Suramnya Bayang-Bayang Jilid 23

Jilid 23

kegelisahan. Ia menjadi cemas jika rahasianya tiba-tiba saja akan terbongkar. Sebelumnya ia tidak pernah mencemaskannya seperti pada saat itu. Ia mulai membayangkan, apa yang mungkin terjadi pada dirinya jika rahasia itu diketahui

oleh Ki Demang. Bukan saja menyangkut nasibnya, namanya dan kedudukannya sebagai seorang menantu Demang. Tetapi bagaimana dengan anak-anaknya itu. Justru karena itu, maka menantu Ki Demang itu sama sekali tidak merasa mengantuk karenanya.

Sementara itu, di gandok, Kiai Badra pun tidak dapat tidur barang sekejap pun. Dengan Gandar ia masih tetap duduk dan berbicara perlahan-lahan.

Bahkan menurut Gandar, malam itu mungkin sekali akan terjadi sesuatu dengan menantu Ki Demang itu.

“Sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat tinggal diam,” berkata Gandar. “Apalagi jika orang-orang Jipang itu melibatkan diri.

“Apaboleh buat,” berkata Kiai Badra. “Sebenarnya kita harus menghindari setiap kemungkinan yang dapat menyeret kita ke dalam satu persoalan. Bukankah kita

sedang membawa tunggul Pajang yang harus sampai ke padepokan kita dengan selamat sebelum tunggul itu pada saatnya akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan?” Gandar mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, “Kita sudah telanjur terlibat.”

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang harus bersiap-siap. Jika perlu maka tunggul itu akan aku pergunakan. Mungkin orang-orang Jipang itu datang dalam jumlah yang cukup besar. Kau pun akan dapat mempergunakan senjata yang memadai jika kau benar-benar harus bertempur dengan beberapa orang perwira Jipang.”

“Aku akan mempergunakan ikat pinggangku,” jawab Gandar. “Kau tidak memerlukan senjata yang lain?” bertanya Kiai Badra. “Kali ini mungkin tidak Kiai,” jawab Gandar.

“Ya. Apalagi jika kau memenangkan perkelahian yang mungkin terjadi. Tetapi jika kau mengalami kesulitan?” bertanya Kiai Badra.

“Tidak Kiai. Jika dengan ikat pinggang ini aku mengalami kesulitan, maka dengan apapun juga aku akan mengalami kesulitan pula,” jawab Gandar.

Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa dengan ikat pinggang itu Gandar akan dapat menghadapi lawan-lawannya sebagaimana ia mempergunakan senjata apapun

juga.

Untuk beberapa saat mereka masih saja berbincang. Sementara itu malam pun menjadi bertambah malam. Tengah malam telah dilampaui beberapa saat. Namun rasa-rasanya keduanya sama sekali tidak berniat untuk berbaring.

Di bilik yang lain, di dalam rumah menantu Ki Demang itu, kawannya yang bertubuh agak gemuk dengan kepala yang agak kecil dibandingkan dengan tubuhnya itu, ternyata masih juga belum dapat tidur. Ia menjadi gelisah dipembaringannya.

Sekali ia memiringkan tubuhnya ke kiri, kemudian ke kanan, dan bahkan kadang-kadang ia tidur menelungkup.

“Tenanglah anak manis,” desisnya kepada diri sendiri. “Tidak akan terjadi apa-apa di rumah ini. Sejak kapan kau menjadi ketakutan mengalami peristiwa-peristiwa yang gawat seperti ini? Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Hadapi dengan sikap seorang laki-laki sejati.”

Orang itu pun kemudian memejamkan matanya. Namun ternyata bahwa ia pun tidak dapat segera tidur. Bahkan rasa-rasanya ia ingin mendengar setiap desis di luar dinding biliknya.

Dalam pada itu, malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Di kejauhan terdengar suara-suara malam yang kadang-kadang berderik bagaikan menggelitik jantung. Namun kadang-kadang terdengar semacam rintih memelas dan keluhan yang sendu.

Dalam sela-sela desir angin di dedaunan, Kiai Badra dan Gadar yang memiliki pendengaran yang sangat tajam ternyata mendengar suara yang lain. Bukan suara angin. Tetapi suara sentuhan kaki pada bongkah-bongkah tanah berbatu-batuan disebelah gandok itu. Dengan isyarat Kiai Badra minta agar Gandar berhati-hati. Sambil mengangguk Gandar pun kemudian berkisar untuk mempertajam pendengarannya.

<b>Seseorang</b> memang sedang bergeser mendekati tempat keduanya beristirahat di dalam bilik gandok itu.

Namun sementara itu, beberapa orang yang lain masih berada di luar halaman. Seorang di antara mereka berkata, “Jadi tunggul itu merupakan tunggul yang sangat berharga?”“Ya. Bukan saja ujudnya, tetapi juga bahannya. Bahkan mengandung permata. Di samping itu tunggul itu tentu juga merupakan pertanda dari satu kuasa dari Pajang. Tetapi aku tidak tahu,” jawab orang yang diajaknya berbicara.

“Kita harus merampasnya,” berkata orang yang pertama. “Mungkin akan berguna bagi pasukan Jipang. Sementara itu, kau dapat membunuh menantu Ki Demang yang tentu akan berkhianat itu.”

“Aku memang sudah muak,” berkata yang diajak berbicara. “Kita akan menyelesaikan persoalan kita bersama-sama. Tetapi jika aku mengalami kesulitan menghadapi menantu Ki Demang itu, aku memerlukan bantuan.”

Orang yang pertama mengangguk-angguk. Namun ia pun tidak menjawab lagi. Beberapa saat mereka menunggu. Ketika terdengar suara burung hantu lamat-lamat dari dalam halaman rumah itu, maka orang-orang di luar dinding halaman itu pun mulai bergerak.

Beberapa orang kemudian dengan sangat berhati-hati telah memasuki regol halaman yang memang tidak diselarak.

“Kita tidak akan mencuri tunggul itu,” berkata seorang yang berkumis tebal, “Tetapi aku akan mengambilnya dari tangannya.”

“Terserah,” jawab yang diajak berbicara, “Tetapi aku pun akan membunuh menantu Ki Demang itu dengan cara yang sama sebagaimana kau lakukan.”

“Tetapi kau memerlukan bantuan kami,” jawab orang berkumis itu. “Ya. Dalam keadaan yang sulit,” jawab orang itu.

Dengan demikian maka orang berkumis itu pun berkata, “Jika demikian yang kita perlukan hanyalah keterangan tentang keadaan rumah ini. Bukan kemungkinan untuk mencurinya.”

Yang diajak bicara itu pun mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, maka mereka melihat seseorang yang berjalan mendekati mereka. Orang itu adalah seorang di antara mereka yang mendapat tugas untuk mengamati keadaan di dalam rumah itu dan memberikan isyarat dengan suara seperti suara burung hantu.

“Bagaimana?” bertanya orang berkumis itu.

“Tidak ada yang mencurigakan. Agaknya isi rumah ini tidak menyadari bahwa kita akan datang malam ini,” jawab orang itu.

“Dengan demikian, bukankah tidak ada persiapan dan apalagi jebakan yang dapat menjerat kita?” bertanya orang berkumis itu.

“Tidak ada,” jawab orang yang mendahului masuk.

“Jika demikian, marilah kita memasuki pintu. Kita akan merampok rumah ini dan membunuh penguhuninya serta kedua orang yang membawa tunggul itu,” berkata orang yang berkumis tebal itu.

Sejenak kemudian beberapa orang itu pun telah naik ke pendapa. Mereka tidak lagi mengendap-endap seperti laku seorang pencuri. Tetapi mereka datang dan naik ke pendapa selaku prajurit yang memasuki medan perang.

Seorang di antara mereka pun kemudian pergi ke pintu pringgitan. Dengan hulu pedangnya orang itu mengetuk pintu sambil berteriak memanggil, “He, siapakah yang ada di rumah?”

Orang-orang di dalam rumah itu masih belum tidur. Karena itu suara ketukan pintu dan teriakan itu telah mengejutkan mereka. Bahkan anak perempuan Ki Demang yang tertidur disisi anaknya itu pun telah terkejut pula karenanya.

“Ada apa kakang?” perempuan itu bangkit dengan wajah yang tegang.

“Nyai, jaga anakmu baik-baik. Mungkin ada orang jahat yang ingin mengganggu kita,” jawab suaminya.

“Jadi?” istrinya menjadi semakin tegang.

“Jaga anakmu. Kau adalah anak perempuan seorang Demang. Berlakulah sebagai ayahmu yang berani dan tidak gentar menghadapi segala macam kesulitan. Jaga anakmu baik-baik. Aku akan melihat, siapakah orang yang berteriak-teriak itu.” “Hati-hatilah kakang,” suara perempuan itu menjadi parau.

<b>Menantu</b> Ki Demang itu pun kemudian membenahi dirinya. Di beberapa bagian

tubuhnya masih terasa sakit karena pangkal landean tunggul Kiai Badra. Tetapi setelah makan dan beristirahat sejenak, kekuatannya telah hampir menjadi pulih kembali.Sejenak diamatinya ploncoan tempat ia menyimpan senjatanya. Dengan perhitungan yang mapan ternyata ia meraih tombak pendeknya. Jika ia harus menghadapi lawan lebih dari seorang, maka tombak pendek itu agaknya akan lebih

menguntungkan daripada sebilah parang yang hanya pantas untuk perampok-perampok sebagaimana sering dilakukannya.

Sementara itu, orang berkumis tebal itu pun telah mengisyaratkan pula kepada kawannya untuk mengamati orang-orang yang berada di gandok.

“Jangan beri kesempatan mereka lari sambil membawa tunggul itu,” katanya.

Dua orang di antara mereka pun telah mengawasi pintu gandok yang masih tertutup. Orang yang mengendap-endap mendahului kawannya itu pun berdesis, “Mereka masih berada disana.”

Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ketukan pintu. Lebih keras. dan suara memanggil pun menjadi lebih keras pula, “Buka pintu atau rumah ini akan aku bakar?”

Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian kawannya yang

bertubuh agak kegemukan dan berkepala kecil itu pun telah mendekati pintu pula. “Kita akan membuka pintu itu,” berkata menantu Ki Demang.

Orang bertubuh gemuk itu tiba-tiba saja bertanya, “Kau masih mempunyai tombak pendek?”

“Apakah kau mampu mempergunakan tombak? Bukankah kebiasaanmu mempergunakan

parangmu,” bertanya menantu Ki Demang.

“Ketika aku pertama kali berlatih olah kanuragan, maka senjata yang paling aku senangi adalah tombak pendek. Hanya setelah aku menjadi perampok aku mempergunakan parang yang besar itu,” jawab orang yang agak gemuk itu. “Ambillah,” desis menantu Ki Demang.

Ketika orang itu sudah menggenggam tombak pendek, maka kedua orang itu pun telah mendekati pintu. Dengan suara yang tidak kalah lantangnya menantu Ki Demang itu bertanya, “Siapa kau he?”

Yang menjawab adalah kawannya yang berhubungan dengan orang-orang Jipang itu, “Aku. Buka pintu dan berlutut dihadapanku.”

Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mendekati

pintu sambil mempersiapkan diri. Sambil memberi isyarat kepada kawannya untuk bersiap sebaik-baiknya, maka ia pun membuka selarak pintu rumahnya

perlahan-lahan.

Demikian pintu itu terbuka, maka ia pun segera meloncat surut. Namun ketika orang-orang diluar pintu itu akan memburunya masuk, maka mereka pun tertegun. Dua ujung tombak telah menghalangi mereka.

“Siapa yang akan mati paling cepat?” suara menantu Ki Demang itu sangat meyakinkan.

Yang kemudian berdiri di depan pintu adalah kawannya yang telah berhubungan dengan orang-orang Jipang itu. Dengan suara lantang ia berkata, “Pengecut.

Berjongkoklah dihadapanku. Aku harus membunuhmu agar kau untuk selanjutnya tidak menghalangi lagi pekerjaanku.”

“Kau pengkhianat,” sahut menantu Ki Demang. “Siapapun aku, tetapi aku tetap berdiri dibawah kuasa Adipati Pajang, bukan Jipang.”

Tetapi orang berkumis tebal itulah yang kemudian tertawa. Katanya, “Aku adalah salah seorang perwira dari Jipang itu. Aku adalah saudaranya meskipun bukan saudara kandung. Ia telah menemukan satu keyakinan di dalam hidupnya. Dan itu adalah sangat berharga baginya.”

“Aku sama sekali tidak menghargainya,” berkata menantu Ki Demang. “Nah, sekarang masih ada waktu bagi kalian untuk pergi dari rumah ini. Atau aku harus mengusir kalian dengan kekerasan?”

Orang berkumis tebal itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah yang kau andalkan, bahwa kau akan mengusir aku? Aku memang sudah mendengar dari suadaraku

ini, bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara keempat orang kelompokmu. Tetapi kau sekarang berhadapan dengan seorang perwira dari Jipang.”

Sementara itu kawannya yang berpihak kepada Jipang itu pun menyambung, “Jangan banyak bicara lagi. He, kau jangan penjilat. Aku sudah mengira bahwa kau akan berada disini Kepala Kecil.” Kawannya yang berkepala kecil itu memandangi dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum sambil menjawab, “Kau yang berkepala besar. Marilah, kita mencoba satu permainan yang barangkali menarik. Kau dan aku berperang tanding. Biarlah orang-orang lain menjadi saksi. Siapakah di antara

kita yang lebih baik. Kau atau aku.”

“Persetan,” geram orang yang ditantangnya, “Berlutut kalian berdua. Kami sudah siap untuk memenggal leher kalian.”

“Jangan terlalu banyak bicara,” geram menantu Ki Demang. “Sekarang pergilah atau perutmu akan kukoyak dengan tombak ini.”

Orang yang berkumis tebal itulah yang kemudian berbicara, “Kau keluar atau kami yang masuk.”

Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu. Jika orang-orang di luar itu berhasil masuk, maka mungkin sekali mereka akan menemukan istrinya. Atau anaknya yang terkejut dan menangis. Mungkin mereka dapat mempergunakan istri dan anaknya untuk memaksanya menyerah. Sedangkan orang-orang yang seakan-akan menjadi gila itu tentu tidak akan dapat berbuat lain kecuali benar-benar membunuhnya, bahkan mungkin sekali dilakukan dihadapan istrinya.

Karena itu, maka menantu Ki Demang itu pun menjawab, “Kita akan bertempur ditempat yang luas. Aku akan keluar.”

Orang berkumis tebal itu tersenyum. Katanya, “Kau memang seorang yang berani Ki Sanak. Itulah agaknya kau adalah seorang perampok yang disegani. Marilah, kita akan melihat, apakah kemampuan seorang perampok mengimbangi kemampuan seorang

perwira dari prajurit Jipang.”

Menantu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang-orang yang berada di luar pintu itu pun bergeser menjauh untuk memberi jalan kepada

orang-orang yang berada di dalam rumah itu untuk keluar.

Menantu Ki Demang itu memang agak ragu untuk melangkah keluar pintu. Tetapi ketika ia melihat orang-orang yang berada di luar pintu itu bergeser menjauh, maka ia pun dengan sangat hati-hati melangkah ke pintu yang terbuka itu.

Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja halaman rumah itu telah digetarkan oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Tetapi rasa-rasanya bagaikan mengguncang jantung.

Orang-orang yang berada di luar pintu pringgitan itu pun berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di pintu gandok diseberang halaman disebelah pendapa. Perlahan-lahan orang itu menuruni tangga gandok yang tidak begitu tinggi.

Kemudian berdiri tegak di halaman dengan tunggul di tangannya.

Dalam cahaya lampu minyak di pendapa, maka tunggul itu nampak bagaikan menyala. Gerigi cakra itu nampaknya bagaikan lidah api yang menggeliat menggapai-gapai.

Orang-orang yang melihat tunggul itu menjadi berdebar-debar. Beberapa orang prajurit Jipang yang berada di halaman itu pun menjadi termangu-mangu karenanya. Menantu Ki Demang, yang juga melihat tunggul itu pun merasa kecut. Di dalam hati ia berkata, “Untunglah bahwa lidah api itu tidak menyentuh kulit dagingku.”Namun dalam pada itu, dalam ketegangan itu, menantu Ki Demang itu pun mendapat kesempatan untuk bergeser keluar diikuti oleh kawannya yang agak gemuk dan berkepala kecil itu. Keduanya menggenggam tombak pendek ditangannya.

Sedangkan yang harus mereka hadapi adalah kedua orang perampok yang telah memisahkan diri itu. Tiga orang perwira Jipang dan dua orang prajurit pengawal. Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Jumlah lawan mereka hampir lipat dua.

Namun demikian, tidak ada niat sama sekali untuk mengurungkan pertempuran dengan cara apapun juga meskipun seandainya nyawanya dapat diselamatkan karena itu. Ia benar-benar sudah bertekad untuk bertempur apapun yang akan terjadi. Demikian

pula kawannya yang gemuk itu. Ia telah menyerahkan tenaga dan kemampuannya meskipun harus bertaruh nyawa.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Badra bertanya, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi disini?”

“Persetan,” geram salah seorang perwira Jipang, “Jangan berpura-pura tidak tahu. Serahkan tunggul itu, dan biarkan kami membunuhmu dari pada kau harus mati karena hukuman yang harus kau jalani.”

“Aku tidak mengerti yang kau maksud. Apakah benar kalian para perwira dari Jipang?” bertanya Kiai Badra.

“Kenapa hal itu kau tanyakan lagi?” geram perwira itu. “Bukankah di antara kami telah menyebut, bahwa kami adalah perwira dari Jipang.”

“Jadi untuk apa sebenarnya kalian ingin merampas tunggul ini? Tunggul ini tidak ada artinya sama sekali bagi kalian. Tetapi mempunyai nilai yang besar bagi kami,” jawab Kiai Badra.

“Kau jangan membakar jantungku dengan berpura-pura bodoh seperti itu,” jawab perwira Jipang itu. Bahkan orang berkumis tebal itu telah mendekatinya pula. Katanya, “Kau menjengkelkan sekali kakek tua. Berikan tunggul itu. Jangan banyak bicara.”

“Sayang Ki Sanak. Aku akan mempertahankannya,” jawab Kiai Badra.

“Bukankah kau tahu, siapa kami? Kami adalah para perwira Jipang. Pajang sekarang sudah terkepung. Apa yang akan kalian lakukan?” perwira yang berkumis tebal itu menjadi semakin marah.

“Kami adalah abdi-abdi dari Kadipaten Pajang. Seperti para abdi dari Jipang, maka kami adalah abdi-abdi yang setia. Karena itu, apapun yang akan terjadi atas diri kami, maka kami akan mempertahankan tunggul ini.”

“Uh,” geram perwira berkumis tebal itu, “Ternyata kau benar-benar orang yang pertama-tama harus dibunuh.”

Kiai Badra memandang perwira itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kalian akan membuat kesalahan ganda Ki Sanak. Kehadiran kalian di daerah Pajang sudah merupakan satu kesalahan, karena kalian telah melanggar wewenang Kanjeng Adipati Pajang. Kedua, bahwa di Pajang kalian ternyata telah berusaha merampok kami.”

“Tutup mulutmu,” geram perwira itu. “Aku menyadari, menilik sikapmu menghadapi kami, serta menurut ceritera orang-orang yang telah gagal merampas tunggul itu, kau memang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi kelebihan kemampuanmu itu adalah karena kalian melawan perampok-perampok kecil yang tidak memiliki pengetahuan olah kanuragan sama sekali. Tetapi apakah kau juga akan dapat menengadahkan dadamu jika kalian bertemu dengan para perwira dari Jipang.” “Sebaiknya kita lihat,” jawab Kiai Badra. “Kita masih mempunyai banyak waktu.”

Perwira Jipang itu tidak ingin berbicara lebih banyak lagi. Dengan suara lantang ia berkata, “Urusi kelinci-kelinci itu. Aku akan menyelesaikan orang tua ini.” Demikianlah orang-orang yang berada di halaman itu telah menempatkan dirinya masing-masing. Dua orang perwira Jipang dengan dua orang pengawal sudah siap

menghadapi Kiai Badra dan Gandar. Namun yang terdengar adalah perintah orang berkumis tebal kepada kedua orang pengawalnya.

“Kalian harus menjaga agar orang-orang itu tidak melarikan diri sambil membawa tunggul yang sangat kita perlukan itu. Karena itu, kalian tidak usah turut bertempur. Amati saja keadaannya. Kalian akan melihat bagaimana aku memenggal leher lawanku.”Kedua pengawal itu pun telah memencar dan berdiri sebelah-menyebelah. Mereka harus menjaga agar kedua orang itu atau salah seorang daripadanya berusaha melarikan diri dan menyelamatkan tunggul yang menurut penilaian mereka sangat berharga itu.

Sementara itu, seorang perwira dan dua orang kawan menantu Ki Demang yang telah menyatakan memisahkan diri, bahkan akan membunuhnya itu, telah siap pula berhadapan dengan menantu Ki Demang serta kawannya yang agak gemuk.

Perwira Jipang itu menggeram, “Seperti sudah kami katakan, kalian tidak akan

dapat berbuat apa-apa. Aku ingin melihat kemampuanmu dibandingkan dengan seorang perwira dari Pajang.”

Menantu Ki Demang itu pun telah siap menghadapinya. Sementara kawannya yang gemuk harus menghadapi dua orang bekas kawannya sendiri.

Tetapi orang yang agak gemuk dengan kepala kecil itu pun sama sekali tidak

gentar. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Kita sekarang akan memperbandingkan kemampuan kita masing-masing. Jika ternyata kalian kalah, maka kalian harus membayar aku banyak sekali. Setiap perampokan yang terjadi, seharusnya pembagianku lebih banyak dari kalian, karena aku mempunyai kelebihan lebih banyak. Tetapi jika aku harus mati disini, maka tidak ada apa-apa yang patut dibanggakan, kecuali kelicikan kalian karena kalian bertempur tidak sebagai

laki-laki sejati dalam perang tanding yang adil.”

“Persetan,” geram kawannya. “Kami memang tidak sedang berperang tanding. Tetapi kami memang datang untuk membunuhmu.”

Orang yang agak gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bergeser menjauhi menantu Ki Demang, agar mereka dapat leluasa bertempur menghadapi lawan masing-masing dengan senjata sebatang tombak pendek.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah mulai membakar halaman rumah menantu Ki Demang. Seperti yang diperintahkan oleh menantu Ki Demang, laki-laki yang ada di bagian belakang rumah itu tidak segera melibatkan diri dan tidak

pula membunyikan tanda bahaya. Mereka tidak tahu alasannya, kenapa menantu Ki Demang tidak mengizinkan mereka untuk memukul ken-ongan. Mereka tidak tahu, bahwa menantu Ki Demang merasa cemas, seandainya kawan-kawannya itu tertangkap oleh para pengawal dan diserahkan kepada Ki Demang, karena mereka tentu akan berbicara tentang dirinya pula.

Karena itu, maka menantu Ki Demang itu merasa lebih baik dihadapinya sendiri. Tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa yang datang bersama kedua orang itu adalah tiga orang perwira dan dua orang prajurit pengawal dari Jipang.

Dalam pada itu, seorang di antara para perwira Jipang yang menghadapi menantu Ki Demang itu pun telah menyerangnya pula. Meskipun ia belum bersungguh-sungguh, tetapi nampak bahwa perwira itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Tetapi menantu Ki Demang itu pun termasuk orang yang paling kuat di antara kawan-kawannya. Karena itu, maka bagaimana pun juga ia berusaha untuk dapat mengimbangi kemampuan perwira dari Jipang itu.

Namun memang tidak dapat dipungkiri, bahwa para perwira Jipang, apalagi yang dikirim ke Pajang, adalah perwira yang memiliki kemampuan terpilih. Karena itu, maka dalam benturan pertama, telah tampak bahwa perwira Jipang itu memiliki kelebihan.

Meskipun demikian, maka menantu Ki Demang itu tidak cepat menyerah kepada keadaan. Dengan tombak panjangnya ia berusaha untuk setidak-tidaknya bertahan untuk waktu yang lebih lama dari pada sepenginang.

Di depan gandok, maka para perwira Jipang itu pun telah melihat Kiai Badra dan Gandar. Kedua orang perwira itu ternyata tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka mereka pun berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugas mereka. Dengan pedang panjang keduanya telah melibat Kiai Badra dan Gandar ke dalam satu pertempuran yang keras dan cepat.

Tetapi para perwira Jipang itu belum mengenal Kiai Badra dan Gandar sebelumnya. Karena itu, maka ketika terjadi benturan-benturan, mereka pun segera menyadari, bahwa kedua orang itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Dalam pada itu, sebagaimana sebelumnya, Kiai Badra berusaha untuk tidak membuat tunggulnya cacat. Tunggul yang berbentuk cakar itu tidak dipergunakan pada tajam geriginya. Tetapi Kiai Badra masih berusaha untuk mempergunakan pangkal landeannya.

Sementara itu, Gandar yang bersenjata ikat pinggang itu pun telah mengambil satu keputusan yang menggetarkan jantungnya sendiri. Lawannya itu harus diselesaikan sehingga ia tidak akan dapat mengganggu menantu Ki Demang itu lagi dan sekaligus mengurangi kekuatan pasukan Jipang di Pajang yang bergabung dengan pasukan dari Tanah Perdikan Sembojan.

Perwira dari Jipang yang melawan Gandar itu memang terkejut melihat Gandar mempergunakan senjata yang asing baginya, namun dengan demikian, perwira itu menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar, bahwa jika lawannya itu bukan seorang yang mumpuni maka ia tidak akan berani melawannya hanya dengan senjata ikat pinggangnya.

Sementara itu Kiai Badra pun telah terlibat dalam pertempuran yang cepat melawan perwira Jipang yang berkumis lebat itu. Ternyata perwira Jipang itu berusaha

untuk segera mengalahkan lawannya. Namun ternyata lawannya adalah Kiai Badra. Karena itu, maka betapapun perwira Jipang berkumis tebal itu berusaha, namun usahanya itu ternyata sia-sia saja. Ia tidak mampu berbuat banyak menghadapi orang tua yang membawa tunggul itu.

Demikian juga perwira Jipang yang bertempur melawan Gandar. Ternyata Gandar adalah orang yang luar biasa. Ikat pinggangnya yang mampu menebas seperti pedang, bukan sekadar sebuah ceritera. Tetapi benar-benar dibuktikannya sendiri dalam pertempuran itu.

Namun dalam pada itu, dilingkaran pertempuran yang lain, menantu Ki Demang mengalami kesulitan menghadapi perwira Jipang yang bertempur dengan garang. Pada saat yang pendek, ia sudah mulai terdesak. Karena itu, menantu Ki Demang itu

harus memeras tenaganya untuk bertahan. Namun dengan demikian, maka kemampuan dan daya tahannya akan cepat sampai ke batas.

Sementara itu, kawannya yang berbadan gemuk itu pun telah mengalami kesulitan. Meskipun ia yakin, bahwa ia memiliki kemampuan tidak lebih rendah dari kedua kawannya itu yang kemudian justru harus dilawannya, tetapi ketika mereka berdua menyatukan kemampuan mereka, orang yang gemuk itu mengalami kesulitan.

Kiai Badra agaknya melihat keadaan itu. Ia tidak dapat membiarkan menantu Ki Demang itu benar-benar diterkam kesulitan yang akan dapat membahayakan jiwanya. Karena itu, maka ia pun merasa wajib untuk menyelamatkannya.

Dengan demikian maka Kiai Badra harus mengakhiri perlawanan perwira Jipang itu mendahului batas daya tahan menantu Ki Demang, agar dengan demikian ia masih sempat memberikan pertolongan.

Karena itu, maka Kiai Badra pun telah meningkatkan ilmunya, sehingga perwira Jipang itu menjadi bingung. Pangkal landean Tunggul itu bagaikan berputaran disekitar tubuhnya, kemudian mematuk dengan dahsyatnya, menyentuh kulit dagingnya. Setiap sentuhan terasa bagaikan sentuhan bara api yang menyengat. Perwira Jipang yang berkumis lebat itu menjadi gelisah. Namun betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun ternyata bahwa sulit baginya untuk mengatasi kecepatan gerak orang tua yang bersenjata tunggul itu.

Bahkan semakin lama sentuhan pangkal landean tunggul itu semakin sering mengenainya.

Perwira yang bertempur melawan Gandar pun segera mengalami kesulitan. Meskipun Gandar hanya bersenjata ikat pinggangnya, namun senjata itu ternyata mampu mengimbangi perwira Jipang yang melawannya. Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Gandar akan segera memenangkan pertempuran itu.

Dalam keadaan yang memaksa itu, maka perwira Jipang yang berkumis lebat itu tidak dapat berbuat lain daripada memberikan perintah kepada prajuritnya untuk memasuki arena, bertempur bersamanya menghadapi orang tua yang bersenjata tunggul yang hanya dipergunakan pangkal landeannya saja.

“Ikutlah menangkap orang ini,” berkata perwira itu, “Agaknya ia benar-benar akan melarikan diri.”

Kedua prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka pun segera menyadari bahwa mereka harus turun ke gelanggang.

Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit itu pun telah melangkah mendekati pertempuran yang terjadi itu. Seorang mendekati lingkaran pertempuran Kiai Badra yang lain mendekati Gandar.Dengan senjata teracu, maka keduanya pun kemudian langsung memasuki arena.

Namun yang terjadi memang sangat mengejutkan. Prajurit yang memasuki arena melawan Kiai Badra itu pun segera telah terlempar kembali keluar arena. Sekali ia menggeliat, kemudian prajurit itu pun pingsan. Di dahinya terdapat noda

kebiru-biruan. Agaknya demikian ia berada di arena, maka ia pun menjadi lengah, sehingga pangkal landean tunggul Kiai Badra telah menyentuh dahinya, sedikit disebelah kening.

“Gila,” perwira berkumis lebat itu mengumpat. Ternyata bahwa prajurit itu sama sekali tidak berarti baginya.

Sementara itu, Gandar yang juga melihat keadaan menantu Ki Demang dan rekannya, ingin juga menyelesaikan pertempuran dengan cepat. Karena itu, maka ikat pinggangnya pun telah berubah seolah-olah sebilah pedang. Betapa ikat pinggang

itu terayun-ayun mendebarkan. Suaranya berdesing menggelitik telinga.

Dengan kemampuan yang luar biasa, maka Gandar pun segera mendesak kedua orang lawannya. Bahkan sejenak kemudian, ketika ikat pinggang itu menyambar mendatar dan menyentuh lengan prajurit yang bertempur melawannya, ternyata telah mengoyakkan kulitnya sehingga luka pun telah menganga. Darah pun kemudian telah mengucur dari luka yang pedih itu. “Gila,” geram perwira Jipang yang melihat lengan kawanya terluka. Namun ketika ia dengan marah meloncat menyerang, Gandar telah bergeser ke samping sambil mengayunkan ikat pinggangnya.

Ternyata ikat pinggang Gandar itu telah mematuk lambung perwira Jipang itu. Tetapi berbeda dengan kawannya yang koyak kulitnya, maka ikat pinggang Gandar itu telah menghantam lambung bagaikan selembar kepingan besi. Meskipun kulit perwira itu tidak terluka, tetapi rasa-rasanya bagian dalam lambungnyalah yang remuk karenanya.

Karena itu, maka perwira itu berusaha mengambil jarak. Dengan mengerahkan segenap daya tahannya, ia berusaha mengatasi perasaan sakitnya.

Sementara itu, prajurit yang terluka di lengannya itu agaknya masih mempunyai keberanian untuk menyerang Gandar. Dengan senjata berputar, prajurit itu berusaha untuk melukai lawannya.

Namun yang terjadi sangat menggetarkan hatinya. Ternyata dengan serangannya yang keras itu, pedangnya justru telah terlontar dan terlepas dari tangannya. Pedang

itu agaknya telah membentur ikat pinggang Gandar yang dipergunakan untuk menangkis serangan itu.

Prajurit itu mengumpat. Sementara itu, perwira yang lambungnya bagaikan remuk dibagian dalam itu berhasil mengatasi rasa sakitnya. Ia pun berusaha untuk dapat membantu prajurit yang terluka dan kehilangan pedangnya itu. Maka perwira itu pun telah meloncat menyerang Gandar.

Gandar bergeser selangkah. Serangan perwira itu tidak mengenainya sama sekali. Namun dengan demikian, prajurit yang kehilangan pedangnya itu masih sempat memungutnya.

Dengan demikian, maka prajurit itu pun telah bersiap pula untuk bertempur. Namun darah ternyata terlalu banyak ke luar dari lukanya di lengan. Karena itu, maka kegelisahannya pun telah mengganggu tata geraknya dalam pertempuran selanjutnya. Sejenak kemudian, maka berbareng keduanya menyerang Gandar. Dua ujung pedang bersama-sama mematuknya. Namun kedua orang lawannya itu telah terluka, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk bergerak terlalu cepat.

Dengan demikian, maka Gandar tidak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan perwira itu. Namun sekaligus sekali lagi ia menyambar pedang prajurit itu dengan ikat pinggangnya.

Sekali lagi pedang itu terlepas. Namun selagi prajurit itu merenunginya sekejab, tiba-tiba saja terasa dadanya telah dikenai ikat pinggang lawannya. Tetapi ikat pinggang itu tidak mengoyak kulitnya. Namun benar-benar sebagaimana sehelai kulit yang menghantam dadanya. Meskipun demikian dadanya itu terasa panas sekali. Kulit dagingnya terasa bagaikan disentuh bara api. Karena itu, maka

terdengar ia mengaduh perlahan. Kemudian terhuyung-huyung menepi menjauhi arena pertempuran. Apalagi ia sudah tidak bersenjata lagi.

“Pengecut,” geram perwira itu. “Kenapa kau lari dari medan?”

Prajurit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dadanya masih saja terasa panas sekali. Ketika ia sempat melihatnya, dibawah cahaya lampu diserambi gandok, ia melihat dadanya memang bagaikan terbakar melintang sebagaimana jalur sentuhan ikat pinggang lawannya.

Betapa sakitnya. Sehingga dengan demikian prajurit itu sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Lukanya yang mengoyak lengannya dan luka bakar yang menyilang di dadanya itu, membuat sama sekali tidak berdaya lagi.

Apalagi tanpa senjata ditangan.

Sementara itu, perwira yang bertempur melawan Gandar itu pun ternyata sudah tidak banyak lagi berbuat. Ia masih saja mengumpati kawannya yang kemudian jatuh terduduk bersandar dinding halaman. Namun sejenak kemudian, senjata lawannya yang aneh itu sekali lagi telah mengenainya pula. Pundaknyalah yang kemudian tersentuh ikat pinggang Gandar itu. Dengan demikian maka rasa-rasanya tangannya memang menjadi lumpuh, karena pundaknya bagaikan dikenai oleh sekeping besi baja.

Perwira itu mengumpat-umpat. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya. Ketika ia berusaha memindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kirinya, maka serangan Gandar itu pun datang lagi. Ikat pinggang kulit itu telah mengenai punggungnya sebagaimana ikat pinggang kulit sewajarnya. Namun seperti prajurit yang kehilangan kesempatan untuk melawannya itu, maka punggungnya pun

rasa-rasanya bagaikan terbakar.

Karena itu, maka perwira itu pun kemudian menggeliat dan bergeser surut. Tetapi Gandar telah memburunya pula. Ikat pinggang itu pun kemudian mematuk dadanya sebagaimana sebatang linggis, sehingga perwira itu terdorong surut dan jatuh terlentang.

Tulang-tulang iganya rasa-rasanya telah berpatahan. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka dari mulutnya telah meleleh darah yang hangat. Ternyata perwira itu tidak berdaya lagi. Bahkan ia pun kemudian jatuh terlentang. Kesakitan yang sangat telah mencengkamnya.

Gandar menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat Kiai Badra yang tidak mau mempergunakan tunggul sepenuhnya dan selalu menghindari kemungkinan landean

tunggul itu menjadi cacat oleh benturan, telah dapat melumpuhkan lawannya pula. Dengan pangkal landean tunggulnya Kiai Badra berhasil mengetuk dada perwira Jipang yang berkumis lebat itu sehingga perwira itu terlempar dari arena. Namun demikian ia berusaha bangkit, maka diluar dugaannya, pangkal landean itu tepat berada di atas dahinya, sehingga karena itu, maka kepalanyalah yang telah terantuk pada pangkal landean yang sengaja dipasang oleh Kiai Badra didepan dahinya itu.

KEPALA periwira itu terasa pening sekali. Matanya menjadi berkunang-kunang, sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap. Seperti prajurit yang membantunya, maka perwira itu pun menjadi pingsan.

Gandar dan Kiai Badra pun kemudian telah terbebas dari lawan-lawannya. Karena

itu, maka mereka pun mulai memandang ke arena pertempuran yang lain.Keduanya pun melihat, bahwa menantu Ki Demang itu benar-benar berada dalam kesulitan.

Sementara kawannya yang gemuk itu pun telah terdesak kesudut halaman. “Ambil lawan menantu Ki Demang itu Gandar,” berkata Kiai Badra. “Kemudian biarlah menantu Ki Demang dan kawannya yang gemuk itu menghadapi bekas kawan-kawannya sendiri.”

Gandar mengerutkan keningnya. Namun ketika ia melihat keadaan menantu Ki Demang itu menjadi gawat maka ia pun segera meloncat mendekatinya.

Dalam pada itu, perwira yang bertempur melawan menantu Ki Demang itu sudah hampir sampai pada saat terakhir. Ia mendesak menantu Ki Demang yang bersenjata tombak itu. Dengan permainan pedangnya yang membingungkan, tombak ditangan menantu Ki Demang itu hampir tidak berarti. Sekali-sekali ujung tombak itu mampu menahan gerak maju lawannya. Tetapi tiba-tiba saja terasa tombak itu telah

terpukul menyamping oleh pedang lawannya, sehingga pertahanannya menjadi terbuka. Ketika perwira itu menyerang, maka menantu Ki Demang hanya dapat berloncatan menghindari diri serta berusaha memperbaiki arah tombaknya untuk menahan gerak lawannya.

Namun akhirnya menantu Ki Demang yang selalu berloncatan mundur itu telah melekat dinding pringgitan. ia tidak lagi dapat bergeser mundur. Sementara itu lawannya selangkah demi selangkah telah bergerak maju sambil mengacungkan pedangnya.

“Kau tidak akan sempat menghindar lagi sekarang Ki Sanak,” berkata perwira

Jipang itu. “Sebenarnya aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi agaknya kedua kawanmu itu, yang seorang adalah sanak kadangku, sebagaimana dengan kawanku yang berkumis lebat itu, minta kepadaku untuk membunuhmu. Aku tidak mengerti persoalan apakah yang sudah terjadi di antara kalian. Namun agaknya tunggul itu pun menjadi salah satu penyebabnya.”

“Kau lihat,” tiba-tiba saja menantu Ki Demang itu berdesis, “Kawan-kawanmu sudah tidak berdaya sama sekali.”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mencoba melihat apa yang terjadi di halaman samping, di depan gandok. Semula ia tidak banyak menghiraukan pertempuran itu, karena ia yakin bahwa kawan-kawannya akan dapat dengan cepat menguasai tunggul itu. Apalagi perwira itu membelakanginya.

Sementara itu ia memusatkan perhatiannya kepada menantu Ki Demang yang dengan gigih melawannya.

Perwira itu menjadi berdebar-debar. Pertempuran sudah berhenti. Namun ia tidak segera dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi.

Menantu Ki Demang yang putus asa itu, semula dengan tidak sengaja telah

berpaling ke arah halaman samping. Dan menantu Ki Demang itu melihat bahwa Kiai Badra berdiri tegak dengan tunggul ditangannya, sehingga dengan demikian ia

telah mengambil kesimpulan bahwa Kiai Badra telah menyelesaikan kedua lawannya. Pada saat yang demikian itulah, maka lawan menantu Ki Demang telah mengambil keputusan untuk membunuhnya karena ia sudah tidak sempat menghindar lagi.

Namun ia berhasil memperpanjang umurnya dengan menunjukkan kepada lawannya, bahwa pertempuran di halaman telah selesai. Benar atau tidak ia telah menyebut, bahwa kawan-kawan perwira itu sudah tidak berdaya lagi.

Sejenak kemudian perwira itu pun menggeram. Ia pun melihat bahwa orang tua yang membawa tunggul itu masih berdiri tegak, sementara ia melihat pula seorang telah berlari mendekatinya.

Karena itu, maka perwira itu harus bergerak dengan cepat. Dengan serta merta ia

telah menggerakkan pedangnya untuk mengakhiri perlawanan menantu Ki Demang itu. Dengan demikian, maka ia akan dapat menyambut lawannya yang baru. Tetapi ternyata menantu Ki Demang mampu mempergunakan kesempatan yang sekejap itu. Selagi perwira itu berusaha melihat keadaan di halaman, menantu Ki Demang

telah bergeser menyamping. Ia memang sudah memperhitungkan, bahwa perwira itu tentu akan berusaha menyelesaikannya dengan cepat.Karena itu, ketika perhatian perwira itu kembali kepadanya menantu Ki Demang itu sudah mendapatkan jalan untuk menghindar kesamping sambil menjulurkan tombaknya.

“Setan,” geram perwira itu. “Kau akan lari kemana?”

Menantu Ki Demang sampai kepada usahanya yang terakhir untuk mempertahankan hidupnya.

Namun usahanya itu telah memberikan kesempatan Gandar untuk mencapainya.

Dengan

loncatan panjang, maka Gandar pun telah berdiri beberapa langkah dari menantu Ki Demang yang tegang.

“Ki Sanak,” berkata Gandar yang berhasil memancing perhatian perwira itu, “Apakah kau dapat berbangga dengan kemenangan kecilmu? Bukankah sudah sepantasnya jika seorang perwira dari Jipang berhasil mengalahkan seorang pedesan yang tidak pernah mempelajari oleh keprajuritan.”

“Persetan,” geram perwira itu. “Jadi kau juga akan turun ke arena dan akan mati pula.”

“Kedua kawanmu dan kedua pengawalmu sudah tidak berdaya. Apakah kau tidak akan menyerah?” bertanya Gandar.

“Seorang prajurit tidak mengenal arti menyerah,” berkata perwira itu. “Jika kau tidak ingin terbunuh juga, minggirlah.”

“Aku akan mengambil alih pertempuran ini,” jawab Gandar. Lalu katanya kepada menantu Ki Demang, “Kau dapat membantu kawanmu yang mengalami kesulitan itu.” Menantu Ki Demang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bergeser selangkah, sementara Gandar maju mendekati perwira yang mengacukan pedangnya itu.

“Licik,” geram perwira itu kepada menantu Ki Demang, “Kau tidak berani bertempur tanggon sebagai seorang laki-laki.”

Menantu Ki Demang itu tertegun. Wajahnya menjadi merah. Tetapi Gandarlah yang menjawab, “Apa katamu tentang kawan-kawanmu yang bertempur berpasangan?

Jangan

berbicara tentang harga diri. Kita semuanya sudah kehilangan harga diri itu di sini.” Perwira itu menggeram, sementara Gandar mendesak, “Cepat, bantulah kawanmu yang gemuk itu.”

Menantu Ki Demang itu bagaikan tersadar dari mimpinya. Ia pun kemudian berlari-lari menuju ke arena yang lain, sementara Gandar telah mengambil alih kedudukannya dihadapan perwira Jipang yang tersisa itu.

Sementara itu, menantu Ki Demang itu pun datang tepat pada waktunya. Namun ujung pedang salah seorang di antara kedua lawan orang yang gemuk itu telah tergores ditubuhnya.

“Anak setan,” orang yang gemuk itu menggeram. Sementara itu tombak ditangannya segera berputar pula. Namun bagaimanapun juga ia mengalami banyak kesulitan menghadapi kedua orang lawannya. Apalagi karena pengerahan segenap kemampuannya

telah membuatnya mulai merasa bahwa tenaganya telah susut. Lukanya yang meskipun tidak begitu dalam itu ternyata telah mempengaruhinya. Ketika ia meraba luka itu terasa darah yang meleleh di sela-sela jarinya. Bagaimanapun juga hatinya

menjadi gelisah. Sementara kedua orang lawannya menjadi semakin garang, sebagaimana seekor serigala melihat seekor kelinci yang tidak sempat lagi melarikan diri.

Namun pada saat yang sulit itu ia melihat seseorang berlari ke arahnya. Belum

lagi ia berhenti, telah terdengar suaranya, “Bertahanlah. Aku datang membantumu. Kita akan berhadapan dua melawan dua.”

Wajah orang yang gemuk itu menjadi tenang. Kedatangan menantu Ki Demang itu tentu akan melonggarkan kedudukannya, sehingga ia tidak lagi terjepit disudut halaman dan kehilangan kesempatan untuk bertahan.

Kedatangan menantu Ki Demang itu benar-benar mempengaruhi pertempuran itu. Seorang di antara kedua orang yang bertempur berpasangan itu terpaksa berpaling dan berteriak lantang, “Pengecut. Kenapa kau turut campur? Bukankah kau telah mempunyai lawan sendiri?”

Tetapi menantu Ki Demang itu menjawab, “Aku sudah membunuh perwira-perwira Jipang itu. He, sekarang datang pilihanmu untuk dibunuh.”

Bekas kawannya yang berhubungan dengan saudara-saudaranya yang menjadi perwira Jipang itu mengumpat. Katanya, “Dan kau akan bertempur dengan licik.”“Kenapa aku licik?” bertanya menantu Ki Demang itu.

“Kau campuri pertempuran yang hampir selesai ini. Kami hampir berhasil membunuh lawan kami,” jawab lawannya itu.

“O,” menantu Ki Demang yang sudah berdiri dekat arena itu pun bertanya, “Bagaimana dasar penilaianmu? Jika aku licik karena aku siap memasuki arena pertempuran ini, bagaimana dengan kau yang bertempur berpasangan?” Lawannya itu tidak menjawab. Namun dengan serta merta ia telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Menantu Ki Demang itu sempat mengelak. Sambil tertawa kecil ia menjawab, “Kau memang garang. Tetapi kau gagal mempergunakan saat lawanmu lengah. Sekarang aku benar-benar sudah siap untuk bertempur.”

Lawannya tidak menjawab. Serangannya pun datang beruntun dengan cepatnya. Tetapi menantu Ki Demang itu mempergunakan tombak pendek, sehingga sejenak kemudian, ia

pun telah berhasil mengendalikan pertempuran itu. Dengan ujung tombaknya yang berputaran, terjulur dan kemudian mematuk, ia berhasil menahan serangan-serangan yang datang bagaikan banjir bandang.

Sejenak kemudian, maka yang terjadi adalah perang seorang melawan seorang sebagaimana kawannya yang bertubuh gemuk itu. Meskipun tubuhnya telah tergores oleh luka, namun ketika ia sudah kehilangan seorang lawannya, maka arena itu

rasa-rasanya menjadi sedikit lapang. Orang berkepala kecil itu sempat menarik

nafas dalam-dalam, sementara ujung tombaknya pun mampu menahan lawannya untuk bergeser surut.

“Setan,” geram lawan orang berkepala kecil itu, “Nyawamu sudah diujung rambutmu.”

“Tadi,” jawab orang berkepala kecil itu. “Sekarang nyawaku sudah menyuruk lagi masuk ke dalam ubun-ubun. Dan kau tentu tidak akan mampu menggapainya lagi.” “Persetan,” lawannya mengumpat. Tetapi ketika ia dengan serta merta meloncat maju untuk menerkam dengan ujung pedangnya, maka sekali lagi langkahnya terhenti. Ujung tombak orang gemuk berkepala kecil itu telah menahannya.

Dengan demikian, maka pertempuran antara orang-orang yang pernah bekerja bersama itu menjadi semakin seru. Masing-masing berusaha untuk mengakhiri pertempuran

itu sampai tuntas. Orang-orang yang bekerja bersama dengan para perwira dari Jipang itu benar-benar ingin membunuh menantu Ki Demang dan kawannya yang dianggap akan dapat menjadi penghalang untuk selanjutnya, dan bahkan mungkin mereka akan melaporkannya kepada Ki Demang. Sementara itu, menantu Ki Demang pun

agaknya ingin membungkam lawannya agar rahasianya tidak akan terbuka sama sekali kapanpun juga.

Namun ternyata bahwa menantu Ki Demang itu memang memiliki kelebihan. Dengan kemampuannya yang melampaui tingkat kemampuan lawannya, maka ujung tombaknya telah mulai menyentuh tubuh lawannya.

Lawannya mengumpat kasar. Namun satu kenyataan. Tubuhnya telah terluka. Menantu Ki Demang itu tertawa. Katanya, “Jika sejak semula kau menyadari kekeliruan langkahmu, maka kau tidak akan mengalami nasib buruk.” “Jangan mengigau. Bersiaplah untuk mati,” geram lawannya.

Menantu Ki Demang terkejut ketika lawannya itu kemudian meloncat menyerang sambil memukul tombaknya, sebagaimana ia menyibakkan ujung pagar yang runcing. “O,” menantu Ki Demang itu justru meloncat surut. Sementara lawannya itu pun telah memburunya. Serangannya pun telah datang pula beruntun, tidak

henti-hentinya.

Beberapa kali menantu Ki Demang itu harus berloncatan surut. Namun ia sama sekali tidak merasa terdesak. Ia sadar bahwa lawannya ingin menghentaknya dan kemudian mempergunakan kesempatan itu untuk menemukan kelemahan padanya. Namun justru dengan perhitungan yang cermat, menantu Ki Demang itu meloncat surut beberapa langkah lagi. Sementara itu, lawannya pun masih memburunya.

Bahkan menantu Ki Demang yang nampak gugup itu telah membuat satu kesalahan dengan tombaknya. Ketika ia berusaha menangkis serangan ujung pedang lawannya, ternyata tombaknya telah terayun menyamping.Satu kesempatan yang tidak

disia-siakan oleh lawannya. Karena itu, maka dengan satu loncatan panjang

lawannya mengayunkan pedangnya mendatar tepat ke arah leher menantu Ki Demang. Tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya. Bukan leher menantu Ki Demang yang tertebas putus, tetapi menantu Ki Demang itu justru telah berjongkok sambil mengacukan ujung tombaknya.

Terdengar teriakan nyaring. Ujung tombak menantu Ki Demang itu ternyata telah tertancap di dada salah seorang bekas kawannya yang kemudian telah memisahkan diri karena sikap yang berbeda.

Perlahan-lahan menantu Ki Demang itu pun kemudian berdiri. Ditariknya ujung tombaknya. Demikian ujung tombak itu terlepas dari dada lawannya, maka orang itu pun terjatuh menelungkup. Darah yang merah telah mengucur dari lukanya yang tembus sampai ke punggung bahkan menyentuh jantungnya.

Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu.

“Orang itu tidak akan dapat membuka rahasiaku lagi,” berkata menantu Ki Demang di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ketika ia mengangkat wajahnya dan memandang kawannya yang gemuk itu, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ia melihat kedua orang yang bertempur itu masing-masing sudah terbaring diam. Sementara itu, Kiai Badra yang masih membawa tunggulnya berjongkok disampingnya.

Dengan tergesa-gesa ia meloncat mendekatinya. Ketika dengan tergesa-gesa ia berjongkok disamping Kiai Badra, maka Kiai Badra pun berdesis, “Keduanya telah menyelesaikan pertempuran ini dengan akhir yang pahit.”

Menantu Ki Demang itu berusaha mengguncang tubuh kawannya yang gemuk dan berkepala kecil itu. Tetapi Kiai Badra berdesis, “Ia sudah meninggal. Namun lawannya pun telah terbunuh pula.”

Menantu Ki Demang itu menundukkan kepalanya. Dengan suara lirih ia berkata, “Ia adalah sahabat yang sangat baik. Kasihan. Ia mati karena ia berusaha untuk ikut menjaga nama baikku.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, “Orang ini memang pantas untuk dihormati. Khususnya oleh keluargamu. Ia telah menunjukkan kesetiaan seorang sahabat.”

Wajah menantu Ki Demang itu menjadi semakin sendu. Namun Kiai Badra pun berkata, “Tetapi beruntunglah orang ini, bahwa ia tidak mati sebagai seorang perampok

yang akan dicampakkan ke dalam kubur dengan iringan caci dan maki.”

Menantu Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ia mati sebagai seorang sahabat yang baik. Dan ia akan dihormati oleh seisi padukuhan, bahkan Kademangan ini.”

Kiai Badra pun kemudian berdiri sambil berdesis, “Masih ada seorang yang perlu kita perhatikan.”

Menantu Ki Demang itu pun bangkit pula. Namun ternyata bahwa mereka sudah tidak melihat lagi pertempuran. Gandar berdiri tegak disebelah sosok tubuh yang

terbaring diam.

“Apakah kau membunuhnya?” bertanya Kiai Badra. Gandar menggeleng. Katanya, “Ia tidak mati.”

Menantu Ki Demang pun kemudian bersama Kiai Badra melangkah mendekatinya. Sebenarnyalah bahwa orang itu masih hidup. Tetapi luka-luka di bagian dalam tubuhnya telah membuatnya tidak berdaya untuk melawan.

Kiai Badra pun kemudian berkata kepada menantu Ki Demang, “Mereka memerlukan perawatan. Yang terbunuh harus diselenggarakan sebaik-baiknya, sementara yang terluka memerlukan pengobatan.”

Menantu Ki Demang itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Biarlah aku memanggil para pelayanku. Biarlah mereka membantu.”

Menantu Ki Demang itu pun kemudian memanggil beberapa orang laki-laki yang juga tinggal di rumah itu. Namun mereka adalah laki-laki yang tidak akan dapat membantunya dalam kesulitan pertempuran. Jika mereka harus tampil juga dipertempuran, maka hanya berarti memperbanyak korban saja.Orang-orang itulah yang kemudian harus mengumpulkan para prajurit Jipang yang terluka. Mereka ditempatkan di gandok, di dalam bilik yang khusus.

“Persetan,” geram salah seorang dari perwira itu ketika Kiai Badra berusaha mengobatinya, “Kenapa kau tidak membunuhku?”

“Kalian adalah prajurit-prajurit Jipang. Kami sampai saat ini masih membatasi persoalan dengan prajurit-prajurit Jipang.”

“Tetapi bukankah kalian orang-orang Pajang?” bertanya perwira itu.

“Ya. Kami orang-orang Pajang. Bukan prajurit-prajurit Pajang,” jawab Kiai Badra pula.

“Tetapi kalian akan menyesal bahwa kalian tidak membunuh kami. Jika kalian

biarkan kami kembali ke dalam kesatuan kami, maka mungkin kami pun akan kembali ke rumah ini dan menghancurkan seluruh isinya.”

“Jika demikian maka kita akan bertemu lagi,” jawab Kiai Badra pula. “Mungkin aku atau Gandar akan dipanggil dalam kesatuan-kesatuan keprajuritan. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan bertempur dalam kedudukan yang sejajar.”

“Anak iblis,” geram perwira dari Jipang itu. “Kalian telah menghina kami. Bukan watak kami berterima kasih karena kami tidak terbunuh dalam kekalahan seperti ini.”

“Terserah kepada kalian,” jawab Kiai Badra.

Namun Gandar yang mulai jengkel menjawab, “Terima kasih atau tidak, itu bukan persoalan kami. Kami telah merasa bersyukur bahwa kami mendapat kesempatan untuk tidak membunuh lawan-lawan kami.” Perwira-perwira Jipang itu menggeram. Seorang di antara mereka berkata, “Bagaimanapun juga kami tetap seorang prajurit. Kami tidak pernah merasa menyerah dan minta dihidupi.”

“Cukup,” Gandarlah yang memotong pembicaraan itu, “Aku tidak perlu sesorahmu. Aku akan berbuat sebagaimana ingin kami perbuat. Kalian bukan apa-apa bagi kami.”

Para perwira itu benar-benar merasa terhina. Seorang di antara mereka berkata, “Apa hakmu membentak kami?”

Wajah Gandar menjadi merah. Tetapi Kiai Badralah yang menyahut, “Tidak ada hak kami membentak kalian. Gandar juga tidak membentak. Ia hanya menyatakan kejengkelan perasaannya, karena ia menghadapi sikap kalian yang tidak wajar?

Kenapa kalian bersikap seperti itu. Kalian tidak usah berusaha untuk

menutup-nutupi kekurangan kalian dengan tingkah laku yang aneh-aneh begitu. Justru bagi seorang laki-laki, maka ia akan menerima kenyataan sebagaimana adanya. Kenyataan itu adalah bahwa kami telah mengalahkan kalian. Kenapa kalian berpura-pura tidak mau menerima kenyataan, bahwa kami memang tidak membunuh kalian?”

Para perwira Jipang itu termangu-mangu. Sementara Kiai Badra berkata selanjutnya, “Sebaiknya kita berhubungan sebagaimana hubungan antara sesama. Jangan terlalu membatasi diri dengan kedudukan dan keyakinan. Kami tahu bahwa kiblat di antara kita tidak sama. Tetapi biarlah yang tidak sama itu tidak sama.

Tetapi pada hakikatnya, apakah perbedaan di antara kita?”

PARA perwira itu tidak menjawab. Mereka pun kemudian tidak mempersoalkan lagi ketika Kiai Badra mengobati mereka, sementara para pembantu menantu Ki Demang sibuk dengan mayat yang terdapat dihalaman. Satu di antara sosok tubuh yang membeku itu dianggap mempunyai kedudukan yang berbeda.Dalam pada itu, menantu Ki

Demang itu pun kemudian telah mendapatkan istrinya yang mendekap anaknya yang kecil di dalam biliknya. Seorang perempuan tua mengawaninya. Sementara anaknya yang besar masih tidur dengan nyenyaknya.

Dengan suara gagap terdengar istrinya itu berdesis, “Kakang, apa yang telah terjadi?”

Menantu Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan suara dalam, “Semuanya sudah selesai. Yang Maha Agung telah melindungi kita.” “Jadi?” bertanya istrinya pula.

“Kami berhasil menguasai keadaan,” jawab menantu Ki Demang itu. “Tetapi

benar-benar karena pertolongan Tuhan. Jika dua orang kawanku itu tidak bermalam di rumah ini, mungkin keadaannya akan berbeda.”

“O,” istrinya mendekap anaknya semakin erat.

“Sudahlah. Beristirahatlah. Kau tidak perlu cemas lagi. Semuanya sudah selesai. Sebentar lagi, tentu orang-orang Kademangan akan datang,” berkata suaminya. Sebenarnyalah, menantu Ki Demang telah mengirimkan seorang pembantunya untuk memberitahukan kepada mertuanya, bahwa telah terjadi perampokan di rumahnya. Namun sementara itu, atas persetujuan menantu Ki Demang Kiai Badra yang telah mengobati para perwira dari Jipang itu bertanya, “Apakah kalian dapat meninggalkan tempat ini?”

“Kenapa?” bertanya salah seorang di antara para perwira itu.

“Sebentar lagi tempat ini akan penuh dengan orang-orang Kademangan ini,” jawab Kiai Badra. “Mungkin mereka akan bersikap kasar terhadap kalian.”

“Aku tidak takut seandainya mereka membunuh aku,” geram salah seorang di antara mereka.

“Bukan soal takut atau tidak takut,” jawab Kiai Badra. “Tetapi aku tidak mau terjadi keributan lagi.”

Para perwira itu termangu-mangu. Namun menantu Ki Demang itulah yang kemudian berkata meskipun agak ragu, “Biarlah mereka kita letakkan dibelakang. Di bilik

para pembantuku.”

Kiai Badra mengangguk-angguk. Dengan wajah ragu ia berkata kepada para perwira itu, “Jangan menolak. Yang kami lakukan ini bukan apa-apa.”

Para prajurit Jipang itu tidak menolak. Mereka kemudian dibawa ke bagian belakang rumah itu agar tidak menimbulkan persoalan baru dengan orang-orang padukuhan yang tentu akan berdatangan.

Kepada para pembantunya menantu Ki Demang itu pun telah berpesan, agar mereka tidak menyebut-nyebut orang-orang yang ada di dalam bilik mereka.

“Orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang sebenarnya tidak terlibat dalam perampokan ini. Tetapi mereka terkait karena seorang di antara para perampok adalah seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan mereka, yang

mungkin dengan dalih apapun juga, sehingga prajurit-prajurit itu terjebak ke dalam tindak kekerasan ini,” berkata menantu Ki Demang.

Para pembantunya termangu-mangu. Seorang di antara mereka bertanya. “Karena mereka sudah terlibat, bukankah seandainya mereka dibunuh tidak akan ada persoalan?”

“Jangan berkata begitu?” jawab menantu Ki Demang. “Mereka adalah prajurit-prajurit Jipang. Jika seorang saja di antara mereka terbunuh disini,

maka Kademangan ini akan dihancurkan. Kau harus tahu, bahwa disebelah perbatasan terdapat sepasukan prajurit Jipang. Jika mereka mendengarnya, maka Kademangan ini akan mengalami mala petaka. Tentu akan berbeda sikap mereka, jika mereka

tetap hidup dan kita perlakukan dengan baik, meskipun mereka tetap mengancam. Namun kita masih yakin akan kebeningan hati nurani mereka sebagai manusia, sehingga mereka tidak mendendam kita.”

Para pembantunya mengangguk-angguk. Agaknya keterangan menantu Ki Demang itu dapat dimengerti pula.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Ki Demang sendiri telah datang ke rumah menantunya. Beberapa orang bebahu telah menyusul bersama beberapa orang pengawal Kademangan. Bahkan kemudian orang-orang yang mendengar keributan di sepanjang jalan yang dilalui oleh Ki Demang dan para pengawal, telah terbangun pula dan

ikut pergi ke rumah menantu Ki Demang itu. Tetapi ketika mereka sampai di rumah itu, keadaan telah menjadi tenang. Ki Demang telah ditemui oleh menantunya di halaman, sementara para pembantunya termangu-mangu menyaksikan kehadiran orang-orang padukuhan itu.

“Syukurlah, bahwa kesulitan telah teratasi,” berkata Ki Demang kepada menantunya.

“Ada beberapa orang yang telah menolong aku,” berkata menantu Ki Demang yang kemudian memperkenalkannya dengan Kiai Badra dan Gandar yang telah menyembunyikan tunggulnya dibalik selongsongnya.

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat tahu terlalu banyak tentang Kiai Badra dan Gandar, karena menantu Ki Demang itu telah menyebut pula seorang sahabatnya yang terbunuh.

“Kasihan,” desis Ki Demang, yang kemudian bertanya, “Jadi ada berapa orang yang terbunuh?”

“Seorang sahabatku yang harus mendapatkan penghormatan dari orang-orang padukuhan ini, karena telah ikut mempertahankan rumah ini dengan mengorbankan jiwanya,” berkata menantu Ki Demang.

Ki Demang masih mengangguk-angguk. Namun segalanya masih harus dikerjakan jika matahari telah naik.

Demikianlah Kademangan itu telah disibukkan dengan penguburan beberapa orang dalam suasana yang berbeda. Di antara mereka yang dianggap sebagai perampok yang ingin merampok rumah menantu Ki Demang, terdapat seorang pahlawan yang dihormati

oleh seisi Kademangan. Bahkan oleh menantu Ki Demang, keluarganya telah diberinya sekadar uang untuk membantu upacara yang harus dilakukan.

Kepada Ki Demang, menantunya mengatakan, bahwa ia tidak dapat menyebut jumlah perampok yang datang ke rumahnya dengan pasti, karena perkelahian yang kemudian terjadi menjadi kisruh. Tetapi ada di antara mereka yang tidak terbunuh, sempat melarikan diri meninggalkan halaman rumahnya.

“Kenapa kau tidak memberikan isyarat dengan kentongan?” bertanya Ki Demang. “Kami tidak sempat melakukannya,” jawab menantunya. “Tiba-tiba saja kami sudah terlibat ke dalam pertempuran yang membingungkan.”

Namun dalam pada itu, yang terjadi di rumah menantu Ki Demang itu seakan-akan merupakan satu peristiwa yang telah mencuci namanya. Dengan demikian, maka segalanya yang buram yang pernah dilakukannya telah dihapuskan, meskipun seorang di antara kawannya harus menjadi korban dalam pembersihan nama itu, sementara dua orang kawannya yang lain mati sebagai perampok-perampok.

Ketika keadaan rumah menantu Ki Demang itu sudah sepi kembali, maka Kiai Badra dan Gandar pun dipersilakannya untuk mencari pemecahan tentang orang-orang Jipang yang masih ada di rumahnya.

“Apakah yang sebaiknya kami lakukan dengan mereka?” bertanya menantu Ki Demang itu.

“Mereka tentu sudah berangsur baik. Kita tawarkan saja kepada mereka, apakah mereka akan tinggal disini untuk sementara atau mereka akan segera kembali kepada pasukannya,” jawab Kiai Badra. “Tetapi mereka tentu tidak akan berani terlalu lama berada disini, karena mereka akan dapat dianggap melarikan diri dari kesatuan mereka. Aku yakin bahwa, kepergian mereka kepada saudaranya itu tentu tidak sepenuhnya mengemban tugas dari pimpinan pasukannya, karena

kepergian mereka tidak ada hubungannya dengan keinginan mereka memiliki sesuatu yang bukan hak mereka, meskipun ada juga alasannya yang lain sebagaimana pernah kau sebut, bahwa mereka telah mendorong langkah-langkah seperti yang telah kalian lakukan agar timbul kesan, bahwa Pajang tidak lagi terasa tenang.”

Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku masih mohon bantuan Kiai, agar Kiai dapat menyampaikannya kepada mereka.”

Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Jawabnya, “Sebenarnya aku harus segera sampai ke Tanah Perdikan Sembojan, meskipun tidak langsung memasuki Tanah Perdikan itu sendiri, karena aku akan singgah di sebuah padepokan kecil.”“Hanya sebentar.

Bukankah tidak akan makan waktu yang lama?” desis menantu Ki Demang.

Kiai Badra memandang Gandar sejenak, seakan-akan minta pertimbangannya. Tetapi Gandar hanya menundukkan kepalanya saja.

Karena itu, maka Kiai Badra pun berkata, “Baiklah. Aku akan menemui mereka.”

Di antar oleh menantu Ki Demang dan Gandar, Kiai Badra telah pergi untuk menemui orang-orang Jipang yang berada di bilik para pembantu menantu Ki Demang.

Sebagaimana yang sudah disepakati, maka Kiai Badra pun telah menawarkan kepada orang-orang Jipang itu, apakah mereka akan tinggal di rumah ini sampai keadaan mereka menjadi baik, atau mereka akan kembali ke kesatuan mereka.

“Persetan,” geram salah seorang perwira, “Jangan terus-terusan menghina kami.” Kiai Badra mengerutkan keningnya. Sementara perwira itu berkata selanjutnya, “Kau sadar, bahwa kau berkuasa atas kami. Katakan, apa yang kau kehendaki sebenarnya. Aku menjadi tawananmu, atau kau akan membunuhku bersama kawan-kawanku.”

Wajah Kiai Badra menegang. Namun ia pun mulai berkata keras, “Sikapmu berlebihan. Aku tahu, bahwa kau ingin menunjukkan sikap perwiramu. Tetapi tidak perlu dengan permainan yang memuakkan begitu. Sekarang jawab. Jika kau sudah mampu berjalan, tinggalkan tempat ini dan kembalilah ke dalam kesatuanmu agar kau tidak menjadi beban disini. Bukan saja beban untuk melayani makan dan minummu, tetapi juga beban tanggung jawab, karena kau berada di daerah Pajang.” Para perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya yang berkumis tebal itu pun berkata, “Kami akan kembali ke kesatuan kami.”

Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam.

“Jika demikian berbenahlah. Kalian harus meninggalkan tempat ini tanpa menarik perhatian,” berkata Kiai Badra.

Para prajurit Jipang itu pun kemudian membenahi diri. Mereka memang masih nampak lemah dan sakit di dalam tubuh mereka. Tetapi mereka pun menganggap bahwa lebih baik kembali ke dalam kesatuan mereka, agar mereka tidak terlalu lama pergi, sehingga akan dapat menimbulkan prasangka pula di antara kawan-kawannya sendiri. “Mereka akan dapat mengira bahwa aku mendapat bagian yang terlalu banyak sehingga perlu disembunyikan,” berkata salah seorang di antara mereka itu di

dalam hatinya.

Demikianlah, maka setelah mereka berbenah diri dan tidak lagi menarik perhatian, maka mereka pun telah meninggalkan Kademangan itu tanpa singgah di rumah saudaranya yang telah terbunuh.

Namun, satu hal yang tidak diduga oleh menantu Ki Demang, ketika para perwira yang garang itu meninggalkan regol halaman rumahnya, orang berkumis lebat, yang menurut ujud wajahnya adalah seorang yang keras kasar itu telah berdesis,

“Terima kasih atas sikap kalian terhadap kami.”

Menantu Ki Demang itu justru termangu-mangu. Namun Kiai Badra lah yang menjawab, “Mudah-mudahan kalian selamat sampai ke kesatuan kalian.”

Orang berkumis itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi, sementara kawannya pun hanya berdiam diri saja sambil melangkah menjauh.

Namun dalam pada itu, Kiai Badra berkata kepada menantu Ki Demang ketika

orang-orang yang masih lemah itu menjadi semakin jauh, “Nampaknya, mereka tidak akan mengganggu Kademangan ini.”

Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Menilik sikapnya, maka mereka

tidak mendendam. Tetapi sikap itu baru nampak pada saat terakhir.”

“Ya. Aku kira Kademangan ini tidak perlu merasa cemas bahwa mereka akan mendendam. Betapa kasarnya seseorang, ia dapat menilai sikap orang lain kepada dirinya.”

Menantu Ki Demang itu berdesis, “Kami mengucapkan terima kasih kepada Kiai. Langkah yang Kiai ambil ternyata telah memberikan hari-hari depanku yang terang. Sekaligus menyelamatkan aku dari dendam orang-orang Jipang itu.”

“Sudahlah,” berkata Kiai Badra. “Untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Kau jangan lagi terjerumus ke dalam langkah yang sesat meskipun nampaknya jauh lebih mudah dari cara yang wajar. Dengan caramu, maka kau akan cepat menjadi kaya.

Tetapi jika kau teruskan, kau pun akan cepat mati. Bahkan mungkin dibunuh oleh orang-orang Kademangan ini sendiri termasuk ayah mertuamu.”“Aku sudah menyadari kesesatan ini,” berkata menantu Ki Demang itu. “Karena itu, aku tidak akan mengulanginya.

Sementara itu Kiai Badra dan Gandar pun kemudian minta diri. Mereka tidak ingin tertahan lebih lama lagi di Kademangan itu. Namun dalam pada itu, Kiai Badra pun berkata, “Tetapi bukankah Kademangan ini bukannya kademangan yang tidak mampu berbuat sesuatu. Maksudku, jika terpaksa bukankah Kademangan ini memiliki pengawal yang akan dapat melakukan sesuatu, betapapun kecil artinya?”

“Ada Kiai,” jawab menantu Ki Demang. “Tetapi sungguh tidak berarti sama sekali.

Anak-anak muda yang meronda hanya sekadar dapat membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak. Tetapi jika mereka dipaksa untuk memasuki benturan kekuatan,

aku tidak dapat mengatakannya, apakah mereka akan dapat memberikan arti atau hanya akan menambah korban saja.”

“Ki Sanak,” berkata Kiai Badra. “Saat ini Pajang sedang menghadapi keadaan yang gawat. Jipang benar-benar telah menempatkan pasukannya di mulut gerbang kota, dari sebelah menyebelah. Karena itu, maka Pajang memerlukan seluruh kekuatan yang ada, yang pada saatnya tentu akan digerakkan.”

“Sebenarnya kami juga dapat membantu, tetapi hanya dengan jumlah tenaga. Tidak dengan kemampuan,” berkata menantu Ki Demang itu.

“Waktunya memang sudah terlalu pendek. Tetapi apa salahnya jika kau berusaha untuk menghimpun mereka. Meskipun hanya satu dua hari, namun sudah tentu akan ada gunanya, jika kau ajari mereka, bagaimana caranya memegang senjata. Bukankah kau memiliki kemampuan untuk itu?”

“Ah,” menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam, “Apa artinya kemampuanku menghadapi kekuatan raksasa dari Jipang itu.”

“Jika Kademangan ini sendiri harus menghadapinya, memang tidak akan berarti

apa-apa. Tetapi jika semua Kademangan mempersiapkan anak-anak mudanya, maka keadaannya tentu akan berbeda. Mungkin secara pribadi, anak-anak muda itu tidak berarti dalam olah kanuragan. Tetapi dalam jumlah yang besar, serta kemampuan dasar memegang senjata, maka mereka akan memberikan arti yang besar bagi Pajang.”

Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Badra berkata, “Kau adalah menantu Ki Demang. kau tentu mempunyai pengaruh yang besar pada anak- anak

mudanya.” Menantu Ki Demang itu menunduk. Desisnya, “Selama ini aku kurang bergaul dengan mereka.”

“Belum terlambat,” berkata Kiai Badra, “Kau dapat memulainya.”

Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan mulai dengan satu langkah yang memberikan arti

kepada Kademangannya. Ia tidak sebaiknya hanya sebagai sesuatu bagi kepentingan diri sendiri. Apalagi dengan cara yang pernah ia tempuh, meskipun dengan demikian ia menjadi disegani karena kekayaannya yang dengan cepat menanjak. “Kiai,” berkata menantu Ki Demang. “Aku akan berusaha. Selama ini aku berjuang untuk membuat diriku kaya, bahkan dengan cara yang paling buruk. Ketika aku

mengawini anak Ki Demang, maka beberapa orang menghinaku, bahwa aku sebenarnya hanya ingin menghisap kekayaan Ki Demang saja, karena aku termasuk orang yang tidak berkecukupan. Tetapi aku dan istriku saling mencintai. Sehingga akhirnya

aku telah bertekad untuk melakukan apa saja asal aku dapat membuktikan bahwa aku tidak sekadar menghisap kekayaan istriku, tetapi justru aku dapat membuatnya

lebih kaya lagi. Dengan kedok seorang saudagar keliling, dengan sedikit modal yang memang aku dapatkan dari istriku, maka aku telah melakukan pekerjaan terkutuk itu.”

“Semuanya sudah lampau. Kau dapat bekerja dengan wajar. Bukankah kau mempunyai sawah?” bertanya Kiai Badra.

“Sawahku sekarang cukup luas,” jawab menantu Ki Demang itu.

"Sawahmu dapat kau jadikan alas hidupmu, sementara kau bekerja keras bagi Kademangan ini," berkata Kiai Badra.

Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Yang terbayang di rongga matanya adalah hari depan yang baik. Tiga orang kawannya dalam kerja yang terkutuk itu telah terbunuh, sehingga tidak akan ada seorang saksipun yang dapat mengungkap

lembaran hitam dari perjalanan hidupnya sampai saatnya ia bangkit dari kegelapan."Baiklah Kiai," jawab menantu Ki Demang. "Aku akan berbuat apa saja yang mungkin bagi Kademangan ini."

"Kau harus sadar, bahwa kau adalah menantu Ki Demang," berkata Kiai Badra kemudian.

Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Kiai."

Kiai Badra pun menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar, bahwa ia harus segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke padepokan Kiai Badra untuk menyusun langkah-langkah yang harus diambil, justru setelah ia menerima tunggul pertanda kuasa Adipati Pajang yang dilimpahkan kepada cucunya, yang memiliki pula pertanda pemegang pimpinan Tanah Perdikan Sembojan.

Dengan demikian maka dukungan wewenang Iswari untuk berbuat sesuatu sudah lengkap. Langkah-langkahnya direstui oleh kekuasaan yang lebih tinggi serta hak yang diakui bagi Tanah Perdikan Sembojan itu.

Sejenak kemuian maka Kiai Badra telah minta diri. Bersama Gandar ia meneruskan perjalanan menuju ke padepokan Kiai Badra dan Nyai Soka yang menjadi landasan langkah-langkah yang akan diambil untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.

Demikian mereka meninggalkan menantu Ki Demang yang berulang kali mengucapkan terima kasih kepada mereka, maka Kiai Badra pun berniat untuk tidak berhenti

lagi dimanapun juga. Jika orang-orang Jipang yang akan kembali ke kesatuannya diperbatasan itu cepat mencapai tujuannya dan menceriterakan tentang tunggul itu, serta ada satu dua orang perwira yang lebih tua yang mengenali artinya, mungkin sekelompok prajurit berkuda akan berusaha menyusul mereka.

Karena itu, maka Kiai Badra berusaha untuk tidak berjalan melalui jalan-jalan yang ramai. Berdua mereka telah memilih jalan-jalan yang lebih kecil, sehingga tidak banyak orang yang memperhatikan tunggul yang dibawanya.

Ternyata bahwa mereka sudah memasuki ujung hari yang menjadi semakin buram. Agaknya mereka terlalu lambat berangkat dari rumah menantu Ki Demang, sehingga mereka akan kemalaman lagi di jalan. Tetapi Kiai Badra dan Gandar sudah berniat untuk tidak berhenti meskipun malam turun. Mereka pun tidak lagi ingin berhenti untuk makan disebuah kedai. Tetapi Gandarlah yang harus membeli makanan yang dibungkus dengan daun pisang yang akan mereka makan justru ditempat yang tersembunyi.

Ketika malam turun, rasa-rasanya perjalanan mereka justru menjadi aman. Tidak ada lagi orang yang berpapasan dan memandangi tunggul yang diselubungi dengan selongsong kain putih itu dengan tatapan mata penuh pertanyaan.

Ternyata Kiai Badra dan Gandar benar-benar seorang pejalan yang berpengalaman. Meskipun jalan yang mereka tempuh belum pernah mereka kenal sebelumnya, namun akhirnya mereka menemukan arah yang benar, sehingga mereka pun memasuki jalan yang terbiasa mereka lalui menjelang tengah malam.“Kita menempuh jalan yang benar,” desis Kiai Badra.

Ya. Bukit kecil itu dapat menjadi ancar-ancar. Bukankah bukit yang nampak remang-remang di malam yang tidak begitu gelap ini adalah Gunung Kendit sedangkan disebelahnya, yang runcing itu adalah Gunung Prapat?”

Kiai Badra tersenyum sambil memandang langit yang jernih dan sepotong bulan yang tergantung dilangit. Kemudian kedua bukit yang menjadi ancar-ancar perjalanan mereka, sehingga mereka tidak tersesat terlalu jauh dari tujuan.

Ternyata perjalanan mereka selanjutnya sama sekali tidak terganggu. Dengan selamat mereka mencapai padepokan Tlaga Kembang. Namun agaknya kedatangan mereka

di lewat tengah malam telah mengejutkan seisi padepokan.

“Apa yang kakang bawa?” bertanya Nyai Soka ketika ia melihat tunggul dalam selongsongnya.

“Nanti, aku akan berceritera,” jawab Kiai Badra.

Nyai Soka termangu-mangu. Namun ia mengenali bentuk dari benda yang dibawanya itu sebagai sebuah tunggul. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah kakang membawa sebuah tunggul?”

“Ya,” jawab Kiai Badra. “Aku memang membawa sebuah tunggul.” “Darimana kakang mendapatkannya?” desak Nyai Soka.

“Jangan takut aku mencuri di jalan,” jawab Kiai Badra sambil tersenyum. “Tetapi sudah aku katakan, aku akan menceriterakannya nanti, setelah aku mandi. Panasnya udara dan keringatku yang membasahi pakaianku di perjalanan, rasa-rasanya sangat mengganggu kesegaranku disisa malam ini.”

Nyai Soka pun kemudian membiarkan Kiai Badra dan Gandar mandi. Sementara itu, hampir seisi padepokan telah terbangun dan duduk disebuah amben besar di ruang dalam sambil mengamati tunggul yang masih di dalam selongsongnya, yang ditaruh di dalam ploncotan oleh Kiai Badra.

Sementara itu, Nyai Soka telah membangunkan seorang cantrik untuk merebus air, karena agaknya Kiai Badra dan Gandar yang merasa haus.

Baru sejenak kemudian, mereka duduk melingkar diamben yang besar di ruang dalam itu sambil menghirup minuman panas dengan gula kelapa.

“Nah, ceriterakan,” minta Nyai Soka.

“Kau tidak sabar menunggu matahari terbit,” desis Kiai Badra. “Sebenarnya aku masih sempat tidur barang sekejap.”

“Kakang, minum sambil berbicara,” berkata Nyai Soka. “Nanti masih ada waktu sekejap untuk memejamkan mata.” Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tunggul itu adalah pertanda bahwa kita mengemban perintah Adipati Pajang.”

“Perintah apa?” bertanya Nyai Soka.

“Perintah untuk mengambil kembali Tanah Perdikan Sembojan dari tangan

orang-orang yang tidak berhak dan melepaskan dari pengaruh Jipang,” berkata Kiai Badra.

Orang-orang yang mendengar keterangannya itu termangu-mangu. Namun Kiai Badra pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi dalam perjalanannya ke Pajang untuk menemui para pemimpin Kadipaten itu, meskipun Kanjeng Adipati sendiri berada di satu tempat yang berhadapan dengan pasukan Jipang, seberang menyeberangi Bengawan Sore.

Mereka yang mendengarkan ceritera Kiai Badra itu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh mereka mengikuti setiap persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Badra, sehingga akhirnya Kiai Badra itu berkata,

“Sebenarnyalah, bahwa yang mendapat perintah untuk melaksanakan semuanya itu adalah Iswari. Bukan aku, bukan Gandar dan bukan Kiai atau Nyai Soka.”

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Badra meneruskan, “Sedangkan Iswari pun bertindak atas nama anaknya. Apalagi pertanda kekuasaan Tanah Perdikan pun ada pada kita, sehingga anak itu memang mempunyai hak atas jabatan Pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.”

Namun dalam pada itu, Iswari menjawab, "Tetapi bukan kedudukan itulah yang kita pentingkan kakek."

"Anakmu kelak harus memandang bahwa jabatan itu penting baginya. Jika ia menjadi Kepala Tanah Perdikan, maka ia memang harus mempunyai minat untuk memegangnya, sehingga dengan demikian maka ia akan mempunyai gairah perjuangan, meskipun dengan demikian harus ada batasan-batasan lain yang akan membedakannya dengan orang-orang tamak yang cenderung memenuhi keinginan dan selera pribadi tanpa menghiraukan isi Tanah Perdikan itu sendiri," berkata Kiai Badra.Iswari menarik

nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah keterangan kakeknya.

Sementara itu, Kiai Badra pun berkata, "Nah mulai hari ini kita akan mengemban tugas yang penting dan berat. Kita memerlukan waktu, pikiran dan dukungan.

Bahkan kita memerlukan apa saja yang akan dapat menjadi pendorong perjuangan ini. Sementara itu, kita harus juga memperhitungkan kekuatan Jipang yang sudah mencengkam Tanah Perdikan ini, karena sewaktu-waktu pasukan Jipang akan dapat ditarik dari perbatasan dan diperbantukan untuk mengatasi kemelut yang mungkin terjadi di Tanah Perdikan yang sudah menyatakan diri menjadi bagian dari Jipang ini. Kau sadari itu Iswari?"

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya kakek. Tetapi bukankah kita tidak tergesa-gesa dan Pajang tidak memberikan batasan waktu?"

"Ya. Kita memang tidak mendapat batasan waktu. Tetapi pertengkaran antara Pajang dan Jipang itu berjalan terus. Jika kita dapat mengganggu pemusatan pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang berpihak kepada Jipang itu, maka berarti kita sudah meringankan beban Pajang. Dan sebaliknya jika Pajang bergerak, maka kita mendapat kesempatan untuk berbuat untuk banyak di Tanah Perdikan ini karena pasukan Jipang dan Tanah Perdikan Sembojan itu terikat dalam benturan kekuatan dengan Pajang," berkata Kiai Badra. Bahkan ia pun telah menceriterakan pula apa yang terjadi antara dirinya dan Gandar dengan para perwira dari Jipang.

"Baiklah," berkata Nyai Soka kemudian, "Kita harus memikirkannya masak-masak. Kita memerlukan waktu dan pengamatan yang luas. Baru kita menentukan sikap." "Tetapi waktu yang kita perlukan itu jangan terlalu panjang bahwa tanpa batas," sahut Kiai Badra.

Nyai Soka tersenyum. Katanya, "Selama ini kakang tidak pernah nampak sangat tergesa-gesa untuk menangani satu persoalan seperti saat ini. Tetapi baiklah, semula akulah yang tergesa-gesa, sementara kakang akan beristirahat. Tetapi ketika kakang mulai berbicara dengan perasaan, maka rasa-rasanya sekarang juga kita harus berbuat sesuatu."

Kiai Badra mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku ingin beristirahat sebelum minum beberapa teguk air panas.

Meskipun sesaat lagi fajar akan menyingsing, namun agaknya aku masih mempunyai waktu."

Demikianlah, maka Kiai Badra dan Gandar telah pergi ke biliknya. Namun dalam pada itu, Nyai Soka dan Kiai Soka masih duduk ditempatnya bersama dengan Iswari. Nampaknya mereka masih melanjutkan pembicaraan tentang perintah Pajang yang di tandai dengan tunggul yang dibawa oleh Kiai Badra itu dengan sungguh-sungguh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar