Pedang Sinar Emas Jilid 10

 Jilid X

“SUMOI, jangan kau berkeras hati. Tak percaya aku bahwa kau yang secantik ini akan berlaku kejam.”

“Tutup mulutmu yang palsu itu!” Sian Hwa berkata marah. “Agaknya kau tidak ingat lagi betapa kau menggunduli rambutku, ya?”

Mendengar ini, Liem Swee menjadi pucat. “Kau masih marah, sumoi? Bukankah kau sendiri yang menghendaki untuk menjadi nikouw? Kau anggap aku bersalah dalam hal itu? Baiklah, aku minta ampun kepadamu.” Setelah berkata demikian, pemuda yang sudah tergila gila itu lalu menjatuhkan diri berilutut di depan Sian Hwa!

Tetapi Sian Hwa mempergunakan kesempatan itu untuk melompat dan berlari pergi dari situ. Dahulu ilmu lari cepatnya lebih tinggi dari pemuda itu, maka kini ia hendak mempergunakan ilmunya untuk melarikan diri dari Liem Swee. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika sebentar saja Liem Swee telah dapat menyusulnya dan menghadang di depannya lagi. Ternyata bahwa selama dua tahun ini, kepandaiaan Liem Swee telah maju pesat sekali dan melampauinya.

“Sumoi, kasihanilah aku ”

Kini Sian Hwa betul betul marah. “Orang tak tahu diri! Ketahuilah, bahwa selama ini aku melatih ilmu silatku dan kalau perlu, aku akan dapat menghadapimu dengan pedang terhunus! Apakah kau menghendaki pertempuran untuk menentukan siapa yang akan menggeletak tak bernyawa di sini? Dulu aku tidak berani melawan karena kau adalah suhengku, akan tetapi sekarang, biarpun ayahmu sendiri datang, aku tidak akan mundur setapak dan akan kupertaruhkan nyawaku!” Mata gadis ini berapi api saking marahnya, sehingga Liem Swee menjadi ragu ragu.

“Sumoi, jangan begitu. Kalau kita bertempur, kau takkan menang akan tetapi, aku bersumpah takkan mau mempergunakan kekerasan terhadapmu. Sumoi, demi kebahagiaanmu, demi kebahagiaan kita, kasihanilah aku dan kasihanilah hidupmu sendiri. Apakah kau selamanya akan begini saja? Mari kita menghadap ayah dan...”

“Aha, di mana mana saja kujumpai laki laki hidung belang macam ini! Sungguh menjemukan sekali.” Tiba tiba terdengar suara yang nyaring dan keluarlah orangnya dari balik serumpun pohon kembang. Orangnya sesuai benar dengan suaranya yang nyaring dan jenaka, karena ia adalah seorang pemuda yang. berpakaian warna biru muda, berwajah tampan luar biasa bertubuh kecil berisi. Pemuda yang baru datang ini nampaknya jenaka dan periang sekali, terutama sepasang matanya yang bersinar sinar dan mulutnya yang tersenyum manis.

“Enci yang manis, apakah anak manja dari Jenderal ini mengganggumu?” pemuda tampan ini bertanya, sambil memandang kepada Sian Hwa. Dara ini sedang marah, kini melihat lagak pemuda yang agaknya bahkan lebih kurang ajar dan pandangan matanya terlalu berani ini, maka ia menjadi marah. Ia hendak memaki akan tetapi didahului oleh Liem Swee yang berobah air mukanya melihat datangnya pemuda ini.

“Kau...„„? Gadis liar, agaknya kau sudah bosan hidup maka berani mencampuri urusanku!”

“Aha, benar benar galak putera Pat jiu Giam ong. Agaknya kepandaianmu sudah banyak maju maka kau berani berlagak di hadapanku.” Kini terbukalah mata Sian Hwa dan gadis ini memandang kepada “pemuda” itu dengan mata terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa “pemuda” ini sebetulnya seorang gadis. Kini teringatlah Sian Hwa siapa adanya gadis itu, ingatannya ini diyakinkan pula oleh seruan Liem Swee yang telah mencabut pedangnya.

“Sumoi, hayo kau bantu aku menangkap gadis liar ini. Dia adalah pembunuh dari Ngo jiauw eng Dia inilah gadis liar yang dahulu mengacau di atas rumah ayahmu!”

“Aku bukan sumoimu dan aku tidak perduli urusanmu!” jawab Sian Hwa dengan suara dingin. “Kalau berani, lawanlah sendiri!”

Gadis jenaka yang berpakaian seperti pemuda itu tentu saja pembaca sudah menerka siapa orang nya. Memang, dia adalah Yap Lan Giok, puteri dan Yap Bouw atau murid dari Mo bin Sin kun. Kini mendengar jawaban Sian Hwa, Lan Giok bertepuk tangan sambil tertawa geli.

“Hi, hi, hi, tepat sekali, enci, tepat sekali! He, orang tinggi besar, apakah kau masih ingin menangkap aku?”

Liem Swee merasa mendongkol sekali. Ia merasa ragu ragu untuk melawan Lan Giok seorang diri saja. Kalau sumoinya ikut mengeroyok, tentu ia akan dapat menang, seperti juga dahulu gadis liar ini pernah ia keroyok dengan Sian Hwa dan mereka hampir menang kalau tidak datang murid Lam hai Lo mo yang membantu Lan Giok. Sekarang, disuruh menghadapi gadis murid Mo bin Sin kun ini seorang diri, ia merasa bimbang. Ia memang tidak mempunyai hubungan dengan Ngo jiauw eng dan kematian orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dia, pula ayahnya selama ini melarang ia membuat permusuhan dengan murid murid tokoh tokoh besar seperti Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu dan yang lain lain. 

“Aku seorang laki laki gagah tidak sudi menyerang seorang perempuan liar!” kata Lian Swee dan cepat ia melompat dan pergi meninggalkan tempat itu.

Lan Giok tertawa terkekeh kekeh sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Liem Swee yang melarikan diri. Melihat kejenakaan gadis ini, mau tidak mau Sian Hwa tersenyum kagum. Mengapa aku tidak bisa gembira seperti gadis ini? Alangkah senangnya menjadi orang yang demikian bebas dan gembira.

“Adik yang baik, kau benar benar berani sekali. Tidak tahukah kau bahwa dia adalah putera dari Pat jiu Giam ong dan bahwa aku sendiripun bekas murid Pat jiu Giam ong dan terhitung sumoinya? Apakah kau sudah lupa betapa dahulu di dalam hutan, kau hampir saja roboh karena keroyokan kami berdua?”

Lan Giok mengangguk angguk lalu menghampiri Sian Hwa dan memegang tangannya dengan ramah. “Enci, tak perlu kau ceritakan hal itu kepadaku. Ingatanku tajam sekali dan aku masih ingat akan wajahmu yang cantik seperti bidadari ini. Tak heran si katak buduk itu tergila gila kepadamu. Enci, bukankah kau bernama Sian Hwa dan puteri dari Panglima Bucuci? Bukankah kau telah melarikan diri dari rumah bersama ibumu dan tinggal di dalam kuil Sun pok thian sampai bertahun tahun?”

Sian Hwa tersenyum dan memandang tajam. Sikap gadis jenaka ini membuatnya bergembira. Ia merasa seakan akan gadis ini telah menjadi kenalan lama, padahal dua kali ia bertemu dengan gadis itu sebagai lawan bertempur, pertama kali, ketika ia mengeroyoknya dengan Liem Swee di dalam hutan dan kedua kalinya ketika gadis ini datang di rumah ayah angkatnya membunuh Ngo jiauw eng. Akan tetapi, sekarang berhadapan dengan Lan Giok, ia sama sekali tidak merasa seperti berhadapan dengan seorang bekas lawan 

atau musuh, bahkan merasa seperti berhadapan dengan seorang kawan baik atau adik sendiri. Kejenakaan Lan Giok agaknya merangsang dan menular kepadanya.

“Adik yang nakal, kau agaknya telah menjadi seorang mata mata atau penyelidik yang berhidung tajam. Entah sampai berapa jauh kau mengetahui segala macam rahasiaku?”

Lan Giok sengaja memasang muka yang lucu seperti seorang ahli nujum atau gwamia. Ia memandang muka Sian Hwa sambil meruncingkan bibirnya yang manis, kemudian berkata penuh aksi. “Hem, aku dapat membaca pikiran dan isi hatimu, enci Sian Hwa. Aku melihat semua rahasiamu. Kau dipaksa menikah dengan katak buduk tadi, dipaksa oleh ayah angkat dan gurumu, Kau memberontak dan menolak, sehingga terjadi ribut ribut di dalam rumahmu. Kau lalu melarikan diri bersama ibumu dan menumpang di kuil Sun pok thian Dan agaknya ayah

dan gurumu tidak mau mengakuimu lagi, kecuali Liem Swee si katak buduk tadi yang tergila gila betul kepadamu.”

“Aduh, pandai betul kau. Adik yang baik, aku hanya mengetahui bahwa kau adalah murid kesayangan dari Mo bin Sin kun, akan tetapi aku tidak tahu siapakah sebetulnya namamu?”

“Namaku Lan Giok, enci, she Yap.”

“Tentang she mu aku tahu, adik Lan Giok bahkan aku pernah bertemu dengan ayahmu, bekas Jenderal Yap itu.”

Wajah Lan Giok bersari. “Ayahku telah menceritakan kepadaku tentang kebaikan hatimu, enci.”

“Hm, siapa bilang aku baik? Orang baik baik tidak akan mengalami nasib seperti aku. Eh, adik Lan Giok, coba kauceritakan, rahasia apalagi selanjutnya yang telah kau ketahui?”

Kembali Lan Giok berlagak, lalu berkata. “Hem, hem, aku tahu bahwa kau telah menyerahkan hatimu kepada seorang pemuda.”

Kali ini benar benar Sian Hwa terkejut betul. Mukanya berobah pucat, sehingga Lan Giok buru buru berkata dengan suara sungguh sungguh. “Maaf, enci, aku tidak bermaksud menyinggung perasaan hatimu. Aku hanya main main saja.”

Sian Hwa dapat menetapkan hatinya. “Benarkah kau hanya main main saja, adik Giok?”

“Bersumpah disaksikan bumi dan langit kalau aku tadi bicara betul betul. Mana aku tahu rahasia hatimu? Aku hanya menduga duga saja. Kau menolak untuk dijodohkan dengan putera Pat jiu Gijam Ong. Padahal kau adalah murid dari ayah pemuda itu dan sepanjang penglihatanku, pemuda she Liem itu tidak buruk rupa. Maka ”

“Nanti dulu, kau menyebut katak buduk, bagaimana sekarang kau bilang tidak buruk rupa?”

“Tidak semua katak buduk buruk rupa, enci,” jawab Lan Giok sambil tertawa geli dan Sian Hwa terpaksa tertawa juga sambil memeluk pundak Lan Giok. Timbul rasa sukanya kepada gadis yang jenaka ini.

“Oleh karena itulah, enci, maka satu satunya alasan mengapa kau menolak untuk menjadi menantu Pat jiu Giam ong, tentu saja..... hatimu telah dicuri oleh sepasang alis yang berbentuk golok!”

Sian Hwa melengak dan kembali hatinya berdebar aneh. Terbayang wajah Bun Sam dan terutama sekali sepasang alis pemuda itu terbayang jelas karena memang alis pemuda ini bentuknya seperti golok yang membuat wajahnya tampak gagah dan sangat tampan.

“Apa pula ini?” tanyanya dengar heran. “Alis berbentuk golok?”

Melihat keheranan pada wajah Sian Hwa, Lan Gok tertawa makin menjadi, lalu katanya gembira. “Enci Sian Hwa, siapa lagi kalau bukan seorang pemuda yang gagah dap tampan yang mempunyai alis seperti golok bentuknya? Pernahkah kau mendengar seorang wanita yang mempunyai alis berbentuk golok? Tentu seorang pemuda, bukan? Dan tak mungkin hatimu dicuri oleh seorang gadis, bukan?”

Mau tak mau Sian Hwa tertawa juga terpingkal pingkal sambil mencubit lengan Lan Giok. Ini adalah, kegembiraan pertama kali yang dirasai nya selama tiga tahun akhir akhir ini. Hidup di dalam kuil dengan para nikouw itu sama saja dengan hidup menyepi di tempat sunyi, karena para nikouw itu tak pernah bergurau, tak pernah bergembira dan mereka menuntut penghidupan dengan saleh dan beribadat, seakan akan hidup ini hanya berisi kemuraman dan upacara. Sungguh Sian Hwa yang memang berwatak gembira amat tersiksa oleh hidup seperti itu dan seringkali ia mengakui kebenaran ucapan Pek Lian Suthai bahwa ia tidak berbakat untuk menjadi pendeta!

“Adik Lan Giok, kau benar benar nakal, akan tetapi aku suka berada di sampingmu. Adik yang baik, sebenarnya kau datang dari mana dan hendak kemanakah?”

“Terlalu panjang untuk dituturkan dan berbahaya kalau sampai terdengar oleh orang orang lain,” jawab Lan Giok dan kini mukanya bersungguh sungguh yang membuat dia nampak lebih lucu lagi, karena sesungguhnya wajah Lan Giok yang manis dan kekanak kanakan itu tidak pantas kalau keningnya dikerutkan.

“Kalau begitu, marilah kita pergi ke kuil, di sana kita boleh bicara dengan leluasa dan aman. Akupun mempunyai sebuah permintaan yang hendak kusampaikan kepadamu,” kata Sian Hwa, Lan Giok menyatakan setuju dan berangkatlah dua orang nona pendekar ini ke kuil Sun pok thian. Tentu saja para nikouw memandang aneh dan memperlihatkan sikap menentang ketika Sian Hwa datang bersama dengan seorang pemuda yang tampan itu. Mereka melarang “pemuda” itu memasuki ruang di ruang dalam, akan tetapi sambil tertawa tawa Lan Giok membuka kain pembungkus kepalanya dan semua nikouw melongo ketika melihat kepala dan wajah seorang gadis yang cantik dan berambut halus panjang dan hitam sekali itu.

“Lihatlah, aku hanyalah seorang laki laki palsu! Apakah sekarang aku boleh memasuki kamar enci Sian Hwa?” tanya Lan Giok dengan lagaknya yang jenaka. Para nikouw itu terpaksa tersenyum geli, suatu hal yang jarang mereka alami. Benar benar Lan Giok mendatangkan kegembiraan di dalam kuil yang biasanya berada dalam suasana sunyi, tenang dan berkabung itu.

“Enci Sian Hwa,” Lan Giok mulai menuturkan pengalamannya yang sekaligus membuka hal hal yang sama sekali tak pernah diketahui oleh Sian Hwa setelah mereka duduk di dalam kamar. “Agaknya kau tidak mengetahui hal hal yang terjadi di luar kuil. Sebaliknya, persoalanmu dengan gurumu dan peristiwa yang terjadi di keluargamu, kami semua telah mengetahuinya. Gurukulah yang tahu akan keadaanmu, maka akupun mengetahuinya pula. Oleh karena kau telah bentrok dengan Pat jiu Giam ong dan telah mengasingkan diri di sini sampai dua tahun, maka kami tidak menganggap kau sebagai lawan lagi.” “Heran sekali mengapa Pat jiu Giam ong menyiarkan hal yang menyangkut perjodohanku yang putus dengan puteranya,” kata Sian Hwa dengan heran, karena ia menduga bahwa tentu Pat jiu Giam ong akan merahasiakan hal itu sekerasnya demi menjaga nama baiknya.

Lan Giok tertawa. “Memang dirahasiakan olehnya, akan tetapi siapa dapat merahasiakan sesuatu dari guruku? Dan pula, hal hal yang menyangkut keadaan Pat jiu Giam ong, siapa yang tidak akan memperhatikannya? Sekarang dengarkan penuturanku, enci, banyak sekali hal hal hebat terjadi selama kau bertapa di tempat ini. Maka berceritalah Lan Giok dan untuk mengetahui cerita ini sebaiknya, marilah kita mengikuti dari permulaan, karena memang banyak sekali peristiwa terjadi selama tiga tahun ini, yakni semenjak Lan Giok dan Thian Giok dirampas dari penangkapan Pat jiu Giam ong oleh guru mereka, Mo bin Sin kun sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Lan Giok dan Thian Giok terancam bahaya hendak ditawan oleh pat jiu Giam ong dan dibela dengan mati matian, tetapi sia sia oleh karena Bun Sam yang kepandaiannya kalah jauh dari Pat jiu Giam ong, datanglah Mo bin Sin kun yang di saat yang tepat itu telah dapat menolong dan membawa kedua muridnya itu pergi, ia menantang Pat jiu Giam ong yang dijawab oleh Liem goanswee bahwa tiga tahun lagi Pat jiu Giam ong hendak mengadakan perhitungan.

Dengan cepat Mo bin Sin kun membawa dua orang muridnya ke puncak Sian hwa san di mana ibu kedua orang anak ini hidup sebagai seorang pertapa. Setelah tiba di puncak Sian hwa san, di mana terdapat sebuah kuil yang indah, Mo bin Sin kun meraba mukanya dan sebentar saja wajahnya yang menyeramkan itu berubah menjadi seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun dan yang ternyata amat cantiknya! Inilah keanehan Mo bin Sin kun karena setiap kali ia melakukan pergerakan, ia selalu memakai sebuah kedok yang membuat mukanya menjadi buruk dan membuat ia dijuluki Si muka iblis ! Juga tak seorangpun mengetahui kecuali tokoh tokoh yang tergabung dalam Lima Besar, bahwa Mo bin Sin kun sesungguhnya adalah seorang wanita!

Ibu sepasang anak kembar itu menjadi terhibur dan girang melihat dua orang anaknya kembali dalam keadaan selamat. Semenjak ia dan kedua orang anaknya dibawa oleh Mo bin Sin kun, ia hidup melakukan tapabrata dan melakukan ibadat sebagai seorang pertapa, juga ia membantu mengurus kuil tempat kediaman Mo bin Sin kun. Namun tiap kali Thjan Giok atau Lan Giok turun gunung untuk ikut guru mereka atau juga untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Mo bin Sin kun, hati ibu itu selalu merasa gelisah.

Kali ini, kedatangan mereka membawa berita yang amat mengejutkan, tetapi menggirangkan hati nya, ia mendapat warta bahwa suaminya, Jenderal Yap Bouw, masih hidup! Hampir saja ia tidak dapat percaya, karena bukankah telah tersiar luas beril bahwa suaminya, jenderal besar itu telah tewas di dalam medan perang? Ketika mendengar dari kedua orang anaknya bahwa, kini Yap Bouw telah menjadi seorang gagu dan rusak mukanya, nyonya ini menangis dengan hati pilu. Benar benar ia tidak beruntung. Ketika suaminya pergi, Lan Giok belum lahir, karena suaminya terikat oleh tugasnya.

Setelah mengalami peristiwa di kota raja, Lan Giok dan Thian Gok merasa betapa kepandaian mereka sebenarnya masih jauh untuk dapat diandalkan. Menghadapi Pat jiu Giam ong, mereka sama sekali tidak berdaya. Juga mereka kini tahu bahwa Pat jiu Gian ong mempunyai dua orang murid yang berkepandaian tinggi, juga Lan Giok sudah menyaksikan kehebatan kepandaian murid dari Lam hai Lo mo. Maka mereka lalu melatih diri dengan amat tekunnya. Mo bin Sin kun juga mencurahkan segala perhatiannya untuk menggembleng kedua orang murid ini, apalagi karena Pat jiu Giam ong telah berjanji hendak membalas dendam tiga tahun kemudian.

Beberapa bulan kemudian selagi Thian Giok dan Lan Giok berlatih silat di bawah pengawasan Mo bin Sin kun, tiba tiba wanita sakti itu lalu berkata. “Ada orang datang!” Dalam sekejap mata saja ia telah mengenakan kedoknya yang hitam dan yang demikian cepat menutup mukanya, sehingga tak seorangpun akan menduga bahwa mukanya memakai kedok.

Benar saja, dari lereng Bukit Sian hwa san nampak bayangan seorang laki laki yang mendaki bukit itu dengan ilmu lari cepat yang tinggi.

“Ayah.....!” Thian Giok dan Lan Giok berseru hampir serentak. Lalu mereka serentak berlari lari menyambut kedatangan Yap Bouw. Setelah berhadapan, kedua anak ini lalu menubruk ayah mereka dan ketiganya berpelukan dengan penuh rasa terharu. Yap Bouw menggerak gerakkan jari tangannya yang maksudnya bertanya di mana ibu kedua orang anak itu, akan tetapi karena Thian Giok dan Lan Giok tak pernah mempelajari bahasa gerak jari tangan ini mereka tidak mengerti. Hanya saja Lan Giok memang lebih cepat jalan pikirannya, maka anak ini dapat menduga maksud ayahnya.

“Aah, mari ke kuil menjumpai ibu,” katanya dan ia mendahului mereka untuk menyampaikan khabar gembira ini kepada ibunya. Yap Bouw menjura dengan penuh hormat kepada Mo bin Sin kun, yang membalas dengan penghormatan pula. Dengan kagum dan heran Thian Giok melihat betapa gurunya mengerti akan bahasa gerak tangan ini dan sambil mengangguk angguk Mo bin Sin kun berkata seperti orang menjawab. “Memang seharusnya kau tinggal bersama isteri dan anak anakmu, Yap sicu. Mereka amat merindukan kau. Tentu saja aku tidak keberatan kalau kau tinggal di sini, bahkan kebetulan sekali karena aku sendiri sering kali turun gunung, sehingga dengan adanya kau di sini, hatiku lebih merasa tenteram meninggalkan mereka.”

Sambil menggerak gerakkan tangannya, Yap Bouw lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Mo bin Sin kun, menyatakan terima kasihnya yang tak terhingga bahwa tokoh besar ini telah menolong nyawa isteri dan anak anaknya, bahkan telah mengangkat kedua anaknya menjadi murid. Mo bin Sin kun cepat membungkuk dan minta Yap Bouw berdiri kembali sambil mengucapkan kata kata merendah.

Pada saat itu, Lan Giok datang berlari lari lalu memeluk ayahnya. Kedua mata anak ini basah oleh air mata, agaknya ia dan ibunya telah bertangis tangisan saking bahagianya.

“Ayah, lekas, ibu menanti kedatanganmu,” katanya sambil membetot betot tangan ayahnya. Melihat anak anaknya, berserilah wajah Yap Bouw. Dunia ini seakan akan berobah dalam pandangan matanya. Kalau tadinya ia merasa bosan hidup, sekarang ia dapat menikmati kebahagiaan melihat putera puterinya yang demikian elok dan gagahnya. Dengan kedua tangan digandeng oleh Thian Giok dan Lan Giok. Yap Bouw menuju ke kuil.

Di ruang depan dari kuil yang bersih itu, Yap Bouw melihat isterinya berdiri. Hatinya terharu sekali dan tak terasa pula air matanya turun membasahi kedua pipinya. Isterinya mengenakan baju warna putih seperti lazimnya dipakai oleh para pendeta. Wajah isterinya masih tetap cantik seperti dulu, hanya kini nampak muram dan lemah, seperti seorang yang sudah banyak menderita pahit getir penghidupan.

“Ibu, ini ayah datang....!” Lan Giok yang jenaka berteriak teriak.

Pertemuan antara kedua suami isteri itu sungguh sungguh mengharukan hati. Dengan isak tertahan isteri Yap Bouw berlari maju dan menubruk kedua kaki suaminya, merangkul kaki itu dan menangis tersedu sedu. Tak sebuahpun kata kata keluar dari mulutnya, karena ia tidak kuasa mengeluarkan suara. Dada dan kerongkongannya penuh sesak oleh sedu sedan.

Yap Bouw berdiri bagaikan patung, menundukkan mukanya, menggigit bibir dan air matanya turun bagaikah hujan. Kedua tangannya mengelus elus rambut kepala isterinya dan matanya dimeramkan, nyata sekali ia menahan rasa sakit pada jantungnya yang seperti diiris iris. Melihat keadaan mereka, Thian Giok dan Lan Giok lalu menubruk ibu mereka dan menangis pula.

Karena tak dapat berkata kata, Yap Bouw yang telah dapat menenangkan hatinya lebih dulu lalu menarik isterinya berdiri dan sambil menunjuk ke arah mukanya sendiri, ia lalu menggerak gerakkan tangannya dengan maksud bertanya apakah isteri dan anaknya tidak malu melihat ia telah berobah menjadi seperti itu. Sesungguhnya isterinya dan kedua anaknya tidak mengerti bahasa ini, akan tetapi perasaan Yap Bouw agaknya membisikkan sesuatu kepadanya, sehingga ia dapat juga menangkap maksudnya. Sambil menangi dan memeluk pundak suaminya, ia berkata. “Suamiku, betapapun juga, kau tetap suamiku, kau tetap ayah dari Thian Giok dan Lan Giok !”

Suasana terharu itu kemudian berobah menjadi girang ketika Lan Giok yang cerdik itu cepat berlari mengambil kertas dan alat tulis dan kini “percakapan” dilanjutkan lebih lancar setelah Yap Bouw dapat menuliskan segala pertanyaan dan jawaban di atas kertas itu.

Demikianlah, keluarga jenderal besar itu akhirnya dapat berkumpul kembali, hidup dengan aman dan tenteram di dalam kuil di atas Bukit Sian hwa san, isteri Yap Bouw melanjutkan hidupnya sebagai seorang pendeta wanita, bahkan Yap Bouw tertarik pula dan kini kakek gagu inipun menukar pakaiannya sebagai pertapa dan ikut pula bersamadhi dan memperdalam ilmu batinnya sambil membantu pekerjaan menjaga kuil.

Ia merasa kagum sekali melihat kemajuan ilmu silat kedua anaknya yang kini tingkat kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Diam diam ia teringat kepada Bun Sam dan mengandung maksud hendak menjodohkan Lan Giok dengan pemuda itu. Isterinya menyatakan persetujuannya, karena ia percaya penuh bahwa suaminya tentu takkan salah pilih. Akan tetapi mereka tidak tergesa gesa menyampaikan usul ini kepada Lan Giok atau Mo bin Sin kun, karena gadis itu sedang giat berlatih silat setiap hari.

Waktu berjalan pesat sekali dan dua tahun telah lewat semenjak Yap Bouw berada di puncak Sian hwa san. Tidak terjadi peristiwa penting selama itu, sampai pada waktu pagi hari di musim dingin itu.

Pagi pagi benar Lan Giok dan Thian Giok melatih ilmu silat mereka, karena guru mereka baru kemarin datang dari perantauannya selama tiga bulan. Mo bin Sin kun membawa banyak kabar dari kota raja. Menurut guru mereka ini Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu telah bersekutu dengan sutenya, yakni Pat jiu. Giam ong untuk membentuk sebuah perkumpulan orang gagah yang disebut Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Berdarah). Perkumpulan itu memakai nama yang serem ini karena setiap orang yang hendak masuk menjadi anggauta, diambil sumpahnya dengan mencuci kedua tangan dengan darah harimau. Untuk keperluan ini, tentu saja setiap orang yang hendak menjadi anggauta, harus dapat menangkap seekor harimau hidup hidup dan inipun merupakan ujian karena kalau tidak berkepandaian tinggi, mana dapat menangkap harimau atau singa? Dan maksud kedua orang tokoh besar itu mendirikan perkumpulan ini, selain hendak mengumpulkan orang orang gagah untuk memperkuat kedudukan mereka, juga mereka ingin menjagoi dunia persilatan. Lam hai Lo mo menjadi ketua pertama dan Pat jiu Giam ong menjadi ketua ke dua.

Selain berita ini, juga dari Mo bin Sin kun, kedua orang muda itu mendengar tentang keadaan rumah tangga Bucuci dan itulah sebabnya maka Lan Giok tahu akan keadaan Sian Hwa. Diam diam mereka semua bersimpati dengan Sian Hwa, lebih lebih Lan Giok, karena gadis itu pernah bertemu dengan Sian Hwa dan mengagumi kecantikan dan kepandaian gadis baju merah itu.

“Karena itu, kalian berdua harus lebih giat lagi berlatih, karena sangat besar kemungkinan kalian menjadi dua diantara orang orang yang berkewajiban menghadapi perkumpulan berbahaya itu,” kata Mo bin Sin kun menutup penuturannya dan pada pagi hari itu, Lan Giok dan kakaknya berlatih ilmu Silat yang paling tinggi dan sukar yang sebelum turun gunung telah diajarkan oleh guru mereka. Tiba tiba Mo bin Sin kun dan dua orang muridnya itu berhenti berlatih dan memandang ke tengah udara. Entah dari mana datangnya, tahu tahu di atas mereka melayang layang sebuah benda yang kecil berwarna hitam dan dengan cara aneh sekali, benda itu melayang turun dan tiba menancap di tas tanah, di depan Mo bin Sin kun dan ternyata bahwa benda itu adalah sebatang tongkat hitam berbentuk ular yang panjangnya kira kira empat kaki. Melihat sebatang tongkat dapat terbang melayang bagaikan seekor ular bersayap dan kemudian menancap di depan mereka, sungguh sukar untuk dipercaya karena tongkat itu seakan akan hidup.

Kalau Thian Giok dan Lan Giok berdiri bengong terheran keran, adalah Mo bin Sin kun yang bersikap tenang, sungguhpun di balik kedoknya wajahnya berobah ketika ia melihat tongkat ini.

“Waspadalah, Lam hai Lo mo agaknya datang mengunjungi kita!” katanya dan diam diam wanita sakti ini meraba ke dalam saku bajunya untuk melihat apakah senjatanya yang paling diandalkan berada di saku itu. Senjata ini sederhana saja bentuknya, yakni sehelai sabuk sutera berwarna hitam yang kedua ujungnya dipasang bintang perak yang berujung lima dan runcing sekali, sebesar kepalan tangan. Kalau tidak dipakai, senjata ini dapat dilipat dan dimasukkan ke dalam saku baju.

Tiba tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan sekali seperti suara kuda meringkik, disusul oleh suara ke tawa yang nyaring, akan tetapi juga amat menyeramkan. Bagaikan dua sosok bayangan setan, berkelebatlah bayangan dua orang laki laki dan sebentar saja dua bayangan itu telah berdiri di depan mereka. Benar saja, yang berdiri di depan mereka adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, orang diantara Lima Besar yang paling kejam, ganas, aneh dan juga berilmu tinggi. Dan orang ke dua yang berdiri di sebelah kanannya adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan ganteng, akan tetapi sepasang matanya begitu sipit, sehingga hanya merupakan dua garis kecil saja. Kulit mukanya halus dan putih seperti kulit muka seorang wanita dan mulutnya yang berbentuk manis itu selalu membayangkan senyum mengejek seperti terdapat pada mulut seorang yang berwatak sombong dan memandang rendah kepada semua orang dan menganggap dirinya sendiri yang paling pintar.

Lam hai Lo mo gelak tertawa sambil mendongak ke atas dan tangan kirinya mencabut tongkat yang menancap di depan Mo bin Sin kun, kemudian ia lalu menjura kepada Mo bin Sin kun sambil membungkuk, dituruti pula oleh pemuda itu yang tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia ini memang murid tunggal dan Lam hai Lo mo, yaitu Gan Kui To.

“Ada gara gara apakah di dunia, maka Lam hai Lo mo, yang bernama besar sampai tersasar ke tempat ini?” tanya Mo bin Sin kun dengan suara dingin dan sikap angkuh. Lain orang boleh menghormat berlebih lebihan kepada Lam hai Lo mo, akan tetapi dia merasa setingkat dengan kakek ini, maka tak perlu ia merendahkan diri. “Tidak tahu apakah kau datang dengan maksud baik atau buruk, dengan kepala dingin atau panas?”

Kembali Lam hai Lo mo tertawa seperti bunyi ringkik kuda, lalu berkata. “Mo bin Sin kun, di tempat yang demikian indah dengan hawa udara demikian sejuk dan dingin, siapakah yang bisa menjadi panas kepala? Aku datang dengan maksud baik. Bukankah kita kawan kawan lama? Ha, ha, ha.”

“Lam hai Lo mo, dengan orang seperti engkau ini, siapa yang dapat membedakan kawan atau lawan? Lebih baik kau katakan apa yang menjadi maksud kedatanganmu ini. Kau tahu bahwa aku tengah melatih murid muridku kami sedang sibuk dan tidak mempunyai banyak waktu untuk mengobrol.”

“Ha, ha, kau bersiap siap untuk tahun depan? Aku sudah mendengar bahwa kau dan Pat jiu Giam ong hendak menjadi anak anak kecil lagi yang mau cakar cakaran dan main main. Ha, jenderal itu sedang sibuk pula, terkurung oleh tugasnya. Mo bin Sin kun, sebetulnya kedatanganku ini membawa maksud yang suci dari mulia.” Ia memandang kepada Lan Giok, lalu menudingkan tongkatnya kepada dara ini. “Muridmu yang manis inilah yang menarik kami datang ke sini.”

Mo bin Sin kun mengerutkan keningnya, adapun Lan Giok dengan hati berdebar memandang dengan penuh perhatian. Juga Thian Giok memandang dengan sinar mata tajam.

“Mo bin Sin kun, kita adalah kawan kawan lama, dengan melupakan sedikit perbedaan faham kita, marilah kita mempererat tali perhubungan kita. Aku dalang hendak melamar muridmu ini untuk menjadi jodoh muridku yang tampan dan gagah ini !” Ia menuding ke arah Kui To yang tersenyum senyum sambil memandang ke arah Lan Giok dengan wajah berseri.

“Sauw nio (burung kecil), kau tentu belum lupa padaku, bukan? Sudah dua kali kita berjumpa dan aku telah membantumu mengusir orang jahat!” kata Kui To dengan sikap manis kepada Lan Giok. Gadis itu memalingkan muka dengan sebal, karena ketika mendengar lamaran itu ia sudah merasa jengah dan juga marah. Akan tetapi karena di situ terdapat gurunya, ia tidak berani sembarangan memperlihatkan kemarahannya. Adapun Mo bin Sin kun yang mendengar pinangan Lam hai Lo mo ini, untuk beberapa lama tak dapat menjawab. Pinangan ini benar benar mengejutkannya dan ia menjadi serba salah. Memang seorang pemuda murid Lam hai Lo mo bukanlah seorang pemuda sembarangan dan tentu telah memiliki kepandaian tinggi, sehingga patut menjadi suami muridnya. Kalau sampai pinangan ini ditolak, berarti ia memperhebat permusuhan dengan Lam hai Lo mo dan hal ini tidak boleh dibuat main main.

Sebetulnya pinangan ini diajukan oleh Lam hai Lo mo terdorong oleh dua hal. Pertama tama karena memang Kui To telah tergila gila kepada Lan Giok yang disebutnya Burung Kecil dan sering kali pemuda ini seperti orang gila menyebut nyebut nama gadis itu dan merengek rengek kepada suhunya minta dilamarkan gadis itu! Kedua kalinya, ada maksud tersembunyi dalam kepala Lam hai Lo mo yang cerdik, ia dan sutenya maklum bahwa menghadapi Kim Kong Taisu saja sudah merupakan hal yang amat berat, apalagi kalau Mo bin Sin kun berdiri di fihak kakek dari Oei san itu. Maka apabila ikatan jodoh ini dapat diadakan, berarti bahwa Mo bin Sin kun mau tidak mau tentu akan membantu mereka demi kepentingan muridnya sendiri. Dengan masuknya Mo bin Sin kun difihak mereka, maka itu berarti akan memperkuat kedudukan Hiat jiu pai!

“Bagaimana, Mo bin Sin kun?” tanya Lam hai Lo mo ketika melihat si muka iblis itu masih juga belum menjawab. “Apakah aku harus menanti jawaban dalam beberapa hari karena kau hendak pikir pikir dulu?”

“Aku takkan merasa ragu ragu untuk menjawab sekarang juga, Lam hai Lo mo, akan tetapi sayang aku tidak berhak mengambil keputusan dalam hal ini. Tunggulah sebentar. Thian Giok, coba kau panggil ayah bundamu ke sini !” Thian Giok cepat berlari ke kuil dan tak lama kemudian ia kembali diikuti oleh Yap Bouw dan isterinya. Melihat Yap Bouw yang kini berpakaian serba putih seperti seorang pendeta itu, Lam hai Lo mo benar benar tercengang dan merasa tidak enak hatinya. Biarpun ia telah pernah menolong nyawa Yap Bouw ketika jenderal ini terjatuh ke dalam tangan orang orang Mongol, namun sebaliknya yang membuat jenderal itu sampai kalah dan tertangkap sehingga menerima penyiksaan hingga mukanya hancur dan rusak, adalah Lam hai Lo mo sendiri.

Akan tetapi, dua tahun hidup mensucikan diri di puncak Sian hwa san, tidak sia sia bagi Yap Bouw. Kalau dulu Sebelum ia bertapa di gunung ini, tiap kali berjumpa dengan Lam hai Lo mo, sudah boleh dipastikan ia akan menjadi marah dan menyerang orang yang membuatnya kalah dalam perang melawan tentara Mongol itu, akan tetapi sekarang ia bersikap tenang dan dingin saja, hanya memandang Lam hai Lo mo dengan sinar mata tajam menusuk hati.

“Aha, kiranya Jenderal Yap Bouw pun berada di sini! Mo bin Sin kun, mengapa kau mendatangkan Jenderal Yap dan wanita ini?”

“Lam hai Lo mo, ketahuilah bahwa mereka ini yang berhak menjawab pinanganmu karena mereka adalah ayah bunda dari Lan Giok muridku!” jawab Mo bin Sin kun.

“Ha, ha, ha, bagus sekali. Aku adalah kenalan lama dari Jenderal Yap, dan terus terang saja, aku pernah menyelamatkan nyawanya dari bala tentara Mongol.” Kemudian ia menghadapi Yap Bouw dan berkata. “Yap goan swe, kuulangi lagi pinanganku yang tadi sudah kusampaikan kepada guru puteri mu. Kedatanganku ini bermaksud meminang puterimu itu untuk menjadi jodoh muridku yang gagah ini.” Sebelum datang ke tempat itu, Thian Giok sudah menyampaikan berita ini kepada kedua orang tuanya dan Yap Bouw telah berunding dengan isterinya, maka kini isterinya yang maju bersama dia. Yap Bouw melangkah dua tindak ke depan lalu menggerak gerakkan jari tangannya. Melihat betapa suhunya memperhatikan gerakan gerakan jari tangan itu, Gan Kui To tak dapat menahan geli hatinya dan tertawa lalu berkata. “Suhu, apa apaankah ini? Apakah empek ini sedang menari kegirangan karena puterinya dilamar oleh kita?”

Akan tetapi, pada saat itu Lam hai Lo mo tidak dapat mengawani kejenakaan muridnya karena ia memandang dengan wajah muram dan kening berkerut ketika melihat gerakan jari tangan itu. Dari gerakan itu ia diberi tahu oleh Yap Bouw bahwa terpaksa Yap Bouw menolak pinangan itu karena puterinya telah ditunangkan dengan orang lain!

“Apa..?? Jadi puterimu ini sudah bertunangan?” tanyanya dengan suara parau dan barulah Kui To berhenti tersenyum mendengar ucapan suhunya ini.

“Siapakah tunangannya?” Di dalam pertanyaan ini terkandung ancaman.

Adapun Mo bin Sin kun yang juga melihat keterangan melalui gerakan jari tangan Yap Bouw, diam diam merasa heran dan terkejut sekali. Mengapa Yap Bouw tidak memberi tahukannya bahwa Lan Giok telah ditunangkan dengan orang lain? Apakah hal ini benar ataukah hanya alasan dari Yap Bouw untuk menolak pinangan Lam hai Lo mo? Kalau hanya alasan, ia akan mencegah Yap Bouw membohong, karena Mo bin Sin kun tidak sudi untuk mencari alasan kosong hanya karena hendak menolak pinangan Lam hai Lo mo. Hal Ini sama artinya dengan merasa takut terhadap kakek aneh itu. Kalau memang tidak setuju, tolak saja mentah mentah dan habis parkara. Siapakah yang takut? Demikian jalan pikiran Mo bin Sin kun.

Kini nyonya Yap yang maju menghadapi Lam hai Lo mo. Dengan sikap tenang, sopan dan ramah tamah, nyonya ini berkata. “Lo sicu, kami telah merencanakan untuk menjodohkan puteri kami Lan Giok dengan seorang pemuda bernama Song Bun Sam, murid dari Kim Kong Taisu. Oleh karena itu harap lo sicu sudi memberi maaf. Kami terpaksa tidak dapat menerima budi kebaikan dan kehormatan yang lo sicu berikan kepada kami.”

Mendengar ini, tidak saja Mo bin Sin kun yang tercengang dan heran, tetapi juga Thian Giok memandang kepada ibunya dengan mata penuh pertanyaan. Adapun Lan Giok yang mendengar ini, seketika itu juga mukanya berobah merah, ia pernah bertemu dengan Bun Sam dan memang diam diam ia merasa tertarik kepada murid Kim Kong Taisu yang dengan gagah beraninya pernah membela dia dan Thian Giok di depan Pat jiu Giam ong, bahkan yang berani melawan Pat jiu Giam ong.

Sebaliknya, Lam hai Lo mo dan muridnya menjadi kecewa dan marah, tiba tiba Lam hai Lo mo tertawa dan sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muridnya, ia berkata kepada nyonya Yap. “Yap hujin, lihatlah muridku ini!” Karena tidak tahu akan maksud kakek itu, nyonya Yap memalingkan muka dan memandang kepada Kui To. “Lihat baik baik, bukankah muridku ini tampan dan gagah sekali?” Diam diam kakek ini mengerahkan tenaga batinnya dan menggunakan ilmu hoatsut (sihir) kepada nyonya itu.

Entah bagaimana, nyonya Yap tiba tiba melihat Kui To sebagai seorang pemuda yang amat tampan, gagah dan simpatik. Hatinya tertarik sekali dan tanpa disadarinya, bagaikan terkena pesona, ia berkata. “Memang muridmu itu tampan dan gagah.” “Bukankah dia lebih tampan dan lebih gagah daripada Bun Sam ?”

Sebetulnya nyonya Yap, kalau berada dalam keadaan sadar, tak mungkin dapat menjawab bertanyaan ini karena selama hidupnya ia sendiri belum pernah melihat bagaimana rupa Song Bun Sam, pemuda yang dipilih oleh suaminya untuk menjadi jodoh Lan Giok. Akan tetapi, ia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari Lam hai Lo mo, maka ia mengangguk membenarkan dan berkata. “Dia lebih tampan dan lebih gagah daripada Bun Sam.”

“Muridku ini lebih pantas menjadi menantumu daripada Bun Sam, bukan?”

Kembali nyonya Yap membenarkan. Semua orang menjadi demikian tertegun dan heran sehingga tak dapat mengeluarkan kata kata.

“Nah, kalau begitu, sudah sewajarnya kau menerima Kui To sebagai menantumu. Sekali lagi kuulangi pinanganku. Yap hujin, sukakah kau menerima Kui To sebagai menantumu?” sambil berkata demikian sepasang mata kakek aneh ini mengeluarkan sinar yang berapi api dan amat berpengaruh, yang ditujukan kepada wajah nyonya Yap.

“Aku setuju dan suka....” jawab nyonya itu, seakan akan sudah tidak kuasa lagi mengendalikan pikiran dan mulutnya.

Tiba tiba Lan Giok melompat maju. “Tidak tidak! Aku tidak sudi!”

“Siauw Niauw, jangan begitu, ibumu sudah setuju!” Kui To melompat maju sambil mengulur tangan hendak memegang tangan gadis yang dirindukaanya itu. “Biarlah kelak aku menghadiahkan kepala Song Bun Sam di bawah kakimu.”

“Keparat, jangan kurang ajar!” teriak Thian Giok yang cepat maju menyampok tangan Kui To yang diulurkan. Dua buah lengan beradu dan Thian Giok terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya menjadi panas dan sakit, ia melompat mundur dengan muka terkejut sekali.

“Ha, ha, ha, kau kakak iparku, sungguh gagah!” Kui To tertawa.

“Bangsat bermulut lancang, kuhancurkan mulutmu!” Lan Giok dengan marah melompat maju dan menyerang dengan pukulan Soan hong pek lek jiu ke arah dada Kui To. Murid Lam hai Lo mo ini merasa sambaran angin dahsyat dan karena, ia maklum akan kelihaian pukulan ini, cepat ia melompat ke samping untuk mengelak. Lan Giok mendesak terus, akan tetapi tiba tiba Lam hai Lo mo mengebutkan lengan bajunya dan tertolaklah gadis ini ke belakang oleh angin pukulan yang jauh lebih bebat daripada pukulannya sendiri.

“Lam hai Lo mo, mau apakah kau?” tiba tiba Mo bin Sin kun bergerak dan tahu tahu ia telah berdiri menghadapi Lam hai Lo rno. Gerakannya ini luar biasa cepatnya, sehingga Lam hai Lo mo sendiri menjadi amat kagum. “Apakah kau hendak mencontoh perbuatan sutemu yang Amat tidak patut, hendak memaksa seorang gadis menjadi jodoh muridmu?”

Untuk sesaat Lam hai Lo mo berdiri tertegun dan ragu ragu. Melihat sinar mata Mo bin Sin kun yang berapi penuh tantangan itu, ia tahu bahwa wanita sakti ini benar benar marah sekali dan kalau ia layani tentu akan terjadi pertempuran mengadu nyawa di situ. Biarpun Lam hai Lo mo tidak takut dan merasa akan dapat mengalahkan Mo bin Sin kun, namun hal ini tidak semudah kalau ia menghadapi tokoh lain, karena ia tahu betul bahwa Mo bin Sin kun memiliki kepandaian yang setingkat dengan kepandaiannya. Maka ia lalu tertawa dengan nyaring meringkik ringkik seperti kuda marah, lalu berkata. “Ha, ha, ha Mo bin Sin kun, alangkah inginku melihat mukamu pada saat ini! Tentu kulit mukamu yang putih halus itu menjadi kemerahan sesuai dengan sepasang matamu yang indah berapi.”

“Lam hai Lo mo, jangan banyak membuka mulut tak karuan. Pendeknya kami menolak pinanganmu dan kau man apa? Kau tahu bahwa aku selalu bersedia melayanimu tanpa rasa takut sedikit jugapun!”

“Ha, ha, ha, masih galak seperti dulu! Tidak, Mo bin Sin kun, aku tidak ada nafsu untuk bermain main dan mengadu kepalan denganmu. Biarlah lain kali kita bertemu pula, mungkin tahun depan.” Ia memberi tanda dengan tangannya kepada Kui To, mengajak muridnya pergi. Kui To menjadi menyesal dan kecewa sekali. Sambil memandang dengan mata lebar ke arah Lan Giok, ia berkata. “Kalau betul betul kau sampai menikah dengan Bun Sam, aku akan mengirim sumbangan berupa kepala dari Song Bun Sam!” Ia lalu melompat mengejar suhunya sambil tertawa nyaring mengejek.

Mo bin Sin kun menarik napas panjang dan diam diam ia merasa lega bahwa kakek setan itu tidak menghendaki pertempuran. Kemudian ia berpaling kepada Yap Bouw dan isterinya. “Sesungguhnyakah tentang perjodohan Lan Giok yang kudengar tadi?”

Nyonya Yap lalu minta maaf dan kemudian ia menceriterakan kehendak suaminya untuk menjodohkan Lan Giok dengan Bun Sam. Mo bin Sin kun mengangguk anggukkan kepalanya. “Memang tepat sekali pilihan itu. Aku sendiri suka kepada Bun Sam dan pula boleh dibilang dia juga muridku sendiri. Anak itu jauh lebih baik daripada Kui To, bukankah demikian pendapatmu?” Sambil berkata demikian, Mo bin Sin kun memandang tajam kepada Yap Hujin yang cepat membenarkan kata kata ini.

“Biarpun aku sendiri belum pernah melihat Bun Sam, akan tetapi tentu saja aku percaya penuh atas pilihan suamiku. Sekarang injin (penolong) menyatakah demikian, tentu saja hatiku menjadi lebih tetap pula.”

“Ibu, mengapa tadi ibu menyatakan kepada Lam hai Lo mo bahwa Kui To jauh lebih baik daripada Bun Sam?” tanya Thian Giok yang tidak mengerti akan sikap ibunya ini.

Nyonya Yap memandang kepada puteranya dengan heran. “Siapa yang menyatakan demikian”? Sebelum Thian Giok yang menjadi bingung ia bertanya lagi, Mo bin Sin kun lalu berkata.

“Memang itulah kepandaian yang hebat dari Lam hai Lo mo. Tadi ia telah mempergunakan ilmu sihir untuk mempengaruhi ibumu, Thian Giok. Oleh karena itu, kau dapat mengarti betapa besarnya bahaya yang sekarang kita hadapi. Kau dan Lan Giok harus berlatih baik baik dan hanya dengan memperdalam tenaga batin, maka kalian kelak akan sanggup menghadapi hoatsut dari Lam hai Lo mo atau muridnya. Adapun tentang pertunangan yang dikehendaki oleh orang tuamu ini Lan Giok, bagaimana pendapatmu?”

Ditanya demikian Lan Giok hanya menundukkan mukanya yang telah menjadi merah jambu air. Terbayang wajah Bun Sam dan terutama sekali alisnya yang berbentuk golok itu. Ia pernah berpibu melawan Bun Sam dan memang biarpun tak pernah ia memikirkan, kalau teringat kepada pemuda itu, hatinya berdebar aneh. Pemuda itu amat gagah perkasa, juga berbudi mulia, apalagi boleh dibilang masih suhengnya sendiri, maka tentu saja di dalam hatinya ia telah menyetujui sepenuhnya dan sebulat hatinya. Akan tetapi bagaimana ia dapat menjawab pertanyaan gurunya ini? Akhirnya karena semua pandangan mata d tujukan kepadanya yang membuat gadis ini merasa seperti seorang duduk di atas besi panas, maka sambil menutup mukanya dengan saputangan suteranya, ia lalu berlari dari situ menuju ke kuil dan bersembunyi di dalam kamarnya.

Melihat ini, Mo biu Sin kun, Yap Bouw dan isterinya, tertawa geli, bahkan Thian Giok sendiri pun tersenyum geli menyaksikan kelakuan adiknya. Pemuda ini diam diam merasa senang sekali mendengar tentang pertunangan adiknya, karena iapun suka dan kagum kepada Bun Sam.

“Hal ini harus disampaikan kepada Kim Kong Taisu sebagai guru dari pemuda itu.” kata Mo bin Sin kun Tunggulah, sampai Thian Giok dan Lan Giok menyempurnakan ilmu silat mereka, aku sendiri yang akan merundingkan hal ini dengan Kim Korig Taisu !”

Demikianlah, untuk kurang lebih setahun lamanya, Thian Giok dan Lan Giok melatih diri dengan amat tekunnya, sehingga kepandaian mereka maju amat pesatnya. Selama itu, tidak ada gerakan dari Lam hai Lo mo, sehingga diam diam mereka semua merasa lega.

Kemudian, Mo bin Sin kun lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk menyelidiki keadaan Hiat jiu pai di kota raja, sedangkan ia sendiri lalu menuju ke Oei san untuk menjumpai Kim Kong Taisu, selain untuk merundingkan tentang murid mereka, juga untuk membicarakan tentang gerakan Hiat jiu pai. Agar lebih leluasa dalam perjalanan, Lan Giok meminjam pakaian kakaknya dan ia berpakaian seperti seorang pemuda. Akan tetapi dengan pakaiannya ini ia bahkan menimbulkan banyak sekali perhatian orang, karena baik dilihat dari depan belakang atau kanan kiri, ia sekarang menjadi Thian Giok ke dua! Tak mungkin orang dapat membedakan antara dua saudara kembar ini. Thian Giok sering marah marah karena perhatian orang orang yang melihat mereka ini, sebaliknya Lan Giok bahkan tertawa tawa geli karena menganggapnya amat lucu.

Sering kali ia sengaja mengenakan pakaian yang warnanya sama dan ketika dalam sebuah kota memasuki restoran, ia mempermainkan pelayan. Kalau Thian Giok memesan semacam masakan, ia memesan yang lain dan ketika pelayan datang mengantarkan masakan masakan itu, ia menyuruh pelayan sendiri menerka siapa yang memesan masakan ini dan siapa pula yang memesan itu. Tentu saja pelnyan menjadi bingung, memandang dari Lan Giok ke Thian Giok dan akhirnya menyerah kalah, menaruh masakan masakan itu di atas meja dan minta maaf karena memang tak dapat membedakan dan mengingat lagi!

Setelah tiba di kota raja, kakak beradik ini berpisah dengan sengaja. Pertama tama untuk menghindarkan perhatian orang, kedua kalinya agar penyelidikan mereka lebih luas dan berhasil. Mereka hanya berjanji untuk bertemu pada malam hari di dekat pintu gerbang sebelah selatan, atau kalau ada terjadi sesuatu, mengirim tanda bahaya seperti biasa. Oleh guru mereka, kedua kakak beradik ini telah mempelajari cara melepas panah api di waktu malam untuk memberi tanda bahaya kepada kawan dari tempat jauh. Juga mereka mempunyai semacam tanda pekik seperti pekik ayam hutan yang nyaring sekali untuk saling memberi tanda di waktu perlu. Dan dalam penyelidikannya ini, akhirnya Lan Giok berjalan jalan sampai keluar kota raja dan tiba di hutan dekat Tong seng kwan di mana ia bertemu dengan Sian Hwa! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia lalu ikut dengan Sian Hwa ke kuil dan menceritakan pengalamanku. Tentu saja ia tidak menyebut nyebut nama Bun Sam, dan hanya memberitahukan bahwa untuk mengusir Lam hai Lo mo, ayah bundanya menyatakan bahwa ia telah ditunangkan dengan orang lain!

“Dan bagaimana dengan hasil penyelidikanmu, adik Lan Giok?” tanya Sian Hwa yang mendengarkan dengan hati tertarik. “Sudah bertahun tahun aku tidak mengetahui sama sekali tentang keadaan di luar kuil, maka tentang Hiat jiu pat ini aku sama sekali tidak tahu.”

Lan Giok menarik napas panjang. “Hebat! Hiat jiu pai benar benar amat kuat dan mempunyai anggauta anggauta yang berkepandaian tinggi. Apalagi para pemimpinnya, benar benar sukar dilawan. Ketuanya tentu saja Lam hai Lo mo si setan tua itu, bersama Pat jiu Giam ong bekas gurumu itu. Ditambah dengan Gan Kui To dan suhengmu yang manis itu, maka mereka merupakan empat orang yang cukup tangguh, apalagi masih ada beberapa orang tokoh dari Mongol ada pula seorang tokoh hwesio dari Tibet yang berkepandaian tinggi dan juga sedikitnya ada tujuh orang dari kang ouw yang dapat terpikat oleh mereka. Semua ini merupakan tokoh tokoh terbesar dari Hiat jiu pai.”

“Heran sekali, apakah maksud mereka mengadakan perkumpulan seperti itu?” tanya Sian Hwa pula.

“Tentu saja untuk memperkuat kedudukan mereka. Dan, sepanjang penyelidikan yang didapatkan oleh engko Giok, mereka itu bahkan bermaksud untuk membasmi orang orang kang ouw yang tidak mau bersekutu dengan mereka. Kini tersiar kabar bahwa Lam hai Lo mo dan muridnya, juga hwesio Tibet itu, telah berada di kota raja pula. Oleh karena itu, aku harus buru buru mengajak engko Giok kembali kepada guru kami untuk memberi laporan.”

“Adikku yang baik, bawalah aku bersamamu!” “Apa ??”

Sian Hwa merangkulnya dan tiba tiba teringat akan nasib dirinya, ia mengeluarkan air mata.

“Adik Lan Giok, kau tahu bahwa kini aku tidak mempunyai siapa siapa lagi yang dapat kupandang, aku....... aku seorang diri, sebatangkara ”

“Mengapa kau bilang demikian? Bukankah masih ada ayahmu Panglima Bucuci?”

“Orang jahat itu?? Dia bukan ayahku, ayahku telah terkubur di kota Tong seng kwan dan baru saja aku kembali dari kuburan ayahku.” Lalu dengan singkat Sian Hwa menceritakan riwayatnya, membuka pula rahasianya bahwa Bucuci dan Kui Eng bukanlah orang tuanya dan bahwa ayahnya telah dibunuh mati oleh pasukan Ang bi tin dan ibunya entah di mana, tak seorangpun mengetahuinya.

“Oleh karena itu adik Lan Giok. Aku hendak ikut kau merantau dan kalau kau tidak sudi membawaku, biarlah aku yang bernasib malang ini pergi seorang diri, ke mana saja kedua kakiku membawaku.”

Tiba tiba Lan Giok tersenyum manis..”Mengapa tidak boleh? Aku akan suka sekali mempunyai kawan seperjalanan seperti engkau, enci Sian Hwa! Kalau begitu lekaslah engkau berkemas, sekarang juga kau ikut dengan aku ke kota raja dan bersama engko Thian Giok kita malam ini juga dapat melanjutkan perjalanan.” Bukan main girangnya hati Sian Hwa. Ia merangkul dan mencium pipi Lan Giok saking girang dan terharunya. “Kau baik sekali, adikku,” Lalu ia berlari menjumpai para nikouw untuk berpamit.

Para nikouw mengantarkan mereka sampai di depan pintu kuil dan hampir semua nikouw mengucurkan air mata melihat Sian Hwa pergi meninggalkan mereka. Mereka semua amat suka kepada dara yang manis budi itu dan bahkan telah menganggap Sian Hwa sebagai mustika dari kuil Sun pok thian. Sekarang gadis itu pergi meninggalkan kuil dan mereka seakan akan merasa telah kehilangan sesuatu yang membuat wajah mereka muram dan hati mereka sunyi.

Hari telah menjadi gelap ketika Lan Giok dan Sian Hwa jalan berendeng menuju ke kotaraja. Mereka kelihatan sebagai sepasang muda mudi yang amat elok dan cocok sekali. Di sepanjang perjalanan, mereka bercakap cakap dengan gembira, seakan akan takkan ada habisnya yang mereka persoalkan.

“Lan Giok, jadi kau sudah bertunangan?” tanya Sian Hwa sambil tersenyum menggoda. Memang sebetulnya Sian Hwa mempunyai watak yang gembira pula, hanya karena penderitaan batin saja yang membuat ia selama ini takkan pernah bergembira.

Lan Giok mencubit lengan kawannya. “Kau mulai menggodaku?”

“Tidak, adikku. Sebagai seorang sahabat baik. Bukankah sudah selayaknya kalau aku mengetahui calon suamimu? Siapakah dia, ataukah kau hendak merahasiakannya dari

aku?”

“Mengapa merahasiakan? Aku tidak takut kau akan merebutnya!” Lan Giok balas menggoda. 

“Hush, anak nakal. Kau kira aku orang macam apa? Ah, tunanganmu itu tentu seorang yang tampan dan gagah, ini sudah pasti!”

“Coba kau terka, enci, siapa tunanganku itu?”

Sian Hwa yang sudah menjadi gembira betul setelah berada di dekat Lan Giok, mengerutkan kening dan berpikir pikir.

“Hm, nanti dulu.... tentu dia seorang pemuda ahli silat!

Ah, tentu putera seorang guru silat yang kenamaan!”

Lan Giok tersenyum. “Guru silat? Ah, aku tidak suka akan guru guru silat yang makan bayaran, enci. Bukan, bukan seorang putera guru silat.”

“Kalau begitu, tentu putera seorang panglima besar!” “Panglima seperti Pat jiu Giam ong? Ha, ha, sedangkan

kau sendiri tidak sudi dipungut menantu oleh seorang panglima besar dan panglima besar manakah yang lebih

tinggi kedudukannya daripada Pat jiu Giam ong! Bukan, bukan!”

“Tentu putera Seorang tokoh kang ouw yang tinggi ilmu kepandaiannya! Mungkin anak murid Kun lun pai atau Bu tong pai!”

“Bukan, bukan! Dia bukan anak murid dari partai persilatan manapun juga.”

“Hm, kalau begitu sukar aku menebaknya. Kecuali kalau tunanganmu itu seorang ahli sastera, seorang pelajar yang pandai membuat sajak dari menulis huruf kembang!” Diam diam Sia Hwa teringat akan Bun Sam yang pada pertemuan pertama kalinya dengan dia, telah membuat sajak perang yang menyeramkan! Memikirkan kelucuan pertemuan pertama kali itu, ia tertawa sendiri. “Kau takkan berhasil menebaknya, enci. Akan tetapi pertanyaanmu yang terakhir ini ada betulnya.”

“Jadi dia seorang ahli sastera yang lemah lembut?” “Bukan!”

“Ah, sudahlah, aku tak sanggup menerkanya, adik Lan Giok. Sekarang katakan saja, di mana dia? Apakah dia berada di tempat jauh?”

“Mau dikatakan jauh, ia jauh sekali. Disebut dekat   ia

memang dekat karena ia boleh di bilang suhengku sendiri.”

“Ah......... dia suhengmu sendiri? Murid Mo bin Sin kun?”

“Bukan pula,” Lan Giok menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Enci, kepada orang lain, biar mati aku takkan mau mengatakan hal ini. Akan tetapi entah mengapa, kepadamu aku takkan menyimpan rahasia. Orang yang disebut tunanganku itu sebenarnya memang sukar sekali kuanggap tunanganku. Ketahuilah bahwa biarpun dia itu sudah direncanakan untuk berjodoh denganku, akan tetapi dia sendiri belum tahu akan hal ini dan...... dan telah bertahun tahun dia menghilang tidak ada yang mengetahui ke mana perginya. Bahkan sampai sekarangpun, aku tidak tahu dia berada di mana. Oleh karena dia sendiri belum tahu tentang rencana perjodohan ini, mana bisa dia disebut tunanganku?”

Melihat wajah dara yang biasanya jenaka itu menjadi muram, Sian Hwa lalu memeluknya dan menghiburnya. “Lan Giok, biarpun ia belum tahu, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kalau ia sudah diberi tahu, ia tentu akan menyatakan setuju. Pemuda manakah yang akan dapat menolak seorang calon isteri seperti engkau?” Timbul pula kegembiraan Lan Giok dan kembali ia mencubit lengan Sian Hwa ketika mendengar godaan ini. “Ah kau bisa saja, enci. Akan tetapi, terus terang saja, agaknya sukar bagiku untuk menemukan seorang pemuda yang melebihi dia!”

“Kan cinta sekali kepadanya, bukan?”

Merahlah wajah Lan Giok, akan tetapi terhadap Sian Hwa, ia tidak begitu malu malu dan sungkan untuk mengaku. Ia menganggukkan kepala nya, lalu tertawa dan berlari lagi melanjutkan perjalanannya. Diam diam Sian Hwa ikut berbahagia melihat kegembiraan gadis ini. Ah, dia beruntung sekali, pikirnya. Memang berbahagia sekali ditunangkan dengan seorang pemuda yang menjadi pilihan hati. Tidak seperti dia, ditunangkan dengan paksa kepada seorang pemuda yang tidak dicintainya!

“Eh, mengapa kau belum memberitahukan mana tunanganmu itu kepadaku, adik Lan Giok? Siapa tahu kalau kalau aku sudah kenal dengan dia dan dapat memberitahukan kepadamu di mana dia berada pada waktu ini?” tanya Sian Hwa sambil berlari di samping Lan Giok. Murid Mo bin Sin kun ini sengaja memperlambat larinya, karena ilmu lari cepatnya memang sudah lebih tinggi daripada kepandaian Sian Hwa yang tidak melanjutkan pelajaran silatnya pada Pat jiu Giam ong.

“Namanya? Namanya Bun Sam, dia adalah murid dari Kim Kong Taisu.” jawab Lan Giok.

Sian Hwa merasa seakan akan kepalanya disambar petir. Pandangan matanya berkunang kunang dan ia terhuyung huyung ke depan, tak dapat menguasai kedua kaki lagi.

Baiknya Lan Giok berlaku cepat dan bermata awas. Dengan cepat sekali dara ini lalu menyambar tangan Sian Hwa, sehingga dapat mencegah kawannya itu roboh. “Enci Sian Hwa, kenapakah kau?” tanyanya penuh kekhawatiran. Karena betotan tangan Lan Giok dan seruan gadis init Sian Hwa dapat sadar kembali dan cepat ia menekan gelora yang membadai di dalam dadanya, ia menggigit bibir untuk mencegah runtuhnya air matanya.

“Aku....aku  kurang hati hati, tergelincir batu licin, Lan

Giok. Lepaskanlah, sebentar saja aku akan dapat menguasai kepeninganku kembali. Kau tahu     semenjak kutinggal di

kuil, kadang kadang datang kepeningan seperti ini…..” Ia lalu pergi duduk di bawah sebatang pohon, menyandarkan punggungnya pada batang itu dan memeramkan matanya, Lan Giok cepat menghampirinya dan jari jari tangan yang haluskan dara ini mengurut urut leher Sian Hwa dengan hati kasihan. Baiknya udara telah menjadi gelap, kalau tidak tentu Lan Giok akan melihat betapa pucatnya wajah Sian Hwa dan betapa dengan hati hati sekali Sian Hwa menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyapu bersih dua titik air mata dari pipinya.

Tiba tiba Sian Hwa tersenyum dan memeluk Lan Giok. “Maafkan aku adik Lan Giok. Aku mengagetkan kau saja Mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

“Kau benar benar tidak apa apa, enci Sian Hwa ? Tidak sakitkah badanmu? Kalau kau masih pusing, biar kita menunda saja perjalanan kita.”

Sian Hwa memaksa dirinya tertawa. “Tidak, adikku yang baik. Aku tidak apa apa. Sudah ku katakan bahwa kadang kadang memang datang serangan kepala pening seperti ini. Mari kita melanjutkan perjalanan kita.” Setelah mendapat kenyataan bahwa Sian Hwa benar benar tidak apa apa Lan Giok menjadi lega dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Karena merasa tidak enak kalau diam saja, sehingga mungkin mendatangkan kecurigaan pada Lan Giok, Sian Hwa lalu berkata sambil tersenyum. “Eh, adik Lan Giok, tadi aku sampai tidak mendengar keteranganmu. Bukankah aku tadi bertanya siapa nama tunanganmu dan aku tidak keburu mendengar jawabanmu karena aku keburu diserang kepeningan kepalaku.”

Tadinya memang Lan Giok sedang berpikir pikir dengan hati curiga dan tidak enak. Tadi ia memberitahukan nama tunangannya dan tiba tiba Sian Hwa terhuyung huyung. Apakah hubungannya nama tunangannya dengan kepeningan kepala Sian Hwa? Akan tetapi, kecerdikan Sian Hwa yang mengajukan pertanyaan itu sekaligus mengusir kecurigaannya dan iapun tersenyum ketika menjawab.

“Tadi aku sudah menjawab, enci Sian Hwa, akan tetapi agaknya kau tidak mendengarnya. Namanya Bun Sam murid Kim Kong Taisu dan kau juga pernah melihatnya ketika ia dahulu menghadapi bekas gurumu.”

“Oh, dia....?” Sian Hwa mengangguk angguk..”Ya, aku sudah melihatnya. Menurut pendapatku, memang dia cocok sekali menjadi jodohmu.”

Demikianlah, dengan amat pandainya, Sian Hwa membersihkan diri daripada kecurigaan Lan Giok dan perjalanan dilanjutkan dengan cepat.

Baiknya pintu gerbang kota raja sebelah barat masih terbuka dan nampak sunyi saja Akan tetapi alangkah kaget mereka ketika baru saja mereka masuk, dua sosok bayangan orang melompat dari balik pintu gerbang dan serta merta menubruk mereka! Tubrukan ini hebat sekali. Lan Giok yang lebih lihat cepat menggerakkan kedua tangannya menyampok bayangan itu dari kiri ke kanan, kedua lengannya beradu dengan lengan yang amat kuat, sehingga ia terhuyung dua tindak ke belakang. Akan tetapi bayangan yang menubruknya juga gagal dalam usahanya hendak menangkap gadis ini. Adapun Sian Hwa yang juga bermata jeli, tidak melihat lain jalan menghadapi tubrukan bayangan ke dua. Cepat gadis ini lalu menggunakan gerakan Trenggiling Turun Dari Gunung, menjatuhkan diri ke belakang lalu menggulingkan dirinya sampai dua tombak jauhnya. Biarpun rambutnya menjadi awut awutan dan pakaiannya menjadi kotor, namun Sian Hwa dapat menghindarkan diri dari orang itu.

Ketika kedua orang dara perkasa ini memandang, bukan main marah hati mereka karena ternyata bahwa yang berdiri di hadapan mereka adalah Gan Kui To dan Liem Swee! Tadi Kui To yang menyerang Lan Giok dan Liem Swee menubruk Sian Hwa.

“Kau....orang ahe Liem, tidak malukah kau melakukan hal serendah ini?” Sian Hwa membentak marah.

“Anjing sipit pemakan ular!” Lan Giok memaki sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah hidung Kui To. “Apa kau sudai bosan hidup?”

Liem Swee dan Kui To saling pandang sambil tertawa menyeringai, kemudian tanpa menjawab sesuatu mereka berdua lalu menubruk lagi. Kui To menyerang Lan Giok, sedangkan Liem Swee mendesak bekas sumoi dan tunangannya itu. Sian Hwa dan Lan Giok tentu saja menjadi makin marah dan mereka melawan mati matian.

Pertempuran yang terjadi antara Lan Giok dan Kui To benar benar seru dan hebat sekali. Kepandaian mereka setingkat dan biarpun Kui To telah mempunyai banyak sekali akal akal keji dan tipu tipu yang aneh di dalam pertempuran, namun karena Lan Giok memiliki ginkang yang luar biasa, sehingga tubuhnya demikian ringan seakan akan seekor burung walet yang terbang menyambar nyambar luar biasa gesitnya, maka sukarlah bagi Kui To untuk mengalahkan gadis ini. Apalagi ia telah tergila gila kepada Lan Giok, maka ia tidak tega untuk mempergunakan tipu keji yang kiranya berbahaya bagi nyawa gadis yang dirindukaanya itu. Sebaliknya, menghadapi Kui To, Lan Giok mendapatkan lawan yang setimpal. Gadis ini mengerahkan tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya dan karena nafsunya yang membuatnya nekat dan mati matian inilah yang membuat Kui To mulai terdesak mundur! Hal ini tidak aneh, Kui To menyerang dengan maksud menangkap Lan Giok dan mengalahkannya tanpa melukai berat gadis itu, sebaliknya Lan Giok menyerang dengan maksud membunuh pemuda yang dibencinya ini. Tentu saja keadaan yang berat sebelah ini menguntungkan Lan Giok.

Tidak demikian dengan keadaan Sian Hwa yang bertempur melawan Liem Swee. Dulu sebelum ia meninggalkan rumahnya dan masih belajar ilmu Silat bersama Liem Swee di bawah asuhan Pat jiu Giam ong memang terlihat kepandaiannya, yakni karena ia lebih menang dalam hal ginkang, boleh dikata lebih tinggi dan lebih lihai daripada Liem Swee. Akan tetapi, selama tiga tahun ia tidak mendapat tambahan pelajaran, sedangkan Liem Swee bahkan digembleng dengan sungguh sungguh oleh ayahnya, maka kini kepandaian Liem Swee tentu saja lebih tinggi. Sian Hwa mempergunakan pedangnya dan menyerang dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan tipu tipu serangan pedang yang paling lihai. Akan tetapi, tentu saja semua setangannya ini dikenal dengan baik oleh Liem Swee yang melayaninya dengan kim siang to (Sepasang golok emas) senjata yang amat diandalkannya. Juga seperti Kui To, Liem Swee tidak mau melukai Sian Hwa yang hendak ditangkapnya hidup hidup. Kalau ia bermaksud membunuh, kiranya belum sampai limapuluh jurus saja tentu Sian Hwa sudah roboh binasa. Apalagi Liem Swee selalu menyindir nyindirnya dan memperingatkannya tentang pedang yang dipegang oleh gadis itu.

“Sian Hwa, kekasihku yang manis, ternyata kau masih menaruh perhatian kepadaku. Kau masih belum lupa kepadaku, buktinya pedang Oei giok kiam tanda pertunangan kita masih kau simpan baik baik. Ah, tunanganku, mengapa kau tidak mau menurut saja? Marilah kita menghadap ayah ibuku ”

Sian Hwa menjadi sebal dan mendongkol sekali ia menyimpan pedang Oei giok kiam bukan sekali kali karena masih mengingat pertalian jodoh itu, hanya karena pedang itu adalah sebuah pedang mustika yang baik sekali dan ia memang membutuhkan senjata untuk menjaga diri, maka ia masih menyimpannya. Kini diejek dan disindir sindir oleh bekas suhengnya, ia menggigit bibirnya dan menyerang lebih hebat lagi.

Adapun pertempuran antara Lan Giok dan Kui To masih berjalan dengan bebatnya. Sekarang bahkan lebih ramai lagi karena masing masing telah mengeluarkan senjata. Tadinya kedua fihak mengandalkan kaki tangan saja karena memang keduanya ahli ilmu silat tangan kosong. Tetapi ketika Lan Giok yang menjadi marah dan gemas karena belum juga dapat merobohkan lawan segera mengeluarkan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu hwat yang bukan main hebatnya, Kui To menjadi sibuk juga. Harus diketahui bahwa ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu hwat ini adalah semacam ilmu pukulan yang Istimewa dan Lan Giok sekarang telah melatihnya dengan sempurna, maka pukulannya mendatangkan angin yang berputar putar, sehingga amat sukar diduga dari mana kepalan tangan dara perkasa itu akan menyerang. Pukulan biasa biarpun dihadapi oleh ahli silat tinggi dengan kedua mata ditutup, akan dapat dielak atau ditangkis hanya dengan mendengar dan merasakan datangnya angin pukulannya terlebih dulu. Akan tetapi tidak demikian dengan Soan hong pek lek jiu hwat. Ilmu pukulan ini mendatangkan angin yang berputar dan kepalan tangannya sendiri mendatangi dengan tiba tiba dan cepat bagaikan halilintar menyambar dan ditujukan di tempat yang sama sekali tak disangka sangka oleh lawannya.

Menghadapi ilmu pukulan yang terlihai dari Mo bin Sin kun yang kini dimainkan oleh Lan Giok, Kui To benar benar terdesak hebat dan terpaksa ia memainkan ilmu silat Tee coa kun (Ilmu Silat Ular) Ilmu silat ini oleh golongan ahli silat tinggi dipandang rendah dan tak seorangpun bu hiap (pendekar silat) sudi mempelajarinya karena sifat sifatnya yang amat rendah, ilmu silat ini sebagaimana dapat diduga dari namanya, dimainkan dengan tubuh menempel di atas tanah, seperti seekor ular dan kadang kadang merangkak rangkak seperti binatang kaki empat. Akan tetapi di dalam setiap gerakan ini, tersembunyi serangan serangan yang sifatnya amat curang. Memang untuk menghadapi Soan hong pek lek jiu hwat, ilmu Silat Tee coa kun ini tepat sekali. Tubuh Kui To seakan akan bertiarap dan pukulan yang dilancarkan oleh Lan Giok tidak tepat lagi. Angin pukulan yang tadinya berputar putar, kini menghadapi tubuh lawan di bawah, maka selalu terpental kembali kalau mengenai tanah, sehingga debu berhamburan.

Sebaliknya Kui To melakukan cengkeraman dan tangkapan dari bawah yang ditujukan kepada kedua kaki Lan Giok, sehingga gadis ini merasa jijik dan ngeri sekali. Kalau kakinya sampai terpegang, alangkah malu dan jijiknya, pikirnya. Oleh karena itu maka Lan Giok tiba tiba mengeluarkan senjatanya yang disebut Gin sam Kim ciam yakni sepasang senjata yang amat berlainan macamnya. Di tangan kirinya memegang sebatang kipas lebar yang gagangnya terbuat daripada perak dan ujung gagang itu runcing. Tangan kanannya memegang sebatang jarum panjang kira kira dua dim dan besarnya sebesar jari tangan. Ketika Mo bin Sin kun memperlihatkan berbagai senjata aneh untuk dipelajari, Lan Giok sengaja memilih senjata senjata ini, karena selain mudah disimpan, juga dianggapnya praktis!

Kini Lan Giok mengebaskan kipasnya ke bawah. Debu mengebut bagaikan ditiup dan mengebutnya bukan sembarangan saja, melainkan tepat meniup ke arah muka Kui To. Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat berdiri, akan tetapi Kim ciam atau jarum emas yang berada di tangan kanan Lan Giok menyambutnya dengan sebuah totokan kuat ke arah jalan darah di lehernya. Kembali Kui To terpaksa merebahkan diri dan sekali lagi disusul oleh kebutan kipas. Inilah ilmu serangan yang disebut Hok thian hok tee (Membalikkan Bumi dan Langit). Gan Kui To benar benar sibuk sekali sehingga serangan bertubi tubi yang susul menyusul dari atas dan bawah itu membuat ia berjungkir balik dan berputar putaran. Akhirnya Kui To tak dapat menahan, sambil mengeluarkan suara seperti seekor binatang buas terluka ia lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tongkat kecil berwarna hitam yang tadinya diselipkan di belakang baju bagian punggungnya.

Kiai pertempuran menjadi lebih sengit lagi dan tongkat kecil di tangan Kui To itu sungguh hebat, gerakan gerakannya seperti ekor ular hidup yang sukar sekali diduga. Biarpun kipas dan jarum Lan Giok cukup lihai, namun ternyata kedua senjata ini tidak dapat menembus cahaya kehitaman dari tongkat itu, sebaliknya tongkat Kui To mendesak dengan hebat.

Betapapun juga, Lan Giok benar benar boleh dipuji karena dara ini sama sekali tak gentar menghadapi lawannya dan sekiranya tidak terjadi sesuatu, dalam dua ratus jurus saja belum tentu Kui To akan dapat mengalahkannya. Sudah dua kali Kui To menggertak disertai tenaga batin yang bedasarkan hoatsut (ilmu sihir), akan tetapi Mo bin Sin kun yang sudah menjaga akan hal ini, telah memberi latihan lweekang dan ilmu batin yang cukup kuat kepada Lan Giok, sehingga hal itu tidak berpengaruh sesuatu terhadap dara ini.

Akan tetapi, tiba tiba tedengar Sian Hwa menjerit marah ketika pedang gadis ini terpukul jatuh oleh golok Liem Swee dan diikuti oleh suara ketawa pemuda she Liem ini, Sian Hwa dapat di ringkus dan di totok jalan darah nya yang membuat gadis ini menjadi lemas tak berdaya lagi.

Mendengar jeritan Sian Hwa, Lan Giok menengok dan gadis ini menjadi marah, terkejut dan juga khawatir sekali. Liem Swee telah meninggalkan Sian Hwa yang rebah tak bergerak di atas tanah, kemudian putera Pat jiu Giam ong ini membantu Kui To mengeroyok Lan Giok. Ilmu kepandaian Liem Swee hanya kalah sedikit saja oleh Kui To dan boleh dibilang berimbang dengan kepandaian Lan Giok, maka tentu saja kini Lan Giok menjadi sibuk sekali. Ia melawan mati matian, akan tetapi tetap saja ia terkurung oleh sepasang golak Liem Swee dan terancam oleh tongkat di tangan Kui To. Baiknya kedua orang pemuda itu tidak ingin membunuhnya, maka ia masih dapat bertahan.

Namun percuma saja Lan Giok melawan mati matian. Akhirnya, sepasang golok Liem Swee menahan kipas dan jarumnya dan pada saat ia mengadu tenaga dengan putera Pat jiu Giam ong itu, tanpa dapat ia elakkan lagi ujung tongkat Kui To telah berhasil menotok jalan darah di punggung nya. Terlepaslah kedua senjata itu dari tangan Lan Giok dan gadis ini terhuyung huyung, ia cepat mengerahkan lweekangnya untuk membebaskan diri nya dari pengaruh totokan, namun Kui To telah mengejarnya dengan lain totokon yang lebih lihai.

Baiknya Lan Giok teringat akan kakaknya, maka sebelum ia roboh oleh totokan kedua, ia masih sempat mengeluarkan jeritan yang nyaring sekali seperti suara ayam hutan, yakni tanda bahaya bagi Thian Giok.

Liem Swee dan Kui To girang bukan main setelah berhasil merobohkan dua orang dara perkasa yang cantik jelita dan yang mereka rindukan itu.

“Kita harus ikat mereka, kalau tidak totokan itu takkan dapat bertahan lama bagi mereka yang telah memiliki lweekang tinggi,” kata Kui To. Maka kedua gadis itu lalu diikat erat erat dengan tali sutera hitam yang dikeluarkan oleh Kui To dari saku bajunya. Kemudian sambil tertawa tawa kedua pemuda itu memondong tubuh gadis pujaan masing masing dan pergi dari situ setelah memesan kepada para penjaga pintu gerbang supaya berjaga dengan hati hati. Para penjaga itu tentu saja kenal baik kepada kedua pemuda ini, maka mereka hanya tersenyum simpul dan saling betkejap dengan sinar mata penuh arti.

Thian Giok sedang memikirkan ke mana perginya Lan Giok sehingga tidak terlihat di dekat pintu gerbang sebelah selatan sebagaimana yang mereka janjikan, ia merasa amat cemas dan menanati di tempat gelap. Tiba tiba ia mendengar pekik ayam hutan itu dan terkejutlah pemuda ini. Cepat ia menghampiri arah suara itu terdengar dan sambil bersembunyi sembunyi di dalam gelap, ia melihat dua sosok bayangan orang yang memanggul tumbuh seorang wanita dan seorang pemuda yang sebagai adiknya, 

Lan Giok yang berpakaian laki laki, maka bukan main cemasnya. Apalagi ketika ia mengenal dua orang laki laki yang memanggul dua orang gadis itu.

Thian Giok adalah seorang pemuda yang cerdik, ia tidak mau main serampangan saja. Ia maklum bahwa kalau ia menggunakan kekerasan, belum tentu ia akan dapat menang menghadapi dua orang pemuda murid Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, sedangkan untuk menghadapi satu lawan saja belum tentu ia dapat menang. Maka diam diam ia mengikuti dua orang yang membawa lari adiknya dan seorang gadis yang sampai saat itu belum dikenalnya siapa adanya itu, oleh karena malam gelap dan Liem Swee serta Kui To berjalan cepat sekali.

Ternyata bahwa Kui To dan Liem Swee membawa dua orang gadis tawanan mereka itu ke sebuah rumah kecil mungil yang berada di jalan yang sunyi, yakni rumah pribadi dari Liem Swee yang dijadikan tempat ia bersenang senang di luar gedung ayahnya. Rumah ini hanya terjaga oleh seorang kepercayaannya dan ketika kedua orang pemuda ini masuk membawa dua orang nona itu, penjaga yang sudah tua ini tersenyum menyeringai. Hal seperti ini tidak aneh baginya, karena memang ia mengenal Liem Swee sebagai seorang pemuda hidung belang, akan tetapi yang royal sekali dalam membagi hadiah hadiah, juga kepadanya.

Dengan ginkangnya yang sudah tinggi, Thian Giok dapat meialui penjaga tua itu dan mengintai dari atas genteng, ia hendak mencari kesempatan baik untuk menolong adiknya dan nona berbaju putih itu.

Dilihatnya Liem Swee dan Kui To duduk menghadapi meja sambil minum arak, memberi selamat kepada mereka sendiri yang sudah berhasil menawan nona nona yang mereka rindukan itu. “Ha, ha sekarang kau dapat minta kepada ayahmu untuk merayakan pernikahanmu dengan kekasihmu, Liem sute!” kata Kui To. Liem Swee adalah putera dan dari murid Pat jiu Giam ong yang menjadi susioknya (paman gurunya) karena Pat jiu Giam ong adalah sute (adik seperguruan) dari suhunya, yakni Lam hai Lo mo, oleh karena itu Liem Swee masih terhitung adik seperguruannya.

Akan tetapi Liem Swee menggeleng gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin, suheng. Kau tentu saja akan mendapat perkenan suhumu untuk segera merayakan pernikahanmu dengan nona murid Mo bin Sin kun itu, akan tetapi bagiku tak mungkin. Ayahku telah melarangku untuk melakukan sesuatu yang sifatnya bermusuhan atau mengganggu murid murid Mo bin Sin kun sebelum pertandingan pibu dilakukan. Ayah sangat keras dan menjaga nama, maka tentu saja ayah tidak akan suka memberi izin kepadaku untuk melakukan kekerasan. Baiknya diam diam kita sembunyikan saja kekasih kita itu di sini dan penawanan ini sama sekali jangan sampai diketahui oleh ayah atau oleh suhumu sekalipun. Aku tahu watak supek, ia takkan dapat menyimpan rahasia dan akhirnya tentu akan terdengar oleh ayah pula.”

Kui To mengangguk angguk. “Baik, baik, sute. Aku mengerti. Lebih baik lagi kita bersenang senang di sini diam diam saja, itu lebih menggembirakan. Ha, ha, ha! Terdengar tertawanya yang nyaring dan menyeramkan.

Mendengar percakapan ini, Thian Giok cepat melompat pergi dari atas genteng.

“Liem sute seperti ada orang di atas!” teriak Kui Te dan tubuhnya cepat melayang keluar melalui jendela, disusul oleh Liem Swee. Adapun Lan Giok dan Sian Hwa yang rebah di atas dipan dapat mendengar semua percakapan ini. Mereka berdua tadi telah mengerahkan ilmu lweekang mereka dan berhasil membebaskan diri daripada pengaruh totokan akan tetapi betapapun mereka berdaya melepaskan ikatan kaki tangan mereka, sia sia saja. Ikatan itu erat sekali dan tali pengikatnya terbuat daripada sutera yang terpilih dan memang khusus disediakan oleh Kui To. Mereka tak berdaya sama sekali dan hanya diam diam mengambil keputusan untuk melawan mati matian kalau mereka dipermainkan.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar