Pedang Naga Kemala Jilid 13

Jilid 13

Akan tetapi Ci Kong seorang pemuda gemblengan yang sejak kecil telah dididik dengan cara-cara Siauw-lim-pai yang keras dan tepat sekali. Biarpun dalam keadaan teramat letih, ketika dia menarik balok itu ke pantai, diam-diam diapun mengatur pernapasan dan mulai menghimpun tenaga agar kekuatannya pulih.

Akhirnya tiang layar itu dapat diseret sampai ke pantai, jauh dari air. Ci Kong menghentikan tarikannya, lalu berlutut di atas pasir dan memeriksa gadis itu. Dia menaruh telapak tangan di depan hidung dan mulut yang tak terbuka itu, dan hatinya terguncang. Gadis itu tak bernapas lagi! Cepat dia meraba nadi pergelangan tangan dan mendapat kenyataan bahwa detik pergelangan itupun lemah sekali. Celaka, pikirnya. Kalau gadis ini tidak cepat bernapas kembali, denyut jantungnya akan makin melemah dan akhirnya berhenti! Dia teringat akan cara pengobatan terhadap orang yang baru saja tenggelam, yang sudah berhenti pernapasannya. Paru-paru orang itu harus dibantu, itulah cara terbaik untuk memaksa orang itu bernapas kembali. Dan untuk membantu bekerjanya paru-paru yang sudah berhenti, cara terbaik adalah meniupkan napas ke dalam paru-paru itu melalui mulut, seperti orang meniup balon.

Tiba-tiba jantungnya   berdebar   dan   mukanya   menjadi   merah.   Mana mungkin dia melakukan cara ini? Cara ini mengharuskan dia menutup lubang hidung gadis itu kemudian meniupkan pernapasan dari mulut ke mulut! Akan tetapi, kalau dia ragu-ragu, terlambat sedikit saja gadis ini akan mati! Ci Kong menoleh ke kanan kiri. Tidak ada orang. Tidak mengapa dia melakukan hal yang nampaknya tidak pantas itu kalau tidak terlihat oleh siapapun juga. Maksudnya kan untuk menyelamatkan nyawa, sama sekali bukan untuk berbuat kurang sopan. Betapapun juga, dia meragu dan diguncangnya pundak gadis itu.

“Nona... nona...! Sadarlah, nona...!”

Akan tetapi ketika dia mengguncang pundak, hanya kepala nona itu yang terkulai ke kanan kiri dengan lemasnya, dan napas itu masih juga belum nampak bekerja! Tentu saja Ci Kong tidak tahu bahwa gadis ini sejak kecil telah dilatih dengan ilmu bermain di dalam air dan telah mempelajari ilmu yang khusus untuk itu, ialah penghentian dan penahanan napas! Berkat latihannya, gadis itu dapat menahan napas sampai lama sekali di dalam air, hal yang tidak dapat dilakukan oleh dia sendiri sekalipun. Karena itulah, sejak tadi Kiki tidak bernapas. Tentu saja bukan karena ia pingsan, melainkan karena kenakalannya untuk menggoda orang, juga untuk melihat apa yang akan dilakukan penolongnya itu.

“Maaf, aku terpaksa harus melakukan ini untuk menolongmu, nona,” tiba- tiba pemuda itu berkata lirih dan kedua tangan yang kuat itu lalu memegang dagu dan memencet hidungnya dan memaksa mulutnya terbuka, kemudian tiba-tiba Kiki merasa betapa mulutnya tertutup oleh sebuah mulut lain.

“Ihhh… dessss…!”

Tubuh Ci Kong terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas pasir ketika tiba-tiba Kiki menendang dan mendorong dadanya dengan kekuatan yang amat dahsyat.

“Ehhh... ahhhh...?”

Ci Kong yang sama sekali tidak menduga hal itu dapat terjadi, tidak dapat menghindarkan dirinya yang ditendang dan didorong sedemikian kerasnya. Ketika tubuhnya terlempar ke atas kemudian terbanting, dia masih bengong dan kini matanya terbelalak memandang kepada Kiki, dan dia terbatuk-batuk keras karena tendangan pada dadanya tadi sungguh amat keras. Kalau bukan dia yang memiliki tubuh kuat terlatih, tentu akan roboh tewas atau setidaknya akan terluka parah.

Kiki sudah meloncat berdiri setelah tadi menendang dan mendorong tubuh Ci Kong. Ia mengalami guncangan batin yang hebat ketika tiba-tiba merasa pemuda itu menempelkan mulut ke mulutnya. Teringatlah ia akan semua pengalamannya ketika penawannya semalam menggelutinya dan menciuminya, juga penawannya itu mencium mulutnya secara menjijikkan sekali. Kini, otomatis ia menggunakan lengan bajunya untuk menggosok-gosok bibirnya, seolah-olah hendak menghapus bekas sentuhan bibir Ci Kong juga sekaligus menghapus semua ciuman yang dilakukan oleh penawannya semalam. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ditujukan kepada Ci Kong dengan penuh kebencian.

“Nona… apa yang kaulakukan tadi…?”

Ci Kong masih kebingungan, karena terkejut dan juga karena kesakitan. “Membunuh manusia macam kamu...!”

Kiki sudah menerjang dengan penuh kemarahan dan kebencian.

“Semua laki-laki sama! Kurang ajar, hanya ingin mempermainkan dan memperkosa wanita! Semua laki-laki harus dibunuh!”

Terjangan itu merupakan pukulan disusul tendangan yang dahsyat sekali. Karena Ci Kong masih belum percaya bahwa gadis yang telah diselamatkan nyawanya itu benar-benar akan menyerangnya, maka diapun masih lengah dan tidak membela diri dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, biarpun dia dapat menghindarkan pukulan, tendangan itu tetap saja singgah di perutnya.

“Dukkk...!”

Kembali dia terjengkang dan terbanting ke atas pasir. Untung pasir itu lunak dan dia sudah bersiap dengan melindungi perutnya menggunakan tenaga dalam sehingga dia hanya terjengkang dan terbanting saja, tidak menderita luka parah. Akan tetapi sebelum dia sempat bangkit, gadis itu seperti harimau betina saja sudah menyerbu lagi dengan tendangan- tendangan berikutnya yang ditujukan ke arah kepalanya. Barulah Ci Kong terkejut setengah mati karena tendangan-tendangan ini adalah tendangan- tendangan maut yang dapat membunuh orang. Cepat dia menggerakkan tubuhnya bergulingan lalu meloncat berdiri.

Ketika gadis itu menyerbu dengan pukulan kedua tangan secara cepat dan bergantian. Ci Kong mengangkat kedua tangannya dan menangkis.

“Dukk! Plakk!”

Dua kali dia menangkis dan tahulah dia bahwa gadis inipun, seperti orang yang menyerangnya semalam, memiliki tenaga sinkang yang kuat, gerakan- gerakan yang cepat dan serangan-serangan yang amat ganas. Jelaslah bahwa gadis ini tidak main-main, karena semua serangannya merupakan serangan maut! Dia merasa penasaran sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang ketika Kiki kembali menerjangnya.

“Tahan dulu, nona. Kalau engkau memang ingin membunuhku, setidaknya katakanlah padaku apa kesalahanku padamu. Jangan membuat aku mati penasaran.”

Mendengar suara yang lembut dan sopan ini, teringatlah Kiki bahwa pemuda ini mungkin tidak bermaksud berbuat tidak sopan, karena bukankah tadi pemuda itu mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya untuk menolongnya? Menempelkan mulut mereka! Ia bergidik.

“Engkau kurang ajar, engkau tiada bedanya dengan penjahat semalam.

Engkau hendak berbuat hina dengan... men... mencium mulutku...!” Akhirnya ia berkata, mukanya berobah merah.

Muka Ci Kong juga berobah merah sekali dan diapun menunduk, menarik napas panjang. Celaka, pikirnya, kiranya ketika dia melakukan usaha meniupkan napas ke paru-paru gadis itu melalui mulutnya, gadis itu sudah siuman dan melihatnya!

“Maaf, nona. Memang aku melakukan itu, akan tetapi bukan untuk berbuat kurang ajar, melainkan untuk menolongmu. Engkau pingsan, dan paru-parumu tidak bekerja, napasmu berhenti. Aku ingin meniupkan napas ke paru-parumu agar bekerja kembali. Dan jalan satu-satunya hanyalah meniupkan melalui mulut dan. ”

“Bohong! Aku tidak pingsan! Paru-paruku tidak macet!” Kiki yang berwatak nakal itu tersenyum mengejek.

“Engkau memang tolol! Tapi agaknya engkau jujur. Benarkah kau kau

tidak bermaksud kurang ajar ketika engkau tadi menempelkan mulutmu ke mulutku?”

Ci Kong menggeleng kepala dengan keras. “Aku bukan manusia macam itu, nona! Kalau tidak melihat engkau pingsan, atau pura-pura pingsan, dan melihat betapa napasmu berhenti, mana mungkin aku berani melakukan hal itu?”

“Benar-benar kau tidak sengaja menciumku karena kurang ajar?” “Tidak!”

“Berani sumpah?” Ci Kong melongo. “Sumpah...?”

“Ya, bersumpahlah bahwa engkau tadi tidak bermaksud mencium aku untuk kurang ajar. Engkau harus bersumpah demi nama baik orang tuamu, menyebutkan namamu dan nama orang tuamu, baru aku mau percaya!”

“Tidak mungkin, nona...”

Kiki mengerutkan alisnya, matanya menyinarkan api kemarahan lagi. “Kenapa tidak mungkin? Berarti kau benar-benar telah...”

“Tidak mungkin… karena ayah ibuku telah lama meninggal dunia.” “Ahh...!”

Jawaban ini sama sekali tidak disangka-sangka Kiki dan sinar matanya kehilangan api kemarahannya, bahkan ada sinar kasihan membayang di wajahnya yang manis.

“Baiklah, kalau begitu… bersumpahlah demi nama baik gurumu dengan menyebut namamu dan nama gurumu.”

Gadis itu teringat bahwa pemuda ini lihai, tentu murid seorang sakti maka tak mungkin berani mempermainkan nama gurunya dan tidak berani berbohong.

“Nona, selama hidupku aku belum pernah bersumpah kecuali ketika menjadi murid suhu, bagaimana untuk urusan begini saja aku harus bersumpah. Untuk apakah? Bagaimana kalau aku bersumpah tanpa menyebut nama suhu segala?”

“Aku takkan percaya! Kalau engkau berani bersumpah demi nama gurumu, barulah aku mau percaya.”

“Kalau aku tidak mau?”

“Aku tidak percaya dan berarti engkau bohong… dan aku akan menyerangmu lagi, biar kita putuskan urusan ini dengan taruhan nyawa. Satu di antara kita akan menggeletak mati di sini!”

Terpaksa Ci Kong tersenyum sedih. Dia sungguh tidak mengerti watak wanita. Pernah dia menyelamatkan seorang gadis dari kematian, yaitu ketika dia menolong Ciu Kui Eng, akan tetapi gadis itupun segera menyerangnya mati-matian. Dan sekarang, dia mati-matian menolong gadis ini, hanya untuk menghadapi sikap yang aneh, bukan hanya memusuhinya, bahkan memaksa dia bersumpah segala dengan ancaman kalau dia menolak, dia akan diajak berkelahi sampai seorang di antara mereka mati. Adakah yang lebih aneh dan gila dari pada ini? Sejenak dia menatap wajah itu, mempelajarinya dan seperti ingin menjenguk isi hati gadis yang berwajah manis ini. Akan tetapi segera pandang matanya melekat pada wajah itu, terutama kemanisan pada mulut yang dihias tahi lalat di pipi itu membuat dia sukar mengalihkan pandang matanya, membuat matanya terus memandang tanpa kedip.

“Heii! Kenapa kau tidak cepat bersumpah malah bengong memandang aku?”

Bentak Kiki dan Ci Kong terkejut. Wajahnya kembali menjadi kemerahan. “Baiklah, baiklah…” Dia mengalah agar cepat selesai berurusan dengan gadis luar biasa ini. “Aku Tan Ci Kong…”

“Ah, jadi namamu Ci Kong dan kau she Tan?”

Ci Kong mengangguk dan mengulang sumpahnya.

“Aku Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu...” “Gurumu itu bernama Nam San Losu, apakah kedudukannya di tempat

perguruanmu?”

Ci Kong mengerutkan alisnya melihat kecerewetan gadis itu, akan tetapi dia menjawab juga.

“Suhu Nam San Losu seorang ketua kuil,” lalu dia melanjutkan dengan mengulang kembali sumpahnya.

“Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauw-lim-pai...”

“Aih, jadi engkau murid Siauw-lim-pai? Pantas engkau lihai! Menurut kata ayah, tokoh Siauw-lim-pai yang paling lihai pada saat ini adalah Siauw-bin-hud. Apamukah Siauw-bin-hud itu?”

Ci Kong menjadi jengkel, akan tetapi ditahannya pula. “Beliau adalah kakek guruku.”

“Hanya kakek guru? Jadi engkau hanya cucu muridnya? Ah, kalau begitu, untung engkau tadi tidak jadi berkelahi dengan aku.”

“Kenapa?”

“Kalau dilanjutkan, tentu engkau akan mati di tanganku. Menurut ayah, kepandaian Siauw-bin-hud itu setingkat dengan ayahku. Aku puteri ayah, berarti muridnya, kepandaianku setingkat lebih rendah dari ayah. Engkau hanya cucu murid Siauw-bin-hud, kepandaianmu tentu dua tingkat lebih rendah, jadi aku setingkat lebih tinggi daripada engkau. Maka, kalau kita berkelahi, engkau tentu akan mati. Eh, kenapa engkau belum juga bersumpah? Apa ingin berkelahi saja?”

Agaknya mendengar bahwa pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, hati Kiki menjadi besar dan memandang rendah.

Ci Kong menjadi gemas bukan main. Ingin rasanya dia membanting topi kalau saja saat itu ada topi di atas kepalanya.

“Nona, sampai setahun di sinipun aku tidak akan dapat bersumpah kalau engkau terus memotong-motong omonganku! Kalau memang engkau ingin aku bersumpah, tutup dulu mulutmu!”

Ci Kong sudah merasa menyesal karena kemarahannya membuat dia mengeluarkan kata-kata kasar, dan dia tidak akan heran kalau gadis itu menjadi marah-marah oleh kekerasannya. Akan tetapi kembali dia melongo saking herannya. Gadis itu sama sekali tidak marah oleh kekasarannya, bahkan tersenyum demikian manisnya. Dia tidak tahu bahwa sejak kecil, Kiki hidup di lingkungan yang kasar dan terbiasa oleh kekerasan, maka bahasa kasar yang dikeluarkan Ci Kong bahkan merupakan bahasa yang amat dikenalnya, sebaliknya sikap halus sopan malah membuat ia tak senang dan curiga.

“Baik, baik, bersumpahlah, Tan Ci Kong, aku yang salah tadi.” kata Kiki sambil terkekeh.

Dengan hati masih mendongkol, Gi Kong terpaksa mengulang kembali sumpahnya.

“Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama baik suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauw-lim-pai...”

“Termasuk Siauw-bin-hud...!” Kiki memotong lagi dan Ci Kong mengangkat telunjuknya memperingatkan, tidak memperdulikan ucapan Kiki dan melanjutkan saja.

“Aku bersumpah bahwa tadi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona... eh, nona yang berdiri di depanku ini, dan aku hanya bermaksud untuk meniupkan napas ke paru-parunya untuk menyelamatkan nyawanya!”

“Apa-apaan itu sumpah tanpa menyebut namaku? Masa hanya nona yang berdiri di depanku?” Kiki mencela.

“Habis aku belum tahu namamu, disuruh menyebut apa?” “Namaku Kiki!”

“Hemm, nama apa itu?”

Ci Kong mengerutkan alisnya, merasa dipermainkan lagi.

“Kau tidak percaya? Namaku Tang Ki… dan semua orang memanggilku Kiki.”

“Ah, kau she Tang? Hemm, apakah ada hubunganmu barangkali dengan Tang Kok Bu yang berjuluk Hai-tok?”

Sepasang mata yang indah jeli itu terbelalak. “Ah, kau sudah mengenal nama ayahku?” “Ayahmu...?”

Ci Kong benar-benar terkejut setengah mati. Dia berhadapan dengan puteri Hai-tok, seorang datuk iblis, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat jahat!

“Ya, kenapa kau kaget?” “Pantas...!”

“Pantas apa? Jangan bicara seperti teka-teki. Hayo katakan, pantas bagaimana?”

Kiki berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali. Bajunya robek sana-sini, basah kuyup melekat pada kulit tubuhnya, dan karena ia berdiri menantang dan membusungkan dada seperti itu, tubuhnya nampak indah menggairahkan, tubuh seorang gadis dewasa yang bagaikan bunga sedang mulai mekar, penuh dengan lekuk lengkung yang indah, tubuh yang penuh dan mulai masak.

Ci Kong adalah seorang pemuda yang sejak kecil dididik kesopanan. Biarpun dia terpesona dan sejenak matanya melekat pada tubuh itu, namun dia cepat menundukkan pandang matanya. Namun, pandang mata yang sekilas itu cukup sudah untuk memancing senyum kemenangan pada bibir Kiki. Sejak peristiwa yang amat mengerikan di perahu semalam, ia telah menjadi dewasa benar dan telah sadar sepenuhnya akan daya tarik pada tubuhnya, sadar bahwa kaum pria kagum kepada wajahnya, kepada tubuhnya. Tadi dalam kagetnya, ingin sekali Ci Kong mengatakan ‘pantas engkau sejahat ini!’, akan tetapi setelah dia secara tak disengaja mengagumi keindahan tubuh Kiki, ingin dia berkata, ‘Pantas engkau begini cantik!’, dan kini dia menahan semua keinginan itu dan berkata.

“Pantas engkau demikian lihai.”

Menerima pujian ini, Kiki nampak senang. Ia seorang anak manja, maka pujian-pujian amat menyenangkan hatinya, apalagi pujian itu keluar dari mulut pemuda yang baru dikenalnya dan yang ternyata amat menarik hatinya ini. Tanpa malu-malu kini Kiki memandangi tubuh Ci Kong, tubuh yang nampak tegap dan kuat, sebagian dada yang nampak karena bajunya terbuka dan robek di bagian pundak, juga karena pakaian itu basah kuyup, maka pakaian itu melekat pada kulit tubuh Ci Kong, membuat tubuhnya nampak jelas lekuk lekungnya.

“Hemm, sama saja. Engkau juga!”

“Tapi aku tidak kehilangan sepatuku dan kau...”

Ci Kong melihat ke arah sepasang kaki yang tidak bersepatu itu, kaki yang mungil, kecil dan putih kemerahan. Jantungnya tergetar dan kembali dia memaksa pandang matanya untuk lari dari kaki itu.

Kiki meloncorkan kakinya bergantian.

“Sialan! Dan aku tidak punya sepatu lain, juga semua buntalan pakaianku lenyap. Gara-gara si keparat jahanam itu! Hemm, siapa dia? Tahukah engkau?”

Ci Kong menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, nona.”

“Ci Kong, apa maksudmu dengan nona-nonaan? Kau bukan anak buah ayahku. Kalau anak buah ayahku harus menyebut Siocia, akan tetapi kau bukan, maka kau tidak boleh menyebut nona-nona segala, membuat aku merasa canggung. Namaku Kiki, lupakah kau?”

Ci Kong gelagapan. Belum pernah selamanya dia berdekatan dengan wanita, dan sekali berdekatan, dia bertemu dengan seorang gadis yang begini aneh luar biasa.

“Baiklah, ki… eh… Tang Ki… eh…” “Kiki!”

“Oya, Kiki.”

“Kau tidak mengenal orang itu? Bagaimana rupanya? Engkau tadi berkelahi dengan dia, tentu engkau tahu bagaimana rupa orang itu. Aku hendak mencarinya dan kalau dapat kutemukan, akan kurobek-robek mulutnya sampai hancur lebur, akan kucabut hidungnya dan kuberikan kepada burung gagak, kulumatkan kepalanya... ku...”

“Aku tidak dapat melihat mukanya, non... eh, Kiki. Cuaca amat gelap,” potong Ci Kong yang merasa ngeri mendengar ancaman-ancaman sadis itu.

“Sayang sekali! Tapi tentu engkau dapat mengenal bagaimana bentuk tubuhnya, apa pakaiannya dan bagaimana ciri-cirinya!”

Tiba-tiba gadis itu menghentakkan kakinya ke atas pasir. “Hayaaa, kiranya engkau ini orang bodoh sekali, Ci Kong!”

Ci Kong terkejut lagi, tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba memakinya bodoh.

“Aku... bodoh...?”

“Ya, bodoh sekali. Engkau hanya bilang tidak tahu, tidak tahu, kau bodoh sekali, dan aku paling benci sama orang bodoh!”

Ci Kong menghela napas panjang.

“Apa boleh buat, memang aku bodoh. Akan tetapi kalau engkau merasa dingin dan perlu mengganti pakaianmu untuk sementara agar engkau dapat menjahit bagian yang robek dan dapat mencuci bersih lalu menjemurnya, aku masih mempunyai bekal pakaian untuk sementara kaupakai.”

Berkata demikian, Ci Kong lalu mengambil buntalan pakaiannya yang disimpan tak jauh dari situ. Wajah Kiki nampak berseri gembira.

“Ah, bagus sekali, Ci Kong. Memang pakaianku ini perlu dicuci, dijemur dan dijahit. Wah, pakaianmu semua begini sederhana, seperti pakaian petani gunung. Pantasnya engkau dahulu menjadi hwesio Siauw-lim-si saja,” kata Kiki sambil memilih-milih satu stel pakaian.

Ci Kong tersenyum. Dalam keadaan biasa seperti itu, harus diakuinya bahwa Kiki merupakan seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. “Memang aku nyaris menjadi hwesio, Kiki. Nah, kauganti pakaianmu, biar

aku bersembunyi dulu…”

Pemuda itu hendak melangkah pergi.

“Jangan pergi!” tiba-tiba Kiki membentak.

“Kaukira aku dapat kautipu? Nah, berdiri saja di situ, akan tetapi engkau harus membelakangi aku. Awas, jangan berbalik sebelum aku mengatakan selesai!”

Ci Kong tertegun, akan tetapi menahan senyum dan berdiri di tempatnya dan membalikkan punggung membelakangi gadis aneh itu. Kiki lalu menanggalkan semua pakaiannya yang basah kuyup, terus mengintai ke arah Ci Kong tanpa kedip, dan tergesa-gesa mengenakan pakaian Ci Kong yang sederhana itu. Tentu saja terlalu besar dan kedodoran, akan tetapi bagaimanapun juga, pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dan ia merasa hangat oleh pakaian kering itu.

“Sudah selesai, kau boleh berbalik.”

Ci Kong berbalik dan sudah menahan diri agar tidak ketawa. Akan tetapi dia memang tidak perlu tertawa. Gadis itu dalam pakaian yang kebesaran tidak nampak menggelikan, bahkan nampak makin manis saja!

“Kiki, kenapa tadi kau bilang bahwa aku hendak menipumu?” Ci Kong yang merasa penasaran menuntut keterangan.

“Semua laki-laki sama saja! Genit dan ceriwis! Pernah ada dua orang anak buah ayah kuhajar sampai hampir mampus karena mereka itu mengintai ketika aku mandi. Laki-laki paling suka mengintai wanita mandi atau tukar pakaian, dan kaupun seorang laki-laki. Kau bilang mau pergi, siapa tahu engkau hanya sembunyi agar dapat mengintai aku selagi aku bertukar pakaian?”

Hampir saja Ci Kong marah oleh tuduhan ini kalau dia tidak ingat bahwa gadis ini memang berwatak aneh, kekanak-kanakan dan kolokan sekali. Maka dia hanya tersenyum.

“Aku bukan laki-laki semacam itu, Kiki. Nah, sekarang aku yang mau berganti pakaian.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia lalu pergi ke belakang batu-batu karang besar dan disana dia berganti pakaian kering. Ketika dia kembali, Kiki nampak cemberut.

“Eh, kau mengapa?” Ci Kong bertanya.

“Kau memang bodoh. Aku bisa mencuci dan menjemur pakaianku ini, akan tetapi bagaimana dapat menjahit yang robek?”

Ci Kong tersenyum. Disebut bodoh berkali-kali baginya kini tidak terasa seperti penghinaan, bahkan seperti kelakar saja, seperti kelakar sayang antara sahabat!

“Mungkin aku bodoh, akan tetapi kalau engkau butuh jarum dan benang, inilah!”

Ci Kong mengeluarkan jarum yang sudah ada benangnya cukup panjang dan menyerahkan benda itu kepada Kiki. Dia memang selalu membawa bekal jarum dan benang dalam buntalan pakaiannya. Kiki menerima benda itu dan agaknya lupa bahwa ia sudah mengatakan bodoh kepada Ci Kong, kini ia asyik mencoba untuk menjahit bagian pakaiannya yang robek. Akan tetapi Kiki adalah puteri tunggal Hai-tok Tang Kok Bu yang kaya raya. Sejak kecil ia dimanja dan dikelilingi pelayan-pelayan yang mengerjakan segala pekerjaan, mana ia pernah berkenalan dan menjamah jarum dan benang? Baru beberapa tusukan saja, tiba-tiba ia menjerit dan ibu jari tangan kirinya berdarah karena tertusuk jarum.

Diam-diam Ci Kong merasa geli, akan tetapi dia tidak berani mentertawakan, hanya mendekati dan berkata.

“Biarkan aku yang menjahitkan bajumu yang robek itu, Kiki. Aku sudah biasa menjahit.”

Tanpa berkata apa-apa, Kiki menyerahkan bajunya, dan Ci Kong lalu mulai menjahit bagian yang terobek dengan rapinya. Kiki menghisap sedikit darah dari ibu jari yang tertusuk jarum tadi, kemudian nonton pemuda itu menjahit dengan pandang mata kagum. Akan tetapi ia hanya pandai mencela, tidak pandai memuji sama sekali.

Setelah bajunya selesai dijahit, gadis itu lalu diajak oleh Ci Kong menuju ke sebuah sumber air yang berada di lereng bukit kecil dekat pantai untuk mencuci pakaiannya. Sambil menanti pakaiannya kering, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon sambil berteduh dari serangan panas matahari yang sudah naik tinggi. Kiki tidak menolak ketika Ci Kong menawarkan roti kering dan dendeng, dimakan sedikit-sedikit sambil didorong teh cair yang dibuat Ci Kong pagi tadi.

“Engkau tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kaki telanjang, Kiki. Kaupakailah sepatuku. Lumayan untuk sementara dapat melindungi kakimu.”

“Sepatumu itu terlalu besar, mana bisa kupakai?”

“Mudah saja, dapat diganjal rumput kering. Nih, cobalah, kucarikan pengganjalnya.”

Biarpun nampak lucu karena sepatu itu kebesaran, dapat juga dipakai oleh Kiki, dan tak lama kemudian pakaiannya juga sudah kering. Kini ia berganti pakaian di belakang batu-batu karang seperti yang dilakukan Ci Kong tadi tanpa banyak rewel, sehingga diam-diam hati Ci Kong merasa girang. Setelah gadis itu muncul dari balik batu, memakai pakaiannya sendiri dan mengembalikan pakaian Ci Kong, gadis itu tersenyum gembira. Hanya sepatunya yang lucu, akan tetapi ia nampak cantik walaupun mukanya tidak dirias dan rambutnya masih awut-awutan.

“Sekarang aku akan pergi,” kata Kiki.

Diam-diam Ci Kong terkejut dan dia merasa heran bukan main mengapa hatinya terasa tiba-tiba kosong dan kesepian mendengar betapa gadis ini mau pergi meninggalkannya. Akan tetapi dia menekan perasaan ini dan mengangguk.

“Harap engkau berhati-hati di dalam perjalanan, Kiki. Banyak orang jahat berkeliaran.”

Akan tetapi dia merasa menyesal mengeluarkan ucapan ini tanpa ingat bahwa yang diberi nasihat itu adalah puteri seorang datuk iblis, seorang tokoh kaum sesat! Kiki terkekeh.

“Aku sendiri puteri seorang datuk, masa takut terhadap orang jahat? Yang kutakuti adalah orang-orang yang pura-pura dan yang menyerangku dari dalam gelap.” Ia bergidik teringat penjahat di dalam perahu semalam.

“Kau hendak pergi kemanakah?”

Ci Kong tak dapat menahan hatinya bertanya.

“Aku hendak merantau... eh, baru aku ingat. Engkau begini lihai, tentu engkau banyak mengenal tokoh kang-ouw, bukan? Ci Kong, apa engkau mengenal seorang bernama Koan Jit, murid pertama dari Thian-tok?” Ci Kong terkejut, dan baru dia teringat bahwa gadis ini puteri Hai-tok, tentu saja mengenal Thian-tok dan murid-muridnya. Akan tetapi dia menekan perasaannya yang menegang dan menjawab.

“Aku pernah mendengar namanya. Apakah engkau mengenal dia, Kiki? Dan mau apa engkau mencari dia? Kabarnya dia itu lihai dan berbahaya sekali.” Dan kini Ci Kong mendengar jawaban yang membuat dia kembali bengong. “Aku cari dia karena dia telah melarikan pusaka Giok-liong-kiam. Ayah

menyuruh aku mencarinya dan minta pusaka itu dari tangannya.” “Kalau dia tidak menyerahkan?”

“Hemm, akan kujewer telinganya dan kuhajar dia sampai kapok dan kurampas pusaka itu.”

Hampir saja Ci Kong tertawa. Dia tidak percaya kalau Hai-tok yang menyuruh gadis ini pergi sendiri saja mencari Koan Jit. Seorang gadis yang masih begini mentah, yang seolah-olah seekor burung yang baru belajar terbang, tidak tahu tingginya langit dalamnya lautan luasnya bumi, disuruh mencari Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam? Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengejek.

“Kiki, hati-hatilah. Seluruh tokoh kang-ouw mencari-cari Koan Jit itu, dan semua orang pandai siap memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam. Engkau baru berjumpa dengan aku saja sudah berani membicarakan urusan pusaka itu. Kalau orang lain yang mendengarnya, engkau bisa celaka.”

“Aihhh, kaukira aku anak kecil? Kalau aku bicara terus terang denganmu, itu karena aku percaya padamu, tahu bahwa engkau seorang baik, apalagi engkau murid Siauw-lim-pai walaupun murid tingkat rendahan saja. Sudahlah, katakan saja apakah kau tahu dimana dia berada?”

“Hek-eng-mo Koan Jit? Aku tidak tahu, Kiki… sungguh aku sendiri tidak tahu...”

Ci Kong termenung, karena dia sendiripun tidak pernah berhasil mencari tokoh itu. Dia sendiripun ingin dapat menemukan tokoh itu dan mencoba untuk merampas kembali pusaka Giok-liong-kiam untuk membersihkan nama Siauw- bin-hud.

“Sudahlah, mana kau tahu? Biar aku cari sendiri. Nah, selamat berpisah, Ci Kong, engkau baik sekali, lain waktu kita bertemu kembali,” kata Kiki dan gadis ini sudah membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi. Akan tetapi baru beberapa langkah, ia seperti teringat akan sesuatu dan berhenti, lalu berbalik. “Ci Kong, engkau sudah bersumpah. Jadi benar engkau tidak menciumku, melainkan hendak meniupkan napas ke dalam paru-paruku yang kaukira

macet?”

Tentu saja Ci Kong terheran, akan tetapi dia mengangguk. “Benar.”

“Jadi engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?” Sepasang mata pemuda itu terbelalak.

“Ah, Kiki... itu... itu... tidak sopan namanya. Kita baru saja bertemu, mana aku berani melakukan perbuatan yang melanggar tata susila itu?”

Kiki tersenyum, akan tetapi sepasang matanya memandang penuh selidik, dan Ci Kong merasa seolah-olah sinar mata gadis itu dapat menembus ke dalam ruang dadanya dan melongok, mengintai isi hatinya.

“Andaikata kita sudah berkenalan lama, kita sudah menjadi sahabat, apakah engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?”

Tentu saja pertanyaan ini seolah-olah sebatang pedang yang ditodongkan di depan hidung pemuda itu. Dan dia tidak mau menjawab, bahkan masih bengong saking kaget dan herannya.

“Aku... aku... ah, aku tidak tahu...”

Gadis itu mengerutkan alisnya. Jawaban ini mengesalkan hatinya. Entah bagaimana, ia merasa bahwa andaikata Ci Kong menciumnya, seperti yang dilakukan penjahat dalam perahu, mencium dengan lembut bukan paksaan, agaknya... ia tidak akan menolak dan akan merasa senang sekali. Akan tetapi tentu saja, Ci Kong tidak tahu!

“Tentu saja engkau tidak tahu, memang kau bodoh! Sudah kuketahui itu sejak tadi.”

Dan gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, hatinya kecewa dan mendongkol, kakinya agak terpincang-pincang karena sepatu yang diganjal itu sungguh tidak enak rasanya, sama tidak enaknya dengan perasaan hatinya.

Sejenak Ci Kong bengong mengikuti tubuh Kiki dengan pandang matanya, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memegangi kepala dengan kedua tangan.

“Memang aku bodoh...!”

Dan ini bukan pura-pura. Dia merasa benar-benar bodoh dan tidak mengerti sama sekali akan sikap Kiki!

Setelah gadis itu tidak nampak bayangannya lagi, Ci Kong membayangkan wajah Kiki dan juga wajah Kui Eng. Ketika dia berjumpa dengan Kui Eng, diapun dibikin bingung dan tidak mengerti akan sikap gadis itu. Kini, bertemu dengan Kiki, dia menjadi semakin bingung. Betapa anehnya dan luar biasanya mahluk yang disebut wanita itu. Aneh, luar biasa, berbahaya, dan amat menarik hati! Dulu diapun tertarik sekali kepada Kui Eng, dan sekarang dia lebih tertarik lagi kepada Kiki, dengan wataknya yang angin-anginan, kekanak- kanakan, keminter, dan... mengguncangkan kalbu itu.

Sesuai dengan petunjuk yang diterima suhunya, Lian Hong menyelidiki jejak Koan Jit di selatan, karena perjalanannya itu membawanya ke daerah Kanton, maka timbul keinginan hatinya untuk menjenguk makam ayah ibunya di luar kota Tung-kang, di sebuah tanah kuburan umum untuk orang-orang dusun yang sederhana. Kuburan ini memang berada di tempat sunyi di luar kota, dimana terdapat daerah perbukitan batu yang tandus dan banyak terdapat guha-guha di situ, disebut guha kelelawar karena di situ terdapat banyak kelelawar sehingga tempatnya menjadi kotor menyeramkan. Jarang ada orang suka mendatangi tempat ini, kecuali mereka yang mengunjungi kuburan nenek moyang pada waktu-waktu tertentu. Perbukitan tandus itupun jarang didatangi orang karena tidak ada pohon, tidak ada kayu, yang ada hanya batu-batu besar. Daerah yang amat tandus dan mati.

Dalam perjalanannya yang lalu ketika ia mencari jejak Koan Jit, ia pernah datang ke makam orang tuanya dan telah ditemukannya makam itu menurut petunjuk penduduk Tung-kang. Oleh karena itu, kini ia langsung saja pergi ke tanah kuburan itu walaupun hari telah menjelang senja. Bahkan ia mengambil keputusan untuk bermalam di kuburan orang tuanya malam itu.

Akan tetapi, baru saja Lian Hong tiba di luar pagar, ia berhenti melangkah, bahkan cepat menyelinap di antara nisan-nisan yang ada di tanah kuburan itu, karena ia melihat ada seorang gadis sendirian sedang berlutut di depan makam ayah ibunya! Tentu saja ia merasa terkejut dan heran sekali. Setahunya, ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga kecuali dirinya. Siapakah gadis itu? Dan mengapa pula gadis itu mem beri penghormatan kepada makam ayah bundanya? Karena merasa curiga, Lian Hong menyelinap dan segera menyusup-nyusup mendekat sambil bersembunyi, lalu mengintai dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Gadis itu cantik sekali dan sebaya dengan ia sendiri. Wajahnya manis sekali dengan sepasang mata yang tajam dan jeli seperti bintang kejora. Akan tetapi melihat sikapnya, Lian Hong dapat menduga bahwa agaknya gadis ini bukan seorang gadis yang lemah. Yang membuat ia keheranan adalah ketika ia mendengar kata-kata bisikan yang keluar dari mulut gadis itu.

“Ji-wi tentu tidak mengenal aku,” demikian gadis cantik itu berbisik, seolah-olah sedang bicara kepada ayah bunda Lian Hong yang terus mengintai. “Akan tetapi aku tahu bahwa ji-wi adalah guru silat Siauw  Teng  dan isterinya yang dulu tinggal di Tung-kang, dan yang tewas karena perbuatan jahat mendiang ayahku Ciu Lok Tai. Ayah dan seluruh keluarganya telah binasa. Oleh karena itu aku, Ciu Kui Eng, sebagai anak tunggalnya, sengaja mendatangi kuburan para korbannya untuk mintakan ampun bagi ayah agar

arwahnya tidak terlalu tersiksa di alam baka.”

Mendengar bisikan ini, hati Lian Hong merasa terharu. Ah, kiranya inilah puteri Ciu Lok Tai hartawan yang dulu menjadi penyebab kematian ayah bundanya! Puterinya yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi itu. Dan kini, puteri hartawan itu mintakan ampun untuk dosa-dosa mendiang ayahnya kepada para korban ayahnya. Melihat ini saja sudah mendatangkan perasaan suka dan kasihan dalam hati Lian Hong.

Tidak, ia tidak akan memusuhi gadis ini, biarpun tadinya memang ia mengandung maksud untuk menegur dan meminta pertanggungan jawab puteri keluarga Ciu atas dosa yang dilakukan Ciu Lok Tai terhadap orang tuanya. Gadis ini tidak tahu apa-apa dan ketika perbuatan keji ayahnya berlangsung, tentu gadis ini masih kecil, sama dengan ia. Gadis ini tidak tahu apa-apa, dan tidak adillah kalau gadis ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan jahat ayahnya. Melihat kini Kui Eng minta ampun untuk ayahnya di depan kuburan itu, terhapuslah sudah semua ganjalan hati Lian Hong. Ia tidak lagi menganggap keluarga yang tinggal satu-satunya ini sebagai musuh dan musuhnya hanya tinggal dua nama lagi, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun!

Sudah timbul keinginan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya, untuk memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan dengan gadis cantik itu, ketika tiba-tiba ia tertarik melihat berkelebatnya bayangan orang di seberang. Kemudian terdengar suara ketawa dan tahu-tahu telah meloncat seorang laki-laki di dekat Ciu Kui Eng yang juga terkejut dan gadis itu sudah meloncat bangun menghadapi laki-laki itu. Lian Hong tetap bersembunyi dan menonton dengan hati tegang. Melihat kemunculan laki-laki itu, Lian Hong dapat menduga bahwa laki-laki itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ia tadi hanya melihat bayangan saja berkelebat dan tahu-tahu laki-laki itu telah berada di dekat Kui Eng.

Laki-laki itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang berkulit kehitaman itu jelas membayangkan kekejaman, matanya yang mencorong hijau itu dan senyumnya yang sinis membayangkan kelicikan. Kepalanya mengenakan sebuah topi batok dan rambutnya yang gemuk hitam dikuncir, keluar dari belakang topinya dan melilit lehernya. Matanya yang mencorong seperti mata kucing atau mata burung hantu di waktu malam itu memandang ke arah Kui Eng dengan penuh kagum dan senyumnya makin menyeringai sadis.

Melihat munculnya orang yang tak dikenalnya ini, yang memandangnya seperti itu dengan mulut menyeringai, Kui Eng menjadi marah.

“Bangsat dari manakah berani mengangguku!” bentaknya, siap untuk menyerang.

Akan tetapi laki-laki itu malah terkekeh, suara ketawanya seperti burung hantu, dan hal ini tentu saja membuat Kui Eng merasa ngeri dan memandang tajam dan penuh keheranan, menduga-duga apakah yang dihadapinya ini bukan orang gila! Akan tetapi, tiba-tiba pria itu mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tempat itu.

Lian Hong yang berada dalam tempat persembunyiannya, terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang keras. Tahulah ia bahwa pria itu telah mempergunakan tenaga khikang dalam suaranya, dan suara itu merupakan serangan yang ganas dan berbahaya sekali. Maka iapun cepat menahan napas mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung dan telinganya.

Kui Eng juga terkejut bukan main karena ia merasa betapa jantungnya terguncang. Ia yang berdiri dekat pria itu dan yang menjadi sasaran serangan lengkingan itu, hampir saja roboh. Akan tetapi, sebagai murid Tee-tok yang sakti, tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi serangan tiba-tiba itu. Serangan suara itu datangnya terlalu mendadak sehingga ia kedahuluan atau kecurian, cepat ia mengerahkan sinkang dan memejamkan mata untuk beberapa detik. Inilah yang mencelakakannya. Dan agaknya ini pula yang telah diperhitungkan dengan masak oleh pria yang nampaknya amat cerdik itu.

Begitu Kui Eng memejamkan mata, pria itu sudah mengeluarkan sehelai saputangan merah yang sudah dipersiapkannya, dan sekali mengebutkan sapu tangan di depan muka Kui Eng, ada bubuk merah yang baunya harum keras memasuki hidung gadis itu. Kui Eng terkejut, maklum apa artinya itu ketika hidungnya menyedot bau harum keras. Ia mengeluarkan teriakan dan meloncat ke belakang, akan tetapi ia terhuyung karena mulai dipengaruhi bubuk racun pembius. Ia seorang gadis yang lihai dan kuat, maka racun bubuk itu tidak membuatnya roboh, hanya terhuyung dengan kepala pening.

Dan agaknya inipun sudah diperhitungkan oleh pria itu, karena dengan langkahnya yang lebar, dia telah mengejar dan menyerang dengan kedua tangannya yang besar. Dua lengan yang panjang itu bagaikan ular-ular hitam meluncur. Andaikata ia tidak berada dalam keadaan pening, tentu Kui Eng tidak akan mudah dirobohkan. Akan tetapi gadis ini telah kecurian, telah menyedot bubuk racun pembius sehingga menghadapi serangan dua tangan itu, ia tidak mampu mempertahankan diri. Sebuah totokan pada pundaknya membuat ia terkulai lemas.

“Heh-heh-heh!”

Pria itu lalu menyambar tubuh Kui Eng, dipanggulnya dan dibawanya lari pergi dari kuburan itu.

Lian Hong terkejut bukan main. Ia sendiripun tadi mengerahkan tenaga melindungi dirinya dari serangan suara maut itu. Dan melihat betapa Kui Eng ditawan, tentu saja timbul niat hatinya untuk membantu gadis itu. Akan tetapi ia teringat. Bagaimanapun juga, Kui Eng adalah puteri seorang yang amat kejam. Ia tidak mengenal Kui Eng dan belum tahu bagaimana watak gadis itu. Iapun tidak mengenal pria itu dan tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka. Ia tidak tahu siapa yang bersalah di antara keduanya maka kini timbul perbuatan itu. Siapa tahu kalau-kalau Kui Eng yang telah melakukan kesalahan dan pria itu datang untuk menangkapnya atau membalas dendam? Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono dalam mencampuri urusan dua orang yang belum dikenalnya.

Maka Lian Hong cepat membayangi tubuh pria yang melarikan Kui Eng. Orang itu, biarpun memanggul tubuh seorang gadis, dapat bergerak cepat bukan main, berloncatan di antara batu-batu yang besar seperti seekor kera saja. Akan tetapi Lian Hong juga seorang gadis yang memiliki ginkang yang tinggi sehingga tidak terlalu sukar baginya untuk membayangi terus.

Tiba-tiba saja ia kehilangan orang yang dibayanginya. Lian Hong terkejut. Cepat ia menghampiri tempat dimana bayangan tinggi kurus itu melenyapkan diri. Ia hanya melihat sekumpulan batu-batu yang besar. Sama sekali tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri, akan tetapi tiba-tiba saja orang itu telah lenyap. Lian Hong merasa penasaran dan ia mencari-cari, menjenguk ke belakang setiap batu besar. Namun orang itu bersama tubuh Kui Eng lenyap seperti pandai menghilang saja!

Lian Hong yang merasa penasaran dan khawatir akan keselamatan Kui Eng, tidak mau meninggalkan bukit itu, terus berkeliaran mencari-cari. Sampai lama ia mencari, sampai senja mulai membawa kegelapan menyelimuti bukit, tetap saja ia tidak berhasil menemukan pria yang melarikan Kui Eng. Ia mulai putus harapan dan mulai mengira bahwa tentu laki-laki itu memiliki jalan rahasia, dan kini tentu sudah jauh meninggalkan tempat itu. Ia mulai melihat- lihat ke sekeliling bawah bukit, berniat untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke kuburan orang tuanya ketika tiba-tiba ia mendengar jerit suara wanita yang keluar dari dalam bukit, dari bawah tanah yang dipijaknya!

Lian Hong meloncat dengan kaget. Bayangan itu tadi lenyap seperti ditelan bumi dan kini ada suara jeritan wanita dari bawah bumi. Ditelan bumi! Ah, tentu saja! Kenapa ia begitu bodoh? Satu-satunya tempat dimana orang tadi melenyapkan diri, tentu di dalam bukit di bawah bumi, di bawah batu-batu itu. Tentu ada jalan rahasia ke situ.

Terdorong oleh jeritan tadi yang ia duga tentu suara Kui Eng, Lian Hong mulai mencari-cari, mengguncang setiap potong batu, meraba-raba di dalam cuaca yang mulai gelap. Ia hampir putus asa karena batu-batu itu tidak ada yang menyembunyikan rahasia ketika tiba-tiba ada sinar mencorong dari celah- celah antara batu. Ia merasa girang sekali dan cepat ia meloncat mendekati batu-batu itu. Tak salah lagi. Ada sinar terang menyorot keluar melalui celah- celah batu, sinar yang datangnya dari bawah! Dengan hati-hati iapun mempergunakan tangannya yang dialiri tenaga sinkang untuk menggeser batu besar dan ia berhasil! Di balik batu besar itu terdapat sebuah lubang terowongan ke bawah tanah! Dengan hati-hati sekali, Lian Hong lalu menuruni lubang itu dan ternyata terdapat tangga batu menuju ke bawah dan ia dapat merayap ke bawah dituntun oleh sinar terang yang menyorot dari bawah.

Akhirnya, tangga batu itu membawanya ke sebuah ruangan yang garis tengahnya tidak kurang dari enam meter, dan ketika ia mengintai, hampir saja ia mengeluarkan seruan keras karena kaget, ngeri dan marah. Lian Hong mengintai dari balik pintu batu, dengan alis berkerutdan mata mencorong marah memandang ke dalam.

Di tengah ruangan itu nampak Kui Eng berdiri dengan kedua lengan tergantung. Kedua pergelangan tangannya terikat ke atas dan tergantung, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Dan pakaian gadis itu sudah robek- robek membuatnya hampir telanjang. Bagian-bagian tubuh gadis itu nampak jelas di antara robekan-robekan yang membuat pakaian itu cabik-cabik dan hampir tanggal dari tubuhnya. Wajah gadis itu pucat sekali dan nampak titik- titik air mata membasahi mata dan kedua pipinya. Dan kini gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut menggigil ketika laki-laki tinggi kurus itu mengeluarkan seekor tikus yang dipegang pada ekornya sehingga tikus itu menggeliat-geliat ingin lepas.

Pria itu berdiri sambil bersandar dinding batu. Sepasang matanya makin mencorong mengerikan, seperti mata setan ketika tertimpa sinar obor yang bernyala di atasnya. Mulutnya tersenyum sinis penuh kekejaman. Lebih mengerikan lagi, seekor ular besar melingkar di lehernya, dan kepala ular itupun terjulur kedepan, lidahnya keluar masuk seolah-olah ular itupun menggoda Kui Eng, hendak menjilati atau mematuk.

“Heh-heh-heh, Ciu Kui Eng, engkau masih berkeras kepala? Menyerahlah dengan baik-baik, dan aku akan menjadikan engkau isteri atau sekutu yang akan hidup penuh dengan kesenangan dan kemuliaan. Mari kita bina bersama, kita kejar kedudukan yang tinggi di dunia ini. Aku murid Thian-tok dan engkau murid Tee-tok, bukankah kalau kita berjodoh sudah tepat sekali? Untuk apa engkau ingin merebut Giok-liong-kiam dariku? Engkau takkan menang. Bukankah lebih baik kalau kita menjaganya bersama? Marilah, sayang, marilah manis, aku cinta padamu.”

“Koan Kit, manusia iblis! Aku tidak sudi! Lebih baik bunuh saja aku. Aku tidak takut mati. Aku tidak sudi menjadi isterimu, aku tidak sudi kausentuh!”

Pria itu ternyata adalah Koan Jit! Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Lian Hong. Kenyataan-kenyataan yang amat mengejutkan hatinya. Kiranya pria ini adalah Koan Jit, orang yang selama ini dicarinya! Dan lebih mengejutkan lagi, kiranya Kui Eng adalah murid Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia! Akan tetapi iapun melihat sikap Kui Eng yang menolak ajakan keji dari Koan Jit.

“Heh-heh-heh, nona manis. Aku sudah menyentuhmu sejak tadi, heh-heh. Kalau aku mau, sejak tadi aku sudah dapat memilikimu secara paksa. Akan tetapi aku tidak senang memaksa. Aku tidak ingin membunuhmu. Engkau merupakan pembantu yang amat baik. Kalau aku memperkosamu, tentu engkau akan kubunuh kemudian. Tiada gunanya. Sayang memperkosa seorang lihai sepertimu. Kalau aku butuh wanita, dengan mudah sekarang juga aku akan dapat memilih di antara mereka dimana saja. Akan tetapi aku butuh pembantu, butuh sekutu dan isteri. Dan kaulah yang tepat menjadi orang itu.”

“Aku tidak sudi! Lebih baik mati!” “Lihat ini!

Koan Jit mendekatkan tikus ke leher Kui Eng sehingga gadis itu mengeluarkan rintihan geli dan takut.

“Kauboleh pilih. Kusiksa dengan tikus dan ular ini sampai engkau hidup tidak matipun tidak dan pikiranmu akan berobah, membuatmu menjadi gila lalu kau kubebaskan sebagai orang gila yang telanjang bulat? Ataukah kuperkosa engkau dengan cara yang paling keji sehingga akhirnya engkaupun akan menjadi gila? Atau kupergunakan obat racun perangsang sehingga akhirnya engkaupun akan menyerahkan dirimu dalam keadaan tidak sadar dan terus setiap hari kujejali obat perangsang yang akhirnya akan meracuni dirimu dan membuat engkau menjadi gila lelaki? Atau kuserahkan engkau kepada anak buahku, orang-orang buas dan kasar, agar engkau dikeroyok oleh puluhan orang dari mereka dan akhirnya mampus dalam keadaan yang amat terhina? Nah, kaupilih antara semua itu, ataukah engkau mau menyerahkan diri rela kepadaku, menjadi isteri dengan suka, sekutu dan pembantuku yang terhormat? Nah, pilihlah sebelum terlambat.”

Setelah berkata demikian, untuk menambah pengaruh ucapannya tadi, Koan Jit menggeser-geserkan tikus hidup itu di leher, dada dan perut Kui Eng. Tentu saja Kui Eng merasa jijik bukan main, jijik, geli dan ngeri sampai ia menggelinjang-gelinjang kegelian.

Melihat gadis ini menggelinjang dan menggeliat, sepasang mata Koan Jit makin mencorong penuh nafsu yang mendidih. Tadi dia kurang berhasil ketika menggunakan ular. Ternyata Kui Eng, yang sudah biasa dahulu dilatih oleh gurunya mempergunakan banyak ular, tidak takut dan tidak ngeri melihat ular. Akan tetapi begitu dia mempergunakan seekor tikus, gadis yang gagah perkasa dan tidak takut mati ini menggelinjang-gelinjang penuh kengerian.

“Heh-heh-heh, pilihlah, manis, heh-heh-heh!”

Koan Jit girang sekali melihat usahanya memaksa Kui Eng hampir berhasil dan makin giat dia menggeser-geserkan tikus hidup itu ke bagian-bagian tubuh yang paling peka.

Sudah cukup bagi Lian Hong menonton semua itu. Ia kini yakin benar bahwa laki-laki tinggi kurus itu adalah Koan Jit, pencuri Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok dan orang yang selama ini dicari-carinya. Dan iapun sudah melihat betapa Kui Eng, walaupun puteri seorang hartawan jahat, walaupun murid Tee-tok, ternyata merupakan seorang gadis yang cukup baik. Gadis itu telah menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan ayahnya dan telah memperlihatkan kebaikan hatinya dengan mintakan ampun untuk arwah ayahnya di depan kuburan korban-korban ayahnya.

Dan kini, setelah tertawan oleh Koan Jit, gadis itu menolak semua bujuk rayu Koan Jit untuk membantunya, bahkan memilih mati dari pada dijamah oleh penjahat berwatak iblis itu. Dua syarat ini cukup untuk menganggap Kui Eng seorang gadis yang baik dan patut diselamatkan dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut bagi seorang gadis terhormat.

Lian Hong bukan seorang gadis yang sembrono. Tidak, biarpun ia pendiam dan sederhana, namun ia seorang yang amat cerdik. San-tok, gurunya yang pernah menjadi datuk iblis itu, telah mendidiknya dengan tekun, bukan hanya dalam ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga telah memberi tahu tentang segala kecurangan dan akal busuk di dunia persilatan kaum sesat. Ia sudah memperhitungkan masak-masak lebih dahulu sebelum bergerak. Ia dapat melihat tadi cara Koan Jit merobohkan Kui Eng, dan tahulah ia bahwa Koan Jit adalah seorang yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat curang dan penuh muslihat.

Oleh karena itu, kalau ia maju begitu saja menyerang Koan Jit dengan kekerasan, banyak sekali bahayanya dan mungkin saja ia tidak akan berhasil menolong Kui Eng, malah ia bisa tertawan pula. Dan ia harus berhasil menolong Kui Eng. Kalau gadis murid Tee-tok itu dapat ia bebaskan dari belenggu, maka mereka berdua tentu akan dapat mengalahkan Koan Jit. Maka iapun cepat menyelinap meninggalkan tempat pengintaiannya.

“Heii, tikus Koan Jit! Kalau memang gagah, jangan hanya mengganggu wanita, hayo keluar dan terima binasa!”

Tentu saja Koam Jit kaget dan marah mendengar suara pria yang berat ini, yang datangnya dari atas dan suaranya menerobos memasuki terowongan. Dimaki dan ditantang begitu, dia kehilangan nafsu berahinya yang berubah menjadi nafsu amarah. Dengan geram, dia membanting binatang tikus yang tadi dipergunakannya untuk menggoda Kui Eng ke atas lantai sehingga tubuh binatang itu hancur berantakan dan darahnya muncrat kemana-mana, kemudiandia meloncat keluar dari ruangan itu menerobos jalan terowongan untuk menghadapi musuh yang berada di atas.

Tentu saja suara tadi keluar dari mulut Lian Hong yang merendahkan suaranya seperti suara pria, dan dengan kekuatan khikang ia memindahkan suaranya sehingga seperti terdengar datang dari luar. Sebetulnya ia masih berada di terowongan itu, di luar ruangan dimana Koan Jit menyiksa Kui Eng dan ia bersembunyi di balik batu.

Pada saat Koan Jit berkelebat keluar, cepat sekali Lian Hong keluar dari tempat persembunyiannya, dengan beberapa loncatan saja ia sudah berada di dekat Kui Eng, dan tanpa banyak cakap ia lalu menggunakan ujung gagang kipasnya menotok tiga jalan darah di punggung dan kedua pundak Kui Eng untuk membebaskan totokan yang membuat tubuh Kui Eng lemas. Kemudian, ia membantu Kui Eng melepaskan belenggu kaki tangannya, hal yang mudah saja dilakukan Kui Eng setelah ia terbebas dari totokan.

Dapat dibayangkan betapa girang dan lega rasa hati Kui Eng ketika mendapatkan pertolongan ini. Iapun memandang kagum kepada gadis cantik yang menolongnya, karena orang yang berani menolongnya berani menentang Koan Jit dan tidak sembarang orang berani menentang seorang penjahat lihai seperti Koan Jit.

“Terima kasih,” bisiknya. “Siapa engkau?”

Lian Hong tersenyum.

“Nanti saja kita bicara. Sekarang mari kita keluar dan kita hajar tikus busuk tadi.”

Teringat akan Koan Jit, Kui Eng mengepal tinjunya. “Baik, mari kita bunuh jahanam Itu!”

Di lubang masuk menuju terowongan, hampir mereka bertumbukan dengan Koan Jit yang hendak masuk lagi. Tadi Koan Jit cepat keluar untuk mencari orang yang menantangnya, akan tetapi di luar sunyi saja, bahkan cuaca yang agak gelap karena malam sudah mulai tiba dan tidak nampak ada bayangan seorangpun manusia. Dia merasa heran, penasaran dan marah. Lalu dia teringat akan tawanannya yang ditinggalkan di dalam ruangan bawah tanah. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau tawanan itu akan ditolong orang yang tadi mengeluarkan suara, maka diapun cepat masuk lagi.

Akan tetapi tiba-tiba ada dua bayangan orang berkelebat dari dalam dan seorang di antara mereka menyerangnya dengan tendangan berantai yang amat cepat dan dahsyat. Bukan serangan itu yang mengejutkan karena Koan Jit mampu meloncat ke belakang dan keluar lagi dari lubang itu untuk menghindarkan diri, akan tetapi yang membuatnya bengong dan marah sekali adalah ketika mengenal orang yang menendangnya adalah gadis yang pakaiannya compang-camping setengah telanjang, bukan lain adalah tawanannya tadi, Ciu Kui Eng! Dan kini Kui Eng sudah meloncat keluar, diikuti seorang gadis lain yang memiliki sepasang mata yang lebar, indah dan sinar matanya tajam sekali. Dengan hati penuh kegeraman, dia dapat menduga bahwa tentu gadis bermata lebar ini yang telah membebaskan Kui Eng. “Keparat, siapa kau berani menantangku!” bentaknya.

Akan tetapi Kui Eng yang sudah tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya, tanpa banyak cakap lagi tidak memberi kesempatan kepada Koan Jit untuk bicara, dan ia sudah menyambar sepotong kayu yang terletak di atas tanah, dan dengan tongkat ini iapun lalu menyerang dengan ilmu yang paling diandalkan oleh Tee-tok gurunya, yaitu Cui-beng Hekpang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)!

Dan Lian Hong memang juga tidak ingin banyak bicara dengan Koan Jit, maka iapun cepat membantu Kui Eng dengan serangan senjata kipasnya. Dengan gerakan aneh gagang kipasnya menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan-totokan maut ke arah jalan darah di tubuh bagian depan lawan.

Menghadapi serangan dua orang gadis itu, Koan Jit terkejut bukan main. Melihat betapa tongkat di tangan Kui Eng itu hanya sebatang cabang pohon akan tetapi dapat berubah menjadi senjata yang luar biasa ampuh dan berbahayanya, dia tidak merasa heran karena maklum betapa lihainya guru gadis itu. Akan tetapi melihat betapa kipas di tangan gadis bermata lebar itu tidak kalah hebatnya dari tongkat Kui Eng, dia benar-benar terkejut dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, sedikitpun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Demikian hebatnya dua orang gadis itu menyerang!

Koan Jit mengenal lawan tangguh. Memang ada rasa penasaran di dalam hatinya bahwa dia kehilangan Kui Eng yang sudah berada dalam cengkeramannya, dan merasa penasaran pula dia bahwa dia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda. Akan tetapi karena dia tahu bahwa kalau dia terlalu lama menghadapi dua orang gadis ini, mungkin saja dia akan celaka di tangan mereka, maka diapun mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu.

Akan tetapi sekali ini, Kui Eng dan Lian Hong sudah siap. Mereka tahu bahwa lawan ini memiliki ilmu semacam gerengan harimau yang berbahaya, maka merekapun cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi diri masing- masing sehingga tidak sampai didahului daya serangan suara itu. Sambil melindungi diri dengan pengerahan sinkang, tongkat dan kipas di tangan dua orang gadis itu masih terus menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan dan pukulan maut ke arah tubuh Koan Jit.

Koan Jit mengeluarkan saputangan merahnya. Akan tetapi juga untuk menghadapi itu, Lian Hong dan Kui Eng sudah siap siaga. Maka ketika Koan Jit mengebutkan saputangannya, dua orang gadis itu sudah menahan napas dan kini tongkat di tangan Kui Eng menyambar ke arah saputangan itu pada saat kipas Lian Hong menotok pinggang.

“Brettt...!”

Saputangan merah itupun terobek oleh ujung tongkat! Koan Jit mengeluarkan seruan kaget dan sekali meloncat dia telah pergi jauh, dan tanpa menoleh atau merasa malu-malu lagi, Koan Jit yang merasa betapa dua orang gadis itu merupakan lawan yang terlalu berat, dan selain itu juga dia khawatir kalau-kalau Tee-tok, guru Kui Eng muncul, segera melarikan diri.

“Jahanam busuk, hendak lari kemana kau?”

Kui Eng membentak dan mengejar, diikuti Lian Hong. Akan tetapi Koan Jit memang memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat dan walaupun dua orang gadis itupun memiliki ginkang yang hebat pula, namun tidak mampu menyusul Koan Jit yang menghilang di antara pohon-pohon yang gelap. Apalagi Koan Jit mengenakan pakaian serba hitam, maka sukarlah untuk mengejarnya setelah dia masuk hutan. Dua orang gadis itupun maklum betapa berbahayanya mengejar seorang licik macam Koan Jit itu di dalam gelap, apalagi pakaian orang itu hitam. Terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka di luar hutan.

Baru sekarang dua orang gadis itu memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dan bicara. Mereka berdiri saling pandang. Keduanya sebaya dan memiliki bentuk tubuh yang hampir sama. Keduanya memang cantik dan manis, akan tetapi memiliki daya tarik yang berbeda.

Lian Hong adalah seorang gadis yang amat sederhana, baik pakaiannya maupun gerak-geriknya, dan daya tariknya yang paling kuat terletak pada sepasang matanya yang lebar. Mukanya berbentuk bundar dan kulitnya halus putih dengan sepasang alisnya yang hitam nampak menyolok di wajah yang putih itu. Sedangkan Kui Eng berwajah bulat telur, sepasang matanya tajam dan mengandung keangkuhan, dan agaknya daya tarik yang paling kuat terletak pada mulutnya yang amat manis itu, manis menggairahkan.

“Adik yang manis, engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih sekali,” kata Kui Eng.

“Sudahlah, enci. Wanita manapun melihat kekejian Koan Jit itu terhadap dirimu, tentu akan berusaha untuk menolongmu. Jahanam itu memang pantas dilenyapkan dari permukaan bumi.”

“Siapakah namamu?”

“Aku bernama Lian Hong.”

“Adik Hong, namaku Ciu Kui Eng. Mudah-mudahan di lain kesempatan aku akan dapat membalas budimu...”

“Sudahlah, enci Kui Eng. Sudah kukatakan tadi, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Maaf, sekarang aku harus pergi. Sampai jumpa lagi.”

“Engkau hendak kemana?”

“Aku... aku mau mengunjungi makam orang tuaku.” “Eh? Malam-malam begini mengunjungi makam?”

Kui Eng bertanya heran. Lian Hong mengangguk, lalu melanjutkan lirih, “Aku malah mau bermalam disana. Nah, selamat tinggal, enci Kui Eng.”

Dan kini iapun meloncat pergi dengan cepat sebelum Kui Eng sempat mencegahnya.

Sejenak Kui Eng termangu, kemudian iapun cepat berkelebat melakukan pengejaran. Hatinya masih belum puas. Ia ingin mengenal gadis penolongnya itu lebih dekat lagi, mengetahui segala hal tentang gadis itu, murid siapa dan bagaimana tadi dapat menolongnya dan datang pada saat yang demikian tepatnya. Bahkan ia ingin sekali menguji kepandaiannya sendiri dengan gadis itu, menguji secara persahabatan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.

Lian Hong tiba di depan makam ayah ibunya. Bulan sepotong sudah mulai memuntahkan sinarnya yang lembut sehingga cuaca malam itu remang- remang kuning kehijauan dan romantis. Gadis itu lalu berlutut di depan makam, memberi hormat di dalam batin. Sampai lama ia berlutut tanpa bergerak sampai ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia waspada dan cepat menengok, tubuhnya siap menghadapi segala kemungkinan. Kiranya Kui Eng yang berdiri di belakangnya. Sepasang mata Kui Eng terbelalak dan mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat.

“Ini... ini bukan orang tuamu...? Kau... kau puteri mendiang guru silat Siauw Teng dari Tung-kang?”

Lian Hong menarik napas panjang. Sebetulnya ia tidak menghendaki Kui Eng mengenalnya, akan tetapi apa boleh buat. Ia tidak mengira bahwa gadis itu akan membayanginya dan menyusul ke situ.

“Benar, ini kuburan ayah ibuku.”

“Tapi... tapi... kau tahu mengapa mereka tewas?”

“Aku tahu. Mendiang ayahmu yang menyebabkan mereka tewas, dan ayah tewas di tangan Gan Ki Bin dan Lok Hun.”

“Ahhh... engkau tahu bahwa pembunuh orang tuamu adalah ayahku... dan engkau telah menolongku, menyelamatkan aku. Aih, adik Hong... aku... aku sungguh menyesal sekali atas perbuatan ayah terhadap orang tuamu...”

“Aku tahu, enci Kui Eng. Aku melihatmu tadi ketika engkau memintakan ampun kepada orang tuaku atas perbuatan ayahmu, sampai kau ditawan Koan Jit.”

“Padahal ayahku dahulu menghancurkan dan membinasakan keluarga ayahmu? Betapa mulia hatimu, adik Lian Hong.”

“Sudahlah, enci Eng, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi,” kembali Lian Hong mencegah. Ia tidak senang kalau dipuji-puji.

Akan tetapi, Kui Eng kini malah duduk di dekatnya, di depan makam. “Bagaimana tidak akan dibicarakan? Engkau begini baik. Orang tuamu

dahulu juga orang gagah. Tidak seperti aku. Biarpun kami hidup kaya raya, akan tetapi ayah telah melakukan banyak hal yang buruk. Dan sekarang kami sekeluarga tertumpas habis. Aku kehilangan ayah ibuku, bahkan kehilangan segala milik keluargaku. Aku juga menjadi seorang yang tidak mempunyai apa- apa lagi. Engkau masih mempunyai nama baik, nama terhormat. Sebaliknya aku mempunyai apalagi? Nama keluargaku busuk, dan aku bahkan menjadi murid seorang datuk sesat.”

“Aku tahu, engkau murid Tee-tok. Kudengar itu dari kata-kata Koan Jit tadi. Akan tetapi, gurumu agaknya tidak lebih buruk dari pada guruku, karena guruku juga seorang di antara Empat Racun Dunia.”

Hampir Kui Eng melompat. Dipegangnya pundak Lian Hong dan wajah yang tadinya sedih itu kini berseri.

“Aih, engkau murid San-tok! Aku tahu. Ilmu silatmu dengan kipas tadi! Siapalagi gurumu kalau bukan Si Racun Gunung? Pantas engkau begini gagah perkasa, adik Hong. Wah, kalau begini kita ini segolongan.”

Akan tetapi Lian Hong tidak segembira Kui Eng walaupun ia tersenyum melihat kegembiraan yang mengubah wajah Kui Eng yang tadinya berduka itu.

“Golongan apakah maksudmu, enci Kui Eng?”

“Eh, maksudku… bukankah guru-guru kita segolongan?” “Golongan sesat? Golongan hitam? Golongan penjahat?”

“Ehh... ohhh... Bukan begitu, tapi... yaah, perlukah kita menutupi kenyataan bahwa kita adalah murid-murid mereka, lalu kita juga harus menjadi orang- orang sesat? Maukah engkau menjadi segolongan dengan orang-orang seperti Koan Jit tadi?

“Tidak sudi!”

“Akan tetapi diapun murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Dia murid pertama dari Thian-tok.” PEDANG NAGA KEMALA

( GIOK LIONG KIAM )

Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi segolongan dengan jahanam itu. Lain kali, kalau bertemu dengan dia, aku pasti akan mati-matian menyerangnya, dia atau aku yang akan mati!”

Lian Hong tersenyum dan dalam percakapan ini, ia merasa cocok dengan Kui Eng. Bagaimanapun, ia sudah membuktikan bahwa murid Tee-tok ini ternyata tidak menyukai pula kejahatan. Kebaikan pertama dari Kui Eng adalah ketika gadis itu memintakan ampun atas dosa ayahnya kepada makam ayah ibunya, dan kedua kalinya ia melihat sendiri betapa Kui Eng mati-matian mempertahankan kehormatannya, rela mati dari pada harus tunduk atas bujuk rayu Koan Jit. Dua hal ini saja sudah membuat ia merasa suka kepada Kui Eng. “Enci Kui Eng, menurut pendengaranku, ketika Koan Jit bicara kepadamu tadi, engkau hendak merampas pusaka Giok-liong-kiam darinya. Benarkah

itu?”

Kui Eng mengerutkan alisnya.

“Aku sendiri tidak ingin memiliki pusaka itu. Sejak kecil aku hidup dalam keluarga ayah yang kaya raya sehingga aku tidak ingin lagi memperebutkan segala macam benda-benda berharga walaupun kini aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Akan tetapi, keluargaku sudah terbasmi, dan aku teringat akan pesan suhu tentang Giok-liong-kiam. Suhu yang menghanjurkan agar aku ikut memperebutkan pusaka itu, karena siapa yang memiliki pusaka itu dapat dianggap sebagai orang yang paling lihai. Nah, karena itu akupun mulai melakukan penyelidikan dan mencari jejak Koan Jit. Siapa tahu, kiranya dia malah yang menawanku lebih dulu secara curang, dan dia tahu bahwa akupun ingin merampas pusaka itu dari tangannya. Dan bagaimana denganmu, adik Hong? Sebagai murid San-tok, kiranya engkaupun tentu ada kepentingan dengan pusaka itu.”

Lian Hong menarik napas panjang.

“Semua orang di dunia persilatan agaknya memperebutkan pusaka itu dan terus terang saja, guruku juga menghendakinya. Akupun sedang mencari jejak Koan Jit, dan sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengannya. Ketika dia menawan, aku ragu-ragu tidak tahu siapa dia dan apa urusan antara dia dan engkau maka dia menawanmu. Karena ragu-ragu inilah maka aku tidak turun tangan di sini, melainkan membayanginya. Baru setelah aku mendengar ucapannya bahwa dia adalah Koan Jit dan bahwa dia hendak memaksamu, aku lalu turun tangan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar