Jilid XV
BETAPAPUN juga, Lam hai Lo mo tak kekurangan akal dan mulailah dia mempergunakan ilmu hitam, yakni memasang guna guna untuk memikat hati gadis itu. Celakanya setelah guna guna itu mengena, gadis itu tidak mendekati dia sebaliknya menjatuhkan cintanya yang terdorong oleh pengaruh ilmu hitam itu kepada Pat jiu Giam ong, sutenya. Di antara mereka sendiri sampai terjadi pertengkaran dan akhirnya Pat jiu Giam ong mengalah dan berjanji kepada suhengnya untuk memberikan gadis itu kepada Lam hai Lo mo apabila kelak sudah masuk perangkapnya.
Demikianlah, secara singkat dapat diceritakan di sini bahwa gadis perkasa itu masuk perangkap dan dalam keadaan tak sadar oleh pengaruh ilmu hitam yang dipasang oleh Lam hai Lo mo, ia di permainkan oleh dua orang kakak beradik seperguruan ini.
Akhirnya setelah sadar daripada pengaruh ilmu hitam, gadis ini mengamuk dan kedua kakak beradik itu tidak dapat mengalahkan gadis perkasa itu, sehingga mereka berdua menderita luka luka tetapi dapat melarikan diri. Adapun gadis itu, saking marah dan menyesal, lalu membunuh diri dengan menerjunkan diri ke dalam jurang.
Demikianlah, sekarang, Lam hai Lo mo teringat kepada gadis itu dan biarpun ia dan sutenya sudah melihat adanya mayat gadis itu yang menggeletak di dasar jurang, tetapi sekarang ia menyangka bahwa Mo bin Sin kun adalah gadis itu ! Waktu yang dijanjikan untuk mengadakan pibu memang tinggal sebulan lagi dan mereka telah bersiap siap untuk mengalahkan Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun dua orang yang mereka anggap menjadi musuh besarnya.
Tiba tiba seorang pelayan datang menghadap Bucuci dan menyatakan bahwa di luar ada dua orang tamu minta bicara, “Aah, segala macam tamu, tahu tidak aturan!” kata Pat jiu Giam ong mencela.
“Mengapa di waktu begini datang menggangu. Suruh saja mereka pergi untuk datang lain kali.”
“Mereka katakan bahwa mereka datang untuk bicara tentang siocia (nona), karena itu hamba menganggap amat penting dan melaporkan.” kata pelayan itu dengan sikap merendahkan diri.
Mendengar ini, semua orang tertegun.
“Kalau begitu, suruh mereka masuk saja ke sini !” kata Pat jiu Giam ong dan dari sikap jenderal ini saja dapat diketahui betapa besar pengaruh Pat jiu Giam ong. Yang kedatangan tamu dan yang menjadi tuan rumah adalah Bucuci, akan tetapi ia berani memberi keputusan begitu saja tanpa menghiraukan Bucuci!
“Suruh mereka masuk !” kata Bucuci pula kepada pelayannya itu.
Pelayan itu keluar dan tak lama kemudian ia datang lagi diikuti oleh dua orang yang membuat semua orang yang sedang mengelilingi meja ini terkejut sekali. Dua orang tamu itu tak lain adalah Yap Bouw dan Lan Giok!
Pat jiu Giam ong dan lain lain orang duduk saja, tak bergerak dari bangku. Akan tetapi ketika melihat nona ini, Kui To lalu bangun berdiri dan sambil tersenyum senyum ia berkata, “Ah, kiranya kau, nona manis. Silahkan duduk!” Akan tetapi Lan Giok tidak menghiraukanaya, bahkan menengokpun tidak. Sebaliknya nona ini dengan tabah sekali lalu menghampiri Bucuci dan berkata, “Aku datang untuk bertemu dan bicara dengan tuan rumah.”
Bucuci menjadi serba salah dan hanya dapat menoleh kepada Pat jiu Giam ong untuk minta keputusan.
“Nona, kau murid Mo bin Sin kun, datang ke sini apakah atas perintah gurumu? Kau sudah mengenal kami semua, kalau ada keperluan bicara sajalah,” kata jenderal itu.
Lan Giok memandang kepada Bucuci. “Apakah aku boleh bicara di depan mereka semua ini?” tanyanya.
Bucuci berdiri dan mengangguk sambil berkata, “Kau duduklah dan bicaralah.”
“Apa maksud kedatangan kalian berdua ini?”
Akan tetapi Lan Giok tidak mau duduk. Dengan tenang ia lalu berkata, “Kami datang untuk meminang anak angkatmu, yaitu enci Sian Hwa.”
Bucuci menjadi merah mukanya. “Aku tidak mempunyai anak angkat lagi!“
“Eh, nanti dulu, jangan terburu nafsu, orang tua..” kata Liem goanswe, yang lalu menghadapi Lan Giok.
“Kau hendak meminang Sian Hwa? Untuk kakakmu itu?”
Lan Giok memandang kepada jenderal itu dengan sikap angkuh.
“Aku tidak bicara dengan orang lain, kecuali dengan tuan rumah. Bucuci ciangkun, kau jawablah.”
Lam hai Lo mo gelak tertawa. “Ha, ha, ha, anak ini mempunyai nyali besar!” Sebaliknya, Pat jiu Giam ong menjadi merah mukanya.
Ia marah sekali, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Terpaksa ia menenggak araknya lagi dan tak mau bicara lagi.
Bucuci bertanya, hanya merupakan pertanyaan ke dua saja seperti yang dilakukan oleh Liem goanswe tadi, “Kau melamar Sian Hwa untuk kakakmu dahulu itu?”
“Bukan! Ayah datang ini untuk melamar puteri angkatmu itu yang akan dijodohkan dengan Song Bun Sam.”
“Bocah lancang!” Pat jiu Giam ong berseru lagi karena tak dapat menahan marahnya.
“Sian Hwa adalah muridku dan ia sudah dijodohkan dengan puteraku. Apakah kau datang sengaja hendak mengacau seperti dulu?”
“Bohong ! Kau sudah tidak mengakui enci Sian Hwa sebagai murid dan juga Bucuci bukan ayahnya sendiri ! Kami datang secara baik baik dan hendak mengajukan pinangan. Kalau kalian tidak setuju, kamipun tidak perduli karena enci Sian Hwa tidak terikat lagi dengan kalian! Akan tetapi aku melarang kalian mengganggu enci Sian Hwa dan menghalangi perjodohannya dengan Bun Sam!”
Hening sejenak karena semua orang membelalakkan mata mereka mendengar ini. Sikap gadis yang gagah ini benar benar membikin mereka terheran heran dan melongo. Kemudian pecahlah suara ketawa, bahkan Bucuci sendiri pun ikut tertawa.
“Eh, bocah setan. Apakah otakmu sudah miring? Dengan apa kau hendak melarangku berbuat apa yang kusukai terhadap anak angkatku sendiri?” tanya Bucuci. “Dengan ini!” kata Lan Giok dan dalam sekejap mata saja di tangannya telah nampak Gin san Kim ciam sepasang senjatanya yang istimewa, yakni Kipas Perak dan Jarum Emas. Sebelum semua orang tahu akan maksud gadis ini, Lan Giok yang sudah marah sekali dan menganggap bahwa Bucucilah satu satunya orang yang mengganggu Sian Hwa sebagai anak angkatnya, secepat kilat telah maju menubruk dan menyerang dengan sepasang senjatanya ke arah Bucuci.
Panglima Bucuci memiliki kepandaian tinggi dan pengalamannya sudah banyak sekali, tetapi tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Lan Giok. Biarpun ia cepat mengelak, tetap saja pundaknya terkena jarum emas dan baju perangnya ternyata kurang kuat menghadapi tusukan Lan Giok sehingga terobek dan kulitnya terluka.
“Anak gila!” Pat jiu Giam ong berseru dan dari tempat duduknya ia melancarkan pukulan lweekang yang berat ke arah Lan Giok. Gadis ini mengagumkan sekali karena ketika ia mendengar sambaran angin dari kanan, ia cepat memiringkan tubuhnya sambil mengerahkan lweekang ke arah kipasnya, mengebut ke kanan, sehingga hawa pukulan dari Pat jiu Giam ong terkena tangkisannya dan tidak melukainya.
Pat jiu Giam ong marah sekali dan melompat berdiri, akan tetapi ketika ia mendorongkan kedua tangannya dengan sekuat tenaga ke arah Lan Giok, Yap Bouw melompat dan menangkis pukulan ini. Mana bisa Yap Bouw menandingi Pat jiu Giam ong, maka ketika lengannya beradu dengan lengan Liem goanswe, ia terhuyung huyung dan merasa lengannya sakit sekali.
Pada saat itu, Lan Giok menubruk lagi dan kali ini kipasnya bergerak cepat sehingga sebelum dapat mengelak, kepala Bucuci telah kena totokan kipas sedemikian hebatnya, akhirnya Bucuci memekik ngeri dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.
“Celaka !” seru Pat jiu Giem ong dan sekali jenderal besar ini menyerang, Yap Bouw terkena pukulannya pada dadanya, sehingga bekas jenderal ini terlempar ke belakang dan dadanya terpukul hebat sekali. Beberapa tulang iganya patah patah dan Yap Bouw juga menghembuskan napas terakhir tanpa dapat berteriak lagi!
Lan Giok marah sekali. “Pat jiu Giam ong, biar aku mengadu nyawa dengan kau!” Ia lalu menyerang dengan dahsyatnya, tidak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Kipasnya menyambar nyambar menyerang Pat jiu Giam ong, mengancam tubuh bagian atas sedangkan jarum emasnya menyerang ke arah tubuh bagian bawah. Selain gerakannya cepat, juga ia mengerahkan tenaganya, sehingga setiap serangan merupakan bahaya maut bagi seorang tokoh besar seperti Pat jiu Giam ong sekalipun!
Jenderal ini menjadi terkejut dan cepat ia melakukan perlawanan dengan ilmu silat Pat kwa jiu hwat yang dimainkan dengar kedua ujung lengan bajunya. Untuk jurus jurus pertama memang dalam kenekatannya, Lan Giok berhasil mendesak lawannya. Akan tetapi, tingkat ilmu silatnya kalah jauh. Pat jiu Giam ong mempunyai tingkat yang setaraf dengan Mo bin Sin kun, maka sebentar saja keadaannya berubah sama sekali. Lan Giok mulai terdesak hebat. Sepasang senjatanya kini hanya dipergunakan untuk menangkis saja, sama sekali tidak berkesempatan untuk membalas serangan lawan. Tiap kali senjatanya menangkis, selalu senjatanya terpental oleh ujung lengan baju jenderal itu dan telapak tangannya terasa panas dan sakit. Beberapa belas jurus kemudian, kedua telapak tangan gadis itu telah pecah pecah kulitnya dan berdarah, tetapi sambil menggigit bibirnya, Lan Giok melawan terus dan tidak mau melepaskan kedua senjatanya.
Pat jiu Giam ong merasa penasaran sekali. Sudah empatpuluh jurus mereka berkelahi, tetapi belum juga ia dapat mengalahkan Lan Giok. Ia mengerahkan tenaganya dan gadis itu makin terdesak, namun masih saja melakukan perlawanan mati matian. Memang harus dipuji ketabahan hati gadis ini. Sedikit iapun tidak merasa jerih, biarpun ia sudah tahu bahwa ia takkan dapat menang.
“Susiok, jangan bunuh dia….!” berkali kali Kui To berseru karena ia tertarik oleh kecantikan gadis ini dan merasa tidak tega melihat gadis ini tewas.
“Ayah, bunuh saja dia. Kalau tidak, ia akan selalu menghalangi perjodohanku dengan sumoi!” Liem Swee berkata.
Pat jiu Giam ong ragu ragu karena sesungguhnya ia merasa malu kalau harus menewaskan seorang gadis muda yang tidak setingkat dengan dia.
Sebaliknya, Lam hai Lo mo merasa kurang senang melihat muridnya agak tergila gila kepada gadis ini, maka sambil tertawa ia berkata, “Sute, menghadapi muridnya saja kau tidak dapat merobohkan apalagi menghadapi gurunya! Ha, ha, ha !”
Panas juga perut Pat jiu Giam ong mendengar ejekan suhengnya ini. Ia mengeluarkan seruan keras dan sepasang ujung lengan bajunya menyambar nyambar bagaikan halilintar. Lan Giok tidak kuat menghadapi serangan hebat ini. Ia tetap menangkis, akan tetapi kipasnya patah dan ujung lengan baju jenderal itu menghantam lehernya dengan tepat sekali pada jalan darah yang penting di dekat lubang pernapasannya. Tanpa mengeluarkan suara, tubuh gadis perkasa ini terkulai dan ia roboh dengan gagang kipas dan jarum emas masih tergenggam erat erat. Nyawanya telah meninggalkan tubuhnya!
Kui To menubruk dan pemuda ini menangis!
“Siauw niauw....! Siauw niauw....” keluhnya sambil memeluk dan menciumi muka Lan Giok yang sudah tak bernapas itu, tetapi masih hangat.
“Kui To, mundur!” seru Lam hai Lo mo dengan muka merah. “Bodoh benar kau! Apakah kau mau mengikat diri terhadap seorang perempuan ini saja? Banyak wanita cantik di dunia ini dan seorang wanita yang sudah tidak bernyawa, apa gunanya?”
Tadinya, Kui To hendak marah kepada susiok nya dan ia telah memandang kapada susioknya dengan mata merah. Akan tetapi ia takut kepada suhunya, maka ia lalu mengundurkan diri dan berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia melirik kepada Liem Swee dan kebencian mulai bersemi di dalam hatinya, karena ia menganggap bahwa Liem Swee yang menyebabkan kematian Lan Giok. Kalau Liem Swee tidak ingin menikah dengan Sian Hwa Lan Giok tidak akan datang dan binasa di tempat itu dan kalau tadi Liem Swee tidak minta kepada ayahnya untuk membunuh gadis itu, belum tentu Pat jiu Giam ong mau membunuh Lan Giok!
Liem goanswe menyuruh orang orangnya mengurus tiga jenazah itu, yaitu jenazah Bucuci, Yap Bouw dan anaknya Lan Giok, kemudian ia menyiarkan bahwa Yap Bouw dan Lan Giok datang untuk mengacau dan menyerang mereka, sehingga mengalami kematian.
Gemparlah semua orang mendengar bahwa ada dua orang gagah berani menyerang tokoh tokoh pimpinan Hiat jiu pai dan sebentar saja, berita tentang kematian Yap Bouw dan puterinya telah tersiar luas.
Tiga hari kemudian, ketika Pat jiu Giam ong dan kawan kawannya sedang duduk bercakap cakap di dalam gedungnya, tiba tiba di ruangan gedung itu muncul Mo bin Sin kun dan Thian Giok. Seperti biasa, Mo bin Sin kun memakai kedok, hingga wajahnya kelihatan buruk dan menyeramkan sekali. Apalagi pada saat itu ia sedang marah besar, sehingga sepasang matanya yang bening memancarkan cahaya mengerikan. Juga Thian Giok berdiri dengan muka pucat dan membayangkan kemarahan besar, sedangkan senjata Pek giok joan pian telah berada di tangannya. Jelas terlihat bahwa pemuda ini telah bersiap siap untuk bertempur.
Kedatangan Mo bin Sin kun ini mengagetkan semua orang, karena Mo bin Sin kun melompat turun dari atas genteng dengan ginkangnya yang luar biasa, sehingga tidak terdengar oleh mereka.
“Mo bin Sin kun....“ kata Pat jiu Giam ong perlahan sambil bangun berdiri dari tempat duduknya. Juga Lam hai Lo mo bangun berdiri menyambut.
“Pat jiu Giam ong, manusia tak tahu malu. Marilah kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!” kata Mo bin Sin kun dengan suaranya yang kedengaran menarik, halus akan tetapi menyeramkan.
“Mo bin Sin kun, sabarlah! Muridmu tewas karena dia sendiri yang memaksa kami, dia bahkan membunuh Panglima Bucuci ”
“Tak perlu banyak cakap! Kau telah berlaku kejam membunuh seorang anak anak, sekarang tak usah banyak mulut memutar lidah, mari kita bertanding tua sama tua! Hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu sekarang?” Sambil berkata demikian, Mo bin Sin kun menggerakkan tangan ke pinggang dan tahu tahu tangan kirinya sudah memegang sehelai sabuk merah yang panjang sedangkan tangan kanannya memegang sebuah cermin berbentuk bulat dengan gagangnya dari perak.
Melihat sepasang senjata ini, baik Pat jiu Giam ong maupun Lam hai Lo mo berseru heran dan terkejut. “Kau....? Mo bin Sin kun, buka kedokmu! Perlihatkan dirimu yang sebenarnya, siapakah kau?” tanya Pat jiu Giam ong dan suaranya agak gemetar.
“Bangsat tua bangka, siapa yang sudi melayani kau bercakap cakap. Bersiaplah kau dengan senjatamu agar kita dapat bertanding untuk menentukan siapa yang harus menggeletak dan mampus!” Pat jiu Giam ong tak dapat menjawab. Melihat sikap wanita berkedok ini, ia merasa ngeri juga. Sungguhpun sukar untuk dikatakan bahwa dia takut, Pat jiu Giam ong tak kenal arti takut dalam menghadapi lawan, hanya senjata senjata di tangan Mo bin Sin kun ini mengingatkan ia akan seorang wanita pada puluhan tahun yang lalu !
Tiba tiba terdengar orang tertawa terkekeh kekeh seperti ringkikan kuda dan Sam thouw hud, pendeta Buddha dari Tibet itu, telah berdiri menghadapi Mo bin Sin kun.
“Liem goanswe, untuk apa melayani setan perempuan yang menjijikkan ini? Pegang dan lempar dia keluar, habis perkara! Melihat wajahnya membuat aku kehilangan nafsu minumku.”
Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo mengejapkan mata kepada hwesio yang lancang mulut ini, tetapi terlambat. Terdengar seruan nyaring dan berkelebat bayangan merah ke arah Sam thouw hud (Buddha Kepala Tiga). Hwesio murtad ini terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan lengan kirinya.
Sebenarnya, kalau Sam thouw hud sudah tahu akan kelihaian sabuk merah ini, ia tentu tidak akan berlaku sembrono menangkis dengan lengannya. Akan tetapi karena ia terlalu sombong dan memandang rendah, ia menangkis untuk memegang sabuk itu dan merampasnya. Tidak tahunya, begitu ia memegang sabuk merah itu, ujung sabuk itu bagaikan seekor ular telah melingkar dan membelit lengannya dan pada saat itu juga, lilitan sabuk itu makin bertambah erat dan kuatnya, sehingga terdengar suara kain robek karena lengan bajunya telah robek dan sabuk itu mencekik kulit lengannya, sehingga terasa sakit sekali.
Ini masih belum hebat, kemudian Mo bin Sin kun lalu melompat maju dan menggerakkan cermin itu ke arah muka Sam thouw hud dalam serangan yang hebat sekali. Cermin ini merupakan senjata luar biasa, karena bingkainya terbuat daripada perak keras, demikianpun gagangnya dan punggung cermin. Adapun kaca cermin itu amat berbahaya karena dapat membuat lawan menjadi silau matanya.
Demikian pula Sam thouw hud. Dengan lweekangnya, pendeta Tibet ini telah dapat meloloskan lengannya dari lilitan sabuk, akan tetapi tiba tiba ia terpaksa harus memeramkan matanya sebentar, ketika cermin itu berkelebat di depan mukanya, karena cahaya dari cermin itu menyilaukan matanya. Ia masih dapat mendengar sambaran angin pukulan cermin, maka cepat ia mengelak ke kiri. Tidak tahunya, cermin itu digerakkan secara aneh dan cepat, kini meluncur tak terduga sekali dan menyerang lehernya.
“Celaka....!” seru Sam thouw hud dan untuk menjaga diri, tidak ada lain jalan baginya kecuali mengadu nyawa. Ia mengangkat kaki dan menendang, tendangan maut ke depan. Akalnya ini berhasil karena Mo bin Sin kun tidak dapat melanjutkan serangannya karena tentu tendangan itu akan mengenainya juga dan ini berbahaya sekali. Ia menaksir bahwa tendangan pendeta Tibet ini sedikitnya bertenaga seribu kati. Maka ia pun lalu mengelak ke belakang dan menggerakkan cermin dan sabuknya hendak menyerang lagi,
“Tahan, Mo bin Siu kun!” Tiba tiba Lam hai Lo mo melompat maju dan memalangkan tongkatnya.
“Aku datang hendak menuntut balas kepada Pat jiu Giam ong! Apa kau tua bangka hendak turun tangan pula?” Mo bin Sin kun membentak marah, adapun Sam thouw hud yang mukanya menjadi agak pucat itu telah mundur dengan hati lega. Tak disangkanya bahwa Mo bin Sin kun demikian lihai, sehingga dalam dua jurus saja ia hampir mampus.
“Bukan begitu Mo bin Sin kun. Kau seorang tokoh besar ternyata kini bersepak terjang seperti seorang tukang silat kampungan saja!” kata Lam hai Lo mo yang selain lihai ilmu silat dan ilmu sihir, juga lihai sekali lidahnya.
“Ular belang tua bangka, kalau ada maksud bicara saja, jangan sembarang menyebar bisa!” Mo bin Sin kun memaki.
Lam hai Lo mo tertawa cekikikan.
“Dengar, Mo bin Sin kun. Kau tadi hampir saja membunuh Sam thouw hud, hanya karena dorongan kemarahanmu. Demikian pula sute, karena melihat muridmu membunuh Bucuci secara tidak tahu aturan sama sekali, maka ia lalu menegur dan hasilnya pertempuran itu membuat muridmu dan ayahnya tewas. Apakah yang aneh dalam hal ini? Kita sudah berjanji, beberapa hari lagi akan bertemu di lembah maut di Lok yang, apakah kau sekarang hendak merusak janji itu dan menjilat ludah sendiri? Atau kau barangkali tidak berani menghadapi kami di sana, maka sekarang hendak turun tangan lebih dulu?”
“Bangsat tua bangka! Kalau aku takut, apa kau kira aku berani datang ke tempat ini? Kalian semua boleh maju mengeroyokku, aku tidak takut mati. Aku datang sekarang karena aku khawatir kalau kalau kalian tidak berani muncul di lembah maut.”
“Mo bin Sin kun, akupun seorang laki laki! Kalau memang kau berkepandaian, bersabarlah sampai datang saatnya kita berhadapan di lembah maut. Di sana kita boleh mengadu kepandaian.”
“Aku ulangi tantanganku, beranikah kau mengadu kepandaian di sana!” kata Pat jiu Giam ong. “Aku tidak sudi dianggap pengecut dan membunuhmu di rumahku sendiri. Kalau kau nekat dan hendak menyerang kami, seranglah! Kami takkan melawan, coba hendak kami lihat apakah Mo bin Sin kun sudi berlaku serendah itu, menyerang orang orang yang tidak melawan di rumah orang orang itu sendiri?”
Mo bin Sin kun menjadi kewalahan dan kalah aturan. Ia menggigit bibir, kemudian dengan senyum sindir ia berkata, “Tidak apa, biar kalian hidup beberapa hari lagi. Akupun tidak takut kalian tidak datang pada waktunya, karena di manapun juga kalian berada, akan kucari sampai dapat dan untuk menghancurkan kepalamu. Ayoh, Thian Giok, kita pergi dari tempat busuk ini!” ajaknya kepada muridnya. Ketika mereka melompat keluar, Mo bin Sin kun masih sempat berkata kepada Sam thouw hud, “Dan kau, iblis berpakaian dewa, jangan lupa, ikutlah datang di lembah maut kalau ingin merasai kerasnya tanganku!” Sebentar saja, Mo bin Sin kun dan muridnya lenyap dari situ.
“Hebat dan ganas sekali....!” teriak Biauw Ta, orang pertama dari Koai kauw jit him yang memecahkan kesunyian yang mencekam ruangan itu seperginya Mo bin Sin kun.
Mo bin Sin kun langsung ke Sian hwa san di mana ia hendak berlatih untuk menghadapi pertempuran mati matian dan hebat itu. Ia maklum bahwa musuh musuhnya berkepandaian tinggi, maka ia hendak mengumpulkan tenaga dan melatih ilmu silat yang paling lihai yang pernah ia pelajari. Adapun Thian Giok yang diam diam merasa tak puas dengan sikap gurunya yang menangguhkan pembalasan dendam itu, diam diam lalu ia pergi lagi ke kota raja untuk menyelidiki gerakan fihak musuh!
Nyonya Yap hanya dapat menangis sedih saja dan ia memperhebat samadhi dan sembahyangnya untuk mohon kekuatan batin dari Yang Maha Kuasa, agar ia dapat menahan pukulan batin yang hebat itu.
“Tentu saja, Sian Hwa, Pinni sekalian akan merasa bahagia sekali untuk menjadi walimu dan meresmikan upacara pernikahanmu dengan Song taihiap,” kata ketua nikouw dari kelenteng Sun pok thian ketika Bun Sam dan Sian Hwa menghadap dan mohon pertolongan mereka.
Dapat dibayangkan betapa gembira hati Sian Hwa dan Bun Sam mendengar ucapan dari nikouw tua. Mereka berlutut dan menghaturkan terima kasih mereka.
Peralatan pernikahan disiapkan oleh para nikouw dan pada keesokan harinya, Bun Sam dan Sian Hwa dalam pakaian pengantin menghadapi meja sembahyang. Baru saja upacara sembahyang selesai dilakukan, tiba tiba dari luar menyerbu seorang pemuda yang langsung menyerang Bun Sam dengan memaki keras, “Bangsat, bersedialah untuk mati!”
Ketika itu, Bun Sam dan Sian Hwa masih berlutut di depan meja sembahyang, yakni sedang mohon berkah daripada arwah arwah orang tua mereka berdua. Ketika mendengar sambaran angin serangan dari belakang, Bun Sam bergerak ke kanan dan tahu tahu tubuhnya telah melompat sambil memondong isterinya! Memang luar biasa gerakan Bun Sam ini dan membuktikan bahwa kepandaiannya benar benar telah hebat sekali.
Terdengar suara hiruk pikuk dan pemuda itu menendangi semua meja dan bangku dalam amukannya.
Senjatanya menyambar nyambar dan menghancurkan perkakas yang berada di dekatnya.
“Thian Giok....!” Bun Sam dan Sian Hwa ber seru hampir berbareng.
Memang betul, yang datang mengamuk itu adalah Thian Giok.
Pemuda ini dalam penyelidikannya di kota raja, telah teringat kepada Sian Hwa yang menyebabkan kematian ayah dan saudaranya. Kalau tidak karena Sian Hwa, tak mungkin sampai terjadi peristiwa yang menyedihkan itu.
Maka di luar kehendaknya sendiri, ia menuju ke kelenteng itu untuk mencari kalau kalau Sian Hwa sudah kembali ke kelenteng itu. Dan kebetulan sekali ia menyaksikan upacara sederhana dari pernikahan Sian Hwa dan Bun Sam. Tentu saja melihat Bun Sam, naik darahnya dan ia menyerang kalang kabut.
“Thian Giok, apakah kau tiba tiba menjadi gila ?” “Mengapa kau menyerangku?” tanya Bun Sam dengan mata terbelalak heran.
“Bangsat keji. Kau telah membunuh ayah dan adikku, ingin banyak cakap lagi? Cabut senjatamu dan mari kita menetapkan siapa yang harus menyusul ayah dan Lan Giok lebih dulu.”
“Apa katamu? Adik Lan Giok....?” Sian Hwa berseru dan mukanya menjadi pucat ketika ia melompat menghadapi Thian Giok.
Thian Giok mengangguk. “Adikku Lan Giok dan juga ayah telah tewas, semua karena gara gara suamimu ini,”
kata kata ini membuat Sian Hwa dan Bun Sam makin terheran.
“Bun Sam, apa artinya ini?” tanya Sian Hwa kepada suaminya.
“Sian moi, siapa tahu apa maksudnya?”
“Eh, Thian Giok, sebetulnya apakah yang terjadi, maka kau berlaku seganjil ini? Apa yang telah terjadi dengan suheng dan Lan Giok?”
Akan tetapi, sebagai jawaban, Thian Giok melompat dan menyerang lagi, kini dengan Pek giok joan pian, senjatanya yang lihai.
Bun Sam terkejut dan penasaran sekali. Ketika joan pian itu menyambar ke arah kepalanya, ia mengulurkan tangannya dan sekali tangannya bergerak, joan pian yang lihai itu telan tertangkap olehnya dan dibetot sedikit saja senjata itu sudah berpindah tangan.
Diam diam Thian Giok merasa terkejut sekali melihat kelihaian ini. Hampir ia tidak percaya. Bagaimana Bun Sam bisa merampas senjatanya hanya dengan sekali tangkis saja? Memang Bun Sam sengaja mengeluarkan kepandaian simpanannya yang ia pelajari dari Bu tek Kiam ong. Ilmu silat dari Bu tek Kiam ong Si Raja Pedang, memang khusus diciptakan oleh orang sakti itu untuk menghadapi semua ilmu silat dari Empat Besar yang lain, maka kini menghadapi serangan dari Thian Giok yang berasal dari ilmu silat Mo bin Sin kun, ia dapat menggunakan ilmu silatnya itu dengan baik dan tepat sekali. Selain itu, tenaga lweekang dari Bun Sam kini telah bertambah berlipat ganda.
“Thian Giok, berlakulah tenang dan adil. Bagaimana kau yang berjiwa gagah dapat menyerang orang tanpa alasan dan tanpa memberitahukan sebab sebabnya lebih dulu? Ceritakanlah yang jelas, baru kita nanti pikir pikir lagi apakah patut kau menyerangku secara demikian ganas.”
Thian Giok menutup mukanya dengan kedua tangannya ketika ia berkata dengan suara gemetar, “Ayah dan Lan Giok telah tewas. Mereka pergi ke kota raja untuk meminang nona Sian Hwa guna engkau.”
“Apa.....? Mengapa begitu? Apa artinya ini?” tanya Bun Sam dan Sian Hwa membelalakkan matanya yang bagus.
Thian Giok menurunkan tangannya dan nampak mata pemuda ini basah.
“Kau manusia kejam. Tidak dapatkah kau membayangkan betapa hebat akibat daripada penolakanmu terhadap adikku?”
“Setelah mendengar dari suthai bahwa kau menolaknya, Lan Giok dan ayah lalu diam diam pergi ke kota raja untuk melamarkan Sian Hwa buat engkau! Kemudian agaknya terjadi pertengkaran dan adikku serta ayahku terbunuh dalam tangan Pat jiu Giam ong.”
Pucat bukan main muka Bun Sam dan Sian Hwa. Mereka saling memandang dan Sian Hwa menggigit bibir menahan hatinya yang telah menjerit jerit.
“Mengapa Lan Giok berbuat hal yang aneh itu? Mengapa ia melamarkan Sian Hwa untukku ?” tanya Bun
Sam dengan suara terputus putus.
“Tak dapatkah kau menyelami jiwanya? Dia tidak mau dianggap penghalang bagi perjodohan mu dengan nona Sian Hwa. Adikku terlampau berbudi untuk bersikap kokau (egoisme) dan ia rela berkorban nyawa untuk.... kalian !”
“Lan Giok....!” Sian Hwa tak dapat menahan lagi keharuannya dan gadis ini menangis tersedu sedu sambil menutupi mukanya dengan sapu tangan.
“Lan Giok “ keluh Bun Sam. Keluhan yang keluar dari
lubuk hatinya dan pemuda ini menggeleng gelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang. Lalu Bun Sam menghampiri Sian Hwa dan menoleh kepada Thian Giok sambil berkata, “Thian Giok, sekarang tahulah aku mengapa kau hendak membunuhku. Nah lakukanlah itu, aku takkan melawan. Kalau Lan Giok berani berkorban demi kebahagiaan kami, apa kaukira kamipun takut mati? Inilah kami berdua, orang orang yang telah menjadi sebab kematian ayah dan adikmu. Bunuhlah kami !”
Sambil berkata demikian, Bun Sam melemparkan senjata Pek giok joan pian yang tadi dirampasnya kepada Thian Giok. Pemuda ini menerima senjatanya, memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya itu dengan penuh kebencian, akan tetapi ia tidak mau menyerang. Sebaliknya ia berkata, “Aku bukan pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!” Kemudian ia melompat keluar dan berlari pergi. Para nikouw yang tadinya lari bersembunyi sejak pemuda itu datang mengamuk, kini keluar lagi dan memberes bereskan tempat yang diobrak abrik tadi oleh Thian Giok. Akan tetapi, Bun Sam dan Sian Hwa, tanpa bicara sesuatu, melompat keluar dan keduanya tahu ke mana mereka harus pergi, biarpun keduanya tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ke rumah gedung Pat jiu Giam ong Liem Po Coan!
“Biarpun dia bekas guruku, aku harus mengadu nyawa dengan dia!” berkata Sian Hwa perlahan ketika mereka berdua berlari cepat menuju ke kota raja.
“Bukan kau lawannya. Serahkanlah dia kepada suamimu.” kata Bun Sam.
“Mana bisa kita menjadi suami isteri....?” kata Sian Hwa.
Bun Sam berhenti berlari dan menyambar lengan isterinya. Keduanya saling pandang dan biarpun Sian Hwa tidak berkata apa apa, Bun Sam seakan akan dapat membaca suara hati dan pendirian Sian Hwa.
“Kau benar, Sian moi, habislah semua, tiada artinya lagi hidup ini “
“Jangan berkata begitu, koko. Setelah apa yang terjadi dengan Lan Giok, memang tak mungkin kita menjadi suami isteri dalam arti sedalam dalamnya.”
“Namun, kita sudah melakukan upacara sembahyang dan kita sudah menjadi suami isteri dalam arti umum. Kita takkan berpisah sampai mati dan dapat menjadi suami isteri dalam batin saja.”
Bun Sam memeluk isterinya sambil memejamkan matanya. “Kau benar lagi, isteriku. Kau benar, semoga Thian memberi kekuatan kepadaku, semoga nafsu berahi tidak mengotorkan hatiku. Aku mengerti maksudmu. Kita tak dapat menjadi suami isteri sebelum Lan Giok memaafkan kita ”
“Ya, sebelum Lan Giok memberi ampun kepada kita yang telah menjadi sebab kematiannya.”
“Akan tetapi, Lan Giok sudah meninggal dunia, karena itu ” Sian Hwa tak dapat melanjutkan kata katanya saking
terharu dan duka.
“Karena itu, setelah selesai tugas kita, kita akan bertapa di tempat sunyi. Kita berdua akan pergi diri dunia ramai untuk bersama sama mencapai Nirwana,” Bun Sam menyambung dan Sian Hwa mengangguk.
Mereka dua orang suami isteri yang aneh ini lalu melanjutkan perjalanan ke kota raja. Karena merasa berdosa kepada Lan Giok, baik Bun Sam maupun Sian Hwa menganggap bahwa mereka tidak berhak untuk menjadi suami isteri dalam arti sebenarnya dan rela berkorban perasaan dan menjadi suami isteri dalam batin saja.
Benar benar luar biasa dan sukarlah ditemukan orang orang yang memiliki pribudi tinggi seperti mereka ini.
Ketika Bun Sam dan Sian Hwa tiba di kota raja, mereka menjadi kecewa karena Pat jiu Giam ong dan semua pimpinan Hiat jiu pai telah berangkat menuju ke Lok yang.
Bun Sam tidak tahu tentang tantangan mengadu kepandaian, maka ia tidak mengerti pula mengapa semua orang itu pergi ke lembah Sungai Huang ho itu.
Akan tetapi, ia tidak ambil pusing dan segera mengajak Sian Hwa untuk mengejar.
Agar dapat melakukan perjalanan cepat, ia memondong isterinya itu dan mempergunakan ilmu lari cepatnya yang luar biasa!
Lembah Sungai Huang ho di dekat Lok yang disebut Lembah Maut memang amat berbahaya. Boleh dibilang tidak ada manusia yang berani mencoba untuk naik di lembah yang tinggi dan penuh batu karang ini. Selain batu batu karang di situ runcing dan tajam seperti tombak dan pedang, juga tempat itu licin dan curam sekali. Sekali saja orang terpeleset, kalau tidak tubuhnya akan pecah pecah kulitnya terkena batu batu karang, juga ia boleh jadi hancur terjungkal ke bawah dan menimpa batu batu di pinggir sungai, atau hanyut oleh air Sungai Huang ho, atau disambar oleh ikan ikan besar.
Pada siang hari itu, dua sosok bayangan orang tengah duduk berhadapan di atas batu karang yang bentuknya seperti bangku. Mereka duduk tak bergerak, tetapi mereka bicara perlahan.
“Kim Kong, adakah kau melihat perbedaan antara Lan Giok dan Cui Kim?”
Kakek yang duduk di hadapan Mo bin Sin kun menggeleng kepalanya. “Memang, seperti juga Cui Kim yang hingga kini tetap kukagumi, Lan Giok adalah seorang gadis yang berhati mulia, bersih, dan gagah berani.”
“Dan semua itu karena kesalahan Bun Sam, bukan? Seperti juga dahulu dalam persoalan Cui Kim, semua adalah karena kesalahan Han Kong, bukan?” tanya Mo bin Sin kun.
Kim Kong Taisu menarik napas panjang. “Kalian orang orang wanita selalu mau dimenangkan dalam urusan cinta.”
“Yaaah, memang demikianlah seharusnya karena wanita terbelenggu oleh kesetiaan dan kesusilaan, sudah menjadi haknya untuk menjadi ratu yang tersuci dalam soal cinta dan perjodohan. Aku tak dapat berkata sesuatu tentang Bun Sam, karena dia telah kuusir dan tidak kuakui sebagal murid lagi!”
Kim Kong Taisu nampak berduka sekali ketika ia mengucapkan kata kata ini.
Pada saat itu, dari jauh datang serombongan orang ke arah lembah maut. Baik Kim Kong Taisu maupun Mo bin Sia kun yang duduk bercakap cakap, tahu akan hal ini dan tahu pula bahwa yang datang itu adalah rombongan fihak musuh yang jumlahnya belasan orang. Akan tetapi mereka tidak takut dan tidak menghiraukan.
Kemudian setelah empat orang dari rombongan itu berlompat lompatan di atas batu batu karang dengan gerakan lincah sekali, sedangkan yang lain lain menanti di bawah, tiba tiba Mo bin Sin kun menjadi pucat dan bangkit berdiri.
“Thian Giok! Mereka menawan muridku !” katanya. Ternyata memang betul, yang datang itu adalah Lam hai
Lo mo Seng Jin Siansu, Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, dan Sam thouw hud. Adapun orang ke empat adalah Thian Giok yang dipegang lengannya oleh Lam hai Lo mo dan dibawa berlompat lompatan.
Setelah berada di bawah batu karang di mana Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu berdiri, Lam hai Lo mo dan kawan kawannya berhenti lain berkata, “Ha, ha, ha, dua orang tua bangka sudah menanti di atas? Bagus, bagus!”
“Hm dengarlah kalian Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu. Kalian lihat siapa yang telah kami tawan ini.”
“Siluman curang tak tahu malu, Lam hai Lo mo! Tidak malukah kau? Tidak merahkah mukamu melakukan hal yang amat rendah ini? Kau dan kawan kawanmu bukan orang orang gagah, melainkan ular ular jahat yang curang. Kalau kau sudah berani menantang pibu, mengapa sekarang kau berlaku curang dan menawan seorang anak anak? Lepaskan dia dan naiklah ke sini untuk mengadu kepandaian kalau memang bukan seorang siauwjin (orang rendah) yang berjiwa pengecut!” Mo bin Sin kun memaki maki marah.
Lam hai Lo mo tertawa mengikik.
“Sudah menjadi lazim bagi manusia untuk mencela orang lain tanpa melihat cacad cela dirinya sendiri dan agaknya kaupun mempunyai kebiasaan macam itu juga Mo bin Sin kun! Dengarlah kau, buka telingamu baik baik! Muridmu ini telah menyebabkan muridku Gan Kui To dan keponakanku Liem Swee tewas, oleh karena itu ia kutangkap dan kubawa ke sini. Akan tetapi, aku bukanlah orang macam kau yang meributkan soal mati dan hidup. Kalau kau dan Kim Kong Taisu mau mengaku kalah terhadap aku dan mau menjadi anggota Hiat jiu pai dan bersumpah di sini, aku akan melepaskan muridmu dan mengampuninya. Nah, jawablah!”
Mendengar bahwa Thian Giok sudah menyebabkan kematian dua orang pemuda itu, bukan main kagetnya Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu. Dua orang gagah ini tahu bahwa kepandaian Thian Giok biarpun tidak rendah dan belum tentu kalah oleh murid murid Lam hai Lo mo dan
Pat jiu Giam ong, namun tak mungkin Thian Giok dapat membunuh dua orang muda itu di hadapan tokoh tokoh besar ini!
Oleh karena itu, Mo bin Sin kun merasa ragu ragu dia tidak percaya akan omongan Lam hai Lo mo, karena ia sudah tahu akan kelicikan dan kecurangan kakek itu. Maka ia lalu menoleh kepada Pat jiu Giam ong dan bertanya, “Jenderal, betulkah apa yang dikatakan oleh suhengmu itu?”
Dengan muka merah saking marahnya, Pat jiu Giam ong mengangguk.
“Memang puteraku tewas karena muridmu!”
“Aku masih ragu ragu. Coba kanceritakan apa yang telah terjadi.” kata Mo bin Sin kun.
Pat jiu Giam ong tahu bahwa Mo bin Sin kun tidak mau percaya kepada Lam hai Lo mo, maka ia lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi.
Ternyata bahwa setelah gagal menyerang Bun Sam di kelenteng dan bahkan terpukul hatinya melihat Bun Sam dan Sian Hwa menyerahkan mati hidup mereka di tangannya, Thian Giok lalu cepat pergi mencari Pat jiu Giam ong dengan maksud hendak mengadu nyawa. Akan tetapi baru saja rombongan Pat jiu Giam ong berangkat, maka ia cepat mengejar.
Karena ia melakukan perjalanan cepat, sedangkan rombongan Pat jiu Giam ong tidak tergesa gesa, akhirnya ia dapat menyusul dan melihat Liem Swee dalam rombongan itu, naiklah amarah dalam hati Thian Giok. Kalau tidak ada Liem Swee yang memaksa Sian Hwa menjadi isterinya, agaknya takkan pernah terjadi hal hal yang amat menyedihkan itu, yakni kematian adik dan ayahnya. Maka tanpa banyak cakap lagi ia menyerang Liem Swee. Baiknya ada Pat jiu Giam ong yang dengan mudah merobohkannya. Liem Swee mencabut kim siang to (sepasang golok emas) dan hendak membunuh Thian Giok.
Akan tetapi, tiba tiba Kui To mencegahnya. Kui To melihat persamaan Thian Giok dengan adiknya, yakni Lan Giok yang dicintainya, tidak tega membiarkan Thian Giok, sehingga kebenciannya terhadap Liem Swee menjadi jadi. Ia lain menggunakan kekerasan, sehingga golok di tangan Liem Swee terpental. Hal ini menimbulkan kemarahan dalam hati Liem Swee yang segera menyerang Kui To.
Pertempuran terjadi, akan tetapi mana Liem Swee dapat melawan Kui To! Kepandaian murid Lam hai Lo mo ini lebih tinggi dan sebentar saja, Liem Swee menggeletak tak bernyawa lagi terkena pukulan tongkat di tangan Kui To. Hal ini terjadi cepat sekali sehingga orang orang tua yang berada di situ tak tempat mencegahnya.
Melihat puteranya binasa, tentu saja Pat jiu Giam ong menjadi marah sekali, sehingga sekali serang saja ia membikin kepala Kui To pecah! Lam hai Lo mo hendak membela dan hampir saja kedua orang kakak beradik seperguruan ini baku hantam sendiri. Baiknya ada Sam thouw hud yang memberi ingat kepada mereka dan akhirnya kedua orang ini lalu membawa Thian Giok, melanjutkan perjalanan ke lembah maut setelah mengubur jenazah Liem Swee dan Kui To.
Adapun Thian Giok yang melihat kematian Liem Swee dan Kui To, menjadi puas sekali dan di sepanjang jalan pemuda ini tertawa dan mengejek musuh musuhnya! Tentu saja Pat jiu Giam ong tidak menceritakan sejelas jelasnya kepada Mo bin Sin kun, hanya menceritakan bahwa Thian Giok telah datang mengacau dan berlaku curang, sehingga dua orang muda itu telah mengalami kemarahan dan saling bunuh!
Setelah mendengar penuturan Pat jiu Giam ong yang lebih jujur dan dapat dipercaya daripada Lam hai Lo mo, Mo bin Sin kun lalu berkata, “Kau menghendaki kami masuk menjadi anggauta Hiat jiu pai? Hah, kalian ini mengira kami orang orang macam apakah? Lebih baik kau melepaskan Thian Giok dan aku mau membikin habis perkara kematian Lan Giok, karena kalian berdua juga sudah kehilangan murid dan anak. Hatiku puas sudah!”
Tiba tiba Lam hai Lo mo tertawa tawa.
“Ha, ha, kau menghendaki supaya aku melepaskan muridmu ini? Nah, kau lihatlah!” sambil berkata demikian Lam hai Lo mo lalu melemparkan tubuh Thian Giok ke bawah! Batu batu karang yang runcing dan tajam menyambut tubuh pemuda itu dari tempat yang amat tinggi den dalam keadaan tertotok, maka tentu saja pemuda ini tak dapat menyelamatkan dirinya lagi!
“Bangsat tua....!” Mo bin Sin kun memekik marah dan sekali renggut saja ia telah melepaskan kedoknya dan mengeluarkan sepasang senjatanya, yakni cermin dan sabuk merah. “Kalau hari ini aku tidak membunuhmu, matipun aku tidak dapat meram!” Dari tempat yang begitu tinggi, Mo bin Sin kun lalu melompat ke bawah. Sungguh ginkang yang amat mengagumkan sekali.
Kim Kong Taisu tidak tinggal diam dan menyusul kawannya, melompat turun, sehingga kini dua orang ini telah berhadapan dengan Lam hai Lo mo dan kawan kawannya.
Melihat Mo bin Sin kun tanpa kedok, Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong tertegun dan menjadi pucat. Ternyata bahwa dugaan Lam hai Lo mo dahulu tidak salah. Yang berdiri di hadapan mereka, masih tetap nampak cantik jelita, adalah gadis gagah perkasa yang dulu mereka lihat sudah menggeletak tak bernyawa di dasar jurang! Gadis yang dulu mereka permainkan dengan pertolongan ilmu hitam dari Lam hai Lo mo!
“Cui Kim.......!” Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong menyebut nama kecil Mo bin Sin kun hampir berbareng dan keduanya lupa bahwa mereka menghadapi lawan lawan yang amat lihai.
“Ya, aku Cui Kim dan sekarang majulah kalian. Kita bertempur seorang lawan seorang dalam sebuah pibu yang jujur. Setan tua, kau boleh pula mempergunakan ilmu hitammu kalau kau mau, aku tidak takut!” kata Mo bin Sin kun kepada Lam hai Lo mo yang memandang pucat.
“Sute, kau majulah menghadapinya, biar aku menghadapi Kim Kong Taisu!” kata Lam hai Lo mo dan dari kata katanya, mudah didengar bahwa kakek yang selamanya tidak mengenal takut ini, sekarang merasa ngeri kalau harus menghadapi Mo bin Sin kun!
“Suheng, kaulah yang menghadapinya. Kau yang bertanggung jawab penuh untuk menghadapi Cui Kim!” kata Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, sehingga terdengar aneh pula karena jenderal yang tinggi besar dan kosen inipun memperlihatkan sikap takut takut!
Kim Kong Taisu tertawa geli.
“Ah, benar benar lucu. Kini kalian dua orang tua bangka ketakutan seperti anak kecil melihat setan! Siapa menanam pohon, dia sendiri memetik buahnya. Apakah benar benar kalian dua orang yang berhati kejam dan keras takut menghadapi Cui Kim?” “Kakek sombong, siapa takut? Akulah yang akan menghadapinya,” tiba tiba Sam thouw hud melompat maju menghadapi Mo bin Sin kun dan kedua tangannya telah memegang kebutan dan Kim liong pang.
Kini setelah bersiap sedia dan memegang senjata, hwesio Tibet ini tidak merasa jerih kepada Mo bin Sin kun, apalagi setelah Mo bin Sin kun melepaskan kedoknya sehingga tidak kelihatan menyeramkan seperti biasanya, bahkan kelihatan cantik dan bersih.
“Sam thouw hud, kau sudah ingin mati? Baik, majulah!” Mo bin Sin kun menggerakkan cerminnya di depan dada sambil memasang kuda kuda.
Sebelum kedua orang gagah ini menggerakkan senjata masing masing, tiba tiba dari bawah batu karang itu melompat keluar sesosok bayangan yang lincah sekali dan tahu tahu seorang pemuda telah berdiri di situ. Pemuda ini bukan lain adalah Thian Giok.
Tentu saja semua orang membelalakkan mata mereka dengan penuh keheranan. Bagaimana Thian Giok yang tadi dilemparkan ke dalam jurang yang demikian tingginya mendadak bisa hidup kembali dan melompat naik?
Jawabannya segera terdapat dengan munculnya bayangan lain yang gerakannya demikian cepat dan luar biasa, yang melompat dari bawah batu karang itu sambil memondong seorang gadis. Orang ini bukan lain adalah Bun Sam yang memondong Sian Hwa. Pemuda perkasa inilah yang dengan kebetulan sekali sudah tiba di bawah batu karang ketika ia melihat tubuh seorang pemuda terlempar dari atas. Dengan cepat Bun Sam melompat dan menyambar tubuh pemuda itu dan alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu adalah Thian Giok yang berada dalam keadaan lumpuh tertotok.
Cepat ia memulihkan jalan darah pemuda ini dan mendengar apa yang terjadi di atas batu karang, yakni Lembah Maut.
Setelah keadaan Thian Giok sehat kembali, dengan pertolongan Bun Sam, Thian Giok dibawa melompat ke atas dan setelah hampir tiba di atas batu karang Bun Sam melemparkannya dengan tenaga luar biasa, sehingga Thian Giok dapat tiba di atas dengan selamat. Kemudian Bun Sam melompat turun dan naik lagi ke atas sambil memondong Sian Hwa yang tadi ditinggalkan di bawah ketika ia menolong Thian Giok melompat ke atas.
Melihat Lam hai Lo mo, Pat jiu Giam ong dan Sam thouw hud, Bun Sam tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia maju berlutut di depan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu yang hanya memandang dengan mata terharu, tetapi tidak mengeluarkan sepatah katapun. Adapun Mo bin Sin kun bahkan membuang muka.
Akan tetapi Bun Sam tidak merasa tersinggung, bahkan dengan tenang pemuda ini berdiri lagi lalu menghadapi tiga orang lawan itu. Sambil tersenyum menyindir Bun Sam berkata,
“Hiat jiu pai benar benar berdarah tangannya. Orang orang tua budiman dan mulia dari Oei san dan Sian hwa san terlampau tinggi untuk beradu tangan dengan tangan kalian yang berdarah. Marilah hadapi aku, kita sama sama bertangan darah,” katanya dengan suara tenang dan tabah.
Melihat munculnya pemuda ini, Pat jiu Giam ong merasa terkejut dan juga gelisah. Pemuda ini telah memiliki kepandaian hebat, terbukti pula dari caranya tadi melompat ke atas sambil memondong puteri Bucuci atau bekas muridnya itu dan ternyata bahwa pemuda itu telah dapat menolong Thian Giok pula. “Orang muda she Song. Kau tak berhak datang ke tempat ini. Ini adalah pertemuan pibu antara Lima Besar dan kau bukan seorang murid dari kelimanya. Kau orang luar mana boleh mencampuri urusan kami? Kau pergilah, kelak kalau urusan ini sudah beres, boleh saja kau datang kepada kami untuk menantang pibu!”
Bun Sam tertawa. “Justeru dalam hal inilah kau salah besar, Liem goanswe. Kau keliru kalau bilang bahwa aku adalah orang luar, karena aku datang mewakili suhu.”
Mau tak mau, Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu memandang ke arah pemuda itu. Kedua orang tua ini tahu bahwa Bun Sam kini nampak maju kepandaiannya, tetapi bagaimana pemuda ini akan sanggup menghadapi seorang di antara tiga lawan yang lebih tinggi tingkatnya itu?”
“Siapa suhumu?”
“Siapa saja yang mau mengaku murid padaku,” jawab Bun Sam sambil mengerling ke arah Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu.
Pat jiu Giam ong hendak bertanya kepada Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu, karena ia pun telah mendengar bahwa Bun Sam tidak diakui lagi oleh kedua orang gurunya ini. Ia mendengar dari para penyelidiknya yang mempunyai banyak sekali kaki tangannya di mana mana.
Akan tetapi sebelum ia membuka mulut, ia telah didahului oleh Sam thouw hud. Hwesio dari Tibet ini melihat kesempatan baik.
Sebetulnya, untuk menghadapi Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun, ia tidak takut. Akan tetapi setelah sekarang bertambah seorang lawan yang menantang, mengapa ia tidak memilih yang paling lemah? Kalau dibandingkan dengan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu tentu saja pemuda ini jauh lebih ringan untuk dihadapi.
“Liem goanswe, biarlah aku yang menghadapi bocah hijau ini! Kalau tidak diberi rasa, dia akan menjadi besar kepala dan tidak baik untuk anak muda jika berkepala besar
!” Sambil berkata demikian, Sam thouw hud menyerang Bun Sam dengan Kim liong pang. Toya yang panjang dan berat ini mengeluarkan suara angin menyambar, ketika me mukul ke arah kepala Bun Sam. Kalau mengenai kepala, tak dapat disangsikan lagi tentu akan remuk, karena dalam pukulan ini terkandung tenaga cukup keras dan kuat dapat menghancurkan batu karang !
“Hati hati, koko!” Sian Hwa berseru dan gadis ini berdiri agak jauh dari pertempuran itu.
“Jangan khawatir, moi moi!” kata Bun Sam sambil mengelak dengan seketika, menggerakkan kepalanya, sehingga toya itu menyambar lewat.
Serangan toya itu disusul dengan sambaran kebutan yang ujungnya menotok jalan darah di iga kanan Bun Sam, akan tetapi pemuda ini tanpa mengelak lalu menyentil dengan jari telunjuknya ke arah ujung kebutan itu.
“Cring!” terdengar suara nyaring seakan akan orang memetik senar yang kim (semacam alat musik bersenar) dan bukan main kagetnya Sam thouw hud ketika melihat ujung kebutannya telah putus! Bun Sam ternyata mempergunakan Ilmu Silat Tee coan liok kun hwat yang gerakannya demikian aneh dan lihai, sehingga semua tokoh yang berada di situ tidak dapat mengenal ilmu silat apakah yang dipergunakan oleh pemuda itu!
Pertempuran berjalan makin hebat dan biarpun Sam thouw hud memegang dua macam senjata, namun menghadapi pemuda ini yang bersilat tangan kosong dengan cara yang amat luar biasa, ia menjadi pening juga. Tubuhnya terlalu tinggi dan gemuk, sehingga gerakannya yang harus cepat untuk mengimbangi gerakan Bun Sam itu membuatnya lekas merasa lelah.
Makin lama, gerakan toyanya menjadi makin lambat dan tiba tiba sambil berseru keras, Bun Sam berhasil merampas kebutannya! Pemuda ini lalu memainkan kebutannya seperti orang memainkan pedang dan hasilnya luar biasa sekali!
Hudtim (kebutan) itu menyambar dan mengeluarkan cahaya mengurung gerakan toya dari lawannya. Sam thouw hud merasa seakan akan ia dikurung oleh enam orang yang memainkan hudtim sama lihai dan sama anehnya!
Inilah Ilmu Silat Enam Ilmu Pedang Lingkaran Bumi yang dipelajari oleh Bun Sam dari Bu tek Kiam ong!
“Menggelindinglah kau turun!” tiba tiba terdengar suara Bun Sam dari dalam gulungan sinar kebutan dan disusul oleh pekik kesakitan dari Sam thouw hud.
Kemudian nampak tubuhnya yang gemuk itu betul saja menggelinding turun dari batu karang itu. Orang orang yang berada di bawah segera menyambut dan menolongnya dan hwesio gemuk itu hanya dapat mengaduh aduh, karena biarpun ia tidak terluka hebat yang membahayakan nyawanya, akan tetapi tendangan dari Bun Sam tadi tepat sekali mengenai sambungan lututnya, sehingga sambungan itu terlepas. Juga kepalanya yang gundul beradu dengan batu batu karang, sehingga biarpun ia kebal, namun tetap saja kulitnya rusak dan berdarah.
Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun saling memandaug dengan heran.
Bagaimana bekas murid mereka itu bisa begitu lihai? Adapun Bun Sam kini menghadapi Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong sambil tersenyum.
“Sekarang, giliran siapakah yang hendak memamerkan kepadaiannya di sini?” tantangnya.
Pada saat itu, udara yang tadinya cerah tiba tiba menjadi gelap dan mendung berkumpul menutupi matahari. Juga pada waktu itu, musim hujan telah tiba dan di bagian barat telah turun hujan lebat berhari hari lamanya. Udara yang mulai mendung ini disusul oleh suara bergemuruh dan nampak orang orang yang berada di bawah, yakni Koai kauw jit him dan beberapa orang anggota Hiat jiu pai berteriak teriak ketakutan dan semua berlari naik ke atas batu karang.
Ketika semua orang memandang, ternyata bahwa dari sebelah hulu sungai air mengalir dengan dahsyatnya, datang bergelombang besar sekali. Air bah mulai datang.
Keadaan menjadi kalang kabut.
“Tangkap dua orang muda itu !” Seng jin Siansu memberi perintah dan Koai kauw jit him bersama kawan kawannya lalu menubruk maju dan mengeroyok Sian Hwi dan Thian Giok yang berdiri agak bawah dari batu karang itu. Kedua orang muda ini melawan, akan tetapi mereka bukan tandingan Koai kauw jit him dan kawan kawannya, maka sebentar saja mereka berdua terdesak hebat.
Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu berseru keras dan tubuh mereka menyambar ke arah para pengeroyok itu. Terdengar teriakan teriakan keras dan beberapa orang pengeroyok terlempar masuk ke dalam sungai, ditelan ombak yang sudah bergulung gulung datang. Yang lain melihat ini, mundur dan turun kembali, akan tetapi mereka disambut oleh air yang mulai meningkat naik dan merendam batu karang di bagian bawah.
Mereka menjadi serba salah dan saking gugupnya, banyak yang terpeleset di atas batu karang licin itu dan terjebur ke dalam sungai.
Makin hebat datangnya air dan batu karang itu diterjang sampai bergoyang goyang dan beberapa orang yang masih kebingungan itu tak dapat mempertahankan kedua kakinya, lalu terlempar dan jatuh pula ditelan ombak.
Bun Sam melompat cepat dan sekali tangkap saja ia sudah dapat memondong tubuh Sian Hwa.
“Koko, kau tolong Thian Giok.... !” tiba tiba Sian Hwa berkata. Ternyata bahwa biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, Thian Giok tak dapat mempertahankan diri di atas batu karang licin yang bergoyang goyang dan iapun terjungkal. Akan tetapi, pemuda ini masih sempat memegangi pinggiran jurang batu karang dan tubuhnya tergantung di pinggir jurang. Bun Sam cepat melepaskan Sian Hwa dan menyuruh gadis itu berjongkok agar tidak terlempar, lalu ia merayap di atas batu karang yang licin sekali mendekati jurang.
Sian Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia maklum bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Bun Sam itu berbahaya sekali, karena sekali saja terpeleset, tentu pemuda ini akan tercebur dalam sungai pula dan kalau hal itu terjadi, jangan harap Bun Sam akan dapat menyelamatkan diri.
“Koko, kau hati hatilah....” katanya dan suara ini membuat Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu menjadi pilu. Mereka juga terbaru sekali melihat pembelaan Bun Sam kepada Thian Giok dan sedikit demi sedikit kemarahan mereka terhadap Bun Sam menipis. Akhirnya Bun Sam berhasil memegang tangan Thian Giok yang telah berdarah karena batu batu karang yang tajam itu melukai kulit telapak tangannya, lalu Bun Sam menarik tubuh pemuda itu ke atas.
“Berpeganglah erat erat, Thian Giok !” katanya dan setelah tubuh pemuda yang ditolongnya itu berada di atas, ia lalu memondongnya dan melompat ke tengah batu karang yang kini sudah miring.
“Terima kasih, Bun Sam. Dua kali kau menyelamatkan jiwaku,” kata Thian Giok terharu.
“Belum cukup untuk menebus dosaku terhadap adik dan ayahmu,” jawab Bun Sam.
Pada saat itu, Sian Hwa memekik. Dari belakang menyambar sebatang tongkat dan ternyata secara curang sekali Lam hai Lo mo telah menyerang Bun Sam yang berdiri membelakanginya!
“Curang kau, bangsat tua!” Kim Kong Taisu memaki sambil melompat dan menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang Kim Kong kiam yang sudah dipegangnya!
“Traang!” Kim Kong Taisu merasakan tangannya tergetar dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Dalam hal tenaga, ia tidak kalah oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi kedudukannya tadi kalah oleh lawannya dan ia menangkis dalam keadaan miring, maka tentu saja ia hampir mendapat celaka. Sementara itu, Pat jiu Giam ong juga tidak tinggal diam dan mengirim pukulan dengan tangannya yang didorongkan ke arah punggung Kim Kong Taisu.
Kim Kong Taisu terkejut sekali merasakan datangnya sambaran angin pukulan yang dahsyat, ia cepat sekali menangkis dengan mengebutkan ujung lengan bajunya. Akan tetapi, masih saja ia terdorong dan kakek ini jatuh terguling!
Baiknya Mo bin Sin kun melihat keadaan yang berbahaya ini, cepat melompat lalu menyambar lengan Kim Kong Taisu yang segera melompat berdiri lagi dengan wajah merah.
“Tua bangka curang!” Bun Sam telah melompat menghadapi Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, “Tidak malukah kalian? Kalau memang kalian ada kepandaian, ayoh hadapi aku. Aku tantang kalian. Dengar baik baik! Aku Song Bun Sam, orang yang tidak ternama, yang masih bodoh dan hijau, aku menantang pibu kepada Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu dan Pat jiu Giam ong Liem Po Coan! Beranikah kalian, atau takutkah menghadapi aku??”
Bukan main marahnya kedua orang kakek itu mendengar tantangan hebat ini. Wajah mereka sampai menjadi pucat saking menahan marahnya.
“Bocah sombong! Kaukira kepandaianmu sudah paling tinggi?” Lam hai Lo mo membentak.
“Hem, aku tidak mau membunuh seorang tidak ternama. Kau bukan murid Kim kong Taisu, tidak diakui pula oleh Mo bin Sin kun. Kan tidak berhak mencampuri pibu ini!” cela Pat jin Giam ong.
“Bodoh!” Bun Sam berkata. “Tak dapat mendugakah kau, Liem goanswe. Ternyata kau hanya pandai mengatur siasat perang untuk menipu barisan musuh yang lebih kuat secara curang saja! Ketahuilah, aku datang sebagai wakil dari Bu tek Kiam ong, karena aku adalah muridnya. Tahu??”
Mendengar ini, semua orang melengak terheran heran. Pantas saja anak ini demikian gagah dan lihai! Karena tiada waktu lagi untuk banyak bertanya tentang Bu tek Kiam ong, maka Pat jiu Giam ong yang cerdik segera berkata, “Aha, tidak tahunya orang gila itu masih ada dan telah mengirim muridnya. Bagus, kau tadi menantang pibu? Baik, turunlah kita mencoba ilmu tangan kosong. Beranikah kau menyambutnya?” Memang Pat jiu Giam ong cerdik. Ia tahu bahwa kelihatan Bu tek Kiam ong, seperti dapat dimengerti dari julukannya yang berarti Raja Pedang Tanpa Tandingan, adalah dalam ilmu pedang. Maka sengaja ia mengajak bertanding dengan tangan kosong, karena ia mempunyai ilmu pukulan Tiat mo kang yang lihai, yang dapat merobohkan lawan dengan angin pukulannya dari jarak jauh!
“Tentu saja berani, siapa takut kepadamu?” jawab Bun Sam, Pat jiu Giam ong lalu memasang kuda kuda dan karena ia ingin cepat cepat merobohkan lawannya yang muda ini, begitu bergebrak ia telah menjalankan pukulan Tiat mo kang!
Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun terkejut sekali. Dua orang ini mengerti akan muslihat dari Pat jiu Giam ong, maka mereka memandang dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi, Mo bin Sin kun berbisik kepada Kim Kong Taisu, Tak perlu khawatir, dia telah mempelajari Soan hong pek lek jiu dari aku dan ditambah dengan kepandaiannya Thai lek Kim kong jiu dari mu, kurasa dia takkan kalah.”
Kim Kong Taisu mengangguk angguk menyatakan setuju dan ia menjadi agak lega. Keduanya memandang dengan penuh perhatian, juga bersiap siap untuk mencegah. Lam hai Lo mo menggunakan kecurangan. Adapun Thian Giok dan Sian Hwa memandang ke arah Bun Sam. Thian Giok dengan penuh kekaguman, Sian Hwa dengan bangga dan juga khawatir. Akan tetapi setelah pertempuran dimulai, tidak saja Sian Hwa yang menjadi khawatir, bahkan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu menjadi gelisah sekali. Ternyata bahwa Bun Sam sama sekali tidak mempergunakan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu atau Thai lek Kim kong jiu untuk menghadapi serangan serangan Thiat mo kang dari Pat jiu Giam ong.
Malaikat Maut Tangan Delapan ini mulai penyerangannya dengan pukulan Thiat mo kang, dengan tubuh agak direndahkan kemudian kedua tangannya mendorong ke depan sambil mengeluarkan seruan keras.
Biarpun Sian Hwa dan Thian Giok berdiri jauh, masih juga dua orang muda ini merasai angin pukulan, sehingga mereka cepat mengerahkan lweekang untuk menahan angin ini. Bun Sam menghadapi pukulan maut ini dengan menggunakan kelincahan ginkangnya yang luar biasa. Iapun membalas serangan lawan, tetapi ia menggunakan ilmu pukulan yang ia pelajari dari Bu tek Kiam ong. Mana bisa ia menghadapi lawan yang menggunakan ilmu pukulan lweekang dari jauh dengan ilmu silat ini, karena sebelum pukulannya mendekat lawannya kembali telah melancarkan pukulan hebat dari Thiat mo kang.
Melihat keadaan lawannya, Pat jiu Giam ong menjadi gembira sekali dan ia menyerang terus bertubi tubi sambil bersilat dengan Ilmu Silat Pat kwa jiu hwat dan mengerahkan pukulan Thiat mo kang. Bun Sam terdesak terus dan mengelak ke sana ke mari, lincah sekali akan tetapi terdesak Thian Giok melihat pula keadaan ini dan tak tertahan pula ia berseru, “Bun Sam, pergunakan Soan hong pek lek jiu!”
Mo bin Sin kun mengangguk angguk dan senang mendengar kecerdikan muridnya ini. Ia sendiri merasa malu untuk memberi tahu Bun Sam, karena hal ini akan dianggap curang oleh Pat jiu Giam ong.
Akan tatapi alangkah pilunya hati wanita perkasa ini ketika mendengar Bun Sam menjawab. “Than Giok, aku tidak berani melanggar larangan gurumu.”
Mo bin Sin kun merasa betapa matanya menjadi panas dan hampir saja dua titik air mata yang telah mengembang di pelupuk matanya mengalir turun kalau tidak ditahan tahannya. Bukan main keras dan setia hati Bun Sam, sehingga di dalam keadaan terdesak oleh bahaya maut itu, pemuda ini tidak mau melanggar larangannya yang dulu diucapkan dalam kemarahannya ketika Bun Sam menolak ikatan jodohnya dengan Lan Giok.
Sementara itu, sebuah serangan dari Pat jiu Giam ong akhirnya mengenai pundak Bun Sam. Hebat sekali pukulan ini karena dilakukan dari jarak yang tidak seberapa jauh dan ketika itu tubuh Bun Sam masih dalam keadaan melompat, sehingga tubuh pemuda ini terpental dan jatuh bergulingan di atas batu karang yang keras dan kasar.
“Koko....!” Sian Hwa memekik dan melompat ke arah suaminya Akan tetapi Pat jiu Giam ong mendorongnya dan berseru, “Pergi kau, perempuan hina !” Terkena dorongan ini, Sian Hwa roboh pula targuling guling. Baiknya Thian Giok berada di dekatnya maka pemuda ini dapat menangkap tangannya, sehingga gadis itu tidak terdorong.
Pat jiu Giam ong mengejar Bun Sam dan mengirim pukulan lagi yang mengenai punggung pemuda itu. Akan tetapi, biarpun merasa sakit sekali, Bun Sam masih keburu mengerahkan lweekangnya dan mencegah pukulan ini melukai tubuh bagian dalam. Ia tidak memperdulikan keadaannya sendiri, bahkan berseru kepada Sian Hwa, “Sian moi, jangan kau ikut campur dan ” Akan tetapi ia terpaksa menghentikan seruannya ketika Pat jiu Giam ong memukul lagi, kini dengan tenaga Thiat mo kang sepenuhnya dan pukulan ditujukan ke arah kepala Bun Sam. Pemuda ini cepat melompat ke pinggir sambil menangkis dengan anginnya. Tetap saja ia terdorong dan kembali ia roboh.
“Liem goanwe, jangan membunuh suamiku....!” Sian Hwa menjerit dan hendak memberontak dan pegangan Thian Giok, akan tetapi pemuda ini memegang lengannya erat erat karena ia maklum bahwa kalau dilepas, nyawa Sian Hwa berada dalam bahaya.
“Sian Hwa, jangan kau khawatir!” Bun Sam masih dapat berseru dan pemuda yang memiliki ginkang tinggi ini masih sempat mengelak dari sebuah pukulan susulan.
Pat jiu Giam ong merasa heran dan penasaran sekali. Biasanya, sekali pukulannya mengenai lawan, pasti lawan itu akan roboh binasa, ia merasa heran menghadapi ilmu silat pemuda ini dan kalau ia tidak mempergunakan Thiat mo kang, agaknya ilmu silatnya Pat kwa jiu hwat takkan berdaya menghadapi ilmu silat Bun Sam.
“Bun Sam, kau adalah muridku, siapa melarang kau mempergunakan Soan hong pek lek jin hwat?” tiba tiba terdengar suara Mo bin Sin kun yang nyaring, disusul oleh suara Kim Kong Taisu,
“Bun Sam muridku, apakah kau sudah lupa untuk mempergunakan Thai lek Kim kong jiu.”
Bukan main girangnya hati Bun Sam mendengar ucapan ucapan kedua orang tua ini.
“Terima kasih, suthai dan suhu. Teecu pasti tidak lupa.” Kemudian, dengan semangat baru, ia menghadapi Pat jiu Giam ong. Ketika jenderal ini memukulnya dengan Thiat mo kang lagi, Bun Sam mengerahkan tenaga dalam dan mendorong pula dengan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu untuk menangkis. Hebat pertemuan dua tenaga ini. Pat jiu Giam ong tergempur kuda kudanya dan melangkah mundur dua tindak, juga Bun Sam melangkah mundur tiga tindak. Biarpun masih kalah sedikit tenaganya, namun kini Bun Sam dapat menghadapi lawannya secara keras lawan kerai, tidak seperti tadi yang harus main kelit. Ia membalas dan kini ia memukul dengan tenaga Thai lek Kim kong jiu.
Pertempuran makin hebat dan kini Bun Sam mulai mendesak lawannya. Hal ini adalah karena pemuda ini memainkan ilmu silat Tee coan Liok jiu hwat dan mempergunakan tenaga Thai lek Kim kong jiu dan Soan hong Pek lek jiu berganti ganti. Dalam hal tenaga ia boleh kalah sedikit akan tetapi dalam ilmu silat ia menang banyak, maka sebentar saja Pat jiu Giam ong telah termasuk dalam kurungan Ilmu Silat Enam Lingkaran Bumi itu.
“Pat jiu Giam ong, kau harus menyusul Suheng dan adik Lan Giok!” kata Bun Sam dan pemuda ini menyerang makin gencar, sebuah pukulannya dengan tenaga Soan hong pek lek jiu dapat memasuki perut lawannya. Pat jiu Giam ong menjerit dan tubuhnya yang besar itu menggelundung, terus tak dapat di rem lagi sampai terguling ke dalam jurang dan disambut oleh gelombang air Sungai Hoang ho.
Lam hai Lo mo menjadi pucat melihat sutenya tewas. Ia lalu memegang tongkat ularnya dan menghampiri Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun.
“Marilah kita habiskan pertempuran ini. Majulah seorang di antara kalian, aku sudah siap!” Akan tetapi, Bun Sam cepat melompat menghadapinya dan berkata, “Lam hai Lo mo, ada muridnya di sini untuk apa kedua orang guruku yang mulia mesti turun tangan sendiri? Untuk memukul anjing tak perlu memakai pedang pusaka.” Dengan kata kata itu, ia maksudkan bahwa untuk menghadapi Lam hai Lo mo tak perlu orang orang yang mulia seperti Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun turun tangan sendiri.
“Bun Sam, dia lihai sekali, biar aku yang menghadapinya,” kata Kim Kong Taisu, akan tetapi Bun Sam tersenyum dan berkata, “Biarlah, suhu. Bu tek Kiam ong sudah memberi tahu kepada teecu bagaimana harus menghadapi manusia siluman ini.”
“Bun Sam, kau baik sekali.” kata Kim Kong Taisu terharu. Kemudian kakek ini lalu menyerahkan pedang Kim Kong kiam kepada muridnya. Melihat pedang ini, bercahaya muka Bun Sam. Ia menerima pedang itu dengan kedua tangan dan mencium pedang itu, kemudian sambil tersenyum senyum ia menghadapi Lam hai Lo mo Seng jin Siansu.
“Lom hai Lo mo, kejahatan mu sudah melewati takaran, sekaranglah saatnya kau harus menebus dosa!” katanya.
“Bocah sombong, kaukira akan dapat memenangkan Lam hai Lo mo ? Ha, ha, ha, ha.” Sambil tertawa tawa, Lam hai Lo mo lalu mulai menyerang. Suara ketawaaya tadi aneh sekali, karena anehnya, sehingga Sian Hwa dan Thian Giok memakan sesuatu pengaruh yang membuat mereka hampir hampir ikut tertawa.
Melihat ini, Sian Hwa yang sudah tahu akan kelihaian bekas supeknya, lalu berlari mendekati Kim Kong Taisu untuk menyuruh kakek ini menolong Bun Sam. “Lo cian pwe, mohon kau sudi mencegahnya Dia suamiku bagaimana dia dapat melawan Lam hai Lo mo?
Bagaimana kalau dia sampai celaka?”
Akan tetapi, Kim Kong Taisu tidak menjawab dan ketika Sian Hwa memandang, ternyata kakek tua ini berdiri dengan sepasang lengan bersedakap dan mata meram !
Mo bin Sin kun memberi isyarat agar Sian Hwa jangan mengganggu Kim Kong Taisu dan menyuruh gadis itu mendekat. Setelah dekat, ia katakan perlahan lahan, “Tidak kaulihatkah bahwa Kim Kong Taisu tengah membantu Bun Sam? Kalau Bun Sam menandingi ilmu silat Lam hai Lo mo, adalah Kim Kong Taisu menghadapi ilmu hitam yang dikeluarkannya !”
Baru tahulah sekarang Sian Hwa bahwa Lam hai Lo mo maju menyerang Bun Sam sambil menyebarkan ilmu hitam dan Kim Kong Taisu kini sedang menolak pengaruh ilmu hitam itu untuk membantu Bun Sam. Maka ia hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak dan hati berdebar.
“Jadi kau sudah menjadi isterinya?” tanya Mo bin Sin kun dengan suara lembut, akan tetapi matanya masih tetap mengikati jalannya pertandingan antara Bun Sam dan Lam hai Lo mo.
Merah muka Sian Hwa. “Kami berdua sudah melakukan upacara pernikahan, akan tetapi.... kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri dalam batin saja.”
Sian Hwa merasa perlu mengadakan pengakuan ini untuk meredakan kebencian atau kemarahan orang orang tua itu kepada suaminya.
“Mengapa begitu?” Mo bin Sin kun bertanya, suaranya kurang percaya. “Untuk menghormat dan mengimbangi pengorbanan adik Lan Giok yang berhati mulia.”
Kini Mo bin Sin kun menengok dan ia melihat betapa Sian Hwa memandang ke arah Bun Sam dengan mata basah, ia merasa terharu sekali dan lak terasa ia memegang tangan gadis itu.
“Betulkah itu ?” tanyanya.
“Saya tak perlu membohong, suthai. Kami telah bersumpah takkan menjadi suami isteri dalam arti sedalam dalamnya sebelum mendapat pengampunan dari Lan Giok.”
Mo bin Sin kun menekan telapak tangan gadis itu, kemudian melepaskan kembali dan mengangguk anggukkan kepalanya tanpa berkata sesuatu.
Pada saat itu, pertempuran yang terjadi antara Bun Sam dan Lam hai Lo mo hebat sekali. Tubuh kakek itu dan tubuh Bun Sam sudah lenyap dari pandangan mata dan yang nampak hanyalah sinar yang bergulung gulung dari dua senjata itu. Akan tetapi sinar kuning emas dari Kim kong kiam makin besar dan terpecah pecah menjadi enam lingkaran yang aneh sekali. Ternyata bahwa Bun Sam tengah memainkan ilmu Pedang Enam Lingkaran Bumi yang istimewa sekali dan yang diciptakan oleh Bu tek Kiam ong khusus untuk menghadapi tokoh tokoh terbesar dari dunia persilatan! Kepandaian Bun Sam sudah demikian sempurnanya sehingga terdengar Mo bin Sin kun berkata, “Andaikata Bu tek Kiam ong sendiri berada di sini, belum tentu ia akan dapat memainkan pedang sedemikian hebatnya !”
Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu terdesak hebat. Dua kali ujung tongkatnya terbabat putus dan tongkat itu menjadi makin pendek saja. Keringatnya mulai mengucur deras dan napasnya sudah kembang kempis.
“Kim Kong, tua bangka. Kau curang!” berkali kali Lam hai Lo mo berseru, karena ia tahu bahwa hanya Kim Kong Taisu saja yang membuat ilmu sihirnya tidak mempan menghadapi Bun Sam, biarpun berkali kali ia telah mengerahkan tenaga batinnya. Akan tetapi, Kim Kong Taisu tidak menjawab, karena kakek yang sakti ini maklum bahwa sekali saja ia mengendurkan pengarah kekuatan batinnya untuk menolak ilmu sihir Lam hai Lo mo, akan celakalah Bun Sam.
Akhirnya Bun Sam dapat mematahkan ilmu silat dan Lam hai Lo mo dan ketika Bun Sam memutar pedangnya dengan getaran yang mempunyai daya membetot, tongkat di tangan kakek itu melayang terlepas dari pegangan dan jatuh ke bawah batu karang, mengambang di atas air sungai. Tiba tiba kelihatan gerakan di air itu dan muncul kepala yang bentuknya lonjong menyambar tongkat itu dan “krak”, sekali sambar tongkat iru remuk dan masuk ke dalam perut ikan liar itu!
Melihat ini Lam hai Lo mo menjadi lemas dan pucat mukanya. Tiba tiba ia menjatahkan diri berlutut dan menangis sambil mengeluh minta ampun! Memang hebat sekali kepandaian Lam hai Lo mo. Entah bagaimana, melihat dan mendengar kakek ini mengeluh dan minta minta ampun, Bun Sam merasa kasihan sekali, menarik pedangnya dan menjauhkan diri, sama sekali tidak ingin mengganggu kakek itu lagi! Juga Thian Giok dan Sian Hwa tiba tiba merasa kasihan dan bahkan Sian Hwa berkata dengan suara terharu,
“Koko, jangan kau ganggu dia ” Bun Sam mengangguk angguk dan menghampiri Sian Hwa yang terus digandeng tangannya. Juga Kim Kong Taisu yang sudah membuka matanya, menarik napas panjang dan berkata,
“Thian bersifat Maha Kasih, siapa sadar dan menyesal akan segala dosanya, pasti akan mendapat petunjuk ke arah jalan baik ”
Akan tetapi tiba tiba nampak bayangan yang berkelebat ke hadapan Lam hai Lo mo yang masih berlutut dan Mo bin Sin kun telah berdiri di hadapan kakek itu.
“Siluman jahat, angkat mukamu dan lihatlah siapa aku!” Lam hai Lo mo mengangkat muka dan melihat Mo bin
Sin kun, ia menangis lagi.
“Cui Kim, ampunkanlah aku.... ampunkan aku seorang tua yang tak berdaya, yang sebatang kara....” Suaranya sungguh sungguh menimbulkan keharuan dalam hati setiap pendengarnya, karena sesungguhnya, dalam kelakuan inipun Lam hai Lo mo diperkuat oleh ilmu sihirnya! Inipun merupakan semacam ilmu baginya uutuk dapat meloloskan diri dari bahaya maut yang mengancamnya.
Akan tetapi kali ini ia menghadapi Cui Kim atau Mo bin Sin kun orang yang dulu di waktu mudanya pernah menerima hinaan besar dan perlakuan sejahat jahatnya dari dia, orang yang boleh dibilang sudah rusak hidupnya, sehingga rela menutupi muka dengan kedok buruk dan semua itu semata mata karena kejahatan Lam hai Lo mo !
“Kau masih berani menyebut nama Cui Kim? Lupa lagikah kau betapa kejinya kau dulu berbuat kepada Cui Kim? Dan kau masih mengharapkan ampun? Akan tetapi aku tidak sekejam kau. Aku tidak mau membunuhmu dengan tanganku sendiri, sungguhpun itu sudah menjadi hakku. Nah, lekaslah kau pergi dari sini !” Sambil berkata demikian, Mo bin Sm kun menendang tubuh Lam hai Lo mo yang sudah menjadi lemas karena lelahnya. Tubuh kakek itu melayang ke bawah dan terdengar suara air muncrat, disusul pekik kakek itu. Hanya warna merah sedikit membayang di permukaan air ketika ikan liar yang tadi telah memakan tongkatnya, kini mengenyangkan perutnya yang tak pernah merasa puas itu dengan tubuh yang tinggal kulit dan tulang ini. Tamatlah riwayat Lam hai Lo mo yang di waktu hidupnya selalu melakukan hal hal yang jahat belaka.
Bun Sam berlutut di depan kedua orang bekas guru gurunya itu.
“Semoga kau berbahagia dengan isterimu, Bun Sam. Dia seorang isteri yang baik dan setia. Kau tidak salah pilih,” kata Mo bin Sin kun.
Adapun Kim Kong Taisu, saking terharu dan girangnya melihat kemajuan Bun Sam lalu memeluk pemuda itu tanpa berkata sesuatu. Kemudian, mereka berhasil memanggil seorang nelayan yang datang dengan perahunya dan menyeberangkan mereka ke darat. Thian Giok ikut pulang dengan Mo bin Sin kun ke Sian hwa san, sedangkan Kim Kong Taisu kembali ke Oei san, Bun Sam bersama isterinya melanjutkan perjalanan, ke mana ?