Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) Jilid 01

Jilid 01

Malam gelap gulita. Udara pekat dan seluruh kampung Ban-hok-cung terbungkus kehitaman malam dan hanya diterangi sedikit cahaya lampu-lampu lilin yang keluar menembus celah-celah dinding rumah-rumah kampung dan beberapa buah bintang yang kebetulan tak tertutup Mega.

Kentungan penjaga kampung berbunyi duabelas kali ketika di antara genteng rumah berkelebat bayangan tiga orang yang bergerak dengan gesit sekali. Tiga sosok bayangan itu berloncat-loncatan melalui beberapa petak rumah dan akhirnya mereka meloncat ke atas rumah Han Siucai yang telah sunyi karena semua penghuninya telah tidur lelap.

Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah yang sunyi senyap itu, seorang di antara mereka menggunakan goloknya membongkar jendela. Dengan sekali bacok jendela terbuka dan berbareng dengan gerakan itu, terdengar jeritan seorang anak-anak menggema keluar dari dalam kamar itu. Mereka tak memperdulikannya dan langsung meloncat menerobos jendela.

Han Siucai dan isterinya terkejut mendengar jeritan anak mereka, dan sebelum mereka tahu benar apa yang telah terjadi, tiba-tiba saja tampak tiga orang bersenjata golok telah berdiri di depan pembaringan! Nyonya Han akan berteriak, tapi dengan sebat seorang dari para tamu-tamu malam itu mengulurkan tangan dan menotok urat gagu nyonya cantik itu sehingga menjadi lemas tak berdaya. Nyonya muda itu sedikitpun tak dapat melawan ketika penjahat yang menotoknya secepat kilat memondongnya dan membawanya meloncat keluar jendela.

Timbul keberanian Han Siucai. Ia memaki, “Bangsat rendah! Kembalikan isteriku!” Tapi belum juga habis makian itu keluar dari mulutnya, dua buah golok menyambar dan ia roboh mandi darah, dan tewas di saat itu juga setelah mengeluh, “……Lian……”

Seorang nenek tua, ibu Han Siucai, dengan tergopoh-gopoh memasuki kamar itu karena mendengar suara gaduh, tapi ia datang hanya untuk menemul ajalnya di ujung golok yang menancap di dadanya! Darah berhamburan keluar dari kedua mayat itu memenuhi kamar, merah kehitam-hitaman! Ngeri, sungguh ngeri!

“Eh, suko, mana anaknya?” bertanya seorang daripada kedua penjahat itu.

“Entah, itu tempat tidurnya!” Mereka menghampiri dengan wajah beringas. Seorang menyingkap kelambu, seorang pula mengangkat golok siap membacok. Tapi ternyata pembaringan kecil itu kosong. Ke manakah larinya anak kecil yang mereka cari?

Ternyata ketika mendengar jendela dibacok orang, Han Lian Hwa, puteri Han Siucai satu-satunya yang tidur di kamar itu pula, menjerit ketakutan turun dari pembaringan dan segera lari keluar sehingga ia tidak melihat ibunya di bawa lari orang dan ayah serta neneknya dibunuh secara mengerikan.

“Mari kita cari dia, tak mungkin ia pergi jauh. Barusan ia masih menjerit di kamar ini.” Berkata penjahat yang memimpin serbuan itu. “Baik, suko, kita harus ketemukan dan bunuh anak itu, kalau tidak, pasti Bong-kongcu akan marah kepada kita.”

Mereka mencari-cari di dalam rumah dan seorang pelayan yang membantu rumah tangga Han Siucai mereka bunuh pula. Tapi anak itu tak tampak bayang-bayangannya! Mereka segera mengejar keluar. Akhirnya setelah mencari ubek-ubekan, mereka melihat anak itu berlari-lari menjauhi rumahnya, jatuh tersaruk-saruk dan menangis perlahan. Mereka segera mengejarnya. Pemimpin penjahat yang larinya lebih cepat daripada sutenya, dengan cepat sekali dapat mengejar anak kecil itu, dan tanpa berkata apa-apa, ia langsung mengangkat golok dan mengayunkan itu ke arah batang leher Han Lian Hwa!

“Traaang!” terdengar goloknya beradu dengan barang keras sehingga berpijarlah bunga api! Thai-pa- cu Kong Liat si Macan Tutul Besar terkejut dan memandang goloknya yang sedikit gempil ujungnya.

“Setan! Siapa berani main gila!” teriaknya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang ganjil diikuti keluarnya seorang hwesio yang bertongkat toya besar.

“Siancai, siancai…… sungguh kejam benar hatimu. Orang tuanya kau bunuh, begitu pun emaknya, kini engkau masih hendak membunuhnya?”

“Eh, jangan ngoco belo! Siapa yang membunuh?” menyangkal Kong Liat dengan kaget dan kuatir karena perbuatannya ketahuan orang.

“Ha-ha…… ternyata kamu pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Kalau tak terlambat kedatanganku, tak mungkin engkau bisa menghamburkan darah begitu banyaknya,” menjawab pendeta itu.

Sementara itu Siauw-pa-cu Ban Kim Ji dengan tak sabar dan kuatir mencela,

“Suko, untuk apa ribut-ribut? Bereskan saja si gundul ini, aku yang membereskan anak itu!”

Dengan kata-kata itu ia segera bergerak ke arah Han Lian Hwa sedangkan Thai-pa-cu memutar goloknya, lalu dengan gerakan Hui-eng-bok-tho atau Elang Terbang Menyambar Kelinci ia menyerang ke arah leher hwesio itu.

“Hm, Siauw-jin (orang rendah) yang tak kenal perikemanusiaan!” Hwesio itu mendamprat sambil meloncat ke arah Han Lian Hwa, dengan cepat sehingga serangan Thai-pa-cu tak berhasil.

Siauw-pa-cu yang mengayun goloknya untuk membunuh anak itu kalah cepat. Sebelum goloknya dapat mencelakakan anak itu, si hwesio dengan sebat telah menangkis dengan toyanya lalu menyambar Han Lian Hwa dengan tangan kiri.

Kedua macan tutul (gelaran mereka) menjadi gusar sekali dan dengan berbareng mereka menyerang. Kong Liat menyerang dari kiri dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Ambil Mutiara di Atas Kepala Naga), goloknya mengeluarkan desiran angin ketika menyambar ke arah leher si hwesio, sedangkan adik seperguruannya menyerang dengan tipu Thai-kong-tiauw-hi (Kiang Thai Kong Pancing Ikan), goloknya menyerang dari kanan ke arah pinggang musuhnya.

Tapi, biarpun dikeroyok dari kanan kiri padahal sedang memondong seorang anak kecil, hwesio itu tidak gentar. Ia menggunakan sebelah tangan kanannya memutar toyanya dengan gerak tipu Kiap- san-ciu-hai (Mengempit Gunung Melintasi Lautan). Dengan menggerakkan kepalanya sedikit ke bawah ia menghindarkan serangan Kong Liat dan putaran toyanya dapat membikin terpental golok Ban Kim Ji.

Baru bergebrak beberapa jurus saja ternyata kedua penjahat itu bukan tandingan hwesio itu. Tiap kali golok mereka beradu dengan sambaran toya, mereka merasakan telapak tangan mereka pedas dan perih sehingga hampir saja golok mereka terlepas dari cekalan.

“Mundur!” Kong Liat memberi isarat kepada kawannya dan mereka segera meloncat ke luar kalangan pertempuran, namun hwesio kosen itu tidak mau berhenti sampai di situ saja. Untung toyanya menyambar gesit dan dengan suara “pletak!” kaki kiri Ban Kim Ji terkena sapuan toya.

Ban Kim Ji berteriak ngeri dan rebah di tanah tak berdaya. Kakinya sebelah kiri ternyata patah tulangnya.

“Seharusnya manusia macam engkau ini patut dibunuh, tapi pinceng tidak mau melanggar pantangan membunuh. Nah, semoga pelajaran ini dapat mengubah kelakuanmu yang buruk,” gerutunya kepada korbannya itu. Kemudian ia lalu mengenjot tubuhnya menyusul Kong Liat yang lari ketakutan ketika mendengar teriakan kawannya yang terluka.

Siapakah Han Siucai yang terbunuh itu? Dan mengapa dibunuh?

Beberapa tahun yang lalu, pada waktu Han Bun Lim masih bertunangan dengan Lo Kim Eng, ia menanam bibit permusuhan dengan Bong-kongcu. Han Bun Lim hanya hidup berdua dengan ibunya dan pertunangan dengan nona Lo Kim Eng terjadi sejak mereka masih kecil. Lo Kim Eng adalah puteri dari Lo Sim Tat, seorang pedagang kecil di kampung Lun-kee-cun beberapa puluh lie jauhnya dari kampung Han Bun Lim.

Bibit permusuhan itu sebenarnya ditimbulkan dari pihak Bong-kongcu yang terkenal mata keranjang. Pada suatu hari Bong-kongcu melihat kecantikan Lo Kim Eng dan timbul cintanya kepada gadis cantik itu. Berdasarkan kekuasaan ayahnya, hartawan Bong yang terkenal mempunyai hubungan pengaruh besar dengan para pembesar di kampung maupun di kota, Bong-kongcu tidak memperdulikan kenyataan bahwa gadis itu telah mempunyai tunangan. Ia mengajukan lamaran dengan perantaraan seorang comblang.

Tentu saja lamaran itu ditolak oleh pihak keluarga Lo yang menimbulkan perasaan marah di pihak Bong-kongcu. Tapi pemuda hidung belang itu tidak berdaya untuk mencelakakan dan mengganggu Han Bun Lim, karena pemuda ini mempunyai seorang paman di kota yang berpangkat Tihu dan terkenal sebagai seorang yang adil dan jujur. Maka dendam hatinya ditahan-tahannya dan ia hanya dapat melihat dengan hati iri dan penasaran ketika Han Bun Lim setelah lulus ujian dan mendapat sebutan Han Siucai kawin dengan tunangannya itu. Beberapa tahun kemudian, karena sudah terlampau tua, paman Han Siucai mengundurkan diri dari pekerjaannya, pulang ke kampung dan meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Sementara itu Han Siucai telah mendapat seorang anak perempuan yang diberi nama Han Lian Hwa. Ia hidup berempat dengan isteri, ibu dan anaknya, karena orang tua Lo Kim Eng telah meninggal dunia pula ketika penyakit menular yang hebat mengamuk di kampung mereka.

Pengaruh hartawan Bong makin besar ketika puteranya yang sulung diberi pangkat, yang didapatnya karena pengaruh sogokan uang kepada pembesar atasan. Bong-kongcu sebagai putera bungsu dan dimanja, makin menjadi binal. Ia masih merasa penasaran dan sakit hati kepada Han Siucai dan isterinya. Selain terkenal akan kerakusannya terhadap paras elok, Bong-kongcu suka pula mengumpulkan guru-guru silat yang terdiri dari buaya-buaya darat, belajar silat dari mereka dan sekalian memelihara mereka sebagai tukang pukulnya.

Pada suatu sore di kampung Ban Hok Cun itu gempar dengan munculnya seorang pengemis yang minta sedekah dengan cara paksa. Di tiap pintu ia minta uang, dan takkan pergi dari tengah ambang pintu sebelum diberi uang. Dan ia minta uang dengan ditetapkan jumlahnya! Tidak mau kurang dari lima chi! Ada beberapa orang yang memberi dua chi, tapi pengemis itu meremas uang itu sehingga dua keping tembaga itu menjadi hancur! Tentu saja hal itu menimbulkan ribut dan takut.

Bong-kongcu yang mendengar akan hal ini segera mengumpulkan tukang pukulnya dan mencari pengacau itu. Ia ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ia merasa penasaran bahwa di kampungnya ada orang yang berani main gila, seakan-akan tidak takut kepadanya!

Bong-kongcu dan tukangpukul-tukangpukulnya melihat pengemis itu tengah berdiri di depan pintu sebuah kedai arak. Pakaiannya compang-camping, kaki kiri bersepatu baru kaki kanannya telanjang, tubuhnya kurus tinggi, tapi kedua matanya bersinar tajam. Melihat keadaan orang yang sama sekali tidak menakutkan itu, Bong-kongcu lalu maju menghampiri dan membentak,

“He, anjing kurus! Engkau berani mengacau desa kami? Hayo pergi dari sini, kalau kau ingin tulang- tulangmu yang kurus itu selamat!”

Si pengemis menengok kepada Bong-kongcu dan memandang pemuda dan anak buahnya dengan mata mengejek.

“Hm, hm, banyak lalat hijau di kampung ini. Pantas saja karena ada sarang madunya!” Ia lalu membuang muka dan tidak memperdulikan mereka lagi.

“Kurang ajar!” teriak Bong-kongcu dan memerintah anak buahnya, “Hajar anjing tua ini!”

Enam orang tukang pukul maju mendekati pengemis itu dengan wajah menyeringai. Mereka memandang rendah kepadanya dan menyangka bahwa mereka akan mudah melakukan perintah itu. Pang Houw jagoan yang terkenal paling galak dan paling berani di antara semua tukang pukul Bong- kongcu, mengayun kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa menghantam telinga pengemis itu. Pang Houw dijuluki orang Ouw-goe si Kerbau Hitam, tenaga tangannya ratusan kati dan ia telah melatih kedua tangannya memukul pasir beberapa tahun lamanya, maka bukan main hebatnya tenaga pukulannya.

Semua orang mengira bahwa pasti kepala pengemis itu akan pecah-pecah atau sedikitnya matang biru terkena pukulan si Kerbau Hitam kali ini. Tapi ternyata dugaan mereka meleset. Dengan tenang pengemis itu menanti sampai kepalan tangan Pang Houw sudah datang dekat, lalu dengan sebat ia miringkan kepala mengelak, kemudian menangkap tangan itu dengan tangan kiri dan dipencet perlahan.

Alangkah herannya semua orang melihat si Kerbau Besi berkaok-kaok seperti kerbau disembelih ketika lengannya yang besar berbulu itu dipencet perlahan saja oleh tangan pengemis yang kurus kecil. Si pengemis hanya tertawa ha-ha hi-hi.

“Heh, heh, heh, orang macam ini mau menjadi jagoan? Kongcu salah pilih orang dan menghamburkan emas dengan percuma!” demikian katanya sambil memandang Bong-kongcu.

“Hayo keroyok!” terdengar teriakan-teriakan para tukang pukul kawan si Kerbau Besi.

Tapi tiba-tiba Bong-kongcu berseru, “Tahan!” dan semua anak buahnya mengurungkan niat mereka mengeroyok si pengemis.

Bong-kongcu mendapat pikiran baik sekali. Ia melihat bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan dan jauh lebih lihai jika dibandingkan dengan para tukang pukulnya. Ia dapat menaksir bahwa gentong-gentong nasi yang tiada guna itu takkan sanggup mengalahkan si pengemis yang lihai, maka ia menggunakan siasat yang menguntungkan. Dengan muka manis ia maju selangkah ke arah pengemis itu dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

“Maafkan aku yang muda tidak mengenal kelihaian lo-suhu.”

Pengemis itu memandang Bong-kongcu, atau lebih tepat mengamat-amati pakaian pemuda yang sangat mewah dan mahal itu. Kemudian ia tertawa bergelak-gelak.

“Ah, aku pengemis hina dina tak pantas mendapat hormatmu, kongcu,” iapun membalas dengan hormat.

“Aku harap lo-suhu suka memberi ampun kepada para kawan-kawanku ini atas kekurangajaran mereka.”

“Tidak apa, tidak apa. Kalau tidak berkelahi tentu tidak akan kenal,” jawab pengemis itu. “Bolehkah kiranya aku mengetahui nama lo-suhu yang mulia?”

“Orang panggil aku Pek-bin-houw Cong Cit.”

Bong-kongcu merasa girang karena ia telah mendengar nama Cong Cit si Harimau Muka Putih ini. Di kalangan Liok-lim ada seorang perampok tunggal yang bekerja seorang diri bernama Cong Cit akan tetapi kini telah mengundurkan diri dari pekerjaan merampok. Kembali ia memberi hormat. “Sudah lama aku mendengar nama lo-suhu yang terkenal gagah. Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu muka dan berkenalan. Pertemuan ini harus dirayakan dengan minum arak dan makan besar.”

“Makan besar? Arak? Ha-ha! Kongcu tahu benar kesukaanku.” Si pengemis tertawa bergelak-gelak sambil menjulurkan lidah menjilat-jilat bibir. Sambil menggandeng tangan pengemis yang kurus itu Bong-kongcu berjalan menuju ke arah kedai arak yang terbesar di kampung itu, diiringi oleh semua anak buahnya.

Demikianlah, dengan omongan manis dan siasat yang halus Bong-kongcu berhasil menahan si Harimau Muka Putih untuk tinggal di gedungnya dan menjadi pelindungnya. Pek-bin-houw Cong Cit memang seorang yang sudah rusak moralnya, sungguhpun kepandaiannya sangat tinggi, namun ia masih sangat tamak akan harta kekayaan dan kesenangan dunia. Maka di dalam gedungnya kongcu yang banyak uangnya itu merasa mendapat tempat istirahat atau sarang yang sangat menyenangkan.

Dengan adanya Cong Cit, pengaruh Bong-kongcu semakin memuncak, ia ditakuti semua penduduk kampung dan desa di sekitar tempat itu melebihi orang menakuti setan. Dan karena mempunyai seorang pelindung yang kosen ini, Bong-kongcu merencanakan gerakan pembalasan kepada Han Bun Lim.

Pada malam hari yang gelap gulita sebagaimana telah diceritakan di permulaan cerita ini, Bong- kongcu menyuruh tiga orang tukang pukulnya, ialah murid-murid dari Cong Cit untuk menculik nyonya Han dan membasmi semua keluarga Han Siucai. Pekerjaan terkutuk itu berhasil baik. Nyonya Han dapat terculik dan seisi rumah dibunuh.

Baiknya puteri satu-satunya dari Han Siucai ialah Han Lian Hwa, terlepas dari bahaya maut berkat pertolongan seorang pendekar, yaitu Hwesio bergelar Hwat Khong Hwesio dari kelenteng Ban Hok Thong yang sedang berjalan memungut derma ke kampung-kampung guna perbaikan kelentengnya.

Sebagai mana telah diceritakan, Hwat Khong Hwesio mengikuti jejak Kong Liat si Macan Tutul Besar sambil menggendong Han Lian Hwa. Ia sengaja memperlambat jalannya karena maksudnya hendak mengikuti Kong Liat sampai ke sarangnya.

“Celaka, Kongcu!” demikianlah keluhan Kong Liat setelah ia meloncat turun di ruangan belakang. Tanpa membuang waktu lagi ia menceritakan bahwa mereka telah berhasil tapi mereka telah dihalang-halangi oleh seorang hwesio yang lihai.

Ketika Kong Liat datang, Bong-kongcu tengah minum arak dengan Cong Cit, sedangkan Kwee Seng murid kepala yang menculik nyonya Han nampak berdiri menjaga wanita muda itu yang terikat di atas sebuah kursi dengan mulut tersumbat kain, hanya kedua matanya saja mengalirkan air mata. Baru saja ia tersadar dari pingsannya.

Mendengar cerita Kong Liat, Bong-kongcu menjadi marah besar dan demikianpun Cong Cit.

“Engkau, orang bodoh!” Ia memaki muridnya. “Kalian berdua menghadapi seorang hwesio saja tak mampu mengalahkan. Pantaskah engkau disebut murid-muridku?” Perhatian Bong-kongcu beralih kepada nyonya Han atau Lo Kim Eng yang telah sadar dari pingsannya. Ia segera menghampiri nyonya muda itu dan melepaskan sumbatan di mulutnya.

“Manisku, akhirnya engkau jatuh juga ke dalam tanganku,” katanya dengan sikap menjemukan.

Nyonya Han yang semenjak tadi mendengar cerita Kong Liat dan tahu bahwa suami dan mertuanya telah meninggal dunia, tak tertahan pula menangis tersedu-sedu.

“Kau…… kau manusia berhati binatang……! Apakah kesalahan kami sehingga kau berbuat demikian jahat ?”

“Salahnya sendiri, kenapa engkau dulu tidak terima saja pinanganku dan kawin dengan siucai rudin itu? Kini suami dan anakmu telah meninggalkanmu. Suamimu mati dan anakmu entah ke mana, maka lebih baik engkau hidup beruntung dengan aku di sini……”

“Anakku…… Lian Hwa…… di mana anakku……?”

“Ha, ha, ha! Jangan cari anakmu, tiada guna!” mengejek Bong Him Kian si kongcu mata keranjang dengan menyeringai.

“Kongcu…… tolonglah anakku…… tolonglah ia yang tak berdosa.”

“Hem, kalau aku mendatangkan anakmu, engkau mau menjadi kekasihku di sini,” tanya kongcu yang tak kenal malu itu.

“Tolonglah anakku, biar aku menjadi pelayan, biar menjadi apa saja, asal anakku selamat…… tolonglah……” keluh ratap ibu yang sengsara itu.

Tiba-tiba Pek-bin-houw Cong Cit yang sejak tadi melihat tingkah kongcunya dengan senyum gembira, meloncat ke sudut ruangan menyambar tombak yang berada di situ dan dengan teriakan, “Bangsat, jangan lari!” ia melayang keluar dari jendela diikuti oleh Kwee Seng muridnya yang mempunyai julukan Siauw-houw si Macan Kecil.

Ternyata telinga Cong Cit yang terlatih dapat menangkap suara tindakan kaki yang bagi lain orang tak terdengar karena ringannya kaki Hwat Khong Hwesio yang mengintai dari atas genteng. Hwat Kong Hwesio terkejut akan kelihaian si kurus itu, namun ia telah siap. Sejak tadi ia telah mengikat Han Lian Hwa di punggungnya dan kini ia menanti datangnya musuh dengan toya di tangan.

Cong Cit meloncat di hadapannya dan memalangkan tombak.

“He, bangsat gundul tak tahu malu! Berani betul engkau malam-malam datang mengacau!” makinya.

“Ha, ha! Bisa saja engkau membolakbalikkan urusan. Siapa yang mengacau? Siapa yang telah membunuh orang? Siapa yang menculik bini orang?” jawab Hwat Khong menggerak-gerakkan toyanya. “Perduli apa engkau dengan urusan orang lain! Apakah engkau tiada pekerjaan di kelentengmu sehingga berkeliaran ke sini? Murid-muridku yang masih hijau mungkin tak dapat melawanmu, tapi aku Pek-bin-houw Cong Cit akan menghajar kepala gundulmu!”

Kaget juga Hwat Khong mendengar nama musuhnya. Ia maklum akan kelihaian Harimau Muka Putih itu yang dulu sangat terkenal akan permainan tombaknya sehingga ia digelari orang Sian-cio atau Tombak Dewa. Namun ia dapat menenangkan hatinya dan segera menerjang dengan toyanya.

Cong Cit menangkis dengan tombaknya dan ketika toya beradu dengan tombak, tampak api berpijar dan keduanya terpental mundur setindak. Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.

“Tahan dulu! Siapakah engkau hwesio yang usilan ini? teriak Cong Cit penasaran.

“Pinceng tak pernah sembunyikan nama. Namaku Hwat Khong Hwesio. Sudahlah jangan banyak cakap. Lepaskan nyonya itu atau kaurasakan kerasnya toyaku!”

“Jangan sombong, kepala keledai!” memaki Kwee Seng yang segera menyerang dengan goloknya, tapi dengan hanya sekali tangkis, golok Kwee Seng terpental dan hampir saja terlepas dari pegangannya!

“Hm, mundur kau, biarkan aku bikin mampus kepala gundul ini,” membentak gurunya.

Mereka berdua telah memasang kuda-kuda dan siap untuk bertanding mati-matian. Tiba-tiba pada saat itu terdengar jeritan ngeri dari ruangan di bawah mereka. Jeritan ini membikin mereka berdua menahan gerakan mereka dan menujukan perhatian ke bawah.

Dari bawah meloncat beberapa orang murid Cong Cit dan Kong Liat melaporkan kepada suhunya, “Celaka, si domba betina (dimaksudkan nyonya Han) membenturkan kepalanya di tembok dan binasa!”

“Sungguh kejam!” berseru Hwat Khong Hwesio sambil mulai menyerang dan sesaat kemudian Hwat Khong dan Cong Cit bertempur dengan hebat.

Tapi hwesio itu kurang leluasa gerakannya karena Han Lian Hwa yang terikat di punggungnya bergerak-gerak sambil menangis. Lagi pula Hwat Khong Hwesio yang di masa mudanya telah terlampau banyak membunuh penjahat-penjahat telah bertobat dan bersumpah tidak mau membunuh lagi. Tentu saja sukar baginya untuk melayani Cong Cit yang lihai tanpa melancarkan serangan-serangan yang mematikan, hanya menjaga diri saja. Kalau musuhnya tidak selihai Cong Cit masih mudah bagi Hwat Khong untuk mempermainkannya dan memberi pukulan-pukulan yang tidak mematikan dan bersifat menghukum saja. Tapi Harimau Muka Putih itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk main-main.

Tombaknya berkelebat dan ujungnya terputar-putar hingga menjadi beberapa puluh tampaknya mengurung Hwat Khong dengan tipu Giok-tai-wie-yauw (Angkin Kumala Melibat Pinggang). Hwat Khong memutar toyanya bagaikan seekor naga yang menembus awan dengan tipu Hing-sau-chian- kun (Menyerampang Bersih Ribuan Perajurit) dan ketika Cong Cit mengeluarkan Sian-chio-hoatnya yang terkenal lihai, Hwat Khong merasa sibuk juga. Serangan-serangan yang dilontarkan oleh si kurus itu demikian tak terduga datangnya, tubuhnya berloncat-loncatan ke kanan ke kiri, ke depan ke belakang, sehingga Han Lian Hwa yang menangis di punggungnyapun sampai terancam bahaya ujung tombak. Terpaksa ia gunakan tipu permainan toya yang terkenal dari cabang Siauw-lim, yaitu Hok-houw-kun-hwat (Ilmu Toya Penakluk Harimau). Gerakan toyanya merupakan lingkaran hitam yang melindungi tubuhnya dan berbareng melumpuhkan serangan Cong Cit untuk sementara, tapi si kurus yang lihai merubah gerakannya dan mengeluarkan tipu-tipu Sian-chio yang paling berbahaya sehingga kadang-kadang ujung tombaknya dapat menembus benteng hitam itu dan mengancam lawannya.

Hwat Khong berpikir bahwa keadaan itu tak menguntungkan baginya. Ia akui bahwa kepandaian Cong Cit masih lebih tinggi dari padanya, apa pula ia sekarang harus melindungi anak kecil yang digendong di punggungnya. Lagi pula untuk apa ia harus melawan terus? Ibu anak ini sudah mati, membunuh diri dengan membenturkan kepala ke tembok, apa lagi yang harus dibela? Lebih baik lari dengan anak itu, demikian pikirnya sambil menangkis serangan-serangan lawannya.

Ia mencari kesempatan baik. Ketika ujung tombak menusuk ke arah lehernya dari jurusan kanan, ia tidak menangkis tapi setelah mata tombak datang dekat hingga terasa anginnya, tiba-tiba saja ia merendah hampir berjongkok dan menyapu kaki lawannya dengan gerak tipu Ouw-liong-chut-thong (Naga Hitam Keluar Gua).

Cong Cit terkejut melihat gerakan lawan sehebat itu dan tak tersangka-sangka pula, segera ia mengenjot kakinya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sapuan musuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwat Khong untuk memutar tubuh dan meloncat pergi melarikan diri.

“Hwesio gundul hendak lari ke mana?” Cong Cit mengejar dengan marah, namun Hwat Khong sudah lari jauh dan karena malam masih gelap, sebentar saja Cong Cit telah kehilangan jejak musuhnya. Terpaksa ia kembali dengan kecewa dan marah.

Sesampainya di gedung Bong-kongcu, ia melihat kongcu itu bersedih karena Lo Kim Eng nekat menghabiskan nyawanya sendiri dengan jalan membenturkan kepala di tembok. Tak disangka nyonya muda itu demikian nekat. Ia menyesal urusan menjadi demikian, ketika didengarnya bahwa puteri Han Siucai dapat lolos hingga dapat diduga bahwa anak itu dikemudian hari pasti akan mendatangkan malapetaka.

Namun Cong Cit dapat menghiburnya dengan berkata bahwa kalau hanya dibawah asuhan Hwat Khong Hwesio saja, tak mungkin anak itu menjadi orang yang perlu ditakuti, karena kepandaian hwesio itu masih jauh di bawah kepandaiannya. Semenjak itu, Bong-kongcu belajar silat dengan giat di bawah asuhan Cong Cit untuk menjaga diri, dan ia masih saja mengumpulkan orang-orang pandai untuk melindungi dirinya.

Adapun peristiwa keluarga Han yang terbunuh mati itu dengan mudah saja dapat dibereskan oleh pembesar setempat yang mendapat suapan dari Bong-kongcu. Pembesar membuat laporan bahwa Han Kongcu didatangi perampok dari luar kampung yang datang membalas dendam. Laporan macam itu dibuat dan beres!

?Y? Marilah kita ikuti perjalanan Hwat Kong Hwesio yang menggendong Han Lian Hwa menuju ke kelentengnya. Anak kecil berusia lima tahun itu kini telah berhenti menangis.

Ketika fajar telah menyingsing, Hwat Kong tiba di bukit Kim-ma-san. Ia memotong jalan menuju ke kelentengnya yang terletak di atas Gunung Bok-lun-san, ia tidak mau melalui jalan biasa karena kuatir kalau-kalau dikejar oleh Cong Cit dan kawan-kawannya. Maka ia mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan. Sebenarnya ia belum pernah melalui jalan itu, tapi karena ia tahu arahnya dan kenal pula gunung-gunung itu dari jauh, ia tidak sampai tersesat.

Bukit Kim-ma-san mempunyai pemandangan yang indah, tapi juga sangat berbahaya, karena di situ terdapat hutan-hutan yang liar dan jurang-jurang dalam yang tertutup alang-alang sehingga tak tampak dari luar dan mudah menjebloskan orang yang kurang hati-hati.

Hwat Kong beristirahat dan duduk di atas batu hitam. Ia menurunkan Lian Hwa yang tertidur dalam gendongannya. Anak itu tersadar dan segera berbisik, “Lapar…… lapar……”

Hwat Khong tertawa, “Anak baik, jangan kuatir. Tunggu sebentar, kucarikan makanan.” Kemudian ia memandang ke sana ke mari mencari-cari sesuatu yang dapat dimakan. Karena didekat situ tiada terdapat buah-buahan, maka ia masuk sedikit ke dalam hutan.

Tiba-tiba terdengar seruan Lian Hwa, “Pergi…… engkau pergi……!”

Hwat Khong menenggok dan alangkah kagetnya ketika dilihatnya seekor ular sebesar paha menggeleser mendekati anak itu. Tanpa membuang waktu lagi Hwat Khong membidik dan melemparkan toyanya ke arah kepala ular. Ini adalah jalan satu-satunya untuk menolong Lian Hwa karena untuk menghampiri sudah tidak keburu. Toyanya bersiutan meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Ketika ujung toya itu telah berada, kira-kira dua dim lagi dari kepala ular, tiba-tiba sebuah sinar putih kecil menyambar ujung toya dan sinar itu demikian kuatnya sehingga jurusan luncuran toya berubah ke samping dan menancap di atas tanah sampai hampir setengahnya. Hwat Kong terkejut ketika melihat bahwa sinar yang menyambar toyanya itu tak lain hanyalah sebuah batu koral putih yang kecil. Dapat dimaklumi betapa lihainya penyambit batu itu sehingga batu yang demikian kecilnya dapat membentur toyanya yang berat dan yang dilepas dengan sepenuh tenaga itu hingga mencong arahnya.

“Eh, sungguh ganjil dunia ini, sampai seorang pendetapun berhati telengas dan kejam, hendak membunuh sesama hidup yang tidak berdosa.” Demikian terdengar gerutu seorang yang keluar dari gerombolan pohon kecil.

Hwat Khong menengok dan melihat seorang laki-laki yang tak menyerupai orang biasa, bahkan boleh dikata setengah binatang. Wajahnya penuh bulu, yaitu kumis dan jenggotnya panjang tak teratur mencuat ke sana ke mari memenuhi muka, rambutnya panjang dibiarkan saja tergantung di belakang dan di atas kedua pundak bahkan sebagian rambutnya yang berwarna dua itu menutupi jidat dan muka. Ia tak berbaju dan hanya memakai celana kulit harimau dan kakinya bertelanjang pula. Sungguhpun mahluk itu tampak mengerikan, namun sepasang matanya yang bersinar-sinar membayangkan keagungan dan kesucian. Tampaknya ia sudah tua benar karena biarpun rambut dan cambangnya belum putih semua namun kulit muka dan tubuhnya telah berkerut-kerut penuh keriput tanda usia tua.

“Omitohud!” Hwat Khong berseru sambil merangkap kedua tangannya memberi hormat. “Sahabat yang aneh, mengapa engkau katakan pinceng telengas dan kejam? Bukankah ular itu hendak mencelakakan anak ini?”

“Hm, sebaliknya jangan bertindak sebelum mengetahui benar-benar duduknya hal,” membantah orang itu. “Mengapa engkau begitu yakin bahwa ular itu hendak mencelakakan anak ini?”

“Ular adalah seekor binatang, biasanya binatang itu……” tiba-tiba Hwat Khong menghentikan kata- katanya karena ia melihat betapa binatang ular itu kini telah mendekati Lian Hwa dan mengulurkan lidahnya menjilat-jilat, sedangkan anak itupun sama sekali tidak takut, bahkan menggunakan tangannya yang kecil mengusap-usap tubuh ular yang berkembang indah.

“Ha, ha! Memang aku yang salah,” demikian gerutunya, kemudian ia berkata kepada orang itu, “Sahabat, maafkan pinceng yang tak dapat membedakan siapa baik siapa jahat sehingga hampir saja membunuh binatang yang tak berdosa.”

“Kelancanganmu harus dihukum!” berkata orang itu dengan suara tetap. “Dihukum?” Hwat Khong terheran-heran.

Orang ganjil itu mengangguk-angguk, matanya bersinar. Hwat Khong tidak tahu bahwa orang itu sedang bergembira karena telah bertahun-tahun tak berjumpa dengan sesama orang dan bahwa orang tua itu suka bergurau.

“Ya, hukumannya dua macam. Yang kedua akan kukatakan nanti, sekarang hukuman pertama: Engkau harus mengaku terus terang dan menceritakan dengan sebenar-benarnya mengapa engkau datang ke sini membawa anak kecil dan siapa anak itu. Ayoh, ceritakan semua sejujurnya.”

Hwat Khong tertawa bergelak-gelak. “Engkau aneh dan lucu, sahabat. Pinceng bukan orang jahat, juga tak berniat jahat. Sudah tentu akan kuceritakan segala pengalamanku dengan anak itu.”

Ia lalu bercerita dari awal sampai akhir tentang hal menolong Lian Hwa dan bagaimana keluarga anak itu sampai terbunuh habis oleh musuh-musuhnya. Orang itu mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa mengganggu cerita Hwat Khong.

“Mengapa tak kau basmi sekalian orang-orang jahat itu?” tegurnya.

“Omitohud, pinceng tidak mau melanggar pantangan membunuh dengan begitu saja. Pula, pihak mereka sangat kuat, bahkan si Cong Cit itu kepandaiannya lebih tinggi dari padaku. Maksudku kini hanya untuk mendidik anak ini agar di kemudian hari ia dapat membalaskan orang tuanya.” “Hm, hm, beralasan juga kata-katamu. Nah, sekarang hukuman kedua, yaitu engkau harus tinggalkan anak ini padaku!”

“Ah, hal ini tak mungkin!”

“Mengapa tak mungkin? Anak ini bukan anakmu!”

“Tapi pinceng bertanggung jawab penuh atas anak ini, karena pinceng yang membawanya. Pula pinceng bermaksud mendidiknya menjadi orang pandai.”

“Apa kaukira aku tidak mampu mendidik lebih baik daripadamu?”

“Bukan demikian, tapi…… tapi keadaanmu ini…… dan pinceng belum tahu engkau ini sebenarnya siapa?”

“Hm, lagi-lagi engkau tak mempercayai orang seperti engkau tak mempercayai ular tadi. Ketahuilah, hai hwesio bodoh, engkau ingin mendidik anak ini dengan ilmu kepandaianmu yang rendah itu apakah gunanya? Sedangkan engkau sendiri tak mampu mengalahkan musuh-musuhnya, apa pula muridmu! Apakah kau ingin melihat ia mati terbunuh pula kelak oleh musuh-musuhnya?”

Hwat Khong memandangnya dengan ragu-ragu dan orang itu mengerti bahwa hwesio itu masih belum percaya benar, maka dengan menjepit toya Hwat Khong yang tertancap di atas tanah menggunakan dua jarinya lalu mencabutnya dengan mudah, ia angsurkan toya itu kepada Hwat Khong.

“Nah, cobalah, dapatkah engkau membetot terlepas toyamu ini dari jepitan jariku,” ia menantang.

Hwat Khong melihat toya itu hanya terjepit telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan orang itu. Ia teringat kepada gurunya, Hun Beng Siansu, yang dulu pernah pula mencobanya dengan cara demikian. Apakah orang ini sekuat gurunya? Tak mungkin, pikirnya. Dengan berkata “maaf” Hwat Khong memegang ujung toyanya dengan kedua tangan lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mencabutnya.

Tapi alangkah herannya melihat toya itu tak bergeming seakan-akan telah berakar di jepitan jari orang itu. Tiba-tiba orang itu bersiul aneh dan Hwat Khong merasa ditarik tenaga raksasa, ia terbetot maju dengan tak tertahankan pula sampai tiga langkah menurutkan orang itu yang melangkah ke belakang!

Buru-buru Hwat Khong melepaskan toyanya dan memberi hormat. “Maafkan pinceng yang tak bermata. Sungguh tak melihat orang pandai. Maaf, maaf. Bolehkah pinceng mengetahui nama suhu yang mulia?”

“Ha, ha, Hwat Khong, engkaupun sudah memperoleh kemajuan. Cukup bagi pemantang membunuh seperti engkau. Aku ialah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun.” “Sian-kiam Koai-jin?” berkata Hwat Kong dengan terperanjat dan heran, tapi segera ia berlutut, “Maafkan murid berlaku kurang ajar. Sama sekali tidak nyana akan berjumpa dengan Supek di sini, tapi……”

“Ya, aku mengerti kebingunganmu. Gurumu dulu pernah menceritakan tentang engkau. Tadipun lemparan toyamu ke arah ular itu telah membuka mataku bahwa engkau tentu murid Hun Beng. Engkau bingung mengapa aku masih hidup?” Orang itu menghela napas. “Memang Thian sewaktu- waktu suka bermain-main dengan manusia yang tak berdaya. Aku yang ingin mati tidak mati-mati sedangkan Hun Beng, gurumu yang masih ingin hidup sudah mati duluan. Apa boleh buat, aku hanya menanti panggilan Thian yang Maha kuasa.”

“Murid kini menyerahkan anak itu kepada supek, terserah bagaimana keputusan supek,” berkata Hwat Khong dengan hormat.

“Begini maksudku, biarlah kudidik anak ini untuk beberapa tahun sebelum aku mati, agar tak percuma aku mempelajari kepandaian selama ini. Kulihat anak ini bertulang baik, sayang ia perempuan. Nanti ia akan kuserahkan kepadamu untuk dididik selanjutnya ke arah jalan kebenaran.”

“Baiklah, supek, murid hanya menurut.”

“Nah, sudahlah, Hwat Khong. Aku mau pergi dengan anak itu.”

Tanpa menoleh lagi, Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa itu menghampiri Lian Hwa, menggendongnya dengan hati-hati dan dengan sekali lambaian lengan bayangannya melesat di antara pepohonan dan lenyap dari pandangan Hwat Khong.

Hwesio itu menghela napas panjang. Tak sekali-kali ia menyangka bahwa manusia aneh itu masih hidup, karena dulu pernah ia mendengar bahwa supeknya itu telah mati dikeroyok pemimpin agama Pek-lian-kauw. Ia pernah mendengar dari gurunya sebelum mati dulu bahwa supeknya itu kepandaiannya masih lebih tinggi daripada gurunya sendiri dan bahwa di masa mudanya Sian-kiam Koai-jin adalah seorang hiap-kek yang ternama, sayangnya ia agak terlampau kejam terhadap musuh- musuhnya dan suka sekali bergurau. Ilmu silat pedangnya luar biasa dan karena adatnya yang aneh maka ia diberi julukan Manusia Aneh Pedang Dewa.

“Entah bagaimana nasib Lian Hwa, anak itu,” pikir Hwat Khong. “Terang sekali bahwa anak itu pasti akan mendapat didikan ilmu silat yang hebat, tapi sayang sekali kalau keadaan supek setengah liar itu akan mempengaruhi jiwa Lian Hwa……”

Dengan pikiran penuh akan hal anak itu, Hwat Khong melanjutkan perjalanan kembali ke bukit Bok- lun-san untuk mengurus kelentengnya Ban-hok-tong.

Sian-kiam Koai-jin Ong Lun membawa Lian Hwa ke dalam terowongan yang ia bikin selama dua tahun lebih di atas Gunung Kim-ma-san. Terowongan itu panjangnya lebih dari dua lie dan menembus ke puncak bukit di mana terdapat dataran tanah yang subur dan indah pemandangannya. Tempat itu dikelilingi jurang-jurang dalam dan orang tak mungkin dapat turun atau naik ke tempat itu selain melalui terowongan rahasia itu. Tapi hanya si Manusia Aneh saja yang mengetahui jalannya. Kurang lebih sepuluh tahun lamanya Lian Hwa hidup berdua dengan gurunya dan menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi. Ong Lun menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid satu-satunya itu, dan ia sangat menyayang muridnya itu demikian pula I.ian Hwa sangat kasih kepada gurunya.

Ia tidak hanya mewarisi kepandaian gurunya, bahkan adatnya yang kukoai (aneh) dan selalu gembira itupun diwarisinya pula. Maka di atas gunung yang tidak ada lain orang itu, kini ditinggali oleh dua orang yang aneh. Ong Lun suka sekali bernyanyi-nyanyi, walaupun suaranya parau seperti gembreng pecah, namun ia pandai bersyair. Kebiasaan inipun diturut oleh Lian Hwa yang memiliki suara merdu. Gadis inipun pan¬dai pula bersyair jenaka.

Pada suatu pagi si Manusia Aneh yang kebal terhadap segala apa dan kosen itu terpaksa tunduk juga terhadap kekuasaan alam. Ia jatuh sakit usia tua. Usianya telah seratus tahun lebih dan begitu lama ia bisa pertahankan kesehatannya berkat kepandaiannya yang tingggi. Tapi akhirnya ia jatuh juga. Ia memanggil muridnya untuk datang dekat. Lian Hwa menjadi bingung melihat gurunya berbaring saja tak dapat bangun itu.

“Lian Hwa, muridku. Kini tulangku yang tua ini terpaksa menyerah terhadap kekuasaan usia.” “Suhu, engkau mengapa? Sakitkah?”

Gurunya mengangguk.

“Ah, kenapa suhu kalah oleh penyakit ? Bukankah suhu sering bernyanyi, “Aku bebas seperti burung di udara.

Aku merdeka seperti ikan di samudra.

Aku manusia aneh beruntung bahagia. Aku tak mengenal susah tak tahu duka. Apa itu penyakit? Pergilah, jangan dekat! Aku tak mengenal kamu!”

“Nah, kenapa suhu sekarang sakit? Usirlah penyakit itu, suhu!”

Kata-kata muridnya yang bersemangat dan jenaka ini membuat Ong Lun sekali lagi tertawa terbahak- bahak. Tapi kemudian ia berkata dengan sungguh-sungguh,

“Lian, muridku. Engkau tahu, besi yang begitu kuat masih bisa karatan. Apa pula aku yang hanya terbuat dari pada darah dan daging. Tentu kalah oleh usia tua. Aku sering ceritakan padamu tentang kekuasaan Thian yang maha kuasa. Nah, sekarang tibalah saatnya aku harus memenuhi panggilan Thian. ”

Lian Hwa terkejut dan membuka lebar-lebar kedua matanya yang jernih.

“Suhu……! Apakah maksudmu? Apakah suhu akan meninggalkan aku? Apakah suhu akan pergi ma…… mati……?” Ketika melihat gurunya hanya mengangguk sambil bersenyum, Lian Hwa segera menubruk tubuh gurunya, menangis tersedu-sedu. Ia sebenarnya jarang sekali menangis, tapi kali ini entah apa yang menggerakkan perasaannya sehingga ia tak kuat menahan membanjirnya air matanya.

“Suhu, jangan mati! Jangan tinggalkan aku seorang diri……”

Ong Lun mengelus-elus rambut Lian Hwa. “Eh, eh, engkau mengapa Lian? Tidak patut muridku bersikap selemah ini. Diamlah jangan menangis. Manusia biar bagaimana gagah dan kosenpun, tak dapat berdaya terhadap kematian usia tua. Nah, dengarkanlah Lian. Biarpun aku akan mati, tapi aku telah puas melihatmu. Engkau murid yang baik. Dulu beberapa kali engkau bertanya tentang ibumu. Sebenarnya engkau pernah mempunyai ibu dan ayah seperti juga semua binatang yang berada di gunung ini. Dan aku bukanlah ayahmu, nak.”

Lian Hwa menubruk dan memeluk gurunya lagi sambil menangis sedih.

“Tenangkan hatimu. Nanti bila aku sudah pergi, bakarlah pondok ini dan engkau pergilah ke bukit Bok-lu-san dan carilah di sana sebuah kelenteng bernama Ban-hok-tong. Di situ ada seorang suhengmu bernama Hwat Kong Hwesio. Berikan suratku ini kepadanya. Selanjutnya engkau harus menurut segala petunjuk dan nasihatnya. Ia seorang baik, Lian dan anggaplah ia sebagai penggantiku untukmu. Pedangku Sian-liong-kiam itu boleh kaubawa……” suaranya lemah.

Lian Hwa hanya dapat mengangguk-angguk sambil terisak-isak.

Tiba-tiba Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh itu bangun duduk dan berkata dengan suara memerintah,

“Lian Hwa, engkau tentu masih ingat ceritaku tentang Gak Keng Hiap? Nah, jika engkau bertemu dengan orang itu, jangan lupa, balaskan penasaranku dan bunuhlah dia! Sudahlah, Lian jangan engkau sedih.”

“Tapi, suhu…… mengapa suhu akan meninggalkan aku begini saja? Aku tak kuat menahan kesedihan hatiku, suhu. Hatiku menjadi bingung……”

Ong Lun merebahkan dirinya kembali. “Engkau ingin aku sembuh? Baiklah, Lian. Sekarang pergilah engkau mencari bunga Biauw di puncak kiri sana setangkai saja. Bunga itu jika dimasak dapat kiranya mengobati penyakitku.”

“Baik, suhu.” Han Lian Hwa segera berbangkit dan dengan gesit tubuhnya melesat keluar. Ia mempergunakan seluruh kepandaiannya berlari cepat dan meringankan tubuh, melayang-layang dan meloncati jurang-jurang di hadapannya untuk menuju ke puncak bukit sebelah kiri di mana ia tahu banyak terdapat pohon bunga Biauw. Tapi alangkah sedihnya ketika sampai di situ ia melihat bahwa semua pohon Biauw itu tiada satupun berkembang, ia ingat bahwa waktu itu belum musimnya Biauw berkembang.

Tentu saja ia tak melihat setangkaipun bunga. Hatinya berdebar kuatir. Kalau tidak ada bunga Biauw maka bagaimana nasib gurunya? Ia masih penasaran dan mencari ubek-ubekan di seluruh permukaan puncak bukit dengan harapan kalau-kalau masih ada sisa bunga Biauw di situ. Tapi hasilnya nihil dan dengan lesu ia pulang ke pondok suhunya kembali.

Ia memasuki pondok dengan kepala tunduk dan gelisah. Bagaimana ia harus memberi tahu suhunya? “Suhu……” katanya dengan masih tunduk, tak berani memandang gurunya.

Suhunya tak menyahut.

“Suhu……“ ia memanggil lagi, tapi kembali gurunya tidak menjawab.

Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang gurunya. Ia melihat gurunya terbujur seperti orang tidur.

“Suhu……” tegurnya agak keras dan menghampiri lalu menjamah tangan gurunya. Mendadak ia mengerti ketika tangannya merasakan kedinginan yang kaku pada lengan gurunya.

“Suhu……!” kali ini panggilannya merupakan pekik mengharukan dan ia menangis tersedu-sedu tiada hentinya. Hampir setengah hari lamanya ia berada dalam keadaan demikian, berlutut sambil terisak memanggil gurunya.

Akhirnya ia dapat menenangkan hati. Diambilnya surat pesanan gurunya dan digantungnya pedang Sian-liong-kiam di pinggangnya, kemudian setelah berlutut memberi hormat sekali lagi, ia menghunus Sian-liong-kiam, dipukulkannya ujung pedang itu pada batu karang di sudut pondok. Api besar memuncrat menyambar daun kering yang ditaruhnya di dekat batu itu sehingga tak lama kemudian berkobarlah api membakar pondok.

Han Lian Hwa meloncat keluar pondok. Setelah memandang sekali lagi ke tempat yang dicinta itu, ia segera memulai perjalanannya turun gunung melalui jalan terowongan gurunya. Hatinya yang biasanya bergembira itu diliputi awan kesedihan dan kesepian.

?Y?

Ketika masih berada di puncak Kim-ma-san, Ong Lun beberapa kali turun gunung mencarikan segala keperluan muridnya, pakaian, sepatu dan lain-lain. Maka sungguhpun Han Lian Hwa belum pernah turun gunung, ia berpakaian seperti orang lain, hanya pakaiannya serba ringkas dan sederhana.

Perhiasan satu-satunya ialah sebuah bunga Teratai terbuat daripada emas tertabur mutiara yang menghias di rambutnya yang hitam lebat, serta pedangnya yang bergagang emas berukiran Liong itu. Di dalam sebuah kantung kuning yang tergantung di pinggangnya, ia membawa beberapa puluh potong emas pemberian gurunya, karena gurunya pernah bercerita bahwa di dunia ramai orang harus menggunakan emas-emas itu untuk menukar dengan makanan dan pakaian atau segala macam keperluan!

Karena belum mengenal jalan, Han Lian Hwa tersesat. Dua hari berikutnya baru ia melihat sebuah kampung. Timbul kegembiraannya ketika ia melihat orang-orang. Ia memandang rumah-rumah kampung dengan penuh rasa heran dan kagum. Ia seakan-akan merupakan burung yang baru saja belajar terbang dan pertama kali keluar dari sarangnya.

Ketika ia melalui sebuah kedai arak bau sedap menyerang hidungnya dan membuat perutnya terasa lapar. Sungguhpun ia selalu tinggal di atas gunung dan terasing, tapi ia tidak asing terhadap arak, karena gurunya membuat arak sendiri dari buah-buahan di atas gunung. Semenjak turun gunung, ia hanya makan buah-buahan di sepanjang hutan. Perutnya kini terasa lapar sekali.

Dengan hati-hati ia memasuki kedai itu. Warung itu penuh orang dan meja penuh dikelilingi tamu. Tidak ada meja yang kosong. Selagi ia berdiri bingung, tiba-tiba seorang tinggi besar bermuka hitam yang duduk minum arak seorang diri berbangkit dan menghampirinya.

“Siocia mencari tempat duduk? Marilah ke sini, tempatku masih kosong, kita minum berdua.”

Han Lian Hwa yang selama ini hidup dengan gurunya berdua saja, tidak mengerti akan adat sopan santun dan ia asing pula akan kekurangajaran laki-laki terhadap wanita. Tawaran itu diterimanya dengan senyum girang.

“Terima kasih tuan!” jawabnya dan ia ikut duduk.

“He, pelayan! Tambah lagi arak dan daging!” teriak si muka hitam dengan gembira karena ia merasa hari itu sangat mujur. Jarang sekali terdapat kemujuran seperti itu, seorang siocia yang demikian cantiknya suka duduk bersamanya semeja. Alangkah bahagianya! Ia mengangkat dada dengan sombongnya sambil mengerling kepada orang-orang di situ yang semuanya melihat Lian Hwa dengan kagum dan heran. Kagum karena jelitanya dan heran karena ia begitu menurut dan menerima ajakan Si muka hitam.

Tanpa ditanya Si muka hitam memperkenalkan diri. “Aku bernama Peng Bouw, orang-orang menjuluki aku Ouw-bin-ma si Kuda Muka Hitam.

Lian Hwa tertawa geli. Suara ketawanya bebas keras dan nyaring sehingga semua orang menengok dan makin heran memandangnya.

“Eh, nona, mengapa tertawa?” tanya Si muka hitam.

Tapi Han Lian Hwa tidak menjawab dan tiba-tiba saja suara ketawanya berhenti ketika ia melihat bahwa semua mata ditujukan kepadanya.

“Mengapa semua orang memandangku?” tanyanya perlahan. “Karena nona tertawa terlampau keras!”

Lian Hwa menjadi bingung dan tidak mengerti.

Sementara itu pelayan datang menambah arak, daging dan mi. Si muka hitam menawarkan, tanpa seji (sungkan) lagi Lian Hwa mengerjakan mi dan daging ke dalam perutnya. Arak itu baginya terlampau ringan sehingga ia menceguknya seperti orang minum air saja sampai si muka hitam melihatnya dengan mata lebar dan mulut ternganga.

Setelah makan kenyang, Lian Hwa menghela napas lega. Dan si muka hitam yang terpaksa melayani nona itu minum banyak arak, mulai menjadi sinting dan bicaranya makin berani. Tetapi Lian Hwa tidak mengerti maksud kata-katanya yang kurang ajar itu.

“Kenapa engkau tadi tertawa, nona?” tanya Peng Bouw.

“Tertawa? Tadi?” Lian Hwa mengingat-ingat dan tiba-tiba saja ia tertawa lagi dengan nyaringnya sehingga lagi-lagi para tamu di situ menengok memandangnya.

“Aku tertawa karena namamu! Si Kuda Muka Hitam! Sungguh lucu!” Peng Bouw merasa tersindir. “Lucu? Apakah yang lucu?”

Han Lian Hwa menjawab dengan kata-kata,

“Namamu Si Kuda Muka Hitam.

Memang mukamu lebih hitam daripada arang! Tapi mengapa namamu kuda?

Mukamu tidak seperti kuda, Hidungmu terlalu kecil, Lehermu terlalu pendek,

Bagiku engkau tak pantas disebut kuda, Lebih tepat disebut…….”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya.

“Seperti apa? Coba teruskan……” teriak orang-orang yang mendengarkan dengan tertarik dan gembira.

Han Lian Hwa memandang muka Peng Bouw dengan teliti dan si muka hitam juga mendesak, “Coba katakan, aku pantas disebut apa?” katanya sambil membusungkan dada.

“Engkau lebih menyerupai…… lutung!” Terdengar suara riuh rendah orang tertawa.

Ouw-bin-ma Peng Bouw timbul marahnya, tapi ia lebih marah kepada orang banyak yang mentertawainya. “Diam kamu semua! Siapa berani mentertawai aku? Hayo bilang, siapa berani?”

Segera suara tertawa itu berhenti, tiba-tiba bagaikan jengkerik, terinjak.

Peng Bouw berdiri dan menendang sebuah meja di kanannya sehingga mangkok dan sumpit jatuh berhamburan menimbulkan suara gaduh. “Hayo, siapa berani kepadaku?” Seorang pelayan menghampirinya.

“Tidak ada yang berani, maafkanlah mereka itu, Peng Toaya!” ia menghibur, tapi dengan sekali sampok, pelayan itu jatuh tunggang langgang mengaduh-aduh.

“Hayoh, siapa berani?” Peng Bouw menantang makin kalap.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang nyaring dari Han Lian Hwa. Suara ketawanya demikian sewajarnya dan menggembirakan sehingga semua orang tak dapat menahan pula gelaknya dan kembali riuh rendah suara ketawa di kedai itu.

“Sungguh lucu! Alangkah lucunya, engkau ini lutung yang lucu tapi jahat. Mengapa engkau memukul orang?” Lian Hwa menghampiri Peng Bouw yang kini marah sekali kepadanya karena dimaki lutung beberapa kali.

“Eh, nona, jangan engkau lanjutkan kurang ajarmu. Lama kelamaan tuanmu akan hilang sabar dari mencinta berbalik menjadi benci. Sayang kecantikanmu, kalau sampai kena tampar olehku!”

“Engkau? Mau menampar mukaku? Boleh, boleh. Ini tamparlah!” Han Lian Hwa memberikan mukanya yang halus itu ke arah Peng Bouw.

Si muka hitam terheran-heran dan semua orang berkuatir melihat Lian Hwa.

Melihat keraguan Peng Bouw, Lian Hwa mengejek, “Hayo tamparlah lutung hitam jahat. Apa engkau tidak berani?”

Tak tertahankan lagi kemarahan Peng Pouw. Tangan kanannya menampar, tangan kirinya terulur hendak memeluk gadis cantik yang menghinanya itu. Semua orang terkejut, mereka tahu akan kekuatan Peng Bouw yang hebat. Kalau gadis itu kena tampar........

Tapi mereka kecele! Dengan sedikit miringkan kepala, tangan Peng Bouw menampar angin dan tangan kirinya yang terulurpun dapat dikelit dengan mudahnya oleh gadis itu. Sebelum Peng Bouw dapat pernahkan kedua kakinya, jari tangan kiri Lian Hwa telah bergerak menotok iganya bagian hou- cing-hiat.

Totokan itu cepat sekali dibarengi suara ketawanya yang nyaring. Sungguhpun kulit Peng Bouw bagi orang lain sekeras batu, namun mana dapat menahan totokan jari tangan Lian Hwa yang biarpun tampaknya kecil mungil tapi telah terlatih hebat.

Seketika itu juga tubuh Peng Bouw yang tinggi besar itu seakan-akan berubah menjadi patung batu! Tampaknya lucu sekali, karena kedua tangannya terjulur ke depan, yang sebelah memukul dan sebelah mencengkeram. Tubuhnya kaku tak bergerak, hanya kedua biji matanya saja yang melotot ke kanan kiri dengan bingung! Sekali lagi Lian Hwa tertawa, lakunya seperti anak kecil. Ia mengambil mangkok bakmi besar dari atas meja dan memasang itu di atas kepala Peng Bouw seperti sebuah topi. Dan untuk dapat mencapai kepala Peng Bouw, ia harus berdiri di atas kursi!

Semua orang terheran-heran melihat betapa gadis yang paling tinggi berusia limabelas tahun itu dapat mempermainkan si Kuda Muka Hitam yang terkenal jagoan. Dan ketika melihat kelakuan gadis yang lucu itu mau tidak mau mereka tertawa riuh!

Tiba-tiba suara ketawa riuh rendah itu terhenti dan orang-orang yang berdiri di dekat pintu menjauhkan diri.

Han Lian Hwa menengok dan melihat serombongan orang laki-laki memasuki restoran, dikepalai oleh seorang setengah tua bertubuh kekar dan bercambang bauk menakutkan. Orang ini memandang ke arah Lian Hwa sekilas, lalu mengerling ke arah Peng Bouw yang masih berdiri kaku.

“Hm, permainan anak kecil,” gerutunya dan dengan sekali tepuk punggung Peng Bouw, si Kuda Muka Hitam itu berjengit dan dapat bergerak kembali. Tapi ia tidak berani banyak bertingkah hanya terus saja menghampiri orang itu sambil berkata minta dibela.

“Suhu, setan perempuan kecil ini telah menghinaku. Tolong balaskan suhu.”

“Mundur kau yang tak berguna, masakan dengan kanak-kanak seperti itu kau sampai dapat dipermainkan?” Kemudian ia maju menghampiri Han Lian Hwa yang memandang semua itu dengan tenang dan senyum di bibir.

“Nona, engkau sungguh lihai. Berilah kesempatan padaku untuk merasai kelihaianmu,” katanya menjura dibuat-buat sambil mulutnya yang tebal menyeringai penuh ejekan.

Sebelum orang itu berkata-kata kepadanya, Lian Hwa telah mendengar dari seorang tamu yang duduk dengan kawannya tak jauh dari tempatnya bahwa orang ini adalah guru Peng Bouw yang bernama Ma In Liang si Pagoda Besi yang lihai sekali ilmu toyanya. Gadis itu balas menjura dan menjawab, “Siapa yang menjual kelihaian di sini? Adalah muridmu si lutung itu yang kurang ajar dan sembarangan memukul orang.”

Si Pagoda Besi salah mengartikan jawaban gadis itu yang disangkanya takut kepadanya dan kini membela diri menyalahkan muridnya. Maka hatinya jadi besar dan kesombongannya timbul.

“Nona, engkau cantik dan lihai, pantas betul menjadi muridku. Kalau engkau suka menjadi muridku untuk sedikitnya sebulan, mau aku habiskan perkara ini sampai di sini saja karena engkau akan terhitung orang sendiri! Tapi kalau kau tidak mau, terpaksa kau harus layani aku beberapa jurus.”

Lian Hwa masih bersenyum, tapi kedua pipinya yang berwarna merah muda itu kini menjadi merah gelap. Sungguhpun ia masih bodoh dan seperti kanak-kanak, namun ia dapat menangkap sindiran- sindiran yang terkandung dalam ucapan Ma In Liang. Mana ada orang harus menjadi murid hanya untuk sebulan? Tapi biarpun demikian ia sama sekali tidak dapat menangkap maksud sindiran orang she Ma itu yang lebih kurang ajar, kekurangajaran seorang hidung belang dan bandot tua. Maka ia berkata dengan suara manis. “Lo-enghiong (orang tua gagah), sungguh aku harus berterima kasih bahwa kau orang tua hendak menerimaku menjadi murid. Tapi sudah sepatutnya guru harus berkepandaian lebih tinggi daripada muridnya, bukan? Nah, silakan lo-enghiong mengeluarkan sedikit kepunsuanmu agar kulihat, jika ternyata memang benar kepandaianmu jauh lebih tinggi dari padaku, dengan suka hati aku akan tunduk menjadi muridmu!”

Kata-kata ini biarpun sifatnya halus, namun di dalamnya mengandung tantangan, dan semua orang yang kini makin banyak berkumpul di situ makin heran melihat keberanian dan kelincahan kata-kata gadis cilik itu.

“Ha, ha! Engkau pintar, nona. Memang benar engkau harus membuktikan dulu kebisaanku. Nah, marilah kita keluar dan tontonlah pertunjukanku!” Ia bertindak keluar dengan langkah lebar, dan dadanya terangkat sombong.

Han Lian Hwa mengikutinya sambil bersenyum-senyum dan di belakangnya mengikuti pula serombongan orang dengan hati tertarik.

Pekarangan depan kedai arak itu cukup lebar. Tanpa membuang waktu lagi si Pagoda Besi Ma In Liang menjemput toyanya dari tangan muridnya. Karena kesombongannya ia tidak memberi hormat kepada para penonton lebih dulu sebagaimana kebiasaan seorang ahli silat hendak mendemonstrasikan kepandaiannya dan dengan teriakan,

“Lihatlah toya!” ia segera bersilat dengan perlahan. Ujung toyanya ketika ia pukulkan menggetar- getar menjadi beberapa puluh agaknya, ini menyatakan betapa besar tenaganya.

Semua penonton kagum dan mereka dengan sendirinya mundur selangkah ketika si Pagoda Besi bersilat dalam ilmu toya Jeng-liong-hian-jiauw atau Ribuan Naga Mengulur Kuku, satu cabang dari Siauw-lim-si yang telah dirobah. Toyanya berputar-putar menjadi laksana kitiran atau ribuan naga yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara mengaung-ngaung. Tiba-tiba si Pagoda Besi berseru keras dan tahu-tahu toyanya telah dilontarkan ke udara setinggi hampir tiga tombak dan sebelum toya itu meluncur kembali ke bawah mengenai tanah ia telah menyambutnya dengan tangan dan menancapkan di atas tanah sampai masuk sepertiga lebih.

Ma In Liang menepuk-nepuk debu dari telapak tangannya sambil memandang sekeliling dengan congkaknya, kemudian ia menghadapi Han Lian Hwa sambil berkata,

“Bagaimana, nona manis? Apakah kau puas dengan ilmu toyaku?”

Lian Hwa tiba-tiba tertawa nyaring membuat penonton merasa heran dan tidak mengerti. Mereka yang seakan-akan tidak berani bernapas keras-keras melihat kehebatan si Pagoda Besi tak habis mengerti mengapa gadis tanggung itu berani tertawa seakan-akan tidak mengindahkan sama sekali.

“Memang cukup menakutkan,” berkata gadis itu. “Tapi lontaranmu kurang tinggi dan tancapanmu kurang dalam!” Sebelum Ma In Liang dan para penonton mengerti apa yang dimaksudkannya, Han Lian Hwa telah menghampiri toya yang tertancap di atas tanah itu dan mengulurkan tangan kirinya yang berjari mungil. Dengan dua jari ia memegang ujung toya lalu mencabutnya dengan mudah sekali, kemudian ia melontarkan toya itu ke atas!

Orang-orang bengong melihat toya itu meluncur ke atas bagaikan anak panah setinggi tak kurang dari lima tombak, turunnya disambut dengan dua jari pula dan terus ditancapkan ke atas tanah sampai masuk lebih separohnya.

Tentu saja hal ini merupakan keajaiban bagi para penonton, yang segera bersorak dan bertepuk tangan dengan ramainya.

Ma In Liang si Pagoda Besi terkejut dan heran, ia hampir tak percaya kepada mata sendiri. Bagaimana gadis halus lembut itu dapat mempunyai tenaga demikian besarnya? Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis itu telah memiliki kekuatan dalam yang luar biasa, dan mana bisa tenaganya yang hanya mengandalkan gwakang (tenaga luar/kasar) dapat menandingi kekuatan seorang ahli lweekeh? Namun ternyata si Pagoda Besi tak mengenal keadaan. Ia menjadi malu berbareng gusar, lebih-lebih ketika mendengar Lian Hwa berkata dengan tersenyum.

“Lo-enghiong memang lihai. Suhuku dulu mempunyai seekor kera putih yang kekuatannya barang kali seimbang denganmu. Sungguh membuat aku kagum!”

Kata-kata ejekan ini memerahkan telinga Ma In Liang yang tanpa banyak cakap lagi segera membetot keluar toyanya dengan sekuat tenaga, lalu dengan teriakan,

“Bocah hina, rasakan toyaku!” Ia menyerang ke arah dada Lian Hwa dengan tusukan hebat, Lian Hwa kenal tipu ini ialah Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati, tapi ia berdiri saja dengan tenangnya sehingga semua penonton menahan napas bahkan ada beberapa orang meramkan mata karena tak tahan melihat dada gadis cantik itu akan tertembus toya besi.

Ketika ujung toya telah berada kira-kira satu dim saja dari baju Lian Hwa, gadis itu miringkan tubuh dan membuka lengan kirinya sehingga toya menyeplos di bawah lengannya. Secepat kilat ia turunkan lengan mengempit ujung toya.

Ma In Liang membetot kembali toyanya dengan sepenuh tenaga, tapi ternyata toyanya seakan-akan telah berakar di dalam kempitan gadis itu. Selagi ia kebingungan Lian Hwa melangkah maju dan tangan kirinya menyambar iganya dengan totokan berbahaya. Ia kenal totokan ini dan tahu bahwa jalan darah cing-co-hiat sedang diarah oleh musuh, maka ia menjadi terkejut dan segera melepaskan toyanya dan menangkis tangan gadis itu. Tapi sungguh tak terduga gadis itu ilmu silatnya sangat aneh dan gerakannya gesit membingungkan.

Lian Hwa tadi hanya berpura-pura saja, dan pada saat lawannya menangkis dan memusatkan perhatiannya kepada serangan tangannya, ia tarik kembali tangan kirinya dan kaki kanannya melayang, ujungnya menotol sambungan lutut si Pagoda Besi. Lucu tampaknya tetapi nyata bagaimana tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak dapat menahan ujung kaki kecil mungil itu. Dengan menggeram kesakitan si Pagoda Besi terpaksa bertekuk lutut dan jatuh di hadapan Lian Hwa. Kembali terdengar suara ketawa nyaring dan merdu. “Ah lo-enghiong, sungguh aku tak berani menerima pemberian hormatmu. Engkau mengapa berlutut padaku? Jangan bikin orang bingung lo- enghiong, kini aku sungguh tidak mengerti bagaimana maksudmu, mau mengambil murid padaku atau mengangkat guru?”

Semua orang tertawa puas. Nah, Pagoda Besi kini bertemu batunya, pikir mereka. Memang penduduk kampung itu benci kepada Ma In Liang yang selalu membantu murid-muridnya yang jahat, lebih-lebih si Peng Bouw yang terkenal suka bertindak sewenang-wenang.

Ma In Liang merayap bangun. Masih untung baginya tendangan Lian Hwa tidak diarahkan di sambungan lututnya benar, kalau demikian halnya tentu sambungan itu akan terlepas dan ia menjadi cacad. Sekarang ia hanya merasakan tulang keringnya linu dan sakit-sakit.

Saking malunya, ia menjadi nekad. Ia lebih suka mati daripada menanggung rasa malu, karena seorang jagoan yang telah membuat nama di kalangan kang-ouw kini dijatuhkan oleh seorang gadis kecil tak ternama secara demikian mudah dan memalukan! Dengan sekali menggereng matanya menjadi merah, cambang bauknya seakan-akan berdiri, ia memungut toyanya dan menyerang pula dengan nekat.

Lian Hwa hanya tertawa nyaring dan berkelit dengan lincahnya. Sengaja ia tidak mau menyerang, tapi hendak mempermainkan orang nekat itu. Ia meloncat ke sana ke mari sehingga Ma In Liang merasa seakan-akan gadis itu menjadi beberapa orang yang mengepungnya dari depan, belakang kanan dan kiri.

Peng Bouw melihat suhunya dipermainkan orang seperti itu menjadi marah dan berteriak, “He kawan-kawan, mau tunggu kapan lagi?” Ia mencabut goloknya dan segera diikutinya oleh tujuh orang kawan-kawannya, semuanya murid si Pagoda Besi yang bekerja menjadi tukang-tukang pukul chungcu (kepala kampung) di kampung itu.

Melihat keroyokan itu, semua penonton mundur ketakutan dan hanya yang berhati tabah saja masih berani menonton dari tempat yang agak jauh. Timbul kemarahan dalam hati Han Lian Hwa melihat tingkah para orang kasar yang mengeroyoknya, namun ia masih tetap bersenyum dan bahkan kini tertawa bergelak dengan nyaring.

“Ha, manusia tak tahu malu!” bentaknya sambil berkelit dari sambaran golok Peng Bouw. “Sembilan orang laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang anak perempuan kecil. Tak takutkah ditertawakan orang?”

“Jangan pentang bacot!” menjawab si Pagoda Besi menutup malunya dan pura-pura tidak melihat murid-muridnya yang datang membantunya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar