Pedang Sinar Emas Jilid 18

Jilid XVIII

“HA, lihai sekali murid Lam hai Lo mo. Sayang sekali suka mencampuri urusan lain orang,” berkata orang tinggi kurus dan bertongkat itu sambil melangkah maju.

“Kalau aku mencampuri urusan orang, kalian mau apakah?” Siang Cu membentak dengan sikap menantang. Setelah tadi ia berhasil memukul mundur pemuda yang 

lihai itu, semangatnya timbul kembali dan ia merasa cukup tangguh untuk menghadapi dua orang ini sungguhpun ia belum tahu sampai di masa kelihaiannya yang tua.

Kakek itu tertawa bergelak. “Hebat, hebat. Dari mana Lam hai Lo mo mendapatkan muridnya ini? Apakah dari neraka? Dia hidup kembali sudah aneh, sekarang mempunyai murid seperti ini, ah, hal ini jauh lebih aneh.”

Mendengar ini, Siang Cu merasa tak enak hati juga. Mendengar omongannya, agaknya orang tua ini sudah kenal baik dengan suhunya.

“Orang tua, kau siapakah?” tanya Siang Cu.

Orang tua itu tersenyum. “Nona, kalau betul kau murid Lam hai Lo mo, jangan kau mengira bahwa puteraku Eng Kiat ini tadi sudah kalah olehmu, ia hanya mengalah, bukan kalah.”

“Kalau masih penasaran, boleh maju lagi. Aku tidak takut,” Siang Cu memotong pembicaraan orang. Kakek itu tersenyum dingin.

“Tiada gunanya. Kalau dia menang, gurumu akan mengira bahwa kami berlaku curang. Hayo bawa kami menghadap suhumu, dia tentu girang bertemu dengan aku.”

“Tidak bisa, orang tua. Sebelum kau mengaku siapa adanya kau dan anakmu, dan sebelum aku menolong semua korban yang dirampok oleh kawan kawanmu, aku takkan pergi dari sini.”

Kakek itu menoleh kepada puteranya dan tertawa geli melihat puteranya memandang kepada Siang Cu dengan kekaguman yang tak disembunyikan lagi. 

“Sudah sepatutnya kau kagum dan suka kepadanya, Eng Kiat. Memang sukarlah menentukan seorang dara perkasa seperti ini apalagi di tempat ini.”

“Hebat, ayah. Bahkan lebih hebat daripada puteri Thian te Kiam ong,” kata pemuda itu terus terang sambil matanya terus mengincar gadis itu. Tadinya Siang Cu akan marah sekali mendengar percakapan mereka, akan tetapi setelah mendengar disebutnya puteri Thian te Kiam ong, hatinya tertarik sekali dan ia diam saja, tidak jadi marah.

“Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Tung hai Sian jin (Dewa Laut Timur) dan ini adalah puteraku, Bong Eng Kiat. Jangan kau khawatir tentang para korban, sekarang juga akan kuperintahkan kepada mereka untuk mengantarkan para korban kembali ke pantai Tiongkok,” Kakek itu lalu bicara dalam bahasa asing kepada para bajak, memerintahkan mereka mengantar semua korban dengan perahu bajak kembali ke daratan Tiongkok.

Ketika lima orang wanita itu dan si sasterawan muda hendak berangkat, sasterawan itu menghampiri Siang Cu dan berkata hormat.

“Siocia, aku Liem Pun Hui selama hidup takkan melupakan budi dan kegagahanmu yang luar biasa. Sudilah kiranya memberi tahu nama siocia apabila tidak menganggap itu terlalu kurang ajar bagiku.”

“Aku bernama Ong Siang Cu, dan tentang budi dan pertolongan, harap kau suka melupakannya saja.” jawab gadis itu dan wajahnya menjadi agak merah karena jengah, ia sendiri merasa heran mengapa pujian pemuda pesolek yang bernama Bong Eng Kiat itu memanaskan telinganya dan membuatnya marah, akan tetapi sebaliknya pujian pemuda sasterawan yang sederhana ini membuatnya senang dan malu. Setelah para korban diantar ke dalam perahu, kakek itu lalu mengajak Siang Cu.

“Marilah nona kita kembali ke tempat suhumu.”

Siang Cu tidak suka berdekatan dengan dua orang ini, akan tetapi diam diam iapun merasa ingin tahu sekali akan keadaan dua orang yang ternyata memiliki ilmu tinggi ini. Pula yang menarik hatinya adalah disebutnya puteri Thian te Kiam ong tadi, maka iapun ingin membawa mereka ke suhunya untuk mendengar penjelasan terlebih jauh.

Siang Cu membawa mereka ke perahunya dan dengan bantuan Eng Kiat yang biarpun matanya amat kurang ajar namun mulurnya diam saja, meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke Pulau Sam liong to. Sudah lama aku tahu bahwa di atas pulau itu tinggal suhumu, nona. Siapa lagi kalau bukan Lam hai Lo mo yang bisa tinggal di tempat seperti itu? Akan tetapi aku merasa sungkan untuk datang menengok ke sana, karena aku tahu akan keanehan watak suhumu itu. Sekarang kebetulan sekali ada kau yang menjadi orang perantara, kebetulan sekali!”

Siang Cu tidak menjawab, hanya termenung membayangkan bagaimana sikap suhunya kalau melihat ia membawa datang dua orang tamu. Ia tidak takut suhunya akan marah kepadanya karena ia cukup maklum betapa besar rasa sayang suhunya kepadanya. Akan tetapi suhunya memiliki watak yang aneh dan kadang kadang seperti orang gila, dan dua orang ini selain aneh dan mencurigakan, juga memiliki kepandaian amat tinggi. Ia merasa seakan akan bakal terjadi hal yang hebat adalah mata pemuda pesolek itu, karena tiada hentinya mata itu memandang kepadanya dengan penuh gairah, ia merasa seakan akan mata Eng Kiat memandang sampai menembusi pakaiannya dan mata itu menjalari seluruh tubuhnya dari kepala sampai ke kaki. Menghadapi pandangan mata ini. Siang Cu sebentar menjadi merah dan sebentar pucat mukanya.

Setelah tiba di dekat pantai Pulau Sam liong to, ia tidak tahan lagi dan mendamprat marah

“Manusia kotor! Tahan matamu yang liar dan menyebalkan!”

Tung hai Sian jin tertawa bergelak, demikian pula Eng Kiat yang segera menjawab dengan jenaka.

“Nona manis yang galak, apaku sih yang membuat kau memaki kotor? Lihat pakaian dan kulitku begini bersih! Adapun tentang mataku, apakah dayaku, nona? Kau terlalu cantik bagaikan kembang, mataku hanya seperti kumbang,”

“Tutup mulutmu kalau tidak akan kugulingkan perahu ini!” Siang Cu kembali membentak sambil mengancam untuk menggulingkan perahu. Sebagai seorang gadis yang semenjak kecil hidup di atas pulau kecil, apalagi sebagai murid dari Lam hai Lo mo yang ahli dalam gerakan di air, Siang Cu pandai sekali berenang dan amat kuat bertahan di dalam air.

Namun Eng Kiat tetap tersenyum senyum saja, bahkan dengan mata nakal ia berkata,

“Asal bersama kau, jangankan terguling di laut, biarpun terguling di neraka sekalipun, aku rela, nona!”

Tak tahan pula kemarahan hati Siang Cu. Dengan tangannya ia menekan pinggir perahu sambil mengerahkan tenaga dan tergulinglah perahu itu, terus terbalik membawa ketiga penumpangnya.

Siang Cu girang sekali dan mengharap akan dapat memberi hajaran kepada Eng Kiat dan kakek yang mendiamkan saja puteranya berlaku kurang ajar itu. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia timbul ke permukaan air, ia melihat kakek itu sudah duduk enak enak di atas perahu yang terbalik, pakaiannya sama sekali tidak basah. Hanya mulutnya saja yang berkali kali memaki,

“Anak setan, kau nakal sekali. Patut menjadi murid Iblis Tua Laut Selatan!”

Tiba tiba Siang Cu mendengar suara ketawa dan melihat Eng Kiat timbul di permukaan air pula di sebelah belakang. Ternyata pemuda itupun pandai sekali berenang dan agaknya tanpa menggerakkan tangan kaki, pemuda itu tidak tenggelam dan memandangnya dengan mata penuh cinta kasih!

“Nona, biarpun basah kuyup, kau makin manis saja!” Bukan main marahnya Siang Cu. Ia tidak hanya marah,

akan tetapi juga malu dan kecewa. Tanpa banyak cakap ia lalu berenang ke pinggir, karena memang tepi pulau sudah dekat. Setelah mendarat ia cepat berlari menuju ke pondok suhunya, meninggalkan dua orang itu. Tentu saja Siang Cu tidak tahu bahwa dalam hal kepandaian di air, Eng Kiat tidak kalah olehnya. Dia adalah putera dari kakek yang berjuluk Dewa Laut Timur, tentu saja ia pandai ilmu di dalam air.

Sesungguhnya di daratan Tiongkok, nama Tung hai Sian jin tidak begitu dikenal orang. Bahkan orang orang kang ouw yang mengenal nama ini hanyalah tokoh tokoh besar seperti Lam hai Lo mo, Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun. dan lain lain. Hal ini adalah karena semenjak mudanya, Tung hai Sian jin telah meninggalkan daratan Tiongkok dan merantau ke lain negeri, ia menikah dengan puteri di Jepang dan setelah mempunyai seorang putera dan isterinya yang tercinta itu meninggal, ia menjadi begitu sedih sehingga pikirannya seperti terpengaruh hebat dan menjadi luar biasa dan kadang kadang amat jahat. Dengan membawa puteranya yang masih kecil, Tung hai Sian jin meninggalkan negeri isterinya dan merantaulah ia bersama puteranya itu sampai di tempat tempat yang jauh. Ilmu kepandaiannya yang amat tinggi ia turunkan kepada putera tunggalnya yang diberi nama Bong Eng Kiat. Ia sendiri dahulu bernama Bong Liang, akan tetapi nama ini sudah lama tidak pernah dipakai dan orang hanya mengenalnya sebagai Tung hai Sian jin atau Dewa Laut Timur.

Karena hanya mendapat pendidikan dari ayahnya yang berwatak ganjil dan tidak normal, apalagi selalu dibawa merantau tak tentu tempat tinggalnya, jiwa Eng Kiat tumbuh dengan watak yang aneh dan ganjil pula. Satu sifat amat menyolok pada diri anak muda ini adalah sifat gila wanita! Dan celakanya, ayahnya tak pernah menegur sifat ini, bahkan hanya mentertawakan dan menganggap hal ini lucu dan menyenangkan!

Kadang kadang Tung hai Sian jin membawa puteranya mendarat di Tiongkok dan merantau sampai jauh. Namun karena mereka jarang sekali melakukan hal yang menggemparkan dan jarang pula mengganggu orang kang ouw, maka nama Tung hai Sian jin tetap terasing dan tak terkenal. Kemudian secara kebetulan sekali, ketika berlayar di dekat Kepulauan Seribu, Tung hai Sian jin dan puteranya diganggu oleh bajak bajak yang merajalela di sekitar tempat itu. Tentu saja para bajak yang kasar ini bukan lawan Tung hai Sian jin. Mereka ditundukkan bahkau mengangkat Tung hai Sian jin dan puteranya sebagai raja besar atau guru besar, dan memberikan sebuah pulau kecil yang indah, lengkap dengan rumah dan segala macam alat keperluan yang serba mahal dan indah. Mereka berjanji akan melayani segala keperluan dua orang ini asalkan Tung hai Sian jin dan puteranya tidak mengganggu pekerjaan mereka sebagai bajak laut.

Demikianlah, Tung Hai Sian jin dan Bong Eng Kiat hidup dengan mewah dan serba cukup, dan penghidupan yang enak ini membuat mereka malas. Pakaian mereka kini bagus bagus dan terutama sekali Eng Kiat dihinggapi penyakit pesolek! Ketika mendengar tentang bajak yang dihajar oleh kakek buntung di Pulau Sam liong to, Tung hai Sian jin mendengarkan penuturan mereka dengan penuh perhatian, ia mengenal tokoh tokoh besar di dunia kang ouw di daratan Tiongkok dan menurut penuturan para bajak, agaknya hanya Lam hai Lo mo yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu. Adapun tentang keadaan badan Lam hai Lo mo yang sudah rusak itu, iapun dapat menduga, karena Lam hai Lo mo sudah dikhabarkan mati, kalau sekarang hidup kembali, tentu saja tubuhnya sudah berobah.

Biarpun ia menduga bahwa kakek buntung yang tinggal di Pulau Tiga Naga itu Lam hai Lo mo, namun ia tidak mau mengganggu dan merasa malas untuk mencoba membuktikan sendiri. Hidup di pulau dan dilayani oleh para bajak benar benar membuat ia malas sekali. Tung hai Sian jin memang sudah merasa kapok untuk berurusan dengan tokoh tokoh besar dunia kang ouw, yakni semenjak dua tahun yang lalu ia bertemu dengan Thian te Kiam ong dan hampir saja mendapat malu besar. Hal ini akan dituturkan di lain bagian, dan sekarang baiklah kita melanjutkan perjalanan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat yang ditinggalkan oleh Siang Cu.

Melihat Siang Cu si nona baju merah yang cantik jelita itu melarikan diri naik ke bukit di atas pulau, Eng Kiat hendak mengejar sambil tertawa tawa girang. Akan tetapi ayahnya mencegahnya, “Jangan, Eng Kiat Tak boleh main gila dan sembrono di pulau ini! Kita harus menanti sampai kakek buntung itu muncul, baru kita akan mengambil tindakan kalau perlu. Main sembrono saja di tempat ini hanya akan mendatangkan bencana belaka.”

Eng Kiat biarpun amat dimanja semenjak kecil, namun ia paling takut kepada ayahnya, karena kalau ayahnya ini sudah marah, bukan main ganasnya. Pernah dahulu ketika ia masih kecil, ia dilempar ke dalam laut dan baru diangkat kembali oleh ayahnya setelah pingsan dan hampir tenggelam.

Sementara itu, Siang Cu berlari cepat ke bukit melihat gurunya duduk di depan pondok sambil bernyanyi nyanyi dan mengetuk ngetukkan tongkat bambunya di atas tanah.

“Ketika terlahir, manusia lunak dan lemah, Di waktu mati, ia keras dan kaku.

Benda benda yang hidup lunak dan halus, Pabila mati berobah kasar dan kering Demikianlah,

kekerasan dan kekasaran sahabat kematian kelemahan dan kehalusan sahabat kehidupan, Aku bercacad, tubuhku lemah.

Biarlah! Mereka yang kuat pasti akan binasa olehku!

Sudah sering kali Siang Cu mendengar nyanyian ini. Sejak pertama ia kenal sebagai pelajaran dalam To tek kheng atau kiab pelajaran tentang To dari Pujangga Lo cu, akan tetapi lanjutannya adalah buatan suhunya sendiri. Gadis yang cerdik ini tentu saja mengerti bahwa nyanyian itu timbul dari rasa dendam kepada musuh musuh besar yang membuat suhunya menjadi bercacad seperti itu. Ia merasa kasihan sekali dan kalau suhunya bernyanyi seperti itu, ia tidak berani mengganggunya.

Setelah berhenti bernyanyi, Lam hai Lo mo mengangkat kepalanya dan ia terheran melihat Siang Cu berdiri dengan rambut basah dan pakaian juga basah.

“Eh, Siang Cu, apakah kau mandi di laut?”

“Tidak, suhu. Teecu baru saja menghajar para bajak laut yang telah membajak dan membakar sebuah perahu. Kemudian teecu bertemu dengan dua orang yang kini ikut dengan teecu di dalam perahu. Kata mereka hendak bertemu dengan suhu.”

Berkerut kening kakek ini. Ia selalu merasa curiga kepada orang lain dan kembali ia bertanya dengan pandang mata tajam penuh selidik, “Mengapa pakaian mu basah?”

Siang Cu lalu duduk di depan suhunya, memeras meras rambutnya yang basah.

“Karena perahunya teecu gulingkan.”

“He? Perahu kaugulingkan? Dan orang orang itu?

Siang Cu lalu menuturkan sejelasnya perihal Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, tidak menyembunyikan sesuatu, bahkan ia mengatakan kepada gurunya betapa mata Eng Kiat amat kurang ajar dan bahwa dia tidak suka kepada pemuda itu.

Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu mengangguk angguk. “Aku kenal dia …. aku kenal dia….. Dia bisa tahu aku

berada di pulau ini, sungguh cerdik.” Setelah berkata demikian, Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu lalu berdiri di atas sebelah kakinya, dibantu oleh tongkatnya. Kemudian ia mengerahkan khikangnya dan berseru ke arah pantai “Tung hai Sian jin, kau dan anakmu pergilah! Aku si kaki buntung tidak bisa menyambut!”

Suara Lam hai Lo mo biarpun tidak diucapkan keras, namun berkat tenaga khikang, suara ini terkumpul dan dapat dikirim gema suaranya ke pantai sehingga terdengar dengan baik oleh orang yang berada di pantai. Ilmu seperti ini disebut Coan im jip bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang tentu saja dapat dilakukan oleh ahli ahli silat tinggi, hanya sempurna atau tidaknya tergantung tinggi rendahnya tenaga khikang masing niasing.

Tak lama kemudian, dari arah tepi laut, terdengar suara orang menjawab, suara ini panjang dan kecil, akan tetapi jelas sekali, tanda bahwa orangnya telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

“Lam hai Lo mo. Orang orangmu telah datang menyambut, bagaimana kau bisa bilang tidak menyambut?”

Mendengar ini, Lam hai Lo mo terheran, akan tetapi Siang Cu berkata cepat,

“Teecu Ouw bin cu dan Siauw giam ong.” Setelah berkata demikian, Siang Cu lalu berlari menuju ke pantai. Biarpun Lam hai Lo mo hanya berkaki satu, namun ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia telah bergerak cepat sekali dan dapat menyusul Siang Cu. Keduanya lalu berlari seperti terbang ke arah pantai di mana tadi Siang Cu meninggalkan dua orang tamu yang tak diundang itu.

Memang tepat dugaan Siang Cu. Ketika Tung hai Sian jin dan puteranya mendarat di Pulau Sam liong to sambil membawa perahu Siang Cu ke darat, mereka disambut oleh dua orang tosu yang bukan lain adalah Ouw bin cu dan Siauw giam ong. Dua orang tosu ini ketika melihat seorang kakek dan seorang pemuda datang sambil tertawa tawa, tentu saja menjadi terkejut sekali. Mereka telah mendapat perintah dan Lam hai Lo mo bahwa siapapun juga tidak boleh mendarat di Pulau sam long to.

Ouw bin cu yang berwatak keras segera hendak turun tangan, akan tetapi Siauw giam ong mencegahnya karena melihat bahwa yang datang adalah seorang tosu juga bersama seorang pemuda.

“Sahabat, harap kau suka cepat cepat tinggalkan pulau ini, karena tak boleh seorangpun mendarat di sini,” kata Siauw giam ong.

Ucapan ini diterima oleh Tung hai Sian jin dengan tersenyum senyum saja, lalu tanyanya,

“Apakah kalian ini orang orang Lam hai Lo mo?” “Benar sekali dugaanmu, toheng. Maka lebih baik kalian

lekas pergi sebelum terjadi sesuatu yang amat tdak baik bagimu dan pemuda ini.”

Kalau Tung hai Sian jin masih bersabar dan Suka melayani dua orang tosu yang menyambutnya itu, adalah Eng Kiat yang sudah tak sabar lagi. Ia melangkah maju dan membentak.

“Jangan banyak cerewet! Kami datang bersama murid Lam hai Lo mo dan lebih baik kalian cepat melaporkan kedatangan kami kepada kakek buntung itu.”

“Eh, kau bocah ini ternyata lancang mulut dan kurang ajar!” kara Ouw bin cu dan ia mengulur tangannya hendak mendorong pergi Eng Kiat.

Namun, bukan pemuda itu yang terdorong pergi, bahkan secepat kilat Eng Kiat menggerakkan tangannya dan sebelum Ouw bin cu sempat mengelak pundaknya telah kena ditotok dan seketika itu juga tubuh Ouw bin cu menjadi kaku dan berdiri seperti patung! Bukan main kagetnya Siauw giam ong ketika melihat hal ini. Apakah pemuda itu menggunakan ilmu sihir? Ia tahu bahwa kawannya itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dan memiliki latihan yang matang, akan tetapi mengapa berhadapan dengan pemuda ini, segebrakkan saja sudah tertotok? Benar benar ia tidak mengerti. Seakan akan Ouw bin cu berobah menjadi seorang anak kecil yang tidak tahu akan ilmu sialt sama sekali ketika berhadapan dengan pemuda ini. Karena penasaran, ia lalu melompat maju.

“Orang muda, kau benar benar hebat, akan tetapi kau telah berani turun tangan terhadap suhengku. Awas pukulan!”

Siauw giam ong mengeluarkan ilmu silat Go bi pai yang tinggi. Dengan jari tangan ditekuk setengahnya ia memainkan ilmu pukulan Hun kai ciang (llmu Pukulan Memecah dan Membuka), ia mengerahkan kepandaian dan menggunakan semua tenaganya. Namun, ia kecele. Seperti juga Ouw bin cu, ketika ia menyerang, pemuda itu sambil tersenyum menggerakkan tangan kiri menangkis dan aneh sekali. Tangan Siauw giam ong yang menempel pada lengan pemuda pesolek ini seakan akan terpegang erat erat dan tak dapat dilepaskan lagi dan tahu tahu tangan pemuda itu memasuki lambungnya dan tanpa dapat bersuara lagi Siauw giam ong juga menjadi kaku tubuhnya.

Demikianlah ketika Lam hai Lo mo dan Siang Cu tiba di tempat itu, mendaratkan dua orang pembantu atau pelayan itu berdiri kaku seperti patung.

“Orang orangmu lucu dan kurang dapat menghormat tamu, Lam hai Lo mo!” kata Tung hai Sian jin sambil menjura kepadi Lam hai Lo Mo. 

Si kakek buntung lunya menggerakkan tangan sebagai pembalasan hormat, kemudian berkata dengan suara yang parau,

“Mereka ini setia akan tetapi tolol” Dengan tongkatnya ia menotok punggung Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang segera terbebas dari totokan.

“Pergilah, dan sediakan hidangan bagi tamu tamu kita,” kata Lam hai Lo mo kepada dua orang tosu ini yang segera pergi tanpa berani berkata sesuatu. Di arts Pulau Sam liong to ini, Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang di daratan Tiongkok amat ditakuti orang, kini ternyata tak berdaya sesuatu dan merasa dirinya amat bodoh dan berkepandaian amat rendah.

Sementara itu dua orang kakek yang sakti ini saling berhadapan dan untuk beberapa lama tidak mengeluarkan kata kata. Hanya sinar mata mereka saja saling menatap seakan akan sedang bertempur atau sedang menyelidiki isi hati masing masing. Kemudian Tung hai Sian jin mendahului berkata.

“Lam hai Lo mo, agaknya kau mempunyai nyawa cadangan! Kalau tidak demikian halnya, bagaimana aku hari ini bisa bertemu dengan kau yang sudah dikhabarkan tewas di sungai Hoang ho? Atau barangkali pukulan Thian te Kiam ong kurang keras dan tendangan Mo bin Sin kun kurang kuat? Haa, ha, ha!”

“Tung hai Sian jin, sebelum aku melayanimu sebagai tuan rumah, lebih dulu katakan apakah kau berfihak kepada Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun dan Thian te Kiam ong? Ketahuilah bahwa aku menganggap musuh semua kawan kawan Thian te Kiam ong, dan menganggap saudara kepada semua musuh musuhnya. Nah, kaujawablah sebelum percakapan kita dilanjutkan.” “Kalau aku bersahabat dengan Thian te Kiam ong, apa kau kira aku sudi datang ke sini? Thian te Kiam ong terhitung musuhku karena ia telah berani menghinaku,” jawab Tung hai Siao jin dan teringat akan pengalamannya dengan Thian te Kiam ong, merahlah mukanya saking marahnya.

“Bagus!” kata Lam hai Lo mo, “kalau begitu kau termasuk sahabat baikku. Akan tetapi, mengapa kau bermusuhan dengan Thian te Kiam ong?”

“Aku dan puteraku datang ke Tit le dan kebetulan sekali puteraku melihat anak perempuan Thian te Kiam ong. Ia merasa suka sekali dan kami mengajukan lamaran. Akan tetapi apa jawaban Than te Kiam ong? Ia mengeluarkan kata kata menghina, mencela puteraku sehingga akhirnya aku bertempur dengan dia dan puteraku bertempur dengan puterinya,”

“Lalu bagaimana? Menangkah? Atau kalah? Bagaimana kepandaiannya?” tanya Lam hai Lo mo penuh gairah.

“Ah, kepandaiannya sih tidak seberapa hebat,” Tung hai Sian jin membohong, “hanya kami sengaja mengalah.”

Siang cu menutup mulutnya agar tidak ke lihatan ketawa.

“Bocah setan, mengapa kau tertawa?” Tung hai Sian jin membentak dara itu.

“Orang tua, selama hidupku belum pernah aku mendengar orang bertempur lalu mengalah. Kalau kalah itu berarti memang kepandaiannya kurang tinggi, kalau tidak demikian, mengapa mengalah?”

“Siang Cu, jangan memutuskan penuturan Tung hai Sian jin. Sahabat, kau teruskanlah, dan terangkan mengapa mengalah.” “Kami datang ke sana sebagai pelamar. Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu orang orang kang ouw mengira kami sengaja memaksa orang untuk dijadikan isteri. Hal itu tentu memalukan sekali dan merendahkan nama kami. Oleh karena itu kami sengaja tidak mau melanjutkan pertempuran dan pergi meninggalkan mereka,”

“Aku juga tidak jadi suka kepada puteri Thian te Kiam ong,” kata Eng Kiai bersungut sungut. “Gadis itu terlalu galak, kakaknya terlalu sombong, dan ayahnya terlalu jahat! Di dunia masih banyak terdapat gadis gadis cantik dan gagah perkasa, di antaranya terutama sekali yang tinggal di Pulau Sam liong to. Ha. ha, ha!”

“Apakah ini juga lamaran?” Lam hai Lo mo bertanya dan sinar matanya berkilat.

Melihat ini, Tung hai Sian jin merasa tidak enak, cepat ia mencela puteranya, “Eng Kiat, jangan sembrono. Lam hai Lo mo, puteraku memang suka berkelakar, maafkan dia. Tentu saja kau katanya tadi bukan bermaksud meminang muridmu, akan tetapi alangkah baiknya kalau hubungan kita ini diikat oleh perjodohan orang orang muda.”

“Oh, siapa sudi menerima?” kata Siang Cu yang cepat membalikkan tubuh dan berlari pergi dan situ, kembali ke pondok.

Adapun Lam hai Lo mo yang melihat sikap muridnya itu, berkata kepada tamu tamunya, “Muridku masih muda dan paling benci kalau orang membicarakan tentang perjodohan. Pula, aku tidak hendak bicarakan perjodohan sebelum musuh musuh besarku terbasmi habis. Tung hai Sian jin, kau mengaku sahabatku, apakah kau dapat memberi keterangan tentang Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, dan Thian te Kiam ong?” “Tentu saja dapat, belum lama aku kembali dari pedalaman Tiongkok “

“Kalau begitu, silahkan datang ke pondokku. Kita bercakap cakap sambil menghadapi hidangan sekedarnya.”

Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat lalu mengikuti Lam hai Lo mo menuju ke pondok, di mana telah menanti Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang sudah menyiapkan hidangan. Sambil makan minum, mereka bercakap cakap. Dan penuturan Tung hai Sian jin. Lam hai Lo mo mendengar berita bahwa Mo bin Sin kun telah lama tidak muncul dan wanita sakti itu entah menyembunyikan atau mengasingkan diri di mana. Adapun Kim Kong Taisu atau juga disebut Kim Kong Sian jin telah meninggal dunia karena memang sudah tua sekali.

“Thian te Kiam ong Song Bun Sam tinggal di Tit le, bersama isteri dan dua orang anaknya. Ia telah menurunkan semua kepandaiannya kepada putera dan puterinya karena itu mereka sekeluarga merupakan lawan yang tangguh, Tung hai Sin jin berkata terus terang.

Selanjutnya Tung hai Sian jin menuturkan tentang perkembangan di daratan Tiongkok, tentang tokoh tokoh kang ouw yang baru muncul dan tentang pembentukan partai partai persilatan baru. Eng Kiat jemu mendengar percakapan ini maka ia berpamitan untuk melihat lihat keadaan Pulau Sam liong to, lalu keluar dari pondokan itu. Sebetulnya, pemuda ini ingin sekali bertemu dengan Siang Cu, karena semenjak tadi gadis itu tidak muncul lagi. Ia melihat Ouw bin cu dan Siauw giam ong bercakap cakap perlahan di sebelah luar pondok dan kedua orang tosu ini menghentikan percakapan mereka ketika melihat pemuda ini. Akan tetapi, Eng Kiat tidak memperdulikan mereka, bahkan pura pura tidak melihat mereka, lalu melanjutkan perjalanan mencari Siang Cu. 

Eng Kiat mendapatkan Siang Cu tengah duduk di pinggir pantai, memancing ikan di tempat yang dalam dari batu karang yang curam.

Melihat pemuda itu sambil tersenyum senyum datang menghampirinya lalu duduk tak jauh di sebelah kirinya, gadis itu berkata merengut, “Mau apa kau datang ke sini? Bukankah kau dan ayahmu datang untuk bertemu dengan suhu?”

“Suhumu sudah ada ayah yang mengajaknya mengobrol. Kau seorang diri saja, maka aku datang untuk bercakap cakap. Biar yang tua sama tua yang muda sama muda, bukankah itu sudah cocok sekali?”

“Adik yang baik. Dari suhumu aku mendengar bahwa namamu Ong Siang Cu, sungguh indah nama itu, cocok dengan orangnya. Akan tetapi harap kau tidak terlalu galak. Aku datang sebagai sahabat baik.”

“Cih, siapa sudi mempunyai sahabat baik dan siapa ingin bercakap cakap denganmu? Pergilah dan jangan mengganggu aku!”

Akan tetapi Eng Kiat hanya tertawa tawa saja dan tidak berkisar dari tempat duduknya. Sebaliknya ia lalu membaca ujar ujar dari Nabi kiong Cu,

“Membalas kejahatan dengan kebaikan menandakan watak yang budiman, membalas kebaikan dengan kejahatan menunjukkan watak penjahat. Eh, adik Siang Cu, aku berlaku baik kepadamu, apakah kau hendak membalasnya dengan kejahatan? Menemukan seorang dara seperti engkau ini di atas pulau kosong, benar benar merupakan keganjilan alam. Siapa yang takkan gembira dan tertarik? Adikku, marilah kita bersahabat dan bercakap cakap dengan manis. Kau mau bicara tentang apa? Tentang ilmu silat? Tentang kesusasteraan? Agaknya di dunia ini kau takkan dapat menemukan orang yang lebih pandai daripada aku Bong Eng Kiat.”

Mendengar ini, sambil tersenyum mengejek Siang Cu menjawab dengan ujar ujar dan Khong Cu juga, “Biarpun orang memiliki kebajikan seperti Pangeran Cou, apabila dia sombong, dia tak patut dilihatnya! Siapa sih yang tertarik kepadamu? Bagiku, kau hanya sebagai kain rombeng disulam benang emas! Pergilah!”

Namun sambil cengar cengir. Eng Kiat memandang wajah dara itu dengan penuh kekaguman.

“Kalau benar benar seperti bidadari, nona. Terutama sekali tanda hitam di dekat bibir itu, hmm, belum pernah aku melihat seorang dara semanis engkau. Biar kau memburukkan aku sesuka hatimu, asal kau suka menjadi sahabatku, aku rela menerima semua hinaan,”

“Orang ceriwis! Pergilah kau!” Siang Cu membentak marah. “Kau tidak melihat bahwa kau membikin takut ikan ikan sehingga mereka tidak mau mendekati umpan pancingku?”

“Ikan ikan itu bukannya takut, adik Sian Cu. Mereka itu tahu diri dan sengaja menjauhkan diri agar jangan mengganggu percakapan dua orang muda di pinggir laut.”

Kemarahan Sing Cu tak dapat ditahan lagi, ia membanting pancingnya dan melompat berdiri.

Matanya bersinar sinar dan ia mengigit gigit bibirnya. “Kalau bukan tamu dari suhu, sudah kulemparkan kau

ke laut! Sudah dua kali kau kusuruh pergi, sekarang

kuulangi lagi, pergi kau dari sini! Kalau tidak, jangan dianggap aku yang keterlaluan kalau pedangku bicara!” Sambil berkata demikian. Siang Cu mencabut pedangnya dan berkelebatlah sinar kehijauan dari pedang ini. Bong Eng Kiat wataknya sombong sekali, ia memang selalu memandang rendah kepada siapa saja, juga ia memandang rendah kepada Siang Cu. Melihat gadis ini mencabut pedang, ia juga bangun berdiri akan tetapi masih tersenyum senyum.

“Sudah cantik, lagi perkasa. Benar benar kau lebih menang daripada puteri Thian te Kiam ong,”

“Keparat busuk! Kau tidak mau pergi berarti kau mencari mampus!” Sambil berkata demikian Siang Cu lalu menyerang dengan pedangnya menusuk secepat kilat.

Tadinya Eng Kiat mengira bahwa gadis ini hanya menggertak saja, karena masakan sebagai nona rumah hendak membunuh seorang tamunya? Akan tetap, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa serangan ini benar benar dapat membuat dadanya tertembus pedang! ia cepat mengelak dan masih memandang rendah. Ia melompat lomoat ke sana ke mari sambil tersenyum senyum, memamerkan ginkangnya yang tinggi.

Siang Cu merasa penasaran sekali. Belum pernah ada orang berani mempermainkannya seperti pemuda ini, maka ia lalu mempercepat gerakan pedangnya sehingga yang nampak hanya sinar hijau bergulung gulung bagaikan seekor naga hijau mencari korban.

Baru sekurang Eng Kiat terkejut sekali. Tak mungkin lagi baginya untuk menghadapi pedang nona ini dengan hanya mengelak dan mengandalkan ginkangnya. Terpaksa ia lalu mencabut siang kiamnya (sepasang pedang) dan menangkis sambil berseru,

“Sudah, sudah, adik yang manis…. baiklah aku pergi, jangan serang lagi !” Akan tetapi, omongan ini terutama sekali sebutan adik yang manis, membuat Siang Cu makin marah dan ia menyerang lebih ganas lagi! Sibuk juga Eng Kiat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis. Biarpun ia amat terdesak, namun ia sama sekali tidak mau balas menyerang.

Sementara itu, selagi dua orang kakek sakti bercakap cakap di dalam pondok dan dua orang muda itu mengadu pedang, dua bayangan orang bekerja dengan cepat sekali, mengangkut banyak emas dari peti di dalam gua, kemudian diam diam mereka lalu membawa emas itu ke dalam perahu dan berlayar meninggalkan Pulau Sam liong to! Mereka ini bukan lain adalah Ouw bin cu dan Siauw giam ong. Memang sudah lama mereka bersepakat untuk melarikan diri dari situ membawa pergi emas sebanyak banyaknya, akan tetapi, mereka sama sekali tak pernah berani mencobanya karena kalau hal ini diketahui oleh Siang Cu atau Lam hai Lo mo, hal ini berarti nyawa mereka akan melayang.

Akan tetapi, mereka tiada jemunya mencari kesempatan baik dan akhirnya kesempatan itu tiba. Melihat betapa dua orang kakek itu amat asyik bercakap cakap dan kini Siang Cu yang marah marah menyerang pemuda itu, Ouw bin cu dan Siauw giam ong lalu cepat mengerjakan rencana mereka yang sudah diatur.

Adapun Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, sebagai tokoh tokoh kang ouw yang bertemu di tempat itu, banyak hal yang mereka bicarakan sehingga mereka tidak memperhatikan lain hal yang mungkin terjadi di luar pondok. Akan tetapi pendengaran mereka luar biasa tajamnya. Biarpun tempat di mana Siang Cu dan Eng Kiat bertanding agak jauh dari situ, namun suara beradunya pedang selalu merupakan suara yang menarik perhatian ahli ahli silat tinggi.

“Ada yang bertempur,” kata Lam hai Lo mo.

“Kau betul, akupun mendengar suara pedang beradu.” Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berjanji, keduanya lalu melompat ke luar pondok dan ketika mereka mengeluarkan kepandaian ternyata mereka dapat bergerak maju berbareng dengan cepat sekali.

Pada saat itu, Siang Cu sudah mendesak Eng Kiat dengan hebat sekali dan ketika ia menggerakkan pedangnya dengan gerakan memutar, menyerang bertubi tubi dan kaki terus naik sedikit sedikit, Eng Kiat benar benar sibuk sekali. Serangan sedikit demi sedikit naik ini adalah ilmu pedang yang disebut Pedang Angin Puyuh yang mula mula menyerang kaki lawan, kemudian dilanjutkan bertubi tubi ke atas. Beberapa kali ujung pedang bersinar hijau itu melukai Eng Kiat namun pemuda ini dengan susah payah masih dapat menangkis. Ketika serangan pedang itu sudah tiba di lehernya, ia tak tahan lagi dan karena kurang cepat mengelak maka pundaknya terbabat pedang. Baiknya Siang Cu masih ingat bahwa selama pertempuran pemuda itu tak pernah membalas, maka ia sengaja menyelewengkan pedangnya sehingga pundak pemuda itu tidak terbabat semua, hanya baju di bagian pundak dan sedikit kulit pundak saja yang terkupas dan mengeluarkan darah.

“Siang Cui Mana kesopananmu?” Lam hai Lo mo membentak marah dan ia malu sekali terhadap Tung hai Sian jin.

“Kau melukai seorang tamu kita? Benar benar kurang ajar.”

Eng Kiat buru buru melompat menghampiri Lam hai Lo mo dan berkata, “Locianpwe, harap jangan marah kepada adik Siang Cu. Dia tidak bersalah. Kami berdua tadi memang sengaja mencoba kepandaian masing masing untuk menambah pengetahuan dan teecu berlaku kurang hati hati sehingga terbabat pedang. Apakah artinya luka dan sedikit mengalirkan darah bagi seorang gagah? Harap Locianpwe tidak marah.”

Mendengar ini, Siang Cu merasa heran. Ah, benar benar aneh pemuda itu, telah dilukainya masih saja membelanya dan kemarahan suhunya.

Lam hai Lo mo bukanlah searang bodoh. Dari jauh ia tadi melihat betapa pemuda tamunya itu sama sekali tidak membalas serangan muridnya, maka ia berkata, “Bong hiante kalau betul muridku berlaku kurang ajar, kau berhak memberi pengajaran ke padanya.”

“Ah, tidak, tidak, locianpwe. Muridmu amat baik kepadaku, dan kami tadi bermain main di tepi laut. Karena kegembiran itulah maka kami main main dengan pedang untuk mempererat perkenalan.”

Sambil berkata demikian, Eng Kiat mengerling penuh arti kepada Siang Cu. Bukan main mendongkolnya hati gadis ini dan tanpa berkata sesuatu ia lalu lari pergi dari situ.

Lam hai Lo mo tertawa bergelak. Lalu menoleh kepada Tung hai Sian jin “Puteramu patut dipuji, sahabatku. Sayang sekali muridku itu keras kepala dan sukar diurus.”

“Tidak apa,” kata Tung hai Sian jin tertawa. “aku masih mengharapkan mereka kelak menjadi suami isteri.”

Bukan main girangnya hati Eng Kiat mendengar kata kata kedua orang kakek ini. Memang, terhadap Siang Cu ia jatuh hati betul betul. Kepada gadis gadis lain, biasanya ia menyatakan cinta kasihnya dengan kasar dan tak segan mempergunakan kekerasan, namun terhadap Siang Cu, ia lemah dan bahkan sampai dilukai pundaknyapun ia tidak merasa sakit hati sama sekali. Agaknya tai lalat kecil di pinggir mulut Siang Cu telah menawan hatinya.

Tadi di dalam pondok, dua orang kakek itu telah bersepakat untuk bersama sama menjatuhkan Thian te Kiam ong sekeluarga. Bukan itu saja, bahkan mereka mempunyai cita cita untuk menggerakkan bajak bajak laut dan menyerang Kerajaan Goan tiuw. Bukan sekali kali dengan maksud membela rakyat yang tertindas melainkan untuk memenuhi cita cita mereka, yakni menguasai kerajaan.

Selagi dua orang kakek itu membicarakan tentang kemungkinan perjodohan antara Siang Cu dan Eng Kiat tiba tiba gadis itu datang berian lari dan pada mukanya terbayang bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.

“Suhu, dua orang tosu itu telah pergi, mencuri perahu dan membawa serta isi peti di dalam gua.”

“Apa???” Lam hai Lo mo marah sekali. Dengan tongkatnya ia hajar pohon yang tumbuh di dekatnya. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang! Kakek buntung itu masih belum puas, sambil memaki maki dan berteriak teriak ia menggunakan tongkatnya mengamuk dan banyak pohon ditumbangkan seperti seekor gajah mengamuk saja! Tung hai Sian jin memandang dengan kagum, adapun Eng Kiat memandang dengan muka pucat. Alangkah hebatnya kakek ini kalau sudah mengamuk, pikirnya dan ada perasaan takut dalam hatinya terhadap kakek buntung ini.

“Tangkap mereka! Kejar mereka! Akan kuhancurkan benak mereka!” teriaknya berulang ulang. 

“Suhu, mereka sudah tidak kelihatan bayangannya lagi dan kita tidak tahu ke jurusan mana ia pergi. Bagaimana bisa mengejar?”

“Tidak berduli! Biar ke dalam neraka sekalipun, aku akan mendapatkan meraka, anjing anjing terkutuk itu! “Lam hai Lo mo marah benar benar. Tadi i menjanjikan kepada Tung hai Sian jin bahwa untuk membiayai pengumpulan pasukan bajak laut, ia telah bersedia banyak sekali emas, akan tetapi sekarang emas itu telah dicuri dua orang pelayannya sendiri!

Sementara itu, ketika Tung hai Sian jin mendengar ini, ia tertawa bergelak mentertawakan Lam hai Lo mo.

“Ha, ha, ha! Iblis Tua Laut Selatan kena ditipu mentah metah oleh dua ekor kacoa yang berbau busuk. Sungguh lucu sekali. Lam hai Lo mo, setelah emas itu lenyap, tak perlu lagi kita bicara tentang pasukan yang banyak makan biaya. Nah sampai jumpa kembali.”

“Nanti dulu, Tung hai Sian jin!” Tubuh kakek kaki buntung ini berkelebat dan ia sudah menghadang di depan Tung hai Sian jin, sikapnya mengancam, cambang bauknya berdiri kaku.

“Kau mau apa, Lam hai Lo mo?” Dewa Laut Timur ini melintangkan tongkat kepala naganya di depan dada.

“Katakan bahwa kau takkan membatalkan kerja sama kita!” Lam hai Lo mo menuntut.

“Ha, ha, ha! Anjing tak dapat disebut anjing lagi kalau kepalanya sudah tidak ada? Eh, Lam hai Lo mo, bagaimana lagi janji kerja sama kita? Sahamku berupa usaha mengumpulkan tenaga bantuan, dan sahammu berupa emas untuk membiayai mereka itu. Sekarang emasmu dicuri orang, bagaimana mungkin kau mau bekerja sama tanpa saham? Lebih baik kau lekas mencari emasmu yang hilang, baru kelak kita bicara lagi tentang kerja sama.”

Untuk beberapa lama, kedua orang kakek itu berhadapan dengan sikap seperti siap untuk saling menghantam. Akan tetapi, tiba tiba Lam hai Lo mo tertawa bergelak gelak dan berkata, “Pergilah, pergilah, siapa butuh pertolongan seorang seperti kamu? Ha, ha, ha, di dunia ini memang tidak ada orang baik. Di mana ada kesetiaan? Pelayan pergi mencuri emas, sahabat baru datang karena melihat emas. Ha, ha, ha!”

Tung hai Sian jin juga tertawa bergelak.

“Eng Kiat, mari kita pergi. Untuk apa melayani kaki buntung yang miskin ini. Mari pulang!” Pemuda itu melihat bahwa antara ayahnya dan si kakek buntung terjadi pertentangan hebat pada saat itu, maka ia tidak berani bercakap lagi dan segera mengikuti ayahnya pergi ke pantai, lalu menggunakan sebuah perahu, berlayar kembali ke pulaunya sendiri.

Sepeninggal mereka, Lam hai Lo mo tertawa lalu menangis.

“Dunia ini palsu, manusia manusia juga palsu! Semua kotor, semua buruk! Yang bersih dan bagus itu hanya palsu belaka hanya kulit, isinya busuk!” Berkali kali kakek buntung ini mengeluh dan menangis. Siang Cu yang sudah mengenal akan watak suhunya yang kukoai (ganjil), mendiamkan saja, menanti sampai orang tua itu menjadi tenang kembali.

Setelah agak tenang, ia mendekati suhunya dan bertanya dengan suara mengandung iba, “Suhu, ke mana kita harus menyusul anjing anjing busuk Ouw bin cu dan Siauw giam ong itu?” Untuk beberapa lama suhunya tidak menjawab, kemudian ia berkata sambil tertawa, “Aha, mengapa bodoh amat kita ini? Tentu saja ke Go bi san! Siauw giam ong adalah murid Go bi pai dan kalau kita menyerbu ke sana dan memaksa supaya mereka mencari Siauw giam ong, bukankah keduanya akan dapat ditangkap!”

“Dan kita sekalian pergi ke Tit le untuk mencari Thian te Kiam ong!” kata Siang Cu girang.

Ketika melihat gurunya ragu ragu. Siang Cu berkata gagah,

“Tanpa bantuan manusia seperti Tung hai Sian jin dan puteranya yang ceriwis, teecu sanggup menghadapi Thian te Kiam ong, suhu. Mengapa kita berkecil hati sebelum berhadapan dengan lawan?”

Terbangun semangat Lam hai Lo mo mendengar ucapan muridnya ini. “Ha, ha, ha, kau benar! Kita berdua sanggup menghancurkan keluarga Song Bun Sam! Kecil hati? Aku Lam hai Lo mo! Ha, ha, ha, kuhancurkan mereka semua. Kuhancurkan!” Sambil terpincang pincang, kembali Lam hai Lo mo menghajar pohon pohon yang berdekatan dengannya sehingga kembali banyak pohon tumbang. Sementara itu, Siang Cu lalu berkemas untuk melakukan perjalanan jauh, ke daratan Tiongkok, melalui gunung gunung, sungai sungai, dan kota kota. Tempat yang sudah amat lama dirindukannya, dijadikan bahan mimpi setiap malam. Memang sesungguhnya dara yang sudah dewasa ini mulai merasa amat bosan untuk tinggal saja di pulau kosong, berdua dengan suhunya yang kadang kadang kumat gilanya.

Kerajaan Goan adalah kerajaan penjajah yang datangnya dari Mongol. Kaisar pertama yang mula mula menyerang Tiongkok dan menghancurkan Kerajaan Cin di Tiongkok Utara, adalah Jenghis Khan yang namanya amat termashur, tidak saja di Tiongkok, bahkan terkenal sampai ke dunia barat.

Setelah Kaisar Jenghis Khan meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh puteranya yang ke tiga, yakni Kaisar Ogudai, yang seperti juga ayahnya, amat gemar akan perang dan meluaskan daerahnya dengan menyerbu negara negara tetangga. Setelah Ogudai meninggal dunia dengan tiba tiba, dan tahta kerajaan terjatuh ke dalam tangan Kaisar Mongka, cucu Jenghis Khan, barulah tentara Mongol yang luar biasa kuatnya itu menyerbu ke selatan, di bawah pimpinan Kubilai, saudara Kaisar Mongka, dan menundukkan Kerajaan Sung Selatan, bahkan terus menyerang sampai di Indo cina dan merampok Hanoi habis habisan!

Hanya sembilan tahun Mongka menjadi kaisar karena iapun meninggal dunia dan kini pemerintahan terjatuh ke dalam tangan Kublai Khan. Dalam jaman inilah cerita Sam liong to ini terjadi.

Kublai Khan yang mendirikan Wangsa Goan tiauw dan ia bahkan memindahkan ibu kotanya ke Peking. Kublai Kban tidak mau berhenti sampai di sini saja ia belum merasa puas kalau seluruh wilayah Tiongkok belum terjatuh ke dalam tangannya, maka terus terusan ia mengirim pasukan untuk menyerang daerah Sung selatan yang amat luas.

Namun, sungguhpun keadaan tentara Kerajaan Sung selatan pada waktu itu amat lemah berhubung dengan kelaliman kaisarnya, perebutan daerah selatan ini tidak berlangsung dengan mudah. Pasukan pasukan berkuda Bangsa Mongol yang dapat bergerak secepat kilat dalam menggempur musuh di daerah utara, agaknya di daerah pertanian di sebelah selatan Sungai Yang ce, tidak dapat bergerak dengan cepat lagi. Perlawanan terjadi di mana mana, bahkan enam belas tahun kemudian ketika Kaisar Kerajaan Sung selatan tertawan dan ibu kotanya, Hangkouw direbut, masih saja para jenderal dan panglima melakukan perlawanan sampai bertahun tahun.

Baru setelah sembilanbelas tahun kemudian semenjak Kublai Khan menjadi kaisar, seluruh wilayah Sung selatan dapat direbut dan mulailah dalam tahun 1279 ini berdirinya sejarah Wangsa Goan.

Kublai Khan tidak saja seorang kaisar yang gemar akan peperangan namun ia juga amat memperhatikan pembangunan demi kepentingannya sendiri. Di Kota Raja Peking, ia mendirikan istana yang luar biasa indahnya, juga istana istana peristirahatan yang mewah.

Kublai Khan juga memerintahkan agar supaya terusan air yang telah digali pada jaman Sui dan Sung yakni terusan antara Sungai Yang ce dan Huang ho, kini digali terus sampai ke Peking. Hal ini dilakukan untuk memudahkan hubungan antara Yang ce dan Peking, karena perlu untuk mengangkut beras yang terbanyak terdapat di lembah Sungai Yang ce.

Untuk pekerjaan ini, puluhan ribu tenaga kaum tani dipaksa dengan secara kejam, diharuskan bekerja melebihi binatang, sehingga banyak yang meninggal dalam kerja paksa ini. Kekacauan dan penindasan merajalela. Yang celaka tak lain hanyalah rakyat kecil atau kaum tani. Mereka dipaksa bekerja menggali terusan, dan apabila mereka meninggal dalam pekerjaan ini, maka tanah sawah mereka jatuh ke dalam tangan tuan tanah yang jahatnya melebihi lintah darat. Pada jaman itu, kekayaan bertimbun timbun di tangan tuan tuan tanah yang hidupnya seperti raja kecil di dusun dusun. Bagi orang orang kaya ini, pemerintahan Bangsa Mongol tidak merugikan, bahkan menguntungkan, karena dengan jalan menyuap dan menyogok para pembesar Mongol, mereka ini seakan akan dilindungi dan dapat melakukan pemerasan dan penghisapan seenaknya terhadap kaum tani yang lemah.

Di kalangan rakyat jelata, mulailah timbul api pemberontakan yang menyala nyala di dalam dada. Tentu saja mereka ini tidak berdaya dan tidak berani memberontak secara berterang, karena memang kedudukan tentara Mongol luar biasa kuat nya. Apa lagi kini dibantu oleh orang orang Han (Tiongkok aseli) sendiri yang berwatak menjilat. Rakyat amat benci kepada penjajah Mongol akan tetapi lebih benci kepada tuan tuan tanah yang mengambil muka kepada musuh dan tidak segan segan menginjak injak bangsa sendiri. Gerombolan perampok timbul di mana mana mengganggu keamanan.

Kublai Khan bukan tidak tahu akan perasaan anti di kalangan rakyat, maka ia memerintahkan untuk membasmi orang orang yang memihak rakyat, ia tahu bahwa rakyat kecil takkan dapat berbuat sesuatu tanpa ada pemimpinnya, dan pemimpin rakyat tentulah orang orang pandai. Mengawasi rakyat kecil yang banyak jumlahnya tidak mudah, akan tetapi mengawasi orang orang pandai yang hanya dapat dihitung banyaknya, amat mudah, ia lalu menyebar barisan penyelidik untuk mengawasi orang orang terpelajar terpelajar, para sasterawan, orang orang gagah yang terkenal di dunia Kang ouw, dan orang orang berpengaruh yang kiranya patut menjadi pemimpin rakyat. Orang orang yang diselidiki ini, apabila ternyata tidak anti kepada pemerintah Goan tiauw, bahkan ditarik dan diberi 

kedudukan, diberi kehidupan mewah. Sebaliknya apabila nampak gejala gejala anti pemerintah Goan, orang ini tentu terus saja ditangkap dengan tuduhan memberontak!

Liem Kwan Ti, seorang siucai yang tinggal di kota raja, tak terkecuali terkena aksi pembersihan dari kaisar ini. Ia tinggal di kota raja dalam keadaan cukup karena peninggalan dari ayahnya cukup banyak untuk dapat dimakan sekeluarganya, yakni seorang isteri dan seorang anak perempuan yang sudah berusia limabelas tahun. Semenjak dahulu, keluarga Liem ini adalah keturunan orang terpelajar yang berjiwa besar dan cinta kepada bangsa. Akan tetapi, Liem Kwan Ti bukan seorang kasar dan bodoh yang tidak melihat keadaan, ia tinggal diam saja dan biarpun hatinya sering kali terbakar melihat betapa pemerintah penjajah memeras rakyat, namun ia maklum bahwa ia tak berdaya dan bahwa sedikit saja ia membuka mulut berarti bencana menimpa keluarganya.

Akan tetapi, nasib baik atau buruk tak dapat ditolak. Ada ada saja kalau orang sudah dinasibkan mengalami bencana. Di dalam kota raja tinggal seorang komandan Busu (pengawal istana) yang mempunyai seorang putera bernama Souw Sit. Biarpun seorang Han namun karena memiliki kepandaian tinggi dan pandai menjilat, ayah Souw Sit menerima pangkat sebagai komandan pengawal dan hidupnya mewah. Souw Sit sendiri sebagai pemuda, terkenal sebagai seorang pemogoran dan mata keranjang. Banyak sudah anak bini orang menjadi korban gangguannya.

Pada suatu hari, dalam sebuah kelenteng ketika orang orang datang bersembahyang, Souw Sit yang memang seperti burung alap alap mengintai korban, dapat melihat puteri dari Liem Kwan Ti yang cantik. Gadis ini bernama Liem Kwei dan memang ia cantik manis dna baru berusia limabelas tahun. Biarpun hanya melihat sekelebatan saja, wajah Liem Kwei cukup membuat Souw Sit menjadi jatuh bangun hatinya dan rindu, ia tidak berani berlaku sembarangan terhadap gadis seorang siucai (sasterawan), tidak seperti kalau ia menghendaki gadis puteri petani. Maka gelisahlah hatinya.

Akhirnya ia menyuruh orang mengajukan pinangan kepada Liem Kwan Ti. Sasterawan ini sudah cukup kenal dan tahu macam apa pemuda itu, maka dengan halus ia menolak pinangan tersebut. Hal iai menyakitkan hati Souw Sit yang segera mengada kepada ayahnya bahwa ia dihina oleh keluarga Liem.

Inilah bibit bencana yang menimpa keluarga Liem. Ketika diadakan pembersihan, Souw Busu sendiri, yakni ayah Souw Sit, mengepalai pemeriksaan di rumah Liem Kwan Ti dan akhirnya di temukan buku terisi sajak sajak yang menyerang dan mencela pemerintah Goan tiauw. Tanpa banyak cakap lagi Liem Kwan Ti dan anak isterinya lalu ditangkap!

Di depan pengadilan, Liem Kwan Ti bersumpah bahwa ia tidak pernah menyimpan buku seperti itu, namun bukti sudah cukup jelas dan pengadilan tentu saja tidak menerima alasan ini, sama sekali tidak mau menyelidiki dari mana datangnya buku itu ke kamar Liem Kwan Ti. Putusan mati dijatuhkan!

Sebetulnya, seperti sudah dapat diduga, buku yang sifatnya memberontak itu memang sengaja dibawa oleh Siauw Busu dan ketika mengadakan pemeriksaan, dikeluarkan dan dikatakan bahwa buku itu didapatkan dari kamar sasterawan Liem!

Sebelum hukuman mati dijatuhkan, Souw Sit mendatangi Liem Kwan Ti di tahanan dan dibujuknya bahwa apabila sasterawan itu mau memberikan puterinya ia tanggung akan dapat menolong para tawanan ini sekeluarga. Tentu saja Liem Kwan Ti menjawab dengan makian sehingga pemuda itu menjadi marah sekali. Malamnya dengan kekerasan Liem Kwei dibawa pergi, dipisahkan dari ayah bundanya. Dan pada keesokan harinya, Liem Kwan Ti hanya mendengar bahwa puterinya itu telah membunuh diri dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan!

Bukan main hancurnya hati ayah dan ibu ini Liem Kwan Ti berteriak teriak, memaki maki pemerintah Goan, memaki maki orang orang Han yang menjadi penjilat bangsa penjajah seperti Souw Busu dan Souw Sit. Sampai datang saat hukuman mati dijatuhkan, Liem Kwan Ti dan isterinya tetap memaki maki dan sedikit pun tidak takut menghadapi golok algojo yang memancung kepada mereka!

Peristiwa seperti ini sudah terlalu sering terjadi sehingga pada masa itu, kejadian seperti ini dianggap biasa saja. Apa komentar orang yang lemah semangat?

“Salah Liem Kwan Ti sendiri, mengapa ia sampai memancing permusuhan dengan orang berkuasa seperti Souw Sit dan ayahnya ia bodoh dan kebodohannya yang membawa keluarganya binasa.”

Adapun orang orang yang bersemangat dan cinta bangsa, hanya mengucurkan air mata dengan diam diam, menyesali nasib bangganya yang celaka. Apakah daya mereka? Tanpa kekuatan balatentara yang besar tak mungkin bangsanya dapat bangkit melawan penjajah. Sedangkan kaum penjajah sudah mencengkeram semua orang sampai ke dusun dusun. Tak seorangpun dapat bergerak bebas.

Kurang lebih sebulan kemudian semenjak terjadi peristiwa itu, seorang  pemuda  yang berpakaian seperti 

seorang pelajar, berusia belum dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap halus, datang di kota raja dan langsung menuju ke rumah Liem Kwan Ti.

Orang orang di sekitar rumah itu sudah hampir melupakan peristiwa itu, dan kini mereka semua terheran melihat datangnya pemuda ini. Rumah itu masih ditutup dan dinyatakan menjadi hak milik pemerintah. Ketika pemuda ini melihat rumah tertutup ia lalu bertanya kepada sebelah tetangga, seorang pemilik toko obat.

“Maaf, lopek. Bolehkah saya bertanya, kemana gerangan perginya pamanku Liem Kwan Ti dan keluarganya sehingga rumahnya ditutup?”

Pemilik toko obat itu juga seorang Han, she Kwa. Ia lalu mengajak pemuda itu masuk dan setelah duduk ia bertanya perlahan, “Kau siapakah, hiante?”

“Saya bernama Liem Pun Hui dari Propinsi Cekiang. Jauh jauh saya datang ke sini untuk mengunjungi pamanku Liem Kwan Ti, tidak tahu dia berada di manakah? Menurut keterangan yang saya dapat, tempat tinggalnya adalah di sini.”

“Memang betul, dia dahulu tinggal di sini. Sayang kau terlambat kurang lebih satu bulan Ah…. bukan, bukan sayang, kumaksudkan, kau beruntung sekali terlambat. Karena kalau kau datang sebulan di muka, kiranya kaupun takkan selamat.”

“Eh, apakah yang terjadi, lopek?” Liem Pun Hui bertanya terkejut.

Orang tua pemilik toko obat itu memandang kekanan kiri, lalu memegang tangan pemuda itu, diajaknya masuk ke dalam kamarnya. Sebelum bicara, ia menutupkan pintu kamar itu rapat rapat, dilihat dengan mata terheran heran dan dada berdebar oleh Pun Hui.

“Orang muda, kau beruntung sekali bahwa yang kautanyai tentang pamanmu itu adalah aku sendiri. Kalau orang lain yang menerimamu, ah.... aku tidak tahu apa yang akan terjadi denganmu, ah.... aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mu, karena siapa dapat menyelami hati orang pada dewasa ini? Pamanmu Liem Kwan Ti itu, sebulan yang lalu telah tewas bersama isteri dan puterinya.”

“Tewas   ? Mengapa, lopek?” Pun Hui menjadi pucat.

“Mereka ditangkap dan dituduh memberontak.” Kemudian pemilik toko obat itu menuturkan sejelasnya tentang peristiwa itu. Sebagai seorang tetangga yang mempunyai hubungan baik dengan Liem Kwan Ti, orang she Kwa ini tahu sampai jelas apa yang menjadi sebab sebab maka bencana itu menimpa keluarga sasterawan Liem.

Wajah Pun Hui sebentar pucat sebentar merah mendengar penuturan ini, ia merasa marah, sakit hati, dan sedih.

“Paman, bibi.... dan anak mereka menjadi korban keganasan seorang pengkhianat bangsa, sekarang penjilat she Souw itu.... Jahanam benar mereka   !” katanya sambil mengusap air mata yang jatuh berlinang di atas kedua pipinya.

“Hush.... Liem hiante, kau tenanglah. Apa daya kita terhadap keadaan seperti ini? Kau jangan khawatir, kau tinggallah di sini bersamaku. Akupun tidak mempunyai anak dan kau...... kulihat kau baik sekali untuk membantuku di sini, asal saja kau mengganti she mu menjadi Kwa, orang orang takkan ada yang tahu bahwa kau masih ada hubungan keluarga dengan Liem Kwan Ti yang dianggap pemberontak.

Akan tetapi, tiba tiba sikap yang lemah lembut dari pemuda itu berubah, ia menggigit bibir dan mengepalkan kedua tinjunya, lalu berkata keras keras.

“Tidak, tidak! Biar orang akan membunuhku, aku harus mengutuk pengkhianat bangsa she Souw itu!” Setelah berkata demikian, ia berlari keluar.

Orang she Kwa itu hendak mencegah, akan tetapi karena pemuda itu sudah berian keluar dan kalau ia memaksa takut kalau kalau pemuda itu berteriak teriak di depan tokonya dan membuat ia sendiri rembet rembet, maka ia hanya memandang pemuda itu pergi dan menggoyang goyang kepala nya.

“Negeriku mempunyai banyak orang bersemangat gagah seperti pemuda itu, akan tetapi apa daya seorang anak lemah seperti dia terhadap orang orang seperti Souw Busu? Sayang , sayang.... pemuda yang baik seperti dia takkan lama lagi hidupnya “

Memang Liem Pun Hui bersemangat gagah biarpun ia dilahirkan sebagai seorang siucai yang bertubuh lemah. Para pembaca sudah mengenal anak muda ini ketika ia ditawan oleh bajak laut dan kemudian ditolong oleh Ong Siang Cu sehingga ia dibebaskan, bahkan diantar oleh para bajak mendarat kembali di tepi pantai Tiongkok.

Dengan hati penuh dendam dan marah meluap luap, Pun Hui lalu bertanya tanya di mana adanya tempat tinggal Souw busu. Setelah mendapat tahu, ia lalu menggunakan sisa uangnya untuk membeli alat tulis dan tintanya, kemudian dengan langkah lebar ia menuju ke rumah gedung yang besar dan megah dari Souw Busu. Pemuda ini sudah mengambil keputusan nekat ia rela dihukum mati asal saja sudah dapat melampiaskan dendam dan marahnya kepada Souw busu dengan jalan memaki makinya dengan tulisan di muka umum untuk menelanjangi pengkhianatan dan kejahatannya yang oleh orang lain, seperti halnya pemilik toko obat itu, disembunyi sembunyikan dan tidak berani dibicarakan.

Memang tidak mengherankan apabila Liem Pun Hui hendak berlaku nekat. Orang tuanya adalah petani petani miskin di Propinsi Cekiang dan ayahnya terkena pula kerja paksa sehingga meninggal di tempat kerja. Ketika itu ia tidak berada di dusun, sedang menuntut pelajaran di kota. Ketika ia pulang, ia mendapatkan ayahnya sudah tidak ada, tanahnya dirampas oleh tuan tanah dan ibunya menderita sakit payah. Akhirnya ibunya meninggal dunia pula oleh sakit itu, maka hati pemuda ini remuk redam dan penuh dendam kepada pemerintah Goan. Kemudian harapan satu satunya hanya pamannya sasterawan Liem yang tinggal di kota raja itu. Dengan harapan besar ia berangkat ke kota raja, dan apa yang didapatkannya? Pamannya juga mengalami bencana akibat fitnah dari orang jahat, maka ia kini mengambil keputusan berlaku nekat. Hatinya penuh dendam dan putus asa.

Dengan langkah tetap ia lalu menghampiri pagar tembok yang putih dari gedung Souw busu, kemudian dikeluarkannya pit dan tinta dan setelah berpikir sejenak, ia lalu menuliskan huruf huruf besar pada tembok putih itu. Orang orang yang lewat di situ, tentu saja menjadi tertarik sekali melihat seorang pemuda berpakaian sasterawan menuliskan huruf huruf besar di tembok Souw busu, maka sebentar saja orang makin banyak berdiri di belakang sasterawan muda ini hendak membaca apa yang akan ditulisnya. 

Syarat hidup sebuah pemerintahan. Terutama rakyat harus percaya kepadanya.

Ke dua, rakyat harus mendapat cukup sandang pangan. Ke tiga baru memiliki angkatan perang yang kuat!

Namun pemerintah sekarang tak dipercaya rakyat, Membiarkan rakyat menderita dan kelaparan.

Memelihara pembesar pembesar busuk seperti Souw, Penjilat yang lebih rendah daripada anjing.

Pemakan dan penindas bangsa sendiri, Bagaimana pemerintah dapat bertahan?

Setelah membaca tulisan ini, orang orang yang berada di situ menjadi gempar. Ada yang menjadi pucat dan cepat cepat pergi dari situ, ada pula yang marah marah, akan tetapi sebagian besar diam diam membenarkan ketepatan tulisan ini. Orang orang yang pernah mempelajari kesusasteraan tahu bahwa empat baris pertama adalah ujar ujar dari Khong Hu Cu dan baris baris selanjutnya merupakan caci maki terhadap pemerintah Goan tiauw. Alangkah beraninya pemuda ini!

Sebentar saja beberapa belas orang serdadu penjaga yang mendengar tentang ini, tergesa gesa menyerbu ke situ. Setelah membaca tulisan ini mereka berseru, “Pemberontak yang harus mampus!”

Beberapa kali pukulan membuat muka Pun Hui berdarah dan tubuh pemuda itu terguling lalu diborgol kedua lengannya, para penjaga tidak segera membunuhnya, karena hendak menyeretnya ke depan Souw busu menanti perintah selanjutnya.

Pada saat itu. di antara penonton terdengar suara orang berkata nyaring, “Benar benar pemuda bersemangat dan mengagumkan !”

Ketika semua orang menengok dengan heran untuk melihat orang yang begitu lancang berani memuji pemuda pemberontak itu, mereka melihat seorang laki laki setengah tua yang berwajah gagah, berpakaian ringkas dan di pinggangnya tergantung joan pian, senjata ruyung lemas terbuat dari batu kumala putih. Dengan tenang namun cepat sekali, laki laki ini melangkah maju dan sekali dorong saja, tiga orang serdadu yang memegangi Pun Hui kena dibikin terpental. Kemudian, sekali tangan kirinya meraba belenggu, ikatan tangan pemuda itu mengeluarkan bunyi keras dan patah patahlah belenggu besi tadi.

Para serdadu marah sekali. Dengan ruyung dan golok di tangan mereka menyerbu laki laki gagah ini. Namun, dengan menggerakkan tangan kiri dan kaki kanan, beberapa orang serdadu yang paling depan terpental jauh, terkena pukulan dan tendangan yang demikian hebat sehingga mereka tak dapat bangun kembali.

“Gentong gentong macam kalian ini mau berlagak galak? Pergi semua!” bentak laki laki itu yang cepat menyambar tubuh Pun Hui dan di kempitnya dengan ringan sekali.

Akan tetapi, sebelum ia membawa pergi Pun Hui dan tempat itu dari dalam gedung busu keluarlah tiga orang tinggi besar dan gagah. Mereka ini adalah Souw busu sendiri dan dua orang suwi (pengawal kaisar) yang berkepandaian tinggi. Mereka telah menerima laporan tentang pemuda sasterawan yang menulis sajak memaki maki Souw busu dan kaisar, maka cepat mereka menuju ke tempat itu.

Ketika Souw busu melihat laki laki setengah tua itu mengempit tubuh Pun Hui dan dibawa pergi, ia tertegun.

“Bukankah kau ini Yap taihiap yang kemarin hendak bertemu dengan mendiang Pangeran Kian Tiong?”

Orang itu mengangguk tenang dan menjawab.

“Benar, dan dari luaran aku tahu bahwa kau ini Souw busu telah banyak membikin celaka bangsa sendiri. Sungguh tak bermalu!”

“Orang she Yap! Kau menghina orang. Lepaskan pemberontak itu, apakah kau hendak membela seorang yang telah berani menulis sajak seperti ini? Apakah kau hendak membela pemberontak?”

Orang gagah itu tertawa bergelak, lalu berkata dengan suara menyindir,

“Pemuda ini jauh lebih bersih, bersemangat dan gagah daripada kau! Bagiku dia bukan pemberontak, bahkan berjasa terhadap kaisar yang telah salah menggunakan orang orang seperti kau ini. Kalau kaisar memperhatikan dan mau menurut tulisannya itu, menggantikan pembesar pembesar macam kau dengan orang lain yang lebih baik, tentu pemerintah Goan akan panjang usia.”

“Bangsat bermulut lancang!” Souw busu tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat menyerang dengan golok besarnya, membacok ke arah kepala orang gagah itu Namun, orang ini yang bukan lain adalah seorang pendekar besar bernama Yap Thian Giok, mencabut senjatanya yang tergantung di pinggang, yakni senjata ruyung lemas yang di sebut Pek giok joan pian, dan sekali ia mengayun senjatanya itu, bagian tengahnya menangkis golok yang menyerangnya, sedangkan bagian ujungnya terus menyambar ke arah kepala lawan! Souw busu berkepandaian tinggi, namun dia terkejut bukan main ketika tiba tiba senjata lawan yang menangkis itu berbareng bisa mengirim serangan balasan yang amat berbahaya, ia cepat menarik kembali goloknya dan melompat mundur.

Melihat dua orang kawannya telah pula maju menyerang dengan pedang, Souw busu besar hati dan kembali goloknya diayun cepat melakukan serangan hebat ke arah orang gagah yang tangan kirinya masih memondong tubuh Pun Hui itu.

Namun Yap Thian Giok tidak mau membuang banyak waktu lagi. Bagaikan kilat menyambar, Pek giok joan pian di tangannya bergerak dan terdengar suara “trang! trang! trang!” tiga kali dan disusul oleh teriakan terkejut dan Souw busu dan kawan kawannya karena pedang dan golok mereka telah terpukul patah!

“Aku tidak ada waktu untuk melayani kutu kutu macam kalian!” seru Yap Thian Giok dan sekali berkelebat, ia telah melompat jauh dan sebentar saja menghilang di antara orang orang banyak!

Souw busu menyumpah nyumpah dan cepat mengumpulkan anak buahnya untuk mengejar, akan tetapi orang gagah itu tidak kelihatan bayangannya lagi.

Siapakah orang gagah ini? Dan bagaimana ia bisa muncul di kota raja? Yap Thian Giok adalah putera dari bekas Jenderal Yap Bouw dari Kerajaan Cin yang sudah hancur lebih dulu oleh tentara Jengis Khan. Yap Bouw mempunyai dua orang anak, yakni sepasang anak kembar. Yang laki laki adalah Yap Thian Giok sedangkan yang perempuan adalah Yap Lan Giok yang tewas oleh Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, sute dari Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu. Kemudian, Yap Thian Giok ikut dengan gurunya, yakni si wanita Sakti Mo bin Sin kun yang juga pernah menjadi guru dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, untuk memperdalam ilmu silatnya di puncak Bukit Sian hoa san.

Setelah menamatkan pelajarannya dan dapat mewarisi seluruh ilmu silat dari Mo bin Sin kun yang lihai, Mo bin Sin kun lalu menyuruh muridnya turun gunung dan merantau memenuhi tugas sebagai seorang pendekar silat. Adapun Mo bin Sin kun sendiri menyatakan kepada muridnya bahwa ia hendak bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak mau memberitahukan ke mana perginya.

“Thian Giok, pinni (aku) sudah jemu akan keramaian dunia dan akan kepalsuan kehidupan di dunia. Oleh karena itu, semua tugas kebajikan kuserahkan kepadamu. Hubungilah orang orang gagah di dunia dan pergunakan semua ilmu yang kau pelajari dariku untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Usahakanlah agar setiap perbuatanmu sesuai dengan tuntutan kebajikan. Hasil atau tidaknya usahamu bukan menjadi soal, yang penting adalah bahwa kau selalu bertindak di atas jalan kebenaran. Kalau sudah demikian, maka tidak percumalah kau menjadi muridku, tidak percuma kau menjadi putera mendiang ayah bundamu, dan tidak percuma kau dilahirkan di dunia ini.”

Demikianlah, semenjak perpisahan ini, Thian Giok tak pernah lagi bertemu dengan gurunya yang tidak diketahui ke mana perginya, karena memang Mo bin Sin kun tidak mau mengabarkan tentang dirinya lagi. Thian Giok merantau sampai jauh. Sudah dijelajahinya seluruh negeri, dan banyak sudah ia melakukan hal hal yang amat gagah perkasa dan baik. Karena senjatanya Pek giok joan pian amat terkenal dan amat lihai, maka di dunia kang ouw ia dijuluki Sin pian (Ruyung Sakti). Beberapa kali ia mengunjungi Thian te Kiam ong Song Bun Sam yang menjadi sahabat baiknya semenjak muda, dan tiap kali mereka bertemu, dua orang sahabat ini dengan ditemani oleh anak isteri Song Bun Sam, bercakap cakap dengan sangat akrab dan asyik. Kedua orang putera puteri Thian te Kiam ong juga amat sayang kepada paman Giok ini.

Yang amat mengherankan adalah keputusan yang diambil oleh Thian Gok bahwa ia tidak mau menikah selama hidupnya, Hanya kepada Song Bun Sam yang membujuknya agar ia suka menikah, ia berterus terang bahwa ia tidak dapat melakukan pernikahan karena ia selalu teringat kepada adik kembarnya, Lan Giok yang sudah tewas terlebih dulu. Memang, hubungan antara saudara kembar lebih mendalam. Ada sesuatu dalam batin dan jiwa mereka yang mempunyai hubungan dekat sekali sehingga boleh dibilang sukar terpisahkan legi. Kalau Thian Giok bukan seorang laki laki gagah perkasa yang selain ahli dalam ilmu silat juga sudah banyak mempelajari kebatinan sehingga memiliki jiwa yang kuat, mungkin ia takkan dapat lama tahan hidup di dunia ini jauh daripada adik kembar nya, ia dapat bertahan untuk hidup terus tanpa adiknya di dunia, namun untuk kawin…. ia tidak sampai hati kepada adik kembarnya yang sudah meninggal dunia.

Demikianlah, sampai berusia empatpuluh tahun, ia masih tetap membujang dan tidak menikah.

Ketika ia dalam perantauannya melalui Peking, ia teringat akan Pangeran Kian Tiong dan puteri Luilee yang baik hati, orang orang besar yang berjiwa besar pula, kawan kawan baik dari Song Bun Sam. Tertariklah hatinya untuk mengunjungi mereka ini karena pernah ia diperkenalkan kepada mereka ini oleh Song Bun Sun ketika sahabatnya ini datang ke kota raja.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia mendengar berita bahwa Pangeran Kian Tiong dan isterinya telah terbunuh oleh seorang penjahat yang menculik puteri mereka. Keluarga istana menceritakan hal ini dan ketika mereka mengetahui bahwa orang gagah ini adalah sahabat baik dari Thian to Kiam ong Song Bun Sam, mereka lalu menyerahkan surat peninggalan Pangeran Kian Tiong untuk Song Bun Sam, yang sudah mereka simpan sampai sepuluh tahun lebih karena pendekar pedang itu tak pernah datang ke kota raja, sedangkan menurut pesan Pangeran Kian Tiong, surat itu hanya disuruh memberikan kepada pendekar itu apabila ia datang ke kota raja.

Demikianlah maka Souw busu mengenal Yap Thian Giok yang datang mencari Pangeran Kian Tiong. Kebetulan sekali ketika Sin pian Yap Thian Giok keluar dari istana hendak melanjutkan perjalanannya ke tempat tinggal Thian te Kiam ong untuk menyerahkan surat peninggalan Pangeran Kian Tiog itu kepada sahabatnya, ia melihat pemuda Liem Pun Hui yang berani menulis sajak di tembok memaki maki Souw busu. Hatinya amat tertarik dan kagum, maka tanpa ragu ragu lagi ia lalu menolong pemuda itu.

Setelah berhasil mematahkan senjata dari Souw busu dan dua orang kawannya, Yap Thian Giok lalu memondong tubuh Pun Hui dan dibawanya lari cepat sekali keluar dan Kota raja.

Liem Pun Hui menjadi bengong ketika ia merasa betapa tubuhnya dibawa lari secepat terbang oleh orang tua yang luar biasa itu. Ia hanya pernah membaca cerita tentang orang orang gagah, tentang hiapkek hiapkek (Pendekar pendekar) yang hidupnya merantau sebagai seorang petualang, tak berkeluarga tak berumah, yang tujuan hidupnya hanya mencari pengalaman dan membela orang orang lemah tertindas. Sering kali ia tertarik dan ingin sekali bertemu dengan seorang pendekar, karena ia sendiri mendapat semangat dari membaca watak dan kehidupan seorang pendekar dalam cerita. Cerita cerita inilah yang memberi semangat dan kegagahan kepada pemuda ini, sungguhpun ia sendiri semenjak kecilnya hanya mempelajari kesusasteraan belaka. Orang inikah yang disebut pendekar?

Setelah tiba di luar kota raja, Yap Thian Giok menurunkan Pun Hai dari pondongannya. Pemuda itu terus saja menjatuhkan diri berlutut di depan orang gagah itu sambil berkata.

“Menyaksikan sepak terjang dan kegagahan lo taihiap (pendekar tua), hatiku penuh kekaguman. Saya yang bodoh Liem Pun Hui merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan taihiap. Mohon tanya siapakah nama taihiap yang mulia.”

Yap Thian Giok mengerutkan bening. Tak sepatahpun kata kata dari pemuda ini menyatakan terima kasih dan kegirangan hati telah ia tolong dari bahaya maut!

“Anak muda, tidakkah kau tahu berterima kasih? Apakah kau tidak berterima kasih telah ku tolong dan bahaya?” Pertanyaan ini bukan karena Yap Thian Giok seorang yang mengharap terima kasih orang, melainkan timbul karena herannya terhadap pemuda ini.

“Sesungguhnya, tidak ada sebab yang mengharapkan saya berterima kasih kepadamu, lo taihiap. Karena saya tidak mengharapkan pertolongan.”

“Hem, jadi kau tidak girang karena aku telah menolongmu?” “Tidak, terus terang saja, saya tidak bergiring karena tidak tertangkap atau terbunuh.”

“Eh, pemuda aneh. Mengapa demikian?”

“Saya telah mengambil keputusan tetap untuk mencela pembesar jahat itu dan mengorbankan nyawa. Untuk apakah hidup bagi saya yang tidak berdaya melihat keadaan yang amat tidak adil dan sewenang wenang? Lebih baik mati sebagai seorang yang berani menentang ketidakadilan itu!”

“Hm, kau nampaknya bodoh tapi pintar. Kata katamu berisi akan tetapi sesungguhnya amat bodoh! Eh, anak muda yang sudah putus asa, mengapa kau berlaku nekad?”

Sambil menahan turunnya air matanya, Liem Pun Hui lalu menceritakan keadaannya, betapa orang tuanya dan pamannya sekeluarga tewas karena keganasan pemerintah Goan tiauw lebih tepat lagi karena keganasan kaki tangan pemerintah yang bertindak sewenang wenang.
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar