Pusaka Gua Siluman Jilid 07

Jilid 07

Lee Ing dengan tubuh menggigil cepat-cepat membuat api. Sebentar saja ia telah menghidupkan api unggun yang biasa ia pakai untuk membakar ikan dan mengusir dingin dan nyamuk. Ia duduk di dekat api unggun ini namun tetap kedinginan. Akhirnya Lee Ing melompat ke pembaringannya, tubuhnya menggigil dan ia mengeluh.

"Aduuuhhh, suhu, mengapa begini......?" Ia bergulingan di atas pembaringannya, rasa dingin membuat ia serasa akan membeku. Ia tidak tahu bahwa buah yang ia makan tadi semacam buah yang langka terdapat di dunia ini. Memang Bu-beng Sin-kun menghendaki supaya tiga butir buah itu dimakan sekaligus. Akan tetapi, setelah terpendam seratus tahun lebih, buah itu khasiatnya menjadi berlipat-lipat. Khasiat buah ini adalah untuk mencuci darah dan membangkitkan pusat hawa dalam tubuh yang bersembunyi di dalam pusar, juga menguatkan tulang menyuburkan sumsum.

Lee Ing yang sekaligus makan tiga butir, setelah buah ini khasiatnya berlipat ganda, sama halnya dengan makan enam atau sembilan butir dan khasiatnya buah ini sedemikian hebatnya sehingga berubah seperti racun jahat. Saking kuatnya pengaruh buah obat ini membangkitkan tenaga di pusat, sampai hawa dan tenaga Iweekang yang sudah dilatihnya itu buyar semua dan kalah kuat. Setelah menggeletak tak berdaya lagi dan mukanya sudah membiru saking dinginnya, Lee Ing menyerahkan diri kepada nasib. Ia masih berusaha untuk melompat bangun dan berlatih silat supaya tubuhnya panas, akan tetapi semua otot-ototnya kaku dan ia rebah lagi di atas pembaringannya. Aneh, setelah ia tidak mengadakan perlawanan dan diam saja berbaring, melemaskan semua urat- uratnya, rasa dingin berangsur-angsur hilang, bahkan terganti oleh rasa hangat yang menyenangkan.

"Ah, enak sekali... aduh nyaman badanku..."

Lee Ing tertawa-tawa senang dan dari atas pembaringan ia meniup ke arah api unggun supaya api itu padam karena sekarang tidak ia perlukan lagi. Akan tetapi, ujung api unggun hanya bergerak sedikit dan tidak menjadi padam.

Wajah yang tadinya berseri tersenyum itu tiba-tiba berkerut dan malah agak pucat. Sekali lagi ia meniup dan kini bahkan mengerahkan tenaga di dalam perut, namun tetap saja api hanya bergoyang sedikit, sama sekali tidak padam.

"Celaka, ke mana larinya tenagaku?" pikir Lee Ing. Biasanya, jangankan dari jarak tidak begitu jauh, biar lebih jauh lagi ia sanggup meniup padam

api unggun itu sekali tiup. Ia terpaksa turun dan menggunakan pasir memadamkan api.

Tiba-tiba, seperti serangan hawa dingin tadi, hawa hangat di tubuhnya menjadi makin panas. Makin lama makin panas. Peluh memenuhi muka dan leher Lee Ing, juga pakaiannya sudah basah semua. Gadis ini gelisah, menggaruk sana menggaruk sini karena rasa panas dan gerah mengakibatkan gatal- gatal.

"Aduh celaka, mengapa begini    ?" la mulai mencopoti pakaiannya, tadinya hanya pakaian luar saja

agar tidak begitu gerah, akan tetapi rasa panas makin menghebat sampai akhirnya ia mencopoti dengan paksa semua pakaiannya. Ia melihat seluruh tubuhnya merah sekali dan panasnya bukan main. Napasnya menjadi sesak, matanya menjadi kabur dan tak dapat ditahan lagi ia rebah di atas pembaringan dan pingsan.

Proses yang hebat dan aneh sekali sedang terjadi di dalam tubuh gadis itu. Hawa Im dan Yang di dalam tubuhnya, hawa dingin dan panas, bergolak semua sebagai akibat dari bangkitnya pusat tenaga sakti di tubuh. Hawa Im dan Yang ini saling kuasa-menguasai, kadang-kadang hawa Im menang membuat tubuh Lee Ing kedinginan seperti direndam di dalam salju, kadang-kadang hawa Yang menang, membuat tubuhnya panas seperti dibakar. Kedua hawa ini saling dorong dan seakan- akan mendapat gemblengan dari dalam, menjalar sampai ke ujung-ujung jari.

Keadaan Lee Ing seperti orang terserang penyakit demam panas. Di dalam pingsannya ia mengigau. kadang-kadang kepanasan kadang-kadang kedinginan. Sehari semalam Lee Ing berada dalam keadaan seperti ini dan hanya karena Thian belum menghendaki dia tewas saja yang membuat Lee Ing masih dapat hidup sampai saat ini.

Pada hari ke dua. pagi-pagi sekali Lee Ing siuman dari pingsannya. Ia merasa dingin dan sejuk dan alangkah herannya ketika melihat bahwa ia sedang rebah telanjang di atas pembaringan batu. Pakaiannya mawut dan berserakan di lantai.

"Apa aku sudah gila?" pikir Lee Ing dengan perasaan jengah sambil melompat dari atas pembaringan. Akan tetapi segera ia berseru kaget karena tubuhnya mencelat jauh dari pada tujuannya ketika melompat turun tadi. Dalam melompat ia hanya mempergunakan tenaga biasa saja, akan tetapi entah tubuhnya yang berubah menjadi ringan sekali ataukah tenaganya yang terlampau besar, ia merasa tubuhnya seperti dilemparkan oleh tenaga raksasa ketika melompat tadi. "Heran," pikirnya sambil cepat mengambil pakaiannya dan memakai pakaian itu. Setelah itu ia lalu mencoba lagi dan dengan girang mendapat kenyataan bahwa baik Iweekangnya maupun ginkangnya memperoleh kemajuan yang luar biasa. Malah demikian hebat tenaga di dalam tubuh itu sampai hampir ia tak dapat menguasainya. Hal ini memerlukan latihan-latihan untuk dapat membiasakan diri dengan keadaan baru ini.

Lee Ing lalu berlari ke dalam kamar maut dan berlutut di depan rangka Bu-beng Sin-kun untuk menghaturkan terima kasih atas pemberian hadiah tiga biji buah sian le itu. Semenjak hari itu. Lee Ing berlatih lagi dengan lebih tekun dan giat. Untuk latihan pedang ia mempergunakan pit peninggalan ayahnya Betapapun rajinnya, tetap saja memerlukan waktu dua tahun lagi untuk menamatkan latihan-latihannya.

Hanya jurus-jurus terakhir dari lukisan-lukisan dinding itu membuat ia bingung. Sampai sebulan ia mempelajarinya namun tetap ia tak dapat menemui kuncinya. Dianggapnya jurus ini tidak teratur. Setelah payah mempelajari, akhirnya Lee Ing tak sanggup lagi dan menganggap bahwa gurunya sudah terlampau lelah atau pikun ketika melukis jurus-jurus terakhir ini. Maka ia lalu mengambil keputusan untuk mencoba kepandaiannya.

Pergilah Lee Ing ke dalam kamar ular. Dua ekor ular itu. seperti empat tahun yang lalu, masih nampak liar dan mendesis desis menakutkan ketika melihat gadis itu memasuki kamar.

"Paman dan bibi ular, tenanglah. Aku datang untuk membebaskan kalian dari hukuman." Dengan berani Lee Ing maju mendekat. Ular jantan yang lebih galak cepat membuka mulutnya yang lebar. Kepala Lee Ing kiranya akan dapat masuk sekali telan. Giginya runcing-runcing seperti gergaji besar, matanya bersinar-sinar menakutkan. Namun Lee Ing tetap tenang, tersenyum-senyum sambil melangkah dekat, la memperhatikan dengan seksama.

Kalau ia membuka belenggu yang melilit leher ular itu begitu saja, tentu tangannya akan tergigit. Cepat ia melompat ke atas batu karang di depan ular jantan. Kepala ular meluncur maju dan menggigitnya. Dengan gerakan ringan Lee Ing miringkan tubuh dan mengulur tangan hendak meraih belenggu. Akan tetapi kepala ular itu bergerak dan lehernya melebar, menghantam ke arah pinggang Lee Ing dari samping. Lee Ing terpaksa melompat mundur dan turun kembali.

"Sukar juga   " pikirnya, la mencoba lagi.

Kini ia melompat tinggi ke atas melampaui kepala ular. Ketika ular itu membalikkan kepala dan menyambar dengan mulut terbuka lebar, Lee Ing menyampok dengan tangannya dari samping, perlahan saja. Gadis ini memang tidak berniat mencelakakan binatang itu. Sampokannya yang amat perlahan itu cukup kuat, membuat ular itu terpental mundur, Lee Ing menggunakan kesempatan itu untuk memegang belenggu dengan kedua

tangan, mengerahkan tenaga dan. "trakk!" belenggu ular jantan itu putus!

Dasar binatang, mana tahu bahwa orang sedang menolongnya? Ular jantan menjadi marah karena sampokan tadi, kini setelah tubuhnya bebas ia makin leluasa bergerak. Cepat sekali tubuhnya menggeliat bergerak dan di lain saat kepalanya sudah menyambar leher Lee Ing dan ekornya yang kuat dan besar sudah bergerak pula menyambar pinggang untuk dililit.

Lee Ing maklum akan bahayanya kalau sampai kena digigit atau dililit. Bagaikan sinar kilat ia menghindarkan diri, melompat ke tengah kamar. Ular jantan mengejarnya! Khawatir kalau-kalau pedang dan sarungnya itu rusak karena amukan ular. Lee Ing menyambar pedang, lalu memasukkan ke dalam sarung pedang dan menyelipkannya di pinggang. Kini ia menanti datangnya serangan ular jantan. Ular itu merayap keluar dari kubangan dan Lee Ing kagum melihat besar dan panjangnya. Karena seringkali melihat, kini ia tidak takut lagi.

"Paman ular, kau benar-benar tak tahu terima kasih!" ia mencela ketika ular itu menyerangnya lagi dengan ekor yang disabetkan ke depan. Lee Ing melompat dan ekor itu menyabet batu karang yang menjadi hancur. Lee Ing meleletkan lidah.

"Aduh, kau hebat juga." Melihat besarnya tenaga sabetan ekor, gadis itu ingin sekali mencoba dan mengadu tenaga. Ia menanti sampai ular itu menyabet lagi dengan ekornya. Ia mengumpulkan tenaga dan menangkis sabetan ekor itu dengan lengan kiri.

"Dukk!" Ekor dan lengan bertemu keras sekali, akibatnya ekor ular itu terpental kembali, sedangkan Lee Ing hanya merasakan guncangan hebat saja, namun kuda-kudanya tidak bergeming.

"Aha, tidak berapa hebat tenagamu, paman ular," katanya gembira. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengejek karena ular itu sudah menyambar lagi, kini dengan kepalanya. Lee Ing mencelat ke samping lalu melompat ke atas punggung ular. Ekor ular itu menyambar, gadis itu menangkap ekor tersebut dan terus ditekuk ke atas, mendekati kepala. Dengan berani gadis ini melebatkan ekor itu pada leher ular beberapa kali lalu diikatkan seperti orang mengikat leher karung saja! Sungguh lucu kelihatannya ular itu.

Lehernya dililit dan diikat oleh ekornya sendiri, la menggeliat-geliat, akan tetapi makin ia perkeras lilitan nya. makin tercekik lehernya. Agaknya binatang ini tidak tahu bahwa yang melilit dan mencekik lehernya adalah ekornya sendiri, juga tidak tahu bahwa ekornya bukan melilit pinggang gadis yang ramping itu, melainkan melilit leher sendiri.

Lee Ing tertawa. Selagi ular itu berdaya melepaskan diri dari keadaan yang lucu dan aneh itu, Lee Ing sudah melompat ke ular betina. Seperti tadi, ia disambut oleh moncong yang terbuka lebar hendak menggigitnya. Lee Ing mengelak dan moncong itu menggigit angin. Sebelum mulut yang kini tertutup itu terbuka kembali, lengan kiri Lee Ing sudah memeluknya sehingga mulut itu kini dijepit.

"Bibi yang berani, terpaksa aku harus menahan dulu mulutmu yang cerewet dan suka terbuka saja." Lee Ing berkata tertawa-tawa, lalu tangan kanannya dimiringkan dan disabetkan ke arah rantai yang membelenggu ular ini. Sekali tebas saja rantai itu patah. Lee Ing melepaskan ular ini dan melompat. Ternyata ular jantan sudah berhasil melepaskan diri. Biarpun binatang-binatang ini tidak tahu terima kasih, agaknya mereka tahu akan arti takut.

Tanpa banyak aksi lagi keduanya lalu merayap keluar dari kamar itu melalui kubangan dan lubang. Kebetulan air laut yang dilempar oleh ombak memasuki kubangan itu dan di lain saat dua ekor ular itu telah kembali ke tempat asalnya, yaitu di dasar laut. Memang dua ekor ular raksasa itu dahulunya ditangkap oleh Bu-beng Sin-kun ketika mereka terbawa ombak masuk ke dalam gua itu melalui lubang lalu dibelenggu oleh Bu-beng Sin-kun. Itu adalah ular-ular laut yang jarang muncul dan jarang pula dilihat orang.

Setelah membebaskan dua ekor ular itu. baru Lee Ing berani mencabut pedang dan mengamat- amatinya. Pedang ini tipis sekali dan ternyata dapat digulung seperti orang menggulung sutera.

"tentu saja cara menggulungnya harus menggunakan tenaga Iweekang. Pendeknya sebuah pedang yang tajam indah dan dapat digulung. Lee Ing mencobanya. Diayunnya pedang yang ringan seperti bulu itu, dan sekali sabet saja rantai-rantai yang tadi membelenggu ular terputus-putus seperti rambut dipotong. Ia girang sekali, lalu melibatkan pedang pada pinggangnya. Pedang itu dipakai seperti orang memakai sabuk oleh Lee Ing! Lee Ing berlutut kembali di depan rangka Bu-beng Sin- kun.

"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas warisan ilmu dan pedang. Teecu tak sampai hati meninggalkan suhu dalam keadaan begini. Maafkanlah teecu yang mengambil keputusan untuk mengubur rangka suhu di sebelah rangka cici Li Lian."

Kemudian ia bangun berdiri dan hendak mengangkat rangka itu. Tiba-tiba ia melihat kedudukan kaki tangan rangka itu. Baru sekarang ia memperhatikan dan ia mendapatkan sesuatu yang aneh. Kaki dan tangan itu berada dalam kedudukan pasangan jurus yang luar biasa, tentu bukan tidak sengaja Bu-beng Sin-kun mati dalam keadaan berdiri seperti itu. Lee Ing membatalkan niatnya mengangkat rangka itu dan melangkah mundur, memperhatikan kedudukan kaki tangan itu lalu menirunya. Wajahnya berseri dan ia tertawa. Orang akan menganggapnya gila, tertawa-tawa di depan sebuah rangka!

"Ha-ha, betul sekali! Terima kasih, suhu. Inilah kuncinya! Alangkah bodohku, tidak melihat selama ini." Setelah meniru kedudukan kaki tangan ini, lengkaplah pelajarannya. Itulah jurus terakhir dari ilmu silat tangan kosong yang merupakan puncak dari pelajaran-pelajaran itu, jurus yang menurut corat-coret itu diberi nama Lo-thian-tong-te (Mengacau Langit Menggetarkan Bumi).

Setelah mendapatkan kunci rahasia pukulan terakhir dari ilmu silat warisan Bu-beng Sin-kun yang disebut Thian-te-kun (Ilmu Silat Langit Bumi) ini, Lee Ing lalu mengangkat rangka gurunya dan menguburnya di dalam kamar ular, di sebelah kuburan Li Lian. Kemudian ia keluar dari lorong rahasia yang dulu-ia masuki.

Tidak seperti dulu ketika masuk, kini jalan keluar itu bagi Lee Ing mudah sekali. Tanpa disadari dan dirasainya, kepandaiannya sudah menjadi hebat dan ginkangnya sudah mencapai tingkat yang sukar diukur lagi. Inilah hasil dari latihan samadhi dan membangkitkan tenaga dalam yang luar biasa, yang membuat Lee Ing dapat membuat tubuhnya serasa seringan bulu dan dapat pula membuat tubuhnya serasa seberat gunung karang! la berlompat-lompatan dan sebentar saja sudah keluar dari gua itu dan tiba di bukit batu karang di tepi pantai yang amat curam itu.

Matanya menjadi silau dan terpaksa Lee Ing berdiri memejamkan kedua mata. Tak tahan ia menghadapi sinar matahari yang demikian terangnya. Selama empat tahun ia tidak pernah melihat sinar matahari sepenuhnya seperti ini. Lambat-laun matanya menjadi biasa juga dan ia membukanya perlahan. Teriakan bahagia terlompat dari kerongkongannya ketika ia melihat pemandangan alam yang sudah sering kali terlihat olehnya di alam niinipi. Laut terbentang luas di kakinya, di atas nampak menjulang tinggi batu-batu karang. Tempat itu amat berbahaya, namun bagi Lee Ing bukan apa-apa, bahkan yang nampak hanya keindahannya saja.

Sambil berlompatan dari puncak batu karang ke puncak lain, sedikitpun tidak merasa sakit ketika kulit kakinya yang sudah jebol sepatunya itu menginjak batu karang yang runcing, Lee Ing mulai merayap naik. Sepatunya jebol, pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut tidak karuan, mukanya amat pucat karena jarang bertemu sinar matahari. Orang tentu akan menganggapnya seorang gadis berotak miring.

Namun Lee Ing tidak merasa akan ini semua. Ia terus berlompatan bagaikan seekor kera, dan sebentar saja ia sudah tiba di atas, keluar dari daerah berbahaya itu. Teringat olehnya betapa dulu ia diserang oleh Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio dan ditolong oleh Siok Bun. Teringat akan hal ini ia tiba-tiba tertawa. Kalau ia ingat-ingat, lucu juga dulu itu, bagaimana ia mempermainkan Hui-ouw-tiap dan mengaku seorang gadis Mongol. Waktu berlalu amat cepatnya, sampai-sampai hal itu seperti baru terjadi kemarin saja. Ketika itu usianya baru lima belas tahun, sekarang ia sudah berusia sembilan belas tahun, namun Lee Ing tidak merasa akan hal ini. la sekarang sudah menjadi gadis dewasa yang bertubuh ramping, berwajah cantik jelita, akan tetapi iapun tak sadar akan hal ini.

Dunia seperti baru bagi Lee Ing. Burung terbang saja merupakan tontonan menarik baginya. Ia duduk di atas sebuah batu, melihat burung laut terbang melayang dengan kagum, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Ombak laut yang membuih juga merupakan pandangan yang sedap dipandang, tidak membosankan. Apa lagi pohon-pohon hijau yang kelihatan dari situ, membuat Lee Ing termangu memandangnya.

"Aduh indahnya... aduh indahnya...!" berkali-kali ia berseru keras dan menengok ke sana ke mari. Melihat semacam rumput yang mengeluarkan kembang kuning kecil sekali, Lee Ing tertawa dan berlutut mengamat-amati kembang itu yang dianggapnya amat indah menakjubkan. Padahal dahulu kembang macam itu takkan ia hiraukan.

"Bagus sekali.. ." ia memuji.

"Sialan, tidak bertemu siapa-siapa, yang ada hanya anak gila...!" tiba-tiba terdengar suara orang menggerutu.

Lee Ing melompat bangun dan menengok. Matanya terbelalak lebar, girang dan kagum. Seorang wanita cantik setengah tua berdiri di depannya. Siapa lagi kalau bukan Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio! Lee Ing tertawa dan mengucek-ucek matanya, seperti tidak percaya pandang matanya sendiri.

"Kau...? Kau masih..... masih di sini...?"

Karena sudah empat tahun berdiam seorang diri di dalam gua tak pernah bicara, suara Lee Ing menjadi kaku dan biarpun otaknya sudah penuh kata-kata, mulutnya terasa sukar mengeluarkan kata-kata itu.

Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio mengerutkan keningnya. "Anak gila, pergi kau dari sini. Jangan berani kau kurang ajar Aku sedang tak senang, kalau kau membikin aku marah, bisa kau kulempar ke dalam jurang ini!"

Lee Ing tertawa makin senang. Suara yang keluar dari mulut Yap Lee Nio terdengar amat merdu Seperti musik! Sudah lama ia rindu akan suara orang, dan sekarang mendengar nyonya itu bercakap- cakap, biarpun merupakan makian marah, ia senang sekali mendengarnya.

"Bicara lagi, bicara terus   " mintanya sambil memandangi nyonya itu dari sanggul rambutnya yang

teratur rapi sampai pakaiannya yang indah dan sepatunya yang baru.

Hui-buw-tiap Yap Lee Nio memang sedang marah. Seperti diketahui, dulu ketika ia bertemu dengan Lee Ing, tahu bahwa gadis itu puteri Souw Teng Wi musuh besarnya, ia segera turun tangan hendak membunuhnya. Akan tetapi muncul Siok Bun menolong Lee Ing. Karena segan bermusuhan dengan putera Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui, Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio tidak mau melanjutkan pertempuran itu, terus menyusul dan mencari Lee Ing. Akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Demikian pula dengan Siok Bun. Pemuda ini yang amat tertarik kepada gadis itu juga mencari Lee Ing. Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio diam-diam mendongkol sekali karena tidak berhasil membalas dendamnya. Ketika mendengar bahwa Souw Teng Wi telah berada di utara, nyonya yang mendendam ini menyusul ke utara, bermaksud mencari tempat kediaman Souw Teng Wi dan membunuhnya untuk membalas dendam kematian suaminya. Siang-pian Hai-liong Sim Kang. Akan tetapi kembali ia tertumbuk batu karang ketika maksud hatinya ini tidak saja gagal, malah ia mendapat malu besar karena dikalahkan oleh Pek kong Sin-kauw Siok Beng Hui sendiri yang tidak membiarkan nyonya ini mencoba untuk membunuh Souw Teng Wi.

Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio makin merasa sakit hati. Ia teringat akan puteri Souw Teng Wi yang pernah ia temui di pantai laut itu. la melakukan penyelidikan dan tak seorangpun tahu di mana adanya nona Souw itu. Maka ia mendapat pikiran bahwa mungkin sekali selama ini nona Souw itu masih berada di pantai dan mungkin berada di dalam gua-gua yang terkenal dengan sebutan Gua Siluman. Pikiran ini yang membuat Yap Lee Nio tidak mengenal lelah dan mendatangi tempat yang amat berbahaya lagi sukar itu. Biarpun sudah lewat empat tahun, siapa tahu kalau-kalau ia berhasil menemukan nona itu di dalam gua, menangkapnya dan menggunakan nona itu untuk ditukar dengan nyawa Souw Teng Wi?

Dapat dibayangkan betapa kecewa dan marah hatinya ketika ia tiba di daerah Gua Siluman, ia tidak dapat menemukan seorang manusiapun. Daerah ini demikian mati dan sunyi sehingga berhari-hari Hui-ouw-tiap mencari ke dalam gua-gua, melakukan perjalanan sukar sekali dan mengalami kesengsaraan lahir batin. Ketika akhirnya ia menyerah dan hendak pergi meninggalkan daerah mati ini, ia bertemu dehgan seorang gadis berpakaian compang-camping, sepatu tinggal sebelah, rambut riap-riapan dan tertawa-tawa serta bicara seorang diri, pendeknya seorang gadis gila. Ia menjadi marah dan menyesal sekali alas kesialannya. Sekarang melihat gadis gila ini mempermainkannya dan mentertawakannya, ia makin marah. Akan tetapi ia tertarik juga.

"Setan, kau siapakah dan mengapa kau berada di tempat seperti ini?" tanyanya sambil mengamat- amati muka yang sebagian besar tertutup rambut yang tidak terurus itu. la dapat melihat sebagian wajah yang berkulit halus sekali, dan mata kiri yang bersinar-sinar ganjil akan tetapi amat bagus. Juga hidung yang mancung kecil dan mulut yang manis sekali.

Lee Ing makin geli mendengar pertanyaan ini. Ia masih mengenal Yap Lee Nio, orang yang dulu menyerangnya Juga ia masih ingat bahwa wanita ini adalah isteri Sim Kang yang sudah tewas di tangan ayahnya. Akan tetapi aneh sekali, hatinya tidak mengandung kebencian terhadap wanita ini. Tak mungkin ia dapat membenci seorang manusia yang dijumpai untuk pertama kali setelah ia keluar dari gua. Manusia pertama ini amat menarik hatinya, bahkan ia merasa suka kepadanya.

"Mengapa kau berada di tempat seperti ini?" Lee Ing mengulang pertanyaan itu, susunan kalimatnya dan lagu bicaranya ia tiru. Amat merdu terdengarnya bunyi pertanyaan wanita itu.

"Bocah gila, kalau tidak melihat kau gila, siang-siang sudah kuhancurkan kepalamu!" kembali Hui- ouw-tiap memaki sambil melompat pergi. Ia tidak sudi melayani seorang gila lebih lama lagi. Akan tetapi alangkah terperanjatnya ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu bocah gila itu telah berdiri di depannya. Berdiri bulu tengkuk Hui-ouw-tiap. Ini tak mungkin, pikirnya. Apakah aku mengimpi? Ia mengerahkan tenaga dan melompat lagi. Kali ini bahkan melompati atas kepala Lee Ing untuk pergi dari tempat sunyi mati menyeramkan itu.

Memang Hui-ouw-tiap mempunyai ginkang yang hebat sehingga ia mendapat julukan Hui-ouw-tiap (Kupu-kupu Terbang). Ia mengira bahwa perempuan gila itu tentulah mengerti sedikit ilmu silat dan sekarang tak mungkin dapat mengejar dan mengganggunya lagi. Jagoan-jagoan di dunia kang-ouw jarang ada yang sanggup mengejarnya, bahkan Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui sendiri tidak mampu mengejarnya ketika ia dikalahkan dan melarikan diri.

Akan tetapi, di lain saat Hui-ouw-tiap mengeluarkan jerit ketika melihat orang gila itu dengan gerakan luar biasa sekali dari belakang telah melompati kepalanya dan tahu-tahu sudah menghadang di depan pula. Saking herannya, Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio sampai berdiri terpaku dan memandang dengan mata melotot. Adapun Lee Ing hanya tertawa-tawa saja, malah mendekat dan meraba-raba ujung baju wanita itu seakan-akan hendak melihat kebagusan baju orang.

"Siluman gila!" Yap Lee Nio menjadi marah. Sebetulnya ia diam-diam merasa takut dan seram. Coba saja bayangkan! Di tempat seperti itu berternu dengan seorang gila yang ginkangnya dapat melebihinya. Untuk mengusir rasa seram ini Yap Lee Nio menjadi marah dan memaki, "Kau ini perempuan gila mau apakah?"

Lee Ing menyingkap rambut yang menutupi sebagian muka dan mengganggu matanya sanibil tersenyum. "Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio ternyata makin tua makin cantik, akan tetapi juga makin galak."

Hui-ouw-tiap kembali melengak. Ia menatap wajah yang kini kelihatan nyata itu, wajah yang cantik manis sekali, yang matanya bersinar-sinar ganjil penuh pengaruh, akan tetapi juga penuh kejenakaan. Mata itu ia tidak kenal, mata yang membuat bulu tengkuknya berdiri karena sinar yang memancar dari mata itu benar-benar membuat ia silau. Akan tetapi hidung yang kecil mancung tipis itu, bibir yang tersenyum manis mengejek itu, serasa ia pernah melihatnya, pernah dikenalnya.

"Ba... bagaimana kau bisa mengenal namaku? "Kau.... siapakah. ?" tanyanya gugup karena heran

dan kaget bahwa gadis gila ini tidak saja mengenal namanya, juga mengenal julukannya.

"Kau memang seorang wanita terkenal, tentu saja aku mengenal." Lee Ing tertawa-tawa lagi, senang sekali ia bertemu dan dapat bercakap-cakap dengan seorang manusia lagi, sungguhpun manusia ini memusuhinya, dan kembali ia merasa kagum melihat pakaian Yap Lee Nio yang bagus sekali kalau dibandingkan dengan pakaiannya sendiri yang sudah tidak karuan dan sepatunya yang tinggal sebelah lagi. Baju Hui-ouw-tiap yang serba hijau memang indah sekali.

"Habis, kau mau apa?" Hui-ouw-tiap yang sudah kembali ketenangannya bertanya marah.

"Ooh, apa-apa aku juga mau." jawab Lee Ing jenaka, "kau punya apa sih hendak diberikan kepadaku?"

Hui-ouw-tiap rnakin mendongkol karena dipermainkan oleh bocah gila ini.

"Apa-apa kau mau? Nah, aku punya ini!" Sambil berkata demikian, Hui-ouw-tiap memperlihatkan tinjunya dan terus menyerang Lee Ing dengan kepalan tangan kanan. Serangannya cepat sekali, tahu-tahu pukulan itu sudah hampir mengenai leher Lee Ing.

"Hayaaa   kau galak benar!" Lee Ing mengeluh dan bukan main herannya hati Hui-ouw-tiap. la tidak

melihat gadis itu mengelak atau menangkis, akan tetapi tiba-tiba pukulannya yang sudah hampir mengenai Ieher itu menyeleweng dan mengenai tempat kosong. Kembali Hui-ouw-tiap menyerang, kali ini ia mengerahkan tenaga dan kecepatannya. Jurus yang ia mainkan juga jurus yang tinggi tingkatnya dan amat berbahaya, yaitu jurus Chun-lui-tong-te (Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi). Hui-ouw-tiap memiliki gerakan yang arnat cepat biarpun tenaganya tidak dapat dibilang sangat besar. Akan tetapi kali ini ia benar-benar dibikin bingung karena tanpa ia dapat mengetahui bagaimana tangan gadis itu bergerak, tahu-tahu dua tangannya sudah tertangkis dan anehnya kedua tangannya sendiri itu bisa saling bertumbukan! Saking kaget dan sakitnya ia melompat mundur dan mengeluarkan seruan tertahan.

Lee Ing hanya berdiri sembarangan dan tertawa-tawa. "Siapa suka tanganmu yang usil? Aku lebih menyukai pakaianmu yang hijau itu."

"Bocah kurang ajar, kau siapakah sebenarnya?" Yap Lee Nio bertanya karena ia sekarang dapat menduga bahwa bocah ini tentu bukan orang sembarangan.

Lee Ing tersenyum manis, lalu berkata dengan lidah utara, "Toanio. aku adalah seorang gadis Mongol. namaku Bayin Kilau..."

Baru terbuka mata Yap Lee Nio sekarang, la teringat akan sikap Lee Ing ketika bertemu dengan dia dulu, juga gadis itu mempermainkannya seperti sekarang ini. Jauh-jauh ia datang mencari Lee Ing puteri Souw Teng Wi untuk ditawannya dan sekarang gadis yang dicari-carinya iiu telah berada di depan mata masih ia belum mengenalnya. Cepat laksana kilat ia mencabut pedangnya dan membentak,

"Aha, kiranya kau puteri Souw Teng Wi? Bagus, rasakan tajamnya pedangku!" Ia cepat menyerang karena menduga bahwa gadis ini takkan begitu mudah ditawan, lebih baik dilukai dulu.

"Aha, baru sekarang kau tahu?" kata Lee Ing dan dengan tenang dan mudahnya ia mengelak dari sambaran pedang. Bagi orang lain gerakan serangan Hui-ouw-tiap ini cepat bukan main, akan tetapi dalam pandang mata Lee Ing amat lambat maka mudah saja ia mengelak ke sana ke mari. "Eh, kupu- kupu tua, aku ingin menukar pakaian ini dengan pakaianmu. Kau mau tambah berapa?"

Di dalam kemarahan dan kemendongkolan hatinya, Yap Lee Nio juga terheran-heran. Empat tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan puteri Souw Teng Wi ini, gadis yang kurang ajar dan nakal ini hanya memiliki sedikit ilmu silat ditambah ilmu gulat Mongol. Bagaimana sekarang dengan tangan kosong dapat menghadapi pedangnya sambil mengobrol? Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengeluarkan ilmu pedang dari Hoa-lian-pai yang bersifat ganas dan berbahaya. Namun Lee Ing tetap saja enak-enak, bahkan berdirinya juga tidak teratur, hanya kalau diserang kelihatan terdesak sempoyongan seperti orang mabok namun semua serangan dapat ia hindarkan dengan baik. Malah gadis ini masih terus mengeluarkan kata-kata jenaka.

"Hui-ouw-tiap, bagaimana? Pakaian yang kupakai ini ditukar dengan pakaian hijaumu, kau berani tambah berapa?"

Terlalu sekali gadis itu, pikir Hui-ouw-tiap. Masa pakaian yang dipakai gadis itu compang-camping dan kotor seperti lap dapur, hendak ditukar dengan pakaiannya yang indah-indah, malah minta tambahan? Benar-benar gila! Karena penasaran tidak dapat mengalahkan gadis itu, Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio menjadi marah sekali. Tangan kirinya bergerak. Lima batang Tiat-lian-ci menyambar ke arah lima bagian jalan darah yang mematikan. Ini masih disusul pula dengan tusukan pedang ke dada nona itu.

Menggunakan senjata rahasia Tiat-lian-ci (Biji Teratai Besi) adalah kepandaian istimewa Hui-ouw-tiap Senjata rahasia yang kecil-kecil ini amat cepat jalannya, juga tidak terduga-duga, apa lagi dilepaskan dari jarak dekat. Namun, Lee Ing menggerakkan kedua tangannya dan lima butir Tiat-lian-ci itu sudah ditangkapnya semua. Serangan pedang ia hindarkan dengan jalan melompat mundur. "Hui-ouw-tiap, kalau tidak mau bertukar pakaian secara baik, terpaksa aku mengambilnya sendiri!" kata Lee Ing dan tangannya bergerak. Berturut-turut lima butir Tiat-lian-ci menyambar ke arah Yap Lee Nio. Tiat-lian-ci yang pertama tepat sekali mengenai tai-twi-hiat, yang ke dua menyambar yan goai-hiat. Dua jalan darah yang terkena timpukan Tiat-lian-ci ini membuat Yap Lee Nio berdiri kaku tak mampu bergerak lagi. Sambitan ke tiga membuat pedang di tangannya terpental. Dua Tiat-lian-ci terakhir menyambar ke arah tali pengikat baju di pinggang dan dada, membuat tali-tali itu terlepas!

Sambil tenawa-tawa Lee Ing lalu melepaskan semua pakaian hijau yang menempel di tubuh Hui- ouw-tiap. Tentu saja Hui-ouw-tiap merasa malu dan marah sekali, akan tetapi apa dayanya? Bergerak sedikitpun ia tidak sanggup.

"Bagus sekali bajumu ini, ditukar dengan pakaianku kau masih harus tambah sedikit." Lee Ing memandang lawannya yang sudah tak berpakaian lagi itu, melihat ke arah rambut. "Rambutnya terhias emas dan permata, akan tetapi aku lebih menyukai ini. Nah, biar sutera pengikat rambutmu ini saja yang menjadi tambahan tukar-menukar ini!" Sekali renggut ia telah mengambil tali pengikat rambut dari sutera merah.

Kemudian, sambil tersenyum girang Lee Ing menanggalkan semua pakaiannya di depan Yap Lee Nio yang mau tidak mau memandang dengan kagum, la melihat betapa Lee Ing memakai pakaian hijaunya dan mengikat rambutnya dengan sutera merah. Sekarang baru terlihat kecantikan gadis itu dan baru Hui-ouw-tiap tak ragu-ragu lagi bahwa memang ia berhadapan dengan puteri Souw eng Wi. Bagaimana gadis ini sekarang menjadi begini hebat kepandaiannya? Diam-dam Hui-ouw-liap Yap Lee Nio bergidik dan mengerti bahwa jiwanya berada di tangan gadis ini.

"Wah, susah. Celana dan bajunya pas betul akan tetapi tangan bajunya terlalu panjang. Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio, agaknya tanganmu panjang sekali!" Merah muka Hui-ouw-tiap mendengar sindiran ini. Memang dia seorang perampok tunggal yang terkenal, jadi termasuk golongan si tangan panjang juga.

"Waah, aku harus menggulungnya atau memotongnya..." lagi-lagi Lee Ing bicara. Kemudian ia mengambil pakaian bututnya, diletakkan di depan Yap Lee Nio, lalu ia berkata, "Nah, pertukaran sudah beres. Aku rela memberikan pakaianku kepadamu. Kau berdirilah dulu di sini, paling lama dua jam lagi kau akan pulih dan dapat memakai pakaian ini. Kau terlalu galak, sudah sepatutnya diberi pelajaran sedikit. Selamat tinggal!"

Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio tak dapat bicara tak dapat bergerak dan ia hanya bisa memandang dengan mata mengandung penuh kebencian. Ia hanya melihat gadis di depannya berkelebat terus lenyap. Diam-diam Yap Lee Nio memuji dan juga lega bahwa gadis itu tidak membunuhnya. Akan tetapi kemendongkolannya dapat dibayangkan. Dia berdiri kaku seperti patung dalam keadaan telanjang.

Baiknya tempat itu sunyi sepi, kalau ada orang lewat, apa lagi kalau laki-laki, alangkah akan malunya. Ia harus berdiri seperti itu dua jam. lagi dan selama ini yang dapat dilakukan oleh Yap Lee Nio hanya berdoa supaya jangan ada orang lewat di situ Kalau ia sudah dapat bergerak, tentang pakaian sih bukan apa-apa. Tentu saja pakaian butut yang ditinggalkan Lee Ing itu ia tidak sudi memakai, dan untuk mendapatkan pakaian baik, ia dapat mengambil dari rumah orang lain dengan mudah.

Sungguh amat patut disayangkan bahwa kaisar pertama dari Kerajaan Beng-tiauw terpengaruh oleh orang-orang berahlak rendah seperti Menteri Auwyang Peng dan lain-lain pembesar durna. Pahlawan rakyat Cu Goan Ciang setelah menjadi kaisar mungkin karena banyaknya persoalan negara yang harus diurusnya, menjadi kurang waspada dan mudah saja dipermainkan oleh para durna yang memperebutkan kedudukan dan kekuasaan.

Sedemikian besar pengaruh para durna itu sampai-sampai Cu Goan Ciang yang sekarang menjadi Kaisar Thai Cu itu, menjauhkan puteranya yang berjiwa patriot, yaitu Yung Lo yang diangkat menjadi raja muda di Peking. Pengangkatan ini adalah usul para menteri durna yang menganggap Yung Lo terlalu berbahaya maka perlu disingkirkan.

Akan tetapi, Yung Lo maklum benar akan hal-hal yang terjadi di sekitar ayahnya. Raja muda ini maklum bahwa Kerajaan Beng yang dibangun oleh ayahnya itu amat kotor, penuh dengan tikus-tikus yang berupa para menteri durna. Ia hanya bisa menghela napas panjang setiap kali teringat akan kelemahan hati ayahnya yang dahulu terkenal sebagai pahlawan yang bersemangat baja itu.

Betapapun juga, selama ayahnya masih menjadi kaisar di Nan-king. Yung Lo tidak berani bertindak apa-apa. la amat berbakti kepada ayahnya dan segan melawan ayah sendiri. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Raja Muda Yung Lo mendiamkan saja para menteri durna melakukan perbuatan sewenang-wenang di selatan. Antara Raja Muda Yung Lo dan para menteri durna itu terdapat permusuhan yang hebat. Biarpun pada lahirnya Raja Muda Yung Lo tidak memusuhi mereka karena ia merasa sungkan terhadap ayahnya, namun diam-diam para pembantu raja muda ini mengadakan permusuhan dengan kaki tangan para menteri yang dikepalai oleh Menteri Auwyang Peng.

Sering kali terjadi tantangan- tantangan dan pertempuran di antara jago-jago kedua fihak yang bermusuhan ini. Kedua fihak memang sudah dapat menjaga sehingga tidak merembet-rembet fihak atasan. Fihak utara tidak membawa-bawa nama Raja Muda Yung Lo, sebaliknya fihak selatan tidak mau membawa-bawa nama kaisar atau menteri-menteri. Maka semua pertempuran itu terjadi dalam sebuah tantangan pibu (mengadu kepandaian). Diatur cara begini, luka atau tewas dalam pibu tidak menimbulkan keributan dan tidak menyeret-nyeret nama Raja Muda Yung Lo maupun kaisar sendiri.

Raja Muda Yung Lo yang tidak mau secara terang-terangan memusuhi menteri -menteri yang menjadi pegawai ayahnya, mempergunakan Tiong-gi-pai untuk menggempur mereka. Ia sengaja mengirim orang kepercayaannya, Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui seanak isteri membantu Tiong- gi-pai dan berusaha membasmi orang-orang jahat seperti Auwyang-taijin dan kaki tangannya.

Berkali-kali pihak Tiong-gi-pai dan fihak Menteri Auwyang Peng mengadakan tantangan di mana dilakukan pibu antara jago-jago kedua fihak. Akan tetapi sering kali pibu itu diakhiri dengan kekalahan fihak Tiong-gi-pai. Banyak sudah jago-jago Tiong-gi-pai terluka atau tewas. Pibu-pibu yang dilakukan hanya sampai di tingkat orang-orang mudanya saja, para cianpwe belum maju karena kedua fihak masih menjaga nama masing-masing. Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui sendiri maklum bahwa kalau dia turun tangan tentu fihak musuh akan menurunkan para cianpwe yang tingkatnya jauh lebih tinggi.

Oleh karena itu fihak Tiong-gi-pai mengeluarkan jago-jago mudanya yang tentu saja dilawan oleh jago-jago muda pula dari fihak Auwvang-taijin. Akan tetapi, ternyata seringkali fihak Auwyang-taijin lebih kuat, apa lagi di antara orang mudanya terdapat putera Auwyang-taijin sendiri, Hek-tok-ciang Auwyang Tek Si Tangan Racun Hitam. Jangankan orang-orang mudanya di fihak Tiong-gi-pai, bahkan para jago tuanya jarang yang mampu menandingi kelihaian Auwyang Tek.

Pada masa itu. biarpun nampaknya pemerintah Beng dapat mendatangkan kembali kebesaran Tiongkok selelah berhasil mengusir Bangsa Mongol, dan negara menjadi kaya dan makmur, namun pengaruh Kerajaan Beng di luar Tiongkok menjadi musnah. Kalau dahulu di jaman penjajahan Mongol negara-negara tetangga pada tunduk di bawah pengaruh kekuasaan Raja-raja Mongol yang membentangkan sayap lebar-lebar, kini para kerajaan tetangga bangkit dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Beng. Orang-orang Mongol yang sudah terusir itu biarpun mengalami kekalahan di Tiongkok namun di utara mereka masih menjagoi.

Sering kali mereka mengadakan kerusuhan dan penyerbuan ke daerah perbatasan. Hanya setelah Raja Muda Yung Lo memegang kekuasaan di Peking, serbuan-serbuan ini dapat dibendung. Namun, pengacauan lain terjadi di selatan, di pantai laut timur, dilakukan oleh para bajak laut Jepang.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Auwyang Peng menteri durna itu bersama kaki tangannya untuk mengadakan kongkalikong dengan beberapa orang jago kate dari Jepang itu. Dengan jalan menyogok Menteri Auwyang Peng berhasil "membaiki" bajak laut ini. bahkan kini di fihaknva terdapat dua orang jagoan Jepang yang sengaja ia pakai tenaganya untuk menghadapi jago-jago Tiong gi-pai Makin kuatlah kedudukan menteri durna ini dan makin sewenang-wenanglah tindakan para kaki tangannya mengganggu rakyat secara sembarangan saja, diganggu dan dicap pemberontak?

Kwee Cun Gan sebagai ketua Tiong-gi-pai dan Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui merasa prihatin dan gelisah melihat keadaan yang amat tidak menguntungkan itu. Putera Siok Beng Hui yang diharapkan. yaitu Siok Bun. sampai sekian lama belum kembali. Kalau Siok Bun ada, biarpun masih disangsikan apakah pemuda gagah ini akan kuat menghadapi Auwyang Tek. setidaknya kepandaian Siok Bun sudah cukup tinggi dan tidak nanti dapat dikalahkan dengan mudah. Juga orang muda ke dua yang mereka harapkan bantuannya adalah Kwee Tiong, keponakan Kwee Cun Gan sendiri. Namun juga pemuda ini tidak pernah muncul, entah dibawa ke mana oleh gurunya. Pek Mao Lojin.

Berkali-kali Pihak Auwyang-taijin mengirim tantangan dan untuk kesekian kalinya Pihak Tiong-gi-pai terpaksa diam saja tidak dapat menerima tantangan itu. tahu bahwa Pihak mereka jauh kalah kuat. Kalau hanya tantangan yang datang masih mending. Akan letapi fihak Auwyang-taijin berlaku lebih jauh lagi. Mereka mulai berlaku kurang ajar dan keji. Beberapa orang anggauta Tiong-gi-pai telah tewas, baik di dalam rumah sendiri maupun di tengah perjalanan. Ini bukan merupakan pibu lagi, melainkan pembunuhan yang sifatnya seperti dulu lagi, yaitu pembasmian Tiong-gi pai!

Kwee Cun Gan memanggil semua kawan orang gagah untuk mengadakan pertemuan di dalam hutan, la merasa gelisah, juga marah sekali. "Kita harus bertindak!" katanya gemas di depan kawan- kawannya, di mana hadir pula Siok Beng Hui. "Kalau kita diam saja, bukankah Itu memperlihatkan kelemahan kita?"

Siok Beng Hui menarik napas panjang. Di antara mereka semua. Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui inilah vang terhitung paling tinggi kepandaiannya. Kepandaian isteri dan puteranya juga tinggi, sedikitnya setingkat dengan kepandaian Kwee Cun Gan sendiri.

"Memang betul sekali apa yang dikatakan saudara Kwee Cun Gan." katanya. "Akan tetapi, di antara saudara-saudara muda kita, siapakah yang dapat melawan Auwyang Tek? Kalau aku sendiri yang maju menghadapinya, tentu saja amat baik kalau pemuda celaka itu mau melawanku, akan tetapi kita semua tahu bahwa hal itu takkan terjadi. Tentu dari fihak sana akan muncul orang-orang seperti Ma Thouw Koaitung Kui Ek. Aku sudah pernah bentrok dengannya dan terus terang saja dia terlalu berat untukku. Bukan berarti bahwa aku tidak berani, akan tetapi kalau sampai terjadi aku kalah, bukankah merupakan pukulan yang lebih berat bagi Tiong gi-pai, terutama sekali bagi nama dan kehormatan raja muda kita di Peking? Jangan lagi dibicarakan kalau Tok-ong Kai Song Cinjin sendiri yang maju melawanku!" Semua orang diam dan merasa gelisah. Tiba-tiba seorang setengah tua yang berjenggot pendek berdiri dan berkata keras. "Kita ini orang-orang gagah-macam apakah begini ketakutan dan bernyali kecil takut kalah? Kalau Siok-taihiap dan Kwee-twako takut kalah, aku orang she The tidak takut mampus! Biar aku yang mencoba-coba menghadapi tantangan pibu mereka!"

Yang bicara ini adalah seorang anggauta Tiong-gi-pai bernama The Sun. kepandaiannya tidak berapa tinggi akan tetapi semangatnya besar. Dia dahulu juga bekas anak buah Souw Teng Wi. Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar The Sun pergi hendak menghadapi tantangan fihak Auwyang-taijin.

Akan tetapi sekali melompat Kwee Cun Gan sudah menyusulnya dan memegang lengannya. "The-te. kau terlalu sembrono!" tegur ketua ini sambil mengerutkan alisnya karena tak berdaya dalam pegangan Kwee Cun Gan, The Sun menurut saja diseret kembali ke tempatnya tadi.

"The-te, mengapa kau hanya mengandalkan keberanian yang bodoh? Di mana ketaatanmu sebagai anggauta Tiong-gi-pai? Jangan kau salah sangka. Baik aku, maupun Siok-taihiap dan semua saudara kita tidak ada yang takut mati untuk membela kebenaran dan membela negara, akan tetapi segala hal harus dilakukan berdasarkan perhitungan masak. Apa perlunya kalau kita semua mengurbankan nyawa dengan sia-sia hegitu saja? Apa faedahnya bagi negara? Menghadapi musuh-musuh berat seperti Auwyang-taijin. kita harus mempergunakan otak, bukan nafsu. Hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin. Bukan kau saja yang berani mati, kita semua adalah orang-orang yang bersiap sedia mengurbankan nyawa demi negara dan bangsa"

Ditegur demikian. The Sun menjadi terharu dan merasa menyesal bukan main, la menjura kepada ketuanya dan kepada Siok Beng Hui. "Maafkan siauwte yang bodoh. Siauwte tidak sengaja menghina. hanya.... hanya kalau siauw-te teringat akan kegagahan Souw-taihiap dahulu... ah. agaknya di dunia ini tidak ada orang ke dua seperti Souw-taihiap..."

Siok Beng Hui mengerutkan kening. "Saudara Kwee. kalau dipikir-pikir sikap kawan The ini ada betulnya juga. Kita dihina oleh fihak musuh, kalau tidak memperlihatkan gigi, tentu kita makin dihina. Biarlah aku akan mencoba-coba kekuatan mereka, membalas tantangan mereka sekarang juga!"

Berubah wajah Kwee C'un Gan. la tahu bahwa ucapan ini terdorong oleh hati panas. Sebagai utusan dan orang kepercayaan Raja Muda Yung Lo, Siok Beng Hui merupakan orang penting. Bagaimana kalau sampai tewas dalam pertandingan? Sudah jelas pendekar ini bukan tandingan Tok-ong Kai Song Cinjin.

"Akan tetapi, taihiap..."

Siok Beng Hui tiba-tiba berpaling seperti mendengar sesuatu. "Bun-ji (anak Bun), kau baru datang?" katanya girang dan muncullah seorang pemuda tampan dari balik batang pohon. Semua orang tidak mendengar kedatangannya kecuali Siok Beng Hui. Pemuda ini adalah Siok Bun! Siok Bun segera memberi hormat kepada ayahnya, kemudian kepada Kwee Cun Gan dan yang lain-lain.

"Ayah, selama ini anak pergi mencari jejak nona Souw Lee Ing yang menghilang di daerah bukit Gua Siluman di pantai Laut Kuning. Anak melihat dia diancam dan diserang oleh Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio yang hendak membalas dendam atas kematian suaminya. Anak membantu nona Souw dan berhasil mengundurkan Hui-ouw-tiap yang agaknya tidak bernafsu untuk bermusuhan dengan anak. Akan tetapi, ketika anak sedang bertempur itu, nona Souw menghilang. Sampai berbulan-bulan anak mencari di sekitar daerah batu-batu karang yang amat sukar dijelajahi itu, namun sia-sia. Kemudian anak merantau dan mencari-cari, juga sia-sia..." Suara Siok Bun terdengar amat terharu dan berduka. Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui dan isterinya memandang putera yang tunggal itu dengan penuh perhatian. Pemuda ini menjadi amat kurus dan sinar matanya mengandung kesedihan besar.

"Bun-ji, agaknya.... hemmm, agaknya kau sudah jatuh hati kepada puteri Souw-enghiong...?" Memang Siok Beng Hui orangnya jujur suka terus terang, maka tidak malu-malu membongkar rahasia hati puteranya di depan orang banyak.

Siok Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah seperti udang direbus. Pemuda ini wataknya lebih menurun dari ibunya, halus dan pemalu.

Maka ia segera menjawab untuk membantah ayahnya.

"Ayah, bukankah nona Souw Lee Ing itu puteri tunggal Souw-lo-enghiong? Bukankah sudah menjadi kewajiban anak dan kewajiban semua orang gagah untuk menolongnya? Harap ayah memberi petunjuk kalau sikap anak menolong dan mencarinya itu salah."

"Tidak, tidak salah," kata ayahnya cepat-cepat. "Bahkan tepat sekali. Sayang, kau tidak dapat membawanya ke sini. Betapapun juga, sudah baik dia tidak terjatuh ke dalam tangan Hui-ouw-tiap yang hendak mencelakakannya. Cuma anehnya, ke manakah dia pergi sehingga kau tidak dapat mencarinya?" Semua orang juga merasa heran dan kecewa, mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu atas diri nona itu.

"Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu dan dia dapat melarikan diri dengan selamat," kata Siok Beng Hui. "Bun-ji, sekarang kita menghadapi hal yang lebih penting."

"Anak tadi sudah mendengar semua, ayah. Bukankah fihak Auwyang-taijin yang selalu bertindak sewenang-wenang dan menantang kita? Kebetulan sekali aku ingin mencoba kelihaian si keji Auwyang Tek, biar anak yang melayaninya."

"Bagus, memang sudah sepatutnya kau menyumbangkan tenaga, kalau perlu jiwa, demi menjaga nama dan kehormatan junjungan kita. Akan tetapi kau harus berlaku hati-hati, Bun-ji. Sepasang sarung tangan dan Hek-tok-ciang dari putera menteri durna itu benar-benar tak boleh dipandang ringan."

Siok Bun mengangguk-angguk. "Anak sudah mendengar akan keganasan Hek-tok-ciang itu, ayah. Karenanya kita harus melawannya sedapat mungkin. Benar pendapat The-lopek tadi, kejahatan harus dilawan."

Siok Beng Hui berkata kepada Kwee Cun Gan, "Saudara Kwee, harap kau suka mengutus seorang saudara ke fihak musuh dan menetapkan hari pibu."

Wajah para anggauta Tiong-gi-pai nampak gembira. Biarpun mereka maklum akan kekuatan fihak lawan, namun mereka menaruh harapan bahwa kali ini mereka telah mempunyai jagoan yang akan dapat mengalahkan Anwyang Tek. Mereka tahu akan kelihaian Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui dan dapat menduga bahwa ilmu kepandaian putera pendekar ini tentu tinggi pula.

Kwee Cun Gan segera mengatur segalanya. Menyampaikan surat yang menyatakan menerima tantangan Auwyang Tek yang berkali-kali dikirim kepada fihak Tiong-gi-pai itu dan menjanjikan akan bertemu di sebuah hutan di luar kota, di mana memang sering kali diadakan pertandingan- pertandingan antara jago-jago kedua fihak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rombongan Tiong-gi-pai sudah berada di dalam hutan itu, di sebuah tempat yang terbuka karena memang pohon-pohon di bagian ini ditebangi sehingga terdapat sebuah lapangan yang cukup luas, pendeknya tempat yang enak untuk bertanding mengadu kepandaian silat. Siok Bun berjalan diapit oleh ayah bundanya yang semenjak malam tadi sudah memberi banyak petunjuk kepadanya, terutama ayahnya.

"Jangan kau pandang ringan pada pukulan-pukulan Hek-tok-ciang," antara lain ayahnya memberi nasehat, "biarpun kedua tangannya tidak memegang senjata, namun dua buah sarung tangan yang membungkus tangannya itu merupakan senjata yang ampuh. Sarung tangan itu tidak dapat rusak oleh senjata tajam dan selain pukulan Hek-tok-ciang sendiri mengandung tenaga Iweekang yang ampuh, juga sarung tangan itu mengandung racun hitam yang amat berbahaya. Jangan kau biarkan tangannya menyentuh badanmu dan seberapa dapat desak dia dengan senjatamu. Mudah-mudahan kau dapat mengatasinya."

"Jangan khawatir, ayah. Anak akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga nama dan kehormatan kita," jawab pemuda itu dengan sikap gagah.

Ketika rombongan Tiong-gi-pai ini tiba di lapangan pihu, di sana sudah menanti fihak musuh, yaitu Auwyang Tek sendiri yang berdiri sambil tertawa-tawa sombong, dikawani oleh belasan orang, di antaranya terdapat Toat-beng-pian Mo Hun, Ma-thouw Koai tung Kui Ek, dua orang jago Jepang Manimoko yang berambut kaku dan bertubuh gemuk bundar dan Jokuto yang melihat kepala gundul dan pakaiannya adalah seorang hwesio. Selain ini masih kelihatan pula Tok ong Kai Song Cinjin yang duduk bersila sambil memejamkan matanya.

Melihat tokoh tokoh besar ini. diam-diam fihak Tiong-gi-pai terkejut sekali. Akan tetapi Siok Bun tidak kelihatan takut karena ia tahu bahwa yang akan ia hadapi adalah Auwyang Tek, bukan tokoh- tokoh besar itu. Setelah rombongan Tiong-gi-pai mengambil tempat duduk di pinggir lapangan itu, berhadapan dengan fihak kai Song Cinjin, Siok Bun lalu melangkah -main menghadapi Auwyang Tck. Sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan melihat pemuda putera menteri durna yang sudah terkenal amat keji dan jahat ini.

Auwyang Tek tertawa mengejek sambil memandang ke arah Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya. "Ha-ha ha, orang-orang Tiong-gi-pai. Akhirnya ada juga jago muda yang berani menghadapi aku? Inikah orangnya?"

"Auwyang Tek manusia sombong. Sudah terlalu banyak kau mengganggu orang yang tak berdosa dan tidak berkepandaian. Sekarang akulah musuhmu," kata Siok Bun dengan wajah tenang. Kembali Auwyang Tek tertawa mengejek dan menggosok-gosok kedua tangannya yang bersarung tangan. Terdengar suara seperti dua batang barang baja digosok.

"Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup? Apa kau tidak mendengar tentang lihainya kedua tanganku?"

"Orang lain boleh gentar menghadapi Hek-tok-ciang. akan tetapi aku Siok Him takkan mundur setapakpun."

Mendengar nama ini, semua orang di pihak Kai Song Cinjin memandang ke arah Siok Beng Hui. Ma- thouw Koai tung Kui Ek mengeluarkan suara di hidung dan berkata. "Aha. kiranya Pek-kong Sin-kauw sudah mengajukan puteranya Sebentar lagi tentu ia sendiri akan maju. Ah, aku ingin sekali melihat kehebatan sepasang senjata kaitan yang terkenal itu!"

Memang semua orang tahu bahwa pemuda she Siok itu tentu putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui, dan para tokoh besar yang bergabung menjadi kaki tangan menteri durna, ingin sekali mendapat kesempatan menghadapi Siok Beng Hui. Akan tetapi karena Siok Beng Hui tak pernah maju, merekapun tidak berani gegabah, tahu bahwa pendekar kaitan ini adalah utusan dari Raja Muda Yung Lo Hanya di dalam pertandingan pibu mereka berani turun tangan, ini semua tentu saja menurut perintah Menteri Auwyang Peng yang tidak- mau dianggap mengganggu atau membunuh utusan Raja Muda Yung Lo.

Sementara itu. mendengar bahwa pemuda tampan bertopi batok ¡tu putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui. Anwyang Tek bersikap hati-hati, tidak berani memandang rendah. la maklum bahwa Pek- kong Sin-kauw adalah seorang jago siang-kauw yang sudah ternama sekali, memiliki kepandaian tinggi dan sudah boleh dijajarkan setingkat dengan kaum cianpwe. Tentu saja putera pendekar pedang kaitan ini memiliki kepandaian tinggi pula. Akan tetapi Auwyang Tek tidak merasa takut, hanya berhati-hati Apa yang harus ia takuti sedangkan gurunya sendiri, Kai Song Cinjin yang kosen berada di situ, bahkan masih banyak lagi jago-jago tua di sampingnya yang tentu akan melindunginya?

"Bagus," katanya sombong, "memang aku sudah merasa bosan kalau bertanding dengan jago-jago Tiong gi-pai yang tidak becus apa-apa. Sekarang Tiong-gi-pai kehabisan jago sampai Pek-kong Sin- kauw sendiri mengajukan puteranya, ingin sekali aku melihat sampai di mana kelihaiannya!" Kembali pemuda putera menteri yang sombong ini menggosok-gosok kedua telapak tangan yang tertutup sarung tangan itu dan warna sarung tangan itu menjadi makin menghitam.

Siok Bun mencabut senjatanya, sebatang kaitan perak dan memasang kuda-kuda, senjata di tangan kanan menyusup di bawah lengan kiri yang dilonjorkan dan jari telunjuk kiri menuding ke depan. Inilah kuda-kuda Tit-ci-thian-lam (Telunjuk Menuding ke Selatan) yang mengandung tantangan dan kelihatannya gagah sekali.

"Auwyang Tek. majulah kau!" kata Siok Bun.

Auwyang Tek mengeluarkan suara ketawa lagi dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan. Dalam gebrak pertama saja Auwyang Tek sudah memperlihatkan kecepatannya dan kedua tangannya bertubi-tubi melakukan pukulan dari kanan kiri. Harus diketahui bahwa Hek tok-ciang pemuda ini memang sudah tinggi Jangankan sampai tangannya menyentuh tubuh orang, baru terkena hawa pukulan Hek-tok-ciang saja, lawan yang kurang tangguh Iweekangnya takkan kuat menahan. Hawa pukulan ini panas mengandung tenaga berbisa, dapat menghanguskan kulit. Kalau menyentuh tubuh, hawa berbisa itu dapat melukai sebelah dalam tubuh dan darah akan keracunan.

Siok Bun berlaku cepat dan bersikap waspada. Serangan-serangan lawannya itu dielakkan sambil tak lupa kaitannya bekerja. Dari samping ia membalas pukulan lawan dengan serangan pertama, menyabet iga kiri dilanjutkan dengan gerakan mengait. Senjata di tangan Siok Bun inipun bukan senjata biasa yang dapat dipandang ringan. Sekali saja ujung kaitan memasuki kulit lawan, senjata ini akan mengait keluar otot dan urat terpenting, dapat memecah tulang dan memutuskan urat. Gerakannya tidak kalah gesitnya karena pemuda ini sudah mewarisi ginkang dari ibunya.

Auwyang Tek menghadapi serangan Kong- ciak-tiauw-wi (Burung Merak Menyabetkan Buntut) ini cepat melompat mundur, lalu dengan gerakan memutar dan kanan ia menerjang musuhnya lagi dan mengirim pukulan Hek-tok-ciang yang dahsyat dai kanan. Siok Bun sampai dapat mencium bau

amis dari pukulan tangan beracun ini. Cepat pemuda ini menutup pernapasannya dan mengelak sambil memapaki tangan yang memukul itu dengan sin-kauwnya.

"Plak!" Siok Bun terhuyung mundur, senjatanya terpental oleh pukulan lawan. Auwyang Tek hanya tertangkis dan gagal saja serangannya. Dari pertemuan senjata ini saja sudah dapat dilihat bahwa dalam hal Iweekang, Auwyang Tek masih menang setingkat. Siok Bun kaget sekali dan melihat ujung kaitannya yang tadinya putih mengkilap ini sudah berubah agak kehijauan, ia makin terkejut Baru ia membuktikan sendiri kedahsyatan Hek-tok-ciang Kalau yang menangkis tadi bukan senjata melainkan tangannya, sudah pasti ia terkena racun Hek-tok-ciang dan sudah kalah.

Namun ia tidak menjadi gentar dan mengerjakan senjatanya secara cepat, diputar-putar dan mainkan ilmu kaitan warisan ayahnya Pek-kong-kauw-hoat (Ilmu Kaitan Sinar Putih). Memang hebat sekali ilmu silat kaitan ini, dan indah pula kelihatannya. Setelah kaitan dimainkan cepat, tiada bedanya dengan permainan pedang. Senjata itu lenyap berubah menjadi segulung sinar putih yang berkelebatan menyambar ke sana ke mari! Semua orang yang menyaksikan permainan ini menjadi kagum sekali.

"Permainan yang bagus!" terdengar Toat-beng-pian Mo Hun sendiri sampai memuji. Kakek siluman pemakan otak manusia ini memang suka akan ilmu silat dan tanpa ia sadari ra sampai memuji permainan fihak musuh.

"Hanya bagus dilihat, tidak ada isinya!" bantah Ma-thouw Koai-tung Kui Ek, panas hatinya karena sudah berkali-kali ia ingin mencoba kepandaian Pek-kong Sin-kauw, sekarang permainan kaitan itu dipuji, tentu saja ia tidak senang.

Celaan terhadap permainan anaknya sama dengan mencela dirinya sendiri. Akan tetapi Siok Beng Hui tidak sempat memperdulikan ini semua. Seluruh perhatiannya ia curahkan kepada puteranya yang sedang menghadapi pertandingan mati-matian dengan lawan yang amat tangguh itu. Wajahnya nampak berseri ketika ia melihat puteranya mainkan sin-kauw dengan gerakan mempertahankan dan melindungi diri. Memang, selama Siok Bun melindungi dirinya dengan sinar senjatanya, pukulan-pukulan Hek-tok-ciang dari Auwyang Tek takkan menembus sinar gulungan senjata itu. Berkali-kali ayah ini mengangguk-angguk puas melihat ketangkasan anaknya yang kali ini benar-benar mempertahankan nama ayahnya, juga nama Tiong-gi pai dan nama Raja Mltida Yung Lo.

Memang perhitungan Siok Bun yang dibenarkan oleh ayahnya ini tepat. Dengan mainkan sin-kauw yang luar biasa cepatnya itu, Siok Bun telah membentuk lingkaran sinar senjata yang mengandung hawa Iweekang, yang tak dapat ditembus oleh Auwyang Tek. Karena dia sendiri bertangan kosong dan maklum akan bahayanya kalau sampai tubuhnya terkait, terpaksa Auwyang Tek hanya mengirim pukulan-pukulan Hek-lok-ciang dari jarak jauh dan semua hawa pukulan ini buyar, tak dapat menembus gulungan sinar senjata lawan.

Pertempuran berjalan seru dan mati-matian sampai hampir seratus jurus. Keduanya sudah mulai nampak lelah namun belum juga ada ketentuan siapa yang kalah. Fihak Tiong-gi-pai tersenyum- senyum, karena kali ini mereka sudah memukul kesombongan fihak lawan. Biasanya, seorang jago muda dari Tiong-gi-pai sudah roboh dalam dua-tiga puluh jurus saja menghadapi Auwyang Tek, kalau tidak tewas tentu terluka berat. Akan tetapi kali ini, Siok Bun berhasil membuat Auwyang Tek berloncatan ke sana ke mari tanpa dapat melakukan pukulan mautnya yang amat ampuh dan keji itu.

Sebaliknya, fihak Kai Song Cinjin berwajah muram dan penasaran. Bahkan Kai Song Cinjin sendiri yang meramkan mata dan duduk bersila nampak mengerutkan kening. Dengan meramkan mata dapat mengikuti jalannya pertempuran, sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah setinggi Kai Song Cinjin ilmu kepandaiannya. Tiba-tiba Kai Song Cinjin menggerakkan bibirnya, berkemak-kemik seperti orang membaca doa, akan tetapi tidak terdengar ada suara keluar dari mulutnya. Sikapnya benar benar amat menggelikan hati. Beberapa orang anggauta Tiong-gi pai yang memperhatikan kakek mi sampai tak dapat menahan ketawanya, mengira bahwa kakek itu berdoa untuk kemenangan muridnya.

Akan tetapi Pek kong Sin kauw Siok Beng Hui menjadi pucat. Di antara orang-orang Tiong-gi-pai, memang hanya dia yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat menangkap arti gerak bibir Kai Song Cinjin itu. la maklum bahwa kakek itu tengah mempergunakan ilmu semacam Ilmu Coan- im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi dengan pengerahan Iweekang dan khikang sedemikian hebatnya sehingga suara ini dapat dikirim sesuka hatinya dan pada saat itu tentu kakek yang licik ini mengirim suaranya ke telinga muridnya untuk memberi nasihat dalam pertempuran itu. Sayang Siok Beng IImu kepandaiannya tidak cukup tinggi untuk dapat menangkap kata-kata rahasia yang disampaikan secara aneh oleh Kai Song Cinjin kepada muridnya la tak dapat berbuat lain kecuali memandang ke arah pertempuran dengan hati hati sekali penuh perhatian dan mukanya menjadi pucat.

Ang lian ci Tan Sam Nio yang melihat kegelisahan terbayang pada muka suaminya menjadi heran sekali. Padahal menurut penglihatannya, pada saat itu mendadak Auwyang Tek amat kendur gerakannya, kelihatannya lelah sekali dan Siok Bun sudah mulai mengirim serangan-serangan hebat dan keadaannya amat mendesak ke arah kemenangan. Menurut perkiraan ibu ini, puteranya tentu sebentar lagi akan menang, mengapa suaminya nampak gelisah?

Tiba-tiba Siok Beng Hui berseru, menambah keheranan dan kebingungan hati isterinya, "Bun-ji, jangan terlalu desak dia! Kau tertipu....!" Pendekar yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran ini tahu bahwa Auwyang Tek bukan lambat gerakannya dan terdesak karena kekalahan, melainkan karena rnemang sengaja. Dan otaknya yang cerdas dapat menangkap apa artinya ini. Tentu Kai Song Cinjin tadi memberi nasihat kepada muridnya untuk menggunakan akal ini memancing supaya Siok Bun mendesak dengan serangan-serangan dahsyat sehingga pertahanan Siok Bun sendiri menjadi kurang kuat karena perhatian lebih banyak dicurahkan kepada serangan.

Dugaan ini memang tepat sekali. Kai Song Cinjin sendiri sekarang sampai membuka matanya karena rahasianya dipecahkan oleh Siok Beng Hui. Semua orang heran sekali mendengar seruan Siok Beng Hui tadi. Akan tetapi Siok Bun adalah seorang pemuda yang masih berdarah panas, la sedang mendesak lawannya dan akan memperoleh kemenangan yang berarti menjunjung nama mereka dan juga merobohkan seorang pemuda jahat, mengapa ayahnya melarang? Bagaimana dia bisa tertipu?

"Ayah, akan kubasmi si jahat ini   !" teriaknya gembira dan kaitannya menyambar makin ganas.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba- tiba Auwyang Tek tertawa dan dengan tubuh mendoyong ke depan sengaja menerima pukulan kaitan ke arah pundaknya itu, menggerakkan tangan kiri menyambar kaitan dan tangan kanannya dipukulkan ke depan. Resiko ini diambil deh Auwyang Tek karena ia menang kedudukan. Memang senjata lawan datang lebih dulu, akan tetapi dengan mendoyongkan tubuh, senjata itu akan menyambar ke pundak dan masih ada tangan kirinya yang menahan, sebaliknya pukulan Hek-tok-ciang dilancarkan oleh tangan kanannya secara hebat.

Siok Bun melihat datangnya bahaya ini, cepat mengelak. Namun terlambat. Terdengar baju Auwyang Tek di bagian pundak robek dan berdarah terkena ujung kaitan yang berhasil ia tangkap dengan tangan kiri, akan tetapi Siok Bun mengeluarkan jerit tertahan dan tubuhnya roboh bergulingan. Tulang pundaknya remuk dan kulit pundaknya memperlihatkan tanda lima jari tangan menghitam, tanda pukulan Hek-tok-ciang. Auwyang Tek tertawa terbahak-bahak melihat tubuh Siok Bun dipondong oleh Siok Beng Hui dan diperiksa pundaknya. Siok Bun menggigit bibir, mukanya pucat. "Kerahkan tenaga, dorong hawa murni ke atas melawan racun di pundak," bisik Siok Beng Hui sambil memberi tiga bulir obat untuk ditelan oleh puteranya. Namun ia maklum bahwa obat ini hanya penahan sementara saja, dan bahwa putera-nya telah menderita luka hebat.

"Ha ha. orang-orang Tiong-gi-pai, kiranya hanya sebegitu saja kepandaian jago kalian. Jangankan baru sebegitu, biar ayah ibunya sekalipun aku takkan takut" tantang Auwyang Tek sambil tertawa- tawa sombong dan luka kecil pada pundaknya dibalut oleh seorang "juru rawat".

"Omitohud.   akhirnya datang juga kesempatan membalas dendam!" Entah dari mana datangnya,

tahu-tahu muncul seorang hwesio tua berjenggot putih halus, sinar matanya menyinarkan pengaruh besar dan tangannya menyeret sebatang tongkat. Anehnya, begitu ia muncul, ia tidak menoleh kepada orang lain, melainkan memandang ke arah Toat-beng pian Mo Hun dengan mata mengandung kemarahan.

Auwyang lek mengira bahwa hwesio ini adalah seorang jago Tiong-gi-pai yang muncul ke gelanggang hendak menantang berkelahi, maka tanpa banyak cakap lagi ia, memukul dengan Hek-tok-ciang sambil membentak, "Anjing gundul,pergilah dari sini!"

Hwesio itu nampak terkejut sekali menghadapi pukulan yang anginnya menyambar hebat, mendatangkan hawa panas sekali. Cepat ia mengibas dengan ujung lengan bajunya yang lebar ke arah jari-jari tangan Auwyang Tek.

"Brett!" Ujung lengan baju itu putus dan ujungnya hangus seperti disambar api yang panas sekali. Akan tetapi Auwyang Tek terhuyung mundur dan tergetar.

"Omitohud, pukulan yang ganas bukan main." Hwesio itu berkata dan menarik napas panjang sambil memandang ke arah Kai Song Cinjin yang masih bersila meramkan mata. "Pukulan Hek tok-ciang sungguh lihai, hanya bisa diturunkan oleh tokoh besar seperti Tok-ong (Raja Racun). Kai Song Cinjin, harap kau menyuruh muridmu mundur karena pinceng tidak ada urusan dengan dia."

Kai Song Cinjin membuka matanya dan memberi isyarat dengan tangan supaya Auwyang Tek mengundurkan diri. Pemuda ini yang sudah tahu bahwa ia berhadapan dengan orang yang lebih kosen, tidak membantah lagi, mengundurkan diri di belakang suhunya.

"Kiranya seorang sahabat dari Siauw-lim-pai yang datang. Sahabat yang datang ada kepentingan apakah?" tanya Kai Song Cinjin, suaranya halus dan senyumnya ramah, sungguh berbeda isi hatinya yang penuh tipu muslihat.

"Omitohud. benar-benar bukan nama kosong julukan Tok-ong Kai Song Cinjin. sekali melihat tangkisan pinceng sudah tahu bahwa pinceng dari Siauw-lim-pai." Hwesio itu menjura kepada Kai Song Cinjin.

"Siauw-lim-pai termasuk partai persilatan besar, siapa tidak mengenal tangkisan Hong-tan-tiam-ci (Burung Hong Pentang Sebelah Sayap) tadi?" jawab Kai Song Cinjin tersenyum. Sebagai seorang cabang atas dalam kalangan persilatan, tentu saja ia mengenal banyak dasar ilmu silat lain partai.

"Kai Song Cinjin, dahulu pinceng mempunyai seorang murid yang amat baik bernama Thian Le Hosiang. Sayang sekali murid pinceng yang selalu patuh akan ajaran Nabi itu pada suatu hari tewas secara mengenaskan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau pinceng mencari pembunuhnya dan menuntut balas agar roh muridku itu tidak menjadi roh penasaran."

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Kai Song Cinjin. Hwesio itu menuding ke arah Toat-beng-pian Mo Hun, itulah, siluman pemakan otak manusia. Toat- beng pian Mo Hun yang membunuhnya!" Suaranya berubah nyaring berpengaruh, mengejutkan siapa yang mendengarnya. Toat-beng-pian Mo Hun berdiri dari tempat duduknya, cambuknya digerakkan dan berbunyi "tar! tar!" keras sekali, disusul suara ketawanya mengakak, hanya terdengar suara "kak-kak-kak" saja.

"Hwesio Siauw-lim-pai, kau siapakah datang-datang mencari penyakit dengan aku?" tanya Mo Hun, matanya disipitkan. mulutnya menyeringai.

"Pinceng adalah Wat Siok Hosiang, sengaja jauh-jauh datang ke sini untuk membalaskan kematian murid pinceng Thian Le Hosiang yang kau bunuh secara keji "

Kembali Mo Hurt tertawa "Aku tidak pernah mencatat nama musuh-musuh yang lelah tewas oleh pianku. Mungkin sekali muridmu itu berani menentangku dan mampus di tanganku, habis kau mau apakah?"

Wat Siok Hosiang marah sekali. Dia adalah tokoh Siauw-lim-pai dari tingkat empat, kepandaiannya tinggi, tugasnya di Siauw-lim-pai sebagai seorang di antara para penjaga tata lertib, maka wataknya juga keras. Tongkatnya dipukulkan ke atas tanah sampai batu-batu yang terpukul pada ambles, dan ia membentak.

"Yauwkoai (siluman) jahat, kalau pinceng tidak mampu membasmi percuma saja pinceng belajar silat sejak kecil!"

"Ho-ho-ho, lagaknya! Mari ku antar kau ke akhirat menjumpai roh muridmu!" jawab Toat-beng-pian Mo Hun dan secepat kilat menyambar, pian kelabang di tangannya sudah menyambar tanpa mengeluarkan suara Pian kelabang ini bukan main berat dan tajamnya, sekali saja mengenai leher akan putuslah leher orang. Entah sudah berapa puluh atau ratus manusia tewas oleh pian ini sehingga begitu menyambar, hawa yang berbau amis dan busuk keluar dari senjata mengerikan Ini. Namun Wat Siok Hosiang tidak menjadi gentar. Tongkatnya bergerak mantep menangkis senjata lawan.

"Traang....!" Pian kelabang terpukul mundur dan Toat-beng pian Mo Hun meringis, telapak tangannya terasa gemetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga Iweekang, ia masih kalah oleh jago tua Siauw-lim-pai ini Memang Siauw-lim-pai terkenal dengan Iweekangnya, akan tetapi ilmu silat Siauw-lim-pai terlalu jujur, tidak seperti Mo Hun yang memiliki tipu-tipu licik dalam ilmu silatnya yang tinggi.

Ketika untuk selanjutnya kedua senjata bertemu, Wat Siok Hosiang yang menjadi kaget karena tiap kali senjata tongkatnya berhasil menangkis pian

itu, tentu ujung pian masih bergerak ke arah muka atau tubuhnya dengan kecepatan luar biasa. Beberapa kali ia hampir menjadi korban karena tidak menyangka pian itu masih dapat menyerang biarpun sudah ditangkis.

Sementara itu. Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui setelah memeriksa keadaan luka di pundak Siok Bun secara teliti, lalu berkata kepada putera-nya, "Bun-ji, lukamu tidak ringan, racun Hek-tok-ciang amat jahat. Obat penawarnya hanya ada pada Auwyang Tek dan gurunya yang tentu saja tidak mungkin mau menolong. Satu-satunya orang yang dapat menolongmu hanya Yok-sian (Dewa Obat) di Thien-mu-san..." suara pendekar ini terdengar gelisah. "Ayah maksudkan Koai yok-sian (Dewa Obat Aneh) orang gila yang berada di puncak Thien-mu-san itu? Aah, kalau begitu sama artinya bahwa anak takkan dapat tertolong lagi..." Siok Bun tidak menjadi berduka atau takut, hanya tersenyum pahit. "Biarlah, ayah. Anak sudah berusaha sekuat tenaga..."

Dua titik air mata jatuh menetes dari sepasang mata Ang-lian-ci Tan Sam Nio. Nyonya yang gagah ini tidak menangis. Air mata dua titik itupun cepat ia hapus dengan saputangan.

Siok Beng Hui menarik napas panjang. "Mati hidup berada di tangan Thian, mengapa takut-takut? Koai-yok-sian memang dianggap seperti orang gila, akan tetapi kiranya tidak percuma dia diberi nama Yok-sian (Dewa Obat). Biarpun aku sendiri belum pernah menyaksikan, namun sudah terlalu sering dibicarakan orang aneh yang seperti gila itu menyembuhkan pelbagai penyakit secara ajaib. Mengapa kau tidak coba-coba mendatanginya? Thien-mu-san tidak begitu jauh."

"Mari kuantar kau ke sana. Bun-ji." kata Tan Sam Nio.

"Jangan," mencegah suaminya. "Aku mendengar bahwa orang aneh itu tak pernah mau menolong orang sakit yang datangnya diantar dan selalu yang ia tolong adalah orang sakit yang berada seorang diri. Agaknya ia tidak mau cara pengobatannya disaksikan orang lain."

"Pergilah, anakku, pergilah mencari obat! Semoga Thian melindungimu..." Suara Tan Sam Nio terdengar sayu, tanda kegelisahan dan keharuan hatinya.

Siok Bun mentaati permintaan ayah bundanya dan pemuda ini berjalan pergi sambil meraba-raba pundaknya yang terasa sakit sekali. Hanya beberapa orang anggauta Tiong-gi-pai saja yang memperhatikan kepergian pemuda ini, disertai pandang mata yang mengandung keharuan dan rasa kasihan. Yang lain-lain tidak memperhatikannya karena sedang menonton pertandingan yang lebih hebat lagi antara hwesio tokoh Siauw-lim pui melawan Toat-beng-pian Mo Hun.

Memang pertempuran itu hebat sekali, dilakukan oleh dua orang ahli silat kelas tinggi. Kadang- kadang saking cepatnya mereka mainkan senjata, sampai tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar senjata masing-masing. Ada kalanya dalam pengerahan adu tenaga Iweekang, senjata mereka saling tempel dan tubuh mereka tegang tidak bergerak, hanya terdengar suara "krek-krek" dari tulang-tulang mereka yang berkerotokan dan senjata mereka yang hampir tidak kuat menahan dorongan tenaga dalam.

Para anggauta Tiong-gi-pai diam-diam mengharapkan kemenangan Wat Siok Hosiang, karena biarpun hwesio Siauw-lim-pai ini tidak bertempur di fihak mereka, namun setidaknya hwesio itu melawan musuh mereka. Akan tetapi harapan inereka ini sia sia belaka. Setelah pertandingan berlangsung lima puluh jurus lebih dengan mati-matian. segera ternyata bahwa Mo Hun masih terlampau kuat bagi jago tua Siauw-lim-pai itu. Perlahan namun pasti, pian kelabang itu mendesak Wat Siok Hosiang, melakukan tekanan-tekanan berat dengan serangan-serangan mendadak dan cepat. Kasihan sekali hwesio yang sudah tua itu, hanya mengelak atau menangkis dengan tongkatnya, sama sekali tidak mampu membalas lagi. Mo Hun terus melakukan serangan bertubi- tubi sambil tertawa-tawa mengejek.

Setelah keadaannya terdesak sekali. Wat Siok Hosiang berlaku nekat dan mainkan Ilmu Tongkat Lo- han-tung di selingi Ilmu Tongkat Tee-tong-tung dari Siauw-lim-pai. Ilmu Tongkat Lo-han-tung ini adalah ilmu tongkat yang digerakkan secara lambat namun mengandung daya tahan yang besar, karena dilakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang dan gwakang diselang-seling. Adapun Ilmu Tongkat Tee-tong-tung dimainkan dengan cara bergulingan dan tongkat menyambar-nyambar dari bawah dalam penyerangannya. Hanya karena terdesak saja maka hwesio itu mainkan ilmu tongkat ini, karena ilmu tongkat ini adaiah ilmu vang amat berbahaya. Kalau berhasil, lawan dapat dirobohkan, namun kalau tidak, berarti kakek yang sudah tua itu akan kehabisan tenaga sendiri dan kalah. Memang beberapa kali Mo Hun menjadi kelabakan menghadapi dua ilmu silat tangguh dari Siauw-lim-pai ini. Pian kelabangnya sering kali terpukul mental dan pahanya sudah kena hantaman tongkat ketika lawannya bergulingan itu.

Namun kepandaian Mo Hun memang tinggi. Pukulan pada pahanya belum cukup kuat untuk merobohkannya dan biarpun ia tadinya terdesak. namun ia dapat membela diri secara baik dan cukup lama sampai lawannya akhirnya kehabisan tenaga. Akhirnya Wat Siok Hosiang tidak kuat lagi mainkan Lee-tong-tung dan berdiri dengan napas kempas-kempis menyenen kemis.

"Heh-heh-heh, hwesio berpenyakitan. Apa sudah siap memasuki alam baka bertemu dengan arwah muridmu?" Mo Hun mengejek, pian kelabang nya menyambar dahsyat! Wat Siok Hosiang sekuat tenaga mengangkat tongkatnya menangkis. Akan tetapi pian yang panjang itu hanya bagian tengahnya tertangkis, sedangkan bagian ujungnya masih terus menyerang ke arah leher hwesio Siauw-lim-pai itu!

Wat Siok Hosiang mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Pundaknya terkena sambaran pian yang runcing, bajunya robek berikut kulit dan daging pundak, bahkan tulang pundak ikut remuk. Hwesio tua itu menjadi pucat, terhuyung ke belakang. Pian kelabang menyambar lagi!

"Cukup!" terdengar Kai Song Cinjin berseru dan tiba-tiba pian itu terhenti gerakannya di tengah udara, terpukul oleh semacam tenaga tidak kelihatan yang dilakukan oleh Kai Song Cinjin dari tempat duduknya. Diam-diam Mo Hun kaget bukan main, la memang tahu bahwa Raja Racun itu lihai bukan main akan tetapi menahan piannya hanya dengan hawa pukulan, itulah benar-benar di luar dugaannya! la tidak berani membantah, hanya ha-hah-he-heh melangkah mundur.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar