Jilid XVII
MEMANG Lam hai Lo mo sengaja membunuh kedua orang tua anak yang hendak diculiknya agar di kemudian hari tidak mendapat gangguan dan mereka. Membunuh manusia bagi Lam hai Lo mo sama halnya dengan membunuh semut saja! Pelayan pelayan yang dapat menyelamatkan diri, segera berteriak teriak dan minta tolong. Penjaga segera datang menyerbu namun ketika mereka tiba di taman, bayangan kakek itu sudah tidak ada lagi demikian pula bayangan sang puteri cilik. Terpaksa mereka hanya bisa menolong Raja Muda Kian Tiong dan isterinya yang sudah tewas.
Raja Muda Kian Tiong meninggal dunia tak lama kemudian setelah ia berhasil memaksa diri menulis sehelai surat yang dipesannya kepada para keluarga agar diberikan kepada seorang bernama Song Bun Sam apabila orang itu kebetulan datang menjenguknya. Kalau tidak datang, surat itu supaya disimpan saja! Kemudian meninggallah dia menyusul isterinya yang tercinta.
Malapetaka yang menimpa keluarga Raja Muda Kian Tiong ini tentu saja menimbulkan kegemparan hebat. Kaisar sendiri memberi perintah agar semua pastikan di dalam negeri mencari kakek yang kejam itu. Akan tetapi hasilnya sia sia belaka karena tanpa diketahui oleh seorang pun, Lam hai Lo mo telah membawa puteri cilik itu ke atas pulaunya, pulau kosong yang ia bernama Sam liong to dan yang belum pernah didatangi oleh orang lain. Adapun para pelayan yang menyaksikan peristiwa itu, hanya dapat memberi tahu bahwa penculik dan pembunuh itu adalah seorang kakek berkaki satu dengan wajah mengerikan seperti iblis, lain tidak!
Tidak hanya puteri cilik itu saja yang diculik oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi juga sebatang pedang simpanan yang berada di dalam kamar Raja Muda Kian Tiong, dicurinya juga. Pedang ini adalah pedang Cheng hong kiam, pedang pusaka yang amat ampuh dan terbuat dari pada baja hijau.
Dengan kepandaian ilmu sihirnya, Lam hai Lo mo dapat membikin puteri cilik itu lupa akan asal usulnya, bahkan lupa akan namanya sendiri. Lam hai Lo mo memberi nama Ong Siang Cu kepadanya, ia mengambil she (nama keturunan) Ong yang berarti Raja, mengingat bahwa orang tua gadis cilik ini adalah bangsawan tinggi keturunan raja.
Demikianlah, puteri cilik yang sekarang bernama Siang Cu ini hanya tahu dari cerita kakek itu bahwa dia adalah seorang anak yatim piatu yang dipelihara dan diambil murid oleh Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, maka tentu saja ia merasa berterima kasih, sayang dan taat kepada suhunya.
Alangkah girangnya hati Lam hai Lo mo ketika ia mendapat kenyataan bahwa bakat dari anak perempuan ini jauh melampaui dugaan dan harapannya. Siang Cu benar benar memiliki bakat besar sekali dan setelah gadis ini berusia enam belas tahun, kepandaian dari suhunya telah dikurasnya habis! Bahkan di samping ilmu ilmu silat tinggi yang diajarkan oleh gurunya, ia telah pula dapat mainkan ilmu pedang yang didapatkan oleh Lam hai Lo mo di dalam gua! Ilmu pedang ini lalu diberi nama Cheng hong Kiam sut (Ilmu Pedang Burung Hong Hjau), sesuai dengan nama pedang Cheng hong kiam yang dicurinya dari kamar Raja Muda Kian Tiong dan yang kini ia berikan kepada muridnya yang tersayang.
Memang, sebagai seorang sebatangkara yang tak pernah merasai kebaktian dan kesayangan orang lain terhadapnya, biarpun wataknya buruk dan hatinya jahat, akhirnya Lam hai Lo mo jatuh hati nya oleh kebaktian Siang Cu dan ia amat sayang kepada anak ini, bukan saja sebagai murid, bahkan sebagai anak atau cucu sendiri !
Seringkali Lam hai Lo mo membawa murid nya itu mendarat di daratan Tiongkok sehingga gadis cantik ini tidak asing akan kehidupan di dunia ramai. Setelah dewasa gadis ini memiliki kecantikan seperti ibunya sehingga gurunya menjadi makin sayang kepadanya. Diceritakannya kepada murid ini bahwa ia mempunyai musuh besar. Pertama adalah Thian te Kiam ong Song Bun Sam, kedua Kim kong Taisu, dan ke tiga Mo bin Sin kun. Ia minta kepada muridnya agar kelak murid ini suka membalaskan dendamnya.
“Lihat saja kaki dan pipiku serta punggungku, Cu ji. Semua ini adalah akibat dari perbuatan tiga orang itu yang amat keji. Oleh karena itu, kelak kalau aku sudah mati, jangan lupa untuk melakukan pembalasan, terutama sekali kepada Song Bun Sam itu dan keturunannya. Kalau kau mau melakukan itu, barulah tidak sia sia aku bersusah payah memelihara dan mendidikmu.”
“Jangan khawatir, suhu. Nama nama itu sudah kucatat di dalam hati. Kalau suhu menghendaki marilah kita berangkat mencari mereka. Serahkan saja kepada teecu yang akan membasmi mereka!” kata Siang Cu bersemangat.
Mendengar ini Lam hai Lo mo tertawa terkekeh kekeh. “Bagus, semangatmu besar, muridku. Akan tetapi,
jangan kaukira bahwa mereka itu adalah orang orang lemah yang mudah dirobohkan begitu saja. Apalagi Thian te Kiam ong Song Bun Sam itu. Ilmu pedangnya hebat sekali karena ia mendapat latihan Ilmu Pedang Tee coan hok kiam hot (Ilmu Pedang Enam Lingkaran Bumi) dan mendiang Bu Tek Kiam ong. Dia ini tidak mudah di kalahkan. Oleh karena itu kau harus berhasil dan aku tidak tega untuk melepasmu menghadapinya. Kita harus menggunakan akal. Song Bun Sam mempunyai banyak kawan yang berkepandaian tinggi, kalau saja kita bisa memancing ia datang ”
Siang Cu adalah seorang gadis yang berotak cerdik sekali. Gurunya mempunyai simpanan buku buku kuno karena memang Seng Jin Siansu dahulunya suka mempelajari kesusasteraan. Dari Gurunya ini Siang Cu belajar membaca dan menulis, bahkan ia suka memperhatikan dan mempelajari tulisan tulisan kuno.
“Mengapa kita tidak memancingnya datang kesini, suhu? Kita bisa membuat peta rahasia tentang pulau ini, menyebutkan bahwa di atas pulau ini terdapat simpanan harta pusaka yang besar. Kalau kita berusaha supaya peta rahasia dengan tulisan kuno itu terjatuh ke dalam tangan Thian te Kiam ong Song Bun Sam, tentu ia akan datang ke sini!”
Lam hai Lo mo girang sekali dan memuji muji kecerdikan muridnya. Mereka berdua lalu membuat peta dan ditulisi dengan huruf huruf kuno dari jaman Hsia. Kemudian Lam hai Lo mo mengajak muridnya mendarat di Tiongkok dan dengan perantaraan seorang tokoh kang ouw yang bernama Coa Kiu, ia minta pertolongan Coa Kiu untuk menyampaikan peta itu kepada Song Bun Sam. Coa Kiu tidak mengenal siapa adanyan Lam hai Lo mo, karena kakek ini sudah berobah sekali bentuk tubuh dan mukanya, akan tetapi setelah menerima banyak emas. Coa Kiu menyanggupi untuk menyampaikan peta itu kepada Thian te Kiam ong yang ia tahu pada waktu itu tinggal di kota Tet le.
“Kauantarkan peta ini kepada Thian te Kiam ong, katakan bahwa kau mendapatkannya dari saku baju seorang kepala rampok yang kau bunuh di dalam hutan. Berikan kepadanya sebagai tanda penghormatanmu kepada pendekar besar itu karena kau sendiri tidak sanggup mengerti isi peta. Ini sekantong uang emas untukmu dan boleh kau ambil kalau kau sudah menyampaikan tugas ini dengan baik. Akan tetapi kalau gagal, awas, aku akan datang lagi, bukan hanya untuk mengambil kembali uang emas, juga untuk mengambil kepalamu yang akan kuhancurkan seperti ini!” Setelah berkata demikian, dengan perlahan Lam hai Lo mo menggunakan tongkat bambunya untuk memukul sebuah batu hitam besar di depan rumah Coa Kiu. Terdengar suara keras dan batu itu hancur!
Ketika Coa Kim memandang dengan muka pucat, ternyata kakek aneh itu bersama nona baju merah yang cantik seperti bidadari, telah lenyap dari depannya tanpa ia ketahui kapan perginya!
Bagaikan patung, Coa Kiu menghadapi peta, kantong uang emas, dan batu yang hancur itu, lalu ia menghela napas dan menggeleng gelengkan kepalanya.
“Celaka! Siang siang aku kedatangan seorang siluman bersama seorang bidadari kahyangan! Akan tetapi tidak apa, tugasku ringan saja dan uang emas ini dapat kupakai untuk membeli rumah dan sawah ”
Seperti juga orang orang kang ouw lainnya, Coa Kiu tentu saja tahu siapa adanya Thian te Kiam ong di Tit le yang namanya sudah menggemparkan kolong langit. Lalu bergegas pergi ke Tit le untuk menyampaikan peta yang terbungkus kain kuning itu.
Coa Kiu adalah seorang bekas piauwsu (pengawal barang ekspedisi) yang sudah banyak pengalaman. Ia dapat menduga bahwa kakek buntung itu tentulah seorang penjahat yang lihai sekali yang berusaha membikin ribut dan tentu mempunyai hubungan dengan Thian te Kiam ong, entah hubungan apa. Ia tidak takut untuk membohong kepada Thian te Kiam ong, karena Thian te Kiam ong Song Bun Sam terkenal sebagai seorang pendekar besar yang murah hati dan budiman. Sebaliknya, ia gemar sekali menghadapi ancaman kakek buntung itu. Maka ia mengambil keputusan untuk melakukan tugas itu sebaiknya, memberikan peta kepada Thian te Kiam ong lalu pergi tidak menghiraukan urusan itu lagi.
Mari kita menengok dulu keadaan pendekar besar Thian te Kiam ong Song Bun Sam di Tit le yang hendak dianjungi oleh Coa Kiu.
Rumah pendekar besar itu adalah sebuah rumah gedung kuno yang kokoh kuat dan nampak angker sekali, sesuai dengan nama penghuninya. Temboknya dikapur putih dan gentingnya tebal dan kuat. Pintu pintu depannya besar dan selalu terbuka daun pintunya, lambang dari tangan yang selalu terbuka dari tuan rumah. Memang, pendekar besar dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam sudah amat terkenal akan kemurahan hati dan kedermawanannya. Siapa saja yang datang, baik orang orang yang berkepandaian tinggi maupun orang biasa saja, selalu diterima dengan ramah dan hormat oleh Song Bun Sam dan keluarganya. Oleh karena itu semua orang menaruh hati segan dan hormat kepada keluarga Song ini, dan di sekitar daerah Tit le tidak ada penjahat berani memperlihatkan mata hidungnya, setiap orang gagah yang kebetulan lewat di daerah ini, tidak ada yang tidak memerlukan singgah untuk beramah tamah sebagai tanda penghormatan kepada Thian te Kiam ong.
Pada waktu itu, Thian te Kiam ong Song Bun Sam sudah berusia empatpuluh tahun. Namun ia masih nampak muda. Wajahnya yang tampan kini memelihara kumis yang bagus. Sepasang matanya masih bersinar sinar penuh semangat, mulutnya selalu tersenyum. Keningnya lebar dan pakaiannya sederhana, tanda bahwa dia seorang yang mempunyai pandangan luas dan mengerti akan isi kehidupan manusia. Tubuhnya sedang, padat berisi tenaga yang luar biasa, namun dari luar nampaknya lemah saja. Rambutnya diikat ke atas, diikat dengan tali warna putih sedangkan pakaiannya seringkali berwarna kuning dengan ikat pinggang biru. Gagang pedang selalu nampak tersembul di belakang pundaknya karena sebagai seorang ahli silat yang maklum akan banyaknya orang jahat yang sewaktu waktu bisa datang menyerang, ia tak pernah terpisah dari senjatanya. Pendekar ini amat terkenal akan kelihaian ilmu pedangnya, sungguhpun disamping ilmu pedang, iapun memiliki ilmu ilmu silat lain yang tak kurang lihainya. Hal ini dapat dimengerti kalau orang tahu bahwa dia adalah murid dari Kim Kong Taisu tokoh di Oei san, juga murid dari Mo bin Sin kun wanita perkasa yang memiliki kepandaian lweekang mengagumkan sekali, kemudian ia menjadi murid pula dari mendiang Bu Tek Kiam ong raja pedang. Kepandain kepandaian khusus dari pendekar pendekar besar ini, disamping Tee coan liok kiam sut ilmu pedang yang disebut raja ilmu pedang ini, masih ada lagi ilmu silat Thai lek kim kong jiu yang ia dapat dari Kim Kong Taisu dan Soan hong pek lek jiu yang ia pelajari dari Mo bin Sin kun!
Di samping pendekar besar ini, istrinyapun terkenal sebagai seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa. Nyonya Song ini dahulu bernama Can Sian Hwa, menjadi murid dari tokoh besar Pat jiu Giam ong dan memiliki ilmu pedang Pat kwa Sin kiam hwat. Nyonya yang berwajah elok dan bertubuh ramping ini amat setia dan mencinta kepada suaminya, bahkan kerukunan hidup sepangan suami isteri ini sering kali dijadikan buah tutur dan tauladan bagi orang orang tua yang menasihati para pengantin baru. Memang jarang sekali melihat suami isteri seperti Song Bun Sam dan Can Sian Hwa, begitu rukun, saling mengindahkan, saling mencinta lahir batin sehingga nampaknya tak pernah tua.
Suami isteri pendekar ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama seorang putera diberi nama Tek Hong, dan yang ke dua seorang puteri diberi nama Siauw Yang. Bukan hal yang mengherankan apabila dari suami isteri seperti Song Bun Sam dan Can Sian Hwa ini lahir anak anak yang luar biasa seperti Tek Hong dan Siauw Yang. Tek Hong tampan dan gagah sekali, memiliki bentuk muka seperti ibunya, sedangkan Siauw Yang yang memiliki bentuk muka seperti ayahnya, juga merupakan seorang gadis yang berwajah ayu manis dan berpotongan badan langsing dan padat. Hanya bedanya, kalau Tek Hong berwatak pendiam dan tenang, adalah Siauw Yang lincah dan jenaka, suka bersikap manja seperti kanak kanak. Hal ini bukan hanya karena watak dasarnya, terutama sekali karena Siauw Yang amat dimanja oleh ibunya.
Anehnya, dalam hal ilmu silat, Siauw Yang luar biasa sekali dan biarpun usianya lebih muda dua tahun dari kakaknya, namun dengan cepat ia dapat mengejar dan menyusul kepandaian kakaknya, bahkan setelah mereka berusia belasan tahun, di dalam latihan latihan ia dapat mengimbangi kepandaian Tek Hong. Setelah dewasa nyata sekali bahwa Tek Hong lebih menang dalam lweekang, namun ia harus mengakui bahwa gerakan adiknya lebih cepat daripadanya tanda bahwa Siauw Yang lebih matang dalam kepandaian ginkang. Namun, keduanya memang berbakat baik sekali dan dengan penuh ketekunan dan kegirangan hati Thian te Kiam ong lalu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada dua orang keturunannya ini.
Sebetulnya, sekali kali bukan karena Tek Hong kalah pintar oleh adiknya. Melainkan karena semenjak kecil, memang Siauw Yang suka akan ilmu silat dan mempelajarinya lebih tekun. Sebaliknya dalam hal ilmu kesusasteraan, Tek Hong jauh lebih pandai daripada adiknya. Siauw Yang kurang sabar mempelajari ilmu surat, dan hanya paksaan daripada ayahnya yang membuat ia dapat juga memiliki kepandaian lumayan dalam ilmu kesusasteraan. Sebaliknya Tek Hong memang suka kali membaca, maka selain pandai membaca dan menulis, ia juga pandai membuat sanjak dan melukis.
Kesukaan terutama dari Siauw Yang adalah pergi bermain main dengan kuda kesayangannya, seekor kuda berbulu putih seperti salju dan dapat berlari cepat laksana angin, sesuai dengan namanya yang diaebut Soat hong ma (Kuda Angin Salju ). Song Bun Sam membeli kuda ini dan daerah utara untuk sepuluh ribu tael perak.
Pada waktu Coa Kiu tiba di Tit le, Song Bun Sam yang ditemani oleh Tek Hong tengah bercakap cakap dengan seorang tamu yang bukan lain adalah Ouw bin cu Tong Kwat. Si muka hitam ini sudah lama sekali tertarik oleh nama besar Thian te Kiam ong dan ketika ia lewat di Tit le, ia sengaja mencari dan singgah di rumah pendekar besar ini. Seperti biasa, Song Bun Sam menyambutnya dengan segala keramahan, ditemani pula oleh puteranya. Memang Bun Sam selalu memberi kesempatan kepada anak anaknya untuk bertemu dan bercakap cakap dengan orang orang kang ouw sehingga ke dua orang anak ini dapat meluaskan pengetahuan dan mendengar segala hal yang terjadi di dunia kang ouw.
Tadinya Ouw bin cu Tong Kwat ingin sekali mencoba kepandaian Si Raja Pedang, namun seperti juga orang orang kang ouw lainnya, begitu bertemu dengan pendekar ini, melihat pengaruh luar biasa yang memancar dan pandang matanya dan melihat keramah tamahannya, luluhlah segala niatnya itu.
Keluarga Song ini tidak memegang teguh kebiasaan kuno, maka setiap waktu. Can Sian Hwa atau nyonya Song sendiri ikut pula menyambut tamu dan bercakap cakap dengan manis budi. Memang, biarpun wanita, karena memiliki kegagahan dan sudah biasa hidup di dunia persilatan, sikap mereka tidak malu malu lagi, terganti oleh sikap jujur dan gagah, tidak takut akan sesuatu asalkan berada di fihak benar. Ketika Ouw bin cu datang, nyonya Song juga ikut menyambut akan tetapi tak lama kemudian ia minta diri untuk mengurus pekerjaan di dalam rumah dan mengawasi pekerjaan para pelayan.
Oleh karena itu, ketika Coa Kiu tiba, ia hanya melihat Song Bun San, puteranya, dan seorang tamu tosu bermuka hitam. Ia tahu bahwa Song siocia (nona Song), yakni panggilan untuk Song Siauw Yang, sedang berkuda di luar kota karena tadipun ia bertemu di jalan dengan nona itu.
Ketika Song Bun Sam melihat kedatangan orang ini, ia tersenyum dan berdiri menyambut. Coa Kiu segera memberi hormat yang dibalas sepantasnya oleh Bun Sam dan Tek Hong.
“Ah, kiranya Coa piauwsu yang datang,” kata Song Bun Sam ramah. “Kebetulan sekali, silahkan duduk! Sudah kenalkah kau dengan totiang ini? Dia adalah Ouw bin cu Tong Kwat yang terkenal.”
Coa Kiu memperkenalkan diri kepada Ouw bin cu dan mereka berempat segera duduk menghadapi meja.
“Kedatangan siauwte ini selain untuk melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu dengan taihiap (pendekar besar), juga siauwte hendak menyampaikan sebuah benda yang tentu akan menarik perhatian Song taihiap.”
Berkerut kening pendekar besar itu, akan tetapi mulutnya masih tetap tersenyum ketika ia berkata, “Ah, Coa piauwsu terlalu sungkan, seperti tidak tahu saja bahwa aku tidak pernah menerima barang sumbangan dari orang lain.” Merah wajah Coa Kiu mendengar ini. Tentu saja ia sudah tahu akan watak pendekar pedang yang aneh ini, yakni bahwa selamanya tidak mau menerima pemberian orang lain, baik sebagai tanda mata maupun sebagai tanda penghormatan.
“Taihiap harap jangan salah sangka. Siauwte sama sekali tidak berniat memberikan sesuatu yang berharga untuk menarik perhatian ataupun bermuka muka. Sesungguhnya siauwte hendak berikan benda itu karena terdorong oleh rasa hormat siauwte kepada taihiap, juga terutama sekali karena siauwte sendiri tidak tahu harus berbuat bagaimana dengan benda ini. Menurut siauwte, benda ini takkan berguna bagi lain orang kecuali taihiap.”
Song Tek Hong yang masih muda, baru berusia sembilan belas tahun, tentu saja lebih panas darahnya dan tidak sabaran kalau dibandingkan dengan ayahnya, sungguhpun ia termasuk seorang pemuda pendiam dan tenang. Kini mendengar ucapan Coa Kiu, ia bertanya,
“Keteranganmu sungguh menarik hatiku, paman Coa Kiu. Sesungguhnya, benda apakah yang begitu rahasia?”
Song Bun Sam memaafkan puteranya, karena pertanyaan inipun bukan terdororg oleh keinginan memiliki benda itu, hanya karena ingin tahu belaka. Maka ia tersenyum saja mendengar pertanyaan puteranya kepada tamu itu.
Coa Kiu memasukkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan bungkusan kain kuning. Namun ia nampak ragu ragu dan memandang ke arah Ouw bin cu, kemudian berpaling kepada Song Bun Sam dan berkata,
“Maaf, Song taihiap, Siauwte tidak mau berlaku kurang hormat kepada totiang (panggilan untuk tosu) ini. hanya siauwte ingin bicara tentang benda ini bertiga dengan taihiap dan kongcu (tuan muda) saja.”
Bukan main mendongkolnya hati Ouw bin cu mendengar ini, akan tetapi ia berbareng merasa amat tertarik juga. Betapapun juga, di hadapan Song Bun Sam ia tidak berani memperlihatkan perasaannya dan hanya menanti jawaban tuan rumah.
“Ah, Coa piauwsu, mengapa kau begitu sungkan sungkan? Ketahuilah bahwa bagi kami keluarga Song tidak pernah menyimpan sesuatu rahasia. Kalau kau mau memperlihatkan benda itu kepada puteraku, bukalah saja di sini, di hadapan siapapun juga. Kalau kau berkeberatan, sudahlah tak usah diperlihatkan juga tidak mengapa.” Biarpun kata kata ini tegas, namun karena diucapkan dengan mulut tersenyum, maka tidak menyinggung hati orang.
Coa Kiu lekas lekas menyelesaikan tugasnya, maka setelah mendengar ini, ia meletakkan bungkusan kain kuning di atas meja dan membukanya. Ketika bungkusan dibuka dan ternyata isinya hanya sehelai kertas, semua orang tertarik termasuk Song Bun Sam sendiri.
“Song taihiap, sebetulnya benda ini adalah sebuah peta rahasia yang kebetulan sekali terjatuh ke dalam tangan siauwte. Ketika siauwte melalui hutan di Pegunungan Lu liang san, siauwte diserang oleh gerombolan perampok. Akhirnya siauwte berhasil membunuh kepala perampok dan dari saku bajunya siauwte mendapatkan peta ini. Sudah lama siauwte mempelajarinya dan mendapat kenyataan bahwa peta ini menunjukkan sebuah tempat rahasia di mana terdapat harta pusaka yang besar nilainya. Akan tetapi, karena kepandaian siauwte amat terbatas, dan karena siauwte menaruh hormat setinggi tingginya kepada taihiap, siauwte anggap bahwa selain taihiap, tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menerima peta ini dan untuk mencari tempat rahasia itu.”
Mendengar ucapan Coa Kiu tentang harta pusaka yang besar harganya, diam diam Ouw bin cu memasang mata dan telinga baik baik dan hatinya tergerak. Adapun Song Bun Sam dan puteranya, bukan sekali kali tergerak oleh disebutnya harta yang besar nilainya melainkan tergerak hati mereka kerahasiaan peta itu.
Song Bun Sam dan puteranya lalu memeriksa peta itu dan keduanya biarpun agak sukar, dapat pula membaca peta dan semua huruf huruf kuno dari jaman Hsia. Sampai lama ayah dan anak ini memeriksa, dilihat oleh Coa Kiu dan Ouw bin cu. Kemudian pendekar besar itu dan puteranya saling memandang dan tiba tiba Song Tek Hong tersenyum lebar. Juga Song Bun Sam tersenyum.
“Coa piauwsu, banyak terima kasih atas maksud hatimu yang baik sekali itu. Akan tetapi, terus terang saja, kami tidak mau menerima pemberianmu ini, karena kami tidak bermaksud mengejar harta pusaka seperti yang kausebutkan tadi!”
Song Bun Sam dan puteranya yang berotak cerdik sekali, ketika mendengar penuturan Coa Kiu tadi saja, sudah menaruh hati curiga dan tidak senang. Orang yang memeriksa kantong dan bahkan mengambil barang di dalam kantong orang lain biarpun orang itu hanya seorang kepala perampok tak dapat disebut orang baik baik! Dari penuturan itu saja, Coa Kiu telah menelanjangi diri sendiri memperlihatkan kebusukannya. Akan tetapi Ouw bin cu yang tertarik sekali akan peta rahasia itu, tentu saja tidak berpikir sejauh itu.
Kemudian setelah ayah dan anak yang cerdik ini melihat peta dan membaca huruf huruf tulisan jaman Hsia, mereka tersenyum dan ketika mereka saling memandang, tahulah mereka bahwa masing masing telah dapat melihat kepalsuan peta ini. Tulisan orang di jaman Hsia tidak mungkin ditulis di atas kertas, karena pada jaman itu belum ada kertas! Agaknya penulisnya, atau orang yang sengaja membuat peta palsu ini, tidak mempelajari tentang sejarah kuno! Mereka menganggap bahwa Coa Kiu telah menjadi korban orang jahil yang suka main main.
Mendengar penolakan Song Bun Sam, Coa Kiu menjadi bingung sekali. Gagallah tugasnya dan mengingat ancaman kakek buntung itu ia bergidik ketakutan.
“Song taihiap harap menerimanya. Bagi siauwte, tidak penting apakah taihiap hendak mencari tempat itu atau tidak, asalkan taihiap sudi menerimanya, cukuplah. Hal itu akan berarti bahwa taihiap sudah menerima penghormatan dari siauwte.”
Akan tetapi Thian te Kiam ong tetap menggelengkan kepalanya, bahkan ia membungkus lagi peta itu dengan kain kuning dan didorongnya bungkusan itu di depan Coa Kiu.
“Terima kasih, Coa piauwsu. Aku tidak biasa menerima kebaikan orang lain, baik yang berguna bagiku maupun yang tidak. Kau bawalah peta ini dan harap jangan mendesak lagi.”
Dalam bingungnya, Coa Kiu lupa bahwa kalau orang mendesak terus kepada Thian te Kiam ong sama halnya dengan mencari penyakit dan menimbulkan amarah pada pendekar besar yang keras hati itu, ia berkata lagi dengan suara membujuk,
“Song taihiap. Sayang sekali kalau peta ini dibiarkan saja tanpa dibuka rahasianya. Kalau taihiap sendiri tidak membutuhkan harta pusaka, sukalah kiranya taihiap hitung hitung menolong dan membantu siauwte mendapatkan harta itu.”
“Cukup!” kini Song Tek Hong bangkit berdiri dan matanya bercahaya seperti kilat. “Kau bawalah pergi benda ini paman Coa dan harap jangan mengganggu lagi!”
Barulah Coa Kiu terkejut sekali, ia belum pernah menyaksikan kepandaian anak muda ini tentu saja ia tidak takut, tetapi takut kepada Thian te Kiam ong, maka cepat cepat ia mengambil bungkusan kuning menjuri meminta maaf lalu pergi dari situ. Ada pikiran yang cerdik timbul di otaknya. Tadi ia melihat Song siocia, puteri Thian te Kiam ong berkuda di luar dusun. Biasanya wanita lebih mudah dipengaruhi oleh kata katanya, apalagi tentang sesuatu yang mengandung rahasia. Kalau ia bisa memberikan peta ini kepada puteri Song Bun Sam, bukankah itu sama saja halnya dan ia takkan mendapat marah dari kakek buntung itu?
Sementara itu, Ouw bin cu yang melihat peristiwa tadi, lalu bangun berdiri dan berpamitan kepada Song Bun Sam, menyatakan bahwa ia ingin melanjutkan perjalanannya dan menghaturkan terima kasih atas penyambutan tuan rumah. Kemudian iapun pergi dengan cepat sekali.
“Hong ji, kuamat amati si muka hitam itu, agaknya ia mengandung maksud tidak baik terhadap Coa Kiu!” kata Song Bun Sam ketika kedua orang tamunya sudah pergi.
Song Tek Hong maklum akan perintah ayahnya ini, karena otaknya yang cerdikpun sudah dapat menduga, bahkan iapun tadi telah curiga terhadap Ouw bin cu yang dilihatnya memang amat tertarik akan peta itu. Maka pergilah pemuda ini. Gerakannya hebat kali karena sekali ia berkelebat, ia telah lenyap dari situ, hanya bayangannya saja yang nampak menerobos pintu depan.
Thian te Kiam ong Song Bun Sam mengelus elus kumisnya dan tersenyum. Ada baiknya sekali terjadi hal seperti itu untuk memberi pengalaman kepada puteranya.
“Kau kenapakah, tersenyum senyum seorang diri meraba raba kumis! Kemana perginya tamu tamu kita dan ke mana pula Hong ji ?” tiba tiba terdengar suara halus penuh kasih sayang, dan pendekar besar ini menoleh sambil tersenyum kepada isterinya yang sudah berdiri di belakangnya.
“Duduklah, sayang. Aku tadi melihat peristiwa yang amat lucu,” kata Song Bun Sam sambil memegang tangan isterinya dan ditariknya isterinya itu duduk berhadapan dengannya. Kemudian terdengar suami isteri ini bercakap cakap, diseling oleh suara ketawa mereka, nampaknya rukun dan damai sekali.
Coa Kiu berlari cepat keluar dari kota, menuju ke tempat di mana tadi ia melihat Song Siauw Yang bermain main menunggang kuda dan bersendagurau dengan para wanita petani. Akan tetapi, ketika tiba di tempat itu, di sana sunyi saja tidak nampak seorangpun manusia.
Tiba tiba ia mendengar suara orang memanggil, “Coa piauwsu….!”
Coa Kiu menoleh dan melihat tosu yang bermuka hitam dan tadi ia jumpai di dalam rumah Song taihiap berlari lari cepat ke tempat ia berdiri.
Selelah berhadapan, Coa Kiu kagum menyaksikan kecepatan lari tosu ini.
“Totiang, kau menyusulku ada keperluan apakah? Apakah barangkali kau disuruh oleh Song taihiap memanggilku kembali?” tanyanya penuh harapan. Pertanyaan ini mendatangkan sebuah akal dalam pikiran Ouw bin cu Tong Kwat. ia tersenyum dan berkata.
“Betul, Coa piauwsu. Memang pinto (aku) disuruh oleh Song taihiap, akan tetapi bukan minta engkau kembali ke sana, melainkan disuruh minta peta itu dan kau diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan iringan terima kasih dari Song taihiap serta maaf bahwa tadi mereka telah menolak pemberianmu.”
Akan tetapi Coa Kiu adalah seorang bekas piauwsu yang sudah banyak pengalaman dan sudah banyak menghadapi orang orang jahat sehingga ia berlaku hati hati. Ia belum kenal betul kepada tosu ini maka tentu saja ia tidak mau mempercayakan begitu saja.
“Tidak, Song taihiap harus menerima dengan tangannya sendiri. Biar siauwte pergi menjumpainya dan memberikan peta ini kepadanya.” Sambil berkata demikian Coa Kiu hendak berlari kembali ke rumah Song Bun Sam.
Akan tetapi tiba tiba ouw bin cu mengulur tangan dan memegang lengan Coa Kiu. Pegangan ini keras sekali dan Coa Kiu memandang heran.
“Tak usah pergi, Coa piauwsu. Song taihiap sudah mewakilkan kepada pinto untuk minta peta itu dan untuk melakukan penyelidikan di mana adanya tempat rahasia penyimpan harta benda itu. Kalau kau ke sana, pinto yang akan mendapat marah besar. Berikan peta itu kepadaku.”
“Tidak!” Coa Kiu membentak sambil mengerahkan tenaga merenggut lepas lengannya yang terpegang oleh tosu itu. “Jangan dikira aku tidak tahu akan akal bangsat macam itu.”
“Bagus, kalau begitu kau menghendaki kekerasan.” Ouw bin cu membentak dan mengayun kepalan tangannya menyerang ke arah dada Coa Kiu dengan gerak tipu Sin mo toat benge (Malaikat Mencabut Nyawa). Pukulan ini dilakukan dengan tangan kanan memukul keras ke arah ulu hati lawan, diikuti dengan tangan kiri yang menyambar ke bawah. Dua pukulan yang dilakukan bertubi tubi ini memang benar benar merupakan pukulan yang mendatangkan maut kalau mengenai sasaran.
“Ganas sekali!” seru Coa Kiu yang cepat menarik kakinya ke belakang dua kali berturut turut lalu kedua tangannya maju memukul kepala lawannya. Inilah gerak tipu Auw po ta san (Menggeser Kaki Memukul Gunung), semacam ilmu pukulan yang tak kurang lihainya.
“Bagus!” bentak Ouw bin cu yang segera menangkis dan melanjutkan serangannya lebih hebat lagi. Dalam tangkisan ini, ia mendapat kenyataan bahwa Coa Kiu memiliki tenaga cukup besar dan memiliki gerakan cukup tangkas, sehingga merupakan lawan yang bukan ringan. Maka ia cepat cepat merobah gerakan tubuhnya dan kini ia melancarkan serangan dengan ilmu silat yang bernama Sin jin pat ta (Delapan Pukulan Dewa). Dengan pukulan ini ia mendesak Coa Kiu.
Namun bekas piauwsu itu sudah banyak pengalaman bertempur dan ia mengenal ilmu silat yang lihai ini. Cepat ia lalu mengerahkan ginkang nya dan melayani serangan ini dengan ilmu silat yang disebut Yan cu lauw goat (Burung Walet Mencari Bulan). Mengandalkan kegesitannya, seakan akan burung walet itu menghindarkan diri dan pukulan tosu muka hitam itu, bahkan membalas dengan pukulan pukulan dan tendangan silih berganti.
Menghadapi kegesitan lawannya, Ouw bin cu marah dan penasaran sekali. Juga ia merasa khawatir kalau pertempuran ini berlangsung terlalu lama. karena mereka masih berada tak berapa jauh dan tempat tinggal Thian te Kiam ong. Siapa tahu kalau kalau pendekar itu mengetahui tentang pertempuran ini? Akan celakalah dia kalau begitu!
“Betul betul tidak mau kau menyerahkan peta itu kepadaku?” bentaknya sambil melompat mundur.
“Tosu keparat, kau lebih mirip seorang perampok jahat!” Coa Kiu memaki marah.
“Hm, kau mencari mampus sendiri!” Ouw bin cu membentak dan cepat tangannya meraba punggung, mencabut keluar pedangnya.
“Kaulah yang mencari mampus!” kata Coa Kiu yang tidak mau mengalah dan juga piauwsu ini mencabut keluar goloknya yang berlobang pada ujungnya.
Perkelahian dilanjutkan dengan lebih hebat lagi karena kini keduanya mempergunakan senjata tajam. Keduanya memiliki gerakan yang cepat dan kuat sekali sehingga berkali kali terdengar suara nyaring diikuti oleh berpijarnya bunga api yang timbul dari benturan kedua senjata.
Akan tetapi, sebentar saja ternyata bahwa ilmu pedang dari Ouw bin cu lebih kuat Coa Kiu mulai terdesak hebat dan akhirnya, golok di tangannya kena dipukul sehingga terlepas dari pegangan nya.
“Serahkan peta!” Ouw bin cu membentak.
Akan tetapi Coa Kiu bahkan melarikan diri, bermaksud kembali ke rumah Thian te Kiam ong untuk minta pertolongan! Tentu saja Ouw bin cu tidak menghendaki hal ini terjadi dan ia menghadang sambil membacok. Coa Kiu mengelak sedapat mungkin dan pada saat berbahaya itu, terdengar suara derap kaki kuda dan debu mengebul tinggi.
“Song siocia…. Tolonglah…..!” teriak Coa Kiu dengan girang sekali ketika melihat seekor kuda berbulu putih yang tinggi besar dan indah yang ditunggangi oleh seorang gadis cantik jelita. Gadis ini bukan lain adalah Song Siauw Yang. Ia memang sudah kenal kepada Coa Kiu biarpun ia tidak suka kepada orang yang pandai menjilat dan bermuka muka ini. Namun melihat betapa piauwsu itu diserang oleh seorang tosu tinggi besar bermuka hitam dan berada dalam keadaan terdesak dan berbahaya sekali, ia berseru nyaring,
“Bangsat dari mana berani main gila di sini!”
Berbareng dengan ucapan ini, tubuhnya melayang dari atas kudanya, dan tahu tahu ia telah melayang di atas kepala Ouw bin cu sambil menggerakkan kedua kakinya menendang nendang dengan hebatnya!
Ouw bin cu terkejut sekali. Ia cepat menggulingkan tubuh ke atas tanah dan melompat lagi, siap untuk menghadapi lawan baru ini. Juga dara itu telah berdiri menghadapinya, akan tetapi sebelum Ouw bin cu sempat menggerakkan pedangnya, nona itu telah menggerakkan tangan memukul ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Biarpun jarak di antara mereka masih beberapa langkah dan tangan dara yang memukul itu tidak menyentuhnya, namun Ouw bin cu berteriak keras dan pedangnya terlepas dari pegangan. Pergelangan tangannya terasa sakit dan panas sekali, ia tidak tahu bahwa dara ini rnemperguna kan Ilmu Pukulan Soan hong pek lek jiu yang lihai. Sambil mengaduh aduh, Ouw bin cu membungkuk bungkuk memegangi pergelangan tangannya dan tidak berani melawan lagi.
“Siapakah dia dan mengapa menyerangmu, paman Coa?” suara gadis ini terdengar merdu sekali, bagaikan orang bernyanyi.
“Dia hendak merampok sebuah peta rahasia tempat penyimpanan pusaka kuno, Song siocia,” “Hem, kalau begitu ia buta dan tuli! Ia tidak melihat bahwa di daerah ini tidak boleh terjadi kejahatan, dan apakah dia tuli tidak pernah mendengar nama ayah?” Sambil berkata demikian, Song Siauw Yang mengambil pedang Ouw bin cu yang terjatuh di atas tanah, lalu menghampiri tosu yang masih berdiri membungkuk dan menggigil itu.
“Sebagai pelajaran, aku harus mengambil sebelah telinga dan sebelah matamu, agar lain kali kau mempergunakan sisa mata dan telingamu baik baik untuk mengetahui bahwa di daerah tempat tinggal Thian te Kiam ong, tidak boleh orang bermain gila!”
“Ampun, siocia, ampun ” kata Ouw bin cu meratap.
Namun sambil tersenyum senyum mempermainkan, Siauw Yang mengangkat pedang itu.
“Yang moi, tahan....!” tiba tiba terdengar seruan orang dan mucullah Song Tek Hong yang semenjak tadi mengintai dan menonton segala peristiwa itu.
Siauw Yang memang tidak mau menyakiti orang, ia hanya ingin menggoda dan mempermainkan Ouw bin cu. Melihat kakaknya yang muncul, ia merengut.
“Koko, kau selalu menghalangi kehendakku! Apakah dia ini calon mertuamu maka kaubela dia?”
Merah muka Tek Hong menghadapi godaan adiknya yang dianggapnya terlalu ini.
“Hush, Yang moi, kautahanlah lidahmu!” Tek Hong mencela adiknya, kemudian ia menghampiri Coa Kiu dan berkata.
“Paman Coa, benar benarkah kau hendak memberikan peta itu kepada ayah?”
“Tantu saja, Song kongcu. Selain ayahmu atau kau dan siocia, tak nanti orang lain boleh mengambil peta ini, biarpun nyawaku akan direngut dari tubuhku.”
“Nah, kalau begitu keluarkan peta itu!”
Bergegas Coa Kiu mengeluarkan peta dan memberikannya kepada Tek Hong. Hatinya girang bukan main karena betapapun juga, akhirnya ia toh dapat memenuhi tugas yang ia terima dari kakek buntung. Peta itu akhirnya diterima juga oleh putera Thian te Kiam ong !
“Terima kasih, paman Coa. Dan sekarang pergilah, aku masih ada urusan dengan tosu ini.”
Coa Kiu tak usah disuruh dua kali untuk pergi dari situ. Tugasnya sudah selesai dan ia memang tidak mau lama lama tinggal di tempat orang yang dibohonginya mengenai peta itu. Sambil menghaturkan terima kasih atas pertolongan Siauw Yang, ia membungkuk bungkuk lalu berlari pergi secepatnya dari tempat itu.
Adapun Ouw bin cu menjadi makin ketakutan “Celaka,” pikirnya, “dua orang anak Thian te Kiam ong telah mengetahui perbuatanku. Tentu aku takkan mendapat ampun lagi.”
Akan tetapi, alangkah girang dan juga heran hatinya ketika Tek Kong menghampirinya dan menyerahkan bungkusan peta itu kepadanya sambil berkata, “Ouw bin cu, kau menghendaki peta inikah? Nah, kau terimalah dan mudah mudahan kau akan dapat menemukan harta pusaka itu! Sekarang tak usah banyak tanya dan cakap lagi lekas kau pergi dari sini!”
Hal ini tentu saja membikin Ouw bin cu menjadi terheran heran dan juga girang sekali. Cepat ia mengambil pedangnya yang dilempar ke bawah oleh Siauw Yang, lalu
menjura sampai dalam mengucapkan terima kasih, kemudian pergi melarikan diri secepat mungkin sebelum pemuda aneh itu berobah lagi pikirannya.
Tidak hanya Ouw bin cu yang terheran heran, bahkan Siauw Yang sendiri menjadi heran dan penasaran sekali. Tanpa berkata sesuatu, dara ini melompat dan dalam beberapa lompatan saja, ia telah dapat menyusul Ouw bin cu dan menarik leher bajunya terus diseret tubuh tosu itu ke dekat kakaknya kembali. Tentu saja Ouw bta cu menjadi pucat dan gemetar seluruh tubuhnya.
“Hayo bilang sejujurnya, apakah kau mempunyai seorang anak perempuan?” tanya Siauw Yang membentak marah.
Tentu saja Ouw bin cu menjadi melongo dan tak dapat menjawab untuk beberapa lama atas pertanyaan yang dianggapnya luar biasa anehnya itu. Adapun Tek Hang yang merah sekali mukanya beberapa kali mencela adiknya,
“Hush, moi moi, kurang ajar jangan main gila.”
Akan tetapi Siauw Yang tidak perdulikan engkonya, sebaliknya lalu menyentil dengan telunjuknya ke arah telinga Ouw bin cu. Hampir saja Ouw bin cu menjerit karena kuku telunjuk dara itu ternyata telah merobek sedikit daun telinganya.
“Hayo jawab, apakah kau mempunyai seorang anak perempuan?”
“Ti.... tidak, Siocia. Isteripun tidak punya bagaimana bisa punya anak perempuan?” Ouw bin cu menjawab dengan semangat tinggal setengahnya karena mengira bahwa ia akan dibunuh oleh dara yang galak ini.
“Betul betul kau tidak ingin mengambil mantu kepada kakakku ini?” “Tdak, tidak ”
“Kalau begitu, hayo mengaku mengapa kakakku begitu baik hati terhadap seorang jahat seperti engkau, apakah ada udang di balik batu?”
“Pinto tidak tahu. Siocia… barangkali ”
“Barangkali apa?” Siauw Yang membentak tak sabar. “Song taihiap terkenal sebagai seorang yang murah hati
dan budiman, tentu saja kongcu juga seperti ayahnya suka berlaku murah hati kepada pinto ”
Tersindir jugalah dara yang cerdik ini oleh ucapan Ouw bin cu, maka ia melepaskan genggaman pada leher baju tosu itu. Dengan ucapan itu, tosu ini memuji ayah dan kakaknya, sama halnya dengan mencela dia yang dianggap berbeda dengan ayah dan kakaknya yang berbudi.
Sebetulnya Siauw Yang hanya ingin menggoda kakaknya, karena hatinya benar benar pena saran sekali melihat peta yang menarik hatinya itu diberikan begitu saja kepada Ouw bin cu setelah diterima dari Coa Kiu.
“Hong ko, sebetulnya mengapakah kau memberikan peta itu kepada tosu siluman ini?”
“Sabar dan tenanglah, Yang moi. Dia ini bukan tosu siluman melainkan manusia biasa, namanya Ouw bin cu Tong Kwat. Dia ingin mencari harta dan peta ini dan aku hanya menurut pesan ayah saja. Kalau kau mau tahu sebabnya, baiklah nanti kita bertanya kepada ayah. Sekarang lepaskan dia, kasihan dia ketakutan setengah mati.”
Siauw Yang menjadi sabar kembali. “Enyahlah, kura kura.” Ouw bin cu berkali kali mengomel panjang pendek dan menyesali diri sendiri yang berkepandaian rendah dibandingkan dengan dua orang putera puteri Thian te Kiam ong itu.
Setelah Ouw biu cu pergi jauh, barulah Tek Hong tertawa geli. Siauw Yang cemberut dan mengancam kakaknya.
“Kalau kau tidak mau memberi tahu mengapa kau tertawa, aku takkan mau bicara denganmu selama hidupku!” Ia mengira bahwa kakaknya mentertawakannya.
“Aku memertawakan tosu itu, moi moi. Kau tidak tahu, peta itu adalah peta palsu. Ayah dan aku mengetahui hal ini.” Ia lalu menceritakan kedatangan Coa Kiu.
“Karena itulah, maka kuterima peta itu dan kuberikan kepada Ouw bin cu. Biar tosu muka hitam itu bersusuh payah mencari harta dari peta palsu!”
Mendengar ini, Siauw Yang tertawa berkikikan karena geli hatinya.
“Kau pintar sekali, Hong ko. Benar benar aku bangga mempunyai kakak seperti kau!”
Senang hati Tek Hong mendengar ini. Keduanya bercakap cakap sambil sebentar sebentar tertawa. Memang dua orang saudara ini saling mengasihi. Amat cocok pemuda dan pemudi yang elok ini berjalan berendeng. Siauw Yang menuntun kudanya dan Tek Hong menggandeng tangan kiri adiknya.
Akan tetapi, di antara senyumnya, sepasang alis Siauw Yang yang melengkung dan hitam kecil panjang itu berkerut, seakan akan ada yang dipikirkannya. Gadis ini mempunyai kecerdikan luar biasa dan biarpun ayah dan kakaknya menganggap pemberian peta itu sebagai lelucon belaka, namun pikiran gadis ini lain lagi. Tentu ada apa apanya, pikirnya, ia tahu bahwa ayahnya mempunyai banyak musuh yang hanya karena takut terhadap pedang ayahnya maka tidak berani bertingkah. Kini terjadi peristiwa ini, siapa tahu kalau ada musuh yang sengaja mengatur umpan untuk menjebak ayahnya? Ayahnya tidak terkena pancingan, itu baik sekali. Akan tetapi hati dara ini tidak puas. Penolakan ayahnya itu seakan akan menunjukkan bahwa ayahnya takut menghadapi perangkap musuh. Dia tidak! Lebih baik berpura pura tidak tahu akan adanya jebakan musuh, dan maju dengan berani. Dengan cara demikian, akan terlihatlah siapa orangnya yang herani main gila!
“Hong ko, apakah kau tadi sudah melihat peta itu?” “Peta palsu itu? Sudah, sudah kupelajari dengan ayah.” “Ceritakanlah kepadaku, Hong ko.”
“Untuk apa? Peta itu palsu!”
“Palsu atau tidak, aku ingin juga mengetahui isinya. Kau dan ayah sudah mengetahui, aku sendiri belum. Adilkah ini?”
Tek Hong maklum akan kekerasan hati adiknya dan kalau ia tidak dituruti permintaannya, tentu adiknya ini akan merengek terus dan setiap hari akan mengganggunya. Maka ia lalu mengajak Siauw Yang duduk di tempat yang teduh kemudian dengan sebatang ranting ia menggambar peta itu di atas tanah. Memang pemuda ini memiliki ingatan yang amat kuat, pula ia memang ahli tentang lukisan dan tulisan, oleh kareua itu ia masih hafal semua isi peta itu.
“Nah, menurut peta itu, di sebelah kiri dari pulau yang berbentuk kura kura, pulau ketujuh sebelah kiri kalau kita datang dari darat, adalah pulau rahasia yang menyimpan harta pusaka. Nama pulau itu Pulau Tiga Naga (Sam liong to), merupakan sebuah di antara Pulau Seribu,”
“Menarik sekali!” kata Siauw Yang dan matanya yang jeli seperti mata burung Hong itu berseri.
“Menarik apanya? Peta itu palsu dan mungkin pulau itu tidak ada, kalau adapun tentu pulau kosong. Ini hanya perbuatan seorang badut yang main gila. Hayo kita pulang, ayah menanti nanti.”
Siauw Yang tidak puas, akan tetapi ia tidak membantah dan pulanglah mereka. Thian te Kiam ong dan isterinya yang masih duduk bercakap cakap, ketika mendengar cerita Tek Hong tentang pemberian peta itu kepada Ouw bin cu dan tentang kenakalan Siauw Yang, tertawa geli sampai keluar air mata. Maka bergemalah suara ketawa ayah ibu dan dua orang anaknya ini penuh kegembiraan, tanda sebuah rumah tangga yang berbahagia.
Di atas Pulau Sam liong to, kakek buntung Lam hai Lo mo membanting banting kaki saking jengkelnya ketika ia memaksa Ouw bin cu untuk menceritakan bagaimana peta itu sampai terjauh ke tangan si muka hitam ini. Ternyata bahwa Thian te Kiam ong terlalu cerdik untuk dapat dipancing datang, ia harus menggunakan siasat lain.
Adapun Siang Cu yang mendengar penuturan Siauw gam ong bahwa Thian te Kiam ong mempunyai dua orang anak yang kepandaiannya tinggi, menjadi tertarik sekali.
“Suhu, mengapa kita tidak datang saja ke Tit le? Teecu ingin sekali bertemu dengan mereka dan mencoba sampai di mana kepandaian musuh musuh kita itu. Pcrcayakanlah kepada teecu, akan teecu robohkan mereka itu seorang demi seorang.” Akan tetapi kakek buntung ini menggeleng kepalanya. “Belum waktunya, Cu ji, belum waktunya. Aku tidak
ingin melihat rencana yang sudah kuatur belasan tahun lamanya ini hancur berantakan, digagalkan oleh darah mudamu yang kurang sabar.” Kemudian, teringat akan cerita Siauw giam ong tentang keadaan pemerintah Goan tiauw yang makin lemah karena rakyat di mana mana mulai melakukan pemberontakan, timbul pikiran gila dalam otak kakek buntung ini. Ia tertawa bergelak dan berkala kepada Siang Cu.
“Cita cita hidupku bukan hanya melihat musuh musuh besarku binasa, Siang Cu. Masih ada lagi yang lebih penting, yakni aku harus melihat kau menjadi Ratu di Tiongkok! Ha, ha, ha, itulah seharusnya. Kau memang pantas dan berhak menjadi ratu di sana.”
Siang Cu tidak heran mendengar omongan suhunya ini, memang sudah sering kali gurunya bicara tidak karuan dan menyebut nyebut tentang kerajaan di mana dia akan dijadikan raja perempuan.
“Impian suhu terlalu muluk. Kerajaan memiliki bala tentara yang besar sekali, bagaimana kita dapat merebutnya demikian mudah?”
Kakek buntung ini tertawa terkekeh kekeh.
“Jangan khawatir! Kalau kaisar dan pangeran pangeran berada di dalam tangan kita, apa susahnya memaksa mereka mengangkatmu sebagai raja? Dan tentang bala tentara, ha, ha, ha! Mudah dicari, Cu ji, mudah dicari!” Selanjutnya Lam hai Lo mo mengoceh seorang diri, tidak memperdulikan lagi kepada muridnya dan kepada dua orang pembantunya. Ternyata gilanya sudah kumat lagi dan akhirnya kakek ini terpincang pincang masuk ke dalam pondoknya. Siang Cu menarik napas panjang dan berkata perlahan, “Kasihan sekali suhu dia sudah terlalu tua.”
Adapun Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang mendengar semua ini, saling pandang tanpa berani membuka mulut.
“Kalau boleh pinto bertanya, siocia ini puteri siapakah?” Akhirnya Ouw bin cu memberanikan hatinya kepada Siang Cu yang masih berdiri termenung.
Mendengar pertanyaan ini, dara itu nampak kaget dan hendak marah, akan tetapi melihat wajah Ouw bin cu yang tidak mengandung maksud buruk ia menjawab singkat, “Aku yatim piatu, semenjak kecil dididik oleh suhu. Sudahlah, tidak ada artinya bicara tentang itu. Kalian jaga suhu baik baik, uruslah segala keperluannya. Aku hendak mencari ikan.”
Gadis ini lalu berlari pergi, menuju ke sebelah perahu yang disembunyikan di dekat pantai. Adapun dua orang tosu itu lalu masuk ke dalam pondok untuk menanti perintah Lam hai Lo mo dan untuk melayani segala keperluannya.
Siang Cu berlari lari ke pantai. Hatinya masih penasaran sekali karena suhunya tidak mau menerima usulnya untuk pergi ke daratan Tiongkok dan mencari langsung musuh musuh besar mereka itu. Ketika ia tiba di sebuah rumpun, dibukanya rumput rumput tebal itu dan dikeluarkannya sebuah perahu yang kecil, ramping, dan runcing kedua ujungnya. Di dekat perahu itu terdapat sebuah dayung dari kayu yang sudah menghitam seperti besi. Ia lalu memegang ujung perahu dan sekali mengerahkan tenaga, perahu itu terlempar ke atas dalam keadaan terputar cepat. Ketika perahu itu meluncur kembali ke bawah, Siang Cu menggunakan dayung untuk menerimanya dan kini perahu
itu tetap terputar di atas dayung, makin lama makin cepat sehingga kini merupakan bundaran. Dilihat dari jauh, gadis itu seperti sedang memegang sebuah payung.
Dengan enaknya. Siang Cu ini membawa perahu itu ke laut. Di dekat pantai ia melompatkan perahu itu ke air dan tepat sekali jatuhnya perahu itu di atas air, terlentang dan mengambang, seperti diletakkan dengan hati hati saja. Kemudian tubuh gadis itu menyusul dengan loncatan yang indah sekali. Dari atas tepi yang agak curam itu, Siang Cu meloncat dengan mengembangkan kedua lengan seperti burung terbang. Dayung di tangan kanan ia gerak gerakkan untuk mengatur luncuran tubuhnya sehingga ia tepat tiba di atas perahunya. Memang indah sekali dilihat, apalagi ketika kedua kakinya sudah menginjak perahu, sedikitpun perahu itu tidak bergoyang goyang, hanya meluncur ke depan seperti di dorong. Dari ini aaja sudah dapat diukur sampai di mana tingginya kepandaian Siang Cu dan betapa hebat ilmu ginkangnya
Air laut sedang tenang sekali dan ketika Siang Cu menggerakkan dayungnya, perahu itu meluncur dengan cepat sekali menuju ke timur. Sebetulnya ia ingin sekali mendarat di daratan Tiongkok yang berada di sebelah barat pulaunya, akan tetapi kalau ia teringat kepada suhunya yang sudah tua dan betapa suhunya akan marah dan gelisah sekali, serta teringat pula bahwa merantau seorang diri mencari musuh musuh besar itu bukan pekerjaan mudah karena ia masih asing dengan daerah Tiongkok, maka ia membatalkan niatnya ini. Memang ia sering kali dibawa oleh gurunya ke daratan Tiongkok, akan tetapi hanya sampai di kota kota yang berdekatan dengan tepi laut saja. Itupun secara bersembunyi karena suhunya agaknya masih takut untuk bertemu di daratan Tiongkok dengan musuh musuh besarnya. Kalau ia teringat akan keadaan suhunya yang menjadi seorang bercacat dalam keadaan demikian mengerikan, ia merasa benci dan marah sekali kepada musuh musuh besar yang disebut oleh suhunya. Terutama sekali kepada Thian te Kiam ong, karena tokoh inilah yang paling ia benci oleh suhunya, yang dikatakan amat jahat. Apalagi karena di samping kebenciannya, gurunya kelihatan segan dan takut takut, sering kali memuji ilmu pedang Thian te Kiam ong. Hal ini membuat hati Siang Cu penasaran sekali dan ingin sekali ia mencoba ilmu pedang musuh ini.
Tiba tiba renungannya dibuyarkan oleh gerak air laut di sebelah kanannya. Wajahnya yang tadinya muram menjadi berseri girang. Di sebelah kanannya nampak serombongan kura kura berenang seakan akan berlomba lomba. Kadang kadang kepala kura kura kelihatan di permukaan air kadang kadang menyelam lagi dan hanya kelihatan punggungnya saja bergerak ke sana ke mari.
Inilah yang dicari carinya. Kura kura berpunggung segi empat. Daging kura kura macam ini amat digemari suhunya, juga ia sendiri amat suka akan daging ini yang memang gurih, manis dan lezat. Cepat ia mendayung perahunya ketempat rombongan kura kura itu dan setelah memilih yang terbesar, ia cepat menggerakkan dayungnya dengan dibalikkan, yakni gagangnya dipergunakan untuk menusuk ke dalam air. Tepat sekali gagang dayung itu mengenai tengah tengah punggung kura kura dan terdengar suara “krak”, maka gagang dayung itu memecahkan batok punggung yang kuat dan menembus terus ke bawah! Ketika ia mengangkat dayung itu, si kura kura telah tertusuk dan disate oleh dayung itu. Sambil tertawa tawa gembira. Siang Cu lalu naikkan korbannya ke dalam perahu. Begitu dilepaskan dari dayung, kura kura biarpun sudah pecah batok punggungnya dan sudah berlobang parutnya, masih saja hendak melarikan diri Namun sekali ketok dengan gagang dayung, pecahlah kepala kura kura itu dan tidak berkutik lagi, tergeletak di dalam perahu. Kura kura ini cukup besar, beratnya ada empatpuluh kati, cukup untuk dimakan oleh empat orang.
Pada taat Siang Cu hendak mendayung perahunya kembali ke Pulau Sam liong to, tiba tiba angin laut datang bertiup dan terdengar olehnya suara hiruk pikuk seperti orang bersorak bergerak yang datangnya dari jurusan timur. Matanya tak dapat melihat sesuatu di jurusan itu karena cahaya matahari membuat pemandangan menyilaukan mata. Namun, angin agaknya membawa datang suara ini, dan tergeraklah hati Siang Cu. Ia pernah mendengar dan suhunya bahwa di sekitar laut ini terdapat bajak bajak laut yang seringkali mengganggu kapal para pedagang dan pelancong yang lewat di dekat pulau pulau kosong. Bahkan pernah ada sebuah perahu bajak laut yang berani mendarat di Pulau Sam liong to akan tetapi baru saja dua belas orang penumpangnya mendarat, mereka dihajar oleh Lam hai Lo mo dan Siang Cu. Namun mereka ini dilepaskan lagi dan diancam jangan berani mencoba coba mendarat di Sam liong to dan semenjak itu, benar saja tak pernah ada perahu bajak yang berani muncul. Siang Cu masih ingat betapa bajak bajak itu bertubuh pendek pendek dan nampak lucu lucu sekali. Ketika hal itu terjadi, ia baru berusia empat belas tahun, jadi sudah tiga tahun yang lalu. Kini mendengar sorak sorak itu, hatinya tertarik sekali dan ingin ia mengetahui apa yang terjadi di sebelah timur.
Dengan cepat ia mendayung perahunya ke timur. Beberapa lama kemudian, ia melihat layar layar perahu hitam dan setelah dekat, ternyata bahwa ada lima buah perahu berlayar hitam mengurung sebuah perahu berlayar putih. Kemudian, nampak orang orang turun melalui tambang dan membawa barang, bahkan ada juga orang yang dipondong masuk ke dalam perahu berlayar hitam.
Tahulah Siang Cu bahwa lima buah perahu berlayar hitam itu tentu para bajak laut yang sedang merampok perahu berlayar putih itu. Ia mempercepat dayungnya mendekati, akan tetapi tiba tiba perahu berlayar putih itu terbakar dan perahu perahu hitam bergerak ke sebuah pulau yang kelihatan dari situ.
Siang Cu tentu saja tak dapat mengejar perahu perahu yang digerakkan oleh tiupan angin pada layar, namun ia tetap mengejar. Ketika perahunya lewat di dekat perahu yang terbakar, ia melihat mayat mayat menggeletak di dalam perahu dan ikut terbakar pula. Hatinya merasa ngeri dan timbul marah nya kepada bajak laut bajak laut yang kejam. Perahunya digerakkan makin cepat dan kalau sekiranya ada lima orang nelayan laki laki yang kuat kuat mendayung dalam sebuah perahu, agaknya takkan dapat menyusul kelajuan perahu yang didayung oleh Siang Cu.
Ketika dara ini mendaratkan perahu pada pulau yang asing baginya itu, perahu perahu bajak yang ditinggalkan di pantai telah kosong dan keadaan di situ sunyi saja. Siang Cu membuang bangkai kura kura yang dibunuhnya tadi ke dalam air karena takut mendatangkan bahu busuk kalau tidak lekas lekas dipanggang, kemudian ia berlari naik ke atas pulau yang penuh oleh pohon pohon berdaun hijau. Dan situ sayup sayup ia mendengar suara orang bergelak tertawa.
Memang betul dugaan Siang Cu. Lima buah perahu hitam itu adalah perahu perahu bajak laut yang malang melintang di sekitar kepulauan kecil kecil yang berada di Laut Tiongkok Timur. Mereka ini sebagian besar adalah Bangsa Jepang, Korea, dan ada juga Bangsa Tiongkok Timur. Perahu besar berlayar putih yang mereka rampok tadi adalah perahu pedagang yang datang dari Cing tao, pelabuhan Propinsi Santung dan menuju ke Sang hai. Karena terserang oleh badai yang mengamuk, perahu ini dan Laut Kuning terbawa sampai di Laut Timur dan menjadi korban serangan para bajak laut yang ganas.
Barang barang berharga dirampok. Laki laki dibunuh, demikianpun wanita wanita tua dan kanak kanak. Wanita wanita muda yang jumlahnya ada lima orang dibawa turun ke dalam perahu bajak, dijadikan tawanan. Ada juga tiga orang laki laki muda yang mereka culik dan tawan dengan maksud tertentu yang akan disaksikan oleh Siang Cu.
Ketika Siang Cu mendekati perkampungan bajak laut, ia mengintai sambil bersembunyi. Di lihatnya bajak bajak laut yang jumlahnya ada empatpuluh orang lebih itu menari nari kegirangan, tertawa tawa dan minum arak. Lima orang wanita tawanan entah berada di mana, sesungguhnya mereka ini tentu saja menjadi bagian para pemimpin bajak.
Orang orang yang sebagian besar bertubuh pendek dan kate itu kini menari nari mengelilingi tiga orang laki laki yang diikat pada batang pohon. Mereka inilah tiga orang yang ditawan dari atas perahu, tidak dibunuh karena memang hendak dijadikan korban di atas pulau, dijadikan bahan ejekan dan dibunuh setelah disiksa lebih dahulu!
Tiba tiba semua tari tarian dan kelakuan yang menggila dari para anak buah bajak itu terhenti ketika terdengar aba aba dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Siang Cu, Semua orang mundur dan dari dalam sebuah pondok kayu yang besar, keluarlah tiga orang laki laki pendek gemuk. Tiga orang ini hampir sama besar dan pendeknya, bulat dengan perut gendut. Mereka bertiga ini nampaknya begitu lucu sehingga hampir saja Siang Cu bergelak ketawa kalau gadis ini tidak lekas lekas mendekap mulutnya sendiri dengan tangan. Kemudian keluarlah seorang pemuda dan biarpun tubuhnya agak pendek, namun tampan dan gagah wajahnya. Pinggangnya kecil dan dadanya membusung, kedua lengannya berotot akan tetapi juga pendek hanya tergantung sampai di pangkal paha. Melihat sikapnya yang tidak merendah terhadap tiga orang bulat itu, agaknya ia memiliki kedudukan cukup tinggi.
Seorang di antara tiga pemimpin bajak itu memberi aba aba dan diseret keluarlah lima orang wanita muda yang menjadi tawanan. Rambut mereka awut awutan dan muka mereka pucat, namun Siang Cu melihat jelas bahwa mereka adalah perempuan perempuan muda yang berwajah cantik, ia tidak memperdulikan keadaan mereka ini dan terus memandang ke depan.
Di antara tiga orang laki laki yang diikat pada pohon, seorang yang diikat paling kiri menarik perhatian Siang Cu. Dia ini masih amat muda. paling banyak berusia delapanbelas tahun, berpakaian seperti orang sasterawan. Pemudi ini tampan sekali, mukanya berkulit halus dan putih, hidung mancung, dan alis yang menghias mata yang jeli itu hitam dan tebal. Yang menarik perhatian Siang Cu bukanlah kegagahan atau ketampanan wajah pemuda ini, melainkan sikapnya. Dara ini merasa jemu dan muak melihat dua orang laki laki lain yang diikat menangis dan minta ampun seperti kambing hendak disembelih. Demikian pula lima orang wanita yang ditawan itu menangis dan menggigil ketakutan. Akan tetapi sebaliknya, pemuda saterawan itu nampak tenang tenang saja sama sekali tidak memperlihatkan kengerian hati atau rasa takut.
Tempat di mana tiga orang pemimpin itu duduk di atas bangku merupakan lingkaran luas dan para anak buah bajak duduk di luar lingkaran. Lalu pemimpin bajak yang paling gemuk berdiri dan berkata kepada tiga orang tawanan yang diikat itu dalam bahasa Tionghoa yang kaku, “Kami kawanan Garuda Laut berterima kasih atas sumbangan kalian bertiga berupa barang barang berharga dan lima orang bidadari ini!” Ia menoleh kepada lima orang wanita yang berlutut ketakutan sambil tertawa bergelak, diikuti pula oleh para bajak yang menganggap kelakar kepala mereka itu amat lucu. “Oleh karena itu, untuk membalas budi, kami tidak mau membunuh kalian begitu saja. Kalian dberi hak untuk menghadapi seorang lawan, dan siapa yang dapat memenangkan lawan nya, boleh pergi meninggalkan pulau ini tanpa diganggu!”
Kembali terdengar orang orang bersorak dan tertawa mengejek, dan karena bahasa yang mereka pergunakan untuk mengejek adalah bahasa asing, maka Sian Cu tidak mengerti maksudnya.
Namun gadis ini berotak cerdik sekali dan ia tahu bahwa para bajak laut ini benar benar berhati curang dan kejam. Andaikata ada yang menang, bagaimanakah ia dapat pergi dari pulau ini tanpa perahu? Perahu mereka telah dibakar, maka jelaslah bahwa menang atau kalah, nasib mereka sudah pasti yakni maut.
Orang yang diikat di pohon paling kanan, dibuka ikatannya. Dia ini seorang laki laki yang bertubuh kuat dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pelaut. Namun semangatnya lemah dan belum apa apa kedua kakinya sudah menggigil ketakutan. Ia dihujani ejekan dari kanan kiri dan baru ejekan dan sorakan terhenti ketika kepala bajak mengangkat tangan dan berkata,
“Siapa yang akan menghadapi jago ini?” tanyanya kepada anak buahnya. “Yang memenangkan jago ini akan diberi hadiah bidadari yang berbaju kuning!” Sambil berkata demikian, si gendut menunjuk salah seorang di antara lima orang tawanan wanita yang berbaju kuning dan yang menangis sedih. Melompatlah seorang laki laki yang agak tinggi, berkulit hitam dan mulutnya lebar sekali, ia ini menjura kepada pemimpinnya dan berkata, “Hamba yang akan menghancurkan kepalanya!” katanya, ia diberi ijin dan segera si mulut lebar ini menghadapi tawanan itu.
Karena tahu bahwa tidak ada lain jalan keluar lagi, nelayan ini terpaksa berlaku nekat. Ia hendak melawan sedapat dapatnya dan segera memasang kuda kuda, kemudian setelah diberi tanda, ia lalu memukul ke arah dada si mulut lebar itu. Melihat gerakannya, Siang Cu tahu bahwa nelayan itu pernah mempelajari sedikit ilmu silat. Akan tetapi, tanpa menghiraukan pukulan, si mulut lebar menerima pukulan itu dengan dadanya. Terdengar suara berdebuk dan pukulan itu ternyata tidak dapat merobohkan si mulut lebar yang sebaliknya cepat menangkap tangan pemukulnya dan dengan gerakan memutar, tubuh nelayan itu diangkat dan dibanting keras sekali!
Sorak sorai terdengar ramai ketika nelayan itu mengaduh aduh dan merayap lalu berlutut di depan si mulut lebar, minta minta ampun! Siang Cu menjadi merah mukanya dan ia merah muak sekali melihat sikap nelayan itu. Gadis ini paling benci melihat orang yang bersikap pengecut dan penakut. Kalau nelayan ini melawan terus mati matian, agaknya gadis itu tentu akan turun tangan membantunya. Akan tetapi karena nelayan ini berlutut dan minta minta ampun mana ia sudi menolong? Si mulut lebar ketika melihat kelunakan lawannya, tertawa terbahak bahak, menangkap orang itu, dibanting keras, ditangkap lagi, dibanting lagi berkali kali sehingga orang itu tewas dengan kepala pecah pecah! Setelah mendapat kemenangan, si mulut lebar lalu menubruk wanita tawanan baji kuning itu diangkatnya tinggi tinggi dan dibawa ia tanpa memperdulikan jerit tangis korbannya itu. Semua orang tertawa tawa melihat pemandangan ini yang dianggapnya amat lucu!
Hati Siang Cu bergolak saking marahnya. Namun ia masih ragu ragu untuk turun tangan. Gurunya berkali kali menyatakan bahwa ia tidak boleh mencampuri urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri. Pula, ia melihat sifat pengecut dan penakut dan para tawanan, hatinya menjadi lemah untuk turun tangan. Juga jumlah bajak laut itu banyak sekali, nampaknya kuat kuat. Belum tentu ia kuat menghadapi keroyokan orang sebanyak itu. Ia tidak mau mengorbankan diri hanya untuk membela pengecut pengecut itu pikirnya.
Tawanan ke dua dilepaskan ikatannya. Makin muak hati Siang Cu melihat betapa laki laki yang masih muda dan bertubuh kuat juga ini, agaknya seorang pedagang, belum apa apa telah menangis. Yang menghadapinya adalah seorang pendek sekali, jauh lebih kecil dari dia sendiri. Tawanan ini berusaha melawan, namun laki laki pendek yang menjadi lawannya itu ternyata tangkas sekali. Siang Cu melihat bahwa laki laki pendek itu mempergunakan ilmu silat yang hampir sama dengan Ilmu Silat Kin na hwat, yakni ilmu silat menangkap dan mencengkeram. Dalam beberapa gebrakan saja, kaki tawanan itu dapat ditarik sehingga tergulinglah tubuhnya, kemudian si pendek itu menubruk dan menjepit leher tawanan itu dengan kedua kakinya sampai lawannya tercekik dan tewas karena tak dapat bernapas.
Pemandangan yang menyeramkan ini disambut dengan sorak sorai dan wanita baju hijau yang dijadikan hadiah jatuh pingsan ketika ia dipondong pergi oleh si pendek kate. Tibalah giliran sasterawan muda itu. Siang Cu memandang penuh perhatian, hendak melihat bagaimana sikap pemuda yang menarik hatinya itu. “Kalian ini orang orang gila yang hidup seperti binatang buas!” kata pemuda itu dengan suara lantang, tanpa takut sedikitpun juga ambil menentang pandangan tiga orang pemimpin yang gendut. “Kalau hendak membunuh, bunuhlah aku. Aku tidak takut mati. Jangan harap kalian akan dapat memaksakan berkelahi seperti badut hanya untuk menyenangkan hati kalian! Siapa yang hendak maju melawanku, majulah dan bunuhlah! Aku tidak mau melawan! Hanya pengecut yang berhati rendah saja yang mau menjatuhkan tangan kepada orang yang tidak mau melawannya!”
Mendengar ini, tiga orang pemimpin itu marah sekali. Lebih lebih pemuda pendek yang gagah tadi, yang duduk di dekat tiga orang pemimpin gendut, ia melompat berdiri dan berkata,
“Biar aku sendiri yang memecahkan kepala cacing buku ini!” bentaknya dan sekali ia melompat, ia lelah berada di depan pemuda sasterawan.
Sasterawan itu memandang dengan bibir tersenyum mengejek. “Kalau kau berada di daratan Tiongkok, orang macam kau ini pantasnya hanya menjadi tukang pukul murah!”
Pemuda itu mengerti juga Bahasa Tionghoa, maka ia marah dan membanting banting kaki. “Aku akan bikin mampus kutu ini dan hadiah untukku boleh dibagi bagi antara semua anak buahku!” Kata kata ini disambut dengan sorakan riuh rendah. Kasihanlah wanita ketiga yang dijadikan taruhan dalam pertandingan ini, karena orang orang kasar telah mendekatinya, siap memperebutkannya setelah pertandingan berakhir.
“Siaplah untuk mampus, binatang!” pemuda tegap pendek itu berseru dan hendak menyerang.
“Kau bunuhlah, aku tidak takut mati dan tidak akan membalas,” sasterawan muda itu berkata, tetap tersenyum tenang, sedikitpun tidak kelihatan takut.
Dihadapi dengan dingin, pemuda pendek itu marah sekali. Tangannya menampar kepala sasterawan itu dan tubuh sasterawan itu terguling. Namun ia bangun kembali dan menyusut bibirnya yang berdarah, ia masih tersenyum dan sama sekali tidak takut. Si kate menjadi makin marah, ia tidak puas kalau membunuh orang ini tanpa melihat korbannya ketakutan. Dicabutnya sebatang golok itu di dekat leher pemuda sasterawan.
“Berlututlah dan minta ampun! Mungkin kau tidak kubunuh!” bentaknya.
“Siapa takut senjatamu? Aku mati sebagai seorang gagah. Mau bunuh boleh bunuh, aku siap meninggalkan ragaku yang terlahir lemah tidak memiliki kepandaian kasar,” jawab sasterawan itu.
Si pendek kate makin marah dan ia mengangkat goloknya ke atas. Akan tetapi pada saat ia membacokkan goloknya ke arah kepala pemuda itu, hendak membelah kepala itu menjadi dua, tiba tiba menyambar benda hitam yang tepat mengenai pergelangan tangannya. Si kate menjerit dan goloknya terlepas dari pegangan. Semua orang terkejut dan lebih heran lagi ketika tiba tiba melayang bayangan merah dan tahu tahu seorang gadis muda yang cantik jelita berdiri di depan si kate tadi.
“Pemuda ini tidak memiliki kepandaian silat, tidak adil kalau memaksa ia berkelahi. Aku sengaja datang mewakilinya. Hayo, siapa saja boleh maju menghadapiku!” bentak Siang Cu, karena memang gadis inilah yang telah menolong pemuda sasterawan tadi. Ia amat kagum melihat betapa seorang pemuda yang begitu lemah, memiliki semangat dan keberanian sehingga tersenyum saja menghadapi lawan yang sudah siap menerkam nyawanya.
Pemuda kate tertegun, ia tidak mengerti mengapa goloknya terlepas dan tangannya sakit. Bahkan sekarangpun ia masih belum mengira bahwa gadis baju merah yang turun bagaikan bidadari dari surga inilah yang tadi telah menggunakan batu kecil menyambit tangannya. Untuk sesaat ia tak dapat berkata apa apa, demikian pula semua orang yang berada di situ. Kemudian ia tertawa girang dan berpaling kepada tiga orang pemimpin yang gendut sambil berkata
“Kurobah taruhan atas pertandingan ini. Kalau aku menang, aku akan membunuh cacing lemah itu dan akan rnengambil nona ini sebagai hadiahku.” Semua orang tertawa mendengar ini dan Siang Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali tangan kirinya dengan jari jari terbuka berkelebat ke arah kepala pemuda pendek kate, terdengar jerit ngeri sekali dan pemuda itu roboh di atas tanah, berkelojotan dan mati. Jidatnya telah berlobang lobang terkena tutukan jari jari tangan Siang Cu yang mempergunakan tenaga lweekang.
Geger di tempat itu. Siang Cu siap sedia menghadapi keroyokan. Tiga orang pemimpin yang gendut itu melangkah maju menghampirinya dan memandangnya penuh keheranan. Kemudian orang di antara mereka teringat.
“Aha, bukankah kau ini murid kakek buntung yang berada di pulau Sam liong to?”
Mendengar pertanyaan ini, semua orang kembali terdiam dan nampak ketakutan. Nama kakek buntung memang merupakan nama yang ditakuti seperti takut kepada setan laut yang mendatangkan gelombang dan taufan. “Tak perlu diributkan aku siapa!” Siang Cu membentak dengan sikap menantang, “Pendeknya aku datang untuk menolong sasterawan muda ini. Bebaskan dia, kalau perlu, boleh jago jagomu diajukan pula untuk melawanku!”
“Aduh sombongnya!” Seorang di antara tiga orang pemimpin itu tiba tiba menubruk maju. Siang Cu mengelak, akan tetapi karena tubrukan itu hebat sekali, terpaksa gadis ini menggunakan tangan kanan menangkis. Alangkah terkejutnya ketika tiba tiba tangannya itu terpegang erat erat dan sebelum ia dapat menghindarkan, tubuhnya itu telah melayang ke atas dilempar secara aneh dan luar biasa oleh si gendut itu!
Tiga Orang pemimpin itu girang sekali, akan tetapi senyum mereka yang lebar itu tiba tiba lenyap ketika mereka melihat betapa nona baju merah yang cantik jelita itu sama sekali tidak terlempar jatuh, bahkan di atas udara dapat berjungkir balik dan kini melayang kembali ke atas mereka seperti seekor burung garuda menerkam kurbannya.
Siang Cu marah sekali karena tadi kurang hati hati sehingga dapat dilempar ke atas. Kini ia menyerang dari atas ke arah si gendut yang tadi menangkapnya. Orang itu cepat mengulur tangan hendak menyambut tubuh Siang Cu yang kecil, akan tetapi tiba tiba terdengar suara “krak!” dan orang gemuk ini menjerit jerit seperti babi disembelih ketika kedua tangannya berkenalan dengan sabetan pedang yang bercahaya kehijauan. Sepuluh jari tangannya putus pada ujungnya.
Dengan muka merah Siang Cu berdiri, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang pedang.
“Hayo siapa lagi yang berani main gila dengan aku?”
Dua orang pemimpin bajak ketika melihat betapa dua orang saudaranya telah dirobohkan, menjadi marah sekali. Mereka mencabut senjata ruyung yang besar dan berat, lalu serentak menyerang Siang Cu. Gadis ini mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, dan begitu pedangnya bergerak, lenyaplah pedang dan tubuhnya. Yang tampak hanyalah bayangan tubuhnya yang merah dan gulungan sinar pedang yang kehijauan. Dalam beberapa gebrakan saja, dua orang pemimpin yang gemuk itu memekik kesakitan dan roboh dengan tubuh terluka pedang.
Anak buah perampok itu segera maju mengeroyok dan mengurung gadis itu sambil berteriak teriak. Namun Siang Cu tidak gentar sedikitpun juga. Ia menyuruh pemuda sasterawan itu berdiri di belakangnya dan pedangnya lalu diputar sedemikian rupa sehingga jangankan baru senjata para pengeroyoknya atau bajak laut, biarpun datang hujan lebat agaknya tak setetes airpun akan dapat membasahi pakaiannya. Sebaliknya beberapa kali sinar pedangnya meluncur panjang tentu terdengar jerit kesakitan dan roboh seorang pengeroyok.
“Nona, kau gagah sekali. Benar berar manusiakah kau?” berkali kali terdengar pemuda sasterawan itu bertanya kagum. Suara pemuda ini menambah semangat Siang Cu yang mengamuk makin hebat lagi. Sudah bertumpuk tubuh para bajak laut yang terluka, bergelimpangan dan keluh kesah mengaduh aduh terdengar riuh.
Pada saat itu terdengar suara keras, “Tahan semua senjata!”
Mendengar suara ini, para bajak laut mundur dan menarik kembali senjata mereka. Terdengar mereka berseru takut,
“Sian jin datang !” Siang Cu memandang ke depan dan melihat dua orang mendatangi dengan tindakan cepat sekali. Mereka ini adalah seorang tua bertubuh tinggi bersama seorang laki laki muda berusia kurang lebih duapuluh tahun. Kedua orang ini pakaiannya indah dan mewah, yang tua angker berpengaruh memegang sebatang tongkat kepala naga dan yang muda memegang sepasang pedang di kedua tangan, sikapnya gagah, wajahnya tampan, dan tubuhnya juga tinggi seperti yang tua.
Melihat gadis manis dan perkasa ini, yang muda lalu melompat maju dan tersenyum senyum.
“Alangkah gagahnya nona ini,” katanya.
Siang Cu paling benci kepada laki laki yang sifatnya pengecut dan laki laki yang ceriwis. Melihat pemuda ini senyum senyum dan memandang kepadanya dengan mata kagum dan kurang ajar, timbul kemarahannya. Ia tahu bahwa dua orang ini tentulah kawan dari para bajak laut, maka dengan marah sekali ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk cepat ke arah dada pemuda itu.
“Eng Kiat, awas!” teriak orang tua yang memegang tongkat itu kepada pemuda yang diserang, ia melihat kehebatan serangah ini, maka cepat memberi peringatan.
Pemuda itupun terkejut sekali karena tahu tahu ujung pedang nona itu telah meluncur kearah dadanya. Ia cepat menggerakkan kedua pedangnya dari kanan kiri, menjepit pedang Siang Cu dengan gerakan Ji liong jio ou (Sepasang Naga Berebut Mustika) dan dengan tepat pedang nona itu terjepit oleh sepasang pedangnya.
Melihat gerakan ini, terkejut jugalah Siang Cu. Gerakan yang dapat dilakukan dengan tepat sekali dalam keadaan berbahaya ini hanya dapat dilakukan apabila orang memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi. Bagaimana di tempat seperti ini terdapat orang pandai? Ia berusaha menarik kembali pedangnya dan lebih lebih kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya seperti terpaku dan sukar dicabut.
Siang Cu adalah murid dari Lam hai Lo mo yang sakti, tentu saja ia menjadi penasaran sekali. Apalagi ketika dilihatnya pemuda mewah dan pesolek itu mesem mesem dengan ceriwisnya. Sambil membentak nyaring tangan kirinya mengirim pukulan Tin san ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung) yang hawa pukulannya cukup kuat untuk merobohkan lawan dari jarak jauh.
Pemuda itu tidak mengira sama sekali bahwa nona yang begini muda dan jelita dapat memmiliki ilmu silat sehebat ini, maka tadi ia kurang hati hati. Setelah hawa pukulan menyambar ke arah dadanya, barulah ia merasa terkejut dan cepat melepaskan jepitan pedangnya, mengerahkan tenaga lweekang ke arah dada untuk menolak bawa pukulan itu. Namun tetap saja ia merasa dadanya sakit seperti terpukul oleh benda keras dan berat, maka sambil berseru kaget ia melempar diri ke belakang, berjungkir balik dan melompat turun di tempat yang agak jauh. Ia terhindar dari luka berat di dalam tubuh, akan tetapi ia mengalami kekagetan luar biasa sehingga mukanya menjadi agak pucat dan keringat mengalir dari keningnya.