Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) Jilid 06

Jilid 06

Sepasang mata orang itu memandangnya. Karena bulan bercahaya suram-suram maka Cin Han tidak dapat melihat dengan jelas, hanya tampak seakan-akan dari sepasang mata itu mengeluarkan cahaya. Ia tidak tahu bahwa orang itu memandangnya dengan kagum.

“Kau anak kecil tahu apa? Jangan turut campur!” Sambil berkata demikian orang itu menggerakkan tubuhnya meloncat ke bawah tanpa memperdulikan lagi kepada Cin Han. Pemuda itu penasaran dan marah sekali, ia mengayunkan pedangnya dan melompat mengejar lalu mengirim sebuah tusukan sambil berteriak, “Awas pedang!”

Orang itu berkelit cepat dan berteriak kaget ketika pedang Cin Han menyerempet pundaknya dan hampir saja melukainya. Ia tidak menyangka pemuda itu demikian lihai.

“Tahan!” serunya marah. “Siapa kau? Apa hubunganmu dengan Gan Keng Hiap?” Cin Han tersenyum mengejek. “Kau mau tahu sekarang? Dengar baik-baik, Gan Keng Hiap adalah pamanku, dan aku menjadi pelindungnya!”

“O, begitu? Ha, ha! Kau sombong, anak muda, sungguhpun kuakui bahwa ilmu pedangmu tidak jelek. Mari-mari, majulah, mari kita main-main sebentar, takkan terlambat bagiku untuk mengambil nyawa orang she Gan itu sebentar lagi.”

Mendengar kata-kata ini Cin Han menjadi marah sekali. “Mudah saja, lebih dulu aku akan mengambil kepalamu!” Maka iapun menyerang dengan hebat. Pedang Kong-hwa-kiam diputar cepat mengeluarkan sinar berkilauan dan mengeluarkan angin dingin.

“Bagus juga kiam-hwatmu!” Orang aneh itu berkelit dan ia makin kagum saja melihat permainan pedang pemuda itu.

Biarpun Kong-hwa-kiam-sut yang dimainkan Cin Han sangat luar biasa dan gerak-geriknya cepat melebihi burung kepinis, namun ternyata orang aneh itu lebih hebat lagi gerakan-gerakannya. Ia berkelit ke sana ke mari, menerobos di antara sinar pedang yang mengurungnya, dan kadang-kadang membalas menyerang dengan pukulan atau tendangan berbahaya. Cin Han mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, tapi setelah bertempur seratus jurus, ia mulai terdesak. Ia kalah ulet dan kalah tenaga.

Pada saat ia terdesak sekali menghadapi tendangan beruntun dari orang aneh itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Ong Lun, kau orang tak tahu diri!!”

Dan tampak bayangan putih berkelebat di depan Cin Han untuk menahan serbuan orang aneh itu.

Cin Han meloncat mundur dengan hati girang karena yang datang itu bukan lain ialah Gwat Liang Tojin, gurunya.

“Ha, ha, ha! Aku tadi sudah merasa curiga terhadap anak muda ini. Memang ilmu pedangnya mengingatkan daku akan engkau orang tua,” tamu malam yang aneh itu tertawa bergelak-gelak.

Gwat Liang Tojin menudingnya dan berkata dengan suara tetap. “Ong Lun! Kau tahu betapa besar rasa sayangku kepadamu. Kau sudah kuanggap adik kandungku sendiri, bahkan kita sudah saling bersumpah untuk bersetia kawan. Tapi kau yang selalu kukagumi, ternyata tak lain hanya seorang lemah, seorang pengecut.”

“Gwat Liang suheng, mengapa kau begitu marah? Mungkin sutemu ini seorang lemah, ini kuakui, tapi mengapa kau menyebutku pengecut?”

“Bukankah itu disebut lemah dan rendah bila seorang hohan menjadi mata gelap hanya karena wanita? Dan bukankah pengecut sekali bila seorang gagah berilmu tinggi memusuhi seorang sasterawan lemah tak berdosa hanya karena seorang perempuan? Ah, Ong Lun, Ong Lun…… kau harus malu!” “Sasterawan lemah? Tak berdosa? Suheng, kau belum tahu duduknya perkara. Orang she Gan itulah yang pantas disebut orang tak tahu malu. Ia menggunakan wajah tampan dan kedudukan sebagai seorang sasterawan untuk memikat hati wanita yang kucinta. Aku sudah menderita dan menahan gelora hatiku untuk puluhan tahun, tapi hatiku makin menderita, suheng. Kalau aku belum mengirim orang she Gan itu ke neraka, hidupku akan makin tersiksa saja.”

“Betulkah kata-katamu ini?” Suara Gwat Liang membayangkan keragu-raguan. “Tentu saja betul……”

“Bohong!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari bawah. Ternyata yang berteriak itu adalah nyonya Gan Keng Hiap yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka di atas genteng yang diucapkan dengan keras. “Itu bohong belaka! Belum pernah aku mencinta kepada Sian-kiam Koai-jin Ong Lun. Memang aku kagum dan berhutang budi padanya, tapi aku tak pernah cinta padanya. Aku kawin dengan Gan Keng Hiap karena akupun cinta padanya, bukan karena pikatan. Ah, Ong-taihiap, kenapa kau jadi begitu? Rambut kita sudah putih, tapi masih jugakah kau mendendam? Kalau kau mau bunuh suamiku, bunuhlah aku lebih dulu!” Kemudian nyonya Gan Keng Hiap berlutut di atas lantai sambil menangis sedih.

Wajah Ong Lun Sian-koam Koai-jin yang tadinya tegang dan keras, kini tiba-tiba melunak dan ia menghela napas berulang-ulang.

“Ong Lun Taihiap, aku Gan Keng Hiap ada di sini, kalau taihiap masih penasaran, inilah aku, bunuhlah kalau itu kehendakmu!” terdengar suara Gan Keng Hiap berteriak-teriak pula dari bawah.

Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa menggunakan sepasang matanya yang tajam itu mengerling ke sana ke mari bagaikan seekor harimau yang terkurung. Lalu tiba-tiba ia tertawa keras, tapi suara tawanya itu seakan-akan menggemakan suara tangis yang keluar dari hati sanubarinya.

“Ha, ha, ha, ha!!! Memang aku orang rendah tiada guna. Memang aku manusia menanti ajal. Orang tak tahu diri, tak tahu malu. Pantas saja semua orang membenci. Wanita yang kutolong dan kucinta membalas membenci. Suheng yang seperti kakak sendiri juga membenci. Sudah sepatutnya, sudah sepatutnya! Biarlah, Gan Keng Hiap, kalau di dunia ini aku tak dapat menuntut balas, nanti di akhirat tentu aku akan mencari padamu!” kemudian orang aneh itu segera berkelebat pergi secepat kilat.

“Ong Lun sute, tunggu!!”

Panggilan Gwat Liang Tojin penuh suara iba. Tapi bayangan yang sudah jauh itu hanya menjawab, “Maaf, suheng!”

Dan malam kembali sunyi senyap, hanya terdengar isak tangis nyonya Gan Keng Hiap di bawah genteng.

“Nah, tugasku selesai, muridku. Sekarang aku hendak pergi.”

“Tapi suhu, siapakah orang gagah tadi? Ilmu silatnya tinggi dan hebat, dan mengapa ia memusuhi siok-hu?” tanya Cin Han yang masih berdebar dan bingung menghadapi peristiwa yang baru terjadi. “Dia adalah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, orang gagah perkasa yang jarang ada tandingannya. Ia telah mengangkat saudara dengan aku dan kami pernah sama-sama mempelajari ilmu silat tinggi. Tapi ia berwatak ku-koai (aneh) dan suka membawa mau sendiri. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang baik dan berhati emas serta luhur budinya. Tentang urusannya dengan siok-humu itu, aku tak tahu jelas, lebih baik kau tanya saja kepada mereka yang bersangkutan. Nah, sekarang aku pergi muridku. Jaga dirimu baik-baik.”

“Terima kasih, suhu, selamat jalan.”

Gwat Liang Tojin mengebutkan lengan bajunya dan tubuhnya berkelebat di malam gelap.

Malam itu Cin Han tidak mau mengganggu paman dan bibinya yang masih tenggelam dalam kesedihan dan keharuan, tapi pada keesokan harinya, terpaksa ia membuka rahasia bahwa yang datang menolong malam tadi adalah suhunya.

Gan Keng Hiap suami isteri menyesal sekali mengapa Gwat Liang Tojin tidak diminta turun dan berkenalan.

Kemudian Cin Han dengan ingin tahu sekali bertanya tentang urusan pamannya dengan Sian-kiam Koai-jin Ong Lun. Sambil menghela napas panjang Gan Keng Hiap mengangguk ke arah isterinya dan berkata.

“Kau tanya sajalah kepada bibimu.”

Dan bibinya mulai bercerita tentang masa mudanya ketika berjumpa dengan Ong Lun.

?Y?

Nyonya Gan Keng Hiap ketika masih gadis bernama Pui Sin Lan. Ayahnya adalah Pui Hok Thian, seorang pembesar menjabat pangkat ti-hu di kota Bian-touw Karena keadaan di Tiongkok pada waktu itu sangat tidak aman dan kekacauan timbul di mana-mana sebagai akibat kelaliman Raja, dan semua pembesar dan alat pemerintah hidup dengan jalan korupsi, dan memeras rakyat, dan pembesar yang adil selalu bahkan dimusuhi oleh para koruptor hingga kedudukannya terdesak, maka Pui Hok Thian yang mempunyai jiwa bersih, mengundurkan diri.

Ia mengajukan surat rekes untuk meletakkan jabatan dengan alasan kesehatan, setelah mendapat ijin dengan mudah karena pembesar atasannyapun lebih suka melihat ia berhenti, ia berkemas dan membawa isteri dan anaknya pulang ke kampung asal.

Ternyata atasannya menaruh curiga padanya dan takut kalau-kalau di belakang hari bekas ti-hu yang jujur ini akan membongkar segala rahasianya. Maka diam-diam ia menyewa beberapa orang perampok kejam untuk mencegat perjalanan Pui Hok Thian dan membunuh semua keluarganya.

Demikianlah, ketika rombongan Pui Hok Thian melalui sebuah hutan yang liar dan besar, tiba-tiba sebatang anak panah melayang cepat dan menancap di kereta yang mereka duduki. Tukang kereta dan beberapa orang pengawal dengan cemas mencabut golok membuat persiapan. Muncullah beberapa belas orang perampok yang dikepalai oleh seorang tinggi besar bersenjata siang-to. Perampok itu tanpa bertanya-tanya lagi segera menyerbu dan pertempuran berjalan dengan sengitnya.

Melihat bahwa pengawal-pengawal itu hanya berkepandaian biasa saja, kepala rampok hanya melihat saja betapa anak buahnya beraksi. Tiba-tiba ia melihat Pui-siocia di dalam kereta. Memang Pui Siok Lan adalah seorang gadis yang cantik sekali dan ia terkenal sebagai kembang kota Bian-touw usianya pada waktu itupun baru enambelas tahun.

Kan Beng kepala rampok yang disewa oleh pembesar jahat itu mengilar melihat kecantikan gadis itu dan timbul niat jahatnya. Dengan sekali loncat ia berada di dekat kereta dan membuka tendanya.

Pui Siok Lan menjerit kaget dan takut. Melihat perampok tinggi besar dan bengis itu mengulurkan tangan hendak menangkapnya, ia segera mencabut sebuah pisau belati kecil penjaga diri dan menggunakan senjata kecil itu menusuk tangan penjahat. Tapi Kan Beng hanya tertawa menyengir dan sekali sentil dengan jari tangannya, pisau itu terlepas dari pegangan Pui-siocia. Gadis itu hendak lari dan meloncat dari tempat duduknya, tetapi Kan Beng lebih cepat dan sebelum Pui-siocia dapat lari, tangannya telah terpegang oleh kepala rompok itu. Dengan sekali sentak tubuh yang kecil ramping itu berada dalam pelukannya dan ia meloncat dari kereta untuk membawa nona itu pergi lebih dulu.

Tiba-tiba pada saat itu terdengar jeritan-jeritan kesakitan dari beberapa orang perampok roboh tak berkutik lagi. Ternyata seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk. Tubuhnya bagaikan burung rajawali berkelebat ke sana ke mari. Di mana saja ia sampai tentu terdengar jeritan ngeri dan seorang penjahat roboh terguling.

Tiba-tiba pemuda itu melihat Pui-siocia dalam pondongan Kan Beng. Ia berseru keras dan nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sekali loncat telah sampai di depan Kan Beng.

Kan Beng pun berseru marah. Ia melepaskan Pui Siu Lan dari pondongan dan mencabut golok kembarnya. Tapi pemuda itu melawannya dengan tangan kosong. Sungguhpun siang-to di tangan Kan Beng merupakan sepasang golok yang lihai dan berbahaya sekali, namun dengan lima kali gebrakan saja sepasang golok itu terpental dari tangan Kan Beng dan sebuah tendangan kilat, menamatkan riwayat kepala perampok itu.

Melihat kegagahan pemuda itu, sisa-sisa perampok tanpa diperintah lalu lari tunggang-langgang. Berkat ketangkasan pemuda itu, Pui Hok Thian sekeluarga tertolong dan selamat, hanya dua orang pengawal mendapat luka-luka berat akibat bacokan golok.

Pui Hok Thian berterima kasih sekali dan menanyakan nama penolong mereka. Ternyata penolong yang gagah berani itu adalah Siang-kiam-enghiong Ong Lun si pedang dewa. Dengan merendah Ong Lun balas memberi hormat dan ia lalu mengantar pembesar jujur itu pulang ke kampung.

Semenjak itu, Ong Lun merasa bahwa hatinya telah tercuri oleh nona cantik yang ditolongnya. Pula, Siu Lan orangnya ramah-tamah dan tidak malu-malu maka pemuda itu makin tertarik. Beberapa bulan semenjak terjadinya peristiwa itu, pada suatu malam rumah Pui Hok Thian didatangi penjahat. Mereka terdiri dari tiga orang dan bukan lain ialah suheng dan kawan-kawan Kan Beng yang terbunuh mati. Untung bagi keluarga Pui, pada waktu hal ini terjadi, Ong Lun masih berada di kampung itu, tinggal di sebuah hotel. Maka ketika seorang peronda memberi tahu padanya bahwa rumah keluarga Pui diserang penjahat, secepat kilat ia lari ke sana dan berhasil mencegah terjadinya pembunuhan.

Ketika ia tiba di rumah itu, ia melihat dua orang penjahat tengah mengamuk dan dikeroyok oleh penduduk kampung yang mengerti ilmu silat. Tapi orang-orang kampung itu bukan tandingan ke dua penjahat itu hingga telah ada beberapa orang yang menjadi korban. Dengan berseru keras Ong Lun menyerang mereka dan memerintahkan orang-orang kampung mundur.

“Hai, orang-orang dari manakah berani main gila di depan Sian-kiam Ong Lun?” bentaknya.

“Ha, jadi kaukah yang membunuh suteku Kan Beng? Kebetulan, memang kamu yang kucari. Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa!” teriak seorang kate kecil yang menjadi suheng Kan Beng dan bernama Tie Lok si Kerbau Kate Tanduk Besi. Kemudian kedua orang itu mengeroyok Ong Lun.

Ternyata kedua orang itu berkepandaian lumayan juga hingga akhirnya Ong Lun menjadi gemas dan mencabut Sian-liong-kiam. Setelah bersenjatakan pedang pusaka, maka dalam beberapa jurus saja kedua lawannya telah terbunuh mati. Ong Lun meloncat turun untuk menemui Pui Hok Thian. Alangkah terkejutnya ketika ia mendapatkan Pui Hok Thian suami isteri menangis sedih,

“Siok-hu, apa yang telah terjadi? Apakah Lan-moi…..” “Celaka, taihiap…… adikmu…… Siu Lan diculik penjahat ”

Tanpa membuang waktu lagi Ong Lun meloncat keluar dan naik ke atas genteng. Ia menduga bahwa penjahat yang membawa lari Siu Lan tentu pergi ke sebelah hutan yang terletak beberapa belas lie dari kampung itu. Maka ia menggunakan ilmunya berlari cepat mengejar.

Betul sebagaimana yang ia duga, gadis itu dilarikan penjahat ke hutan itu. Ketika ia memasuki hutan beberapa lie dalamnya, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang bicara dan kuda meringkik. Ia berjalan perlahan dan mengintai. Ternyata di sebuah lapangan rumput terdapat banyak orang sedang duduk mengelilingi api.

Mereka adalah perampok-perampok yang berwajah kejam. Kurang lebih ada duapuluh orang yang duduk di situ, dan seorang yang agaknya menjadi pemimpin, bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat, duduk di tengah-tengah lingkaran. Di depannya kelihatan nona Siu Lan yang duduk menangis, menutup mukanya dengan kedua tangannya.

Melihat keadaan nona yang dicintanya, ingin sekali ia meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan mengamuk orang-orang yang dibencinya itu, tapi kecerdikannya mencegah kehendak ini. Kalau aku mengamuk, maka akan berbahayalah keadaan Siu Lan, pikirnya. Maka ia menahan sabar dan tetap mengintai. Ternyata mereka itu hendak bermalam di hutan dan besok pagi Siu Lan hendak dibawa pulang ke sarang perampok oleh kepala perampok kurus itu. Tak lama kemudian kepala perampok menyeret Siu Lan yang meronta-ronta ke dalam sebuah tenda yang telah dipasang di bawah pohon Siong besar. Ong Lun menggerakkan tubuhnya dan bagaikan burung ia meloncat ke atas pohon. Kemudian, tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, ia meloncat ke belakang tenda yang dipasang seperti kemah itu.

Ia mendengar kekasihnya menangis dan memaki-maki, maka tak sabar lagi ia menggunakan Siang- liong-kiam menusuk kain kemah. Sekali putar tenda itu robek lebar dan ia menerjang masuk.

Kepala perampok itu duduk sambil minum arak dengan mangkok besar yang dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang lengan Siu Lan yang menangis sambil memaki-maki.

Kepala perampok itu terkejut bukan main melihat seorang pemuda memasuki tenda dengan tiba-tiba maka ia segera menggerakkan tangan menimpuk. Mangkok yang ditimpukkan itu dengan mudah dikelit oleh Ong Lun dan ia meloncat menerjang. Kepala perampok telah menyambar ruyungnya dan menangkis, tapi tangkisan itu membuat ruyungnya terbelah dua. Sebelum ia dapat berteriak atau lari, Sian-liong-kiam yang sangat tajam itu telah berkelebat dan kepalanya terpisah dari tubuhnya.

“Ong Lun taihiap!” Siu Lan berseru girang dan lari menghampiri, setelah sampai di depan pemuda itu, karena girangnya telah tertolong dari bahaya yang lebih hebat daripada maut itu, ia memekik dan meloncat memeluk leher Ong Lun.

Dengan terharu Ong Lun memeluk tubuh yang dikasihi itu, tapi ia terkejut sekali melihat bahwa Siu Lan telah jatuh pingsan dalam pelukannya. Ia segera memondong tubuh nona yang telah lunglai itu dan meloncat keluar dari kemah.

Sementara itu, para perampok yang mendengar beradunya ruyung dengan pedang, memburu ke dalam kemah. Bukan main kaget mereka melihat kepala perampok sudah mati konyol dengan kepala terpisah dari tubuh. Mereka ribut-ribut dan memburu keluar, tapi Ong Lun dan Siu Lan telah pergi jauh dari situ.

Karena fajar sudah hampir menyingsing, maka Ong Lun tidak berani terus melanjutkan perjalanannya, memondong seorang gadis keluar dari hutan sepagi itu. Maka ia lalu menurunkan tubuh Siu Lan di atas rumput hijau dan memanggil-manggil namanya.

Siu Lian masih saja pingsan. Gadis itu terlalu banyak menderita ketakutan dan tekanan batin hebat. Ong Lun lalu menanggalkan kain ikat kepalanya dan membasahi kain dengan air anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ. Dengan kain basah ia menghapus-hapus jidat dan leher Siu Lan.

Perlahan-lahan gadis itu sadar kembali dan untuk sesaat ia memandang sekeliling dengan heran. Tapi ketika matanya bertemu dengan Ong Lun, ia bangkit duduk lalu menangis kembali dengan sedih.

“Sudahlah, Lan-moi, jangan bersedih. Bahaya telah berlalu dan kau selamat.”

“Ah, terima kasih, taihiap, lagi-lagi kau sudah menolong jiwaku yang tak berharga ini.” “Dan lagi-lagi kau panggil aku taihiap. Bukankah kita ini seperti kakak dan adik?” Siu Lan menunduk kemalu-maluan. “Baiklah, mulai sekarang aku menyebut koko padamu. Bagiku, kau lebih berbudi daripada seorang kakak aseli.”

Ong Lun merasa betapa merdunya ucapan ini dan ia memandang gadis itu dengan penuh rasa kasih. Tapi Siu Lan yang masih berhati kanak-kanak tidak tahu akan pandangan ini. Ia hanya balas memandang dengan kagum dan hatinya bangga mempunyai seorang kakak yang demikian gagah perkasa dan yang telah lama ia kagumi.

“Koko sudah berbulan-bulan kami kenal padamu tapi belum pernah kauceritakan riwayatmu. Aku masih lelah, maka baiklah kita mengobrol dulu di sini. Tempat ini begini sunyi dan nyaman. Coba kauceritakan sedikit riwayatmu, atau….. apakah itu kau rahasiakan?” ia mengerling sambil tersenyum.

Ong Lun tersenyum pula. Pada saat itu hatinya merasakan sesuatu yang luar biasa dan yang tidak pernah dialami sebelumnya. Hatinya seakan-akan menyaingi kenyamanan hawa pagi.

“Tidak, adikku. Bagiku tiada rahasia. Ayahku bernama Ong Tat dan dulu pernah menjabat pangkat residen. Tapi seperti juga ayahmu, ia bosan memegang jabatan yang penuh kekotoran itu, lalu minta berhenti. Tidak tahunya ia difitnah oleh kawan sejawat hingga ia terpaksa lari ke Sin-kiang. Di daerah yang liar ini ayah berjumpa dengan ibuku, seorang wanita Han yang lahir di Sin-kiang dan puteri seorang ahli pedang yang menjadi pendiri dari cabang Thai-san. Dan di situ pulalah aku terlahir, dididik ilmu silat oleh kakek dan ibuku. Kakekku masih mempunyai dua orang murid, yakni Hun Beng dan Kai Sin. Setelah tamat belajar silat, aku diusir oleh kakekku……”

“Diusir? Kesalahan apakah yang kau perbuat, koko?”'

Ong Lun tertawa. “Bukan begitu maksudku, Lan-moi. Aku bukan diusir karena salah, tapi diusir untuk pergi merantau dan meluaskan pengalaman.”

“O, begitu. Dan masih adakah semua keluargamu itu sekarang?”

“Masih, masih tetap di sana. Selama merantau empat tahun, sudah dua kali aku pulang dan mereka sehat-sehat saja, bahkan kedua suteku juga sudah tamat belajar dan sudah turun gunung.”

“Tentu banyak pengalaman-pengalaman yang menarik hati dan menyenangkan telah kau alami.” “Memang banyak. Tapi pengalaman yang paling menarik terjadi di sini.”

“Di sini?”

“Ya, karena di sini aku mendapat seorang adik seperti kau.”

Wajah Siu Lan memerah. “Ah, jangan memuji, kakakku yang baik. Apakah kau tidak mempunyai saudara kandung?”

Ong Lun menggelengkan kepala. “Nah, itulah sebabnya maka kau suka sekali mendapat seorang adik. Dan akupun senang mempunyai seorang kakak seperti kau. Kalau saja dari dulu kita bersama, tentu kawan-kawanku tidak akan ada yang berani mengganggu padaku.”

Demikianlah mereka mengobrol dengan gembira dan lupa waktu. Dalam kegembiraannya, Ong Lun bahkan menyanyikan sebuah lagu yang membuat Siu Lan sangat gembira.

Kemudian mereka berjalan pulang dengan bergandengan tangan. Pui Hok Thian suami isteri sangat girang melihat puterinya selamat. Lebih-lebih nyonya Pui, semalam penuh ia tak dapat tidur dan menangis terus. Kini melihat anaknya kembali dengan wajah berseri-seri ia menangis lagi dan memeluk anaknya.

“Aah, kau ini aneh dan lucu. Siu Lan hilang, kau menangis, sekarang dia sudah kembali, kau juga menangis lagi! Bagaimana sih maksudmu ini?” tegur suaminya.

Isterinya menyusut air mata dan merengut padanya. “Anak hilang kau hanya bisa bingung tak berbuat apa-apa. Tangisku malam tadi dan sekarang lain lagi, jangan kau anggap sama!”

“Apanya yang lain? Apakah lagunya yang lain? Atau air matanya yang berbeda?” “Aah, sudahlah. Kau laki-laki tahu apa tentang tangis dan air mata!”

Siu Lan dan Ong Lun saling memandang dan tertawa geli melihat pertengkaran lucu ini.

Pui Hok Thian dan isteri tiada habisnya menghaturkan terima kasih kepada anak muda itu. Nyonya Pui menegur suaminya.

“Sudah berkali-kali aku bilang, lebih cepat Siu Lan keluar pintu lebih baik. Kalau ia sudah berada di rumah suaminya, tentu takkan terjadi hal-hal yang mencemaskan ini……”

Hok Thian melotot pada isterinya sambil mengerling kepada Ong Lun. Dengan isyarat ini ia menegur isterinya mengapa urusan rumah tangga semacam ini diucapkan di depan seorang luar.

Ong Lun merasa akan maksud isyarat ini dan dengan hati berdebar khawatir ia berpamit kembali ke hotelnya. Siu Lan keluar pintu? Siu Lan dikawinkan? Ah, ia merasa betapa ucapan-ucapan ini seakan- akan merupakan ujung pedang beracun menembus jantungnya. Perih dan sakit.

Tidak, tidak, kalau. Siu Lan kawin, maka ia sendirilah yang jadi suaminya. Ia harus menjumpai gadis itu dan menyatakan dengan terus terang. Malam ini aku harus menjumpainya, demikian ia mengambil keputusan.

Malam itu terang bulan. Ong Lun berdandan rapi dan berangkat menuju ke rumah keluarga Pui. Keadaan sudah sunyi, tapi ia tahu benar di mana tempat tidur gadis itu karena dengan diam-diam sudah berkali-kali jika waktu malam ia tak dapat tidur dan rindu kepada Siu Lan, ia pergi dan duduk di luar jendela gadis itu sambil melamun! Tapi belum pernah ia mengganggu atau mengetuk daun jendelanya walaupun hatinya sangat ingin. Dengan perlahan ia menghampiri jendela dan mengetuk. Terdengar suara Siu Lan seakan-akan menahan teriakan. Segera Ong Lun memanggil karena ia tahu bahwa gadis itu tentu menyangka ada orang jahat lagi.

“Lan-moi!” ia memanggil perlahan.

Siu Lan membuka daun jendela. “Oh, kau, koko? Ada apa malam-malam……?”

“Stt.” Ong Lun memberi isyarat agar gadis itu jangan berisik, lalu minta ia keluar kamar.

Siu Lan mengangguk dan keluar dari pintu belakang. Mereka berjalan berendeng di dalam kebun belakang.

“Koko, agaknya ada sesuatu yang penting sekali?” tanya Siu Lan sambil memandang wajah orang.

Ong Lun berhenti dan memegang pundak Siu Lan, seakan-akan untuk menetapkan hatinya yang bergoncang keras.

“Moi-moi…… aku…… tadi aku mendengar ibumu berkata bahwa kau akan…… dikawinkan…… Maka…… aku…… terus terang, aku cinta padamu, Lan-moi dan…… dan aku akan melamar kau untuk menjadi isteriku……”

Siu Lan memandangnya dengan mata terbelalak heran. Kemudian wajahnya yang cantik menjadi pucat lalu berubah merah dan sebentar pula ia menangis terisak-isak sambil menjatuhkan diri di atas rumput di mana ia duduk menangis sedih.

“Eh, Lan-moi, kau…… kau kenapa?” tanya Ong Lun yang ikut duduk sambil memegang lengan Siu Lan.

“Kasihan kau…… koko….. tak kunyana sama sekali bahwa perasaanmu terhadap aku sedemikian…… Kukira kau hanya mencinta seperti cinta seorang kakak kepada adiknya seperti…… perasaanku kepadamu perasaan cinta seorang adik kepada kakaknya……”

“Jadi…… jadi kau tidak setuju…..?”

Siu Lan memandangnya tajam sambil menggunakan saputangan menghapus air mata dari pipinya.

“Koko, ketahuilah. Telah semenjak kecil aku ditunangkan, tunanganku adalah seorang she Gan dan…… dan siang tadi ayah ibuku menetapkan bahwa hari perkawinanku dimajukan bulan depan nanti. Bu…… bukan aku tidak menghargai perasaanmu, tapi…… ah, apa yang harus kuperbuat? Coba kaupertimbangkan sendiri keadaanku……!”

“Kau sudah bertunangan? Akan kawin bulan depan……” Wajah Ong Lun menjadi pucat seperti mayat, harapan sebesar gunung dalam hatinya pecah berantakan membuat dadanya terasa panas dan kepala pening. Ia memegang kepalanya yang rasanya seakan-akan terputar, matanya menjadi gelap dan tak tahan menerima pukulan batin ini. Tubuhnya lemah lunglai dan ia jatuh terjerembab di atas rumput! Siu Lan kebingungan. Sambil menangis sedih ia menggoyang-goyang tubuh Ong Lun yang pingsan. “Koko…… koko…..”

Beberapa butir air mata gadis itu jatuh menimpa hidung dan pipi Ong Lun dan pemuda itu sadar kembali dari pingsannya. Ia merasa sedih dan malu. Ia menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang telah bertunangan, kepada seorang gadis yang berhati suci dan menganggap ia sebagai kakak sendiri! Ia telah salah sangka.

Ternyata Siu Lan terlalu suci untuk mencinta padanya seperti cinta seorang wanita kepada seorang pria! Ah, ia malu! Malu sekali! Tiba-tiba tangannya bergerak dan pedang Sian-liong-kiam telah terhunus!

Perasaan halus seorang wanita ternyata lebih cepat lagi. Siu Lan menubruk padanya, “Jangan, koko, jangan……! Ah, laki-laki gagah perkasa yang kukagumi…… demikian pengecutkah kau? Mau bunuh diri? Buang pedangmu, buang!!”

Dengan tenaga luar biasa ia terkam tangan Ong Lun dan pemuda itu bagaikan seorang hilang pikiran membiarkan saja pedangnya dirampas dan dilempar ke bawah oleh Siu Lan. Ia mendekap mukanya dan air mata mengalir dari cela-cela jarinya.

“Lan-moi…… mari…… marilah kita pergi …… kita minggat saja dari sini, hidup berdua……”

Siu Lan berdiri marah. “Tidak! Kau anggap aku ini seorang macam apa? Tak malukah kau kalau aku melakukan hal yang demikian itu? Takkan cemarkah nama kita untuk selama-lamanya? Tidak!”

Tiba-tiba Orig Lun juga marah. “Baik! Kalau begitu, biarlah kau kawin dengan mayat orang she Gan itu! Akan kucari padanya, dan akan kubunuh, coba kau bisa berbuat apa!”

Siu Lan mengangkat kepala dan bertolak pinggang. “Hem, begitukah? Baik, bunuhlah dia! Bunuhlah calon suamiku pilihan orang tuaku itu, dan kaupun akan melihat mayatku. Kewajibanku untuk ikut suamiku, ke mana saja ia pergi, biar ke neraka sekalipun!”

Mendengar dan melihat ucapan dan sikap Siu Lan yang nekat dan menantang itu, Ong Lun merasa jiwanya hancur lebur, hatinya terasa sakit dan perih, dan ia menundukkan kepala. Rasa marahnya lenyap terganti rasa duka dan patah hati. Kemudian dengan kaki limbung ia meninggalkan Siu Lan yang duduk menangis sedih.

?Y?

Semenjak saat itu, watak Ong Lun berubah. Kalau tadinya ia merupakan seorang pemuda tampan dan manis budi bahasanya, kini ia tak menghiraukan dirinya lagi. Badan, muka, dan pakaiannya kotor didiamkan saja, ia tidak memperhatikan lagi makan tidurnya dan wataknya menjadi kasar dan aneh. Pakaiannya compang-camping dan kotor tak pernah diganti, rambutnya terurai ke mana-mana tak terurus. Namun penderitaan batinnya tak membuat lupa akan tugasnya sebagai seorang pembela keadilan atau seorang hiap-kek yang dermawan. Hanya, kalau dulu ia banyak memberi ampun kepada orang- orang jahat yang bertobat, sekarang ia tak mengenal ampun lagi.

Semua orang jahat yang bertemu dengan dia tentu dibunuhnya tak mengenal kasihan lagi. Maka sebentar saja julukannya Sian-kiam atau Pedang Dewa ditambahi orang menjadi Sian-kiam Koai-jin yakni Manusia Aneh Pedang Dewa.

Keganasan Sian-kiam Koai-jin terhadap penjahat-penjahat mendatangkan bibit permusuhan yang hebat dengan perkumpulan agama rahasia Pek-lian-kauw atau Perkumpulan Agama Teratai Putih, ketika pada suatu hari ia membunuh lima orang anggauta Pek-lian-kauw yang sedang menipu rakyat untuk mengeduk uang dengan memberi pertunjukan ilmu gaib.

Peristiwa itu terjadi di kota Tiang-bun. Ketika Ong Lun berada di kota itu dan pada suatu hari berjalan di depan sebuah kelenteng kosong, ia melihat banyak orang berdiri mengelilingi lima orang yang berpakaian putih dan di dada masing-masing tersulam gambar teratai putih di atas air biru. Mereka ini adalah dua orang perempuan muda dan tiga orang laki-laki yang sedang mempertunjukkan ilmu sulap dan sihir.

Ketika Ong Lun mendekat, beberapa orang penonton menjauhkan diri dari pengemis muda yang kotor menjijikkan ini. Tapi Ong Lun tak perduli dan melongok ke dalam kalangan. Ia melihat orang laki-laki yang tertua, agaknya pemimpin rombongan itu, memegang sebuah pedang tajam dan berkata dengan suara keras.

“Cuwi yang terhormat. Cuwi sekalian telah menikmati pertunjukkan ilmu sulap dan silat yang menyatakan betapa gaibnya ilmu dari agama kami. Cuwi sekalian juga bisa masuk menjadi anggauta dan memiliki semua kepandaian aneh-aneh ini, asalkan cuwi suka menderma limapuluh tail perak tiap orang.”

Sambutan orang-orang atas pernyataan ini bermacam-macam. Ada yang setuju, ada yang tidak percaya dan mencela, walaupun celaan itu tak dikeluarkan terang-terangan.

“Cuwi-cuwi sekalian, sekarang kami akan memberi pertunjukan yang belum pernah kalian lihat seumur hidup, sebagai bukti betapa saktinya dewa-dewa yang dipuja di perkumpulan kami. Pernahkah kalian melihat orang menghilang? Nah, dewa-dewa kami akan memperlihatkan kesaktian dan melenyapkan beberapa orang anak.”

Kelima orang Pek-lian-kauw itu berjalan mengitari lapangan dan mata mereka mencari-cari. Kemudian masing-masing memilih seorang anak kecil dan dengan pikatan sebungkus kurma, anak- anak itu mau dan menurut saja diajak masuk ke dalam kalangan.

Pemimpin rombongan itu tertawa dan berkata kepada para penonton.

“Cuwi, lihatlah lima orang anak-anak mungil ini. Kami akan minta kepada dewa-dewa kami untuk memperlihatkan kesaktiannya dan membuat anak-anak ini dan kami berlima lenyap. Jangan khawatir, anak-anak ini takkan terganggu apa-apa. Nah, awas, saksikanlah!” Ong Lun merasa curiga, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, kelima orang itu masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda bulat dan mereka membanting benda itu di luar lingkungan mereka berlima. Terdengar ledakan keras dan benda-benda yang meledak itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sekali sehingga sekejap saja mereka dan anak-anak itu tertutup asap dan lenyap dari pandangan mata. Tiba-tiba dari dalam gumpalan asap hitam itu terdengar suara tertawa seperti suara iblis tertawa dan para penonton tercengang mendengarkan suara pemimpin rombongan itu.

“Cuwi anak-anak ini hendak dipinjam sementara oleh dewa-dewa kami, dan siapa yang ingin menebus kembali, harus mendermakan uang seribu tail untuk tiap orang anak dan mengantar uang itu di hutan Siong-lim pada nanti jam duabelas!”

Semua penonton semenjak ledakan tadi telah mundur dan setelah asap membuyar mereka melihat bahwa lima orang Pek-lian-kauw bersama lima orang anak-anak itu betul-betul lenyap tak meninggalkan bekas! Mereka bingung dan terdengar jerit tangis orang-orang tua anak-anak itu.

Semua orang tidak tahu bahwa pemuda pengemis yang berpakaian compang-camping dan kotor menjijikkan tadi juga turut lenyap dari situ! Sebenarnya apakah yang terjadi? Benar-benarkah orang- orang Pek-lian-kauw itu pandai menghilang?

Hanya seorang saja yang dapat menjawab, ialah Ong Lun.

Ketika orang-orang tadi sedang bingung dan takut, Ong Lun bahkan mendekat dan memandang penuh perhatian. Samar-samar ia melihat lima bayangan berkelebat di belakang asap hitam dan dengan gerakan cepat sekali mereka lari ke arah utara. Ong Lun dengan diam-diam lari menggunakan ilmunya berlari cepat. Ia dapat mengejar mereka dengan mudah dan mengikuti jejak mereka.

Ternyata kelima orang Pek-lian-kauw itu lari masuk ke dalam hutan Siong-lim di mana terdapat sebuah pondok kecil tempat persembunyian mereka. Ketika mereka seorang membawa seorang anak dan kini anak-anak itu diam saja tak berteriak atau bergerak. Ia makin heran ketika melihat betapa anak-anak itu bagaikan dalam keadaan tidur atau pingsan. Ia dapat menduga bahwa kelima penjahat itu tentu telah menggunakan obat-obat bius terhadap anak-anak itu.

Ong Lun tak dapat mengendalikan napsu marahnya lagi. Ia mencabut Sian-liong-kiam yang disembunyikan di punggungnya lalu meloncat dari atas pohon siong tepat di hadapan kelima orang itu. Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main.

“Bangsat rendah, penculik hina! Hayo kembalikan anak-anak itu, baru tuan besarmu mau mengampuni jiwa anjing kalian!” dampratnya.

Makian ini membuat anggauta Pek-lian-kauw yang termuda menjadi naik darah. Perempuan itu segera menuding kepada Ong Lun dan memaki.

“Cis, budak pengemis hina dina! Tak tahukah kamu sedang berhadapan dengan siapa? Buka dulu matamu!” “Ha, ha, ha! Tentu saja tuanmu sudah tahu. Kalian adalah gerombolan liar dari Pek-lian-kauw. Mungkin orang lain takut mendengar nama gerombolanmu, tapi aku, Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, biar kau tambah orang-orangmu seratus lagi, aku orang she Ong tak gentar sedikit juga!”

Kelima orang Pek-lian-kauw itu diam-diam merasa tulang punggung mereka seperti tersiram air dingin mendengar nama Sian-kiam Koai-jin! Nama ini sudah cukup terkenal sebagai tukang basmi dan algojo para penjahat yang tak mengenal kompromi lagi! Buru-buru pemimpin rombongan itu, Liok Bu Tiat si Kaki Baja, mengangkat kedua tangan dan menjura dengan menghormat sekali.

“Maafkan kami sebesar-besarnya, Ong taihiap. Kami telah buta tak melihat Gunung Thai-san menghadang di depan mata. Kalau dengan tak sengaja kami bertindak salah terhadap taihiap, mohon taihiap suka memberi maaf dan pandanglah muka sucouw kami!”

Ong Lun tertawa geli. “Mengapa muka sucouwmu kalian bawa-bawa ke mari? Aku tidak kenal dia. Kalian tanya kesalahanmu? Apa yang kalian lakukan dengan anak-anak itu? Kalian menculik anak-anak kampung dan mencoba memeras rakyat, masih hendak bertanya kesalahan lagi?”

Walaupun merasa marah karena sucouwnya dihina orang, namun Liok Bu Tiat masih menyabarkan diri karena ia tahu akan kelihaian orang ini, maka ia menjura lagi,

“Ong taihiap, sepanjang pengetahuan dan ingatanku, perkumpulan kami belum pernah bermusuhan denganmu dan kami juga belum pernah membuat taihiap mengalami rugi. Maka mohon taihiap suka mengindahkan persahabatan ini dan mohon jangan mengganggu kami. Kelak kami akan melaporkan perihal kebaikan hati taihiap kepada sucouw kami dan mengundang taihiap datang minum arak wangi.”

“Apa? Setelah menculik dan memeras rakyat tak berdosa, kamu hendak membujuk-bujuk dan menyuap aku?? Jangan banyak cerewet, lekas keluarkan dan bebaskan anak-anak itu!” Kedua mata Ong Lun sudah mulai merah.

Tan Bwee Loan perempuan muda berdarah panas yang belum banyak mendengar nama Sian-kiam Koai-jin, tak dapat menahan sabar lagi. “Twako, untuk apa berdebat dengan anjing kotor ini? Tak perduli dia ini Koai-jin atau Jauw-koai (Setan Iblis), apakah kita berlima tak dapat membikin mampus padanya?”

“Bagus!” teriak Ong Lun marah dan pedang Sian-liong-kiam berkelebat bagaikan kilat.

Tan Bwee Loan menangkis, tapi pedang dan lehernya hampir berbareng terbabat putus! Demikianlah kehebatan Sian-liong-kiam dan kelihaian ilmu pedang dari Ong Lun si Manusia Aneh!

Empat kawan Bwee Loan bergidik melihat darah yang menyembur keluar dari lobang leher kawan itu. Tapi mereka tidak diberi kesempatan untuk memperpanjang keheranan dan kengerian mereka. Pedang pusaka di tangan Ong Lun berkelebat lagi menyambar-nyambar dan biarpun keempat orang Pek-lian-kauw itu berkepandaian lumayan juga, namun dalam beberapa belas jurus saja keempat- empatnya telah roboh mandi darah dan tak bernyawa pula! Ong Lun tertawa bergelak-gelak, dan segera ia menolong anak-anak itu dan mengantar kembali ke kampung. Dengan siraman air anak-anak itu dapat siuman kembali dari pengaruh obat bius.

Perbuatan hebat ini membuat nama Sian-kiam Koai-jin makin ditakuti kaum penjahat dan disegani orang-orang kalangan kang-ouw, tapi sebaliknya membuat Ong Lun dibenci hebat oleh kaum Pek-lian- kauw.

Semenjak itu, sudah berkali-kali Ong Lun berkelahi dengan jago-jago dari Pek-lian-kauw yang datang membalas dendam. Dalam pertarungan hebat dan mati-matian, Ong Lun yang berkepandaian tinggi selalu mendapat kemenangan. Maka kaum Pek-lian-kauw makin benci padanya dan mereka selalu berdaya upaya untuk membalas dendam!

Beberapa tahun kemudian, kalangan kang-ouw tak mendengar lagi namanya dan orang-orang menyangka bahwa Sian-kiam Koai-jin Ong Lun tentu tewas menjadi korban pembalasan kaum Pek- lian-kauw. Padahal sebenarnya Ong Lun telah didatangi oleh sahabatnya yang ia anggap sebagai kakak sendiri, yakni Gwat Liang Tojin yang membujuknya untuk bertobat dan belajar menyucikan diri dengan bertapa dan mempelajari ilmu batin.

Berkat bujukan-bujukan suheng yang ia indahkan ini, diam-diam ia pergi bertapa ke puncak Gunung Kim-ma-san. Dengan bertapa dan mengasingkan diri, selama berpuluh-puluh tahun ia tidak ikut mencampuri urusan dunia.

Tapi ketika ia mendapat seorang murid yang bernama Han Lian Hwa, maka teringatlah ia kepada Siu Lan dan timbul kembali dendam dan sakit hatinya kepada Gan Keng Hiap. Akhirnya ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia pesan kepada muridnya untuk tinggal berlatih silat di Bukit Kim-ma-san itu, lalu pergi mencari rumah Siu Lan di kota Tiong-bie-kwan, di mana ia bertempur melawan Cin Han dan bertemu pula dengan Gwat Liang Tojin yang lebih dulu telah melihatnya di tengah jalan dan tahu akan maksudnya.

Setelah mendapat kegagalan bahkan menerima pukulan-pukulan batin, Ong Lun cepat kembali ke tempat pertapaannya. Mulai saat itu, ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendidik murid tunggalnya, yakni Han Lian Hwa yang kemudian dijuluki orang Ang Lian Lihiap yang lihai dan beradat ku-koai seperti gurunya! Akhirnya Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa meninggal dunia di tempat pertapaannya setelah berpesan kepada muridnya untuk membalaskan sakit hatinya pada Gan Keng Hiap!

Demikianlah, setelah bibinya menuturkan sedikit riwayat pertemuannya dengan Ong. Lun, maka mengertilah Cin Han akan maksud orang aneh tadi. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Sin-kiam Koai-jin yang ia kagumi karena ilmu silatnya yang tinggi.

Cin Han makin memperhebat ketekunannya belajar ilmu surat, juga ia rajin sekali melatih ilmu silatnya karena semenjak bertanding melawan Ong Lun ia maklum akan, kerendahan kepandaian sendiri. Pada suatu hari di musim dingin, ketika ia sedang membaca buku tentang Lo-cu, ia mendengar suara orang batuk-batuk di luar rumah. Cin Han tergerak hatinya dan ia segera bertindak keluar. Ternyata yang mengeluh dan batuk-batuk itu adalah seorang pengemis tua yang berdiri menggigil dan menggunakan kedua tangan menekan dada sambil batuk-batuk hebat sekali. Tubuh orang itu kurus dan hanya terbungkus baju rombeng tipis.

“Lopek, kau rupanya sakit. Masuklah dan mengasolah di dalam. Di luar dingin sekali.” Cin Han mempersilakan orang itu dengan suara kasihan.

Pengemis itu berpaling memandangnya dengan heran dan Cin Han tak terasa mundur dua tindak ketika melihat sinar mata orang itu yang tajam dan mengeluarkan cahaya kuat. Pengemis itu heran karena selama ia menjadi pengemis belum pernah ia menemukan seorang pemuda seramah ini.

“Terima kasih, kongcu. Terima kasih.” Suaranya gemetar dan tubuhnya lemas ketika ia melangkah masuk.

Cin Han memegang lengannya dan menuntunnya masuk. Karena paman dan bibinya agaknya sedang tidur siang, maka ia lalu mengambil guci arak dan mangkok, lalu menyuguhkan arak kepada orang tua itu. Tamunya dengan lahap sekali minum arak sampai tiga mangkok, baru wajahnya yang tadinya membiru tampak agak merah dan dinginnya berkurang.

“Terima kasih, kongcu. Kau sungguh baik. Jarang menemukan orang seperti kau pada jaman seburuk ini. Terima kasih.” Ia berdiri dan berjalan terseok-seok ke arah pintu.

“Tunggu dulu, lopek!” Cin Han lari ke kamarnya dan keluar lagi membawa seperangkat pakaian. “Ini, pakailah, lopek, lumayan untuk menahan dingin.”

Pengemis itu memandangnya tajam lalu mengulurkan tangan menerima pakaian itu. Tapi Cin Han merasa terkejut karena tekanan tangan yang menerima pakaian itu berat sekali, seakan-akan tangannya tertindih barang yang ribuan kati beratnya. Terpaksa ia mengerahkan tenaga lweekangnya untuk menjaga tekanan itu dan wajah pengemis itu berseri-seri, jidatnya tampak beberapa butir keringat. Agaknya ia telah terlampau banyak menggunakan tenaga dalam keadaan sakit.

Masih saja ia memandang wajah dan tubuh Cin Han dengan tajam, sambil bibirnya bergerak-gerak, “Inilah orangnya, tak salah lagi, inilah……” Dengan jari-jari gemetar ia mengeluarkan sebuah kitab lapuk dari dalam baju rombengnya.

“Inilah, kongcu. Terimalah kitab ini. Bukan kitab sembarang kitab, tapi sudah tak berguna bagiku, aku tua dan lemah tinggal menanti ajal. Kau masih muda, dasarmu baik, tubuhmu kuat, hatimu putih, pelajarilah kitab ini. Kelak kalau ada jodoh sampaikan hormatku yang terakhir kepada pencipta kitab ini dan katakan bahwa aku sudah cukup tersiksa, sudah cukup menderita, sudah cukup terhukum. Hanya kau seorang yang berjodoh memiliki kitab ini, aku sudah mencari berkeliling belasan tahun…… terimalah……!”

“Tapi, lopek, siauwte tidak menghendaki upah atau balasan untuk perbuatanku tadi. Orang hidup sudah selayaknya tolong-menolong……”

“Nah, itulah, maka aku berikan kitab ini padamu. Kalau kau tidak suka, simpan saja, asal jangan sampai terjatuh ke dalam tangan orang lain. Kalau kausuka itu tandanya jodoh, boleh kaupelajari!” Lalu tanpa berkata apa-apa lagi pengemis itu keluar dari situ, dan Cin Han masih memegang kitab itu dengan tercengang. Ia heran ketika membaca huruf tertulis di luar kitab itu yang berbunyi:

“Hwie-liong-kiam-sut”.

Sebuah buku pelajaran Ilmu Silat Pedang Naga Terbang. Siapakah pengemis tadi? Darimana ia mendapatkan kitab ini? Cin Han memburu keluar, tapi pengemis itu sudah lenyap dari pandangan mata. Ia menghela napas. Banyak orang aneh di dunia ini. Kalau ia kagum dan heran melihat Ong Lun, si Manusia Aneh Pedang Dewa, kini ia heran pula melihat pengemis itu dan menduga bahwa pengemis itupun tentu seorang hiap-kek yang mengasingkan diri.

Ia memasuki kamarnya dan membalik-balik halaman kitab itu. Ternyata buku tebal itu memuat pelajaran ilmu silat dan pedang yang aneh sekali. Beberapa kali ia membaca kalimat pertama dan mencoba membayangkan gerakan-gerakan yang disebutkan di situ tapi ia masih belum mengerti.

Dengan tak sengaja ia membalik beberapa lembaran terakhir dan di situ terdapat gambar-gambar dan peta-peta untuk gerakan kaki dan tangan yang dilukis dengan teratur sekali. Hatinya mulai tertarik dan dibacanya sekali lagi kalimat pertama sambil mengukur dengan gambar. Kini mengertilah ia dan ia bersilat meniru pelajaran itu.

Hampir ia berteriak girang karena kitab itu menggandung sari pelajaran ilmu silat yang luar biasa. Gerakan-gerakannya aneh dan terdapat pecahan-pecahan dan gerak-gerak tipu yang menyesatkan lawan. Di belakang kitab itu tertulis nama penciptanya:

Beng San Siansu.

Berdebar rasa hati Cin Han. Beng San Siansu? Pernah Gwat Liang Tojin, gurunya itu bercerita bahwa gurunya mempunyai seorang supek yang mengasingkan diri dan berilmu tinggi sekali. Dan orang suci itu ialah Beng San Siansu. Sayang supek itu tak mau menerima murid.

Jadi kitab yang dipegangnya ini ciptaan Beng San Siansu, kakek gurunya sendiri? Segera ia berlutut dan sambil memegang tinggi kitab itu ia berbisik, “Terima kasih, sukong, dan teecu akan menjunjung tinggi ilmu yang sukong ciptakan ini.”

Semenjak saat itu, Cin Han rajin mempelajari isi kitab dan berlatih silat dan pedang dari Hwie-liong- kiam-sut itu. Selama setahun ia belajar dengan rajin dan karena ia memang sudah mempunyai dasar yang dalam, pula gerakan-gerakan Hwie-liong-kiam-sut seakan-akan memperlengkap ilmu pedang yang telah dipelajarinya dari Gwat Liang Tojin, maka cepat ia dapat memainkan ilmu itu dengan sempurna.

Tanpa merasa, ia mendapat kemajuan pesat sekali, bahkan di kitab itu terdapat pelajaran-pelajaran mengatur napas dan memperdalam ilmu lweekang. Sudah tentu Cin Han seakan-akan merupakan harimau tumbuh sayap, kepandaiannya mencapai tingkat tinggi sekali di luar pengetahuan sendiri. Ia tidak insaf bahwa kepandaian kiam-sutnya sekarang tidak berada di sebelah bawah gurunya sendiri. Kemudian, karena merasa rindu sekali kepada gurunya, ia minta ijin dari paman dan bibinya untuk pergi menengok Gwat Liang Tojin. Ketika ia sampai di Bukit Kong-hwa-san, dari jauh ia melihat suhunya berkelahi dikeroyok oleh dua orang hwesio.

Hwesio pertama bersenjata golok dan hwesio kedua bersenjata toya. Hwesio kedua tak berapa tinggi kepandaiannya, tapi hwesio yang memegang golok lihai sekali gerakan-gerakannya hingga Gwat Liang Tojin yang sudah tua tampak terdesak hebat dan berbahaya keadaannya. Cin Han berseru keras dan lari secepat terbang sambil menghunus pedangnya.

“Suhu, teecu datang membantu!” teriaknya dan pedangnya berkelebat menyambar hwesio yang bersenjata golok. Dua senjata beradu dan masing-masing terpental karena hebatnya tenaga kedua pihak.

“Hati-hati, Cin Han, goloknya lihai! Kaulawan yang ini saja!!”

“Biarlah, suhu. Bereskan yang satu itu, Teecu masih sanggup meladeni pemotong babi ini.”

Maka bertempurlah mereka dengan hebat. Mula-mula Cin Han menggunakan ilmu pedang Kong-hwa- kiam-sut yang ia pelajari dari Gwat Liang Tojin, tapi ia segera terdesak. Ilmu golok Pat-kwa-to-hwat dari hwesio itu sungguh lihai sekali.

“Ha, ha! Anak kecil yang masih bau tetek. Suhumu masih tidak kuat melawanku, apalagi kau. Sudah bosan hidupkah kau?” ejeknya dan goloknya bergerak makin cepat.

Cin Han teringat ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut yang belum lama dipelajarinya. Ia merobah gerakan pedangnya dan sekejap kemudian pedangnya berputaran dengan gerakan-gerakan aneh.

Hwesio itu terkejut. Dalam empat gebrakan saja pedang Cin Han sudah dapat menyambar ujung jubahnya dan membuat jubah itu robek. Ia berkelahi lebih hati-hati dan kini ia tak berani memandang ringan.

Sementara itu Gwat Liang Tojin sudah berhasil merobohkan lawannya yang bersenjata toya. Ia terburu-buru hendak menolong dan membantu muridnya, tapi ketika ia berpaling dan melihat jalannya pertempuran, hampir ia berseru kaget. Ternyata pedang Kong-hwa-kiam dimainkan sedemikian hebat dan aneh oleh muridnya hingga hwesio itu terdesak sekali dan lebih banyak menangkis dengan goloknya daripada menyerang! Bagaimana muridnya bisa selihai itu?

Diam-diam Gwat Liang Tojin mencurahkan perhatiannya dan memperhatikan gerakan-gerakan Cin Han. Ia makin heran dan terkejut, karena sepanjang ingatannya yang dapat bermain pedang seperti itu hanya supeknya Beng San Siansu.

Pada saat golok hwesio dibacokkan ke arah kepala Cin Han dalam gerakan tipu Harimau Putih Ulur Cakar, Cin Han memiringkan tubuh dan ketika golok itu bergerak dan diteruskan menusuk ke arah lehernya, ia memalangkan pedangnya dan menempel golok lawan. Biasanya kalau dua senjata tajam sudah bertemu dan saling tempel demikian itu, kedua pihak lalu mengerahkan tenaga dan mengadu kekuatan lweekang untuk mempertahankan kedudukannya, siapa yang lebih kuat ia akan menang. Tapi dengan heran sekali Gwat Liang Tojin melihat betapa muridnya bahkan dengan seruan keras telah menggerakkan pedangnya menggeser golok sehingga memperdengarkan suara nyaring! Golok dan pedang terlepas dan kedua senjata itu meluncur ke masing-masing lawan. Tapi Cin Han melanjutkan gerakannya yang aneh.

Sambil meloncat ke kanan ia memutarkan pedangnya ke leher lawan dengan tak terduga dan cepat sekali. Hwesio itu berseru kaget tapi ia cukup gesit untuk mengangkat goloknya menangkis sekuat tenaga. Ternyata gerakan Cin Han tadi ialah tipu Burung Dewa Pentang Sayap dan merupakan sebuah daripada banyak gerakan tipu dari ilmu silatnya. Pedangnya berhenti setengah jalan dan dengan gerakan Hwee-liong-pok-sim atau Naga Terbang Menyambar Hati tiba-tiba ujung pedangnya mengarah dada lawan!

Lawannya terkejut sekali dan memutarkan goloknya menangkis, tapi karena gerakan tangkisan ini dilakukan dalam keadaan terdesak sekali, maka lambung kanannya jadi terbuka. Saat itu digunakan dengan baik oleh Cin Han yang mengirim pukulan dengan tangan kiri. Buk! Dan hwesio itu terpukul lambungnya oleh kepalan Cin Han. Sungguhpun ia masih berdiri karena bhesi kakinya sangat kuat, namun setelah menerima pukulan itu ia berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangan. Tangan kirinya meraba lambung dan dari mulutnya mengalir darah segar!

Dalam marahnya Cin Han hendak menambahkan satu tusukan, tapi tiba-tiba Gwat Liang Tojin meloncat menepuk bahunya. “Sudah cukup muridku, jangan sembarangan membunuh orang.”

Kemudian ia berkata kepada hwesio yang masih berdiri merintih-rintih itu. “Kalian dari Pek-lian-kauw memang keterlaluan. Pinto sebenarnya belum pernah bermusuhan dengan kalian, tapi tanpa alasan dan tanpa tanya-tanya lebih dulu, kalian datang-datang menghendaki jiwa pinto. Nah, biarlah kali ini merupakan pelajaran bagi kalian dan lain kali jangan membikin ribut dan memusuhi orang yang tidak berdosa. Pergilah dan bawa temanmu itu!”

Hwesio itu menahan sakit, sepasang matanya memandang Gwat Liang Tojin lalu kepada Cin Han dengan marah dan gemas. “Biarlah lain waktu kita berjumpa pula!” Lalu dengan terhuyung-huyung ia menghampiri kawannya yang roboh merintih-rintih karena luka di pundaknya oleh Gwat Liang Tojin tadi, kemudian mereka berdua berjalan saling bergandengan dengan sukar menuruni Bukit Kong- hwa-san.

“Siapakah mereka itu, suhu?” tanya Cin Han.

Gwat Liang Tojin menghela napas. “Mereka adalah jagoan dari Pek-lian-kauw, pemain toya tadi adalah Bong Gwat Hwesio dan pemain golok yang lihai tadi adalah suhengnya bernama Bong Lam Hwesio. Mereka ini sebenarnya pengurus-pengurus yang berkedudukan tinggi dalam partai Go-bi, tapi entah mengapa mereka terpikat dan membela perkumpulan Pek-lian-kauw.”

“Tapi mengapa Pek-lian-kauw memusuhi suhu?”

“Ah, ini semua gara-gara Ong Lun, dari Pek-lian-kauw telah banyak anggauta dan jagoan yang tewas di tangan Ong Lun. Sekarang Ong Lun telah pergi mengasingkan diri entah di mana, mereka itu tak dapat mencari Ong Lun, maka karena mereka tahu bahwa aku adalah kakak angkat manusia aneh itu, mereka lalu datang menanyakan. Aku tidak tahu di mana tempat bertapa Ong Lun, tapi mereka tidak percaya bahkan lalu menyerangku, tentu dengan maksud agar Ong Lun mendengar tentang penyerangan ini dan keluar dari tempat persembunyiannya untuk membela dan menuntut balas.”

Sekali lagi Gwat Liang Tojin menghela napas. “Hampir saja maksud mereka membunuhku berhasil, tadi. Baiknya kau cepat-cepat datang, muridku. Tapi aku melihat gerakan ilmu pedangmu sangat aneh. Kalau tidak salah, itulah Hwie-liong-kiam-sut dari Beng San Supek.”

Cin Han cepat-cepat memberi hormat. “Maaf suhu, teecu tidak memberi tahu lebih dulu kepada suhu. Sebenarnya memang yang teecu mainkan untuk melawan Bong Lam Hwesio tadi adalah Hwie- liong-kiam-sut ciptaan Beng San Siansu.” Lalu dengan cepat ia menceritakan bagaimana ia mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang itu yang telah dipelajarinya selama setahun lebih.

Mendengar penuturan muridnya itu, Gwat Liang Tojin merasa girang sekali. Ia memegang pundak muridnya, “Sungguh kau beruntung, muridku. Beng San Supek selamanya tidak mau menerima murid. Maka sungguh kau berjodoh untuk memiliki ilmu Hwie-liong-kiam-sut yang mujijat itu.”

Cin Han senang mendengar kata-kata gurunya. Ia berdiam di atas bukit Kong-hwa-san kurang lebih setengah bulan, kemudian atas perintah suhunya yang hendak mulai merantau pula ke barat, ia pulang menuju ke rumah pamannya Gan Keng Hiap di Tiong-bie-kwan.

Dalam perjalanan pulang ini, Cin Han bertemu dengan seorang pemuda yang menarik perhatiannya. Pemuda itu berwajah tampan sekali dan sikapnya jenaka. Karena menuju ke satu jurusan maka Cin Han berkenalan dengan pemuda yang mengaku bernama Han Lian dari Kie-cu, Ciat-kang.

Setelah berkenalan mereka merasa saling cocok dan melanjutkan perjalanan bersama-sama. Cin Han mengaku seorang sasterawan karena melihat bahwa Han Lian juga seorang anak pelajar. Di tengah perjalanan mereka kemalaman di hutan dan bermalam dalam sebuah kelenteng tua dan digoda oleh dua orang nikouw cabul. Baiknya Cin Han berlaku waspada dan dapat menolong kawannya serta membunuh kedua nikuow itu tanpa diketahui Han Lian bahwa semua itu dialah yang mengerjakan.

Kemudian mereka berpisah dan pada malam berikutnya, ketika Cin Han sedang duduk membaca buku, ia mendengar suara kaki menginjak genteng rumah dengan ringan dan gesit sekali. Ia memadamkan lampu dan meloncat ke atas.

Ternyata yang berhadapan dengannya ialah…… Han Lian, kawan seperjalanan itu yang kini sudah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita bernama Han Lian Hwa seorang wanita gagah yang terkenal dengan sebutan Ang Lian Lihiap, si Teratai Merah. Gadis ini disebut si Teratai Merah karena ia selalu memakai sebuah perhiasan rambut indah yang berbentuk setangkai teratai merah di kepalanya.

Kedatangan gadis perkasa ini bermaksud membunuh Gan Keng Hiap, karena ternyata bahwa gadis ini bukan lain adalah murid tunggal dari Sin-kiam Koai-jin Ong Lun! Tentu saja Cin Han membela pamannya dan dalam pertempuran yang hebat sekali akhirnya ia berhasil mengalahkan Ang Lian Lihiap. Karena jengkel dan gemas gadis itu hendak membunuh diri tapi dapat dicegah oleh Cin Han hingga gadis itu jatuh pingsan. Kemudian Gan Keng Hiap dan isterinya menceritakan tentang asal dan sebab mengapa Ong Lun mempunyai dendam sakit hati kepada mereka. Mendengar penuturan mereka, hati Han Lian Hwa, menjadi tawar dan kecewa. Ia menganggap gurunya yang telah meninggal dunia itu keterlaluan. Maka ia meninggalkan tempat itu dengan sedih dan malu.

Ia malu kepada Cin Han, pemuda yang menarik hatinya itu. Sebelum berpisah dengan Cin Han, ia meloloskan teratai merah dari emas dan permata itu dari rambutnya dan membantingnya di depan Cin Han lalu pergi dengan cepat. Cin Han memanggil-manggilnya, tapi ia tak perduli, bahkan mempercepat tindakan kakinya.

?Y?

Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa berlari cepat meninggalkan pemuda yang memanggil-manggilnya. Pemuda yang merebut hatinya, pemuda yang telah mengalahkannya, pemuda yang menggemaskan, yang ia benci tapi yang membuat ia mengucurkan air mata mendengar panggilannya!

Setelah berlari jauh, ia menetapkan hatinya yang menggelora. Ia penasaran sekali. Semenjak turun gunung dan ditinggal mati gurunya yang tercinta, Ong Lun taihiap, belum pernah ia mendapat malu dan dikalahkan orang.

Ia ingat pengalaman-pengalamannya ketika bersama-sama suhengnya, Hwat Kong Hwesio, menggemparkan kalangan kang-ouw dengan menjatuhkan banyak orang-orang pandai dan ahli-ahli silat ternama. Maka dengan cepat sekali nama Ang Lian Lihiap naik ke atas, dikagumi kawan disegani lawan.

Tapi sungguh tidak disangka bahwa ia harus jatuh dalam tangan Cin Han, pemuda yang dikiranya hanya seorang pelajar lemah, yang disangkanya hanya pandai dalam kesusasteraan saja itu! Memalukan sekali! Dan datangnya ke tempat Cin Han pun tidak mengandung maksud baik. Ia datang hendak membunuh Gan Keng Hiap, paman Cin Han yang ternyata seorang manis budi, lemah lembut dan berhati baik!

Ah, ia malu. Malu kepada Cin Han yang menjatuhkan, malu kepada Gan Keng Hiap dan nyonya karena ia datang hendak membunuhnya, dan malu kepada mendiang gurunya karena ternyata ia tak dapat melaksanakan pesannya terakhir.

Demikianlah dengan hati sedih dan penasaran Han Lian Hwa berjalan terus, tak perduli ke mana sepasang kakinya membawanya.

Hari telah senja ketika ia memasuki sebuah kampung kecil. Tiba-tiba di luar kampung yang sunyi ia mendengar suara anak-anak tertawa.

Ketika ia menengok, tampak dua orang anak-anak, seorang laki-laki seorang perempuan, tengah berkejar-kejaran. Anak lelaki itu membawa setangkai kembang yang dipegang tinggi di atas kepala dan anak perempuan itu mencoba merampasnya.

“Kembalikan kembangku!” kata anak perempuan itu marah. “Coba ambillah!” anak laki-laki tertawa sambil lari dikejar oleh kawannya.

Mereka berkejar-kejaran mengitari pohon-pohon. Gerakan mereka cepat dan ringan sekali hingga diam-diam Lian Hwa terkejut. Tak disangkanya bahwa anak-anak itu mempunyai kepandaian ginkang yang istimewa. Ia memandang dengan kagum.

Ternyata anak perempuan itu kalah cepat dan tak berhasil merampas kembali kembangnya. Lalu ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis. Lian Hwa merasa kasihan dan gemas kepada anak laki-laki yang menggoda itu. Ia meloncat mendekati dan berkata dengan suara keren kepada anak laki-laki itu,

“Hayo kembalikan kembangnya. Tak malu anak lelaki menggoda anak perempuan!”

Anak itu memandangnya. Ternyata ia adalah seorang anak laki-laki berumur kurang lebih tujuh tahun berwajah putih bundar tampan sekali, sepasang matanya seperti bintang pagi penuh kegembiraan dan kejenakaan.

“Aduh galak benar cici ini!” katanya. “Coba tolong kauambilkan kembang ini untuk Mei Ling!” tantangnya.

Han Lian Hwa menjadi gemas. Ia meloncat mengejar, tapi anak laki-laki itu melesat pergi dengan gesit. Terpaksa Lian Hwa menggunakan ginkang dan kesebatannya untuk menubruk dan mengulurkan tangan hendak menangkapnya.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara keras dan entah dari mana datangnya, seekor kerbau datang dan hendak menubruk anak laki-laki itu. Di belakang kerbau itu tampak banyak orang kampung mengejarnya sambil berteriak-teriak, “Kerbau gila! Kerbau gila!”

Anak laki-laki itu sudah hampir terpegang oleh Lian Hwa, tapi tiba-tiba ia berkelit ke kanan. Malang baginya, sebelah kakinya menginjak batu licin, maka tak terhindarkan lagi ia jatuh di atas rumput. Dan pada saat itu kerbau yang mengamuk telah datang dekat hendak menubruknya.

Lian Hwa terkejut. Secepat kilat ia menggeser kakinya dan ketika kerbau itu menurunkan kepala dan dengan mata merah hendak menanduk anak itu, Lian Hwa mengayunkan kakinya menendang ke arah kaki depan.

“Krak!” dan kerbau itu jatuh bersimpuh karena kaki depannya patah tulangnya. Ia menguak-uak serem dan Lian Hwa menjadi kasihan mendengar rintihannya, maka ia segera mencabut pedangnya dan mengirim satu tusukan ke arah belakang kaki depan yang menembus ke jantung binatang itu. Seketika itu juga kerbau gila itu mati.

Anak laki-laki biarpun baru saja terlepas dari bahaya maut namun tidak memperlihatkan wajah takut. Ia tertawa-tawa dan mengangkat tingi-tinggi ibu jarinya.

“Cici hebat, cici jempol!” Setelah menerima kembali kembangnya, gadis cilik itu tertawa lagi, sepasang lesung pipit manis menghias pipinya kanan kiri. “Cici, hayo ke rumah kami,” katanya dengan suaranya yang merdu. Karena merasa senang melihat kedua anak itu dan dalam hati heran melihat anak-anak yang luar biasa dan bukan seperti anak kampung biasa ini, Lian Hwa menurut saja kedua tangannya digandeng oleh mereka dan ditarik pergi.

Mereka memasuki sebuah rumah gedung dan begitu melangkah ambang pintu, kedua anak itu berteriak-teriak, “Nenek! Nenek!! Keluarlah, ada cici datang……”

“A-mei….. A-kong……! Darimana kalian! Dan cici yang mana kalian maksudkan?” terdengar suara nyaring dari dalam. Belum habis suara menggema, orangnya tahu-tahu sudah berada di depan Lian Hwa, hingga gadis ini kagum sekali, melihat ginkang yang luar biasa ini.

Ternyata yang berdiri di depannya adalah seorang perempuan tua dan bongkok, tubuhnya kecil kurus dan rambutnya sudah putih semua. Kedua anak itu memeluk dan memegang lengannya. Ang Lian Lihiap maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang berilmu, maka segera menjura dalam-dalam untuk memberi hormat.

“Silakan duduk, nona.”

Dan tanpa diminta, kedua anak itu segera menceritakan pada neneknya tentang perebutan kembang dan betapa Lian Hwa menolong Kong Liang dari bahaya. Nenek itu memandang tajam kepada Lian Hwa.

“Siocia ini dapat merebut kembang dari tanganmu?” tanyanya kepada anak laki-laki itu.

“Tentu saja, nek. Ia cepat sekali, dan kalau saja nenek lihat betapa mudahnya ia menundukkan kerbau gila itu!” Ia Mengangkat jempolnya.

Neneknya makin memperhatikan Lian Hwa, lalu tiba-tiba ia minta kembang itu dari Mei Ling dan berkata kepada Lian Hwa.

“Nona, cobalah kauambil kembang ini dari tanganku,” dan ia mengangkat kembang itu tinggi-tinggi di atas kepala.

Tentu saja Han Lian Hwa heran sekali melihat lagak nenek ini. Gilakah ia? Ia hanya tersenyum saja dan tidak berani bergerak.

“Hayo cobalah, aku ingin melihat kegesitanmu,” kata nenek itu tidak sabar. Maka mengertilah Lian Hwa akan maksud nenek itu.

Karena ruangan itu lebar, maka ia lalu berdiri, dan setelah menjura dan berkata, “Maaf!” ia berkelebat untuk merampas kembang dari tangan nenek itu.

Tapi ia hanya melihat bayangan putih lewat secepat kilat disampingnya dan nenek itu lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia bingung, tiba-tiba terdengar suara nenek itu di belakangnya, “Aku di sini, nona!” Lian Hwa cepat memutar tubuhnya dan ia menubruk ke arah tangan yang memegang kembang itu, tapi sekali lagi ia kehilangan nenek itu yang tahu-tahu sudah berada di belakangnya pula. Berkali-kali ia menubruk, untuk kesekian kalinya ia gagal.

Dan yang terakhir sekali karena gemas, Lian Hwa menggunakan tenaga angin pukulannya memukul ke arah tangan yang memegang kembang agar kembang itu terlepas jatuh. Tapi ia hanya mendengar nenek itu berseru, “Aya!” dan beberapa butir kelopak kembang rontok, ke bawah, tapi nenek itu menghilang lagi.

Lian Hwa cepat memutar tubuhnya, tapi ternyata nenek itu tidak ada di belakangnya. Ia menengok ke sana ke mari, tapi ternyata orang tua itu tidak tampak di situ. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba Kong Liang dan Mei Ling tertawa-tawa gembira.

“Nenek, turunlah, nek!”

Dan Lian Hwa melihat nenek itu ternyata sedang enak-enak duduk di atas balok yang melintang di bawah langit-langit rumah dengan kembang masih di tangannya!

Nenek tua itu menggerakkan tubuhnya dan melayang turun bagaikan sehelai daun kering. Han Lian Hwa tunduk betul-betul. Ah, tak disangkanya di dunia ini banyak orang pandai. Baru saja ia dikalahkan oleh Cin Han dan kini ia tak berdaya menghadapi seorang nenek tua yang bongkok!

Ia telah berlaku sombong dan jumawa, menyangka bahwa diri sendiri terpandai tiada lawannya. Ah, seperti seekor katak dalam sumur saja. Maka ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Maaf subo, teecu berlaku kurang ajar. Mohon subo sudi menerima teecu yang bodoh sebagai murid.” Ia mengangguk-angguk beberapa kali.

“Siocia, jangan merendahkan diri. Kepandaianmu sungguh hebat. Aku orang tua bodoh mana berani menganggap kau sebagai murid? Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa.”

Tapi Han Lian Hwa tetap tak mau bangun. “Kalau subo tidak sudi menerima teecu sebagai murid, maka biarlah teecu terus berlutut di sini takkan berdiri lagi.”

Kedua anak itu tertawa cekikikan.

“Ah, sungguh keras watakmu dan kuat kemauanmu. Jangan begitu nona, bangunlah.” Nenek itu menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun kepada Lian Hwa.

Tapi Lian Hwa mengerahkan tenaganya dengan ilmu Benteng Besi Berakar ia membuat tubuhnya berat dan untuk dapat mengangkatnya membutuhkan tenaga ribuan kati! Tapi ketika nenek itu berkata sekali lagi. “Bangun!” tubuhnya terangkat juga dalam keadaan masih berlutut!

Kedua anak itu kagum dan bersorak gembira. Nenek tua menurunkan tubuh Lian Hwa dan menghela napas. “Apa boleh buat, biarlah kau belajar lagi satu atau dua macam kepandaian.”

Lian Hwa girang sekali, ia segera berdiri dan memeluk kedua anak kecil itu dengan gembira.

“Tapi sebelumnya kau harus menuturkan riwayatmu dan siapa gurumu, jangan sekali-kali kau bohong,” kata nenek itu dengan suara keren.

Han Lian Hwa lalu menceritakan riwayatnya. Ketika mendengar bahwa ia adalah murid tunggal Sian- kiam Koai-jin Ong Lun, nenek itu mengangguk-angguk.

“Tak heran kau begini lihai, tak tahunya, kau murid orang aneh itu. Dalam hal ilmu pedang aku tidak dapat mendidikmu, barangkali aku masih harus menerima petunjukmu. Tapi kurasa Ong Lun belum tentu dapat mengalahkan aku dalam ilmu ginkang dan lweekang. Biarlah kau perdalam kedua ilmu ini di sini.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar