Taiko Bab 31 : Tempat Persembahan Dewa Api

Bab 31 : Tempat Persembahan Dewa Api

TEPAT di tengah tembok lumpur itu terdapat gerbang berukuran raksasa, dan masing-masing anak candi mempunyat pagar dan gerbang sendiri. Hutan cemara seolah-olah disapu sampai bersih, dan kelihatan seperti taman Zen. Kicauan burung dan sinar matahari yang menerobos lewat puncak pepohonan semakin memperkuat suasana damai.

Setelah mengikat kuda masing-masing, Mitsu- hide dan para pengikutnya menyantap bekal yang mereka siapkan untuk makan pagi dan makan siang. Walau semua berencana untuk makan pagi di dekat Sungai Kamo, mereka akhirnya menung- gu sampai tiba di Kitano.

Tiga atau empat biksu dari Kuil Myoshin yang berdekatan mengenali orang-orang itu sebagai anggota marga Akechi, dan mengundang mereka ke pekarangan kuil.

Para prajurit membawa ransum untuk satu hari: tahu mentah, acar buah prem, dan nasi. Sejak se- malam mereka belum mengisi perut, dan kini mereka makan dengan lahap.

Mitsuhide menduduki sebuah kursi dalam bayangan tirai yang didirikan para pembantunya. Ia telah selesai makan dan sedang mendiktekan surat pada sekretarisnya. "Para biksu dari Kuil Myoshin... mereka paling cepat sebagai kurir! Panggil mereka ke sini!" Ia memerintahkan seorang pelayan. Ketika para biksu kembali, Mitsuhide menyerahkan surat yang di- tulis oleh sekretarisnya. "Bersediakah kalian meng- antarkan surat ini ke kediaman Penyair Shoha dengan segera?"

Segera setelahnya ia berdiri dan menuju kuda- nya, sambil berkata kepada para biksu, "Sayang sekali kami tak punya waktu luang dalam per- jalanan ini. Aku terpaksa tak dapat menemui Tuan Kepala Biksu. Tolong sampaikan salamku pada- nya."

Udara sore semakin panas. Jalan raya menuju Saga kering kerontang, dan dengan setiap lang- kah, kuda-kuda mereka menerbangkan awan debu. Mitsuhide terus membisu. Ia sedang memikirkan sebuah rencana dengan ketelitian yang telah men- jadi ciri khasnya, menimbang-nimbang peluang untuk berhasil, memperkirakan reaksi masyarakat, menaksir kemungkinan gagal. Seperti lalat kuda yang selalu kembali meski terus diusir, rencana itu telah menjadi obsesi yang tak dapat disingkirkan dari dalam benak Mitsuhide. Sebuah mimpi buruk telah menguasai dirinya dan mengisi seluruh tubuhnya dengan racun. Ia telah kehilangan ke- mampuannya untuk berpikir dengan akal sehat.

Sepanjang hidupnya belum pernah Mitsuhide mengandalkan kebijakannya seperti sekarang. Wa- lau secara objektif ia seharusnya meragukan pe- nilaiannya sendiri, secara subjektif ia justru merasa sebaliknya. Aku tidak membuat kesalahan sekecil apa pun, kata Mitsuhide dalam hati. Takkan ada yang bisa menebak apa yang kupikirkan.

Sewaktu berada di Sakamoto, ia sempat goyah: Apakah rencananya sebaiknya dilaksanakan atau dibatalkan? Tapi tadi pagi, ketika mendengarkan laporan kedua, ia akhirnya mendapat kepastian. Ia percaya bahwa waktunya telah tiba, dan bahwa kesempatan ini merupakan berkah dari para dewa. Nobunaga, yang hanya disertai oleh sekitar empat puluh sampai lima puluh orang bersenjata ringan, menginap di Kuil Honno di Kyoto. Saran yang menguasai Mitsuhide berbisik bahwa kesempatan emas seperti ini tak boleh disia-siakan.

Keputusannya bukan merupakan hasil kemau- annya sendiri, melainkan timbul sebagai reaksi ter- hadap keadaan di sekitarnya. Manusia ingin per- caya bahwa mereka hidup dan bertindak ber- dasarkan kemauan mereka sendiri, namun pada kenyataannya mereka hanya dipaksa oleh keada- an. Jadi, walaupun Mitsuhide percaya bahwa para dewa berada di pihaknya, sebagian dirinya dicekam ketakutan bahwa para dewa justru menentang segala tindakannya.

Mitsuhide menyeberangi Sungai Katsura dan mencapai Benteng Kameyama pada malam hari, tepat ketika matahari terbenam. Karena telah diberitahu bahwa junjungan mereka akan pulang, para warga kota Kameyama menyambutnya dengan sejumlah api unggun yang menerangi langit malam. Mitsuhide merupakan penguasa yang di- cintai rakyat, karena gaya pemerintahannya yang arif.

Jumlah hari dalam setahun yang dihabiskan Mitsuhide bersama keluarganya dapat dihitung dengan jari satu tangan. Selama operasi militer ber- kepanjangan, ia mungkin saja tidak pulang selama dua, bahkan tiga tahun. Karena itu, hari-hari ketika ia berada di rumah disemarakkan oleh ke- gembiraan berkumpul bersama anak-istri dan ber- tindak sebagai suami dan ayah.

Mitsuhide dianugerahi keluarga yang luar biasa besar, dengan tujuh putri dan dua belas putra. Dua pertiga dari mereka sudah menikah atau diangkat anak oleh keluarga lain, tapi beberapa dari yang masih kecil, serta anak-anak kaum kerabat dan cucu-cucu mereka, masih tinggal di dalam benteng.

Istri Mitsuhide, Teruko, selalu berkata, "Berapa usiaku saat aku tak perlu mengurus anak lagi?" Ia mengasuh anak-anak para anggota marga yang gugur dalam pertempuran, bahkan membesarkan anak-anak suaminya dari perempuan lain. Perem- puan lembut dan bijak ini telah pasrah meng- hadapi nasib, dan meskipun umurnya sudah lima puluh, ia tetap tahan menghadapi anak-anak dan segala ulah mereka.

Sejak bertolak dari Azuchi, Mitsuhide belum menemukan kenyamanan yang menyamai berada di rumah sendiri, dan malam itu ia tidur pulas. Keesokan harinya pun keriangan anak-anaknya serta senyum istrinya yang setia terasa menen- teramkan hatinya.

Orang mungkin menyangka suasana semacam ini akan membuat ia berubah pikiran, tapi tekad- nya tidak goyah sedikit pun. Justru sebaliknya, kini ia mendapatkan keberanian untuk mewujud-kan ambisi yang bahkan lebih tersembunyi lagi.

Teruko telah berada di sampingnya sejak Mitsu- hide tidak mempunyai junjungan. Ia puas dengan keadaannya sekarang, dan tidak menyimpan pikiran selain menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ketika menatap istrinya, Mitsuhide berkata dalam hati. "Suamimu takkan selamanya seperti ini. Tak lama lagi semua orang akan memandangmu se- bagai isiri shogun berikut." Dan pada waktu Mitsu- hide memperhaiikan anak-anak dan para anggota rumah tangganya yang besar, sejenak ia terbuai oleh mimpinya sendiri. Kalian semua akan ku- boyong dari sini, ke sebuah istana yang bahkan lebih megah daripada Azuchi. Betapa lebih baha- gianya hidup kalian kelak!

Kemudian, pada hari itu, Mitsuhide meninggal- kan benteng, disertai beberapa pengikut saja. Ia mengenakan pakaian ringan dan tidak dilayani oleh para pengikut yang biasa. Walaupun tak ada pengumuman resmi, para penjaga gerbang pun tahu bahwa junjungan mereka akan bermalam di Tempat Persembahan Atago.

Sebelum bertolak ke daerah Barat, Mitsuhide hendak mendatangi tempat persembahan itu untuk memohon keberuntungan dalam pertem- puran. Disertai sejumlah teman terdekat, ia akan menginap di sana untuk mengadakan acara meng- gubah sajak, lalu pulang keesokan harinya.

Ketika ia berkata bahwa ia hendak berdoa untuk meraih kemenangan dalam pertempuran, dan bahwa ia akan mengajak beberapa teman dari ibu kota, tak seorang pun menduga apa yang ada dalam benak Mitsuhide.

Kedua puluh pelayan dan kedua belas pengikut berkuda berpakaian lebih ringan daripada kalau mereka pergi untuk berburu. Pada hari sebelum- nya, rencana kedatangannya telah diberitahukan kepada para biksu di Kuil Itokuin dan kepada para pendeta di Tempat Persembahan Atago, sehingga semuanya sudah siap menyambut junjungan mere- ka. Begitu turun dari kudanya. Mitsuhide mena- nyai seorang biksu bernama Gyoyu.

"Apakah Shoha akan datang?" Mitsuhide ber- tanya pada biksu itu. Ketika Gyoyu menjawab bahwa penyair terkcmuka itu telah menunggu, Mitsuhide berseru, "Apa? Dia sudah di sini? Wah, bagus. Apakah dia membawa penyair-penyair dari ibu kota?"

"Rupanya Tuan Shoha tak sempat bersiap-siap. Undangan Yang Mulia diterimanya malam ke- marin, dan semua orang yang hendak diajaknya ternyata berhalangan. Selain putranya, Shinzen, dia hanya membawa dua orang lagi: salah satu murid bernama Kennyo, dan seorang saudara ber- nama Shoshitsu."

"Begitukah?" Mitsuhide tertawa. "Apakah dia mengeluh? Aku tahu permintaanku sukar dipe- nuhi, namun setelah berulang kali mengirim tandu dan pengawal untuk menjemputnya, kali ini kupikir sudah sepantasnya—dan jauh lebih menye- nangkan—kalau dia yang bersusah payah menemui- ku. Karena itulah undanganku demikian men- dadak. Tapi, seperti bisa diduga, Shoha tidak berpura-pura sakit. Dia langsung mendaki gunung dengan terburu-buru.. Shoha tidak sok menjadi pertapa, dan dia jelas-jelas teman yang baik."

Dengan kedua biksu berjalan di depan dan para pembantunya di belakang, Mitsuhide menaiki tangga batu yang curam. Setiap kali ia menyangka akan melewati tempat datar untuk beberapa waktu, tapi ternyata menghadapi tangga lagi. Semakin lama pohon-pohon cemara di sekeliling mereka semakin gelap. Mereka merasakan malam mendekat dengan cepat. Pada setiap langkah, kulit mereka merasakan penurunan suhu. Suhu di kaki gunung dan puncaknya berbeda cukup jauh. "Tuan Shoha menyampaikan penyesalannya." Gyoyu memberitahu Mitsuhide ketika mereka mencapai ruang tamu kuil. "Sebenarnya dia hen- dak menyambut kedatangan Yang Mulia, tapi karena menduga bahwa Yang Mulia akan berdoa dulu di kuil-kuil dan tempat-tempat persembahan, dia memutuskan untuk menyambut Yang Mulia setelah itu."

Mitsuhide mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lalu, sehabis minum secawan air, ia minta disedia- kan pemandu. "Pertama-tama, aku ingin meman- jatkan doa kepada dewa pelindung kuil ini, setelah itu aku akan mengunjungi Tempat Persembahan Atago, mumpung hari belum gelap benar."

Pendeta dari tempat persembahan mengajak tamunya menyusuri sebuah jalan setapak yang disapu bersih. Ia menaiki tangga luar dan me- nyalakan lilin-lilin suci. Mitsuhide membungkuk rendah-rendah, dan berdiri sambil berdoa untuk beberapa waktu. Tiga kali si pendeta mengibaskan dahan pohon keramat di atas kepala Mitsuhide, lalu menyerahkan cawan tembikar ber-isi sake suci.

"Kabarnya tempat persembahan ini dibuat untuk Dewa Api. Betulkah itu?" Mitsuhide ber- tanya kemudian.

"Betul, Yang Mulia," jawab si pendeta.

"Dan kata orang, kalau kita memanjatkan doa kepada dewa ini lalu berpantang menggunakan api, doa kita akan terkabul." "Itulah yang diyakini sejak zaman dulu." Si biksu menghindari jawaban tegas terhadap per-tanyaan itu, lalu mengembalikannya pada Mitsu-hide, "Orang-orang kota percaya bahwa jika kita ber- pantang menggunakan api, doa kita akan dikabul- kan. Hamba pun ingin tahu bagaimana asal mula kepercaya an ini."

Kemudian ia mengalihkan pembicaraan, dan mulai menjelaskan sejarah tempat persembahan itu. Jemu mendengarkan cerita si pendeta, Mitsuhide memandang lentera-lentera suci di luar. Akhirnya ia berdiri tanpa berkata apa-apa dan menuruni tangga. Hari sudah gelap ketika ia berjalan ke Tempat Persembahan Atago. Lalu ia meninggalkan para biksu, dan pergi seorang diri ke Kuil Shogun Jizo yang berdekatan. Di sana ia menanyakan nasibnya, tapi tanda pertama yang diambilnya meramalkan nasib buruk. Ia menarik sekali lagi, tapi tanda yang ini pun bertuliskan Nasib Buruk. Sejenak Mitsuhide berdiri seperti patung. Ia mengangkat kotak berisi tanda-tanda nasib, menempelkannya ke kening dengan penuh hormat, memejamkan mata, kemudian menarik untuk ketiga kali. Kali ini jawabannya Nasib Baik.

Mitsuhide berbalik dan berjalan ke arah para pembantu yang menunggunya. Mereka memper- hatikannya dari jauh ketika ia menarik tanda-tanda nasib, menyangka ia sekadar iseng saja. Bagaimana- pun, Mitsuhide laki-laki yang sangat bangga akan kecerdasannya dan selalu bersikap rasional. Ia tidak termasuk orang-orang yang memanfaatkan ramalan nasib untuk mengambil keputusan.

Cahaya kerlap-kerlip di ruang tamu menerangi daun-daun muda. Malam ini Shoha dan rekan- rekan penyairnya akan menggerus tinta di batu tinta untuk mceuliskan sajak masing-masing.

Acara pada malam hari dimulai dengan jamuan makan di mana Mitsuhide menjadi tamu kehor- matan. Para tamu bercanda dan tertawa sambil terus mereguk sake. Mereka begitu asyik mengob- rol. sehingga seakan-akan melupakan acara pokok.

"Malam di musim panas singkat," sang tuan rumah, si kepala biksu, angkat bicara. "Malam telah larut, dan aku khawatir hari sudah akan terang sebelum kita merampungkan seratus bait yang bersambung-sambungan."

Di sebuah ruangan lain, tikar-tikar telah digelar. Kertas dan batu tinta diletakkan di depan setiap bantal, seolah-olah untuk merangsang para peserta untuk menuliskan bait-bait yang anggun.

Baik Shoha maupun Shoshitsu merupakan penyair ulung. Shoha sangat dihargai oleh Nobu- naga dan akrab dengan Hideyoshi serta dengan ahli seni minum teh terkemuka di zaman itu. Ia orang dengan lingkup pergaulan yang luas.

"Baiklah, sudikah Yang Mulia memberikan bait pertama?" tanya Shoha. Namun Mitsuhide tidak menyentuh kertas di hadapannya. Sikunya masih bertumpu di atas sandaran tangan, dan sepertinya ia memandang ke dalam kegelapan di pekarangan, tempat daun-daun sedang berdesir.

"Kelihaiannya Yang Mulia sedang memeras otak." Shoha menggoda Mitsuhide.

Mitsuhide mengangkat kuas dan menulis:

Seluruh negeri menyadari Waktunya telah tiba.

Di Bulan Kelima.

Pada acara seperti ini, setelah bait pertama di- gubah, para peserta yang lain secara bergantian mendapat giliran, sampai sekitar lima puluh hingga seratus bait ditambahkan. Acaranya dibuka dengan syair yang disusun oleh Mitsuhide, dan bait penutup yang mempersatukan seluruh karya itu juga digubah oleh Mitsuhide:

Saatnya provinsi-provinsi Diliputi kedamaian.

Setelah para biksu memadamkan lentera dan me- narik diri, Mitsuhide sepertinya langsung tertidur. Ketika ia akhirnya meletakkan kepala di bantal, angin gunung di luar mengguncang-guncang pe- pohonan dan menederu-deru aneh, seakan-akan hendak meniru teriakan Tengu, monster ber- hidung panjang yang hidup dalam mitos. Mitsuhide tiba-tiba teringat cerita yang didengar- nya dari pendeta di tempat persembahan Dewa Api. Dalam benaknya ia membayangkan Tengu mengamuk di langit yang hitam pekat.

Tengu melahap api, lalu terbang ke angkasa. Tengu raksasa dan Tengu-Tengu lebih kecil yang tak terhitung jumlahnya berubah menjadi api dan menunggangi angin hitam. Ketika bola-bola api itu jatuh ke bumi, tempat persembahan Dewa Api segera terbakar hebat.

Ia ingin tidur. Tak ada yang lebih diinginkan- nya selain tidur. Tapi Mitsuhide tidak bermimpi; ia sedang berpikir. Dan ia tak sanggup menying- kirkan bayangan itu dari dalam benaknya. Ia mem- balikkan badan dan mulai berpikir mengenai besok. Ia tahu bahwa besok Nobunaga akan ber- tolak dari Azuchi ke Kyoto.

Kemudian garis pemisah antara dunia nyata dan dunia mimpi mulai kabur. Dan dalam ke- adaan ini, perbedaan antara dirinya dan Tengu lenyap. Tengu berdiri di atas awan dan meman- dang seluruh negeri. Segala sesuatu yang ia lihat menguntungkan baginya. Di Barat, Hideyoshi terpaku di Benteng Takamatsu, bergulat dengan pasukan Mori. Jika ia, Tengu, dapat bekerja sama dengan pihak Mori dan memanfaatkan kesem- patan ini, pasukan Hideyoshi yang telah melewat- kan tahun-tahun melelahkan di medan laga akan terkubur di daerah Barat dan takkan pernah lagi melihat ibu kota.

Tokugawa Ieyasu, yang berada di Osaka, merupakan orang yang cerdik. Kalau ia menge- tahui bahwa Nobunaga telah mati, sikapnya akan tergantung sepenuhnya pada apa yang ditawarkan Mitsuhide. Hosokawa Fujitaka dapat dipastikan akan marah, tapi putranya menikah dengan putri Mitsuhide, dan ia merupakan teman lama yang setia. Tentunya ia takkan menolak tawaran kerja sama.

Darah dan otot Mitsuhide menggelenyar. Telinganya bagaikan membara, dan ia mendadak merasa muda lagi. Tengu berbalik. Mitsuhide mengerang.

"Tuanku?" Di ruang sebelah, Shoha mengangkat badan sedikit dan memanggil , "Ada apa, tuanku?"

Samar-samar Mitsuhide mendengar pertanyaan Shoha, tapi ia sengaja tidak menjawab. Shoha segera tertidur kembali.

Malam yang singkat itu cepat berlalu. Setelah bangun, Mitsuhide mengucapkan selamat tinggal pada yang lain, dan menuruni gunung yang masih diselimuti kabut tebal.

***

Pada hari ketiga belas di bulan yang sama, Mitsuharu tiba di Kameyama dan bergabung dengan Mitsuhide. Para anggota marga Akechi ber- datangan dari seluruh pelosok provinsi, semakin menambah kekuatan pasukan di Sakamoto. Kota benteng dipadati manusia dan kuda: kereta-kereta berisi perbekalan militer menimbulkan kemacetan di setiap persimpangan, dan jalan-jalan hampir tak dapat dilalui. Matahari bersinar cerah, dan suasa- nanya tiba-tiba menyerupai pertengahan musim panas, kuli-kuli memenuhi toko-toko dan saling berdebat dengan mulut penuh makanan; di luar, prajurit-prajurit menyelinap di antara kereta-kereta lembu sambil berseru ke sana kemari. Di sepan- jang jalan-jalan, kawanan lalat beterbangan menge- rumuni kotoran kuda dan lembu.

"Sudah membaikkah kesehatanmu?" Mitsuharu bertanya pada Mitsuhide.

"Seperti kaulihat sendiri." Mitsuhide tersenyum. Ia jauh lebih ramah dibandingkan saat di Saka- moto, dan wajahnya pun sudah tidak pucat lagi.

"Kapan kau hendak berangkat?"

"Aku memutuskan untuk menunggu beberapa waktu, sampai hari pertama di Bulan Keenam."

"Hmm, bagaimana dengan Azuchi?"

"Aku sudah mengirim kabar ke sana, tapi ku- pikir Yang Mulia Nobunaga sudah berada di Kyoto."

"Kabarnya semalam beliau tiba dengan selamat di sana. Yang Mulia Nobutada menginap di Kuil Myokaku, sementara Yang Mulia Nobunaga ber- malam di Kuil Honno."

"Ya, aku pun mendengar itu," balas Mitsuhide.

Kcmudian ia terdiam.

Mitsuharu mendadak berdiri. "Sudah lama aku tidak bertemu dengan anak-istrimu. Mungkin aku akan berkunjung nanti."

Mitsuhide memperhatikan sepupunya menjauh. Sesaat kemudian, dadanya seakan-akan begitu sesak sehingga ia tak sanggup meludah maupun menelan.

Dua ruangan lebih jauh, pengikut Mitsuhide. Saito Toshimitsu, sedang berunding dengan para jendral lain, mempelajari peta-peta militer dan membahas taktik-taktik. Ia meninggalkan ruangan untuk berbicara dengan Mitsuhide.

"Apakah Yang Mulia akan memerintahkan iring-iringan perbekalan mendahului pasukan kita ke Sanin?"

"Iring-iringan perbekalan? Hmm... rasanya tidak perlu."

Tiba-tiba paman Mitsuhide, Chokansai, yang baru saja tiba bersama Mitsuharu, muncul di pintu.

"Wah, dia tidak ada di sini. Ke mana si Penguasa Sakamoto? Ada yang tahu ke mana dia pergi?"

Ia memandang berkeliling dengan mata ter- belalak. Walaupun usianya sudah lanjut, ia begitu riang dan ceria, sehingga kerap mengganggu orang lain. Bahkan saat para jendral hendak bertolak ke medan perang pun Chokansai tetap gembira seperti biasa. Ia berpaling ke arah lain. Ketika ia mendatangi bagian benteng yang didiami kaum perempuan dan anak-anak, ia segera dikerumuni oleh mereka.

"Oh, Tuan Pelawak datang!" seru anak-anak. "Tuan Pelawak! Kapan Tuan tiba di sini?"

Entah ia duduk atau berdiri, suara-suara ringan di sekitamya tidak berhenti.

"Tuan Pelawak akan menginap di sini?" "Tuan Pelawak, apakah Tuan sudah makan?" "Gendong aku, Tuan Pelawak!" "Bernyanyilah untuk kami!"

"Menarilah!"

Mereka melompat ke pangkuannya. Mereka bercengkerama dengannya. Mereka merangkulnya. Mereka melihat ke dalam telinganya.

"Tuan Pelawak! Di telinga Tuan tumbuh rambut!"

"Satu, dua!"

"Tiga, empat!" Sambil menyanyikan angka- angka, gadis-gadis cilik mencabut rambut-rambut itu, sementara seorang bocah laki-laki duduk di punggungnya dan mendorong-dorong kepala orang tua itu.

"Main kuda-kudaan! Main kuda-kudaan!"

Chokansai menurut saja. Ia mulai merangkak di lantai. Tiba-tiba ia bersin, dan bocah kecil itu jatuh dari punggungnya. Para dayang dan pembantu langsung terpingkal-pingkal.

Setelah hari berganti malam pun suara tawa dan segala hiruk-pikuk tetap tidak mereda. Suasananya berbeda dengan suasana di kamar Mitsuhide di benteng utama, seperti lapangan rumput di musim semi berbeda dengan rawa yang terselubung salju.

"Paman, setelah usia Paman semakin bertam- bah," ujar Mitsuharu, "aku akan berterima kasih jika Paman bersedia tinggal di sini dan mengurusi keluarga, serta tidak ikut ke medan perang ber- sama kami. Kurasa aku perlu menyampaikan hal ini pada junjungan kita."

Chokansai menatap keponakannya dan tertawa. "Kira-kira begitulah tugasku yang terakhir. Bocah- bocah ini takkan membiarkan aku pergi."

Malam telah tiba, dan mereka mendesak-desak agar ia menceritakan salah satu dongengnya yang terkenal.

Inilah hari terakhir sebelum keberangkatan ke medan laga. Semula Mitsuharu menduga bahwa malam itu akan ada rapat umum, tapi karena benteng utama sepi-sepi saja, ia pergi ke benteng kedua dan tidur.

Keesokannya Mitsuharu menanti-nanti sepan- jang hari, tapi perintah yang ditunggunya tak kunjung tiba. Setelah hari gelap pun tidak terlihat kegiatan di dalam benteng utama. Ketika ia me- nugaskan salah satu pengikutnya untuk mencari keterangan, ia memperoleh jawaban bahwa Mitsu- hide telah naik ke peraduan dan sudah tidur. Mitsuharu curiga, namun tak ada yang dapat di- lakukannya selain membaringkan diri dan meme- jamkan mata.

Sekitar tengah malam, Mitsuharu dibangunkan oleh bisik-bisik yang berasal dari ruang jaga di selasar. Ada bunyi langkah mendekat, dan pintu ruangannya bergeser tanpa suara.

"Ada apa?" tanya Mitsuharu.

Si penjaga, yang tentunya menyangka Mitsu- haru sedang terlelap, ragu-ragu sejenak. Kemudian ia cepat-cepat bcrsujud dan berkata, "Tuanku Mitsuhide menunggu Yang Mulia di benteng utama."

Mitsuharu bangkit dan mulai berpakaian; ia menanyakan jam.

"Pertengahan pertama jam Tikus," jawab si penjaga.

Mitsuharu melangkah ke selasar yang gelap gulita. Melihat Saito Toshimitsu berlutut di samping pintu, menunggu, Mitsuharu bertanya- tanya, apa gerangan arti panggilan mendadak di tengah malam buta ini.

Toshimitsu berjalan di depan, memegang lilin. Tak seorang pun berpapasan dengan mereka ketika mereka menyusuri koridor panjang yang berkelok-kelok. Hampir semua orang di benteng utama sedang tidur pulas. "Di manakah Yang Mulia?" "Di ruang tidur beliau."

Toshimitsu mematikan lilin di depan pintu selasar yang menuju kamar tidur Mitsuhide. Dengan mata ia memberi isyarat agar Mitsuharu mengikutinya, lalu membuka pintu yang berat itu. Segera setelah Mitsuharu masuk, Toshimitsu me- nutup pintu lagi. Hanya di kamar di ujung selasar

—kamar tidur Mitsuhide—terlihat cahaya redup.

Ketika Mitsuharu mengintip ke ruang itu, ia tidak melihat pembantu maupun pelayan. Mitsu- hide seorang diri. Ia mengenakan kimono musim panas berwarna putih. Pedang panjangnya meng- gantung di pinggang. Tangannya bertumpu pada sandaran tangan di sampingnya.

Cahaya lentera tampak redup, karena harus melewati kelambu halus berwarna hijau yang tergantung di sekeliling Mitsuhide. Pada waktu ia tidur, kelambu itu melindunginya dari keempat sisi, tapi kini bagian depannya ditahan oleh sepotong bambu,

"Masuklah, Mitsuharu," ujar Mitsuhide.

"Ada apa sebenarnya?" sepupunya bertanya, setelah berlutut di hadapan Mitsuhide.

"Mitsuharu, bersediakah kau mempertaruhkan nyawa untukku?"

Mitsuharu berlutut sambil membisu, seakan- akan lupa cara berbicara. Mata Mitsuhide tampak menyala-nyala, memancarkan sorot aneh. Pertanya- annya sederhana dan tidak berbelit-belit, tapi justru kata-kata itulah yang ditakuti Mitsuharu sejak di Sakamoto. Kini Mitsuhide akhirnya ber- bicara, dan meski Mitsuharu tidak terkejut, darah yang mengaliri tubuhnya seakan-akan membeku.

"Kau menentangku, Mitsuharu?"

Yang ditanya tetap tidak menjawab. Mitsuhide pun terdiam. Wajahnya kelihatan agak pucat, bukan akibat kelambu hijau atau lentera yang ber- kelap-kelip, melainkan karena gejolak perasaan di hatinya.

Seketika naluri Mitsuharu berkata bahwa Mitsu- hide telah mcnyiapkan rencana darurat yang akan digunakannya kalau Mitsuharu menentangnya. Di dinding di balik kelambu terdapat ruang rahasia yang cukup besar untuk satu orang. Sepuhan emas pada pintu itu berkilau-kilau tak menyenangkan, seakan-akan mencerminkan niat buruk dari pem- bunuh yang bersembunyi di baliknya.

Di sebelah kanan Mitsuharu ada pintu geser besar. Ia tidak mendengar apa-apa dari baliknya, namun ia dapat merasakan kehadiran Saito Toshi- mitsu dan beberapa orang lain yang telah men- cabut pedang masing-masing, menunggu aba-aba dari Mitsuhide. Mitsuharu tak sanggup merasa marah karena sikap Mitsuhide yang keji dan licik; ia merasa kasihan pada sepupunya itu. Mungkin- kah orang cerdas yang dikenalnya sejak muda sudah tak ada lagi? Kini ia merasa seolah-olah hanya melihat bayang-bayang orang itu. "Mitsuharu, bagaimana jawabanmu?" Mitsuhide

bertanya sambil bergeser mendekat.

Mitsuharu merasakan napas sepupunya, panas seperti demam yang membakar orang sakit. "Mengapa tuanku ingin agar hamba memper- taruhkan nyawa?" ia akhirnya balik bertanya. Sesungguhnya ia tahu persis apa kchendak Mitsu- hide, jadi sekarang ia sengaja berlagak bodoh. Ia terus menggenggam harapan bahwa, entah bagai- mana, ia masih dapat menarik sepupunya dari tepi jurang.

Mendengar ucapan Mitsuharu, urat-urat di pelipis Mitsuhide semakin menonjol. Suaranya ter- dengar parau ketika ia berkata. "Mitsuharu, tak tahukah kau bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sejak aku meninggalkan Azuchi?"

"Itu sudah jelas."

"Kalau begitu, apa perlunya kita bicara panjang- lebar? Jawab saja ya atau tidak."

"Tuanku, mengapa justru tuanku yang menolak untuk berbicara? Bukan saja nasib marga Akechi yang tergantung pada ucapan tuanku sekarang, melainkan masa depan seluruh negeri."

"Apa maksudmu, Mitsuharu?"

"Siapa sangka justru tuanku yang akan melaku- kan kebiadaban ini." Berlinang air mata. Mitsu- haru beringsut-ingsut mendekati Mitsuhide, me- nempelkan kedua tangan ke lantai dengan gaya memohon. "Belum pernah hamba begitu bingung menghadapi watak manusia seperti malam ini. Ketika kita masih muda dan belajar bersama di rumah ayah hamba, apakah yang kita baca? Ada- kah sepatah kata pun dalam kitab-kitab kuno yang membenarkan pembunuhan terhadap junjungan sendiri?"

"Jangan keras-keras, Mitsuharu ."

"Siapa yang akan mendengar hamba? Di sini hanya ada pembunuh-pembunuh yang bersem- bunyi di balik pintu rahasia, menunggu perintah tuanku. Yang Mulia... tak sekali pun hamba me- ragukan kebijakan Yang Mulia. Tapi kelihatannya Yang Mulia sudah berbeda begitu jauh dengan orang yang pernah hamba kenal."

"Sudah terlambat, Mitsuharu." "Hamba harus bicara." "Percuma saja."

"Hamba harus bicara, biarpun tak ada gunanya." Air mata menetes ke tangan Mitsuharu.

Pada saat itulah ada gerakan di balik pintu rahasia. Barangkali si pembunuh menyadari bahwa situasinya menjadi tegang, dan ingin segera ber- tindak. Namun Mitsuhide belum memberikan tanda. Ia berpaling dari sosok sepupunya yang sedang menangis.

"Pengetahuan tuanku jauh lebih luas daripada orang lain, kecerdasan tuanku melebihi kecerdasan kebanyakan orang, dan tuanku pun telah men- capai usia matang. Adakah yang tak dipahami oleh tuanku?" Mitsuharu memohon. "Hamba orang bodoh dan tak pandai bersilat lidah, tapi orang seperti hamba pun dapat membaca kata 'kesetiaan' dan merenungkannya sampai menjadi bagian dari diri hamba. Meskipun tuanku telah membaca sepuluh ribu buku, semuanya tak berarti jika tuanku kini mengabaikan kata tersebut. Tuanku, dengarkah tuanku? Darah kita berasal dari keluarga samurai. Tegakah tuanku menodai ke- hormatan leluhur kiia? Dan bagaimana dengan anak-anak tuanku dan keturunan mereka? Bayang- kan aib yang tuanku bebankan pada generasi- generasi berikut."

"Kau bisa menyebutkan hal-hal serupa tanpa akhir," balas Mitsuhide. "Apa yang akan kulakukan jauh lebih penting daripada itu semua. Jangan coba-coba membujukku. Segala sesuatu yang kau- kemukakan telah kupertimbangkan malam demi malam, telah kubolak-balik dan kupandang dari segala sudut. Kalau aku mengamati perjalanan hidupku selama lima puluh lima tahun, aku tahu aku takkan sebingung ini seandainya aku tidak dilahirkan sebagai samurai. Aku bahkan takkan membayangkan hal seperti itu."

"Dan justru karena tuanku dilahirkan sebagai samurai, tak sepatutnya tuanku berbalik menen- tang junjungan tuanku."

"Nobunaga telah memberontak terhadap sang Shogun. Dan semua orang tahu bahwa dia menan- tang hukum karma dengan membumihanguskan Gunung Hiei. Lihatlah apa yang terjadi dengan para pengikut seniornya—Hayashi, Sakuma, Araki. Aku tak bisa menganggap nasib tragis yang menim- pa mereka sebagai urusan orang Iain."

"Tuanku, tuanku telah dianugerahi sebuah provinsi. Marga kita tidak kekurangan apa pun. Pikirkan segala berkah yang dilimpahkan beliau pada kita."

Pada titik ini Mitsuhide kehilangan kendali, dan kata-katanya mengalir seperti sungai di saat banjir. "Apa artinya provinsi sekecil ini? Tanpa kemampuan apa pun, aku mungkin tetap akan mendapatkannya. Setelah Nobunaga memperoleh segala sesuatu yang dibutuhkannya dariku, aku tak lebih dari peliharaan yang diberi makan di Azuchi. Atau barangkali aku akan dicampakkan karena dianggap tak berguna lagi. Dia bahkan menempat- kanku di bawah komando Hideyoshi dan mengi- rimku ke daerah Sanin. Apa ini, kalau bukan isyarat mengenai masa depan marga Akechi? Aku dibesarkan sebagai samurai; aku mewarisi darah prajurit. Kaukira aku sudi melewatkan sisa hidup dengan bersujud-sujud, sementara dia menyuruh- nyuruhku seenak hatinya? Tak bisakah kau melihat hati Nobunaga yang busuk, Mitsuharu?"

Sesaat Mitsuharu duduk terbengong-bengong, lalu bertanya, "Siapa saja yang telah mengetahui maksud tuanku?"

"Selain kau, selusin pengikutku yang paling kupercaya," Mitsuhide menarik napas panjang dan menyebutkan nama orang-orang iiu.

Mitsuharu menengadahkan kepala dan men- desah. "Hamba bisa mengatakan apa setelah mereka diberitahu?"

Mitsuhide tiba-tiba bergerak maju dan meng- genggam kerah sepupunya dengan tangan kiri. "Jadi, jawabanmu tidak?" tanyanya. Tangan kanan- nya meraih gagang belati, sementara tangan kirinya mengguncang-guncang Mirsuharu dengan tenaga luar biasa. "Atau ya?"

Setiap kali Mitsuhide mengguncang Mitsuharu, kepala Mitsuharu bergerak maju-mundur, seakan- akan lehernya tak bertulang. Air mau membasahi wajahnya.

"Sekarang masalahnya bukan lagi ya atau tidak. Tapi hamba tidak tahu apa yang mungkin terjadi seandainya hamba diberitahu lebih dulu dan pada yang lain, tuanku."

"Kalau begitu kau setuju? Kau akan membantu- ku?"

Tuanku dan hamba bagaikan satu orang. Jika tuanku mati, hamba tak ingin hidup. Secara teknis, hubungan kita hubungan antara junjungan dan pengikut, tapi kita berasal dari garis keturunan yang sama. Kita hidup bersama-sama sampai sekarang, dan hamba tentu saja bertekad membagi nasib apa pun yang menanti kita."

"Jangan khawatir, Mitsuharu. Aku percaya kemenangan berada di pihak kita. Kalau kita berhasil, kau takkan memimpin benteng kecil seperti Sakamoto. Aku berjanji. Paling tidak, kau akan menempati kedudukan tepat di bawahku, dan akan menjadi penguasa banyak provinsi se- kaligus!"

"Apa?! Bukan itu masalahnya." Sambil menepis tangan yang menggenggam kerahnya. Mitsuharu mendorong Mitsuhide. "Hamba ingin menangis... Tuanku, perkenankan hamba menangis."

"Kenapa kau bersedih, bodoh?" "Tuankulah yang bodoh!" "Bodoh!"

Kedua laki-laki itu saling mengolok-olok yang lain, kemudian berangkulan dengan pipi berlinang air mata.

***

Suasananya seperti di musim panas; hari penama di Bulan Keenam lebih panas dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Pada sore hari, awan-awan menutupi sebagian langit di utara, tapi matahari yang terbenam perlahan-lahan tetap membakar gunung-gunung dan sungai-sungai di Tamba, sampai menjelang malam.

Kota Kameyama tampak lengang. Prajurit- prajurit dan kereta-kereta yang sempat memadati jalan-jalannya kini tak ada lagi. Para prajurit yang meninggalkan kota sambil memanggul senapan dan membawa umbul-umbul serta tombak mem- bentuk barisan panjang. Kepala masing-masing serasa dipanggang di dalam helm besi. Para warga kota berkerumun di tepi jalan-jalan, menyaksikan keberangkaun pasukan. Setiap kali melihat pe- langgan yang biasa mendatangi toko mereka, mereka menyerukan selamat jalan sekeras mung- kin, dan mendorongnya agar kembali dengan membawa nama harum.

Tetapi baik para prajurit maupun massa yang mengelu-elukan mereka tidak mengetahui bahwa ini bukan awal operasi di wilayah Barat, melainkan langkah pertama menuju Kyoto. Selain Mitsuhide dan selusin anggota staf lapangannya, tak seorang pun mengetahuinya.

Jam Monyet sudah dekat. Di bawah matahari barat yang tampak merah bagaikan darah, bebe- rapa sangkakala berkumandang tinggi dan rendah, satu demi satu. Para prajurit, yang sebelumnya hanya berkerumun di sekitar kemah-kemah mereka, langsung berdiri untuk bergabung dengan pasukan masing-masing. Sambil membagi diri ke dalam tiga kelompok, mereka membentuk barisan dengan mengibarkan panji-panji.

Kehijauan gunung-gunung di sekeliling serta dedaunan di sekitar menyearkan bau harum ketika angin senja berdesir membelai wajah-wajah yang tak terhitung banyaknya. Sekali lagi sangkakala ber- kumandang, kali ini dari hutan yang jauh.

Dari pekarangan di sekitar tempat persembahan Dewa Perang Hachiman, Mitsuhide dan para jen- dralnya muncul dengan gilang-gemilang. Mitsuhide memeriksa pasukannya yang dalam keadaan ber- desak-desakan menyerupai tembok besi. Setiap prajurit menegakkan kepala ketika Mitsuhide me- lewatinya, dan orang-orang bawahan pun merasa bangga berada di bawah komando panglima yang demikian tersohor.

Mitsuhide mengenakan baju tempur berwarna hitam dengan tali pengikat berwarna hijau di bawah mantel brokat berwarna putih dan perak. Pedang panjang dan pelananya dibuat oleh tangan yang teramat terampil. Hari ini ia tampak jauh lebih muda daripada biasanya, tapi ini tidak berlaku bagi Mitsuhide semata-mata. Jika seseorang mengenakan baju tempur, usianya tidak tampak. Bahkan bersebelahan dengan prajurit berumur enam belas yang untuk pertama kali berperang, orang tua tidak merasakan atau memperlihatkan usianya.

Hari ini Mitsuhide berdoa lebih khusyuk dibandingkan siapa pun juga dalam pasukannya. Karena itu, ketika ia melewati semua prajurit, sorot matanya tampak tegang. Roman muka sang Panglima Tertinggi tercermin dalam semangat tempur anak buahnya. Telah dua puluh tujuh kali marga Akechi mengangkat senjata untuk ber- perang. Namun hari ini semuanya merasa gelisah, seakan-akan menyadari bahwa pertempuran yang mereka tuju sungguh luar biasa.

Setiap orang merasa bahwa ia takkan pernah kembali. Bisikan naluri tersebut menyelubungi tempat itu bagaikan kabut pucat, sehingga ke- sembilan panji dengan lambang kembang lonceng di atas masing-masing divisi seakan-akan berkibar di hadapan awan-awan.

Mitsuhide menarik tali kekang, berpaling pada Saito Toshimitsu yang berkuda di sampingnya, dan bertanya. "Berapa jumlah keseluruhan pasukan kita?"

"Sepuluh ribu. Kalau ditambah dengan para pemikul dan pembawa barang, jumlahnya pasti lebih dari tiga belas ribu orang."

Mitsuhide mengangguk dan berkata setelah ter- diam sejenak. "Suruh para komandan kompi ke sini."

Setelah komandan-komandan itu berkumpul di depan kuda Mitsuhide, ia mundur sebentar dan tempatnya digantikan oleh sepupunya, Mitsutada, yang diapit oleh jendral-jendral di kedua sisinya.

"Surat dari Mori Ranmaru ini tiba semalam. Dia kini berada di Kyoto. Aku akan membacakan suratnya agar diketahui oleh kalian semua."

Ia membuka surat itu dan membacakannya, "Atas perintah Yang Mulia Nobunaga, kalian harus datang ke ibu kota, agar Yang Mulia dapat me- meriksa pasukan sebelum kalian bertolak ke wilayah Barat."

"Kita akan berangkat pada jam Ayam jantan. Sampai saat itu, suruh prajurit-prajurit kalian mempersiapkan perbekalan, memberi makan kuda- kuda, dan beristirahat."

Ketiga belas ribu prajurit yang mempersiapkan ransum masing-masing merupakan pemandangan yang menyenangkan. Sementara itu, para koman- dan korps yang sudah sempat disuruh menghadap dipanggil sekali lagi—kali ini ke hutan yang menge- lilingi tempat persembahan Hachiman. Di sana, diperkuat oleh bayang-bayang dan suara jangkrik, udara sejuk terasa hampir seperti air.

Sesaat sebelumnya, bunyi tepuk tangan ter- dengar dari tempat persembahan. Rupanya Mitsu- hide dan para jendralnya telah memanjatkan doa kepada dewa-dewa. Mitsuhide berhasil meyakinkan diri bahwa tindakannya bukan akibat rasa per- musuhannya terhadap Nobunaga semata-mata. Kekhawatiran bahwa ia akan mengalami nasib seperti Araki dan Sakuma memberikan peluang padanya untuk percaya bahwa tindakannya sekadar untuk mempertahankan diri; ia bagaikan binatang terpojok yang terpaksa menyerang lebih dulu agar tetap hidup.

Jarak dari tempat persembahan itu ke Kuil Honno, tempat musuhnya menginap tanpa pengawalan ketat, hanya sekitar lima belas mil. Kesempatan seperti ini takkan terulang lagi. Sadar bahwa pengkhianatannya berkesan oportunis, Mitsuhide tak sanggup memusatkan pikiran pada doanya. Namun ia tidak mengalami kesulitan untuk membenarkan tindakannya. Satu per satu ia menyebutkan kejahatan Nobunaga selama dua puluh tahun terakhir. Dan akhirnya, walaupun ia telah bertahun-tahun mengabdi pada Nobunaga, Mitsuhide merindukan keshogunan lama, dengan segala kemandekannya.

Para komandan menunggu sambil berkerumun. Kursi Mitsuhide belum juga ditempati. Pelayan- pelayannya mengatakan bahwa ia masih berdoa di tempat persembahan dan akan segera kembali. Tak lama setelah itu, tirai terbuka. Sambil menyapa orang-orang yang telah berkumpul, para pembantu dekat Mitsuhide masuk satu demi satu. Mitsuhide, Toshimitsu, Mitsuharu, Mitsutada, dan Mitsuaki muncul terakhir.

"Para komandan korps sudah datang semua?" Mitsuhide bertanya.

Dengan kecepatan mengejutkan, daerah sekitar sudah dikepung prajurit.

Kewaspadaan terbaca pada roman muka Mitsu- hide, dan mata para jendral memancarkan per- ingatan bisu.

Mitsuhide berkata. "Kalian mungkin mengang- gap aku berhati dingin karena berjaga-jaga seperti ini pada waktu hendak bicara dengan para peng- ikutku, terutama dengan para pengikut yang men- jadi andalanku. Kalian jangan salah terima; ini karena aku akan membeberkan sebuah peristiwa besar yang telah lama ditunggu-tunggu pada kalian—sebuah peristiwa yang akan mempengaruhi seluruh negeri dan akan membawa kejayaan atau kehancuran bagi kita."

Dengan demikian, ia mulai menjelaskan ren- cananya. Satu demi satu Mitsuhide menyebutkan keluhannya terhadap Nobunaga—penghinaan di Suwa dan Azuchi, dan yang terakhir, perintah untuk bergabung dengan operasi militer di wilayah Barat, yang menyiratkan bahwa ia berada di bawah Hideyoshi. Ia lalu menyebutkan nama orang-orang yang selama bertahun-tahun mengabdi pada Nobu- naga dan kemudian dipaksa menuju kehancuran. Nobunaga-lah musuh kebenaran; orang yang me- rusak budaya dan berkomplot untuk menjatuh-kan lembaga-lembaga dan membawa kekacauan ke seluruh negeri. Mitsuhide mengakhiri pidatonya dengan membaca sajak yang digubahnya sendiri.

Biarkan mereka yang tak paham Berkata sekehendak hati; Kedudukan maupun kemasyhuran Takkan kusesalkan. Sewaktu membacakan sajaknya. Mitsuhide mulai merasakan kesedihan atas situasinya sendiri, dan air mata mulai mengalir di pipinya. Para pengikut senior pun mulai menangis. Beberapa di antara mereka bahkan menggigit lengan baju tempur atau jatuh bertiarap di tanah. Hanya satu orang yang tidak menangis—Saito Toshimitsu, sang veteran.

Untuk menyatukan tangis mereka dalam suatu ikatan darah, Toshimitsu angkat bicara. "Kukira Yang Mulia berkenan membuka hatinya karena beliau menganggap kita sebagai orang yang dapat dipercaya, jika kening seorang pemimpin tercoreng arang, para pengikutnya akan mati. Apakah hanya junjungan kita yang menderira? Tulang-belulangku sudah tua dan waktuku tak banyak lagi, tapi jika aku dapat menyaksikan kejatuhan Yang Mulia Nobunaga dan sempat melihat junjunganku men- jadi penguasa seluruh negeri, aku bisa mati tanpa penyesalan."

Kemudian giliran Mitsuharu. "Masing-masing dari kita tentu menganggap dirinya sebagai tangan kanan Yang Mulia, jadi sekali beliau bicara, hanya ada satu jalan untuk ditempuh, tanpa bimbang dan ragu. Kita jangan sampai terlambat menyam- but ajal."

Para komandan korps menjawab serempak. Kilau emosi di setiap mata dan mulut yang ter- buka seakan-akan mengisyaratkan bahwa mereka tak mengenal kata lain selain ya. Ketika Mitsuhide bangkit, orang-orang itu gemetar akibat gejolak perasaan dalam batin masing-masing. Mereka mengelu-elukannya, sesuai tradisi pada waktu bertolak ke garis depan.

Yomoda Masataka menengadahkan kepala, me- mandang langit, lalu mendesak semuanya agar mempersiapkan mental, "Jam Ayam jantan tidak lama lagi. Jarak ke ibu kota sekitar lima belas mil. Kalau kita ambil jalan pintas, pada waktu fajar Kuil Honno sudah bisa kita kepung. Jika kita dapat merebut Kuil Honno sebelum jam Naga, lalu menghancurkan Istana Nijo, semuanya akan selesai sebelum waktu makan pagi."

Ia telah berpaling menghadap Mitsuhide dan Mitsuharu, dan berbicara dengan penuh ke- yakinan. Pidato ini tentu saja bukan saran maupun usul, melainkan bertujuan agar para komandan menyadari bahwa seluruh negeri sudah berada di tangan mereka. Masataka sengaja ingin membakar semangat mereka.

Jam Ayam jantan sudah memasuki pertengahan kedua. Jalan sudah gelap, diselubungi bayangan gunung. Orang-orang berbaju tempur itu memben- tuk barisan panjang melewati Desa Oji, dan akhir- nya mencapai bukit di Oinosaka. Langit malam penuh bintang, dan ibu kota di bawahnya tampak tak berubah. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar