Suling Pusaka Kemala Jilid 09

Jilid IX

HWA HWA CINJIN membuka kedua matanya dan mengeluh lirih. Suma Eng segera mendekatkan mukanya dan bertanya, "Supek-kong, bagaimana rasanya badan supek-kong?"

Kakek itu memandang kepada Suma Eng, mulutnya menyeringai seperti kalau dia tertawa. Biasanya, kakek ini memang suka sekali tertawa, dalam keadaan bagaimanapun dia selalu tertawa. Akan tetapi sekarang agaknya rasa nyeri membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara tawa.

"Mereka menyerangku dengan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun), dalam tubuhku penuh hawa beracun "

"Siapakah mereka yang menyerangmu tadi, supek-kong?"

Kakek itu agaknya berdaya mengumpulkan semua tenaga yang tersisa untuk dapat bicara, "..... mereka itu Thian-te

Sam-ok (Tiga Jahat Bumi Langit) dan yang seorang wanita mungkin murid mereka."

"Hemm, Thian-te Sam-ok? Mengapa mereka menyerangmu, supek-kong?"

"Ha-ha-ha..... uh-uh-uhhh !" Karena tertawa ini, kakek

itu terbatuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya. Suma Eng cepat membersihkan bibir kakek itu dengan sehelai saputangan.

"Mereka memang musuh lama. Tidak pernah menang melawanku dan tadi mereka muncul setelah berhasil menemukan tempat pertapaanku ini. Aku sudah terlalu tua, tenagaku banyak berkurang namun aku masih dapat bertahan menghadapi mereka. Akan tetapi mereka mempergunakan Ban-tok-ciang yang penuh dengan hawa beracun yang busuk " dia terengah-engah. "Supek-kong !" seru Suma Eng dengan khawatir.

"Sudahlah, jangan banyak bercakap, supek-kong harus beristirahat untuk memulihkan tenaga."

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak ada gunanya..... seluruh tubuhku telah keracunan tak mungkin

disembuhkan lagi. Dengar baik-baik pesan ku, Eng Eng "

Dengan alis berkerut dan sikap bersungguh-sungguh, Suma Eng mengangguk. "Teecu mendengarkan, supek-kong!"

"Setelah aku mati, bakar pondok ini dan biarkan jenazahku terbakar di dalamnya. Lalu taburkan dan biarkan hanyut abu jenazahku ke Sungai Huang-ho di bawah lereng itu "

"Baik, supek-kong." kata Suma Eng tegas.

"Kemudian jangan lupa, kelak carilah Thian-te Sam-ok dan bunuh mereka "

"Baik, supek-kong. Akan teecu bunuh mereka satu demi satu " kata pula Suma Eng sambil mengepal tangan kanan.

"Ha-ha, aku puas sudah.... bantulah aku bangkit duduk "

Suma Eng membantu kakek itu duduk bersila di atas pembaringannya. Setelah duduk bersila dengan tegak, kakek itu mengambil napas dalam sekali dan tubuhnya menjadi kaku, masih duduk bersila akan tetapi matanya terpejam dan napasnya putus! Kiranya tadi dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk bicara dan setelah berhenti bicara, tenaga dan daya tahannyapun habis dan dia menghembuskan napas terakhir dalam keadaan masih duduk bersila.

"Supek-kong !" Suma Eng memanggil, lalu menyentuh

nadinya dan mendekatkan tangannya ke depan hidung kakek itu. Maka tahulah ia bahwa gurunya itu telah tewas.

Biarpun hatinya merasa sedih, Suma Eng tidak menangis, hanya memandang kepada jenazah yang duduk bersila itu dengan mata penasaran. "Supek-kong, tenangkan arwahmu, teecu pasti akan membunuh Thian-te Sam-ok!"

Kemudian ia teringat akan pesan kakek itu untuk membakar pondok, la lalu berkemas, mengumpulkan semua miliknya yang kiranya dapat ia bawa merantau, membungkus semua pakaian dalam sebuah buntalan kain biru. Setelah itu, ia mengumpulkan daun dan kayu kering, menumpuknya di dalam dan di luar sekitar pondok kemudian membakar pondok itu.

Api berkobar melahap pondok, menimbulkan suara berkerotokan. Suma Eng menjauhi pondok dan duduk di bawah pohon memandang api yang bernyala besar, dan pada saat itu terbayang olehnya semua kebaikan Hwa Hwa Cinjin selama ia berguru kepada kakek tua renta itu. la mengepal tangan kanannya dan mulutnya mengeluarkan bisikan lirih.

"Awas kalian, Thian-te Sam-ok. Aku akan membalaskan kematian supek-kong!"

Berjam-jam ia menunggu sampai seluruh pondok terbakar habis. Setelah semua api padam, la lalu mencari di antara puing dan menemukan abu putih setumpuk, abu jenazah Hwa Hwa Cinjin. Dengan hati-hati ia mengumpulkan abu itu dan memasukkan dalam buntalan kain kuning yang memang sudah ia persiapkan, lalu membungkus abu itu dalam kain kuning. Setelah itu, ia menggendong dua buntalan itu, yang sebuah buntalan pakaiannya dan yang sebuah lagi dan kecil adalah buntalan abu jenazah gurunya. Maka berangkatlah ia meninggalkan Puncak Ekor Naga, menuruni puncak menuju ke Sungai Huang-ho yang mengalir di bawah lereng sebelah selatan.

Suma Eng berjalan seenaknya sambil melamun. Ia teringat akan ayahnya. Di mana ayahnya berada? Dahulu ayahnya mengatakan bahwa setelah lewat lima tahun, ayahnya akan datang ke Puncak Ekor Naga untuk menjemputnya.

Bagaimana kalau nanti ayahnya datang dan melihat pondok sudah terbakar habis dan ia sudah tidak berada di sana? Ia terpaksa harus membakar pondok untuk menaati pesan supek-kongnya, dan sekarang ia harus pergi menebarkan abu jenazah itu ke Sungai Huang-ho. Teringat akan ayahnya, ia

merasa rindu juga dan segera ia kembali ke Puncak Ekor Naga yang belum jauh ia tinggalkan. Di depan pondok itu terdapat sebuah pohon besar dan Suma Eng lalu mencabut pedangnya. Sinar kehijauan tampak ketika ia mencabut Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), kemudian ia mencorat-coret dengan ujung pedangnya pada batang pohon. Ia meninggalkan beberapa huruf untuk memberitahu kepada ayahnya kalau ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga.

"Supek-kong telah meninggal dunia. Aku membawa abunya untuk dihanyutkan di Sungai Huang-ho dan setelah itu aku akan merantau ke selatan."

Demikianlah coretan-coretan berupa huruf-huruf yang dibuat di batang pohon itu. Kalau ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga, ayahnya tentu akan melihat tulisan itu dan akan mengerti. Setelah elesai meninggalkan pesan lewat coretan di belakang pohon, Suma Eng lalu menuruni kembali puncak itu dan kini ia mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja sudah tiba di lereng. Tiba-tiba muncul belasan orang yang keluar dari balik semak belukar dan pohon-pohon yang banyak terdapat di luar hutan itu. Mereka terdiri dari laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun, sikap mereka kasar dan bengis dan tangan mereka memegang sebatang golok yang tajam.

Biarpun Suma Eng belum pernah mengalami hal seperti ini, namun dari cerita ayahnya ia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan segerombolan perampok yang biasa menghadang orang lewat dan merampas barangnya.

Melihat belasan orang itu sengaja menghadang di depannya, Suma Eng bertanya dengan suara nyaring, "Siapakah kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?"

"Mau apa? Ha-ha-ha, apa-apa kami mau! Terutama buntalan di punggungmu itu!" kata seorang yang brewokan dan berkulit hitam.

"Orangnya kami juga mau!" terdengar orang lain dan semua laki-laki itu tertawa bergelak. Mereka menyeringai dan sikap mereka kurang ajar sekali.

"Hushh!" kata si brewok yang tampak nya adalah pemimpin mereka. "Sekali ini orangnya untukku dan barang-barangnya kita bagi rata!"

Suma Eng mengangguk-angguk dan senyumnya melebar. Orang-orang itu tidak tahu betapa bahayanya kalau Suma Eng sudah tersenyum lebar seperti itu. Ini tandanya bahwa ia marah sekali. Ia marah bukan karena dihadang hendak dirampok, melainkan marah karena kata-kata mereka yang kurang ajar terhadap dirinya.

"Hemm, mengerti aku sekarang! Jadi kalian ini adalah anjing-anjing perampok yang tak tahu diri dan kurang ajar? Bagus, kebetulan sekali, nonamu juga sedang gatal tangan dan akan mengirim nyawa kalian ke neraka! Kalian mau mengambil buntalan- buntalan ini?" la menurunkan dua buntalannya dan meletakan di atas tanah.

"Nah, siapa mau boleh ambili" katanya.

Setelah buntalan itu turun dari punggungnya, baru tampak oleh para perampok itu bahwa gadis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka. Akan tetapi tentu saja mereka tidak gentar oleh ucapan Suma Eng. Gadis muda seperti itu, akan mampu berbuat apakah terhadap mereka? Maka, dua orang segera menubruk hendak mengambil buntalan itu.

"Plak! Plak!" Dua kali tangan kiri dan kanan Suma Eng bergerak menampar dan tepat mengenai muka dua orang itu tanpa dapat dielakkan atau ditangkis karena perhatian mereka ditujukan kepada buntalan itu dan tamparan yang dilakukan Suma Eng cepat seperti kilat. Dua orang itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas dengan mata mendelik. Semua orang terkejut melihat betapa di muka dua orang rekan mereka itu terdapat tanda telapak tangan hitam.

"Dan siapa mau memiliki aku? Boleh ambil!" Suma Eng membusungkan dadanya seperti hendak menyerahkan dirinya.

Kepala perampok yang brewokan dan berkulit hitam itu menjadi marah sekali. Dia membuka bajunya sehingga tampak dadanya yang berbulu dan membentak, "Gadis setan berani engkau membunuh anak buahku?" Dia lalu menubruk, seperti seekor biruang yang menubruk sambil mengembangkan kedua lengan seperti hendak menerkam Suma Eng. Gadis itu menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika lengan tangan kepala rampok itu terpental ke kanan kiri dan dadanya terbuka lebar, tangan kirinya menghantam dengan telapak tangan terbuka kearah dada itu.

"Bukk !!" Tubuh kepala perampok Itu terpental ke

belakang dan roboh terjengkang, berkelojotan lalu tewas. Di dadanya yang hitam itu tampak bekas telapak tangan yang lebih hitam lagi!

Melihat pimpinan mereka roboh dan tewas, para perampok itu terbelalak dan menjadi marah sekali. Mereka adalah orang- orang yang busa mengandalkan kekuatan tidak mempergunakan pikiran sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian. Belasan orang itu lalu menggerakkan golok mereka dan menerjang Suma Eng dari berbagai jurusan.

Suma Eng maklikn bahwa biarpun ilmu kepandaian para perampok itu tidak seberapa, namun karena belasan orang maju bersama, maka dapat membahayakan keselamatannya juga. Hal ini membuatnya makin marah dan dengan mempergunakan kecepatan gerakannya, ia berloncatan dan menyusup di antara mereka, menggunakan ilmu silat yang disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Memasuki Serbuan Ratusan Golok). Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya hanya tampak bayangan yang berkelebatan di antara golok-golok itu dan kedua tangannya sibuk membagi- bagi tamparnn yang dilakukan dengan ilmu Toat-beng Tok- ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hanya terdengar suara piok-plak plak dan disusul jeritan dan robohnya para perampok. Satu demi satu mereka roboh dan semua tewas dengan tanda telapak jari tangan hitam dan mata mendelik!

Setelah hampir semua dari mereka roboh dan tewas, tinggal dua orang yang masih hidup, barulah mereka menyadari dan dua orang itu lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang-langgang

Suma Eng tertawa mengejek, memungut dua batang golok dari atas tanah dan sekali ia lontarkan golok itu, dua sinar menyambar ke arah orang yang melarikan diri dan di lain saat mereka berteriak dan roboh menelungkup dengan punggung ditembusi golok.

Suma Eng menepuk-nepuk kedua tangan seperti hendak membersihkan dari debu sambil tersenyum puas. Matanya bersinar-sinar dan ia merasa bangga sekali atas kemampuan dirinya. Kalau saja ayahnya dan supek-kongnya menyaksikan apa yang baru saja ia lakukan, mereka tentu akan merasa senang dan bangga sekali.

Ia memandang belasan mayat yang berserakan itu dan menggumam sendiri, " Anjing-anjing perampok hina, baru kalian tahu sekarang akan kelihaian nonamu!" Dia mengambil buntalannya, menggendong lagi buntalan pakaian dan buntalan abu jenazah gurunya, lalu melanjutkan perjalanannya.

Hari telah jauh siang ketika ia tiba di kaki pegunungan dan memasuki sebuah dusun yang cukup ramai. Ketika melihat sebuah warung makan di tepi jalan, barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar sekali dan teringatlah ia bahwa sejak pagi ia belum makan apapun atau minum apapun. Bau sedap masakan yang memakai bawang menusuk hidungnya dan membuat perutnya menjadi semakin lapar. Ia lalu memasuki warung itu. Sebuah warung makan yang sederhana namun cukup besar dan mempunyai tujuh meja. Tiga buah meja telah dihadapi tamu, dan ia lalu memilih meja kosong dan duduk di bangku. Buntalannya ia lepas dari punggung dan ia letakkan di atas meja, tanpa melepas pedangnya dari punggung. Seorang pelayan, satu-satunya pelayan di warung itu, seorang yang usianya sudah setengah tua, lima puluhan tahun, menghampirinya.

"Nona hendak memesan makanan dan minuman?" "Ambilkan air teh cair, arak lunak setengah guci kecil dan

nasi serta dua macam masakan yang enak dari dagingi ayam

dan sapi." "Baik, nona."

Pada saat itu, tamu yang makan di meja sebelah, tiga orang banyaknya, telah selesai dengan makanan mereka dan mereka sudah hendak meninggalkan meja. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah pundi-pundi kecil untuk mengeluarkan uang. Pada saat itu barulah Suma Eng teringat bahwa membeli makanan dan minuman haruslah membayar, padahal ia sama sekali tidak mempunyai uang sepeserpun! Ia memandang orang yang memiliki pundi-pundi uang itu.

Pemilik pundi-pundi uang itu mengeluarkan beberapa potong uang dan dibayarkan kepada pelayan, kemudian menyimpan kembali pundi-pundi uangnya di dalam saku bajunya yang longgar. Suma Ing tersenyum. Ada jalan untuk dapat membayar harga makanan dan minuman, pikirnya.

Ia menanti sampai tiga orang itu bangkit berdiri dan melangkah melewati dekat mejanya. Tiba-tiba ia berdiri dan menghadang laki-laki yang memiliki pundi-pundi uang itu dan menepuk pundaknya sambil tersenyum girang. "Heii! Tan-twako (kakak Tan), engkau hendak pergi ke manakah?"

Laki-laki itu memandang dengan bingung akan tetapi tersenyum girang karena yang menegurnya adalah seorang gadis yang amat cantik.

"Aku.... aku bukan orang she (marga) Tan " katanya

ragu. "Nona siapakah?"

"Ah, maafkan aku. Wajahmu mirip sekali dengan Tan- twako." kata Suma Eng, tersipu lalu kembali duduk di kursinya. Tiga orang itu melanjutkan langkah mereka sambil tertawa-tawa. Orang yang ditegurnya tadi berkata kepada dua orang temannya.

"Sungguh sayang aku bukan orang she Tan, kalau iya, alangkah senangnya mengobrol dengan si cantik jelita itu." Dan tiga orang itu tertawa-tawa lagi sambil keluar dari warung makan. Sementara itu, sambil mengulum senyum, Suma Eng menyelipkan pundi-pundi uang yang telah diambilnya dari kantung orang tadi ke dalam buntalannya.

Suma Eng lalu makan dengan enaknya. Setelah selesai makan dan membayar harga makanan dan minuman, ia lalu menggendong lagi buntalannya dan beranjak meninggalkan warung makan itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan warung, terdengar teriakan orang dan tiga orang laki-laki tadi datang berlarian. Pemilik pundi-pundi tadi menuding-nuding kepadanya.

"Itu ia! Cepat jangan sampai ia lari!" Akan tetapi Suma Eng tidak lari dan memandang kepada mereka dengan sikap he ran. la melirik ke keranjang sampah di depan warung, di mana baru saja ia melemparkan pundi-pundi kosong itu dan semua uang yang tadi berada di pundi-pundi kini telah berada dalam buntalan pakaiannya dengan aman. "Hei, nona. Kembalikan pundi-pundi uangku!" Laki-laki itu menghampiri Suma Eng dan menudingkat telunjuknya ke arah muka gadis itu.

"Hemm, apa maksudmu? Aku tidak tahu tentang pundi- pundi uangmu!" jawab Suma Eng dengan tenang.

"Engkau tentu yang mengambil pundi-pundi uangku. Sejak aku keluar dari warung ini, selain engkau tidak ada orang lain lagi yang mendekati aku. Hayo turun kan dan buka buntalanmu, akan kuperiksa. Pundi-pundi uangku tentu berada dalam buntalanmu itu!" kata pula pemilik pundi-pundi.

"Asalkan engkau mau melayani kami bertiga selama sehari semalam, biarlah pundi-pundi itu tidak usah kau kembali-kan!" kata seorang di antara mereka ber tiga sambil menyeringai.

Ucapan dan sikap inilah yang membuat Suma Eng menjadi marah, Ia melepaskan buntalannya dan membuka buntalan itu di atas tanah di depan mereka. "Nah, kalian lihat. Mana pundi- pundi itu? Kau kira aku tidak punya uang dan mencuri pundi- pundimu? Lihat, akupun mempunyai cukup banyak uang." katanya sam bil memperlihatkan uang dalam buntalan, uang pindahan dari pundi-pundi. Tentu saja orang tidak akan mampu mengenali uang, karena uang itu di mana-manapun sama saja. Pundi-pundi yang menjadi tanda milik orang itu sudah tidak ada!

Banyak orang berdatangan dan merubung tempat itu untuk menonton apa yang terjadi. Tiga orang itu tidak menemukan pundi-pundi dalam buntalan dan si pemilik pundi-pundi berkata, "Tentu kau-sembunyikan dalam bajumu!"

"Kita geledah saja pakaiannya!" kata pula yang tadi mengeluarkan ucapan kurang ajar.

Suma Eng menggendong lagi buntalannya dan nenghadapi tiga orang yang sudah siap untuk menggeledah pakaiannya itu ia berkata, "Kalian hendak menggeledah pakaianku. Silakan, kalau kalian mampu!" Seperti tiga ekor anjing berebutan tulang, tiga orang laki- laki itu menjulurkan tangan-tangan yang penuh gairah hendak mengerayangi tubuh Suma Eng. Gadis itu mengelak ke belakang dan ketika tiga orang itu mengejar, kedua tangannya bergerak cepat sekali.

"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!" Dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti pandang mata, tiga orang itu masing- masing telah kena ditampar pipi kiri dan kanan mereka.

Mereka mengaduh-aduh dan terhuyung sambil menggunakan kedua tangan memegangi kedua pipi mereka yang bengkak- bengkak dan bibir mereka yang berdarah karena gigi mereka banyak yang copot!

"Masih ingin menggeledahku?" tanya Suma Eng yang hanya menggunakan tenaga ketika menampar, tidak mengerahkan pukulan beracun. Biarpun ayahnya selalu menasihatkan padanya agar membunuh setiap orang yang berani menentangnya, namun gadis ini tidaklah sekejam ayahnya.

Para perampok itu memang dibunuhnya karena kesalahan mereka sudah jelas. Akan tetapi tiga orang ini tidak bersalah apa-apa kecuali bersikap kurang ajar, bahkan uang mereka telah ia curi. Karena itulah maka ia hanya menghajar mereka dengan tamparan itu saja. Tiga orang itu merasa kesakitan dan juga ketakutan. Mereka lalu melarikan diri sambil memegangi kedua pipi mereka. Para penonton banyak yang tertawa melihat peristiwa yang mereka anggap lucu. itu. Akan tetapi banyak pula yang memandang kepada Suma Eng dengan jerih, apalagi melihat sebatang pedang tergantung di punggung gadis itu.

Suma Eng tidak memperdulikan pandang mata semua orang itu dan ia melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan dusun itu. Setelah senja tiba, belum juga ia bertemu dusun lain dan terpaksa ia berhenti di luar sebuah hutan, membuat api unggun di bawah sebatang pohon besar dan melewatkan malam di tempat itu. Ia tidak dapat tidur pulas membiarkan dirinya terancam bahaya di tempat terbuka itu, akan tetapi hal ini bukan merupakan persoalan baginya, la sudah dilatih oleh Hwa Hwa Cinjin dan sudah biasa duduk bersila dalam samadhi. Dalam keadaan seperti ini, tidak bedanya dengan orang tidur karena semua urat syaraf di tubuhnya beristirahat sepenuhnya, namun kesadarannya selalu siap sehingga sedikit saja terdengar suara yang tidak wajar akan cukup untuk membangunkannya. Dapat dikata bahwa ia tidur dalam keadaan sadar! Demikian pula, kalau api unggun hampir padam, ia dapat merasakannya, terbangun dan menambahkan kayu bakar pada api unggun. Dan1 panasnya api unggun itu mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Suma Eng membuka matanya. Api unggun sudah hampir padam dan hawa udara masih dingin. Akan tetapi karena sinar matahari pagi sudah mulai menerangi tanah, iapun tidak membesarkan api unggun. Pagi telah tiba. Sejenak ia enikmati suasana pagi yang cerah itu. Kicau burung di atas pohon, diseling kuruyuk ayam jantan dari hutan, mendatangkan suasana yang tenteram dan penuh emangat hidup. Suma Eng bangkit berdiri, menggendong buntalannya dan meninggalkan bawah pohon untuk mencari anak sungai atau sumber air.

Akhirnya ia enemukan pancuran air di dalam hutan itu segera ia membersihkan dirinya degan air yang jernih itu. Segar sejuk rasanya. Kemudian ia lalu mengikuti aliran air dari pancuran itu karena maklum bahwa Sungai Huang-ho tentu sudah dekat dan air yang mengalir dari pancuran itu akhirnya tentu akan terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Ternyata air itu masuk ke dalam sebatang anak sungai yang lumayan besarnya dan ia lalu menyusuri tepi anak sungai ini, mengikuti jalannya yang menuju ke barat. Perutnya terasa lapar. Melihat betapa banyaknya ikan yang berenang di anak sungai itu, ia lalu mengambil sebatang ranting, diruncingkannya ujungnya dan dengan senjata ini ia menuruni tepi sungai. Sebentar saja, dengan rantingnya, ia telah dapat menangkap dua ekor ikan sebesar tangannya. Lalu dibuatnya api unggun dan dipanggangnya ikan itu. Akan tetapi ketika dimakannya, ia menyeringai. Rasa daging ikan itu hambar. Tentu saja hambar. Segala macam daging akan terasa hambar dan tidak enak kalau dipanggang atau dimasak tanpa bumbu terutama garam, la sama sekali tidak berpengalaman melakukan perjalanan seorang diri, maka iapun tidak membawa garam maupun bumbu masak lainnya. Dibuangnya ikan-ikan itu dan setelah mencuci tangannya, ia melanjutkan perjalanannya.

Setelah hari menjadi siang, barulah anak sungai itu terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Suma Eng menjadi girang sekali. Inilah tempatnya di mana ia harus menaburkan abu jenazah Hwa Hwa Cinjin seperti yang dipesan oleh kakek itu.

Akan tetapi ia tidak mempunyai perahu. Bagaimana dapat menaburkan abu itu? Dari tepi? Penaburan itu tentu tidak sempurna, dan abunya akan banyak yang terjatuh di tepi sungai karena terbawa angin ketika ia taburkan. Suma Eng menjadi bingung dan duduk di atas sebuah batu besar.

Tempat itu sunyi, dari mana ia akan dapat menyewa perahu?

Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan wajahnya berseri, la melihat sebuah perahu hitam didayung oleh seorang laki-laki setengah tua.

"Paman   1 Paman tukang perahu! Kesinilah, aku ingin

menyewa perahumu!" Teriak Suma Eng sambil mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya melengking nyaring dan dapat terdengar dari jauh.

Tukang perahu itu juga mendengarnya dan berdiri di perahunya sambil memanjang ke arah pantai di mana Suma Eng melambai-lambaikan tangannya.

"Ke sinilah, paman! Aku akan menyewa perahumu menyeberang, berapa saja sewanya akan kubayar!" kembali Suma Eng berseru. Agaknya tukang perahu itu mengerti baik dan iapun duduk kembali mendayung perahunya menuju ke pantai di mana Suma Eng berdiri. Gadis itu men jadi girang bukan main.

Setelah perahu itu tiba di pinggir, Suma Eng melihat bal tukang perahu itu bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah setengah tua, tampak sehat dan kokoh kuat. Sebuah caping besar menutupi kepalanya. Tidak tampak alat jala atau pancing di perahu seperti dimiliki tukang perahu yang pekerjaannya sebagai nelayan. Akan tetapi Suma Eng tidak memperhatikan hal ini. Ia sudah terlalu girang ada perahu di situ dan si tukang perahu mau mendatanginya untuk disewa perahunya.

"Paman, aku hendak menyeberang dan sekalian hendak menaburkan abu jenazah) di tengah sungai. Seberangkan aku dan aku akan membayar berapapun yang engkau minta."

Tukang perahu itu mengamati wajah dan tubuh Suma Eng, juga mengamati buntalan yang berada di punggung gadis itu. Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah nona. Naiklah ke perahuku. Akan tetapi maklumlah, tidak ada pelindung dari panas matahari di perahuku."

"Tidak mengapa, paman." kata Suma Eng yeng segera melangkah ke atas perahu. "Pinjamkan saja capingmu itu kepadaku."

Tukang perahu menyerahkan capingnya dan ketika dia menanggalkan capingnya, baru tampak bahwa rambutnya diikat bagian atasnya dengan sehelai pita merah dari sutera. Akan tetapi hal ini tidak menarik perhatian Suma Eng yang sudah memakai caping dan duduk di atas perahu. Tukang perahu lalu mendayung perahunya ke tengah sungai yang lebar itu. Perahu meluncur cepat ke tengah sungai. Akan tetapi perahu itu tidak langsung menyeberang, melainkan menghilir-milir dengan cepatnya. Melihat ini, Suma Eng berkata, "Paman, aku ingin menyeberang, bukan ingin ke hilir." "Akan tetapi, nona. Di seberang sana terdapat tepi sungai yang terjal dan melupakan bagian dari bukit berhutan yang liar. Aku membawa nona sedikit ke hilir karena di sana terdapat pedusunan. Apakah nona tidak lebih senang mendarat di pedusunan itu?"

"Ah, begitukah? Baik, teruskan mendayung. Tentu saja aku lebih suka menyeberang ke pedusunan itu."

Perahu meluncur terus. Karena mengikuti aliran air ditambah kekuatan dayung, perahu itu meluncur cepat sekali. Tak lama kemudian, tiba-tiba dari tepi sungai sebelah sana, muncul tiga buah perahu besar yang masing-masing ditumpangi sedikitnya sepuluh orang. Melihat ini, Suma Eng tidak menduga buruk karena perahu mereka sudah tiba dekat pantai. Pantai sana sudah dekat walaupun ia belum melihat ada pedusunan di sana, melainkan pohon-pohon dan semak- semak belukar.

Mendadak tukang perahu itu bersuit nyaring tiga kali dan dia mendayung perahunya menyongsong tiga buah perahu besar itu. Melihat ini, barulah Suma Eng merasa heran. Akan tetapi ia mengira bahwa perahu mereka itu sudah hampir tiba di tempat tujuan dan si tukang perahu hendak mendayung perahu mendekati daratan. Akan tetapi tiga perahu besar itu bergerak mengepung perahu kecil yang ditumpanginya

"Hei, apa artinya ini, paman?" tanya Suma Eng sambil bangkit berdiri, Ia memandang ke arah tiga perahu besar dan para penumpangnya terdiri dari laki-laki kasar yang menyeringai memandang ke arahnya dan apa yang tampak menyolok dari mereka adalah pita rambut mereka yang kesemuanya merah!

"Artinya, nona, bahwa engkau kini sudah dikepung oleh kawan-kawanku. Menyerahlah dan berikan semua milikmu agar kami tidak perlu melakukan kekerasan." kata tukang perahu yang kini sikapnya berubah sama sekali. Diapun bangkit berdiri dan tahu-tahu sudah memegang sebatang golok yang tajam mengkilat.

Seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu besar yang berada terdekat dengan perahu kecil itu berseru dengan suaranya yang lantang, "A-sam, jangan lukai gadis itu! Tangkap dan bawa ke sini!"

Suma Eng menjadi marah bukan main. Kini mengertilah ia bahwa ia berhadapan dengan bajak sungai seperti yang sering ia dengar dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang datuk Sungai Huang-ho, dan semua bajak sungai di situ tunduk belaka! kepada ayahnya. Biarpun demikian ia tidak mau menggertak mereka dengan nama ayahnya, la sudah terlampau marah dan mengambil keputusan untuk memberi, hajaran kepada para bajak sungai itu.

"Hemm, kiranya kalian ini adalah anjing-anjing bajak sungai yang tidak tahu diri dan sudah bosan hidup!" la melepaskan buntalan abu jenazah gurunya, menaburkan abu itu ke dalam sungai sampai habis, melepaskan buntalan pakaiannya ke atas perahu dan mencabut pedangnya. Melihat gadis itu menaburkan abu dari buntalan, A-sam, tukang perahu itu, tidak mencegahnya. Akan tetapi ketika melihat gadis itu mencabut pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan dia terkejut. Apalagi ketika tiba-tiba sinar kehijauan itu meluncur ke arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk membuat pedang itu terpental dari tangan pemegangnya.

"Singgg..... trang !" Golok itu patah menjadi dua,

disusul leher A-sam yang putus terbabat sinar kehijauan dan kepalanya terpental dalam air sungai! Suma Eng menendang dengan kaki kirinya dan tubuh itupun terlempar dari tercebur ke dalam sungai. Perahu bergoyang goyang keras dan perahu besar yang ditumpangi kepala bajak yang tinggi besar itu sudah menempel dekat perahu kecil, bahkan hendak menabraknya. Suma Eng maklum bahwa kalau perahunya ditabrak, tentu akan terguling dan iapun akan terjatuh ke dalam air. Maka sebelum perahu kecil itu tertabrak, ia sudah mengenjot tubuhnya, melompat ke atas perahu besar!

Kepala bajak itu bersama anak buahnya segera menyambutnya dengan juluran tangan, seolah sekumpulan kanak-kanak lendak memperebutkan seekor burung. Akan tetapi sinar hijau berkelebat dan empat orang roboh mandi darah dan tewas seketika. Melihat ini, semua bajak itu terkejut dan mereka lalu menyerang dengan golok mereka, dipimpin oleh kepala bajak yang memegang sebatang pedang.

Menghadapi hujan serangan golok ini, Suma Eng mengenjot tubuhnya dan meloncat ke atas atap perahu besar itu, dan dari atas atap ia menerjang lagi ke bawah. Bagaikan seekor burung walet tubuhnya menyambar dan empat orang kembali roboh mandi darah. Sisanya, tiga orang termasuk kepala bajak, menjadi jerih menyaksikan kehebatan gerakan Suma Eng dan tanpa dikomando lagi mereka melompat ke dalam air, meninggalkan perahu mereka.

Akan tetapi mereka bukan hanya mencebur sekedar untuk melarikan diri. Mereka lalu memegang perahu dari bawah dan mengguncang perahu itu, berusaha untuk menggulingkan perahu!

Suma Eng terkejut sekali ketika perahu yang sudah ditinggalkan para bajak itu terguncang hebat, la berusaha mengatur keseimbangan tubuhnya agar jangan terlempar dari perahu, akan tetapi perahu terguncang semakin keras, la melihat betapa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah terbalik. Maka ia menoleh ke kanan, ke arah perahu besar kedua yang sudah mulai mendekat. Setelah memperhitungkan jaraknya, ia mengenjot tubuhnya lagi, dengan cepat dan ringan tubuhnya melompat ke atas perahu besar kedua. Para bajak sungai di perahu itupun menyambutnya dengan serangan golok. Akan tetapi sambil melompat Suma Eng sudah memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung.

"Trang-trang trak-trakk!" Empat batang golok patah-

patah begitu bertemu gulungan sinar kehijauan itu disusul suara jeritan empat orang dan robohnya empat tubuh mereka yang mandi darah. Lima orang yang lain terkejut dan merekapun berlompatan ke dalam air sungai. Mereka melihat betapa hebatnya gadis itu memainkan pedang, hal yang sudah mereka saksikan ketika Suma Eng mengamuk di perahu pertama tadi. Mereka berlima lalu mengguncang perahu itu dan kembali Suma Eng harus mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang ikut terguncang. Ketika ia sudah tidak dapat bertahan lagi, ia melompat ke perahu ke tiga yang tidak berapa jauh dari perahu ke dua itu.

Bagaikan seekor burung terbang, ia melayang ke perahu ke tiga. Akan tetapi di sini ia tidak disambut dengan golok, karena semua yang berada di perahu itu sudah melihat sepak terjang gadis itu di perahu pertama dan ke dua. Mereka semua lalu melompat keluar dari perahu, terjun ke dalam air dan mengguncang perahu ke tiga!

Sedapat mungkin Suma Eng mempertahankan diri agar jangan sampai jatuh keluar perahu. Akan tetapi guncangan itu semakin kuat, membuat perahu miring dan hampir terbalik.

Suma Eng menyarungkan lagi pedangnya di punggung dan dengan susah payah ia mengatur keseimbangannya, melompat ke sana -sini di atas perahu itu dan akhirnya kakinya terpeleset dan iapun terjatuh ke dalam air sungai.

Pada saat itu tampak meluncur perahu kecil.

Penumpangnya hanya seorang. seorang pemuda berpakaian serba kuning. Pemuda ini melihat betapa Suma Eng berada di atas perahu besar kosong yang digoncang dari bawah oleh banyak laki-laki. Dan dia melihat pula betapa gadis itu terjatuh ke dalam air Ia gelagapan timbul tenggelam, tanda hahwa gadis itu tidak pandai berenang! Melihat ini, pemuda itu lalu meloncat ke dalam air lalu berenang dengan amat cepatnya ke arah Suma Eng. Gadis itu telah menjadi lemas dan banyak menelan air. Ketika akhirnya pemuda itu dapat meraih dan merangkulnya, Suma Eng jatuh pingsan sehingga dengan mudah pemuda itu dapat mengangkat dan membawanya berenang tanpa perlawanan. Beberapa orang bajak yang melihat ini, segera berenang mendekati dan mereka menjulurkan tangan untuk merampas tubuh Suma Eng. Namun, biarpun lengan lengannya memanggul tubuh Suma Eng, tangan kiri pemuda itu dapat digerakan ke sana-sini membagi-bagi pukulan dan semua pukulannya mengenai sasaran, membuat para pengeroyoknya terpelanting! Pemuda itu lalu berenang dengan tepat ke arah perahunya yang hanyut terbawa air. Cepat dia menangkap perahunya, melepaskan tubuh Suma Eng ke dalam perahu dan dia sendiri lalu naik dan masuk ke dalam perahunya, menyambar dayung perahunya. Pada saat itu, berapa orang bajak sungai sudah berenang mendekati perahunya. Pemuda itu lalu mengayun dayungnya ke kanan kiri, memukul para bajak sehingga mereka terpaksa menjauh.

Dengan cekatan pemuda itu lalu mendayung perahunya ke tepi sungai. Cepat sekali perahu itu meluncur, menandakan betapa kuatnya pemuda itu mendayung perahu. Setelah tiba di tepi, dia menarik perahunya naik dan mengikat tali perahunya ke sebatang pohon. Setelah itu baru ia menghampiri Suma Eng yang masih telentang pingsan di dalam perahu. Melihat betapa perut gadis itu agak menggembung, tahulah dia apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat tubuh Suma Eng dan dijungkir balikkan tubuh gadis itu sehingga air mengalir keluar dari mulut dan hidung Suma Eng! Semua air yang tadi tertelan masuk ke perutnya kini mengalir keluar.

Setelah itu, dia merebahkan kembali Suma Eng telentang, kini memindahkan ke atas rumput di tepi sungai. Gadis itu menggeletak dengan wajah pucat dan tidak bergerak sama sekali. Pemuda itu mendekatkan jari tangannya ke depan mulut dan hidung Suma Eng dan dia terkejut. Celaka, pikirnya. Gadis ini napasnya terhenti!

Sebagai seorang yang sering melihat korban yang tenggelam dalam air dan tahu akan cara pengobatannya, dia mengambil keputusan tetap. Dia menyingkirkan semua rasa rikuh, dan tekadnya hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang manusia tanpa memperdulikan lagi akan sopan santun dan kesusilaan. Dengan tangan kirinya dia mengangkat leher gadis itu, dengan tangan kanan membuka mulutnya dan menutup hidungnya, kemudian melupakan segalanya kecuali niatnya hendak menolong, diapun mempertemukan mulutnya dengan mulut gadis yang ternganga itu dan meniup sekuatnya! Dia mengangkat mulutnya, lalu menempelkan lagi dan meniup lagi. Perbuatan ini diulanginya sampai lima kali dan dengan girang dia melihat betapa gadis itu sudah dapat bernapas kembali!

Dia merebahkan lagi kepala Suma Eng yang terbatuk-batuk dan gadis itu cepat meloncat bangkit. Wajahnya menjadi merah sekali, sambil berbatuk-batuk ia memandang kepada pemuda itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka orang. Bagaimana ia tidak akan marah. Pada ciuman keempat tadi saja ia sudah siuman dari pingsannya dan melihat serta merasakan dengan penuh kesadaran betapa pemuda itu kembali "mencium"nya untuk terakhir kalinya! Ia hendak meronta ketika dicium dan mulut pemuda itu meniup kuat sehingga ia terbatuk-batuk, akan tetapi entah mengapa, mungkin saking kaget dan marahnya, ketika dicium untuk terakhir kalinya tadi, ia tidak mampu bergerak, semangatnya seperti tenggelam. Baru setelah ia meloncat bangun, ia menjadi marah sekali.

"Jahanam keparat engkau!!" Bentaknya dan tangannya sudah menampar ke arah muka pemuda itu. Akan tetapi dengan sigapnya pemuda itu mengelak mundur. Cepat sekali gerakannya sehingga tamparan itu luput. "Nona, mengapa engkau menyerangku?"

Pemuda itu bertanya dengan heran dan terkejut. Suma Eng menatap wajah itu. Wajah yang tampan dan gagah, tubuh yang tegap dan sedang besarnya. Akan tetapi hal Ini tidak mengurangi kemarahannya.

"Jahanam engkau!" Dan ia menyerang lagi dengan tamparan, sekali ini lebih cepat lagi. Akan tetapi kembali pemuda itu melompat ke belakang dan ketika Suma Eng menyambung serangannya dia menangkis.

"Dukkk!" Pertemuan dua lengan itu membuat si pemuda terhuyung dan hal ini membuat dia terkejut bukan main. Dia merasakan betapa kuatnya tenaga yang ada pada lengan kecil mungil itu.

"Nanti dulu, nona. Dengarkan dulu kata-kataku, setelah itu kalau engkau tetap hendak menyerangku, silakan!"

Suma Eng menahan serangannya. "Engkau hendak bicara apa lagi? Engkau berani..... men ciumku selagi aku

pingsan!" Kemarahan membuat suaranya tergagap, juga ia merasa malu bukan main 1an merasa terhina.

"Nona, kalau nona sudah mengetahui ahwa nona pingsan, bagaimana dalam keadaan pingsan nona dapat berada di tepi sungai ini? Lihat, pakaian nona basah kuyup seperti juga pakaianku. Aku telah menolongmu dari bahaya tenggelam dalam sungai setelah engkau terjatuh dari perahu, dan aku yang menghalau para bajak yang hendak menyerangmu selagi engkau akan tenggelam. Aku menaikkan engkau ke perahuku dan membawamu sampai ke tepi sungai ini "

"Apakah untuk semua itu engkau harus menciumku?

Apakah engkau merasa berhak melakukan apa saja terhadap diriku setelah engkau menolongku? Engkau harus menebus dengan nyawamu!" Suma Eng sudah hendak bergerak menyerang lagi, akan tetapi pemuda itu berseru.

"Nanti dulu, untuk itupun aku mempunyai penjelasan.

Ketahuilah nona. Setelah engkau kubawa ke tepi, aku melihat perutmu kembung penuh air. Maka aku terpaksa harus menjungkirbalikkan tubuhmu sehingga semua air keluar dari mulutmu. Akan tetapi kemudian aku melihat bahwa napasmu terhenti! Engkau terancam maut karena paru-parumu tidak bekerja. Dan aku tahu bahwa untuk menyelamatkanmu dari ancaman maut, jalan satu-satunya hanya meniupkan hawa melalui mulut ke dalam paru-parumu sehingga paru-paru itu bekerja kembali dan engkau dapat bernapas lagi. Sama sekali aku tidak berniat berbuat tidak sopan atau melanggar susila. Yang teringat olehku hanya untuk menyelamatkan sebuah nyawa, tidak ada apa-apa lagi. Kalau engkau tidak percaya kepadaku dan hendak mem bunuhku, silakan!"

Pada saat itu, tampak banyak orang muncul dari sungai dan berteriak-teriak, "Itu mereka! Tangkap! Bunuh!" Dua puluh lima bajak berloncatan ke tepi sungai dengan golok di tangan, dipimpin oleh kepala bajak yang tinggi besar itu.

Mereka semua marah bukan main karena gadis itu telah membunuh banyak kawan mereka.

Suma Eng menjadi marah kepada para bajak sungai itu.

Tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang Ceng-liong-kiam dari punggungnya dan menyambut para bajak sungai yang menyerang. juga pemuda itu mencabut sebatang pedang lalu melawan ketika dia dikeroyok banyak bajak sungai.

Ternyata pemuda itu lihai juga. Gerakan pedangnya indah dan bagi ahli pedang kalau melihat gerakan pedangnya tentu akan mengetahui bahwa dia memainkan ilmu pedang dari partai persilatan Kun-lun-pai. Pedangnya bergerak naik turun seperti seekor naga bermain di angkasa dan banyak golok terpental ketika bertemu dengan pedangnya, bahkan beberapa batang golok terlepas dari pemegangnya. Akan tetapi, pemuda itu tidak menggunakan pedangnya untuk merobohkan para pengeroyok, melainkan menggunakan kedua kaki dan tangan kiri nya untuk merobohkan mereka tanp membunuh. Dalam beberapa gebraka saja sudah ada empat orang bajak sunga yang roboh oleh tendangan atau tamparannya.

Gerakan Suma Eng jauh lebih ganas Ketika pedangnya berdesing dan membentuk sinar kehijauan yang bergulung- gulung, cepat sekali pedang itu mendapatkan korban.

Berturut-turut lima orang pengeroyok sudah roboh dan tewas seketika, terbacok atau tertusuk pedang.

Melihat betapa lihainya gadis dan pemuda itu, kepala bajak sungai berteriak memberi aba-aba dan mereka semua lalu berloncatan ke dalam air sungai, menyelam dan berenang melarikan diri.

Suma Eng berdiri di tepi sungai, pedang di tangan dan ia membanting kaki dengan gemas. "Sayang mereka melarikan diri lewat air. Kalau lewat darat, mereka akan kubunuh semua!" katanya.

Pemuda berbaju kuning Itu menyarungkan pedangnya dan menghampiri Suma Eng. "Nona, kalau ada kesempatan, jauh lebih baik memberi ampun kepada mereka daripada membunuh mereka. Berilah kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan hidup melalui jalan benar."

Suma Eng memutar tubuhnya dan memandang kepada pemuda itu. Ia kini tidak marah lagi. Ia telah ditolong, bahkan diselamatkan nyawanya. Bagaimana ia dapat marah? Tentang "ciuman" itu, karena itu perlu untuk menyelamatkan nyawa, sebaiknya akan ia lupakan saja, kalau dapat.

"Mereka bertaubat? Jangan mimpi, sobat. Tidak ingatkah engkau, berapa anyak orang yang tidak berdosa mereka bunuh, wanita lemah mereka hina? Orang orang seperti itu tidak akan mau bertaubat, dan sudah saatnya nereka itu dihukum mati!"

Pemuda itu menghela napas panjang akan tetapi tidak membantah. "Nona, bajumu basah kuyup, aku khawatir kalau engkau akan masuk angin dan sakit."

Hampir Suma Eng tertawa. Ia masuk angin? Betapa lucunya ucapan itu. Tubuhnya yang terlatih dan kuat, sehat dan segar bugar, tidak mungkin masuk angin. Akan tetapi ia segera merasakan betapa tidak enaknya mengenakan pakaian yang basah kuyup! Ia menoleh ke arah sungai dan berkata dengan gemas. "Keparat-keparat itu! Buntalan pakaianku hanyut dan hilang entah ke rnana! Berikut uangku! Aku tidak dapat berganti pakaian, keparat!"

Pemuda itu tampak bengong melihat gadis itu marah- marah dan maki-makian demikian mudahnya meluncur dari sepasang bibirnya yang manis dan merah basah itu.

"Nona " dia menahan kata-katanya, takut kalau-kalau

gadis itu akan marah.

Suma Eng menengok dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Engkau mau bicara apa sih? Katakan, apa maumu?"

Pemuda itu semakin gugup. "Nona, kalau sudi, engkau dapat berganti pakaian dan pakailah satu stel pakaianku yang kering dan bersih." Tanpa menanti jawaban dia lalu mengambil buntalan pakaiannya dari perahu, membuka dan mengeluarkan sestel baju dan celana yang baru dan bersih berwarna kuning. Tanpa berkata-kata lagi dia menyerahkan setumpuk pakaian itu kepada Suma Eng.

Gadis itu ragu-ragu akan tetapi menerima juga ketika melihat bahwa pakaian itu bersih dan kering. Akan tetapi ia ragu-ragu lagi. Bagaimana ia dapat berganti pakaian? Agaknya pemuda itu maklum akan hal ini. "Nona, di sana ada batu besar. Engkau dapat berganti pakaian di balik batu itu."

Suma Eng menoleh dan benar saja. Tak jauh dari situ terdapat sebuah batu besar dan ia sama sekali tidak akan tampak kalau berada di balik batu itu. Ia mengangguk lalu melangkah ke arah batu besar dan menghilang di balik batu. Pemuda itu lalu duduk menghadap ke arah air sungai sambil melamun. Dia merasa betapa hatinya terpikat dan jatuh terhadap gadis itu. Betapa cantik jelitanya, manis menarik. Dia tertarik sekali dan timbul rasa sayang kepada gadis itu. Gadis yang lihai bukan main. Melihat sepak terjangnya tadi ketika menghadapi pengeroyokan para bajak, dia dapat menduga bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat hebat namun juga ganas sekali!

Akan tetapi sayang, gadis itu liar dan ganas sekali! Begitu mudahnya membunuh orang! Gadis ini membutuhkan bimbingan karena kalau tidak ia dapat terjerumus ke dunia sesat yang penuh kekejaman. Sayang sekali kalau sampai terjadi demikian. Gadis itu masih demikian muda.

"Wah, aku menjadi seperti laki-laki!" terdengar suara dan pemuda itu memutar tubuh. Dia melihat gadis tadi sudah mengenakan pakaian miliknya, agak kebesaran dan tampak lucu karena pakaian itu pakaian pria sedangkan tata-rambut itu masih menujukkan bahwa ia seorang wanita.

"Nona, kurasa itu bahkan baik sekali. Kenapa engkau tidak menyamar saja sebagai pria? Atur rambutmu itu agar tata rambutnya seperti tata-rambut pria. Sebagai pria engkau tentu tidak akan mengalami gangguan dalam perjalanan, lebih leluasa."

Wajah Suma Eng berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ah, bagus juga pendapat-rnu itu! Akan tetapi bagaimanakah dandanan rambut seorang pria? Aku tidak bisa " "Maaf, kalau boleh aku membantumu. Rambutmu itu harus diikat ke atas dengan pita rambut. Aku masih mempunyai beberapa helai pita rambut." Pemuda itu mencari-cari dalam buntalannya dan mengeluarkan sehelai pita rambut berwarna biru. "Maaf, kalau boleh, aku dapat menata rambutmu seperti seorang pria, nona."

"Tentu saja boleh. Lakukanlah!" Suma Eng lalu duduk di atas batu dan pemuda itu lalu menata rambutnya. Dia mengedarkan sebuah sisir dan menyisir rambut Suma Eng ke atas, lalu mengikatnya dengan pita rambut biru.

"Untung engkau tidak biasa memakai hiasan telinga dan daun telingamu juga tidak dilubangi sehingga engkau kini tampak sebagai seorang pemuda remaja aseli. Kalau engkau dapat membesarkan sedikit suaramu, tentu tidak ada seorang pun yang menduga bahwa engkau seorang wanita."

Suma Eng merasa gembira sekali Seperti seorang anak kecil ia lalu turun dari atas batu, berlagak dan mengambil sikap seperti seorang pria tulen dan berkata dengan suara dibesarkan, "Aku Suma Kongcu (Tuan Muda Suma) dari kota raja Peking, perkenalkanlah!" Lagaknya dibuat buat seperti seorang pria tulen dan pemuda itu mau tidak mau tertawa dibuatnya karena tingkah gadis yang lucu itu.

Melihat pemuda itu tertawa, Suma Eng baru ingat bahwa pemuda itu telah menolongnya dan bahwa ia sama sekali belum mengenalnya, maka lapun bertanya. "Sobat, siapakah namamu?"

"Aku she (marga) Gui bernama Song Cin. Aku berasal dari Lok-yang di Propinsi Ho-nan dan baru saja aku turun gunung setelah beberapa tahun belajar ilmu silat di Kun-lun-pai."

"Hemm, jadi engkau murid Kun-lun-pai? Pantas engkau lihai. Akan tetapi bagaimana engkau pandai bermain di air?"

"Kampung halamanku di dusun Si-tek-bun daerah Lok-yang di tepi sungai Huang-ho dan ayahku menjadi pedagang ikan. Aku sejak kecil sudah biasa bermain di Sungai Huang-ho, maka aku pandai berenang."

"Saudara Gui Song Cin, aku berterima kasih atas pertolongan tadi, juga atas pemberian pakaian ini. Aku bernama "

"Engkau she Suma " potong Song Cin dan Suma Eng

tersenyum.

"Benar, aku she Suma dan namaku Eng. Aku biasa dipanggil Eng Eng."

"Dari manakah asalmu, Eng-moi (adik Eng). Aku boleh menyebutmu Eng-moi, bukan?"

"Hemm, boleh saja karena engkau tentu lebih tua. Usiaku baru delapan belas tahun. Engkau tentu lebih tua."

"Aku sudah dua puluh satu tahun. Dari mana engkau berasal dan siapakah erang tuamu, Eng-moi?"

"Orang tuaku tinggal ayahku saja. akan tetapi dia seorang perantau yang tidak diketahui di mana dia sekarang, Aku juga baru saja turun gunung, dari Puncak Ekor Naga di Cin-ling- san."

"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama besar gurumu di sana, Eng-moi?" tanya Song Cin sambil menggantungkan matanya pada bibir gadis itu. Betapa manisnya bibir itu, apalagi kalau tersenyum.

"Kuberitahu juga engkau tidak akan mengenalnya, Cin-ko (kakak Cin). Almarhum guruku itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin, seorang pertapa di Puncak Ekor Naga di pegunungan Cin-ling- san."

"Hwa Hwa Cinjin? Aku belum pernah mendengar nama itu.

Mungkin kalau para suhu di Kun-lun-pai sudah mendengarnya." "Tentu saja. Guruku itu dahulu terkenal sekali di dunia persilatan."

"Tentu gurumu itu sakti dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi."

"Tentu saja, Cin-ko. Kurasa tidak ada orang di dunia ini yang mampu menandingi mendiang guruku itu. Ayahku juga seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Ayah adalah murid keponakan dari mendiang Hwa Hwa Cinjin. Julukan ayah ku adalah Huang-ho Sin-liong, namanya Suma Kiang." Suma Eng memperkenalkan dengan nada penuh kebanggaan.

Gui Song Cin mengerutkan alisnya. "Huang-ho Sin-liong? Ah, aku pernah mendengar julukan itu dari guruku. Kabarnya dia seorang datuk yang menguasai Lembah Sungai Huang-ho, akan tetapi telah bertahun-tahun tidak pernah muncul !agi."

"Memang selama bertahun-tahun Itu ayahku merantau ke utara. Sekarang aku pun sedang mencarinya."

Percakapan terhenti dan suasana menjadi hening. Song Cin menatap wajah gadis itu dan ketika Suma Eng kebetulan juga memandangnya, dua pasang mata bertemu dan jantung Song Cin terguncang. Betapa indahnya sepasang mata itu! Dalam pandangannya, segala gerak gerik gadis itu amat mempesona, begitu cantik jelita dan manisnya seperti gambaran seorang bidadari! Terasa benar oleh Song Cin betapa dia sudah jatuh cinta ada gadis itu.

Cinta mendatangkan khayalan yang muluk-muluk dan indah-indah. Padahal, pada hakekatnya cinta asmara adalah Nafsu yang terselubung pakaian yang svrba indah dan halus sehingga tampak bersih dan mengharukan. Cinta adalah Nafsu sex yang wajar, dan seperti biasanya nafsu selalu berpamrih. Pamrihnya adalah kesenangan bagi dirinya sendiri, nafsu adalah aku yang ingin memiliki, ingin senang sendiri. Kalau kita meneliti kepada diri sendiri, mengamati dengan waspada "cinta" kita yang kita anggap suci dan mulia, maka akan tampaklah bahwa di balik semua kehalusan dan keindahan itu bersembunyi nafsu yang mengerikan. Kita mencinta pacar kita, bahkan isteri kita. Akan tetapi cinta kita itu berpamrih untuk kesenangan diri kita sendiri. Kalau si pacar atau isteri itu tidak mencinta kita, tidak melayani kita dengan baik, kalau tidak setia, ke manakah larinya cinta kita yang kita dengung- dengungkan itu? Bukan hanya akan lenyap, bahkan mungkin berganti benci! Cinta kita itu hanya seperti jual beli di pasar saja. Kita beli dengan cinta kita, akan tetapi kita minta balasan yang lebih lagi. Memang sebuah kenyataan yang pahit sekali. Cinta asmara yang sejak dahulu dipuja-puja semua orang, sehingga nuncul istilah-istilah cinta suci, cinta murni dan sebagainya, setelah diamati benar-benar, ternyata hanyalah harimau berbulu domba! Cinta asmara tidak lain hanyalah gairah berahi, tidak lain hanyalah nafsu sex yang berpakaian indah.

Apakah kalau begitu kita harus meniadakan cinta jelmaan nafsu sex ini? Tentu saja tidak, karena hal Itu tidak mungkin. Sejak kita lahir, kita telah disertai nafsu nafsu, di antaranya nafsu sex. Akan tetapi nafsu ini hanyalah peserta, hanya pelayan, untuk melengkapi hidup ini karena tanpa adanya nafsu sex, manusia tidak akan berkembang biak. Kita dapat mempergunakan nafsu sex ini pada tempatnya yang wajar, misalnya dalam hubungan suami isteri. Akan tetapi kalau kita lengah, dan nafsu sex ini menguasai kita, mencengkeram hati akal pikiran kita, maka nafsu sex dapat menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang sesat, seperti misalnya pelacuran, perjinahan, perkosaan.

Seperti dengan nafsu-nafsu lain, nafsu sex merupakan peserta yang teramat penting bagi kehidupan, akan tetapi di lain pihak dia juga dapat menjerumuskan kita ke dalam malapetaka kalau kita sampai dicengkeramnya. Lalu bagaimana baiknya? Nafsu itu lawan akan tetapi juga kawan. Nafsu itu kawan kalau kita mampu mengendalikannya, dan menjadi lawan kalau kita dikuasainya. Jadi jalan keluarnya, kita hanya dapat mengendalikannya. Akan tetapi mampukah kita? Mengendalikan nafsu apapun merupakan pekerjaan yang teramat sukar sekali, bahkan hampir tidak mungkin. Kalau kita hanya mempergunakan hati akal pikiran saja untuk mengendalikan, kebanyakan kita akan gagal karena hati-akal- pikiran sendiri sudah bergelimang nafsu sehingga bukannya mengendalikan nafsu, bahkan membela dan membenarkan nafsu. Semua pencuri di seluruh dunia ini tahu belaka bahwa mencuri itu tidak baik, akan tetapi mereka tidak dapat menghentikan perbuatan mereka karena hati akal pikiran mereka bahkan membela perbuatan mencuri itu dengan berbagai dalih. Karena terpaksa, karena ingin menghidupi keluarga, dan sebagainya lagi.

Satu-satunya jalan untuk dapat menguasai nafsu sendiri hanyalah datang dari Tangan Tuhan. Kita serahkan segalanya kepada Tuhan dan mohon bimbinganNya dan atas kehendakNya sajalah nafsu dalam diri kita dapat kita kuasai. Hati akal pikiran, yaitu kesatuan dari aku, hanya mengamati saja sambil pasrah kepada Kekuasaan Tuhan. Si aku tidak bergerak lagi, yang ada hanyalah Kewaspadaan, yaitu waspada dalam mengamati diri sendiri luar dalam, dengan mawas diri.

Dalam menghadapi segala kepalsuan sebagai ulah nafsu ini, ada satu pegangan hagi batin untuk memperkuat diri. Pegangan itu ialah Kewajiban. Kalau kita memegang teguh dan melaksanakan kewajiban dalam kehidupan, maka batin kita kuat menghadapi segala godaan dan serangan yang datangnya dari nafsu kital sendiri. Kewajiban itu ada di segala waktu. Kewajiban sebagai seorang anak, kewajiban sebagai seorang sahabat, kewajiban sebagai seorang kekasih, sebagai seorang suami atau isteri, sebagai se-orang ayah atau ibu, dan seterusnya.

Memenuhi semua kewajiban sambil menyerahkan diri kepada Kekuasaan Tuhan akan membuat kita menjadi manusiai seutuhnya, menjadi manusia yang selalu memenuhi kewajiban, kewajiban sebagai manusia, sebagai warga negara dan bang-sa.

Gui Song Cin jatuh dalam perangkap cinta. Tidaklah aneh kalau dia jatuh cinta kepada Suma Eng. Sembilan dari sepuluh orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepada gadis itu karena gadis itu memang cantik jelita! Andaikata gadis itu buruk rupa, belum tentu Song Cin! akan jatuh cinta. Begitu perasaannya jatuh cinta, berarti dia telah memberi beban duka kepada batinnya.

Melihat gadis itu bangkit berdiri dan berkata, "Nah, aku harus pergi sekarang', dia merasa terkejut dan juga khawatir. Dia akan ditinggalkan oleh orang yang membuatnya tergila gila ini! Dan hal ini, perpisahan ini, agaknya tidak mungkin dapat dicegah lagi. Dia akan merasa kesepian, rindu dan kehilangan!

"Eng-moi, engkau hendak pergi ke lanakah?" tanyanya cepat seolah hendak mencegah kepergian gadis itu dengan pertanyaan ini.

"Aku hendak mencari sarang dari para bajak sungai bertali rambut merah itu. Semua pakaian dan uangku habis, hanyut di sungai karena ulah mereka. Mereka arus membayar untuk semua kehilangan nu!" kata Suma Eng tegas.

Wajah Song Cin berseri penuh harapan. "Apakah engkau sudah tahu di mana sarang bajak sungai itu, Eng-moi?"

Suma Eng memandang bingung dan nenggeleng kepalanya. "Apakah engkau tahu, Cin-ko?"

Song Cin mengangguk. "Aku tahu. Aku pernah mendengar tentang Bajak Ikat Rambut Merah ini. Mari kutunjukkan!"

"Bagus! Mari kita berangkat, Cin ko." Dua orang itu segera pergi dari sit mendorong perahu dan naik ke perahu kecil itu, kemudian Song Cin mendayuni perahu itu ke barat.

"Agaknya engkau mengenal daerah ini dengan baik, Cin- ko." kata Suma Eng.

"Tentu saja aku banyak mengenal tempat di sepanjang Sungai Huang-ho ini Kampung halamanku, dusun Si-tek-hui berada di tepi Huang-ho, tidak begitu jauh dari sini, dua hari perjalanan dengai perahu ke hilir."

"Jauhkah sarang bajak itu, Cin-ko?"

"Kalau aku tidak salah duga, sebelum sore kita sudah akan tiba di sana. Mereka mempunyai sebuah perkampungan bajak di tepi sungai. Akan tetapi setelah kita tiba di sana, apa yang hendak kau lakukan Eng-moi?"

"Apa yang hendak kulakukan terhadaf anjing-anjing itu?

Tentu akan kubasmi mereka sampai habis, terutama pemimpin mereka, akan kubunuh!"

Song Cin merasa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah ganasnya gadis ini. "Akan tetapi, Eng-moi, engkau tidak boleh membunuh mereka semua!"

"Mengapa tidak boleh? Mereka itu teluh menggangguku, melenyapkan pakaian lan uangku, dan hampir saja membunuhku!" kata Suma Eng dengan penasaran.

"Memang mereka jahat dan pekerjaan ereka memang merampok. Akan tetapi ingatlah, mungkin mereka itu juga mempunyai anak isteri yang tentu akan menderita kalau engkau membunuhi ayah dan uami mereka."

"Hemm, kalau menurut engkau bagaimana?"

"Sebaiknya suruh saja mereka menyerah, mengembalikan atau mengganti milik mu yang hilang, kemudian mereka disuruh berjanji untuk bertaubat, sarangnya bakar dan mereka diharuskan kembali hidup sebagai rakyat yang baik. Kiranya tu sudah lebih dari cukup, Eng-moi."

"Kita lihat saja bagaimana sikap mereka nanti. Kalau mereka tidak mau menyerah dan menyerangku, tentu mereka akan kubunuh."

"Aku mendengar bahwa Bajak Ikat Rambut Merah memiliki seorang ketua yang lihai sekali, Eng-moi. Kita harus berhati- hati."

"Wah, aku tidak takut! Dan setelah aku menyamar sebagai pria, sebaiknya tempat umum engkau tidak menyebut aku Eng-moi. Sebutan itu tentu akan membuat semua orang terheran dan kemudian tahu bahwa aku seorang wanita Maka percuma saja penyamaranku."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar