Jilid 12 (Tamat)
Yang membuat Lie Cun Ju mempertahankan kehidupannya justru mengingat cinta kasih yang sudah terjalin antara ia dengan Tao Ling. Karena itu pula, setelah mendengar ucapan si pendeta ber¬jubah kuning, dia langsung tertawa getir.
"Mengapa aku tidak boleh mati?"
Mimik wajah pendeta itu berubah menjadi serius. "Mungkin kau ketua agama kami. Kalau kau sampai mati, ribuan bahkan laksaan umat agama kami berada di bawah bimbingan siapa lagi?"
Mendengar kata-kata pendeta itu, Lie Cun Ju semakin heran. Jangan-jangan pendeta ini otaknya kurang waras, pikirnya diam-diam.
"Apa yang kau maksudkan?" tanya Lie Cun Ju.
Tiba-tiba pendeta itu mengangkat tangannya dan menampar pipinya sendiri sebanyak dua kali.
"Urusan sebesar ini, mengapa aku membocorkannya?" gumam pendeta itu sambil ter-senyum kepada Lie Cun Ju. "Apa yang kukatakan tadi, anggap saja kau tidak mendengarnya."
Hati Lie Cun Ju merasa geli. Dia semakin yakin dengan pendapatnya sendiri bahwa pendeta itu memang gila. Karena itu pula, dia tidak meng-ungkit persoalan tadi lagi.
"Sekarang kemana kau akan membawa aku?"
"Di dalam sekte agama kami, ada seorang lhama tua dan dua orang Coan lun ong (semacam penasehat) yang sedang menunggumu. Aku hams membawa kau menemui mereka."
Lie Cun Ju semakin tidak mengerti apa yang sedang dihadapinya. Tetapi karena ia sudah jatuh ke dalam tangan mereka, terpaksa dia mengikuti nasibnya saja. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Pendeta itu kembali memberi isyarat tangan agar memondong tubuh Lie Cun Ju. Mereka terus menuju barat.
Sedangkan I Giok Hong dan Tao Heng Kan mengambil arah yang berlawanan setelah jalan darah mereka berhasil dibebaskan sendiri. Mereka tidak tahu bahwa pendeta itu memang sengaja menyesatkan mereka. Mula-mula pendeta dan makhluk aneh berlari ke arah timur, tapi kemudian memutar ke barat. Tentu saja tujuannya agar mereka tidak berhasil menemukan Lie Cun Ju.
Pendeta berjubah kuning itu menguasai Gin Kang yang sangat tinggi. Selama beberapa hari mereka menempuh perjalanan dengan berlari. Tidak tampak keletihan sedikit pun yang tersirat di wajahnya. Hal ini membuktikan bahwa tenaga dalamnya pun sangat tinggi.
Diam-diam Lie Cun Ju menghitungi hari-hari yang sudah mereka lalui. Sampai saat itu, mereka sudah menempuh perjalanan selama delapan belas hari. Setiap hari mereka hanya menyantap ransum kering. Jalan yang ditempuh berkelok-kelok karena melalui daerah pegunungan. Mereka tidak pernah bertemu dengan seorang manusia pun.
Sampai hari kesembilan belas, mereka melewati sebuah gunung yang menjulang tinggi. Lie Cun Ju mendengar suara riak air. Dia segera membuka matanya. Ternyata mereka sudah sampai di tepi sebuah sungai. Air sungai itu mengalir dengan deras. Ombaknya tampak bergulung-gulung tinggi.
"Sungai apa ini?" teriak Lie Cun Ju.
"Sungai Yalu Campu," sahut pendeta berjubah kuning itu. Kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut dan menyembah ke arah sungai itu.
Lie Cun Ju terkejut sekali. Dia pernah mende¬ngar seseorang mengatakan bahwa di perbatasan Tibet ada sebuah sungai besar yang dinamakan Yalu Campu. Apakah ia sekarang sudah mencapai perbatasan Tibet? Baru saja Lie Cun Ju ingin mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba dari tempat tidak seberapa jauh berkumandang suara de-ngungan. Dan pendeta berbaju kuning itu pun mengeluarkan suara siulan sebagai sahutan.
Tidak lama kemudian, tampak empat sosok bayangan melesat ke arah mereka. Setelah dekat, Lie Cun Ju dapat melihat bahwa keempat orang itu juga para pendeta berjubah kuning. Bedanya di lengan jubah mereka terdapat sulaman dari benang emas.
"Apakah orangnya sudah berhasil disambut?" tanya keempat pendeta itu.
"Sudah," sahut pendeta yang membawa Lie Cun Ju.
Keempat pendeta itu segera mengeluarkan lem-baran kertas seperti mata uang dan diberikannya kepada pendeta yang membawa Lie Cun Ju. Kemudian keempat pendeta itu menghampiri Lie Cun Ju. Dengan masing-masing mengangkat sebuah anggota tubuh Lie Cun Ju, mereka mem-bawanya berlari secepat kilat.
Sejak awal hingga akhir, Lie Cun Ju tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan para pen¬deta itu. Tapi tampaknya mereka tidak berniat jahat. Karena itu, Lie Cun Ju pun tidak mem-berikan tanggapan apa-apa. Mereka terus berlari sampai belasan li. Arah yang diamilnya selalu tepi sungai.
Di sepanjang jalan, pandangan mata Lie Cun Ju terus memandangi permukaan sungai. Dia merasa kagum sekali melihat gelombang air yang begitu tinggi dan alirannya yang demikian deras. Di daerah Tiong goan mungkin sulit menemukan sungai seperti itu.
Kurang lebih setengah kentungan kemudian, keempat pendeta itu menghentikan langkah kakinya. Lie Cun Ju segera mendongakkan kepalanya. Dia melihat di tepi sungai terdapat sebuah rakit yang sangat besar. Di tengah-tengah rakit itu terpancang sebuah layar. Di samping atau tepatnya depan rakit itu terdapat sebuah kemah yang besar. Tampak dari dalam kemah itu keluar beberapa orang yang juga berjubah pendeta.
"Apakah orangnya sudah berhasil disambut?" tanya orang- orang yang keluar dari kemah itu. Keempat hwesio yang membopong Lie Cun Ju segera menganggukkan kepalanya. Mereka ber-jalan menghampiri tenda besar itu. Kemudian per-lahan-lahan menurunkan Lie Cun Ju. Keempat pendeta itu membungkukkan tubuh mereka ren-dah-rendah.
"Lapor kepada Tianglo, dan Coan lun ong ber-dua, orang yang dicari sudah berhasil disambut!" Lie Cun Ju semakin bingung. Sudah jelas kedatangannya ke tempat ini diculik oleh seorang pendeta dan makhluk aneh tadi, tapi mengapa mereka selalu menggunakan kata-kata disambut?
Baru saja ucapan mereka selesai, dari dalam tenda berkumandang suara lantang.
"Undang orangnya masuk ke dalam!"
Keempat pendeta itu melirik lie Cun Ju sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.
"Lapor Tiang lo, tubuh pemuda ini terluka parah, aliran darahnya membalik, tidak bisa ber-jalan sedikit pun."
Dari dalam tenda tidak terdengar suara sahutan. Sesaat kemudian terdengar lagi orang yang di dalam kemah itu berkata.
"Kalau begitu, kalian papah dia ke dalam!"
Keempat orang itu mengiakan serentak. Setelah itu mereka segera mengangkat tubuh Lie Cun Ju dan dipondongnya ke dalam tenda.
Perabotan yang ada di dalam tenda sederhana sekali. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah meja sembahyang. Di atas meja itu ada patung Buddha yang terbuat dari emas. Sinarnya berkilauan. Di hadapan patung itu terdapat sebuah tempat pedupaan yang dipasangi beberapa batang hio wangi. Bau harum semerbak menerpa indera pen-ciuman. Di samping tempat pedupaan tampak menyala dua batang lilin merah. Suasananya berkesan misterius. Di depan meja itu terdapat tiga buah kursi.
Di setiap kursi duduk masing-masing seorang pendeta. Yang di tengah-tengah usianya sulit diterka, tetapi tampak sudah tua sekali. Sedangkan kedua pendeta yang ada di sisi kanan kirinya juga berusia di atas enam puluhan.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir, rombongan para pendeta ini tampaknya semua menguasai ilmu silat. Ketiga orang yang duduk di atas kursi itu mungkin pemimpin mereka. Kalau ditilik dari usianya yang sudah begitu lanjut, ilmu kepandaian mereka pasti tinggi sekali.
Ketika Lie Cun Ju dibawa masuk, ketiga pen¬deta itu pun masing-masing membuka mata mereka. Saat itu juga seakan ada sinar yang menyusup ke dalam tenda. Had Lie Cun Ju bukan main tercekatnya.
"Tenaga dalam mereka benar-benar sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sinar mata mereka saja bisa menimbulkan cahaya yang berkilauan."
"Ci sicu tentu letih setelah menempuh per-jalanan yang demikian jauh. Silakan duduk!" ucap pendeta yang duduk di tengah dengan perlahan-lahan.
Saat itu juga ada seseorang yang membawa kursi ke hadapan Lie Cun Ju. Ternyata hampir saja tubuh Lie Cun Ju terkulai jatuh ketika pegangan keempat pendeta tadi dilepaskan. Pikiran Lie Cun Ju semakin rumit, mengapa pendeta tua itu meng-anggapnya berasal dari marga Ci seperti halnya Seebun Jit?
Setelah duduk bersandar, Lie Cun Ju merasa lebih nyaman.
Tetapi bibirnya justru tertawa getir.
"Taisu, kau sudah berbuat kesalahan. Aku she Lie bukan she Ci," kata Lie Cun Ju dengan tawa getir. Pendeta tua itu tampaknya terkejut sekali. Matanya langsung mengalih kepada etnpat pendeta tadi. Keempat orang itu pun bergegas keluar dari tenda dan tidak lama kemudian datang lagi dengan membawa pendeta pertama yang menculik Lie Cun Ju.
"Tu Mo yang mengajak pemuda itu kemari, sedangkan kami tidak tahu apa-apa," kata salah seorang dari keempat pendeta itu.
"Tiang lo, kau lihat sendiri!" sahut Tu Mo panik.Dia mengeluarkan selembar lukisan dari balik jubahnya. Lukisan itu terbuat dari bahan kulit kambing, tampaknya sudah lama sekali karena gambarnya pun sudah lusuh. Dia mem-beberkan lukisan yang tadinya tergulung itu.
Lie Cun Ju mendongakkan kepalanya untuk mengintip gambar apa yang diperlihatkan pendeta itu. Hatinya langsung terkesiap seketika.
Rupanya di atas kulit kambing itu terdapat lukisan seseorang. Dan orang itu ternyata dirinya sendiri.
Rasa terkejut Lie Cun Ju bukan tak beralasan, Coba bayangkan saja, dia tidak merasa pernah mengenal orang- orang itu. Bahkan bertemu pun tidak. Sedangkan asal usul mereka saja ia pun tidak tahu.
Tetapi, mereka justru mempunyai lukisan wajah Lie Cun Ju. Pendeta tua yang duduk di tengah-tengah itu segera mengambil lukisan kulit kambing itu dari tangan pendeta yang menculik Lie Cun Ju. Matanya menatap ke arah lukisan beberapa saat, kemudian beralih lagi ke wajah Lie Cun Ju. Seakan-akan dia sedang memperban-dingkan kedua wajah yang dilihatnya.
Hati Lie Cun Ju diliputi kecurigaan yang tidak terkatakan. Pendeta tua itu mungkin merasa sudah cukup meneliti lukisan itu. Dia menyodorkannya kepada kedua lhama di sisi kanan kirinya secara bergantian. Kedua orang itu menghahiskan waktu kurang lebih setengah kentungan untuk meneliti. Kemudian tampak mereka menganggukkan kepalanya perlahan-Iahan.
"Ci sicu, kami mengundang Anda kemari tanpa niat buruk sedikit pun. Mengapa Anda tidak meng-akui nama Anda sendiri?" tanya pendeta yang duduk di tengah.
"Memang aku bukan she Ci. Tetapi kalian terus mendesak aku dengan mengatakan bahwa aku she Ci. Siapa yang sudi marganya diubah secara sem-barangan?"
Pendeta itu tersenyum tipis. Kerutan di wajahnya seperti air yang beriak-riak. Dia menyodorkan lukisan tadi ke hadapan Lie Cun Ju.
"Ci sicu, mohon tanya, siapa orang ini?"
Lie Cun Ju menyambut lukisan itu Iain dipan-danginya dengan seksama. Tanpa dapat ditahan lagi, wajahya menyiratkan senyuman yang pahit.
"Ini memang aku."
"Nah . . . sebetulnya orang yang ada dalam lukisan ini, bukan engkau. Tetapi tocu dari Hek Cui to semasa mudanya. Jadi lukisan itu sudah lama sekali, mungkin lebih dari dua puluh tahun. Kalau kau memang bukan keturunan tocu Hek Cui Ut itu, mengapa wajah kalian bisa demikian mirip?"
Mendengar ucapan pendeta tua itu, tiba-tiba ingatan Lie Cun Ju melayang kepada Seebun Jit. Sebetulnya kalau diingat kembali, apa yang dikatakan pendeta tua ini sama halnya dengan apa yang dikatakan Seebun Jit tempo hari. Sedangkan persoalan ini, Lie Cun Ju sendiri tidak jelas. Kecuali menanyakannya kepada pasangan suami istri Lie Yuan secara langsung.
"Manusia ada yang mirip, benda pun ada yang sama. Kedua orang tuaku masih hidup. Mana mungkin aku ini putra tocu Hek Cui !o seperti yang taisu katakan?" Sepasang alis pendeta tua itu menjungkit ke atas.
"Mungkin ketika kecil kau sempat terlantar, kemudian kau diambil oleh orang tuamu yang sekarang dan diasuhnya hingga besar.Tetapi karena berbagai alasan, mereka tidak pernah berterus terang kepadamu," kata pendeta itu kem¬bali.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir, urusan ini rumit sekali. Biarpun seratus kali didebatkan tetap saja tidak akan jernih persoalannya. Kecuali ber-temu langsung dengan kedua orang tuanya. Karena itu, Lie Cun Ju pun tidak memprotes apa-apa lagi. "Kita kesampingkan dulu masalah itu. Se¬karang dapatkah Taisu menjelaskan maksud Taisu menyuruh orang membawa aku kemari?" Pendeta itu tersenyum.
"Lo ceng tahun ini sudah berusia seratus dua belas tahun. Mana mungkin bisa salah mengenali orang. Tahukah sicu bahwa Anda ini sebenarnya merupakan reinkarnasi dari pimpinan kuil kami, yakni ketua Dan Juel."
Diam-diam Lie Cun Ju menggerutu dalam hati. "Bagus sekali. Sekarang aku malah dikatakan reinkarnasi dari ketua kalian. Kalian boleh percaya dengan segala macam reinkarnasi atau tidak, memangnya aku juga harus ikut-ikutan percaya." "Kata-kata Taisu tanpa bukti sedikit pun. Mana mungkin orang seperti aku ini reinkarnasi dari pemimpin kalian yang pasti sudah almarhum." Pendeta tua itu tidak marah. Bibirnya malah menyunggingkan seulas senyuman.
"Kami merupakan umat dari Oey kau di per-batasan Tibet. Sejak pendiri agama kami ribuan tahun yang lalu, kami sudah mempercayai adanya reinkarnasi. Memang waktunya tidak dapat diten-tukan kapan reinkarnasi dari pemimpin yang ter- dahulu bisa lahir ke dunia. Misalnya pemimpin kami Dan Juel. Beliau lahir kembali sembilan generasi kemudian dari pemimpin sebelumnya. Dan sampai sekarang ini, sudah tujuh puluhan tahun. Ternyata kami baru berhasil menemukan engkau. Dalam agama kami, setiap pemimpin yang wafat pasti akan terjadi reinkarnasi. Dari dulu sampai sekarang memang sudah demikian kodrat-nya. Mungkin sampai ribuan tahun kelak pun tetap sama."
"Rupanya kalian ini para lhama dari Oey kau. Dengan demikian persoalannya semakin tidak mungkin," ucap Lie Cun Ju sambil menatap pen¬deta tua itu dengan tercengang.
"Mengapa tidak mungkin?" tanya pendeta tua.
"Taruhlah aku memang putra kandung tocu Hek Cui to, Ci Cin Hu. Meskipun pemimpin kalian bisa reinkarnasi, mana mungkin lahirnya begitu jauh di wilayah Tiong goan?"
Sikap pendeta tua itu serius sekali.
"Kesanggupan Buddha hidup tidak dapat diukur dengan kebiasaan manusia. Buddha hidup lebih sakti dari dewa mana pun. Untuk menempuh jarak sejauh apa pun hanya dalam waktu sekejapan mata. Meskipun jarak antara perbatasan Tibet ini dengan Hek Cui to sangat jauh. Tetapi Buddha hidup dapat melakukannya dengan mudah," jawab pendeta tua dengan sikap serius.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir dalam hati. "Pendeta tua ini mempunyai keyakinan tersen-diri. Mungkin dalam agama mereka memang ada pelajaran semacam itu. Biarpun memprotes selama seratus tahun, tetap saja tidak bisa menggoyahkan pendirian mereka ...
Baru saja Lie Cun Ju mengambil keputusan untuk menghadapi pendeta tua itu dengan cara yang lain, dia mendengar orang itu sudah berkata lagi
"Tujuh puluh tahun yang lalu, menjelang akhir hidupnya, pemimpin kami Dan Juel menunjukkan jari telunjuknya ke arah utara. Sebagai tiang lo dalam sekte agama kami, aku segera mengajak beberapa orang sesepuh aliran agama kami untuk mencari bayi yang merupakan reinkarnasi dari Buddha hidup. Ternyata sampai berpuluh-puluh tahun kami tetap tidak berhasil menemukannya. Ini merupakan pengalaman yang tidak pernah terjadi dalam sejarah kami."
Perhatian Lie Cun Ju agak tertarik juga men¬dengar ceritanya
"Lalu?" sahutnya.
"Aku dan kedua Coan lun ong ini benar-benar kewalahan.
Akhirnya kami memohon petunjuk dad roh Buddha hidup." Diam-diam hati Lie Cun Ju merasa geli.
"Apakah Buddha hidup memberikan petun-juknya kepada kalian?"
"Tentu saja ada. Setelah selesai berdoa dan membaca kitab suci, tiba-tiba muncul seekor mer-pati putih. Dengan mengikuti arah terbang merpati itu kami sampai di pulau Hek Cui to. Kebetulan istri tocu pulau itu sedang melahirkan. Dan hari la-hir anak itu sama dengan hari lahir Buddha hidup."
"Apakah semuanya sama? Maksudku, dari hari tanggal dan jam kelahiran?"
"Tepat. Tidak ada perselisihan sedikit pun," sahut pendeta tua itu.
Bagi Lie Cun Ju, meskipun urusan ini agak janggal, tetapi mungkin saja hanya kebetulan. Di wilayah utara memang banyak merpati putih. Karena di perbatasan Tibet jarang menemuinya, maka mereka langsung menduga merpati putih itu merupakan petunjuk yang diberikan oleh Buddha hidup.
Lagi pula dunia ini luas sekali, setiap detik tentu ada bayi lahir. Mengapa harus heran apabila ada bayi yang lahir dalam waktu yang sama dan tanggal serta bulan yang sama dengan Buddha hidup.
"Pada waktu kedatangan kami, bayi itu baru berusia dua puluh tiga hari. Kami segera menjelas-kan maksud kedatangan kami untuk mengambil bayi itu. Tetapi ternyata Tocu Hek Cui to itu tidak mengijinkan."
Lie Cun Ju berpikir dalam hati. Justru aneh kalau dia memberikan bayinya begitu saja.
"Karena kandungan istri tocu Hek Cui to itu pernah dipinjam sebagai wadah lahirnya reinkar-nasi Buddha hidup kami, maka kami tidak berani memaksa dengan kekerasan. Akhirnya secara diam-diam kami membuat lukisan wajah tocu Hek Cui to itu dan bersiap akan kembali lagi sewaktu-waktu. Tidak disangka-sangka, belum lagi kami sampai di perbatasan Tibet, kami sudah mendengar berita bahwa seluruh keluarga tocu Hek Cui to itu tertimpa musibah. Hanya satu yang mendapat per-lindungan sehingga tidak ikut menjadi korban, yakni bayi keril itu."
"Kalau begitu, keselamatan si bayi berkat lin-dungan Buddha hidup kalian?" tanya Lie Cun Ju dengan tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli.
"Tentu saja. Begitu mendengar berita itu, kami tidak jadi kembali ke perbatasan Tibet, bahkan bergegas menuju Hek Cui to. Tetapi setelah meng-habiskan waktu hampir setahun lamanya, kami tidak berhasil menemukan bayi itu. Kami terpaksa kembali ke Tibet. Tetapi ada beberapa orang lhama yang mewakili kami untuk terus berusaha me-nemukan bayi itu. Sampai tahun yang lalu, baru ada wakil kami yang melaporkan bahwa mereka melihat seorang pemuda yang wajahnya mirip sekali dengan tocu Hek Cui to di masa mudanya. Karena itu pula, kami bergegas menuju ke Tiong goan untuk mencari pemuda itu."
Lie Cun Ju merenung sejenak. Rasa-rasanya tahun yang lalu dia memang pernah bertemu de¬ngan seorang pendeta berjubah kuning. Pasti pen-deta itu segera kembali ke perbatasan Tibet dan memberikan laporan kepada lhama tua ini. "Apa yang dikatakan Taisu menarik sekali. Tetapi sejak lahir sampai sekarang yang aku ketahui orang tuaku bermarga Lie, bukan Ci," kata Lie Cun Ju.
"Hal ini mudah sekali. Setiap kali Buddha hidup dilahirkan kembali, demi menjaga terjadinya kesalahan, kami harus mengujinya. Sekarang ini kami pun belum dapat memastikan bahwa sicu adalah reinkarnasi dari Buddha hidup kami. Meng- apa sicu tidak ikut saja kami kembali ke kuil untuk mengetahui kebenarannya?"
Toh aku sekarang sudah berada di perbatasan Tibet, andaikata ingin menolak juga tidak mungkin. Mengapa tidak mengikuti kemauan mereka saja? Pikir Lie Cun Ju dalam hati. Tetapi setelah direnungkan kembali, dia mengingat kon-disi tubuhnya yang sedang menderita luka parah. Entah berapa lama lagi ia dapat mempertahankan kehidupannya. Tanpa dapat ditahan lagi Lie Cun Ju menarik nafas panjang.
"Sebetulnya aku tidak keberatan berkunjung ke kuil kalian untuk mengadakan pengujian. Anggap saja sedang berpesiar. Tetapi malangnya, dua bulan yang lalu aku terluka parah. Mungkin tidak dapat menempuh perjalanan jauh, sedangkan aku sendiri tidak tahu berapa lama lagi aku dapat mempertahankan diri."
Pendeta tua itu memperhatikan Lie Cun Ju dengan seksama. Bibirnya tersenyum.
"Soal itu mudah diatasi."
Perlahan-lahan dia bangkit dari tempat duduknya. Jangan dilihat usianya yang sudah tua renta dan tubuhnya yang kurus kering. Ketika berdiri sikap gagahnya masih terlihat jelas. Tiba-tiba dia melangkah ke depan Lie Cun Ju. Tangan-nya menjulur ke depan dan menekan dada serta punggung pemuda itu.
Baru saja kedua tangannya menekan sebentar, tanpa disadari mulut Lie Cun Ju menjerit. Rupanya sepasang tangan pendeta tua itu begitu panasnya seperti batangan besi yang dibakar di atas api membara. Meskipun Lie Cun Ju sempat menjerit satu kali, tetapi dia segera sadar bahwa pendeta itu sedang menyembuhkan luka dalamnya dengan mengerahkan tenaga murni dalam tubuh¬nya.
Cepat-cepat dia memejamkan mata dan duduk diam-diam. Ditahannya rasa panas yang menye-ngat itu. Tidak lama kemudian, hawa yang terpan-car dari sepasang telapak tangan pendeta tua itu tidak begitu panas lagi. Bahkan lambat laun terasa ada serangkum hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya. Hal ini membuat hawa murni dalam tubuh Lie Cun Ju yang tadinya tidak dapat diedarkan menjadi lancar kembali.
Kurang lebih dua kentungan kemudian, hawa murni dalam tubuh Lie Cun Ju sudah dapat meng¬alir dengan lancar. Tetapi pendeta tua itu masih terus mengerahkan hawa murninya. Lie Cun Ju merasa tubuhnya nyaman sekali. Dalam waktu yang singkat, bukan saja tenaganya pulih kembali, bahkan lebih hebat dari sebelumnya.
Kalau digantikan orang lain yang mengalami kejadian itu, tentu ia akan membiarkan pendeta tua itu terus menyalurkan hawa murninya karena me-ngetahui tenaga dalam orang tua itu sudah men-capai taraf kesempurnaan. Tetapi Lie Cun Ju bukan jenis manusia seperti itu. Dia sadar hawa murni pendeta tua itu sudah terkuras banyak untuk menyembuhkannya. Ia tidak ingin melihat pendeta tua itu mengalami kerugian terlalu banyak, karena itu dia segera membuka matanya dan berkata.
"Terima kasih, Taisu. Tenaga dalamku sudah pulih kembali."
Pendeta tua itu tersenyum lembut. Sepasang tangannya dilepaskan dan menggeser satu langkah. Cepat-cepat Lie Cun Ju meloncat bangun dan ber-jalan ke depan beberapa langkah. Ternyata tenaga dalamnya sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Hati Lie Cun Ju kagum sekali terhadap kekuatan tenaga dalam pendeta itu. Menurut adat istiadat dunia bu lim, sudah seharusnya Lie Cun Ju menjatuhkan diri berlutut di depan pendeta tua itu sebagai per-nyataan terima kasihnya. Dia segera menekuk kedua lututnya, tetapi belum sempat niatnya ter-capai, tiba-tiba ada serangkum kekuatan yang tidak berwujud menahan gerakannya.
Melihat pendeta tua itu hanya mengibaskan lengan bajunya sedikit untuk menahan gerakan tubuhnya, hati Lie Cun Ju semakin kagum. Ia memandangi wajah si pendeta tua yang sudah penuh dengan kerutan beberapa saat lamanya.
"Taisu, seandainya aku memang penjelmaan dari Buddha hidup kalian, apakah kalian semua harus menuruti perintahku?"
"Tentu saja. Sebagai seorang pemimpin dalam kuil kami, pasti mempunyai kekuasaan yang tiada duanya. Pokoknya setiap anggota agama kami tidak ada yang berani menentang perintah yang diturunkan." Pendeta itu menjawab sambil ter- senyum lembut.
Hati Lie Cun Ju langsung tergerak. Seandainya tan pa alasan yang jelas tiba-tiba dia diangkat men-jadi pemimpin agama ini, bukankah dia akan mem-punyai banyak sekali bawahan yang berilmu tinggi? Mungkin pemimpin mereka yang dahulu tidak per-nah menginjakkan kakinya di wilayah Tiong goan. Karena itu tidak ada yang mengetahui kehebafan mereka. Seandainya ia menjadi pemimpin mereka, biarpun ilmu kepandaiannya sendiri tidak meng-alami kemajuan sedikit pun, tetapi mungkin namanya bisa disejajarkan dengan tokoh- tokoh kelas satu lainnya.
Pikiran Lie Cun Ju melayang-layang. Berpikir sanipai di sini, dia menjadi geli sendiri. Karena tadi dia masih tidak mempercayai apa yang dinamakan Buddha hidup menjelma kembali segala macam, sekarang dia bahkan mempunyai minat untuk men¬jadi pemimpin mereka. Lie Cun Ju segera mem-huang pikiran itu jauh-jauh.
"Tadi Taisu mengatakan bahwa benar atau tidakoya penjelmaan Buddha hidup harus meialui pengujian. Entah dengan cara bagaimana Taisu mengujinya?"
"Kami mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang merupakan penjelmaan Buddha hidup tidak mengingat kembali masa lampaunya. Meskipun demikian, pasti ada tertinggal naluri yang tajani akan benda kesukaannya seniasa hidup. Sedangkan semasa hidup Buddha hidup, beliau sangat meriyukai sebuah kitab. Boleh dikatakan kitab itu tidak pernah terpisah darinya sedetik pun. Di dalam kuil, kami sudah menyiapkan dua puluh kitab yang dilihat dari iuar bentuknya sama. Anda hanya boleh memilih satu di antaranya dan hanya dengan sekali gerakan saja. Apabila pilihan Anda benar, maka tidak diragukan lagi bahwa Andalah penjelmaan Buddha hidup kami dan akan men-dapat sanjungan dari seluruh umat kuil kami."
Mendengar keterangan pendeta itu, Lie Cun Ju langsung tertawa getir. Dalam dua puluh kitab yang bentuknya dari Iuar sama semua, dalam sekali gerak harus mengambil satu yang tepat. Memangnya itu pekerjaan mudah? Lebih baik iupakan saja ingatan ingin menjadi pemimpin mereka. Toh ia sudah mendapatkan keuntungan besar dari pendeta tua itu. Mengapa masih timbul niat serakah dalam hati? Lagipula, seandainya ia menjadi pimpinan mereka, bukankah ia harus men-cukur kepalanya dan tidak boleh menikah seumur hidup. Mana mungkin dia sanggup melepaskan Tao Ling yang demikian ia cintai? Pikirnya dalam hati.
Karena itu Lie Cun Ju tidak mengajukan per-tanyaan lagi. Tampak pendeta tua itu member! isyarat dengan gerakan tangan. Belasan pendeta segera muncul dan mengajak Lie Cun Ju naik ke atas rakit. Pendeta tua dan kedua rekannya pun ikut keluar. Daiam waktu yang slngkat mereka sudah membereskan tenda besar itu dan menempuh perjalanan.
Lie Cun Ju melihat setiap pendeta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Sebetulnya di dalam sebuah aliran keagamaan, seperti Siau lim si, memang terdapat sebagian tokoh berilmu tinggi. Tetapi kalau setiap pendetanya semua berilmu tinggi, hal ini belum pernah ditemuinya.
Tiba-tiba Lie Cun Ju teringat kata-kata pendeta tua tadi. Bahwa semasa hidupnya Buddha hidup senang sekali terhadap sebuah kitab yang siang malam tidak pernah terpisah darinya. Kalau menurut teorinya, seorang Buddha hidup memang harus mempunyai pengetahuan yang lebih luas daripada yang lainnya. Karena itu, sebuah kitab saja tidak mungkin bisa menambah seberapa banyak pengetahuannya. Tetapi menurut cerita pendeta tua tadi, justru hanya satu kitab itu yang siang malam selalu dibaca oleh Buddha hidup semasa hidupnya. Mungkinkah kitab itu berisi ilmu pintu Buddha yang mengandung kesaktian sehingga Buddha hidup itu terus membaca untuk memahaminya?
Lie Cun Ju hanya berpikir selintasan saja. Dia sadar dirinya toh tidak mungkin bisa mendapatkan kitab itu. Buat apa dia memusingkan kepalanya sendiri?
Tentu saja apabila kebetulan dia berhasil memilih kitah yang betul dari dua puluh kitab yang disediakan, bukan saja kitab itu menjadi miliknya, malah dia akan diangkat menjadi pemimpin agama mereka.
Tapi, bukankah harapan itu terlalu tipis?
Sementara itu seratus lebih pendeta berjubah kuning sudah mulai melanjutkan perjalanan. Satu hari kemudian mereka sudah sampai di sebuah tempat yang tampaknya seperti kaki gunung. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kira-kira di hari keempat mereka sudah sampai di atas puncak sebuah gunung. Lie Cun Ju mencoba melihat ke bawah. Hatinya langsung ter-eekat. Ternyata di tengah-tengah terdapat sebuah lembah yang luasnya sulit diperkirakan. Sebagian dari lembah itu merupakan sebuah danau. Airnya bukan main jernihnya. Bahkan pegunungan di sekitarnya dapat terlihat jelas di permukaan air itu. Ditambah lagi langit yang biru. Benar-benar merupakan sebuah panorama alam yang indah sekali.
Di tepi danau tumbuh berbagai jenis bunga-bunga liar. Ada beberapa ekor rusa yang sedang bermain-main di sekitar danau. Lie Cun Ju merasa dirinya berada di nirwana. Tidak jauh dari danau itu tampak sebuah kuil yang mentereng. Dari luar-nya saja sudah berkesan angker dan timhul rasa hormat.
Lie Cun Ju rnemperhatikan keadaan di sekirar tempat itu sejenak, Diam-diam dia berpikir dalam hati. Andaikata bisa hidup di tempat yang demikian indah meskipun hanya sebagai seorang kacung, rasanya jauh lebih baik daripada hidup di dunia bu lim yang setiap saat menghadapi bahaya hesar dan perebutan nama kosong.
Hatinya merasa kagum sekali.
“Taisu apakah itu kuil kalian?” Tanya Lie Cun Ju
Pendeta tua itu menganggukkan kepalanya. Dari kuil terdengar suara pembacaan ayat suci. Kemudian dari dalamnya berjalan ke hiar dua baris lhama dengan membentuk melebar ke samping seperti burung membentangkan sayapnya. Mereka berhenti di depart kuil dan mendongakkan kepalanya menatap ke arah mereka.
Pendeta tua itu menarik nafas panjang. "Agama kami tidak mempunyai pemimpin selama hampir tujuh puluh tahun. Para umat di kuil kami sudah lama sekali mengharapkan datangnya seorang pemimpin yang rnerupakan pen-jelmaan dari Buddha hidup."
"Taisu mempunyai kepandaian yang tinggi, tagipuia meiniliki hati yang vvelas asih serta mementingkan kepentingan umat. Mengapa bukan Taisu saja yang menjadi pemimpin di kuil ini?" tanya Lie Cun Ju.
Mata pendeta tua itu langsung mendelik.
"Mengapa Ci sicu berbicara seenaknya? Kalau bukan penjelmaan Buddha hidup, niana boleh men¬jadi pemimpin di kuil kanii? Lagipula sebetulnya lo ceng hanya seorang pendeta biasa, karena kematian pemimpin yang terdahulu, lama sekali kuil kami tidak mempunyai pemimpin. Lambat laun lo ceng pun menjadi orang yang tertua di dalam kuil ini. Apabila ada suatu urusan, lo ceng lah yang dimin-takan pendapatnya sebagai sesepuh. Tetapi bukan berarti lo ceng boleh mengangkat diri jadi ketua dengan seenaknya."
Mendengar keterangan pendeta tua itu, hati Lie Cun Ju kembali tergerak.
"Kalau begitu, di dalam kuil kalian, sekarang hanya tinggal Taisu sendiri yang pernah mendapat didikan langsung dari Buddha hidup Dan Juel?"
"Tidak. Kedua Coan lun ong juga mendapat didikan langsung dari heliau. Tentu Ci sicu mengira usia mereka belum mencapai tujuh puluhan tahun, bukan? Sedangkan Buddha hidup telah meninggal hampir tujuh puluh tahun yang lalu. Sebetulnya usia keduanya sudah di atas sembilan puluh tahun, hanya saja dulu usia mereka masih terlalu muda. Coan lun ong terdahulu yang ikut mencari bayi penjelmaan Buddha hidup."
"Taisu sekalian memiliki kepandaian yang tinggi. Apakah Buddha hidup juga yang meng-ajarkan ilmu itu?"
"Benar. Agama kami tadinya tidak mengenal latihan pernafasan untuk menghimpun tenaga da lam. Karena itu sering mendapat perlakuan semena-mena dari orang luar. Tetapi sejak Buddha hidup Dan Juel yang memegang tampuk pimpinan, semuanya jadi berubah." Lie Cun Ju hanya menganggukkan kepalanya. Sekarang dia semakin yakin bahwa kitab kesukaan Buddha hidup yang menurut cerita pendeta tua ini tidak pernah terpisah darinya pasti merupakan sebuah kitab pusaka yang isinya mengenai ilmu silat. Ketika pembicaraan berlangsung, keduanya turun dari puncak gunung dan sebentar saja sudah sampai di tepi danau.
Suara pembacaan doa dari kedua baris pendeta itu semakin nyaring. Lie Cun Ju sarna sekali tidak mengerti apa yang dibaca oleh mereka. Tetapi kalau dilihat dari mimik wajah mereka yang seritis terselip keriangan, dia dapat menduga bahwa pendeta-pendeta itu sedang membaca doa penyam- butan atas dirinya.
Lie Cun Ju mengikuti pendeta tua itu masuk ke dalam kuil. Tampak di kedua sisi pendopo terdapat lukisan pada dinding. Lukisan itu seperti mengandung makna Buddha hidup yang sedang mengajar para umatnya. Sedangkan di tengah-tengah pen¬dopo terdapat tiga buah patung besar yang melam- bangkan Trimurti. Suasana di dalam kuil itu terasa sangat berwibawa.
Lie Cun Ju sendiri bukan umat agama Oey kau. Tetapi begitu masuk ke dalam kuil itu, timbul juga rasa hormatnya. Pendeta tua itu mengajak Lie Cun Ju ke ruangan belakang. Ruangan itu sunyi senyap dan hening sekali. Lie Cun Ju ditinggalkan dalam ruangan itu. Pendeta tua meninggalkannya entah kemana. Tidak lama kemudian ada pendeta cilik yang membawa makanan dan minuman untuk Lie Cun Ju.
Selama tiga hari berturut-turut, Lie Cun Ju beristirahat di dalam ruangan itu. Lukanya sudah sembuh sama sekali. Pendeta tua itu juga tidak pernah kelihatan. Sampai hari keempat, terdengar suara genta bertalu-talu, juga terdengar suara ketukan bok hi. Asap hio wangi bertebaran sehingga menimbulkan bau harum di mana-mana. Pendeta tua dan kedua Coan lun ong mengiringi Lie Cun Ju ke pendopo yang luas sekali.
Lie Cun Ju melihat keadaan di pendopo itu gelap gulita. Paling tidak ada lima ratusan pendeta yang menundukkan kepalanya sambil membaca doa. Di atas undakan tangga terdapat sebuah meja dan sebuah kursi. Di atas meja berjejer dua puluh kitab yang bentuknya dan warnanya serupa. Kitab- kitab itu ditempatkan di dalaui sebuah kotak yang bentuknya juga sama.
Pendeta tua dan kedua coan lun ong membawa Lie Cun Ju ke belakang meja. Mereka pun berlutut di kedua sisi pemuda itu. Saat itu di seluruh ru-angan pendopo yang luas itu hanya Lie Cun Ju seorang berdiri.
Dia tahu bahwa hari kelahirannya yang sama dengan Buddha hidup membuat umat-umat agama itu mengira ia sebagai penjelmaan Buddha hidup. Sekarang, apabila dia berhasil memilih kitab yang tepat dari antara dua puluh kitab yang berjejer di depannya itu, maka ia akan segera diangkat men-jadi pemimpin kuil ini. Karena itu, bagi para umat agama itu, detik-detik sekarang justru penting sekali bagi kelanjutan agama mereka.
Pendeta tua itu berlutut di sisinya. Tidak lama kemudian, ia mengangkat tangannya ke atas. Suara genta, pembacaan doa atau ketukan bok hi pun berhenti seketika. Suasana jadi sunyi senyap padahal di da lam ruangan itu terdapat begitu banyak orang. Dari hal itu dapat dibuktikan bahwa para pendeta Oey kau mendapat didikan disiplin yang keras. Mereka sangat mengagungkan agamanya sendiri.
Terdengar pendeta tua itu membaca doa de¬ngan suara yang berat. Selesai berdoa, para umat baru bangkit serentak. Pendeta tua itu juga berdiri dan menghampiri Lie Cun Ju.
"Harap calon pemimpin Ci sicu mulai memilih kitab!" Padahal Lie Cun Ju tadinya menganggap apa yang dialaminya benar-benar seperti sebuah per-mainan saja. Walaupun hatinya juga penasaran, mengapa sejak Buddha hidup Dan Juel yang memimpin agama ini, seluruh pendeta Oey kau bisa mengerti ilmu silat? Dia juga ingin tahu kitab apa sebenarnya yang semasa hidupnya tidak pernah terpisah dari Buddha hidup itu?
Di samping itu, Lie Cun Ju juga tahu dirinya tidak mungkin hisa menjadi pemimpin agama mereka. Dia toh tidak punya kesaktian untuk memilih dengan tepat salah satu di antara dua puluh kitab yang berjejer di depannya. Karena itu, dia hanya ingin urusan itu cepat selesai agar dia juga dapat kembali ke Tiong goan secepatnya. Kemudian berusaha menemukan Tao Ling dan melewati hari-hari bahagia bersama gadis itu, daripada menjadi pemimpin agama yang tidak dimengertinya itu.
Karena itu, ketika mendapat perintah dari si pendeta tua agar dia mengambil salah satu kitab yang berjejer di atas meja, Lie Cun Ju tidak pikir-pikir lagi. Sembarangan saja ia mengulur tangan¬nya untuk mengambil salah satu dari kitab itu
Lie Cun Ju toh tidak tahu kotak mana terdapat buku yang asli dan kotak mana yang berisi kitab palsu. Tidak ada hal apa pun yang dapat dijadikan pegangan baginya untuk memilih. la mengulurkan tangannya untuk mengambil salah satunya. Tetapi belum lagi jari tangannya sempat menyentuh kitab itu, tiba-tiha jalan darah di lengannya terasa ngilu Rasa ngilu itu membuat tangannya terangkat kem-hali.
Hati Lie Cun Ju merasa aneh, cepat-cepat dia mendongakkan kepalanya. Tampak ratusan umat sedang memandang ke arahnya. Kecuali si pendeta tua dan kedua coan lun ong yang merangkapkan sepasang telapak tangan dan menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia tidak berhasil men-cari siapa kira-kira orang yang mengisenginya. Tetapi Lie Cun Ju sadar sekali ketika lengannya tadi terasa ngilu. Kalau tidak, kotak itu pasti sudah diambilnya.
Setelah mengedarkan pandangan matanya sejenak, Lie Cun Ju memalingkan kepalanya kem-bali. Tiba-tiba saja hatinya tergerak. Dia merenung sejenak. Urusan itu tampaknya ada terselip keanehan. Dan hanya ada satu kemungkinannya. Pendeta tua dan kedua Coan lun ong pasti tahu di mana letak kitab yang asli.
Dan rasa ngilu tangannya tadi, pasti hasil per-buatan salah seorang dari mereka pula. Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Mengenai mengapa mereka melakukannya, hanya ada kemungkinan.
Pertama, orang itu tidak suka Lie Cun Ju menjadi pemimpin kuil itu. Dengan kata lain, gerakan tangannya yang sembarangan tadi mungkin memilih kitab yang asli. Tetapi rasanya tidak mungkin demikian kebetulan.
Sedangkan yang kedua, kemungkinannya lebih besar. Orang itu justru berharap Lie Cun Ju men¬jadi pemimpin kuil itu. Karena itu, ketika melihat ia mengambil kitab yang salah, orang itu segera turun tangan mencegahnya. Dengan pikiran demikian, Lie Cun Ju teringat kembali kata-kata yang pernah diucapkan pendeta tua. "Umat kuil kami sudah lama menantikan kedatangan pemim¬pin yang merupakan penjelmaan dari Buddha hidup kami." Mungkin dialah yang turun tangan mencegah Lie Cun Ju barusan.
Meskipun tampaknya pendeta tua itu sedang merangkapkan sepasang telapak tangannya dan kepalanya menunduk, tetapi dengan kekuatan tenaga dalamnya, menotok jalan darah orang de¬ngan tan pa bergerak sedikit pun bukan hal yang sulit baginya.
Lagipula jarak antara pendeta tua itu dengan dirinya sangat dekat. Bisa saja ia turun tangan tanpa diketahui oleh ratusan pendeta lainnya. Lie Cun Ju tidak berpikir lama-lama. Dia kembali mengulurkan tangannya untuk mengambil ko-tak yang ada di sebelah kanannya. Tetapi apa yang dialaminya kali itu sama seperti yang pertama. Lengannya langsung terasa ngilu dan tangannya otomatis terangkat ke atas.
Peristiwa itu mungkin hanya diketahui oleh Lie Cun Ju dan orang yang turun tangan. Sedangkan bagi pandangan orang lain, Lie Cun Ju seakan sedang mempertimbangkan kitab mana yang harus diambilnya. Meskipun tangannya sudah menjulur ke depan, tetapi kemudian ia membatalkannya karena kurang yakin. Demikianlah anggapan pendeta-pendeta lainnya terhadap sikap yang di-perlihatkan Lie Cun Ju.
Karena itu pula, hati para pendeta itu begitu tegangnya sehingga telah mencapai titik puncak-nya. Meskipun di da lam ruangan itu terdapat lima ratusan pendeta, suasananya justru demikian he-ning mencekam. Mereka menantikan dengan hati berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya Lie Cun Ju dicegah meng¬ambil kotak yang dipilihnya. Sekarang dia yakin bahwa orang itu mengharapkan dirinya menjadi pimpinan kuil. Sebab tidak mungkin dua kali dia berhasil atau secara kebetulan mengambil kitab yang asli, sedangkan kitab itu hanya satu yang aslinya. Dan bila orang itu tidak ingin menjadi pimpinan kuil mengapa orang itu sampai dua kali turun tangan.
Saat itu juga perasaan Lie Cun Ju menjadi heran, tegang tetapi terselip sedikit kegembiraan. Sebab, apabila ditilik dari keadaan yang berlang-sung, tidak diragukan lagi ia akan menjadi pim¬pinan kuil ini.
Lie Cun Ju menarik nafas dalam-dalam. Dia menjulurkan tangannya kembali untuk meraih se-buah kotak. Setiap kali tangannya hampir menyen-tuh kotak itu, lengannya pun terasa ngilu. Sampai kedua belas kalinya tangan pemuda itu baru bisa mengambil kotak yang dipilihnya dengan lancar. Pendeta tua itu menyambut kotak yang dipilih oleh Lie Cun Ju. Dia membuka halaman pertama kitab itu kemudian ditunjukkannya kepada seluruh hadirin. Lie Cun Ju melirik dengan ekor matanya mengintip kitab itu. Ternyata kitab itu tipis sekali. Paling-paling hanya berisi beberapa halaman.Di atasnya tertulis 'Leng Can Po liok'. (Peninggalan pusaka keramat).
Tamat