Pedang Naga Kemala Jilid 17

Jilid 17

Hai-tok juga cepat berkata.

“Maafkan kami yang lupa diri. Sebaliknya kita melupakan saja segala pembicaraan kita tadi, Thian-tok.”

Terdengar lagi suara Siauw-bin-hud.

“Sejak tadi kita bicara tentang perlunya menentang pemerintah penjajah Mancu dan pasukan kulit putih. Akan tetapi bagaimana pelaksanaannya? Menentang mereka berdua itu membutuhkan tenaga yang amat kuat dan biaya yang amat besar. Kalau tidak kuat, tentu perjuangan itu akan gagal di tengah jalan. Lihat saja betapa banyaknya kelompok pejuang yang hancur di tengah jalan. Yang terpenting bagi kita adalah mencari jalan bagaimana baiknya untuk dapat membentuk pasukan yang cukup kuat untuk menjatuhkan pemerintah penjajah dan sekaligus menghalau pasukan asing kulit putih dari tanah air.” Tiba-tiba Ong Siu Coan bangkit berdiri, dan setelah memberi hormat ke arah semua orang dia lalu berkata dengan suara lantang.

“Mohon maaf kepada para locianpwe dan cu-wi yang terhormat kalau saya berani lancang bicara. Urusan perjuangan ini memang harus dipecahkan oleh kita semua, tua dan muda, karena hal ini menyangkut kehidupan rakyat atau bangsa kita. Agaknya akan berat sekali kalau dengan mati-matian kita harus melawan kedua musuh kita, yaitu kerajaan Mancu dan pasukan kulit putih. Seperti yang sudah dilakukan oleh banyak kelompok pejuang, saya merasa setuju sekali kalau dalam hal ini kita mempergunakan siasat dan kecerdikan, bukan sekedar mengandalkan kekuatan badan. Seperti kita ketahui, pasukan asing kulit putih amat kuat dengan persenjataan mereka, dan merekapun tidak sangat bersahabat dengan pemerintah Mancu semenjak terjadinya pembakaran candu secara besar-besaran di Kanton itu.

Kalau dua pihak itu bermusuhan dan berperang satu sama lain, hal ini amat menguntungkan kita. Biarkan mereka itu saling serang, karena peperangan antara mereka akan membuat keduanya menjadi lemah. Dan kalau sudah begitu, barulah kita turun tangan menghantam mereka. Dengan demikian, kita menghemat tenaga.”

Suasana menjadi bising karena semua orang menanggapi sendiri-sendiri pernyataan dari Ong Siu Coan itu.

“Omitohud... pemikiran yang muda-muda memang patut diperhatikan, karena kadang-kadang mereka itu lebih cerdik dari pada kita orang-orang tua.”

Yang bicara itu adalah hwesio yang menjadi wakil dari Bu-tong-pai. “Memang baik sekali melakukan siasat memancing perpecahan antara

pemerintah Mancu dan orang-orang kulit putih. Biarkan mereka itu berperang sendiri, sementara kita menyusun kekuatan yang membutuhkan waktu dan tentu saja membutuhkan banyak biaya seperti yang dikemukakan oleh locianpwe Siauw-bin-hud tadi.”

Sebagian besar yang hadir setuju dengan pemikiran yang diajukan oleh Siu Coan itu. Siasat itu memang baik sekali. Mereka memang tidak suka kepada orang kulit putih dan semua ingin menghalau mereka keluar dari tanah air. Akan tetapi selagi orang-orang kulit putih itu bermanfaat untuk membantu mereka menjatuhkan pemerintah penjajah, maka calon-calon musuh itu dapat untuk sementara dijadikan senjata demi keuntungan perjuangan mereka.

Girang karena hasil pemikiran muridnya itu diterima dengan baik oleh para tokoh yang hadir, Thian-tok teringat akan muridnya yang pertama dan dia menghantamkan telapak tangan kirinya sendiri sampai terdengar suara keras dan semua orang terkejut lalu memandang kepada kakek gendut itu. Wajah kakek itu yang biasanya selalu menyeringai lebar, kini nampak agak keruh dan tidak ada senyum. Baru Thian-tok merasa bahwa perbuatannya tadi menarik perhatian semua orang setelah semua orang terdiam dan memandang kepadanya.

“Aku teringat akan murid murtad Koan Jit itu!” katanya penuh kemarahan. “Tidak saja dia telah menjadi antek orang kulit putih, akan tetapi dia juga

telah melarikan Giok-liong-kiam!”

Semua orang tertarik mendengar kakek itu mulai bicara tentang Giok-liong- kiam. Terdengar suara ketawa dan yang ketawa ini adalah Siauw-bin-hud.

“Heh-heh, ini namanya hukum karma, Thian-tok. Engkau memperoleh pedang itu dengan menggunakan nama pinceng, dan tanpa pinceng membalasmu, yang membalaskan adalah muridmu sendiri yang mencurinya darimu!”

“Siancai, apa hubungannya Giok-liong-kiam dengan perjuangan kita? Kenapa percakapan kini menyeleweng ke arah pedang pusaka itu??” terdengar seorang tosu dari Kun-lun-pai memprotes.

“Tosu bodoh, kau tahu apa?” Thian-tok berseru.

Memang sudah menjadi watak Empat Racun Dunia untuk menyapa orang, baik sudah dikenalnya atau belum, tak perduli apa dan bagaimana kedudukannya, dengan kasar dan tanpa sopan santun sama sekali. Oleh karena itu diapun begitu saja memaki tosu bodoh kepada tosu Kun-lun-pai itu!

“Kalau Giok-liong-kiam sekarang berada di tanganku, aku akan buat membiayai perjuangan kita semua sampai kerajaan penjajah Mancu dijatuhkan dan orang-orang kulit putih diusir habis!”

Kembali semua orang menjadi bising.

“Benarkah berita tentang harta karun yang berada di balik rahasia Giok- liong-kiam?” terdengar suara orang berseru.

Thian-tok mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Jangan kalian pura-pura tidak tahu saja. Kalau kalian tidak tahu akan rahasia itu, perlu apa orang-orang seluruh kang-ouw memperebutkan pusaka itu? Hanya untuk mencari nama agar dianggap jagoan nomor satu di dunia persilatan? Omong kosong! Yang jelas, karena kita semua memperebutkan harta karun yang tersembunyi itu.”

“Omitohud...!” Siauw-bin-hud berseru tersenyum.

“Ingat, Thian-tok, pinceng sama sekali tidak pernah ikut memperebutkan.

Ceritakanlah, apa gunanya Giok-liong-kiam itu untuk perjuangan kita?”

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian-tok mulai bercerita.

“Kalian tentu tahu bahwa orang macam aku ini tidak lagi membutuhkan bukti bahwa aku adalah jagoan nomor satu dengan memiliki Giok-liong-kiam. Phuh..! Kalau Giok-liong-kiam tidak menyimpan rahasia harta karun, perlu apa aku bersusah payah merampasnya dan menyamar sebagai Siauw-bin-hud? Giok-liong-kiam itu mengandung rahasia yang menunjukkan dimana adanya harta karun yang tak ternilai besarnya! Kalau kita dapat memiliki harta itu, dapat dipakai sebagai biaya perjuangan selama puluhan tahun. Sayang murid murtad itu telah mencurinya dari tanganku.”

“Heii, si mulut besar Thian-tok!”

Tiba-tiba San-tok yang sejak tadi diam saja dan hanya saling pandang dengan muridnya sambil tersenyum, kini menegur Thian-tok.

“Pedang pusaka itu telah lama berada di tanganmu. Tentu engkau sudah mencari dan mengambil harta karun itu. Jangan pura-pura bodoh! Kami bukan orang-orang tolol yang mudah kau kelabuhi!”

“Jembel busuk… enak saja kau ngomong!”

Thian-tok balas memaki akan tetapi mulutnya menyeringai. Dimaki oleh seorang rekan seperti San-tok itu sama sekali tidak merupakan penghinaan, bahkan membawa kehangatan karena keakraban.

“Kalau harta karun itu sudah berada di tanganku, perlu apa aku banyak ngomong lagi? Menurut keterangan yang kuperoleh, rahasia itu berada di gagang pedang, dan kalau direndam air semalam suntuk akan timbul gambaran-gambaran atau tulisan yang menerangkan tempat dimana adanya harta karun. Akan tetapi sungguh sialan, sudah kurendam sampai tiga hari tiga malam, tidak juga nampak perubahan apa-apa. Sebelum aku berhasil menemukan rahasianya, pedang itu telah dicuri Koan Jit.”

Hampir San-tok tertawa bergelak, juga Lian Hong menahan senyumnya. Hanya mereka berdualah yang tahu akan rahasia sebenarnya dari pedang pusaka Giok-liong-kiam itu. Thian-tok sama sekali tidak tahu bahwa pedang pusaka yang dicuri dari tangannya oleh muridnya itu adalah pedang pusaka yang palsu, walaupun yang palsu itu akan membawa pemiliknya kepada yang aseli.

“Kalau begitu, mari kita berlumba untuk merampasnya kembali dari Koan Jit!” terdengar seruan orang.

“Ah, bagaimana kalau muridmu itu telah mengambil harta karun itu?” Hai- tok bertanya kepada Thian-tok.

Kakek gendut itu menggeleng kepala.

“Diapun tidak lebih tahu dari pada aku. Agaknya keterangan tentang harta karun itu hanya dongeng belaka, dan pedang itu tidak menyimpan apa-apa.”

“Betapapun juga, kita harus berusaha untuk merampas pedang pusaka itu!” Hai-tok berkeras.

“Akan tetapi, sekarang bukan merampas untuk diri sendiri, melainkan untuk bisa mendapatkan harta karun untuk membiayai perjuangan kita. Apakah kalian semua setuju?”

Semua orang menyatakan setuju.

“Omitohud, betapa mudahnya bicara dan betapa sukarnya melaksanakan semua itu. Pinceng mendengar bahwa Koan Jit telah menjadi seorang yang berkuasa di dalam pasukan kulit putih. Dia sendiri sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, kabarnya semua ilmu dari Thian-tok telah dikurasnya. Sekarang dia berlindung di belakang pasukan kulit putih yang memiliki benteng amat kuat. Bagaimana mungkin dapat merampas Giok-liong-kiam dari tangannya?”

Siauw-bin-hud berkata dan semua orangpun termenung, karena merekapun maklum betapa sukarnya merampas pedang itu dari tangan Koan Jit. Agaknya akan lebih sukar dari pada kalau pedang itu berada di tangan Thian-tok.

Tiba-tiba terdengar lagi San-tok bicara lagi, suaranya lantang dan menjadi perhatian semua tamu yang hadir.

“Biarpun sukar, kita semua harus berusaha untuk mendapatkan harta karun itu. Memang suatu pekerjaan yang amat sukar dan berbahaya, karena itu, sudah sepatutnya kalau siapa yang berhasil, akan mendapatkan pahala yang wajar dan sesuai.”

“Wah-wah, jembel tua ini minta sedekah! Pahala bagaimana maksudmu, San-tok?” tanya Thian-tok, tertarik juga karena siapa mau bekerja keras kalau tidak diberi imbalan jasa.

“Siapa yang berhasil mendapatkan harta karun itu dan menyerahkannya untuk kepentingan perjuangan meruntuhkan penjajah Mancu dan mengusir bangsa kulit putih, maka pedang pusaka Giok-liong-kiam diakui menjadi miliknya yang syah, dan dia dianggap sebagai seorang pahlawan dan jagoan nomor satu di dunia! Bagaimana, setujukah kalian?”

“Omitohud, pinceng anggap hal itu sudah sepatutnya. Merampas Giok- liong-kiam dari tangan Koan Jit yang berlindung dalam pasukan kulit putih merupakan pekerjaan yang amat berat, apalagi kalau harus melanjutkan penyelidikan dari pedang itu sampai bisa mendapatkan harta karun. Jasa orang itu amat besar dan patutlah dia menjadi pahlawan dan dianggap jagoan nomor satu di dunia persilatan,” kata Siauw-bin-hud, dan semua orang menyatakan persetujuan mereka dengan serentak.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara yang lebih gemuruh dari pada suara mereka. Semua orang terkejut karena suara itu datangnya dari luar guha. Hai- tok yang paling dulu tahu akan keadaan di situ, lebih dahulu meloncat bangun. Dia merasa adanya sesuatu yang luar biasa dan mencurigakan sekali. Ketika dia tidak melihat gerakan anak buahnya, wajahnya berubah merah.

“Ada bahaya...!” Serunya.

Berbareng dengan seruannya itu, terdengar bunyi tambur di luar, disusul suara parau penuh gertakkan.

“Kalian yang berada di dalam guha, menyerahlah. Pasukan kerajaan telah mengepung tempat ini. Lebih baik menyerah dan menjadi tawanan kami, dari pada harus kami kerahkan pasukan dengan jalan kekerasan!”

Mendengar itu, Hai-tok terbelalak penuh kemarahan dan semua orang mengusir kecurigaan mereka terhadap Hai-tok yang tadinya timbul.

“Di sini Tang Kok Bu, majikan Pulau Layar yang bicara!”

Teriakannya nyaring sekali sehingga akan mudah terdengar oleh mereka yang berada di luar guha.

“Hari ini kami mengadakan perayaan hari ulang tahun kami yang ke tujuhpuluh lima, dengan mengundang beberapa sahabat baik kami. Apa salahnya dengan itu? Kami tidak pernah bermusuhan dengan pasukan pemerintah. Apa maksudnya kini pasukan pemerintah mengepung tempat ini dan menyuruh kami menyerah?”

Hening sejenak setelah gema suara Hai-tok melenyap. Seolah-olah mereka yang berada di luar itu berunding sebelum menjawab teriakan tadi. Kemudian terdengar pula suara parau dari luar.

“Tang Kok Bu! Kami sudah tahu apa yang tersembunyi di balik pestamu itu! Engkau mengundang pemberontak-pemberontak, tokoh-tokoh pemberontak dari dunia persilatan untuk berunding dan mengatur rencana pemberontakan lebih lanjut. Kami mengenal banyak diantara tamu-tamu sebagai pemberontak- pemberontak di daerah Kanton dan sekitarnya, juga pengacau-pengacau yang suka menganggu pasukan-pasukan pemerintah di selatan kota raja. Lebih baik menyerah dengan tenang, dan serahkan para pemberontak itu kepada kami. Mereka yang ternyata tidak berdosa, setelah melalui pemeriksaan, tentu akan dibebaskan kelak!”

“Ha-ha-ha, tidak kusangka bahwa Hai-tok hanya besar lagaknya saja. Mengatur pertemuan begini saja sudah bocor sehingga kita dikepung pasukan pemerintah!”

Hai-tok mengepal tinju.

“Ini tentu ada yang membikin bocor. Tentu ada anjing pengkhianat, penjilat penjajah Mancu di sini!”

“Siancai, tidak perlu ribut, yang penting kita harus dapat lolos dari tempat ini,” kata Siauw-bin-hud.

Kini terdengar bunyi terompet dan membanjirlah pasukan yang bersenjata tombak, golok atau pedang, menyerbu bagaikan air bah ke dalam guha itu melalui pintu-pintu yang ada. Agaknya semua jalan masuk telah dipenuhi oleh pasukan sehingga terpaksa para tamu itu membela diri. Tentu saja pasukan itu bukan lawan para tamu yang rata-rata adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi, karena semua jalan keluar sudah tertutup dan pasukan itu berjumlah amat banyak, keadaan menjadi berbahaya sekali. Kalau mereka diserang anak panah, apalagi senjata api, atau tempat itu dikurungi api dan mereka diserang dengan asap, akan celakalah mereka. Juga, andaikata mereka terus dikurung beberapa hari saja, mereka tentu akan menjadi kelaparan dan akhirnya akan tewas juga.

Pengepungan itu membuat beberapa orang tamu merasa panik dan mereka lalu nekat menyerbu ke luar guha. Tentu saja disambut pengeroyokan puluhan, bahkan ratusan orang anak buah pasukan. Terjadilah perkelahian-perkelahian seru di luar guha, dimana para penyerbu yang keluar itu mengalami pengeroyokan banyak sekali lawan. Melihat ini, Hai-tok khawatir kalau-kalau banyak di antara tamunya yang akan roboh dan tewas. Betapapun lihainya, mana mungkin menghadapi pengeroyokan ratusan orang di tempat yang sempit itu? Biarpun akan berhasil membunuh banyak pengeroyok, akhirnya akan roboh juga. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan, maka dengan cepat dia lalu berseru.

“Cepat kalian ikut aku melarikan diri melalui air! Cepat sebelum terlambat!” Dan diapun lalu meloncat begitu saja ke depan guha dan tubuhnya meluncur ke bawah, ke arah air laut!

Tang Ki atau Kiki yang sejak pertemuan itu tadi seringkali mengerling ke arah Ci Kong, pemuda yang pernah menolongnya, kini menghampiri pemuda itu.

“Ci Kong, mari ikut aku melarikan diri. Tidak ada jalan lain untuk melarikan diri selain seperti yang dianjurkan oleh suhu tadi.”

Sebelum pemuda itu sempat menjawab, gadis itu telah menarik tangannya ke tepi tebing depan guha. Melihat air laut jauh di bawah, di tempat yang amat curam itu, tentu saja Ci Kong merasa ngeri.

“Ah, kau hendak mengajak aku bunuh diri?” tanyanya kepada Kiki.

“Kau masih tidak percaya padaku? Baiklah, kalau bunuh diri juga berdua dengan aku. Nah, siaplah!”

Gadis itu lalu menarik tangan Ci Kong dan keduanya meloncat ke bawah! Ci Kong terkejut sekali, akan tetapi karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis itupun meloncat bersama dia, maka dia mulai percaya dan membiarkan dirinya jatuh bersama gadis itu yang masih memegang pergelangan tangannya.

“Tahan napas dan jatuhkan dirimu dengan tegak lurus!”

Kiki sempat berkata sebelum tubuh mereka menimpa air. Ci Kong melupakan rasa ngerinya dan diapun menahan napas, mencoba untuk mengatur keseimbangan tubuhnya. Akan tetapi tetap saja dia menimpa air dengan pinggul lebih dulu.

“Byurrrr...!”

Keduanya tenggelam dan Ci Kong merasa pinggulnya sakit bukan main. Akan tetapi gadis itu masih memegang lengannya dan kini mereka cepat timbul kembali ke permukaan air. Ci Kong, gelagapan, akan tetapi tubuhnya tidak tenggelam karena Kiki telah mencengkeram pundaknya.

“Ke sini...!”

Terdengar suara Hai-tok, dan ternyata kakek itu telah mendayung sebuah perahu yang memang disembunyikan di bawah tebing untuk keperluan darurat. Kiki berenang sambil menarik tubuh Ci Kong dan keduanya dapat naik ke dalam perahu itu.

Sementara itu, melihat betapa Ci Kong, Kiki dan Hai-tok sudah meloncat ke bawah, banyak orang mengikuti jejak mereka. Berlompatanlah mereka ke bawah dan tubuh mereka diterima air laut dengan lunak. Di situ sudah ada Hai- tok dan muridnya, keduanya adalah ahli-ahli renang yang amat mahir, yang cepat menolong mereka itu naik ke dalam perahu. Di antara tigapuluh orang itu, ada sepuluh orang yang tertinggal di atas, mengamuk dan membunuh banyak anggauta pasukan pemerintah untuk akhirnya tewas dikeroyok ratusan orang. Tak seorangpun di antara mereka yang mau menyerah, dan merekapun tewas setelah merobohkan dan membunuh puluhan orang pengeroyok. Yang lainnya, kurang lebih duapuluh orang, telah selamat berada di perahu yang disediakan oleh Hai-tok di bawah tebing karang yang curam itu, dan kini perahu itu bergerak perlahan menyusuri pantai dan akhirnya mendarat di bagian yang sunyi dan jauh dari tebing itu.

“Terpaksa kita bubaran di sini dan kami merasa menyesal sekali setelah terjadi peristiwa yang tidak terduga-duga ini. Baiklah, kita saling berpisah karena aku harus mempersiapkan diri. Pemerintah tentu tidak akan tinggal diam dan Pulau Layar tentu akan diserbu. Mari kita berlumba untuk mendapatkan harta karun itu, dan peristiwa tadi makin mempertebal tekadku untuk membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu!” demikian Hai-tok berkata dengan penuh semangat, kemudian bersama Kiki dia menggerakkan perahu kembali ke tengah lautan menuju ke Pulau Layar.

Sementara itu, para tamu yang berhasil diselamatkan, termasuk tiga orang di antara Empat Racun Dunia bersama murid mereka, Siauw-bin-hud dan Ci Kong, segera meninggalkan tempat itu dengan berpencar. Akan tetapi Siauw- bin-hud menahan Thian-tok, San-tok, dan Tee-tok.

“Omitohud... sungguh sayang sekali bahwa perundingan yang baik dan sudah mulai berhasil itu diganggu penyerbuan pasukan pemerintah. Bagaimana kalau pinceng mengundang kalian bertiga bersama murid-murid kalian untuk melanjutkan perundingan sambil bersembunyi dari pengejaran pasukan ke dalam kuil Siauw-lim-si yang tua dan tidak begitu jauh dari sini?”

Tee-tok segera menyatakan kesediaannya.

“Bagus, aku memang ingin sekali bercakap-cakap sebagai sahabat dengan Siauw-bin-hud yang sudah sekian lamanya kekagumi namanya dan sudah kukenal kehebatannya sejak dahulu. Aku ingin minta banyak petunjuk darimu, Siauw-bin-hud.”

Akan tetapi Thian-tok mengerutkan alisnya.

“Hwesio tua, kiranya sudah cukup kita bicara tadi. Terlalu banyak bicara tidak ada gunanya bagiku. Dari tangankulah Giok-liong-kiam hilang dan karena itu, aku merasa paling tertekan dan paling besar kewajibanku untuk merampas kembali pedang itu, dibantu oleh dua orang muridku ini. Siu Coan, Seng Bu, mari kita pergi!”

Guru dan dua orang muridnya itu lalu pergi setelah siu Coan dan Seng Bu berpamit.

“Bagaimana dengan engkau, San-tok?”

San-tok saling pandang dengan muridnya, lalu dia berkata.

“Aha, sesungguhnya akupun masih kangen kepada kalian dan ingin bicara panjang lebar dan saling bertukar pikiran. Akan tetapi aku harus membagi tugas dengan muridku.”

Lalu dia berkata kepada Lian Hong.

“Hong Hong, engkau tahu apa yang harus kaulakukan. Biarlah ini merupakan ujian bagimu. Dapatkan pusaka itu lalu bawa kepadaku. Nah, pergilah sekarang juga.” “Tapi, suhu... bagaimana dengan... sumoi...?”

San-tok terbelalak, nampaknya bingung dan terheran-heran.

“Apa? Sumoi...? Ah, benar, anak itu...!” Dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh muridnya adalah Diana. Hampir lupa dia kepada gadis bule yang menjadi muridnya itu. Sialan!

“Persetan...”

“Suhu, kalau suhu bersikap demikian, aku tidak akan mau melaksanakan perintah!”

Lian Hong berkata dengan sikap tegas sehingga San-tok merasa kewalahan dan agak kemalu-maluan karena di depan dua orang kakek itu muridnya berani menantangnya.

Benar saja, Tee-tok sudah tertawa mengejek.

“Huh, mampus kau, Jembel Gunung! Kau keras kepala, muridnya lebih keras kepala lagi. Mau kulihat siapa yang menang!”

San-tok menghela napas.

“Sudahlah... memang nasibku yang sial. Baik, pergilah, Hong Hong, aku akan mengurus anak setan itu.”

“Tapi, suhu, berjanjilah dulu bahwa suhu tidak akan mencelakainya.” “Anak bandel! Apa kaukira aku sudah gila, mencelakai murid sendiri?” Tapi melihat sinar mata muridnya, dia mengangguk-angguk.

“Baiklah, baiklah, aku berjanji...”

Lian Hong merasa lega. Ia mengenal baik gurunya yang juga seperti kakeknya sendiri itu. San-tok memang seorang tokoh atau datuk sesat yang memiliki watak aneh dan tergolong ganas dan buas, tidak mengenal arti perikemanusiaan atau sopan santun, tidak perduli akan segala tata cara atau kesusilaan. Akan tetapi, di balik itu semua terdapat suatu watak yang gagah perkasa atau menghargai kegagahan dan sekali gurunya itu berjanji, dia tidak akan mau melanggar janjinya sendiri seperti sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Maka, setelah memperoleh janji suhunya, ia lalu memberi hormat kepada semua orang dan pergi dari situ dengan ilmu lari cepatnya yang membuat bangga San-tok dan membuat kagum semua orang.

“Siancai, muridmu itu memang hebat, San-tok,” kata Siauw-bin-hud, teringat akan pertemuannya pertama dengan Lian Hong yang menyerang dan memukul kepalanya.

“Ha-ha-ha, berkat kebaikan budimu, ia memperoleh kemajuan, hwesio tua,” jawab San-tok.

“Akan tetapi sekarang aku harus memisahkan diri untuk menjemput anak setan itu.”

“Aha, kiranya si jembel gunung mempunyai seorang murid perempuan lagi yang disebut sumoi oleh muridmu tadi?” Tee-tok berkata.

San-tok yang biasanya suka senyum-senyum terus itu kini agak cemberut. Teringat betapa muridnya yang kedua ini seorang gadis bule dan belum bisa apa-apa, sungguh tak dapat dibanggakan sama sekali, hatinya tak senang. Dia tidak menjawab pertanyaan Tee-tok, melainkan bertanya kepada Siauw-bin- hud dimana letaknya kuil yang dimaksudkan. Setelah diberi tahu, dia lalu meloncat dan pergi dari situ untuk menjemput Diana yang ditinggalkan di sebuah kuil tua yang rusak.

Sementara itu, Siauw-bin-hud dan Ci Kong melakukan perjalanan menuju ke kuil yang dimaksudkan Siauw-bin-hud bersama Tee-tok dan Ciu Kui Eng. Dua orang kakek itu bercakap-cakap di sepanjang perjalanan, dan dua orang muda-mudi itu berjalan di belakang mereka. Karena Ci Kong dan Kui Eng pernah bertemu, bahkan berkenalan secara mengesankan sekali, mula-mula berkelahi dan Ci Kong pernah menyelamatkan Kui Eng dari pengeroyokan pasukan pemerintah, maka setelah kini ada kesempatan, keduanya juga bercakap-cakap dengan lirih.

Sejak pertemuannya yang pertama dengan Kui Eng, hati Ci Kong memang telah tertarik. Dia merasa kagum dan suka kepada gadis itu, walaupun gadis itu adalah puteri mendiang Ciu Lok Tai atau Ciu Wan-gwe yang pernah mencelakakan ayahnya. Dia sama sekali tidak melihat watak jahat dalam diri gadis ini. Sebaliknya malah, biarpun gadis ini menjadi murid seorang datuk sesat seperti Tee-tok, namun jelas bahwa gadis ini berwatak gagah perkasa, penentang kejahatan dan bahkan bersemangat besar untuk menjadi seorang pahlawan, seorang patriot yang membela tanah air dan bangsa!

Ci Kong tidak tahu tentang cinta. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis ini, akan tetapi yang jelas, dia merasa kagum dan suka kepada gadis yang bermata tajam, berwatak keras agak angkuh namun gagah perkasa, galak akan tetapi manis dan kalau tersenyum bukan main manisnya itu.

“Nona, apa saja yang telah kaualami semenjak pertemuan kita yang pertama dahulu itu?” tanyanya lirih.

Kui Eng tersenyum dan mukanya menjadi agak kemerahan. Ia masih teringat betapa dalam keadaan pingsan dikeroyok pasukan, ia pernah ditolong pemuda ini yang memondongnya dan membawanya keluar dari kepungan. Dan betapa ia salah sangka, bukannya berterima kasih bahkan menyerang pemuda ini. Kemudian, betapa Ci Kong sama sekali tidak merasa menyesal atau sakit hati atas perlakuannya yang tidak patut, sebaliknya pemuda itu bahkan membantunya mengangkat jenazah keluarganya untuk dikuburkan dengan sepatutnya walaupun amat sederhana. Perpisahan antara mereka adalah perpisahan dua orang sahabat dan di lubuk hatinya, Kui Eng selalu terkenang kepada pemuda itu dengan perasaan hati kagum dan berterima kasih.

“Aku hanya membantu gerakan orang-orang gagah yang melawan pasukan pemerintah, dan kadang-kadang juga melakukan pembersihan terhadap penjahat-penjahat yang sengaja bersikap semena-mena dan merajalela di dusun-dusun dalam keadaan perang yang kacau itu. Ada kalanya kami dengan kawan-kawan menghadang pasukan kulit putih dan mengganggu mereka. Dan kau?”

“Ah, selama ini aku tidak melibatkan diri dengan perang, tidak berpihak mana-mana sesuai dengan sikap Siauw-lim-pai selama ini. Aku hanya menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah membutuhkan bantuan saja. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berubah banyak. Agaknya Siauw-lim-pai juga melihat bahwa tanah air dan bangsa harus dibela.”

“Pernahkah engkau berhasil mencari Giok-liong-kiam?” tanya pula Kui Eng. Pemuda itu menggeleng kepala.

“Bertemu dengan yang bernama Koan Jit itupun belum pernah. Dan Kau?”

Kui Eng tersenyum. Pertanyaan yang diajukan pemuda ini sama benar dengan yang dilakukannya tadi, singkat namun akrab sekali.

“Wah, aku hampir celaka di tangan iblis itu. Koan Jit itu memang lihai bukan main. Aku pernah bertemu dengan dia dan bahkan kami berkelahi, akan tetapi dia berhasil menawanku dengan obat bius. Aku pasti telah celaka di tangannya kalau saja tidak tertolong oleh adik Lian Hong...” “Murid San-tok tadi?”

“Benar, adik Hong sungguh hebat. Karena pertolongannya, maka sampai sekarang aku masih bernapas, tentu saja juga karena pertolonganmu dahulu.”

“Dan kalian berhasil mendapatkan Giok-liong-kiam?” Kui Eng tersenyum dan melirik.

“Kalau sudah kami dapatkan perlu apa sekarang ribut-ribut? Kami hanya mampu mengusir Koan Jit, akan tetapi tidak pernah melihat pedang pusaka itu. Entah kalau adik Lian Hong karena sejak itu, baru tadi kami saling jumpa, dan belum sempat kami bercakap-cakap.”

Tidak begitu leluasa mereka bercakap-cakap, karena mereka berdua berjalan di belakang dua orang kakek yang berjalan di depan mereka. Benar seperti yang dikatakan kakek Siauw-binhud, tak lama kemudian merekapun tiba di sebuah kuil yang tersembunyi di dalam hutan kecil di daerah lereng bukit. Kuil itu selain menjadi tempat pertapaan beberapa orang hwesio Siauw- lim-si yang suka akan keheningan dan kesunyian, juga melayani beberapa buah dusun di sekitar bukit itu.

Hanya ada lima orang hwesio di kuil sederhana dan tua itu. Mereka ini terkejut bukan main melihat kedatangan Siauw-bin-hud. Dengan berlutut, mereka menyambut dengan segala kehormatan karena kepala hwesio itu masih terhitung cucu murid Siauw-bin-hud.

“Ha-ha, pinceng hanya akan merepotkan kalian,” kata Siauw-bin-hud. “Karena kami dan kawan-kawan dikejar-kejar pasukan, kami akan

beristirahat di sini dan pinceng ingin meminjam sebuah ruangan untuk bercakap-cakap dengan beberapa orang sahabat.”

“Tentu saja teecu terima dengan senang hati dan merasa mendapat kehormatan yang takkan teecu lupakan selama hidup!” kata para hwesio itu dan memasuki kuil dan membawa mereka ke ruangan belakang yang luas, bersih dan berhawa jernih karena menghadapi kebun terbuka.

Mereka lalu duduk, menerima hidangan air minum dan makanan sederhana, bercakap-cakap sambil menanti kedatangan San-tok.

Hati San-tok masih merasa tak senang dan mendongkol ketika tiba di kuil tua dimana dia dan Lian Hong meninggalkan Diana. Kalau menurut kata hatinya, ingin dia meninggalkan gadis bule itu, atau bahkan kalau perlu membunuhnya agar tidak merepotkannya lagi. Dia mempunyai murid seorang gadis kulit putih berambut kuning emas bermata biru? Huh! Seperti setan! Apalagi kalau diingat betapa orang-orang kulit putih telah mendatangkan malapetaka di negerinya. Sepatutnya dia membunuhi semua orang kulit putih! Racun madat mereka sebarkan di antara rakyat, ditukar dengan kekayaan rakyat. Mereka itu berpesta pora di atas mayat-mayat rakyat karena kalau dilanjutkan penyebaran madat yang dijual mahal itu, akhirnya orang-orang kulit putih yang menjadi kaya raya, sedangkan rakyat menjadi miskin habis- habisan dan selain miskin juga tubuh mereka menjadi rusak!

Ketika dia menyelinap ke dalam kuil. Dia melihat Diana sedang duduk bersila dan tekun bersamadhi. Huh, gadis bule itu telah mendapat latihan- latihan permulaan dalam ilmu siulian dari Lian Hong. Memang muridnya itu mengajarkan siulian (Samadhi) hanya untuk mengajar gadis bule itu menjaga keselamatan badannya dan menenangkan batinnya.

Melihat betapa seorang diri di kuil tua itu, yang amat sunyi, Diana tekun melatih diri, berkuranglah rasa tidak suka di hati San-tok. Bagaimanapun juga, gadis bule ini memang benar memiliki semangat besar dan tekun belajar. Orang dengan kemauan dan semangat sebesar ini dapat diharapkan akan memperoleh kemajuan pesat.

San-tok memberatkan langkah kakinya sehingga terdengar suara keras dan lantai kuil itupun tergetar. Diana terkejut, membuka matanya dan begitu dilihatnya kakek yang menjadi gurunya itu telah berada di situ, ia cepat bangkit dengan muka cerah. Sepasang matanya yang biru itu memandang dengan berseri-seri.

“Oughh, kiranya suhu yang datang? Mana suci (kakak seperguruan) Lian Hong?”

Kembali perasaan tidak suka menyelinap di hati kakek itu. Matanya begitu biru, seperti mata iblis dalam dongeng, rambutnya seperti benang emas. Sungguh menyeramkan dan menjijikkan! Dan menyebut dia ‘suhu’ begitu mesra, juga menyebut Hong Hong ‘suci’. Menyebalkan. Akan tetapi dia segera teringat akan janji-janjinya kepada gadis bule ini untuk mengambilnya sebagai murid, juga janjinya kepada Lian Hong tadi bahwa tidak akan mencelakai Diana. Kakek itu menarik napas panjang, tidak segera menjawab pertanyaan Diana.

“Mari kau ikut bersamaku, Diana. Hong Hong sedang melaksanakan tugas.”

Tanpa banyak cakap lagi dia lalu melangkah keluar dari kuil itu. Diana cepat mengejarnya dan kakek itu berjalan cepat sekali sehingga Diana terpaksa harus berlari-larian untuk dapat mengimbangi kecepatannya. Karena tidak pernah berlatih lari terus-terusan seperti itu, maka tak lama kemudian Diana sudah terengah-engah berlari di samping San-tok yang masih berjalan seenaknya. Dia tidak perduli melihat gadis itu sudah terengah-engah dan melangkah terus dengan langkah-langkah lebar.

Diana hampir tidak kuat lagi, akan tetapi gadis ini memiliki keangkuhan dan kekerasan hati, sama sekali tidak ingin memperlihatkan kelemahannya, apalagi di depan gurunya! Ketika kedua kakinya tersandung batu, membuat ia terhuyung, hampir ia tidak kuat karena napasnya semakin memburu. Akan tetapi ia lalu teringat akan cerita Lian Hong bahwa belajar silat tidaklah mudah, harus berani menghadapi segala macam kesukaran dan bahkan guru mereka, seperti guruguru lain yang mengajarkan ilmu silat, sering kali menguji murid- muridnya. Wah, ini tentu merupakan ujian dari gurunya, pikir Diana. Karena itu, sampai bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak boleh memperlihatkan kelemahannya!

Pikiran ini, secara aneh sekali, mendatangkan semangat dan juga kekuatan sehingga kalau tadi napasnya sudah hampir putus kini ia merasa kuat lagi dan berjalan setengah berlari dengan penuh semangat! Kakinya merasa ringan, dan napasnya tidak memburu lagi seperti tadi. San-tok melihat perubahan itu dan dia merasa heran, akan tetapi juga kagum. Tadi dia tentu saja melihat betapa gadis itu sudah hampir tidak kuat dan dia merasa girang sekali dapat menyiksanya. Dia ingin melihat gadis itu roboh tidak kuat agar dapat dia memarahi dan mengejek, agar ia tidak tahan dan tidak suka menjadi muridnya. Akan tetapi napas yang hampir putus itu kini tersambung kembali dan semangat yang hampir runtuh itu bangkit kembali! Mau tidak mau dia merasa kagum juga dan mengerti bahwa gadis ini memang memiliki tekad yang amat besar.

Akhirnya tibalah mereka di kuil Siauw-lim-si itu. Dua orang hwesio penghuni kuil itu yang menyambut di luar, terbelalak keheranan melihat betapa tamu yang berpakaian tambal-tambalan itu datang bersama seorang gadis bule yang rambutnya kuning emas dan matanya biru! Biarpun gadis itu mengenakan pakaian petani dan gerak-geriknya seperti seorang gadis pribumi, namun jelaslah bahwa gadis itu seorang gadis kulit putih. Memang ada orang bule di negeri ini, akan tetapi biarpun orang bule itu memiliki kulit putih dan bulu yang keputih-putihan pula, namun rambutnya tidak kuning emas dan matanya tidak biru seperti itu! Akan tetapi karena mereka berdua sudah menerima tugas untuk menyambut tamu-tamunya, mereka memberi hormat dan mempersilahkan San-tok dan Diana untuk langsung saja masuk ke ruangan belakang kuil dimana tamu-tamu terdahulu sudah berkumpul.

Dengan langkah lebar, San-tok memasuki ruangan itu, meninggalkan Diana di belakangnya. Dengan gembira dia melihat bahwa Siauw-bin-hud dan Tee- tok sudah duduk bersila di atas lantai beralaskan bantal-bantal untuk siulian, dan juga murid hwesio itu bersama murid Tee-tok berada di situ. Mereka berempat menyambut kedatangannya dengan pandang mata gembira, akan tetapi mata mereka terbelalak ketika melihat munculnya Diana di belakang San-tok. Jadi murid kedua dari San-tok adalah seorang gadis kulit putih? Hampir mereka tak percaya. San-tok tentu saja merasakan keheranan dan kekagetan semua orang itu, dan untuk mengurangi rasa tak enak di hatinya itu diapun cepat-cepat menghampiri mereka, berlutut dan hendak duduk bersila seperti yang lain.

“Kau...! Kau... Penolongku yang budiman itu...!”

Tiba-tiba Diana berseru dengan suara gembira bukan main, dan selagi semua orang masih bengong memandang kepadanya, gadis ini lalu berlari menghampiri Ci Kong. Pemuda inipun masih terheran-heran melihat Diana datang bersama San-tok dan tadinya dia tidak ingat siapa adanya gadis bule itu. Akan tetapi begitu Diana berteriak kepadanya, dia teringat bahwa itu adalah gadis yang pernah ditolongnya ketika diculik oleh tukang-tukang pukul dari Kanton yang hendak memaksa gadis itu pulang ke kota.

“Ah, aku girang sekali bertemu denganmu di sini dan aku berterima kasih sekali!”

Diana tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Ci Kong dan... ‘cup! cup!’, ia telah mencium kedua pipi Cio Kong!

Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang menjadi bengong. Ci Kong sendiri tak mampu mengelak, karena selain dia sama sekali tidak mengira akan dicium begitu saja oleh gadis bule itu di depan orang banyak, juga dia terlalu kaget, malu dan bingung sehingga ketika dicium kedua pipinya, dia hanya terbelalak saja!

Ciu Kui Eng hampir menjerit dan menggunakan jari tangan menutupi mulut untuk menahan jeritnya. Tentu saja gadis inipun merasa kaget setengah mati dan sukar mengatakan perasaan apa yang memenuhi hatinya saat itu. Perbuatan seorang wanita mencium pria begitu saja di depan banyak orang, baginya merupakan suatu perbuatan yang amat tidak patut dan tidak tahu malu! Akan tetapi, iapun melihat kewajaran dari sikap gadis bule itu, seolah- olah ia tidak pernah melakukan suatu kesalahan dan sikapnya benar-benar sikap seorang yang merasa amat gembira bertemu dengan orang yang agaknya selalu dibuat kenangan.

Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar melihat adegan itu, walaupun alisnya yang putih panjang itu agak berkerut. Sebagai seorang yang sudah memiliki pengalaman luas dan batin yang kokoh kuat, Siauw-bin-hud tidak heran melihat adegan itu, dan dia tahu bahwa gadis itu menyatakan kegembiraan dan terima kasihnya secara langsung menurutkan gejolak hatinya, akan tetapi betapapun juga dia merasa betapa perbuatan gadis ini tentu mengguncangkan perasaan semua orang yang hadir di situ, terutama sekali membuat muridnya, Ci Kong, berada dalam keadaan yang serba salah.

Hwesio yang menjadi ketua kuil itu, yang tadi bangkit berdiri menyambut tamu barunya, berdiri bengong dan tak dapat bergerak seperti telah berubah menjadi arca. Juga Tee-tok mengerutkan alisnya dan melirik dengan perasaan tidak senang berbayang di wajahnya. Tee-tok diam-diam mengharapkan untuk dapat menjodohkan muridnya dengan pemuda didikan Siauw-bin-hud itu, maka kini melihat pemuda itu diciumi oleh seorang gadis bule di depan umum, sungguh membuat hatinya merasa tidak nyaman. Yang paling terkejut setengah mati adalah San-tok.

“Ya ampuuunnn...!”

Demikian dia mengeluh dan memandang dahinya sendiri, matanya terbelalak, mulutnya melongo dan dia merasa malu, dan marah bukan main. Rasa tidak sukanya kepada Diana semakin menebal. Sungguh sialan, pikirnya. Perempuan bule ini benar-benar membikin malu saja dengan ulahnya yang ganjil dan tidak sopan, amat memalukan dia yang menjadi gurunya, yang membawa masuk ke kuil ini. Padahal, diam-diam seperti halnya Tee-tok, San- tok ini juga mempunyai keinginan untuk menjodohkan muridnya, Lian Hong, dengan Ci Kong yang dikaguminya. Bukankah pernah dia menyalurkan sinkang membantu pemuda ini di waktu masih kecil seperti halnya Siauw-binhud membantu Siauw Lian Hong? Bukankah perbuatan dan sikap mereka berdua sebagai orang-orang tua, yang dilakukan tanpa sengaja, seperti sudah memberi tanda ikatan jodoh, antara dua orang anak itu?

“Anak gila! Apa yang kaulakukan ini?”

San-tok membentak keras, dan kalau saja di situ tidak hadir orang-orang sakti yang dikaguminya, mungkin dia sudah turun tangan memukul mati gadis kulit putih itu.

Diana seperti baru sadar dan ketika ia menengok, ia melihat betapa semua orang memandang kepadanya dengan aneh. Baru teringatlah ia bahwa perbuatannya yang spontan tadi merupakan perbuatan yang ganjil dan asing bagi mereka ini, mungkin dianggap tidak sopan, maka mukanya tiba-tiba menjadi merah sekali.

“Suhu, pendekar ini pernah menyelamatkan aku dari tangan anggauta pasukan Hui-houwtin yang dipimpin oleh Koan Jit. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih, karena dia sudah cepat melarikan diri. Kini, berjumpa dengan penolongku di tempat ini, hal yang sama sekali tidak kuduga- duga, aku menjadi gembira sekali dan ingin menyampaikan rasa terima kasihku kepadanya.”

“Benarkah itu, orang muda?”

San-tok bertanya sambil memandang kepada Ci Kong. Pemuda itu masih bengong. Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati pemuda ini. Dia diciumi begitu saja, di depan orang banyak, terutama di depan Kui Eng! Bagaimana Kui Eng akan menanggapi adegan yang memalukan tadi? Celaka, dia sampai tidak berani mengangkat muka bertemu pandang dengan Kui Eng. Dia merasa malu sekali. Mendengar pertanyaan San-tok, Ci Kong mengangguk.

“Benar, locianpwe.”

Lalu dia menoleh ke arah Diana dan menegur halus. “Nona, perbuatanmu tadi tidak sepatutnya. Sungguh tidak sopan melakukan perbuatan terima kasih seperti itu, di depan orang banyak pula.”

Diana sudah menyesali perbuatannya tadi.

“Maafkan aku, maafkan. Sungguh aku melakukannya tanpa kusadari, saking gembiranya rasa hatiku. Sejak engkau menolongku lalu pergi begitu saja, aku merasa menyesal bukan main. Kini, tanpa kuduga-duga, aku berjumpa denganmu di sini, maka aku terdorong oleh luapan hati yang gembira. Maafkan...”

Ketika ia melihat bahwa semua orang masih kelihatan bingung dan kacau, ia melanjutkan kata-katanya dengan cepat.

“Maaf, sungguh bukan maksud saya untuk bersikap tidak sopan. Sekarang saya teringat bahwa perbuatanku tadi dapat dianggap tidak sopan, akan tetapi, sesungguhnya bukan demikian maksudku. Saya... saya berterima kasih, bersyukur sekali telah dapat bertemu dengan pendekar yang selama ini selalu kukenang dengan hati penuh penyesalan karena belum sempat saya mengucapkan terima kasih. Ciuman... eh, tadi itu merupakan pernyataan terima kasih dan kegembiraan, bukan... bukan tidak sopan..... ah, saya harap anda sekalian dapat memaklumi...”

Melihat sikap gadis bule ini yang demikian penuh penyesalan dan wajar, dan mendengar betapa gadis asing itu dapat bicara dengan gaya yang demikian lancar, sopan dan sejujurnya, di dalam hati semua orang kecuali San- tok, telah timbul perasaan simpati dan mereka mau memaafkan. Bahkan Kui Eng lalu tersenyum ramah.

“Sobat, engkau cantik sekali dan jujur. Siapakah namamu?” Kui Eng menegur dengan ramah.

Diana memandang kepada gadis itu dan iapun kagum. Seorang gadis yang manis, dan kelihatan begitu gagah.

“Namaku Diana, dan siapakah engkau, sobat yang manis?”

Kui Eng tersenyum gembira. Baru bicara sedikit saja, ia sudah mulai suka kepada gadis bule ini, gadis dari bangsa yang dianggap musuhnya.

“Namaku Ciu Kui Eng.”

“Kui Eng, apakah engkau juga gagah perkasa dan lihai seperti suci Lian Hong?”

Kui Eng tertawa.

“Ah, mana aku bisa dibandingkan dengan adik Lian Hong yang lihai?” Tiba-tiba Tee-tok mengeluarkan suara ketawa nyaring.

“Ha-ha, jembel gunung, inikah muridmu itu? Hemm, benar hebat kau, memilih murid dari bangsa kulit putih yang justeru sedang kita tentang!”

San-tok menjadi serba salah, tidak mampu menjawab. Akan tetapi Diana sudah menghadapi Tee-tok dengan sinar mata bernyala penuh kemarahan.

“Kakek tua, kuharap engkau sopan sedikit dan tidak menghina guruku. Apa kesalahan guruku kepadamu maka engkau berani memaki dan menghinanya?”

Kui Eng khawatir kalau-kalau gurunya marah dan turun tangan terhadap gadis asing ini, maka iapun mendahului dan menghampiri Diana.

“Diana, engkau adalah seorang gadis kulit putih. Engkau tahu bahwa bangsamu sedang dimusuhi oleh bangsa kami. Bagaimana engkau kini mendekati orang-orang seperti kami, bahkan menjadi murid San-tok, seorang diantara kami yang memusuhi bangsamu?”

Pertanyaan yang dilontarkan Kui Eng ini mewakili suara hati semua orang, bahkan juga suara hati San-tok, maka mereka semua mendengarkan dengan penuh perhatian sambil memandang wajah gadis bule itu.

Diana menarik napas panjang, lalu menatap wajah Kui Eng, bahkan melepas pandang matanya ke sekeliling sebelum menjawab dengan suara tegas dan jelas.

“Tidak salah, sobat, aku adalah seorang gadis kulit putih, berkebangsaan Inggeris. Juga tidak salah bahwa bangsaku telah melakukan hal yang amat jahat terhadap bangsa kalian, dan tidak mengherankan kalau bangsaku dimusuhi di sini. Akan tetapi, justeru karena itulah aku tidak mau kembali kepada bangsaku. Setelah aku bertemu dengan suci Lian Hong, dan aku merasakan kehidupan di dusun-dusun, aku melihat betapa bangsaku telah berbuat jahat demi mencari keuntungan. Aku merasa malu dan aku ingin sekedarnya menebus keburukan mereka dengan bersaudara dengan rakyat, mempelajari kesenian rakyat, kebudayaannya, dan kemudian, siapa tahu, dengan kepandaian yang dapat kupelajari di sini, aku akan dapat menentang dan mengingatkan kesalahan bangsaku.”

“Omitohud... cita-cita ini amat luhur. Akan tetapi, nona, bagaimana kalau kelak mereka tidak mendengarkan peringatan yang kauberikan?”

Diana memandang hwesio tua itu dan diam-diam ia merasa tunduk. Hwesio ini memiliki pandang mata yang demikian mencorong tapi lembut dan penuh pengertian mendalam seolah-olah di dunia ini tidak ada rahasia apa-apalagi baginya.

“Lo-suhu,” katanya penuh hormat.

“Kalau sampai mereka tidak mau menerima peringatan yang akan saya berikan kelak, maka saya akan menggunakan segala kepandaian yang ada pada saya untuk menentang perbuatan mereka yang jahat! Demi untuk membela kebenaran dan keadilan, saya rela mati di tangan bangsaku sendiri karena menentang mereka.”

“Siancai... gadis ini biarpun berkulit putih namun semangatnya besar dan berjiwa pendekar. Engkau beruntung sekali mendapatkannya sebagai murid, San-tok.”

Akan tetapi hati San-tok tidak merasa gembira oleh ucapan Siauw-bin-hud ini, bahkan dia lalu berkata kepada Diana.

“Kau keluarlah dulu, aku mau bicara dengan mereka mengenai urusan penting!”

Tentu saja wajah Diana berubah agak pucat. Ia sudah mendengar dari Lian Hong bahwa kakek yang menjadi gurunya ini seorang yang aneh, kadang- kadang jahat dan kejam sekali walaupun memiliki kesaktian. Akan tetapi tak disangkanya gurunya akan tega memperlakukannya seperti ini, mengusirnya dari depan banyak orang secara merendahkan sekali. Akan tetapi ia teringat akan pesan Lian Hong agar mentaati semua perintah suhunya, maka iapun mengangguk dan mengundurkan diri, keluar dari ruangan belakang itu menuju ke kebun.

Melihat ini, Siauw-bin-hud merasa tidak enak.

“Ci Kong, temanilah gadis itu. Sebagai seorang tamu sudah sepantasnya ia kita sambut dengan baik.”

Tentu saja Ci Kong merasa tidak enak sekali. Sebetulnya, hatinya tidak keberatan untuk menemani seorang seperti Diana yang walaupun seorang gadis kulit putih namun harus diakuinya amat cantik, walaupun kecantikannya itu asing baginya. Namun, dia sedang berada di antara tokoh-tokoh besar, bahkan terutama sekali di situ ada Kui Eng! Dia akan merasa lebih senang menemani Kui Eng dari pada gadis asing ini!

“Kui Eng, engkaupun pergilah menemani mereka. Kami orang-orang tua mau bicara,” tiba-tiba Tee-tok berkata.

Ucapan ini menggirangkan hati Kui Eng yang segera bangkit dan turun ke kebun itu, akan tetapi juga menggirangkan hati Ci Kong karena dengan adanya Kui Eng, tidak perlu lagi dia merasa kaku dan malu-malu harus menemani Diana dari pada kalau dia berdua saja dengan gadis bule itu.

Setelah tiga orang muda itu memasuki kebun dan tak nampak lagi dari ruangan itu, San-tok yang ingin segera menyampaikan keinginan hatinya lalu berkata.

“Siauw-bin-hud, aku akan menyampaikan suatu rahasia. Kebetulan sekali Tee-tok di sini, biarlah dia menjadi saksi.”

Siauw-bin-hud dapat menduga bahwa tentu kakek berpakaian tambal- tambalan itu hendak menyampaikan hal yang amat penting sekali. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan berkata.

“Omitohud, pinceng siap mendengarkan, San-tok.”

“Tadinya, rahasia ini akan kusimpan sampai mati, karena memang aku ingin mengalihkan perhatian seluruh tokoh-tokoh agar tidak mengetahui rahasiaku ini. Akan tetapi setelah kita mengadakan pertemuan di tempat pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Aku hendak bicara tentang rahasia Giok-liong- kiam!”

Mendengar ini, Siauw-bin-hud yang biasanya tenang itupun kini mengangkat muka memandang penuh perhatian. Apalagi Tee-tok. Dia memandang rekannya dengan sinar mata mencorong dan penuh curiga.

“Jembel gunung! Jangan katakan bahwa engkau sudah merampas Giok- liong-kiam dari tangan murid pertama Thian-tok yang murtad itu!”

San-tok mengangguk-angguk.

“Terus terang saja, memang aku belum berhasil menemukan Giok-liong- kiam, akan tetapi dapat dikatakan bahwa Giok-liong-kiam sudah berada di tanganku! Akan tetapi sebelum aku melanjutkan ceritaku yang akan membuka rahasia Giok-liong-kiam, aku ingin minta pendapat kalian lebih dulu.”

“Pendapat bagaimana?” tanya Siauw-bin-hud.

“Bagaimana pendapat kalian tentang orang yang akan mampu menemukan harta karun itu dan menyerahkannya untuk keperluan perjuangan menumbangkan pemerintah penjajah dan menentang bangsa kulit putih? Apa hadiah untuknya?”

“San-tok, apakah kau masih pura-pura lagi? Bukankah kau sendiri yang mengajukan usul bahwa dia yang berhasil itu akan memperoleh pedang pusaka Giok-liong-kiam, dan selanjutnya dianggap sebagai pahlawan dan jagoan nomor satu di dunia?” Tee-tok menegur.

“Itu benar, dan hal itu sudah menjadi persetujuan bersama,” sambung Siauw-bin-hud.

“Aku tidak akan menyangkal persetujuan itu, Siauw-bin-hud, akan tetapi aku ingin menambahkan sedikit, yaitu bahwa apabila aku yang berhasil menemukan harta karun itu, mengingat bahwa muridku Siauw Lian Hong yang banyak berjasa dalam hal itu, aku ingin agar engkau suka menyetujui Hong Hong menjadi jodoh muridmu, Tan Ci Kong.”

Mendengar ini, Tee-tok terkejut dan cepat mencela.

“Ah, itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Giok-liong-kiam! San- tok, baru saja aku hendak minta kepada Siauw-bin-hud agar muridnya itu dijodohkan dengan muridku Ciu Kui Eng. Karena engkau sudah menyatakan lebih dulu, biarlah akupun mengajukan pinangan dan kita lihat, siapa diantara murid-murid kita yang akan diterima menjadi calon isteri murid Siauw-bin-hud

.”

Kini Siauw-bin-hud yang merasa terkejut dan dia memandang kepada wajah dua datuk sesat itu dengan hati yang agak cemas. Pinangan orang biasa saja merupakan hal yang wajar dan menerima atau menolaknya merupakan peristiwa biasa yang takkan mendatangkan akibat apapun. Akan tetapi pinangan orang-orang seperti mereka ini, kalau ditolak tentu akan mendatangkan akibat buruk, dan kini yang mengajukan pinangan sekaligus adalah dua orang! Menerima yang satu tentu akan menolak yang lain, dan dia menjadi serba salah. Akan tetapi, Siauw bin-hud hanya sedetik dua detik saja dicekam kecemasan. Dia sudah tersenyum kembali.

“Omitohud, betapa lucunya kalian ini, ha-ha-ha-ha!” Kakek tua renta itupun tertawa bergelak, suara ketawa yang halus dan penuh kegembiraan.

Sejenak dua orang datuk sesat itu saling pandang dengan sikap bermusuhan, akan tetapi mendengar suara ketawa itu, San-tok berkata.

“Siauw-bin-hud, apa engkau merasa terlalu tinggi bagi orang macam aku?” “Engkau berani memandang rendah kepadaku, dan muridku tidak pantas

menjadi jodoh murid Siauw-lim-pai?” Tee-tok juga menegur.

Dua orang datuk sesat itu nampak penasaran sekali dan siauw-bin-hud menarik napas panjang, akan tetapi masih tersenyum lebar. Baru bayangan bahwa pinangan itu ditolak saja sudah membuat kedua orang datuk ini nampak penasaran dan marah. Apalagi kalau benar-benar ditolak! Dia tidak takut akan ancaman mereka, akan tetapi dia mengkhawatirkan perpecahan akan terjadi di antara mereka, padahal dalam menghadapi kekalutan tanah air, mereka sudah sepakat untuk bekerja sama.

“Siancai... harap kalian bersabar dan tidak mengambil keputusan dan pendapat tergesa-gesa yang tidak tepat. Siapakah yang menolak dan siapakah yang menerima? Kalian tentu tahu bahwa perjodohan hanya dapat terlaksana kalau ada persetujuan kedua pihak, maksud piceng pihak mereka yang tersangkut. San-tok, engkau mengajukan pinangan, apakah engkau telah yakin bahwa muridmu itu mencinta Ci Kong?”

Ditanya demikian, San-tok memandang bingung.

“Aku tidak tahu, akan tetapi... ia tentu mau, ia harus mau...”

“Bagaimana dengan engkau, Tee-tok, apakah muridmu itu mencinta Ci Kong?”

“Wah, mana aku tahu? Agaknya begitulah. Seharusnya begitu karena muridmu itu seorang pemuda yang baik, dan alangkah baiknya kalau kita menjadi besan...”

Siauw-bin-hud memperlebar senyumnya.

“Omitohud, kalian ini dua orang tua yang berpikiran singkat dan seperti kanak-kanak saja. Bagaimana kalian berani lancang mengajukan pinangan kalau kalian belum tahu apakah murid-murid kalian itu mencinta cucu muridku, belum tahu apakah murid-murid kalian akan menyetujui? Lancang, sungguh lancang! Bagaimana kalau andaikata pinangan kalian diterima, kemudian ternyata bahwa murid-murid kalian itu tidak setuju? Bukankah ini berarti kalian menghina kepada yang dipinang?”

Kembali dua orang datuk itu saling pandang dengan bingung. “Tidak, aku tidak menghina, dan aku akan memaksa muridku untuk menyetujui!” kata San-tok.

“Akupun yakin muridku akan setuju, kalau ia menolak, akan kupaksa!” “Nah, nah, itulah pikiran kekanak-kanakan, main paksa-paksaan. San-tok,

pinceng sudah melihat muridmu itu, dan agaknya orang seperti ia tidak akan dapat dipaksa, apalagi untuk menikah dengan pria yang tidak dicintanya. Dan sekelebatan saja melihat muridmu, engkaupun akan mengalami kesulitan yang sama, Tee-tok. Anak-anak seperti mereka berdua itu tidak akan mudah ditundukkan, apalagi menyangkut kehidupan mereka sendiri, kebahagiaan mereka sendiri.”

“Hwesio tua, mengenai muridku, itu adalah urusanku sendiri, engkau tidak perlu ikut campur. Yang penting, engkau terima atau tidak pinanganku?” teriak San-tok.

“Benar, harus diputuskan sekarang siapa di antara kami yang pinangannya diterima, agar tidak membuat kami ragu-ragu dan penasaran,” sambung Tee- tok tak mau kalah.

“Omitohud, kalian memang hanya anak-anak kecil belaka. Mana mungkin pinceng dapat mengambil keputusan? Kalau yang kalian pinang itu adalah pinceng, maka tentu saja sekarangpun pinceng dapat mengambil keputusan! Hei, San-tok dan Tee-tok, apakah kalian meminang pinceng untuk dijodohkan dengan murid-murid kalian?”

Hwesio itu berkelakar untuk mendinginkan suasana.

“Hwesio tua… jangan pecengisan!” San-tok membentak, akan tetapi dari mukanya dapat diketahui bahwa diapun merasa geli dan kemarahannya sudah banyak berkurang.

“Siapa sudi punya mantu seperti kau, tua bangka yang sudah tinggal menanti saatnya saja?” Tee-tok membentak.

Siauw-bin-hud tertawa bergelak. Kemudian dia berkata dengan suara yang serius.

“Santok, dengarkan baik-baik. Andaikata kedua murid kalian itu setuju dengan pinangan kalian, andaikata mereka itu mencinta Ci Kong, itupun belum menjadi syarat bagi pinceng untuk menerima pinangan kalian. Yang dipinang adalah Ci Kong, dan ini sepenuhnya merupakan urusan dan persoalan dia, maka keputusannya adalah di tangannya sendiri. Kalau dia suka menjadi suami seorang di antara murid kalian, pincengpun setuju saja. Akan tetapi kalau dia tidak suka, siapapun tidak akan dapat memaksanya. Dan pinceng kira kalian akan menjadi guru-guru yang bijaksana kalau bertindak seperti yang pinceng lakukan.”

Dua orang datuk sesat itu kembali saling pandang dan agaknya mereka dapat melihat kebenaran kata-kata pendeta itu. Mereka kinipun merasa ngeri kalau membayangkan watak murid mereka masing-masing yang keras hati. Memang seharusnya bertanya dulu kepada anak-anak itu.

“Baiklah, aku tunda dulu pinangan itu dan akan kurundingkan dulu dengan muridku. Asal engkau tahu saja isi hatiku yang ingin berbesan denganmu,” kata San-tok.

“San-tok, kini engkau harus menceritakan apa rahasia tentang Giok-liong- kiam yang kauketahui itu,” Tee-tok mendesak.

San-tok memandang kepada rekannya yang bertubuh pendek kecil berkepala botak hampir gundul itu dan dia tertawa.

“Heh-heh, engkau ini hwesio bukan, tosupun bukan, pendeta setengah matang, cerewet seperti perempuan bawel saja, tidak mau kalah dalam segala hal. Kau mau tahu tentang Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu? Ha-ha, Giok- liong-kiam yang diperebutkan itu, yang tadinya dirampas oleh Thian-tok dengan menggunakan nama Siauw-binhud, kemudian dicuri kembali oleh Koan Jit, pedang itu adalah pedang Giok-liong-kiam yang palsu.”

“Palsu...??”

Tee-tok berteriak, sedangkan Siauw-bin-hud juga memandang tajam kepada San-tok. Tentu saja berita ini merupakan berita yang amat penting sekali. Namanya telah dihebohkan karena pedang pusaka itu, bahkan dia telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk mencari perampas Giok-liong- kiam yang mempergunakan namanya. Bukan itu saja, seluruh tokoh kang-ouw berebutan dan terjadi perkelahian-perkelahian, korban-korban nyawa, dan semua itu untuk memperebutkan sebuah benda palsu!

“Ya, palsu, Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu adalah pedang yang palsu, ha-ha!” San-tok tertawa-tawa dengan gembira sekali.

“Aku tidak percaya!” Tee-tok membentak, mukanya merah karena dia mengira rekannya itu mempermainkannya.

“Ha-ha-ha, kalau tidak percaya, pergilah kau mencari Koan Jit untuk memperebutkan pedang palsu dengan dia.

“Ha-ha, memang orang seperti engkau ini lebih patut kalau memperebutkan sebuah benda palsu dari pada mempercaya seorang seperti aku!”

“Omitohud, pinceng percaya ceritamu itu, San-tok,” kata Siauw-bin-hud dan suaranya terdengar mengandung kekecewaan.

Kalau dia bersusah payah selama bertahun-tahun dan namanya dihebohkan hanya untuk urusan pedang palsu, itu bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya sekarang ini. Akan tetapi yang mendatangkan kecewa adalah kenyataan bahwa kalau pedang itu palsu, berarti harta karun itupun tidak akan bisa ditemukan. Mendengar ucapan tokoh Siauw-lim-pai itu yang mempercayai cerita San-tok, Tee-tok menjadi ragu-ragu dan diapun kini memandang kepada San-tok dengan penuh harapan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut.

“Hwesio tua, engkau memang belum pikun dan dapat berpikir secara bijaksana sekali. Aku memang tidak berbohong.”

“Siancai... kalau begitu, musnahlah cita-cita kita bersama untuk mencari harta karun agar dapat dipergunakan membiayai perjuangan rakyat...”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Siauw-bin-hud. Akulah yang akan menemukan harta karun itu. Secara kebetulan aku mendapatkan keterangan tentang palsunya Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu, dan bukan hanya itu yang kuketahui. Akupun mengetahui rahasia bagaimana untuk dapat menemukan harta karun itu.”

“Kau membual!” teriak Tee-tok.

“Kalau benar demikian, apa maksudmu menceritakan kepada kami tentang kepalsuan Giok-liong-kiam?”

Tentu saja Tee-tok merasa curiga karena biasanya, orang-orang seperti mereka, apalagi Empat Racun Dunia, selalu mempergunakan siasat dan tipu muslihat untuk mengelabui orang lain demi keuntungan diri sendiri. Maka, keterangan San-tok ini tentu tak dapat ditelannya mentah-mentah begitu saja. “Ha-ha-ha, dasar tolol tetap tolol! Kalau tidak ada sebab-sebabnya, apa kaukira aku begitu bodoh untuk menceritakan ini semua kepada orang seperti engkau, Tee-tok? Sudah kukatakan tadi, rahasia ini tentu saja kusimpan sendiri dan aku bersama muridku akan tertawa geli sampai perut kaku melihat betapa kalian semua orang kang-ouw saling berlumba memperebutkan pusaka yang berada di tangan Koan Jit itu. Tadinya aku memang ingin begitu, melihat kalian seperti anjing-anjing berebutan tulang busuk, sedangkan aku diam-diam akan mengambil dan menikmati harta karun itu. Akan tetapi, setelah pertemuan di pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Kita adalah rekan-rekan seperjuangan dan persatuan demi tanah air ini membuat aku memaksa diri mengesampingkan kepentingan pribadi. Aku sengaja menceritakan agar kalian tidak membuang- buang waktu memperebutkan pusaka palsu itu. Nah, belum juga engkau menghaturkan terima kasih kepadaku, Tee-tok?”

“Terima kasih hidungmu! Engkau masih merahasiakan tempat harta karun dan akan mengambilnya sendiri untuk memiliki Giok-liong-kiam tulen dan mendapatkan sebutan pahlawan dan jagoan nomor satu! Akan tetapi, mengenai perjodohan murid-murid kita, aku tidak mau mengalah kalau engkau hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan muridnya!”

Mendengar nada suara menantang itu, San-tok mengerutkan alisnya dan menatap wajah rekannya itu dengan tajam.

“Kalau tidak mau mengalah, lalu kau mau apa?”

“Mau apa?” Tee-tok melompat berdiri dan sikapnya menantang sekali. “Hayo majulah, kaukira aku takut padamu?”

“Cacing pita! Akupun tidak takut!” San-tok juga melompat berdiri. “Omitohud, kalian ini benar-benar seperti anak kecil.”

Siauw-bin-hud tahu-tahu sudah berdiri di antara mereka.

“Harta karun belum ditemukan, perjuangan belum dilakukan, dan kalian sudang ingin saling genjot dan saling bunuh sendiri? Pejuang-pejuang macam apa kalian ini? Celaka, kalau semua pejuang seperti kalian, belum apa-apa kita sudah kehabisan tenaga.”

Dua orang kakek yang sudah saling melotot itu sadar dan keduanya duduk kembali dengan muka merah.

“Wah, aku memang pelupa dan pemarah. Dia itu yang membikin darah naik!” kata San-tok.

“Maaf, Siauw-bin-hud. Menghadapi orang macam dia itu memang bisa bikin orang lupa daratan!”

Watak dan sikap dua orang datuk sesat ini memang menggelikan, seperti anak-anak saja mereka itu. Akan tetapi, bukankah kita semua ini hanyalah anak-anak yang besar tubuhnya saja? Apa bedanya kita dengan anak-anak? Masih selalu memperebutkan sesuatu, masih cengeng, masih suka berkelahi, mesih mengejar-ngejar kesenangan! Kalau orang yang susah menjadi kakek berhadapan dengan anak cucunya, mungkin dia bersikap seperti seorang kakek. Akan tetapi sikap ini sesungguhnya dipaksakan berhubung keadaan, karena malu dan merasa tua. Akan tetapi, kumpulkanlah kakek-kakek itu dengan teman-teman sebayanya, maka akan kembali menjadi anak-anak nakal! Hal ini tentu dirasakan oleh kita semua yang mau melihat diri sendiri dan tidak berpura-pura! Kita ini hanya anak-anak besar tubuhnya. Tubuh kita memang tumbuh menjadi besar, akan tetapi batin kita kadang-kadang bahkan semakin kecil, sarat dengan segala macam kepalsuan dan pamrih-pamrih tersembunyi, sedangkan anak-anak belum mengenal kepalsuan dan pamrih-pamrihnya tidak tersembunyi.

Karena merasa   bersalah,   Tee-tok   lalu   memperlihatkan   sikap   berbaik kembali dengan San-tok. Memang para datuk sesat itu aneh wataknya. Mudah tersinggung dan mudah marah sampai tega membunuh kawan, akan tetapi juga tidak mendendam dan mudah melupakan perselisihan antara mereka.

“Hei, San-tok. Engkau sudah mempunyai seorang murid perempuan yang baik, kenapa engkau mengambil murid perempuan bule itu? Untuk apa punya murid seperti itu?”

“Aih, kau tidak tahu! Siapa sudi mempunyai murid seperti itu? Akan tetapi ini semua gara-gara ulah muridku Hong-Hong. Ialah yang memaksaku menerima Diana sebagai murid, dan aku diakali olehnya, kalah janji. Kalau aku tidak mau menjadi guru Diana, berarti aku menjilat ludah sendiri. Sialan!”

Mereka lalu bercakap-cakap dengan Siauw-bin-hud, membicarakan keadaan tanah air dan berita-berita yang mereka dengar tentang gerakan para pejuang, tentang kedudukan Koan Jit yang kuat dan tentang cita-cita mereka untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu dan menghalau kekuasaan asing kulit putih.

Sementara itu, Diana, Ci Kong dan Kui Eng berjalan-jalan di kebun yang luas itu. Mereka lalu duduk di ujung kebun, jauh dari kuil, di bawah pohon yang rindang dimana terdapat bangku-bangku bersih yang seolah-olah tersenyum mempersilahkan mereka duduk. Tempat itu memang nyaman sekali. Terdapat rumpun bambu yang gemersik tertiup angin, setiap ujung daun bergerak sendiri-sendiri seperti  memiliki kehidupan pribadi, padahal merupakan serumpun, dan semua garis, semua lengkung, semua warna, antara cahaya dan bayangan, membentuk pandangan yang mengandung kesenian bernilai tinggi. Mereka tadi sudah berkenalan sambil berjalan-jalan, dan hati Diana girang sekali telah sempat berkenalan dengan penolongnya dan memperoleh sahabat baru yang demikian cantik manis dan gagah perkasa. Diam-diam ia membandingkan Kui Eng dengan Lian Hong, dan biarpun hatinya lebih condong kepada sahabat lamanya itu, namun harus diakuinya bahwa teman

barunya inipun amat menarik dan mengagumkan.

“Ci Kong, sungguh aku minta maaf kepadamu atas peristiwa tadi. Aku tidak berniat buruk sama sekali dan aku lupa diri.”

Kui Eng tersenyum lebar melihat wajah pemuda itu menjadi merah sekali. “Tentu saja engkau tidak berniat buruk dan perbuatanmu itupun tidak
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar