Suling Pusaka Kemala Jilid 10

Jilid X

SONG CIN tersenyum dan mengangguk. "Maafkan aku, engkau benar juga, Eng-moi. eh, maksudku siauw-te (adik

laki-laki)."

"Bagus, engkau harus menyebutku siauw-te. Aku mulai senang dengan penyamaranku ini. Mari kita percepat lajunya perahu agar cepat tiba di tempat tujuan."

Benar saja dugaan Song Cin. Matahari baru mulai condong ke barat ketika perahu mereka tiba di sebuah perkampungan yang berada di tepi sungai. Mereka melihat betapa perkampungan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan ada pintu pagar yang besar menghadap ke sungai. Song Cin mendayung perahunya ke tepi dan menarik perahu itu ke darat, lalu mengikatkan tali perahu kepada sebuah batu besar. Kemudian kedua orang muda itu melangkah menghampiri pintu gerbang pagar itu.

Baru saja mereka tiba di situ, enam orang yang memakai ikat kepala merah menyambut mereka dengan sikap garang. Mereka semua memegang sebatang golok dan memandang kepada dua orang itu itu dengan sinar mata mengancam.

Akan tetapi, seorang di antara mereka tadi ikut membajak dan biarpun ia tidak mengenal Suma Eng yang kini berpakai pria, dia masih mengenal Song Cin yang tadi menolong gadis itu dan merobohkan beberapa orang anak buah bajak sungai.

Maka, dengan panik orang itu lalu kembali ke dalam pintu gerbang dan terdengarlah kentungan dipukul gencar sebagai tanda bahaya! Suma Eng dan Song Cin melihat betapa banyak orang berlari lari dari dalam pintu gerbang menuju keluar dan sebentar saja mereka berdua telah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang anak buah bajak sungai, Akan tetapi agaknya para bajak sungai itu masih menunggu komando, karena mereka tidak segera mengeroyok dan menyerang, melainkan mengepung saja dengan ketat.

Suma Eng bersikap tenang saja. Ia bnhkan tersenyum- senyum melihat pengepungan itu dan ia membiarkan Song Cin yang menghadapi mereka. Ia hendak melihat bagaimana pemuda itu akan menghadapi para bajak. Kalau menurut ia, ingin rasanya ia bergerak mengamuk membunuhi para bajak yang mengepungnya ini, akan tetapi karena ada Song Cin di situ iapun menyerahkan saja kepada pemuda itu.

"Kami berdua hendak bicara dengan ketua kalian!" kata Song Cin dengan sikap gagah.

"Akulah ketuanya!" Terdengar suara parau dan muncul seorang laki-laki yang bertubuh pendek gendut, bermuka bundar dan tampaknya lucu dan kekanak-kanakan, akan tetapi melihat sepasang mata-yang bersinar tajam, dapat diduga bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian dan kecerdikan. Hal inipun dapat diduga melihat kenyataan bahwa ia dapat menjadi kepala dari segerombolan bajak sungai yang ganas. Tanpa memiliki ilmu kepandaian tinggi bagaimana mungkin dia dapat memimpin segerombolan bajak yang terdiri dari puluhan orang? Pakaian kepala bajak itu terbuat dari kain tebal dan bersih, berwarna biru, Rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pita merah. Di punggungnya tampak sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Kakinya memakai sepatu satin sebatas bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sederetan senjata rahasia pisau pendek atau belati, berjumlah tiga belas batang. Penampilannya lucu, akan tetapi juga menyeramkan.

Song Cin mengamati kepala bajak itu, Dia sudah mendengar bahwa bajak sungai Ikat Kepala Merah mempunyai seorang pemimpin yang lihai. Agaknya inilah orangnya.

"Sobat," kata Song Cin. "Kami berdua datang untuk berdamai dengan kalian."

Kepala bajak sungai itu berjuluk Huang-ho Tiat-go (Buaya Besi Sun Huang-ho) dan bernama Lo Kiat. Mendengar ucapan Song Cin, dia memandang heran lalu tertawa bergelak sambil menengadah sehingga tampak perut gendut di balik baju itu bergoyang-goyang. Dia telah mendengar tentang kegagalan anak buahnya membajak seorang wanita, dan tadi menerima laporan bahwa pemuda yang bicara itu adalah orang yang menolong wanita yang terbajak itu. Tentu saja dia merasa heran mengapa orang itu kini datang mengajak berdamai!

"Ha-ha-ha, kalian datang mengajak berdamai? Apa maksudmu?"

"Maksudku begini. Pagi tadi anak buahmu telah mencoba untuk merampok orang nona dan anak buahmu dihajar ampai kocar-kacir. Akan tetapi nona itu kehilangan buntalan berisi pakaian dan uangnya. Sekarang, saudara ini, adik dari nona itu, bersama aku datung untuk minta kerugian kepada kalian yang telah membuat buntalan itu hilang. Kalau kalian menyerah dan mengganti kerugian itu, kamipun tidak akan mengganggu kalian."

"Ha-ha-ha, enak saja engkau bicara, telah membunuhi beberapa orang anak buah kami, sekarang datang malah menuntut kerugian! Kalau kami menolak bagaimana?"

"Kalau menolak kami akan membasmi dan membunuh kalian semua!" T1K7 tiba Suma Eng yang sudah tidak sabar lagi berkata dengan suara dibesarkan.

Mendengar ucapan ini, kepala bajak itu menjadi marah sekali. Sepasang matanya seperti memancarkan sinar berapi mukanya berubah merah dan kedua tangannya dikepal. Juga para bajak yan mengepung menjadi marah dan mereka mengacung-acungkan goloknya dengan sikap mengancam.

"Singgg !" Huang-ho Tiat - go Lo Kiat mencabut

pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, jari telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka Suma Eng.

"Bocah lancang mulut! Agaknya engkau telah bosan hidup maka berani mengeluarkan kata-kata sombong! Berani engkau mengancam Huang-ho Tiat-go Lo Kiat yang menguasai seluruh Lembah Huang-ho ini!"

"Hah, segala Bo-bwe Jau-go (Buaya Jahat Tanpa Ekor) berani bicara besar! Engkaulah yang bosan hidup dan biarlah yang akan mengantarmu ke dasar neraka!" kata pula Suma Eng sambil tersenyum lebar mengejek.

Dapat dibayangkan betapa marahnya Huang-ho Tiat-go Lo Kiat. Dia merasa dipandang rendah sekali, dimaki-maki di depan anak buahnya!

"Serbuu! Bunuh !!" Dia membentak memberi aba-aba

kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menerjang Suma Eng, diturut oleh anak buahnya. Sekali- tidak kurang dan enam orang menyerang Suma Eng dengan golok mereka.

Sedangkan Song Cin pun tidak terluput dari pengeroyokan. Sebetulnya Lo Kiat ingin menghadapi Song Cin yang menurut anak buahnya merupakan seorang yang lihai, akan tetapi karena panas dan marah sekali terhadap Suma Eng, dia menyerang gadis yang menyamar pemuda itu yang belum diketahui bagaimana kepandaiannya. Melihat tujuh orang menyerangnya itu Lo Kiat dan enam orang anak buahnya, Suma Eng bersikap tenang saja. lalu mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya, berkelebat dan lenyap dari depan mereka yang mengeroyoknya! Selagi tujuh orang itu terkejut dan bingun Suma Eng telah berada di belakang mereka dan sekali kedua tangannya menyambar, dua orang pengeroyok roboh dan berkelojotan karena mereka terkena pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Deiaci Pencabut Nyawa)'

Huang-ho Tiat-go Lo Kiat menjadi terkejut setengah mati nelihat ini. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihai dan ganasnya. Maka diapun Ia menyerang dengan pedangnya. Serangannya seperti kilat menyambar dan bukan saja cepat melainkan juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Melihat serangan ini berbahaya juga, Suma Eng melompat ke belakang sambil meraba pedangnya.

"Singgg !" Sinar kehijauan berkelebat ketika Ceng-liong

kiam tercabut dari sarungnya. Lo Kiat cepat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Suma Eng menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg "' Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika

dua pedang bertemu. Ternyata pedang di tangan Lo Kiat tidak rusak dan hal ini saja membuktikan bahwa pedangnyapun sebatang pedang yang ampuh dan baik. Suma Eng balas menyerang namun dapat dielakkan pula oleh si gendut pendek. Ternyata, biarpun tubuhnya gendut pendek, Lo Kiat dapat bergerak dengar cepat sekali. Para anak buahnya kini mengepung Suma Eng dan menyerang dari segala penjuru. "Tranggg !" Pedang Suma Eng membabat berputar

menangkis banyak golok dan dua batang golok menjadi patah karenanya. Patahnya golok disusul menyambarnya sinar hijau dan dua orang anggauta bajak yang kehilangan golok itu berteriak dan roboh mandi darah, tewas seketika! Para pengeroyok menjadi gentar. Hanya Lo Kiat yang masih menyerang dengan dahsyat, sedangkan yang lain hanya mengepung sambil mengacung-acungkan golok saja.

Song Cin sibuk sekali. Dia dikeroyok oleh belasan orang anak buah bajak! Pemuda ini memainkan pedangnya dengan hati-hati dan dengan tenaga terbatas karena dia tidak mau main bunuh. Sudah ada empat orang roboh oleh pedangnya akan tetapi tidak satnpun mati, akan tetapi pengeroyokan masih saja ketat dan di dihujani serangan golok. Terpaksa pemuda tokoh Kun-lun-pai ini memutar pedangnya melindungi diri. Sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai, seolah-olah tubuhnya terlindung benteng baja yang mengelilinginya sehingga dari arah manapun golok menyerang, golok itu selalu bertemu dengan tangkisan pedang yang kokoh kuat. Akan tetapi karena pengereyoknya banyak sekali, bahkan kini yang tadinya membantu Lo Kiat juga ikut mengeroyok Song Cin sehingga jumlah mereka hampir tiga puluh orang, Song Cin menjadi repot juga. Kalau dia mempergunakan kekejaman membunuh mereka, kiranya dia masih akan merobokan sebanyak -banyaknya pengeroyok. Namun pemuda tokoh Kun - lun - pai itu sudah menerima gemblengan dari para tosu Kun-lun-pai, bukan hanya gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga gemblengan batin maka dia tidak tega untuk sembarangan membunuhi para anak buah para bajak sungai. Sedapat mungkin dia hanya merobohkan mereka dengan tendangan, tamparan tangan kiri atau kalau merobohkan dengan pedangnya, dia tidak melukai bagian tubuh yang membahayakan nyawa, hanya melukai paha, pundak dan sebagainya. Pertandingan antara Suma Eng dan Lo Kiat berjalan semakin seru. Kepala bajak itu merasa semakin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa lihainya "pemuda" itu. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun sama sekali dia tidak mampu mendesak lawannya yang amat muda itu. Ilmu pedang pemuda itu amat aneh dan memiliki perubahan- perubahan yang sama sekali tidak dapat dia menduganya.

Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban pedang bersinar hijau itu dan yang menggemasan hatinya, setiap kali dia nyaris terkena pedang, pemuda itu tertawa mengejek, Lo Kiat mengerahkan tenaganya dan membacok dari kanan ke kiri.

Pedangnya membabat ke arah pinggang lawan dan gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Melihat serangan yang berbahaya ini, Suma Eng mengelak ke belakang sehingga babatan pedang Lo Kiat luput. Akan tetapi pada saat itu yang memang sudah diperhitungkan oleh kepala bajak sungai itu Lo Kiat menggunakan tangan kirinya, berulang-ulang mencabut pisau belati dan setiap kali tangan kirinya bergerak, sebatang hui-to (pisau terbang) menyamba ke arah bagian tubuh yang mematikan dari Suma Eng. Mula-mula pisau pertama menyambar ke arah muka.

Ketika Suma Eng mengelak, pisau kedua sudah menyambar ke arah lehernya! Kembali gadis itu mengelak dan pisau ke tiga dan ke empat sudah cepat menyambar ke arah kedua pundak, lalu pisau ke lima menyambar ke ulu hati! Suma Eng menjadi gemas dan kini ia memutar pedangnya menangkis. Biarpun tiga belas batang pisau menyambar secara bertubi-tubi dan mengarah bagian tubuh yang berbahaya, tapi Suma Eng dapat menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Marahlah gadis itu.

"Buaya darat, sudah habiskah pisau terbangmy? Nah, sekarang nyawamu yang habis!" bentak Suma Eng dan tubuhnya meluncur bagaikan terbang, pedangnya menyerang ke arah dada lawan dengan kecepatan kilat. "Wuuuuuuttt...... trang !!" Pedang Suma Eng ditangkis

sehingga terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan kini dari menusuk menjadi membabat pinggang!

Lo Kiat cepat melompat ke belakang sehingga babatan pedang itu luput, akan tetapi kembali pedang itu sudah menyambar ke arah lutut kanan! Diserang serara bertubi-tubi itu, Lo Kiat menjadi terdesak juga. Dengan pedangnya dia menangis pula, akan tetapi karena keadaannya udah terdesak, dia tidak mampu menghindar lagi ketika tangan kiri Suma Eng membarengi serangan pedang ke lutut itu dan menampar ke arah dadanya.

"Tranggg...... plakkk..... auughhh !!"

Tubuh Lo Kiat terjengkang, mulutnya muntahkan darah segar dan matanya mendelik. Dia tewas seketika terkena pukulan Toat-beng Tok-ciang yang amat ampuh dan keji.

Suma Eng memandang kepala bajak itu, kemudian ia mendengar ribut-ribut dari belakangnya. Ketika ia menengok, ia melihat Song Cin dikeroyok banyak sekali orang yang mengeroyoknya sambil berteriak-teriak dan ternyata Song Cin terdesak oleh pengeroyokan demikian banyaknya orang.

Melihat ini, Suma Eng lalu melompat ke depan, ringan dan cepat sekali lompatannya. Begitu tiba di luar kepungan, ia mengamuk dengan pedangnya dan dalam beberapa detik saja empat orang telah roboh mandi darah dan tewas seketika!

Para pengeroyok itu terkejut sekali dan ketika mereka melihat betapa ketua mereka telah roboh dan tewas, pembantu ketua yang bertubuh tinggi besar itu segera berseru nyaring.

"Lari !" Akan tetapi baru saja mulutnya mengeluarkan

teriakan itu, diapun mengaduh dan roboh mandi darah, lehernya kena disambar pedang di tangan Suma Eng. Melihat ini, para anak buah bajak sungai menjadi semakin panik dan tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri cerai berai tanpa menoleh lagi. Sebagian besar dari mereka lari ke arah sungai dan menceburkan diri, selanjutnya mereka menjauhkan diri dengan berenang dan ada yang sempat menaiki perahu mereka yang bercat hitam.

"Mari kita geledah sarang mereka lalu basmi sarang itu!" ajak Suma Eng ke pada Song Cin yang hanya menurut saja, Masih mending bahwa gadis itu tidak membunuh semua bajak, pikirnya. Ngeri juga hatinya membayangkan keganasan gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Mereka memasuki perkampungan bajak dan tercenganglah hati Suma Eng ketika melihat bahwa di situ terdapat banyak wanita dan kanak-kanak. Ternyata apa yang dikatakan Song Cin benar. Para bajak itu ada yang mempunyai isteri dan anak-anak. Anak-anak yang tidak berdaya! Melihat para isteri bajak itu memandang dengan wajah pucat dan ketakutan, Suma Eng berkata kepada mereka.

"Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian. Kalau ada suami kalian yang tewas dalam pertempuran, itu adalah kesalahan suami kalian sendiri yang menjadi bajak sungai.

Yang suaminya belum tewas, bujuklah suami kalian agar jangan menjadi bajak lagi, sedangkan yang suaminya tewas, kuburkan dengan baik-baik dan hiduplah sebagai orang baik- baik. Sekarang katakan di mana rumah yang ditinggali kepala bajak Huang-ho Tiat-go Lo Kiat."

Para wanita itu menunjuk sebuah rumah yang terbesar di perkampungan itu. Suma Eng lalu memasuki rumah itu dan tiga orang isteri kepala bajak itu menjatuhkan diri mereka berlutut.

"Ampunkan kami, tai-hiap (pendekar besar) !" Mereka

memohon kepada Suma Eng dan Song Cin.

"Jangan takut, kalian tidak bersalah, kami tidak akan mengganggu kalian. Sekarang tunjukkan tempat penyimpanan harta Lo Kiat, dia mempunyai hutang padaku yang harus dibayarnya."

Tiga orang wanita itu lalu menunjukkan kamar suami mereka dan harta itu disimpan dalam sebuah peti besar. Suma Eng membuka peti itu dan ternyata berisi si emas, perak dan permata yang banyak sekali.

"Jangan khawatir, aku bukan perampok! Akan tetapi ketika aku diganggu anak buah suamimu, barang milikku hanyut di sungai. Karena itu suamimu harus membayar kembali barang- barangku yang hilang!" Suma Eng lalu mengambil beberapa potong emas untuk mengganti uangnya yang hilang dan mengambil beberapa potong perak untuk membeli pakaian pengganti pakaiannya yang hilang. Dibuntalnya emas dan perak itu ke dalam sehelai kain berwarna biru dan ia lalu menoleh kepada Song Cin.

"Cin-ko, engkau boleh mengambil sebagian dari harta ini kalau engkau membutuhkannya untuk bekal dalam perjalanan.

Wajah Song Cin berubah kemerahan dia menggeleng kepalanya. "Aku masih mempunyai bekal, Eng siauwte,"

Jawabnya cepat karena hampir dia menyebut Eng-moi lagi, "dan para bajak itu tidak berhutang apapun kepadaku."

"Hei, kalian bertiga," kata Suma Eng kepada tiga orang isteri Lo Kiat. "Ada beberapa orang bajak yang mati dan karena mati dalam membela suami kalian, maka sudah sepatutnya kalau kalian mengeluarkan biaya untuk membantu penguburan mereka. Kuharap kalian dapat membujuk para bajak yang masih hidup agar mereka mengubah jalan hidup mereka. Menjadi petani tersedia tanah yang amat subur di Lembah Huang-ho, menjadi nelayanpun Sungai Huang-ho menyediakan ikan yang amat banyak. Mengertikah kalian?"

"Baik, baik, tai-hiap." kata tiga orang isteri Lo Kiat itu dengan berbareng. Di sebelah Suma Eng, Song Cin mendengarkan dan wajahnya berseri. Gadis ini pada dasarnya bukan seorang yang berhati kejam dan ganas, pikirnya. Dapat memaafkan para isteri bajak, bahkan menasihatkan mereka agar membujuk para bajak yang masih hidup agar menjadi orang baik-baik. Dan ketika mengambil sebagian uang, iapun hanya mengambil sebagia kecil saja sesuai dengan uangnya yang hilang, tidak mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil sebanyaknya. Bahkan tidak sepotongpun perhiasan permata ia ambil. Gadis itu tidaklah sekeras seperti yang diperlihatkannya. Agaknya ia hanya terpengaruh lingkungan, seperti batu permata di antara batu-batu biasa berdebu. Kalau digosok, tentu debunya hilang dan akan tampak kecemertangnya.

"Tadinya kami bermaksud hendak membakar sarang para bajak ini, akan tetapi melihat kalian para wanita dan kanak- kanak, kami tidak melakukan pembakaran. Akan tetapi kalau lain kali kami lewat di sini dan para bajak masih melakukan pekerjaan jahat itu, terpaksa kami akan membakar perkampungan ini!" kata lagi Suma Eng kepada para wanita itu yang hanya mampu mengangguk-angguk ketakutan.

"Mari, Cin-ko, kita pergi dari sini." kata pula Suma Eng dan Song Cin mengangguk. Dua orang muda itu lalu pergi dari perkampungan itu. Setelah tiba di dekat sungai dan melihat gadis itu menanti, Song Cin berkata.

"Eng-moi," dia berani menyebut demikian karena di situ tidak terdapat orang lain. "Silakan naik ke perahuku." Dia mendorong perahunya memasuki air, dan memegangi tali perahunya.

"Tidak, Cin-ko. Kita berpisah di sini. Kita mempunyai urusan masing-masing."

Song Cin memandang dengan wajah berubah agak pucat. Mendengar bahwa ia harus berpisah dari gadis itu membuat perasaannya terasa nyeri dan begitu tiba-tiba datangnya.

Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan akan berpisah dari gadis yang dicintanya itu. "Tapi. tapi, Eng-moi. Tidak

dapatkah kita melakukan perjalanan bersama?"

"Tidak, Cin-ko. Aku akan pergi mencari ayah dan mencari pengalaman, sedangkan engkau tentu mempunyai urusanmu sendiri."

"Akan tetapi, aku juga sedang merantau dan akan kubantu engkau mencari ayahmu, Eng-moi." Song Cin membantu karena dia tidak ingin berpisah.

Akan tetapi Suma Eng menggeleng kepalanya. "Terima kasih, Cin-ko. Akan tetapi aku hendak mencarinya sendiri. lagi Pula, aku ingin mencari pengalaman se-orang diri. Juga apabila aku bertemu dengan ayah dan dia melihat aku melakukan perjalanan denganmu, mungkin dia akan marah kepadaku."

Song Cin menghela napas panjang. Baru teringat dia sekarang bahwa sesungguhnya memang tidak pantas bagi Suma Eng, seorang gadis belia, melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pria yang bukan anggauta keluarganya, bahkan baru saja dikenalnya! Baru dia melihat kejanggalan itu dan sebagai seorang yang terdidik baik, dia maklum dan mengerti akan penolakan Suma Eng untuk melakukan perjalanan bersama.

"Eng-moi, aku tidak akan melupakanmu."

Suma Eng adalah seorang gadis yang masih hijau dan ia tidak dapat menangkap getaran suara pemuda itu, menganggap ucapan itu seperti ucapan biasa saja. Maka iapun menjawab dengan senyum ramah.

"Akupun tidak akan melupakanmu, Cin-ko."

Bagi Song Cin, jawaban ini menyenangkan sekali. Dia sendiripun seorang pemuda yang belum pernah jatuh cinta dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bercinta. Akan tetapi mendengar betapa gadis yang dicintainya itu tidak akan melupakannya, dia merasa gembira sekali!

"Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan aku akan merindukanmu, Eng-moi." ucapan yang jelas menunjukkan perasaan cinta inipuu tidak dimengerti oleh Suma Eng yang menganggapnya bagai ucapan ramah dan biasa. "Akupun akan mengenangmu sebagai eorang yang baik sekali dan sudah menyelamatkan aku diri ancaman maut, Cin-ko."

"Eng-moi, kalau hari ini kita berpisah, kapankah kita dapat bertemu kembali?"

"Sekali waktu kita pasti akan dapat bertemu kembali, Cin- ko. Nah selamat tinggal, aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Selamat jalan dan selamat berpisah Eng-moi. " suara

Song Cm terdengar hampa dan lirih. Suma Eng membalikka tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, Song Cin memanggilnya.

"Eng-moi. !" Suma Eng menoleh dan ia melihat Song Cin

berlari menghampirinya. "Ada apakah, Cin-ko?"

"Eng-moi, engkau jagalah dirimu baik-baik, Eng-moi. Dan jangan sekali-kali membiarkan dirimu terpancing naik perahu. Engkau tidak pandai bermain di air sedangkan orang-orang jahat itu licik sekali." kata Song Cin dengan nada suara penuh kekhawatiran.

Suma Eng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak lagi, Cin-ko. Sekali saja sudah cukup bagiku. Aku tidak akan naik perahu dengan orang yang belum kukenal keadaannya. Nah, selamat tinggal." "Selamat jalan, Eng-moi." Song Cin memandang gadis itu dengan wajah muram dan pandang matanya sayu. Dia merasa seolah-olah sukmanya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan. Dan dia merasa begitu kehilangan, begitu kesepian seolah-olah hanya hidup seorang diri saja di dunia yang mendadak menjadi sepi ini.

Kalau dia seorang anak-anak, tentu dia akan menangis sedih. Dengan langkah gontai dia kembali menghampiri perahunya, mendorong lagi perahunya ke air, kemudian duduk di dalam perahu, tanpa menggerakkan dayung dan duduk saja di situ sambil melamun. Perahunya bergoyang-goyang lirih dan Song Cin memejamkan mata karena di depan matanya yang terbayang hanyalah wajah Suma Eng dengan matanya yang bening indah, mulutnya yang bibirnya merah basah berbentuk gendewa terpentang itu.

Semakin dikenang, semakin rindu rasa hatinya. Kini teringat dan terbayanglah semua kenangan itu, terutama sekali di waktu dia menolong gadis itu dengan pernapasan, merapatkan mulutnya dengan mulut gadis itu dan meniup kuat-kuat! Kalau dulu di waktu melakukannya dia tidak membayangkan yang bukan-bukan,! kini ketika perbuatan itu dikenangnya, teringatlah dia akan peristiwa itu sampai hal yang sekecil-kecilnya, betapa hangat dan lunak bibir itu!

Betapa manis kenangan itu dan timbullah berahinya terhadap Suma Eng.

"Ahhh, Eng-moi. !" Dia mengeluh berkali-kali sambil

membisikkan nama itu dengan mesra.

Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih, marah, duka timbul dari pikiran yang mengenang-ngenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Mengenangkan masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu.

Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau khawatir. Karena itu, tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Yang terpenting adalah masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi saat yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau kita menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini dengan penuh kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan penuh kepasrahan kepada Tuhan di samping tindakan kita yang keluar secara spontan, maka kita akan dapat menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya sebab dari timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah permasalahan. Kita harus berani menghadapi segala permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya. Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan mengatasinya! Kenyataan hidup adalah suatu kewajaran, tidak baik maupun untuk selama si-aku tidak muncul dan menilai - nilai, membanding - bandingkan, menyesuaikan dengan kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau dirugikan, disenangkan atau tidak disenangkan.

Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah nafsu yang mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing di antara suka dan duka, di mana kenyataannya, lebih banyak duka ketimbang suka.

Pemuda itu berpakaian sederhana seperti seorang pemuda petani biasa, namun pakaian itu bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang dan tampak kuat ketika dia berjalan dengan langkah seperti langkah seekor harimau. Langkahnya begitu ringan namun membayangkan kekuatan yang kokoh.

Wajahnya tampan dan menarik dengan sepasang mata mencorong penuh wibawa namun juga sinarnya lembut, hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum terbuka dan ramah. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning yang berisi pakaian. Pemuda itu melangkah dengan tenang dan gagahnya menyusuri Sungai Fen Ho. Tadinya dia berjalan biasa saja ketika masih berpapasan dengan orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan itu. Akan tetapi setelah jalan itu sunyi dan dia hanya berjalan seorang diri, setelah menengok ke depan belakang dan tidak melihat adanya orang lain, dia lalu melompat dan lari cepat sekali seperti terbang! Kalau ada yang melihatnya, tentu orang itu terkejut dan baru mengetahui bahwa pemuda yang berpakaian dan bersikap sederhana itu sesungguhnya merupakan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda yang agak jangkung itu adalah Han Lin atau Cheng Lin Seperti telah kita ketahui, Han Lin disuruh turun gunung oleh kedua orang gurunya, yaitu Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Dia melakukan perjalanan merantau sambil mengemban tugas yang berat dan banyak. Pertama, tentu saja dia harus melakukan sepak-terjang sebagai seorang pendekar yang berkepandaian silat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk menentang si-jahat yang menindas dan untuk membela si-lemah yang tertindas. Kedua, dia harus mencari A- seng dan merampas kembali Suling Pusaka Kemala yang dicuri oleh pemuda berhati palsu dan jahat itu. Ke tiga, gurunya Bu- beng Lo-jin berpesan agar mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang Im-yang kiam peninggalan Panglima Kam Tio yang gagah perkasa dan setia kepada negara dan bangsa. Ke empat, dia harus bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Kaisar Cheng Tung dan melihat bagaimana sikap kaisar itu kalau bertemu dengan dia dan menegur ayah kandungnya yang sama sekali melupakan ibu kandungnya itu. Dan ke lima, walaupun agaknya hal ini sia-sia belaka, dia harus menyelidiki apakah ibu kandungnya benar-benar sudah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Ucapan-ucapan Cheng Hian Hwesio menimbulkan harapan baru dalam hati kalau kalau ibu kandungnya masih hidup. Masih ada satu hal lagi sebagai yang ke enam, yaitu dia akan mencari Huang ho Sin-liong Suma Kiang yang telah menyebabkan ibunya tewas dalam jurang, lihat keadaan orang itu. Kalau masih saja merupakan seorang yang jahat, tentu ia akan turun tangan menghajarnya, kalau perlu membunuhnya, bukan semata untuk membalaskan sakit hati ibunya, melainkan terutama sekali untuk membasmi orang jahat yang membahayakan manusia lain itu.

Pagi hari itu amat indahnya. Biarpun ia berlari cepat, Han Lin yang selalu waspada itu, dapat menikmati keindahan alam itu. Air sungai mengalir tenang, menampung bayang-bayang pohon-pohon dari sepanjang tepi yang ditimbulkan oleh sinar matahari pagi. Air sungai berkeriput dalam alirannya, kadang memecah ketika bertemu batu besar yang menonjol dari permukaan air. Karena sudah jauh meninggalkan sumber mata airnya, maka air yang dulunya bersil jernih itu sekarang telah berubah keruh kekuningan bercampur segala macam kotoran yang ditampungnya di sepanjang perjalanan dari sumber air menuju ke Sungai Huang-ho dimana Sungai Fen-ho membaurkan diri-nya. Burung-burung berkicau di dahan dan ranting-ranting pohon, di antara daun daun hijau, siap untuk melaksanakan pekerjaan mencari makan di hari itu. beberapa ekor kelinci dengan ketakutan dan tergesa-gesa menyusup ke dalam semak-semak ketika Han Lin lewat dan pemuda itu tersenyum sendiri. Dalam keadaan dan waktu lain, mungkin saja dia menangkap seekor kelinci gemuk untuk sarapan pagi. Akan tetapi pagi hari itu dia tidak merasa lapar dan di dalam buntalannya masih tersimpan lima buah kueh bak-pao yang dibelinya semalam di dusun terakhir yang dilewatinya.

Tiba-tiba telinganya menangkap suara nyanyian. Dia menahan langkahnya dan memandang ke arah datangnya suara nyanyian itu. Nyanyian lagu sederhana dan dengan suara yang sederhana pula. Penyanyinya seorang yang bersahaja pula. Seorang petani berusia kurang lebih em-pat puluh tahun tanpa baju, hanya bercelana hitam sebatas lutut. Bajunya yang ditanggalkan itu berada di atas sebuah batu besar di luar ladang yang sedang dicangkulnya. Dia bekerja dengan tenang, lengan rajin dan seenaknya sambil bernyanyi- nyanyi. Han Lin terpesona. Pagi yang indah itu tampak semakin berseri. Karena tertarik, diapun berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon, melihat petani itu bekerja seperti suatu pemandangan yang indah sekali. Sebetulnya suatu pemandangan yang biasa saja, dapat dilihat di mana saja setiap hari. Akan tetapi entah mengapa, bagi Han Lin pemandangan itu menyentuh perasaannya dan membuatnya terharu. Petani miskin nrnyanyi-nyanyi sambil bekerja!

Seorang wanita petani berusia tiga puluh tahun lebih berjalan menghampiri tempat bekerja petani itu. Dia membawa sebuah keranjang berisi makanan dan ninuman. Petani itu berhenti bernyanyi dan menunda pekerjaannya, mencuci tangan dan kakinya di solokan kecil di tepi ladang kemudian menghampiri isteri-ya yang telah mengeluarkan mangkok, panci-panci tempat nasi dan sayuran, juga cangkir dan poci minuman.

"Kebetulan engkau datang, perutku memang sudah mulai bernyanyi." kata suami itu sambil mengangkat sebuah mangkok.

"Karena itu aku dengar tadi engkau bernyanyi." kata sang isteri sambil mengambilkan nasi yang ditampung di mangkok yang dipegang suaminya.

"Aku bernyanyi untuk melupakan rasa laparku." kata pula suami itu sambil tertawa dan isterinyapun ikut tertawa. Tawa mereka begitu lepas dan terbuka dan Han Lin yang menyaksikan serta mendengarkan itu semua, ikut tersenyum senang.

Petani itu lalu makan, dilayani isteri nya. Dari tempat dia duduk Han Lin melihat betapa makanan itu amat sederhana. Nasi dengan hanya satu macam masakan sayur. Dan minumnya itupun hanya air jernih! Akan tetapi petani itu makan dengan lahapnya dan kelihatan nikmat sekali. Itulah orang berbahagia! Itulah keluarga bahagia! Demikian Han Lin berpikir Dalam bekerja berat, bernyanyi, itu tardanya bahagia. Makan begitu bersahaja tampak demikian lezat dan nikmat. Demikianlah orang yang sudah merasa cukup segala- galanya.

Karena merasa penasaran bagaimana orang yang miskin seperti petani itu dapat hidup berbahagia, setelah petani itu selesai makan dan isterinya sudah pergi membawa tempat makanan kosong, dia lalu bangkit dan menghampiri petani yang masih duduk mengaso itu. Melihat sedang pemuda yang juga berpakaian seperti petani namun pakaiannya bersih, petani itu lalu mengangguk dan tersenyum.

"Siauwte (adik laki-laki), hendak ke manakah?"

"Aku melihat twako (kakak laki-laki) dan merasa tertarik sekali. Ingin aku bercakap-cakap sebentar dengan twako kalau kiranya tidak mengganggu pekerjaan twako."

"Ah, tidak. Aku bekerja tidak tergesa gesa. Hujan belum akan turun sebelum lewat bulan ini dan aku pasti akan merampungkan pencangkulan ladangku ini belum hujan turun. Marilah kita bercakap-cakap kalau engkau menghendaki.dari logat bicaranya seperti bukan orang sini, siauwte. Dari manakah engkau?"

"Benar, twako. Aku datang dari daerah utara sana. Aku tertarik melihat engkau bekerja dan makan tadi. Twako apakah engkau dapat menjawab pertanyaanku ini?"

"Pertanyaan apakah, siauwte?" "Berbahagiakah hidupmu, twako?"

Mendengar pertanyaan itu, si petani termenung dan mengerutkan alisnya seperti menghadapi pertanyaan yang sukar dimengerti dan sukar pula dijawab.

"Bahagia? Apakah itu, siauwte?" Kini berbalik Han Lin yang termenung. Dia belum pernah mempertanyakan kepada diri sendiri apakah bahagia itu.

"Bahagia itu......" dia menjawab dengan sukar sekali. "......

eh, yaitu kalau engkau selalu merasa senang dalam hidupmu tidak pernah merasa susah dan khawatir, tidak kekurangan sesuatu, merasakan damai dan tenteram lahir batin.....

pendeknya, ya berbahagia begitulah."

Petani itu masih mengerutkan alisnya "Sukar benar. Aku tidak mengerti apa bahagia itu dan bagaimana rasanya, bahkan tidak membutuhkan bahagia yang tidak kukenal itu. Akan tetapi aku selalu merasa senang. Tanah yang kugarap ini milikku sendiri, dan tanahnya subur. Hanya cukup untuk makan aku bersama isteri dan dua orang anakku. Isteriku seorang wanita yang baik dan anak-anakku juga penurut.

Apalagi yang kubutuhkan?"

Han Lin tersenyum. Kini dia melihat kenyataan dari pelajaran yang seringkali di dengarnya dari Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Inilah contoh atau buktinya seorang yang berbahagia, yaitu orang yang telah dapat menerima segala- keadaan sebagaimana adanya tanpa mengharapkan apa-apa! Tidak mengharap-kan apa-apa yang dibayangkannya lebih pada apa yang ada! Apa yang ada itu-Kebenaran. Apa yang ada dan yang jadi itulah Kekuasaan Tuhan. Orang seperti petani yang sederhana ini adalah orang yang hidup selaras dengan kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi nafsu akan menyeretnya untuk mengejar-ngejar kesenangan, untuk mencari apa apa yang lebih daripada apa yang ada yang dianggapnya tentu akan lebih menyenangkan.

Petani itu minum air putih yang jernih dengan hati akal pikiran terbebas daripada nafsu. Kalau nafsu mengusik hatinya dan timbul keinginan untuk minum air teh atau arak, tentu seketika air putih itu akan menjadi hambar dan tidak enak dan timbullah kecewa dan penyesalan. Demikian pula dengan makanan yang sederhana itu. Kalau di waktu makan nasi dan sayur itu nafsunya mempengaruhi pikirannya sehingga dia menginginkan makan paha ayam atau dagi sapi, tentu seketika nasi sayur itu tak terasa tidak enak dan dia mungkin akan marah-marah kepada isterinya. Jadi jelasnya, kebahagiaan itu sebenarnya, seperti juga Tuhan, sudah selalu ada pada diri kita masing-masing. Hanya karena nafsu - menguasai, nafsu yang mendorong kita untuk mengejar- ngejar kesenangan, maka kita tidak merasakan bahwa kebahagian sudah ada pada kita setiap saat.

Kesehatan adalah kebahagiaan. Kesehatan ada pada diri kita setiap saat, akan tetapi kita masih mencarinya ke mana- mana. Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkannya?

Kesehatan SUDAH ada ada diri kita. Kalau kita merasa tidak sehat, hal itu tentu ada penyebabnya, yaitu penyakit. Kalau penyakit itu sudah dihilangkan, maka kesehatan itu ada. akan tetapi, siapakah di antara kita yang SADAR akan kesehatannya? Demikian pula kebahagiaan. Kebahagiaan sudah ada pada kita setiap saat, seperti petani sederhana itu. Kalau kita merasa tidak bahagia, jangan mencari kebahagiaan, melainkan carilah sebabnya mengapa kita merasa tidak berbahagia. Kalau penyebab atau halangan kebahagiaan itu dapat disingkirkan, maka kita SUDAH BERBAHAGIA! Seperti petani itu, dia tidak mempunyai sesuatupun yang menutup atau menghalangi kebahagiaan, dengan menerima apa adanya, menerima kenyataan, menerima keputusan atau kehendak Tuhan, maka dia sudah berbahagia, walau- mungkin dia tidak tahu apa itu kebahagiaan! kebahagiaan adalah suatu keadaan diri lahir batin, karenanya tidak bisa dibuat buat, tidak bisa dicari-cari. Tepat sekail ujar-ujar nabi Khong Cu dalam kita Tiong-yong pasal empat dan lima yang berbunyi seperti berikut:

"Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat,

Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat, Wi Ci Hoo. Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia,

Thian He Ci Tat Too Ya. Ti Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan, Dan Dut Yok Yan."

artinya :

"Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira, keadaan itu disebut Dalam Imbangan Jejak (Seimbang)

Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas,

keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini adalah

Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama sesuai dengan Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan

Jejak dan Keselarasan

dapat dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi akan meliputi seluruh langit dan bumi."

Han Lin mengangguk-angguk sambil melamun. Pantas saja kedua orang guru-nya itu selalu menganjurkan agar dia selamanya menjaga agar dirinya selalu berada dalam Keseimbangan Jejak, dalam arti kata tidak diseret oleh nafsu- nafsunya sendiri dan dalam Keselarasan, dalam arti kata selaras dengan kenyataan apa adanya, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun dia waspada bahwa semuanya itu ada yang mengatur, bahwa Kekuasaan Tuhan selalu bekerja dan berkuasa di manapun juga. Inilah yang dinamakan Penyerahan. Menyerah terhadap kekuasaan Tuhan yang Maha Bijaksana. Tentu saja penyerahan dalam arti kata yang sehat, yaitu tidak melupakan ikhtiar lahiriah. Berikhtiar berlandaskan penyerahan.

"He, siauwte. Engkau sedang mengapa?" Tiba-tiba petani itu bertanya heran Han Lin balas memandang deng heran pula. "Aku mengapa?"

"Engkau sejak tadi hanya mengangguk angguk dan tersenyum -senyum seorang diri. Apa sih yang membuat engkau bersikap seaneh itu?"

Han Lin bangkit berdiri dan menjura "Aku sedang mempertimbangkan dan melihat kenyataan bahwa engkau seorang yang berbahagia, twako. Terima kasih atas keramahanmu." Dia lalu membalikan tubuhnya dan pergi dari situ dengan perasaan ringan.

Petani itu memandang dan mengikuti bayangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh. Pemuda yang aneh. Bahagia?" Dia menggerakkan pundaknya, Ia berjalan ke tengah ladang, memegang dan mengayun cangkulnya kembali. Setengah belahan tanah oleh ayunan cangulnya mendatangkan perasaan puas dan senang dalam hatinya sehingga sebentar saja dia sudah melupakan pemuda aneh itu.

Han Lin melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia telah menemukan bukti pelajaran tentang hidup yang amat penting. Pelajaran tentang kehidupan tidak ada artinya sama sekali kalau tidak dapat menghayati dan pengertian hanya mengambang kalau kita tidak menemukan bukti.

Han Lin mendaki lereng di pegunungan itu. Sungai Fen-ho mengalir di bawah sana. Dia tidak dapat lagi menyusuri tepi sungai karena di bagian itu tepinya Merupakan dinding bukit yang terjal. dan lereng itu penuh dengan pohon-pohon besar. Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang dari dalam hutan dan dia cepat memasuki hutan dan menuju ke arah suara itu. Dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat tiga orang laki-laki kasar tinggi besar sedang mengepung seorang gadis yang berpakaian sutera putih. Gadis itu cantik sekali, berkulit putih mulus dan kedua pipinya kemerahan karena sehatnya. Gerak-geriknya lembut dan biarpun dikepung tiga orang laki-laki kasar yang sikapnya mengancam ia tampak tenang saja. Sepasang matanya seperti mata burung Hong, indah dan tajam pandangannya namun lembut. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Di punggungnya ia mengendong sebuah buntalan kain kuning yang besar.

Pinggangnya ramping dan kedua kakinya mengenakan sepatu kulit yang mengkilat, berwarna hitam.

"Saudara-saudara, apa yang kalian kehendaki maka kalian menghadang perjalananku? Harap suka minggir dan memberi jalan kepadaku," kata gadis itu dengan suara halus. Han Lin tersenyum. Terdengar aneh sekali. Gadis itu bicara dengan sikap sopan dan lembut, padahal sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki itu bukan orang baik-baik! Tiga orang laki-laki itu saling pandang dan menyeringai. Agaknya merekapun heran disapa sedemikian lembutnya oleh gadis itu. Sepatutnya gadis itu menangis Ketakutan dan minta ampun!

"Ha-ha-ha, tadinya kami menghendaki buntalanmu itu, akan tetapi melihat dirimu yang jauh lebih berharga dari segala macam harta, maka kami mengajakmu untuk hidup bersama kami. Kami tanggung hidupmu akan kecukupan dan terlindung. Lihat, engkau berada di tangan orang kuat, nona." Pembicara itu, yang mukanya brewok, menggerakkan tangan kanannya, miring menghantam sebatang pohon sebesar paha orang dewasa seperti dibacokkan, terdengar suara keras dan pohon itupun tumbang! Akan tetapi agaknya demonstrasi tenaga kuat itu tidak mendatangkan kesan kepada gadis itu. Ia menggeleng kepalanya.

"Maaf, saudara. Aku seorang perantau yang tidak ingin terikat oleh siapa dan apapun juga. Tugasku amat banyak, yaitu menolong dan mengobati orang-orang yang dilanda sakit, mengusir wabah yang sedang melanda dusun-dusun karena itu biarkanlah aku lewat. Kebaikanmu tentu akan mendapat berkah dari Thian (Tuhan)."

"Teng-ko, kenapa mesti banyak cakap? Tubruk dan pondong saja!" kata orang ke dua yang mukanya pucat kuning sambil tertawa. Si brewok juga tertawa. akan tetapi tiba-tiba, tanpa memberi peringatan, dia sudah menubruk ke arah gadis itu dengan kedua lengan dipentang lebar, siap untuk merangkul dan menangkap!

Han Lin mengerutkan alisnya, akan tetapi kerut alisnya hilang lagi dan dia tersenyum melihat betapa gadis itu dengan langkah yang ringan dan teratur baik telah dapat mengelak sehingga tubrukan itu luput! Kiranya gadis lemah itu bukan tidak memiliki kepandaian. Dari gerakannya yang ringan dan gesit. mudah diduga bahwa ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Si brewok terbelalak dan menjadi penasaran. Bagaikan seekor biruang yang berdiri di atas kaki belakangnya, dia berbalik dan kini menubruk lagi sambil membuka lengan untuk menghalangi gadis itu mengelak. Akan tetapi kembali tubrukannya tidak berhasil karena gadis itu meloncat ke belakang.

"Hayo kalian bantu aku menangkap gadis ini!" Si brewok berseru kepada dua orang kawannya dan mereka bertiga menghadang dari tiga jurusan dengan kedua lengan terpentang lebar, siap untuk menangkap dan merangkul gadis itu. Melihat ini, Han Lin tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari menghampiri mereka.

"Hei, kalian bertiga! Tidak malukah tiga orang laki-laki mengganggu seorang gadis terhormat?" tegur Han Lin kepada tiga orang itu.

Si brewok dan dua orang kawannya itu terkejut mendengar teguran ini dan mereka cepat memutar tubuh menghadapi Han Lin. Akan tetapi orang-orang seperti mereka yang terbiasa memaksakan kehendak dan mempergunakan kekerasan, mana dapat sadar mendengar teguran orang? Bukan teguran itu membuat mereka marah dan menganggap pemuda itu usil mencampuri urusan mereka dan lancang mulut mengeluarkan kata-kata yang mereka anggap menghina. Si brewok menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Han Lin dan membentak dengan suara kasar.

"Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan kami? Hayo serahkan buntalanmu itu dan berlutut minta ampun, baru mungkin kami dapat mengampuni dan tidak membunuhmu!"

Han Lin tersenyum. "Hemm, sekaran aku mengerti. Kiranya kalian adalah perampok-perampok dan pengganggu wanita.

Orang-orang seperti kalian patut dihajar!"

"Bocah setan, kau sudah bosan hidup!" Si brewok menerjang ke depan dan kepalan tangan kirinya yang sebesar kepala orang itu sudah menyambar ke arah Han Lin. Orang itu ternyata memiliki tenaga yang besar sekali dan pukulannya menyambar bagaikan peluru kc arah muka Han Lin. Pemuda itu mengelak dengan mudah sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi dua orang perampok yang lain sudah menyerang pula dengan dahsyatnya dan ternyata merekapun bertenaga besar dan dapat bergerak cepat. Akan tetapi, kecepatan mereka itu tidak ada artinya bagi Han Lin. Kembali hanya dengan beberapa langkah berputar dia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan mereka.

Si brewok yang penasaran melihat pukulannya dapat dielakkan sudah menyerang lagi dengan pukulan beruntun, tangan kiri memukul kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Menghadapi serangan maut yang berbahaya ini, Han Lin merendahkan tubuh sehingga pukulan ke arah kepalanya lewat di atas kepala dan cengkeraman ke arah perutnya itu dia tangkis dengan tangan kiri sambil menotok ke pergelangan tangan kanan lawan. "Tukk!" Seketika tangan kanan si brewok menjadi kejang dan pada saat itu Han Lin sudah menggerakkan kakinya menendang. Si brewok roboh terjengkang. Dua orang kawannya menerjang, akan tetapi merekapun roboh terjengkang disambar tendangan kaki Han Lin. Ketiganya merasa pening dan sakit perut, akan tetapi mereka merangkak bangun sambil menghunus golok mereka. Kini dengan wajah beringas penuh ancaman mereka mengepung Han Lin.

Han Lin melirik ke arah gadis itu. Gadis itu berdiri di bawah pohon, sikapnya tenang sekali dan ia menonton pertarungan itu dengan alis berkerut, agaknya hatinya tidak berkenan melihat orang berkelahi. Akan tetapi iapun maklum bahwa tidak mungkin menghentikan penyerang tiga orang perampok yang ganas dan kejam itu. Maka iapun hanya menonton dengan tenang karena beberapa gebrak tadi saja sudah membuat ia mengerti bahwa pemuda itu tidak akan kalah!

Melihat betapa tiga orang itu mencabut golok dan mengepungnya dengan wajah beringas dan kejam, Han Lin menjadi gemas juga. Orang-orang seperti ini harus diberi pelajaran yang lebih keras, pikirnya, untuk membuat mereka menyadari bahwa banyak orang yang jauh lebih kuat dari mereka. Mengharapkan mereka akan bertaubat merupakan harapan yang terrlalu muluk, akan tetapi setidaknya hajaran keras akan membuat mereka agak jera. Diapun berdiri dengan tenang dan waspada menghadapi mereka karena dia pun tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Akan tetapi dia masih merasa cukup untuk menghadapi tiga batang golok mereka dengan tangan kosong saja.

"Mampuslah !!" Si brewok sudah menerjang ke depan,

goloknya menyambar menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara berdesing mengarah leher Han Lin. Pemuda ini mengatur langkahnya. Selangkah saja ke kanan dan memutar tubuh dia sudah terhindar dari sambaran golok itu. Akan tetapi terdengar desing-desing lain dan dua golok yang lain juga sudah menyambarnya dari dua jurusan. Dia mempergunakan kelincahannya bergerak dan meloncat ke belakang. Tiga orang itu mengejar dan menghujani Han Lin dengan serangan golok. Demikian cepat gerakan golok mereka sehingga lenyap untuk tiga batang golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Diam-diam Han Lin menyayangkan bahwa tiga orang yang memiliki ilmu golok yang sudah demikian tangguh, lau merendahkan diri menjadi perampok dan pengganggu wanita. Padahal, kalau saja mereka mau masuk menjadi tentara, mereka tentu akan memperoleh kedudukan lumayan. Gadis berpakaian putih itu menonton dengan sinar mata tajam dan waspada, iapun mengerti bahwa tiga orang perampok itu memiliki ilmu golok yang tangguh. Akan tetapi ia tidak khawatir karena tepat seperti diduganya, pemuda itu lihai bukan main. Dia dapat berkelebatan diantara tiga gulungan sinar golok, bagaikan seekor burung murai beterbangan dengan lincah sekali. Gadis itu bernapas lega dan diam-diam ia merasa kagum juga pada pemuda yang berpakaian seperti orang pemuda petani itu.

Si brewok dan dua orang kawannya merasa penasaran bukan main. Mereka telah mengerahkan tenaga dan mengerahkan semua ilmu golok mereka menyerang bertubi- tubi, akan tetapi golok mereka seperti menyerang bayangan saja. Tidak pernah golok mereka mengenai sasaran bahkan tidak pernah dapat menyentil ujung baju pemuda itu.

Sebaliknya malah seringkali mereka kehilangan bayangan pemuda itu seolah-olah pemuda itu pandai menghilang? Setelah lewat tiga puluh jurus, karena pemuda itu membuat mereka berputar-putar, mereka merasa pening.

Han Lin merasa sudah cukup mempermainkan mereka. Ketika golok si brewok menyambar ke arah tubuhnya, dia mendahului, dengan jari telunjuk kiri menotok siku kanan si brewok sehingga lengan kanannya lumpuh seketika dan Han Lin memegangi tangan kanan yang masih mengenggam gagang golok dan didorong ke arah lengan kiri lawan.

"Crokkk....! Aduhh " Pangkal lengan kiri si brewok

dibacok goloknya sendiri sehingga terluka parah. dan tendangan membuat tubuh si brewok terlempar dan diapun roboh terbanting, goloknya terlepas dan mencelat jauh. Dia tidak segera dapat berdiri melainkan memegang lengan kirinya sambil meringis kesakitan.

Dua orang kawannya menjadi terkejut dan juga marah. Mereka memperhebat serangan mereka terhadap Han Lin. Akan tapi Han Lin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Seperti yang dilakukan terhadap si brewok tadi, diapun memaksa kedua orang perampok itu membacok lengan kirinya sendiri kemudian merobohkan mereka dengan tendangan! robohlah tiga orang itu dengan pangkal lengan luka parah. Walaupun luka itu tidak sampai mematahkan tulang, namun mengerat daging sampai ke tulang dan darah mengucur dengan derasnya! Juga tendangan yang keras dan mengenai dada mereka itu membuat dada mereka terasa sesak dan nyeri.

Setelah Han Lin merobohkan tiga orang lawannya, dia menjadi bengong melihat pemandangan di depannya. Dia melihat gadis itu sedang merawat luka parah di pangkal lengan si brewok Dengan dua buah jari tangan, gadis itu menotok jalan darah di pundak untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka di pangkal lengan. Setelah itu ia membuka buntalannya, mengambil bungkusan obat bubuk berwarna kuning dan menaburkan obat itu ke atas luka yang menganga. Juga dari buntalannya itu ia mengambil kain putih yang bersih dan membalut luka itu kuat-kuat. Tanpa berkata-kata kepada mereka, ia merawat luka pada lengan tiga orang perampok itu dan setelah tiga orang perampok itu mendapat perawatan, ia berkata dengan lembut. "Luka itu jangan sampai terkena air dan setelah dua hari baru boleh pembalutnya dibuka."

Si brewok membungkuk kepada gadis itu dan berkata, "Terima kasih, nona." juga dua orang temannya membungkuk kemudian setelah memandang ke arah Han Lin dengan mata mengandung kebencian, mereka meninggalkan tempat itu dengan cepat, menghilang di antara pohon-pohon yang lebat.

Han Lin yang sejak tadi berdiri bengong melihat pekerjaan gadis itu, seolah baru terbangun dari mimpi. Dia menelan ludah dan menegur dengan hati-hati.

"Nona, tiga orang perampok itu tadi berniat buruk terhadap dirimu!"

Gadis itu membereskan buntalannya, menggendong kembali di punggungnya, baru ia mengangkat muka memandang kepada Han Lin. Dua pasang mata bertemu pandang dan Han Lin merasa betapa lembut namun tajamnya sepasang mata gadis itu sehingga mau tidak mau dia yang lebih dulu menundukkan pandang matanya. Kemudian ia mendengar suara yang lunak halus itu.

"Kalau begitu, mengapa?"

"Mereka itu jahat dan engkau nyaris celaka oleh mereka, akan tetapi mengapa engkau malah membantu dan merawat luka di lengan mereka?"

Gadis berpakaian putih itu tersenyum, seperti senyum seorang guru yang mendengar pertanyaan bodoh dari seorang murid. Senyun yang penuh pengertian, sekaligus teguran.

Kemudian ia bicara dan suaranya yang lembut itu terdengar seperti seorang guru yang memberi pelajaran kepada seorang murid.

"Sobat, selama bertahun-tahun aku mempelajari ilmu pengobatan dan sudah menjadi kewajibanku untuk melaksanakan pelajaran itu dalam kehidupan ini. Mereka itu tcrluka parah yang dapat membahayakan nyawa mereka. Tentu saja aku menolongnya. Seandainya perkelahian tadi berakibat engkau yang terluka parah, tentu akupun akan menolong dan mengobatimu."

Entah bagaimana, mendengar ucapan gadis itu dan melihat sikapnya yang seperti menegurnya, mendadak Han Lin merasa dirinya bersalah! Bersalah telah melukai tiga orang itu! Dia merasa seolah olah gadis itu menegurnya karena dia telah melukai mereka.

"Akan tetapi..... aku tadi. maksudku hanya untuk

menolongmu dari tangan tiga orang penjahat tadi, nona."

"Aku tahu dan aku menghargai pertolonganmu. Agaknya karena engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang penjahat. Akan tetapi akupun mempunyai kewajiban, yaitu mengobati orang yang menderita sakit. Kita sama-sama melaksanakan kewajiban kita, bukan? jadi, jangan persalahkan aku kalau aku mengobati mereka tadi."

Han Lin menundukkan mukanya. Tampak nyata perbedaan antara kewajiban mereka. Tindakannya hanya menimbulkan bencian dan sakit hati di pihak tiga orang penjahat tadi, sedangkan tindakan gadis itu menimbulkan perasaan terima kasih kepada mereka!

"Akan tetapi aku melihat tadi engkau inipun menghindarkan diri dari serangan mereka, nona. Aku yakin bahwa nona tentu juga memiliki ilmu kepandaian silat, atau setidaknya pernah belajar ilmu silat."

"Aku belajar cukup dari guruku sekedar membela dan menyelamatkan diri."

"Engkau ahli ilmu pengobatan, juga kau memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lihai. Dua orang guruku, Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin, pernah memberitahu kepadaku bahwa dunia kang-ouw (persilatan) terdapat orang ahli pengobatan yang budiman berjuluk Thian-beng Yok-sian (Dewa Obat Anugerah Tuhan). Apakah dia ?"

"Tepat sekali. Thian beng Yok-sian adalah guruku," kata gadis itu memotong kata-kata Han Lin.

"Ah, aku girang sekali dapat berkenalan dengan murid seorang lo-cian-pwe(orang tua gagah) yang budiman itu ternyata engkau juga seorang pendekar budiman.

Perkenalkan, nona, namaku Han Lin. Kalau boleh aku mengetahui namamu, nona?"

"Namaku Tan Kiok Hwa." kata gadis itu dengan singkat. "Nona Tan Kiok Hwa, pertemuan antara kita sungguh

merupakan suatu kebetulan dan aku akan merasa terhormat

dan girang sekali kalau engkau sudi menerima perkenalanku. Aku berasal dari gunung Thai-san di Puncak Bambu di mana tinggal guru-guruku. Ibuku sudah meninggal dunia dan

ayahku telah lenyap sejak aku belum lahir. Aku sedang

merantau untuk mencari ayahku dan mempergunakan ilmu- ilmu yang telah kupelajari untuk membela kebenaran dan keadilan. membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang jahat dan menindas. Nah, kalau engkau suka menceritakan riwayatmu, nona "

Gadis itu menundukkan mukanya, "aku sudah yatim piatu.

Ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit ketika ada wabah menyerang dusun kami di sebelah selatan Sungai Yang-se-kiang. Aku sejak berusia lima tahun diambil murid dan telah merantau dan mempelajari ilmu pengobatan."

"Dan ilmu silat "

"Ya, dan ilmu silat. Akan tetapi aku mengutamakan ilmu pengobatan, Ayah ibuku meninggal karena penyakit, oleh karena itu aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk menolong orang-orang yang terserang penyakit dan melawan kalau ada wabah menyerang dusun kota." "Kalau begitu, sudah lama engkau berpisah dari gurumu?" tanya Han Lin.

"Belum begitu lama, baru kurang lebih setengah tahun. Suhu menyuruh aku turun gunung dan mempergunakan kepandaianku untuk menolong sebuah dusun yang terserang wabah demam, kemudian aku diharuskan mengambil jalan hidup sendiri memasuki dunia ramai."

"Akan tetapi engkau seorang gadis. Banyak sekali bahaya yang mengancammu."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar