Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) Jilid 09

Jilid 09

“Biarlah peristiwa ini akan dapat menyadarkanmu,” kata Hwat Kong dengan sabar kepada Thio Lok. “Karena, kalau betul kau murid Khai Sin Susiok, kaupun terhitung suteku sendiri.”

Thio Lok sambil memegang-megang pahanya yang berdarah, memandang mereka dengan benci dan marah. “Tak usah banyak cakap, kalau memang kalian berani, tidak perlu mengandalkan banyak tenaga untuk menghina seseorang, datanglah saja pada saat yang ditentukan di tempat kami!”

Hwat Khong Hwesio menghela napas. “Dasar kau mencari mampus sendiri.”

Sementara itu Kong Sin Ek menjura kepada ketiga Lojin dari Ki-lee itu. “Sam-wi, maafkan kami yang telah mengganggu malam ini. Harap saja sam-wi dapat insyaf bahwa sebenarnya sam-wi telah kena dibujuk orang. Nah, sampai ketemu lagi, sam-wi suhu.”

Kong Sin Ek dan kawan-kawannya, berikut Cin Han yang mendapat isyarat mata dari Lian Hwa supaya ikut meninggalkan tempat itu dan menuju ke kelenteng di luar kota. Ketika mereka sedang berjalan, Lian Hwa sengaja berjalan di sebelah Cin Han dan dengan perlahan dan halus berkata. “Cin Han twako, kau sudah memaafkan aku?”

Cin Han tersenyum. “Aku yang salah dan aku yang minta maaf padamu, Lian-moi.” Lian Hwa diam saja dan mukanya menjadi merah. Kemudian, tiba-tiba ia bertanya, “Dia ada di mana, twako?”

“Dia……? Siapa……??”

“Siapa lagi? Tentu Coa-siocia kawan baikmu itu……” “Oh…… dia……, dia kini menjadi anak Gan-siokhu.”

Kemudian dengan ringkas Cin Han menceritakan betapa sengsara keadaan Coa Giok Lie yang ditinggal mati oleh orang tuanya.

Fajar telah menyingsing ketika mereka tiba di kelenteng Khun-lim-bio yang diketuai oleh seorang hwesio kenalan Hwat Kong. Semua orang segera beristirahat.

Pada sore harinya, setelah mengaso sehari, Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas mengundang semua kawan berkumpul di ruang belakang, yaitu di tempat berlatih silat, untuk diajak berunding. Setelah semua orang duduk, Nyo Tiang Pek murid pendekar Kam Hong Tie ini sambil memandang wajah Cin Han berkata, “Cuwi sekalian, sekarang kita tidak perlu ragu-ragu lagi akan keadaan saudara Lo Cin Han yang tadinya mencurigakan. Ternyata ia benar-benar terkena tipu orang Kwi-coa-pai dan boleh dikata ia sehaluan dengan kita.”

Sambil berkata begini ia mengerling ke arah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa yang tahu arti kerlingan ini, maka dengan menggigit bibir ia berdiri membuat pengakuan.

“Saudara Cin Han. Biarlah dihadapan semua enghiong ini aku mengaku padamu bahwa sebenarnya akulah orangnya yang tadinya mencurigaimu, kukira kau…… kau juga menjadi…… pengkhianat!”

Cin Han memerah muka. “Ah, sudahlah jangan dipercakapkan lagi hal ini yang hanya membuat aku malu saja. Semua adalah salahku sendiri, mudah saja tertipu orang……”

“Kau benar, saudara Cin Han. Biarlah kali ini menjadi pelajaran dan menambah pengalamanmu agar lain kali jangan mudah terbujuk pula,” kata si Garuda Kuku Emas dengan suara tetap.

“Nah, sekarang, baiklah kita membicarakan tentang tantangan Thio Lok untuk datang ke sarang Pek- lian-kauw pada malam kelimabelas musim chun nanti.”

Kong Sin Ek berdiri dan berkata, “Aku pernah mendengar tentang bukit Hong-lai-san ini yang mempunyai banyak tempat-tempat yang dipasang jebakan dan rahasia sehingga menjadi tempat yang berbahaya, sekali. Tidak kusangka bahwa tempat ini telah digunakan oleh Pek-lian-kauw sebagai sarang pusat. Sebelum sampai saat tantangan itu, kurasa lebih baik kita pergi melakukan penyelidikan dulu.”

“Bagaimana kalau kita berenam pergi menyelidiki?” usul Pek Siong Tosu.

Nyo Tiang Pek biarpun masih muda tapi sudah banyak merantau dan ia berhati-hati sekali, maka mendengar usul Pek Siong Tosu ini ia menggeleng-gelengkan kepala. “Memang harus dilakukan penyelidikan, tetapi jangan semua pergi, hal ini kurang leluasa. Kita harus memilih seorang diantara kita yang cukup berkepandaian untuk pergi melakukan penyelidikan.”

“Ada satu hal yang penting juga,” Hwat Khong Hwesio berkata. dengan suara sabar. “Bukankah pedang kebesaran dari kerajaan Beng-tiauw juga kabarnya terjatuh di tangan kaum Pek-lian-kauw? Kalau mungkin, sambil menyelidiki sarang mereka sekalian mencari pedang itu, karena pedang itu kalau berada di tangan mereka, dapat mereka gunakan untuk menipu dan membujuk para hohan untuk memihak mereka dengan mengatakan bahwa mereka berniat membangun kerajaan lama kembali dan merobohkan kerajaan Boan, padahal merekalah yang menjadi kaki tangan pemerintah Boan.”

Semua orang mengangguk-anggukkan kepala mendengar keterangan yang berharga dan penting ini. “Tugas penyelidikan ini tidak ringan. ” kata Nyo Tiang Pek.

“Siapakah yang pantas pergi?” tanya Kong Sin Ek. “Bagaimana kalau aku pergi?” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa. Yang lain-lain saling memandang.

“Kepandaian lihiap aku yang tua sudah mengetahuinya. Lihiap paling tinggi kepandaiannya dalam hal ginkang hingga pekerjaan ini memang tepat sekali,” kata Kong Sin Ek.

“Tetapi sumoi kurang pengalaman,” bantah Hwat Khong Hwesio biarpun dia juga sudah yakin akan kelihaian sumoinya itu.

Pek Siong Tosu memegang-megang jenggotnya yang putih dan panjang. “Menurut pendapatku, memang Lihiap boleh dipercaya dan boleh diharapkan akan berhasil. Kurasa selain Lihiap atau Nyo- taihiap sendiri, tidak ada orang lain yang lebih cocok. Tapi Nyo-taihiap perlu mengumpulkan kawan- kawan lain untuk menghadapi Pek-lian-kauw karena pinto tahu betul betapa lihainya pengurus- pengurus Pek-lian-kauw, jangan dikatakan lagi ketuanya yaitu Bong Cu Sianjin!”

Cin Han dengan mata tajam memandang Nyo Tiang Pek. Dia maklum bahwa biarpun masih muda, orang she Nyo ini agaknya menjadi pemimpin golongan anti kaisar ini, dan orangnya pun sangat hati- hati.

Nyo Tiang Pek menghela napas dan memandang Lian Hwa. “Biarlah aku sendiri saja yang pergi melakukan penyelidikan.”

“Eh, mengapa? Kau tidak percaya padaku?” tegur Lian Hwa dan Cin Han mendengar Lian Hwa menyebut si Garuda Kuku Emas itu dengan “kau” saja, hatinya berdebar cemburu.

“Bukan tidak percaya, tetapi aku khawatir kau akan mendapat bencana.”

Cin Han melihat ujung bibir Hwat Khong Hwesio bergerak mengarah senyum.

“Bagaimana kalau kalian berdua yang pergi? Yang seorang bertugas menyelidik dan yang Iain bertugas mencari pedang kerajaan.” Hwat Khong Hwesio mengusulkan. Yang lain-lain hanya saling memandang dan kedua mata Lian Hwa memandang kepada Cin Han dengan mengandung pertanyaan mengapa pemuda itu berdiam diri saja.

Cin Han segera berdiri. “Kalau Lihiap pergi, Nyo-taihiap tidak tega sedangkan kalau Nyo-taihiap yang pergi, maka pekerjaan di sini terbengkelai. Maka, biarlah aku yang bodoh menawarkan diri untuk pergi melakukan kedua tugas itu.”

“Kau??” Hwat Khong Hwesio tidak tahan pula untuk tidak membuka mulut. “Saudara muda, jangan kau main-main, sarang Pek-lian-kauw itu berbahaya sekali dan kau masih begini muda.”

“Tapi lo-suhu tadi mendengar sendiri bahwa sumoi-mu dipilih, sedangkan menurut pandanganku, aku tidaklah lebih muda daripada Lihiap!”

Hwat Khong tersenyum mendengar jawaban kekanak-kanakan ini, dan dia hanya berkata, “Kalau dia lain lagi……” “Akupun pernah mendengar nama Hwee-thian Kim-hong, dan agaknya sicu baru saja muncul di kalangan kang-ouw telah membuat nama besar, maka tentang kepandaian tidak perlu disangsikan lagi. Tapi, kuharap sicu berhati-hati, karena dalam hal ini lain lagi dengan jika kita menghadapi para bajak biasa saja. Pek-lian-kauw penuh orang-orang lihai dan sungguh berbahaya......” Kong Sin Ek memperingatkan. “Memang kalau Lihiap atau Nyo-taihiap aku lebih merasa tenang hati karena terus terang saja aku yang tua ini tunduk betul terhadap kepandaian mereka.”

Nyo Tiang Pek sendiri tidak berkata apa-apa, hanya ia memandang Cin Han dengan tajam seakan- akan hendak mengukur tenaga dan kepandaian orang, tapi Cin Han tampak lemah-lembut, lebih lagi karena pada saat itu dia telah memakai baju luar yang lebar, baju seorang sasterawan.

“Bagaimana pendapatmu, adikku?” akhirnya ia bertanya kepada Lian Hwa.

Gadis ini dengan tersenyum memandang wajah Cin Han lalu menjawab pertanyaan Nyo Tiang Pek.

“Nyo-twako, kepandaianmu aku sudah tahu dan pernah pula kita mencoba tenaga. Tapi saudara Lo ini orang baru dan kita belum mengenal tentang kepandaiannya. Bagaimana kalau kau mencobanya lebih dulu untuk kemudian memutuskan apakah dia cukup kuat untuk dipercayai tugas berat ini?” Sambil berkata begini, ia memandang wajah Cin Han dengan mata lucu dan mulut tersenyum.

Cin Han mengerti bahwa gadis ini sedang mengeluarkan sifat nakalnya.

Tapi diam-diam Cin Han makin tidak senang melihat betapa akrab agaknya hubungan antara Lian Hwa dengan Nyo Tiang Pek. Maka ia ingin mendapat kepastian dan mulai bersikap biasa terhadap Lian Hwa, yaitu ia tidak menyebut “lihiap” lagi, tetapi menyebut “adik” dan tidak menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah lama kenal kepada gadis itu. Dengan tenang ia berkata,

“Sudahlah, adik Lian, mengapa kau hendak mempermainkan aku? Mana aku berani mencoba tenaga dengan Nyo-taihiap? Jangan-jangan aku akan terluka hebat dan lenyaplah harapanku untuk membantu kalian menyelidiki Pek-lian-kauw!”

“Eh, eh, siapa yang mempermainkan kau, Han-ko? Mereka ini belum tahu kelihaianmu, maka biarlah kau dicobanya agar semua mengerti sampai di mana tingkat kepandaianmu.”

Semua orang heran sekali melihat sikap dan mendengar pembicaraan mereka, lebih-lebih Hwat Khong Hwesio, ia memandang wajah sumoinya dengan mata terbelalak, sedangkan si Garuda Kuku Emas menekan perasaan hatinya yang tidak enak.

“Eh, sumoi, jadi kau sudah kenal baik dengan saudara Cin Han? Belum pernah kauceritakan padaku sedikit juga tentang dia!”

Sumoinya tersenyum manis. “Sudah dua kali aku bertempur melawan Han twako! Dan kedua kalinya aku tidak berdaya sedikit juga. Yang pertama kali pedangku terampas, yang kedua kali ia melawan dengan tangan kosong.” Semua orang memandang kepada gadis itu dengan mata menyatakan tidak percaya, sementara itu Cin Han memerah muka dan mencegah gadis itu mengobrol lebih lanjut.

Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa berdiri dan mencabut pedangnya. “Kalian tidak percaya? Nah, saksikanlah sendiri!” Kemudian ia meloncat ke tengah ruang bermain silat dan melambaikan tangannya kepada Cin Han. “Twako, hayo kita main-main.”

Cin Han memang sudah mendapat pikiran untuk memperlihatkan kepandaiannya agar tidak dipandang sebelah mata oleh semua hohan, juga ia melihat gerakan Lian Hwa demikian ringan dan gesit bagaikan seekor burung walet yang sesungguhnya jauh jika dibandingkan dengan dahulu, maka timbul kegembiraannya untuk mencoba-coba kepandaian gadis itu. Maka ia berdiri dan menjura kepada semua orang.

“Cuwi harap maafkan siauwte.”

Dan orang tidak melihat ia membuat gerakan, tapi tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke depan Lian Hwa.

“Moi-moi jangan melukai aku lagi,” katanya perlahan kepada Lian Hwa yang tiba-tiba tertusuk hatinya mendengar ucapan ini.

Melihat gadis itu seakan-akan tertampar mukanya dan kini kedua matanya menjadi merah, Cin Han merasa menyesal sekali mengapa ia mengingatkan kembali hal itu, maka buru-buru ia menyambung kata-katanya. “Maafkan mulutku yang lancang, lukaku dulu tidak berarti, hanya tergores sedikit di kulit pundak!”

Ang Lian Lihiap tersenyum manis dan menarik sekali dalam pandangan Cin Han, dan terdengar olehnya merdu sekali ketika gadis itu berkata, “Twako, selama hidup aku takkan dapat melupakan peristiwa itu, dan selama hidup aku takkan dapat memaafkan kebodohanku itu.”

“Tidak…… tidak, moi-moi, aku hanya main-main.” Cin Han buru-buru berkata. Lian Hwa tersenyum lagi dan berbisik, “Twako, kau memang berhati mulia.”

Sementara itu, semua orang yang ingin melihat sebuah pertempuran adu tenaga yang menarik, tentu saja heran sekali melihat mereka berdua hanya bercakap-cakap perlahan yang tidak terdengar oleh mereka.

“Eh, eh, ini mau adu tenaga atau adu lidah?” Kong Sin Ek berkata sambil tertawa.

Ang Lian Lihiap tersenyum lagi. “Awas, twako, perlihatkan kegesitanmu dan lawanlah aku dengan tangan kosong!” Lian Hwa lalu menggunakan Sian-liong-kiam di tangannya menyerang hebat.

Cin Han dengan cepat membuka dan melempar baju luarnya sehingga baju dalam yang terlukis burung Hong indah itu membuat ia tampak cakap dan gagah sekali. Serangan Lian Hwa dikelit cepat dan sebentar kemudian tidak nampak bayangan mereka, tergulung sinar pedang yang dimainkan oleh Lian Hwa secara hebat. Sian-liong-kiam-hwat ciptaan Ong Lun sesungguhnya jarang tandingannya, tapi Cin Han yang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa serta otak yang cerdik sudah dapat menyelami ilmu pedang itu sehingga ia dapat berkelit sambil balas menyerang ke arah pergelangan tangan lawan untuk mencoba merampas pedang.

Namun Lian Hwa sekarang bukanlah Lian Hwa yang dulu ketika bertempur dengan dia di atas rumah Gan Keng Hiap. Ang Lian Lihiap yang sekarang sudah menerima latihan dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan.

Kini melihat Cin Han ternyata jauh lebih lihai daripada dulu, diam-diam ia kagum sekali, maka ia segera mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang dipelajari dari Song Cu Ling, kedua kakinya seakan-akan tidak menginjak tanah lagi. Pedang di tangan kanan dimainkan dengan ilmu-ilmu paling lihai dari Ilmu Pedang Naga Dewa sedangkan tangan kirinya masih bergerak dipakai menotok jalan darah.

Biarpun Cin Han lihai, namun menghadapi serangan hebat ini, ia menjadi sibuk juga. Diam-diam ia terkejut dan berbareng kagum melihat kemajuan Lian Hwa.

Kini barulah Hwat Khong, Kong Sin Ek, Pek Siong Tosu, dan Nyo Tiang Pek sendiri tahu akan kehebatan pemuda itu dan diam-diam mereka menarik napas dalam, karena sedikitpun mereka tidak menyangka bahwa pemuda sekolahan yang kelihatan lemah-lembut itu ternyata demikian lihai.

Pada saat itu Lian Hwa menggunakan serangan dengan tipu Naga Dewa Sambar Harimau, pedangnya berkelebat menyerang dada Cin Han, ketika Cin Han berkelit dan membalas mengulur tangan kanan untuk mengetok lengan Lian Hwa supaya pedangnya terlepas, tiba-tiba Lian Hwa menggunakan jari tangan kiri menotok pundaknya. Hampir saja pundaknya tertotok, maka buru-buru ia meloncat ke belakang berjumpalitan tiga kali udara dan turun di tempat yang tiga tombak jauhnya dari gadis itu sambil tersenyum,

“Aduh!! Kau hebat sekali. Lian-moi! Aku menyerah kalah!”

Lian Hwa memasukkan pedang di sarung pedangnya, menggunakan ujung lengan baju menyusut keringat dari jidat dan berpaling kepada kawan-kawannya sambil tersenyum pula, “Nah, lihatlah! Tidakkah kepandaian Hwee-thian Kim-hong berada jauh di atas kepandaianku?”

“Lihai…… lihai……” kata Hwat Khong yang masih terheran-heran.

“Hebat sekali. Aku tua bangka menjadi gatal tangan karena gembira. Hayo, sicu, layani aku sebentar, akupun ingin sekali merasakan sendiri kelihaianmu!” kata Kong Sin Ek sambil berdiri dan menghampiri Cin Han.

Cin Han tahu bahwa Kong Sin Ek si Dewa Arak ini mempunyai tenaga lweekang yang sempurna, maka untuk membuat orang tua ini tunduk, ia harus mengeluarkan tenaga dalamnya juga. Ia segera menjura dan berkata halus. “Kong lo-enghiong sungguh membuat siauwte malu dengan pujian ini. Tapi siauwte tahu bahwa perkenalan akan menjadi makin erat setelah mengukur tenaga kawan, maka siauwte tentu tidak berani menolak permintaan lo-enghiong. Hanya hati-hatilah, jangan berlaku kejam terhadap siauwte!”

Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. “Terhadap aku jangan sungkan-sungkan lagi, sicu, aku bukan orang luar. Hayo keluarkan pedangmu biar aku mencobanya.”

Orang she Kong ini melepaskan jubah luarnya dan sekali menyentakkan lengannya maka jubah itu meluncur merupakan sebatang toya keras! Inilah keistimewaan Kong Sin Ek yang dengan sebuah baju luar telah menjagoi berpuluh tahun lamanya!

Cin Han tahu bahwa jika ia menggunakan pedang, maka menghadapi senjata istimewa yang bisa menjadi keras dan dapat juga menjadi lemas itu ia hanya dapat melawan dengan serangan-serangan berbahaya yang dapat melukai lawan, maka ia tidak mau menggunakan pedang. Sedangkan kalau bertangan kosong, biarpun belum tentu ia dapat dikalahkan, namun hal itu merupakan penghinaan terhadap orang tua gagah itu. Setelah berpikir sejenak, ia memungut baju luarnya yang tadinya dilemparkan ke sudut dan memegang baju itu pada ujungnya.

“Biarlah siauwte mencontoh perbuatan lo-enghiong dan mencoba-coba belajar atau memetik satu dua macam tipu pukulan lo-enghiong yang sudah terkenal kelihaiannya.”

Kong Sin Ek memandangnya dengan kagum karena ia dapat menerka bahwa pemuda itu tentu seorang ahli lweekeh juga, kalau tidak, tidak mungkin ia berani menggunakan baju itu sebagai senjata. Tetapi diam-diam ia merasa lebih unggul, karena baju luarnya terbuat daripada kain yang tebal dan kuat dan memang khusus dibuat untuk senjata, sedangkan baju luar pemuda itu terbuat daripada sutera tipis dan lemas! Tetapi ia sebagai seorang jujur tidak dapat tinggal diam, lalu berkata,

“Kau lihai, sicu, tapi apakah bajumu itu tidak terlalu tipis?” “Biarlah, lo-enghiong, bukankah kita hanya main-main saja?”

Setelah saling menjura tanda hormat, Kong Sin Ek berseru, “Awas!” dan senjatanya yang luar biasa itu menyambar merupakan toya, menyabet ke arah pinggang Cin Han.

Pemuda ini mengebutkan bajunya yang juga menjadi keras untuk menangkis senjata lawan, tapi karena baju itu kalah keras, maka terpental. Tapi segera Cin Han merobah tenaganya sehingga baju itu menjadi lemas terus diputarkan mengait baju Kong Sin Ek, dibarengi tubuhnya meloncat ke atas melewati senjata lawan, terus menggunakan tenaga membetot!

Gerakan yang cepat dan tidak tersangka ini hampir saja berhasil dan Kong Sin Ek mengeluarkan seruan kaget. Belum pernah ia bertemu tandingan seperti ini. Tetapi ia sudah berpengalaman sehingga dapat berlaku tenang.

Ia segera mengatur tenaganya sehingga bajunya pun menjadi lemas dan baju Cin Han yang mengait dengan sendirinya lalu terlepas. Demikianlah, mereka saling serang dengan hebat, baju mereka sebentar menjadi toya, sebentar menjadi cambuk dan gerakan mereka mengeluarkan suara angin. Namun, Kong Sin Ek biarpun sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, belum juga ia dapat mendesak Cin Han. Ia merasa penasaran dan heran sekali.

Kemudian Cin Han menggunakan kedua tangan memegang tengah-tengah bajunya dan kedua ujung baju ia mainkan sedemikian rupa sehingga merupakan permainan siang-kiam atau sepasang pedang yang hebat. Tentu saja Kong Sin Ek dapat pula bermain seperti ini, tapi karena gerakan-gerakan Cin Han sangat aneh dan tipu-tipunya tidak terduga perubahannya, sebentar saja ia terdesak mundur.

Cin Han mengalah dan mengendurkan serangannya, tapi Kong Sin Ek sudah merasa puas. Ia meloncat mundur dan berkata, “Ahh, memang kau pantas disebut Hwee-thian, Kim-hong, sicu. Gerakan- gerakanmu seperti burung Hong menyambar-nyambar saja. Aku sungguh kagum dan takluk.”

Cin Han buru-buru menjura, “Terima kasih, lo-enghiong. Kau orang tua sudah berlaku murah kepada yang muda dan sudah mengalah.”

Nyo Tiang Pek adalah murid Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang tersohor kegagahannya. Maka diam-diam ia terkejut juga melihat kelihaian Cin Han dan berbareng merasa malu sendiri mengapa tadi mereka memandang rendah pemuda itu. Ia merasa gembira mendapat seorang kawan baru yang kosen ini, tapi sebagaimana halnya seorang ahli silat, hatinya belum puas kalau ia belum mencoba sendiri. Maka ia meloncat ke depan Cin Han dan memegang lengan pemuda itu dengan tersenyum girang.

“Ah, saudara Lo. Bukan main kau ini. Sikapmu lemah lembut seperti seorang kutu buku tulen, tapi tidak tahunya ilmu silatmu hebat sekali. Maaf, saudara Lo, tadi aku sendiri tidak memandang sebelah mata kepadamu. Kebodohan ini kuakui, harap kau maafkan.”

Melihat kejujuran ini, Cin Han pun merasa girang sekali dan membalas dengan ucapan kata-kata merendah.

“Bukan aku tidak percaya kepadamu, saudara Cin Han,” kata Nyo Tiang Pek, “tapi kau sungguh membuat aku kagum. Selama bertahun-tahun aku berkelana, menjelajah empat penjuru, belum pernah aku menemukan orang semuda kau dengan kepandaian setinggi ini. Aku tadinya merasa kagum sekali melihat Ang Lian Lihiap yang kuanggap masih terlampau muda untuk memiliki kepandaian setinggi yang dimilikinya, tapi kau ternyata lebih lihai, jauh melampaui dugaanku semula.”

“Ah, kau terlalu memuji, Nyo-taihiap.”

“Jangan menyebut aku taihiap, sebut saja twako, karena Lian-moi juga menyebutku demikian. Sudah sepatutnya karena aku lebih tua darimu. Saudaraku yang baik, kau ini murid siapakah?”

“Suhuku yang pertama adalan Gwat Liang Tojin.”

“O, ya?? Dia adalah kawan baik guruku,” kata Nyo Tiang Pek gembira.

“Juga suhuku itu suheng dari Ong Lun lo-enghiong almarhum,” kata Cin Han. Lian Hwa memandang heran tetapi gadis itu diam saja. “Guruku kedua adalah Beng San Siansu.”

“Apa? Dewa pedang itu masih hidup?” tanya Pek Siong Tosu heran.

“Entahlah. Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan beliau,” jawab Cin Han terus terang. “Aku berguru kepadanya dengan perantaraan kitab.”

“Ah, pantas kau lihai sekali, saudara Lo. Menurut kata guruku Kam Hong Tie, Beng San Siansu tidak terlawan ilmu pedangnya dan guruku sendiri menganggapnya jago golongan tua yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Mari, saudara, puaskan hatiku yang ingin sekali melihat ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu.”

Cin Han tidak sungkan-sungkan lagi, ia mencabut Kong-hwa-kiam dan menjura kepada mereka.

“Biar kita berdua main-main sebentar!” seru Nyo Tiang Pek gembira dan ia mencabut pedang Ceng- lun-kiam dari pinggangnya.

Kong Sin Ek dan Pek Siong Tojin juga merasa gembira sekali karena mereka tahu akan kelihaian ilmu pedang Nyo Tiang Pek. Mereka tahu, bahwa mereka akan menyaksikan dua macam ilmu pedang yang lihai dan jarang terlihat.

Kedua jago muda itu segera bersilat saling menyerang. Nyo Tiang Pek adalah murid Kam Hong Tie yang berilmu tinggi. Tentu saja kiam-hoatnya pun hebat dan tenaga dalamnya terlatih sempurna. Pula ia banyak pengalaman bertempur.

Tapi Cin Han pun bukanlah seorang ahli pedang biasa. Ia seorang pemuda yang telah digembleng oleh tangan ahli, bahkan telah mewarisi Ilmu Pedang Naga Terbang, sehingga ilmu pedangnya boleh dikata pada masa itu jarang mendapat lawan. Pedang Ceng-lun-kiam di tangan Nyo Tiang Pek dapat diumpamakan seekor burung garuda menyambar-nyambar, mengeluarkan angin dingin dan gerakannya cepat sekali.

Tapi pedang Kong-hwa-kiam di tangan Cin Han tidak kalah hebatnya, lembut dan indah bagaikan burung Hong terbang tapi cepat kuat dan ganas bagaikan naga sakti mengamuk! Telah puluhan jurus mereka bersilat dan menurut pandangan orang-orang yang melihat mereka mengukur tenaga, ilmu pedang mereka sama kuatnya dan sama bagusnya, karena pedang Nyo Tiang Pek merupakan gulungan sinar hijau dan pedang Cin Han merupakan gulungan sinar putih.

Tetapi bagi Cin Han dan Tiang Pek sendiri, mereka diam-diam tahu sampai di mana keunggulan lawan. Cin Han maklum bahwa ia masih kalah sedikit dalam hal tenaga dan keuletan, tetapi Nyo Tiang Pek maklum bahwa ilmu pedangnya masih kalah jauh dari pemuda ini, dan jika Cin Han tidak berlaku mengalah, pasti ia mudah saja digulingkan!

Cin Han sendiri mengerti akan kelemahan-kelemahan ilmu pedang lawannya, tapi mengingat bahwa Nyo Tiang Pek adalah pendekar ternama dan pendiri atau pelopor gerakan perjuangan meruntuhkan pemerintah penjajah, mana ia tega untuk menjatuhkannya. Maka gerakan pedangnya lebih banyak bersifat menjaga diri daripada menyerang.

Tiba-tiba terdengar Nyo Tiang Pek tertawa dan ia meloncat mundur.

“Sudah, sudah! Aku menyerah, saudara Lo! Benar kata suhu dulu bahwa Hwie-liong-kiam-sut ciptaan Beng San Siansu adalah nomor satu tingkatnya di dunia ini.”

“Ah, kau merendah, Nyo-twako. Tenaga dan keuletanku masih kalah jauh,” jawab Cin Han merendah.

Nyo Tiang Pek makin suka melihat pemuda yang lihai ini ternyata pandai membawa diri dan tidak sombong karena kepandaiannya.

“Bagaimana, twako, kini kau mau memberikan tugas itu padanya atau tidak?” tanya Lian Hwa dengan wajah berseri.

Nyo Tiang Pek tersenyum. “Melihat kepandaiannya, sekarang ini selain dia tidak ada orang lain yang pantas melakukan tugas berat ini.”

Mereka lalu berunding dan Kong Sin Ek yang sudah agak kenal akan keadaan Bukit Hong-lai-san, memberi keterangan-keterangan dan nasihat-nasihat kepada Cin Han.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Han berangkat menuju ke sarang Pek-lian-kauw di bukit Hong-lai-san. Pada malam hari kedua sampailah ia di kaki bukit itu.

Bukit Hong-lai-san adalah sebuah bukit kecil yang tertutup penuh oleh pohon siong tua dan di sana- sini tampak pohon liu yang melambai-lambaikan ranting karena tiupan angin. Pohon-pohon siong tua yang besar-besar pada malam hari itu tampak bagaikan raksasa-raksasa hitam berdiri megah di bawah sinar bulan purnama.

Cin Han memperkuat tali pengikat kaki dan pinggangnya. Ia membuka baju luarnya dan meloncat ke atas sebatang pohon besar untuk menyimpan bajunya itu.

Ketika ia mau meloncat turun, tiba-tiba ia melihat sinar api di tempat jauh. Api itu bergerak-gerak dan ia dapat menduga bahwa itu tentu sebuah obor yang dipegang orang. Ia meloncat turun dan lari ke arah api yang dilihatnya dari atas pohon itu.

Ketika Cin Han melalui tempat yang agak gelap karena bayangan pohon tiba-tiba kakinya terlibat oleh sesuatu. Ia cepat meloncat ke samping, tetapi terlambat. Tali yang dipasang orang di jalan dan yang menyangkut kakinya itu telah tertarik dan bunyi hiruk-pikuk di balik pohon mengejutkan hatinya.

Dengan gesit Cin Han meloncat ke atas pohon. Tetapi pada saat itu juga datang anak panah berhamburan menyerang tempat ia berdiri tadi. Dan tak lama kemudian, datanglah dua orang berlari- lari dengan obor di tangan. Dua orang itu bertubuh tegap. Tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang golok. Yang seorang adalah hwesio. “Eh, Lo-sam, tidak ada bekas apa-apa di sini! Mengapa tali jerat tertarik?” tanya hwesio itu kepada kawannya.

Yang ditanya mengangkat pundak. “Sudah dua kali terjadi seperti ini. Kalau binatang yang melanggarnya, pasti bangkainya telah menggeletak di sini terkena anak panah. Tetapi di sini tiada bekas apa-apa! Hm, barangkali setan yang penasaran datang mengganggu bukit ini.”

“Jangan mengacau, kawan. Bukankah para Lo-suhu sudah memesan agar mulai sekarang kita harus menjaga bukit ini dengan hati-hati! Para pemberontak sudah berkumpul dan kabarnya nanti lain bulan malam ke limabelas mereka akan menyerbu ke sini! Siapa tahu malam ini mereka mengirimkan orang berkepandaian tinggi datang menyelidik!”

Orang yang disebut Lo-sam menengok ke sana ke mari dengan wajah takut, tetapi ia memberanikan hatinya dengan mengangkat obor tinggi-tinggi dan mengayun-ayunkan goloknya.

“Siapa orangnya berani memasuki tempat ini? Biar setan sekalipun, ia takkan dapat keluar dengan selamat. Pula, kawan-kawan kita menjaga gunung ini dari delapan penjuru. Tidak mungkin orang dapat masuk tanpa terlihat.”

Hwesio itu hendak menjawab, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika tahu-tahu di dalam sinar obor tampak seorang pemuda berdiri di depan mereka! Entah dari mana datangnya dan sejak kapan sudah berada di situ! Sebelum ia dapat memperpanjang rasa kagetnya, jari tangan kiri Cin Han sudah menotok iganya, membuat ia jatuh dengan lemas dan tak bergerak lagi!

Lo-sam yang pandai juga bersilat, segera mengayunkan goloknya membacok, tetapi entah bagaimana, sekali bergerak saja pemuda itu telah merampas goloknya. Ia hanya merasa pergelangan tangannya sakit sekali dan karena takutnya ia membuka mulut hendak berteriak.

Tapi “plok!” tangan Cin Han menampar tulang rahangnya dan mulut yang sudah terbuka itu tidak dapat tertutup pula, hanya “a-a-u-u!” seperti orang gagu! Cin Han memegang lengan Lo-sam sambil mengancam.

“Kalau ingin hidup, berilah keterangan sejelasnya kepadaku!” Kemudian ia menepuk pipi Lo-sam yang segera dapat menggerakkan mulutnya kembali, berdiri dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Jangan mencoba berteriak! Katakan padaku siapa yang berada di bukit ini dan mereka kini sedang berbuat apa.”

Lo-sam tahu bahwa pemuda ini tentu orang asing yang belum pernah datang ke situ, maka ia ingin menggunakan nama besar Pek-lian-kauw untuk menakut-nakuti.

“Ampun, hohan, saya hanya seorang penjaga dan peronda biasa. Bukit ini adalah milik perkumpulan Pek-lian-kauw yang besar. Pada saat ini para locianpwe sedang berpesta. Katanya orang-orang gagah dari selatan datang, juga para jagoan dari Kwie-coa-pai hadir. Harap hohan jangan mengganggu tempat ini, tinggalkan saja, karena kauw-cu kami bersahabat dengan orang-orang gagah di semua kalangan kang-ouw.” “Jangan banyak ngobrol!” Cin Han membentak. “Jawab pertanyaanku dengan singkat. Di mana disimpannya pedang kerajaan Beng-tiauw?”

“Bagaimana saya bisa tahu, hohan? Saya hanya orang rendah, tak tahu apa-apa. Mungkin di gudang pusaka……”

“Nah, sekarang antar aku ke gudang pusaka itu.”

“Ampun, hohan. Ketahuilah bukit ini penjaganya berlapis sembilan. Saya dan suhu ini adalah penjaga pertama bagian timur. Naik ke atas, satu lie dari sini terdapat penjaga lapis kedua, demikian selanjutnya tiap satu lie ada penjaga sampai sembilan lapis! Maka tidak mungkin saya dapat mengantar hohan naik, karena saya tidak diperkenankan melewati penjaga lapis kedua yang tingkatnya lebih tinggi dari saya.”

“Tidak bohongkah kau?”

“Siauwte yang hina tidak berani membohong, hohan.”

Cin Han menggerakkan tangannya dan Lo-sam kena ditotok jalan darahnya. Seperti kawannya yang masih rebah di tanah, iapun jatuh tak berdaya. Biarpun pikiran dan perasaannya masih terang, tapi tidak kuasa menggerakkan tubuh atau mengeluarkan suara.

“Ingat, jika kalian tidak ditolong, dalam waktu dua belas jam kalian tentu akan mati. Tunggulah, aku pasti membebaskanmu jika keteranganmu tadi benar.”

Setelah berkata demikian, Cin Han lari ke atas dengan cepat dan hati-hati. Benar saja seperti keterangan Lo-sam tadi, kira-kira satu lie jauhnya ia maju, tampak orang-orang berjaga dengan obor di tangan. Tapi dengan mudah saja Cin Han dapat melewati mereka ini dengan jalan meloncat dari pohon ke pohon. Demikianpun pada tempat penjaga ketiga sampai kelima, ia dapat lewat dengan menggunakan ilmu lari cepat dan ringankan tubuh.

Tapi pada penjagaan keenam, ia mulai menghadapi kesulitan. Penjaga di bagian keenam ini adalah orang-orang anggauta Pek-lian-kauw sendiri yang terhitung golongan ahli silat. Di baju mereka terlukis gambar teratai putih dan kesemuanya memegang pedang. Di tiap penjuru terdapat tiga orang penjaga.

Cin Han berlaku amat hati-hati. Ia bersembunyi di atas sebatang pohon besar dan dari situ mengintai ke bawah. Tiga orang penjaga berjalan hilir mudik sambil bercakap-cakap.

Melihat sikap dan gerakan mereka, Cin Han tahu bahwa ia tidak dapat menggunakan kecepatannya seperti tadi untuk menerobos, karena banyak kemungkinan penjaga-penjaga itu akan melihatnya, pula setelah tiba di situ ternyata pohon-pohon mulai berkurang.

Kemudian ia mendapat akal. Tanpa mengeluarkan suara ia melompat ke bawah di bagian yang gelap dan agak jauh dari situ lalu memilih batu-batu kecil sebagai pengganti senjata rahasia. Kemudian ia naik lagi ke atas pohon tadi. Ia mengayun tangannya dan seorang di antara yang tiga itu tiba-tiba berteriak dan jatuh tidak berdaya. Lehernya telah terpukul batu yang tepat menghantam jalan darah Koan-goan-hiat. Kedua kawannya meloncat ke samping dan ketika dua buah batu kecil menyambar ke arah mereka, mereka dapat mengelak dengan menggulingkan diri di atas tanah.

Cin Han mematahkan dahan pohon dan melempar itu jauh ke bawah. Kedua orang penjaga itu mendengar suara dahan jatuh segera memburu ke bawah pula. Kesempatan ini digunakan oleh Cin Han untuk menerobos naik melalui tempat penjaga yang kini telah kosong.

Tapi ia segera menghadapi penjagaan lapis ketujuh. Penjagaan mulai dari sini keras sekali. Tembok yang tingginya tidak kurang dari empat tombak mengelilingi puncak bukit. Dan di atas tembok tampak penjaga-penjaga dengan senjata di tangan berjalan hilir mudik.

Cin Han tidak melihat jalan masuk lain kecuali melompat naik ke tembok itu. Maka ia melompat ke atas dengan cepat. Baru saja kakinya menginjak tembok, lima buah senjata rahasia terbang menyambar kepala, leher, dada, pusar dan lututnya. Ia mengelak ke kiri sambil menggunakan sebelah kakinya menendang piauw yang paling bawah sehingga piauw itu terpental kembali ke arah penyerangnya. Tetapi penyerangnya dapat mengelak dengan mudah.

“Hai! Manusia dari mana berani lancang memasuki tempat penjagaanku?” Penjaga itu membentak sambil menyerang dengan sebuah tombak yang ada kaitannya.

Cin Han tidak menjawab, hanya berkelit ke samping dan sekali kakinya terayun tombak itu terlepas dari pegangan penjaga itu. Pada saat itu, tiga orang penjaga yang lain lari-lari mendatangi dengan golok dan pedang terangkat tinggi-tinggi.

Cin Han tidak mau membuang-buang waktu maka dicabutnya Kong-hwa-kiam dan sekali putar saja, semua senjata pengepungnya terpotong. Tentu saja musuh-musuhnya terkejut sekali. Cin Han meloncat ke sebelah dalam dan empat orang penjaga itu tidak berani mengejar karena sudah tidak bersenjata lagi, pula mereka harus mentaati perintah atasan.

Penjaga di bukit Hong-lai-san diatur berlapis-lapis sampai sembilan lapis. Makin ke atas, penjagaan makin keras dan para penjaganya pun makin lihai. Mereka ini bertugas menghalang-halangi musuh yang menerjang masuk.

Jika musuh dapat melewati sebuah penjagaan, ini berarti musuh itu kepandaiannya lebih tinggi daripada para penjaga di bagian itu, maka akan sia-sia belaka jika mereka ini terus mengejar dan meninggalkan pos masing-masing. Mereka harus mendiamkan saja agar musuh itu dilawan oleh penjaga-penjaga berikutnya yang lebih kuat. Sedangkan mereka harus bersiap untuk mencegat musuh itu kalau keluar nanti. Juga aturan ini diadakan untuk mencegah musuh menggunakan tipu “memancing harimau meninggalkan goa”. Dengan demikian, tiap pos penjagaan selalu tidak pernah ditinggalkan.

Inilah sebabnya maka penjaga tembok ketujuh tidak mengejar ketika Cin Han terus naik ke atas bukit. Di depannya menjulang tembok penjagaan kedelapan. Temboknya sama tinggi dengan penjagaan ketujuh, tapi di atas tembok kedelapan ini dipasang ujung-ujung tombak yang runcing. Sedangkan penjaga-penjaga yang bertubuh kuat berdiri di belakang barisan ujung tombak itu. Cin Han merasa heran melihat penjaga-penjaga di atas tembok tampak sibuk seakan-akan telah terjadi sesuatu yang mengacaukan. Tanpa ragu-ragu lagi Cin Han mencabut pedangnya yang tadi diselipkan kembali ke pungggung dan mengayun tubuhnya melayang ke atas tembok. Kedua kakinya dengan ringan mentotol ujung tombak di atas tembok itu dan dengan gerakan Naga Sakti Balikkan Diri, ia berjumpalitan meminjam tenaga totolan kaki di ujung tombak tadi.

Untung ia menggunakan tipu gerakan yang cepat ini karena pada saat ia berjumpalitan, dari bawah ujung tombak yang ia injak tadi banyak anak panah menyambar ke atas. Kalau ia tadi berayal sedikit saja, agaknya akan sukar untuk mengelak anak panah yang menyerang dari bawah tubuh ini.

Segera lima orang penjaga datang menyerbu. Tapi dengan lincah Cin Han mengeluarkan ilmu pedangnya sehingga baru beberapa jurus saja ia berhasil merobohkan mereka dengan tendangan Soan-hong-twi dibarengi pukulan-pukulan Bi-ciong-kun, yakni kepalan menyesatkan, semacam ilmu pukulan yang penuh gaya palsu dan yang tidak terduga perubahan-perubahannya.

Cin Han meloncat turun dari tembok kedelapan. Ia berlaku hati-hati sekali dan ketika tubuhnya turun ke tanah ia hanya menggunakan kaki kiri saja agar kaki kanan dapat siap menolong diri jika ada bahaya perangkap musuh mengancam. Betul saja, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakinya kena injak batu yang menjadi penggerak anak-anak panah beracun yang terpasang di pohon di kanan kirinya.

Cin Han mendengar suara angin senjata yang beterbangan menyambar itu segera meloncat jauh ke depan, tapi hampir saja ia terjeblos ke dalam lubang jebakan yang ditutup oleh tanah dan rumput tipis. Baiknya ia memiliki ginkang yang tinggi sehingga secepat kilat ia dapat mengayunkan tubuhnya ke belakang. Ketika ia memandang ke dalam lubang jebakan itu, ia bergidik dengan perasaan ngeri melihat tiga ujung pedang yang runcing terpasang dalamnya, siap menanti jatuhnya tubuh orang untuk disate.

Kini Cin Han menghadapi tembok kesembilan. Berbeda dengan tembok-tembok penjagaan yang lain, tembok ini tingginya hanya dua tombak. Tapi tembok itu tebalnya tiga kaki dan di atas tembok duduk hwesio-hwesio yang kelihatannya sedang bersamadhi. Tiap lima tombak duduk seorang hwesio dan di dekat masing-masing terletak sebuah pedang.

Tiba-tiba dari jurusan kiri tampak seorang berlari-lari di atas tembok. Ketika orang itu datang dekat, Cin Han mengenal bahwa ia bukan lain adalah Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan. Agaknya luka di pahanya karena tusukan pedang Ang Lian Lihiap dulu itu telah sembuh kembali dan rupa-rupanya orang she Thio itu tugasnya memeriksa barisan penjaga di tembok di depan.

Cin Han tidak berani sembarangan menerjang, karena ia dapat menduga bahwa barisan penjaga tembok terakhir ini pasti kuat sekali dan di belakang tembok itulah terletak sarang Pek-lian-kauw di mana terdapat ahli-ahli silat tinggi.

Ketika ia bersiap-siap dan mencari jalan untuk menyerbu, tiba-tiba dari bawah tembok tak jauh dari tempatnya itu terdapat bayangan orang berkelebat dan tiba-tiba bayangan itu melemparkan tubuh seorang ke atas tembok. Seorang hwesio penjaga yang duduk tak jauh dari situ mengayunkan tangannya. Terdengar orang yang dilempar ke atas itu berteriak ngeri karena sebatang piauw yang dilepas hwesio tadi dengan tepat menembus keningnya. Hwesio yang melepas piauw itu terkejut melihat bahwa orang yang diserang itu bukan lain ialah seorang penjaga dari tembok penjagaan di bawah.

Sebelum ia hilang kagetnya, bayangan yang melemparkan orang tadi tahu-tahu telah berada di belakangnya dan mengayunkan pedangnya yang tajam berkilau. Hwesio itupun bukan orang lemah. Dengan cepat ia menjatuhkan diri ke belakang dan menggelundung di atas tembok sehingga terhindar dari sabetan pedang.

Sementara itu, Thio Lok yang belum pergi jauh, segera lari mendatangi dengan beberapa orang hwesio penjaga yang lain, lalu langsung mengeroyok bayangan yang gerakan-gerakannya luar biasa gesit dan cepat itu.

“Ang Lian siluman perempuan! Kau datang mencari mati?” bentak Thio Lok dengan marah dan memutar pedangnya menyerang.

Cin Han yang berada di bawah tembok mendengar ini merasa kaget sekali. Tak disangkanya bayangan gesit dan lincah itu adalah Ang Lian Lihiap. Entah mengapa hatinya mendadak berdebar girang. Segera ia meloncat ke atas tembok. Belum juga kakinya menginjak tembok, jari tangannya telah berhasil menotok seorang hwesio sehingga roboh tidak berkutik.

Keadaan pengeroyok menjadi kacau. Thio Lok melihat datangnya Hwee-thian Kim-hong segera bersuit memberi tanda.

“Lian-moi, tahan mereka ini, aku hendak mencari……!”

Lian Hwa mengangguk dengan tersenyum manis karena ia maklum bahwa Cin Han tentu hendak mencari pedang pusaka kerajaan itu. Maka ia putar Sian-liong-kiam lebih cepat sehingga sebentar saja dua orang hwesio pengeroyoknya terjungkal jatuh ke bawah tembok!

Cin Han meloncat turun ke bawah. Cepat bagaikan kilat Cin Han meloncat ke atasnya dan sekali tangannya bergerak maka pedang hwesio itu dapat terpukul jatuh dan si hwesio sendiri kena ia totok pundaknya! Kemudian ia mengempit hwesio itu dan membawa lari ke tempat gelap.

“Hayo bawalah aku ke tempat simpanan pedang kerajaan!” Demikian ia mengancam hwesio itu.

Karena tak berdaya, hwesio itu segera membawanya ke bangunan sebelah belakang. Bangunan itu ternyata besar sekali.

“Di dalam kamar itulah disimpannya, tapi ada penjaga yang lain, aku tak berani masuk!”

Cin Han menotok lagi jalan darah hwesio itu hingga ia terguling dengan tubuh lemas tak berdaya, lalu dengan tak menyia-nyiakan waktu lagi Cin Han membuka pintu kamar yang dimaksudkan. Namun karena ia memang selalu curiga, ia berlaku hati-hati sekali. Dengan sekali mendorong, daun pintu itu terbuka, tapi secepat kilat ia meloncat mundur. Betul saja, dari belakang pintu itu sudah bersedia orang-orangan besi yang maju menubruk ke arah pintu yang terbuka. Karena menubruk tempat kosong, kedua orang-orangan itu berdiri kembali ke tempat semula.

Cin Han perlahan memasuki pintu. Tiba-tiba ketika kakinya menginjak ambang pintu, terdengar bunyi “ser! ser!!” dan dari empat penjuru menyemprot keluar pisau-pisau beracun bagaikan hujan ke arah pintu! Cin Han segera menggunakan gerakan Wanita Cantik Membuka Payung, pedangnya terputar merupakan payung atau tameng melindungi tubuhnya hingga semua pisau beracun kena terpukul runtuh nenerbitkan suara hiruk-pikuk.

Setelah senjata rahasia habis, tiba-tiba dari atas pintu jatuh segumpal besi yang beratnya ratusan kati hendak menimpa kepalanya! Karena datangnya besi itu cepat sekali dan sudah terlambat untuk dikelit, maka Cin Han mengerahkan tenaganya di telapak tangan lalu menggunakan telapak tangan itu mendorong besi yang jatuh menimpa. Besi itu terdorong dan terpental ke depan, jatuh menimpa orang-orangan besi hingga hancur berantakan dan dari dalam tubuh besi meloncat keluar per-per yang menggerakkan tubuh itu

Cin Han melihat ke dalam kamar. Ternyata di situ memang terdapat banyak barang-barang pusaka dan kumpulan barang-barang antik. Banyak pedang dan golok yang berusia ribuan tahun tergantung di dinding sebelah dalam. Dan di atas sekali, tergantung pedang kerajaan Beng-tiauw yang dicarinya!

Ia mengenal pedang ini dari sarungnya yang berukir burung Hong dan Naga Emas! Untuk berjaga diri, Cin Han menggerakkan kaki menendang orang-orangan besi yang satunya lagi hingga orang-orangan itu terlempar jatuh ke tengah kamar. Betul saja, ketika orang-orangan itu menimpa lantai di tengah- tengah kamar terbuka dan orang-orangan itu terjeblos masuk, lalu terdengar suara air di bawah!

Cin Han ngeri mendengar ini tapi ia girang karena ia kini tahu sampai di mana batas lubang jebakan itu. Sementara itu, lantai yang terbuka itu kini telah tertutup kembali. Cin Han meloncat ke dalam kamar melewati batas lantai yang dapat terbuka lalu menurunkan kakinya dengan ringan karena ia masih curiga.

Ternyata lantai yang diinjaknya tidak apa-apa maka ia segera mengulurkan tangannya mengambil pedang pusaka kerajaan. Setelah mencabut pedang itu untuk melihat bahwa pedang itu memang tidak palsu, ia meloncat lagi keluar melewati lantai berbahaya tadi.

Ketika tiba di atas tembok penjagaan kesembilan, Cin Han merasa terkejut sekali melihat betapa Ang Lian Lihiap berada dalam keadaan berbahaya sekali! Gadis itu kini bertempur melawan seoang tua kurus kering yang ternyata lihai sekali gerakan pedangnya, hingga Ang Lian Lihiap hanya mengandalkan keringanan dan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan maut dari pedang lawan itu!

Cin Han marah sekali dan meloncat ke atas tembok. Pada saat itu lawan Lian Hwa sedang menyerang dengan gerak tipu Raja Maut Menyambar Nyawa. Pedangnya dari bawah dengan gerakan memutar menusuk ke atas, ke arah dada gadis itu dan dibarengi tangan kirinya dengan gerakan Eng-jiauw-kang atau Kuku Garuda Mencengkeram ke arah leher Ang Lian Lihiap! Serangan ini adalah serangan maut, karena baik tangan kiri maupun tangan kanan adalah penyebar maut yang sukar dihindarkan lagi! Cin Han melihat keadaan ini segera berkelebat cepat. Ia melihat bahwa dengan pedangnya, gadis itu menggerakkan tangannya dengan tipu Naga Laut Naik ke Darat dan ia tahu bahwa Lian Hwa akan berhasil menangkis pedang lawannya, tapi gadis itu tak mungkin dapat mengelit pukulan kuku garuda yang lihai dan berbahaya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia meloncat mendekat dan menggunakan tangan kanan menangkis cengkeraman orang itu. Setelah dapat menangkis pedang lawan dan melihat Cin Han maju, Lian Hwa meloncat mundur.

Orang kurus kering itu melihat ada orang luar berani menangkis tangannya, lalu mengerahkan tenaga hendak mematahkan lengan tangan orang lancang itu dengan ilmu lweekangnya, maka terbenturlah kedua lengan dan mengeluarkan suara keras. Cin Han terhuyung mundur tiga tindak, tapi orang tua itupun terpaksa melangkah mundur dua langkah!

Ketika melirik ke arah lengan tangannya, Cin Han melihat lengannya merah, tapi iapun melihat lengan lawannya itu matang biru! Maka ia menghela napas lega karena kalau hendak dikatakan kalah tenaga, maka kekalahan itu hanya sedikit selisihnya!

“Eh, siapakah kau orang muda berani campur tangan urusan orang lain?” tanya orang tua kurus kering itu.

Cin Han tidak menjawab, tapi melemparkan pedang pusaka kerajaan kepada Lian Hwa, “Pegang dulu ini Lian……”

Ang Lian Lihiap menangkap pedang yang dilemparkan itu dan walaupun Cin Han membungkus pedang itu dengan sehelai kain yang didapatkan di dalam kamar tadi gadis itu tahu bahwa itulah pedang yang dicari, maka diam-diam ia merasa girang dan kagum.

Melihat pertanyaannya tak diperdulikan orang, si kurus kering menjadi marah sekali. Ia perhatikan lebih jelas dan tiba-tiba ia melihat lukisan burung Hong di dada Cin Han.

“Ho-ho! Jadi inikah Hwee-thian Kim-hong anak kemarin sore yang jumawa itu? Rupanya suhumu tidak mengajarkan adat padamu, anak muda? Kau berani melawan aku yang sedang memberi ajaran sedikit kepada murid keponakanku sendiri?”

Cin Han heran mendengar ini. Lian Hwa murid keponakan kakek ini? Ia berpaling memandang gadis itu yang berdiri menentang lawan dengan mata menyala.

“Siapa sudi menjadi murid keponakanmu? Hm, kalau suhu masih hidup, pasti ia akan mengetok kepala sutenya yang tersesat dan menjadi pengkhianat bangsa macam kau ini!”

“Ha, ha, ha! Memang, guru kencing berdiri, murid kencing berlari! Ong Lun jahat dan galak, tapi muridnya lebih jahat dan galak lagi!”

Kini Cin Han dapat menduga siapa lawan yang tangguh ini. “Bukankah lo-enghiong ini Khai Sin Tosu?” “He, anak muda, kalau kau sudah kenal namaku, kenapa tidak lekas-lekas melempar pedang minta maaf?”

“Perkara minta maaf itu mudah saja. Yang penting harus dilihat dulu siapa yang salah. Totiang sebagai seorang pendeta mengapa berada dalam sarang Pek-lian-kauw dan membela perkumpulan ini?”

Kedua mata Khai Sin Tosu mengeluarkan cahaya kemarahan.

“Ada sangkut-paut apa denganmu? Aku pemeluk Agama Pek-lian-kauw, habis kau mau apa?”

Cin Han memperhatikan pakaian tosu itu dan diam-diam menghela napas. Ia melihat pakaian pendeta itu sangat mewah dan terbuat daripada kain halus, rambutnya yang panjang dijepit dengan hiasan rambut emas pula. Di dadanya, terlukis gambar teratai putih. Jelas baginya bahwa tosu tua ini telah terpengaruh oleh harta kemewahan.

“Tosu tersesat!” Cin Han berkata marah. “Benar seperti kata Ang Lian Lihiap tadi, kalau Ong Lun susiok masih hidup, tentu kepalamu akan diketok sampai retak-retak.”

“Bangsat kecil! Kau siapa? Kenapa kau sebut Ong Lun sebagai susiokmu?”

“Gwat Liang Tojin adalah suhuku dan karena Ong Lun susiok telah meninggal biarlah aku yang muda mewakilinya memberi sedikit hukuman kepadamu!”

“Anak setan!” Khai Sin memaki dan kedua tangannya terayun dengan tiba-tiba. Empat butir batu koral putih berkelebat, dua ke arah Cin Han, dan yang dua lagi ke arah Lian Hwa.

Tapi kedua orang muda itu cepat berkelit. Tanpa sia-siakan waktu lagi Cin Han memutar pedangnya menyerang. Khai Sin Tosu menggerakkan pedangnya menangkis dan sesaat kemudian mereka saling serang dalam pertempuran mati-matian.

Tenaga mereka berimbang, tapi Khai Sin Tosu yang sudah banyak pengalaman ternyata jauh lebih ulet dan tenang. Namun, setelah bertempur limapuluh jurus lebih, sekali lagi Hwie-liong-kiam-sut membuktikan bahwa ilmu pedang ini memang sangat tinggi dan jarang ditemukan tandingannya.

Perlahan-lahan Khai Sin merasa bingung dan pening menghadapi ilmu pedang yang demikian aneh gerak-geriknya dan banyak sekali perubahan-perubahannya yang tak terduga. Kalau ia tidak tenang dan waspada, pasti sudah tadi-tadi ia celaka.

Lian Hwa makin kagum melihat permainan pedang Cin Han yang mulai mendesak Khai Sin Tosu. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini sukar ditemukan seorang pemuda seperti Cin Han. Tinggi ilmu silatnya, pandai ilmu sastera, berwajah tampan, sikapnya lemah-lembut, herhati jujur dan tidak sombong.

Diam-diam ia membanding-bandingkan Cin Han dengan Nyo Tiang Pek. Ketika ia bertemu dan kenal dengan Tiang Pek, ia mengagumi pemuda ini sebagai seorang pendekar dan pahlawan bangsa yang berkepandaian lebih tinggi darinya. Nyo Tiang Pek pun suka sekali kepadanya karena menurut keterangannya, Han Lian Hwa mengingatkan ia akan adik perempuannya yang telah meninggal dunia karena penyakit panas. Demikianlah maka Nyo Tiang Pek mengangkat Lian Hwa sebagai adik dan hubungan mereka seperti kakak dan adik saja.

Ketika Khai Sin telah terdesak dan hanya dapat menangkis saja, tiba-tiba dari bawah tembok terasa angin berdesir dan tahu-tahu seorang sai-kong pendeta pendek gemuk dan seorang wanita cantik berdiri di kanan kiri mereka yang bertempur. Si imam membentak perlahan.

“Tahan pedang!” Suara yang nyaring ini dibarengi dengan kebutan pertapaannya terayun dan menyabet pedang Cin Han yang sedang menyerang dan mendesak Khai Sin yang mundur menangkis.

Cin Han merasa betapa sebuah tenaga besar sekali menolak pedangnya sehingga telapak tangannya tergetar. Ia meloncat ke samping dan memandang orang yang menangkis pedangnya itu.

Sai-kong itu bermuka bundar bagaikan bulan purnama. Mukanya yang gemuk bulat membuat kepalanya seperti sebuah balon karet. Kulit mukanya halus lemas seperti muka kanak-kanak. Tubuhnya yang pendek gemuk sesuai benar dengan potongan muka yang bulat itu.

Tangan kanannya Memegang hud-tim (kebutan pertapa) dan tangan kiri memegang seuntai tasbeh yang terbuat daripada butiran-butiran mutiara. Di dadanya terlukis teratai putih dari benang perak hingga mengeluarkan cahaya berkilauan. Rambut di kepalanya diikatkan ke atas dan diikat dengan sebuah penjepit rambut dari emas terhias batu permata. Biarpun kulit mukanya licin seperti kanak- kanak tapi melihat rambutnya yang putih itu ia tentu sudah berusia lebih dari enam atau tujuhpuluh tahun.

Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya cantik dan tubuhnya tinggi langsing dengan potongan yang menggiurkan. Terutama sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar menggairahkan penuh kecabulan, sedangkan bibirnya yang mungil membayangkan senyum genit memikat. Pakaiannya pun sangat mewah, bajunya dari sutera merah dan celananya berwarna biru.

Pada saat itu ia mengerling ke wajah Cin Han sambil melepaskan pandangan penuh rasa kagum. Sekali pandang saja lalu timbul rasa benci dalam hati Lian Hwa karena pandangan mata dan sikap perempuan itu mengingatkan ia akan dua orang nikouw atau pendeta wanita cabul yang pernah mengganggu dia dan Cin Han beberapa tahun yang lalu.

Sai-kong itu bukan lain ialah Bong Cu Sianjin sendiri, ketua Pek-lian-kauw, seorang bekas pertapa yang lihai dan mahir ilmu silat dan ilmu hitam. Sedangkan wanita itu adalah Kim Eng yang disebut orang si Dewi Cabul, seorang penjahat wanita yang terkenal kejam dan pandai ilmu silat.

Kim Eng mempunyai kepandaian yang sangat berbahaya, yakni melepas jarum lima racun yang disebut Ngo-tok-ciam! Jarum ini sangat halus dan kecil dan dilepaskan menuju urat-urat dan jalan darah, maka lawannya yang bagaimana pandaipun jika terkena jarum beracun ini jangan mengharap dapat hidup lebih lama lagi.

Perempuan cantik ini telah bersatu dengan Pek-lian-kauw dan menjadi kawan baik Bong Cu Sianjin yang biarpun sudah tua namun masih suka bermain cinta. Yang menarik hati Kim Eng maka ia suka berada di situ ialah karena Pek-lian-kauw mempunyai banyak anggauta terdiri dari pemuda-pemuda tampan dan kuat.

Dan tak seorangpun, baik ketua Pek-lian-kauw sendiri maupun pemimpin yang lain-lain, berani melarang Kim Eng berlaku sekehendak hatinya. Selain daripada hal tersebut, Kim Eng juga mendekati Bong Cu Sianjin untuk dapat memetik beberapa ilmu siluman guna memperlengkap kepandaiannya.

Cin Han yang sudah merasakan kehebatan tenaga kebutan pendeta itu, meloncat mundur sambil menyiapkan diri dengan waspada dan hati-hati.

“Eh, eh sungguh satu kehormatan besar bagi kami yang telah didatangi oleh dua orang gagah muda belia, Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia!” kata Bong Cu Sianjin dengan suaranya yang nyaring dan halus dan matanya yang bening itu bergerak-gerak memandangi wajah dan tubuh Lian Hwa.

Menerima sambaran kerling mata yang tajam dan mempunyai tenaga yang berpengaruh seakan-akan dapat menembus pakaiannya, hingga ia merasa seperti berdiri telanjang dibawah pandangan mata pendeta itu, Lian Hwa merasa malu dan marah hingga seluruh mukanya menjadi merah padam.

“Kalian sungguh berani seperti anak harimau baru keluar dari sarang! Berani dan muda, muda dan tampan dan cantik! Kenapa berani mengganggu sahabat Khai Sin Tosu? Daripada kita berselisih paham, bukankah lebih baik kalian masuk sebagai sahabat-sahabat dan minum arak wangi bersama kami?”

“Bangsat tua jangan banyak cakap!” teriak Lian Hwa yang merasa jemu serta benci sekali melihat tingkah sai-kong itu.

Tapi Bong Cu Sianjin hanya tertawa perlahan.

“Galak benar! Bunga yang berduri harum baunya! Kalian mempunyai kepandaian apakah maka berani bertingkah?”

Cin Han yang sudah menahan sabar sejak tadi, tak memperdulikan bahaya lagi segera menyerang dengan pedangnya, juga Lian Hwa loncat menubruk. Sian-liong-kiamnya berkilauan. Tapi dengan tenang Bong Cu Sianjin mengelebatkan kebutannya yang sekaligus dapat menyampok kedua pedang itu hingga terpental!

Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dengan penuh semangat dan mengertak gigi maju menyerang. Walaupun ilmu kepandaian dan tenaga Bong Cu Sianjin sudah mendekati puncak kesempurnaan karena sesungguhnya tenaganya bukanlah tenaga biasa, tapi terbantu oleh Ilmu hitam, namun menghadapi Lian Hwa dan Cin Han yang boleh diumpamakan sebagai dua ekor naga sakti mengamuk, ia tak dapat segera memperoleh kemenangan. Kalau tadi ia hanya menggunakan kebutannya, kini tangan kirinya yang memegang tasbeh ikut menbantu. Ternyata tasbeh ini lebih lihai daripada kebutannya! Senjata aneh digunakan sebagai ruyung atau cambuk lemas yang mengeluarkan cahaya berkeredepan menyilaukan mata lawan. Berkali-kali pedang kedua orang itu beradu dengan tasbeh hingga mengeluarkan bunga api, sedangkan Lian Hwa dan Cin Han merasa tangan mereka pedas dan panas! Cin Han mengumpulkan semangat dan bersilat lebih cepat sambil mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Hwie-liong-kiam-sut, sedangkan Lian Hwa mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi dan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang ganas gerakan- gerakannya.

“Bagus!” Sai-kong itu memuji dan ia terpaksa tak berani bermain-main seperti tadi. Baru kali ini selama turun dari gunung pertapaannya ia bertemu tandingan sedemikian tangguhnya!

Si Dewi Cabul Kim Eng merasa gatal tangan melihat “kekasih” atau gurunya itu terdesak oleh pengeroyokan Lian Hwa dan Cin Han, maka ia segera mencabut keluar pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinya mencabut saputangan yang harum baunya. Kemudian sambil tertawa genit ia menyerang Cin Han.

Serangan itu ternyata hebat juga hingga terpaksa Cin Han melayaninya dengan hati-hati dan tinggal sai-kong yang kini hanya menghadapi Lian Hwa sendiri. Ketua Pek-lian-kauw itu tertawa terbahak- bahak.

“Nona, menyerahlah. Lebih baik tinggal di sini dan hidup mewah.” Lian Hwa menggigit bibir dan memaki.

“Pendeta siluman! Jangan banyak tingkah!”

Lalu ia perhebat gerakannya. Tiba-tiba Lian Hwa melihat bahwa pedang lambang kerajaan Beng-tiauw yang tadi ditaruh di atas tembok karena hendak membantu Cin Han, kini hendak diambil oleh Thio Lok. ia menggunakan ginkangnya melayang ke arah Thio Lok dan sekali tangannya terulur, pedang kerajaan itu sudah terampas kembali.

Berbareng dengan itu, pedangnya berkelebat ke leher Thio Lok.

Tapi Bong Cu Sianjin sudah berada di situ pula dan kebutannya bergerak melilit Sian-liong-kiam terus ditarik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan Ang Lian Lihiap tanpa dapat ditahan pula!

“Ha-ha-ha!” Sai-kong itu memberikan pedang Lian Hwa kepada Thio Lok, lalu menggerakkan tangan hendak menangkap Lian Hwa! Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat dan tahu-tahu tubuh Lian Hwa sudah dipondong pergi terlepas dari bahaya pelukan Bong Cu Sianjin, dan bayangan itu sambil memondong Lian Hwa, tangannya terulur merampas pedang Sian-liong-kiam dari pegangan Thio Lok!

Gerakannya ini sungguh sangat cepat bagaikan kilat menyambar hingga sebelum dapat dilihat jelas orangnya, bayangan itu telah berhasil menyelamatkan Lian Hwa dan merampas kembali pedang gadis itu! Ketika Lian Hwa memandang, ternyata yang menolongnya bukan lain adalah Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, gurunya sendiri!

“Bong Cu, jangan kau berani mengganggu muridku!” Wanita tua itu membentak. “Cu Ling, kau?? Kau masih hidup?” Sai-kong itu memandang heran. “Dia ini muridmukah?”

Sementara itu, Cin Han dengan mudah mendesak keras pada Kim Eng, tetapi tiba-tiba perempuan cabul itu mengebutkan saputangan di tangan kirinya! Cin Han mencium bau wangi yang keras sekali dan yang langsung memasuki hidung terus ke kepalanya dan membuat penglihatannya menjadi gelap. Tubuhnya terhuyung-huyung, tapi pada saat itu ia merasa ada orang menariknya dari situ dan ternyata orang itu adalah gurunya seadiri Gwat Liang Tojin yang sudah berada di situ pula.

“Makanlah ini, Han!” kata Gwat Liang Tojin.

Cin Han menerima pil itu dan memasukkan ke mulutnya. Seketika itu juga lenyaplah pengaruh jahat yang wangi memabokkan itu.

“Bong Cu! Tidak malukah menghina orang-orang muda?”

Bong Cu Sianjin memandang mereka berdua dengan tajam lalu tertawa besar, “Ha-ha! Jadi Gwat Liang Tojin juga datang? Bagus, bagus? Kau dan Song Cu Ling agaknya menyangka bahwa aku takut padamu? Ha-ha! Jangan mimpi, sobat. Bong Cu sekarang bukanlah Bong Cu duapuluh tahun yang lalu!”

“Bong Cu! Kau telah menjadi seorang kauw-cu, kepala agama yang memiliki nama besar di kalangan kang-ouw. Apakah kau sudah begitu hina untuk merendahkan namamu dengan mencelakai dua orang muda yang belum berpengalaman di sarang perkumpulanmu sendiri? Pula, kau harus ingat bahwa kau sudah mengundang para hohan untuk datang ke sini pada malam kelimabelas musim Chun nanti.”

Bong Cu Sianjin mengeluarkan suara jengekan, “Bukan aku yang mengundang, tapi biarlah, karena sudah terlanjur, jangan orang kira aku takut. Tapi mengapa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong datang mengacau dan mencuri pedang kerajaan?”

Gwat Liang Tojin menghela napas. Ia maklum bahwa ia sendiri dan Song Cu Ling takkan dapat mengalahkan Bong Cu Sianjin yang lihai, pula di situ banyak berkumpul orang-orang lihai seperti Khai Sin Tosu dan yang lain-lain. Maka ia mengalah dan berkata,

“Kalau kau mau persalahkan yang muda-muda ini, biarlah aku yang mintakan maaf. Cin Han, kembalikan pedang itu.”

Dengan penasaran dan heran melihat gurunya begitu mengalah terhadap ketua Pek-lian-kauw itu, Cin Han minta pedang lambang kerajaan Beng-tiauw dari tangan Lian Hwa dan memberikan pedang itu kepada Bong Cu Sianjin.

“Ha-ha-ha! Biarlah aku pandang muka Gwat Liang dan Cu Ling dan biarlah kalian hidup sampai malam kelimabelas bulan depan! Kalau kalian tak ikut datang, kuanggap kalian penakut.”

“Bong-kauwcu, bersiaplah untuk nyambut kami pada bulan purnama yang akan datang. Nah, selamat tinggal!” Gwat Liang Tojin memberi isyarat kepada Song Cu Ling, Cin Han dan Lian Hwa, dan mereka berempat lalu turun gunung. Mudah saja mereka melalui tempat-tempat penjagaan di mana Cin Han membebaskan para penjaga yang tadi ia bikin tidak berdaya, dan mengambil baju luarnya yang tergantung di pohon.

Tanpa banyak cakap, Gwat Liang Tojin mengajak mereka menuju ke sebuah kampung di mana terdapat bio tua yang kosong.

Setelah diperkenalkan kepada kedua orang tua itu, Cin Han memberi hormat kepada Song Cu Ling sedangkan Lian Hwa memberi hormat kepada Gwat Liang Tojin.

Mereka berempat tidak tidur, tapi dengan gembira masing-masing menceritakan pengalamannya. Ternyata dengan diam-diam Lian Hwa mendahului Cin Han menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Ia mengandalkan kegesitan dan kepandaiannya melalui semua penjaga dengan maksud hendak membuat jasa dan mencuri pedang kerajaan, mendahului Cin Han. Juga dengan jalan itu ia hendak membantu Cin Han karena ia maklum bahwa di sarang Pek-lian-kauw itu banyak orang-orang lihai.

Tidak tahunya ia menemui batu, sehingga biarpun ia dapat bekerja sama dengan Cin Han, tetap saja mereka hampir-hampir mengalami bencana. Baiknya gurunya dan guru Cin Han datang tepat pada saat berbahaya itu dan dapat menolong mereka.

Kemudian Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin menuturkan perjalanan mereka sehingga mereka bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw.

Karena insyaf bahwa kedua cucunya, yaitu Kong Liang dan Mei Ling, perlu mendapat didikan ilmu kesusasteraan, Song Cu Ling mencari seorang guru sekolah yang pandai. Kemudian ia mendengar nama Gan Keng Hiap sebagai seorang sasterawan yang selain pandai pun berjiwa patriot. Ia senang sekali mendengar hal ini karena iapun sangsi untuk mempercayakan pendidikan kedua cucu itu dalam tangan seorang sasterawan penjilat pemerintah Boan.

Ia segera mengajak Kong Liang dan Mei Ling, anak kembar itu, menemui Gan Keng Hiap. Sasterawan tua yang baik hati ini menerima permintaan Song Cu Ling dengan girang karena sebentar saja ia merasa sayang kepada kedua anak yang mungil dan kelihatan cerdik itu.

Untuk membalas budi Gan Keng Hiap, si Dewi Tanpa Bayangan mengangkat Giok Lie yang disangkanya puteri Gan Keng Hiap, sebagai murid. Giok Lie yang merasa kagum melihat kepandaian Ang Lian Lihiap dan sedikit banyak mempunyai rasa iri hati, menerima pengangkatan ini dengan rasa bahagia.

Demikianlah, dengan rajin Kong Liang dan Mei Ling belajar ilmu surat kepada Gan Keng Hiap, sedangkan Giok Lie puteri pangeran itu dengan tekunnya mempelajari ilmu silat dari Song Cu Ling. Ia makin giat belajar ketika mendengar dari gurunya bahwa Ang Lian Lihiap juga murid Song Cu Ling atau ia punya suci.

Pada suatu hari, karena terkenang kepada Cin Han, dengan disengaja Giok Lie menyebut-nyebut tentang kepandaian Ang Lian Lihiap dan tentang percekcokannya dengan Cin Han. Song Cu Ling mendengar ini menjadi tertarik dan mendesaknya untuk menceritakan riwayat itu. Giok Lie yang berhati jujur dan yang kini menganggap Song Cu Ling sebagai orang tua sendiri, segera menceritakan semua riwayatnya, bagaimana ia ditolong Cin Han dan bagaimana Cin Han bertempur dengan Ang Lian Lihiap.

“Sayang sekali Lian Hwa suci itu agak keras hatinya. Kasihan koko Cin Han yang disangka pengkhianat oleh gadis pujaan hatinya yang dicintanya sepenuh hati. Tapi aku yakin suci juga menderita batinnya karena sesungguhnya ia juga cinta kepada koko Cin Han.”

Demikian gadis itu mengakhiri ceritanya dengan menghela napas. Kata-kata terakhir yang diucapkan itu menyedihkan hatinya.

Ketika mendengar bahwa Cin Han adalah pendekar muda Hwee-thian Kim-hong yang pernah ia dengar namanya dan keponakan Gan Keng Hiap sendiri, Song Cu Ling segera menemui Gan Keng Hiap. Dari sasterawan ini ia diberi tahu bahwa Cin Han adalah murid Gwat Liang Tojin di Kong-hwa- san yang telah dikenal baik oleh Song Cu Ling di waktu mudanya.

Song Cu Ling mengaku bahwa Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa adalah muridnya yang tersayang dan karena gadis itu yatim piatu, bahkan gurunya yang pertama Ong Lun sudah meninggal dunia pula, maka boleh dibilang ia adalah walinya. Maka ia bertanya kepada Gan Keng Hiap suami-isteri, bagaimana kalau Cin Han dijodohkan saja dengan Han Lian Hwa.

Gan Keng Hiap suami-isteri pernah diceritakan oleh Giok Lie tentang hubungan hati yang ada antara Lian Hwa dan Cin Han, pula mereka pernah bertemu dengan Ang Lian Lihiap, dan mereka memang merasa kagum kepada gadis yang cantik, pandai dan berbakti itu.

“Bagi kami sebagai paman dan bibi Cin Han, kami merasa beruntung jika nona Lian Hwa sudi menjadi isterinya. Tapi harap toanio maklum bahwa dalam hal ini kami tidak berkuasa penuh. Masih ada dua orang yang harus ditanya pendapat mereka dulu, ialah Gwat Liang Tojin dan Cin Han sendiri, karena semenjak ditinggal orang tuanya, Cin Han dirawat dan dididik oleh Gwat Liang Tojin.”

Song Cu Ling mengangguk-angguk. “Memang seharusnya demikian. Biarlah aku pergi dulu beberapa hari untuk membereskan hal ini dan menemui Gwat Liang Tojin. Kasihan kedua anak itu yang dipisahkan oleh kesalah pahaman. Pula, kurasa mereka itu sudah cukup dewasa untuk berumah tangga.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar