Pendekar Gila Dari Shan-tung Bab-10 : Perilaku Pejabat Negara

Bab-10 : Perilaku Pejabat Negara

SEMENTARA itu, ketika Thian-te Lo-mo melihat gerakan kipas Bu Kam, ia maklum bahwa muridnya takkan kuat menghadapi para pengeroyoknya, maka ia lalu tertawa terkekeh-kekeh dan tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu sudah berada di depan Im-yang Po-san Bu Kam.

“Ha ha, kipas mustikamu itu ternyata makin lihai saja!” katanya kepada Bu Kam yang memandang marah.

“Orang tua gila! Kau masih belum mati? Kerjamu hanya mengacau saja. Sungguh-sungguh orang gila yang patut dibasmi karena berbahaya!”

Mendengar ini, Thian-te Lo-mo tertawa makin keras dengan hati geli. “Memang, memang benar dan tepat sekali syair itu. Bu Kam, kau belum mendengar syair yang dikarang oleh muridku yang pandai ini? Dengar!

Dunia penuh orang gila yang waras disebut gila yang gila merajalela

“Kau memang benar-benar gila dan miring otakmu, Thian-te Lo-mo, kata Bu Kam sambil menggeleng- gelengkan kepalanya.

“Memang, memang! Yang waras dimaki gila, demikianlah kelakuan orang gila! Im-yang Po-san! Kau lihat, kawan-kawanmu yang gila ini datang-datang berusaha keras untuk membunuh aku dan muridku. Hanya orang-orang gila saja yang dapat berbuat demikian!”

“Kau dan muridmu keduanya gila dan datang mengacau di gedung Ong-ya! Tentu saja kami berusaha menangkap atau membunuhmu!”

“Kami datang bukan mengacau! Aku hanya ingin menikmati dan mengagumi masakan dan hidangan pangeran Ong yang ternyata sama sekali tidak enak karena terbuat dari pada bahan-bahan yang buruk dan busuk! Muridku datang untuk menjewer telinga Ong Tai Kun yang ternyata terbuat dari bahan yang lemah dan buruk pula sehingga menjadi putus! Sudah menjadi bagiannya karena ia terlampau banyak mengumpulkan kembang-kembang di tamannya. Tidak perduli betapa kembang-kembang yang seharusnya mekar dan semerbak mengharum di tempat lain itu menjadi layu dan rusak di dalam tamannya yang kotor. Kau masih mau bilang bahwa kami berdua hendak mengacau? Ha ha ha! Kau lihat hanya jenggotmu yang makin panjang akan tetapi pikiranmu makin pendek dan sempit saja, Bu Kam!”

Bu Kam baru saja datang, tentu saja dia tidak mengerti maksud omongan kakek itu yang menyindir tadi sebelum ia datang, ia telah mendengar percakapan pangeran Ong Tai Kun dan pangeran Lu Goan Ong yang pada saat itu telah mendahului pulang ke gedungnya karena ketakutan. Maka kini mendengar ucapan kakek ini, ia membentak marah.

“Dasar orang gila, omongannya juga tidak keruan. Thian-te Lo-mo, kau menyerahlah untuk kutangkap bersama muridmu, agar kau mendapat pengadilan negeri yang selayaknya.”

“Kau mau menangkapku? Ha ha ha! Aneh, aneh! Bagaimana kau mau menangkapku, coba hendak kulihat!” kata Thian-te Lo-mo sambil mentertawakannya.

“Kalau tak dapat menangkap hidup-hidup, aku pasti berhasil menangkapmu dalam keadaan tidak bernyawa!” kata Bu Kam yang segera menyerang dengan kipas di tangan kirinya yang berwarna putih.

Thian-te Lo-mo maklum akan lihainya kipas putih ini yang jauh lebih lihai dari kipas hitam, maka ia mundur dua langkah menghindarkan diri dari serangan lawan, lalu menggerakkan cambuknya membalas serangan lawan. Cambuknya bergerak-gerak di udara dan melingkar-lingkar bagaikan ular, lalu meluncur ke arah kipas putih di tangan kanan Bu Kam dengan mengeluarkan suara keras.

Ujung cambuknya bertemu dengan batang kipas, bunga api memercik keluar dan Bu Kam merasa betapa tangannya agak gemetar! Diam-diam ia menarik napas panjang karena dari pertemuan senjata ini saja ia dapat mengetahui bahwa dalam hal tenaga lweekang ia masih harus mengaku kalah dengan kakek gila ini. Akan tetapi ia mengandalkan permainan kipasnya, maka ia lalu menerjang dan kedua kipas di tangannya bergantian melancarkan serangan kilat yang amat berbahaya.

Sambil terkekeh-kekeh Thian-te Lo-mo menghadapi serangannya ini dan tak lama kemudian dua orang berilmu tinggi ini saling serang dengan hebatnya. Yang luar biasa adalah sepasang kipas Im-yang Po-san Bu Kam, karena ia bergerak cepat dengan kedua kipas dikembangkan, maka di dalam ruangan itu angin menyambar-nyambar dengan hebat sehingga pakaian orang-orang yang berada di dekat tempat pertempuran itu berkibar-kibar!

Bu Tong Cu dan Lee Siat lalu membentak hebat dan maju mengeroyok Tiong San lagi sehingga kini pertempuran menjadi lebih hebat dari pada tadi. Para perwira hanya menonton dan tidak berani membantu, sedangkan Ban Kong yang memiliki kepandaian agak tinggi, sungguhpun kini totokan ujung pecut pada jalan darah yan-goat-hiat yang dilakukan oleh Tiong San tadi telah pulih kembali dan ia telah mengambil kembali ruyungnya, namun ia tidak berani maju lagi karena maklum bahwa tidak ada gunanya maju lagi setelah ia menerima pukulan tadi.

Ia maklum bahwa pemuda murid kakek gila itu tidak berniat jahat, oleh karena kalau pemuda itu mempunyai maksud membunuh, tentu sabetan cambuk yang merupakan totokan tadi dapat diperkeras dan nyawanya takkan tertolong lagi! Setelah orang berlaku murah hati tidak hendak membunuhnya, apakah setelah dikalahkan ia ada muka untuk maju lagi?

Setidaknya Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong adalah seorang gagah perkasa yang namanya telah menjulang tinggi dan ternama sekali sampai di seluruh bagian Tiongkok, maka tentu saja ia masih memiliki keangkuhan dan tidak mau berlaku rendah. Dengan bersungut-sungut ia duduk saja menonton pertempuran dengan pengharapan supaya kawan-kawannya dapat membalaskan kekalahannya.

Akan tetapi pengharapan itu sia-sia dan ia dikecewakan oleh kenyataan bahwa setelah pertempuran lebih lima puluh jurus, nampak nyata betapa Im-yang Po-san Bu Kam terdesak hebat oleh cambuk Thian-te Lo- mo. Memang kedua kakek ini mempunyai ilmu silat yang sama sifatnya, yakni keduanya berdasarkan sifat- sifat Im dan Yang. Ilmu cambuk Im-yang-joan-pian berhadapan dengan ilmu kipas Im-yang Po-san, akan tetapi ternyata bahwa ilmu kipas itu masih kalah lihai.

Memang, dalam menghadapi lawan yang kurang pandai, sepasang kipas Im-yang itu benar-benar hebat sekali karena angin kebutannya saja cukup menjatuhkan lawan. Akan tetapi apabila menghadapi lawan yang sama kuatnya, ternyata bahwa cambuk Im-yang lebih praktis. Cambuk ini dengan tekanan tenaga lweekang dapat digerakkan sesuka hati, dapat dibikin lemas dapat dibikin keras dan pula mudah untuk merampas senjata lawan dan dipergunakan untuk penyerangan dari jarak jauh. Tingkat kepandaian Im-yang Po-san Bu Kam masih berada di bawah tingkat Thian-te Lo-mo yang benar-benar telah menduduki puncak yang tinggi.

Apabila ia menghadapi Tiong San, maka tentu akan terjadi pertempuran yang amat menarik dan ramai sekali. Memang, dalam perbandingan tenaga dan pengalaman, pemuda itu masih kalah jauh, akan tetapi ilmu cambuknya tidak kalah hebat oleh gurunya sendiri dan pemuda itu memiliki kecerdikan luar biasa sehingga dalam ilmu cambuknya, ia dapat menciptakan gerakan-gerakan Khusus yang timbul dari kecerdikan otaknya.

Buktinya, biar dikeroyok dua oleh dua orang perwira kelas dua dari istana kaisar, ia dapat melayaninya dengan amat baiknya, dan sama sekali tidak terdesak, walaupun harus diakui bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan kedua orang lawannya itu.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo dan ujung cambuknya telah berhasil melibat kedua kipas di tangan Bu Kam! Im-yang Po-san Bu Kam berdaya upaya untuk menarik kipasnya supaya terlepas dari libatan cambuk, akan tetapi tak berhasil!

Thian-te Lo-mo masih belum mengerahkan seluruh tenaganya, karena dengan tangan kanan ia menahan cambuknya dan kini sambil tersenyum-senyum walaupun tidak mengeluarkan suara, ia bertindak maju mendekati lawannya! Sambil maju, tiap langkah ia melibatkan cambuk pada pergelangan tangannya hingga dekat, cambuk itu makin pendek.

Im-yang Po-san Bu Kam terkejut sekali melihat betapa kakek yang lihai itu makin mendekatinya, akan tetapi ia tidak berdaya. Kedua tangannya memegang sepasang kipasnya dan ia tidak berani melepaskan kipas itu karena sekali melepaskan sebelah tangan, kipas itu keduanya tentu akan terampas. Maka ia tetap berdiri tegak sambil mempertahankan kedua kipasnya yang hendak dirampas.

Kini Thian-te Lo-mo telah berada di depannya dan kalau ia mau, dengan tangan kirinya yang bebas, dengan mudah saja ia akan dapat mencelakakan lawannya!

Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang melihat keadaan Bu Kam, menjadi terkejut dan khawatir, maka tanpa banyak pikir lagi ia melompat maju dan memukulkan ruyungnya pada kepala Thian-te Lo-mo dalam usaha menolong kawannya itu! Akan tetapi, kakek itu lalu mempergunakan pangkal cambuknya yang kini bergantungan dari tangan kanan, gagang itu dipegang dengan tangan kiri dan disabetkan untuk menangkis ruyung yang menyambar kepalanya.

Ban Kong menjerit kesakitan karena ketika gagang cambuk itu beradu dengan ruyungnya, ruyungnya terpental keras dan gagang itupun terpental. Akan tetapi gagang cambuk terpentalnya aneh, bukan ke belakang, akan tetapi ke samping dan tepat menghantam pahanya!

Ban Kong merasa betapa paha kakinya seakan-akan remuk tulangnya dan tanpa dapat ditahan lagi ia terhuyung ke belakang, kemudian ia mundur dengan terpincang-pincang! Perwira yang sial ini untuk kedua kalinya mendapat pukulan dan sekali ini pahanya menjadi matang biru dan bengkak!

Setelah dapat merobohkan Te-sam Tai-ciangkun yang berlaku lancang itu, Thian-te Lo-mo lalu mengulurkan tangan kirinya dan mencengkeram jenggot Im-yang Po-san Bu Kam yang panjang sambil berkata, “Bu Kam, jenggotmu ini terlampau panjang, tidak pantas untukmu!”

Sambil berkata demikian, ia melakukan tarikan tiba-tiba yang keras dan “Brett!” jenggot yang panjang itu telah putus dan berada di tangannya! Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal dan melompat mundur sambil melepaskan libatan ujung cambuknya pada dua kipas lawannya yang berdiri kebingungan dengan wajah pucat!

Thian-te Lo-mo melompat ke sana sini dan pada tiap meja yang masih penuh makanan, akan tetapi yang telah ditinggalkan oleh para tamu yang tadi duduk mengelilinginya, ia melemparkan beberapa helai jenggot itu sambil berkata,

“Pangeran Ong, hidanganmu buruk dan busuk! Kurang bumbu, kalau ditambah beberapa helai jenggot ini sebagai pengganti misoa, tentu lebih mendingan rasanya!” sebentar saja jenggot sekepal di tangannya itu habis beterbangan dan masuk ke dalam mangkok-mangkok yang penuh masakan di atas beberapa meja itu! Masih saja kakek itu tertawa-tawa senang, lalu berkata kepada muridnya yang masih bertempur seru melawan Bu Tong Cu dan Lee Siat,

“Anak gendeng, kau masih saja bergembira dan bermain-main? Ayo kita pergi, lebih baik kita mencari makanan di dapur kaisar, tentu banyak hidangan lezat!” Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dan tahu-tahu ia telah menarik tangan Tiong San diajak melompat keluar dan terus melayang ke atas genteng!

Semua perwira, terutama Bu Tong Cu, Lee Siat, dan Bu Kam sebagai perwira-perwira yang berpangkat si- wi atau pengawal istana, merasa terkejut sekali mendengar ucapan ini karena mereka menduga bahwa kakek gila itu tentu akan mengacau di istana!

Dan hal ini adalah tanggung jawab mereka, di samping perwira-perwira lain di istana. Maka mereka tidak mau memperdulikan lagi urusan di gedung pangeran Ong itu dan segera melompat keluar pula untuk secepat mungkin kembali ke istana membuat persiapan untuk menjaga istana kaisar dari gangguan orang- orang gila itu!

Sementara itu, setelah berada di atas genteng bersama suhunya, Tiong San merasa puas akan apa yang telah ia lakukan. Dengan memberi hukuman potong telinga, ia merasa yakin bahwa pangeran Ong Tai Kun akan merasa kapok untuk mengganggu anak bini orang lain dan ia merasa puas melihat betapa pelajaran yang telah dipelajari dan dilatihnya dengan tekun dan susah payah ternyata tidak mengecewakan.

Akan tetapi, hatinya masih berdebar kalau ia teringat kepada Khu Sin dan Thio Swie, kedua sahabat karibnya itu. Tadi pangeran Lu Goan Ong menyebut nama mereka, maka ia menduga bahwa kedua kawannya itu pasti masih berada di kota raja, dan menurut percakapan mereka dahulu setelah bertemu dengan pangeran Lu, banyak kemungkinan kedua sahabatnya itu kini mempunyai hubungan dengan pangeran itu!

Ia teringat pula betapa Thio Swie dulu tergila-gila kepada seorang gadis cantik bernama Siu Eng yang dulu berada pula di perahu pangeran Lu! Timbul keras keinginan hatinya untuk mencari dan menjumpai kawan- kawannya yang telah lama tidak dilihatnya itu.

“Suhu, kita sekarang akan ke mana?”

“Bodoh, perutku lapar sekali! Aku hendak makan di dapur kaisar!”

Akan tetapi Tiong San tidak mempunyai nafsu untuk makan besar pada saat itu. “Suhu, teecu tidak ingin makan hidangan yang lezat-lezat! Melihat masakan sekian banyaknya di gedung tadi, teecu sudah merasa kenyang!”

Suhunya tertawa geli dan berkata, “Kalau begitu, biar aku sendiri yang makan di sana.”

“Teecu ingin sekali mencari dua orang kawan teecu yang berada di kota raja. Suhu tentu masih ingat kedua kawan teecu yang dulu kipas dan syairnya juga suhu ambil!”

“Huh! Pelajar-pelajar dan pelamun-pelamun itu! Syair-syairnya aku tidak suka! Mereka membuat syair seperti orang mimpi atau seperti seorang wanita yang merengek-rengek mengagumi pakaian indah! Anak- anak muda seperti itu tidak ada gunanya, aku tidak mau bertemu dengan mereka!” suhunya mencela.

“Akan tetapi mereka adalah sahabat-sahabat karib teecu semenjak kecil, teecu merasa rindu kepada mereka.”

“Huh!” Suhunya mencela pula. “kau benar-benar sudah gila lagi seperti mereka. Baik, kau carilah, kemudian setelah gilamu sembuh, kau boleh menyusul aku ke dapur istana kaisar!”

Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa senang Thian-te Lo-mo lalu melompat pergi dengan cepat meninggalkan muridnya.

******************** Khu Sin dan Thio Swie, dua orang pemuda sekampung yang menjadi sahabat karib Tiong San semenjak mereka bertiga masih kecil, dengan rajin dan giat melanjutkan pelajaran mereka di kota raja. Kedua pemuda ini sama-sama mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi pembesar yang menduduki pangkat mulia, sesuai dengan cita-cita dan pengharapan orang tua mereka.

Akan tetapi pada masa itu, kepandaian tidak menjadi ukuran bagi orang yang hendak memperoleh kedudukan tinggi. Betapapun pandai seseorang, tanpa perantara yang cukup berpengaruh, kuat dan berkedudukan tinggi, ia takkan berdaya untuk mmperoleh pangkat yang kecilpun. Dan untuk dapat mendekati seorang perantara yang berpengaruh, amat dibutuhkan harta benda sebagai syarat terutama.

Oleh karena itu pada masa itu, banyak sekali kaum cerdik pandai dan cendekiawan, pada pergi mengasingkan diri oleh karena selain kecil sekali harapan mereka untuk dapat bekerja pada pemerintah sebagai seorang pembesar sipil, juga mereka merasa muak melihat keadaan pemerintah yang amat buruk itu. Dan dengan adanya gejala-gejala penyuapan dan penyogokan yang merajalela di kalangan para pembesar, maka jabatan-jabatan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak cakap sama sekali sehingga akibatnya, kemerosotan akhlak makin menjalar luas di kalangan para pejabat.

Untuk mendapatkan pangkatnya, seorang pejabat telah mengeluarkan banyak uang guna menyuap para atasan, maka setelah akhirnya berhasil mendapatkan pangkat itu, tentu saja ia berusaha sekuatnya untuk dapat menarik kembali “modal” yang telah dikeluarkan tadi dengan jalan korupsi besar-besaran dan pemerasan kepada rakyat sekehendak hatinya!

Khu Sin dan Thio Swie bukanlah anak orang kaya. Orang tua Khu Sin hanyalah seorang kepala kampung yang jujur dan tidak korup, sedangkan Thio Swie bahkan hanya seorang putera seorang guru kampung yang miskin. Mereka berdua dapat melanjutkan pelajarannya di kota raja oleh karena kebetulan sekali mereka mempunyai keluarga di kota raja yang suka membantu.

Khu Sin ditolong oleh pamannya yang memiliki sebuah rumah makan kecil di kota raja, sedangkan Thio Swie ikut pada bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat di kota raja pula. Berkat pembiayaan dan pertolongan keluarga inilah, maka mereka berhasil meneruskan pelajaran di kota raja. Tentu saja kedua orang pemuda ini dengan rajinnya pula membantu pekerjaan paman dan bibi mereka sebagai pembalasan jasa.

Ketika pada hari libur keduanya kembali ke dusun Kui-ma-chung, yakni dusun tempat kelahiran mereka dan berpesiar dengan Tiong San ke telaga Tai-hu sehingga mereka bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali. Setelah kembali ke kota raja, mereka tidak membuang waktu lagi dan segera mengadakan kunjungan kehormatan kepada pangeran itu.

Tidak mudah bagi mereka untuk dapat bertemu dengan pangeran itu, karena selain pangeran Lu jarang berada di rumah, juga apabila ia ada, sukar untuk dapat menjumpainya. Para penjaga yang diberitahu bahwa kedatangan mereka itu sekedar memberi penghormatan, bahwa ada tanda-tanda bahwa kedua orang pemuda itu datang untuk minta tolong, mempersulit pertemuan itu dan berbulan-bulan telah lewat tanpa kedua pemuda mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong.

Pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, ketika Khu Sin dan Thio Swie pulang dari tempat belajar, mereka melihat seorang gadis cantik jelita menunggang kuda putih dengan gagahnya. Gadis yang menjalankan kudanya perlahan-lahan itu mengerling ke arah mereka dan tiba-tiba Thio Swie dan Khu Sin mengenali gadis ini sebagai gadis yang dulu berada di perahu pangeran Lu.

“Siocia!” Thio Swie berteriak girang dan segera menghampiri gadis di atas kudanya itu dan menjura dengan hormat sekali, ditiru pula oleh Khu Sin.

Gadis cantik yang ternyata adalah Gui Siu Eng, anak keponakan pangeran Lu Goan Ong itu, mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit. Ia nampak tidak senang sekali bahwa di tengah jalan ada dua orang pemuda tak dikenal yang berani menegurnya.

“Siapakah kalian? Aku tidak kenal kepadamu dan jangan kalian berani kurang ajar!” ia menegur dengan suara kurang senang.

Melihat kesombongan gadis ini, Thio Swie tidak menjadi marah, bahkan sambil tersenyum girang ia berkata, “Maafkan kami, siocia. Tentu saja siocia sudah lupa lagi, akan tetapi kami tak dapat melupakan siocia. Kita pernah bertemu di atas perahu Lu-taijin ketika perahu kami bertubrukan dengan perahu Lu- taijin di telaga Tai-hu!”

Nona itu mengingat-ingat dan bibirnya yang indah dan merah itu lalu membayangkan senyum yang membuat hati Thio Swie berdetak-detak tidak keruan!

“Ah, ji-wi Kongcu!” katanya perlahan, “Hampir aku lupa. Akan tetapi, dulu ada seorang lagi, yang berpakaian hijau ...” Sebetulnya yang masih teringat oleh Siu Eng adalah pemuda baju hijau ialah Tiong San.

“Siocia maksudkan sahabat kami Tiong San? Ya, memang pada waktu itu kami bertiga, akan tetapi .....

sahabat kami Tiong San itu tak dapat meneruskan pelajaran di kota raja.”

“Kasihan    ” Nona itu berkata dan ia mulai menggerakkan kudanya hendak melanjutkan perjalanan. Akan

tetapi Thio Swie mengikutinya dan berkata cepat-cepat.

“Siocia, sukakah kau menolong kami?” Sebelum nona itu menjawab, ia melanjutkan, “Telah berbulan-bulan kami berdua hendak menghadap Lu-taijin menghaturkan terima kasih dan hormat kami, akan tetapi selalu tak berhasil. Para penjaga melarang kami menghadap!”

Siu Eng tersenyum manis. “Memang pamanku tak mudah dijumpai, akan tetapi kalau kalian mau datang pada besok pagi, tentu kalian akan diterima.” Sambil berkata demikian, gadis itu melarikan kudanya.

“Siocia! Aku adalah Thio Swie dan kawanku ini Khu Sin!” Thio Swie masih berteriak kepada nona itu yang menengok sebentar sambil tersenyum, lalu kudanya berlari cepat. Thio Swie berdiri bengong, seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh senyum di bibir nona manis itu!

Khu Sin sambil tertawa menepuk pundak kawannya sambil berkata, “Thio Swie, dia sudah pergi jauh!”

Thio Swie menarik napas panjang. “Alangkah manisnya ......, alangkah merdu suaranya dan senyum itu

... ah, Khu Sin, bukankah senyum itu ditujukan kepadaku semata?”

“Kau , kau sudah gila!” Khu Sin berkata sambil tertawa geli. Sungguhpun ia merasa tertarik juga pada

nona yang cantik jelita itu, akan tetapi kegirangan Khu Sin lebih banyak disebabkan karena mereka akan mendapat kesempatan karena ia dapat bertemu dengan dengan paman gadis itu.

Dalam perjalanan pulang, tiada hentinya Thio Swie membicarakan kecantikan gadis itu, dan tanpa malu- malu lagi ia mengaku kepada kawannya bahwa ia telah jatuh cinta! Khu Sin hanya tersenyum dan berkata,

“Jangan mengimpi, kawan! Siu Eng adalah keponakan dari pangeran Lu, sedangkan kau ini siapa? Jangan menjadi anjing yang merindukan bulan!”

“Siapa tahu, Khu Sin? Siapa tahu kelak aku akan menduduki pangkat dan dapat mengulurkan tangan kepada bidadari itu ”

Melihat kesungguhan hati kawannya, diam-diam Khu Sin merasa kasihan dan ikut memuji semoga kerinduan hati kawannya itu takkan menemui kegagalan dan kekecewaan.

Benar saja, ketika pada keesokan harinya mereka kembali datang ke gedung pangeran Lu Goan Ong dan disambut oleh para penjaga, sikap para penjaga itu berbeda dengan yang sudah-sudah.

“Ji-wi kongcu mengapa tadinya tidak menyatakan bahwa ji-wi adalah sahabat-sahabat baik dari Lu-taijin? Baiknya kemaren Gui-siocia memberi tahu kepada kami. Kalau tidak sukarlah bagi ji-wi untuk dapat bertemu dengan Lu-taijin. Harap maafkan kami!”

“Ah, tidak apa, tidak apa!” kata Khu Sin dengan girang. Apakah sekarang Lu-taijin ada di dalam rumah dan dapatkah kami menghadap?” “Tentu saja dapat, harap ji-wi kongcu menanti sebentar.” Mereka dipersilahkan duduk menanti di kamar tamu dan tak lama kemudian seorang pelayan mengundang mereka untuk masuk ke dalam karena pangeran Lu Goan Ong telah siap menerima mereka menghadap.

Pangeran Lu Goan Ong menerima mereka dengan acuh tak acuh, akan tetapi oleh karena pangeran ini telah mendapat pemberitahuan dari keponakannya, maka secara singkat ia lalu menanyakan maksud kedatangan mereka.

Dengan amat hormat Khu Sin lalu mengajukan permohonan agar supaya mereka memperoleh kedudukan oleh karena mereka telah lulus dalam ujian.

“Tidak mudah, tidak mudah!” kata pangeran Lu Goan Ong sambil menggoyang-goyang kedua kedua tangannya. “Untuk menjadi seorang pembesar, tidak saja kalian harus pandai, akan tetapi juga harus mempunyai banyak pengalaman.”

“Hambah bedua mohon diberi pekerjaan, apa saja pekerjaan itu asalkan dapat menambah pengalaman hamba,” kata Thio Swie.

Setelah berpikir sejenak, pangeran itu lalu berkata, “Biarlah kalian membantu pekerjaanku di sini. Khu Sin, kau kuberi tugas mengurus pembukuan untuk mencatat pembagian gaji para perwira, tentara dan pelayan! Dan kau, Thio Swie, kau harus mencatat semua keperluan rumah tanggaku agar dapat diketahui dengan baik segala pengeluaran uang!”

Biarpun pekerjaan itu bukan merupakan sesuatu pangkat, akan tetapi mereka menerima dengan amat gembira, karena setidaknya mereka akan memperoleh pengalaman dan karena mereka membantu seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, maka jalan untuk mencari kenaikan pangkat dan kemajuan akan lebih mudah bagi mereka. Apalagi Thio Swie, ingin rasanya ia bersorak-sorak dan berjingkrak-jingkrak kegirangan karena dengan mendapat pekerjaan di dalam gedung pangeran itu, berarti bahwa setiap hari ia akan dapat bertemu dengan Siu Eng gadis yang telah merebut hatinya!

Dan kebahagiaan Thio Swie mencapai puncaknya ketika mendapat kenyataan bahwa setelah bekerja beberapa bulan lamanya di dalam gedung pangeran Lu Goan Ong, gadis yang cantik jelita itu bersikap manis sekali kepadanya. Bahkan begitu mesra dan manisnya sehingga setelah ia bekerja hampir dua tahun, gadis ini telah berani masuk ke dalam kamarnya di waktu malam dan bersenda gurau dengannya. Tentu saja Thio Swie merasa bahagia sekali dan menyangka bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya! Ia menganggap gadis itu sebagai seorang bidadari pembawa bahagia dan cintanya makin mendalam.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa gadis yang disangkanya bidadari pembawa bahagia itu tidak lain adalah seorang iblis wanita pembawa sengsara! Ia tidak pernah mengira bahwa Gui Siu Eng adalah seorang anak yatim piatu keponakan pangeran Lu Goan Ong yang amat dimanja dan kurang pendidikan budi pekerti sehingga memiliki watak yang amat buruk! Gadis itu keras kepala, tinggi hati dan mempunyai sifat cabul! Wajah cantik jelita itu hanya merupakan kedok indah yang menutup dan menyelimuti seluruh watak- wataknya yang kurang baik.

Semenjak kecil Gui Siu Eng mendapat pendidikan ilmu silat dari seorang guru silat yang tadinya menjadi perampok sehingga gadis itu memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga watak yang kurang bersih. Kemudian gadis itu bahkan menjadi murid dari Kiu-hwa-san Toanio, seorang wanita cabul yang gagah perkasa dan yang bertapa di bukit Kiu-hwa-san setelah tua. Dari gurunya ini ia mendapat warisan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga wataknya yang cabul itu adalah warisan dari Kiu-hwa-san Toanio.

Setelah kembali dari Kiu-hwa-san, kepandaiannya amat tinggi dan ia makin disayang oleh pamannya oleh karena dengan kepandaiannya itu, ia seolah-olah menjadi pengawal pribadi pamannya sendiri. Pangeran Lu Goan Ong benar-benar mencintai keponakannya ini karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka ia amat memanjakan Siu Eng.

Beberapa kali ia hendak menjodohkan Siu Eng dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi gadis itu selalu menolak dan menyatakan bahwa ia hanya mau dijodohkan dengan seorang pemuda tampan, pandai ilmu kesusasteraan dan pandai silat melebihi kepandaiannya sendiri!

Di manakah dapat mencari seorang pemuda seperti itu? Pemuda yang tampan dan tinggi pelajaran ilmu silatnya memang banyak terdapat di kota raja, akan tetapi yang berkepandaian silatnya melebihi kepandaian Siu Eng, sukar sekali terdapat! Ilmu silat gadis ini belum tentu lebih rendah dari ilmu kepandaian Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar