Jilid XIII
DIAM DIAM Bun Sam tersenyum geli dan juga ia amat tertarik. Kalau seorang lawan seorang saja Lan Giok dan Thian Giok sampai kalah, tentu kepandaian para pengejar itu benar benar hebat. Ingin sekali ia mencoba mereka, tetapi jangan sampai terlihat oleh dua orang muda ini.
“Kalian sudah lelah, lebih baik kita berpencar saja,” katanya. “Lekas kalian berlari menuju ke hutan di depan itu, aku akan membelok ke kanan dan memancing mereka supaya mengejarku.”
“Tetapi kalau kau tertangkap?” Lan Giok membantah.
“Aku tidak bermusuhan dengan mereka. Takut apa ditangkap?” jawab Bun Sam. Tetapi Lan Giok masih hendak membantah, sehingga Thian Giok cepat menyambar tangannya dan ditarik pergi.
“Kata kata Bun Sam tadi benar! Dahulupun ia dibebaskan oleh Pat jiu Giam ong. Ayoh lari, mereka sudah dekat!”
Dengan hati tidak rela, Lan Giok hendak membantah pula. “Lan Giok, jangan khawatir, aku akan menyusul kalian telah dapat memancing mereka. Tunggu saja di dalam hutan itu,” kata Bun Sam. Mendengar ucapan ini, barulah Lan Giok tidak membantah lagi dan kedua orang muda itu berlari secepatnya menuju ke gundukan hitam di sebelah kiri.
Biarpun tadi Bun Sam menyatakan hendak memancing para pengejar, tetapi setelah melihat Lan Giok dan Thian Giok lari jauh dan hilang ditelan kegelapan malam ia berdiri tenang tenang saja sambil bertolak pinggang menanti delapan orang itu.
Setelah Bucuci dan kawan kawannya mengejar sampai di situ dan melihat pemuda ini berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum senyum, Biauw Hun membentak. “Inilah bangsat itu!” Ia lalu maju memukul dengan tangan kanannya. Tetapi ia menjadi terkejut sekali karena pemuda itu tiba tiba saja lenyap dari depannya dan tahu tahu telah berada di belakangnya!
“Ah, jadi kaukah ini?” Bucuci membentak marah sambil memandang kepada Bun Sam. “Mau apa lagi kau berani menghalangi aku?”
Bun Sam menjura dengan hormat. “Bucuci ciangkun, aku tidak hendak menghalangi siapa siapa hanya aku tidak tega melihat kedua orang kawanku itu diikat dan ditawan.”
“Dia ini adalah murid Kim Kong Taisu, seorang yang amat jahil dan sudah beberapa kali menggangguku. Sekarang dia tidak memandang kepada cu wi dan berani mencuri dan melepaskan tawanan, sungguh harus dibunuhi” kata Bucuci kepada Biauw Ta.
Mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Kim Kong Taisu, juga melihat cara Bun Sam tadi mengelak dari serangan, Biauw Ta menjadi tertarik. Sudah lama ia mendengar nama Kim Kong Taisu sebagai seorang tokoh besar di samping nama nama besar dari Mo bin Sin kun, Lam hai Lo mo, Pat jiu Giam ong dan Bu tek Kiam ong. Tadi ia telah dapat mengalahkan murid Mo bin Sin kun dan hatinya merasa puas sekali. Urusan penangkapan Lan Giok dan Thian Giok baginya tidak ada artinya sama sekali, yang penting adalah kemenangannya dalam pertandingan tadi. Sekarang ia berhadapan dengan murid dari Kim Kong Taisu, mengapa tidak dicobanya ?
“Hm, anak muda, jadi kau adalah murid Kim Kong Taisu? Pantas saja lihai. Kau telah berani menculik tawanan kami, apakah kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan? Kami ialah Koai kauw jit him, kenalkah kau kepada kami?”
Memang Bun Sam pernah mendengar nama ini, tetapi ia sengaja menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak kenal nama itu. Tetapi aku mau bertaruh dengan Koai kauw jit him.”
“Bertaruh? Apa maksudmu?” tanya Biauw Ta.
“Kita mengadakan pertandingan, kalau kalian kalah, tak usah mengejar ngejar lagi kepada dua orang kawanku tadi.”
“Dan kalau kau yang kalah?”
“Kalau aku kalah, akan kuberitahukan kepadamu di mana adanya kedua sahabatku itu. Bukankah ini sudah adil namanya?”
“Bagus, mari kita main main sebentar, hendak kusaksikan sendiri sampai di mana hebatnya ilmu silat yang diajarkan oleh Kim Kong Taisu!” Sambil berkata demikian, Biauw Ta lalu menerjang ke depan.
Akan tetapi, sekali lagi Bun Sam mengelak dan kini pemuda itu bahkan melarikan diri, kembali ke jalan tadi.
“Eh, mengapa kau lari?” Biauw Ta berseru sambil mengejar cepat, diikuti oleh kawan kawannya yang tujuh orang.
“Hendak kulihat betapa cepatnya lari biruang Mongol!” Bun Sam berkata mengejek. Marahlah Biauw Ta dan ia bersama saudara saudaranya lalu mengejar dengan cepat, menggunakan ilmu lari cepat yang mereka namakan Hui niau coan in (Burung Terbang Menerjang Mega). Memang hebat ilmu lari cepat mereka, tidak kalah oleh ilmu lari cepat Chouw sang hui (Terbang di Atas Rumput) yang dipergunakan oleh murid murid Mo bin Sin kun. Sebentar saja Bucuci sendiri yang sudah memiliki ginkang tinggi dan ilmu lari cepat yang lihai, sudah tertinggal jauh!
Akan tetapi anehnya, bayangan pemuda yang mereka kejar itu seakan akan merupakan bayangan mereka sendiri ketika tubuh mereka terkena sorot penerangan dari belakang! Tetap saja pemuda itu berlari mendahului mereka dengan jarak kira kira lima tombak lebih dan betapapun juga Koai kauw jit him menancap gas dan menahan napas mempercepat larinya tetap saja lawan di depan mereka itu tidak menjadi lebih dekat. Yang amat mengagumkan dan mengherankan mereka adalah cara pemuda itu berlari. Jelas kelihatan dari belakang betapa pemuda itu berlari seperti orang berjalan biasa saja, namun kecepatannya demikian hebat. Baru berjalan saja pemuda itu tak dapat mereka susul, apalagi kalau pemuda itu sampai berlari!
Dan benar saja, Bun Sam mempercepat gerak kakinya dan sebentar saja mereka telah kehilangan bayangan pemuda ini. Karena Bun Sam mengambil jalan ke arah rumah penginapan mereka, maka Koai kauw jit him terus mengejar dan akhirnya menjadi putus asa karena pemuda itu benar benar tak dapat ditemukan. Mereka menarik napas dengan kecewa sekali. Ingin benar mereka mencoba kepandaian pemuda ini.
Akan tetapi, ketika Bucuci dengan napas tersengal sengal sudah dapat mengejar mereka sampat di depan rumah penginapan dan mereka bersama memasuki rumah itu, mereka berdiri tertegun dan melongo di pintu ruangan besar. Ternyata pemuda ini telah berbaring dan seperti orang tidur kepulasan di atas pembaringan di mana tadi Lan Giok dan Thian Giok terbaring ! Pemuda itu tidur dengan muka di sebelah dalam dan punggungnya membelakangi mereka yang baru tiba. Napasnya berat seperti napas orang yang sudah pulas benar benar.
Bukan main mendongkolnya Bucuci dan kawan kawannya ini. Tadi di luar ia sudah memaki maki ketika mendengar bahwa pemuda itu telah lenyap karena ia menganggap pemuda itu telah menipu dan mempermainkannya. Kini melihat pemuda itu lelah tertidur di situ, amarahnya meluap luap dan sekali renggut saja, belasan besi kelenengan telah berada di tangannya. Ia lalu menyambit dengan sekuat tenaga ke arah tubuh pemuda yang berbaring membelakanginya itu. Biauw Ta hendak mencegah perbuatan curang ini, tetapi terlambat. Belasan butir besi kelenengan itu telah menyambar amat cepatnya ke arah tubuh Bun Sam yang agaknya sudah pulas itu. Cepat tujuh orang Mongol yang lihai itu memandang dengan mata terbelalak. Kalau pemuda itu hanya berpura pura tidur tentu ia akan melompat untuk mengelak dari serangan berbahaya ini. Akan tetapi anehnya, pemuda itu tidak bergerak sama sekali.
Delapan orang itu makin melongo dan merasa ngeri. Tampak jelas betapa belasan butir besi kecil itu mengenai tubuh pemuda itu dan tidak terpental kembali, seakan akan semua senjata rahasia kecil itu telah menembus pakaian dan kulit, masuk ke dalam daging. Benar benarkah pemuda itu tewas oleh sambitan ini?
Koai kauw jit him benar benar merasa amat menyesal. Bukan maksud mereka mengalahkan pemuda itu dengan cara yang demikian rendah dan liciknya. Akan tetapi sebaliknya. Bucuci gelak tertawa dengan bangganya. Ternyata sambilannya demikian jitu, sehingga sekali serang saja ia telah dapat menewaskan murid dari Kim Kong Taisu. Ia benci pemuda ini yang telah beberapa kali mengganggunya.
Ketika delapan orang itu melangkah, maju menghampiri tubuh Bun Sam untuk melihat lebih jelas, tiba tiba pemuda itu menggerakkan tubuhnya dan belasan butir besi itu melayang kembali ke arah mereka.
Inilah serangan pembalasan yang sama sekali tak pernah mereka duga duga. Tujuh orang tokoh Mongol itu masih dapat cepat mengelak, tetapi Bucuci kurang cepat, sehingga dua butir besi kecil mengenai dadanya. Baiknya baju perangnya terbuat dari bahan yang tebal dan kuat, terdengar suara nyaring dan dua kelenengan kecil yang terkena hajaran dua butir besi itu menjadi pecah. Kulitnya tidak terluka, namun masih merasa pedas dan panas pada kulit dadanya.
Bun Sam melompat bangun sambil tertawa tawa dan ternyata pemuda ini sama sekali tidak terluka. Bagaimana mungkin? Bucuci terbelalak matanya karena benar benar ia tidak mengerti mengapa pemuda itu tidak terluka sama sekali. Apakah pemuda ini sekarang pandai ilmu sihir seperti Lam hai Lo mo?
Hanya Biauw Ta saja yang mengerti dan dapat menduga tepat. Ia tahu bahwa seorang ahli silat yang memiliki lweekang tingkat tinggi dan telah mempelajari dengan sempurna ilmu I kin keng, yakni lweekang tingkat tinggi, sehingga ia dapat membuat kulit tubuhnya keras seperti baja dan lemas seperti sutera, memang mungkin menerima serangan senjata rahasia yang tidak runcing seperti yang dilakukan oleh pemuda tadi. Memang kalau Biauw Ta yang melakukan serangan itu, bukan Bucuci yang tenaganya kalau diukur dengan tenaga tingkat yang dimiliki oleh Koai kauw jit him masih terhitung lemah, kiranya pemuda itu takkan berani menggunakan cara itu tadi.
Bun Sam memang tadi sengaja melarikan diri. Pertama agar mereka ini jauh dari tempat sembunyi Lan Giok dan Thian Giok, ke dua karena ia memang ingin menguji kepandaian mereka, hanya ingin menguji saja, sama sekali tidak ingin bertempur mati matian. Oleh karena itu, tidak enak untuk menguji kepandaian di tempat yang gelap seperti di luar itu.
“Koai kauw jit him, apakah kalian kira aku melarikan diri ? Tidak, sahabat. Sekali aku berjanji, aku takkan pelanggar janji itu. Marilah kita main main dan mencoba kepandaian di tempat ini!”
Biauw Ta menjura dan memandang kagum. “Anak muda, kalau aku tidak menyaksikan sendiri, tak mungkin aku dapat percaya bahwa seorang semuda engkau sudah memiliki kepandaian setinggi itu. Kau patut sekali untuk dilayani bertanding. Marilah!” Setelah bertata demikian, Biauw Ta mengeluarkan sian kauw (sepasang senjata kaitan), ia tidak mau membiarkan adik adiknya yang maju, karena ia maklum bahwa pemuda ini kepandaiannya tak boleh disamakan dengan kepandaian murid murid Mo bin Sin kun dan untuk menghadapinya, harus dia sendiri yang maju.
Bun Sam memang hendak menguji kepandaian tokoh tokoh Mongol itu, maka ia sengaja tidak mau mengeluarkan pedangnya. Ia berdiri dengan tangan kosong menghadapi Biauw Ta dengan sikap tenang sekali.
“Orang muda, cabutlah pedangmu itu, mari kita bermain main sebentar!”
“Aku ingin bertempur dengan tangan kosong dulu,” jawab Bun Sam. “Sudah lama aku mendengar kehebatan ilmu berkelahi dengan tangan kosong dari Bangsa Mongol.”
Karena ucapan ini merupakan tantangan untuk berpibu dengan tangan kosong, Biauw Ta tentu saja merasa malu untuk menolak. Sesungguhnya, ia memang seorang jago gulat yang ahli dalam ilmu gulat Bangsa Mongol, akan tetapi karena ia merasa lebih pandai dalam permainan senjata kaitan, ia tadi mengeluarkan senjata ini. Sekarang ia lalu melemparkan kaitannya kepada adiknya yang segera menyambutnya dan dengan kedua tangan kosong ia menghadapi Bun Sam.
Ruangan itu menjadi luas setelah pembaringan pembaringan digeser ke pinggir. Kedua orang itu berhadapan seperti dua ekor ayam jago sedang berlaga. Bun Sam memasang kuda kuda dengan kaki kanan. Kedua tangan di kanan kiri pinggang ditekuk sedikit dengan jari jari tangan terbuka dan ibu jari di telapak tangan.
Adapun Biauw Ta segera memperlihatkan pasangan kuda kuda ilmu gulat Bangsa Mongol. Tubuhnya membungkuk dengan muka di bawah dan mata mendelik ke depan, kedua tangan dikembangkan di kanan kiri dengan jari jari tangan kaku keras dipentang seperti kuku biruang, kedudukan kaki dalam bentuk Bhe si, yakni terpentang ke kanan kiri dengan lutut ditekuk.
Melihat pemuda itu membuka kuda kuda dengan Tuli te, kedudukan yang sekaligus mengandalkan kemahiran ginkang, Biauw Ta lalu maju menubruk sambil mengeluarkan seruan keras. Tubrukan seperti ini dapat menangkap dan membikin tidak berdaya seekor harimau. Bun Sam menurunkan kaki kirinya dan menggunakan kedua tangan untuk menangkis serangan ini, karena ia memang hendak menguji tenaga lawan. Dua pasang lengan beradu dan terkejutlah Biauw Ta. Ia maklum bahwa dalam hal lweekang, ia kalah jauh, maka cepat jari jari tangannya mencengkeram dan sebelum dapat dihindarkan, ia telah dapat memeluk kedua lengan pemuda itu. Ia hendak menggunakan kecepatan seorang ahli gulat untuk melemparkan pemuda itu di atas kepalanya. Akan tetapi ketika ia mengerahkan tenaga, ia merasa seakan akan tubuh pemuda itu menjadi seribu kati lebih beratnya dan tidak terangkat olehnya. Ia mengerahkan tenaga gwa kang untuk melawan keras sama keras. Biarpun dalam hal lweekang, Bun Sam lebih menang, namun tenaga kasar ia takkan dapat menyamai orang Mongol yang bertubuh besar dan bertenaga kuat ini. Kalau ia bersitegang, tentu ada bahaya ia akan salah urat, maka tiba tiba terdengar pemuda ini berseru dan tahu tahu pelukan yang kuat dan erat itu telah terlepas. Bagaikan dua ekor belut saja, kedua lengan pemuda itu dapat melesat keluar dari rangkulan yang demikian kuatnya. Inilah Ilmu Jui kut kang (Melemaskan Diri) yang membuat lengannya seakan akan tidak bertulang lagi dan amat licin.
Sebelum Biauw Ta dapat menyerang lagi, Bun Sam sudah mendahuluinya mendorong dengan kedua tangannya. Biarpun dorongan ini tidak menyentuh dadanya, namun Biauw Ta tetap saja terhuyung mundur sampai lima tangkah Ia menjadi penasaran, menubruk lagi, kini dapat dielakkan oleh Bun Sam dan sebelum ia membalikkan tubuh, pemuda itu sekali lagi telah mendorongnya, kini dari samping dan sekali lagi Biauw Ta terdorong oleh angin yang kuat sekali, sehingga tidak saja terhuyung huyung, bahkan kalau tidak cepat cepat ia melompat, pasti ia akan roboh. Bukan main herannya Biauw Ta menghadapi dorongan yang aneh ini. Ia tidak tahu bahwa ilmu pukulan ini sebetulnya adalah Soan hong pek lek jiu yang Bun Sam pelajari dari Mo bin Sin kun. Kedua murid Mo bin Sin kun, yaitu Lan Giok dan Thian Giok, mahir pula melakukan ilmu pukulan ini, tetapi tidak sehebat Bun Sam, karena pemuda ini telah memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Bu tek Kiam ong.
Biauw Ta merasa khawatir kalau kalau ia akan roboh di tangan pemuda ini, maka ia lalu melompat ke pinggir dan mengambil sepasang kaitannya yang tadi dipegang oleh adiknya. Dengan muka merah ia menghadapi Bun Sam lalu berkata, “Orang muda, marilah kau mencoba siang kauw ini. Cabut pedangmu!”
Akan tetapi Bun Sam hanya tersenyum dan berkata, “Tak usah berpedang, silahkan kau menyerang dengan senjatamu!”
Biuw Ta tak terkirakan marahnya. Ia merasa dipandang rendah, maka tanpa banyak cakap ia lalu menyerang dengan sepasang kaitannya. Kaitan kiri berak ke atas dan menyamber ke arah mata Bun Sam dengan gerakan mencokel mata lawan, sebenarnya gerakan ini hanya untuk memecah perhatian Bun Sam belaka karena yang lebih berbahaya adalah kaitan di tangan kanan yang bergerak ke arah lambung pemuda itu. Gerakan ini disebut Meraba Bunga Mencuri Buah dan amat berbahaya. Tetapi gerakan Bun Sam lebih luar biasa lagi dan juga lebih cepat. Pemuda ini menggerakkan tangan kanannya dan sebelum kaitan yang menuju ke matanya itu datang dekat, ia lelah menempel dengan jari tangannya lalu didorong ke bawah dan tepat menangkis kaitan lawan sebelah kanan. Terdengar suara keras sekali dan Biauw Ta terkejut bukan main, kedua tangannya tergetar sebagai akibat dari beradunya sepasang senjatanya sendiri. Dan hebatnya, pada saat itu, jari tangan Bun Sam sudah meluncur ke arah lehernya untuk menotok jalan darah.
Biauw Ta cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan bahaya ini, lalu kakinya menendang ke depan untuk menyambut tubuh lawan yang masih hendak menerjangnya, dibarengi dengan dua kaitannya yang menyambar dari kanan dan kiri dengan gerakan menggunting. Tetapi, tiba tiba tubuh Bun Sam lenyap dari depannya dan tahu tahu ia merasa ada angin menyambar dari atas kepalanya. Ia tahu bahwa itulah lawannya yang tadi dengan kecepatan luar biasa telah melompat ke atas, maka tanpa melihat lagi ia lalu mengayun sepasang kaitannya ke atas kepala.
Tidak tahunya, dengan gerakan kedua kakinya di udara, Bun Sam telah dapat berjungkir balik dan kini berada di belakang tubuh lawannya. Secepat kilat kedua tangannya bekerja menotok dua pundak Biauw Ta. Ketua Koai kauw jit him ini merasa sepasang lengannya menjadi kejang. Ia mengarahkan tenaga dalam dan memaksakan dirinya, sehingga jalan darahnya pulih kembali, tetapi ia tidak dapat menahan ketika cepat sekali Bun Sam merampas sepasang kaitan itu dari belakang, Biauw Ta cepat membalikkan tubuh, matanya menjadi merah dan hidungnya berkembang kempis. Ia merasa telah dipermainkan. Akan tetapi, Bun San menjura dan mengulurkan tangan yang memegang siang kauw itu. Ia mengembalikan senjata itu kepada lawannya sambil berkata,
“Maaf, aku telah berlaku lancang mengambil siang kauw yang tanpa kau sengaja telah kau lepaskan dari tangan.”
Biauw Ta membetot kembali siang kauwnya dan dengan geram lalu menyerang lagi. Memang adat orang Mongol ini keras dan tidak mau kalah. Apalagi dia adalah seorang yang ternama besar di utara, bagaimana ia dapat menyerah kalah terhadap seorang anak muda yang masih hijau ini? Ia tidak mau percaya bahwa ia akan kalah dan menganggap bahwa tadi ia telah berlaku terlalu sembrono.
Bun Sam cepat mengelak dan berkata, “Mengapa Koai kauw jit him yang jumlahnya tujuh orang itu hanya maju seorang saja? Aku tadi menantang pibu kepada Koai kauw jit him, maka silahkan kalian maju bersama. Eh, ya, aku lupa. Masih ada panglima Bucuci yang sebetulnya tidak masuk hitungan. Akan tetapi kalau mau boleh juga, tiada halangan!”
Sambil berseru keras, enam orang Mongol yang lain serentak maju dan menggerakkan siang kauw mereka yang bermacam macam bentuknya itu. Tetapi, biarpun mereka rata rata lihai sekali dan senjata kaitan itu bermacam macam bentuknya, cara mereka bersilat tidak berbeda banyak dan pada dasarnya sama, yakni seperti gerakan beruang yang ganas dan bertenaga besar.
Menghadapi tujuh orang yang lihai dengan kaitan mereka yang istimewa ini, Bun Sam terkejut dan merasa bahwa dengan bertangan kosong saja ia tak mungkin dapat menang. Cepat ia mencabut pedang yang tergantung di punggungnya. Sinar putih bagaikan kilat menyambar menyilaukan mata ketika pedang ini tercabut keluar dan terdengar seruan Bucuci.
“Ah, itu adalah Pek lek kiam yang tercuri dari istana! Ah, bangsat kecil, maling rendah, jadi kaukah yang mencurinya?”
Bun Sam tersenyum dan sekali ia menggerak dan Pek lek kiam, senjata senjata lawannya tertangkis dan terdengar suara keras sekali, ternyata sekali tangkis saja ada dua
kaitan yang ujungnya patah oleh pedang pusaka itu. Kagetlah tujuh orang Mongol itu dan mereka bersama melompat mundur.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Sam untuk menjawab kata kata Bucuci “Tenang, Bucici ciangkun, jangan terburu nafsu. Pedang ini bukan aku yang mencuri, bahkan aku hendak mengembalikan ke istana !”
Sementara itu, melihat betapa lihainya pedang bersinar putih itu dan betapa pemuda itu dapat memainkannya secara luar biasa sekali, Biauw Ta lalu memberi aba aba dalam Bahasa Mongol dan tujuh orang Mongol itu lalu mengurung Bun Sam dari jauh, dua tombak dari pemuda itu. Lalu mereka berjalan perlahan bagaikan beruang beruang berjalan mengitari pemuda ini, sebentar dari kanan ke kiri dan baru setengah putaran, tiba tiba berbalik lagi dari kiri ke kanan. Kadang kadang lambat, seperti setengah merangkak, kadang kadang cepat setengah berlari.
Inilah siasat yang paling lihai dari Koai kauw jit him. Dahulu ketika guru mereka sedang berburu biruang, di dekat kutub utara ia menyaksikan pertarungan yang luar biasa sekali antara tujuh ekor biruang es mengeroyok seekor anjing laut yang luar biasa besarnya di atas pulau es. Anjing laut itu jantan dan selain besarnya luar biasa, juga memiliki tenaga yang hebat dan kecepatan gerakan yang membuat tujuh ekor biruang itu tak berdaya. Baru saja dekat, ekor anjing laut itu telah dapat menyambar dan berkali kali tujuh ekor biruang itu terkena sabetan ekor ini sampai jatuh tunggang langgang. Baiknya mereka bertubuh kuat dan dapat bangun kembali. Setelah pengeroyokan berlangsung ramai dan lama, tetapi tetap saja tujuh ekor biruang itu tak dapat mengalahkan lawannya, tiba tiba biruang biruang itu lalu mengurung anjing laut itu dari jauh dan mulailah mereka berputar putaran secara teratur sekali. Guru Koai kauw jit him itu memperhatikan dengan seksama dan akhirnya ia dapat melihat betapa biruang biruang itu dengan cara ini dapat membunuh anjing laut itu. Semenjak peristiwa ini, dia lalu menciptakan ilmu silat yang sesungguhnya lebih tepat disebut ilmu perang dan dinamainya Jit him tin (Barisan Tujuh Biruang). Oleh karena ini pula, maka ia sengaja memilih tujuh orang murid, yakni yang sekarang mendapat julukan Koai kauw jit him. Kini, menghadapi Bun Sam yang memegang pedang pusaka, Bauw Ta lalu mengatur barisan Jit him tin yang luar biasa itu. Ini adalah suatu tindakan yang luar biasa, karena kalau tidak terpaksa sekali, mereda tidak akan mengeluarkan ilmu serangan ini.
Bun Sam memandang dengan bingung ketika melihat gerakan mereka. Ia berlaku hati hati dan tidak mau menyerang, karena gerakan mereka itu masih merupakan teka teki baginya. Ia tidak tahu dari mana akan datang serangan lawan dan bagaimana perkembangannya pula. Oleh karena itu melihat betapa mereka bertujuh tidak turun tangan dan hanya berlari larian, terpaksa iapun berdiri memandang dengan penuh perhatian dan urat uratnya menegang, siap menanti datangnya gempuran.
Setelah berjalan lama, tujuh orang pengeroyoknya belum juga menyerang. Bun Sam menjadi makin bingung. Melihat tujuh orang berlari larian mengelilingi tubuhnya, membuat matanya menjadi pedas dan kepalanya pening. Ia tahu bahwa inilah kesalahannya dan ini pula merupakan sebuah daripada kelihaian siasat mereka itu. Maka iapun lalu menggerakkan kakinya dan berlari berputar putran dalam kurungan itu, mengikuti gerakan mereka!
Akan tetapi, sampai lelah ia berlari lari, tetap saja barisan tujuh biruang ini tidak mau bergerak menyerang, masih saja berlarian dengan cara bolak balik, sebentar ke kanan sebentar ke kiri. Karena perobahan gerak, mereka ini tiba tiba, Bun Sam tentu saja harus merobah dengan tiba tiba pula dan hal ini membuatnya cepat lelah dan seluruh perhatiannya terpengaruh oleh gerakan tujuh orang itu. Akhirnya ia sadar dan mengerti bahwa letak kelihaian Jit him tin ini tentu dalam pertahanan dan tujuh orang lawannya itu tentu menanti sampai ia turun tangan menyerang baru mereka akan bergerak, ia maklum bahwa dalam ilmu silat, menyerang berarti membuka lowongan bagi lawan yang berarti merugikan diri sendiri, maka ia lalu mengambil keputusan untuk tidak menyerang lebih dulu.
Tiba tiba tujuh orang Mongol yang juga merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau menyerang menjadi lebih heran ketika melihat Bun Sam mencabut pula pedang lemas yang tersembunyi di dalam bajunya dan berkelebatlah sinar kuning keemasan ketika Kim kong kiam terhunus keluar. Kemudian pemuda itu duduk di tengah tengah, bersila meramkan mata, sama sekali tidak memperdulikan tujuh orang lawannya yang masih berlari larian mengitarinya. Pedang Kim kong kiam berada di tangan kiri sedangkan pedang Pek lek kiam berada di tangan kanan.
Bun Sam memicingkan mata untuk mencurahkan pikirannya. Ia bermaksud memecahkan barisan tujuh biruang ini dan akhirnya ia mendapat akal. Ia akan menanti sampai ia diserang, kemudian dengan sebatang pedang menahan serangan enam lawan, dengan pedang ke dua ia boleh mendesak yang seorang agar kepungan itu dapat dibobolkan. Kalau saja ia tidak membiarkan dirinya terkurung, ia sanggup menghadapi keroyokan tujuh biruang ini tanpa khawatir akan dikalahkan.
Akan tetapi, Koai kauw jit him ternyata tidak bodoh dan tidak mau menyerang, biarpun pemuda itu sudah meramkan matanya. Mereka masih saja mengelilingi
pemuda itu, tetapi kini tidak lari lagi, melainkan berjalan kaki dengan langkah teratur dan selalu dalam keadaan pemasangan kuda kuda yang kokoh kuat.
Bun Sam meletakkan sepasang pedangnya di depan kedua kakinya dan kini ia berpangku tangan dalam keadaan siulian, napasnya teratur dan ia tidak bergerak sedikitpun juga! Melihat keadaan ini, Biauw Kai yang tiba di belakang pemuda itu, menganggap bahwa itulah kesempatan terbaik untuk menyerang pemuda ini. Maka tanpa banyak cakap, tiba tiba ia lalu menggerakkan sepasang kaitannya menyerang Bun Sam dari belakang! Biauw Ta berseru,
“Jangan menyerang !” tetapi terlambat, sepasang kaitan itu telah menyambar, yang kiri ke arah punggung, yang kanan ke arah kepala. Cepat sekali gerakan serangan ini, tetapi lebih hebatlah gerakan Bun Sam. Tahu tahu tubuh pemuda ini telah mencelat ke kiri, pedang Pek lek kiam menjadi sinar putih yang menangkis kaitan itu adapun pedang Kim kong kiam menjadi sinar emas yang meluncur cepat mendesak orang yang berada di depannya, yakni Biauw Hun atau orang ke tiga dari Koauw kauw jit him!
Terdengar suara keras dan kaitan kiri dari Biauw Kai terbabat putus oleh Pek lek kiam. Sedangkan Biauw Hun terkejut sekali atas penyerangan tiba tiba ini. Ia melangkah maju ke kiri dan belakangnya, yakni Biauw Lun dan Biauw Siong, menggantikannya menangkis serangan Kim Long kiam. Memang demikian sifat Jit him tin ini, yang diserang oleh lawan ditolong oleh saudara di kanan kirinya, sedangkan yang diserang itu setelah mendapat pertolongan, lalu membalas serangan lawan. Biauw Hun juga segera mengarahkan kaitannya ke dada Bun Sam dengan serangan mautnya.
Pemuda ini telah memikirkan jalan pemecahan, maka melihat tangkisan Biauw Lun dan Biauw Siong, ia hanya memutar Pek lek kiam untuk menggempur mereka atau lebih tepat untuk menjaga diri dari serangan dua orang itu, sedangkan Kim kong kiam di tangannya terus mendesak Biauw Hun dengan hebatnya. Sebentar saja enam pasang kaitan menyerang kalang kabut, akan tetapi dengan permainan Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut bagian ke lima, yakni bagian pertahanan, Pek tek kiam di tangannya berkelebat kian ke mari dan semua kaitan dapat ditangkisnya dengan tepat sekali. Adapun Kim kong kiam di tangannya terus mendesak Biauw Hun yang menjadi repot sekali. Karena penyerangan Bun Sam yang satu jurusan saja ini, maka pecahlah kepungan itu dan barisan Jit him tin tidak dapat jalan lagi! Kini Bun Sam berada di tengah tengah keroyokan biasa yang tidak teratur dan kacau balau, hanya mengandalkan kekuatan para pengeroyok masing masing, jauh sekali bedanya dengan penyerangan Jit him tin yang amat teratur tadi.
Setelah tidak dikurung dengan siasat Jit him tin, dengan enaknya Bun Sam menghadapi mereka. Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut dapat ia mainkan dengan sebaiknya dan kini baralah terlihat kehebatan ilmu pedang ini. Koai kauw jit him audah berpuluh tahun menghadapi lawan lawan yang tangguh dan telah banyak melihat ilmu pedang, akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Sam ini benar benar luar biasa sekali. Pemuda itu telah menyimpan kembali Pek lek kiam, pedang istana yang tadi ia pinjam untuk melindungi diri dan sekarang ia hanya bersenjatakan Kim kong kiam saja. Akan tetapi pedang ini telah berubah menjadi sinar emas yang berkilauan dan yang menyambar nyambar bagaikan seekor naga sakti.
Bun Sam memang sengaja hendak mencoba kehebatan ilmu pedangnya yang baru dipelajarinya dari Bu tek Kiam ong. Kini melihat hasilnya, ia menjadi girang sekali dan dengan penuh semangat ia mainkan jurus ke sepuluh dari bagian ke dua, yang disebut gerakan Liong ong lo thian (Raja Naga Mengacau Langit). Gulungan sinar pedang yang berwarna keemasan itu tiba tiba berobah menjadi sinar tajam berkelebatan dari atas ke bawah dan terdengar seruan kaget susul menyusul. Sebentar saja, empatbelas batang kaitan itu lelah terlempar semua ke kanan kiri.
Bun Sam mengeluarkan suara ketawa puas, kemudian sekali berkelebat, bayangan pemuda itu lenyap di dalam gelap, hanya terdengar suaranya, “Koai kauw jit him, selamat tinggal.”
Tujuh orang tokoh Mongol itu saling pandang dengan wajah pucat. Belum pernah mereka mengalami kekalahan yang demikian mutlak dan mengherankan. Akhirnya dengan menarik napas panjang Biauw Ta berkata kepada Bucuci yang berdiri dengan bengong “Apakah ciangkun masih membutuhkan bantuan kami setelah melihat betapa rendahnya kepandaian kami?”
Bucuci bingung untuk menjawab. Memang hebat kepandaian pemuda tadi, tetapi ia memang membutuhkan sebanyak banyaknya bantuan orang pandai, maka buru buru ia berkata,
“Pemuda tadi agaknya menggunakan ilmu sihir. Buktinya ia tidak mampus terkena senjata rahasiaku. Harap jit wi jangan kecil hati. Lain kali kita membuat perhitungan dengan dia.”
Biauw Ta tersenyum tawar. “Dia tadi memang benar benar lihai, entah siapa yang mendidiknya sampai begitu hebat. Kim Kong Taisu sendiri agaknya tidak sehebat itu ilmu pedangnya. Kalau ciangkun masih mengharapkan bantuan kami, hanya ada satu syarat yakni harap kau jangan menceritakan kepada, siapapun juga tentang kekalahan kami yang memalukan ini.”
Bucuci mengangguk, ia mengerti. Memang kalau terdengar oleh orang lain, nama Koai kauw jit him yang demikian terkenal akan rusak. Dengan hati kecewa, delapan orang ini pada keesokan harinya pagi pagi benar meninggalkan tempat itu pulang ke kota raja.
Bun Sam berlari cepat menuju ke hutan di mana Lan Giok dan Thian Giok menunggunya. Akan tetapi, di tengah jalan ia bertemu dengan muda mudi kembar itu yang agaknya akan menyusulnya.
“Eh, mengapa kalian keluar dari hutan?” tegur Bun Sam.
“Kau seorang diri menghadapi tujuh lawan lihai ditambah Panglima Bucuci, apakah kau menyuruh kami enak enak saja menjadi umpan nyamuk di hutan?” Lan Giok membalas bertanya.
“Adikku ini gelisah terus menerus karena khawatir kalau kalau kau celaka di tangan Koai kauw jit him,” kata Thian Giok sambil mengerling kepada adiknya penuh godaan.
“Tak perlu khawatir lagi, mereka telah pergi jauh, mungkin kembali ke kota raja. Aku telah berhasil memancing dan menipu mereka,” kata Bun Sam.
Tiba tiba Lan Giok menjadi gembira dan sambil menghampiri Bun Sam, ia bertanya, “Engko Bun Sam, bagaimana kau berhasil memancing mereka? Ceritakan padaku.” Gadis ini tiba tiba menyebut engko dan melihat sikapnya begitu wajar, Bun Sam tersenyum. Benar benar seorang gadis yang berwatak gembira, pikirnya. “Aku berlari ke jurusan yang berlawanan dengan tempat kalian sembunyi,” Bun Sam mengarang cerita bohong, “akan tetapi tentu saja aku menunggu sampai mereka melihat aku. Kemudian ia terputar putar dan mengajak mereka main kucing kucingan di dalam hutan di kaki bukit, lalu aku berlari kembali ke tempat tadi, terus menuju ke kota raja. Mereka mengejar terus dan setelah aku bersembunyi di dalam rumpun alang alang di pinggir jalan, mereka masih saja terus mengejar ke kota raja, lewat di dekat tempat sembunyiku sambil menyumpah nyumpah.”
Lan Giok tersenyum geli. “Ah, alangkah senangnya kalau aku dapat melihat dengan kedua mata sendiri.”
“Kalian ini hendak ke manakah?” Bun Sam pura pura bertanya sungguhpun ia tahu baik bahwa mereka sedang menuju pulang ke Sian hwa sian.
“Kami hendak pulang ke Sian hwa san dan kau sendiri, selama tiga tahun ini menghilang ke mana sajakah? Beberapa kali ayah mencarimu, bahkan telah menyusul ke Oei san, tetapi kau tidak berada di sana. Suhumu, Kim Kong Taisu, menurut ayah juga mencarimu, juga guruku mencari cari di mana mana. Kini tahu tahu kau muncul di sini, sebenarnya ke mana saja selama ini, engko Bun Sam?” tanya Lan Giok.
Ketika itu fajar telah menyingsing dan sebelum Bun Sam menjawab, Thian Giok mendahuluinya berkata, “Perutku telah lapar sekali. Apakah tidak lebih baik kita mencari rumah makan di dusun depan itu, baru kemudian kita makan sambil bercakap cakap?”
Lan Giok mencela kakaknya, “Begitu telingamu mendengar suara ayam hutan berkokok, perutmu otomatis berkeruyuk pula. Hem, benar benar menjemukan.”
“Pandai kau bicara, hendak kulihat kalau sebentar aku makan, kau makan atau tidak.” Thian Giok membalas menggoda.
Bun Sam tersenyum menyaksikan saudara kembar ini bercekcok. Iapun lalu membetulkan usul Thian Giok. Kembali Lan Giok diserang oleh kakaknya, “Kau dengar itu? Bun Sam tentu setuju dengan pendapatku. Pertemuan ini tentu saja menggirangkan hati, tetapi, menghadapi makanan dan arak, bukankah lebih menggembirakan lagi?”
“Kamu orang laki laki yang diingat hanya makanan dan arak selalu,” kata gadis itu cemberut, tetapi ia tidak mengomel lebih jauh dan mengikuti Thian Giok berlari menuju ke dusun yang genteng genteng rumahnya sudah nampak dari tempat itu.
Karena masih pagi benar, mereka hanya bisa mendapatkan restoran yang menjual roti dan minuman hangat, akan tetapi itu sudah cukup bagi mereka. Ternyata betul kata kata Thian Giok, karena begitu menghadapi makanan, Lan Giok mendahului mereka dan makan sekenyang kenyangnya. Dua orang muda itu memandang gadis ini dengan senyum ditahan.
Kemudian dengan gembira mereka lalu bercakap cakap, saling menuturkan pengalaman mereka. Akan tetapi Bun Sam tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi murid Bu tek Kiam ong dan bahwa dia telah menolong mereka dari tangan Kui To dan Liem Swee, melainkan bercerita bahwa selama ini ia merantau dan mengalami banyak sekali peristiwa hebat.
Setelah Thian Giok dan adiknya menuturkan pengalaman dan perjalanan mereka yang amat dipuji oleh Bun Sam, pemuda ini lalu bertanya, “Tadi kau bilang bahwa Yap suheng, suhuku dan guru kalian semua mencariku. Ada apakah orang orang tua itu mencari padaku ?”
Ditanya demikian ini, merahlah wajah Lan Giok dan ia tidak dapat menjawab. Thian Giok yang menjawab dengan suara bernada menggoda, “Kau dicari untuk membicarakan urutan perjodohan Bun Sam”
“Apa…?” mata pemuda ini terbelalak.
“Engko Thian Giok, mulutmu ini benar benar lancang sekali !” sela Lan Giok, kemudian ia berkata kepada Bun Sam, “Jangan kaudengar kata katanya yang ngacau itu, urusan perjodohan, kita orang orang muda mana tahu ? Mungkin sekali mereka mencarimu karena sudah lama tidak bertemu. Oleh karena itu, marilah kau ikut dengan kami ke Sian hwa san untuk bertemu dengan ayah dan guruku.”
Bun Sam menggelengkan kepalanya. “Kelak aku pasti akan naik ke gunung itu. Akan tetapi sekarang aku harus kembali ke kota raja untuk mengembalikan pedang pusaka milik kaisar ini.”
Tadi ia sudah menceritakan bahwa pedang ini dicuri oleh orang jahat dan kebetulan sekali dijalan ia dapat merampasnya kembali. Kemudian Bun Sam bertanya dengan hati hati agar jangan sampai mereka ketahui bahwa sebenarnya ia menyusul mereka untuk bertanya tentang Sian Hwa.
“Lan Giok, tadi aku mendengar Bucuci dan Koai kauw jit him bicara tentang nona Sian Hwa yang lari ikut dengan kau? Apakah yang mereka bicarakan itu nona Sian Hwa puteri Bucuci? Aku dulu pernah bertempur melewati dia dan nona itu cukup lihai. Mengapa dia sekarang lari dengan kau? Betulkah itu?” Lan Giok tersenyum, kemudian menghela napas. “Kasihan enci Sian Hwa. Ia mulai dikejar kejar lagi oleh ayah angkatnya itu. Memang yang mereka bicarakan itu adalah enci Sian Hwa puteri angkat Bucuci dan mereka mengira bahwa enci Sian Hwa ikut dengan aku. Seperti kuceritakan tadi, memang semula ia hendak ikut dengan aku, tetapi kami berdua tertangkap dan untungnya tertolong oleh orang aneh yang merahasiakan diri itu. Kemudian, entah mengapa, enci Sian Hwa tidak jadi turut bahkan menyatakan hendak masuk menjadi nikouw di kuil Sun pok thian. Ah, kasihan gadis yang patah hati itu.”
“Mengapa hendak menjadi nikouw ? Bukankah ia puteri seorang bangsawan yang kaya raya dan ia murid dari Pat jtu Giam ong yang lihai ?”
“Hem, mana kau tahu?” Lan Giok memandang kepada Bun Sam dan mengagumi alis mata pemuda ini yang bentuknya seperti golok. “Enci Sian Hwa telah minggat dari rumahnya karena tidak sudi dipaksa menikah dengan Liem Swee putera Pat jiu Giam ong.”
Semua hal ini Bun Sam sudah mengetahui, tetapi ia berpura pura heran dan tertarik. Hatinya kecewa karena dari Lan Giok ia tidak mendengar sesuatu yang aneh yang dapat membuka rahasia hati kekasihnya itu. Kini mendengar bahwa Bucuci dan Koai kauw jit him itu sebetulnya hendak mengejar dan menangkap Sian Hwa, hatinya menjadi makin gelisah.
“Kalian lanjutkanlah perjalananmu ke Sian hwa san, aku hendak ke kota raja lebih dulu, baru kemudian aku akan menyusul ke sana,” katanya sambil bangkit berdiri setelah Thian Giok membayar harga makanan dan minuman.
Lan Giok kecewa sekali karena Bun Sam tidak mau pergi bersama mereka. Melihat kemuraman wajah adiknya, Thian Giok merasa kasihan. Setelah mereka berpisah dari Bun Sam, Thian Giok berkata, “Adikku, kau tunggu sebentar di sini, aku mau bicara penting dengan dia!” Ia lalu kembali dan mengejar Bun Sam yang belum pergi jauh.
Mendengar panggilan Thian Giok, Bun Sam berhenti. “Bun Sam, jangan kau lama lama pergi. Lekaslah
menyusul kami di Sian hwa san. Sebetulnya, ayah hendak bicara dengan kau mengenai urusan perjodohanmu dengan adikku Lan Giok.”
“Apa…??” Bun Sam memandangnya dengan mata terbelalak. Tak terasa ia memandang ke arah Lan Giok yang berdiri agak jauh dari situ. Gadis ini tidak mendengar apa yang dibicarakan oleh Thian Giok kepada Bun Sam, maka ia memandang dengan penuh perhatian. Gadis itu nampak cantik sekali tertimpa sinar matahari pagi, cantik dan manis dengan potongan tubuhnya yang ramping.
“Semua sudah setuju dengan perjodohan itu,” kata Thian Giok pula dengan hati geli ketika ia melihat Bun Sam memandang ke arah adiknya, “bahkan guruku telah pergi ke Oei san untuk membicarakan urusan ini dengan Kim Kong Taisu. Pendeknya, pertunanganmu dengan Lan Giok telah diresmikan oleh orang orang tua.”
“Apakah dia…. sudah tahu tentang pertunangan ini ?” tanya Bun Sam bagaikan dalam mimpi. Maksud pemuda ini ialah apakah Sian Hwa sudah tahu tentang pertunangan itu, tetapi tentu saja Thian Giok mengira bahwa Bun Sam maksudkan adalah Lan Giok.
“Tentu saja, adikku merasa beruntung sekali. Tidakkah kau melihat betapa ia mencintamu?”
Bersinar mata Bun Sam dan Thian Giok mengira bahwa pemuda ini merasa girang. Sebetulnya Bun Sam hanya merasa lega karena kini tahulah ia akan rahasia kekasihnya. Tak salah lagi, Lan Giok tentu sudah memberi tahu kepada Sian Hwa tentang pertunangan itu, sehingga kekasihnya itu menjadi putus harapan dan mengalah. Alangkah halus budi Sian Hwa. Gadis kekasihnya itu mengalah dan rela berpisah dari dia setelah tahu bahwa Bun Sam telah ditunangkan dengan Lan Giok.
“Jangan lama lama kau pergi, Bun Sam. Kami menanti di Sian hwa san,” sekali lagi Thian Giok berkata.
Seperti seorang linglung, Bun Sam hanya mengangguk, kamudian berkata singkat, “Selamat berpisah.” Lalu ia melompat dan sekejap mata saja ia sudah lenyap dari depan Thian Giok, membuat murid Mo bin Sin kun ini merasa heran dan kagum.
“Kau bilang apa padanya?” tanya Lan Giok.
Thian Giok tertawa. “Tidak apa apa, hanya aku pesan jangan dia terlalu lama pergi karena tunangannya menanti nanti dengan hati rindu.”
Merah muka Lan Giok, demikian jengah dia sehingga untuk sesaat tidak dapat menjawab godaan kakaknya.
“Aku bilang bahwa dia sudah bertunangan denganmu, bukankah itu baik sekali?”
Tak dapat lagi Lan Giok kali ini bercekcok dengan kakaknya, maka tanpa bilang sesuatu, ia lalu lari melanjutkan perjalanannya. Thian Giok mengejar sambil tersenyum senyum, hatinya penuh kebahagiaan melihat adiknya berhati girang dan bahagia.
Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali nampak berlompat lompatan di atas wuwungan gedung gedung dan bangunan istana yang megah. Bayangan ini bukan lain adalah Bun Sam yang bermaksud mengembalikan pedang Pek lek kiam sebagaimana yang dipesan oleh mendiang Bu tek Kiam ong.
Dengan kepandaian ginkangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, Bun Sam dapat melewati penjaga penjaga dan pengawal pengawal disekitar istana yang mewah dan kini pemuda ini menjadi kagum dan bingung. Ia merasa kagum karena bangunan bangunan istana itu benar benar luar biasa indahnya, semua terukir dan semua mengandung hasil seni yang bermutu tinggi. Bahkan wuwungan rumah saja sampai diukir dan dihias dengan tata warna yang demikian indahnya. Benar benar pemuda itu merasa heran dan kagum sekali. Akan tetapi ia merasa bingung karena ke manakah ia harus mengembalikan pedang Pek lek kiam itu? Ia tidak tahu di mana adanya gudang pusaka kerajaan dan tidak tahu pula bagaimana ia dapat menghadap atau menemui kaisar untuk mengembalikan pedang itu.
Lampu lampu penerangan di kelompok gedung istana itu sangat banyak, sehingga keadaan menjadi terang seperti siang. Ketika Bun Sam menuju ke bagian barat dan sedang berdiri di wuwungan sambil memandang ke bawah, tiba tiba ia mendengar suara seorang wanita sedang marah marah. Karena ingin tahu apa yang terjadi dan siapa yang bicara, Bun Sam lalu melompat ke arah suara itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah taman bunga yang tidak berapa besar, akan tetapi amat indah. Pohon pohon yang liu dan pohon pohon kembang yang tertanam di situ semua terpelihara baik baik tak nampak sehelaipun daun kering menempel di pohon, agaknya setiap hari dibersihkan orang, juga cara menanamnya, teratur. Di tengah tengah taman itu terdapat sebuah panggung tinggi yang dicat merah dan di sekeliling panggung terdapat lampu teng yang amat mungil. Di sebelah kanan panggung, yakni di bawah, terdapat empang teratai yang berair jernih. Daun daun teratai yang lebar itu nampak terapung di permukaan air, dihias oleh kembang teratai berwarna merah dan putih. Ikan ikan emas berenang ke sana ke mari di kanan kiri kembang kembang teratai kadang kadang kepalanya muncul di permukaan air menimbulkan suara gemercik atau secara main main melompat ke permukaan air, sehingga untuk sekilas nampak perut ikan yang putih bagai perak.
Panggung itu lebar dan berbentuk bundar. Lantainya bersih mengkilat, akan tetapi tetap saja di tilami permadani dari Negeri Barat yang indah dan tebal. Bun Sam melihat tujuh orang wanita muda muda dan cantik cantik duduk berkeliling di pinggir panggung, sedangkan di tengah tengah panggung nampak seorang gadis yang luar biasa cantiknya tengah bicara marah marah kepada seorang laki laki muda yang juga amat tampan dan berpakaian amat mewah.
“Mengapa kau begitu pengecut?” gadis cantik itu berkata dengan alis berdiri, tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan tangan kanannya dengan telunjuknya yang runcing itu menuding ke arah hidung pemuda tampan tadi. “Kaulihat saja, aku besok akan pulang ke utara dan memberi tahu kepada ayah. Betapapun juga, pernikahan harui dilakukan di utara, bukan di sini.” Setelah berkata demikian, dengan sikap manja gadis itu membanting banting kaki kanannya.
Pemuda itu tertawa, lalu berkata merayu, “Kalau kau marah marah kau makin cantik saja. Lihat matamu menjadi seperti warna Telaga Sihu! Kebiru biruan, ah, alangkah indahnya.” Gadis itu nampak girang mendapat pujian ini, “Laki laki pembujuk. Kau kira dengan rayuanmu ini aku akan menyerah saja? Tidak, kalau kau begitu pengecut untuk memberitahukan ayahmu bahwa aku menghendaki upacara pernikahan di utara aku tidak mau menikah dengan kau!”
“Ah, sudahlah. Aku bersumpah untuk memberitahukan ayah besok. Kau jangan marah marah, manis.” Setelah berkata demikian, dengan mesra pemuda itu mengelus pipi gadis itu yang kini benar benar telah mereda marahnya.
“Betapapun juga, besok aku akan pulang dulu untuk mempersiapkan segala peralatan pernikahan,” katanya. Tujuh orang wanita muda yang duduk bersimpuh di panggung itu, saling lirik dengan tersenyum senyum, tetapi dua orang muda yang berdiri itu tidak memperdulikan mereka, sambil berpegangan tangan mereka saling memandang dengan mata mencintai.
Merahlah wajah Bun Sam yang mengintai. Ia disuguhi adegan yang membuat hatinya perih dan pikirannya melayang layang, teringat kepada Sian Hwa. Ia merasa malu sendiri mengapa ia mengintai adegan seperti itu. Dengan gugup ia hendak pergi dari situ. Karena pikirannya melayang terkenang kepada Sian Hwa, ia berlaku kurang hati hati dan tanpa disengaja ia tertendang ujung wuwungan panggung itu, sehingga pecah dan mengeluarkan bunyi nyaring.
Terkejutlah semua orang di atas panggung itu. Sikap gadis dan pemuda itu berobah dan kini mereka nampak tangkas sekali. Dengan gerakan yang cepat, gadis itu melompat ke pinggir dan tahu tahu ia telah menghunus pedang yang tadi dipegang oleh seorang di antara tujuh pelayannya. Adapun pemuda itupun kini telah mencabut sepasang siang kiam (sepasang pedang). “Orang yang di atas genteng, turunlah! Kalau tidak, sekali berteriak saja tempat ini akan terkepung oleh semua penjaga dan kau akan dipenggal lehermu. Dihadapan kami mungkin kau akan mendapat ampun!” gadis itu berseru keras dan kini suaranya yang tadi terdengar merdu sekali itu berobah menjadi nyaring dan keras.
Mendengar ini, Bun Sam berpikir. Ia tentu saja tidak takut akan ancaman itu, tetapi mengapa harus menimbulkan ribut ribut? Ia datang tanpa maksud buruk, hanya untuk mengembalikan pedang dan mendengar percakapan tadi, dua orang muda di bawah itu bukanlah orang sembarangan. Siapa tahu dengan perantaraan mereka, ia dapat mengembalikan pedang kepada tangan yang berhak. Ia menjaga jangan sampai pedang itu terjatuh ke dalam tangan jahat.
Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu melayang turun dan merupakan bayangan yang ringan dan lincah sekali. Tahu tahu semua orang yang berada di panggung itu melihat seorang pemuda berpakaian sederhana telah berdiri di hadapan gadis dan pemuda tadi.
Bun Sam melihat pemuda itu sebaya dengan dia, berwajah agung dan tampan sekali, juga pakaiannya mewah, gadis itu memandang kepadanya, dengan heran dan kagum Bun Sam melihat sepasang mata yang kebiru biruan! Ia merasa heran dan kagum karena memang mata itu berbeda sekali dengan mata orang biasa, tentu saja ia lebih suka akan mata Sian Hwa yang hitam mulus dan bening! Ia lalu menjura dengan hormat, lalu berkata,
“Maaf kalau aku mengganggu. Aku datang bukan dengan maksud buruk.”
“Berlutut!” tiba tiba seorang di antara para wanita pelayan tadi membentaknya. “Berani kau berlaku tidak sopan di hadapan Ong ya?”
Bun Sam terkejut. Sebutan Ong ya ini membuat ia teringat bahwa kaisar mempunyai seorang putera dari selir yang bernama Kian Tiong yang sebutannya juga Ong ya. Jadi pangerankah pemuda ini? Akan tetapi, dia tidak mau berlutut, jangankan di depan seorang pangeran Kaisar Mongol, biarpun pangeran bangsanya sendiri pun belum tentu ia mau berlutut dalam keadaan seperti sekarang!
Tiba tiba pelayan wanita itu yang tadinya bersimpuh, mencelat tubuhnya dan menyerang ke arah dua kaki Bun Sam. Itulah serangan Bi jin hwa (Gadis Cantik Mencari Bunga), sebuah jurus serangan dari Ilmu Silat Bi jin kun yang lihai. Akan tetapi biarpun serangan ini mengejutkan hati Bun Sam karena tidak disangka sangkanya seorang gadis pelayan dapat memiliki kepandaian setinggi itu, namun terhadap pemuda ini tidak ada artinya sama sekali. Gadis itu berhasil memegang kedua kaki pemuda itu yang hendak ditariknya supaya Bun Sam jatuh berlutut, akan tetapi biarpun ia mengerahkan tenaganya, tak juga kaki itu dapat ditarik. Pelayan itu masih terus membetot dan menarik sampai napasnya krenggosan, akan tetapi sia sia saja. Bun Sam hanya menundukkan muka memandangnya sambil tersenyum. Ketika pelayan itu berdongak dan melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, lemaslah hatinya dan makin hilang tenaganya. Dengan muka merah saking malu dan jengah, ia lalu mundur lagi dan duduk seperti tadi.
Kian Tiong tertawa terbahak bahak, lalu menghampiri Bun Sam.
“Siapakah kau, orang gagah? Dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini? Tahukah kau
bahwa baik atau buruk maksud kedatanganmu ini, kau tetap saja sudah melakukan pelanggaran! Tempat ini adalah tempat terlarang.”
Bun Sam memandang tajam, lalu bertanya, “Benarkah aku berhadapan dengan Pangeran Kian Tiong?”
Pemuda itu mengangguk. Sepasang pedangnya masih di tangan, karena ia masih curiga dan takut kalau kalau mendapat serangan mendadak. “Memang benar dan nona ini adalah tunanganku, puteri dari Raja Suku Bangsa Semu. Kaulihat, kau berhadapan dengan putera puteri raja besar, mengapa kau tidak memberi hormat selayaknya?” Pertanyaan ini lebih bersifat perasaan heran dari pada teguran.
Bun Sam kembali menjura. “Maafjkan aku, Ong ya. Aku tidak biasa menghormat sambil berlutut, kecuali kepada guruku dan kepada mendiang orang tuaku. Kiranya tidak perlu kuperkenalkan diri cukup kalau kuberitahukan maksud kedatanganku. Aku datang hendak mengembalikan ini!” Ia melolos pedang Pek lek kiam dari sarangnya dan pangeran itu terkejut sekali sampai ia melompat mundur dan wajahnya berobat pucat.
“Pek lek kiam! Jadi kau pencurinya??”
“Bukan, Ong ya, bukan aku pencurinya. Aku yang merampasnya dari tangan pencuri itu, seorang kakek tua gila yang kini sudah meninggal dunia.”
Nampak pangeran itu menjadi lega, lalu ia menerima pedang itu dan memeriksanya. Setelah mendapat kenyataan bahwa benar benar itu adalah pedang Pek lek kiam, ia berkata, “Sahabat yang gagah, siapakah kau?”
“Namaku Song Bun Sam, seorang perantau biasa saja.” “Bagus, sekarang aku teringat. Bukankah kau murid dari Kim Kong Taisu yang beberapa tahun yang lalu pernah menimbulkan keributan di kota raja?” Pangeran ini memandang tajam.
Bun Sam tersenyum. “Jadi Ong ya sudah pula mendengar obrolan Panglima Bucuci? Memang, aku pernah ribut ribut dengan panglima itu, bahkan kemarin dulu pun aku bentrok dengan dia dan kawan kawannya. Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan soal mengembalikan pedang ini.”
Pangeran Kian Tiong mengangguk angguk. “Song Bun Sam, kau benar benar tabah sekali, aku terpaksa harus mengakui dan memuji keberanian mu. Tetapi kau terlalu lancang. Betapapun juga, aku paling suka akan kegagahan, maka aku maafkan kelantanganmu ini. Besok datanglah ke istana, aku akan mintakan hadiah untukmu kepada kaisar.”
Bun Sam menggelengkan kepalanya. “Ong ya, orang seperti aku yang tidak membutuhkan sesuatu, hadiah dari kaisar untuk apakah? Tidak, aku tidak mengharapkan hadiah karena sesungguhnya peristiwa pencurian pedang ini telah mendatangkan keuntungan besar sekali kepadaku. Nah, selamat tinggal Ong ya dan kau juga, nona!” Ia menjura, akan tetapi sebelum ia melompat pergi, terdengar nona itu berkata,
“Tahan dulu!” Suaranya amat berpengaruh seperti suara seorang yang sudah biasa memberi perintah. Bun Sam menahan gerakan kakinya dan memandang.
Nona itu menggerakkan pedang yang dipegangnya tadi yang ternyata adalah sebatang pedang yang bentuknya agak aneh, karena pedang itu di bagian tengah tengah melebar, sehingga bagian tengah itu lebih lebar daripada bagian gagang atau ujungnya. Cahayanya kebiruan seperti warna matanya dan ketika gadis itu menggerak gerakkannya, bersiutanlah angin yang dingin. Diam diam Bun Sam memuji gadis ini yang biarpun nampak demikian lemah lembut dan cantik jelita, ternyata memiliki tenaga dalam yang lihai juga.
“Luilee, jangan kau main main, dia adalah murid Kim Kong Taisu yang lihai!” Pangeran Kian Tiong agaknya sudah dapat menerka maksud hati tunangannya itu. Akan tetapi Luilee, gadis cantik itu, hanya tersenyum kepada tunangannya dan kemudian ia melangkah maju menghadapi Bun Sam sambil memandang dengan matanya yang berwarna biru itu. Setelah nona itu mendekat, diam diam Bun Sam harus mengakui bahwa biarpun warna mata itu aneh, akan tetapi kalau dipandang pandang toh memiliki keindahan tersendiri. Sinar mata itu demikian lembut dan ia percaya bahwa mata ini dapat memandang dengan mesranya, sehingga tidak aneh kalau pangeran itu telah jatuh betul betul di bawah kaki gadis cantik ini.
“Song Bun Sam, ketahuilah bahwa aku semenjak kecil amat suka akan ilmu silat pedang dan telah mempelajari ilmu pedang keturunan dari ayahku. Sekarang mendengar bahwa kau adalah murid dari Kim Kong Taisu yang lihai, sebelum kau pergi harap kau suka memberi sedikit petunjuk agar ilmu pedangku bertambah baik.” Ia memandang kepada Kian Tiong dan berkata halus, “Beri pinjam Pek lek kiam itu kepadanya!”
Akan tetapi sebelum Kian Tiong memberikan pedang itu, Bun Sam sudah mengeluarkan Kim kong kiam yang bercahaya keemasan. Pemuda ini merasa gembira dan berkata,
“Tentu saja aku bersedia untuk melayani kehendak siocia. Pedangku ini adalah Kim kong kiam, pemberian suhu Kim Kong Taisu. Akupun sering kali mendengar
bahwa ilmu pedang dari keluarga Raja Semu adalah tinggi sekali, maka harap siocia tidak berlaku sungkan dan merendah.”
Panggung itu memang luas dan cukup lebar untuk dipakai pibu, Luilee, puteri Semu yang cantik. Setelah tersenyum manis kepada tunangannya, lalu berseru nyaring dan tiba tiba pedangnya berkelebat merupakan segulung sinar kebiruan, menyambar ke arah dada Bun Sam dengan sebuah tusukan yang dilakukan dengan gaya indah sekali. Pemuda ini menangkis dengan Kim kong kiam dan sengaja ia tidak menggunakan tenaga. Dalam benturan pedang ini, ia mendapat kenyataan bahwa pedang biru di tangan nona itu adalah sebatang pedang mustika yang baik sekali dan sekaligus ia pun tahu bahwa lweekang dari nona Bangsa Semu ini tingkatnya masih kalah oleh Sian Hwa apalagi kalau dibandingkan dengan Lan Giok, masih kalah jauh. Akan tetapi setelah Luilee menyerangnya lagi dengan tusukan dan bacokan bertubi tubi yang cepat sekali datangnya, pemuda ini tahu bahwa ilmu pedang dari nona ini mengandalkan kegesitan dan ternyata dalam hal ginkang, agaknya nona ini tidak kalah oleh Sian Hwa. Ia melayani dengan sengaja mengalah dan tidak membalas, sehingga pertempuran ini nampaknya ramai sekali.
Berkali kali Pangeran Kian Tiong memuji, pangeran ini kepandaiannya sudah lebih tinggi dari tunangannya maka tentu saja ia tahu bahwa Bun Sam selalu mengalah. Betapapun juga, pemuda bangsawan ini amat kagum melihat gerakan tubuh tunangannya yang memang bersilat dengan gaya yang amat indah, seakan akan sedang menari nari.
Biarpun memiliki ilmu pedang yang cukup lihai, namun sebagai seorang puteri yang manja, Luilee tak pernah berlatih diri sampai lama, sehingga ia tidak memiliki napas panjang dan keuletan, maka baru menyerang tigapuluh jurus saja, peluhnya telah membasahi tubuhnya!
Bun San tahu akan hal ini dan ia merasa kasihan. Dengan gerakan cepat sekali ia lalu memutar pedangnya. Putaran ini mengandung tenaga cam (melibat), maka seketika itu juga pedang biru di tangan Luilee ikut terputar tanpa dapat dicegah lagi. Ketika Bun Sam berseru perlahan, tahu tahu pedang biru itu terlepas dari pegangan Luilee dan meluncur lurus ke atas, lalu menancap pada langit langit panggung yang terbuat dari papan. Pedang itu menancap keras dan gagangnya bergoyang goyang sambil mengeluarkan suara mengaung!
Bukan main kagumnya Luilee menyaksikan ini. Mulutnya yang manis dan kemerahan itu berseru, “Bagus sekali! Hebat ilmu pedangmu, Song Bun Sam !”
“Kiam hoatmu indah sekali gayanya, siocia.” Bun Sam balas memuji.
Pada saat itu Pangeran Kian Tiong memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya, menariknya keluar lagi dan seperti menggenggam sesuatu. Kemudian ia menggerakkan tangannya memukul ke arah pedang biru yang menancap di langit langit panggung itu. Nampak sinar merah keluar dari tangannya itu, melibat gagang pedang dan sekali tarik saja pedang itu telah tercabut dan jatuh ke bawah, disambut dengan tangkasnya oleh pangeran muda itu !
Bun Sam memuji. Ia tahu bahwa sinar merah tadi adalah sehelai tali sutera atau ang kin (sabuk merah) yang dapat dipergunakan sebagai senjata mengandalkan tenaga lweekang.
Pangeran itu berkata kepada Bun Sam, “Biarpun kau tidak memperlihatkan kepandaianmu yang sesungguhnya dan berlaku mengalah, akan tetapi aku dapat melihat bahwa kepandaian ilmu pedang dari Song taihiap benar benar mengagumkan sekali. Agaknya kalau dibandingkan dengan kepandaian murid murid Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, akan ramai sekali. Alangkah senangku kalau aku dapat menyaksikan pertandingan antara kau dan mereka, pasti ramai luar biasa!”
“Aku dulu sering mendengar dongeng dari inang pengasuhku ketika aku masih kecil bahwa di Tiong goan terdapat banyak kiam hiap (pendekar pedang) yang memiliki pedang terbang. Ternyata sekarang bahwa semua itu adalah bohong semata. Memang seperti Song taihiap ini ilmu pedangnya hebat, akan tetapi toh tidak mungkin dia bisa membikin pedangnya terbang bersama dirinya seperti yang sering kali didongengkan oleh inang pengasuh ku dulu,” kata Luilee.
“Terbang? Manusia tidak mempunyai sayap seperti burung, bagaimana bisa terbang? Apalagi pedang!” kata Pangeran Kian Tiong sambil tersenyum.
“Aku mendengar bawa katanya ada kiamhiap kiamhiap yang dapat membikin tubuhnya bersatu dengan pedang yang terbang sehingga dalam sekejap mata saja dapat mencukur sebatang pohon, sehingga rata daun daunnya. Tak tahunya semua itu hanya obrolan kosong belaka.”
Terbangun semangat Bun Sam mendengar ini Dia adalah seorang Han dan kini mendengar betapa pendekar pendekar pedang Bangsa Han diejek oleh dua orang asing, yakni seorang puteri Semu dan seorang putera Mongol. Ia suka kepada dua orang muda bangsawan ini yang berbeda dengan bangsawan bangsawan lain sikapnya, tetapi ia hendak memperlihatkan bahwa orang orang Han tidak boleh dipandang rendah begitu saja. Maka ia lalu menjura dan berkata, “Biarpun tidak mungkin bagi seorang manusia atau sebatang pedang yang tidak bersayap untuk terbang seperti burung, tetapi kalau ji wi (tuan berdua) menghendaki agar pohon di dalam taman sini dibabat daun daunnya, kiranya aku masih sanggup melakukannya!”
Luilee memandang dengan matanya yang biru terbelalak lebar membuatnya nampak makin cantik. “Benarkah? Bagus! Song Bun Sam, coba menolongku. Kaulihat pohon cemara yang gemuk dan daunnya penuh itu? Kaubabatlah sampai rata dan bikin dalam bentuk apa saja, asal rata dan rapi.”
Bun Sam memandang Le arah pohon cemara itu. Itu adalah semacam pohon cemara yang tinggi dan besar, daunnya banyak sekali menjulang ke sana ke mari. Bukan pekerjaan mudah untuk membabat ujung ujung daun yang tidak rata itu, tetapi Bun Sam dengan tenang lalu berjalan ke bawah pohon, diikuti oleh sepasang orang muda bangsawan itu.
“Maafkan aku memperlihatkan kebodohanku. Bun Sam menjura dan sebelum kedua orang muda itu sempat menjawab, tubuhnya telah berkelebat ke atas dengan pedang Kim kong kiam di tangannya.
Sekejap kemudian, baik Kian Tiong maupun Luilee berdiri bengong seperti patung. Selama hidupnya belum pernah mereka menyaksikan pemandangan seperti yang sekarang mereka hadapi. Mereka melihat sinar kuning emas berkelebatan ke sana ke mari di atas pohon dan sambil mengelirkan suara berisik, daun daun berhamburan jauh melayang ke bawah, juga daun daun kecil. Tidak kelihatan bayangan Bun Sam. yang nampak hanya sinar kuning emas itu berkilauan di dalam gelap malam. Di mana saja sinar itu tiba, dahan dahan kecil dan daun daun pohon itu tentu berhamburan jatuh. “Hebat ” Luilee berkata menahan napas.
“Betul betul lihai sekali ” bisik Pangeran Kian Tiong.
Sampai lama Bun Sam bekerja, makin cepat tubuhnya bergerak, makin hebat pula sinar pedang itu berkilauan dan makin banyak dahan dan daun daun yang jatuh. Pemuda ini tidak mau bekerja kepalang tanggung. Maka dengan mata terbelalak, Luilee dan Kian Tinng melihat betapa pohon itu dibabat demikian rupa, sehingga kini berbentuk tubuh seorang manusia, lengkap dengan kepala, pundak dan pinggangnya.
“Ya, Buddha Yang Mulia! Itulah engkau, Luilee, !”
Pangeran itu berkata sambil memegang tangan tunangannya.
“Benar,” kata Luilee dengan dada berdebar debar, “aku takkan percaya kalau tidak menyaksikan dengan kedua mataku sendiri.”
Tak lama kemudian, Bun Sam melompat turun dan telah berdiri di depan sepasang orang muda bangsawan itu sambil tersenyum. Pedang Kim kung kiam telah disimpannya kembali.
“Kiam hoatmu hebat sekali, Song taihiap!” kata Kian Tiong dengan kagum sedangkan Luilee memandang kepada Bun Sam dengan mata penuh pujian. “Aku menarik kembali omonganku tadi, tidak ingin melihat kau bertanding melawan murid murid Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, akan tetapi tentu akan hebat sekali kalau kau beradu pedang dengan dua orang tua itu.”
“Kau telah menggembirakan hati kami dan kau berjasa mengembalikan pedang. Katakan saja, Song taihiap, apa yang kauinginkan? Kami akan membantumu sedapat mungkin, bukankah begitu, pangeranku yang baik?” Luilee berkata dengan senyumnya yang manis.
Kemudian Bun Sam menjura kepada kedua orang muda bangsawan itu.
“Aku hanya mempunyai dua macam permintaan, harap ji wi sudi menolongku, ini pun kalau kiranya ji wi sedia.”
“Katakanlah, katakanlah! Apa permintaanmu itu?” tanya Luilee dan pandangan matanya yang indah itu bersinar sinar, membuat Pangeran Kian Tiong mengerut keningnya dengan hati cemburu, kemudian ia menyentuh lengan puteri cantik itu. Luilee melengak dan melihat pandangan mata tunangannya, ia tersenyum dan mengerling tajam dengan mulut cemberut, seakan akan ia hendak menyatakan tak senangnya melihat kekasihnya cemburu. Melihat ini, pangeran itu tersenyum lagi dan menghadapi Bun Sam,
“Orang gagah, kau katakanlah, apa dua macam permintaan itu?”
“Pertama tama, mengharap kebijaksanaan ji wi untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh agar segala macam tindasan dan kekejaman yang dilakukan kepada rakyat terutama Bangsa Han, dapat dihentikan.”
Kian Tiong dan Luilee saling memandang.
“Song Bun Sam, permintaanmu yang pertama ini memang pantas tetapi aku sangsi apakah kami akan dapat memenuhinya. Kau tentu maklum sendiri bahwa bukan pemerintah kami yang sebetulnya bersifat ganas terhadap bangsamu, melainkan orang orang yang melaksanakan tugas pekerjaannya, orang orang yang menamakan diri sendiri pembesar, akan tetapi jiwanya tidak besar, orang orang yang menamakan dirinya pemimpin tetapi sebetulnya hanya uang yang mereka pimpin, memasuki kantungnya sendiri. Bagaimana aku dapat menghentikan perbuatan perbuatan jahat dari demikian banyak orang? Akan sama sukarnya dengan menghentikan aliran Sungai Hoang ho!”
Bun Sam menarik napas panjang. Ia dapat mengerti kata kata pangeran ini. “Betapapun juga, aku percaya bahwa kau akan dapat mengurangi penderitaan rakyat, biar dengan jalan bagaimanapun,” kata pemuda ini.
“Baiklah, Soag Bun Sam, akan kuusahakan sedapat mungkin.” Jawaban inilah yang membuat Pangeran Kian Tiong kelak menjadi seorang pangeran yang sering kali mengadakan perjalanan dalam penyamaran.
“Dan apakah permintaanmu yang ke dua?” tanya Luilee.
Ditanya demikian, tiba tiba Bun Sam menjadi merah sekali mukanya. Pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan Sian Hwa, kekasihnya yang melarikan diri. Kalau saja Sian Hwa sudah berada di sebelahnya, ia tidak akan takut menghadapi siapapun juga yang akan mengganggu Sian Hwa. Akan tetapi, gadis kekasihnya itu kini entah berada di mana, merantau seorang diri dan ia tahu bahwa Bucuci masih penasaran dan selalu akan melakukan pengejaran terhadap anak angkatnya itu. Dan di dalam urusan mencari Sian Hwa, tentu saja ia takkan dapat menang melawan Bucuci yang mempunyai kaki tangan di seluruh kota kota dan dusun dusun!
“Permintaanku yang ke dua....” Hingga di situ sukarlah kata kata keluar dari mulutnya dan wajahnya makin memerah, akan tetapi Bun Sam dapat menetapkan hatinya dan berkata dengan lancar, “yakni aku hendak mohon pertolongan ji wi untuk menggunakan kedudukan dan pengaruh untuk menekan Panglima Bucuci agar panglima itu tidak akan memaksa puterinya menikah dengan putera dari Liem goanswe!”
Kalau permintaan pertama tadi mengherankan Lian Tiong dan Luilee, tetapi permintaan ke dua ini amat mengejutkan mereka. Permintaan ini bukanlah urusan main main! Menghadapi Panglima Bucuci masih terhitung soal mudah, akan tetapi bagaimana kalau menghadapi Liem goanswe? Kecuali kaisar sendiri, orang di seluruh negeri takut kepada Liem goanswe!
“Sungguh aneh, sungguh menarik!” seru Luilee. “Song Ban Sam, mengapa kau minta kepada kami untuk melarang puteri Panglima Bucuci menikah dengan putera Liem goanswe?”
“Karena puteri itu tidak suka kepada putera Liem goanswe, dan sekarang gadis itu telah melarikan diri, karena tidak sudi dipaksa menikah dengan pemuda itu. Dan Panglima Bucuci tengah berusaha mencari gadis itu untuk dipaksa menikah dengan putera Liem goanswe!”
Luilee membelalakkan kedua matanya. “Hebat hebat! Gadis itu sampai minggat karena tidak mau dikawinkan dengan putera Liem goanswe?? Aneh, aneh sekali! Putera Liem goanswe adalah seorang pemuda yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu silat. Ayahnya seorang pembesar, kaya raya, berpangkat tinggi. Mengapa gadis itu sampai menolak dan nekad melarikan diri?”
Sepasang mata kebiruan yang amat tajam itu menentang muka Bun Sam, penuh perhatian, sehingga pemuda ini dengan gagap berkata, “Karena.... karena ia tidak suka kepada pemuda itu. Kukira demikianlah sebabnya!”
“Permintaanmu yang ke dua ini benar benar mustahil, Song Bun Sam,” kata Pangeran Kian Tiong. “Urusan pernikahan adalah urusan dalam dari keluarga Bucuci, bagaimana kami dapat mencampurinya? Memang bisa saja kami melihat kalau kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, kami dapat menegur. Akan tetapi, kepada siapa saja Panglima Bucuci mengawinkan puterinya, kami bisa berbuat apakah? Apa lagi hendak dinikahkan dengan putera Liem goanswe! Tahukah kau siapa Liem goanswe? Dia adalah Pat jiu Giam ong yang kepandaiannya tiada taranya di dunia ini. Siapa yang berani main main dengan kumis harimau?”
Bun Sam tersenyum. Tentu saja ia kenal siapa adanya Liem goanswe atau Pat jiu Giam ong, maka ia menarik napas panjang.
“Sudahlah, akupun tidak memaksa kalau sekiranya ji wi tidak melihat jalan untuk memenuhi permintaanku yang ke dua itu, tidak apalah, kutarik kembali. Adanya aku minta pertolongan ji wi, karena mengingat bahwa gadis itu bukanlah puteri Bucuci yang aseli, melainkan anak pungut belaka.” Kemudian ia menjura lagi kepada kedua orang muda bangsawan itu sambil berkata, “Nah, selamat tinggal dan terima kasih atas segala kebaikan ji wi yang mulia.”
“Eh nanti dulu, Bun Sam!” Luilee mencegah ia pergi. “Siapakah namanya gadis itu?”
“Namanya Can Sian Hwa ” ketika menyebutkan nama
ini terbayanglah wajah Sian Hwa, dan Bun Sam menjadi berduka.
“Song Bun Sam karena aku ingin sekali menolongmu dan gadis itu, katakanlah terus terang. Apakah hubunganmu dengan Can Sian Hwa ini?” tanya Luilee sambil memandang tajam. Sebagai seorang wanita, perasaannya halus sekali dan menghadapi perkara ini, ia lebih tersinggung dan terharu daripada Pangeran Kian Tiong. Puteri ini dapat menyelami jiwa Sian Hwa dan ia maklum bahwa kalau seorang puteri bangsawan sampai melarikan diri atau membunuh diri dalam sebuah pernikahan sebab satu satunya hanyalah bahwa puteri itu tentu lelah memiliki pujaan hatinya sendiri.
Tentu saja Bun Sam menjadi kebingungan ketika menerima pertanyaan ini. Bagaimana ia harus menjawab ?
“Hubungan kami? Ah.... kebetulan sekali ayahnya dahulu adalah kawan ayahku.... dan.... dan semenjak kecil kami sudah saling berkenalan ” Setelah berkata demikian
ia terbatuk batuk kecil, batuk yang disengaja untuk menyembunyikan kegugupan dan kelikatannya.
“Song Bun Sam kau tidak berterus terang! Aku ingin menolong dia akan tetapi hanya karena memandangmu. Aku ingin mendapat kepastian dan percayalah aku akan dapat menolongnya,” kata Luilee mendesak.
Bun Sam sudah menjura lagi dan cepat ia melompat ke atas genteng dan kini hanya terdengar suaranya saja dari atas genteng, “Biarlah aku mengaku. Hubungan kami adalah sama dengan hubungan ji wi (tuan berdua).” Lalu pemuda gagah ini melompat pergi!
Kian Tiong dan Luilee saling pandang. Pangeran itu tersenyum karena merasa lucu mendengar hal Song Bun Sam itu, akan tetapi sebaliknya Luilee memandang kepada tunangannya dengan mata basah. “Eh mengapa kau menangis?” tanya pangeran ini sambil memegang lengan kekasihnya.
“Aku.... aku merasa ngeri kalau kalau aku akan mengalami nasib seperti gadis yang sengsara itu ”
Kian Tiong tertawa menghibur kekasihnya. “Tak mungkin, Luilee. Apa kaukira ayahmu berani menolak pinanganku?”
Luilee menggelengkan kepalanya. “Bukan, bukan ayahku, melainkan ayahmu. Bagaimana kalau beliau melarang kau menikah dengan aku? Bukankah itu sama saja halnya?”
“Jangan khawatir, Luilee. Apapun juga yang terjadi kau pasti takkan berpisah dariku,” kata Kian Tiong sambil memeluk puteri itu. Luilee terhibur juga mendengar ucapan kekasihnya ini dan diam diam ia mengenangkan dengan amat terharu dan kasihan kepada Can Sian Hwa.
Dan betul saja beberapa saat kemudian oleh pangeran ini banyak sekali pembesar pembesar dijatuhi hukuman karena melakukan perbuatan perbuatan jahat. Pangeran ini tadinya hanya ingin memenuhi janjinya kepada Bun Sam, tetapi setelah ia melakukan perjalanan di sekitar daerah kekuasaannya, ia banyak sekali melihat keburukan dan kejahatan yang terjadi di mana mana lalu ia menjadikan perjalanan rahasianya ini sebagai kebiasaan dan tugasnya.
Bun Sam yang berlompatan ke atas genteng istana hendak keluar dari daerah terlarang itu, tiba tiba ia melihat bayangan orang dari depan. Ia cepat menyelinap ke kiri, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat bayangan lain yang gesit sekali gerakannya datang dari kiri kanan dan juga dari depan belakang. Ia telah terkurung.
Melihat keadaan ini, Bun Sam menetapkan hatinya. Ia maklum bahwa telah semenjak tadi ia dijaga dan dikurung, maka tiada gunanya mencoba untuk melarikan diri. Ia bahkan ingin tahu siapakah orangnya yang mengurung dirinya itu. Karena ia tidak mau terkurung di tempat yang sempit, ia lalu melompat kembali ke dalam taman dan berdiri di tempat terbuka, di mana diterangi oleh banyak lampu teng.
Bayangan delapan orang berkelebat dan tahu tahu Pat jiu Giam ong bersama tujuh Koai kauw jit him telah berada di depan Bun Sam. Ternyata bahwa pengaruh perkumpulan Hiat jiu pai telah meluas sampai ke dalam istana dan salah seorang di antara para pelayan wanita yang melayani Luilee tadipun juga anggauta Hiat jiu pai. Ketika mendengar bahwa pemuda gagah ini datang untuk mengembalikan pedang Pek lek kiam, diam diam pelayan ini lalu melepaskan panah api ke atas untuk memberitahukan kepada Pat jiu Giam ong yang segera datang bersama Koai kauw jit him.
Tadinya Pat jiu Giam ong mengira tentu terjadi sesuatu yang hebat di dalam istana itu. Akan tatapi, ketika ia melihat bahwa yang datang di istana hanya Bun Sam, pemuda murid Kim Kong Taisu, jenderal ini tertawa mengejek, “Ha, ha, tidak tahunya kau lagi yang datang mengacau. Kau ini orang muda adatmu sungguh jauh berbeda dengan suhumu. Kim Kong Taisu seorang yang selalu bertapa di gunung, tidak mau mencampuri urusan dunia, akan tetapi kau ini yang menjadi muridnya ternyata bandel sekali, beberapa kali datang mengacau di kota raja. Orang muda, apakah kehendakmu kali ini?”
“Aku hanya datang untuk mengembalikan pedang Pek lek kiam,” jawab Bun Sam tenang tenang saja.
Pat jiu Giam ong nampak terkejut sekali. “Jangan bohong! Pencuri Pek lek kiam bukan kau.” Bun Sam tersenyum dan menjura. “Terima kasih, Pat jiu Giam ong. Keteranganmu itu benar benar membersihkan namaku. Memang aku bukan seorang pencuri dan pedang itu dahulu pun bukan aku yang mencurinya.”
“Hm, tak begitu mudah kau hendak membebaskan diri, anak muda. Memang aku yakin bahwa bukan kau yang mencuri pedang, karena orang macan kau mana becus mencuri pedang dari istana. Akan tetapi karena sekarang kau yang mengembalikannya tentu kau ada hubungan dengan pencuri itu! Di mana pedang itu?”
“Sudah saya serahkan kepada Pangeran Kian Tiong.” “Di mana adanya maling itu? Dan mengapa pedangnya
berada di tanganmu? Ayoh lekas jawab, mungkin aku masih memandang muka suhumu dan mengampunimu!”
“Pat jiu Giam ong kalau pencuri pedang itu masih hidup, apa kaukira aku akan dapat mengembalikannya? Pedang istana dicuri orang, aku kebetulan telah mendapatkannya dan mengembalikan ke istana, bukankah itu baik sekali? Ada urusan apa lagi yang harus diributkan?”
Diam diam Pat jiu Giam ong melengak. Apakah pemuda ini telah dapat merampas pedang itu dan mengalahkan pencuri pedang? Ah, tak mungkin. Pencuri pedang itu lihai sekali dia sendiri tidak dapat merampas apa lagi bocah ini.
“Ayoh, katakan di mana pencuri itu. hidup atau mati! Kalau tidak memberi tahu, berarti kau bersekutu dengan dia!” Pat jiu Giam ong membentak.
Akan tetapi Bun Sam menggelengkan kepalanya. “Tempat tinggalnya menjadi rahasia bagiku. Terserah kau hendak berbuat apa, Pat jiu Giam ong.”
Pat jiu Giam ong Liem Po Coan marah sekali, namun diam diam ia memuji ketabahan hati pemuda ini. Sikap
pemuda ini demikian tenang seakan akan tidak menghadapi kurungan Pat jiu Giam ong dan Koai kauw jit him, atau seperti orang yang memandang ringan saja.
“Kautangkap binatang cilik ini !” teriaknya sambil menuding kepada Bun Sam dan menoleh kepada Biauw Ta, orang tertua dari Koai kauw jit him.
Mendengar perintah ini, bukan Biauw Ta seorang yang maju, melainkan ketujuh tujuhnya. Hal ini tentu saja mengherankan hati Pat jiu Giam ong karena tokoh besar ini tidak tahu bahwa tujuh biruang itu telah kalah oleh Bun Sam. Memang kalau orang sudah tahu sampai di mana tingkat kepandaian Koai kauw jit him, akan merasa heran kalau tujuh tokoh Mongol ini kalah oleh seorang pemuda seperti Bun Sam.
Biauw Ta tentu saja tidak berani maju sendiri menghadapi pemuda ini, sedangkan mengeroyok tujuh saja ia masih gentar. Akan tetapi oleh karena di situ ada Pat jiu Giam ong, maka ia berseru keras memimpin enam orang adiknya untuk mengurung Bun Sam.
“Eh, eh, tidak tahunya Koai kauw jit him yang berada di sini! Apakah kuku kuku cakar kalian sudah tumbuh lagi?” kata Bun Sam sambil bertolak pinggang dan tersenyum senyum.