Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) Jilid 08

Jilid 08

Kini ia menjadi bingung dan serba salah. Diluar kehendaknya, ia sekali lagi bertempur melawan Ang Lian Lihiap. Bahkan ia dianggap pengkhianat. Apakah artinya semua ini? Tapi Lian Hwa tidak menghendaki perundingan, tidak sudi mendengarkan pembelaannya, maka ia menindas kesedihan dan kebingungannya, lalu mengertakkan gigi dan memusatkan perhatiannya di ujung pedang. Setelah bertempur limapuluh jurus lebih, ia dapat memunahkan semua serangan dan keadaan mereka berimbang. Lian Hwa dengan nekat dan mati-matian terus menyerang, sedangkan Hwat Kong Hwesio, suheng gadis itu, sudah mulai mengeluarkan keringat.

Tiba-tiba datang pula seorang yang gerakannya cukup gesit, tapi orang ini bukan hendak mengeroyok, bahkan dengan tergesa-gesa bersuit keras.

“Ah, mengapa harus mundur? Aku belum puas kalau belum membunuh pengkhianat ini.” Terdengar Ang Lian Lihiap mengeluh kepada suhengnya.

“Sudahlah, sumoi. Hayo kita pergi!” Dan Hwat Khong mendahuluinya meloncat mundur. Cin Han juga meloncat mundur dan menanti dengan pedang di tangan.

Lian Hwa menuding dengan pedang ke arahnya. “Pengkhianat she Lo! Biar kau hidup sampai besok malam untuk menyesali pengkhianatanmu!” Kata-kata ini dibarengi pandangan mata yang penuh sinar kebencian tapi yang dihiasi dengan dua butir air mata menitik turun di sepanjang pipinya.

“Lihiap, dengarlah dulu.    ”

Tapi Ang Lian Lihiap, dan suhengnya sudah meloncat pergi.

Cin Han hanya menghela napas berulang-ulang, kemudian ia meloncat ke atas genteng untuk menemui kawan-kawannya. Ternyata Hong Su si Bayangan Iblis mendapat luka ringan di pundaknya. Ketika ketua Kwi-coa-pai ini bertempur melawan Ang Lian Lihiap, keadaan mereka seimbang, tapi setelah datang Ciu-sian Kong Sin Ek si Dewa Arak, ia mulai terdesak dan ujung pedang Lian Hwa melukai pundaknya. Gadis itu melihat lawan sudah terluka, lalu meninggalkannya untuk membantu suhengnya, sedangkan Hong Su terus bertempur melawan Kong Sin Ek.

Sedangkan sepasang pengemis dengan bantuan Thio Lok ternyata telah berhasil membuat Garuda Kuku Emas menjadi sibuk juga. Melihat kekuatan penjagaan yang demikian besar, akhirnya si Garuda Kuku Emas yang memimpin penyerangan ini memberi perintah mundur.

Cin Han menghampiri Thio Lok. “Saudara Thio, tahukah kau siapa penyerang wanita yang bertempur melawan Hong Su lo-enghiong tadi?”

Thio Lok menggelengkan kepala.

“Ia adalah saudara seperguruan dengan kau,” kata Cin Han. “Apa katamu?” Thio Lok terkejut dan heran.

“Ia adalah murid Sian-kiam Koai-jin Ong Lun yang disebut orang Ang Lian Lihiap.”

“Oo, begitukah?” dan heran sekali, orang she Thio itu menjebirkan bibir seakan-akan mengejek. Maka Cin Han tak sudi berkata apa-apa lagi hanya merasa heran sekali mengapa saudara seperguruan ini agaknya saling membenci. Walaupun di dalam hati merasa sangat penasaran dan penuh kecurigaan akan kebersihan orang- orang yang ia bela tapi Cin Han tak banyak cakap. Ia hanya berlaku waspada dan mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan orang-orang yang ia anggap “gagah dan patriotik” ini.

Kalau kawan-kawannya ini benar-benar orang baik-baik, mengapa Ang Lian Lihiap dan murid Kam Hong Tie sampai memusuhinya? Mungkin juga Garuda Kuku Emas itu bisa tersesat. tapi apakah Ang Lian Lihiap juga berlaku sesat dan buta? Ah, ia tidak percaya. Dan mengapa ia disebut pengkhianat oleh Han Lian Hwa?

“Cuwi,” tiba-tiba Hong Su berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Musuh yang datang kali ini sangat kuat. Baiknya kita masih dapat memukul mundur mereka. Tapi, kurasa besok malam mereka tentu datang lagi dan pasti mereka membawa lebih banyak kawan. Maka, kuharap Thio taihiap dan Tie Bong Lo-suhu sekarang juga pergi mengundang beberapa kawan dari Kie-ciu.”

Kedua orang itu mengatakan baik dan langsung berangkat menuju ke selatan. Pada saat itu, dari bawah meloncat naik seseorang dan ketika dilihat, ternyata dia adalah Biauw Su Hai yang memegang sebuah golok besar di tangan. Sikapnya sombong sekali.

“Bagaimana, cuwi?” tanyanya, “sudah kaburkah semua penjahat tadi? Sayang golokku tidak kebagian sedikit darah. Aku menjaga di dalam kamar khawatir kalau-kalau ada penjahat yang memasuki kamar calon mertuaku!”

Biarpun agaknya gemas, Hong Su menceritakan juga kepada kapten ini tentang datangnya musuh tadi. Di depan seorang kepercayaan kaisar, ia tidak berani berlaku kurang ajar. Tapi Cin Han tak dapat menahan muaknya, dan dengan suara mengandung sindiran ia berkata.

“Sayang sekali Biauw-ciangkun tidak muncul tadi. Kalau ciangkun ada di sini, tentu. Hong Su lo- enghiong takkan terluka. Sayang sekali. Biauw-ciangkun muncul setelah semua lawan sudah pergi!”

Biauw Su Hai memandangnya dengan marah, lalu tanpa berkata apa-apa ia meloncat turun kembali. Kedua pengemis tertawa ha-ha-hi-hi melihat keadaan ini.

Semua lalu turun dan pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Pada keesokan harinya, sore hari, Thio Lok dan Tie Bong Hwesio datang dengan dua orang hwesio lain. Cin Han yang duduk diam dalam kamarnya, hanya mendengar suara mereka bercakap-cakap, tapi ia tidak ada nafsu untuk keluar menemui mereka.

Setelah hari menjadi gelap, Hong Su mengetuk pintu kamarnya, dan ketika pintu dibukanya, ketua perkumpulan Kwi-coa-pai itu memesan agar mulai jam sembilan nanti ia suka bersiap dan berjaga di posnya yang kemarin juga, yakni di dalam taman bunga belakang. Cin Han menyanggupi dengan sabar tak banyak cakap.

Kurang lebih jam delapan ia sudah keluar dari kamarnya dan menuju ke taman belakang. Tapi ketika sampai di ruang tengah dan mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamar, ia tiba-tiba mendengar suara orang yang agaknya telah dikenalnya. Maka diam-diam ia meloncat naik ke atas genteng dari celah-celah genteng itu mengintip ke dalam.

Bukan main kagetnya ketika ia melihat bahwa dua tamu yang diundang itu tak lain ialah Bong Lam Hwesio dan Bong Gak Hwesio, kedua hwesio dari Pek-lian-kauw yang dulu pernah mengeroyok Gwat Liang Tojin gurunya! Semua pengurus Kwi-coa-pai berada di situ mengadakan perundingan.

Pada saat itu ia melihat Bong Lam Hwesio mencabut golok dan bangun berdiri, diikuti oleh Bong Gak yang juga menyambar toya.

“Apa kaubilang?” teriak Bong Lam kepada Hong Su. “Hwee-thian Kim-hong berada di sini? Ia musuh kami!”

Hong Su berdiri dan memberi tanda kepada dua orang itu supaya berlaku tenang. Kemudian ia bertanya bagaimana asal mulanya maka terdapat dendam permusuhan di antara mereka.

“Tahukah kalian? Ia adalah murid Gwat Liang dan Gwat Liang itu adalah suheng dari Ong Lun yang menjadi musuh keturunan kami. Pendeknya, Pek-lian-kauw telah bersumpah untuk membasmi mereka ini, terutama Ang Lian Lihiap karena ia itu adalah murid Ong Lun!” kata Bong Gak dengan suara marah tertahan.

Lam Beng Sun yang sebenarnya menjadi perantara untuk mengumpulkan orang-orang gagah dan memusuhi para patriot-patriot bangsa, ikut menyatakan pendapatnya dengan suara tenang.

“Saya harap jiwi suhu berlaku tenang dan bijaksana dalam hal ini. Pada waktu ini, teristimewa malam hari ini, kita menghadapi lawan-lawan yang tangguh, dan kita membutuhkan bantuan dari luar. Sedangkan Hwee-thian Kim-hong benar-benar merupakan tenaga bantuan yang berharga. Maka, menurut pendapatku yang bodoh, biarlah jiwi jangan jumpai dia dulu, tunggu kalau bahaya dan ancaman musuh sudah dihalau pergi, mudah saja melakukan balas dendam. Pula kawan-kawan yang saya datangkan dari Barat mungkin beberapa hari lagi tiba di sini untuk menggabung kepada kita dan memperkuat kedudukan kita. Sabarlah, jiwi suhu.”

Biarpun Lam Beng Sun hanya seorang biasa saja, namun besar sekali pengaruhnya, karena dialah yang memegang kunci keuangan yang mengalir dari istana kaisar untuk membiayai para orang gagah yang dapat dipikat dan ditarik menjadi orang yang pro kaisar. Maka usulnya ini tak seorangpun berani membantahnya.

Cin Han yang mendengar semua inl merasa sesak napasnya! Ah, ia telah terjeblos ke dalam gua ular berbisa! Ia telah membantu orang-orang jahat, telah membantu Pek-lian-kauw dan Kwi-coa-pai yang ternyata bermaksud jahat. Baru insaflah dia akan kesalahannya, sungguhpun masih belum dimengerti mengapa Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya menyerang Pangeran dan mengapa pula Pek-lian- kauw dan Kwi-coa-pai membela pangeran ini.

Betapapun juga, kini ia yakin bahwa pihak Ang Lian Lihiap yang malam ini akan datang menyerang pula adalah pihak yang benar. Hal ini ia yakin setelah melihat macamnya orang-orang di pihak pangeran. Ia marah sekali dan besar sekali hasratnya untuk mendobrak pintu dan menerjang semua orang itu, tapi perasaan ini ditahannya karena ia merasa takkan ada faedahnya menghadapi sekian banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi.

Maka ia meloncat pergi dengan maksud meninggalkan tempat itu agar dapat membantu rombongan Ang Lian Lihiap kalau mereka datang. Tapi tiba-tiba, entah apa yang menggerakkan, kakinya menyeleweng dan menuju ke atas kamar Coa Giok Lie. Tepat sekali pada saat ia tiba di atas kamar dan mengintai ke dalam, dilihatnya siocia itu telah mengikat dan menyumpal mulut A-bwee!

“A-bwee, menyesal sekali hal ini harus kulakukan, karena kalau tidak, kau tentu akan menggagalkan maksudku dengan menghalanginya atau berteriak-teriak. Keputusanku sudah tetap. Tak perlu aku hidup lebih lama di dunia ini. Ayah mabok pangkat dan harta, dikelilingi bangsa penjahat, bahkan lamaran manusia macam orang she Biauw itupun diterimanya agar ia mudah mendapat kedudukan. Sekarang jiwa sekeluarga kami terancam. Orang-orang jahat menghendaki jiwa kami. Ah, ini semua salah ayah sendiri. Air mataku tak dianggapnya. Sayangnya kepada anaknya telah luntur. Maka, A- bwee, untuk apa aku hidup lebih lama lagi untuk menderita hidup di samping orang she Biauw itu?”

Cin Han melihat Giok Lie mengambil sebuah botol kecil dari atas meja, membuka tutup botol dan mengeluarkan dua butir obat lalu memasukkan obat yang berwarna hitam itu ke dalam cangkir terisi air. Kemudian, setelah berdongak ke atas dan menyebut. “Ibu, selamat tinggal, ibu……” ia mengangkat cangkir itu ke mulutnya.

Tapi sebelum bibirnya dapat mengecup pinggir cangkir, tiba-tiba sebuah batu kecil melayang dan “prak!” cangkir itu pecah dan jatuh ke atas lantai. Isinya tumpah keluar dan Giok Lie mendekap dadanya dengan terkejut. Kedua matanya bersinar marah ketika ia melihat Cin Han masuk ke kamarnya.

“Siocia, kenapa kau tetap ingin mati bunuh diri? Tak malukah kau?” suara Cin mengandung penasaran.

“Malu? Mana lebih malu menjadi bini Biauw Su Hai? Ah, kau tak tahu…… mengapa pula kauhalang- halangi maksudku? Kau pernah menolongku ketika penjahat-penjahat itu datang. Apakah…… apakah kali ini kau hendak membuatku hidup sengsara?”

Sebelum ia dapat menjawab, tiba-tiba dari luar terdengar suara bentakan. “Bangsat kurang ajar! Berani betul kau masuk kamar tunanganku. Hayo keluar untuk terima binasa!”

Giok Lie memegang lengan Cin Han. “Celaka! Itu suara bajingan she Biauw! Kau pasti akan mendapat celaka…… koko…… kau…… lekas kau pergi, larilah sebelum terlambat…..”

Tapi Cin Han ragu-ragu karena ia khawatir kalau-kalau gadis ini tetap akan bunuh diri nanti apabila ia pergi meninggalkannya. Di luar kamar terdengar banyak orang mendatangi dan sebentar kemudian pintu kamar Giok Lie diketuk keras-keras.

“Giok Lie! A-bwee!! Hayo buka pintu.     cepat!”

“Ah, ayah juga datang…… bagaimana ini baiknya, koko? Ah, daripada aku mendapat malu, maka bunuhlah aku lebih dulu, kemudian terserah padamu, hendak lari atau mengadu jiwa. Tapi bunuhlah aku…… namaku akan tercemar…… bunuhlah.    ” Giok Lie mencoba untuk merebut pedangnya, tapi

Cin Han memegang lengannya.

“Nona! Jangan takut. Kalau memang kau berjanji tidak akan bunuh diri, serahkanlah semua ini kepadaku. Aku akap melindungimu. Tunggu di sini, hendak kubereskan mereka semua.” Kemudian dengan sekali mengayunkan tubuh Cin Han melesat keluar dari jendela sambil memutar pedangnya.

Begitu tiba di luar, ia dikeroyok, tapi dengan mempergunakan ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut, sebentar saja ia berhasil membabat patah toya berikut sebuah lengan Bong Gak Hwesio. Namun kepungan makin rapat, diantaranya Hong Su juga menyerangnya sambil memaki.

“Hem, Hwee-thian Kim-hong, kau manusia tak mengenal budi. Kami memperlakukan kau baik-baik, tapi sebaliknya kau bahkan mau mengganggu gadis orang. Sungguh bagus perbuatanmu.”

Cin Han sambil bersilat memperdengarkan suara ejekan. “Kwi-eng-cu! Tadinya aku mengagumi kalian karena mataku seakan-akan buta. Kini aku tahu siapa kalian ini, dan dapat terduga olehku mengapa kalian menggabung dengan bangsat-bangsat gundul dari Pek-lian-kauw. Pendeknya, kalian mau apa? Biarkan aku pergi dari sini dengan aman, atau aku membuka jalan darah.”

Kata-kata Cin Han disambut dengan serangan-serangan hebat. Payah juga Cin Han melayani semua ini, karena sesungguhnya, biarpun kepandaiannya cukup tinggi, namun ia menghadapi enam orang yang kesemuanya memiliki kepandaian istimewa.

Kok Pin yang memiliki ginkang yang tinggi dapat memainkan joan-piannya dengan baik sekali, dibarengi permainan ang-kin merah dari Lok Sin Tat yang telah terkenal kelihaiannya. Tie Bong Hwesio kemarin malam tak sempat ikut bertempur karena ditugaskan menjaga pintu belakang kalau- kalau ada musuh menyerobot, tapi kini hwesio yang mahir sekali ilmu lweekangnya itu ikut mengeroyok dengan sebatang tongkat besi di tangan.

Juga Thio Lok yang memang membencinya, tampak memutar pedangnya dengan gerakan yang mengingatkan Cin Han akan ilmu pedang Ang Lian Lihiap. Dan pada saat itu ia berkenalan pula dengan sepasang siang-kek dari Hong Su. Semua itu masih ditambah lagi dengan adanya Bong Lam Hwesio dengan goloknya yang memainkan Pat-kwa-to-hwat yang dulu pernah ia rasakan kelihaiannya. Sungguh yang bukan ringan.

Tapi Cin Han bagaikan seekor banteng terluka, ia bergerak lincah dan gesit sekali. Pedangnya Kong- hwa-kiam menyambar-nyambar bagaikan naga terbang mengeluarkan suara ngaungan nyaring yang menyeramkan. Tubuhnya lenyap digulung sinar pedangnya dan menerobos ke sana ke mari diantara sekian banyak senjata yang mengurungnya.

Melihat bahwa biarpun mengeroyok dengan enam orang masih juga belum dapat membinasakan pemuda itu, Tie Bong Hwesio merasa penasaran dan malu. Ia menggereng keras dan goloknya melesat ke arah Cin Han, berusaha menerobos gulungan sinar pedang.

Serangan ini dilakukan dengan tenaga penuh, maka Cin Han yang sedang sibuk menangkis banyak serangan-serangan lihai itu, hanya sempat menowel lengan Tie Bong agar golok itu melejit ke samping. Namun, tenaga dalam hwesio itu cukup hebat hingga biarpun gerakan goloknya agak mencong karena towelan itu, namun masih saja mengancam pundaknya.

Dalam keadaan terdesak Cin Han menggunakan tangan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga. Tangkisan tangan ke arah golok ini kalau bukan seorang ahli yang melakukan, sangat berbahaya, karena mana kuat kulit dan daging dipakai menangkis golok yang keras dan tajam.

Gerakan ini disebut Burung Garuda Mengibas Sayap dan tangkisan itu lebih menyerupai sampokan ke arah pinggir golok. Namun biarpun Cin Han dapat menyelamatkan pundaknya, masih saja lengan kirinya mendapat luka dan mengalirkan darah.

Tapi dengan mengertak gigi Cin Han menubruk maju dan “bres!” ujung pedangnya memasuki perut Bong Lam Hwesio yang tak sempat menangkis lagi. Dengan berteriak keras hwesio itu roboh mandi darah.

Untuk sesaat para pengeroyoknya terkejut dan mundur, tapi mereka maju mendesak pula. Biarpun Cin Han masih gesit dan kuat, namun ia telah terluka dan pengeroyoknya masih bersemangat dan berusaha keras membinasakannya, maka anak muda itu menjadi sibuk juga.

Tiba-tiba terdengar suitan keras dan beberapa bayangan orang berkelebat di atas genteng.

“Mereka datang!” teriak Hong Su dan lima orang yang mengeroyok Cin Han segera meninggalkan anak muda itu untuk menyambut penyerang-penyerang yang telah datang.

Cin Han bernapas lega, dan terasa kini betapa sakit dan perihnya tangannya yang terluka. Tapi tiba- tiba ia teringat bahwa Biauw Su Hai yang ia benci itu tadi tidak ikut mengeroyok. Kemanakah perginya jahanam itu? Ia menjadi khawatir akan keselamatan Giok Lie, maka segera ia loncat menuju ke kamar gadis itu.

“Tidak, aku tidak mau pergi. Kau pengecut besar, seharusnya kau bantu mereka menghalau musuh. Pergi dari sini, pergi!!”

Mendengar bentakan Giok Lie dan bujukan-bujukan Biauw Su Hai yang hendak membawa pergi gadis itu dengan alasan bahwa keadaan sangat berbahaya Cin Han menjadi marah sekali.

“Pengecut!” teriaknya dan ia meloncat memasuki kamar dari jendela.

“Eh, bangsat kecil, kau belum mati?” teriak Su Hai dan Coa-siocia menjerit kecil ketika melihat tangan Cin Han berlumuran darah.

Cin Han mengangkat pedangnya menangkis datangnya golok besar yang menyambarnya. Segera mereka berkelahi mati-matian. Tenaga orang she Biauw itu sesungguhnya besar sekali, ditambah pula goloknya yang berat membuat serangan-serangannya berbahaya dan mematikan. Tapi bagi Cin Han, kapten ini merupakan makanan lunak.

Dengan kelincahannya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah dan balas menyerang secepat kilat. Baru saja bertempur belasan jurus, pedangnya telah berhasil melukai pundak kapten itu yang roboh mandi darah. Tapi Cin Han juga merasa sangat lemah dan pening karena banyak mengeluarkan darah dari lukanya. Ia melapangkan dadanya dan menarik napas dalam-dalam sambil bersandar ke tembok.

Coa Giok Lie siocia memburu dan memegang lengannya. “Kau luka?”

Cin Han hanya mengangguk dan Giok Lie segera menggunakan saputangan sutera membungkus tangan kiri Cin Han.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang berbaju putih meloncat masuk dengan pedang di tangan. Melihat Biauw Su Hai merintih-rintih di lantai, ia berkata, “Nah, inilah orangnya.”

Lalu dengan sekali sabetan, kepala orang she Biauw itu terpisah dari tubuhnya. Dengan cekatan sekali ia sambar rambut kapten itu dan membawa kepala Biauw Su Hai ke jendela.

Dari situ ia berteriak. “Nyo-toako, anjing Biauw telah kubereskan. Ini kepalanya, terimalah!” Dan kepala itu lalu dilemparkan keluar. Kemudian ia membalikkan tubuh dan memandang ke arah Cin Han dan Giok Lie dengan mata beringas.

Coa Giok Lie hampir mengeluarkan teriakan kaget. Ternyata orang itu adalah seorang wanita muda yang sangat cantik, tapi pada saat itu wajah yang cantik itu merah padam dan kedua mata yang jeli seakan-akan mengeluarkan api.

Cin Han membuka matanya. “Lan-moi     ” katanya perlahan.

“Siapa sudi kau sebut adik!” Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa membentak. “Pengkhianat rendah. Angkat pedangmu untuk terima binasa.”

Cin Han tersenyum lemah, “Kau mau, bunuh padaku? Bunuhlah…… memang aku telah salah sangka dan tersesat. Kau wanita gagah, patriot sejati, aku hanya orang rendah yang buta dan bodoh. Bunuhlah!”

Han Lian Hwa mengertak gigi. “Jangan banyak cerewet. Hayo angkat senjatamu. Demi Tuhan…… kutusuk dadamu dengan pedang ini, hayo. hayo lawan!!”

Giok Lie mendengar dengan heran dan ia merasa penasaran sekali melihat Cin Han dihina tapi tak mau melawan. Maka ia memegang lengan pemuda itu.

“Koko, mengapa kau tidak melawan dia? Lawanlah, masakah kau kalah oleh perempuan galak ini? Kau dihina, koko lawanlah, kalau kau tidak mau, biar aku wakilnya!”

Dan Giok Lie mencoba untuk mengambil pedang Kong-hwa-kiam dari tangan Cin Han. Gadis yang lemah lembut ini karena gemas melihat Cin Han dihina dan dimaki, telah melupakan kelemahan sendiri. Sikap ini membuat Cin Han malu dan bangunlah semangatnya. Ia memandang Han Lian Hwa dengan sayu lalu berkata perlahan, “Ang Lian Lihiap…… kau tidak memberi kesempatan padaku untuk menerangkan dan membela diri. Kau salah sangka, nona. Aku bukan pengkhianat seperti yang kaukira ”

“Kau berada di sini, di sarang para pengkhianat bangsa. Masih saja tidak mau mengaku? Mana ada maling mau mengaku? Dan kau…… agaknya anak keluarga Coa penjual negara ini…… kekasihmu! Mau berkata apa lagi? Nah terimalah pedangku!” Dengan hebat Lian Hwa menutup kata-katanya dengan sebuah serangan kilat.

Cin Han menangkis dan segera ia sibuk menangkis dan berkelit menghindarkan diri dari serbuan Ang Lian Lihiap yang nekad dan marah itu. Sedikitpun ia tidak balas menyerang!

Diam-diam Lian Hwa mengakui bahwa ilmu pedang Cin Han jauh lebih hebat daripada dulu dan ia maklum bahwa ia bukanlah lawannya, tapi ia penasaran sekali mengapa pemuda itu tidak mau balas menyerang? Karena penasaran ia menjadi marah dan malu, merasa dirinya dipandang rendah sekali.

Ia malu karena perempuan yang kelihatannya mesra sekali hubungannya dengan Cin Han itu berada di situ dan melihat jalannya pertempuran. Sedikitpun ia tidak menyangka bahwa perempuan itu sama sekali tidak pandai bersilat dan tentu saja tidak tahu bahwa Cin Han dalam pertempuran itu selalu mengalah. Dalam pandangan Giok Lie, Cin Han selalu terdesak, maka diam-diam ia meraba-raba ke arah dinding.

Biarpun Cin Han dapat menggunakan ilmu pedangnya yang lihai untuk menjaga diri, tapi karena ia sudah terluka dan lagi karena jiwanya merasa tertekan serta kesedihan membuat pikirannya bingung, maka gerakannya tak selincah biasanya. Maka pada satu saat Ang Lian Lihiap berhasil melukai pundak kirinya dan darah mengalir lagi membasahi bajunya dan membuat burung Hong di dadanya seakan- akan mengalirkan darah!

Cin Han terhuyung-huyung mundur dan Giok Lie maju memeluknya dan menariknya ke arah dinding.

Lian Hwa dengan napas terengah-engah berdiri memandang ke ujung pedangnya yang menjadi merah karena darah pemuda itu. Tidak terasa olehnya, dua butir air mata membasahi pipinya, tapi ia menahan perasaannya dan membentak, “Hayo jangan bersembunyi di balik baju kekasihmu! Majulah, biar seorang diantara kita mati di ujung pedang!”

Tiba-tiba Giok Lie memekik. “Kau…   kau perempuan kejam!”

Lian Hwa menjadi marah dan meloncat maju. Tapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di belakang Giok Lie terbuka! Gadis itu dengan cepat menarik lengan Cin Han memasuki pintu rahasia itu, dan ketika Lian Hwa mengejar, pintu itu cepat sekali tertutup pula seperti sebelum terbuka dengan tak tersangka itu.

Lian Hwa menggunakan pedang Sian-liong-kiam membacok, tapi ternyata di balik dinding itu terdapat daun pintu besi yang sangat tebal.

Lian Hwa membanting-banting kakinya dan memaki, “Perempuan siluman! Hayo buka dan biarkan kupenggal leher laki-laki pengkhianat itu!” Berkali-kali ia membacok pintu besi itu dengan pedang sampai tangannya merasa panas. Akhirnya ia menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menangis.

Pertempuran di luar kamar berjalan dengan seru dan hebat. Tapi di pihak penyerang ditambah seorang tosu yang lihai, ialah Pek Siong Tosu, ketua Hoei-san-pai, termasuk golongan anti kaisar. Maka, karena di pihak Kwi-coa-pai telah kacau oleh perlawanan Cin Han tadi, mereka tak dapat menahan desakan para penyerang, dan setelah Hong Su dan kedua pengemis menderita luka-luka, mereka melarikan diri.

Sebenarnya yang dikehendaki jiwanya oleh rombongan penyerang anti kaisar ini tak lain ialah Biauw Su Hai dan Lam Beng Sun. Yang pertama itu dibenci karena ia adalah kepercayaan kaisar dan terkenal kejam serta telah membinasakan banyak orang gagah. Sedangkan orang she Lam telah dikenal sebagai seorang penghasut yang licin dan banyak berhasil dalam hasutan dan bujukannya terhadap banyak orang gagah sehingga mereka itu berbalik pikiran akibat pengaruh hasutan dan pengaruh sogokan harta dan uang.

Karena Biauw Su Hai terbunuh oleh Lian Hwa dan Lam Beng Sun juga terbunuh oleh rombongan itu, sedangkan para kauwsu penjaga telah lari pergi, maka Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang memimpin serbuan itu, mengajak kawan-kawannya pergi. Tapi Lian Hwa tidak kelihatan di situ sehingga semua orang menjadi bingung lalu mencari-cari dengan terpencar.

?Y?

Ke manakah perginya Ang Lian Lihiap?

Sebetulnya, tadi setelah Cin Han diselamatkan dan dibawa pergi melalui pintu rahasia oleh Coa Giok Lie siocia, pendekar wanita itu merasa penasaran sekali. Hatinya telah kecewa dan sedih melihat kenyataan bahwa pemuda yang dikagumi itu kini telah tersesat dan menjadi pengkhianat, kini ditambah pula melihat Coa Giok Lie demikian mencinta pemuda itu bahkan berhasil melarikannya, hatinya seakan-akan dipotong-potong pedang tajam.

Rasa sayangnya terhadap Cin Han yang ada sejak dulu di dalam hatinya kini berubah rasa benci, ya, benci sekali hingga kehendak satu-satunya kini hanya ingin membunuh. Biarpun ia sendiri tidak tahu apakah ia akan sanggup membunuh pemuda itu karena tadi baru melukai pundaknya saja ia sudah merasa dadanya perih dan sakit karena iba hati!

Tapi, mengingat pula bahwa kini mungkin gadis yang membawa lari Cin Han itu tengah merawat pundak yang terluka oleh tusukannya tadi, ah, tak kuat menahan hatinya yang bergelora dan tinggal berpangku tangan saja. Ia harus membunuh Cin Han, membunuh perempuan itu, dan kalau perlu membunuh diri sendiri!

Dengan hati-hati dan cermat diperiksanya seluruh dinding dan tiang. Akhirnya dapat juga olehnya rahasia pintu itu, ialah sebuah lukisan harimau yang tergantung di dinding. Diputar-putarnya lukisan itu dan tiba-tiba dengan mengeluarkan suara keras pintu rahasia itu terbuka. Lian Hwa meloncat masuk sambil siap dengan pedang di tangan. Jalan rahasia itu merupakan sebuah terowongan yang menembus tanah di bawah taman. Ia terus maju merayap dan tahu-tahu terowongan itu membawanya keluar dari pekarangan dan sampai di hutan kecil di belakang gedung.

Dengan bernafsu Lian Hwa maju terus. Ia mencari-cari, tapi keadaan di sekeliling hutan sunyi saja. Ia maju terus ke tengah. Tiba-tiba dilihatnya cairan warna hitam tertimpa cahaya bulan. Diperhatikannya benda cair itu. Darah! Hatinya berdebar dan rasa iba menusuk hatinya.

Darah Cin Han! Sekali lagi air matanya menitik keluar dari pelupuk mata. Ia membungkuk mengamat- amati jejak kaki yang menyatakan bahwa orang-orang yang dikejarnya lari ke arah utara.

Setelah berlari lagi beberapa lamanya di sepanjang lorong kecil dalam hutan itu, ia melihat sebuah pondok bambu di tengah hutan, dan ketika ia datang mendekat, terdengar olehnya suara orang bicara. Hatinya panas lagi ketika ia mendengar suara Giok Lie.

Ingin sekali ia menerjang membuka pintu pondok dan menyerang, tapi tiba-tiba ia mendengar suara Cin Han berkata-kata. Ia jadi ingin tahu apakah yang mereka bicarakan, maka dengan diam-diam ia memasang telinga mendengarkan dari luar.

“Kau bilang dia itu Ang Lian Lihiap? Ah, pernah aku mendengar nama ini disebut orang sebagai seorang pendekar wanita berhati mulia. Tapi mengapa ia, demikian kejam dan jahat?”

“Dia tidak jahat, nona. Dia benar-benar wanita gagah yang berhati mulia,” terdengar Cin Han menjawab dengan suara lemah.

“Tapi…… mengapa dia begitu membencimu?”

Terdengar Cin Han mengeluh dan menarik napas dalam. “Ia salah paham…… dan karena kebodohanku sendiri……”

“Koko, aku merasa seakan-akan kau ini kakakku sendiri. Aku bukan orang luar lagi, maka berterus teranglah, koko…… kau…… kau, cinta pada Ang Lian Lihiap, bukan?”

Ketika Lian Hwa mendengar ini dadanya berdebar-debar dan ia mengertak giginya menekan gelora hatinya. Ia memasang telinga baik-baik, tapi tidak terdengar jawaban Cin Han.

“Koko, kau cinta padanya,” terdengar Giok Lie berkata lagi, “hal ini mudah diketahui, ketika ia hendak membunuhmu kau menyerah saja seakan-akan bagimu senang mati di tangannya. Tapi, mengapa sebaliknya ia begitu membencimu? Ada salah paham apakah diantara kau dan dia?”

Kembali terdengar Cin Han menghela napas.

“Semua salahku sendiri. Aku memang bodoh, mudah saja tertipu oleh Hong Su si Bayangan Iblis! Kusangka benar belaka pengakuan mereka bahwa mereka membentuk perkumpulan untuk membasmi pengacau dan penjahat yang mengganggu rakyat. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa mereka ini adalah pengkhianat-pengkhianat dan penjilat kaisar. Siapa dapat mengira? Bahkan Thio Lok si Naga Hijau yang masih ada hubungan saudara seperguruan dengan Ang Lian Lihiap sendiri, terdapat pula di situ, Tentu saja ketika mereka minta pertolonganku untuk membantu melindungi ayahmu dari serangan penjahat-penjahat yang datang, aku tidak menolaknya. Ternyata yang datang bukanlah penjahat-penjahat, sebaliknya adalah Ang Lian Lihiap dan para pendekar kang-ouw. Aku tertipu tapi betapapun juga, aku tidak pernah melakukan kejahatan. ”

“Tidak, Cin Han koko, kau bukan penjahat. Kau bahkan telah menolongku dari si jahanam Biauw itu…… biarpun ayah termasuk golongan penjilat kaisar juga, hal ini kuakui, tapi aku sebagai anaknya belum begitu jahat untuk tak dapat membedakan mana penjahat mana orang baik. Biarlah, kalau aku bisa berjumpa dengan Ang Lian Lihiap, akan kujelaskan kepadanya bahwa kau putih bersih tak ternoda dosa…… Ah, kasihan kau, koko, semua orang memusuhimu. Pihak Pek-lian-kauw dan Kwi- coa-pai pasti akan mencari-carimu untuk membalas dendam, sedangkan Ang Lian Lihiap dan kawan- kawannya tetap akan mengejar-kejarmu sebagai seorang pengkhianat.”

Lian Hwa mendengarkan semua percakapan itu dengan tubuh gemetar. Ia terharu sekali. Ia merasa telah berlaku sewenang-wenang terhadap Cin Han. Dan Giok Lie demikian baik, demikian lemah lembut, tidak seperti dia, wanita kasar dan kejam. Tiba-tiba ia tersedu dan segera ditahannya tangis yang telah menerjang keluar dari dadanya, tapi suara isaknya telah keluar dari kerongkongannya.

Cin Han yang mendengar suara di luar ini lalu mengumpulkan tenaga dan meloncat keluar. Ia masih dapat melihat Han Lian Hwa lari pergi dengan cepat sambil menangis.

“Lian-moi......! Adik Lian…… berhentilah……?” Ia lari mengejar, tapi gerakan Ang Lian Lihiap cepat luar biasa hingga sebentar saja ia telah lenyap ditelan malam gelap.

Sementara itu terdengar suara Giok Lie memanggil-manggil, maka Cin Han segera lari ke pondok.

“Lihat, koko, barang ini melayang masuk dari jendela,” kata gadis itu sambil memperlihatkan sehelai kain putih.

Cin Han mengambil sutera itu dengan dan membaca tulisan darah di atas sutera putih yang berbunyi, “Maafkan aku yang ceroboh.”

di bawah itu terlukis bunga teratai. Tulisan dan lukisan itu terang sekali dibuat dengan darah!

Cin Han memandang sutera itu dengan terharu. Tiba-tiba Giok Lie memegang lengannya. “Koko, dia…… dia cinta padamu.”

Cin Han menengok dengan pandangan bodoh dan sedih.

“Lihat koko. Kain ini adalah potongan ujung baju, dan tulisan ini ditulis dengan darah. Tentu ia merasa menyesal sekali telah melukaimu maka ia menggigit ujung jarinya untuk menulis surat ini!”

Cin Han makin terharu. Kalau benar pendekar wanita itu menyesal dan cinta padanya, mengapa ia lari pergi? Karena merasa sedih ditambah lukanya terasa lagi karena ia mengeluarkan tenaga ketika lari tadi, kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang dan ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Baiknya Giok Lie segera memburu dan gadis itu memeluknya lalu membawanya ke pembaringan. Dengan sangat teliti Giok Lie merawat luka Cin Han, mencuci dan membalut pundak dan lengan yang luka itu, hingga dua hari kemudian Cin Han merasa tubuhnya segar kembali, biarpun lengan kiri dan pundaknya masih agak sakit karena lukanya belum kering betul. Baiknya ia selalu membawa obat luka buatan gurunya yang dapat menghentikan jalannya darah dan mencegah masuknya racun dalam luka. Ia merasa berterima kasih sekali atas kebaikan hati gadis itu yang menganggapnya sebagai kakak sendiri.

Setelah badannya kuat kembali, pertama-tama yang dilakukan ialah menyelidik di gedung Pangeran Coa Kok Ong. Ia mendapat keterangan bahwa selain orang-orang she Biauw dan Lam Beng Sun si dorna, keluarga Coa semua tidak ada yang diganggu oleh rombongan penyerang. Tapi karena takut, Pangeran Coa berikut keluarganya semua pindah ke kota raja di mana mereka mempunyai sebuah gedung pula.

Tidak ada diceritakan orang tentang kehilangan Coa siocia. Agaknya Coa Kok Ong hendak merahasiakan tentang lenyapnya gadis itu untuk menjaga nama.

Mendengar bahwa orang tuanya telah meninggalkan dirinya, Coa Giok Lie menangis sedih.

“Adikku yang baik, jangan kau bersedih. Ayahmu baru kemarin berangkat, marilah kita susul saja pasti kita akan dapat mengejarnya.” Cin Han berkata dengan suara menghibur.

Giok Lie mengangkat mukanya dengan girang. “Kau mau mengantarku, koko?”

Cin Han mengangguk dan gadis itu segera menyusut kering air matanya. Karena Giok Lie memakai beberapa perhiasan berharga, maka mudah saja mereka mendapatkan dua ekor kuda bagus yang mereka tukar dengan emas perhiasan. Maka berangkatlah mereka naik kuda mengejar rombongan Coa Kok Ong.

Biarpun tidak pandai ilmu silat, namun Coa Giok Lie biasa naik kuda, bahkan boleh dikatakan pandai, karena sejak kecil ia suka sekali naik kuda dan permainannya ini dituruti saja oleh ayahnya yang memanjakannya. Hal ini ternyata menguntungkan mereka pada saat itu, karena mereka dapat dengan cepat melakukan pengejaran.

Setiap kali memasuki sebuah kota dan kampung, Cin Han bertanya tentang rombongan Pangeran Coa kepada penduduk di situ, maka tahulah ia bahwa rombongan itu tidak dapat berjalan cepat karena membawa kereta yang diduduki anggauta keluarga wanita. Maka ia mengajak Giok Lie mempercepat larinya kuda.

Pada keesokan harinya menjelang senja, mereka dapat mengejar rombongan pangeran itu dalam sebuah hutan.

Tapi alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa rombongan itu tengah diserbu oleh segerombolan perampok. Terdengar jeritan minta tolong dari kaum wanita. Suara beradunya senjata tambah menyeramkan suasana. Pengawal-pengawal dengan nekad mengangkat senjata dan mencoba membela majikan mereka dari serangan penjahat. Giok Lie berseru kaget ketakutan.

Cin Han meloncat turun dari kuda, “Siocia jangan bergerak. Tunggu saja di sini, biar aku menolong keluargamu!”

Kemudian ia lari secepat terbang ke tempat pertempuran itu. Datangnya pemuda pendekar ini mengacaukan para perampok. Di mana saja bayangan Cin Han berkelebat di situ tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang anggauta perampok jatuh terguling. Karena tidak mau membinasakan banyak orang, Cin Han hanya menggunakan tangan kosong dan bergerak bagaikan seekor garuda menyambar-nyambar dengan Hun-kin-coh-kut yakni ilmu pukulan putuskan otot lepaskan tulang, sehingga sebentar saja para perampok jatuh rebah bergulingan, bertumpuk-tumpuk dan mulut mereka merintih-rintih.

Cin Han melihat ke arah kereta. Dilihatnya bahwa Pangeran Coa Kok Ong dan isterinya telah rebah di atas tanah dan seorang penjahat sedang mengangkat golok dan mengayunkan itu ke arah leher Coa Kok Ong. Jarak antara tempat berdirinya dengan penjahat itu terpisah lima tombak lebih, maka untuk dapat menolong ayah Giok Lie, pendekar muda itu memungut batu kecil dan mengayunkannya ke arah lengan penjahat. Dengan menjerit kesakitan penjahat itu melepaskan goloknya dan menggunakan tangan kiri meraba-raba lengan kanan sambil merintih-rintih.

Bagaikan kilat menyambar, Cin Han meloncat datang dan mengirim tendangan. Penjahat itu terlempar jauh dan jatuh tak bergerak lagi.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Anjing dari mana berani datang mengacau?”

Bentakan ini diikuti berkelebatnya golok besar menyambar ke leher Cin Han. Tapi Cin Han berkelit dan mengayun kakinya menendang. Ternyata penyerangnya gesit juga dan dapat meloncat ke samping menghindari tendangan.

Cin Han mengerling dan melihat bahwa penyerangnya adalah seorang tinggi kurus berwajah kejam. Tenaga orang itu besar dan goloknya berwarna merah dan basah oleh darah! Cin Han melayaninya dengan tenang dan gesit. Pada saat itu ia melihat Giok Lie lari mendatangi dan menuju ke kereta sambil berteriak-teriak memanggil ayah-ibunya, lalu menubruk dua tubuh yang rebah di atas tanah itu. Cin Han terkejut sekali.

“Kau bunuh mereka?” bentaknya kepada penyerangnya. “Ha-ha! Dan sebentar lagi kuantar kau menyusul mereka!”

Cin Han marah sekali mendengar sindiran yang sombong ini, kaki kirinya diayun lagi dengan seruan keras. Lawannya mencoba berkelit dan menangkis dengan tangan kiri, tapi tendangan ini hebat sekali dan dilakukan dengan sepenuh tenaga karena gemas. Dengan menjerit ngeri kepala perampok itu terlempar jauh dan jatuh berdebuk tidak berkutik lagi karena tulang iganya patah-patah dan mati seketika itu juga!

Cin Han memandang sekeliling, tetapi semua perampok yang masih hidup sudah melarikan diri, gentar melihat kehebatan sepak terjangnya. Beberapa belas perampok rebah berguling-guling dan merintih-rintih. Di pihak rombongan pangeran, hanya tinggal empat orang pengawal yang masih hidup, tetapi sudah hampir mati lemas kelelahan.

Cin Han segera menghampiri Giok Lie. Hatinya terharu melihat gadis itu memeluki tubuh ibunya yang rebah mandi darah dan sudah mati di dekat kereta. Nyonya tua itu telah mati karena bacokan golok pada lehernya!

Tiba-tiba Coa Kok Ong menggerak-gerakkan tubuhnya. Cin Han cepat menghampiri dan menotok pundak kiri orang tua itu untuk menghentikan jalan darah ke arah dada yang terluka sehingga pangeran itu tidak menderita sakit terlalu hebat. Tetapi melihat keadaannya, diam-diam Cin Han maklum bahwa jiwanya takkan tertolong lagi.

Giok Lie lari dan menubruk ayahnya.

“Ayah.    !” Coa Kok Ong memandang puterinya.

“Kau…… Giok Lie……?” ia lalu memandang Cin Han yang berjongkok di dekatnya. “Hwee-thian Kim- hong.......? Kau yang menolong kami? Terima kasih…… janganlah kepalang kau menolong…… tolonglah juga anakku ini....... lindungi ia........ aku serahkan Giok Lie…… kepadamu !”

Dan pangeran itu menghembuskan napas terakhir diikuti pekik Giok Lie yang lalu jatuh pingsan. Cin Han dengan tidak sungkan lagi memijit urat leher gadis itu sehingga terdengar ia menjerit perlahan dan sadar dari pingsannya lalu menangis sedih, dihibur oleh kata-kata halus dari Cin Han.

Setelah memesan kepada empat pengawal yang masih hidup itu untuk mengurus semua jenazah dan minta bantuan orang-orang kampung yang dekat dengan hutan itu, Cin Han dan Giok Lie naik kuda dan pergi dari situ.

Sebenarnya Giok Lie amat berat hatinya meninggalkan jenazah orang tuanya tanpa menanti sampai dikebumikan, namun ia maklum bahwa Cin Han tidak aman berada di tempat itu, di daerah yang dikuasai Kwi-coa-pai. Maka dengan sedih ia ikut pemuda yang telah dipercayai ayahnya untuk menjadi pelindungnya.

Kalau ia teringat ucapan terakhir dari ayahnya bahwa dirinya telah di“serahkan” kepada Cin Han, ia merasa seluruh mukanya panas, hatinya berdebar-debar dan ia tidak berani memandang wajah Cin Han.

Beberapa hari kemudian mereka tiba di rumah Gan Keng Hiap, paman dan guru pemuda itu. Cin Han lalu menuturkan pengalamannya dan riwayat Giok Lie. Paman dan bibinya merasa terharu mendengar nasib gadis cantik itu, maka ketika Cin Han minta pertolongan mereka untuk menerima Giok Lie yang sebatang kara tinggal di situ, mereka tidak ragu-ragu berkata,

“Siocia, jangan sedih. Biarlah kami berdua menjadi pengganti orang tuamu.”

Giok Lie menubruk dan memeluk nyonya Gan sambil menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu ia menyebut ayah dan ibu kepada suami-isteri Gan yang budiman itu. Dari Gan Keng Hiap, Cin Han mendengar akan keadaan pemerintah di saat itu. Kini dia tahu akan siasat kaisar yang sangat licin, yaitu siasat mengadu domba untuk melemahkan semangat pemberontakan rakyat Tiongkok yang tertindas.

Ia kini tahu peranan apakah yang dipegang oleh Kwi-coa-pai dan Pek-lian-kauw sebagai pelopor barisan pro kaisar. Ia kini dapat menduga bahwa Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya yang menyerbu gedung Pangeran Coa Kok Ong adalah golongan anti kaisar. Maka ia menyesal sekali mengapa ia demikian bodoh hingga mudah saja tertipu oleh Lie Thung dan Hong Su ketua Kwi-coa-pai itu.

“Cin Han, kau adalah keturunan seorang berjiwa besar, dan kau sudah seperti anakku sendiri,” kata sasterawan tua itu bersemangat, “maka agaknya arwah orang tuamu akan tersenyum bangga jika kali ini kau dapat menyumbangkan tenaga dan kepandaianmu demi kepentingan rakyat dan negara. Ketahuilah, kaisar lalim yang menjajah negeri kita ini sedang berusaha untuk menghancurkan atau sedikitnya mengurangi tenaga para patriot yang anti pemerintahannya. Ia menggunakan siasat mengadu domba dan menghasut para cerdik pandai dan para orang gagah untuk memihak kepadanya. Ia tidak segan-segan menggunakan tipu-tipu keji dan pengaruh emas dan perak.

“Dan yang menjadi tulang punggung kaisar penghisap rakyat itu dalam hal ini terutama adalah para dorna-dorna bejat moral yang menggunakan Pek-lian-kauw dan Kwi-coa-pai kedua perkumpulan iblis itu. Maka, jangan gentar, anakku, kaupergilah dan carilah hubungan dengan orang-orang gagah untuk membasmi mereka ini.”

Cin Han kagum sekali mendengar kata-kata pamannya yang bersemangat. Tidak disangkanya bahwa pamannya, seorang ahli sastera yang lemah itu, ternyata bersemangat sebagai seorang pahlawan bangsa dan mencinta tanah airnya. Ia menghaturkan terima kasih, kemudian setelah mengaso dua hari, ia minta diri dari paman dan bibinya.

Bibinya berkata, “Hati-hatilah dalam perantauanmu, Han. Dan....... kau sudah cukup umur dan…… dan…… kulihat gadis itu. ”

Gan Keng Hiap tertawa bergelak. “Betul juga kata bibimu. Anak itu walaupun keturunan pangeran penyokong kaisar, tapi kulihat selain pandai ilmu sastera, juga berwatak baik…… dan cantik. Kalau kau suka……”

Cin Han menundukkan kepala dan seluruh wajahnya memerah. Tiba-tiba ia teringat Ang Lian Lihiap dan kedua matanya menjadi basah. Maka tanpa menjawab lagi ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mengapa, Han? Apa kau tidak setuju?” tanya bibinya.

“Adik Giok Lie cukup berbudi, cukup berharga untuk diriku yang rendah ini ” kata Cin Han cepat-

cepat.

“Apa barangkali hatimu sudah terisi orang lain?” tanya pamannya.

Cin Han makin terdesak dan bingung, akhirnya dapat juga ia mencari alasan. “Siok-hu, perkara ini kurasa baik dibicarakan kelak saja. Sebagaimana siok-hu telah pesan tadi, aku menghadapi urusan besar yang bukan ringan dan yang berbahaya. Maka dalam keadaan begini, siapakah yang mau meributkan urusan kawin?”

Gan Keng Hiap dengan ketawa memukul kepalanya sendiri dan mencela isterinya, “Dasar kau yang mulai dulu. Dia benar, biarlah, hal ini kita tunda dulu, kelak masih banyak waktu untuk diurus!”

Ketika berpamit kepada Giok Lie, Cin Han merasa malu untuk memandang muka gadis itu akibat usul paman dan bibinya. Maka ia tidak melihat betapa mata gadis itu merah karena tangis dan ia hanya mendengar Giok Lie berkata halus, “Pergilah dan semoga kau bertemu dan berbaik kembali dengan dia, koko.”

Ia heran mendengar suara Giok Lie mengandung isak, tapi ketika ia angkat muka memandang, ternyata gadis itu telah memutar tubuhnya dan lari masuk ke kamar. Ia hanya dapat mengangkat pundak dan menarik napas dalam. Sungguh baginya, wanita-wanita muda mempunyai watak yang ganjil dan tidak mudah dimengerti!

Tempat pertama-tama yang dituju oleh Cin Han adalah Hun-kap-teng, tempat di mana perkumpulan Kwi-coa-pai berada. Ia merasa sangat penasaran kepada Hong Su dan kawan-kawannya yang telah menipunya sehingga dalam pandangan Ang Lian Lihiap ia telah menjadi seorang pengkhianat bangsa! Ia hendak membalas dendam dan membasmi sarang Ular Iblis itu untuk membersihkan namanya.

Tapi alangkah kecewa dan menyesalnya ketika ternyata bahwa sarang perkumpulan itu kosong, gedung besar itu sudah ditinggalkan dan tidak nampak bayangan seorangpun anggauta Kwi-coa-pai. Ia pergi ke rumah makan di mana ia berjumpa dengan Lie Thung dahulu, tapi rumah makan itu telah diurus oleh orang baru. Dengan putus asa ia pergi mencari kamar dan menyewa sebuah kamar di hotel Liang-an.

Malam hari itu ia masih merasa penasaran, lalu keluar dengan diam-diam dari jendela. Ia berjalan di atas genteng dan pergi menyelidik ke bekas gedung perkumpulan. Lama ia menanti di atas genteng itu. Tetapi ternyata ia tidak menanti dengan sia-sia, karena lama kemudian dari jurusan timur berkelebat bayangan orang.

Ketika tiba di situ, ia melihat tiga orang hwesio dan yang dua tak lain ialah kedua pengemis, si bongkok dan si kate! Kelima orang itu gesit sekali gerakannya dan ringan kakinya, lebih-lebih ketiga hwesio itu, sehingga diam-diam Cin Han terkejut dan mengeluh karena di pihak Kwi-coa-pai telah datang orang-orang begini pandai untuk membantu. Mereka meloncat turun dan memasuki kamar besar. Si pengemis bongkok memasang sebuah lilin.

Cin Han diam-diam mengintai dari atas genteng.

Mereka berlima duduk mengelilingi meja, seakan-akan ada yang mereka nantikan. Benar saja, belum lama mereka duduk, terdengar suitan nyaring. Sin Tat si bongkok membalas suitan itu dan sekejap kemudian seorang bertubuh tinggi meloncat turun memasuki kamar itu. Cin Han melihat bahwa yang masuk itu adalah Hong Su si Bayangan Iblis sendiri, ketua dari Kwi-coa-pai! Ketiga hwesio itu saling memberi hormat dengan Hong Su dan ketua ini melayaninya dengan penuh hormat. Kemudian Hong Su bertanya kepada Kok Pin si pengemis kate. Cin Han tidak begitu mendengar pertanyaan ini, hanya ia tahu bahwa Hong Su menanyakan seseorang.

“Ia benar-benar kembali, sekarang di hotel Liang-an,” jawah si kate.

Jawaban ini membuat Cin Han terkejut. Sudah tahukah mereka ini bahwa ia datang mencari mereka?

Kemudian orang-orang dalam kamar itu bangun dari tempat duduk mereka dan berjalan keluar. Dengan cepat sekali mereka meloncat naik ke atas genteng dan berlari-larian bagaikan terbang. Cin Han masih terus mengikuti jejak mereka.

Seperti yang ia duga mereka itu menuju ke hotel di mana ia bermalam! Ia menjadi marah sekali dan selagi ia hendak meloncat keluar dan membentak mereka, tiba-tiba dari belakang hotel itu meloncat naik dua orang yang bersenjata pedang yang segera menyerang keenam orang itu!

Perkelahian terjadi ramai karena walaupun dikeroyok enam, kedua orang itu tidak terdesak. Ilmu pedang mereka lihai sekali dan sebentar saja mereka berhasil mematahkan semua serangan dari enam orang itu.

Cin Han merasa gatal tangan dan biarpun ia tidak kenal siapa adanya kedua orang itu, namun karena yang mengeroyok adalah musuh-musuhnya, maka ia mencabut Kong-hwa-kiam dan menyerbu bagaikan naga muda menyambar.

Keenam orang Kwi-coa-pai itu terkejut. Mereka sudah mengenal kelihaian anak muda itu, dan biarpun ketiga hwesio kawan-kawan Hong Su belum pernah bertempur melawan Cin Han, namun gerakan-gerakan pedang, pemuda itu cukup menginsyafkan mereka akan kehebatan kiam-sut dari Hwee-thian Kim-hong! Mereka ini merasa keder juga menghadapi Cin Han dan dua orang kosen itu, maka atas tanda suitan Hong mereka meloncat ke belakang dan melarikan diri!

Cin Han hendak mengejar, tetapi kedua orang itu berkata,

“Tidak perlu dikejar, masih banyak waktu untuk membasmi mereka!”

Cin Han menahan kakinya dan ketika ia hendak menanyakan nama mereka, kedua orang itu hanya tertawa dan meloncat pergi di dalam gelap! Melihat orang itu tidak suka bertemu dan bercakap- cakap dengan dia, Cin Han hanya menggerakkan pundak dan meloncat memasuki kamarnya.

Di dalam kamarnya ia melihat sehelai kertas, di atas meja yang berisi tulisan :

“Sarang Kwi-coa-pai pindah ke Lam-hu-teng dan kedudukannya sangat kuat. Tunggu serbuan kawan- kawan pada malam limabelas.”

Surat itu tidak ditanda-tangani, tetapi Cin Han dapat menduga bahwa yang menulis tentu dua orang tadi. Ia dapat juga menduga bahwa dua orang gagah tadi tentu golongan anti kaisar dan kawan- kawan Ang Lian Lihiap. Malam limabelas ialah lusa malam dan Lam-hu-teng terletak di selatan, pikirnya. Kalau berkuda, maka dua hari tentu ia sampai di sana.

Esok harinya, pagi-pagi sekali, Cin Han mencari seekor kuda yang kuat dan melarikan kuda itu menuju ke Lam-hu-teng. Karena kuda itu kuda murah, maka ia tidak berani memaksanya untuk membalap, takut kalau-kalau mogok di tengah jalan, karenanya ia sering berhenti dan membiarkan kudanya beristirahat. Hal ini memperlambat perjalanannya, sehingga pada hari keduanya, ia memasuki kota Lam-hu-teng pada waktu hari sudah gelap.

Ia mendapat kamar di sebuah penginapan. Ketika ia memasuki kamar dan membuka jendelanya karena hawa dalam kamar itu agak panas, sehelai kertas melayang masuk kamar dari jendela. Cin Han memungut kertas itu yang ternyata berisi lukisan peta kota dan yang menunjukkan di mana letaknya sarang Kwi-coa-pai!

Ia merasa girang sekali melihat bahwa orang-orang sehaluan sedang membantunya, tapi ia penasaran juga mengapa mereka itu tidak mau datang menjumpainya dengan berterang. Agaknya mereka masih mencurigaiku, pikirnya.

Setelah ganti pakaian dan tidak ketinggalan lukisan burung Hong menghias dada, Cin Han meloncat ke atas genteng menuju ke sarang Perkumpulan Ular Iblis sebagaimana yang tersebut di dalam surat tadi. Ketika tiba di tempat yang dimaksud, ia heran dan bimbang karena tempat itu ternyata adalah sebuah kelenteng besar. Apakah perkumpulan jahat itu bersarang di tempat suci ini? Tetapi ia tetap waspada dan hati-hati.

Gesit laksana kucing ia meloncat tanpa mengeluarkan suara ke bagian belakang. Tiba-tiba dari sebuah kamar di bawah ia mendengar suara mendesis-desis. Suasana sunyi sekali, maka suara itu terdengar nyata. Suara itu tidak keras, tapi kecil dan tajam menyakitkan telinga.

Cin Han menggunakan gerakan Naga Sakti Menembus Awan, meloncat turun dari bubungan ke tiang yang melintang di atas jendela kamar itu, kemudian dengan sekali berjumpalitan, ia mengaitkan kakinya ke tiang itu dan tubuhnya bergantung ke bawah. Ia telah bergerak dengan gerakan Ular Emas Lilitan Ekor. Dari situ ia dapat mengintai ke dalam kamar dengan leluasa sekali.

Ia melihat di dalam kamar itu terdapat belasan orang duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka diam tidak bersuara dan tidak bergerak sedikit juga, bagaikan patung-patung. Hanya seorang saja diantara mereka, yaitu Hong Su ketua Kwi-coa-pai, yang tampak bergerak perlahan, mengikuti gerakan-gerakan seekor ular hitam yang melingkar bulat di tengah meja, dengan kepala dan leher tegak ke atas dan bergoyang-goyang bagaikan menari.

Suara mendesis-desis tajam tadi keluar dari mulut ular yang mengembang-kempiskan lehernya. Semua orang dalam ruangan itu memandang dengan wajah tegang ke arah Hong Su yang menghadapi ular itu dan yang berusaha menjinakkan binatang buas itu.

Tapi ketua Kwi-coa-pai ini menghadapi ular itu dengan senyum simpul, agaknya dia sudah biasa dengan permainan ini! Cin Han memperhatikan orang-orang yang mengelilingi meja itu. Ia meiihat Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan, sepasang pengemis aneh Kok Pin dan Liok Sin Tat, Tie Bong Hwesio, tiga hwesio yang ia lihat bersama kedua pengemis kemarin dulu, dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya, tetapi yang kesemuanya kelihatan terdiri dari orang-orang ahli silat.

Ketika ia memandang ke arah Hong Su, ternyata ketua ini telah mengeluarkan sepotong bambu dan memegangnya di tangan kiri. Lalu ia menjulurkan kepala mendekati ular itu dan mengeluarkan suara desisan meniru-niru bunyi ular.

Ular itu menjadi marah, dan sekali membuka mulut maka keluarlah uap hitam kehijau-hijauan dari mulutnya! Uap racun itu menyambar ke arah Hong Su.

Si Bayangan Iblis ini cepat memiringkan kepalanya dan menggunakan bambu itu untuk menutup kepala ular. Tapi ular hitam itu biarpun tubuhnya besar ternyata dapat mengelak dengan gesit dan ia membalas menyerang. Kepalanya meluncur merupakan senjata berbisa dan menyambar ke arah leher Hong Su!

Si Bayangan Iblis memperdengarkan suara ketawa mengejek dan mengulur tangan kanan lalu menggunakan dua jarinya hendak menjepit leher ular itu! Tapi karena ular itu tiba-tiba melengkungkan lehernya, maka jari tangan Hong Su tidak dapat menjepit dengan tepat pada bagian lehernya, tetapi agak ke bawah di bagian perut.

Ular itu menggerakkan ekornya, menyabet ke atas mengarah kepala Hong Su dan berbareng leher dan kepalanya yang masih bebas itu bergerak membalik dengan mulut terbuka lebar hendak menggigit lengan Hong Su yang memegang perutnya! Serangan ini berbahaya sekali dan semua orang berseru kaget, bahkan Cin Han yang berada di luar juga merasa terkejut melihat kelihaian ular itu.

Tapi pada saat itu terlihat bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu kepala dan ekor ular hitam yang menyerang Hong Su itu telah hancur dan tubuhnya terkulai lemas, bergantung di tangan Hong Su yang masih menjepit perut ular!

Semua orang memandang kepada seorang laki-laki bopeng yang dengan tenang mengebut-ngebutkan saputangannya. Orang itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan wajahnya belang-belang bagaikan kedok, kulitnyapun hitam dan bolong-bolong bekas penyakit cacar, sedangkan hidungnya menjungat ke atas sehingga ia kelihatan selalu berdongak ke atas. Semua orang memuji ketangkasannya karena dengan sekali kebut saja, kain yang lemas halus itu telah dapat menghancurkan kepala dan ekor ular tadi.

Diam-diam Cin Han kagum juga dan ia mengeluh karena kali ini ia akan berhadapan dengan seorang yang benar-benar merupakan lawan berat. Tetapi Kwi-eng-cu Hong Su si Bayangan Iblis memandang tamunya dengan senyum dingin dan jelas kelihatan air mukanya membayangkan tidak senang hati.

“Oei Koai-hiap sungguh lihai, tapi sayang ular lambang perkumpulanku telah mati dan tidak mudah dicari gantinya. Sayang aku tidak segagah Oei Koai-hiap untuk dapat mencari pengganti ular perkumpulanku ” Hong Su mengeluh dan suaranya penuh penyesalan. Orang yang buruk mukanya itu ialah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Kepalan Delapan. Ia selain terkenal berkepandaian tinggi, juga terkenal mempunyai adat yang aneh, maka ia disebut Koai- hiap. Ketika mendengar keluhan Hong Su, hidungnya yang berdiri ke atas itu mengeluarkan suara ejekan dan sambil memutar-mutar saputangannya ia berkata, suaranya nyaring dan tinggi.

“Dibantu tidak menerima bahkan menyesal, beginilah adat dunia. Di luar ada musuh kuat bahkan bermain-main dengan ular berbisa, beginilah kelakuan orang-orang ceroboh. Aku kenal ularmu itu, Hong-pai-cu, bukankah itu disebut Ouw-kwi-coa atau Ular Iblis Hitam yang hanya terdapat di daerah barat? Kau agaknya lebih sayang ular itu daripada jiwamu, dan aku telah salah tangan membunuh kekasihmu itu. Biarlah, kucarikan gantinya.” Oei Gan berjalan ke pintu.

Diam-diam Cin Han terkejut karena ternyata orang aneh itu telah tahu bahwa ia bersembunyi dan mengintai di luar.

Hong Su buru-buru mengejar. “Tidak usah, Koai-hiap. Biarlah yang sudah mati biar mati, tapi kita sedang menghadapi perkara besar, janganlah kau pergi!”

“Ha-ha. Urusanmu bukan urusanku. Perkaramu bukan perkaraku. Aku datang hanya ingin berkenalan dan coba-coba kepandaian orang-orang gagah yang kaukatakan jahat dan telah menjadi musuh- musuhmu. Tapi aku telah salah tangan dan aku paling benci mempunyai hutang. Sekarang boleh dikata aku berhutang kepadamu. Hutang seekor ular Ouw-kwi-coa. Harus kubayar secepat mungkin.”

Sambil berkata demikian ia mengepal-ngepal saputangan tadi menjadi bulat dan tiba-tiba ia menimpukkan kain itu keluar jendela.

Cin Han melihat datangnya kain bulat itu cepat sekali bagaikan sebuah pelor besi ke arah tubuhnya yang bergantung, tentu saja ia merasa terkejut sekali. Tapi ia segera menahan napas di dadanya dan menggunakan tenaganya meniup ke arah pelor kain itu yang segera kehilangan tenaga luncurannya dan melayang ke bawah merupakan sehelai saputangan.

Oei Gan tertawa bergelak-gelak.

“Eh, tuan-tuan yang gagah perkasa. Ada tamu lihai datang, kenapa tidak segera disambut? Sebetulnya tamu yang datang ini cukup berharga untuk dipakai mengukur tenaga, sayang hutangku belum lunas. Nah, sampai ketemu lain kali!” Kemudian tanpa menoleh ia meloncat pergi dari situ.

Hong Su dan kawan-kawannya kini tahu bahwa di luar ada orang mengintai, maka mereka segera mengambil senjata masing-masing dan meloncat keluar. Cin Han mendahului mereka meloncat ke atas wuwungan dengan Kong-hwa-kiam di tangan.

Baru saja kakinya menginjak genteng, telinganya dapat menangkap suara angin senjata rahasia yang menyambar dari tiga jurusan ke arah leher, dada dan lambungnya. Cin Han mengulur kedua tangan untuk menangkap dua batang piauw yang menyambar dada dan lambung, sedangkan piauw yang menyambar lehernya ia kelit. Pada saat itu datang pula menyambar tiga batang piauw. Ia mengayun tangan menyambit dengan kedua piauw yang ditangkapnya tadi dan lemparannya tepat mengenai piauw yang datang menyambar sehingga semua senjata rahasia terpukul jatuh ke atas genteng.

“Hong Su manusia iblis, jangan berlaku pengecut! Keluarlah terima binasa!” teriak Cin Han gemas.

Sembilan orang meloncat ke depannya, dan Hong Su berada di depan sendiri sambil memegang sepasang siang-kek di kedua tangan berkata marah.

“Hm, kukira siapa, tidak tahunya Hwee-thian Kim-hong si burung Hong mau mampus dan penculik anak gadis orang! Kebetulan sekali. Banyak tamu datang dan aku tidak mempunyai hidangan istimewa. Sekarang ada burung Hong datang karena bosan hidup, mari kawan-kawan! Kita tangkap burung ini dan dipanggang dagingnya!”

“Manusia tak tahu malu!” Cin Han memaki dan sesaat kemudian Kong-hwa-kiam di tangannya telah menyambar-nyambar dan mengeluarkan cahaya putih berkilauan karena ia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yaitu Hwie-liong-kiam-sut.

Hong Su yang maju berbareng dengan Kok Pin dan Liok Sin Tat sepasang pengemis, segera terdesak hebat. Kawan-kawan yang lain segera maju mengepung Cin Han dan sebentar saja delapan orang, kecuali tiga hwesio gundul itu, telah mengeroyoknya.

Pengepungnya terdiri dari jagoan-jagoan dan cabang-cabang atas yang semuanya memegang senjata mustika, maka dapat dibayangkan betapa lihai dan berbahayanya mereka itu. Tapi, kali ini Cin Han mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia memainkan Hwie-liong-kiam-sut dengan baik dan cermat sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang baru anginnya saja sudah sangat tajam mengiris kulit. Inilah kehebatan ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu yang telah dimiliki Cin Han lebih dari tiga perempat bagian.

Pada saat itu terdengar suitan nyaring dan lima orang meloncat naik ke atas genteng. Seorang diantaranya yang bertubuh kecil ramping, langsung menerjang kepungan dan membantu Cin Han. Pedangnya berkelebat cepat dengan gerakan-gerakan aneh sehingga sebentar saja pengeroyok Cin Han menjadi kacau balau dan terbagi menjadi dua rombongan.

Cin Han melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah Ang Lian Lihiap, maka tidak terkira besarnya rasa girang dalam hatinya. Ia memperhebat gerakan pedangnya dan karena sekarang yang mengurungnya telah terbagi dua, gerakan pedangnya yang menyerang secara hebat akhirnya berhasil juga.

Dengan tipu Naga Terbang Mengejar Mustika, Kong-hwa-kiam nya berkelebat dibarengi tendangan ke arah Hong Su, serangan ini hebat karena tipu gerakan pedang itu sudah sangat lihai dan berbahaya, ujung pedang meluncur maju mengarah dada orang dengan cepat dan sedikit terputar, ditambah lagi dengan tendangan yang dila-kukan dengan ilmu tendangan Siauw-cut-wi, yakni tendangan berantai yang jika dapat dikelit lalu terus disusul dengan tendangan kaki lain bertubi-tubi dengan cepat dan berat. Sungguhpun Hong Su dijuluki orang Bayangan Iblis dan sangat gesit gerakannya sehingga dapat juga ia mengelit tusukan pedang Cin Han, tapi pada gerakan tendangan ke tiga ia tidak sempat berkelit lagi sehingga pergelangan tangannya tertendang dan sebatang tombak cagaknya terpental ke atas.

Ia merasakan lengannya sakit sekali dan sebelum ia dapat meloncat pergi, ujung Kong-hwa-kiam telah menyambar dan membacok pundaknya! Si Bayangan Iblis, ketua Kwi-coa-pai menjerit ngeri dan ia jatuh menggelundung ke bawah dari atas genteng.

Empat kawan Lian Hwa yang ikut datang itu ternyata adalah Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, Pek Siong Tosu, Ciu-san Kong Sin Ek dan Hwat Kong Hwesio suheng dari nona itu. Mereka berempat juga telah bertempur melawan tiga hwesio dan sebagian orang yang tadi mengeroyok Cin Han.

Tiba-tiba Kong Sin Ek berseru, “Saudara-saudara! Tahan dulu!” Semua orang yang sedang bertempur mendengar seruan yang keras sekali ini merasa heran dan menahan senjata masing-masing.

“Bukankah sam-wi suhu ini Sam Lojin dari Ki-lee?” tanya Kong Sin Ek kepada tiga hwesio yang tadi bertempur dengan kawan-kawannya.

Ketiga hwesio membalas bertanya, “Dan congsu bukankah Ciu-sian enghiong Kong Sin Ek?”

“Ha-ha! Kita bertempur melawan orang sendiri!” Si Dewa Arak berkata keras. “Tapi maaf, sam-wi suhu, mengapa sam-wi yang hidup penuh damai dan bahagia di kelenteng Kok-sin-bio, bisa sampai di sini dan membantu para anjing penjilat kaisar lalim ini?”

“Eh, congsu jangan sembarangan menuduh!” jawab seorang daripada tiga orang tua gagah dari Ki-lee itu. “Kami tidak ada hubungan dan tidak kenal dengan kaisar yang mana juga. Kami datang karena mendengar bahwa murid Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, yang disebut Ang Lian Lihiap, katanya melanjutkan keganasan suhunya dan mengumpulkan kawan-kawan untuk membasmi habis semua anggauta perkumpulan Kwi-coa-pai dan Pek-lian-kauw!

“Kami bertiga walaupun tidak ada hubungan dengan kedua perkumpulan ini, namun kami tidak bisa bersamadhi dengan hati tenteram mendengar bahwa orang-orang hendak mengandalkan kegagahan dan membasmi orang-orang lain bagaikan membunuh semut saja. Terpaksa kami turun tangan membela yang lemah dan tertindas sebagaimana telah menjadi tugas bersama yang mau menyebut diri orang-orang kang-ouw!”

“Ha-ha! Tidak salah kata orang bahwa kaisar lalim ini memang cerdik dan licin sekali. Sam-wi telah terbujuk orang. Perkumpulan Kwi-coa-pai dan Pek-lian-kauw bukanlah perkumpulan-perkumpulan bersih sebagaimana yang kebanyakan orang kira. Kedua perkumpulan ini telah makan suapan dan kini menjadi kaki tangan para dorna untuk memeras rakyat dan mengadudombakan para enghiong di seluruh Tiongkok. Masih belum sadarkah sam-wi?”

“Tutup mulutmu yang kotor!” Tiba-tiba Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan meloncat maju dan memaki Kong Sin Ek. “Akulah anggauta Pek-lian-kauw. Jangan kau sembarangan memburukkan nama perkumpulanku dihadapan lain orang! Hinaanmu ini harus dibalas dan dicuci dengan darah. Tapi karena anggauta Pek-lian-kauw yang ada malam ini hanya aku seorang sedangkan di pihakmu banyak, maka aku mewakili Pek-lian-kauw untuk menantang kalian. Beranikah engkau dan kawan-kawanmu ini datang ke Gunung Hong-lai-san pada nanti musim chun malam ke limabelas untuk menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul?”

“Baik, baik! Bagi kami mau sekarang boleh juga, kalau kau tidak berani sekarang, mau nanti malam ke limabelas bulan satu musim chun boleh saja. Kami pasti datang, tapi jangan kau main-main dan diam- diam meninggalkan tempat itu!”

Thio Lok mendengar sindiran ini merasa gemas sekali, tapi karena lawan demikian banyak dan semuanya lihai, ia hanya mengeluarkan suara jengekan dari hidung lalu memutar tubuhnya hendak pergi.

“Eh, eh, nanti dulu,” tiba-tiba Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa meloncat menghalangi jalannya. “Bukankah kau ini yang bernama Thio Lok dan bukankah benar seperti kata orang bahwa kau adalah murid dari Khai Sin Susiok?”

“Benar, aku adalah murid tunggal dari Khai Sin Tosu, apa hubungannya dengan kau?”

“Ah, mengapa begitu? Guruku Ong Lun adalah supekmu sendiri dan kau terhitung masih adik seperguruan dengan aku biarpun usiamu lebih tua.”

“Kau? Hm, siapa yang mempunyai saudara seperguruan dengan kau? Guruku pun tidak mempunyai murid keponakan macammu ini.”

“Kurang ajar! Mengapa Khai Sin Susiok mempunyai murid macam ini? Saudara, sekali lagi kuperingatkan bahwa kau bertindak salah sekali telah menjadi anggauta Pek-lian-kauw! Gurumu akan marah kalau tahu akan hal ini!”

“Ha-ha-ha!” tiba-tiba Thio Lok yang biasanya bermuka masam itu tertawa geli. “Guruku sendiri menjadi pengurus Pek-lian-kauw, masa ia akan marah? Ah, sudahlah, barangkali otakmu miring, seperti gurumu yang gila itu!”

Mendengar gurunya yang tercinta dimaki orang, naiklah darah Lian Hwa. Ia mencabut Sian-liong-kiam dan menusuk dengan cepat sekali kepada Thio Lok.

Thio Lok menangkis dan mereka saling menyerang dengan sengit. Orang tua gagah dari Ki-lee yang paling tua meloncat untuk memisah mereka, tapi Ang Lian Lihiap membentaknya,

“Aku bertempur dengan sute sendiri, ada hubungan apa dengan kau?”

Terpaksa hwesio ini meloncat mundur. Lian Hwa maju lagi dan menyerang dengan menggunakan ilmu silatnya yang aneh. Biarpun kepandaian mereka didapat dari satu cabang, namun karena gerakan- gerakan Lian Hwa adalah ciptaan Ong Lun sehingga mengalami banyak perobahan serta mempunyai keistimewaan-keistimewaan tersendiri, maka sebentar saja Thio Lok terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja. Pada jurus keduapuluh empat, tiba-tiba pedang Lian Hwa dapat melukai paha Thio Lok yang roboh tidak berdaya. Lian Hwa akan menyusul dengan satu tusukan mematikan, tapi tiba-tiba Hwat Kong Hwesio membentak,

“Sumoi, jangan!!” Dan Lian Hwa yang sudah biasa mentaati perintah suhengnya, mengurungkan tusukannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar