Pembakaran Kuil Thian Lok Si Jilid 5

Jilid 5

Bagian 13. Penyelidikan di Kuil Thian Lok Si

Pada saat orang-orang memuji Cin pau, tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan-bayangan orang dan biarpun Cin Pau dan Kim-i Lokai bermata tajam, namun mereka berdua inipun tidak melihat dengan jelas gerakan orang-orang yang baru datang dan tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri dua orang tosu tua.

Ketika Gak Song Ki melihat dua orang tosu ini, dengan girang sekali ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berseru, “Suhu dan Supek !”

Maka tahulah mereka bahwa yang datang ini adalah dua orang tokoh Gobi-san yang terkenal, yakni Cin Can Cu dan Bok San Cu. Semua orang, juga Cin Pau lalu menjura dan memberi hormat kepada dua orang tosu lihai ini. Ketika Cin Pau mendengar bahwa kedua orang tosu ini adalah kedua guru Siauw Eng, maka ia menjadi kagum. Tak heran apabila gadis itu lihai karena guru-gurunya juga begini tinggi ilmu kepandaiannya.

Ternyata bahwa kedatangan kedua tokoh Gobi-san inipun atas undangan dan permohonan Gak Song Ki untuk membantu dia melakukan tugas yang diperintahkan oleh kaisar, yakni membasmi kuil Thian Lok Si. Oleh karena ia maklum bahwa hwesio-hwesio di Thian Lok Si memang berkepandaian tinggi, maka ia lalu minta pertolongan mereka.

Pada waktu itu, memang terjadi sedikit pertentangan antara para tosu dan para hwesio, yakni pemeluk agama To dan Agama Buddha, hingga ketika mendengar betapa hwesio-hwesio di Thian Lok Si berubah jahat dan bersekutu hendak memberontak, kedua orang tosu itu menjadi marah dan segera datang untuk membantu Gak Song Ki membasmi kuil itu. Pada masa itu, tidak sedikit terdapat hwesio- hwesio yang jahat, karena banyak orang-orang jahat dengan berkedok menjadi pendeta dan menggunduli rambutnya, masih tetap melakukan kejahatan mereka sehingga hal ini tentu saja menodai nama para hwesio umumnya.

Dengan datangnya dua orang sakti ini, maka pihak para perwira yang hendak menjalankan perintah kaisar itu menjadi kuat sekali, apalagi di pihak mereka terdapat juga Cin Pau yang biarpun masih muda, akan tetapi sudah boleh diandalkan karena kepandaiannya yang tinggi itu.

Penyerbuan kuil Thian Lok Si akan dilakukan pada keesokkan harinya, dan Gak Song Ki segera minta kepada kedua orang tosu itu untuk bermalam di gedungnya. Hal ini diterima baik oleh dua orang tokoh Gobi-san itu yang ingin sekali melihat murid mereka Siauw Eng.

Karena makin tertarik dan suka kepada Cin Pau, Gak-ciangkun lalu membujuk-bujuk agar supaya pemuda itu suka pula mampir dan bermalam di rumahnya. Cin Pau tak dapat menolak, terutama karena ia ingin bercakap-cakap dengan kedua orang pendekar tua dari Gobi-san itu, katanya. Padahal, di lubuk hatinya ada suara yang hanya didengarnya sendiri, yang berbisik bahwa ia ingin bertemu atau melihat wajah Siauw Eng, dara jelita yang sombong dan galak itu.

Ketika mendengar tentang kedatangan dua orang suhunya, Siauw Eng menjadi girang sekali dan ia berlari-lari menyambut kedatangan kedua orang tosu itu. Dengan girang sekali ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang suhunya yang juga memandangnya dengan bangga dan senang. Mereka lalu beramai-ramai masuk ke dalam dan ketika dara itu bertemu pandang dengan Cin Pau, mulutnya bergerak seperti hendak menegur karena ia merasa heran sekali, akan tetapi ia tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya dari pandang matanya Cin Pau tahu bahwa gadis itu tidak marah. Bahkan bibir yang manis itu kemudian tersenyum kepadanya, seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama yang baik hubungannya. Ketika ditanya, Cin Pau mengaku bahwa ia adalah murid Bu Eng Cu Tiauw It Lojin. Ia tidak mau memberitahu bahwa iapun murid Beng Hong Tosu, karena ia maklum bahwa nama ini tentu akan dihubungkan pula dengan keluarga Khu dan Ma yang menjadi muridnya, dan juga dengan Un Kong Sian. Dalam keadaan seperti ini dan karena berada di kota raja, ia harus berlaku hati-hati dan jangan menimbulkan kecurigaan di kalangan perwira. Bukan karena ia takut, akan tetapi karena ia tidak mau menghadapi kesulitan-kesulitan baru.

Kedua orang tosu itu pernah bertemu dengan Bu Eng Cu dan telah tahu kelihaian orang sakti itu, maka mereka menyatakan kagumnya dan memuji Cin Pau sebagai seorang pemuda yang berbakat dan beruntung menjadi murid orang pandai itu. Ketika melihat betapa pemuda baju putih itu mendapat penghargaan dari Cin San Cu dan Bok San Cu, makin kagumlah hati Gak Song Ki, bahkan pandangan Siauw Eng terhadap Cin Pau mulai berubah dan tidak berani memandang rendah lagi.

Ketika diperkenalkan kepada ibu Siauw Eng, Cin Pau merasa suka melihat nyonya yang cantik jelita dan halus tutur sapanya itu hingga menimbulkan hormatnya. Sebaliknya, Souw Kwei Lan atau ibu Siauw Eng yang telah menjadi nyonya Gak Song Ki, memandang wajah yang tampan itu dengan heran karena ia seakan-akan pernah melihat dan kenal wajah ini, akan tetapi tak dapat mengingat lagi di mana dan kapan. Tentu saja ia sama sekali tak dapat menduga bahwa pemuda tampan yang duduk di depannya dengan muka tunduk ini adalah putera tunggal Ong Lin Hwa dan Khu Tiong.

Sementara itu, Siauw Eng mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan kedua suhunya dengan penuh perhatian. Ia merasa penasaran sekali mengapa ayahnya melarang ia untuk ikut menyerbu kuil itu dan membantu membasmi para penjahat. Di dalam hati gadis yang selalu dimanja ini timbul pemberontakan hebat. Belum pernah kehendaknya tak terpenuhi, bahkan ketika berada di atas puncak Gobi-san, kedua suhunyapun amat memanjakannya, maka ia diam-diam mengambil keputusan untuk meninjau sendiri dan menyelidiki keadaan kuil itu.

Demikianlah, ketika semua orang sedang bercakap-cakap, diam-diam ia pergi ke kamarnya, kemudian mengambil jalan dari pintu belakang ia lalu naik ke atas punggung kuda putihnya dan pergi meninggalkan kota. Ia telah diberitahu letak kuil Thian Lok Si dan pada senja hari itu ia membalapkan kudanya menuju ke kuil itu.

Ia tidak tahu bahwa ketika beberapa lama ia pergi meninggalkan ruang tamu, Cin Pau merasa tidak senang lagi duduk di situ dan Gak Song Ki menganggap bahwa pemuda itu tentu telah lelah dan ingin beristirahat, maka ia lalu mengantarkannya ke sebuah kamar yang disediakan untuknya. Begitu berada di dalam kamar seorang diri, timbul keinginan di dalam hati pemuda ini untuk menyelidiki keadaan kuil Thian Lok Si yang hendak diserbu itu. Ia tidak merasa heran mendengar bahwa pendeta-pendeta di situ menjadi jahat, karena seringkali ia mendengar adanya hwesio-hwesio yang berjalan sesat dan menjadi penjahat.Bahkan, kedua saikong yang dijumpainya dengan Siauw Eng itu, yakni Pek Lek Hoatsu dan Ban Lek Hoatsu, bukankah mereka itupun dua orang pendeta yang jahat sekali ?

Akan tetapi yang amat membuatnya penasaran ialah justru karena kuil itu pernah menolong ibunya, mengapa kini menjadi sarang penjahat ? Diam-diam ia merasa ragu-ragu dan kini timbul pikirannya hendak menyelidiki pula. Tadi di dalam percakapan, secara tidak langsung ia telah bertanya tentang letak kuil itu yang berada di dusun tak berapa jauh dari Tiang-an.

Setelah mengambil keputusan tetap ia lalu melompat keluar dari jendela kamarnya, menutup daun jendela dari luar, lalu pergi tanpa diketahui orang, menuju ke kuil itu. Ia tidak tahu bahwa belum lama Siauw Eng telah pergi pula ke sana menunggang kuda.

Siauw Eng adalah seorang gadis yang berhati tabah sekali. Ia telah seringkali bermain-main dan berburu binatang di dalam hutan-hutan di sekitar Tiang-an, baik seorang diri maupun bertiga bersama Gu Liong dan Gu Hwee Lian maka ia kenal baik jalan yang melalui hutan itu.

Setelah tiba di luar dusun Ma-cin-kiang di mana kuil Thian Lok Si berada, ia lalu turun dari kudanya dan mengikat kendali kuda pada sebatang pohon. Ia lalu melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat. Dari jauh telah nampak bangunan kuil yang besar itu di bawah sinar bulan purnama. Hatinya agak berdebar ketika menyaksikan bangunan yang besar dan megah itu. Teringat akan penuturan ayahnya bahwa di dalam kuil ini berdiam puluhan hwesio yang berilmu tinggi.

Dengan hati-hati Siauw Eng lalu mengambil jalan memutar dan kini ia berdiri di bawah dinding kuil yang tinggi dan yang mengitari bangunan besar itu. Karena di situ sunyi, maka ia lau mengenjot tubuhnya dan melayang naik ke atas dinding. Dari tempat itu ia memeriksa ke dalam sambil berjongkok. Tak tampak seorangpun hwesio di situ dan yang terdengar hanyalah suara hwesio-hwesio membaca liamkeng sebagaimana biasanya terdengar dari kelenteng-kelenteng. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka setelah yakin betul bahwa tidak ada orang yang melihatnya, ia lalu melompat turun dengan ringan hingga tak menerbitkan suara. Dengan jalan perlahan dan bersembunyi di belakang pohon-pohon yang tumbuh di situ. Ia menghampiri bangunan besar itu dari belakang.

Tiba-tiba ia mendekam di belakang sebatang pohon besar ketika melihat dua tubuh hwesio yang gemuk keluar dari pintu sambil bercakap-cakap. Kedua orang hwesio ini ternyata membawa keranjang berisi sisa-sisa tangkai hio (dupa) yang terpakai siang tadi oleh para pengunjung kuil dan membuangnya sisa- sisa biting itu ke dalam sebuah keranjang sampah besar yang tersedia di belakang kuil. Kemudian mereka berjalan kembali ke arah pintu sambil bercakap-cakap.

“Kata suhu mungkin besok mereka datang menyerbu,” kata seorang di antara mereka.

Terdengar tarikan napas panjang. “Mereka itu menghendaki apa ? Kalau Pek Seng Lo-suhu berada di sini, tentu ia akan marah sekali dan takkan membiarkan mereka berbuat kurang ajar !”

“Memang, Sian Kong Suhu terlalu sabar dan mengalah.” “Ia selalu nampak berduka.”

“Kasihan ”

Kedua orang hwesio ini masuk ke dalam kuil itu melalui pintu belakang hingga Siauw Eng tak mendengar percakapan mereka lebih lanjut lagi. Ia lalu menghampiri pintu itu, akan tetapi ketika melihat betapa di balik pintu itu terdengar suara orang-orang bercakap-cakap, ia tidak berani masuk, lalu melompat naik ke atas genteng.

Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba sesosok bayangan hitam melompat pula dan seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam telah berdiri di depannya. Hwesio ini mukanya buruk dan nampak galak dan jahat sekali.

“Kau siapa dan apa kehendakmu datang malam-malam di atas kuil kami ?” bentak hwesio itu dengan wajah bengis.

“Hwesio jahat !” Siauw Eng balas membentak sambil menyerang dengan pedangnya. Gadis ini baru melihat muka ini saja sudah tidak meragukan lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang jahat dan mungkin yang memimpin kejahatan di dalam kuil ini, karena ia mendengar dari ayahnya bahwa hwesio-hwesio itu dipimpin oleh seorang hwesio jahat yang tidak saja memberontak, akan tetapi juga melakukan segala macam kejahatan seperti merampok, memeras, mengganggu wanita, dan lain-lain. Ia tidak tahu bahwa ayahnya juga hanya mendengar saja dari Can Kok yang suka sekali memburukkan nama kuil ini.

Melihat serangan yang hebat itu, hwesio muka hitam itu lalu mengelak cepat dan membalas dengan serangan tangan kosong. Akan tetapi, Siauw Eng terlampau gesit untuk dapat dilawan dengan tangan kosong saja sehingga lambat laun hwesio muka hitam itu merasa sibuk juga. Pada saat itu terdengar bentakan halus,

“Nona, mengapa kau mengacau di tempat suci ini ?”

Kaget sekali hati Siauw Eng, karena pada saat ujung pedangnya telah mengancam leher muka hitam itu tiba-tiba pedangnya tersampok ke samping oleh tenaga yang kuat sekali dan tidak tahunya tiba-tiba telah muncul seorang hwesio yang belum terlalu tua, akan tetapi yang bersikap lemah lembut. Hwesio inilah yang mempergunakan lengan bajunya untuk menyampok pedang Siauw Eng tadi.

Siauw Eng tercengang karena keadaan hwesio yang baru datang ini jauh sekali bedanya dengan hwesio tadi yang kini telah berdiri di pinggir dengan tak bergerak. Hwesio ini bermuka halus dan bersih, bahkan dapat disebut tampan. Sepasang matanya bersinar lembut dan seperti orang berduka dan menderita tekanan batin. Jubahnya berwarna putih bersih.

“Nona, kau siapakah dan mengapa malam-malam kau datang membikin ribut di tempat pinceng ?” “Aku .... aku ingin melihat sampai di mana kejahatan hwesio-hwesio di kuil Thian Lok Si !” Akhirnya

Siauw Eng dapat juga menjawab karena keberaniannya timbul kembali.

Terdengar hwesio muka hitam itu mengertak giginya hingga berkerutan, akan tetapi hwesio yang halus tutur sapanya ini hanya tersenyum sedih. “Nona, baik dan buruk hanya sebutan orang, demikianpun bajik atau jahat, tergantung dari mereka yang memandang dan menganggapnya. Adakalanya seorang yang betul-betul baik dianggap jahat, sebaliknya yang jahat dianggap baik. Ini tidak aneh, memang demikianlah sifat dunia !”

Ucapan ini menikam hati Siauw Eng betul-betul, karena ia merasa betapa ucapan ini amat tepat. “Suhu ini ....... siapakah ?” tanyanya gagap.

“Pinceng yang mengepalai dan memimpin kuil Thian Lok Si, disebut Sian Kong Hosiang. Kau yang begini muda, mudah sekali mendengar bujukan orang yang sengaja memburukkan nama kuil ini. Akan tetapi tidak apalah, kalau kau memang tetap hendak mempergunakan kekerasan dan tidak percaya omongan pinceng, boleh kau lakukan apa yang kau suka. Hanya ingatlah, bahwa kepandaian di dunia ini tidak ada batasnya, adapun tentang kepandaianmu, biarpun kau telah mendapat latihan dari Gobi- san yang cukup sempurna, namun pengalamanmu masih jauh dari pada cukup.”

Siauw Eng yang tadinya merasa ragu-ragu dan tidak mau menyerang hwesio yang kelihatan baik dan halus tutur sapanya ini, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan terakhir dari hwesio itu, timbul pula marahnya dan timbul pula kesombongannya. Bagaimana hwesio ini berani menyatakan bahwa kepandaiannya masih belum mencukupi ?

“Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani berkedok jubah hwesio memimpin kejahatan !” teriaknya dan tanpa pikir panjang lagi ia lalu menikam ke arah ulu hati hwesio itu dengan gerak tipu Pek Tiauw Pok Cui atau Rajawali Putih Sambar Air, sebuah tipu serangan dari ilmu pedangnya Pek Tiauw Kiamhwat.

“Hm, ganas dan sombong !” Sian Kong Hosiang yang bukan lain ialah Un Kong Sian sendiri itu mengelak cepat dan dengan ujung lengan bajunya ia mengebut cepat ke arah pergelangan tangan Siauw Eng. Akan tetapi, gadis itu telah memiliki ilmu silat cukup tinggi, maka biarpun kebutan ini cepat dan kuat, namun ia dapat menarik kembali tangannya hingga terhindar daripada kebutan. Siauw Eng dengan penasaran terus menyerang bertubi-tubi dan Sian Kong Hosiang hanya mengelak saja sambil tersenyum sabar.

“Sute, mengapa kau mengalah saja ? Robohkan perempuan kejam dan jahat ini !” kata hwesio muka hitam dengan suara marah. Akan tetapi Sian Kong Hosiang hanya tersenyum saja.

“Sabar, Lokai, anak ini masih belum tahu apa-apa !” Dan dengan cepatnya ujung lengan bajunya menangkis pedang Siauw Eng hingga gadis itu merasa telapak tangannya tergetar. Dengan nekad ia menyerang terus akan tetapi ia seakan-akan menghadapi bayangannya sendiri, sama sekali tak mampu melukai atau menjatuhkannya.

Ternyata ilmu kepandaian hwesio yang halus tutur sapanya itu masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Siauw Eng mulai menjadi gugup setelah menyerang selama lima puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak, dan pada suatu saat ketika ia menyerang dengan ganas ke arah lambung hwesio itu, tahu-tahu ujung lengan baju Sian Kong Hosiang yang panjang itu telah membelit pedangnya dan sekali betot saja pedangnya telah kena rampas.

Siauw Eng berdiri bingung dan malu, akan tetapi Sian Kong Hosiang lalu melemparkan pedang itu dengan gagangnya lebih dulu ke arah Siauw Eng. “Terimalah kembali pedangmu dan kau pulanglah, nona !” kata hwesio itu. Suaranya tetap halus dan sabar dan sedikitpun tidak mengandung ejekan hingga Siauw Eng merasa malu dan menyesal. Tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu ia lalu melompat pergi dari genteng kuil dan lari secepatnya menuju ke kota.

Akan tetapi baru saja ia melompat turun dari genteng, sesosok bayangan putih telah menghampirinya dari depan dan menegur, “Kau pulang dari manakah ?”

Siauw Eng terkejut dan berhenti. Ternyata bahwa orang itu adalah Cin Pau yang juga pergi dengan maksud menyelidiki keadaan kuil Thian Lok Si. “Kau Cin Pau ?” kata Siauw Eng dengan heran.

Berdebarlah hati Cin Pau karena gadis ini memanggil namamya seakan-akan mereka telah lama menjadi kenalan baik. Maka iapun melenyapkan rasa sungkan dan malu, lalu menjawab,

“Siauw Eng, tak kusangka kau berada pulka di sini. Aku bermaksud menyelidiki kuil Thian Lok SI.” “Jangan !” Dia berbahaya dan lihai sekali !” jawab nona itu.

“Siapa dia ?” tanya Cin Pau heran.

“Ketahuilah, baru saja akupun pergi menyelidiki kuil Thian Lok Si dan bertemu dengan seorang hwesio jahat seperti setan. Akan tetapi dia ini belum dapat dikatakan tinggi ilmu silatnya karena mungkin kau atau aku dapat menghadapinya, akan tetapi ketuanya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya. Mungkin guru-guruku baru setanding untuk menghadapinya.”

Dengan singkat Siauw Eng menceritakan pengalamannya dan diam-diam Cin Pau terkejut juga, karena kalau hwesio itu dapat menghadapi Siauw Eng dengan tangan kosong selama lima puluh jurus bahkan telah merampas dan mengembalikan pedang gadis ini, tentu ia memiliki kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah.

Keduanya lalu mencari kuda Siauw Eng dan segera kembali ke kota raja. Di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap seakan-akan mereka telah menjadi kenalan baik dan melihat sikap Siauw Eng yang sama sekali tidak malu-malu itu, diam-diam Cin Pau mempunyai anggapan lain. Kalau dulunya ia menganggap Siauw Eng sombong dan galak, sekarang dianggapnya gadis itu jujur dan sopan, bahkan menarik hati sekali.

Bagian 14. Penyerangan ke Kuil Thian Lok Si

Setelah Siauw Eng pergi, Sian Kon Hosiang menghela napas dan berkata kepada hwesio muka hitam itu, “Lokoai, sungguh jahat sekali perwira she Can itu. Ia telah menghasut semua orang gagah untuk memusuhi kita.”

Dengan muka bersungut-sungut si muka hitam itu berkata, “Salahmu sendiri, sute. Telah berkali-kali kukatakan bahwa manusia jahat seperti Can Kok itu harus dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membuat kekacauan lagi, akan tetapi kau selalu melarang. Dia menaruh dendam semenjak kukalahkan dulu ketika ia mengejarmu dan karena ia agaknya tahu pula bahwa kau adalah pemuda yang dulu dikejar-kejarnya, maka tentu saja ia takkan berhenti sebelum menghancurkan kita sebagai pembalasan dendam. Kalau kau suka, malam ini juga aku dapat pergi ke rumahnya dan menghabiskan nyawanya yang kotor itu.”

Sian Kong Hosiang menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, “Bukan demikianlah jalan keluar yang harus diambil oleh orang-orang yang membersihkan batin seperti kita, Lokoai !”

“Ah, kau lebih sabar dan sulit dari pada Pek Seng Suhu !” Sambil bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah, si muka hitam lalu mengiringkan sutenya itu melompat turun dari atas genteng. “Besok kalau mereka datang menyerang, apakah kau juga tidak hendak melawan ?”

“Bagaimana besok sajalah. Kita hanya membela diri dan baru turun tangan apabila mereka mengganggu,” jawab Sian Kong Hosiang dengan sabar akan tetapi tetap.

Hwesio muka hitam yang disebut Lokoai ini memang adalah hwesio yang dulu mengalahkan Can Kok. Dia mempunyai riwayat hidup yang cukup menarik. Sebelum ia menggunduli kepalanya dan masuk menjadi hwesio, namanya adalah Li Song Ek dan ia terkenal sebagai seorang perampok yang kejam dan ganas serta memiliki ilmu silat tinggi.

Pada suatu hari, di dalam hutan yang menjadi daerah operasinya, kebetulan sekali lewat Bu Eng Cu Tiauw It Lojin. Li Song Ek tidak kenal kepada orang tua ini dan turun tangan merampoknya, akan tetapi ia ternyata telah menemui batu. Dengan mudah saja Bu Eng Cu telah menjatuhkannya. Kepala perampok yang bermuka hitam dan yang amat menyombongkan kepandaian sendiri ini tentu saja merasa penasaran sekali mengapa seorang kakek dengan tangan kosong mudah saja menjatuhkannya dalam dua tiga jurus. Berkali-kali, ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kesudahannya hebat. Tiap kali ia menyerang selalu ia terjungkal. Akhirnya dia menyerah dan berlutut di depan Bu Eng Cu Tiauw It Lojin, mohon menjadi muridnya.

Bu Eng Cu Tiauw It Lojin kasihan melihat orang kasar yang telah menjalani cara hidup sesat ini. Ia melihat bahwa orang ini pada hakekatnya jujur dan tidak jahat, bahkan memiliki bakat cukup baik dalam ilmu silat. Maka ia lalu mengajukan syarat bahwa apabila Li Song Ek mau bertobat dan suka menjadi hwesio, ia mau mengampuninya dan memberi pelajaran silat. Karena hatinya telah tetap dan bulat hendak menebus dosa, pada saat itu juga Li Song Ek membubarkan semua anak buahnya dan dengan pedang lalu mencukur rambutnya hingga gundul plontos. Kemudian ia ikut Bu Eng Cu merantau sambil menerima latihan ilmu silat dari kakek sakti itu.

Bu Eng Cu tidak hanya memberi latihan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu batin untuk membersihkan batin bekas kepala perampok itu. Benar saja, Li Song Ek menjadi sadar dari pada segala dosa yang pernah diperbuatnya, maka setelah ia diperkenankan melakukan perjalanan merantau seorang diri, ia lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menolong orang. Oleh karena mukanya buruk dan hitam sedangkan tubuhnya agak bongkok, maka orang-orang memberi julukan kepadanya Sin-jiu Lokoai atau Setan Tua Tangan Sakti. Ia suka sekali dengan julukan ini hingga selanjutnya ia memperkenalkan diri dengan nama baru ini dan namanya sendiri telah dilupakan.

Biarpun perangainya telah berubah, namun sifat kersa dan tak mau kalah di dalam hatinya tetap belum lenyap. Setiap kali ia mendengar ada orang pandai, tentu ia ingin mencoba kepandaian orang itu.

Pada suatu hari, ia tiba di kuil Thian Lok Si. Para hwesio menyambutnya dengan ramah tamah dan baik, dan kepadanya lalu dihidangkan makanan dan masakan dari sayur tanpa daging. Hal ini membuat Sin-jiu Lokoai merasa tak puas.

“Mana daging dan arak ? Saudara-saudara harap jangan terlalu kikir, betapapun juga aku adalah seorang tamu yang harus dihormati sepantasnya. Kalau saudara-saudara datang ke tempatku, biarpun aku hanya mempunyai seekor ayam atau seekor babi, tentu akan kupotong dan dagingnya kusuguhkan kepada saudara-saudara. Adapun tentang arak wangi, kalau aku tidak punya uang, aku bisa berhutang kepada warung arak.”

Para hwesio yang menyambutnya saling pandang dengan melongo. Selama hidup, mereka belum pernah melihat hwesio yang seaneh ini.

“Saudara yang baik,” kata seorang di antara mereka, “Kami di sini tidak memiliki babi atau ayam.”

“Ha, ha, ha, jangan kau membohong, itu tak baik bagi seorang hwesio. Bukan ayamkah yang berjalan di sana itu ?” Ia lalu menuding ke arah pekarangan depan di mana memang terdapat dua ekor ayam gemuk sedang makan cacing.

“Itu bukan ayam kami, itu adalah ayam tetangga,” kata hwesio tadi.

“Meminjam ayam tetangga untuk menghormati tamu apa salahnya ? Besok kan dapat diganti dengan uang !” Sambil berkata demikian, Lokoai lalu memungut batu kecil dan sekali ia mengayunkan tangannya, seekor ayam roboh berkelonjotan dan mati seketika itu juga. Ternyata bahwa batu kecil itu telah menyambar lehernya hingga leher ayam itu hampir putus, seperti disembeli dengan pisau tajam saja. “Nah, itu sudah ada daging ayam harap saudara jangan berlaku kikir dan suka memasakkan daging ayam itu untuk saudaramu yang kelaparan ini !”

Kejadian ini membuat semua hwesio yang berada di situ menjadi tak senang dan juga kuatir. “Saudara, bagaimana seorang suci berlaku seperti ini ? Apakah kau lupa bahwa Sang Buddha menyintai segala benda di dunia ini dan kita sekali-kali tidak boleh mengganggunya hanya untuk kesenangan diri sendiri saja ? Apalagi membunuh nyawa ayam untuk dimakan dagingnya. Dan minum arak lagi. Bukankah arak itu minuman yang bisa mengotorkan pikiran dan batin ? Saudaraku yang baik, bagaimana kau masih belum insaf dan sadar ?”

Tiba-tiba Lokoai tertawa tergelak-gelak. “Ha, ha, ha, ini semua memang masih bodoh ! Kenapakah hwesio tidak boleh makan daging dan minum arak ? Kita ini bermulut, berperut, dan mempunyai rasa yang ingin menikmati kelezatan makanan. Mengapa berpura-pura alim di luar akan tetapi di dalam hati mengilar melihat dan mengenangkan makanan lezat ? Aku tak dapat begitu, biarpun kepalaku telah menjadi gundul. Kalau aku suka, aku makan saja, karena hal itu baik bagi mulut dan perut. Kalian tidak suka, sudahlah, aku sendiri masih sanggup untuk menghabiskan seekor ayam saja.”

“Omitohud ...” tiba-tiba terdengar suara perlahan dan halus dan seorang hwesio tua keluar dari dalam. Hwesio ini adalah Pek Seng Hwesio yang menjadi ketua dari Thian Lok Si. “Sungguh picik dan sempit pandangan saudara ini, akan tetapi hal itu dapat dimaafkan karena kau masih bodoh.”

Lokoai ketika melihat seorang hwesio tua yang bersikap lemah lembut keluar dan datang-datang menganggapnya picik dan sempit pandangan serta menyebutnya masih bodoh, segera melompat berdiri dengan marah. “Kau ini siapa, datang-datang berani memaki padaku ? Aku Sin-jiu Lokoai tidak biasa menerima hinaan orang.”

“Pantas, pantas    ” kata Pek Seng Hwesio, “jadi saudara yang bernama Sin-jiu Lokoai ? Pinceng

adalah Pek Seng Hwesio, ketua dari kuil ini.”

“Mengapa kau menyebutku picik dan bodoh ?” tanya Lokoai dengan marah sekali.

“Nah, nah seorang hwesio yang masih bisa marah-marah seperti kau, bukankah itu bodoh ?

Memang nafsu itu berantai, satu timbul lalu membangkitkan yang lain ! Nafsumu yang serakah akan makanan barang berjiwa itulah yang membangkitkan dan membesarkan nafsu amarah yang kini berkobar di dadamu. Pelajaran sang Buddha berdasarkan cinta kasih, cinta kasih yang suci murni terhadap segala benda di dunia ini, dan pelajaran memutuskan diri dari belenggu karma yang yang menimbulkan segala kesengsaraan dunia. Apakah nafsumu masih begitu tebal dan kau masih begitu senang terbelenggu oleh rantai-rantai emas dari karma ? Bagaimana kau dapat mengendalikan nafsu- nafsumu apabila kau masih menuruti segala keinginan makan enak dan minum arak ?”

“Pek Seng Hwesio,” kata Lokoai dengan mata bersinar, “telah lama aku mendengar tentang kelihaianmu, tidak tahunya kau hanya lihai dalam hal memutar lidah. Ingin kulihat apakah kedua tanganmu juga selihai lidahmu !” Sambil berkata demikian, setan tua itu lalu melompat maju, menerjang dengan sebuah pukulan kilat ke arah dada Pek Seng Hwesio.

Akan tetapi hwesio tua itu tidak berkelit sama sekali, hanya mengangkat tangan kirinya dan ketika pukulan tiba, ia menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya, dan sungguh aneh ! Menurut lazimnya, kalau dipukul sekeras-kerasnya, orang itu tentu akan terpental ke belakang, akan tetapi kali ini sebaliknya. Bukan Pek Seng Hwesio yang terpental, akan tetapi bahkan tubuh Sin-jiu Lokoai yang mencelat ke belakang seakan-akan ia dilempar oleh tenaga raksasa. Ternyata bahwa Pek Seng Hwesio telah menggunakan tenaga lweekang yang tinggi dan dipusatkan di telapak tangannya hingga ketika kepalan tangan Lokoai tiba, ia lalu mendorong si muka hitam itu sambil mengembalikan tenaga pukulan.

Sin-jiu Lokoai yang hanya merasa betapa telapak tangan Pek Seng Hwesio lunak sekali dan tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang tanpa dapat di tahan lagi, menjadi terheran-heran dan penasaran sekali. Setelah bangkit kembali, ia lalu menubruk maju pula. Akan tetapi, kembali ia kena didorong roboh ke belakang. Sampai tiga kali ia menyerang dan tiga kali pula ia terguling hingga akhirnya ia insaf bahwa ilmu kepandaian Pek Seng Hwesio benar-benar sangat tinggi, maka serta merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Semenjak saat itu, Lokoai lalu tinggal di dalam kuil Thian Lok Si dan menjadi murid Pek Seng Hwesio. Tentu saja ilmu silatnya maju pesat, juga batinnya menjadi lebih bersih serta wataknya menjadi agak lunak, tidak sekeras dulu walaupun harus diakui bahwa sifatnya yang berangasan dan kasar itu tidak mudah lenyap.

Ketika Can Kok dulu mengejar Un Kong Sian dan Lin Hwa, perwira ini roboh dengan mudah ditangan Lokoai. Dan setelah Pek Seng Hwesio menerima Un Kong Sian sebagai murid yang tersayang, Lokoai masih tetap berada di situ, bahkan ia merasa amat sayang pula kepada Un Kong Sian yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi darinya.

Kemudian Pek Seng Hwesio melakukan perjalanan merantau ke barat dan menyerahkan pimpinan kuil ke dalam tangan Un Kong Sian yang telah mengganti nama menjadi Sian Kong Hosiang, dan Lokoai masih tetap berada di situ membantu sutenya. Biarpun ia menjadi saudara tua dalam perguruan, namun Lokoai yang maklum bahwa ilmu kepandaian Sian Kong Hosiang lebih tinggi darinya, lagi pula dalam segala hal, hwesio muda ini lebih pintar dan lebih terpelajar, maka ia selalu menurut dan tak pernah membantah. Demikian pun, dalam menghadapi serangan Siauw Eng dan menghadapi kemungkinan serbuan para perwira di bawah pimpinan Can Kok, Lokoai selalu menurut kehendak dan keputusan Sian Kong Hosiang.

******

Ketika Siauw Eng dan Cin Pau tiba di rumah Gak Song Ki menjelang fajar, Gak Song Ki dengan heran dan kuatir bertanya dari mana mereka datang. Siauw Eng terus terang menuturkan pengalamannya di kuil Thian Lok Si hingga dengan mengerutkan jidat Gak Song Ki menegur,

“Siauw Eng, lain kali kau janganlah suka berlaku lancang dan membawa kemauan sendiri. Masih untung bahwa kau tidak mengalami bencana dalam perjalanan malam tadi. Kalau sampai kau mendapat celaka dalam tangan hwesio jahat itu, apakah bukan berarti kau membikin susah orang tuamu ?”

Siauw Eng menundukkan kepala saja dan menerima salah, karena memang ia telah terlalu memandang ringan hwesio-hwesio di Thian Lok Si.

“Biarlah, kami berdua yang nanti akan membalaskan penasaran hatimu, Siauw Eng,” kata Bok San Cu yang selalu memanjakan muridnya.

Kemudian Gak Song Ki, Bok San Cu, Cin San Cu dan Cin Pau lalu menuju ke rumah Can Kok di mana telah berkumpul orang-orang gagah lainnya. Setelah itu, mereka beramai lalu berangkat ke kuil Thian Lok Si, diiringkan oleh sepasukan tentara di bawah pimpinan Can Kok, sebanyak seratus orang.

Di sepanjang jalan, rakyat yang melihat pasukan tentara kerajaan ini menyingkir ketakutan oleh karena mereka sudah sering mendengar bahwa semenjak terjadinya pemberontakan petani, banyak penangkapan telah diadakan dan dilakukan oleh tentara kerajaan dengan tuduhan bekas pemberontak. Ketika pasukan itu tiba di depan kuil, semua orang yang sedang bersembahyang di kuil itu pada lari dengan takut, meninggalkan kuil itu.

Sin-jiu Lokoai mengepalai para hwesio melakukan penjagaan dan Lokoai ini sendiri maju menyambut para perwira dengan muka gagah dan tak gentar sedikitpun. Pada saat itu, Sian Kong Hosiang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya hingga yang bertugas mewakilinya dan memimpin para hwesio adalah si muka hitam. Hwesio di Thian Lok Si berjumlah enampuluh tiga orang dan semuanya sedikit banyak memiliki kepandaian ilmu silat hingga mereka telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Semua hwesio ini memang mempunyai perasaan tidak puas dan tidak suka kepada kaisar, dan rata-rata mereka bersimpati kepada para petani yang dulu memberontak karena mereka maklum bahwa kaisar dan kaki tangannya hanyalah serombongan orang-orang yang menghisap rakyat jelata belaka.

Can Kok mencabut keluar surat perintah dari kaisar dan dengan suara nyaring lalu berkata, “Atas nama Kaisar yang mulia, kuil Thian Lok Si harus ditutup dan semua hwesio yang berada di sini harus menyerah untuk menjadi tawanan !”

Lokoai melangkah maju dan menuding dengan tangannya, “Can-ciangkun, kau dulu membuat onar di sini dan pernah berusaha menghina dan membikin kotor tempat suci ini, apakah sekarang kau hendak mengulang perbuatan rendah itu lagi ?”

“Hwesio jahat, jangan kau sombong. Beranikah kau membantah perintah kaisar ?” tiba-tiba Pauw Su Kam melompat ke depan sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya hendak memukul.

“Siapa yang hendak membantah perintah ? Akan tetapi, kami tidak mau begitu saja menyerah menjadi tawanan sebelum dibuktikan kesalahan kami !”

“Kau telah memberontak, berlaku jahat dan menipu rakyat, masih hendak minta bukti lagi ?” bentak Can Kok sambil mencabut pedangnya dan memberi tanda kepada anak buahnya yang segera maju mengurung.

“Itu adalah fitnahan belaka, dan aku tahu fitnahan ini datang dari mulutmu yang kotor dan jahat !” kata Lokoai dengan marah. “Bangsat gundul !” Pauw Su Kam menubruk maju dan memukul dengan ilmu Ang se-ciang ke arah dada Lokoai. Akan tetapi sambil tertawa menghina, Lokoai lalu menangkis dengan dorongan dari samping hingga tubuh Pauw Su Kam terhuyung-huyung. Dari gerakan ini saja dapat dibuktikan kelihaian setan tua bermuka hitam itu. Dan gerakan pertama ini pula yang mencetuskan perang hebat di antara hwesio-hwesio Thian Lok Si dan aparat tentara kerajaan.

Kedua pihak menerjang maju dan sebentar saja ramailah kuil itu dengan suara senjata beradu dan orang-orang berteriak memaki serta kaki tangan bergerak dengan maksud merobohkan lawan. Lokoai mengamuk bagaikan seekor naga hitam dan setelah ia dikeroyok oleh Pauw Su Kam, Can Kok dan Kongsan Hengte, barulah empat orang ini dapat menahan amukannya dan mereka bertempur dengan hebat sekali.

Lokoai mempergunakan sebuah tongkat besi yang diputar hebat dan mengandung tenaga luar biasa besarnya hingga tiap kali senjata lawan bertemu dengan tongkatnya, lawannya itu merasa betapa tangan mereka menjadi sakit. Akan tetapi, oleh karena keempat pengeroyok inipun bukanlah lawan- lawan yang rendah ilmu silatnya, maka Lokoai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, terutama dari kedua saudara dari Kongsan itu yang memainkan poan-koan pit dan joan- pian secara luar biasa sekali.

Seratus orang anggauta tentara kerajaan lalu menyerbu ke dalam, disambut oleh enam puluh tiga orang hwesio dari Thian Lok Si hingga terjadilah perang yang amat dahsyat. Biarpun jumlah para hwesio itu kalah banyak, namun berkat perlawanan mereka yang penuh semangat dan ilmu silat mereka yang cukup baik, maka keadaan menjadi seimbang dan boleh dibilang setiap orang hwesio menghadapi dua orang pengeroyok.

Ketika melihat betapa empat orang kawan mereka dapat menahan amukan Lokoai, maka Gak Song Ki lalu lari ke dalam untuk melakukan penggeledahan, diikuti oleh Cin San Cu, Bok San Cu, Kim-i Lokai, dan Cin Pau, sedangkan orang-orang gagah lain lalu mengamuk membantu para tentara untuk membasmi hwesio-hwesio itu.

Kalau saja Cin Pau tidak ikut dengan Gak Song Ki menyerbu ke dalam, tentu ia akan merasa heran sekali melihat betapa kadang-kadang Lokai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat yang sama betul dengan ilmu silat yang ia pelajari dari suhunya Tiauw It Lojin. Akan tetapi, oleh karena iapun ingin sekali melihat apa yang berada di dalam kuil itu dan yang menjadi kejahatan kuil ini, maka ia ikut masuk ke dalam.

Pada saat itu, atas bantuan para orang gagah, pihak hwesio terdesak hebat dan telah mulai jatuh korban-korban di pihak mereka. Can Kok lalu memberi aba-aba dan beberapa orang anak buahnya yang telah mendapat tugas khusus lalu lari ke belakang dan mulai menyalakan api membakar kuil Thian Lok Si bagian belakang. Beberapa orang hwesio hendak menghalangi perbuatan kejam ini, akan tetapi mereka ini roboh di bawah sabetan pedang para tentara kerajaan hingga makin banyaklah kurban yang roboh mandi darah.

Pada saat Gak Song Ki dan kawan-kawannya berada di ruang tengah, tiba-tiba terdengar suara halus, “Omitohud ! Alangkah kejam kalian ini. Terpaksa pinceng turun tangan !” Dan berkelebatlah bayangan Sian Kong Hosiang dengan sebatang pedang di tangan.

Cin San Cu dan Bok San Cu, dibantu oleh Kim-i Lokai, lalu maju menyerang dan mereka ini terkejut sekali menyaksikan kehebatan gerakan pedang hwesio ini. Dengan mengeroyok tiga, masih saja mereka tak dapat mendesak Sian Kong Hosiang yang memainkan pedangnya secara luar biasa cepatnya hingga sinar pedangnya berubah menjadi sinar putih menyilau mata yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Gak Song Ki ikut pula mengeroyok, akan tetapi sekali saja pedangnya terbentur oleh sinar pedang Sian Kong Hosiang, ia menjerit dan pedangnya terpental jauh, terlepas dari tangannya. Ia lalu mengambil pedang itu lagi, akan tetapi berdiri bengong saja tidak berani mengeroyok lagi.

Adapun Cin Pau, pada saat melihat wajah hwesio itu, hatinya berdebar dan ia berdiri diam seperti patung. Di manakah ia pernah melihat wajah yang tampan dan halus ini ?? Kemudian, ketika ia melihat gerakan pedang Sian Kong Hosiang, ia makin terkejut. Itulah Kui Hwa Koan Kiam-hwat dari Beng Hong Tosu. Kalau begitu hwesio ini tentu murid Beng Hong Tosu, dan ... wajah itu tiba-tiba ia teringat dan

hampir saja Cin Pau memekik karena girang dan heran, juga terkejut. Kalau begitu, hwesio ini tentulah Un Kong Sian. “Ong taihiap, lekas bantu mereka !” kata Gak Song Ki melihat betapa pemuda itu masih berdiri saja dengan bengong. Cin Pau lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dalam kalangan pertempuran.

Ketika Sian Kong Hosiang melihat seorang pemuda baju putih melompat dengan gerakan dari cabang persilatannya, ia menjadi sangat terkejut. Terlebih lagi herannya ketika melihat bahwa pemuda itu memegang pedang Pek Kim Kiam, pedang suhunya.

“Kau siapa ?” bentaknya sambil memutar pedang menangkis desakan ketiga orang lawannya.

Akan tetapi, Cin Pau bahkan menjawab dengan sebuah pertanyaan pula. “Apakah suhu ini murid Beng Hong Tosu ?”

“Dari mana kau curi pedang guruku itu ?” bentak Sian Kong Hosiang dan mendengar suara ini, tidak ragu-ragu lagi hati Cin Pau karena inilah suara Un Kong Sian, “ayahnya” yang dulu amat disayanginya itu.

“Apakah kau Un Kong Sian ??” tanyanya lagi sambil menggunakan Pek Kim Kiam menangkis tiga pasang senjata mereka yang mengeroyok Sian Kong Hosiang.

“Gilakah kau ??” Bok San Cu berseru ketika melihat betapa Cin Pau menangkis serangannya terhadap hwesio itu.

“Siapa .... siapa kau yang tahu namaku ” Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak.

“Ayah ” Tiba-tiba Cin Pau berseru keras sekali dan melompat ke arah hwesio itu, lalu berdiri di

dekatnya menghadapi ketiga orang pengeroyoknya.

“Cin Pau ... kau ???” suara Sian Kong Hosiang mengandung sedu tertahan karena terharunya, akan

tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk berkata banyak-banyak, karena Kim-i Lokai , Cin San Cu dan Bok san Cu mendesak hebat dengan marah sekali.

“Jangan kuatir, ayah, mari kita bereskan ketiga orang penjilat kaisar ini !” kata Cin Pau dengan gagah dan sambil tersenyum ia lalu memainkan pedangnya dengan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hwat secara cepat sekali hingga Sian Kong Hosiang yang melihat ini menjadi heran dan kagum. Timbul kegembiraan di hati hwesio ini. Sambil memperdengarkan suara ketawanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah keluar dari mulutnya, ia berkata,

“Cin Pau ... benar ... kau Cin Pau !” Lalu ia mainkan pedangnya demikian hebatnya hingga kedua

orang tua dan muda ini dengan cepat membuat Kim-i Lokai, Cin San Cu dan Bok San Cu menjadi terkejut dan terpaksa melompat mundur karena tidak kuat menghadapi dua batang pedang yang dimainkan sedemikian cepat dan gesitnya. Sedangkan Gak Song Ki yang melihat dan mendengar pernyataan Cin Pau itu, berdiri bengong dan terheran-heran. “Siapakah pemuda ini ?” Pikirnya sambil menduga-duga.

Pada saat itu, dari luar menyerbu masuk Kongsan Hengte, Pauw Su Kam, dan Can Kok. Mereka ini segera maju mengurung Sian Kong Hosiang dan Cin Pau hingga kedua orang ini terpaksa berlaku hati- hati dan mengeluarkan kepandaian karena pengeroyoknya yang berjumlah tujuh orang ini terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi. Apalagi Kim-i Lokai, dan kedua orang tokoh dari Gobi-san, mereka ini merupakan lawan-lawan berat yang sukar dirobohkan.

“Cin Pau, mari kita pergi, jangan melayani orang-orang sesat ini !” Sian Kong Hosiang berkata dan biarpun pada saat itu Cin Pau ingin mengamuk dan membasmi musuh-musuh yang mencelakakan ayah angkatnya ini akan tetapi suara Sian Kong Hosiang yang berpengaruh dan halus itu tak kuasa ia membantahnya. Akan tetapi, ketujuh orang pengeroyoknya tidak mau melepaskan mereka begitu saja.

“Pemberontak-pemberontak rendah ! Kalian hendak lari ke mana ?” seru Pauw Su Kam dengan garang dan ia maju sambil memainkan pedangnya. Orang ini timbul kegalakkan dan keberaniannya oleh karena melihat bahwa ia maju mengurung dengan enam orang lainnya yang tinggi ilmu kepandaiannya, maka ia pikir bahwa bertujuh ia takkan takut dikalahkan.

Tidak tahunya Cin Pau amat sebal melihat lagaknya ini dan sambil berseru keras, sebuah tendangan pemuda itu tak dapat dielakkan lagi mampir di dadanya hingga sambil menjerit keras orang she Pauw ini roboh bergulingan dan tak dapat bangun lagi. Ternyata ujung kaki Cin Pau telah berhasil mematahkan sebuah tulang iganya hingga walaupun hal itu tidak membahayakan jiwanya, namun terpaksa akan membuat ia tak dapat meninggalkan pembaringan sedikitnya sebulan.

“Mari, ayah !” Cin Pau mengajak dan kedua orang ini sambil memutar pedangnya lalu melompat keluar dari kuil Thian Lok Si.

Ketika tiba di luar, alangkah terkejut dan sedih hati Sian Kong Hosiang melihat betapa kuilnya yang besar dan megah telah mulai terbakar sedangkan di halaman depan sedikitnya tiga puluh orang hwesio telah rebah mandi darah, terluka berat atau tewas. Sisanya masih melakukan perlawanan dengan nekat dan penuh semangat hingga korban yang roboh di pihak penyerbu juga tidak kalah banyaknya.

“Omitohud !” Sian Kong Hosiang mengeluh dan ketika beberapa orang tentara mencoba untuk datang menghalangi mereka, ia menyampok dengan ujung lengan baju kirinya hingga tiga orang penyerbu itu bagaikan kena disapu angin puyuh, berguling-guling di atas lantai saling tubruk dengan kawan sendiri, yang lain-lain tidak berani maju lagi. Dan pada saat itu, Sian Kong Hosiang melihat tubuh Sin-jiu Lokoai yang menggeletak dengan tubuh penuh luka dan telah tewas.

“Lokoai !” teriaknya dan cepat sekali Sian Kong Hosiang lalu menyambar jenazah suhengnya ini.

Kemudian dengan suara keras ia berteriak,

“Saudaraku sekalian ! Lari tinggalkan tempat ini, jangan menambah-nambah dosa lagi dan habisi pertempuran kejam ini !” Sambil berkata demikian, Sian Kong Hosiang lalu melompat jauh, diikuti oleh Cin Pau. Tubuh Lokoai masih terpondong oleh hwesio itu.

Sedangkan semua hwesio yang mendengar perintah Sian Kong Hosiang ini, lalu melarikan diri secepatnya, meninggalkan tempat itu.

Sungguh mengerihkan sekali keadaan di luar dan di halaman depan kuil Thian Lok Si. Mayat manusia bertumpuk malang-melintang, sedangkan kuil itu sendiri mulai dimakan api dengan hebatnya, yang bergulung-gulung ke atas mengeluarkan bunyi berkerotokan karena bambu pecah. Para tentara yang masih berada di situ, sebagian menolong dan merawat kawan-kawan yang terluka atau binasa, sebagian pula berdiri bersorak-sorak menyoraki kuil yang dimakan api. Tidak kurang pula di antaranya yang diam-diam mengumpulkan benda-benda berharga dari dalam kuil.

Orang-orang kampung semenjak tadi telah menyingkir jauh-jauh dan bersembunyi, hampir tak berani bernapas.

Bagian 15. Putera-Puteri Pemberontak

Ternyata bahwa ketika menghadapi keempat pengeroyoknya yang perkasa itu, akhirnya Sin-jiu Lokai Li Song Ek tidak kuat melawan lebih lama lagi, lebih-lebih ketika di antara orang-orang gagah yang tadi membantu tentara lalu maju mengeroyoknya pula. Akhirnya, setelah menjatuhkan beberapa orang, ia lalu menjadi kurban keroyokan banyak senjata dan roboh dengan tubuh penuh luka.

Can Kok merasa gembira sekali karena dapat membalas dendam, biarpun ia masih merasa penasaran dan tidak puas melihat betapa Un Kong Sian masih dapat melarikan diri. Yang membuat mereka penasaran dan heran adalah Cin Pau, pemuda baju putih yang tadinya diharapkan untuk membantu itu ternyata bahkan membantu Sian Kong Hosiang.

Hanya Gak Song Ki sendiri yang diam-diam merasa menyesal dengan terjadinya pembakaran kuil ini dan ia merasa kasihan kepada Sian Kong Hosiang, karena dari sikap hwesio itu ia merasa ragu-ragu untuk percaya bahwa hwesio itu adalah seorang jahat. Dan yang membuat ia termenung bagaikan menghadapi teka teki adalah ketika mendengar betapa Cin Pau menyebut “ayah” kepada hwesio itu. Ia mendengar dari Can Kok bahwa Sian Kong Hosiang adalah Un Kong Sian, sute dari kedua pemberontak Khu Tiong dan Ma Gi, akan tetapi sepanjang pengetahuannya, Un Kong Sian tidak punya anak bahkan telah bercerai dari isterinya, mengapa sekarang orang she Un itu tahu-tahu telah mempunyai seorang putera yang demikian lihainya ? Can Kok memang telah dapat mengetahui rahasia Un Kong Sian, yakni dengan jalan “membeli” seorang hwesio dari kuil Thian Lok Si dan juga ia telah mencari keterangan pada janda Un Kong Sian, yakni Bi Nio yang sudah diceraikan dan yang telah kembali ke rumah orang tuanya.

Dengan hati girang karena merasa berhasil dalam usahanya membasmi kuil Thian Lok Si, Can Kok dan kawan-kawannya lalu kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada kaisar.

Peristiwa pembakaran kuil Thian Lok Si itu takkan dapat dilupakan oleh penduduk di sekeliling daerah itu, yang dianggapnya perbuatan biadab yang amat kejam. Setelah para tentara itu pergi sambil membawa kurban-kurban dari pihak mereka, barulah para penduduk berani keluar. Akan tetapi mereka tidak berani mencoba untuk memadamkan api yang mengamuk dan membakar kuil, hanya mereka lalu bergotong royong menolong para hwesio yang terluka serta menguburkan mereka yang telah tewas.

Sedangkan sisa para hwesio yang terluput dari pada kebinasaan, melarikan diri cerai berai mencari tempat perlindungan sendiri-sendiri. Mereka ini hanya dapat menyesali nasib dan termenung memikirkan dosa apakah yang telah mereka perbuat pada penjelmaan di waktu dahulu hingga kini mereka mengalami bencana sebesar itu.

******

Sian Kong Hosiang mengajak Cin pau melarikan diri ke dalam sebuah hutan di luar kota Tiang-an, dan setelah mereka berhenti berlari dan berdiri di bawah pohon, Sian Kong Hosiang lalu memeluk Cin Pau dan berkata,

“Anak muda, betulkah kau Cin Pau putera Lin Hwa ?”

“Cin Pau menjatuhkan diri berlutut dan menjawab, “Betul ayah, telah beberapa hari aku mencarimu di Tiang-an hingga terbujuk oleh Can-ciangkun untuk membantu menyerbu kuil Thian Lok Si yang katanya menjadi sarang penjahat.” Dengan singkat Cin Pau lalu menuturkan pengalamannya hingga berulang- ulang Sian Kong Hosiang menghela napas panjang.

“Memang Can Kok berhati jahat dan menaruh dendam besar, padahal kuil Thian Lok Si tidak pernah bersalah kepadanya.” Kemudian ia menuturkan kepada Cin Pau tentang pengalamannya dulu ketika melarikan diri dengan ibu pemuda itu dan bersembunyi di kuil Thian Lok Si dan betapa Can Kok mendapat hajaran dari Lokoai yang sekarang telah menjadi mayat itu. Kemudian mereka berdua lalu menggali lubang di dalam hutan itu dan menguburkan jenazah Lokoai yang malang itu.

Setelah penguburan itu selesai, Cin Pau lalu menyatakan bahwa maksudnya mencari Sian Kong Hosiang ialah untuk menanyakan di mana adanya kuburan ayahnya dan Ma Gi yang tewas karena keroyokan para perwira.

“Eh, jadi kau telah diberitahu oleh ibumu bahwa aku bukan ayahmu sejati ?” kata Sian Kong Hosiang. “Kalau begitu, mengapa kau masih menyebut ayah kepadaku ?”

“Aku lebih suka menyebut ayah kepadamu, karena kau seorang yang mulia dan menurut ibuku, budimu tak kurang besarnya dari pada seorang ayah sejati.”

Sian Kong Hosiang menghela napas dengan terharu, karena tak disangkanya bahwa pertolongan yang dulu ia berikan kepada Lin Hwa masih terus diingat dan disimpan dalam hati janda yang malang itu.

“Kuburan ayahmu dan Ma suheng berada di dalam hutan ketiga dari tempat ini, dan aku seringkali mengunjunginya. Jenazah kedua suhengku itu dikubur oleh dua orang pengembala yang baik hati, akan tetapi aku tidak membuka rahasia mereka karena kuatir kalau sampai diketahui orang tentang kedua makam itu, tentu akan diganggu. Sampai sekarang seorang di antara kedua pengembala itu masih belum tahu jenazah siapa yang mereka kubur dan pengembala ini masih berada di sekitar tempat itu.”

Pada keesokkan harinya, setelah bermalam di dalam hutan untuk bersembunyi karena kuatir kalau- kalau para perwira masih mengejar dan mencari mereka, mereka lalu pergi ke dalam hutan di mana terdapat makam Khu Tiong dan Ma Gi. Cin Pau lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kuburan itu dan menangis keras dengan sedihnya. Karena Sian Kong Hosiang sendiri tidak tahu yang mana makam Khu Tiong dan yang mana Ma Gi, maka Cin Pau lalu menangisi kedua kuburan itu dengan sedih,

“Ayah, kepada siapakah aku harus membalas dendam ini ? Kakekku terbunuh sekeluarganya, ayah binasa dikeroyok, ibu hidup menderita, semua ini karena perbuatan perwira-perwira itu. Yang manakah yang harus ku balas ? Apakah aku harus membasmi setiap orang perwira kerajaaan ? Katakanlah, ayah, hatiku bingung, pikiranku gelap, agaknya aku takkan merasa puas sebelum membalas dendam ini

!”

Sian Kong Hosiang termenung, “Cin Pau, jangan menurutkan hati panas dan nafsu menggelora. Kau tentu telah mendengar riwayat kakek dan ayahmu dari ibumu. Kakekmu dan kakek keluarga Ma dua orang sastrawan besar itu telah menulis kitab yang menggerakkan hati rakyat hingga tercetuslah pemberontakan kaum petani. Mereka berdua itu dikhianati oleh Pangeran Gu Mo Tek dan ayahmu serta pamanmu Ma Gi telah bertindak melakukan pembalasan dendam dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek yang berhati palsu itu, bahkan telah membunuh pula dua orang putera pangeran itu. Siapa lagi yang menaruh dendam dan siapa lagi yang harus balas-membalas? Anakku, janganlah kita dibawa hanyut oleh karma yang selalu mencari kurban. Coba saja kau bayangkan, kalau saja balas membalas ini tidak diakhiri, tentu akan berlarut-larut terus, bahkan keturunanmu sendiri kelak akan tersangkut dan terbawa-bawa. Dan apakah gunanya semua itu ? Lihatlah, pembakaran kuil Thian Lok Si agaknyapun menjadi sebuah akibat dari pada peristiwa keluarga Khu dan Ma itu, dan kalau seandainya sekarang semua hwesio membalas dendam kepada semua penyerbu, kemudian keturunan semua penyerbu itu membalas pula, bukankah hal balas membalas ini takkan ada akhirnya ?”

Cin Pau tak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menubruk ayah angkatnya sambil menangis. Kemudia ia berlutut lagi di depan kedua makam itu sambil mendekam tak bergerak. Sian Kong Hosiang mendiamkan saja karena pada saat seperti itu, lebih baik Cin Pau menghabiskan rasa dukanya dan tak perlu diganggu agar rasa penasaran dan kebencian serta dendam yang mulai bertumbuh dihati anak muda ini, akan lenyap dengan sendirinya.

Akan tetapi, tanpa disangka-sangka, pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi. Cin Pau seakan-akan tidak mendengar suara ini, akan tetapi Sian Kong Hosiang telah berdiri dan berlaku waspada, karena disangkanya bahwa yang datang itu tentulah rombongan perwira yang mengejar dan mencari mereka.

Akan tetapi ketika penunggang-penunggang kuda itu muncul dari satu tikungan, ternyata bahwa mereka itu adalah tiga orang penunggang kuda yang masih muda-muda, seorang pemuda dan dua orang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal oleh hwesio ini.

“Cin Pau ! Mengapa kau menangis di sini ?” tiba-tiba seorang di antara kedua orang gadis itu, yang berpakaian merah dan berwajah cantik jelita sekali, turun dari kudanya dan berlari menghampiri Cin Pau yang masih berlutut.

Mendengar suara ini, Cin Pau cepat melompat bangun dengan muka merah dan mata bernyala-nyala. “Kau ... ? Apakah kau datang hendak melanjutkan kekejaman ayahmu, kekejaman segala perwira ? Apakah kau hendak menawan dan membunuhku ? Boleh, boleh ! Kalian bertiga, putera puteri perwira yang kaya raya dan gagah, majulah dan mari kita mengadu jiwa di depan makam orang tuaku !” sambil berkata demikian Cin Pau mencabut pedangnya Pek Kin Kiam dan melintangkan pedang itu di dadanya.

Siauw Eng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat.

“Cin Pau apakah kau sudah menjadi gila ?” tanyanya sambil memandang muka pemuda yang telah

banyak berobah semenjak kemarin itu. Wajah ini sekarang nampak kusut dan mengandung kedukaan besar. “Aku masih terheran-heran mendengar cerita ayah bahwa kau telah membantu penjahat di kuil Thian Lok Si. Aku tidak sengaja mencarimu, dan mengajak kedua saudara Gu ini untuk melihat dua makam yang pernah kulihat ini dan yang menimbulkan keheranan di dalam hatiku. Mengapa kau bersikap begini, Cin Pau ? Kau kau anak siapakah dan kuburan siapakah ini ?”

Sian Kong Hosiang hendak mencegah, akan tetapi Cin Pau yang sudah marah dan gelap pikirannya itu lalu berkata dengan suara gagah, “Inilah kuburan ayahku dan pamanku, kuburan orang-orang gagah Khu Tiong dan Ma Gi. Akulah putera Khu Tiong yang telah terbunuh mati oleh para perwira biadab, mungkin ayahmu Gak Song Ki itupun ikut pula bercampur tangan dan membunuh ayahku. Sekarang mereka membasmi kuil Thian Lok Si menghina ayah angkatku ini, dan kau datang hendak mengadu

jiwa dengan aku ?”

Makin pucatlah wajah Siauw Eng, sedangkan Hwee Lian mengeluarkan seruan tertahan dan wajahnya juga pucat sekali. Sebaliknya Gu Liong ketika mendengar bahwa pemuda baju putih ini adalah putera Khu Tiong, musuh besar yang telah membunuh ayahnya itu, menjadi marah sekali dan memandang penuh kebencian.

Sementara itu, Sian Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras dan dari kedua mata hwesio ini mengalirlah air mata. Ia memandang kepada Siauw Eng dengan mata terbelalak dan mulut celangap, kemudian ia melangkah maju mendekati gadis itu dan sambil menuding ia berkata gagap,

“Kau ..... kau ...... mukamu sama benar dengan Souw Kwei Lan katakanlah, apakah kau anak Souw

Kwei Lan .... ? Apakah Gak Song Ki ayah tirimu ?” Wajah Sian Kong Hosiang menjadi pucat sekali

hingga tidak hanya ketiga orang muda itu yang kaget, akan tetapi bahkan Cin Pau juga terkejut sekali dan heran.

Sebaliknya, Siauw Eng tak terasa lagi mundur dua tindak menghadapi pertanyaan hwesio ini. Ketika ia memandang, teringatlah ia bahwa hwesio ini adalah kepala hwesio di kuil Thian Lok Si, maka ia makin terkejut sekali.

Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan bibir gemetar. “Be benar, ibuku adalah Souw Kwei Lan

! Akan tetapi omongan apakah yang kau ucapkan tentang ayah tiri ? Gak Song Ki adalah ayahku,

ayah sejati.”

“Omitohud ...... Nasib ...... kau kejam, kau telah mempermainkan anak-anak ini Nona, ketika malam

kemarin kau datang menyerbu, persamaanmu dengan wajah Kwei Lan telah berkesan di dalam hatiku. Kau .... kau ” hwesio itu memandang ke arah dua makam itu dengan wajah pucat, “kau adalah puteri

tunggal dari suhengku Ma Gi. Seorang di antara dua orang yang kini terkubur di dalam tanah ini adalah ayahmu sejati. Kau adalah anak Ma Gi !”

“Gila !” Siauw Eng cepat bagaikan kilat mencabut pedangnya dan menusuk ke arah dada Sian Kong Hosiang. Ia merasa begitu terhina hingga ia lupa diri dan menyerang. Akan tetapi, Cin Pau cepat menggunakan pedangnya menangkis tusukan ini, karena kalau ia tidak cepat-cepat menangkis tentu pedang Siauw Eng telah bersarang ke dalam dada Sian Kong Hosiang yang di dalam keharuannya yang besar tak berdaya untuk menggerakkan tubuh dan bagaikan buta menghadapi tusukan itu.

“Siauw Eng ! Jangan kau mengganggu ayahku !” “Apa .... ? Ayahmu lagi ?”

“Ayahku yang sejati adalah yang berada di dalam kuburan ini bersama ..... bersama ayahmu. Dan

dia ini adalah ayah angkatku.”

“Kau gila ! Dia inipun gila ! Kalian semua orang-orang gila !! Aku .....aku adalah anak Gak Song Ki ...

aku aku bukan anak pemberontak !” Dengan wajahnya yang pucat, Siauw Eng mulai menangis.

“Tenang dan sabarlah, nona. Bukan dengan sengaja pinceng melukai hatimu dan rahasia ini tidak sengaja terbuka di sini. Memang sudah menjadi kehendak Thian agaknya. Kau pulanglah dan tanyakanlah hal ini kepada ibumu. Betapun juga, dia tentu akan menceritakan kepadamu sejelasnya.”

“Tidak ...... tidak ” kata Siauw Eng sambil menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kepada

Sian Kong Hosiang, tidak ..... kau bohong ! Katakanlah bahwa kau membohong, kau menipuku .....

katakanlah bahwa hal ini tidak benar ”

“Kau memang anak Ma suheng, tak bisa salah lagi,” kata Sian Kong Hosiang dengan suara tetap.

Dengan isak tertahan Siauw eng lalu lari ke arah kudanya, melompat cepat dan membedal kuda itu bagaikan gila. Sementara itu, Hwee Lian dan Gu Liong untuk beberapa lama tidak dapat berkata sesuatu. Berita ini terlampau mengejutkan hati mereka. Kenyataan bahwa mereka telah mendapatkan makam dari kedua musuh besar keluarga mereka tak berarti penting lagi, bahkan kenyataan bahwa Cin Pau pemuda baju putih itu adalah putera pemberontak Khu Tiong juga tidak sangat penting. Akan tetapi berita bahwa Siauw Eng adalah puteri Ma Gi, sungguh-sungguh merupakan berita mengejutkan dan hebat. Sungguh sebuah hal yang sama sekali tak pernah dilupakannya, tak pernah diduga-duga.

Gu Liong lalu majukan kudanya dengan pedang terangkat, siap menggempur Cin Pau, akan tetapi Hwee Lian berseru, “Suheng, jangan !” Dan ketika Gu Liong menahan kudanya memandang, ternyata bahwa Hwee Lian telah mengucurkan air mata sambil menatap wajah Cin Pau.

“Kau ... kau musuh besar keluargaku,” katanya setengah berbisik akan tetapi cukup terdengar oleh Cin Pau yang menjadi bingung. Sebelum ia sempat bertanya, kedua saudara itu telah membalapkan kuda mereka meninggalkan tempat itu.

Cin Pau berdiri termangu-mangu dengan hati tidak karuan. Kenyataan atau dugaan bahwa Siauw Eng adalah puteri tunggal Ma Gi, jadi seorang yang bernasib sama dengan dia sendiri, kecuali bahwa ibu gadis itu telah kawin lagi dengan seorang perwira sedangkan ibunya sendiri mengasingkan diri di puncak Kunlun-san, membuat perasaaan dan pikirannya terhadap Siauw Eng berubah sama sekali.

Tadinya, semenjak pertemuannya dengan Un Kong Sian yang kini telah menjadi Sian Kong Hosiang, ia merasa benci kepada Gak Song Ki dan otomatis ia pun menaruh hati tak senang kepada Siauw Eng yang dianggapnya sebagai puteri seorang perwira berarti menjadi musuhnya pula. Akan tetapi sekarang ia merasa iba, suka, dan girang bahwa Siauw Eng bukan puteri perwira akan tetapi bahkan puteri

Ma Gi, sahabat baik dan saudara seperguruan ayahnya. Cucu Ma Eng, sasterawan tua yang menjadi kawan baik kakeknya Khu Liok itu. Dengan demikian, maka keturunan keluarga Khu dan Ma yang terakhir adalah dia dan Siauw Eng, atau Khu Cin Pau dan Ma Siauw Eng.

“Cin Pau, tak salah lagi, nona tadi tentulah puteri Ma Gi. Adatnya keras dan tabah seperti ayahnya. Sebagai keturunan terakhir dari keluarga Ma, dia harus kita bela. Kalau sampai para perwira mengetahui bahwa dia anak Ma Gi, tentu dia akan mengalami bencana. Kenalkah kau kepada dua orang saudara tadi ?”

“Mereka adalah Gu liong dan Gu Hwee Lian !”

“Apa ?” Sian Kong Hosiang membelalakkan matanya. “Tak heran mereka membencimu setelah mengetahui bahwa kau putera Khu Tiong. Mereka itu adalah keturunan kedua saudara Gu, putera pangeran Gu Mo Tek yang terbunuh oleh kedua suhengku !”

“Begitukah ??” Cin Pau juga menjadi kaget sekali karena tak disangkanya bahwa di depan kuburan ayahnya dan Ma Gi tadi telah berkumpul empat putera puteri dari ke empat orang yang saling bermusuhan itu. Alangkah anehnya. Akan tetapi ia segera ingat akan nasib Siauw Eng, maka segera ia berkata, “Ayah, kalau begitu, aku hendak menyusul adik Siauw Eng !”

“Baik, kau pergilah dan kalau perlu, kau bela dia dan bawa ke sini !” kata Sian Kong Hosiang.

Cin Pau lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu sedangkan Sian Kong Hosiang lalu menuju ke dusun Ma Cin Kiang untuk melihat bekas kuilnya dan seberapa dapat mencari para hwesio yang melarikan diri.

******

Siauw Eng membalapkan kudanya secepat mungkin hingga kuda itu berlari cepat bagaikan sedang berkejaran dengan angin. Disepanjang jalan, air mata Siauw Eng mengucur deras sekali. Benarkah ia anak pemberontak, anak Ma Gi yang kabarnya memberontak dan bahkan menjadi pembunuh ayah Gu Liong dan Gu Hwee Lian ? Dia anak orang yang selama ini menimbulkan jijik dan bencinya karena menurut semua orang, kedua orang pemberontak itu telah membunuh pangeran Gu Mo Tek, kakek Gu Liong dan Hwee Lian, dan yang menjadi orang buruan pemerintah ?

Akan tetapi, mengapa ibunya menjadi isteri Gak Song Ki ? Dan Gak Song Ki telah dianggapnya seperti ayah sendiri, betapa tidak ? Gak Song Ki demikian baik budi dan mulia terhadapnya, begitu mencinta dan menyayang. Dan ayahnya ini dimaki-maki oleh Cin Pau yang kalau benar-benar ia anak Ma Gi, adalah putera kawan baik ayahnya itu. Ah, dia tidak percaya. Tak mungkin dia anak seorang pemberontak rendah. Orang di kota Tiang-an terkejut sekali melihat Siauw Eng melarikan kudanya hingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan di jalan raya. Mereka semua mengenal Siauw Eng , mengenal Gobi Ang Sianli yang gagah dan cantik jelita, mengenal puteri perwira Gak Song Ki ini yang disohorkan menjadi kembang kota Tiang-an. Bahkan kaisar sendiri telah mendengar namanya dan di dalam hati, kaisar ini ingin sekali menyaksikan kecantikannya. Semua pangeran muda di kota raja kenal padanya dan mengagumi tiada habisnya. Untung ia memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri Gak- ciangkun yang terkenal gagah dan disegani orang, kalau tidak, tentu telah banyak datang orang dan pemuda menggodanya.

Ketika tiba di depan gedung orang tuanya, Siauw Eng melompat turun dari kudanya dan membiarkan kuda yang terengah-engah dan penuh peluh tubuhnya itu begitu saja, hingga seorang pelayan segera menghampiri untuk merawat kuda itu. Siauw Eng berlari masuk ke dalam rumah dengan pipi masih basah air mata. Ia langsung menuju ke kamar ibunya.

Kwei Lan ketika itu sedang duduk di dalam kamar dan menyulam. Nyonya yang cantik ini sudah agak tua dan karena ia hidup serba kecukupan dan cukup berbahagia, melihat puterinya telah dewasa, berkepandaian tinggi dan cantik jelita, juga suaminya amat mencintainya, maka hatinya menjadi tenteram dan beruntung hingga ia menjadi agak gemuk. Kerjanya tiap hari hanya menyulam saja dengan hati senang.

Alangkah terkejutnya ketika melihat puterinya masuk ke dalam kamar sambil berlari-lari dan ketika ia bertemu pandang dengan Siauw Eng, terlepaslah kain yang sedang disulamnya. Pandangan mata puterinya begitu aneh dan liar menakutkan.

“Eng-ji, kau kenapakah ?” tegurnya sambil berdiri.

“Ibu !” Siauw Eng maju menubruk dan memeluk ibunya. Tak tertahan pula gadis ini menangis

sesenggukan di dalam pelukan ibunya.

“Eh, eh anak nakal ! Kau kenapakah ? Apakah kau berkelahi dengan orang ? Siapa yang mengganggumu?”

Siauw Eng menekan desakan sedu sedan yang membuatnya sukar membuka mulut. Kemudian ia menarik tangan ibunya dan mereka berdua duduk di atas pembaringan. Dengan kedua tangan masih memegangi tangan ibunya, ia lalu bertanya,

“Ibu, sayangkah kau kepadaku ?”

“Eh, eh,” kata ibunya sambil tersenyum, akan tetapi kedua matanya memandang penuh kecemasan, “pertanyaan apakah ini ? Sudah tentu aku sayang kepadamu, anak bodoh !”

“Kalau ibu sayang kepadaku, jawablah, segala pertanyaanku terus terang.” “Tentu saja, pertanyaan apakah ?”

“Ibu, siapakah sebenarnya Khu Tiong dan Ma Gi ?”

Bukan main terkejutnya nyonya ini mendapat pertanyaan demikian dari puterinya. Siauw Eng merasa betapa kedua tangan ibunya tiba-tiba menjadi dingin dan nyonya itu segera menarik kedua tangannya dari pegangan Siauw Eng. “Kedua orang itu ? Mereka adalah dua orang pemberontak yang telah mendapat hukuman, bukankah kau pernah mendengar tentang mereka ?” Kwei Lan berhasil membuat suaranya terdengar wajar dan tidak gemetar.

“Ibu, apakah ayahku yang sekarang ini, ayahku perwira Gak Song Ki ini, adalah ayahku yang sejati?” Kini nyonya itu tak kuasa menahan getaran yang membuat ia menjadi pucat.

“Eng-ji, setan manakah yang telah memasuki pikiranmu ? Tentu saja ia adalah ayahmu sejati. Apakah kau hendak menghina ibumu sendiri ?” “Ibu .... bebar-benarkah kau tega menipu anakmu sendiri ? Ibu .... aku ..... tadi aku telah

mendapatkan kuburan mereka, kuburan Khu Tiong dan Ma Gi !”

“Apa !!??” Berita ini benar-benar mengagetkan hati nyonya itu sehingga tak terasa pula ia berdiri

dengan kedua kaki menggigil.

Siauw Eng menubruk ibunya dan membawa ibunya duduk di atas pembaringan. “Ibu, ampunkan anakmu. Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya menuntut hakku untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Ceritakanlah, ibu, tentu ada hubungan sesuatu antara kau dan Ma Gi. Orang

bilang bahwa Ma Gi adalah ayahku, betulkah ini ??”

Kwei Lan mendengar ucapan anaknya ini bagaikan mendengar suara yang turun dari angkasa raya, yang membuatnya serasa dalam mimpi. “Ceritakanlah, anakku, ceritakanlah semua apa yang telah terjadi dan apa pula yang kau lihat di kuburan itu,” katanya dengan bibir gemetar dan wajah pucat, sedangkan kedua matanya memandang jauh.

Sambil menangis dan dengan suara terputus-putus Siauw Eng lalu menceritakan betapa ia bertemu dengan Cin Pau yang mengaku menjadi putera Khu Tiong dan di situ ada pula seorang hwesio ayah angkat Cin Pau yang menyatakan bahwa ia adalah anak Ma Gi.

“Bagaimana muka hwesio itu ?”

“Sikapnya lemah lembut dan halus tutur sapanya, mukanya pucat, halus dan tampan, usianya sebaya dengan ayah.”

Kwei Lan mengangguk-angguk, “Siapa namanya ?” “Sian Kong Hosiang ”

“Hm, memang benar dia ! Tentu Kong Sian, siapa lagi,” nyonya itu berkata dengan suara perlahan.

“Ibu, betulkah semua itu ? Betulkah katanya bahwa aku bukan puteri ayah yang sekarang dan bahwa aku adalah anak Ma Gi ?”

Ibunya dengan wajah pucat dan air mata mulai berlinang di kedua matanya yang indah, lalu memeluk anaknya dan berkata perlahan,

“Eng-ji, anakku yang tersayang. Dengarlah, akan tetapi kau harus tetapkan hatimu, nak. Kau tahu bahwa ayahmu amat baik kepadamu, amat mulia terhadap kita. Dengarlah memang ketika aku

bertemu dengan ayahmu, aku sedang mengandung engkau. Dulu ketika kau masih dalam

kandungan, aku adalah isteri Ma Gi, putera dari sasterawan besar Ma Eng. Kemudian, karena menuliskan kitab yang menghina kaisar, maka kakekmu bersama sasterawan besar Khu Liok serumah tangga telah dijatuhi hukuman oleh kaisar. Sekeluarga dibunuh semua. Ma Gi atau ayahmu itu, bersama Khu Tiong putera Khu Liok, lalu mengamuk hebat dan mereka berdua akhirnya juga dibunuh oleh para perwira yang menjalankan tugas perintah kaisar. Ketika pembunuhan terjadi, ayahmu yang sekarang, perwira Gak Song Ki ini, merasa kasihan melihat aku yang sedang mengandung, maka ia lalu membawa lari aku ke rumahnya ini. Di sini aku dirawat dengan baik sekali sampai kau lahir dengan selamat. Kemudian ......... kemudian ia meminangku, nak, dan dan terpaksa aku menerimanya hingga

aku menjadi isterinya sampai sekarang ini ”

Dengan kedua mata terbelalak dan wajah pucat sekali, sedangkan air matanya mulai turun lagi membasahi pipinya, Siauw Eng mendengarkan penuturan ibunya. Ia memandang kepada wajah ibunya tanpa berkedip,

“Mengapa kau merahasiakan hal ini kepadaku, ibu ?”

“Untuk kebaikanmu sendiri, Eng-ji, dan juga atas permintaan ayahmu yang amat mencintaimu seperti anak sendiri.” Tiba-tiba Siauw Eng menarik tangannya dari pegangan ibunya. “Jadi seluruh keluarga Khu dan ma dibunuh dan ditumpas habis oleh para perwira sedangkan ibu sendiri enak-enak menjadi isteri seorang perwira dan hidup mewah ?”

“Siauw Eng !!” ibunya menjerit sambil menutup mukanya lalu menangis.

“Jadi kakek dibunuh, ayah dibunuh, nenek dibunuh, semua anggauta keluargaku dibunuh oleh

para perwira, akan tetapi ibu , ibu tidak bersakit hati, tidak menaruh dendam bahkan lalu menjadi

nyonya perwira Gak ..... ? Ah, aku aku merasa terhina dan rendah sekali ! Lebih baik pada waktu

itupun aku ikut mati dalam kandungan ibu bersama seluruh keluarga Ma !”

“Siauw Eng !” kata-kata ini merupakan tikaman hebat sekali yang membuat nyonya itu serentak

bangun dan hendak menampar muka anaknya, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pembaringan.

Pada saat itu Gak Song Ki berlari mendatangi dari luar. Perwira ini baru saja datang dari istana untuk membuat laporan kepada kaisar tentang penyerbuan kuil Thian Lok Si, dan begitu tiba di rumah, ia mendengar tentang sikap Siauw Eng yang ganjil. Ia segera berlari masuk dengan hati penuh kekuatiran, dan ketika mendengar suara Siauw Eng yang keras sedang berkata-kata kepada ibunya, ia segera menuju ke kamar isterinya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat isterinya telah roboh pingsan di atas ranjang sedangkan anaknya itu berdiri dengan muka merah dan air mata bercucuran.

“Siauw Eng .... ibumu kenapakah ?” tanya Gak Song Ki sambil menubruk isterinya dengan kuatir.

Akan tetapi Siauw Eng tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata tak senang. Gak Song Ki tidak memperdulikan anaknya, lalu memijit-mijit kepala dan leher isterinya. Setelah ditarik urat pada lehernya, maka siumanlah Kwei Lan sambil mengeluh perlahan. Ketika ia membuka mata dan melihat suaminya telah berada di situ dengan muka kuatir, sedangkan Siauw Eng masih berdiri bagaikan patung, ia lalu menangis sedih.

Gak Song Ki merasa lega bahwa isterinya telah siuman dan dapat menangis, maka ia lalu memandang kepada Siauw eng dengan mata penuh cela dan tegur, “Siauw Eng, apa yang telah kau lakukan kepada ibumu ?”

Dan jawaban yang keluar dari mulut Siauw Eng membuat ia merasa seakan-akan ada kilat menyambar dari luar kamar. “Gak-ciangkun, aku bicara dengan ibuku sendiri, harap kau jangan ikut campur dan suka keluar dari kamar !”

Gak Song Ki memandang wajah Siauw Eng seakan-akan gadis itu adalah makhluk aneh yang baru saja datang dari lain dunia.

“Siauw Eng, kau kau adalah anakku, mengapa kau bicara seperti itu ? Aku ayahmu !”

Dengan suara tanpa irama Siauw Eng menjawab, “Ayahku adalah Ma Gi dan sudah tewas dikeroyok oleh perwira-perwira, mungkin kau sendiripun ikut mengeroyok !”

Maka tahulah Gak Song Ki bahwa anak ini telah mengetahui akan rahasia yang ditutupinya rapat-rapat itu, “Betapapun juga, Eng-ji, aku telah menganggapmu seperti anak sendiri dan memelihara serta mendidikmu sejak kau lahir.”

Ucapan yang penuh tuntutan ini bahkan makin memperbesar api kemarahan yang berkobar di dada Siauw Eng. “Orang she Gak !” katanya sambil menuding muka Gak Song Ki, “Kau baik kepadaku oleh karena itu termasuk siasatmu untuk memikat hati ibuku ! Kau bunuh ayahku dan kau pikat ibuku ! Bagus

.... !! Anehkah itu kalau sekarang aku mencabut pedang dan menganggap kau sebagai musuh besarku

?”

“Siauw Eng ” Kwei Lan mengeluh panjang mendengar ucapan anaknya ini.

Gak Song Ki mulai marah melihat sikap Siauw Eng ini. Timbul perlawanan di dalam hatinya, karena betapun ia sayang kepada gadis ini, akan tetapi ia tetap adalah seorang perwira tinggi yang tentu saja tidak mau dihina orang sedemikian rupa. “Siauw Eng !! Ucapan dan sikapmu ini hanya menunjukkan bahwa jiwa pemberontak ayahmu tetap mempengaruhimu. Kau berdarah pemberontak dan tak kenal budi orang. Habis, kalau betul kau adalah puteri Ma Gi, kalau betul bahwa aku telah mengawini ibumu, sekarang kau mau berbuat apakah? Kau mau bunuh aku ? Boleh, boleh, kau kira aku takut mati.”

Kenyataan-kenyataan dan terbongkarnya rahasia itu secara hebat telah melukai batin Siauw Eng dan menekan jiwanya hingga gadis ini seakan-akan menjadi mata gelap dan bingung. Pertimbangannya telah patah dan ia tidak dapat berpikir secara sehat pula. Yang memenuhi benaknya pada saat itu hanyalah marah, kecewa, dendam, malu, dan sakit hati.

Mendengar ucapan Gak Song Ki, ia bergerak cepat dan tahu-tahu ia mencabut keluar pedangnya.

“Orang she Gak ! Kau kira aku tidak berani menusukkan pedang ini di dadamu ? Katakanlah bahwa kau telah ikut membunuh ayahku, ikut membunuh kakekku, ikut membunuh seluruh keluargaku kecuali ibuku yang cantik !” Sambil berkata demikian, Siauw Eng memandang dengan mata berapi dan pedangnya sudah siap menusuk.

“Siauw Eng, aku adalah seorang perwira yang telah bersumpah setia kepada kaisar !” kata Gak Song Ki sambil mengangkat dada, “betapapun juga, aku hanya menjalankan tugas kewajibanku dengan setia.

Aku tidak membunuh siapa-siapa dengan hati membenci, akan tetapi hanya menjalankan tugas semata

! Jangankan keluarga Khu dan Ma, biarpun kausendiri atau orang tuaku sendiri apabila memberontak, sudah menjadi tugasku untuk membasminya !”

“Bagus, sekarang lawanlah ! Aku juga pemberontak ingat ! Aku anak pemberontak !!” Sambil berkata

demikian, Siauw Eng lalu menyerang dengan pedangnya.

Gak Song Ki bukanlah orang lemah, dan cepat perwira ini lalu mengelak dan mencabut pedangnya. Perang tanding antara ayah tiri dan anak yang tadinya saling mencinta seperti ayah dan anak tulen itu terjadi dengan hebatnya di dalam kamar, sedangkan Kwei Lan hanya memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil.

Akan tetapi, Gak Song Ki yang pada dasar hatinya amat menyayang Siauw Eng, tentu saja tidak tega untuk melawan dengan sungguh-sungguh dan ia tadi mencabut pedang hanya untuk menangkis saja. Selain dari pada itu, memang ilmu pedangnya masih kalah setingkat jika dibandingkan dengan anak tirinya ini, maka setelah bertempur di tempat sempit itu beberapa lamanya, sebuah tendangan Siauw Eng telah mengenai lututnya dengan tepat hingga ia roboh terguling. Siauw Eng bagaikan seekor harimau betina yang marah, segera menubruk untuk memberi tikaman terakhir.

“Siauw Eng !” ibunya menjerit ngeri dan tiba-tiba melihat betapa wajah ayah tirinya yang berada di

bawah ini tersenyum tenang menanti datangnya tusukan, Siauw Eng menggigil seluruh tubuhnya dan tangannya menjadi lemas. Bagaimana ia bisa membunuh orang yang selalu baik kepadanya, yang dulu sering menggendongnya, menimang-nimangnya, bahkan mendidiknya ilmu silat dengan penuh kesayangan ?

Dengan hati hancur dara itu lalu melarikan diri keluar sambil menahan sedu sedannya. “Siauw Eng !” terdengar ibunya memanggil.

“Siauw Eng !” suara Gak Song Ki terdengar pula.

Akan tetapi, Siauw Eng tidak memperdulikan mereka dan berlari terus dengan cepatnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar