Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) Jilid 07

Jilid 07

Dan Ang Lian Lihiap menghaturkan terima kasih dengan girang sekali.

Belakangan ia mendengar bahwa gurunya yang baru ini adalah seorang liehiap-kek yang pada puluhan tahun yang lalu telah membuat nama besar dan tidak kalah terkenalnya oleh Ong Lun si Manusia Aneh. Tapi nasibnya buruk sekali karena suaminya meninggal dunia ketika ia mempunyai seorang anak laki-laki.

Wanita gagah ini, yang bernama Song Cu Ling dan dijuluki orang Dewi Tanpa Bayangan, mendidik puteranya hingga menjadi seorang ahli silat pula. Tapi, dasar nasib Dewi Tanpa Bayangan sangat buruk, anak lelaki inipun meninggal dunia karena penyakit menular, demikianpun anak menantunya. Mereka ini meninggalkan sepasang anak kembar, ialah Kong Liang dan Mei Ling.

Tentu saja Song Cu Ling yang sudah menjadi nenek merasa sedih sekali, dan ia mendidik kedua cucunya itu dengan penuh kasih sayang. Selanjutnya ia mengasingkan diri di kampung kecil itu, hanya bercita-cita untuk menggunakan sisa hidupnya yang tak seberapa lama lagi untuk mendidik kedua cucunya dengan ilmu silat yang tinggi.

Karena memang telah mempunyai dasar ilmu silat yang lihai, ditambah otaknya yang cerdik dan kerajinannya yang luar biasa dalam waktu tiga bulan saja ginkang dan lweekang Lian Hwa sudah maju pesat sekali.

“Muridku, “ kata Dewi Tanpa Bayangan pada suatu hari, “terus terang saja, kini semua dasar ilmu ginkang dan lweekang telah kaupelajari semua, tinggal kau latih saja dan kau perdalam dengan penuh kerajinan. Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa lagi untuk diajarkan padamu. Tapi dua kepandaian itu, biarpun kau menghadapi lawan yang kepandaian silatnya lebih tinggi, kiranya cukup untuk kau gunakan sebagai pelindung karena kegesitan dan tenaga dalam yang sempurna menambah keuletanmu. Kau takkan mudah dijatuhkan lawan, betapa tinggipun kepandaian lawan itu. Syarat satu-satunya ialah, berlatih terus dengan rajin.” Han Lian Hwa berlutut dan dengan suara pilu berkata, “Subo, jika boleh, ijinkanlah teecu tinggal lebih lama bersama-sama subo dan kedua adik ini karena teecu juga seorang sebatang kara, dan teecu sayang sekali kepada adik Kong Liang dan Mei Ling.”

Song Cu Ling tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala. “Kau masih muda dan tugas hidupmu masih luas. Biarpun kau hanya seorang wanita, tetapi tenagamu sangat dibutuhkan oleh rakyat dalam keadaan sekacau ini. Bantulah mereka yang sengsara dan mereka yang tertindas, karena mereka ini membutuhkan bantuan orang-orang kuat seperti kau, muridku.”

Karena pendirian nenek itu sudah tetap, terpaksa dengan sedih Lian Hwa berpamit setelah lebih dulu memeluk dan menciumi kedua anak yang mungil itu. Di kelak kemudian hari si kembar ini akan menjadi sepasang hiap-kek yang menggemparkan dunia persilatan.

?Y?

Pada zaman itu, kaisar yang menduduki singgasana dan memerintah daratan Tiongkok, keturunan Boan, telah beberapa kali diserbu oleh orang-orang gagah, hohan-hohan yang berjiwa patriot dan yang ingin membangun kembali pemerintahan sendiri. Maka kaisar yang cerdik itu lalu menggunakan siasat mengadu domba.

Ia menyebarkan para durna untuk mengobral uang perak dan emas menyogok sana-sini mengumpulkan orang-orang gagah dan mengadu partai itu, sehingga di antara jagoan-jagoan di dunia persilatan terpecah dua, yakni golongan yang anti kaisar dan golongan yang pro kaisar. Golongan yang pro kaisar mendapat pangkat dan kekayaan serta diberi julukan “pahlawan” dan “pengawal”.

Dengan tipu muslihat yang licin, kaisar berhasil memecah belah persatuan kalangan kang-ouw. Di antara orang-orang yang menjadi pengawalnya, terdapat pula gerombolan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan Kwi-coa-pai (Perkumpulan Ular Setan). Pek-lian-kauw dipimpin oleh seorang hwesio bergelar Bong Cu Sianjin, sedangkan Kwi-coa-pai dipimpin oleh Kwie-eng-cu Hong Su si Bayangan Iblis.

Dengan adanya dua perkumpulan yang dipimpin oleh dua orang yang berilmu tinggi ini, maka kedudukan golongan yang pro kaisar sangat kuat dan membantu para durna dan pembesar keparat bertindak sewenang-wenang dan memeras rakyat jelata.

Semenjak pertemuannya dengan Han Lian Hwa yang lari dan hanya meninggalkan bunga teratai merah dari emas, Cin Han merasa seakan-akan hatinya ikut terbawa oleh gadis itu. Ia merasa hidupnya sunyi dan menjadi tidak kerasan lagi tinggal di rumah pamannya. Tiap hari ia termenung sambil memandang teratai emas berwarna merah yang sering ia pegang-pegang.

Ke manakah perginya nona gagah perkasa yang ia kagumi itu? Ia kagum dan tertarik sekali melihat kehebatan sepak terjang, kegagahan dan kecantikan Ang Lian Lihiap. Ia rindu sekali kepada pendekar wanita itu dan makin mendalam perasaannya kalau ia teringat betapa ia hidup sebatang kara dan kesunyian meliputi kehidupannya. Sebulan kemudian, ia tidak dapat menahan lagi gelora perasaannya yang tertekan. Maka ia memaksa diri berpamit kepada Gan Keng Hiap suami-isteri untuk pergi merantau. Tadinya paman dan bibinya sangat menahan kehendaknya ini, bahkan bibinya menangis dengan sedih. Tapi Cin Han berkata,

“Telah, bertahun-tahun saya menerima budi dan pelajaran yang sangat berharga dari paman dan bibi, maka biar sampai mati saya takkan dapat melupakan budi ini. Sesungguhnya saya senang sekali tinggal di sini dengan paman berdua, tapi sebagaimana pesan suhu pada saya setelah saya tamat belajar kesusasteraan dari siok-hu, saya harus dapat mempergunakan tenaga dan kepandaian saya untuk rakyat. Apa artinya memiliki kepandaian kalau kepandaian itu tidak digunakan?”

Gan Keng Hiap menarik napas dalam. Ia teringat akan keadaan sendiri. “Kau betul, Han. Memang kalau dipikir-pikir, aku telah bertahun-tahun dengan susah payah belajar kesusasteraan, menempuh ujian dan menjadi seorang sasterawan dan sekarang aku hanya diam saja tidak mempergunakan pengertian dan kepandaianku itu, seakan-akan aku telah mengubur semua itu. Akan tetapi, lihatlah anakku. Lihatlah apa yang dikerjakan oleh orang-orang terpelajar itu? Mereka merebut kedudukan tinggi dan kepandaiannya menulis hanya digunakan semata-mata untuk dua macam maksud rendah.

“Pertama, mereka menggunakan kepandaian menulis surat permohonan sebaik-baiknya untuk menjilat-jilat dan mengambil hati para pembesar atasan. Kedua, mereka menggunakan kepandaian menulis fitnah sejahat-jahatnya untuk mencelakakan rakyat dan orang-orang yang mereka peras. Inilah sebabnya maka aku lebih suka bersembunyi menjadi seorang yang tidak mempunyai guna……” Kembali orang tua terpelajar ini menghela napas.

“Tapi Cin Han lain lagi keadaannya,” menyambung isterinya, “ia seorang pemuda bun-bu-coan-jai yang ahli dalam ilmu silat dan ilmu surat.”

Gan Keng Hiap mengangguk-anggukkan kepala. “Memang demikian. Cin Han memang sudah sepatutnya meluaskan pengalaman dan menggunakan dua macam kepandaian itu untuk berbakti kepada rakyat kita. Biarpun kami sangat berat melepasmu, Han, tapi demi kepentinganmu sendiri, terpaksa kami memberi persetujuan akan maksud merantau ini. Hanya pesanku, anakku, janganlah kau lupakan kami orang-orang tua ini ”

“Dan hati-hatilah, Han jaga dirimu baik-baik……” pesan bibinya.

Cin Han sangat terharu akan kebaikan hati kedua orang tua itu. Maka ketika ia meninggalkan mereka, mau tidak mau ia merasa sedih juga.

Pada suatu hari, dalam perantauannya, Cin Han tiba di kota Hun-kap-teng. Kota ini ramai, toko berderet-deret dan beberapa rumah penginapan besar merangkap rumah makan berdiri gagah di pingggir jalan raya. Cin Han senang sekali melihat keadaan kota yang bersih dan makmur itu.

Sambil menikmati pemandangan toko-toko di kanan kiri jalan, Cin Han menuju ke sebuah rumah penginapan yang mewah.

“Selamat siang kongcu,” seorang pelayan menyambut dengan senyumnya. “Kongcu membutuhkan kamar? Kami mempunyai beberapa kamar kosong yang indah.” Cin Han mengangguk senang kepada pelayan yang peramah itu. Tapi sebelum memilih kamar, ia diharuskan memasuki kantor dulu, dan pengurus kantor ternyata tidak seramah pelayan tadi.

“Kongcu bernama siapa, datang dari mana dan hendak ke mana? Apa maksud kedatangan ke kota ini?”

Cin Han mengerutkan kening sambil memandang wajah pengurus hotel yang kurang ajar itu. Ternyata pengurus itu lebih menyerupai seorang jagoan. Tubuhnya tinggi besar, pakaiannya seperti seorang jago silat dan sebatang golok tergantung di dinding belakang mejanya. Tapi pada saat Cin Han memandangnya, ia tengah tunduk memandang buku catatan dan tak memperhatikan tamunya, seakan-akan pertanyaannya tadi keluar dengan begitu saja dari mulutnya.

“Apa artinya ini?” tanya Cin Han. “Aku datang hendak menyewa kamar bukan seorang pencuri ayam yang datang membuat pengakuan!”

Pengurus, hotel itu menggerakkan kepalanya yang besar dan memandang tamunya dengan heran. Ia tidak menyangka akan ada orang seberani itu.

“Hemm, kongcu orang luar daerah ini, ya? Ketahuilah, semua tamu yang memasuki kota ini harus mendaftarkan nama dan alamat lebih dulu. Kalau tidak, bukan hanya mendapat kamar, tapi bahkan ada kemungkinan ditangkap!”

“Apa? Ditangkap? Kenapa dan oleh siapa?”

Pengurus tinggi besar itu menjadi marah. Ia berdiri dengan mengepal tinju lalu bentaknya keras, “Jangan banyak tanya! Beritahukan nama dan jawaban semua pertanyaanku tadi, kalau tidak, pergi saja dari sini!”

Tentu saja Cin Han tidak dapat menahan panas hatinya mendengar dampratan ini. Ia bertolak pinggang dan memandang tajam. “Hmm, kau ini bangsa perampok atau pengurus hotel? Pangkatmu apa maka begitu galak dan sombong? Rumah ini dibangun untuk penginapan umum, dan tuan besarmu datang menginap bukannya tidak bayar uang sewa. Sekarang aku tidak sudi menjawab pertanyaanmu dan tidak sudi pergi, habis kau mau apa?” tantangnya dengan gemas.

Pengurus itu marah sekali.

“Bangsat kurang ajar! Kau minta dihajar!” Ia mengangkat kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa muda itu dan mengayunkan ke arah pipi Cin Han.

Tapi pemuda itu hanya memiringkan kepala dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke arah siku orang yang memukul itu. Terdengar jerit kesakitan dan lengan kanan orang tinggi besar itu menjadi lumpuh, tergantung tidak berdaya di sisi tubuhnya! Ternyata sambungan siku orang itu telah terlepas.

“Bagus sekali!” tiba-tiba terdengar seruan seorang tinggi besar bercambang bauk yang memasuki ruangan itu. “Siapa berani mengacau di sini?” Dan tanpa bertanya lagi ia menyerang Cin Han dari belakang. Cin Han mendengar sambaran angin pukulan yang hebat juga itu berlaku gesit. Ia meloncat ke samping dan memutar tubuhnya. Si tinggi besar yang sudah maju lagi hendak mengulangi serangannya, tiba-tiba berdiri dan berseru dengan girang.

“Eh, eh, tidak tahunya Hwee-thian Kim-hong yang berada di sini! Selamat datang, selamat datang, sobatku!”

Cin Han memperhatikan orang tinggi besar bercambang bauk itu. Akhirnya ia teringat juga. Ternyata ia adalah Lie Thung si Iblis Sungai Yang-ce dari kampung Kwan-lian-chung yang dulu menjadi kepala bajak dan pernah mencegatnya.

“Eh, kaukah ini, Lie-tai-ong?”

“Hush, jangar menyebut tai-ong (raja, sebutan kepala bajak) lagi padaku. Aku telah mencuci tangan dan menjadi orang baik-baik,” katanya tersenyum dan menarik tangan Cin Han diajak duduk di kursi dekat meja di sudut.

Pelayan yang terlepas sambungan sikunya tadi mendekati mereka dan berkata sambil menyeringai kesakitan.

“Maafkan saya, Kongcu, saya tidak tahu bahwa kongcu adalah sahabat dari Lie-taihiap.”

Lie Thung memandangnya marah, lalu berdiri dan dengan beberapa ketukan dan usapan ia memulihkan tulang siku pelayan itu. “Nah, biar pengalaman tadi menjadi pelajaran bagimu agar matamu lebih terbuka dan dapat melihat barang aseli atau tiruan. Pergilah dan sediakan hidangan untuk Lo enghiong ini.”

Cin Han merasa senang melihat keadaan Lie Thung yang tampaknya benar-benar telah mencuci tangan dari pekerjaannya membajak. Ia lalu bertanya tentang pekerjaan Lie Thung. Bekas kepala bajak itu tertawa senang.

“Pekerjaanku? Ah, aku menjadi anggauta perkumpulan pembasmi orang jahat. Aku menebus dosaku yang sudah-sudah dan belajar menjadi seorang patriot pembela negara dan rakyat dengan jalan membantu memusnahkan orang-orang jahat dan berbahaya.”

“He! Ada perkumpulan seperti itu di sini? Ah, hebat sekali.” Cin Han berseru kagum, lalu dia menanyakan lebih lanjut.

Dengan panjang lebar Lie Thung menceritakan tentang perkumpulannya.

“Perkumpulanku bernama Kwi-coa-pai dan mempunyai sejumlah anggauta yang hanya terdiri dari orang-orang gagah di seluruh propinsi Tiongkok. Bengcu kami adalah seorang yang gagah perkasa dan jarang ada tandingannya di jaman ini. Kau belum mendapat kamar? Jangan sibuk, kawan, mari ikut aku ke tempat kami, di sana kami menyediakan banyak kamar dan tempat bagi kawan-kawan dan orang-orang gagah seperti kau.” “Ah, biarlah Lie-twako, jangan bikin repot saja.” Cin Han mencegah, tetapi di dalam hati dia sangat kagum melihat kejujuran dan keramahtamahan bekas raja bajak ini.

“Tentu saja aku tidak berani memaksamu. Tapi kebetulan malam ini bengcu kami merayakan hari she- jitnya yang kelimapuluh delapan, maka di sana diadakan sedikit perayaan. Dan kini semua hohan ternama telah berkumpul di sana. Kau yang masih muda ini apakah tidak ingin menggunakan kesempatan ini untuk berjumpa dan berkenalan dengan mereka?”

Cin Han berpikir bahwa memang ini kesempatan yang baik untuk meluaskan pengalaman dan melihat serta berkenalan dengan orang-orang gagah, maka ia akhirnya menyetujui dan menerima ajakan Lie Thung.

Sementara itu, pengurus rumah penginapan itu sudah datang pula dengan diikuti beberapa orang pelayan membawa bermacam-macam hidangan dan si pengurus sendiri mengatur hidangan di atas meja. Cin Han heran juga melihat betapa Lie Thung agaknya berpengaruh di kota itu, maka sambil makan ia memandang bekas bajak ini dengan curiga. Agaknya Lie Thung tahu bahwa dirinya dicurigai kawan barunya, maka sambil menyumpit sepotong daging yang dimasukkan ke mulut dan dikunyah dengan nikmatnya, ia berkata,

“Saudara Lo, aku tadi lupa memberitahukan kepadamu bahwa rumah penginapan dan rumah makan ini, seperti halnya dengan beberapa buah rumah penginapan besar yang lain di kota ini, semua adalah milik perkumpulan kami. Dan ketahuilah, sebuah dari pada tugas-tugasku ialah sebagai pengawas rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan ini.”

Cin Han mengangguk-anggukkan kepala. Ah, demikian kayakah Perkumpulan Ular Setan (Kwi-coa-pai) ini? Diam-diam ia makin kagum saja.

“Ketahuilah, saudaraku, perkumpulan kami karena tugasnya melindungi rakyat dan penduduk kota, maka banyak orang bersimpati dan memberi sumbangan besar sehingga kami tidak merasa khawatir akan keadaan kas perkumpulan kami.”

Sehabis makan maka Cin Han ikut Lie Thung menuju ke tempat perkumpulan Kwi-coa-pai. Ternyata tempat itu merupakan sebuah gedung yang besar sekali sehingga Cin Han ragu-ragu dan terkejut.

“Kau kagum, kawan?” kata Lie Thung bangga. “Jangan kaget, memang gedung ini bekas milik Pangeran Goei Tek Kong yang karena jasa-jasa perkumpulan kami lalu diserahkan kepada kami. Kini ditinggali oleh bengcu kami dan orang-orang gagah luar daerah yang datang ke kota ini dipersilakan bermalam di sini.”

Gedung besar dan mewah itu terletak di pinggir kota dan di depan gedung terdapat taman bunga yang luas dan mempunyai sebuah telaga kecil penuh bunga teratai. Memang indah sekali gedung itu dan di atas pintu gerbang terdapat papan nama dengan tulisan gagah:

“Kwi Coa Pai”. Ketika mereka berdua memasuki pintu gerbang, ternyata dalam gedung sudah berkumpul banyak sekali orang. Mereka adalah orang gagah yang menjadi anggauta atau sahabat-sahabat baik anggauta perkumpulan itu.

Para anggauta Kwi-coa-pai, seperti juga Lie Thung, dapat dilihat dan dibedakan dengan adanya sebuah sabuk pinggang bergambar ular hitam yang diikatkan di pinggang masing-masing. Tadinya Cin Han tidak memperhatikan sabuk yang melilit pinggang Lie Thung, tapi setelah melihat banyak orang memakainya, maka mengertilah ia.

Semua orang yang duduk berkumpul di satu ruangan tampaknya orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, karena bentuk-bentuk badan mereka yang kuat, mata yang tajam dan gerak-gerik yang gesit. Banyak mata memandang ke arah Cin Han ketika ia memasuki ruangan itu mengikuti Lie Thung. Ia langsung dibawa ke sebuah meja bundar besar di mana duduk berkumpul beberapa orang tua dan terpisah dari yang lain-lain.

Seorang tua yang duduk di tengah memakai baju hitam, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya lemah lembut tapi sepasang matanya tajam bagaikan pisau dan jika ia memandang orang seakan-akan sinar matanya menembus dan menikam jantung. Usianya kurang lebih enampuluh tahun, di pinggangnya juga terdapat sabuk ular hitam, empat orang lain yang duduk di dekatnya semuanya beroman aneh dan menyeramkan.

Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul tapi berpakaian mewah sekali, tubuhnya gemuk pendek dan mukanya selalu tersenyum mengejek. Orang kedua dan ketiga berpakaian seperti pengemis karena baju yang mereka pakai semua compang-camping, bahkan yang seorang, yakni yang punggungnya bongkok, hanya memakai sepatu sebelah! Orang keempat kelihatannya seperti seorang sasterawan, demikianpun pakaiannya, dan ia tampaknya paling mewah di antara semuanya juga ia mendapat tempat duduk di kanan orang tua baju hitam itu, agaknya paling dihormat.

Lie Thung langsung menghadap orang tua baju hitam itu memberi hormat. “Bengcu-ya, siauwtee datang memperkenalkan enghiong ini, ialah Hwee-thian Kim-hong yang meskipun muda usianya tapi telah terkenal karena kepandaiannya yang tinggi.”

Jadi inikah kepala perkumpulan yang disebut sangat lihai itu? Demikian pikir Cin Han dan ketika bengcu itu berdiri, maka Cin Han segera menjura memberi hormat.

“Silakan duduk, taihiap,” suara Bengcu itu nyaring dan tinggi seperti suara orang perempuan. “Kami girang sekali mendapat kehormatan dengan kunjunganmu ini. Mari kuperkenalkan dulu dengan para locianpwe ini.” Ia menunjuk kepada para tamu yang duduk di situ dan memperkenalkan mereka seorang demi seorang.

Ternyata hwesio ini bukan lain adalah Tie Bong Hwesio, seorang ahli silat cabang Bu-tong yang terkenal. Pengemis pertama yang bertubuh pendek kecil bernama Kok Pin bergelar Hoa-gu-jie si Kerbau Belang. Pengemis yang bongkok, bernama Lok Sim Tat bergelar Si Iblis Bongkok. Orang yang seperti sasterawan adalah bekas pegawai kota raja bernama Lam Beng Sun yang dulu memegang pangkat tinggi dan juga menjadi kepercayaan menteri durna Long Ong. Mendengar bahwa orang-orang itu bukanlah orang sembarangan, maka Cin Han merasa gembira dapat berkenalan dengan mereka maka katanya, “Siauwte yang muda dan bodoh merasa terhormat sekali dapat bertemu muka dengan para locianpwe yang ternama. Dan mohon tanya nama serta julukan yang mulia dari lo-enghiong sendiri.”

Bengcu itu tertawa bergelak-gelak, “Tidak heran sicu belum mengenal padaku. Aku orang tua tak berguna disebut Kwi-eng-cu Hong Su.”

Cin Han terkejut mendengar nama ini. Dulu gurunya pernah menyebut nama ini sebagai seorang gagah yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Maka diam-diam ia memperhatikan Kwi-eng-cu Hong Su si Bayangan Iblis itu. Memang pantas dengan julukannya. Bengcu yang tua itu biarpun wajah dan tubuhnya tidak ganjil, tapi sepasang matanya benar-benar seperti mata iblis saja! Setelah beberapa kali sinar matanya bertumbuk dengan sinar mata Bengcu itu, Cin Han bergidik dan segera menundukkan mukanya.

Kemudian Hong Su si Bayangan Iblis dengan tertawa ramah segera memerintahkan Lie Thung untuk mengantar Cin Han ke kamar yang terindah, dan memesan pemuda itu agar nanti malam menghadiri pesta di ruang belakang. Pesta dimulai jam tujuh. Cin Han menyatakan kesanggupannya dan setelah mengucapkan terima kasih ia pergi mengikuti Lie Thung dan mendapat kamar yang mewah.

Lie Thung tak dapat lama menemaninya karena katanya ia masih banyak tugas. Maka Cin Han lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang bersih dan indah. Ia heran melihat keadaan perkumpulan yang serba mencurigakan ini. Tapi karena ternyata bahwa para tamu tadi terdiri dari orang-orang ternama maka iapun tak berani menyangka sesuatu. Hanya dalam hatinya ia menetapkan hendak mencari keterangan lebih jelas lagi tentang Perkumpulan Ular Setan ini.

Jam tujuh malam, di ruang belakang dari gedung bekas istana pangeran yang kini menjadi markas besar perkumpulan Kwi-coa-pai itu, sangat ramai. Ribuan lilin dan obor membuat tempat itu menjadi terang cemerlang dan indah sekali. Tamu-tamu yang memenuhi tempat itu jauh lebih banyak daripada siang tadi. Cin Han dari jendela kamarnya dapat mendengar suara mereka yang bicara, riuh- rendah, riang-gembira dan dengan dialek yang campur-aduk menandakan bahwa para tamu itu datang dari beberapa propinsi.

Ia segera berdandan. Seperti biasa, ia mengenakan baju dalam sutera bersulamkan burung Hong indah buatan ibunya. Di luar baju itu, ia mengenakan pakaian luar yang biasa dipakai oleh pelajar sastera hingga ia tampaknya sebagai seorang sasterawan muda. Ia tidak lupa untuk membawa Kong- hwat-kiamnya, juga ia sembunyikan dalam baju di belakang punggung, tertutup oleh baju sasterawan yang lebar dan longgar.

Ketika ia bertindak keluar dari kamar, dari depan Lie Thung mendatangi dengan wajah berseri-seri. Pakaiannya pun mewah sekali dan ia kelihatan gagah.

“He, laote kenapa kau masih belum ke sana? Semua tamu sudah berkumpul. Bahkan ada tambahan acara yang menarik hati sekali. Para locianpwe berkenan mendemonstrasikan keahlian mereka. Hayo, jangan kau ketinggalan. Pertunjukan bagus sekali yang akan kita lihat nanti.” Mereka menuju ke ruang belakang. Ruang ini sangat luas dan nyaman karena terbuka dan mendapat hawa langsung dari taman bunga di belakang gedung. Kurang lebih seratus orang tamu duduk berkelompok mengelilingi meja yang penuh hidangan.

Meja ketua Kwi-coa-pai paling besar dan ditilami kain tenun berwarna merah. Yang menemani dia duduk, selain empat orang tua yang siang tadi sudah dijumpai Cin Han, masih ada seorang lagi yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan nampaknya gagah sekali dengan bajunya yang berwarna biru bersulamkan naga warna hijau.

Melihat kedatangan Cin Han, si Bayangan Iblis menepuk tangan dan tertawa girang. “Eh, Lo-sicu. Silakan duduk sini.”

Cin Han merasa agak disanjung ketika melihat betapa banyak mata para tamu memandangnya. Ia maklum bahwa tidak sembarang orang diminta duduk di mejanya oleh ketua besar itu.

“Lo-enghiong, siauwte menghaturkan selamat dan semoga lo-enghiong dikurniai usia panjang dan tubuh sehat,” kata Cin Han hormat.

“Ha-ha-ha! Terima kasih,” Si Bayangan Iblis berdiri dan membalas hormatnya., “Eh, hampir aku lupa, sudahkah sicu kenal dengan Thio-taihiap?”

Si baju biru itu berdiri dan baru Cin Han tahu bahwa orang itu sangat tinggi, wajahnya membayangkan kekejaman dan tak sedikitpun senyum membayang di muka yang gelap itu. Namun dengan hormat ia menjura dan dibalas oleh Cin Han. Hong Su memperkenalkan mereka berdua dengan bangga.

“Ini adalah Thio Lok taihiap yang bergelar si Naga Hijau dari selatan.” Kemudian tangannya menunjuk ke arah Cin Han, “Dan ini adalah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han, yang meskipun masih muda tapi telah menggemparkan sungai telaga.”

Mendengar sebutan Hwee-thian Kim-hong, mata Thio Lok untuk sesaat memancar ke arah wajah Cin Han, tetapi tanpa berkata apa-apa dia duduk kembali. Cin Han juga mengambil tempat duduk di meja kehormatan.

“Lo Cin Han sicu,” kata Hong Su dengan ramah. “Sebelum kau datang tadi, lohu dengan para enghiong di sini telah mengadakan persetujuan untuk saling mempertunjukan ilmu silat masing-masing agar terbuka mata kita. Bagaimana pikiranmu, Lo-sicu?”

Cin Han tersenyum girang. “Memang hal ini baik sekali, siauwte tentu setuju sekali dan akan siauwte perhatikan untuk menambah pengetahuan yang dangkal.”

“Ha-ha! Lo-sicu, siapakah yang tidak mengenal nama Hwee-thian Kim-hong? Jangan kau terlalu merendah. Lohu bahkan mohon bantuanmu untuk membuka pertunjukan ini dengan memperlihatkan ilmu silatmu!”

“Ah, lo-enghiong, mana siauwte yang muda berani memperlihatkan kebodohan di hadapan para locianpwe?” jawab Cin Han merendah. Para jagoan tua yang duduk di situ merasa suka melihat kesopanan dan kehalusan tutur sapa Cin Han, maka sebentar saja mereka berbicara dengan asyik dan gembira. Tapi Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan tampaknya tak begitu suka kepada Cin Han, atau agaknya memandang rendah pemuda sasterawan itu!

Hidangan yang serba lezat dikeluarkan dan keadaan makin ramai gembira, bahkan di meja-meja para muda terdengar suara senda gurau disertai tertawa-tawa setengah mabuk. Di meja ketua perkumpulan Ular Setan juga kelihatan gembira sekali. Hoa-gu-ji Kok Pin pengemis kate bertanding minum arak dengan Iblis Bongkok Lok Sin Tat. Kedua pengemis ini sama-sama kuat dan mereka telah minum belasan cawan tanpa berhenti.

Tiba-tiba Tie Bong Hwesio mencela kedua kawan baiknya, “Kalau kalian berdua mabok-mabokan kalian menghabiskan arak dan tidak ingat kepada yang muda-muda, memalukan sekali! Pantasnya kalian menawarkan arak kepada kedua sicu ini.” Ia mengangguk ke arah Cin Han dan Thio Lok.

Lam Beng Sun si bekas pembesar yang pada malam itu mengenakan bekas baju kebesarannya dan tampak keren sekali, segera mengambil guci-guci arak dan mengisi cawan Cin Han dan Thio Lok sampai penuh. “Hayo, Thio-taihiap, jangan sungkan-sungkan. Kau yang menjadi orang sendiri jika berlaku sungkan-sungkan, maka Lo-sicu ini sebagai orang baru akan lebih sungkan lagi.”

Thio Lok menghaturkan terima kasih dan mengangkat cawan araknya, diikuti oleh semua orang dengan gembira. Tapi Cin Han bukanlah seorang ahli minum, maka baru tiga cawan saja ia sudah merasa mual.

Melihat kawan-kawan lain kurang kuat minum, kedua pengemis itu menyatakan kecewanya. Tiba-tiba karena teringat lagi bahwa sekarang sudah tiba saatnya untuk membuka pertunjukan silat, Hong Su si Bayangan Iblis mendapat akal, untuk memancing kedua pengemis itu.

“Jiwi congsu, kulihat kalian memang sama kuatnya dalam hal minum arak. Tapi kami ingin sekali melihat siapa di antara jiwi yang lebih cepat minum. Baiknya sekarang diadakan taruhan.”

“Taruhan apa? Aku hanya punya kutu baju beberapa belas ekor di pakaianku,” kata Kok Pin si kate.

“Dan aku hanya mempunyai sebelah sepatu lapuk. Kalau aku kalah, si Kerbau Belang boleh memilikinya,” kata si Iblis Bongkok.

“Untuk apa sepatu hanya sebelah? Merepotkan saja,” bantah si kate.

Kwie-eng-cu Hong Su tertawa bergelak. “Bukan itu taruhannya! Aku akan mengisi sepuluh cawan arak wangi di atas meja dan masing-masing boleh minum lima cawan. Yang kalah cepat harus lebih dulu membuka pertunjukan silat di tengah-tengah ruangan ini. Bagaimana, setujukah kalian?”

Sambil berkata demikian, Si Bayangan Iblis mengeluarkan seguci arak simpanan. Ia membuka tutup guci dan menuang isinya di dalam sepuluh buah cawan, harum dan wangi arak itu memenuhi ruangan. Tentu saja kedua setan arak itu mengilar sekali. Hidung mereka segera dapat membedakan dan mengenal arak baik. “Setuju, setuju!” teriak mereka berbareng dan tanpa menanti jawaban, mereka menubruk maju, tangan mereka menyambar secawan arak dan menuangkan isinya ke dalam mulut.

Segera terdengar arak menggelogok di kerongkongan mereka dan sepuluh cawan arak itu cepat sekali habis dalam waktu yang sama cepatnya. Kalau orang bukan ahli silat dan matanya tidak terlatih, pasti takkan melihat dengan tegas bila dan bagaimana kesepuluh cawan arak itu dihabiskan, demikian kecepatan tangan mereka bergerak.

“Ha-ha-ha! Dasar kalian ini yang seorang iblis arak, yang seorang lagi setan arak! Kalian sama-sama menang. Maka keputusannya adalah dua-duanya harus berbareng mempertunjukkan kepandaian untuk membuka hiburan ini. Hayo, jiwi mulailah, nanti kalau sudah selesai pertunjukanmu, akan lohu beri hadiah lima cawan arak wangi lagi!”

Kedua pengemis aneh itu tertawa senang lalu Lok Sin Tat memimpin tangan kawannya yang kate menuju ke tempat bermain silat yang memang sudah disediakan di tengah-tengah ruangan itu.

Semua tamu ketika melihat bahwa pertunjukan silat akan segera dimulai, lalu menunda pembicaraan mereka. Ruangan menjadi diam dan sunyi, semua mata ditujukan ke arah si Iblis Bongkok yang memimpin tangan si Kerbau Belang dan kedua-duanya tertawa ha-ha-hi-hi tak acuh dengan pandangan para tamu.

Sesampainya di kalangan tempat bersilat, Lok Sin Tat si Iblis Bongkok segera melepaskan sabuk merah yang mengikat pinggangnya. Kalau semua pakaiannya compang-camping, adalah sabuk sutera itu kelihatan bersih dan baru, dan setelah terlepas dari pinggang ia menyentakkan tangan ke depan. Sabuk yang terlipat itu melayang ke depan bagaikan ular merah dan ternyata panjangnya tidak kurang dari sepuluh kaki. Setelah ujung sabuk sutera melayang sampai lempeng, Lok Sin Tat menggerakkan tangan menarik, dan aneh sekali, sabuk itu bergulung sendiri dengan rapi.

“Hayo, kau keluarkan permainanmu!” teriaknya tertawa kepada pengemis kate.

Kerbau Belang yang bertubuh pendek kecil itu tertawa bergelak dan menjawab, “Mari kita main bersama. Kau gunakan penangkap lalatmu yang merah itu dan aku menjadi lalatnya. Cobalah kau tangkap aku!”

“Mari bertaruh!” kata si Iblis Bongkok tertawa. “Kalau kau sampai tertangkap, lima cawan arakmu harus diberikan padaku!”

“Bagus! Dan kalau sampai tidak dapat tertangkap, arakmu harus diberikan padaku,” jawab si kate yang lalu meloncat menjauhi kawannya dengan gerakan jumpalitan ke belakang. Tubuhnya ringan sekali sehingga diam-diam Cin Han terkejut melihat ginkang yang tidak boleh dipandang rendah itu.

Lok Sin Tat mengeluarkan seruan dan ketika tangannya bergerak, sabuk yang tergulung itu melayang ke atas dan turunnya bergerak-gerak hidup bagaikan naga, ketika ia menggerakkannya lagi, maka sutera itu merupakan kembang yang indah bergerak-gerak di udara lalu buyar pula. Sebelum ujung sabuk mengenai tanah, ia menggerakkan tangannya lagi dan ujung sabuk meluncur ke depan, kini menuju ke arah pengemis kate yang sementara itu sudah mengambil sebuah kursi dan duduk di atasnya dengan tenang. Melihat datangnya ujung sabuk sutera ke arahnya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya melesat ke samping. Ujung sabuk seakan-akan hidup dan tahu-tahu telah melibat kaki kursi dan ketika sabuk disendal balik, kursi itu terbawa terbang ke arah si Iblis Bongkok yang menerimanya dengan tangan kiri lalu dilemparkan ke samping. “Bagus!” katanya memuji kawan kate yang gesit itu. Ia lalu menggerakkan sabuknya lagi dan tak lama kemudian sabuknya merupakan sinar merah yang berputar-putar, terus mengejar ke mana saja pengemis kate itu bergerak.

Para tamu bertepuk tangan riuh-rendah memuji. Memang pada saat kedua orang itu bermain-main, tampak pemandangan yang indah sekali. Selendang merah itu melambai-lambai dan menyambar- nyambar mengeluarkan angin bagaikan seekor naga terbang berlenggak-lenggok. Dan si kate berkelebat ke sana ke mari diantara sinar merah itu bagaikan seekor kupu-kupu putih yang terbang dikejar. Gerakannya ringan dan gesit sekali, sehingga sebegitu lama, biarpun sinar merah mengepungnya dari segenap penjuru, tetap tidak dapat menangkapnya.

Cin Han juga memandang kagum. Ia maklum betapa lihainya kedua orang itu. Ia tahu juga bahwa betapapun halus dan lemas adanya sehelai selendang sutera, namun di tangan si Iblis Bongkok yang menggunakannya dengan tenaga lweekang yang tinggi, maka selendang yang lemas itu dapat merupakan sebuah senjata yang sangat lihai dan berbahaya.

Kalau sampai ujung selendang dapat melibat kaki atau badan si kate, tentu Kerbau Belang itu takkan dapat melepaskan diri lagi. Tapi ia kagum sekali melihat gerakan-gerakan si kate yang demikian lincahnya sehingga tidak memungkinkan selendang itu menangkapnya. Sungguh satu pertunjukan yang menarik dan berbareng menunjukkan betapa tinggi kepandaian kedua orang itu.

Tiba-tiba sinar selendang merah lenyap dan si kate juga menghentikan gerakan-gerakannya. Keduanya berdiri berhadapan dengan saling pandang, kemudian si Iblis Bongkok tertawa bergelak. “Lo-heng, kepandaianmu makin tinggi saja,” ia memuji.

Kok Pin tertawa. “Kau menyindir, Lok-ko. Aku setengah mampus harus menghindarkan diri dari Hong- ang-kin mu yang lihai.”

“Tapi aku tak dapat menangkapmu, maka biarlah arakku boleh kau minum.”

Dengan gembira ia memegang tangan kawannya lalu berdua kembali ke meja ketua. Semua orang bertepuk tangan memuji.

“Ah, benar-benar kalian hebat,” memuji ketua Kwie-coa-pai. “Patut dikagumi dengan sepuluh cawan arak!” Maka mereka lalu minum-minum lagi dengan gembira.

Si Bayangan Iblis berdiri. “Nah, sekarang lohu minta dengan hormat sukalah Lo-sicu meramaikan pesta ini dengan sedikit pertunjukan,” katanya kepada Cin Han.

“Betul, betul! Harap sicu jangan menampik.” Si kate ikut mendesak.

“Harap saja yang lain bermain dulu, karena siauwte yang muda tidak berkepandaian apa-apa maka biarlah siauwte bermain paling akhir.” Cin Han menolak halus. “Rupanya saudara Lo malu-malu, biarlah aku mendahuluinya,” kata Thio Lok sambil berdiri.

Tetapi si Bayangan Iblis mengangkat tangannya. “Thio-taihiap punya ilmu pedang yang tiada tandingan, lohu harap permainan taihiap dipertunjukkan nanti saja agar dapat menutup pesta ini dengan pertunjukan yang terindah.”

Cin Han merasa heran karena sungguhpun ketua Kwie-coa-pai itu nyata sekali sangat menghormat dan mengindahkan orang she Thio itu, tapi sebaliknya bicara seakan-akan kepada orang sebawahannya.

“Atau, bagaimana kalau Thio-taihiap dan Lo-enghiong ini main sama-sama?” usul Lam Beng Sun si bekas pembesar dengan suaranya yang halus.

Mendengar usul ini, mata Hong Su bersinar gembira. “Bukankah kau juga ahli bermain pedang, sicu? Kalau begitu baik sekali, silakan kalian berdua bermain pedang, tentu indah dipandang. Tapi, agaknya Lo sicu tidak membawa pedang, biarlah lohu memberi pinjam padamu.”

Cin Han buru-buru mencegah.

“Siauwte sudah membawa pedang, tapi siauwte mana berani bermain dengan Thio-taihiap?” ia mengerling kepada Si Naga Hijau itu.

Thio Lok memandang kepadanya dan bibirnya mengandung senyum sindir.

“Tidak apa, saudara Lo, biarlah kita main-main sebentar.” Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Thio Lok menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke tengah lapangan adu silat dengan tipu Naga Sakti Sambar Mustika, satu gerakan yang indah sekali hingga ia disambut dengan tepukan tangan.

Cin Han mendongkol juga melihat kejumawaan orang she Thio itu, maka ia berdiri dari kursinya dan membuka baju luarnya dengan perlahan. Maka kelihatanlah kini bajunya sutera putih yang bersulamkan burung Hong emas sedang terbang menempuh awan biru di bagian dadanya.

Dengan tergantinya pakaian yang ringkas dengan sulaman yang indah hidup itu, ia tampak gagah dan tuan rumah serta tamu-tamunya tercengang melihat anak muda yang cakap dan sopan-santun tapi yang kini kelihatan keren dan gagah itu. Juga ketua Kwie-coa-pai melihat pedang Kong-hwa-kiam yang tergantung di punggung dengan wajah girang.

Ketika Cin Han sedang bingung harus menaruh di mana baju luarnya yang masih dipegangnya, tiba- tiba Lie Thung datang menghampiri dan menerima bajunya itu. Bekas bajak ini berbisik perlahan,

“Hati-hati, kawan, orang she Thio itu adalah komandan kelas satu di perkumpulan kami, hanya bengcu saja yang lebih kuat dari padanya. Ia memang bertugas mencoba tenaga kawan-kawan baru, pedangnya lihai sekali!”

Cin Han mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya. Hm, jadi ia hendak dicoba? Ia mengerling ke arah meja ketua dan dilihatnya semua muka di meja itu berseri-seri dan gembira. Cin Han tidak mau kalah muka dengan sengaja ia memperlihatkan kegesitannya dan dengan gerakan Burung Walet Menyambar Kupu-kupu, ia meloncat berjumpalitan dengan kedua lengan terbuka. Ketika tubuhnya tiba di atas lapangan, berjumpalitan tiga kali dari atas dan menurunkan kakinya dengan ringan bagaikan burung, tepat berhadapan dengan Thio Lok. Tentu saja aksinya ini mendatangkan tepuk tangan yang hebat sekali dan Thio Lok memandangnya dengan mata bersinar merah.

“Thio-taihiap, aku harap kau suka berlaku murah kepadaku,” kata Cin Han.

“Tak perlu kiranya kau sungkan-sungkan dan merendahkan diri, saudara Lo, kepandaianmu belum tentu berada di bawahku,” jawab Thio Lok, lalu tanpa banyak cakap lagi si Naga Hijau mencabut pedangnya.

“Silakan, saudara Lo,” katanya kepada Cin Han sambil memasang kuda-kuda dengan tipu Naga Sakti Mendekam.

Cin Han lalu mencabut Kong-hwa-kiam dari sarungnya dan memasang kuda-kuda Burung Hong Hinggap di Cabang, dan berkata, “Silakan, Thio-taihiap!”

Thio Lok melihat Cin Han sungkan-sungkan untuk menyerang lebih dulu, segera memajukan kaki dan mengirim serangan pertama dengan tusukan pedang ke arah paha Cin Han dan terus melayangkan pedangnya itu untuk menyabet kedua kaki. Gerakan ini adalah pancingan untuk menggempur pasangan kuda-kuda lawan dan untuk melihat perkembangan selanjutnya dari gerakan lawan.

Cin Han ingin mencoba tenaga si Naga Hijau, maka ia tidak berkelit, hanya setelah pedang lawan berada dekat, ia menangkis ke samping. Dua pedang beradu dan Cin Han merasa telapak tangannya sedikit tergetar, maka tahulah ia bahwa lawannya memiliki tenaga yang tidak lemah.

Sebaliknya Thio Lok lebih berlaku hati-hati karena ternyata tangkisan tadi membuat lengannya kesemutan! Maka ia segera berseru keras dan menyerang dengan hebat dan cepat.

Setelah berkelit dan menangkis serangan lawan dalam beberapa jurus, berdebar kagetlah hati Cin Han. Ia berseru keras dan meloncat ke belakang tiga tombak lebih sambil berseru,

“Tahan, Thio-taihiap!”

Thio Lok heran dan berdiri tegak. Cin Han menjura dengan hormat. “Maaf, Thio taihiap, kenalkah taihiap kepada Ang Lian Lihiap?”

Thio Lok menggeleng-gelengkan kepala dan menjawab. “Pernah kumendengar namanya, tapi belum pernah bertemu, maka aku tidak kenal.”

Cin Han terheran. Tadinya ia menyangka bahwa setidaknya orang she Thio ini tentu saudara seperguruan dengan Han Lian Hwa si Teratai Merah, tapi ternyata orang she Thio ini bahkan tidak kenal. Ia hendak mencoba pula lalu bertanya. “Dan kenalkah kau kepada Sian-kiam Koai-jin Ong Lun?”

Thio Lok memandangnya tajam lalu berkata, “Dia adalah susiokku, ada apakah?”

Cin Han makin heran karena agaknya murid keponakan ini tidak menghormati paman gurunya, maka ia menjawab.

“Tidak apa-apa, pantas saja ilmu pedangmu hampir sama dengan ilmu pedang murid dari Sian-kiam Koai-jin.”

“Apa hubungannya hal itu dengan permainan kita? Lihat, semua orang memandang kita, hayo kita lanjutkan permainan kita.”

Cin Han memandang. Betul saja, semua mata memandang ke arah mereka dengan heran dan tak senang. Maka ia segera siap dan berkata, “Nah, silakan menyerang lagi, Thio-taihiap.”

Thio Lok segera membuka serangannya lagi, kini lebih hebat, Cin Han sengaja hanya menangkis dan berkelit saja. Serangan yang jarang ia lakukan pun hanya serangan-serangan tidak berbahaya saja. Ia berbuat ini untuk melihat sampai di mana batas kepandaian orang ini dan sampai di mana persamaan permainan pedangnya dengan Ang Lian Lihiap pendekar wanita yang menjadi kenangannya itu.

Ternyata Thio Lok, walaupun keuletan dan kekuatannya melebihi Han Lian Hwa, namun ilmu pedangnya masih jauh di bawah permainan gadis itu. Ilmu pedang dari Ang Lian Lihiap mempunyai banyak sekali perubahan-perubahan ganjil dan tak tersangka sungguhpun dasarnya juga sama dengan ilmu pedang Thio Lok ini ialah dari cabang Thai-san.

Tentu orang aneh Ong Lun itu telah mengadakan perubahan dan menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang diturunkan kepada Ang Lian Lihiap, pikirnya sambil menangkis serangan Thio Lok yang makin gemas dan marah. Thio Lok merasa penasaran sekali mengapa pedangnya yang sudah berhasil membuat ia jarang menemui lawan selama beberapa tahun, kini sama sekali tidak berdaya menghadapi anak muda yang tampak lemah ini.

“Kurasa sudah cukup Thio-taihiap,” kata Cin Han sambil mengelak sebuah tikaman dan mengalah dengan bertindak mundur.

Tapi tidak tersangka sama sekali si Naga Hijau berteriak lagi dan meloncat maju menubruk, lalu langsung pedangnya menyambar dengan tipu Rajawali Mencengkeram Kelinci. Serangan ini berbahaya sekali, dari meja ketua Kwie-coa-pai terdengar seruan tertahan.

Tapi Cin Han tak pantas disebut murid Beng San Siansu yang sudah menerima dan mengisap sari pelajaran Hwie-liong-kiam-sut kalau ia dapat dijatuhkan orang dengan tipu dan keadaan yang baru sedemikian saja. Ia bersuit keras dan sekali pedang serta tubuhnya bergerak, dengan tipu Siang-liong- po-in atau Naga Dewa Membuka Awan ia berhasil berkelit dan memunahkan serangan Thio Lok dan berbareng mengirim tendangan kilat ke arah pergelangan tangan lawan. Thio Lok terkejut sekali, tapi ia tak berdaya dan tak sempat berbuat sesuatu. Pergelangan tangannya tertendang dan pedang yang dipegangnya terlempar ke udara.

Namun Cin Han dengan cepat sekali meloncat ke atas, dan sebelum pedang itu turun kembali, ia telah menyambarnya dengan tangan kiri, lalu meloncat turun dengan tenang. Ia mengangsurkan pedang itu kepada Thio Lok yang masih berdiri terheran.

“Terima kasih bahwa kau telah berlaku murah dan mengalah, Thio taihiap,” katanya.

Thio Lok menerima pedangnya dengan wajah merah. Ia hendak marah, tapi melihat ketua Kwie-coa- pai telah datang menghampiri dengan tersenyum-senyum, ia lalu menjura kepada Cin Han dan berkata keras,

“Memang nama Hwee-thian Kim-hong bukan nama kosong. Aku mengaku kalah, Lo-taihiap,” katanya. Cin Han merendahkan diri.

“Lihai sekali!” demikian seruan terdengar dari para tamu yang menyambut kemenangan Cin Han dengan tepukan dan sorakan.

Hong Su menghampiri Cin Han dan memimpin tangan anak muda ini ke mejanya. Ketua ini tidak memperdulikan lagi kepada Thio Lok agaknya, dan orang she Thio ini dengan menundukkan kepala berjalan kembali ke tempat duduknya.

“Sungguh hehat sekali kau ini, Lo-taihiap,” kata Hong Su memuji, dan Cin Han makin heran melihat betapa ketua itu kini sangat peramah dan penuh hormat, sedangkan sebutan untuk dirinya telah diganti pula, kini ia disebut taihiap!

Tie Bong Hwesio mengisikan arak dalam sebuah cawan besar dan mengangsurkan cawan itu kepada Cin Han dengan membungkuk. “Lo-taihiap, pinceng kagum sekali padamu. Ilmu pedangmu sungguh hebat dan tanpa bertempur pinceng sudah mengaku kalah. Harap taihiap sudi menerima tanda hormat pinceng dengan secawan arak!”

Melihat penghormatan dari seorang hwesio tua sebesar ini, Cin Han buru-buru bangun berdiri dan menerima dengan kedua tangannya. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa cawan itu seakan-akan menempel dengan tangan hwesio itu dan sukar sekali diambil.

Ia maklum bahwa hwesio kepala gundul itu sedang mencoba tenaganya dan hendak mempermainkannya. Maka diam-diam ia mengerahkan semua tenaga dalam ke arah tangannya dan sambil berkata, “Lo-suhu, terima kasih atas budi kebaikanmu!” ia menggunakan tangannya mencabut cawan itu. Ia melihat betapa kedua lengan hwesio itu bergemetar dan akhirnya terpaksa hwesio itu melepaskan cawan ke tangan Cin Han.

“Sungguh kau seorang pemuda yang luar biasa Lo-taihiap.” Hwesio itu memuji dan duduk kembali ke kursinya sambil menyusut beberapa tetes arak yang tadi tumpah ke tangannya. Si Bayangan Iblis tampaknya girang sekali melihat hal ini, dan ia mengangkat kursinya mendekat Cin Han. Wajahnya berseri-seri ketika ia bertanya, “Lo-taihiap, bolehkah kami mengetahui nama guru taihiap yang mulia?”

Ketika Cin Han menyebut nama Gwat Liang Tojin, Hong Su mengangguk-anggukkan kepala dan Tie Bong menjulurkan lidahnya. “Oo, tidak tahunya taihiap adalah murid dari Kong-hwa-san! Pantas saja begitu lihai!”

Pada saat itu Lie Thung datang menghampiri Cin Han dan menyerahkan baju luarnya, kemudian dengan perlahan sekali bekas bajak yang kini menjabat pangkat kepala bagian penyelidik dalam perkumpulan itu mendekati ketua Kwie-coa-pai dan berbisik. Kwie-eng-cu Hong Su tampak terkejut dan segera berdiri.

“Saudara-saudara, ada urusan penting. Silakan berkumpul di kamar dalam dan kau juga dipersilakan ikut, Lo-taihiap.”

Semua orang yang duduk di meja itu, yakni kedua pengemis aneh, hwesio, bekas pembesar, Thio Lok dan juga Lie Thung, berdiri dan beramai-ramai masuk ke ruangan sebelah dalam. Cin Han tadinya ragu-ragu, tapi melihat Lie Thung mengangguk kepadanya, terpaksa ia ikut juga. Mereka menuju ke sebuah kamar yang terletak di bagian paling dalam.

Kamar itu terhias gambar-gambar indah, merupakan kamar tamu dan di tengah-tengah terdapat sebuah meja besar dikelilingi banyak kursi. Atas isyarat Hong Su, semua orang mengambil tempat duduk. Kemudian ketua itu, setelah memandang mereka seorang demi seorang dengan paras muka bersungguh-sungguh, berkata kepada Cin Han.

“Saudara Lo yang gagah. Sebagai seorang baru tentu kau masih belum mengerti akan hal-hal kami, maka terlebih dulu biarlah kuuraikan secara singkat padamu. Kami yang duduk di sini adalah pendiri dan pengurus perkumpulan kami Kwie-coa-pai. Perkumpulan kami mendapat tunjangan dari rakyat dan pemerintah karena maksud dan tujuan perkumpulan kami adalah untuk melindungi rakyat dan membela pemerintah.

“Kami mengumpulkan orang-orang gagah dari seluruh propinsi dan membuat gerakan membasmi para penjahat pengacau pemerintah dan pengganggu rakyat. Kita orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga untuk membuat jasa mengapa tidak menggunakan kesempatan ini untuk berbuat sedikit kebaikan dengan mengusir segala sumber kekacauan? Maka, melihat kepandaian dan kejujuranmu, kami suka sekali menerimamu sebagai seorang saudara seperjuangan. Bagaimana pendapatmu, saudara Lo?”

Lo Cin Han biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun ia masih sangat muda dan boleh dikata ia buta politik. Ia hampir tidak mengerti sama sekali tentang keadaan sebenar dari pemerintah bangsa Boan yang pada waktu itu menjajah seluruh permukaan bumi Tiongkok. Iapun tidak tahu sama sekali betapa para pembesar Boan dan para pembesar bangsa Han yang berjiwa rendah telah menjalankan penghisapan dan penindasan kepada rakyat.

Ia tidak menyangka sedikitpun juga bahwa Kaisar Boan yang cerdik, licin dan penuh tipu muslihat itu sedang mengadakan gerakan adu domba di antara para hohan yang mengancam kedudukannya. Maka kini melihat keadaan perkumpulan Kwie-coa-pai dan mendengar pembicaraan ketua perkumpulan itu, ia merasa kagum dan tertarik sekali. Seakan-akan dibangunkan semangat kepahlawanannya dan iapun ingin sekali menyumbangkan tenaganya guna rakyat dan negara.

“Hong lo-enghiong,” jawabnya kemudian. “Para saudara di sini ternyata adalah orang-orang berjiwa besar yang membuat aku kagum sekali. Mana aku yang muda dan bodoh ini dapat disamakan dengan saudara-saudara? Tentu saja aku bersedia membantumu dalam usaha yang baik ini, karena memang telah menjadi kebiasaanku untuk membasmi penjahat dan pengacau keamanan rakyat.”

Semua orang di situ merasa gembira sekali mendengar jawaban ini. Kemudian Hong Su menyatakan bahwa barusan dari para penyelidiknya ia mendapat berita bahwa malam nanti gedung Pangeran Coa Kok Ong akan diserbu penjahat, dan penjahat-penjahat itu kabarnya terdiri dari beberapa orang yang berkepandaian tinggi.

“Cuwi enghiong,” kata Hong Su sambil memandang kawan-kawannya, “sekali ini kita menghadapi perkara besar karena diantara para penyerbu itu terdapat juga Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas!”

Terdengar seruan kaget dan Cin Han heran mengapa nama itu demikian berpengaruh, bahkan ia melihat wajah Thio Lok yang biasa tenang itu menjadi pucat.

Dua pengemis aneh itu saling pandang dan tertawa. Si bongkok lalu berkata, “Hm, dia juga datang? Kami berdua pernah menguji kepandaiannya dan dengan kepandaian kami digabungkan menjadi satu maka baru dapat melayaninya. Baiknya di sini kita dibantu Lo Cin Han taihiap, maka kita tidak perlu berkhawatir lagi.”

“Sebenarnya, siapakah Garuda Kuku Emas ini?” tanya Cin Han yang tidak dapat menahan keinginan tahunya lebih lama lagi.

“Kau belum pernah mendengar namanya?” kata Tie Bong Hwesio. “Ia adalah murid dari Kang-lam- taihiap Kam Hong Tie dan kepandaiannya tinggi sekali.”

“Murid Kang-lam-taihiap Kam Hong Tie? Kalau ia murid pendekar itu, mengapa kalian menyebut dia seorang jahat?” tanya Cin Han karena ia telah mendengar betapa gurunya memuji-muji nama Kam Hong Tie sebagai seorang pendekar gagah berani yang berbudi dan bijaksana.

Tie Bong Hwesio tidak bisa menjawab, tapi Hong Su mewakilinya dengan cepat, “Ah, kau rupanya belum banyak merantau ke timur, saudara Lo. Memang Kang-lam-taihiap Kam Hong Tie adalah seorang locianpwe yang gagah perwira. Dan muridnya inipun tadinya seorang hiap-kek yang budiman. Namun, entah apa sebabnya, ia berubah dan kini menjalankan pekerjaan sesat dan terkutuk. Ia mengacau rakyat dan negara, membunuh orang tidak berdosa dan melakukan segala macam perbuatan jahat mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi.”

Cin Han mengangguk-angguk. “Kalau ia begitu jahat, harus kita tentang. Baik serahkan saja dia kepadaku, barangkali aku masih dapat melawannya.” Setelah membagi-bagi tugas menjaga dan menghadapi datangnya musuh malam nanti, Hong Su lalu mengajak kawan-kawannya untuk terlebih dahulu menjumpai pangeran itu dan mengatur siasat selanjutnya. Beramai-ramai mereka menuju ke gedung pangeran yang letaknya hanya beberapa lie dari situ.

Cin Han kagum ketika masuk ke halaman gedung mentereng dan indah dan mempunyai taman bunga yang luas pula. Ketika masuk, yang mula-mula menarik perhatiannya ialah bunyi suling yang merdu tertiup angin. Suara itu datangnya dari arah taman bunga di belakang gedung.

“Hrn, Coa-siocia masih saja bersenang-senang meniup sulingnya, tak tahu hahwa bahaya besar mengancam di atas kepala,” Hong Su berkata dengan tersenyum.

Lam Beng Sun bekas pembesar itupun tersenyum dan berkata, “Memang Coa-siocia selalu gembira dan suara sulingnya memang merdu tiada bandingnya di seluruh daerah ini.”

Pangeran Coa Kok Ong yang bertubuh tinggi dan berkumis seperti kucing menyambut mereka dengan wajah gembira. Ternyata di ruang tamu telah duduk seorang yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya gagah sekali. Pakaiannya menunjukkan bahwa iapun seorang pembesar dan melihat sikap Pangeran Coa yang agaknya sangat menghormatinya, dapat diduga bahwa ia tentu seorang pembesar yang tinggi juga pangkatnya.

Setelah mempersilakan mereka duduk, Pangeran Coa Kok Ong lalu memperkenal tamunya yang bersikap tinggi hati itu. Ternyata ia adalah Biauw Su Hai yang berpangkat ciang-bu atau kapten dari pasukan penjaga keamanan kota raja dan menjadi panglima kepercayaan kaisar. Maka segera Lam Beng Sun dan semua orang gagah, kecuali Cin Han, menyatakan hormat mereka terhadap Biauw Su Hai yang mereka sebut Biauw-ciangkun.

Kemudian mereka diberi tahu bahwa Biauw-ciangkun telah diterima lamarannya dan kini menjadi calon mantu Pangeran Coa atau tunangan Coa-siocia yang tiupan sulingnya terdengar tadi.

Ketika mendengar tentang adanya bahaya penyerbuan, Biauw Su Hai tertawa bergelak-gelak dan berdiri menepuk-nepuk dada. “Saudara-saudara tidak perlu demikian sibuk. Ada aku di sini, masa menghadapi beberapa gelintir maling kecil itu saja harus demikian berhati-hati?”

Tapi Lam Beng Sun berkata hati-hati, “Kami percaya bahwa Biauw-ciangkun pasti dapat memukul mundur mereka, tapi berhati-hati lebih baik, dan lagi, kiranya tidak perlu Biauw-ciangkun sendiri yang menghadapi penjahat-penjahat kecil itu. Serahkanlah saja kepada Hong Su bengcu dan kawan- kawannya pasti beres.”

Biauw Su Hai tertawa keras. “Kau benar, Lam-twako. Kau benar!”

Cin Han merasa sebal sekali melihat kecongkakan dan kekasaran kapten itu. Ingin sekali ia tahu betapa tinggi kepandaian kapten dogol ini. Tapi ia diam saja tidak ikut bicara sampai Hong Su mengajak mereka pulang.

Malamnya, baru saja jam delapan, Hong Su mengajak kawan-kawannya yang telah siap dengan pakaian ringkas dan senjata masing-masing. Cin Han diharuskan menjaga di taman bunga belakang gedung. Thio Lok di taman bunga depan, Tie Bong Hwesio, Liok Sin Tat, Kok Pin dan Hong Su sendiri terbagi-bagi menjaga di atas genteng sambil bersembunyi.

Karena harus menjaga taman bunga yang luas, maka Cin Han berjalan-jalan di dalam kebun itu, mengagumi bunga-bunga yang sedang mekar di dalam taman dan di dalam empang kecil yang penuh dengan ikan emas terlihat beberapa bunga teratai merah. Ia teringat kepada Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa, gadis yang belum pernah meninggalkan lubuk hatinya itu. Diam-diam ia menghela napas.

Tiba-tiba di taman yang sunyi terdengar suara orang bercakap-cakap. Cin Han merasa heran dan terkejut karena sejak tadi ia berlaku waspada dan tidak dilihatnya seorangpun memasuki taman itu. Maka segera ia dengan hati-hati menghampiri ke arah suara itu mendatang.

Ternyata bahwa orang-orang yang bicara itu berada di dalam sebuah bangunan kecil yang mungil dan indah sekali, agaknya sengaja dibangun di ujung taman itu untuk tempat mengaso. Kini terdengar jelas olehnya suara percakapan itu.

Yang berbicara adalah dua orang wanita dan menurut kata-kata yang diucapkan, ternyata mereka adalah seorang majikan dan bujangnya. Cin Han menyembunyikan diri ketika terdengar bujang itu menyebut “Siocia”. Ia dapat menduga bahwa wanita di dalam bangunan kecil itu tentu puteri pangeran sendiri, yakni Coa-siocia yang tadi telah meniup suling demikian merdunya.

Tapi hatinya ingin sekali melihat wajah puteri itu, pula ia berpendapat bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk minta gadis itu supaya masuk ke dalam gedung dan sekali-kali jangan keluar pada malam ini. Maka ia memberanikan diri dan berdiri menanti di luar pintu.

Ia mendengar siocia yang berada di dalam menangis terisak-isak dan pelayannya dengan suara pilu menghiburnya. Karena ingin tahu, Cin Han melangkah maju dan mendekati pintu. Kini terdengar olehnya suara di dalam berkata keras,

“Tidak, A-bwee, tidak! Lebih baik aku mati saja…… A-bwee, pergilah ke kamarku, di laci meja riasku ada sebuah botol kecil, ambillah dan bawa ke sini ! Cepat, A-bwee……”

“Tidak, siocia, jangan begitu! Masih ada jalan lain, nona.”

“Jalan lain yang mana? Watak ayah kukuh dan keras…… dan orang she Biauw si jahanam kasar itu…….

ia berpengaruh…… ah…… jangan membantah, A-bwee…… ambillah botol itu……”

Terdengar A-bwee menangis tersedu sedan. “Saya tidak sanggup, siocia, saya tidak…… tidak mau……” “Kau tidak mau ambilkan?? Baik, tinggal saja di sini, aku akan mengambil sendiri!”

“Jangan, nona…… jangan…… tolong……” A-bwee menjerit!

Cin Han terkejut dan hendak menolak daun pintu, tapi pada saat itu, daun pintu terbuka dari dalam dan hampir saja ia bertubrukan dengan seorang yang berlari keluar. Baiknya Cin Han cepat memiringkan tubuhnya, dan orang itu karena terkejut, kakinya terkait ambang dan terhuyung ke depan akan jatuh. Cin Han berlaku sebat dan dengan tangan kiri ia menangkap lengan orang itu untuk mencegahnya jatuh. Tapi, setelah orang itu berdiri, Cin Han cepat-cepat melepaskan pegangannya dan wajahnya merah, hatinya berdebar.

Ternyata orang itu adalah seorang gadis muda yang cantik sekali dan kini tengah memandangnya dengan sepasang mata yang indah dan jeli bagaikan mata burung Hong. Mulut yang kecil dengan bibir merah itu menggigil dan bergerak-gerak, tapi untuk sejenak gadis itu tidak dapat berkata-kata. Cin Han mengangkat tangan dan menjura,

“Nona, maafkan aku……”

“Kau…… kau siapakah? Mengapa berani memasuki tempat ini?” Akhirnya siocia itu dapat juga membuka mulut bertanya.

“Aku ditugaskan oleh Hong Su lo-enghiong untuk menjaga taman ini. Kuharap siocia suka masuk saja ke dalam gedung dan jangan keluar-keluar untuk semalam hari ini, karena berbahaya sekali.”

Coa Giok Lie memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Ia tertarik oleh sikapnya yang sopan- santun, dan terutama sulaman burung Hong di dada anak muda itu membuatnya kagum. Ketika pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Cin Han, ia menundukkan kepala dan kulit mukanya merah padam.

“A-bwee! Hayo kita masuk!”

Dari balik pintu itu muncul keluar seorang perempuan muda yang masih menyusut air mata dari pipinya. Ia memandang Cin Han dengan heran dan penuh curiga, kemudian menuntun tangan siocianya, “Marilah, siocia.”

Sebelum mereka pergi, Cin Han maju selangkah dan menjura lagi, “Siocia, maafkan aku. Maksudmu itu kurang benar, siocia. Di dunia ini tidak ada persoalan yang tidak dapat dibikin beres. Jalan pendek dan sesat itu hanya bisa dilakukan oleh seorang bodoh dan picik, dan saya yakin siocia bukan termasuk golongan orang-orang demikian.”

Coa Giok Lie memandang Cin Han dengan marah, sepasang mata yang indah itu seakan-akan mengeluarkan api, bagaikan mata burung rajawali yang mengintai kurbannya. Kemudian tanpa bicara apa-apa, ia membalikkan tubuh dan lari masuk ke dalam gedung.

Cin Han menghela napas dan melanjutkan perjalanannya meronda di taman bunga itu. Ia tidak menyangka bahwa Coa Kok Ong mempunyai seorang gadis yang demikian cantiknya! Seumurnya belum pernah ia melihat wanita secantik itu. Begitu lemah lembut, halus gerak-geriknya, tubuhnya bergoyang lemas bagaikan pohon Yang-liu tertiup angin, dan mata itu!

Diam-diam Cin Han membandingkan gadis itu dengan bayangan Han Lian Hwa yang tidak pernah meninggalkan alam pikirannya. Baginya, gadis perkasa itu lebih menarik dan sikapnya yang gagah mendatangkan rasa kagum  dan  perindahan darinya, tetapi mengenai kecantikan dan sifat halus kewanitaan, harus ia akui bahwa Coa Giok Lie siocia ini masih menang jauh. Tiba-tiba ia merasa malu kepada diri sendiri. Mengapa ia harus memikirkan gadis itu?

Pada saat itu terdengar bunyi suitan keras. Cin Han tahu bahwa itu adalah tanda dari kawan- kawannya bahwa musuh telah tiba. Suitan itu datang dari atas genteng, maka Cin Han segera mengayun tubuhnya ke atas genteng. Dengan berlari cepat ia menuju ke wuwungan tengah, dan di situ ia melihat sepasang pengemis sedang bertempur melawan seorang pemuda baju hijau yang bersilat dengan pedang panjang.

Sekilas saja tahulah Cin Han bahwa permainan pemuda itu lihai sekali, dan sepasang pengemis itu hanya dapat menangkis dan berkelit saja. Liok Sin Tat menggunakan selendang merahnya yang hebat, dan Kok Pin menggunakan senjata joan-pian lemas yang menyerupai cambuk.

Sebenarnya permainan senjata kedua pengemis ini sudah mencapai tingkat yang tinggi juga, tapi ternyata pemuda baju hijau itu lebih hebat gerakan-gerakannya. Cin Han dapat menduga bahwa pemuda itu tentu murid Kam Hong Tie yang disebut orang Garuda Kuku Emas. Pantas saja ia disegani, kiranya ilmu pedangnya memang luar biasa.

Cin Han melihat sekeliling. Ternyata bahwa semua kawan-kawannya sedang bertempur. Hong Su si Bayangan Iblis sedang bertempur melawan seorang yang bertubuh kecil ramping. Cin Han sekali lagi merasa terkejut karena permainan pedang lawan Hong Su sangat hebat. Dan ketika ia melihat lebih tegas, ia dapat menduga bahwa orang itu tentu seorang wanita. Tapi permainan pedangnya agaknya tidak di sebelah bawah dari Garuda Kuku Emas.

Ketua Kwi-coa-pai yang bersenjata sepasang siang-kek, semacam tombak pendek bercagak, bermain dengan cepat dan kuat sehingga lawannya tidak dapat terlalu mendesak, tapi sebaliknya si Bayangan Iblis yang terkenal gagah perkasa itupun tidak dapat berbuat banyak!

Cin Han mengerutkan jidat dan ia cemas sekali. Masih banyakkah lawan-lawan lihai ini? Selagi ia hendak membantu sepasang pengemis mengeroyok Garuda Kuku Emas yang mendesak kedua pengemis itu, tiba-tiba terdengar seruan panjang dan muncullah seorang yang bersenjatakan baju luar yang digulung!

Orang yang datang ini sudah tua dan brewokan, tapi ketika ia menyerbu dan mengeroyok Hong Su, Cin Han merasa kagum melihat betapa baju luar yang digulung dan dipakai sebagai senjata itu sungguh lihai dan hebat sekali. Sabetan baju itu mendatangkan angin menderu dan teringatlah Cin Han akan cerita gurunya dulu bahwa di dunia persilatan terdapat seorang hiap-kek yang terkenal dengan sebutan Ciu-sian Kong Sin Ek dan yang mempunyai senjata luar biasa, yakni baju luarnya!

Dengan majunya Dewa Arak Kong Sin Ek itu, maka segera Hong Su terdesak mundur. Tapi pada saat itu juga, tampak Thio Lok melayang naik dan membantu sepasang pengemis menggempur Garuda Kuku Emas sehingga keadaan mereka kini berimbang.

Cin Han hendak meloncat membantu Hong Su, tapi ia melihat bayangan orang tinggi besar berkelebat memasuki gedung! Ia mengurungkan niatnya membantu Hong Su, dan secepat kilat ia mengejar bayangan tadi yang pasti bermaksud jahat. Tapi ternyata bayangan itu bergerak cepat sekali sehingga ketika Cin Han mengejar ke dalam gedung, bayangan itu telah lenyap. Ia memandang tajam ke kiri, dan tiba-tiba dari kamar di ujung kanan ia mendengar suara orang. Dengan gerakan Naga Sakti Mengejar Awan ia meloncat ke arah kamar itu dan dengan berpok-sai ia menggantungkan kedua kaki di balok melintang. Dari lobang di atas jendela ia dapat mengintai ke dalam.

Alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa kamar itu adalah kamar Coa-siocia dan pada saat itu terdapat pemandangan yang membuat ia hampir berteriak marah! Coa-siocia berdiri angkuh dan matanya yang seperti mata burung Hong itu memandang hina kepada seorang hwesio tua tinggi besar yang berdiri di hadapannya dengan toya di tangan! A-bwee tampak berlutut dan menutupi muka karena takut.

Cin Han tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dari keadaan mereka ia dapat tahu bahwa hwesio penjahat itu tentu sedang memaksa dan menanyakan sesuatu yang tidak dijawab oleh Coa-siocia. Diam-diam Cin Han kagum sekali melihat keberanian nona yang lemah lembut itu. Melihat nona cantik itu berdiri bagaikan seorang ratu memandang rendah seorang penjahat!

Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Ekor Cin Han meloncat dan membalikkan tubuh, terus meloncat ke kamar melalui jendela yang didorongnya dengan tangan kiri.

“Pendeta cabul jangan mengganggu anak gadis orang!” teriaknya dan dengan gemas ia menggunakan kepalan kanan memukul.

Hwesio itu cepat berkelit dan Cin Han memandang ke arah sepasang mata yang sangat tajam. Tapi ia heran melihat wajah hwesio yang tampaknya alim dan agung. Hwesio itu meloncat keluar dengan cepat sekali, dan Cin Han mengejar sambil berteriak, “Hwesio jahat hendak lari ke mana?”

Hwesio itu memutar toyanya dan segera Cin Han merasakan angin toya menyambar dadanya. Ia meloncat ke samping dan berbareng mencabut keluar pedangnya. Mereka segera bergebrak seru dan ternyata ilmu pedang Cin Han yang luar biasa itu sebentar saja sudah dapat mendesak dan membuat hwesio itu sibuk menangkis.

Kalau ia mau, agaknya tidak sukar bagi Cin Han untuk mengirim serangan maut, tapi karena ia tadi melihat wajah hwesio ini bukan seperti orang jahat, maka ia tidak tega membunuhnya dan timbul kekhawatirannya membunuh orang baik-baik. Pada saat ia hendak menyudahi pertempuran itu dan membuat lawannya tidak berdaya, sebuah bayangan orang berkelebat datang dibarengi bentakan halus nyaring,

“Jangan sibuk, suheng, aku datang membantumu!” dan bayangan ini segera menggerakkan pedangnya.

Cin Han menangkis keras untuk membabat pedang lawan baru ini, tapi ketika kedua pedang beradu, tidak saja pedang lawan tidak terbabat buntung, bahkan ia merasakan tenaga besar membuat pedangnya sendiri terpukul! Ia heran dan terkejut sekali, tetapi pada saat itu, lawannya berseru kaget dan meloncat mundur.

“Kau.    ??” lawannya yang ternyata seorang wanita muda itu bertanya ragu. Cin Han memandang dan…… ternyata yang berdiri di depannya bukan lain ialah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa.

“Moi…… Lihiap…… kaukah ini?” tanyanya gagap.

Lian Hwa memandang tajam dan mulutnya mengejek, “Hm…… jadi kaupun menjadi pembela, menjadi anjing penjilat? Kau?? Ah...... tidak kusangka.......” terdengar elahan napas mengandung isak, kemudian pendekar wanita itu mengertak gigi. “Baiklah! Biar saat ini kita tentukan, siapa yang harus mampus di ujung pedang!”

“Nanti dulu, lihiap…… agaknya ”

“Jangan banyak cerewet!” Lian Hwa membentak. “Agaknya...... ada salah paham…… aku bingung……”

“Ah! Alasan palsu. Suheng, hayo kita basmi anjing ini!” “Moi-moi!!” Cin Han berteriak pilu.

“Pengkhianat! Gunakan pedangmu, bukan mulutmu!” Dan Ang Lian Lihiap dengan gemas dan marah sekali menggerakkan pedangnya menusuk.

Cin Han terpaksa menangkis, tapi segera ia merasakan betapa banyak kemajuan yang diperoleh gadis ini. Gerakan-gerakannya demikian lincah dan cepat hingga harus ia akui bahwa ginkang atau ilmu ringankan tubuh dari gadis ini bahkan berada di atas kepandaiannya sendiri. Maka sudah tentu saja ilmu pedang Sian-liong-kiam-hwat pelajaran aseli dari Sian-kiam Koai-jin Ong Lun yang dimainkan oleh gadis itu makin hebat dan lihai saja.

Pula terasa olehnya dalam benturan pedang bahwa tenaga lweekang dari gadis itu sudah jauh lebih maju daripada ketika bertempur dengannya dulu. Kini, ditambah lagi dengan permainan toya dari hwesio yang cukup lihai, tentu saja kedua lawan ini merupakan lawan yang tangguh.

Baiknya ia sudah mencangkok sari pelajaran dari Beng San Siansu dan sudah mahir mainkan Hwie- liong-kiam-sut, maka ia dapat menutup dirinya dengan sinar pedangnya sehingga tidak mungkin terluka, biarpun dirinya dikurung toya dan pedang yang dimainkan hebat bagaikan disulap menjadi ratusan mengeroyok dirinya. Cin Han mengakui bahwa kalau saja ia tidak menguasai Hwie-liong-kiam- sut, jangankan dikeroyok, melawan Ang Lian Lihiap sendiri saja pasti ia akan kalah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar