Pendekar Gila Dari Shan-tung Bab-09 : Jagoan Istana Ketemu Batu

Bab-09 : Jagoan Istana Ketemu Batu

UCAPANNYA terhenti tiba-tiba dan matanya melotot bagaikan hendak melompat keluar dari rongga matanya karena pada saat itu sebutir bakso yang tadinya dikelit oleh Ban Kong, dengan tepat sekali memasuki mulutnya yang sedang terbuka ketika ia hendak berkata ”maju” dan bakso itu dengan kecepatan luar biasa telah datang memasuki mulut dan terus menyerbu ke dalam sehingga mengganjal kerongkongannya!

Kedua mata orang tinggi besar ini menjadi berputar-putar, mendelik dan mulutnya terbuka, lehernya dipanjang pendekkan dalam usahanya untuk menelan masuk atau mengeluarkan kembali bakso yang mengganjal tenggorokannya itu seperti laku seekor ayam terkena penyakit sawan! Ia berlari ke sana ke mari, menyambar secawan arak dari meja dan menuangkan arak itu ke dalam mulut dengan maksud mendorong bakso yang nakal itu ke dalam perut. Akan tetapi, karena masuknya bakso itu bukan masuk sewajarnya, akan tetapi tak terduga-duga dan paksaan, maka tidak mudah dikeluarkan sehingga arak itu tak dapat mengalir masuk ke dalam perut dan tertumpah kembali keluar dari mulutnya!

Karena terlalu lama napasnya tertahan oleh bakso itu, si perwira mulai gelisah dan mukanya menjadi biru serta kedua matanya makin besar saja. Kawan-kawannya sudah berusaha menolongnya dengan memukul-mukul punggungnya, akan tetapi sampai punggungnya terasa sakit, bakso yang bandel itu tetap tidak mau melompat ke dalam atau keluar.

Thian-te Lo-mo tertawa berkakakan melihat ini dan berkata,

“Ong-ya, ternyata masakanmu tidak sehebat yang dikabarkan orang! Lihat, baksomu demikian liat sehingga perwira itu tidak dapat mengunyahnya dan sekarang bersarang di kerongkongan! Ha ha ha!”

Ong Tai Kun merah mukanya karena marah. Ia melangkah lebar ke arah perwira itu, lalu mengambil sebatang sumpit, menyuruh perwira itu berlutut dan dengan cepat ia menusukkan sumpit tadi ke dalam mulut perwira yang masih terbuka.

Terdengar suara “kek” dan bakso itu didorong dengan paksa memasuki perut si perwira! Perwira itu merasa agak sakit kerongkongannya, akan tetapi kini ia selamat karena bakso yang nakal itu telah terdorong masuk ke dalam perut. Ia dapat bernapas lagi terengah-engah dan berlutut di depan Ong Tai Kun untuk menyatakan terima kasihnya, sedangkan para perwira lain tak dapat menahan kegelian hati mereka dan tersenyum diam-diam.

Pangeran Ong Tai Kun tak dapat menahan marahnya. Ia menudingkan pedangnya kepada Thian-te Lo-mo dan membentak,

“Thian-te Lo-mo! Kau berani menghina gedungku. Apakah kau kira kami tak dapat membasmi kau pengacau hina dina ini?” Setelah berkata demikian, ia lalu mengerahkan semua perwiranya untuk menyerang! Serangan itu datangnya seperti hujan, karena yang menyerang dan mengeroyok kakek itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang yang berkepandaian tinggi!

Sibuk juga Thian-te Lo-mo menghadapi serangan ini, karena biarpun serangan itu masih dapat ia hadapi dengan seenaknya, yakni dengan memutar-mutar sepasang sumpit di tangan kanannya, akan tetapi hal ini membuat ia tidak dapat menikmati masakan-masakan yang hendak dicicipinya itu!

“Pangeran Ong, kau benar-benar tidak tahu aturan!” teriaknya sambil memaki kalang kabut, memaki tiap orang yang menyerang dengan sebutan perwira gila, pembesar gendeng dan sebagainya. “Tamu agung datang tidak disambut baik-baik, bahkan diajak main-main senjata! Kalian mengganggu aku makan saja!”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mencabut cambuknya yang tadi diselipkan di pinggang dan sekali cambuknya berdetak, cambuk itu telah diputarnya dengan gerakan luar biasa cepatnya. Terdengar teriakan-teriakan dan senjata-senjata terpental dan jatuh di atas lantai dengan suara nyaring! Banyak pengeroyok memegangi muka mereka yang telah diberi hadiah oleh ujung cambuk! Ketika semua orang memandang, kakek itu telah lenyap dari dalam kurungan mereka!

Mereka menjadi heran dan bingung. Kemana perginya kakek gila itu? Apakah ia pandai menghilang? Tak mungkin ia dapat pergi dari situ tanpa mereka lihat.

Selagi mereka mencari-cari dan memandang ke sana ke mari, tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dan tahu-tahu semangkok masakan telah terbang dari atas meja dan melayang ke atas! Semua orang memandang ke atas dan ternyata bahwa kakek yang mereka cari-cari itu telah duduk di atas tiang penglari yang paling tinggi dengan kedua kaki ongkang-ongkang dan kini sedang mencoba isi mangkok yang baru saja ia ambil dari atas meja dengan mempergunakan cambuknya yang lihai!

“Hm, kurang sedap, kurang sedap!” katanya setelah makan sepotong masakan dari mangkok itu.

“Udangnya bukan udang dari sungai Huang-ho seperti yang dimasak di dapur kaisar, akan tetapi ini hanya udang sungai Hai-ho!” Kemudian ia melemparkan mangkok itu ke bawah dan karena kini para pengeroyok itu telah berlaku hati- hati, mereka dapat mengelak dari sambaran mangkok itu yang dengan aneh telah jatuh di atas lantai dengan telungkup dan tidak pecah! Akan tetapi, air kuah dari masakan itu yang memercik ke sana ke mari sukar dikelit sehingga pakaian orang-orang yang berada dekat kena noda-noda kecap dan kuah!

Setelah melempar mangkok tadi, kembali cambuk Thian-te Lo-mo menyambar sebuah mangkok lain dan mulai mencicipi isi mangkok dengan enak, tanpa memperdulikan orang-orang yang berada di bawah.

Pangeran Ong Tai Kun merasa marah bukan main melihat lagak kakek itu. Pangeran ini telah terkenal sebagai seorang pangeran yang selain mempunyai kepandaian tinggi, juga mempunyai banyak perwira yang kosen sehingga jarang ada orang berani mengganggunya.

Bahkan dulu ketika Thian-te Lo-mo mengacau di kota raja, kakek itu tidak mengganggunya dan hal ini sebetulnya hanya hal yang kebetulan saja, akan tetapi telah digunakan oleh pangeran Ong Tai Kun untuk menyombong dan menyatakan bahwa Thian-te Lo-mo tidak berani mengganggu gedungnya!

Tidak tahunya, hari ini kakek gila itu datang-datang menggunakan gedungnya untuk tempat bermain-main dan mengganggu semau-maunya di depan sekian banyak pangeran dan pembesar tinggi! Tentu saja ia merasa terhina sekali dan dengan marah ia lalu mengutus seorang perwira untuk minta bantuan perwira dari istana, dan ia sendiri lalu berseru keras,

“Keluarkan am-gi (senjata rahasia) dan serang dia! Panggil barisan panah ke sini!”

Sebetulnya sekian banyak perwira itu tidak ada yang tidak sanggup melompat menyusul ke atas tiang penglari, akan tetapi mereka ngeri untuk melakukan hal ini. Menghadapi kakek sakti itu di atas tiang penglari bukanlah hal yang tidak berbahaya karena sekali mereka kena cambuk dan jatuh dari atas, nyawa mereka sukar ditolong lagi! Kini mendengar usul majikan mereka untuk mempergunakan am-gi, mereka seperti diingatkan dan mereka yang pandai menggunakan senjata rahasia, lalu mengeluarkan am-gi masing-masing.

Ada yang mengeluarkan piauw (besi runcing), ada yang mengeluarkan Bwe-hwa-ciam (jarum bunga bwe) atau senjata rahasia berbentuk paku, uang logam, dan lain-lain. Sebentar saja berhamburanlah senjata- senjata rahasia itu melayang ke arah tubuh Thian-te Lo-mo!

Akan tetapi, dengan enaknya, kedua kaki kakek yang telanjang itu dan yang sedang ongkang-ongkang ke bawah itu, bergerak-gerak seperti anak kecil main-main dan semua senjata rahasia kena ditendang jatuh dan menyambar kembali ke arah penyerangnya! Kepandaian ini benar-benar mentakjubkan sekali dan jarang ada orang berilmu tinggi yang akan sanggup melakukannya!

Thian-te Lo-mo tertawa geli dan cambuknya kembali menyambar dan menangkap sebuah mangkok berisi masakan kacang tanah. Ia tertawa-tawa dan berkata,

“He he he, kalian mengajak main-main dan sambitan-sambitan? Boleh, boleh!” Ia lalu menggenggam kacang dari mangkok itu dan melemparkannya ke bawah! Hujan kacang terjadi dan terdengar teriakan- teriakan kesakitan ketika kacang itu menghujani di atas kepala mereka!

Yang memakai topi masih mending, akan tetapi mereka yang tidak bertopi dan kepalanya telanjang, harus menderita hebat karena kacang-kacang itu jatuh berbunyi “tak-tik-tok” di atas kepala dan terasa amat sakit. Untung bagi mereka bahwa Thian-te Lo-mo tidak mempergunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, jangankan yang bertelanjang kepala, biarpun yang memakai topi tentu akan tembus topinya itu dan kulit kepalanya akan pecah-pecah pula terkena “pelor istimewa” itu!

Orang-orang pada lari cerai berai menjauhi hujan kacang itu dan pada saat itu, seregu barisan panah telah tiba! Akan tetapi sebelum mereka ini dapat bereaksi, tiba-tiba di dalam ruang itu masuk seorang pemuda berpakaian hijau yang tampan dan gagah sekali! Pemuda ini bukan lain ialah Tiong San yang telah kembali dari mengantar Liong Ki Lok dan puterinya sampai di luar tembok kota raja.

Melihat betapa suhunya dikepung dan dikeroyok, Tiong San lalu melepaskan cambuknya dan sekali ia ayun cambuk, lima orang terlilit cambuk dan ketika cambuk disentakkan ke belakang, lima orang itu roboh terguling-guling. Keadaan makin menjadi kacau dan semua orang kini berbalik menghadapi Tiong San yang tersenyum dan berkata, “Guruku sedang menikmati makanan, mengapa kalian mengganggunya?”

“Shan-tung Koay-hiap!” seru Ban Kong yang mengenal pemuda itu dan semua orang kini maju dengan senjata di tangan mengeroyok pemuda itu yang mereka sangka tidak selihai Thian-te Lo-mo! Akan tetapi mereka kecele, karena secepat kilat cambuk Tiong San menyambar dan karena cambuk itu panjang, maka ia dapat mendahului serangan mereka. Ban Kong berteriak kesakitan dan menutup mukanya karena ternyata hidungnya yang besar telah disambar ujung cambuk dan berdarah!

“Anak gendeng!” Thian-te Lo-mo berkata kepada muridnya ketika melihat kedatangan pemuda itu. “Kau mengobrol yang bukan-bukan! Hidangan di rumah pangeran Ong ini sama sekali tidak ada harganya untuk disebut! Mana bisa menyamai masakan dari dapur istana raja?”

“Memang pangeran ini sekarang menjadi pelit dan tidak menghormati tamu!” jawab Tiong San sambil membabat dengan cambuknya sehingga kembali terdengar pekik kesakitan dan kini yang menjadi korbannya adalah seorang perwira lain yang mencoba untuk menyerangnya dengan senjata rahasia. “Ia sekarang hanya memperhatikan urusan menambah selir dengan memaksa orang baik-baik dan sama sekali tidak memperhatikan masakan enak lagi!”

Sementara itu, Lu Goan Ong dengan mata terbelalak dan mulut menganga memandang kepada Tiong San. Ia masih ingat wajah pemuda ini, maka ia segera melangkah maju dan berseru,

“Hai, bukankah kau kawan dari Khu Sin dan Thio Swie?”

Tiong San merasa terkejut sekali mendengar disebutnya dua nama ini, akan tetapi dengan amat pandai ia dapat menyembunyikan perasaannya dan ketika ia memandang kepada pangeran yang bertubuh tinggi besar dan bermata lebar itu, ia teringat bahwa inilah pangeran yang dulu ia jumpai di telaga Tai-hu. Ia tidak mau menjawab, hanya dengan sepasang matanya ia mencari-cari orang yang bernama Ong Tai Kun.

“Aku hendak bertemu dengan pangeran tikus Ong Tai Kun, yang manakah dia?” sambil berkata demikian, ia melangkah maju dengan amat beraninya, berjalan di antara sekian banyak perwira yang tentu saja dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dari kanan kiri atau belakang.

Akan tetapi aneh, sikapnya yang amat berani ini bahkan mendatangkan gentar dalam hati para perwira sehingga tak seorangpun berani menggerakkan tangan. Komandan regu barisan panah hendak menggunakan saat itu untuk mencari jasa, maka ia diam-diam menarik tali busurnya dan hendak menyerang Tiong San.

Akan tetapi tiba-tiba cambuk Thian-te Lo-mo dari atas melayang turun dan busur itu telah terampas! Tiong San sama sekali tidak mau memperdulikan kejadian ini dan membiarkan saja komandan yang terampas busurnya itu berdiri terbelalak dengan muka pucat memandangi busurnya yang telah berada di tangan Thian-te Lo-mo.

“Mana Ong Tai Kun? Harap suka maju!” kata Tiong San kemudian dan ia menyapu semua orang yang berada di situ dengan sudut matanya yang tajam. Akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Keadaan sunyi senyap. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di atas tiang penglari.

“Ha ha ha! Tuan rumah yang mengeluarkan hidangan-hidangan buruk merasa malu untuk mengaku dan menyatakan dirinya! Ha ha ha, murid gendeng, mengapa kau begitu bodoh? Pangeran Ong telah kuberi tanda dengan cambukan sehingga bajunya bagian punggung telah bolong-bolong tanpa diketahuinya!”

Sebenarnya, hal ini tidak betul dan Thian-te Lo-mo sendiri tidak tahu yang manakah pangeran Ong Tai Kun. Ia hanya bicara sembarangan saja, akan tetapi dalam ucapan ini terkandung kecerdikan yang luar biasa, karena otomatis ketika mendengar ucapan ini, Ong Tai Kun dengan terkejut lalu meraba-raba punggungnya dan ternyata bahwa bajunya tidak bolong sama sekali. Ia juga cerdik dan segera insyaf bahwa ia kena ditipu, dan segera menarik kembali tangannya.

Akan tetapi, Tiong San yang cukup mengerti akan hal suhunya ini, tadi telah memasang matanya dengan tajam sehingga gerakan Ong Tai Kun ini sekilat saja dapat dilihatnya sehingga ia dapat menduga bahwa orang muda yang gagah dan tampan inilah tentu tuan rumah bernama Ong Tai Kun yang hendak memaksa Bwee Ji menjadi selirnya.

“Pangeran Ong, majulah kau!” katanya dan tiba-tiba cambuknya meluncur ke arah pangeran itu yang cepat menggunakan pedangnya menangkis. Akan tetapi, ketika pedangnya membentur ujung cambuk, ia merasa tangannya gemetar dan ternyata bahwa cambuk itu tidak dapat terputus oleh sabetan pedangnya, bahkan ujung cambuk secara istimewa sekali telah melibat pinggangnya! Sebelum ia dapat meronta dan melepaskan diri, tahu-tahu tubuhnya telah ditarik dan melayang bagaikan dilontarkan ke arah Tiong San dan tahu-tahu ia telah jatuh berdiri di depan pemuda tampan itu.

“Pangeran Ong Tai Kun, kau benar-benar jahat dan entah telah berapa banyak anak gadis orang menjadi korbanmu! Ayo kau lekas menulis pengakuan di atas kain ini!” sambil berkata demikian, Tiong San lalu menarik sebuah tirai kuning dari tembok dan membentangkan tirai itu di atas meja setelah dengan tangan kiri ia menggulingkan meja sehingga semua mangkok jatuh ke atas lantai.

“Lekas tulis bahwa kau telah merasa kapok dan tidak mau mengganggu anak bini orang lagi!” Tiong San mengeluarkan sebatang pit dan baknya yang selalu berada di kantong bajunya. “Ayo tulis!”

Tentu saja Ong Tai Kun tidak mau melakukan hal ini dan sambil berseru, “Serbu!” ia lalu mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Tiong San yang berada di depannya, sedangkan para perwira juga mengangkat senjata sehingga sebentar saja pemuda itu telah dihujani senjata!

“Bagus!” Tiong San berseru keras dan tiba-tiba ia melompat jauh, berdiri di atas sebuah meja dan ketika para pengeroyoknya mengejar, ia menggerakkan cambuknya. “Tar ....! Tar ....! Tar ....!” Kembali orang- orang itu mundur dengan kaget dan berteriak kesakitan.

Seperti halnya ketika Thian-te Lo-mo menggerakkan cambuknya tadi, kini cambuk di tangan Tiong San telah mendapat korban dan muka-muka perwira yang telah digurat merah oleh cambuk Thian-te Lo-mo kini bertambah dengan sebuah guratan baru yang lebih merah dan perih!

“Pangeran Ong, kau mencari penyakit!” kata Tiong San dan cambuknya melayang cepat sehingga sedetik kemudian ujung cambuk telah menyambar telinga kiri Ong Tai Kun yang menjadi putus! Pangeran itu menjerit kesakitan dan menggunakan kedua tangannya untuk memegangi bagian kepala yang kini tak bertelinga itu lagi.

Ia hendak lari ke dalam, akan tetapi kembali cambuk di tangan Tiong San bergerak dan membelit kedua kaki pangeran itu sehingga ketika ditarik, pangeran itu roboh terguling! Tiong San melayang dari atas meja dan segera memegang pundak pangeran itu yang ditekannya kuat-kuat sehingga pangeran Ong Tai Kun merasa betapa tulang pundaknya seakan-akan hendak remuk!

“Ampun, Shan-tung Koay-hiap    !” Ia merintih.

Tiba-tiba terdengar Thian-te Lo-mo tertawa bergelak kembali. “Ha ha ha! Murid gendeng, kau ternyata ikut menjadi gila! Aku tidak sudi ikut campur menjadi orang gila, karena kau telah mencampuri urusan dunia yang gila! Aku hendak pergi ke istana kaisar menikmati masakan-masakan hebat di dapurnya!”

Akan tetapi pada saat itu, perwira yang tadi diutus oleh Ong Tai Kun untuk minta bala bantuan dari istana kaisar, telah tiba kembali dan bersama dia ikut dua orang perwira yang bertubuh aneh.

Seorang di antara mereka bertubuh bongkok dengan punggung seperti punggung onta, lehernya panjang sehingga dalam pakaian perwira tinggi ia nampak lucu sekali. Kepalanya yang berambut putih itu menunjukkan ketinggian usianya, akan tetapi sepasang matanya masih bersinar terang.

Inilah Lui Kong Bu Tong Cu Si Dewa Geludug! Orang kedua juga berpakaian perwira dan tubuhnya tak kalah anehnya. Tubuhnya bagian atas, batas pinggang sampai ke kepala berikut kedua lengannya, pendek dan lucu, akan tetapi tubuh bagian bawah batas pinggang sampai ke jari kaki, panjang-panjang. Usianya lebih muda, kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Sin-go Lee Siat, Si Buaya Sakti!

Mereka berdua adalah jago-jago atau perwira-perwira kerajaan yang menduduki tingkat kedua atau setingkat lebih tinggi dari pada kedudukan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong! Melihat kedatangan kedua orang ini, semua perwira dan pangeran bernapas lega, oleh karena mereka telah tahu kelihaian dua orang ini dan mengharapkan bahwa dua orang ini akan dapat menundukkan Shan-tung Koay-hiap dan Thian-te Lo-mo yang lihai! Oleh karena itu, mereka lalu mengundurkan diri jauh-jauh untuk memberi tempat luas bagi kedua orang perwira itu.

Akan tetapi, Tiong San pura-pura tidak melihat kedatangan dua orang aneh ini dan ketika pangeran Ong Tai Kun hendak mengundurkan diri pula, ia cepat mengulurkan tangan dan menekan pundaknya sehingga terpaksa ia menghentikan langkahnya.

“Eh, eh, kau hendak ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kau menuliskan pengakuan itu dengan huruf- huruf besar!”

Pangeran Ong yang masih merasa perih dan sakit sekali kepalanya bagian kiri yang sudah hilang telinganya, memandang kepada dua orang perwira yang baru datang untuk minta pertolongan. Lui Kong Bu Tong Cu Si Dewa Geludug melangkah maju dan sambil tertawa ha ha, hi hi, ia lalu maju dan berkata, “Hm, inikah yang bernama Shan-tung Koay-hiap? Sungguh mengagumkan. Muda, tampan dan gagah!”

Ia mengulur tangan untuk membangunkan Ong Tai Kun dan seperti yang tak disengaja ia membentur tangan Tiong San yang menekan pundak pangeran itu. Tiong San merasa betapa benturan itu membuat tangannya kesemutan dan tahulah ia bahwa yang kelihatan seperti seorang penderita cacad ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Maka ia lalu melangkah mundur setindak sehingga pangeran itu dengan girang dapat mengundurkan diri dan ia segera dirawat oleh para perwira untuk mengobati telinganya yang telah lenyap sebelah!

Tiong San menghadapi kedua perwira itu dan setelah memandang sejenak, ia tertawa berkakakan dengan hati geli. “Eh, eh, belum pernah aku melihat orang-orang seperti kalian! Apakah kalian juga datang hendak mencoba rasanya hidangan pangeran Ong yang tidak enak itu?”

“Shan-tung Koay-hiap, kau masih muda dan gagah, mengapa kau ikut-ikut mencontoh perbuatan Thian-te Lo-mo yang gila?” Sin–go Lee Siat si Buaya Sakti menegur marah sambil melangkah maju.

Akan tetapi, tiba-tiba ia mengelak ke samping karena telinganya yang tajam dapat mendengar sambaran sebuah benda kecil. Akan tetapi ia kalah cepat dan benda kecil itu telah mengenai kepalanya yang botak. “Tak!” dan benda itu pecah berantakan. Ternyata yang menyambar kepalanya itu adalah sebuah kacang yang disambitkan oleh Thian-te Lo-mo dari atas tiang penglari!

“Ha ha ha! Orang panjang tapi pendek! Kau sendiri yang gila, akan tetapi kau memaki orang waras! Cocoklah bunyi syair yang ditulis oleh muridku yang gendeng!” Lalu ia mengucapkan syair yang dulu ditulis oleh Tiong San, akan tetapi ia mengucapkannya sambil dilagukan dengan suara aneh dan lucu.

Dunia penuh orang gila ..........

yang waras disebut gila ...........

yang gila merajalela ..........

Thian-te Lo-mo hanya mengambil bagian tengahnya saja, bagian yang paling disukainya, bagian yang menimbulkan rasa sukanya kepada Tiong San dan yang membuat ia mengambil keputusan untuk menjadikan pemuda itu sebagai muridnya.

Kedua orang perwira kerajaan itu cepat menengok dan mereka tidak menyangka sama sekali bahwa kakek itu berada di atas tiang. Tadi memang mereka telah mendengar bahwa kakek sakti itu datang pula mengacau. Akan tetapi ketika mereka memasuki ruangan dan tidak melihat Thian-te Lo-mo, mereka menjadi lega dan berbesar hati.

Siapa tahu, ternyata kakek itu berada di atas, ongkang-ongkang sambil tertawa menyeringai! Kecutlah hati kedua orang perwira ini karena biarpun mereka sebagai perwira-perwira yang belum lama bertugas, belum pernah merasakan kelihaian kakek itu. Namun mereka telah mendengar nama Thian-te Lo-mo yang ditakuti orang bagaikan orang menakuti seorang iblis tulen!

“Thian-te Lo-mo!” Bu Tong Cu Si Dewa Geludug berkata kepadanya. “Apakah kau hendak mengacau lagi? Turunlah kau, jangan kira bahwa kami takut padamu!” Thian-te Lo-mo tertawa lagi dan kembali tangannya bergerak, dan sebutir kacang melayang ke arah dadanya! Bu Tong Cu seorang ahli silat kawakan, maka tentu saja ia tidak mudah diserang dengan sambitan ini, maka ia segera miringkan tubuhnya.

Tak disangkanya sama sekali bahwa hampir berbareng dengan kacang pertama, kacang kedua menyusul dan tepat mengenai punuknya yang seperti punuk onta itu! Ia tidak merasa sakit, akan tetapi hatinya lebih sakit karena ia merasa dipermainkan!

“Ha ha, manusia onta! Kau sedang berhadapan dengan muridku di atas bumi, jangan ikut campurkan aku yang berada di sorga!” kata Thian-te Lo-mo menyengir.

Kedua orang perwira itu marah sekali dan mereka hendak tumpahkan seluruh kemarahan mereka kepada Tiong San. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan menyerang Tiong San. Senjata mereka juga aneh dan mengerikan. Bu Tong Cu si Dewa Geludug bersenjata sebatang tongkat besi yang panjangnya empat kaki, sedangkan Sin-go Lee Siat bersenjata sepasang kapak yang bermata lebar dan tajam.

Ketika senjata-senjata itu menyerbu ke arah dirinya, Tiong San maklum akan kelihaian lawan, maka ia cepat melompat ke belakang dan segera melayangkan ujung cambuknya, mendahului dengan serangan dari jauh!”

Ia maklum bahwa menghadapi orang-orang kosen seperti dua orang perwira kerajaan itu, ia tidak boleh berlaku gegabah, dan sekali-kali tidak boleh melayani mereka dari dekat, maka ia mempergunakan kesempatan yang menguntungkan dengan melayani mereka dari jauh yang mungkin ia lakukan dengan senjatanya yang panjang.

Juga ia tidak berani main-main dan kali ini ujung cambuknya menyabet dengan keras dan mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan jalan-jalan darah lawan, tidak seperti biasa hanya untuk membagi-bagi hadiah pada muka lawan saja.

Pertempuran berjalan seru dan ramai oleh karena biarpun menghadapi senjata yang panjang, akan tetapi oleh karena maju berdua dari kanan kiri dan permainan silat mereka memang cepat dan tenaga lweekang mereka telah sempurna, maka kedua orang perwira itu tidak terdesak, bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang membawa maut!

Kali ini Tiong San benar-benar menghadapi lawan yang keras dan tangguh sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaian, barulah ia dapat meimbangi permainan mereka. Ia harus berlaku gesit dan lincah, karena dengan kelincahannya itu ia dapat melompat menjauhi setiap kali lawannya mendesak makin dekat dan mengirim serangan-serangan dari jarak jauh dengan ujung cambuknya.

Bu Tong Cu yang mempunyai lweekang tinggi, pernah mencoba untuk menangkap ujung cambuk dan merampas senjata lawan yang masih muda itu. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia berhasil menangkap ujung cambuk dalam cengkeraman tangan kirinya, tiba-tiba cambuk itu dibetot dengan keras sehingga telapak tangannya merasa perih seakan-akan dikerat pisau tajam!

Ia maklum bahwa cambuk itu bukanlah cambuk biasa dan terbuat dari bahan yang amat kuat serta digerakkan oleh tangan ahli yang telah menguasai sepenuhnya, maka ia tidak berani lagi mncoba untuk menangkapnya, hanya menggunakan tongkat besinya untuk memberi serangan-serangan kilat dengan terkaman-terkaman hebat.

Namun Tiong San benar-benar lincah dan latihan-latihannya yang dilakukan secara aneh itu telah memberi kekuatan dan keringanan tubuh luar biasa kepadanya. Tubuhnya berkelebat cepat dan cambuknya yang panjang itu dengan amat lihainya menari-nari dan menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang sukar diduga. Ujung cambuk yang kecil itu dengan lincahnya menyambar-nyambar lawan dan seakan-akan telah berubah menjadi puluhan ujung cambuk saking cepatnya ia bergerak.

Sin-go Lee Siat si Buaya Sakti, merasa penasaran sekali. Lawannya adalah seorang muda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Masa dengan mengeroyok dua bersama Bu Tong Cu yang lihai, ia tak dapat juga merobohkan pemuda itu! Pernah ujung cambuk lawan itu melibat kapak di tangan kirinya. Terjadi saling betot dan dan karena ternyata ujung cambuk itu membelit kuat sekali dengan marah Lee Siat lalu membacok ke arah cambuk yang melibat gagang kapak di tangan kirinya itu dengan kapak di tangan kanan. Maksudnya hendak membikin putus ujung cambuk yang melibat itu, akan tetapi tiba-tiba ujung cambuk itu bagaikan seekor ular yang hidup, melepaskan diri dan melayang pergi sehingga ia menghantam gagang kapaknya sendiri dengan kapak kanan sehingga gagang kapak kiri itu hampir terbelah dua! Bukan main marahnya dan ia segera mengirim serangan-serangan nekat yang mematikan. Sepasang kapaknya bergerak cepat bagaikan dua ekor harimau galak menerkam korban.

Para pangeran dan perwira yang berada di situ menyaksikan pertempuran ini dengan penuh kekaguman. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu dapat melayani Bu Tong Cu dan Lee Siat sedemikian baik dan uletnya. Diam-diam mereka merasa khawatir sekali karena baru muridnya saja sudah demikian lihai, belum suhunya turun tangan! Maka, diam-diam pangeran Ong Tai Kun lalu mengirim utusan lagi untuk mendatangkan jago-jago lain.

Pertempuran terjadi makin seru dan kini Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong memutar-mutar ruyungnya dan maju membantu! Hanya dia sendiri yang berani maju membantu, oleh karena lain orang yang kepandaiannya lebih rendah, baru maju sebentar saja sudah terkena sabetan cambuk dan bahkan mengacaukan permainan kedua orang perwira itu. Dikeroyok tiga oleh orang-orang yang berilmu tinggi itu, biarpun ilmu cambuk Tiong San amat lihai dan berbahaya, lambat laun ia merasa sibuk juga.

Serangan-serangan ketiga orang lawannya bukanlah serangan-serangan biasa, akan tetapi setiap serangan apabila mengenai sasaran tentu akan menewaskan nyawa pemuda itu, sedangkan serangan- serangan Tiong San biarpun cukup ganas, akan tetapi ia tidak mempunyai maksud untuk membunuh orang. Kini karena keadaannya terdesak betul-betul, tiba-tiba ia berseru keras dan kini cambuknya berputar-putar menghantam ketiga orang pengeroyoknya sambil mengeluarkan suara “tar tar tar!” yang nyaring sekali dan memekakkan telinga ketiga orang pengeroyoknya!

Inilah ilmu cambuk Im-yang-joan-pian yang luar biasa hebatnya! Suara-suara yang keluar dari cambuk itu memang disengaja untuk mengacaukan pemusatan perhatian lawan dan untuk membingungkan lawan, karena pada saat cambuk berbunyi, ujungnya tidak menyerang, dan diam-diam tanpa mengeluarkan bunyi tiba-tiba ujungnya menghantam ke tempat berbahaya. Ada kalanya hal ini dibalikkan, dan pada saat lawan telah menjadi biasa dengan suara itu dan menganggap suara itu hanya gertakan belaka, tahu-tahu sambil mengeluarkan suara keras, ujungnya menyambar dengan cepat!

Karena ilmu cambuk Im-yang-joan-pian mempunyai gerakan kasar dan halus sesuai dengan sifat Im dan Yang (negatif dan positif), dan dengan digunakannya akal ini, maka Ban Kong yang kurang cepat gerakannya, ketika cambuk menyambar ke arah lehernya dan ia menangkis dengan ruyungnya, cambuk itu biarpun telah tertangkis, akan tetapi dengan sekali libatan, ujungnya masih meluncur terus dan berhasil menotok jalan darah yan-goat-hiat di bawah ketiak kanannya sehingga tiba-tiba ia merasa betapa tangan kanannya menjadi kaku dan senjatanya terlepas dari pegangan! Ia cepat melompat ke belakang sambil berseru nyaring dan tangan kanannya untuk sementara menjadi mati sehingga ia tidak dapat bertempur lagi!

“Ha ha, bagus, bagus!” Thian-te Lo-mo bersorak-sorak dari atas tiang penglari. Para perwira yang melihat ini lalu menghujani am-gi (senjata rahasia) lagi kepada kakek itu yang masih saja mempergunakan kedua kakinya yang ongkang-ongkang untuk menendang semua senjata yang melayang ke arah tubuhnya. Akan tetapi regu panah mulai beraksi dengan anak panah mereka yang menyerang bagaikan hujan. Ia lalu menggunakan cambuknya yang diputar ke bawah dan semua anak panah kena dikebut runtuh kembali ke bawah!

Biarpun telah mengalahkan Ban Kong, namun Bu Tong Cu dan Lee Siat masih merupakan lawan berat bagi Tiong San sehingga pertempuran masih berjalan amat ramai dan serunya. Pada saat itu terdengar bentakan hebat dan dari luar melayang tubuh seorang tinggi kurus. Begitu ia menyerbu ke dalam pertempuran dan menggerakkan senjata di tangan kiri yang berupa kipas, ujung cambuk Tiong San kena dikebut dan ujungnya membalik terpental karena dorongan tenaga yang luar biasa!

Tiong San terkejut sekali dan melompat mundur menjauhi. Ketika ia memandang, ternyata yang datang ini adalah seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memelihara jenggot panjang sampai ke dada. Tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya juling, yakni manik matanya di kanan kiri berada di ujung mendekati hidung sehingga mata itu nampak lucu dan aneh, tidak tahu sedang memandang ke mana! Inilah Im-yang Po-san Bu Kam, si Kipas Mustika Im-yang, jago istana kaisar yang menjadi seorang di antara perwira-perwira kelas satu. Senjata di tangannya adalah sepasang kipas berwarna putih dan hitam, gagang kipas terbuat daripada baja tulen dan permukaan kipas terbuat dari pada benang perak. Batang kipas yang terbesar di tangan kiri mempunyai ujung yang runcing dan sifat kipas inilah yang membuat senjata aneh itu disebut Im-yang Po-san atau Kipas Mustika Im-yang karena kipas ini mempunyai dua sifat yang bertentangan.

Kipas di tangan kiri berwarna hitam dan bersifat keras, sedangkan kipas di tangan kanan yang berwarna putih bersifat lemas. Ia dapat memainkan dua kipas ini dengan gerakan-gerakan yang berbeda dan berlawanan, dan orang yang dapat memainkan dua senjata di dunia dengan tangan dan tenaga yang berlainan, yakni tenaga gwakang (tenaga kasar) dan tenaga lweekang (tenaga leams) atau yang disebut juga tenaga luar dan tenaga dalam, tentu saja dapat dibayangkan betapa tinggi dan lihainya ilmu kepandaiannya!

Jumlah perwira kelas satu di istana kaisar ada lima orang dan dalam hal permainan senjata, Bu Kam telah menduduki tempat tinggi, dan pengalaman bertempurnya yang sudah puluhan tahun itu membuat ia lebih tangguh lagi. Dulu, ketika Thian-te Lo-mo mengacau di istana dan kota raja, pernah Im-yang Po-san Bu Kam ini ikut mengeroyoknya dan pada waktu itu memang ia kalah menghadapi Thian-te Lo-mo.

Akan tetapi semenjak dikalahkan oleh kakek sakti itu, Bu Kam telah melatih diri dengan hebat sekali sehingga kini ilmu kipasnya jauh lebih tinggi dari pada dahulu. Ketika ia mendengar bahwa musuh besarnya membawa seorang murid datang lagi ke kota raja untuk mengacau, maka ia yang kebetulan berada di tempat penjagaan dan menerima laporan ini, segera datang membawa kipasnya dan sekali kebut saja ia berhasil membuat cambuk di tangan Tiong San terpental ujungnya!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar