Pedang Naga Kemala Jilid 19

Jilid 19

“Tuhan menyertaimu, suamiku.”

Bisik Sheila dengan air mata berlinang. Akan tetapi dengan tabah wanita ini lalu duduk di atas kursi yang disediakan untuknya, di pinggir dan berusaha menekan jantungnya yang berdebar karena tegang. Apalagi ia sebagai isteri orang yang hendak berjuang mati-matian, bahkan di dalam dada semua orang yang nonton pertandingan itupun diliputi ketegangan. Mereka semua sudah tahu betapa lihai dan kejamnya Koan Jit, dan tahu bahwa di dalam perkelahian ini, tentu salah seorang di antara keduanya akan tewas!

Kapten Charles Elliot hendak bertindak adil dalam perkelahian itu, maka melihat betapa Gan Seng Bu sama sekali tidak bersenjata, sebaliknya tadi Koan Jit mengenakan pedang pangkatnya di pinggangnya, diapun berkata.

“Komandan Koan, harap tanggalkan pedangmu itu, karena lawanmu juga tidak membawa pedang.” Koan Jit tersenyum.

“Kapten, aku memakai pedang ini bukan untuk melawannya, melainkan hanya sebagai tanda pangkat saja. Untuk memukul seekor anjing kecil perlu apa menggunakan pedang?”

Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu pedang yang tadi bergantung di pinggang, bersama sarungnya telah terlempar ke udara, berputaran seperti terbang kemudian meluncur ke bawah dan menancap bersama bersama sarungnya sampai amblas dalam sekali di pinggiran tempat lingkaran yang menjadi arena perkelahian itu. Melihat demonstrasi kelihaian yang seperti permainan sulap saja ini, beberapa orang bertepuk tangan memuji, tentu saja terutama sekali para anggauta Harimau Terbang yang semua berpihak kepada Koan Jit, komandan mereka.

Koan Jit lalu melangkah maju memasuki lingkaran orang-orang yang duduk di sekeliling tempat itu, dan kembali munculnya ini disambut tempik sorak oleh para anggauta Harimau Terbang.

“Semoga damai dan bahagia selalu menyertaimu, isteriku.” Bisik Seng Bu. “Semoga Tuhan melindungimu, suamiku,” bisik Sheila ketika Gan Seng Bu

minta diri, dan orang muda inipun lalu memasuki lingkaran.

Ternyata banyak pula yang menyambutnya dengan sorakan. Bukan hanya dari para kuli pelabuhan yang semua berpihak kepadanya, akan tetapi juga ada beberapa perajurit bule yang berpihak kepadanya, mungkin karena pendekar ini adalah suami Sheila, atau mungkin karena mereka memang merasa tidak suka kepada Koan Jit. Kemunculan Seng Bu sama sekali tidak mengesankan, seorang pemuda bertubuh tegap yang amat sederhana, seperti seorang petani saja, berbeda dengan Koan Jit yang berpakaian indah.

Dua orang jagoan itu kini saling berhadapan. Lingkaran itu cukup luas, garis tengahnya tidak kurang dan limabelas meter, cukup untuk suatu perkelahian yang bagaimana dasyatpun. Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat dan satu sumber, maka diapun tahu bahwa ilmu-ilmu silat yang dipelajaninya dari Thian-tok, tentu semua dikenal baik oleh Koan Jit, bahkan mungkin dia masih kalah matang dalam latihan, mengingat bahwa usia Koan jit dua kali usianya. Akan  tetapi dia memiliki ilmu silat andalan  yang dilatihnya dengan baik dan gurunya, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun- hoat. Ilmu silat yang berdasarkan Ngo-heng (Lima Unsur) ini memang lihai sekali dan memiliki banyak sekali perubahan-perubahan sesuai dengan kedudukan lima unsur. Bisa panas dasyat seperti api, bisa juga lunak dan dalam seperti air, bisa pula keras dan kuat seperti logam, atau bisa lentur seperti kayu, juga dapat cepat dan halus seperti angin. Karena maklum akan kelihaian lawan, maka Seng Bu segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, tangan kiri ke atas dan tangan kanan ke kawah, lutut agak ditekuk. Kuda-kuda ini mengandung dua unsur Angin dan Logam, dapat bergerak cepat sekali dan juga dapat melancarkan pukulan dahsyat dan bawah. Tentu saja dalam pemasangan kuda-kuda ini, dia sudah mengumpulkan tenaga sinkang di seluruh tubuh, terutama di kedua lengannya. Melihat pemasangan kuda-kuda ini, Koan Jit yang sombong tersenyum mengejek. Dia dapat menduga bahwa tentu lawannya memainkan ilmu yang baru dan suhunya yang belum sempat dipelajarinya, akan tetapi karena sejak kecil dia murid Thian-tok, tentu saja dia mengenal sumbernya yang khas dari Thian-tok. Dia sendiri, selain ilmu-ilmu dan Thian-tok, juga sudah mempelajari banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh, yang membuatnya menjadi lihai bukan main, terutama sekali dia amat hebat dalam ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang saja. Maka, diapun ingin merobohkan lawan mengandalkan ginkangnya.

“Hyaaaattt!”

Tiba-tiba Koan Jit mengeluarkan seruan melengking nyaring. Inilah semacam Sin-houw Ho-kang (Auman Harimau Sakti). Getaran suara ini membuat banyak orang menjadi pening dan cepat menutupi telinga dengan tangan. Akan tatapi karena gerengan itu ditujukan kepada Seng Bu, tentu saja yang paling merasakan daya serangannya adalah orang muda ini. Akan tetapi, diapun sudah mempelajari Sin-houw Ho-kang ini dari Thian-tok, maka dengan pengerahan sinkang, dia mampu menahan diri dan menolak getaran yang mengguncang jantung memekakkan telinga itu.

Tubuh Koan Jit sudah berkelebat lenyap dan tahu-tahu tubuh itu sudah meloncat tinggi ke atas seperti seekor burung garuda dan menyambar turun menyerang ke arah Seng Bu dengan kedua tangan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Seng Bu.

Akan tetapi Seng Bu sudah siap siaga dengan kuda-kudanya tadi. Dengan gerakan kaki melangkah, ke belakang lalu memutar tubuh, dia mampu menghindarkan diri dan serangan kilat itu. Selagi tubuh lawan turun ke atas tanah, dia sudah membalas dengan serangan Hut-ciang-liap-bhok (Tangan Api Mengejar Kayu). Kedua tangannya itu dengan beruntun menghantam dengan telapak tangan terbuka, bertubi-tubi, dan kedua telapak tangannya itu keluar hawa panas yang dahsyat!

“Hemmm…!”

Koan Jit meloncat ke samping untuk menghindar sambil menangkis dari samping. Seruannya itu terdengar seperti orang mencemoohkan, akan tetapi sebenarnya seruan itu adalah seruan kaget. Tak disangkanya ilmu baru dari sutenya itu sedemikian lihainya.

“Dukk-dukk!”

Dua lengan bertemu dua kali dan akibatnya, tubuh Seng Bu terdororig ke belakang akan tetapi kedudukan kaki Koan Jit juga tergoyah yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Hal ini saja menunjukkan bahwa tenaga Seng Bu hanya kalah sedikit dibandingkan toa-suhengnya itu.

Koan Jit menjadi marah dan dengan seruan-seruan nyaring dia menyerang terus, menggunakan berbagai ilmu yang tidak dipelajarinya dari Thian-tok agar membingungkan sutenya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sutenya itu bukanlah Seng Bu beberapa waktu yang lalu! Selama ini, Seng Bu banyak bergaul dengan pendekar-pendekar patriot, dan dia saling bertukar pandangan tentang ilmu silat dengan teman-temannya. Tentu saja hal ini menambah matang kepandaiannya, dan diapun banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari para pendekar. Maka, serangan bertubi-tubi dari Koan Jit itu bukan hanya dapat dielakkan atau ditangkis, bahkan dapat pula dia membalas serangan serangan itu dengan tak kalah hebatnya.

Perkelahian itu berlangsung sampai limapuluh jurus lebih dan amat menegangkan, mengaburkan pandang mata mereka yang kurang ahli saking cepatnya gerakan mereka. Sheila sendiri memandang dengan muka pucat dan mata hampir tak pernah berkedip walaupun ia juga merasa pening dan kabur saking cepatnya dua orang itu bergerak. Ia malah tidak dapat lagi membedakan mana suaminya dan mana lawan, kecuali kalau nampak bayangan hitam yang tentu saja bayangan Koan Jit yang mengenakan jubah hitam. Ia sama sekali tidak tahu apakah suaminya itu mendesak atau terdesak. Juga orang-orang lain memandang penuh ketegangan hati dan diam-diam banyak yang merasa kagum, baik terhadap Koan Jit maupun terhadap Seng Bu.

Yang merasa penasaran adalah Kapten Charles Elliot. Kalau saja orang sepandai Seng Bu itu, yang agaknya memiliki kepandaian yang seimbang dengan Koan Jit, dapat pula menjadi pembantunya, tentu kedudukannya akan lebih kuat lagi.

“Haiiiitttt!”

Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan amat dahsyatnya, mengeluarkan jurus yang amat ampuh dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, yaitu jurus Hui-cui- pok-cim (Api Air Sambar Logam). Kedua kaki dan tangannya menyambar- nyambar dengan amat ganasnya sehingga Koan Jit terkejut bukan main. Biarpun dia sudah berusaha untuk menghindar dengan jalan mengelak dan menangkis, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya, membuat tubuhnya terjengkang.

Koan Jit menggunakan ginkangnya untuk melempar tubuh ke belakang jan- pok-sai (jungkir balik) sampai tiga kali, baru dia dapat berdiri tegak, akan tetapi pahanya terasa nyeri bukan main. Dia menjadi malu, marah dan penasaran. Mukanya yang hitam itu berubah kebiruan dan matanya yang seperti mata kucing itu mencorong.

“Jahanam busuk… sekarang kubunuh kau!” bentaknya sambil menubruk ke depan dengan pukulan-pukulan yang amat ampuh, mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya.

Seng Bu mengenal pukulan ampuh, maka diapun menggunakan jurus Hong- cul-toan-bun (Angin Air Menjaga Pintu), sebuah jurus pertahanan yang amat ampuh. Dan benar saja, semua serangan itu dapat dielakkan dan ditangkis dari samping, sehingga kembali serangan lawan gagal.

Koan Jit masih merasa nyeri pada pahanya, maka kembali dia menyerang dengan kedua kakinya yang mengirim tendangan berantai dan kanan kiri. Seng Bu maklum bahwa tendangannya tadi berhasil melukai paha kiri lawan, maka kini melihat betapa lawan dengan nekat menggunakan kedua kaki menendangnya, juga menggunakan kaki kiri, maka cepat dia menggerakkan tangan kanan untuk menghantam ke arah paha kiri lawan yang sudah luka itu. Hampir saja usahanya berhasil, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ledakan nyaring dan Seng Bu roboh tersungkur!

Sebutir peluru menembus dadanya! Kiranya, dalam keadaan terdesak tadi, Koan Jit yang luka karena kurang hati-hati dan tadi memandang rendah lawan, menggunakan kecurangannya. Diam- diam, di luar tahu Kapten Elliot, dia telah menyembunyikan sebuah pistol kecil di balik jubahnya, dan ketika dia mengirim serangan tendangan bertubi-tubi tadi, dia hanya memancing perhatian Seng Bu saja, dan tiba-tiba dia sudah mencabut pistol dan menembak dari jarak dekat sekali sehingga Seng Bu yang tidak menyangka sama sekali itu menjadi korban tembakan dan roboh!

“Seng Bu!!!”

Sheila lari menghampiri suaminya. Melihat suaminya terlentang dengan dada berlumuran darah, ia menubruk sambil menangis, menguncang-guncang tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya.

“Seng Bu, ahhh… Seng Bu, suamiku…”

Seng Bu membuka matanya. Dadanya terasa nyeri bukan main, dan tahulah dia bahwa tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkannya. “Sheila isteriku!”

Dia berbisik dan mengangkat tangannya yang menggigil, mengusap wajah istetinya penuh kasih sayang.

“Seng Bu, ahh… jangan mati, Seng Bu. Jangan tinggalkan isterimu…”

Sheila meratap. Seng Bu tersenyum ketika Sheila menciuminya dan tidak memperdulikan darah yang menempel di bibirnya. Tembakan itu membuat mulutnya berdarah, dan ketika Sheila menciumnya, darah menodai mulut Sheila tanpa dirasakan oleh isterinya itu.

“Sheila, tenanglah… beginikah sikap isteri pejuang, isteri pendekar?”

Sheila teringat dan seketika ia menahan tanyanya. Hanya air matanya bercucuran, akan tetapi ia tidak menangis lagi, tidak mengeluh lagi. Teringat ia betapa banyak isteri yang ditinggal mati suaminya, dan isteri-isteri itu sama sekali tidak menangis, menerima nasib itu dengan tabah, bahkan bangga bahwa suami mereka gugur sebagai patriot sejati.

“Nah, begitu… jangan... jangan antar kematianku dengan air mata, Sheila. Antarlah dengan senyummu… aku ingin melihat senyummu, ingin membawa bayangan senyummu ke sana…”

“Seng Bu!”

Sheila menubruk dan menciumi untuk menyembunyikan air matanya. “Sheila, senyumlah… senyumlah…” Bisikan itu makin melemah.

Sheila mengangkat mukanya dan iapun tersenyum. Senyum yang dapat menghancurkan hati siapa saja yang menyaksikannya. Senyum dengan air mata bercucuran, akan tetapi ia tersenyum, ia memaksa mulutnya untuk tersenyum, senyum manis dengan bibir masih ternoda darah.

“Terima kasih… kau manis sekali… titip… titip anak kita…” dan kepala Seng Bu terkulai di atas pangkuan isterinya.

“Seng Bu…!”

Dan tubuh Sheila juga terguling di atas tubuh suaminya karena ia telah roboh pingsan!

Peristiwa itu menggegerkan dan juga membuat hati Kapten Charles Elliot menjadi bingung. Dia menegur Koan Jit yang mempergunakan pistolnya, akan tetapi tidak memarahinya. Bagaimanapun juga, dia girang bahwa Seng Bu tewas. Pertama, karena memang dia lebih sayang dan percaya kepada Koan Jit. Kedua, dengan kematian Seng Bu, maka Sheila tentu akan kembali kepada bangsanya.

Akan tetapi ternyata kapten ini kecelik! Sheila memperlihatkan sikap keras. Kematian suaminya membuat ia semakin tidak suka kepada bangsanya sendiri. “Aku minta agar jenazah suamiku boleh kubawa ke pedalaman untuk kumakamkan. Juga makam ayah ibuku akan kumakamkan sendiri. Siapa di antara saudara di sana itu yang suka membantuku mengangkut jenazah

suamiku?” tanyanya kepada para kuli pelabuhan.

Dan banyak kuli pelabuhan yang suka menbantu. Dan pada hari itu juga, Sheila meninggalkan Kanton, menunggang kuda membawa jenazah suaminya, diantar oleh beberapa orang kuli pelabuhan. Tentu saja kedatangannya disambut dengan bela sungkawa dan duka oleh para kawan seperjuangan. Jenazah Seng Bu lalu diurus sebaiknya dan dimakamkan dengan penuh penghormatan sebagai seorang pahlawan.

Sheila lalu mengurus pemindahan makam ayah ibunya, dimakamkan dekat dengan makam suaminya, iapun hidup di antara pejuang, menanti kelahiran bayinya.

Hidup ini memang merupakan permainan antara susah dan senang. Agaknya memang sudah semestinya demikian, ada susah tentu ada senang, seperti alunan ombak samudera, tidak hanya ke kiri atau ke kanan saja. Ada siang ada malam, ada terang ada gelap, ada senang ada susah. Tidak ada apa- apa lagi yang perlu dihentikan.

Akan tetapi, kalau kita merenungkan, kita yang diberkahi dengan akal budi ini, yang dapat mengamati semua itu, apakah memang dilahirkan untuk menjadi permainan antara susah dan senang ini? Apakah kita ini dilahirkan untuk menderita susah, menikmati senang hanya sedikit saja, banyak susahnya. kemudian tua, susah lagi karena lemah, dan mati, begitu saja?

Siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan hidup, sesungguhnya tidak ada yang disebut susah atau senang itu, karena susah atau senang itu hanyalah permainan pikiran kita sendiri belaka. Kalau siang dan malam ada, terang dan gelap memang ada. Akan tetapi semua itu tidak ada hubungannya dengan susah atau senang.

Kalau terang tiba, terlalu terang dan terlalu panas, ada akal budi kita yang mendatangkan kecerdasan, membuat kita berteduh dan akal budi telah bekerja sedemikan baiknya sehingga kita mampu membuat es, membuat kipas angin untuk mengatasi panas. Kalau malam tiba, akal budi kita bekerja lagi sehingga muncullah penerangan listrik dan sebagainya. Kalau dingin tiba, kita mempergunakan akal budi kita sehingga kini ada heater, ada tungku dan segala alat pemanas lain seperti pakaian tebal dan sebagainya. Kalau hujan lebat turun dan banjir terjadi, kembali akal budi kita membentuk kecerdasan, membuat kita mencari jalan untuk mengatasi semua itu, dan di sini sama sekali tidak ada senang atau susah!

Jadi apakah senang atau susah sesungguhnya?

Senang itu jelas. Badan kita terasa enak, pikiran dan hati kita terasa lega dan puas, dan timbullah keinginan untuk mengulangi semua pengalaman enak ini yang dinamakan kesenangan. Jadi, pikiran atau ingatan yang mencatat dan menampung pengalaman ini untuk diusahakan pengulangannya. Dan susah itu apa? Kebalikannya saja. Kalau badan kita terasa tidak enak, kalau perasaan dan hati kita merasa kecewa, iba diri dan sebagainya.

Jelaslah, senang dan susah itu hanya permainan batin yang selalu ingin mengulang kesenangan dan menyingkirkan kesusahan, mengejar-ngejar yang enak dan melarikan diri dan yang tidak enak!

Bagaimana kalau kita menghadapi segala hal yang terjadi itu tanpa mengikutkan pikiran yang menciptakan si ‘aku’ yang menimbang-nimbang, menghitung-hitung untung ruginya? Kalau pikiran kita tidak menilai, maka yang bekerja hanyalah kecerdasan akal budi! Tidak ada lagi keluhan, tidak ada lagi mabok kesenangan. Dan kesemuanyapun terjadi dengan wajar. Dan hanya batin yang dapat menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian inilah, yang tidak lagi sarat oleh beban untung rugi, batin demikian akan dapat mengenal apa artinya hidup yang sesungguhnya, apa artinya bahagia, apa artinya cinta kasih. Hanya batin yang tidak dibebani oleh keluhan pikiran yang menilai, yang mengeluh, maka batin seperti itu yang akan sungguh-sungguh aktif, penuh perhatian, tidak putus harapan, tidak mencari-cari, tidak mengejar, akan tetapi tidak mandeg, melainkan hidup sepenuhnya dari detik ke detik, dari saat ke saat. Awan yang berarak di angkasa itu nampaknya saja mandeg dan mati, akan tetapi sesungguhnya setiap detik bergerak, berubah, mengikuti keadaan pada saatnya, tanpa menentang, akan tetapi juga tidak mengekor saja.

Berita tentang kematian Gan Seng Bu terdengar luas di dunia kang-ouw. Juga Ong Siu Coan mendengar tentang kematian sutenya. Dia sendiri tidak mencinta sutenya itu, maka tentu saja kematian sutenya itu tidak mendatangkan rasa kesal dalam hatinya, bahkan ada rasa puas karena tadinya dia mengiri terhadap sutenya yang dapat memperisteri Sheila.

Demikian kejinya kebencian kalau sudah bersemi dalam hati seorang manusia. Kebencian membuat orang akan merasa senang dan puas kalau melihat orang yang dibencinya itu celaka! Kebencian ini menghapuskan rasa perikemanusiaan dan dari hati sanubari manusia. Karena itu, bagi seorang bijaksana, dibenci oleh seluruh manusia bukanlah menjadi persoalannya, akan tetapi kalau dia membenci satu orang saja, maka itu merupakan suatu masalah besar yang harus ditanggulangi dan diatasinya.

Akan tetapi yang membuat hati Ong Siu Coan tidak senang adalah ketika mendengar bahwa yang membunuh Gan Seng Bu itu adalah Koan jit, toa- suhengnya! Inilah yang menyakitkan hati. Dan diapun mendengar pula tentang Koan Jit yang kini sudah memperoleh kedudukan terhormat di dalam pasukan marinir Inggeris, bahkan menjadi komandan dari pasukan yang bernama Harimau Terbang.

“Aku tidak boleh kalah oleh Koan Jit,” pikirnya.

“Dan aku harus dapat merampas Giok-liong-kiam dari tangannya. Aku takkan puas sebelum berhasil merampas Giok-liong-kiam itu, dan kalau mungkin membunuh jahanam itu.”

Demikian pikiran Ong Siu Coan. Orang ini memang cerdik sekali. Tidak hanya mengandalkan kepandaian silat seperti mendiang Gan Seng Bu, dia memang berani dan gagah, akan tetapi lebih banyak mempergunakan kecerdikannya, tidak asal berani saja.

Setelah memperhitungkannya dengan cermat, pada suatu hari Ong Siu Coan berjalan-jalan ke pelabuhan Swa-touw, dimana juga menjadi persinggahan kapal-kapal perang Bangsa Inggeris. Sudah berhari-hari dia menyelidiki tempat ini dan melihat betapa Admiral Elliot, orang yang paling berkuasa di seluruh armada Inggeris, suka datang mendarat dan memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah benteng di tepi laut. Agaknya tempat itu akan dijadikan benteng oleh marinir kulit putih. Dan diapun melihat betapa di waktu mengaso, para perajurit marinir itu suka berlatih olah raga, ada yang bertinju, ada yang berlatih memainkan bayonet.

Pada siang hari itu, Admiral Elliot sendiri nonton pertandingan adu tinju, dan adu ketangkasan bayonet yang dalam latihan itu diganti dengan kayu biasa. Dari jauh, Ong Siu Coan menonton sambil memperhitungkan apa akan yang dilakukan, hal yang sudah berhari-hari direncanakannya. Ternyata hari itu, yang terpilih sebagai jagoan, baik jago tinju maupun jagoan mempergunakan bayonet, ada enam orang perajurit yang tubuhnya tinggi besar dan atletis. Mereka itu berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun, dan memang mereka ini merupakan jagoan-jagoan dari kesatuan yang baru saja tiba beberapa pekan lamanya di daerah itu.

“Siapa lagi yang berani maju melawan seorang di antara jagoan ini?” kata seorang juru bicara.

Selama ini, Ong Siu Coan yang cerdik sudah banyak mempelajari Bahasa Inggeris sehingga dia mengerti apa yang dikatakan itu, bahkan diapun dapat bicara daam Bahasa Inggeris walaupun tidak begitu fasihnya namun cukup untuk dapat dipakai modal berkomunikasi.

“Boleh aku maju untuk mencoba-coba?”

Tiba-tiba dia melangkah maju ke dalam arena pertandingan itu dan sengaja dia muncul berhadapan dengan Admiral Elliot, sehingga tentu saja mudah nampak oleh pembesar itu. Semua mata menatap ke arahnya, dan sinar mata admiral itu membayangkan keheranan akan tetapi juga ingin tahu sekali. Seorang opsir marinir yang melihat bahwa pemuda itu bukan anggauta di situ, bukan pula pegawai atau kuli pelabuhan, sudah menjadi marah dan dengan muka merah dia mendekati Siu Coan, langsung saja menjotos dengan kepalan tangan kanannya ke arah muka pemuda itu sambil membentak.

“Orang gila, pergilah dari sini!”

Sebagai seorang luar Bangsa Cina yang berani memasuki gelanggang itu untuk menantang dan mengikuti pertandingan, tentu saja dianggap perbuatan orang yang sudah miring otaknya. Pukulan opsir itu keras bukan main, karena dia seorang ahli tinju yang cukup jagoan. Akan tetapi, betapapun cepat dan keras datangnya

pukulan itu, bagi Siu Coan tentu saja nampak lamban sekali dan dengan amat mudah dia mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang dan ke kiri. Melihat betapa pukulannya dapat dielakkan dengan demikian mudahnya oleh orang itu, si Opsir menjadi semakin penasaran.

“Eh, kau berani melawan, ya? Nah, makanlah ini!”

Dan kembali dia memukul, sekali ini pukulan swing, yaitu ayunan dari samping, bukan pukulan straight (langsung) dari depan seperti tadi, dan yang dituju memang mulut Siu Coan, bukan rahang seperti yang biasa dia lakukan dalam permainan tinju. Agaknya saking marahnya, opsir itu dengan pukulan swingnya yang keras ingin membikin rontok semua gigi dalam mulut Sui Coan.

“Wuuuuuttt!”

Angin pukulan itu lewat di depan muka Siu Coan yang kembali sudah berhasil mengelak tanpa menggeser kakinya, hanya dengan ayunan tubuhnya sampai jauh ke belakang.

“Eh, kau benar-benar menantang, ya?”

Opsir itu tentu saja kini menjadi marah bukan main. Dua kali dia menyerang, menyerang dengan sungguh-sungguh dan orang ini seenaknya saja mengelak bahkan menangkispun tidak, seolah-olah pukulan-pukulannya tadi hanya permainan anak-anak belaka. Dan semua ini disaksikan oleh banyak perajurit, dan ceakanya, disaksikan pula oleh Admiral Elliot. Padahal, di antara enam jagoan itu, yang kini memilih juara untuk kenaikan pangkat, belum tentu ada yang akan mampu menandinginya dalam adu tinju. Dengan kemarahan meluap-luap, dia mendesak, kakinya melangkah ke depan dan dia sudah mengirim pukulan upper-cut, yaitu pukulan dari bawah mengarah ke dagu lawan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat lawan pingsan. Pukulan ini datangnya tiba-tiba dan juga cepat bukan main, agaknya akan sukar untuk dieakkan, kecuali kalau ditangkis.

Akan tetapi, betapapun cepat dan dekatnya serangan itu datang, kembali Siu Coan berhasil mengelak, sekali ini terpaksa melangkahkan kaki depan ke belakang dan upper-cut itu hanya melayang lewat di depan hidungnya saja. Siu Coan terus mundur lagi dua langkah dan berkata, dengan suara satu satu.

“Tuan, dalam peraturan kami para pendekar, mengalah berarti membiarkan lawan menyerang sampai tiga kali. Tuan sudah memukulku sampai tiga kali, harap berhenti, kalau tidak, terpaksa aku akan membela diri dan akan membalas serangan yang keempat.”

Admiral Elliot yang melihat ini, menjadi tertarik sekali. Sebagai seorang admiral, pangkat yang amat tinggi karena dialah yang memimpin seluruh armada yang beroperasi di negeri Cina, tentu saja dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan anak buahnya, walaupun terbatas sebagian besar pada teorinya saja. Dari gerakan-gerakan Sui Coan ketika mengelak tadi, dia dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata ‘berisi’. Maka dia merasa tertarik sekali dan ingin menyaksikan apakah benar dalam serangan keempat, pemuda yang bagi seorang Cina cukup jangkung itu akan mampu membalas opsirnya, seorang yang dia tahu cukup tangguh. Opsir itu adalah Sersan Bullbone, seorang yang bertubuh kokoh bagaikan banteng.

Mendengar ucapan Siu Coan itu, sersan tadi malah menjadi semakin berang. Ucapan itu tidak dianggap sebagai orang yang mengalah, melainkan sebagai tantangan.

“Apa? Engkau mau membalas? Boleh, boleh sekali! Memang dalam perkelahian, orang boleh saja membalas.”

Bagaimanapun juga, dia adalah seorang petinju yang juga mengutamakan sportivitas, bahkan dia pikir kalau pemuda itu balas menyerang, dia akan berhasil mencari lowongan untuk memasukkan serangannya.

Setelah berkata demikian, karena tadi Siu Coan mundur, Sersan Bullbone lalu mendesak maju tiga langkah dan kini kedua tangannya yang dikepal sudah melakukan serangan bertubi-tubi, dari kanan kiri, cepat sekali seperti kitiran angin. Akan tetapi sebagai seorang petinju, sasaran pukulan-pukulannya hanyalah dari pinggang ke atas, dan hal ini nampak jelas oleh Sui Coan.

Tiba-tiba Siu Coan merendahkan tubuhnya berjongkok, kakinya menyapu kaki lawannya. Sersan Bullbone terpelanting karena kakinya diserampang oleh kaki Siu Coan yang terlatih keras seperti batangan besi itu.

“Curang! Curang!”

Terdengar teriakan di sana- sini. Siu Coan tidak mengerti arti kata Bahasa Inggeris itu dan diapun sudah mundur lagi dan memandang musuhnya yang kini merangkak bangun.

“Itu tidak boleh kaulakukan!” kata Admiral Elliot yang kini merasa tertarik sekali, mendahului anak buahnya yang agaknya hendak mengeroyok.

Melihat sang admiral sendiri turun tangan mencampuri, semua orang diam tidak berani bergerak.

“Maaf, tuan besar,” kata Siu Coan kepada admiral itu.

“Mengapa tidak boleh? Tadi sudah kukatakan bahwa kalau dia menyerang lagi untuk keempat kalinya, aku terpaksa akan membalas.”

“Benar, akan tetapi engkau menyerang bagian kaki. Menurut ilmu tinju kami, serangan hanya boleh dilakukan dari pinggang ke atas, itupun bagian depan, tidak boleh bagian belakang, dan harus dilakukan dengan pukulan tangan, tidak boleh dengan anggauta tubuh yang lain.”

Mendengar penjelasan ini, Siu Coan mengangguk mendengar tentang peraturan tinju di antara orang kulit putih. Bahkan dia pernah menyaksikan pertandingan tinju seperti itu yang dianggap amat aneh dan lucu. Orang bertanding dan berkeiahi kenapa mesti pakai aturan dan larangan segala macam? Bukankah berkelahi itu mencari kemenangan dengan cara apapun juga? Lihat saja kalau harimau berkelahi, ayam berkelahi, tanpa ada aturan- aturan yang mengikat. Dia berpikir sejenak. Memang tidak mudah kalau ilmu silatnya dibatasi dalam perkelahian seperti itu.

Bayangkan saja. Semua bagian tubuh lain, tendangan kaki yang mematikan, lutut, siku, bahkan kepala kalau perlu, semua itu untuk dipergunakan menyerang. Dan lebih lucu lagi, yang diserang hanya pinggang ke atas, sedangkan bagian-bagian lain yang mematikan tidak boleh disentuh! Dan tangan harus dikepal pula. Padahal, untuk mencapai bagian-bagian yang sempit seperti tenggorokan, mata dan untuk menotok jalan darah atau mematahkan tulang iga, semua itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jari-jari tangan. Kalau jari-jari dikepal, tentu hanya dapat dipakai untuk menjotos saja. Bahkan pinggiran tangan yang dapat dipakai membabat seperti golok atau pedang tak dapat dipergunakan lagi.

“Bagaimana? Beranikah engkau melawan aku dengan peraturan tinju seperti itu?”

Kini Sersan Bullbone menantang, akan tetapi sikapnya tidak segalak tadi. Pertama, karena dia dapat pula menduga bahwa tentu pemuda ini pandai silat seperti opsir Koan Jit, dan juga di situ disaksikan oleh Admiral Elliot, maka dia tidak boleh bersikap sewenang-wenang.

Siu Coan tersenyum.

“Tuan, sebetulnya tadi saya tertarik menyaksikan pertandingan itu dan ingin memasuki karena tadi ada tantangan dari enam orang itu. Aku tidak ingin berkelahi, melainkan bertanding untuk mengadu ilmu bela diri. Akan tetapi kalau tuan mendesak dan mau coba-coba, boleh saja. Hanya, aku tidak suka kalau tanganku dibungkus, karena dengan demikian, aku merasa seperti tidak mempunyai tangan saja.”

Semua orang tersenyum mendengar ini dan Sersan Bullbone tertawa. “Aha,  kalau  tanganku  ini  dibiarkan  terbuka  tanpa  dilindungi  sarung

tangan, pukulanku bisa mematahkan tulang rahangmu, mungkin kepalamu.” "Bagi   kami,   kalah   atau   menang,   mati   atau   hidup   merupakan   akibat

pertandingan yang tak patut disesalkan lagi.”

“Baik, majulah. Akan tetapi ingat, hanya menggunakan kepalan tangan untuk menghantam dari pingging ke atas, dari depan. Tahu?”

“Baik, aku mengerti,” jawab Siu Coan.

Kini keduanya sudah berhadapan dan opsir itu sudah membuat gerakan mengelilingi Siu Coan dengan lagak seorang petinju jagoan. Tubuhnya agak membongkok, kedua lengannya dipasang, yang kiri di depan dagu, yang kanan di dekat rusuk, keduanya dikepal, kedua kakinya membuat gerakan seperti menari-nari dan dia mengelilingi Siu Coan.

Siu Coan berdiri tanpa bergerak, hanya matanya yang mengikuti gerak- gerik lawan. Kalau lawan mengitarinya di belakangnya, dia diam saja. Bukankah tidak boleh memukul dari belakang, pikirnya. Tiba-tiba dari samping, opsir itu melancarkan pukulan straight ke arah dagu kanan Siu Coan. Pemuda tidak mau memperpanjang pertandingan itu, maka begitu pukulan melayang datang ke arah dagunya, diam-diam dia mengerahkan sinkangnya untuk melindungi dagu itu. Tepat pada saat pukulan yang keras itu menghantam dagunya, dia membarengi dengan jotosan lunak saja ke arah pangkal leher lawan.

“Dukkk… desss…”

Akibatnya, tubuh yang kokoh itu terpelanting dan roboh tak mampu bangkit kembali karena pingsan! Knocked-out dalam satu pukulan saja! Tentu saja semua orang terbelalak menyaksikan itu. Mereka tadi melihat dengan jelas betapa pukulan Sersan Bullbone tepat mengenai dagu Siu Coan, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasakannya, karena dagunya terlindung tenaga sakti, sedangkan pukulannya yang hanya dilakukan dengan tenaga terkendali itu cukup membuat sang sersan roboh pingsan!

Sersan itu sendiri kalau tidak keburu pingsan, tentu akan bengong terlongong. Ketika pukulannya yang keras tadi mengenai dagu lawan, dia merasa seperti memukul benda lunak, seperti memukul sebuah balon yang terisi angin saja! Dan pukulan lawan ke arah pangkal lehernya seperti ada geledek menyambarnya!

Terdengar tepuk tangan dan yang bertepuk tangan adalah Admiral Elliot. Melihat ini, banyak perajurit bertepuk tangan memuji. Dan sang Admiral lalu menggapaikan tangannya memanggil Sui Coan. Memang ini yang dikehendaki pemuda itu, maka diapun lalu menghampiri dan berkata halus.

“Harap maafkan, tuan besar. Aku tidak sengaja membikin celaka tuan itu.” Dia menunjuk ke arah tubuh Bullbone yang mulai bergerak dan bangkit dibantu teman-temannya. Admiral Elliot memandang pemuda yang tinggi itu dengan sinar mata penuh selidik. Sebagai seorang Admiral, tentu saja Elliot bukan orang bodoh. Dia sedang menaksir-naksir dan melakukan penyelidikan dengan pandang matanya terhadap pemuda ini? Musuhkah? Mata-mata musuhkah? Atau seorang penjahat yang melarikan diri dari pemerintah Ceng, seperti juga Koan? Ataukah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan hanya ingin bertualang? Ataukah seorang yang haus akan kedudukan dan

kemuliaan seperti Koan Jit?

Dengan bahasa daerah yang dikuasainya dengan baik, Admiral Elliot lalu tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan kepada Siu Coan.

“Orang muda, sebenarnya apa kehendakmu maka engkau berani datang ke tempat kami dan memamerkan kepandaianmu?”

Kalau bukan Siu Coan yang ditanya seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa daerah yang fasih, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, dan pertanyaan itu demikian tepat dan langsung mengenai sasaran. Karena memang sesungguhnya, dia datang untuk memamerkan ilmu kepandaiannya! Dia harus berhati-hati terhadap admiral ini, pikirnya, karena dia tahu bahwa pembesar ini benar-benar seorang yang cerdik sekali. Dia lalu menjura dengan cara bangsanya, memberi hormat dan berkata. “Maafkan saya, tuan. Saya sama sekali tidak bermaksud memamerkan kepandaian, melainkan karena sejak kecil saya memang suka akan olah raga beladiri. Melihat betapa saudara-saudara yang gagah di sini memperlihatkan ilmu itu dan mengadu kepandaian, lalu mendengar tantangan tadi, timbul kegembiraan hati saya untuk mencoba-coba. Hanya bermaksud untuk bersahabat melalui adu ilmu silat, bukan untuk bermusuhan, tuan. Di kalangan bangsa kami terdapat peribahasa bahwa tidak akan menjadi sahabat baik

sebelum saling mengadu ilmu masing-masing.”

Admiral itu tersenyum. Sebagai seorang pembesar tinggi yang bertugas di negeri Gina, tentu saja di banyak mempelajari tentang keadaan di negara itu, tentang para pejuang, para pendekar dan para sasterawannya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini memang hanya seorang pendekar yang suka akan petualangan saja, akan tetapi masih ‘bersih’ dari pada pengaruh politik yang membuat orang menjadi pro sana anti sini.

“Baiklah kalau begitu, apakah engkau yakin dapat mengalahkan seorang di antara enam orang jagoan kami itu?”

Dia menunjuk ke arah enam orang yang masih berkumpul di situ, yang tadi juga menonton pertandingan antara sersan Bullbone dan Siu Coan. Mereka merasa jerih juga kalau harus berhadapan dengan pemuda sederhana itu sendirian saja.

“Saya Yakin, tuan.”

“Bagaimana kalau kau dikeroyok dua, masih yakinkah akan menang?” “Kalau tidak dibatasi dengan peraturan tinju, melainkan perkelahian biasa

boleh menggunakan cara bagaimana saja untuk memperoleh kemenangan, saya yakin akan mampu mengalahkan dua orang di antara mereka,” jawab Siu Coan, bukan dengan nada sombong melainkan dengan sikap sederhana dan suara meyakinkan, sehingga menyenangkan hati admiral itu. Pemuda ini pasti memiliki kepandaian hebat, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kelihaian Koan Jit, maka berani menjawab seperti itu, dan sikapnya juga amat sopan dan sederhana, sama sekali berbeda dengan sikap Koan Jit yang kelihatan congkak dan mengandalkan kehebatan dirinya sendiri.

“Hemmm. ”

Admiral Elliot meraba dagunya yang halus, akan tetapi jenggot yang pagi tadi dicukur bersih sudah mulai memarut jari-jari tangannya.

“Bagaimana kalau dikeroyok tiga? Beranikah kau?”

Dia memakai pertanyaan dengan kata berani, bukan yakin menang lagi. Dia ingin menguji ketabahan hati pemuda ini, dan jawaban Sui Coan yang tetap sederhana itu mengejutkan hatinya.

“Saya berani, tuan.”

Admiral itu memandang kepada Siu Coan penuh perhatian. Benarkah anak ini akan mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan itu? Dia sendiri dikeroyok dua saja akan berpikir pikir dulu!

“Bagaimana kalau mereka berenam maju semua? Berani jugakah engkau?” “Saya berani, tuan,” jawab Siu Coan tanpa ragu-ragu. Memang dia ingin memperlihatkan kelihaiannya agar dapat ‘terpakai’, maka diapun tidak ragu-

ragu untuk menantang.

“Bagaimana kalau mereka berenam maju semua? Berani jugakah engkau?” “Saya berani, tuan,” jawab Su Coan tanpa ragu-ragu.

Memang dia ingin memperlihatkan kelihaiannya agar dapat ‘terpakai’, maka diapun tidak ragu-ragu untuk menantang.

“Bagus! Akan kubuktikan omonganmu. Akan tetapi, dalam perkelahian, kepalan tangan tidak mempunyai mata, kalau sampai engkau kena pukulan keras dan menderita sakit atau sampai mati sekalipun, jangan kaupersalahkan aku, karena engkau sendiri yang menerima tantangan untuk dikeroyok enam orang sekaligus.”

“Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa dan tidak akan menyesal, tuan.” Admiral itu lalu memanggil enam orang itu dan menerangkan dalam bahasa Inggeris bahwa pemuda Cina ini berani menghadapi mereka dengan sekaligus dikeroyok enam orang. Enam orang itu terbelalak, saling pandang dan kemudian terkekeh-kekeh. Ketika semua   perajurit yang tidak mengerti omongan antara admiral dan Siu Coan tadi mendengar bahwa pemuda itu berani dikeroyok enam orang jagoan yang dipilih itu, merekapun tertawa-tawa

tidak percaya.

Akan tetapi Sui Coan sudah siap untuk memperlihatkan kepandaiannya, maka dengan sikap tenang dia telah melangkah ke dalam tengah arena itu, lalu berdiri tegak dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara Inggeris yang patah-patah.

“Tuan-tuan berenam, silahkan maju mengeroyokku!”

Enam orang itu kembali saling pandang dan tertawa-tawa, mereka semua ragu-ragu dan menganggap Siu Coan dan admiral itu hanya berkelakar saja, bagaianapun juga mereka adalah juara-juara tinju juara-juara, bermain anggar, dan bermain bayonet. Bagamana kini mereka berenam disuruh mengeroyok seorang pemuda Cina yang tubuhnya, dibandingkan mereka, amat kurus dan kecil itu? Sekali tonjok saja agaknya pemuda itu akan knocked-out dan tidak akan bangun lagi.

“Admiral... apakah ini sebuah perintah?” tanya seorang di antara mereka.

Admiral Elliot yang sedang gembira dan di dalam hati menduga bahwa enam orang itu belum tentu akan menang, tersenyum dan berkata.

“Aku perintahkan kalian maju mengeroyok pemuda itu, kalahkan dia tetapi jangan bunuh dia kalau bisa.”

“Baik, Admiral. Siap melaksanakan perintah!” jawab mereka berenam sambil memberi hormat.

Sejak tadi mereka itu tidak berbaju yaitu ketika tadi mereka berlatih tinju dan gumul, dan mereka hanya memakai celana panjang dengan sabuk kulit putih dan sepatu boot yang tebal. Mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang penuh dengan otot-otot yang kekar dan kuat, dan muka yang bengis, pandang mata tajam penuh keberanian dan kecerdikan. Setelah memberi hormat, mereka lalu maju menghampiri Siu Coan yang masih berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang.

Semua perajurit yang berada di situ merasa gembira dan tegang. Mereka disuguhi pertunjukan yang luar biasa! Bahkan ada yang berteriak-teriak menantang teman bertaruh.

“Siapa berani bertaruh sepuluh pond lawan lima puluh pond, aku berpegang kepada enam orang jagoan kita!”

Biarpun taruhan itu satu lawan lima, tidak ada yang melayani.

“Dua puluh lima pond, dalam waktu kurang dari semenit, pemuda itu tentu roboh!”

Ramailah orang bertaruh, akan tetapi bukan bertaruh atas kemenangan Siu Coan, hanya bertaruh berapa lama pemuda itu akan dapat bertahan dikeroyok enam orang itu. Dan admiral itupun hanya tersenyum-senyum saja melihat kegemblraan anak buahnya, karena dia sendiri juga gembira dan senang.

Enam orang itupun bukan orang-orang biasa saja. Mereka adalah jagoan- jagoan berkelahi dan setiap orang jagoan tentu tidak mau begitu bodoh memandang rendah lawan yang belum dikenalnya. Mereka kini berindap-indap mengurung Siu Coan yang masih tetap berdiri tegak saja, seolah-olah tidak tahu bahwa di belakangnya ada dua orang, di depannya dua orang dan di kanan kirinya masing-masing satu orang. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan belakangnya, dua orang yang berada di belakangnya melihat kesempatan amat baik itu lalu menubruk ke depan. Yang seorang menonjok ke arah pungung dan seorang lagi menjambak rambut.

Semua orang mengira bahwa sekali serangan itu sudah akan cukup untuk merobohkan Siu Coan. Akan tetapi seorang ahli silat selihai Siu Coan, murid dari Thian-tok seorang di antara Empat Racun Dunia, telah memiliki pendengaran yang terlatih dan amat tajam, juga penasaannya sedemikian pekanya seolah-olah dia memiliki mata di belakang kepalanya. Oleh karena itu, walaupun dia diserang dan belakang, dia dapat mengikuti setiap gerakan kedua orang penyerangnya. Dan begitu dia meloncat ke kiri, kedua serangan itupun luput karena gerakan Siu Coan sedemikian cepatnya sehingga bagi kedua orang penyerangnya, dia seolah-olah pandai menghilang saja.

Melihat ini, dua orang yang berada di kanan kirinya juga cepat menyerang. Akan tetapi Siu Coan menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga. Pada saat yang bersamaan pula, dua orang yang berada di depannya sudah menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Sampai berkerontokan bunyi otot-ototnya di kedua lengannya ketika mereka mengirim jotosan-jotosan. Akan tetapi, dua kali kaki kanan Siu Coan bergerak dan ujung sepatunya sudah menotok ke arah lutut mereka, sehingga tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang itu jatuh berlutut, sedangkan dua orang yang ditangkis tadi kini mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang terasa nyeri dan kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum.

Memang aneh sekali melihat betapa dua tengan yang besar berotot itu, begitu bertemu dengan tangkisan lengan Siu Coan yang kalau dibandingkan dengan mereka nampak kecil itu, lalu menjadi kesakitan seperti itu. Dua orang yang tadi luput menubruk, membalikkan tubuh dan mengirim hantaman- hantaman, akan tetapi Siu Coan tidak mengelak, melainkan cepat dari samping menangkap pergelangan tangan mereka, menarik sambil meminjam tenaga, dan kedua orang itu telah saling bertumbukan beradu muka. Tentu saja mereka menjadi kesakitan dan menutupi bidung yang bocor keluar darah karena saling berciuman terlalu keras.

Semua orang memandang dengan bengong, bahkan Admiral Elliot sejak tadi tidak pernah mengedipkan matanya, kini memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Kalau dia tidak melihat dengan mata sendiri, tak mungkin dia dapat percaya bahwa seorang pemuda Cina yang demikian sederhana, dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan enam orang jagoannya yang ahli bermain tinju dan bertubuh kuat sekali. Dia tidak ingat bahwa mereka roboh karena terpukul bagian anggauta tubuh yang lemah. Dua orang tertangkis lengannya dengan lengan yang mengandung sinkang sehingga tulang lengan seolah-olah retak-retak rasanya. Dua orang lagi tertotok ujung sepatu tepat pada lututnya sehingga tentu saja membuat mereka jatuh berlutut, dan dua orang pula mukanya diadu sedemikian kerasnya sampai hindung mereka berdarah.

Admiral Elliot menjadi kagum dan mulai timbul kepercayaannya bahwa pemuda ini benar seorang pendekar seperti Koan Jit. Dan sudah merasa iri bahwa Kapten Charles Elliot, saudara sepupunya, telah berhasil memperhamba seorang ahli silat selihai Koan Jit. Kini ada pemuda ini, kalau dia sampal dapat menarik pemuda ini menjadi pembantunya, maka dia tidak kalah oleh saudara sepupu yang masih menjadi orang bawahannya itu.

“Orang muda, siapakah engkau?”

Pertanyaan ini mengandung banyak penyelidikan, bukan sekedar bertanya nama. Siu Coan juga maklum akan hal itu, maka diapun berterus terang kepada admiral itu. Setelah menghampiri dan memberi hormat, diapun berkata.

“Tuan besar, nama saya adalah Ong Siu Coan. Seorang pendekar perantau yang tidak mencampuri urusan pemberontakan. Tentu tuan pernah mendengar nama Koan Jit, bukan?”

“Tentu! Kau kenal dia?”

“Bukan hanya kenal. Dia adalah kakak seperguruan saya, tuan.” “Ohhh…!”

Wajah admiral itu menjadi girang bukan main. Dia mendapatkan adik seperguruan Koan Jit yang lihai itu, yang kini menjadi komandan pasukan Harimau Terbang yang amat terkenal dan banyak jasanya terhadap kumpeni,

“Jadi engkau adik seperguruannya? Dia menjadi pembantu Kapten Charles Elliot! Eh. Ong Siu Coan, bagaimana kalau engkau diadu dengan Koan Jit, siapa yang lebih unggul?”

Siu Coan tersenyum. Pertanyaan seperti itu sudah diduganya, dan dia sudah pula mempersiapkan jawabannya.

“Ah, di antara saudara seperguruan ,tentu saja tidak akan bertanding, tuan. Akan tetapi, apa yang pernah dipelajari oleh Koan Jit juga pernah saya pelajari. Di antara kami berdua, boleh dibilang sama kuat. Dia lebih tua dan lebih berpengalaman, akan tetapi saya lebih muda dan lebih kuat tenaga saya.”

Girang sekali hati Admiral Elliot, akan tetapi hatinya masih belum yakin benar. Koan Jit sudah memperlihatkan kelihaiannya, pernah merobohkan keroyokan puluhan orang kuli pelabuhan yang kuat-kuat, dan bahkan pernah pula diuji kemampuannya oleh Peter Dull sendiri, dihujani peluru pistol namun dapat menghindarkan diri.

“Song Siu Coan, setelah engkau menguji kepandaaianmu, lalu apa yang kaukehendaki dari kami?”

“Tuan besar, terus terang saja, saya masih menganggur tidak tahu harus bekerja apa. Saya hanya bisa ilmu berkelahi saja dan saya tidak suka menjadi tukang pukul, apalagi menjadi penjahat. Kalau sekiranya tuan suka, saya ingin minta pekerjaan di sini.”

“Oho, bagus… bagus...” Admiral Elliot kegirangan.

“Akan tetapi kami belum percaya benar kemampuanmu. Bagaimana kalau engkau menghadapi enam orang jagoan kami itu, akan tetapi mereka menggunakan bayonet. Sanggupkah engkau mengalahkan mereka?”

Mendengar ucapan itu, Siu Coan mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada admiral itu. Pandang matanya demikian mencorong seperti hendak menembus jantung admiral itu sehingga Admiral Elliot terkejut dan tidak berani menentang pandang itu.

“Tuan besar, mengapa tuan menyuruh orang-orang untuk membunuh atau berusaha membunuh aku dengan senapan? Bukankah menurut pelajaran agama tuan dikatakan bahwa kita harus mencintai sesama hidup kita, bahkan ada pelajaran yang mengatakan agar mencintai musuh-musuh kita? Kenapa sekarang tuan hendak membunuh saya yang tidak berdosa?”

Admiral itu membelalakkan matanya.

“Haii! Kau tahu apa tentang Agama Kristen?”

Siu Coan membuat tanda salib dengan tangannya.

“Saya percaya kepada Allah Bapa, Allah Putera, dan Roh Kudus!” “Ya Tuhan...! Kau… kau… seorang Kristen?”

Siu Coan mengangguk.

“Saya banyak berkenalan dengan pendeta Kristen dan banyak menerima pelajaran tentang Agama Kristen, dan sudah membaca kitab suci.”

Admiral Elliot mengangguk angguk, hatinya merasa bertambah girang. Namun dia masih berhati-hati, tidak percaya begitu saja dan dia lalu mengajukan beberapa pertanyaan tentang sejarah dalam agama Kristen, tentang kelahiran Yesus, tentang nabi-nabi Musa, Daud, dan yang lain. Semua dapat dijawab dengan lancar oleh Siu Coan. “Bagus? Jangan khawatir, maksudku kau melayani serangan anam orang pembantuku ini yang akan menyerangmu dengan bayonet dengan senapan yang kosong. Mereka tidak akan menembakmu. Tahukah kau bahwa Koan Jit akan dapat mengalahkan mereka seperti itu?”

“Baiklah, tuan. Aku percaya penuh kepada tuan, karena menurut pengetahuanku, seorang Kristen tidak boleh membohong atau menipu. Nah, aku siap sudah.” Dan diapun berdiri memasang kudn-kuda.

Menghadapi pengeroyokan enam orang itu yang tadi menyerangnya dengan tangan kosong, dan menghadapi mereka dengan senjata senapan berbayonet walaupun senapan itu tidak diisi peluru, sama sekali tidak boleh disamakan. Dia tadi sudah melihat ketika mereka berlatih menggunakan bayonet dan memang mereka itu sigap sekali, pandai menggunakan senjata itu. Hanya diapun tahu bahwa senjata itu amat kaku, sebenarnya tidak praktis dipergunakan untuk berkelahi, tidak seperti pedang, golok atau tombak. Maka, diapun tidak memandang reridah dan kini dia memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kuat lemahnya pasangan kuda-kuda tidak tergantung dan indah tidaknya gaya kuda kuda itu, akan tetapi untuk menimbulkan kesan, Siu Coan sengaja memasang kuda-kuda yang amat gagah gerakan dan gayanya. Dia berdiri dengan satu kaki kiri, kaki kanannya diangkat dan ditekuk seperti kalau seekor burung berdiri, tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepala dan tangan kanannya membentuk cengkeraman di depan pusat. Kuda-kuda seperti ini kalau dilihat oleh seorang ahli silat tinggi tentu akan menggelikan, karena kuda-kuda ini ringkih sekali walaupun perubahannya dapat dilakukan dengan cepat.

Kini enam orang yang tadi sudah kalah, mengambil senapan tanpa peluru dan sudah dipasangi bayonet yang amat tajam runcing berkilau tertimpa sinar matahari pagi. Semua orang yang nonton menjadi semakin tegang. Kini pemandangan itu bukan hanya mengadu kepala dan tendangan, melainkan menggunakan bayonet yang tajam. Sekali saja perut tergores bayonet itu, tentu akan tersayat dan ususnya akan terburai keluar. Leherpun akan dapat terbabat putus. Apalagi yang mempergunakan bayonet- bayonet itu adalah enam orang sekaligus, enam orang yang sudah ahli memainkan bayonet-bayonet itu.

Siu Coan juga tidak berani main-main. Begitu enam orang itu mengurung dan seorang diantara mereka maju menusukkan bayonet ke arah perutnya, diapun sudah mengeluarkan kepandaiannya yang sungguhnya. Tubuhnya meloncat ke atas dan dia juga mengeluarkan suara lengkingan nyaring sekali, itulah lengkingan Sin-houw Ho-kang, yaitu auman seperti suara harimau mengaum yang dapat membuat jantung lawan tergetar hebat dan membuat mereka kesima. Memang auman ini diambil dari auman singa atau harimau. Kalau binatang yang dsebut raja hutan itu berburu mangsa, dengan aumannya yang menggetarkan jantung itu, dia dapat membuat calon korbannya, kijang atau binatang lain, seketika menjadi lumpuh tak mampu lari lagi saking kaget dan takutnya. Ilmu inilah yang ditiru oleh orang-orang lihai seperti juga ditiru oleh Thian-tok dan yang diturunkan kepada para muridnya.

Begitu Siu Coan mengeluarkan pekik itu, enam orang itu menjadi panik dan pada saat itu, dengan jurus-jurus Ngo-Heng Lian-hoan Kun hoat, Siu Coan sudah menyambar-nyambar turun dan dalam waktu singkat saja, dia telah mampu merampas semua senjata dari tangan enam orang pengeroyoknya itu. Enam orang itu tentu saja tidak mau senjatanya dirampas dan mereka mempertahankannya dengan mati-matian, bahkan masih melanjutkan dengan serangan tangan kosong kepada bayangan yang berkelebatan di antara mereka itu.

Akan tetapi kini Siu Coan membagi-bagi tamparan tangan kiri dan tendangan-tendangan kakinya. Setiap kali menampar atau menendang, orang- orang itu tentu mengaduh dan terpelanting roboh. Kemudian Siu Coan melompat dan sekali tubuhnya melayang, dia sudah berada di dekat Admiral Elliot dan enam batang senapan berikut bayonetnya itu telah disandangnya di pundak kanan dengan rapinya!

Semua orang melongo. Belum pernah mereka melihat yang seperti itu. Dan Admiral Elliot tersenyum gembira sekali, lalu merangkul pundak Su Coan dan diajaknya pemuda itu memasuki benteng setelah senapan-tenapan itu dikembalikan kepada enam orang yang masih belum tahu benar apa yang telah terjadi menimpa diri mereka.

Mulai saat itu, Siu Coan memulai suatu kehidupan yang baru. Dia memperoleh kepercayaan, menjadi pengawal pribadi Admiral Elliot dan juga bertugas melatih ilmu bela diri kepada para opsir dan juga sersan dan kopral. Tentu saja Siu Coan yang tidak ingin ilmu silat dikuasai orang-orang bule itu, hanya mengajarkan pukulan-pukulan biasa saja, dengan jurus-jurus yang hanya nampaknya saja hebat akan tetapi sebetulnya tidak ada artinya kalau dipergunakan untuk membela diri. Akan tetapi dia bersungguh-sungguh menjadi pengawal pribadi Admiral Elliot, karena dia tahu bahwa dengan dekat pembesar yang paling berkuasa di antara semua pembesar Inggeris itu, akan mudah baginya untuk memperoleh kedudukan. Dia bukan mencari kedudukan di dalam pasukan Inggeris, melainkan mencari jalan untuk menuju kepada cita- citanya yang amat tinggi, yaitu membentuk pasukan istimewa yang kelak akan menjadi balatentara besar dimana dia menjadi kisarnya!

Bberkali-kali Admiral Elliot yang cerdik itu mencoba kesetiaannya, antara lain dengan menyuruh orang-orang rahasia untuk berusaha menyerang Admiral Elliot itu. Dan selalu Siu Coan yang turun tangan menyelamatkan admiral itu dan ancaman semua serangan buatan itu.

Setelah menghambakan diri kepada admiral itu selama beberapa bulan, Siu Coan telah mendapatkan kepercayaan besar, bahkan memperoleh sebuah bangunan dalam benteng itu dan hidup mewah. Admiral itu juga bukan orang bodoh dan dia pandai sekali mempergunakan tenaga yang baik. Segala keperluan hidup Siu Coan dilengkapi, bahkan berlebihan, dan Siu Coan hidup dengan penuh kemewahan. Dia memelihara pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dalam jumlah belasan orang. Tentu saja bukan pelayan-pelayan biasa yang hanya mencuci pakaian, membersihkan rumah atau memasakkan makanan untuknya. Kalau perlu, juga melayaninya di dalam kamar menemaninya tidur!

Hidupnya sudah seperti seorang raja kecil, akan tetapi tentu saja hal ini masih jauh dari pada memuaskan hati Siu Coan yang bercita-cita menjadi seorang kaisar yang sungguh-sungguh. Pekerjaannya tidaklah berat sekali. Kalau admiral sedang berada di kantor, maka dia tidak perlu mengawal.

Kantor itu sudah dikepung oleh pasukan besar jumlahnya yang amat kuat, Maka tidak perlu lagi dikawal. Hanya kalau admiral tu keluar benteng, selain dikawal oleh pasukan, Siu Coan juga harus selalu mendampinginya. Dan latihan yang diberikan kepada para opsir juga tidak setiap hari, cukup dia memberi satu dua jurus yang dia perintahkan agar mereka itu melatihnya sampai sempurna, dan cukup sepekan sekali dia menguji dan memeriksa mereka! Karena banyak menganggur ini, Sui Coan mendapatkan banyak kesempatan untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Kristen, yang dipelajarinya dan para pendeta yang bertugas di dalam benteng itu.

Pada suatu hari, Siu Coan dipanggil oleh Admiral Elliot. Setelah pemuda itu menghadap, pembesar itu berkata.

“Siu Coan, ada pekerjaan penting bagimu.”

“Apakah paduka akan keluar benteng dan pergi ke kota lain. Admiral?” “Tidak, sekali ini bukan bertugas mengawalku.”

“Ehh? Lalu tugas apa, Admiral?”

“Menyelidiki kenapa di dusun Boan-ciu, yang sebagian besar penghuninya tadinya sudah tunduk dan mau masuk menjadi Kristen di bawah pimpinan Pendeta Allan, kini tiba- tiba saja memberontak.”

“Memberontak? Apa yang telah mereka lakukan?” Siu Coan bertanya terkejut.

“Belum serius. Akan tetapi mereka itu membantah kalau diadakan ceramah, bahkan ada ancaman-ancaman dilontarkan terhadap Pendeta Allan. Aku khawatir sekali karena hanya dengan agama itulah maka bangsamu dapat diajak berunding dengan damai. Kau pergilah ke dusun Boan-cui dan coba selidiki, apa yang terjadi dan siapa biang keladinya. Kalau ada yang memang menjadi pengacaunya, tangkap atau bunuh saja.”

Hati Siu Coan merasa tidak enak, ini merupakan tugas yang lain lagi dan asing baginya. Dia harus berurusan dengan bangsanya sendiri yang mem berontak. Mana mungkin? justeru dia sendiri berjiwa pemberontak! Akan tetapi karena pemberontakan itu ditujukan kepada seorang pendeta Kristen, diapun cepat berangkat mencari pendeta itu dan minta penjelasan darinya mengapa ada orang orang di dusun Boan-ciu yang memberontak.

“Bapak Pendeta, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Boan-ciu? Saya menerima tugas dari Admiral untuk melakukan penyelidikan tentang hal itu.”

Pendeta yang usianya paling banyak lima puluh tahun itu menarik nafas panjang.

“Baru kurang lebih satu bulan ini, mulai terjadi perubahan itu. Tadinya, penduduk di sana amat patuh dan selalu dalam keadaan damai dan tenteram. Gereja pun selalu penuh dengan pengunjung dan banyak malah yang sudah menjadi Kristen secara sesungguhnya. Akan tetapi kurang lebih sebulan yang lalu, mulailah terjadi pembangkangan-pembangkangan.”

“Dalam bentuk bagaimana?”

“Pertanyaan-pertanyaan aneh dan bantahan-bantahan, bahkan kecaman- kecaman pedas terhadap bangsa kulit putih. Dan agaknya memang ada penggeraknya dari belakang. Akan tetapi yang mengajukan kecaman itu bahkan orang-orang yang tadinya tekun sekali, sehingga sukar bagiku untuk menyelidiki siapa biang keladinya. Tentu ada orang-orang yang membujuk mereka dari belakang.”

“Baiklah, sekarang katakan, siapa namanya orang-orang yang suka mengajukan protes dan kecaman-kecaman itu?”

“Banyak, akan tetapi pemrotes-pemrotes yang paling keras adalah dua orang saja, yaitu Lie Kiat dan Tan Liok. Mereka itu bekerja sebagai tukang ka yu di Boan-ciu.”

“Baiklah, nanti pada hari Minggu, saya akan menghadirii ceramah Bapak dan akan saya buktikan sendiri bagaimana cara mereka itu.”

Pada hari Minggu pagi, seperti biasa di sebuah rumah besar yang dijadikan gereja oleh Pendeta Allan, sudah berkumpul tidak kurang dari limapuluh orang, laki-laki, perempuan, tua muda. Mereka itu rata-rata mengenakan pakaian baru atau setidaknya pakaian bersih dan rambut mereka tersisir rapi.

Siu Coan duduk di sudut paling belakang sehingga dia dapat mengamati semua pengunjung dengan cermat. Ketika Pendeta Allan memimpin sembahyang, semua masih terjadi seperti biasa dan normal. Semua orang ikut bersembahyang. Juga ketika pendeta itu memimpin nyanyian dengan suaranya yang lantang namun dengan logat yang kaku, semua orang ikut pula bernyanyi memuji nama Tuhan.

Akan tetapi setelah pendeta itu mulai berceramah menerangkan ayat-ayat suci dan memberi penafsirannya dan memberi contoh-contohnya, mulailah para pengunjung itu nampak gelisah.

“Agama Kristen berdasarkan Cinta Kasih,” demikian antara lain pendeta Allan berkhotbah.

“Tuhan Maha Pengasih, Maha Pengampun, dan Maha Murah. Lihat saja, Tuhan dengan kasih sayang-Nya yang tak dapat diukur oleh pikiran manusia, telah menurunkan Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia di dunia, Yesus Kristus, Juru Selamat kita, telah membiarkan diri-Nya disiksa, disalib, bahkan dibunuh. Darah-Nya mengalir dan semua itu untuk siapa? Untuk kita semua. Untuk menebus dosa-dosa kita yang bertumpuk-tumpuk. Karena itu, siapa yang percaya kepada Yesus Kristus, siapa yang bertobat akan dosa-dosanya, siapa membuka pintu hatinya untuk Yesus, dia akan diselamatkan dunia akhirat. Bertobat akan dosa-dosanya berarti harus mulai hidup baru, menjauhi dosa, harus penuh cinta kasih terhadap sesama manusia. Kasihilah sesamamu seperti kalian mengasihi dirimu sendiri!

Demikianlah sabda dari Tuhan. Bahkan lebih dari itu, cintailah musuh- musuhmu! Apabila engkau ditampar pipi kirimu berikanlah pipi kananmu. Semua itu adalah pelajaran-pelajaran yang mengandung cinta kasih murni, dan siapa yang beriman dan melaksanakan segala perintah Tuhan, dialah yang berhak memperoleh tempat di sisi Tuhan, di kerajaan Sorga!”

“Bohong! Bohong besar!”

Tiba-tiba terdengar suara orang, dan Siu-Coan yang sejak tadi menaruh perhatian dan mengamati, melihat bahwa yang mengucapkannya adalah seorang nenek, akan tetapi dia tahu bahwa tak jauh dari nenek itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang menggerak-gerakkan bibirnya. Dia terkejut. Gerakan bibir itu seperti orang yang menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jauh)! Agaknya orang itulah yang mengirim suaranya membisikkan kata-kata itu kepada si nenek yang hanya menirukan saja!

Pendeta Allan memandang ke arah nenek itu dan wajannya berubah. Wajah yang tadinya nampak lembut itu berubah keras dan alisnya berkerut.

“Saudaraku yang baik, kenapa kau berkata bohong? Apanya yang bohong besar?”

Tiba-tiba terdengar jawaban, bukan dan nenek itu, melainkan dan seorang kakek yang duduk di sudut, suaranya agak gemetar.

“Bohong kalau kita mencinta sesama seperti mencinta diri sendiri. Lebih bohong besar lagi kalau kita mencinta musuh-musuh kita!”

Tentu saja keadaan menjadi ribut, ada yang pro ada yang kontra. Akan tetapi Siu Coan sudah melihat bahwa ada seorang laki-laki berusia empatpuluh tahunan yang berpakaian serba biru, mengajukan pertanyaan tadi. Bersamaan dengan itu, terlihat juga seorang laki-laki tigapuluh tahunan tadi, menggerakkan bibirnya dengan ilmu mengirim suara dari jauh yang sama, akan tetapi sekali ini agaknya suaranya dikirimkan kepada kakek itu, sedangkan yang pertama mengirimkan suaranya kepada si nenek.

Kini Pendeta Allan memandang kakek dan nenek itu bergantian, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Ya Tuhan, semoga dosa kalian diampuni. Mengapa kalian berdua berani menyangkal kebenaran Alkitab? Dan siapakah kalian mendapatkan pikiran yang seperti itu?”

“Ini adalah suara bisikan hati saya sendiri,” ratap si nenek hampir menangis.

“Saya mendengar bisikan itu jelas sekali di dalam telinga dan hati, tak dapat dibantah…”

“Hemm, itu bisikan setan!” kata Pendeta Allan.

“Dan bagaimana clengan engkau, Lao Ceng?” tanyanya kepada kakek itu, kakek yang biasanya patuh dalam agama.

Kakek itu mengangguk dan menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab.

“Saya juga demikian, saya mendengar bisikan dalam hati saya, maka saya langsung mengeluarkan saja suara hati saya itu.”

“Akan tetapi, nenek dan kakek yang baik, apa alasan kalian mengatakan bahwa semua pelajaran itu bohong?”

Pada saat itu, selagi kakek dan nenek itu nampak kebingungan, Siu Coan sudah berjalan maju ke atas mimbar, mendekati pendeta itu dan diapun berkata sambil memandang kepada dua orang yang tadi bisikkan kata-kata itu kepada kakek dan nenek.

“Orang yang mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh adalah orang-orang gagah. Akan tetapi perbuatan bersembunyi dan menyuruh orang-orang lain untuk bicara sedangkan diri sendiri bersembunyi, sama dengan melempar batu bersembunyi tangan, dan perbuatan itu adalah perbuatan yang rendah dan pengecut!”

Orang yang memakai baju kuning dan berusia tigapuluh tahun segera bangkit berdiri dan berkata suaranya lantang.

“Sebaliknya, orang Cina yang membantu orang bule untuk merusak bangsa sendiri adalah seorang pengkhianat yang tak patut diampuni!”

Siu Coan terkejut dan dia memandang tajam. Biarpun dia tidak teringat pernah bertemu dengan orang ini, namun dia dapat menduga bahwa tentu orang ini seorang pejuang yang menyelundup ke dalam gereja dan membuat kacau. Dia tidak merasa mengkhianati bangsanya, maka ucapan itu tidak membuat mukanya menjadi merah. Dia masih tersenyum ramah dan menjura ke arah orang itu.

“Aih, kiranya di tempat ini ada seorang pendekar yang berilmu tinggi. Ketahuilah, saudara… bahwa di dalam gereja tidak ada permusuhan, tidak ada perbedaan bangsa atau kulit. Di depan Tuhan Allah, semua manusia sama saja, apapun warna kulitnya. Kalau saudara merasa tidak setuju dengan pelajaran Agama Kristen dan hendak memprotes, kenapa tidak dilakukan sendiri.”

Kini si baju biru yang bertubuh tinggi besar itu bangkit pula dan berkata Iantang.

“Kami bukan anggauta gereja, karena itu terpaksa kami meminjam mulut anggauta gereja untuk menyatakan rasa penasaran hati kami.” Kini Pendeta Allan yang sudah merasa girang karena Siu Coan dapat membongkar rahasia itu dan menemukan biang keladinya, lalu berseru dengan suaranya yang halus.

“Ya Tuhan, semoga diampuni dosa-dosa kalian! Saudaraku yang baik, sebetulnya mengapakah anda berdua menyangkal kebenaran ajaran dari Alkitab?”

Kini si baju kuning yang menjawab.

“Kami tidak tahu menahu tentang isi Alkitab, akan tetapi mendengar ceramahmu, kami sama sekali merasa bahwa semua ceramahmu tu bohong belaka. Engkau mengajarkan tentang cinta kasih sesama manusia. Apakah engkau dan bangsamu itu mempunyai rasa cinta kasih terhadap sesama? Pelajaranmu menganjurkan cinta kasih, akan tetapi apa yang telah kalian lakukan di tanah air kami? Meracuni bangsa kami, memerangi bangsa kami, membunuh, menyiksa, menjajah dan menginjak-injak kebebasan bangsa kami. Kalian mengajarkan cinta kasih, akan tetapi melaksanakan permusuhan dan kebencian! Bukankah itu berarti bahwa semua ceramahmu itu bohong belaka? Dan pelajaran tentang mencinta musuh-musuhmu itu. Huh, pernahkah engkau mencinta bangsa kami yang kalian musuhi?”

Ucapan orang ini demikian penuh semangat, terasa sampai ke dalam hati para pendengar di dalam gereja itu, sehingga kini pandang mata mereka terhadap pendeta itu seketika berubah. Diam-diam Siu Coan memuji orang ini yang pandai sekali melakukan penyerangan dengan kata-kata.

Mendengar ucapan itu, sang pendeta merangkap kedua tangan di depan dada sambil memejamkan mata dan seperti orang berdoa, kemudian dia membuka mata dan berkata.

“Saudaraku yang baik. Memang manusia adalah makhluk yang lemah dan penuh dosa. Karena itulah maka Tuhan menurunkan Yesus ke dunia untuk menebus dosa dan untuk mengajarkan kebaikan kepada umat manusia. Tidak hanya terbatas pada Bangsa Cina, juga Bangsa Inggeris, merupakan manusia- manusia penuh dosa yang harus bertobat.”

Kini orang berbaju biru segera berseru.

“Kalau begitu, apa perlunya kau mengajarkan kami tentang cinta kasih dan mencinta musuh? Kami orang-orang tertindas kauajarkan untuk mencinta musuh, bukankah berarti engkau menyuruh kami diam saja dan mandah diperlakukan semena-mena dan menderita tekanan dan bangsamu? Daripada kau mengajarkan cinta kasih kepada kami, kenapa engkau tidak menyuruh bangsamu itu menghentikan kejahatan mereka, tidak mengedarkan racun madat kepada bangsa kami, dan meninggalkan tanah air kami dengan aman? Selama hidup, kami tidak pernah mengganggu bangsamu yang negaranyapun kami tidak tahu dimana. Adalah bangsa kalian yang datang dan mengganggu kami, akan tetapi engkau masih menyuruh kami mencinta mereka!”

Siu Coan hampir tak dapat menahan ketawanya ketika melihat betapa pendeta itu nampak panik, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa kasihan pula, karena bagaimanapun juga, Siu Coan sudah tertarik akan Agama Kristen. Dia lalu maju, membela pendeta itu dan suaranya lantang sekali terdengar oleh semua orang.

“Ji-wi enghiong (dua saudara gagah), semua yang ji-wi katakan itu memang tidak keliru. Akan tetapi kukira tidak pada tempatnya. Harap ji-wi ketahui bahwa antara agama dan politik, antara agama dan perang, tidak boleh dicampuradukkan sama sekali. Agama Kristen tidak mencampuri politik, tidak mencampuri perang. Agama ini mengajarkan cinta kasih dan kebaikan kepada umat manusia, tak perduli berbangsa apa, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, tua atau muda. Yang menimbulkan perang, yang menjual madat, yang melakukan penindasan bukanlah agamanya. Dan semua orang, baik yang menindas maupun yang ditindas, baik yang melakukan kejahatan atau yang dijahati, keduanya tidak lepas dari pada dosa, dan karenanya dosa-dosanya itu harus dicuci dan ditebus oleh darah Yesus dan hidup baru sesuai dengan jalan Tuhan. Kalau ji-wi menyerang bapak pendeta Allan ini, sungguh tidak tepat. Beliau hanya tahu akan pelajaran agama, sama sekali tidak tahu menahu tentang perang, tentang madat dan sebagainya.”

“Akan tetapi, sebelum orang bule datang, sebelum mereka datang, kita tidak mengenal madat, tidak mengenal agama baru, dan kita hidup dalam tenteram dan damai!” teriak si baju kuning.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar