Pedang KIRI Pedang KANAN Jilid 07

Jilid 7

Baru sekarang Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan melirik Peng-say sekejap, lalu katanya kepada Liok-ma: "Dan dia. . . .dia bagaimana?”

"Soat-kongcu sudah berduduk sekian lamanya didalam kolam, kukira lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya dan sekarang bolehlah berdiri," kata Liok-ma.

"Sau Tiong dan Sau Coan, lekas kalian melayani Soat-kongcu berpakaian, aku dan Siocia berangkat lebih dulu.”

Segera Siau Li menggendong lagi Sau Kim-leng dan ikut keluar gua bersama Liok-ma. Di dalam gua sekarang tiada orang perempuan lagi, Peng-say lantas melompat keluar kolam, ia coba mengatur napas dan melemaskan otot, rasanya memang sudah hampir sehat seluruhnya. Iapun tidak minta dilayani Sau Tiong dan Sau Coan, ber-gegas2 ia berpakaian sendiri. Setelah Peng-say bersama Sau Tiong dan Sau Coan sampai di Leng-hiang-cay, sementara itu santapan yang tersedia sudah hampir dingin, tapi sebelum Peng-say bersantap, lebih dulu ia lantas menanyai Ang-hayji: "Di mana Lolo?”

"Lolo dan Kokoh (bibi) sudah dahar, mereka berada di atas loteng," jawab Ang hay-ji.

Peng-say mengangguk, tampa bicara lagi ia terus menuju ke atas. "Hei, engkau belum makan"!" seru Ang-hay-ji.

"Aku tidak lapar, makan nanti saja," sahut Peng-say walaupun perutnya sudah berkeruyukan.

Rupanya dia menguatirkan keselamatan Cin Yak-leng, maka ingin tanya Liok-ma apakah Yak-leng sudah mendusin dan sudah makan atau belum.

Waktu Cin Yak-leng hendak tidur, wajahnya kelihatan meriang, setelah sekian lama tak dijenguk, ia menjadi kuatir. Maka dengan langkah ter-gesa2 ia mendatangi kamar tidur Sau Kim-leng.

Dari jauh sudah didengarnya suara kecapi, waktu masuk keruangan panjang sana, ia menjadi terkesima oleh suara kecapi yang mengalun merdu, tanpa terasa ia berhenti dan mendengarkan dengan cermat, suara kecapi itu jelas berkumandang dari kamar tidur Sau Kim-leng.

Agaknya Peng-say mempunyai bakat seni, setelah mendengarkan sejenak, tahulah dia Sau Kim-leng sedang memetik lagu berdasarkan isi Si-keng (kitab bersyair) yang berjudul "Tho-yau". Syair ini mengisahkan seorang gadis yang sudah cukup umur dan sedang berahi, tapi sebegitu jauh belum lagi mendapatkan jodoh, maka tercetuslah perasaannya melalui lagu ini untuk menghibur hatinya yang haus cinta.

Syair itu terdiri dari tiga bait, sampai sekian lama Pengsay mendengarkan dan ternyata bolak-balik Sau Kim-leng hanya mengulangi bait lagu ini. Diam2 ia merasa geli, pikirnya: "Kelihatannya nona Sau ini malu2 kucing, tak tersangka iapun berani memetik lagu yang bernada minta kawin ini.”

Se-konyong2 terpikir olehnya mengapa si nona bolakbalik membawakan lagu itu melulu, jangan2 sengaja diperdengarkan kepadanya.

Pada saat itulah mendadak pintu kamar terbuka, Liokma melongok keluar dan menyapa dengan tertawa: "He, kiranya Soat kongcu sudah datang.”

Suara kecapi seketika berhenti juga begitu mendengar Soat Peng-say sudah datang. Mendingan kalau si nona tidak memutus petikan kecapinya. karena berhenti mendadak, hal ini malah kelihatan belangnya, tandanya dia malu untuk memetik lagi lagu itu.

Diam2 Peng-say membatin: "Waktu di Ciok-leng-tong, dia malu2 dan jarang bicara. Tapi sekarang dia memaparkan perasaannya melalui suara kecapi. jelas dia sangat suka menjadi isteriku. Jika sebentar Liok-ma langsung mengajukan persoalan ini kepadaku, lalu cara bagaimana harus kujawabnya?”

Mendadak didengarnya Liok-ma sedang menegur: "He, kau melamun apa" Mau masuk tidak?”

Peng-say terkejut dan cepat menjawab: "Mau, mau masuk!" " Segera ia melompat masuk ke dalam kamar.

Liok-ma menggeleng kepala, katanya: "Kenapa terburu2. masa kututup pintu dan mengalangi kedatanganmu?”

Peng-say menyengir. Tanyanya kemudian: "Dimanakah adik perempuanku?”

"Ingin kutanya dulu sesuatu padamu, coba bagaimana jawabmu, jangan terburu tanya adikmu," kata Liok-ma.

Terkesiap hati Peng-say, benar juga segera Liok-ma membicarakan tentang perjodohannya dengan Sau Kimleng, katanya: "Ingin kutanya padamu. kau suka kawin dengan Siau Leng atau tidak" Mengenai Siau Leng, dia sudah pasrah padaku. Bahwa da menyerahkan soal yang kutanyakan ini padaku, jetas dia sudah mau. Tinggal kau, hendaklah kau jawab terus terang. Kita sama2 orang yang suka blak2an dan tidak perlu bicara secara ber-tele2. Kalau mau bilang mau. tidak mau ya katakan tidak mau.”

Tentu saja Peng-say serba susah, jawabnya dengan gelagapan: "Ini .... ini .... “

"Tidak perlu ini atau itu," bentak Liok-ma mendadak dengan mendelik. "Kau tidak mau, begitu?”

"Tapi perjodohan adalah urusan penting, harus dipertimbangkan dengan baik dan tidak boleh diputuskan secara gegabah," kata Peng-say.

Liok-ma menjadi tidak tenang, ucapnya: "Apa yang perlu dipertimbangkan lagi" Apa kau takut?”

Peng-say meleogak, belum lagi ia paham apa arti ucapan nenek itu, dilihatnya Siau Tho melangkah keluar dan berkata: "Lolo, Siocia bilang boleh memberi kesempatan padanya untuk dipertimbangkan dan jangan memaksanya.”

"Masa kupaksa dia?" kata Liok-ma. "Rejeki nomplok begini, siapa yeng tidak mau" Bila seorang pemberani, mungkin kontan akan menjawab ya dan kuatir terlambat memberi jawaban. Hanya manusia pengecut saja yang suka ragu2 dan sangsi2, pakai pertimbangan segala.”

"Kukira ucapanmu ini kurang tepat?" ujar Peng-say.

"Apa" Tidak tepat?" kontan si nenek mendelik pula.

"Hm, jelas kau takut bila menikah dengan Siau Leng, tentu Ciamtay Boh-ko akan mencari perkara padamu, kalau tidak masa kau ragu2. Untuk ini. biarlah Liok-ma memberi jaminan padamu, kutanggung bocah itu takkan merecoki kau. Kau boleh menjadi majikan Pak-cay kami dengan aman sentosa, hidup bahagia seumur hidupmu.”

Rupanya Liok-ma mengira Soat Peng-say bernyali kecil dan takut pada Ciamtay Boh-ko, maka dia memberi garansi penuh. Peng-say tidak mau membantahnya, ia pikir bila aku suka, boleh kukawin secara resmi dan terang2an, memangnya siapa yang kutakuti" Apalagi kalau aku kawin dengan Sau Kim-leng, jelas akan membikin buntu pikiran sesat Ciamtay Boh-ko, betapapun dia takkan paksa adik perempuannya yang sudah kawin dengan orang lain untuk bercerai dan kawin lagi dengan dia sendiri?”

Berpikir demikian, ia merasa jalan pikirannya ini sangat bagus dan akan bantu memecahkan kesulitan orang lain, dengan simpati ia lantas berseru: "Nona Sau, apabila kau sudah kawin, tentu Ciamtay Boh-ko takkan merecoki kau lagi dan kaupun tidak perlu kuatir akan dipaksa ikut pulang ke Tang-hay."“

Di dalam kamarnya, Sau Kim-leng merasa ucapan Peng say itu masuk di akal, diam2 hatinya bergirang.

Supaya maklum, di jaman dahulu, perempuan yang berusia 15 sudah cukup umur untuk kawin. Bila berunur 20 dan belum menikah, maka akan dianggap perawan tua dan akan menimbulkan omongan iseng tetangga, bila disangka kelakuannya tidak baik atau mukanya jelek segala.

Kini umur Sau Kim-leng sudah lewat 20. sudah lima tahun masa jodohnya dilalui dengan hampa, ia menjadi sedih bila dirinya tidak lekas2 menikah, bisa jadi akan ditertawai orang. Cuma penilaiannya terlalu tinggi, selama ini belum ketemu jodoh yang cocok. Baru tahun yang lalu secara kebetulan ia penujui Cin Yak-leng yang cakap. maka tergodalah hatinya. Siapa tahu kekasihnya itu adalah jejaka gadungan.

Tentu saja ia sangat kecewa dan sedih, entah kapan baru akan menemukan jodoh yang setimpal. Setelah bergaul setengah hari dengan Soat Peng-say, ia merasa anak muda ini berhati jujur dan simpatik, banyak segi2 baiknya, apalagi dia adalah Soat Peng-say yang tulen, bukan Soat Peng-say gadungan. Karena itulah hatinya yang tergoda oleh Peng-say gadungan itu lantas beralih kepada Peng-say yang tulen.

Waktu Liok-ma mengusulkan agar Soat Peng-say menikahi dia, mendadak timbul semacam perasaan kuat bahwa dia harus kawin dengan orang ini, karena itulah dalam hati ia sudah setuju seratus persen. Setelah pulang ke kamarnya, melalui suara kecapi diulanginya perasaannya itu. Perempuan kalau besar harus kawin. dia melambangkan perasaannya melalui suara kecapi, ini bukannya dia tidak dapat mengekang diri, melainkan semacam tanda minta kawin yang normal.

Semula ia kuatir Soat Peng-say tidak sudi menikahinya, tapi sekarang didengarnya anak muda itu menyuruh dia jangan kuatir, ia sangka ucapan Peng-say itu berarti anak muda itu sudah setuju untuk kawin dengan dia, dengan sendirinya ia kegirangan.

Maka dengan malu2 ia menjawab: "Soat . . . Soat-long, ucapanmu betul juga ... . " nyata, tanpa terasa ia telah menyebut Peng-say dengan sebutan "long" (sebutan isteri pada suami atau kekasih).

Liok-ma lantas tertawa, katanya: "Nah, Kongcu dengar tidak?”

Karena hati Peng-say tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, ia tidak tahu dimana letak keistimewaan sebutan "Soat-long" itu, maka dengan ke-tolol2an ia menjawab: "Dengar apa?”

Dengan mendongkol Liok-ma mengomel: "Dungu, Siau Leng sudah ganti sebutan padamu, masa kau tidak tahu”

Menurut pendapatku, jika perkawinan dapat menghilangkan maksud buruk Ciamtay Boh-ko, nah, kenapa tidak cepat kalian laksanakan saja. Gembleng besi mumpung panas, bagaimana kalau kita langsungkan saja hari ini juga"!”

"Apa katamu?" seru Peng-say terkejut. "Ini.... ini ....

mana boleh jadi!”

Ya dongkol ya bingung Liok-ma, sungguh sukar dimengerti ada lelaki aneh begini, ada rejeki nomplok tidak mau, disodori gadis cantik malah menolak. Segera ia bertanya dengan gusar: "Eh, coba kau bicara yang jelas, sesungguhnya kau mau kawin dengan Siocia kami atau tidak?" Soat Peng-say sendiri sebatangkara, tidak punya sanak tidak punya kadang, tidak punya rumah tidak punya gudang, kawin dan berumah tangga sebenarnya adalah idamannya, tapi dalam hati kecilnya terasa ada sesuatu perasaan enggan yang sukar dijelaskan, maka ia menjadi ragu2 dan menjawab dengan tergagap: "Aku .... aku tidak tahu ....”

"Apa katamu" Kau tidak tahu?" teriak Liok-ma. "Sialan! Lelaki macam apa kau ini" Kau kan bukan anak kecil, masa urusan perjodohan sendiri kau bilang tidak tahu?”

"Aku .... aku .... “

"Aku apa" Berani bilang tidak mau, segera kubunuh kau!" bentak Liok-ma sebelum lanjut ucapan Peng say.

Sungguh lucu dan janggal Masa "ulam mencari sambal", masa ada perempuan mencari lelaki dan memaksanya kawin. "Liok-ma," tiba2 Sau Kim-leng yang berada di dalam kamar berseru, "sudahlah kalau dia tidak mau, biar ....biarkan dia pergi saja . . . ." Sampai kata terakhir itu, suaranya kedengaran pedih dan tersedan-sedu.

Peng-say tidak tahan mendengar tangisan perempuan, dengan menyesal ia berkata: "Nona Sau, bukanlah aku tidak mau melainkan karena aku tidak dapat ....”

"Mengapa tidak dapat" Karena aku cuma seorang perempuan yang tak berguna?" sela Kim-leng.

"O, tidak, bukan begitu," jawab Peng say.

"Tapi. . .tapi akupun sukar memberi penjelasan. . . .”

Liok-ma menjadi murka, bentaknya: "Anak busuk, plintat-plintut, kalau tidak mau, lekas enyah!”

"Dan adik perempuanku?" tanya Peng-say dengan bersitegang, "Siapa urus adikmu, lekas enyah, lekas pergi!" bentak Liok-ma pula. "Jika tidak lekas enyah, biar pun nanti didamperat Siocia juga akan kubunuh kau.”

Segera Peng-say pasang kuda2 dan melintangkan tangan di depan dada, katanya pula dengan tegas "Di mana adik perenpuanku?”

"Anak keparat, kau benar2 sudah bosan hidup!" teriak Liok-ma dengan gemas, kontan telapak tangannya menabas secepat kilat. Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan Pak-cay terhitung juga ilmu silat yang termashur didunia persilatan walauoun tidak sehebat ilmu pedangnya.

Liok-ma sudah mendapatkan ajaran Ciang-hoat selengkapnya, maka daya serangannya tidak kepalang dahsyatnya, pukulan demi pukulan bertambah cepat laksana angin puyuh menyapu daun rontok dan sangat mengejutkan lawan.

Soat Peng-say belajar Ciang-hoat melalui Siang-jing-pitlok, sebuah kitab pusaka yang memuat seluruh ilmu silat Bu-tong-pay kecuali ilmu pedang. Ciang-hoat yang terdapat di dalam kitab itu tidak lebih asor daripada Ciang-hoat gaya Pak-cay. Cuma keuletan Peng-say yang selisih jauh di bandingkan Liok-ma, dengan sendirinya terjadilah perbedaan kekuatan pukulan yang menyolok.

Sedapatnya Peng tay mematahkan beberapa kali pukulan si nenek, ketika angin pukulan lawan mulai mengurung dirinya, gerak-geriknya menjadi lamban dan tidak sanggup menangkis dan balas menyerang lagi.

Dengan suatu gerak pancingan, Liok-ma membuat Pengsay kerepotan, menyusul sebelah tangannya lantas mencengkeram, Peng-say ditawannya hidup2 dan diangkat ke atas, segera pemuda itu hendak dibantingnya hingga hancur. Untunglah pada saat itu juga Sau Kim-leng melangkah keluar, dengan air mata meleleh ia berseru: "Jangan melukai dia, Liok ma!”

"Anak busuk ini terlalu tidak tahu diri, kau malah melindungi dia?" omel Liok-ma dengan penasaran. "Biar kubanting dia hingga setengah mati, lalu suruh dia enyah dari sini dengan merangkak!”

"Tidak, jangan," ucap si nona Lalu ia bertanya: "Di manakah adik perempuannya?”

"Sejak tadi2 sudah pergi sendiri," jawab Liok-ma.

"Lepaskan dia, biarkan dia pergi juga," kata Sau Kim-leng.

Tapi Liok-ma tidak mau menurut.

Kim-leng menjadi gusar; "Dengar tidak, Liok-ma?”

Tidak kepalang gemas Liok-ma, ia lemparkan Soat Pengsay ke sana, cuma tidak berani menggunakan tenaga berat.

Maka sekali melejit di udara. dapatlah Peng-say berdiri tegak di tanah.

"Huh, tanpa pedang, ilmu silatmu tiada ubahnya seperti anak kecil umur tiga, tidak tahan sekali pukul!" demikian Liok-ma sengaja mengejek. "Tapi sekalipun kau pakai pedang, yang kau mainkan juga ilmu pedang Pak-cay kami, ilmu silatmu yang asli tiada berguna sama sekali. Untung Siau Leng tidak jadi kawin dengan kau, jika jadi, kalau ada apa2 mungkin kaupun tidak mampu membela isteri sendiri.

Maka lebih baik cepat merat dari sini, belajarlah beberapa tahun lagi baru nanti perlihatkan lagi kepandaianmu kepadaku.”

Peng-say menahan rasa malunya karena telah keok, ia tanya pula: "Di manakah adik perempuanku?”

"Apa kau tuli?" damperat Liok-ma. "Kan sudah kukatakan dia telah pergi sendiri"!”

"Dia benar2 pergi sendiri?" Peng-say menegas dengan sangsi.

"Kalau justa aku . . . . " mendadak si nenek tidak melanjutkan.

"Aku apa?" Peng-say menegas.

Liok-ma berlagak tidak sabar dan berteriak "Sudahlah, lekas enyah, percaya atau tidak terserah padamu Adikmu kan bukan mestika berharga, untuk apa kusembunyikan dia?" Peng-say manggut2, gumannya: "Ya, benar juga, kalau adik Leng tinggal disini hanya akan menghabiskan nasi saja. Kalau dia sudah pergi, harus lekas kususul dia.”

Habis berkata, tanpa pamit ia terus melangkah pergi dengan cepat. Ketika lalu di samping Sau Kim-leng, ia pura2 tidak menghiraukannya, pada waktu Liok-ma lengah, mendadak tangannya membalik dan berhasil mencengkeram Sau Kim-leng.

Karuan Liok-ma terkejut dan membentak: "Kau cari mampus"!”

"Tetap di tempat, jangan maju!" bentak Peng-say dengan bengis.

Gemertuk gigi Liok-ma saking gemasnya, damperatnya: "Anak busuk, berani kau ganggu Siau Leng, kubeset kulitmu dan betot uratmu!”

Tapi iapun tidak berani sembarangan bertindak demi melihat air muka Peng-say yang beringas itu.

Anak muda itu masih tetap dengan pertanyaan tadi: "Di manakah adik perempuanku?”

Liok-ma meraung: "Keparat, harus berapa puluh kali kuulangi perkataanku?”

"Menuruti watakmu yang keras, tidak nanti kau bebaskan adik Leng dengan begitu saja," ujar Peng-say.

"Pula, adik Leng juga takkan pergi sendiri tanpa menunggu aku.”

"Aku bersumpah bahwa dia tidak berada disini," teriak Liok-ma. "Jika dia masih terdapat disini, asal kau temukan, biar Lolo merangkuk di tanah dan menyembah seribu kali padamu." "Tadi mengapa kau tidak berani sumpah. Kalau kau berdusta bagaimana?" jengek Peng-say.

"Kalau kubilang dia sudah pergi ya sudah pergi, bila dusta anggap Lolo ini piaraanmu!" jawab si nenek dengan mendongkol.

"Dia pergi sendiri?" Peng-say menegas.

"Sudah tentu pergi sendiri, memangnya harus kuantar?”

jawab Liok-ma. "Kalau dusta"“

"Kalau dusta aku .... "mendadak si nenek tidak melanjutkan.

Segera Peng-say perkeras cengkeramannya pada bahu Sau Kim-leng sambil membentak dengan bengis: "Kalau dusta bagaimana"'* Karena dirinya digunakan sebagai sandera, tindakan Peng-say ini membuat pedih hati Sau Kim-leng dan mencucurkan air mata, sekarang pemuda itu malah sampai hati menyakiti lengannya, meski rasanya tulang lengan se-akan2 remuk, tapi sekuatnya Kim-leng bertahan dan tidak merintih. ia malah berkata dengan sedih "Soat-long, lebih baik kau bunuh saja diriku . . . .”

"Memangnya kau kira aku tidak berani membunuhmu?”

kata Peng-say dengan garang "Hm, kalau Liok-ma tidak mengaku terus terang, tentu kubunuh kau.”

"Kau berani?" bentak Liok-ma.

"Kenapa tidak" Paling aku mati bersama dia!" jawab Peng-say dengan angkuh.

Mendadak Sau Kim-leng tersenyum, katanya: "Soatlong, bunuhlah diriku, aku rela mati di sampingmu dan suruh Liok-ma mengubur kita menjadi satu.”

Peng-say melengak, jawabnya kemudian sambil menggeleng: "Tidak, aku tidak mau mati bersama kau, kau ingin mati boleh mati sendirian.”

"Tapi kalau kau bunuh diriku, tentu Liok-ma takkan melepaskan kau, dia pasti akan mematuhi kehendakku, setelah membunuh kau lalu mengubur kita menjadi satu liang," ujar Kim-leng.

Di balik ucapannya itu jelas ia ingin menyatakan: 'bila hidup tidak dapat bersatu ranjang, biarlah mati bersatu liang'. Peng-say tidak menyangka bahwa hanya dalam waktu satu hari sesingkat ini si nona telah menaruh perhatian sedemikian besar padanya. Mau-tak-mau terharu juga hatinya, katanya dengan menyesal: "Aku takkan membunuh kau, aku cuma minta Liok-ma bicara sejujurnya.”

"Apa yang dikatakan Liok-ma memang betul," ujar Kim-leng. "Adik perempuanmu memang sudah pergi, tadinya dia tidur di kamarku, sekarang sudah tidak ada lagi.

kutanya Siau Tho, dia juga bilang adikmu sudah pergi.”

"Tapi dia tidak pergi sendirian!" kata Peng-say.

"Darimana kau tahu?" tanya Kim-leng.

"Mengapa Liok-ma hanya berani bersumpah bahwa dia sudah pergi. tapi tidak berani bersumpah dia pergi sendirian" Jelas dia tidak pergi sendirian, tapi pasti ada sebab lain. Untuk itulah aku ingin tanya dengan lebih jelas.”

"Cermat juga kau," ujar Kim-leng. "Ingin kutanya padamu, mengapa kau sedemikian memperhatikan dia”

Apakah dia benar2 adikmu?”

"Adik perempuan sendiri sudah tentu harus diperhatikan.”

"Kalian saudara sekandung?”

"Bukan. dia Pau-moayku (adik misan).. . .”

"Pantas dia sering memandangmu dengan sorot matanya yang luar biasa, pantas juga kau begini memperhatikan dia.

Apakah kau tahu dia sangat mencintai kau?”

Peng-say menggeleng dan menjawab: "Aku .... aku tidak tahu ...”

"Dan tahukah kau bahwa kau sendiripun sangat mencintai dia?"' tanya Kim-leng pula dengan hati pilu.

Dengan bingung Peng-say menjawab pula: "Entah, aku ....

aku tidak jelas. . . .”

Remuk rendam hati Sau Kim-leng, katanya: "Baru sekarang kutahu apa sebabnya kau bilang tidak dapat mengawini aku. kiranya kau jatuh cinta kepada Piaumoaymu tanpa kau sadari sendiri, hanya dalam hati kau merasa tidak dapat kawin denganku, meski kau tahu sebabnya, tapi sukar menjelaskan, kau cuma tahu tidak betul jika kawin dengan aku. Dalam hatimu hanya terdapat Piao-moay seorang. Bolehlah kau pergi mencari Piaumoaymu! Liok-ma, beritahukan duduknya perkara, tidak boleh berdusta.”

"Piaumoaynya telah pergi bersama Ciamtay Boh-ko, memang betul tidak pergi sendirian," tutur Liok-ma.

"Apa" Mengapa dia pergi bersama Ciamtay Boh-ko?”

tanya Peng-say dengan terkejut.

"Dilihatnya Ciamtay-kongcu sangat cakap, maka dia lantas ikut pergi bersama dia," jengek Liok-ma.

"Kau dusta! Kau bohong!" bentak Peng-say.

Melihat betapa gelisahnya anak muda itu, sukar diucapkan rasa kecut hati Sau Kim-leng, dia sengaja berkata: "Ciamtay Boh-ko memang cakap dan ganteng, ilmu silatnya juga kelas pilihan apa tidak baik dia berjodohkan Piaumoaymu?”

"Tidak baik, ya tidak baik," seru Peng-say sambil meng-geleng2.

"Tapi apa daya, Piaumoaymu sendiri yang penujui dia,”

ujar Kim-leng. "Tidak, aku tidak percaya!" Peng-say tetap ngotot.

"Berdasarkan apa kau tidak percaya?" Kim-leng sengaja membakarnya. "Kau kira Piaumoaymu akan mencintai kau dengan sepenuh hati" Tahukah kau hati manusia itu tidak kenal apa artinya puas" perempuan yang beriman tidak teguh, bila ketemu lelaki yang lebih baik daripadamu, segera dia akan meninggalkan dirimu, seperti halnya Piaumoaymu....”

"Piaumoayku kenapa?" bentak Peng-say dengan melotot dan beringas.

Kim-leng sengaja hendak membikin sedih hati Peng-say, bilamana anak muda itu sudah putus harapan tentu perhatiannya akan beralih kepadanya. maka ia sengaja membual: "Coba kau pikir, Ciamtay Boh-ko adalah keturunan salah seorang tokoh Su-ki. baik Bun (sastra, sipil) maupun Bu (silat. militer), semuanya melebihi kau. Apalagi keluarga kaya dan berpengaruh, setelah ketemu dia jelas Piaumoaymu lantas berubah pikiran.”

Sampai gemetar badan Peng-say saking gusarnya, teriaknya: "Kau, kau anggap Piaumoayku itu orang macam apa?”

Dengan sengaja Kim-leng menjawab: "Dia tiada harganya untuk dicintainya, dia adalah model perempuan yang beriman tidak teguh.”

Tidak kepalang gusar Peng-say, kontan ia menampar sehingga Sau Kim-leng jatuh terguling, mukanya yang putih bersih itu berhias lima jalur merah bekas jari.

Cepat Liok-ma memburu maju dan merangkul Sau Kimleng. "Kau sendiri perempuan yang tidak teguh," demikian Peng-say mendamperat dengan gregetan. Habis itu ia terus melangkah pergi.

"Berhenti! Setelah memukul orang lantas mau pergi begitu saja"!" bentak Liok-ma.

Dia bermaksud mengejar, tapi Sau Kim-leng dalam pelukannya lantas mencegah: "Biarkan dia pergi!”

Setelah melepaskan nona itu, Liok-ma berkata sambil menggeleng: "Ai, untuk apa kau omong begitu sehingga kau digampar olehnya.”

"Aku takkan terpukul secara percuma," ujar Kim-leng sambil meraba pipinya.

"Kau tahu Piaumoaynya bukan model perempuan begitu, malahan dia. . . .”

"Kutahu. tidak perlu kau katakan lagi," sela Kim-leng.

"Dapat kubayangkan sebab apa dia ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko.”

"Jika begitu, mengapa kau. . . .”

"Aku sengaja membikin hatinya terluka dan sukar disembuhkan selamanya," ujar Kim-leng. "Bilamana dia tidak berhasil menemukan dan merebut kembali Piaumoaynya, lama2 dia pasti akan melupakan sang Piaumoay atau mungkin sama sekali tidak suka lagi padanya, tatkala mana baru akan kelihatan tamparan yang kuterima ini tidaklah sia2.”

"Akan tetapi juga belum tentu dia akan berubah pikirannya terhadapmu. . . .”

"Bisa, pasti bisa, dia pasti akan berubah pikirannya padaku," kata Kim-leng tegas dan mantap, "Sekarang marilah kita berangkat!”

"Berangkat kemana?" tanya Liok-ma.

"Ke Tang-hay!”

"Tang-hay"!”

"Sudahlah, jangan banyak bertanya, lekas kita bebenah dan segera berangkat!”

-oo0dw0oo- Sudah tentu Soat Peng-say tidak percaya Cin Yak-leng ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko dengan sukarela, ia yakin si nona pasti terpaksa, tapi iapun tidak mengerti mengapa Ciamtay Boh-ko memaksa Yak-leng pergi bersama dia”

Jangan2 Ciamtay Boh-ko menyangka Cin Yak-leng ialah Sau Kim-leng”

Inipun tidak mungkin. Yak-leng kan punya mulut, masa dia tidak dapat menjelaskan siapa dia" Kalau bukan salah paham, masih ada kemungkinan lain, yaitu Ciamtay Boh-ko penujui Cin Yak-leng, maka menculiknya.

Jika betul terjadi begini, inilah yang menakutkan. Cin Yak-leng tidak tergolong cantik luar biasa. jika sembarang perempuan disukai Ciamtay Boh-ko, maka jelas pemuda ini pasti pemuda bangor yang gila perempuan. Berpikir demikian, Peng-say tidak berani lagi membayangkan bagaimana akibatnya Cin Yak-leng digondol Ciamtay Bohko. Tapi apapun juga dia harus berusaha sebisanya untuk menyelamatkan Cin Yak-leng sekalipun jiwa sendiri harus berkorban. Sudah tentu, waktunya memegang peranan penting, semakin cepat semakin baik, bila keburu, mungkin kesucian Cin Yak-leng masih dapat diselamatkan.

Karena itulah, sejak meninggalkan Siau-ngo-taysan, sepanjang jalan ia lantas ber-tanya2 dan mencari keterangan adakah seorang pemuda seperjalanan dengan seorang nona.

Tak tersangka, sudah banyak juga orang yang ditanyai tapi semuanya menggeleng menyatakan tidak tahu. Ia menyangka dirinya telah salah arah, tapi kemudian terpikir olehnya bisa jadi Ciamtay Boh-ko menumpang kereta bersama Yak-leng, kalau mereka tidak memperlihatkan wajahnya, dengan sendirinya tiada orang yang tahu.

Lantas bagaimana baiknya" Padahal setiap hari entah berapa banyak kereta kuda yang berlalu-lalang, siapa yang tahu dikereta mana terdapat seorang pemuda dan seorang nona jelita”

Beberapa hari telah berlalu, makin kesal hati Soat Pengsay, dia tidak tahu pasti kearah mana Ciamtay Boh-ko membawa Cin Yak-leng, pencarian secara ngawur ini jelas akan sia2 belaka.

Setengah bulan kemudian, ruang lingkup ratusan li di sekitar Siau-ngo-tay-san telah dijelajahi semuanya, boleh dikatakan siang malam bekerja tanpa berhenti, tapi hasilnya tetap nihil.

Makin lama waktu yang terbuang makin tidak menguntungkan dia, keruan ia sangat gelisah dan cemas, tubuhnya mulai kurus, hampir tidak suka makan dan tidak enak tidur. Sampai2 kuda yang baru dibelinya itu juga lantaran bekerja terlalu keras pula dia malas merawatnya, maka kudapun semakin kurus.

Sebulan kemudian, ia merasa tiada berguna lagi mencari di seputar Ngo-tay-san itu, semula ia percaya pencariannya pasti akan berhasil, sebab orang yang dituju Ciamtay Boh-ko adaiah Sau Kim-leng nona itu tidak diperolehnya, besar kemungkinan Ciamtay Boh-ko akan menunggu kesempatan di sekitar Siau-ngo-tay-san. Akan tetapi setelah penyelidikan teliti selama sebulan, seluas tiga ratus li di seputar Siau-ngo tay-san sudah dijelajahi dan tetap tiada mendapatkan sesuatu jejak, maka Soat Peng-say mulai patah semangat, ia yakin pada hari pertama juga Ciamtay Boh-ko telah pergi ke tempat yang jauh, hakikatnya tidak pernah tinggal di sekitar Siau-ngo-tay-san.

Maka ia berganti haluan, ia hendak mencari jarak jauh.

Tapi pencarian jarak jauh terutama harus tahu dulu arah yang tepat, kalau tidak, makin lama makin jauh jaraknya.

akhirnya tambah celaka.

Untuk memastikan arah kepergian Ciamtay Boh-ko, setelah sebulan kemudian boleh dikatakan tidak mungkin lagi, terpaksa harus untung2an.

Empat penjuru terbagi dalam timur, barat, utara dan selatan, jadi kesempatannya cuma seperempat bagian.

Setelah dipikir dan ditimbang, Peng-say mengambil keputusan malam ini juga akan berangkat ke jurutan timur.

Keputusannya ini didasarkan kepada tempat kediaman Ciamtay Boh-ko berada di Tang-hay, di lautan Timur. Jadi lebih besar harapannya jika mencari ke arah timur.

Umpama salah arah, pada suatu hari akhirnya Ciamtay Boh-ko juga pasti akan kembali ke lautan timur. Sebab itulah tujuan terakhir Soat Peng-say adalah berlayar, mendatangi tempat kediaman Ciamtay Boh-ko.

Hari ini dia sampai di Pakkhia, Peng-say tidak menjenguk famili ke keluarga Cin, juga tidak menyambangi keluarga Beng, dia sengaja menginap di sebuah hotel kecil.

Sudah tiga hari dia tinggal disitu, setiap hari kecuali pulang tidur di hotel, waktu selebihnya ia gunakan putar kayun di segenap pelosok kota, ia berharap kalau2 kebetulan bertemu dengan Cin Yak-leng. Ia pikir ada kemungkinan Ciamtay Boh-ko tinggal di kota besar ini, bila dia membawa keluar Cin Yak-leng dan bisa jadi akan dipergokinya. Sudah tentu jalan pikirannya ini terlalu ke-kanak2an.

Selama tiga hari dia mondar-mandir kian-kemari, sepatu baru yang dipakainya sudah hampir jebol, tapi Cin Yakleng yang diharapkan kepergok tetap tidak kelihatan.

Terkadang memang dilihatnya satu-dua nona yang bayangan punggungnya mirip Cin Yak-leng, tapi setelah didekati dan ditegur, tahu2 bukan. Tentu saja nona yang disapanya menjadi malu dan memaki dia orang gila.

Selama lebih sebulan Soat Peng-say hidup merana, keadaannya memang rada2 berubah seperti orang sinting, Dia malas cuci muka dan sisir rambut, bajunya juga sudah robek, rambutnya semrawut, janggutnya tidak dicukur, keadaannya menjadi mirip pengemis, Akhirnya ia merasa dirinya bisa benar2 menjadi sinting bilamana berdiam lebih lama lagi di Pakkhia. Ia memutuskan besoknya akan berangkat. Tapi malam terakhir ini tidak dilewatkan dengan percuma, ia masib penasaran dan ingin mencari pula. Ia pikir Ciamtay Boh-ko tidak dikenalnya, bila jadi ketika pemuda itu keluar sendiri dan Cin Yak-leng ditinggal di hotel, makanya tidak dipergokinya. Mumpung masih ada waktu satu malam.

setiap hotel harus diselidiknya dengan baik.

Tapi kebanyakan jongos hotel adalah manusia yang berjwa budak, terhadap orang atas dia munduk-munduk, terhadap orang bawah dia tindas. Sudah belasan hotel didatangi Peng-say, tapi tiada seorang jongos hotel yang mau menggubrisnya, bahkan dia diusir, Terpaksa ia hanya melongok saja dari luar hotel. Ketika sampai di luar sebuah hotel yang terbesar di kota Pakkhia, dilihatnya tetamu yang keluar masuk semuanya adalah orang kalangan atas. Jongos hotel yang garang segera mengusirnya pergi begitu melihat dia longak-longok di pintu hotel seperti pencoleng mengincar koper, atau sedikitnya menganggap pakaian Peng-say terlalu dekil, bila dekat hotel bisa jadi akan membikin kotor tetamu mereka.

Padahal banyak uang perak yang dibawa Peng-say, dia cukup mampu tinggal di hotel mewah ini. Tapi dia malas bertengkar dengan jongos yang bejiwa anjing itu.

Coba anda perhatikan, jika melihat orang yang berpakaian perlente, anjing lantas goyang2 ekor dan menjilat2. Tapi kalau ketemu orang jembel, tanpa alasan terus menggonggong, bahkan akan menggigit. Itulah sifat anjing.

Selagi Peng-say hendak menyingkir, se-konyong2 sebuah kereta kuda bercat emas dan berhias mentereng menyerempet lewat disisanya sehingga bajunya yang sudah compang-camping itu terobek sebagian, bahkan kulit dagingnya juga melecet.

Keruan Peng-say marah, diam-diam ia memaki kusir kereta itu buta, perlu didamperat.

Dilihatnya kereta warna emas itu tepat berhenti di depan hotel, beberapa jongos lantas berlari mendekati penumpang kereta, seketika tiada orang yang memperhatikan Soat Peng-say, maka ia dapat mendekati pintu hotel.

Se-konyong2 Peng-say terkesima, hampir saja ia berteriak: "Adik Leng!”

Ia kuatir salah lagi dan ditertawai kawanan jongos yang suka menghina itu, maka tidak jadi berseru. Tapi semakin dipandang semakin mirip, nona yang turun dari kereta kuda itu bayangan punggungnya jelas serupa Cin Yak-leng, cuma sayang tidak kelihatan mukanya dan nona itu lantas melangkah masuk ke hotel.

Setelah kereta warna emas itu dihalau pergi seorang jongos yang bertugas menyambut tamu segera melihat Soat Peng-say berdiri di situ, dengan gusar ia membentak, "He, pengemis busuk! Mau apa berdiri di situ" Mau mencuri ya”

Lekas enyah lekas!" Sambil mendamperat ia terus mendekati Peng-say dan mendorongnya dengan kuat.

Tapi sedikitpun Peng-say tidak bergerak, ia tanya sambil tertawa: "Sahabat, numpang tanya, apakah nona yang baru masuk tadi adalah langganan hotel kalian?”

Karena sekali dorong tidak dapat membikin Soat Pengsay sempoyongan, si jongos tidak berani meremehkannya lagi. Maklum, jongos hotel juga banyak pengalaman, terutama di kotaraja seperti Pakkhia ini tentu tidak sedikit terdapat orang kosen, contohnya adaiah Soat Peng-say di depannya ini. Jangan kira dandanannya kotor seperti kere, nyatanya memiliki Lwekang yang kuat, didorong saja tetap tegak seperti tonggak.

Orang kosen macam begini kalau tidak memukul orang masih mendingan, sekali memukul orang. maka pasti jatuh korban nyawa. Dengan sendirinya si jongos hotel menjadi waswas, karena takutnya sehingga pertanyaan Peng-say tadi tidak terdengar olehnya.

Peng-say malah menyangka jongos itu tidak mau memberi keterangan, ia tahu orang begini perlu disogok.

cepat ia mengeluarkan sepotong perak satu tahil dan dijejalkan ke tangan si jongos.

Dengan gugup jongos itu berkata: "Ah, mana hamba berani menerima uang tuan besar, ada urusan apa silakan anda tanya saja.”

"Tidak apa2. terimalah," bujuk Peng-say dengan tertawa.

Melihat Peng-say bersikap ramah dan tertawa, jongos itu menjadi berani, uang perak itu disimpannya, lalu berkata dengan munduk2: "Silahkan Toaya duduk di dalam!”

"Tidak. aku cuma ingin tanya nona tadi “

"O, nona yang tadi itu, beliau. she Soat, sungguh baik hati dia, sudah lebih sebulan dia tinggal di hotel kami, uang tip yang dikeluarkannya setiap kali selalu satu tahil penuh, sebaik hati anda sekarang ini," demikian jongos itu bertutur dengan cengar-cengir.

Peng-say salah dengar, dia rada kecewa dan menegas: "O, nona itu she Soat?”

"Soat, bukan Sat, Soat dari salju," cepat si jongos menjelaskan.

"Ehm, kiranya sama leluhur denganku," Peng-say manggut2. "Apakah dia tinggal bersama seorang lelaki muda?”

Si jongos tidak lantas menjawab, tapi lebih dulu menjilat pantat. katanya: "Ah, kiranya anda juga she Soat" Sungguh she yang bagus. uang perak sama putih, salju juga putih, putih lambangnya suci. kelak anda pasti akan bertambah kaya raya lantaran she Soat.”

Setelah mengusap ilernya yang berhamburan, jongos itu menyambung lagi: "Nona itu masih perawan, manabisa tinggal bersama lelaki muda" Selain dilayani seorang kusir, beliau tinggal sendirian di hotel kami, biasanya jarang keluar, hanya kalau malam tiba dia suka pesiar sekeliling, lalu pulang kehotel.”

Soat Peng-say tambah kecewa, ia menduga nona Soat pasti bukan Cin Yak-leng, dengan kesal ia kembali ke pondoknya. Ia merasa bajunya sudah terlalu kumal dan juga bernoda darah, terpaksa membeli baju baru. Tapi dia tetap tidak suka cuci muka dan bersisir rambut, sampai luka lecet keserempet kereta itupun tidak dihiraukannya, lalu rebah dan tidur.

Besoknya ia keluar dengan baju baru, keadaannya sekarang tidak lagi mirip pengemis cuma kudanya masih tetap kurus, ia menuju keluar kota melanjutkan perjalanan ke arah timur.

Orang di tengah jalan sama menyangka dia bandit, maklum, bajunya baru, tapi rambutnya semrawut dan bercambang tak teratur. Umumnya kaum bandit memang tidak suka berdandan. Baiknya dia tidak membawa senjata, kudanya juga kurus, kalau tidak, mungkin orang akan ketakutan dan tidak berani mendekatinya.

Lambat sekali Peng-say menjalankan kudanya, tidak banyak lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Karena semalam terlalu banyak memikiri Cin Yak-leng, tidurnya tidak nyenyak, diatas kudanya sekarang ia menjadi mengantuk. Selagi dia ter-angguk2 di atas kudanya. mendadak ia jatuh terjungkal ke bawah, dengan gelagapan ia berbangkit dan memandang kesana. kiranya dia disenggol lagi oleh kereta berwarna emas kemarin.

Keruan ia sangat gusar, pikirnya: "Kurang ajar! Lecet kemarin belum lagi sembuh, sekarang kau seruduk lagi diriku hingga terjungkal. Dasar kusir brengsek, kalau tidak diajar adat, tentu banyak korban lagi yang akan terjadi.”

Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan mengejar ke depan. Tapi kudanya itu dalam keadaan kelaparan dan tidak kuat lari, betapapun dia menghalaunya tetap tidak mampu menyusul kereta tadi, malahan jarak kedua pihak semakin jauh, sampai akhirnya bayangan kereta saja tidak kelihatan lagi.

Karena bertekad akan memberi hajaran kepada kusir kereta, Peng-say tidak berhenti mengejar, diam2 iapun mendongko! kepada kudanya yang sialan itu, kalau menyusul kereta saja tidak dapat, apa gunanya kuda ini”

Karena gemasnya, ia tidak peduli kuda itu tahan atau tidak, sekuatnya ia menghalau agar lebih kencang.

Thian memang tidak mengecewakan orang yang berusaha dengan susah payah. Akhirnya ia dapat susul kereta itu, dari kejauhan dilihatnya kereta itu berhenti di tepi jalan, ia kuatir kereta itu berangkat lagi dan mungkin akan sukar disusul pula, segera ia percepat lari kudanya.

Tak tahunya kudanya sudah kehabisan tenaga, beberapa tombak sebelum sampai di tempat tujuan, kuda itu keserimpet dan jatuh terjungkal dengan mulut membuih.

Cepat Peng say melejit bangun tapi mendadak dilihatnya gelagat tidak baik, segera ia berlagak sempoyongan dan jatuh terduduk. lalu merangkak bangun dengan meringis sambil meraba pantatnya yang kesakitan.

Dilihatnya kereta berwarna emas itu dikelilingi belasan orang, satu diantaranya yang bertubuh tegap dan beralis tebal lantas mendekati Peng-say dan berkata: "Orang lalu jangan ikut campur, lekas jalan!”

"Ya, ya!" cepat Peng-say menjawab.

Ia pura2 masih kesakitan karena jatuhnya tadi, jalannya dibikin terincang-incuk dan sangat lambat. Waktu lewat di samping kereta, sekilas lirik dilihatnya si kusir kereta terpanah mati di tempat duduknya. tapi tiada terdengar sesuatu di dalam kabin kereta.

Yang mengelilingi kereta itu terdiri macam2 jenis orang, ada Hwesio, ada Tosu, ada tua ada muda, semuanya tampak tangkas dan kuat. jelas jago silat yang lihay.cuma tidak diketahui dari golongan mana.

Terdengar seorang tua bermuka putih lagi berkata: "Budak she Soat, tidak perlu kau berlagak mampus, lekas keluar, sudah cukup banyak perkaramu,”

Lalu seorang Hwesio gemuk menyambung dengan bergelak tertawa: "Budak busuk, selama sebulan ngendon di Pakkhia, tidak sedikit kan hasilmu?”

Seorang Tosu tua dan kurus menukas: "Asalkan semua barangnya kau serahkan, tentu kami takkan menjebloskan kau ke dalam penjara dan mamberi jalan hidup bagimu.”

Meski ketiga orang itu sudah bicara sekian banyak, tapi di dalam kereta tetap tiada reaksi apapun se-akan2 tiada penumpangnya.

Peng-say berdiri dikejauhan, dilihatnya kabin kereta itu tertutup oleh tirai yang indah, maka tidak jelas apakah di dalam kereta ada orang atau tidak.

Dari ucapan ketiga orang tadi, jelas nona she Soat itu adalah pencuri ulung yang telah banyak melakukan kejahatan di Pakkhia. tapi perbuatannya diketahui orang2 ini, maka mereka mencegatnya di sini untuk membagi rejeki. Di antara belasan orang itu, kecuali ketiga orang yang bicara tadi, rata2 berumur 30-an, bahkan ada beberapa orang di antaranya cuma berusia 18-19 tahunan, mereka terdiri dari empat lelaki kekar, tiga Hwesio dan lima Tosu.

Melihat orang2 itu berani mencegat kereta berwarna emas itu di tengan jalan raya, Peng-say menyangka mereka adalah jago pengawal keluarga yang kehilangan, mungkin jeri kepada kelihayan maling perempuan itu, maka mereka tidak berani menangkapnya, cukup asalkan barang curiannya diminta kembali.

Tapi sampai sekian lama tetap tiada reaksi apapun di dalam kereta. Si kakek bermuka putih menjadi tidak sabar, bentaknya: "Budak busuk, kau dengar tidak perkataan kami"!”

Ucapannya ini tetap seperti batu tenggelam kelaut, sedikitpun tiada jawaban.

Dengan murka si kakek berteriak: "Lepaskan panah!”

Serentak keempat lelaki tegap mementang busur dan melepaskan panah, hanya sekejap saja kabin kereta itu telah penuh tertancap anak panah sehingga mirip landak raksasa.

Anehnya, di dalam kereta tetap tiada sesuatu reaksi apa2.

Selesai memanah, salah seorang lelaki itu berkata: "Lotoa, mungkin di dalam kereta tiada penumpangnya.”

Si kakek muka putih tidak berani memeriksa sendiri, tapi ia memberi perintah: "Coba kalian ber-empat memeriksanya.”

Selagi keempat orang itu hendak mendekati kereta, mendadak si Tosu buru2 membentak: "Nanti dulu!”

"Eng-lo (kakek Eng), maasa engkau kira budak itu masih sembunyi di dalam keretanya?" tanya si kakek muka putih.

"Pagi tadi muridku menyaksikan dengan mata kepala sendiri budak itu naik ke dalam kereta, kuyakin pasti tidak salah." jawab si Tosu kurus.

"Anak panah yang dilepaskan keempat Long bersaudara belum sampai menembus kereta ini, maka tiada salahnya jika kita bertindak lebih hati2.”

Si Hwesio gemuk menyelutuk dengan tertawa: "Memang tidak salah pertimbangan Eng-lo ini, Selama sebulan budak itu telah merajalela di seluruh kota Pakkhia dan tidak pernah gagal, suatu tanda dia memang pintar dan cerdik, maka kita barus menghadapinva dengan hati2, jangan sampai kita terjungkal di sini.”

"Bagaimana jika menurut kau, Hou-ya?" tanya si kakek.

Hwesio gemuk ter-bahak2. katanya: "Kukira karena kita sama2 kawan satu garis, meski dia belum bergabung dengan kita. mengingat jerih payahnya selama sebulan, cukup asalkan dia membagi separo saja bagi kita.”

"Nah, budak liar, Hwesio, Tosu dan Preman kami hanya minta separo bagian saja, kau setuju tidak?" bentak si Tosu kurus.

Baru sekarang Soat Peng-say tahu duduknya perkara, kiranya orang2 ini juga bandit, mereka sengaja menghadang di tengah jalan dengan cara bandit makan garong, Ia masih ingat cerita Tio Tay-peng bahwa di kalangan hitam terdapat tiga orang bandit yang biasa berdandan sebagai Hwesio, Tosu dan orang preman. Karena ilmu silat mereka tidak terhitung kelas satu, maka cerita itu tidak terlalu menarik baginya. Kini ia jadi ingat lagi bahwa mereka itu juga disebut sebagai Hou, Eng dan Long atau Harimau, Rajawali dan Serigala.

Hou Ceng (Hwesio harimau), Eng to (Tosu rajawali) dan Pek-bin-long (serigala muka putih) tidak bercokol disuatu gunung sebagai pangkalan, tapi adalah bandit yang beroperasi serba bebas, anak buah mereka tidak banyak, Hou-ceng cuma membawa tiga murid, Eng-to lima murid, Pek-bin-liong tidak punya murid, tapi membawa empat saudaranya sebagai pembantu.

Begitulah si kakek muka putih, Pek-bin-long, seperti manghapalkan harta tabungannya, sedang berkata: "Budak she Soat, selama sebulan kau telah mencuri sepasang Ya-beng cu (mutiara bercahaya di waktu malam) dirumah Thio houya, delapan ekor Giok-be (kuda kemala) di rumah Lihouya, serenteng mutiara mestika di kediaman Ui-houya, sepasang kupu2 kemala hijau dan dua biji batu merah di rumah Go-ongya serta menggerayangi satu biji semangka jamrud dan sepotong bunga karang mestika di rumah Hoongya." Diam2 Soat Peng-say menjulur lidah demi mendengar benda2 berharga itu. Setiap macam benda itu sukar dinilai harganya, kalau digabung, jangan ditanya lagi. Mungkin saudagar mas-intan paling kaya juga tidak sanggup membelinya. Ia tidak tahu ketujuh macam barang itu adalah benda mestika yang paling terkenal di Pakkhia, terkecuali benda mestika simpanan raja. Sudah lama ketiga gembong bandit itu mengincarnya, cuma penjagaan si pemilik terlalu ketat, maka sebegitu jauh mereka tidak mampu turun tangan.

Namun mereka tidak putus asa, mereka memasang mata2 pada setiap keluarga itu. asalkan penjagaan si pemilik sedikit kendur, segera mereka diberitahu dan berusaha mencurinya. Tapi sayang, kesempatan bagus itu selama ini belum terbuka, sia2 mereka menunggu sekian tahun. Tapi dalam bulan ini agen2 yang mereka tanam di tempat2 pemilik benda pusaka itu telah memperlihatkan manfaatnya, meski bukan pemberitahuan peluang untuk mencuri, tapi pada saat yang tepat mereka diberitahu tentang hilangnya benda2 pusaka itu, dengan demikian mereka sempat mencegat malingnya dengan cara hitam makan hitam. Maka ketiga gembong bandit dengan anak buahnya lantas merembet masuk Pakkhia untuk menyelidiki pencuri itu. Mereka tidak mampu mencuri sendiri, tapi untuk mencari tahu siapa pencurinya tentu tidak sulit bagi mereka. Akhirnya diketahui pelakunya adalah seorang nano she Soat yang tinggal di sebuah hotel.

Mereka pikir menghadapi seorang nona muda belia tentulah tidak sukar, mereka mengambil keputusan akan "hitam makan hitam", maka begitu maling perempuan itu menguras ketujuh benda mestika terkenal di kotaraja ini dan membawanya kabur, mereka lantas mencegatnya di tengah jalan untuk merampasnya.

Sesungguhnya merekapun terlalu gegabah, mereka menyangka dalam waktu singkat saja dapat membereskan maling perempuan itu, maka secara terang2an mereka mencegatnya di tengah jalan raya.

Tak tahunya lawan sama sekali tidak memberi reaksj, bahkan bersembunyi didalam kereta dan tidak mau keluar.

Padahal orang yang berlalu lalang tambah banyak, perbuatan mereka itu tentu saja sangat menarik perhatian khalayak ramai. Mereka menjadi gelisah, apalagi mengingat maling perempuan hanya sendirian mampu memcuri ketujuh benda pusaka, ilmu silatnya tentu juga tidak rendah maka mereka mulai mundur teratur dan cuma minta bagi rejeki separo bagian saja.

Meski orang yang berlalu lalang cukup ramai, tapi tiada seorangpun yang berani meniru Soat Peng-say dan berhenti menonton di situ, mereka kebanyakan adalah kaum saudagar yang alim, melihat kereta itu penuh anak panah dan dikerumuni orang2 yang berwajah jahat serta bersenjata, jelas sedang terjadi pembegalan. Maka banyak di antara saudagar itu segera putar balik agar tidak ikut terkena getahnya.

Hanya Soat Peng-say saja yang masih berdiri menonton disamping, tapi ketiga gembong bandit itupun tidak memperhatikan, mereka menyaksikan Peng-say terbanting jatuh dari kudanya, andaikan mahir ilmu silat juga sangat terbatas, maka tidak perlu dihiraukan. Cuma cara kerja mereka harus cepat mengingat perbuatan mereka sudah dilihat orang, bila orang yang putar balik ke kota itu memberi laporan kepada yang berwajib, tidak lama lagi pasukan pemerintah mungkin akan datang, maka dalam waktu setengah jam ini mereka harus dapat membereskan pembagian rejeki ini.

Si Hwesio gemuk tadi lantas berseru pula dengan tertawa: "Nona Soat, baiklah aku hanya minta serenteng mutiara saja. Eng-lo dan Long-heng, apa yang kalian inginkan, lekas katakan padanya, setelah bagi rata segera kita angkat kaki.”

"Bagiku cukup sepasang Ya-beng-cu itu," kata si Tosu kurus.

Pek-bin-long juga berseru: "Dan aku minta kedelapan ekor kuda kemala saja.”

"Nah, nona Soat, permintaan kami ini tentunya cukup ringan bagimu," seru si Hwesio, "benda pusaka milik keluarga Ongya (pengeran) itu boleh menjadi bagianmu sendiri." Tapi setelah ditunggu sekian lama, tetap tiada jawaban.

Pek-bin-long menjadi murka, teriaknya: "Budak she Soat.

janganlah kau terlalu kepala batu Jika tidak lekas jawab, terpaksa kita gunakan kekerasan!”

Si Hwesio juga hilang sabar. ucapnya: "Eng-lo, suruh kelima muridmu memberi tanda peringatan kepadanya.”

Sekali si Tosu rajawali memberi perintah, serentak kelima Tosu muda melolos senjata masing2, yaitu sepasang Boan koat pit dan segera disambitkan ke depan seperti lemparan lembing.

"Crat cret" hampir pada waktu yang sama sepuluh buah Boan-koan-pit menembus kabin kereta kuda itu, ujung Boan koan-pit tampak menonjol keluar di sisi sana. Apabila di dalam kereta ada penumpangnya, biarpun berbaring juga akan tertembus tubuhnya oleh kesepuluh Boan-boat-pit itu.

Akan tetapi ujung Boan-koan-pit tidak kelihatan ada bekas darah, jelas penumpang di dalam kereta tidak terkena serangan.

Hwesio harimau lantas memberi tanda, tiga HwesiO muda tanpa bersuara sama angkat tongkat mereka yang ujungnya lebar tajam seperti kampak, berbareng mereka sundukkan ketiga tongkat kedalam kereta, ujung tongkat juga menembus kesana, tapi aneh, tetap tidak berdarah.

Kini kabin kereta itu sudah dipenuhi anak panah, Boankoan-pit dan tongkat Hwesio, seekor kelinci saja sukar sembunyi di situ, jangankan manusia.

Maka berkatalah Hwesio harimau dengan masgul: "Kita tertipu, kereta ini kosongl”

"Coba digeledah lagi, budak itu tidak menumpang kereta ini, tapi benda pusaka curiannya mungkin disembunyikan di dalam kereta," kata Pek-bin-long.

"Baiklah, kita memeriksanya bersama!" ajak Hwesio harimau. Dia kuatir ada perangkap didalam kereta, kalau maju bersama akan lebih aman.

Begitulah lima belas orang lantas mendekati kereta itu dengan pelahan. Sudah begitu mereka tetap kebat-kebit dan takut, jelas karena kepandaian maling perempuan itulah yang membuat jeri mereka.

Seorang lelaki pemberani mendahului mendekati pintu kabin kereta, tirai jendela ditariknya hingga terlepas. Lalu ia melongok ke dalam dan berseru: "Bayangan setan saja tidak ada di dalam!”

Karena itu, orang2 itu menjadi mantap, berbareng mereka berjalan maju dan membuka pintu kereta, semua tirai kereta juga ditarik sehingga bagian dalam kereta terkena sinar terang, jelas, kereta ini memang tanpa penumpang. Jadi satengah harian mereka cuma ribut sendirian, sungguh konyol. Dengan mendongkol Pek-bin-long memaki: "Budak busuk, budak sialan!”

Dengan menyengir Hwesio harimau lantas memberi perintah: "Cabut semua senjata kita. lalu digeledah lagi lebih teliti.”

Hanya sekejap saja semua senjata yang menancap dikabin kereta itu sudah dibersihkan, kereta yang tadinya bercat emas indah itu kini menjadi ber-lubang2 seperti sarang tawon. "Di bawab jok, dinding samping dan belakang, semuanya dipereteli dan diperiksa, coba adakah tersembunyi sesuatu benda mestika, cepat, waktunya sudah hampir habis!" seru Pek-bin-long.

Be-ramai2 belasan orang itu lantas melompat keatas kereta, ada yang memukuli dinding kabin dan membongkarnja, ada yang menyingkap jok tempat duduk, cuma Hwesio harimau bertiga juga menduga kemungkinan ditemukannya benda mestika itu sangat tipis. Bisa jadi sebelumnya maling perempuan itu sudah mengendus gelagat tidak enak, maka kabur kearah lain dengan membawa hasil curiannya itu.

Sejak tadi Peng-say berdiri menonton di samping.

tujuannya yang utama ialah ingin melihat bagaimana wajah nona Soat itu. sekarang nona itu ternyata tidak berada di dalam kereta, segera ia membalik tubuh dan melanjutkan perjalanan, diam2 ia menyesal telah kehilangan kudanya hanya karena mengejar kereta ini tanpa mendatangkan hasil apapun.

Tapi baru saja ia melangkah, se-konyong2 terdengar suara jepretan ber-ulang2, menyusul lantas terdengar suara jeritan ngeri. Ia terkejut dan cepat menoleh, dilihatnya nona Soat yang bayangan punggungnya mirip Cin Yak-leng itu mendadak muncul disamping kereta.

Sekaligus nona itu telah memanah mati ke-12 orang yang sedang mengobrak-abrik kabin kereta itu, waktu Peng-say berpaling, nona itu telah membalik tubuh lagi kesana dan sedang mengangkat sebuah alat bidikan yang kecil, tiga anak panah kecil warna hitam terus dibidikkan ke arah Hwesio bertiga yang asyik mengobrol itu.

Waktu ketiga gembong bandit itu mendengar jerit ngeri anak murid mereka, dengan segera mereka tahu ada sesuatu telah terjadi. Mereka tambah terkejut ketika melihat si maling perempuan yang sukar dicari jejaknya itu tahu2 muncul di samping kereta. Mereka sempat menghindari ketiga panah kecil warna hitam pertama, tapi tiga panah lain seeera menyambar tiba pula.

Cara membidik panah maling perempuan itu cepat luar biasa, ketika untuk keempat kalinya ia membidik lagi tiga panah, Hwesio bertiga tidak sanggup menghindar pula, untung tidak mengenai ulu hati mereka melainkan cuma menancap di bagian lengan. Dalam keadaan begitu, jika si maling perempuan menyusuli tiga panah lain, jelas pasti akan mengenai ulu hati mereka dengan telak, tapi hal ini tidak dilakukannya, agaknya ia sudah puas setelah panahnya berhasil mengenai lengan mereka.

Kalau lengan cuma terkena sebuah panah sekecil itu, bagi orang" kuat macam Hwesio gemuk itu tentu saja tidak manjadi soal. Mereka melihat ke-12 muridnya sudah binasa seluruhnya di dalam kereta, mereka menjadi gusar dan membentak: "Budak busuk, kalau punya kepandaian lain, janganlah melepaskan panah!”

Maling perempuan itu tertawa, jawabnya: "Baik panah tidak kugunakan." " lalu ia benar2 menyimpan kembali alat bidikan itu ke kantong kulit yang tergantung di pinggangnya. Serentak Hwesio bertiga melolos senjata dan membentak: "Terjang!”

Si maling perempuan tenang2 saja, ia menggeleng kepala dan berkata: "Tiga lelaki besar mengeroyok seorang nona cilik tidak tahu malu!”

Tapi ketiga gembong bandit itu tidak menghiraukan olok2 itu, mereka melompat maju terus membacok, menabas dan menutuk.

Maling perempuan itu tidak menggunakan senjata, ia cuma berkelit dan menyelinap kian kemari di tengah sambaran senjata ketiga lawan.

Belum lagi beberapa jurus, "trang", tanpa sebab golok Pek-bin-long terjatuh sendiri ketanah, menyusul terdengar ia menjerit ngeri: "Wah, tanganku!”

Baru lenyap suaranya, kembali terdengar gemerantang lagi dua kali, senjata Hwesio harimau dan Tosu rajawali juga terjatuh, merekapun menjerit: "Aduh tanganku!”

Peng-say menjadi heran, sama sekali mereka tidak diserang si maling perempuan, memangnya kenapa tangan mereka" Waktu ia memperhatikan, dilihatnya tangan kanan ketiga orang itu sama berwarna hitam pekat.

Baru sekarang Peng-say terkejut, diam2 ia membatin: "Jahat amat panah kecil beracun itu.”

Rupanya Hwesio bertiga tadi menyepelekan panah kecil yang melukai lengan mereka itu, mereka terus melabrak lawan tanpa mencabut panah kecil itu, sebab bila panah dicabut, tentu dari lukanya akan mengalirkan darah, hal ini akan mengurangi tenaga mereka. Demi mengerubuti maling perempuan itu dan merampas benda pusaka curiannya, mereka tidak menyadari racun panah telah menjalar, tangan mereka berubah menjadi hitam dan terasa kaku, mereka baru menyadari hal ini setelah senjata terlepas dari cekalan.

Cepat mereka merobek lengan baju kanan, tertampak warna hitam dilengan sudah merembet sampai di atas siku, bilamana warna hitam itu merambat sampai dada, maka tamatlah riwayat mereka.

Tegas tindakan Pek-bin-long, tanpa ragu2 ia jemput golok sendiri dengan tangan kiri, sekali tabas segera ia kutungi lengan kanan sendiri sebatas bahu.

Hwesio harimau juga tidak berani ayal, cepat ia jemput kembali tongkatnya yang berujung seperti kampak itu, sekali bacok iapun membuntungi lengan kanan sendiri.

Wajahnya yang selalu tertawa2 itu kini lebih tepat dikatakan menangis.

Senjata Tosu rajawali adalah Boan-koan-pit. dengan sendirinya tidak dapat digunakan menabas lengan sendiri yang keracunan itu, dengan gugup ia berseru: "Long-heng, tolong, lekas, lekas!”

Segera Pek-bin-long ayun goloknya pula, tapi lantaran racun sudah merambat maju lagi. terpaksa lengan Tosu yang ditabasnya tepat di batas pundak. Keruan sakitnya berlipat ganda, Tosu itu menjerit dan hampir saja jatuh kelengar. Menyaksikan ketiga lawan membuntungi tangan sendiri dan darah berhamburan, namun si maling perempuan itu tidak mengambil pusing, ia malah tertawa nyaring dan berkata: "Tidak lekas enyah, apakah minta paha kalian juga kupanah"!”

Sambil bicara iapun berlagak hendak mengambil alat bidiknya lagi, Keruan ketiga gembong bandit itu ketakutan, lukapun tidak sempat dibalut, cepat mereka lari ter-birit2.

Maling perempuan itu tertawa ter-kekeh2, tampaknya sangat gembira. Setelah puas tertawa, pe-lahan2 ia membalik tubuh.

Baru pertama kali ini Soat Peng-say berhadapan muka dengan muka orang, dilihatnya wajah nona Soat ini potongan daun sirih, matanya besar dan memperlihatkan sifat2 yang jahil dan penuh misteri, tapi tampaknya juga sangat menyenangkan.

Bayangan punggung serta perawakannya sangat mirip Cin Yak-leng, tapi mukanya sedikitpun tidak sama. Meski nona Soat ini boleh dikatakan lebih cantik daripada Cin Yak-leng, tapi Peng-say justeru merasa sangat kecewa.

Betapa dia berharap wajah nona Soat ini akan mirip Cin Yak-leng, paling baik kalau nona ini memang Cin Yak-leng adanya. Akan tetapi ternyata bukan. Terpaksa ia cuma menghela napas dan melangkah pergi sambil menggeleng.

"Hai, kemari kau!" mendadak maling perempuan itu berseru.

Peng-say hanya menoleh dan bertanya: "Apakah nona memanggil diriku?”

"Semua orang sudah lari ketakutan, yang tertinggal cuma kau sendiri, siapa lagi kalau bukan memanggil kau?" kata maling perempuan itu.

Peng-say sengaja berkerut kening dengan lagak ogah2an.

jawabnya: "Ada urusan apa nona memanggilku?”

"Tidak perlu kau menggeleng, menghela napas dan tidak suka," kata maling jelita itu. "Yang kubunuh adalah orang jahat demi kesejahteraan umum, seharusnya kau bersyukur dan ikut bergembira. Mari sini, tampaknya nyalimu cukup besar, bantulah menggotong dan membuang mayat2 didalam keretaku ini”

"Nona yang membunuh mereka, silakan nona menggotong sendiri, aku tidak mau."jawab Peng-say.

"Aku sendiri tidak kuat, tolonglah bantu," pinta si maling cantik.

Sudah tentu Peng-say tidak percaya, tapi gerak-geriknya mengingatkan dia kepada Cin Yak-leng, setelah menghela napas, ia menjawab: "Baiklah, akan kubantu kau!”

Dengan lambat2 Peng-say merangkak keatas kereta, ia pura2 tidak bertenaga dan menggotong mayat2 itu kebawah kereta dengan susah payah.

Dilihatnya ke-12 sosok mayat itu semuanya mati karena ulu hati terpanah, diam2 ia sangat kagum kepada kejituan panah si nona.

Sampai lama baru ke-12 mayat itu diturunkan, nona itu lantas mengeluarkan sepotong perak dan diberikan kepada Peng-say, katanya; "Tampaknya kau sangat kasihan, tentu sudah beberapa hari kau tidak makan. Ini, ambil uang perak ini dan makanlah yang kenyang.”

Tanpa sungkan Peng-say terima pemberian itu tapi dengan ketus ia menjawab: "Ini adalah upah jerih payahku menggotong mayat, jangan kau omong seperti orang yang memberi sedekah,”

"Eh, dapatkah kau mengemudikan kereta?" tiba2 si nona bertanya dengan tertawa.

"Apakah nona ingin mengundangku menjadi kusir?”

tanya Peng-say.

"Kusirku telah terpanah mati oleh mereka, jika kau mau, akan kuberi upah satu tahil perak setiap hari," kata si nona dengan tertawa.

"Wah, royal benar nona ini, masa upah kusir satu tahil satu hari?" ucap Peng-say dengan mulut ber-kecek2. "Akan tetapi bagiku masih kurang banyak.”

"Kurang banyak?" nona itu menegas dengan terbelalak.

"Kau tahu, kusir umumnya jangankan satu hari satu tahil, biarpun tiga hari juga sukar mendapatkan untung satu tahil, malahan mereka harus membawa kereta dan kuda sendiri.”

"Tapi kusir dan kusir kan berbeda," ujar Peng-say.

"Menjadi kusir nona harus jual nyawa pula, dengan sendirinya satu tahil terlalu sedikit bagiku. Jika nona mau, lima tahil satu hari, tidak mau, batal!”

Nona itu tampak mendongkol, omelnya: "Gila kau!”

"Tidak mau ya sudahlah, selamat tinggal!" seru Peng-jay terus hendak melangkah pergi.

Pada saat itu juga mendadak dari arah kota sana debu mengepul tinggi. Si nona berseru kuatir: "Wah, celaka! Pasukan pemerintah dan para jago pengawal memburu tiba!" Tapi Peng say pura2 tidak mendengar, bahkan ia melangkah terlebih cepat.

Cepat si nona berteriak; "He, hei, kembali! Baiklah, lima tahil, jadi!”

Tak terduga, Peng-say lantas menggeleng, jawabnya: "Tidak, sekarang tarip sudah naik, sepuluh tahil satu hari.”

Si nona menjadi gusar, omelnya: "Sialan, jangan main peras!”

"Ai, ucapan nona ini tidak enak didengar," kata Peng-say sambil menggeleng. "Untuk menyelamatkan diri. masa sepuluh tahil satu hari tidak kau bayar?”

Karena pengejar sudah makin dekat, terpaksa si nona berseru dengan gemas: "Baiklah, sepuluh tahil!”

Tanpa bicara lagi Peng-say lantas melompat ketempat kusir, tapi sampai sekian lamanya dia berkutak-kutek kereta itu belum lagi bergerak.

Keruan si nona sangat mendongkol dan gelisah, ia berteriak2 di dalam kereta sambil memukul kabin: "He, ada apa, lekas larikan kudanya!”

"Tidak mau jalan!" jawab Peng-say.

Dengan gusar si nona mendamperat: "Sialan! Hakikatnya kau tidak dapat mengendarai kereta.”

"Aku memang tidak bisa " kata Peng-sny tanpa malu2 sedikitpun. "Kalau tidak bisa, kenapa kau terima pekerjaan ini?”

omel si nona. "Kan nona cuma tanya padaku apakah mau menjadi kusir, karena kau memberi upah yang lumayan, aku lantas coba2 pekerjaan ini.”

Melihat pengejar semakin dekat, sedikitnya berjumlah ratusan orang, wajah pengejarpun kelihatan jelas, si nona menjadi kuatir, segera ia berbangkit dan bermaksud meninggalkan kereta dan lari.

Tak terduga, se-konyong2 ia tergentak jatuh terduduk lagi, sebab mendadak kereta itu bergerak ditarik keempat ekor kuda, lantaran tidak ter-sangka2, nona itu terbanting dengan cukup keras.

Kiranya Soat Peng-say rmemang tidak mahir menjadi kusir, di mana letak rem kereta saja tidak tahu.

Kusir yang tadi ketika dicegat penjahat, terpaksa ia mengerem keretanya dan berhenti, setelah kusir mati terpanah dan Peng-say menggantikannya, karena tidak tahu rem kereta harus dibuka lebih dulu, dengan sendirinya kereta tidak mau jalan. Untung pada detik terakhir secara kebetulan pegangan rem kena dirabanya, sekali kereta dapat bergerak, keempat ekor kuda yang sudah dihalau sejak tadi segera membedal secepat terbang. Sebab itulah nona Soat yang berada di dalam kereta jadi terbanting jatuh.

Untung dia tidak terlempar keluar kereta, ia cuma meringis sambil meraba pantatnya yang kesakitan. Karena dia berharap Soat Peng-say akan melarikan kereta itu secepatnya, maka dia tidak mengomel kejadian itu, ia anggap dirinya yang sial ketemu 'orang gila".

Cara Peng-say mengemudikan keretanya juga tidak memenuhi syarat, bilamana dia minta rebewes ditanggung dia akan diapkir.

Cepatnya sih memang cepat lari keretanya. tapi kereta itu sebentar meliuk ke kanan dan sebentar lagi berkeluk ke sisi kiri, larinya tidak pernah lurus, kalau dipandang dari belakang, orang pasti mengira kusirnya lagi mabuk atau kudanya yang gila.

Nona Soat di dalam kereta hanya geleng2 kepala belaka, ia pikir kalau begini caranva Peng-say mengemudikan kereta, sebentar lagi pasti akan tersusul oleh pasukan pengejar itu. Benar juga, pasukan pengejar sudah semakin dekat, suara bentakan sudah terdengar dengan jelas.

Namun begitu, Soat Peng-say juga pantang menyerah, dia masih terus menghalau kuda agar berlari terlebih kencang, akan tetapi makin kencang makin tak keruan jalan keretanya, untung tidak terperosot ke sawah di tepi jalan.

kalau tidak, mustahil kereta itu tidak akan terbalik dan penumpangnya tidak terjungkir.

Akhirnya tersusul juga oleh pasukan pengejar, tapi ketika disuruh berhenti, Soat Peng-say justeru tidak mau berhenti.

Bukannya dia nekat, soalnya dia tidak sanggup menghentikannya.

Dua orang jago pengawal yang cekatan segera membedal kudanya hingga sejajar dengan kuda penarik kereta, mereka terus melompat ke atas kedua kuda paling depan, dengan demikian dapatlah kereta itu dihentikan, Serentak ratusan penunggang kuda itu mengelilingi kereta berwarna emas itu, para penunggang kuda itu kebanyakan adalah jago pengawal istana pangeran dan orang berpangkat di kotaraja, sebagian lagi adalah kaum opas. Seorang kepala opas lantas mengangkat sepotong gada besi dan membentak dengan bengis: "He, orang itu" Kenapa kau kabur?”

"Kabur" Ti. . .tidak". . ." jawab Peng-say dengan gelagapan.

Kaum opas sudah biasa main bentak dan main pukul terhadap rakyat kecil, melihat kusir ke-tolol2an ini, segera ia membentak pula: "Berani kau menyangkal"!" Berbareng gada besinya terus menghantam dada Soat Peng-say Mendadak Peng-say berteriak terus terjungkal ke bawah kereta, lagaknya seperti duduknya tidak betul dan terpeleset kebawah. Padahal dia sengaja berlagak gugup dan ketakutan, tapi dengan tepat mengelakkan pukulan gada besi. Kepala opas itu tidak tahu akal bulus Soat Peng-say itu, disangkanya anak muda itu memang takut padanya. ia tambah galak, makinya dengan tertawa: "Setan alas! Dimana malingnya?”

"Maling apa?" jawab Peng-say. "Aneh, masa polisi tanya si kusir, kan lucu?”

Semula kepala opas itu melengak, lalu menjadi gusar, bentaknya: "Kurangajar!" Segera ia ayun gadanya hendak menyerang lagi.

Tapi seorang kakek botak bermuka merah cepat memanggilnya: "Ong-thauji!”

Tampaknya kepala opas she Ong itu tidak berani semberono terhadap si kakek botak, cepat ia menarik kembali serangannya dan bertanya: "Ya, ada apa, Tan-losu?”

Kakek botak she Tan itu adalah kepala penjaga istana salah seorang pangeran yang kehilangan benda pusaka, tokoh pilihan dari Tiam-jong-pay. Lwekang dan Gwakangnya tergolong kelas tinggi. lebih2 ilmu pedangnya, jarang ketemu tandingan. Kepandaiannya terhitung paling tinggi di antara semua jago pengawal istana pangeran yang kehilangan barang itu.

Begitulah kakek botak itu lantas menjawab: "Biarkan kutanyai dia dulu.”

"Silakan Tan-losu tanya saja," jawab Ong thauji dengan hormat.

Melihat pintu kereta bercat emas itu tertutup rapat, si kakek botak tersenyum, tanyanya kemudian: "Eh, saudara ini, mohon tanya siapakah penumpang keretamu ini?”

Peng-say menjawabnya dengan tersenyum: "Harap kakek maklum, kereta hamba ini tanpa penumpang.”

Meski tirai pintu dan jendela kereta itu telah ditarik terlepas oleh kawanan Hwesio dan Tosu tadi, tapi daun pintu dan jendela yang terbuat dari kayu itu masih baik2, sekarang telah ditutup rapat2 dari dalam oleh si nona Soat.

Tampaknya kakek botak she Tan itu tidak percaya, ia berkerut kening dan berkata pula: "Apa betul tidak ada penumpangnya?”

Dengan tetap tersenyum Peng-say menjawab: "Betul, jika kakek tidak percaya, silakan engkau memeriksanya.”

Kakek botak itu memandang sekejap ke arah kereta, lalu berkata: "Periksa sih tidak perlu. kupercaya adik cilik ini bukan orang yang suka bohong.”

Si kepala opas she Ong tadi tidak sependapat dengan si kakek botak, diam2 ia membatin: "Si tua she Tan ini tinggi ilmu silatnya, tapi tidak pernah mengusut perkara, masa oceban seorang kusir boleh dipercaya begitu saja.”

Dia bermaksud menggeledah kereta, tapi juga tidak berani bertentangan dengan kehendak si kakek botak.

Peng-say lantas memberi hormat dan berkata pula: "Jika tidak ada urusan lain, hamba mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.”

"Nanti dulu, ingin kutanyakan sesuatu lagi," kata si kakek botak. "Di tengah jalan tadi terdapat belasan sosok mayat, siapa yang membunuhnya, tentu kau tahu bukan?”

Soat Peng-say mengangguk, jawabnya: "Ai, tadi hamba hampir saja mati ketakutan, waktu rombongan kakek menyusul kemari, hamba menyangka datang lagi kaum bandit, maka lari sekuatnya. Karena gemetar ketakutan.

hamba menjadi bingung dan tak dapat melarikan kereta ini dengan baik, kukira kakek dan tuan2 yang lain sudah melihatnya dengan jelas.”

Salah seorang jago pengawal lain berwatak keras, segera ia membentak: "Tidak perlu kau mengoceh, lekas katakan, belasan mayat di tengah jalan sana apakah dibunuh oleh seorang maling perempuan"!”

Orang ini berasal dari sebuah perusahaan peternakan besar she Liong di Kwan-gwa, diluar tembok besar.

Keluarga Liong terkenal dengan permainan cambuknya.

Orang ini sejak kecil bekerja sebagai gembala di peternakan keluarga Liong itu, karena kerjanya giat, orangnya jujur, maka oleh pemilik peternakan, yaitu Liong Hi-cong, dia diterima sebagai murid. Ia tamat belajar pada usia 30, karena tidak mau bakatnya terpendam di daerah perbatasan, dia masuk kedaerah Tionggoan untuk mencari Cukong yang baik agar mendapat kemajuan.

Hampir sepuluh tahun dia berkecimpung di dunia Kanguow, namanya memang sudah mulai membubung, bila orang menyebut Li Yu-seng dari Kwan-gwa, semuanya tahu permainan cambuknya memang cukup lihay. Cuma sayang, Hokkhinya kurang, sejauh itu belum ketemu cukong yang cocok, ia hidup luntang-lantung. hampir saja cambuk perak pemberian sang guru dijual untuk biaya hidup. Syukurlah permulaan tahun yang lalu dia mendapat pekerjaan dirumah Ho-houya, keluarga Ho yang berpangkat raja muda ini memang kaya raya, dia diangkat menjadi kepala penjaga rumah. Itupun atas ikhtiar sang guru, kalau tidak mungkin sampai detik ini dia masih menganggur.

Rupanya iapun puas dengan pekerjaannya itu, ia bekerja dengan giat dan hati2, ia pikir periuk nasi ini harus dipertahankan dan jangan sampai berantakan.

= Cara bagaimana Soat Peng-say akan mengocok lawannya dengan caranya yang kocak “

= Siapakah nona she Soat yang menjadi pencuri ini “

" == Bacalah jilid selanjutnya 8 == “

-ooo0dw0ooo- 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar