Taiko Bab 06 : Laki-Laki Tampan

Buku Dua ~ Tahun Koji Kedua 1556

Bab 06 : Laki-Laki Tampan

"OKOI!" panggil Mataemon begitu sampai di rumahnya. Istrinya bergegas menyambut. "Siapkan sake. Aku bawa tamu," Mataemon berkata dengan kasar.

"Hmm, siapa?" "Teman putri kita."

Tokichiro muncul di belakangnya. "Tuan Kinoshita?"

"Okoi, sampai hari ini kau tidak menceritakan apaapa padaku. Sikap ini sungguh tak patut bagi istri samurai. Rupanya Tuan Kinoshita dan Nene sudah agak lama saling mengenal. Kau pun mengetahuinya, jadi kenapa kau tidak memberitahu aku?"

"Aku pantas dimarahi. Aku menyesal sekali." "Baiklah, tapi sekarang Tokichiro pasti bertanya-

tanya ayah macam apa aku ini?"

"Nene menerima banyak surat, tapi dia tak pernah menyembunyikan surat-surat itu dariku."

"Memang sudah seharusnya begitu."

"Lagi pula, Nene anak pintar. Sebagai ibunya, aku yakin dia tidak pernah berbuat salah. Karena itu aku merasa tidak sepatutnya kau diganggu setiap kali Nene menerima surat dari para laki-laki di kota ini."

"Di situlah letak kekeliruanmu. Aku sungguhsungguh tidak mengerti anak muda zaman sekarang— laki-laki maupun perempuan!" Ia berpaling pada Tokichiro yang sedang menggaruk-garuk kepala sambil tersipu-sipu karena jalannya terhalang, sehingga tak bisa masuk, dan tawanya meledak.

Tokichiro bahagia sekali karena ayah gadis yang dicintainya mengundangnya ke rumah mereka, dan jantungnya berdebar-debar.

"Ayo, jangan seperti patung!" Mataemon mengajaknya ke ruang tamu, yang, walaupun merupakan ruangan terbaik di rumah itu, berukuran kecil.

Rumah-rumah petak para pemanah tidak lebih nyaman dibandingkan dengan rumah Tokichiro. Semua pengikut Oda, tak peduli apa pun pangkatnya, hidup sederhana. Di rumah ini pun, satu-satunya hal yang mencolok adalah seperangkat baju tempur.

"Ke mana Nene?"

"Dia di kamarnya." Istrinya menawarkan air pada Tokichiro.

"Kenapa dia tidak keluar dan menyalami tamu kita? Kalau aku di rumah, dia selalu kabur dan bersembunyi."

"Mungkin dia sedang berganti pakaian dan merapikan rambut."

"Itu tidak perlu. Suruh dia ke sini untuk menghidangkan sake. Tidak apa-apa kalau kita menyajikan makanan seadanya pada Tokichiro."

"Astaga! Jangan berkata seperti itu."

Tokichiro semakin kikuk. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Terhadap para pengikut yang tidak ramah di benteng ia bersikap berani dan lancang, tapi di sini ia tak lebih dari pemuda pemalu.

Akhirnya Nene keluar untuk menyambutnya secara resmi. Wajahnya didandani tipis-tipis. "Tak banyak yang dapat kami sajikan, tapi semoga Tuan merasa seperti di rumah sendiri." Kemudian ia membawakan nampan berisi makanan dan sebotol sake.

Tokichiro menjawab semua pertanyaan Mataemon seakan-akan hanya setengah sadar, sambil terusmenerus mengagumi sosok dan gerak-gerik Nene. Profilnya elok sekali, katanya dalam hati. Yang paling membuatnya terkesan adalah keanggunan Nene yang tidak dibuat-buat, sesederhana kain katun. Gadis itu tidak genit seperti perempuan-perempuan lain yang pura-pura malu atau banyak lagak. Orang bisa saja berpendapat bahwa ia agak kurus, tapi dari tubuhnya tercium wangi bunga hutan di malam bulan purnama. Tokichiro mabuk kepayang.

"Mau tambah lagi?" Mataemon menawarkan. "Terima kasih."

"Katamu kau menyukai sake." "Betul."

"Kau tidak apa-apa? Kau tidak terlalu banyak minum, bukan?"

"Aku minum sedikit demi sedikit saja, terima kasih." Sambil duduk di ujung kursi, dengan botol sake di hadapannya, Tokichiro menatap wajah Nene yang dalam kerlap-kerlip cahaya lentera tampak begitu putih. Ketika mata Nene tiba-tiba beralih ke arahnya, Tokichiro cepat-cepat mengusap wajah dengan satu tangan, dan berkata bingung, "Ah, pengaruh sake sudah mulai terasa." Ia tersipu-sipu ketika mengetahui bahwa ia sendiri lebih sadar akan sikapnya daripada Nene.

Sekali lagi terlintas di benaknya bahwa jika waktunya sudah tiba, ia pun harus menikah. Dan jika ia harus mengambil istri, perempuan yang dipilihnya haruslah cantik. Ia bertanya-tanya, sanggupkah Nene menanggung kemiskinan dan penderitaan, dan melahirkan anak-anak yang sehat untuknya? Dalam keadaannya sekarang, Tokichiro pasti mengalami masalah keuangan jika mulai berumah tangga. Dan ia sadar bahwa di masa depan ia takkan puas dengan kekayaan semata-mata, dan bahwa segunung kesulitan telah menunggunya.

Kalau memandang perempuan dari segi kecocokan sebagai calon istri, tentu ada pertimbangan seperti budi pekerti dan penampilan. Namun lebih penting lagi untuk menemukan perempuan yang dapat menyayangi ibunya, seorang petani yang boleh dibilang buta huruf, serta sanggup mendukung pekerjaan suaminya dari balik layar. Disamping harus memiliki kedua sifat itu, ia pun harus merupakan wanita berhati teguh yang mampu memikul kemiskinan mereka. Kalau saja Nene seperti itu... pikir Tokichiro berulang-ulang. Bukan baru malam itu Tokichiro mulai tertarik pada Nene. Jauh sebelumnya, ia telah menganggap putri Mataemon sebagai perempuan yang cocok untuknya. Ia memperhatikan Nene tanpa mengetahui siapa Nene sebenarnya, dan diam-diam mengirimkan surat dan hadiah. Tapi malam itu, untuk pertama kali ia merasa yakin.

"Nene, ada yang perlu kubicarakan dengan Tokichiro, jadi tolong tinggalkan kami sejenak." Ketika Mataemon mengatakan ini, Tokichiro sudah membayangkan dirinya sebagai menantu Mataemon, dan ia kembali tersipu-sipu.

Nene meninggalkan ruangan, dan Mataemon duduk agak lebih tegak.

"Kinoshita, aku ingin bicara dari hati ke hati. Aku tahu kau orang yang selalu berterus terang."

"Silakan utarakan apa saja." Tokichiro gembira karena ayah Nene bersikap begitu akrab, meski belum tentu pembicaraan mereka akan berjalan seperti yang diharapkannya. Ia pun duduk lebih tegak, siap membantu, apa pun yang akan ditanyakan Mataemon. "Yang ingin kukatakan... ehm, Nene sudah cukup

umur untuk berumah tangga."

"Memang." Kerongkongan Tokichiro terasa kering dan seolah-olah tersumbat.

Walaupun anggukan kepala sebenarnya sudah cukup, ia merasa perlu memberi komentar. Ia sering mengatakan sesuatu saat tak perlu.

"Masalahnya, aku telah menerima sejumlah lamaran untuk Nene dari orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada kami," Mataemon melanjutkan. "Dan sebagai ayahnya, aku tidak tahu mana yang harus kupilih."

"Itu bukan tugas ringan." "Di pihak lain..."

"Ya?"

"Laki-laki yang dianggap cocok oleh seorang ayah mungkin saja tidak berkenan di hati anak perempuannya."

"Aku mengerti. Seorang perempuan hanya hidup satu kali, dan kebahagiaannya tergantung pada lakilaki yang dinikahinya."

"Ada seorang pengikut yang selalu mendampingi junjungan kita. Namanya Maeda Inuchiyo. Kau tentu mengenalnya."

"Tuan Maeda?" Tokichiro mengedip-ngedipkan mata. Pembicaraan mereka telah berbelok ke arah yang tak disangka.

"Betul. Tuan Maeda berasal dari keluarga baik-baik, dan sudah berulang kali dia menyatakan keinginannya untuk mempersunting Nene."

Tanggapan Tokichiro lebih menyerupai desahan daripada jawaban. Tiba-tiba saja telah muncul saingan berat. Wajah tampan Inuchiyo, suaranya yang jernih, serta sopan santun yang dipelajarinya sebagai pelayan Nobunaga, semuanya itu membuat Tokichiro, yang tak mempunyai keyakinan akan tampangnya sendiri, merasa iri. Bagaimanapun, ia tak sanggup mencegah orang-orang memanggilnya Monyet. Karena itu, tak ada yang lebih dibencinya daripada mendengar seseorang disebut "laki-laki tampan". Dan tak ada yang meragukan bahwa Inuchiyo menyandang sebutan itu.

"Apakah Tuan akan memberikan Nene padanya?" Tanpa disengaja, mereka telah melewati batas omongomong belaka.

"Apa? Tidak," ujar Mataemon sambil menggelengkan kepala. Ia mengangkat cawan ke bibir, seakan-akan terbangun dari lamunan. "Sebagai ayah, aku tentu gembira jika mendapatkan laki-laki sopan seperti Inuchiyo sebagai menantu, dan aku sudah menerima baik lamarannya. Tapi belakangan ini putriku tidak mau tunduk begitu saja pada kemauan orangtuanya, biarpun dalam urusan seperti ini."

"Maksud Tuan, dia tidak berkenan dengan rencana pernikahan ini?"

"Dia tidak menolak, tapi juga tidak menyetujuinya.

Tapi aku menduga dia kurang suka." "Hmm, begitu."

"Wah, urusan pernikahan memang merepotkan." Sambil bicara, roman muka Mataemon menjadi khawatir.

Pada dasarnya, ini masalah kehormatan. Mataemon mengagumi Inuchiyo. Ia menganggap Inuchiyo sebagai pemuda dengan masa depan cerah. Dan ketika Inuchiyo meminta Nene sebagai istri, Mataemon langsung setuju, dan ia keburu bersukacita sebelum menanyai putrinya. Namun ketika ia dengan bangga memberitahukan, "Rasanya dia akan menjadi suami tanpa tandingan," Nene sama sekali tidak tampak gembira. Ia justru kelihatan kaget. Meskipun mereka ayah dan anak, Mataemon kini menyadari bahwa antara mereka terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam hal memilih pendamping hidup. Akibatnya Mataemon tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Baik sebagai ayah maupun sebagai samurai, ia merasa malu terhadap Inuchiyo.

Inuchiyo, sebaliknya, mengejar tujuannya secara terang-terangan. Ia memberitahu teman-temannya bahwa ia akan mempersunting putri Tuan Asano, dan minta mereka menjadi perantara baginya.

Mataemon menjelaskan kesulitannya pada Tokichiro. Hari pernikahan semakin dekat. Sampai sekarang ia berhasil menunda-nundanya dengan alasan seperti, "Belakangan ini kesehatan ibunya agak terganggu," atau, "Menurut istriku, tahun ini tidak baik." Tapi ia mulai kehabisan alasan dan tidak tahu apa yang mesti ia perbuat selanjutnya.

"Kata orang, kau sangat cerdas. Barangkali kau bisa mengusulkan sesuatu?"

Mataemon mereguk minumannya, lalu meletakkan cawan.

Seandainya Tokichiro mabuk, hal itu tidak terlihat dari wajahnya. Sampai saat itu ia asyik menikmati angan-angannya sendiri, tapi ketika mendengar persoalan Mataemon, ia tiba-tiba menjadi serius sekali. Sainganku sangat berat, ia berkata dalam hati. Inuchiyo "laki-laki tampan" yang begitu tidak disukai oleh Tokichiro, tapi pemuda itu tak bisa disebut lakilaki teladan. Dibesarkan di sebuah negeri yang dilanda perang, ia teramat berani, namun cenderung keras kepala dan menganggap penting dirinya sendiri.

Pada saat berusia tiga belas tahun, Inuchiyo untuk pertama kali ikut berperang dalam pasukan Nobunaga, dan kegagahannya terbukti ketika ia kembali sambil menenteng kepala musuh. Baru-baru ini, sewaktu pengikut saudara laki-laki Nobunaga memberontak, ia bertempur dengan ganas di barisan depan junjungannya. Ketika prajurit musuh memanah mata Inuchiyo, Inuchiyo melompat turun dari kudanya, memenggal kepala orang itu, lalu memberikannya pada Nobunaga. Semuanya tanpa mencopot anak panah tersebut dari matanya.

Ia laki-laki berani dan tampan, meskipun mata kanannya kini tertutup hampir rapat; sekilas kelihatannya seakan-akan ada jarum di kulitnya yang putih bersih.

"Jadi, bagaimana dengan Inuchiyo? Tindakan apa yang harus kuambil?" tanya Mataemon.

Mereka duduk bersama-sama, seperti dua orang yang telah hilang harapan.

Tokichiro pun, yang biasanya tak pernah kekurangan akal, tidak tahu apa yang harus ia katakan. Akhirnya ia berujar, "Hmm, jangan khawatir. Kita pasti menemukan jalan keluarnya."

Tokichiro kembali ke benteng. Kepentingannya sendiri tidak dikejarnya lagi; ia hanya memikirkan persoalan Mataemon. Ia menganggap suatu kehormatan bahwa ayah gadis yang dicintainya mempercayakan rahasia keluarga padanya, bahkan minta saran, walaupun masalah itu menjadi beban bagi dirinya.

Tokichiro menyadari betapa dalam cintanya kepada Nene.

Inikah yang dinamakan cinta? Ia bertanya-tanya, sambil berusaha raemahami gejolak misterius di hatinya. Mengucapkan kata "cinta" menimbulkan perasaan tak enak dalam dirinya. Ia tidak menyukai kata yang seakan-akan melekat pada bibir semua orang itu. Bukankah sejak kecil ia telah dijauhi oleh cinta? Baik tampang maupun sikapnya—senjata-senjata yang dipakainya untuk menghadapi dunia—menjadi bahan ejekan perempuan-perempuan cantik yang ditemuinya. Namun ia pun tergerak oleh keindahan dan cinta.

Dan ia memiliki kesabaran yang tak terbayangkan oleh orang-orang yang mencemoohnya.

Walaupun terus dihina dan dicela, ia bukan orang yang mudah menyerah.

Kelak akan kutunjukkan siapa aku, ia bersumpah dalam hati. Perempuan-perempuan berhati lapang akan berebut untuk menarik perhatian laki-laki jelek dan kecil ini. Pikiran inilah yang memacunya. Dan perasaan ini pula yang telah membentuk pandangannya mengenai perempuan dan cinta, bahkan sebelum ia menyadarinya. Tokichiro memandang rendah laki-laki yang mengagung-agungkan kecantikan perempuan. Ia menganggap hina mereka yang menjadikan cinta sebagai khayalan dan misteri, yang menempatkannya sebagai  kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan manusia, dan merasa nikmat dalam kesedihan sendiri. Tapi, ia berkata dalam hati, dalam kasus Nene aku tidak keberatan mengakui bahwa aku telah jatuh cinta. Perasaan cinta dan benci sepenuhnya tergantung pada orang yang mengalaminya, dan setelah bisa menerima sudut pandang tersebut, ia  pun jadi bisa berkompromi. Sebelum terlelap, ia memejamkan mata

dan membayangkan profil wajah Nene.

Keesokan harinya pun Tokichiro masih bebas tugas. Rumah barunya, yang ia kunjungi pada hari sebelumnya, perlu diperbaiki, dan ia juga harus mencari perabotan. Namun Tokichiro tetap di benteng, karena ingin menemui Inuchiyo yang terus mendampingi Nobunaga. Dari pelataran kayu tempat mereka duduk, Inuchiyo memandang para pengikut Nobunaga dengan tatapan lebih congkak dibandingkan tatapan majikannya. Jika orang seperti Tokichiro menghadap Nobunaga, Inuchiyo mendengarkan mereka sambil tersenyum melecehkan.

Lagi-lagi si Monyet? Inuchiyo bahkan tak perlu mengucapkannya. Entah bagaimana, matanya yang tinggal sebelah seakan-akan sanggup menembus seseorang. Tokichiro menganggapnya angkuh, dan jarang bergaul dengannya. Pada waktu Tokichiro sedang berbincang-bincang dengan penjaga di gerbang utama, seseorang melewatinya dan berkata, "Tuan Tokichiro, Tuan bebas tugas hari ini?"

Tokichiro menoleh. Ternyata Inuchiyo-lah yang menyapanya. Tokichiro segera mengejarnya dan berkata, "Tuan Inuchiyo, ada persoalan pelik yang ingin kubicarakan."

Seperti biasa, Inuchiyo memandangnya dengan tatapan angkuh. "Persoalan tugas atau urusan pribadi?"

"Urusan pribadi."

"Kalau begitu, sekarang bukan waktu yang tepat. Aku baru menyelesaikan suatu urusan untuk Yang Mulia, dan aku tak punya waktu untuk mengobrol. Nanti saja." Setelah menolak mentah-mentah, ia langsung pergi.

Orangnya tidak menyenangkan, tapi bukannya tanpa kelebihan, Tokichiro terpaksa mengakui. Ditinggal begitu saja, Tokichiro menatap sosok Inuchiyo dengan pandangan kosong. Kemudian ia pun berlalu, berjalan dengan langkah-langkah panjang. Ia menuju kota. Setibanya di rumahnya yang baru, ia melihat seorang laki-laki sedang mencuci gerbang dan laki-laki lain membawa barang-barang ke dalam.

Jangan-jangan aku salah alamat? pikir Tokichiro.

Pada waktu ia menatap berkeliling, suara seorang laki-laki terdengar dari dapur, "Hai! Tuan Kinoshita."

"Oh, ternyata kau."

"Apa ini, 'Oh, ternyata kau'? Tuan ke mana saja? Membiarkan orang lain membawa perabot dan membersihkan rumah!" Orang itu bekas rekan kerjanya di dapur. "Hmm, hmm. Dalam waktu demikian singkat Tuan telah maju jauh."

Tokichiro masuk seakan-akan bertamu di rumahnya sendiri. Di dalam ia menemukan sebuah lemari berlaci yang masih baru serta sebuah rak.

Semuanya hadiah dari teman-teman yang mendapat kabar mengenai kenaikan pangkatnya, lalu, ketika mengetahui bahwa si pemilik rumah yang tak kenal susah sedang pergi, mereka membersihkan seluruh rumah, memasukkan perabot, dan akhirnya masih sempat mencuci gerbang.

"Terima kasih. Kalian sungguh murah hati." Sambil menahan malu, Tokichiro segera bersiap-siap membantu. Namun rupanya pekerjaan yang belum rampung tinggal mengisi botol-botol sake.

"Tuan Kinoshita," ujar salah seorang pemasok benteng, yang merasa berutang budi sejak Tokichiro masih bekerja sebagai pengawas arang dan kayu bakar. Ketika mengintip ke dapur, Tokichiro melihat pelayan perempuan berbadan gemuk sedang mencuci dan menggosok. "Dia dari desa kami. Sekarang ini Tuan tentu sibuk. Mengapa Tuan tidak mempekerjakan dia untuk sementara waktu?"

Tokichiro memanfaatkan kesempatan itu dan berkata, "Aku juga memerlukan jongos dan seorang tukang, jadi jika kau mengenai seseorang, aku berterima kasih sekali." Kemudian mereka duduk membentuk lingkaran dan merayakan rumah baru Tokichiro.

Untung saja aku datang ke sini. Bayangkan kalau aku, sebagai tuan rumah, tidak muncul. Tokichiro merasa malu. Ia tidak menganggap dirinya orang yang gampang bergaul, namun kini ia menyadari bahwa ia memiliki kecenderungan untuk bersikap demikian.

Ketika mereka sedang minum-minum, para istri rekan-rekan kerjanya yang baru mampir untuk mengucapkan selamat kepada Tokichiro.

"Hai, Tuan Tokichiro!" salah satu tamunya berseru. "Ada apa?"

"Ada apa?! Apakah Tuan sudah mengunjungi rumah-rumah di sekitar sini untuk memperkenalkan diri?"

"Oh, belum!"

"Apa? Belum? Apakah Tuan termasuk jenis orang yang menari dan menyanyi, sambil mengharapkan orang lain untuk datang dan memperkenalkan diri? Wah, lebih baik Tuan segera berganti pakaian dan berkeliling. Tuan bisa menyelesaikan dua urusan sekaligus dengan membungkuk di depan setiap rumah, dan memberitahu mereka bahwa Tuan ditugaskan di kandang."

Beberapa hari kemudian ia telah mendapatkan pelayan baru. Seorang laki-laki yang sedesa dengan si pelayan perempuan datang melamar pekerjaan. Selain orang itu, Tokichiro mempekerjakan satu orang lagi. Tiba-tiba saja ia telah memiliki tempat tinggal dan sejumlah pelayan, dan menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri, biarpun upahnya tidak seberapa. Kini, setiap kali Tokichiro berangkat dari rumah— tentu saja dengan mengenakan mantel bekas berwarna biru, dengan lambang kembang paulownia berwarna putih—ia diantar sampai ke gerbang oleh para pelayannya.

Pagi itu, sambil berangan-angan bahwa hidupnya akan sempurna seandainya Nene bersedia menjadi istrinya, ia berjalan menyusuri parit di luar benteng. Tokichiro begitu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga tidak melihat laki-laki yang datang dari arah berlawanan. Orang lain mungkin saja beranggapan bahwa ia masih asyik membayangkan Nene, namun sesungguhnya ia memikirkan masalah pertahanan benteng. Parit itu begitu dangkal, sehingga kalau hujan tak kunjung turun selama sepuluh hari saja, dasarnya sudah kelihatan. Dalam keadaan perang, jika pasukan musuh melemparkan seribu kantong pasir ke dalamnya, mereka bisa membuka alur penyerangan. Disamping itu, air minum di benteng juga tidak mencukupi.

Artinya, titik lemah benteng ini adalah persediaan air. Jumlahnya takkan memadai jika benteng dikepung musuh... Ketika ia bergumam-gumam, seorang laki-laki tinggi-besar menghampiri dan menepuk pundaknya.

"Tuan Monyet. Apakah Tuan sedang bertugas sekarang?"

Tokichiro menatap wajah orang itu, dan seketika mendapatkan pemecahan untuk masalah yang dihadapinya.

"Tidak, ini waktu yang cocok," ia menjawab sejujurnya.

Ia berhadapan dengan Maeda Inuchiyo. Sejak pertemuan singkat di gerbang utama, belum ada kesempatan lagi untuk berbicara. Bahwa mereka secara kebetulan berpapasan di luar benteng dianggapnya pertanda baik.

Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Inuchiyo telah mendahuluinya.

"Tuan Monyet, tempo hari Tuan menyinggung soal pelik yang ingin Tuan bicarakan denganku. Aku sedang bebas tugas, jadi aku ada waktu untuk mendengarkan Tuan."

"Ehm, yang ingin kukatakan..." Tokichiro memandang berkeliling dan menyingkirkan debu dari sebongkah batu di tepi parit. "Urusan semacam ini tak bisa dibahas sambil berdiri. Silakan duduk dulu."

"Ada apa sebenarnya?"

Tokichiro berbicara terus terang, dan hasrat yang ia rasakan tecermin di wajahnya. "Tuan Inuchiyo, Tuan mencintai Nene?"

"Nene?"

"Putri Tuan Asano." "Ah, dia."

"Tuan tentu mencintainya." "Apa urusan Tuan?"

"Sebab, kalau memang begitu, aku ingin memperingatkan Tuan. Kelihatannya, berhubung Tuan tidak memahami situasi sesungguhnya, Tuan telah minta bantuan seorang perantara demi memperoleh persetujuan ayah gadis itu untuk menikahi putrinya."

"Apakah itu salah?" "Ya."

"Di mana letak kesalahannya?"

"Hmm, sebenarnya Nene dan aku sudah bertahuntahun saling mencintai."

Pandangan Inuchiyo melekat pada wajah Tokichiro, dan tiba-tiba seluruh tubuhnya terguncang-guncang oleh gelak tawa. Dengan mengamati roman muka lawan bicaranya, Tokichiro segera tahu bahwa ia takkan dianggap serius, sehingga ia pasang tampang lebih serius lagi.

"Ini bukan urusan yang patut ditertawakan. Nene bukan perempuan yang mau mengkhianatiku dan menyerahkan dirinya pada laki-laki lain, apa pun alasannya."

"Begitukah?"

"Kami telah saling mengikat janji."

"Hmm, kalau itu persoalannya, aku tidak keberatan."

"Tapi ada satu orang yang menganggapnya masalah besar, yaitu ayah Nene. Jika Tuan tidak menarik lamaran Tuan, Tuan Mataemon bagaikan menghadapi buah simalakama, dan terpaksa melakukan bunuh diri ritual." "Seppuku?"

"Rupanya Tuan Mataemon tidak mengetahui kesepakatan antara Nene dan aku, sehingga menerima baik lamaran Tuan. Tapi karena situasi yang baru saja kujelaskan, Nene menolak rencana itu."

"Hmm, kalau begitu, siapa yang akan mempersuntingnya?"

Ditantang seperti itu, Tokichiro menunjuk dadanya dan berkata, "Aku."

Inuchiyo kembali tertawa, namun tidak sekeras tadi. "Tuan Monyet, janganlah berkelakar melebihi batas. Pernahkah Tuan menatap ke dalam cermin?"

"Tuan menuduh aku berbohong?"

"Untuk apa Nene mengikat diri dengan seseorang seperti Tuan?"

"Seandainya benar, apa yang akan Tuan lakukan?" "Kalau memang begitu, aku akan mengucapkan

selamat."

"Maksud Tuan, Tuan takkan keberatan kalau Nene dan aku menikah?"

"Tuan Monyet..." "Ya?"

"Orang-orang akan tertawa."

"Tak ada yang sanggup mengubah hubungan yang didasarkan atas cinta, biarpun kami ditertawakan."

"Rupanya Tuan memang bersungguh-sungguh?"

"Ya. Jika seorang perempuan tidak menyukai lakilaki yang hendak meminangnya, dia akan mengelak dengan cerdik, seperti dahan yang mengikuti tiupan angin. Kalau begitu, si laki-laki tidak boleh merasa dipermainkan. Disamping itu, kuharap Tuan jangan menaruh dendam terhadap Tuan Mataemon jika Nene menikah denganku. Itu hanya akan mengundang cercaan orang."

"Inikah yang ingin Tuan bicarakan denganku?"

"Ya, dan aku berterima kasih sekali atas tanggapan Tuan. Kumohon agar Tuan tidak melupakan janji yang baru saja Tuan ucapkan." Tokichiro membungkuk, tapi ketika ia mengangkat kepala, Inuchiyo telah menghilang.

Beberapa waktu kemudian, Tokichiro berkunjung ke rumah Mataemon.

"Mengenai hal yang kita bicarakan tempo hari," Tokichiro berkata dengan nada resmi, "aku telah menemui Tuan Inuchiyo dan menjelaskan kesulitan Tuan kepadanya. Dia mengatakan, jika putri Tuan tidak berkenan menjadi istrinya, dan jika memang sudah ada ikatan di antara kami berdua, tak ada yang dapat dilakukan. Tampaknya dia bisa menerima kenyataan."

Ketika Kinoshita menyampaikan ceritanya tanpa berbelit-belit, wajah Mataemon memperlihatkan bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

Tokichiro melanjutkan, "Perlu diketahui bahwa Tuan Inuchiyo merasa menyesal, jadi dia akan keberatan seandainya putri Tuan dipersunting oleh orang lain selain aku. Kalau Nene dan aku sudah saling berjanji menjadi suami-istri, Tuan Inuchiyo, meski dengan berat hati, akan menarik kembali lamarannya. Dia akan menerimanya secara jantan dan akan mengucapkan selamat padaku. Namun dia akan sangat tidak senang seandainya Tuan memberikan Nene kepada orang lain."

"Tunggu dulu, Kinoshita. Kalau aku tidak salah dengar, Tuan Inuchiyo tidak keberatan kalau Nene menikah denganmu, tapi tidak dengan orang lain?"

"Itu benar."

"Astaga! Siapa yang mengatakan bahwa kau boleh menikahi Nene? Dan kapan?"

"Terus terang, tak seorang pun."

"Apa-apaan ini? Kaupikir aku menyuruhmu berbohong pada Tuan Inuchiyo?"

"Ehm..."

"Omong kosong macam apa yag kauceritakan pada Tuan Inuchiyo? Mengaku bahwa kau dan Nene bertunangan, itu sungguh menggelikan. Keterlaluan!" Mataemon, yang biasanya sabar, mulai naik darah. "Karena kau yang mengarang cerita itu, orang-orang mungkin menganggapnya lelucon belaka. Namun sebagai lelucon pun ini teramat memalukan bagi seorang gadis yang belum menikah. Kaupikir ini lucu?" "Tentu saja tidak." Tokichiro menundukkan kepala. "Akulah yang membuat kesalahan ini. Aku tidak bermaksud melangkah demikian jauh. Aku menyesal." Mataemon tampak muak. "Aku tidak butuh penyesalanmu. Akulah yang membuat kesalahan, membeberkan rahasia keluarga pada orang yang kukira lebih berakal sehat." "Sungguh, aku..."

"Ah, pulanglah.   Apa   lagi   yang   kautunggu?

Kehadiranmu di sini tidak diharapkan lagi."

"Baiklah, aku akan menutup mulut, sampai rencana pernikahan kami diumumkan."

"Dasar!" Kesabaran Mataemon akhirnya habis juga. Ia menghardik Tokichiro, "Kaupikir aku akan memberikan Nene pada orang seperti kau? Dia takkan bersedia, biarpun aku memerintahkannya."

"Hmm, justru itu masalahnya, bukan?" "Apa maksudmu?"

"Tak ada yang lebih misterius daripada cinta. Nene mungkin tidak mau berterus terang, tapi dalam hati dia tidak menginginkan siapa pun sebagai suami selain aku. Sebetulnya tak patut aku mengatakannya, tapi lamaranku tidak kusampaikan pada Tuan, melainkan kepada putri Tuan. Nene-lah yang berharap agar aku meminta dia menjadi istriku."

Mataemon melongo. Inilah orang paling tak tahu diri yang pernah ditemuinya! Mudah-mudahan Tokichiro akan pulang jika ia pasang tampang masam dan berdiam diri. Tapi Tokichiro terus duduk, tanpa memperlihatkan tanda-tanda akan pergi.

Tokichiro malah berkata dengan tenang, "Aku tidak bohong. Silakan tanyakan pada Nene, apa sesungguhnya yang tersimpan di dalam hatinya."

Habis sudah kesabaran Mataemon. Sambil membalikkan badan, seakan-akan tak tahan lagi, ia berseru pada istrinya di ruang sebelah, "Okoi! Okoi!"

Dengan cemas Okoi menatap suaminya lewat pintu yang terbuka.

"Kenapa tidak kaupanggil Nene ke sini?" Mataemon bertanya.

"Tapi..."

Istrinya berusaha menenangkan suasana, tapi Mataemon langsung memanggil, "Nene! Nene!"

Nene, takut kalau-kalau terjadi sesuatu, datang dan berlutut di samping ibunya.

"Sini!" Mataemon berkata dengan ketus. "Tentunya kau tidak memberikan janji apa pun pada Tuan Kinoshita ini tanpa persetujuan orangtuamu, bukan?"

Pertanyaan ini amat mengejutkan gadis itu. Dengan mata terbelalak, ia menatap ayahnya dan Tokichiro yang duduk sambil menundukkan kepala.

"Bagaimana, Nene? Ini menyangkut kehormatan keluarga kita, juga kehormatanmu sendiri. Sebaiknya kau berterus terang. Tentunya hal semacam ini tidak terjadi."

Nene terdiam sejenak, tapi akhirnya ia berkata dengan tegas, "Tidak ada janji apa pun."

"Tidak ada, bukan?" Dengan senyum kemenangan, diiringi desahan lega, Mataemon membusungkan dada.

"Tapi, Ayah..." "Apa?"

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan, mumpung Ibu juga hadir." "Silakan."

"Aku punya permintaan. Jika Tuan Kinoshita menginginkan seseorang yang tak pantas seperti aku sebagai istrinya, harap Ayah menyetujuinya."

"A... apa?" Mataemon tergagap-gagap. "Ya."

"Sudah hilangkah akal sehatmu?"

"Urusan sepenting ini tak boleh dianggap enteng. Aku malu membicarakan hal ini, bahkan dengan orangtuaku sendiri, tapi demi kebaikan kita semua, aku terpaksa membicarakannya secara terbuka."

Mataemon mengerang dan menatap putrinya dengan tercengang.

Luar biasa! Dalam hati Tokichiro memuji-muji sikap Nene, dan ia merasa gembira sekali. Tapi lebih dari itu, ia tak mengerti mengapa gadis sepolos Nene bersedia menaruh kepercayaan penuh kepadanya.

Hari telah malam. Tokichiro berjalan pulang sambil termenung-menung.

Jika orangtuanya mengizinkan, ia ingin menjadi istri Tuan Kinoshita, itu yang dikatakan Nene tadi. Walaupun kedua kakinya terus melangkah, kegembiraan Tokichiro begitu meluap-luap, sehingga ia nyaris tidak sadar. Ucapan Nene terkesan sungguhsungguh, namun tetap saja ada rasa ragu di hatinya. Betulkah dia mencintaiku? Kalau dia memang mencintaiku, kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku? Tokichiro bertanya-tanya. Tokichiro sudah sering mengirim surat dan hadiah secara diam-diam, tapi sampai sekarang Nene tak sekali pun memberikan jawaban yang membesarkan hati.

Karena itu, Tokichiro berkesimpulan bahwa Nene tidak menyukainya. Dan bagaimana dengan cara ia menangani Inuchiyo dan Mataemon? Ia hanya bertindak sesuai wataknya yang ambisius. Ia hanya berpegang pada harapannya sendiri, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Nene sesungguhnya. Ia ingin menikah dengan Nene. Ia harus menikah dengan gadis itu.

Namun keterusterangan Nene di depan ayah dan ibunya mengenai keinginannya untuk menikahi Tokichiro—apalagi pada saat Tokichiro juga hadir— memerlukan keberanian yang tidak sedikit. Pengakuan Nene lebih mengherankan Tokichiro daripada mengejutkan ayahnya.

Sampai Tokichiro mohon diri, Mataemon duduk dengan wajah masam dan kecewa, tanpa menyetujui permintaan putrinya. Ia hanya duduk sambil mendesah perlahan, bingung; mengasihani dan meremehkan akal sehat Nene. Dengan sedih ia bergumam, "Selera orang memang tak bisa ditebak."

Tokichiro pun merasa rikuh. "Besok-besok aku akan kembali untuk melanjutkan pembicaraan ini," katanya sambil bersiap-siap pergi.

Mataemon membalas, "Aku akan memikirkannya.

Aku akan memikirkannya."

Ucapannya merupakan penolakan tak langsung. Tapi Tokichiro mendapatkan harapan baru dari katakata ini. Sampai saat itu, ia sama sekali tidak mengetahui perasaan Nene. Tapi kalau Nene sudah membulatkan tekad, ia yakin bahwa ia akan sanggup mengubah pendirian Mataemon. "Aku akan memikirkannya," bukanlah penolakan tegas. Jadi, Tokichiro merasa ia telah berhasil memperistri Nene.

Tokichiro masih sibuk dengan pikirannya sendiri ketika memasuki rumahnya dan duduk di ruang utama. Ia memikirkan rasa percaya dirinya, perasaan Nene, dan waktu yang tepat untuk pernikahan mereka.

"Ada surat dari Nakamura untuk Tuan."

Begitu Tokichiro duduk, seorang pelayan meletakkan sepucuk surat dan bungkusan berisi tepung padi di hadapannya. Perasaan rindu yang tiba-tiba menyerangnya memberitahu Tokichiro bahwa surat itu dari ibunya.

Tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan rasa terima kasih kami atas hadiah-hadiah yang selalu kaukirimkan: kue-kue dan pakaian untuk Otsumi. Hanya air mata kami yang dapat membalas kebaikanmu.

Sudah beberapa kali Tokichiro mengirim surat pada ibunya. Ia telah bercerita mengenai rumahnya yang baru dan mengajak ibunya pindah dan tinggal bersama. Meski upahnya yang sebesar tiga puluh kan tidak memungkinkan untuk memenuhi seluruh kewajiban sebagai putra pertama, ibunya takkan kekurangan pangan maupun sandang. Tokichiro juga mempunyai beberapa pelayan, sehingga tangan ibunya, yang telah menjadi kasar karena bekerja keras, tak perlu lagi menggosok dan mencuci. Ia juga akan mencarikan suami untuk Otsumi. Dan ia akan membelikan sake lezat untuk ayah tirinya. Ia sendiri suka minum, dan tak ada yang lebih menggembirakan baginya daripada jika seluruh keluarga tinggal bersama dan membicarakan masa lalu mereka yang penuh penderitaan, sambil menikmati makan malam.

Surat dari Onaka berlanjut:

Meski kami akan bahagia jika tinggal bersamamu, aku yakin tugastugasmu akan terganggu karenanya. Tentu saja ibumu menyadari bahwa tugas seorang samurai adalah siap mati setiap saat. Sekarang belum waktunya memikirkan kebahagiaan Ibu. Kalau Ibu teringat zaman dulu, lalu memikirkan kedudukanmu sekarang, Ibu berterima kasih kepada para dewa, para Buddha, dan Yang Mulia Nobunaga atas kebaikan mereka. Jangan pikirkan ibumu. Lebih baik kau bekerja lebih keras lagi. Tak ada yang bisa membuat ibumu lebih bahagia. Ibu belum lupa ucapanmu di gerbang pada malam dingin itu, dan Ibu sering memikirkannya.

Tokichiro berurai air mata. Berulang-ulang ia membaca surat itu. Tak sepantasnya seorang majikan menangis di depan para pelayannya. Lebih dari itu, seorang samurai tak pantas memperlihatkan air mata di hadapan siapa pun. Tapi Tokichiro tidak seperti itu. Dan air matanya mengalir begitu deras, sehingga para pelayan merasa kikuk dan gelisah.

"Ah, aku memang keliru. Nasihatnya benar sekali. Ibuku begitu cerdas. Kini belum waktunya memikirkan diriku dan keluargaku," ia berkata keras-keras pada dirinya sambil melipat surat itu. Air matanya tak mau berhenti, dan ia mengusap matanya dengan lengan baju, seperti anak kecil.

Memang benar! ia menyadari. Sudah beberapa lama tidak ada perang, tapi tak seorang pun bisa memastikan kapan perang akan meletus di sebuah kota benteng. Orang-orang yang tinggal di Nakamura justru aman.

Bukan, ibuku hendak memberitahukan bahwa jalan pikiranku keliru. Pengabdian pada junjunganlah yang harus diutamakan. Penuh hormat Tokichiro menempelkan surat ibunya ke kening, lalu berkata seakan-akan ibunya berada dalam satu ruangan, "Aku memahami nasihat Ibu, dan aku akan mematuhinya. Kalau kedudukanku sudah aman, dan kalau aku sudah memperoleh kepercayaan dari tuanku dan yang lainnya, aku akan mengunjungi Ibu lagi. Moga-moga pada saat itu Ibu bersedia tinggal di rumahku."

Kemudian ia meraih bungkusan tepung dan menyerahkannya pada si pelayan. "Bawa ini ke dapur. Kenapa kau terbengong-bengong? Salahkah jika seseorang menangis pada kesempatan yang tepat? Tepung ini digiling malam-malam oleh ibuku dengan tangannya sendiri. Serahkan pada pelayan dapur. Dan peringatkan dia untuk tidak membuang-buangnya. Tepung ini hanya boleh dipakai untuk membuat kue bola untukku. Sejak kecil aku suka kue itu. Kurasa ibuku masih mengingatnya."

Tokichiro sama sekali melupakan Nene. Sepanjang makan malam ia hanya memikirkan ibunya. Apa yang disantap oleh ibunya? Biarpun aku mengirimkan uang untuk Ibu, dia akan memakainya untuk membeli gula-gula untuk anaknya, atau sake untuk suaminya. Dia sendiri tetap hanya akan makan sayur tanpa bumbu. Jika ibuku tidak berumur panjang, aku tak tahu bagaimana aku bisa hidup.

Sampai naik ke ranjang pun kepalanya masih

dipenuhi berbagai pikiran.

Bagaimana mungkin aku menikah sebelum Ibu tinggal bersamaku? Sekarang masih terlalu pagi. Lebih baik pernikahanku dengan Nene ditunda dulu. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar