menduga bahwa tentu ikan ikan itu sebetulnya dibunuh oleh adiknya sendiri. Tidak tahu pula bahwa di saat ia mendayung perahu menuju ke Sam liong to, adiknya telah bertempur mati matian melawan keroyokan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat sehingga kemudian tertawan.
Ia sedang mengira ngira di mana letaknya Pulau Sam liong to, ketika tiba tiba ia melihat beberapa buah perahu layar hitam muncul dari pantai sebuah pulau yang penuh dengan pohon. Perahu perahu ini bergerak dengan cepat sekali. Tek Hong mendayung perahunya hendak mengejar, akan tetapi sebentar saja perahu perahu itu telah meninggalkannya sehingga pemuda itu membatalkan niatnya, sebaliknya lalu memutar perahu menuju ke pulau yang baru saja ditinggalkan oleh perahu perahu itu.
Tek Hong menaksir bahwa perahu perahu itu tentulah bukan perahu orang baik baik, dan tentu perahu perahu bajak laut karena cat dan layarnya hitam serta bentuknya tidak seperti perahu nelayan atau perahu pedagang.
Pemuda ini mendayung perahunya ke pantai pulau dan setelah menarik perahu ke darat, ia melihat tubuh seorang pemuda menggeletak di atas tanah seperti mayat. Pakaian pemuda ini robek semua, mukanya pucat dan badannya penuh darah.
“Terkutuk bajak bajak itu,” seru Tek Hong marah, “orang ini tentu telah menjadi korban mereka.” Segera ia menghampiri dan berlutut di dekat tubuh pemuda yang bukan lain adalah Pun Hui yang masih pingsan. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup, Tek Hong cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalan pakaiannya da n memberi minum sedikit arak. Pun Hui mengeluh dan siuman kembali. Dengan lega Tek Hong mendapat kenyataan, setelah memeriksa tubuh korban ini, bahwa tidak terdapat luka yang berat melainkan luka luka di kulit yang pecah pecah akibat cambukan yang kejam.
Pun Hui membuka matanya. Melihat seorang pemuda tampan dan gagah berlutut di dekatnya sambil memegang guci arak, ia segera bangun, tahu bahwa orang ini telah menolongnya.
“Saudara, kau siapakah dan mengapa kau rebah terluka di tempat ini?” tanya Tek Hong.
Pun Hui mengeluh. Tubuhnya terasa sakit sakit dan perih sekali. Kalau tadi ketika dicambuki ia tidak mau mengeluh, hanyalah karena selain ia tidak sudi memperlihatkan kelemahan di hadapan para bajak, juga ia tidak ingin membuat Siauw Yang menjadi gelisah. Kini karena di situ hanya ada pemuda yang asing baginya ini, ia mengeluh,
“Aduh… mereka bekerja kepalang tanggung. Mengapa tidak dihabiskan saja nyawaku?”
“Selama orang masih hidup, ia tidak boleh mengharapkan kematian,” kata Tek Hong, dan pemuda ini mengeluarkan seperangkat pakaian dari buntalannya. “Kaupakailah pakaian ini untuk mengganti pakaianmu yang robek robek!”
Pun Hui memandang dan ia merasa suka melihat wajah penolongnya yang gagah itu. “Heran sekali,” katanya, “di tempat seperti ini aku masih dapat bertemu dengan seorang manusia yang berbudi mulia. Saudara yang budiman, siauwte adalah Liem Pun Hui, seorang kutu buku yang lemah dan bodoh, yang membiarkan dirinya dicambuki bajak tanpa dapat membalas, lebih lebih lagi yang membiarkan sumoinya tertawan oleh bajak laut. Kasihan sumoi... Siauw Yang, bagaimana nasibmu…?” Ucapan ini dikeluarkan oleh Pun Hui dengan suara berduka sekali.
Terkejut hati Tek Hong mendengar pemuda ini menyebut nama adiknya. Akan tetapi ia pikir bahwa tentu yang dimaksudkan itu adalah seorang gadis lain, karena mana mungkin adiknya menjadi sumoi dari orang ini.
“Sumoi mu itu, mengapakah dia?” tanyanya.
“Aku mengantar sumoi ke pulau ini dan bertemu dengan bajak laut yang dipimpin oleh Tung hai Sian Jin dan puteranya. Dengan gagah perkasa sumoi melawan mereka dan aku….. aku yang lemah dan bodoh tak berdaya menolong, bahkan aku lalu dicambuki oleh bajak dan sumoi…. sumoi tentu tertawan oleh mereka karena sekarang aku tidak melihat dia dan para bajak itu.”