Pedang Naga Kemala Jilid 07

Jilid 07

Setelah siuman dan mendapatkan dirinya dalam tahanan, terbelenggu, Thian-tok menjadi marah. Dia memberontak, melepaskan diri dan melakukan penyelidikan. Ketika mendengar bahwa Koan Jit yang menyerahkan dirinya dalam keadaan pingsan terbelenggu kepada alat negara, dia marah sekali dan cepat pulang. Setibanya di dalam guha di puncak Tai-yun-san itu, dia mendapat kenyataan bahwa Koan Jit telah kabur dan membawa banyak barang-barang berharga yang dikumpulkannya di dalam kamar dalam guha! Tentu saja Thian-tok marah sekali, bukan karena Koan Jit mencuri barang- barang, melainkan karena murid itu telah mendurhakainya. Dengan kemarahan meluap-luap, datuk iblis itu lalu mencari muridnya.

Dan setahun kemudian, d Thian-tok ia dapat menemukan Koan Jit. Mereka bertanding, akan tetapi betapapun lihainya Koan Jit, menghadapi gurunya dia kalah matang dan akhirnya dia roboh. Akan tetapi, ketika Thian-tok hendak membunuhnya, kakek ini tidak tega. Dia terlalu sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri itu. Apalagi ketika Koan Jit berkata kepadanya bahwa sepatutnya guru itu bangga mempunyai murid yang dapat melakukan kejahatan yang lebih besar dari pada kejahatan gurunya!

“Suhu hanya merampok, mencuri, menculik, memperkosa dan membunuh. Pernahkah suhu mengkhianati guru sendiri? Nah, aku ingin melakukan kejahatan yang melebihi suhu, dan hal itu sudah kulakukan ketika aku mengkhianati suhu. Kalau aku tidak cinta kepada suhu, tentu suhu telah kubunuh, bukan kuserahkan kepada yang berwajib. Aku tahu bahwa suhu tentu akan mampu melepaskan diri. Kenapa sekarang suhu marah-marah? Pantasnya memujiku, karena bukankah suhu yang mengajarkan semua itu kepadaku?”

Mendengar ucapan muridnya ini, hati Thian-tok menjadi semakin lemah dan diapun mengampuni muridnya itu. Akan tetapi hatinya telah menjadi kecewa dan diapun tidak mau mengakui lagi muridnya, dan mengatakan bahwa kalau sekali lagi saling jumpa, dia tentu akan membunuh murid durhaka itu.

“Kurang ajar! Aku akan mengejar dan mencarinya, suhu!” Siu Coan mengepal tinju.

“Benar, murid durhaka itu perlu dihajar!” kata pula Seng Bu marah. Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.

“Jangan! Aku bahkan diam-diam merasa bangga bahwa dia menguasai pedang pusaka itu dengan cara yang demikian licik dan berani. Perbuatan itu patut kalian jadikan contoh. Orang harus licin dan cerdik untuk dapat maju di dunia ini, ha-ha-ha! Dan Koan Jit benar-benar membuat aku bangga. Pula, belum tentu kalian dapat menang menghadapinya. Dalam hal ilmu silat, kiranya kalian tidak perlu kalah, hanya mungkin kalah matang dalam latihan. Semua ilmuku telah kuberikan kepada kalian. Akan tetapi, dalam hal kelicikan dan kecurangan, kalian kalah jauh, apalagi Seng Bu. Biarlah, pusaka Giok-liong- kiam itu biar berada di tangannya. Tentu saja kelak, kalau kalian sudah merasa mampu, kalian boleh coba-coba merampas dari tangannya. Ketahuilah, pusaka Giok-liong-kiam itu menjadi semacam ukuran kelihaian seseorang. Pemiliknya boleh mengangkat diri menjadi orang terpandai di dunia persilatan!”

“Omitohud... kata-kata yang sungguh tidak baik untuk didengar dan ditaati…”

Suara ini halus seolah-olah di dekat mereka ada orang yang berbisik. Hal ini amat mengejutkan hati Thian-tok dan dua orang muridnya. Thian-tok segera maklum bahwa ada orang sakti yang datang, karena orang yang berada di luar guha dapat mendengarkan kata-katanya tadi dan dapat mengirim suara melalui ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) sedemikian lihainya, tentulah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Awas, di luar ada orang sakti. Mari kita sambut dia!”

Kata Thian-tok yang segera bangkit dan melangkah keluar dengan sikap tenang dan dengan wajah tersenyum mengejek, karena kakek ini belum pernah merasa takut menghadapi lawan siapa saja di dunia ini. Dua orang muridnya mengikuti dari belakang dengan hati tegang dan penuh pertanyaan dan dugaan. Apakah Koan Jit datang kembali?

Mungkin saja murid pertama suhu mereka itu yang datang, karena memang orang itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa ada seruan ‘omitohud’ yang biasa hanya keluar dari mulut para pendeta atau para umat Buddhis yang beribadat? Agaknya tidak mungkin kalau toa-suheng mereka yang sudah tidak diakui itu menggunakan seruan seperti itu.

Ketika mereka tiba di luar, Siu Coan dan Seng Bu memandang heran. Di depan guha itu telah berdiri seorang pendeta hwesio yang tubuhnya gendut bulat, segendut dan sebulat guru mereka. Bahkan ada persamaan atau kemiripan wajah di antara dua orang kakek itu, mirip sekali bentuk mata, hidung dan mulut pada muka yang sama-sama bundar itu. Hanya perbedaannya, kalau kepala Thian-tok botak dan di belakangnya berambut, kepala hwesio itu gundul plontos tanpa ada sedikitpun rambutnya, dan kalau baju Thian-tok tidak pernah tertutup sehingga nampak bulu di dadanya, sebaliknya tubuh hwesio itu tertutup rapat oleh jubah kuning, juga wajah Thian-tok dihias kumis pendek tebal, sedangkan hwesio itu sedikitpun tidak memelihara kumis.

Sejenak dua orang gendut itu saling pandang dan lucunya, keduanya sama- sama tersenyum lebar. Hanya terdapat perbedaan dalam senyum itu. Kalau senyum Thian-tok menyeringai dan membayangkan ejekan dan kesombongan, senyum hwesio itu halus dan ramah dibayangi ketulusan hati.

“Ha-ha-ha-ha!” Thian-tok akhirnya tertawa bergelak.

“Akhirnya ketemu juga! Akan tetapi kedatanganmu itu terlambat beberapa jam saja, Siauw-bin-hud!”

Hwesio yang disebut Siauw-bin-hud itu tertawa dan menoleh kepada pemuda berpakaian pemuda tani sederhana yang wajahnya membayangkan kesabaran.

“Ci Kong, inilah dia yang dujuluki orang Thian-tok, satu diantara empat orang datuk iblis yang dinamakan Empat Racun Dunia.”

Kemudian Siauw-bin-hud menghadapi Thian-tok dengan senyum lebar. “Heh-heh, Thian-tok, engkau pandai sekali menyembunyikan diri. Setelah

yakin bahwa engkaulah orangnya yang duabelas tahun yang lalu merampas Giok-liong-kiam dengan mempergunakan nama pinceng, barulah pinceng memaksa diri mendatangi tempat ini. Thian-tok, mengapa engkau melakukan perbuatan itu?”

“Ha-ha-ha, ketika itu aku hanya menggunduli rambut dan kumisku, memakai jubah kuning dan merobah sedikit alisku, mencoba-coba merasakan bagaimana kalau menjadi seorang hwesio. Aku sama sekali tidak pernah mengaku bahwa aku adalah Siauw-bin-hud. Kalau kemudian orang menyangka aku Siauw-bin-hud, salah siapakah itu? Ha-ha-ha, dan sudah sepatutnya kalau engkau menjadi pusing karenanya. Ingatkah engkau pada empatpuluh tahun yang lalu ketika engkau pernah mengalahkan aku dalam pertandingan selama hampir satu malam di puncak Thai-san?”

Siauw-bin-hud tersenyum lebar.

“Aihh, perlu apa mengingat-ingat masa lampau waktu kita masih gila- gilaan dan dikuasai nafsu untuk menang? Pinceng sekarang sudah tidak lagi haus kemenangan, Thian-tok. Akan tetapi karena orang menyangka pusaka itu pinceng rampas, maka pinceng terpaksa datang mengunjungimu dan minta agar engkau suka mengembalikan kepadaku untuk diserahkan kepada mereka yang berhak.”

“Ha-ha, enak saja! Majulah dan kalahkan aku sekali lagi kalau engkau mampu!”

Siauw-bin-hud hanya tersenyum dan menggeleng kepala. “Biarlah pinceng mengaku kalah.”

“Kalau engkau kalah, berarti aku yang menang, dan jagoan nomor satu sajalah yang berhak menguasai Giok-liong-kiam. Jadi, akulah yang menguasainya dan akulah yang patut disebut jagoan nomor satu di dunia, ha- ha-ha!”

“Omitohud! Heh-heh, Thian-tok, bagi pinceng sama sekali tidak berkeberatan kalau engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia atau di akhirat. Biar kauborong semua gelar dan julukan itu, ha-ha-ha!”

Sementara itu, Ci Kong yang menyaksikan pertemuan antara kakek gurunya dan kakek gendut itu, sejak tadi memandang penuh keheranan. Memang mirip sekali dua orang kakek itu satu sama lain, dengan kebiasaan yang sama pula, yaitu suka tersenyum lebar dan ketawa-ketawa. Hanya bedanya kalau senyum, susiok-couwnya itu ramah dan tulus, sebaliknya senyum kakek botak itu mengandung ejekan dan sinar matanya mengandung kekejaman. Akan tetapi, diam-diam dia merasa kagum kepada dua orang pemuda yang muncul keluar bersama Thian-tok itu. Mereka adalah dua orang pemuda yang nampak gagah dan sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.

“Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau kau sudah mengaku kalah, pergilah dan jangan ganggu aku!” Thian-tok berkata dan kini dua orang muridnya yang merasa heran.

Biasanya, tidak mungkin guru mereka itu membiarkan orang yang datang mengganggu pergi begitu saja dan menghabiskan perkara itu sampai di situ! Dari sikap ini saja mereka dapat menduga bahwa suhu mereka itu merasa jerih terhadap hwesio tua ini. Hal itu membuat mereka merasa penasaran sekali.

“Thian-tok, pinceng tidak mau merebut keunggulan jagoan, akan tetapi pinceng sudah berjanji kepada para orang gagah untuk mencari perampas Giok-liong-kiam yang menyamar pinceng. Kalau engkau tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada pinceng untuk dikembalikan kepada yang berhak, marilah kau ikut pinceng ke Siauw-lim-si dan engkau menghadapi sendiri mereka yang menuntut dikembalikannya pusaka itu.”

“Hua-ha-ha, enak saja kau membuang kentut, hwesio busuk!”

Thian-tok tertawa bergelak dan memaki dengan nada mengejek sekali. “Aku merampas pusaka itu menggunakan kepandaian, dan kau hendak

mengambilnya dariku hanya dengan menggunakan bujukan suara kentut busuk? Kalau engkau mampu mengalahkan aku, baru aku mau bicara tentang Giok-liong-kiam, kalau engkau tidak berani melawanku, pergilah dan jangan perlihatkan lagi kepala gundulmu itu di sini!”

“Ha-ha-ha, Thian-tok, jangan seperti anak kecil yang memperebutkan mainan. Pinceng hanya ingin meluruskan perkara yang bengkok, bukan untuk memperebutkan sesuatu denganmu.”

Siauw-bin-hud masih tertawa-tawa gembira, agaknya kata-kata yang menghina dari Thian-tok sama sekali tidak dirasakannya. Ci Kong mengerutkan alisnya yang tebal. Hatinya sudah terasa panas sekali. Dia seorang pemuda sederhana yang menerima gemblengan lahir batin dari Siauw-bin-hud selama enam tahun, juga wataknya bijaksana, sabar dan serius. Akan tetapi, mendengar betapa susiok-couwnya yang amat dihormatinya itu kini dimaki- maki dengan kata-kata kotor oleh seorang datuk sesat, dia merasa penasaran sekali dan menganggap bahwa sikap susiok-couwnya terlalu lemah. Orang yang begitu jahat seperti Thian-tok ini tidak perlu dikasih hati, pikirnya, karena makin lemah sikap kita, tentu akan makin diinjaknya.

“Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau mengaku kalah tanpa bertanding, mana mungkin itu? Kalau saja engkau mengaku bahwa engkau takut melawan aku, nah… baru aku mau bicara tanpa bertanding. Gundul busuk, kau berlututlah dan mengaku takut!” kata Thian-tok sambil menyeringai dengan sikap merendahkan sekali.

Anehnya, Siauw-bin-hud hanya tersenyum saja, dengan sinar mata penuh kesabaran seperti dewasa melihat tingkah seorang anak kecil yang nakal. Akan tetapi, Ci Kong sudah cepat melangkah maju.

“Susiok-couw, segala sesuatu mempunyai batas. Orang ini terlalu menghina dan memandang rendah, biarlah saya yang mencoba-coba menghadapi dan menandingi ilmunya!”

Mendengar Ci Kong menantang gurunya, Ong Siu Coan murid Thian-tok segera berseru.

“Orang sombong, kalau engkau yang maju, tidak perlu suhu menghadapimu, akupun cukuplah. Sambut seranganku!”

Ong Siu Coan selain cerdik dan berwatak aneh, juga gagah perkasa, dan melihat gurunya ditantang oleh pemuda yang menjadi cucu keponakan seperguruan Siauw-bin-hud, dia menjadi marah. Juga dengan cerdik dia mendahului maju untuk menyenangkan hati gurunya, karena perbuatannya itu tentu saja merupakan suatu kebaktian dan kesetiaan seorang murid yang baik. Begitu mengeluarkan tantangan dan celaan terhadap Ci Kong yang dipandangnya rendah, karena bagaimanapun juga, pemuda itu hanyalah cucu murid Siauw-binhud, tentu hanya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai tingkat rendah saja, Siu Coan sudah mengirim serangan dengan dahsyatnya. Begitu menyerang, dia telah mempergunakan sebuah jurus yang ampuh dari Ngo-heng Kun-hoat dan tentu saja dia mengerahkan tenaga singkang dalam serangan itu sehinggapukulan tangan kirinya yang menyambar dari samping

ke arah lambung lawan itu mengeluarkan angin keras. “Hemmmm...!”

Ci Kong mengeluarkan suara menahan kemarahannya melihat betapa pemuda tinggi besar itu begitu saja menyerang dengan ganas. Sebagai seorang murid terkasih Siauw-bin-hud yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat paling tinggi dari Siauw-lim-pai, bahkan mewarisi ilmu-ilmu simpanan rahasia yang bahkan jarang ada tokoh Siauw-lim-pai menguasainya, Ci Kong dengan tenang menghadapi Ong Siu Coan.

Ci Kong memiliki ketenangan yang luar biasa. Sekali pandang sekelebatan saja, diapun sudah tahu bahwa serangan lawannya itu mengandung hawa maut dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Juga dia tidak dapat diikat perhatiannya oleh pukulan tangan kiri lawan yang menyambar lambungnya, maka sambil mengelak, dia tetap waspada. Kewaspadaannya ini ternyata amat berguna, karena belum juga pukulan tangan kiri Siu Coan itu terelakkan, tangan kanan Siu Coan sudah menyambar dengan lebih cepat dan lebih ganas dari pada gerakan tangan kiri, dan yang diserang adalah pelipis kiri Ci Kong. Kiranya inilah serangan intinya sedangkan sambaran tangan kiri tadi hanyalah pancingan atau gertakan saja. Memang demikian sifat ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang dirangkai oleh Thian-tok. Serangan susul menyusul dan sambung-menyambung sehingga sukar diketahui lawan mana serangan pancingan dan mana yang inti, karena kesemuanya nampak berbahaya, makin lama makin cepat.

“Dukkk...!”

Keduanya terkejut karena begitu dua lengan bertemu, tubuh mereka tergetar dan tiba-tiba tangan kiri Siu Coan pada detik berikutnya sudah menyambar dengan dorongan ke arah ulu hati lawan. Serangan susulan yang amat berbahaya! Akan tetapi  Ci Kong juga memapakinya dengan tangan kirinya. Dua telapak tangan kiri itu saling dorong dan bertemu di udara. “Plakk!!”

Keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah dan sama-sama memandang dengan sinar mata kagum, karena dari pertemuan telapak tangan itu saja, mereka dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga dari lawan masing- masing.

“Heh-heh, Ci Kong, apa gunanya bersitegang dan berkelahi seperti anak kecil? Mundurlah!”

Tiba-tiba terdengar suara halus Siauw-bin-hud dan mendengar suara susiok-couwnya ini, Ci Kong mundur walaupun pada saat itu, Siu Coan sudah menyerangnya lagi!

Kombinasi pukulan tiga kali berturut-turut secara cepat lagi dilancarkan oleh Siu Coan ke arah tubuh gendut itu. Pertama ke arah leher, kedua ke arah lambung, dan ketiga kalinya ke arah dada. Cepat sekali dan mengandung tenaga sepenuhnya. Demikian cepatnya tiga pukulan berantai itu sehingga jatuhnya hampir berbareng, sekali dengan tangan kiri dan dua kali dengan tangan kanan.

“Buk! Buk! Buk!”

Tiga kali pukulan itu mengenai sasaran dengan tepatnya, akan tetapi akibatnya sungguh aneh. Ong Siu Coan terkulai dan tentu sudah roboh kalau lengannya tidak cepat disambar oleh sutenya, Gan Seng Bu. Ketika tiga kali pukulan tadi mengenai leher, lambung dan dada kakek gendut itu, Siauw-bin- hud sama sekali tidak mengelak, dan Siu Coan merasa betapa pukulan- pukulannya seperti mengenai benda yang amat lunak, dingin dan yang mengandung daya serap, menyedot semua tenaga singkang yang terkandung dalam semua pukulannya. Dan seketika kaki tangannya terasa lemas dan lumpuh sehingga dia hampir terguling roboh kalau tidak disambar oleh sutenya. Dia cepat melangkah mundur dan memandang kepada kakek pendeta Siauw-lim-pai itu dengan mata terbelalak.

“Ha-ha-ha, Thian-tok, engkau mempunyai murid-murid yang amat lihai.”

Siauw-bin-hud berkata, ucapannya itu sama sekali bukan merupakan ejekan, karena kakek ini tahu benar betapa lihainya pemuda tinggi besar yang menyerangnya tadi. Dia bisa menderita malu kalau menghadapi pemuda itu dengan kekerasan pula, dan diapun tahu bahwa biarpun cucu muridnya mungkin tidak kalah, akan tetapi untuk dapat memenangkan pemuda murid Thian-tok itupun bukan merupakan hal yang mudah. Yang paling mengagumkan hatinya adalah sinar mata Siu Coan, begitu mengandung kecerdikan dan keanehan, sehingga pemuda itu memang patut menjadi murid seorang sakti aneh seperti seorang di antara Empat Racun Dunia itu.

“Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, tak perlu kau mengejek. Tentu saja murid- muridku masih belum cukup matang untuk melawan tua bangka bangkotan seperti engkau, akan tetapi mari kita yang tua sama tua mencoba kepandaian masing-masing. Kalau engkau tidak mampu menang dariku, bukan saja engkau tidak akan mendengar dariku tentang pusaka Giok-liong-kiam, bahkan aku akan membunuhmu dan membunuh muridmu ini! Akan tetapi kalau aku kalah, aku mau bicara tentang Giok-liong-kiam!”

Tentu saja Ci Kong semakin marah mendengar ucapan dan melihat sikap Thian-tok. Dimana ada orang menggunakan aturan yang demikian boceng-li, mau menang sendiri dan mau enaknya sendiri saja?

Terhadap orang macam ini, yang lebih mendekati gila dari pada sekedar jahat, perlu dipergunakan kekerasan untuk menghajarnya. Akan tetapi, pemuda itu tentu saja tidak berani berbuat atau berkata dengan lancang tanpa ijin dari susiok-couwnya yang kini hanya tersenyum lebar saja menghadapi tantangan Thian-tok.

“Omitohud... Thian-tok, sejak puluhan tahun engkau selalu haus kemenangan, haus darah. Apakah sampai mati engkau akan selalu kehausan seperti ini? Sungguh kasihan sekali!”

Ucapan ini oleh Thian-tok yang selalu berprasangka buruk itu dianggap sebagai penghinaan dan memandang rendah. Mukanya menjadi merah walaupun senyumnya masih lebar, senyum menyeringai dan tiba-tiba dia mengeluarkan mangkok dan guci araknya. Dituangkannya arak ke dalam mangkok sampai penuh, lalu diminumnya dengan sepasang matanya masih terus menatap wajah Siauw-bin-hud.

Dua orang muridnya yang sudah mengenal kakek ini diam-diam menjadi tegang. Kalau gurunya sudah bersikap seperti itu, minum arak seperti itu, maka hanya ada dua hal terjadi dalam batin gurunya. Terlalu gembira atau terlalu marah, dan agaknya kini gurunya itu telah marah sekali.

Setelah menghabiskan tiga mangkok arak, Thian-tok menggantungkan kembali mangkok dan ciu-ouw di pinggangnya, lalu terkekeh. Suara ketawanya tadinya terdengar ketawa biasa saja, akan tetapi makin lama suara itu makin meninggi sampai seperti ringkik kuda, dan makin tinggi lagi melengking- lengking.

Tentu saja Ci Kong menjadi terkejut bukan main, apalagi ketika suara itu jelas mengandung tenaga khikang kuat yang menyerang dia dan susiok- couwnya. Dia melihat betapa Siauw-bin-hud masih tersenyum saja. Akan tetapi dia sendiri cepat-cepat mengerahkan singkang untuk menjaga diri, karena dia tahu bahwa kalau dia tidak membela diri, mungkin dia akan terkena serangan melalui suara itu dan terluka. Suara itu adalah ilmu Sin-houw Ho-kang yang amat berbahaya. Diciptakan oleh Thian-tok meniru suara harimau. Seekor binatang harimau yang menjadi raja hutan, menundukkan lawan atau korbannya cukup dengan suaranya saja.

Harimau yang mengeluarkan suara gerengan itu mengandung tenaga yang menggetarkan jantung, dapat membuat lawannya lumpuh dan ketakutan sehingga tanpa dikejar sekalipun sudah akan roboh di depan kakinya. Suara inilah, dengan kekuatan getarannya, yang ditiru oleh Thian-tok, disesuaikan dengan suara yang dapat keluar dari perutnya melalui tenggorokannya, dan dibandingkan dengan suara harimau aseli, maka Sin-houw Ho-kang ini jauh lebih hebat dan lebih berbahaya lagi.

Hanya dengan pengerahan sinkangnya, Ci Kong dapat menghadapi serangan suara itu sambil berdiri tegak dan mengatur pernapasan. Akan tetapi, Siauw-bin-hud masih tersenyum enak-enak saja, seolah-olah suara itu tidak mempengaruhinya sama sekali. Hanya kedua matanya saja yang bersinar lembut itu menentang pandang mata Thian-tok yang melotot.

Melihat sikap Siauw-binhud yang seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh serangannya, tentu saja Thian-tok menjadi penasaran. Di antara Empat Racun Dunia, dia terkenal sekali dengan Sin-houw Ho-kangnya, bahkan datuk iblis yang lain tidak berani memandang rendah. Pemuda Siauw- lim-pai itupun sudah harus mengerahkan sinkang untuk melawan suaranya. Akan tetapi kenapa Siauw-bin-hud enak-enak saja? Sikap enak-enakan itu merupakan tanparan baginya, seolah-olah menunjukkan bahwa Sin-houw Ho- kang yang dipergunakannya untuk menyerang itu bagi Siauw-bin-hud hanya nyanyian yang merdu saja. Dia lalu mengerahkan tenaga khikang lebih kuat lagi sehingga suaranya itu kini melengking semakin tinggi sampai seperti suara nyamuk-nyamuk berterbangan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, daya serangan menjadi semakin kuat sehingga Ci Kong yang lihai itupun terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan bahkan memejamkan mata untuk memusatkan tenaga.

Akan tetapi, Siauw-bin-hud tetap saja tersenyum lebar, bahkan kadang- kadang terkekeh lirih. Justeru dalam suara kekehnya inilah terletak kekuatan yang dapat menolak serangan suara Sin-houw Ho-kang itu! Agaknya bukan hanya Thian-tok yang menjadi penasaran, juga Siu Coan mengerutkan alisnya. Dia biasanya amat menyombongkan Ilmu Sin-houw Ho-kang ini dan sekarang suhunya sudah mengerahkan tenaga sekuatnya, belum juga mampu mengalahkan atau setidaknya membuat Siauw-bin-hud kerepotan. Maka tiba- tiba diapun mengeluarkan suara melengking yang disusul pula oleh Seng Bu dalam usaha dua orang murid itu untuk membantuguru mereka! Kini ada tiga suara yang mengandung Sin-houw Ho-kang yang menyerang ke arah Siauw- bin-hud dan Ci Kong!

Ci Kong merasa terkejut bukan main. Serangan tambahan dari dua orang pemuda itu sungguh tidak boleh dibuat main-main. Kekuatan yang terkandung dalam lengkingan suara mereka itu tidak selisih banyak dengan kekuatan suara Thian-tok, dan karena dua orang pemuda itu menggabungkan suara mereka, maka kekuatan suara gabungan itu bahkan lebih kuat lagi daripada suara Thiantok.

Ci Kong merasa betapa tubuhnya menggigil dan cepat dia lalu duduk bersila dan mengerahkan semua tenaganya. Baru setelah dia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya, dia mampu menahan serangan getaran tiga suara yang bergabung itu.

Dan kini, senyum Siauw-bin-hud makin melebar dan mulai terdengar suara terkekeh-kekeh dari mulutnya. Suara ini demikian kuatnya sehingga tiga orang penyerang itu merasa betapa suara mereka terpukul membalik, membuat mereka terkejut sekali. Akan tetapi Thian-tok masih berkeras mengerahkan tenaganya.

“Thian-tok, engkau sedang menderita luka, apakah engkau mau bunuh diri?” tiba-tiba terdengar Siauw-bin-hud berkata, suaranya lembut, akan tetapi aneh karena dalam kelembutan itu terkandung kekuatan dahsyat sekali yang serentak membuyarkan kekuatan Sin-houw Ho-kang dari tiga orang penyerang itu!

Thian-tok menghentikan serangan suaranya dan mukanya menjadi agak pucat. Dua orang muridnya terpaksa menghentikan pula suara mereka, dan di dahi dan leher mereka nampak butiran-butiran keringat yang besar-besar dan dingin. Kalau dilanjutkan melawan suara kakek Siauw-lim-pai itu, yang membuat suara mereka sendiri membalik, mereka akan dapat menderita luka parah sekali oleh tenaga khikang mereka sendiri yang memukul balik!

“Hemm, aku masih belum kalah, Siauw-bin-hud. Coba kausambut seranganku dan kaukalahkan aku kalau bisa!”

Berkata demikian, kakek gendut itu kini sudah menerjang ke depan, menyerang Siauw-bin-hud kalang kabut. Angin pukulan dahsyat menyambar- nyambar dengan hebatnya dan Siauw-bin-hud mengeluh.

“Omitohud, engkau menderita masih nekat, Thian-tok?” Siauw-bin-hud juga menggerakkan tubuhnya, mengelak sambil mengebut- ngebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis. Kakek ini tidak pernah membalas, akan tetapi semua serangan Thian-tok yang amat hebat itu dielakkannya saja sambil kadang-kadang ditangkis dengan ujung lengan baju. Thian-tok adalah seorang tokoh besar, seorang datuk iblis yang sudah mematangkan ilmunya selama puluhan tahun ini, semenjak kalah oleh Siauw- bin-hud, maka ilmu kepandaiannya meningkat banyak sekali.

Siauw-bin-hud maklum akan hal ini, akan tetapi kakek yang batinnya penuh dengan welasasih ini, selain tidak suka memukul orang, juga merasa amat kasihan kepada Thian-tok yang dia tahu sedang menderita luka cukup parah di sebelah dalam tubuhnya. Dan memang benarlah. Pertemuannya dengan bekas muridnya yang murtad, yaitu Koan Jit, yang memukulnya dengan tiba-tiba sehingga kakek itu terluka, membuat tenaganya banyak berkurang, bahkan kalau dia terlalu mengerahkan tenaga dalam, amat membahayakan diri sendiri. Karena merasa kasihan inilah, maka Siauw-bin-hud hanya mengelak dan menangkis saja atas semua desakan Thian-tok yang mempergunakan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hong Kun-hoat yang amat diandalkannya itu. Selama puluhan tahun dia menyempurnakan ilmu ini dan selama ini belum pernah menemui tandingan.

Ci Kong memandang penuh kekhawatiran, karena pemuda inipun dapat melihat betapa hebatnya serangan-serangan Thian-tok dan betapa susiok couwnya hanya mengelak dan menangkis saja dengan sikap amat mengalah. Kakek gurunya itu sudah amat tua, dan betapapun sakti dan tinggi ilmunya, usia tua membuat tubuh itu tentu saja ringkih. Mana mungkin kakek itu dapat bertahan terus menghadapi serangan dengan ilmu sedahsyat itu kalau hanya mengelak dan menangkis saja tanpa membalas sama sekali.

Sementara itu, Thian-tok merasa makin penasaran. Siauw-bin-hud sekarang, tidak seperti empatpuluh tahun yang lalu, menghadapinya tanpa membalas dan sudah lewat limapuluh jurus, belum juga dia mampu menyentuh tubuh kakek itu, apalagi merobohkan! Padahal, Siauw-bin-hud sama sekali tidak pernah membalasnya. Empatpuluh tahun yang lalu, setelah melalui perkelahian mati-matian selama belasan jam, baru Siauw-bin-hud mampu mengalahkannya, akan tetapi Siauw-bin-hud ketika itu balas menyerang, tidak seperti sekarang ini, sama sekali tidak membalas dan hanya mengelak dan menangkis saja. Sungguh tak mungkin dia dapat menerimanya, bahkan sukar mempercayanya.

Maka, tanpa memperdulikan luka yang dideritanya akibat pukulan bekas muridnya, kakek gendut ini menyerang terus mati-matian. Dia tahu bahwa dengan lukanya, dia sama sekali tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Hal ini akan membuat luka pukulan beracun bekas muridnya itu menjadi semakin parah. Akan tetapi, Thian-tok memiliki watak yang angkuh dan kepala batu, maka dia tidak memperdulikan diri sendiri dan terus menyerang dengan maksud mengalahkan, kalau mungkin membunuh. Sepasang matanya sudah merah, mulutnya masih tersenyum, menyeringai menyeramkan karena dalam senyum ini terbayang nafsu membunuh! Dia tidak perduli bahwa lawannya tidak pernah membalas, dan hal ini malah dianggap amat menguntungkan, memberi kesempatan sebanyaknya kepadanya untuk menang. Sikap Siauw-bin-hud yang mengalah itu dianggap suatu kebodohan, ketololan lawan yang menguntungkan dirinya!

“Aagghhhh...!” Tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerangan rendah yang menggetarkan tanah sekitar tempat itu, seperti seekor raja hutan menggereng dengan dahsyatnya dan sambil mengeluarkan suara gerengan itu, Thian-tok menubruk ke depan, kedua tangannya mendorong ke arah dada Siauw-bin-hud sambil mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya. Agaknya Thian-tok sekali ini mengeluarkan segalanya untuk merobohkan lawan.

“Omitohud... kau menyiksa dirimu sendiri”

Siauw-bin-hud berseru dan hwesio gendut ini tidak sempat mengelak lagi, terpaksa mengulur kedua tangannya menyambut. Siauw-bin-hud yang berhati penuh welas asih itu tidak mengerahkan tenaga keras, melainkan menggunakan kelembutan menerima serangan dahsyat dari lawan.

“Plakkk...!”

Tubuh Siauw-bin-hud terlempar ke belakang dan diterima oleh Ci Kong dengan lembut. Tubuh Thian-tok tetap berdiri tegak, dengan kedua kaki terpentang lebar, dan dia tertawa bergelak, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berganti suara muntah-muntah, dan dari mulutnya tersembur keluar darah segar, lalu diapun terjungkal! Dua orang muridnya cepat melompat dan membantunya bangkit duduk, kemudian Thian-tok cepat bersila dan mengatur pernapasannya yang memburu. Dia terluka semakin hebat oleh tenaganya sendiri yang membalik.

Sementara itu, Siauw-bin-hud ternyata tidak apa-apa, hanya mukanya saja berobah agak pucat dan nampak kakek ini lelah sekali. Seperti juga Thian-tok, dia duduk bersila memejamkan mata dan pernapasannya berjalan dengan lembut dan panjang.

Ong Siu Coan merasa penasaran dan tersinggung sekali karena gurunya jelas mengalami kerugian atau kekalahan dari kakek Siauw-lim-pai. Dia memang licik. Melihat betapa kakek yang sakti dari Siauw-lim-pai itu agaknya juga terluka atau setidaknya kehabisan tenaga, diapun meloncat ke depan menantang.

“Orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong! Kalian datang untuk mengganggu kami, majulah dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”

Mendengar tantangan murid Thian-tok ini, Ci Kong bangkit berdiri dari samping suhunya. Ingin dia menyambut tantangan itu, dan biarpun dia tahu bahwa kaum sesat tidak segan untuk berbuat curang dan mengeroyok, namun pemuda perkasa ini tidak merasa gentar. Yang membuat dia tidak enak adalah susiok-couwnya. Tanpa ijin kakek itu, tentu saja dia tidak berani sembarangan turun tangan. Maka, biarpun dia sudah berdiri menghadapi Siu Coan, dia menoleh kepada kakek gurunya yang masih duduk bersila sambil memejamkan matanya.

Agaknya, tanpa membuka matanya, Siauw-bin-hud maklum akan keraguan cucu murid itu. Diapun menggerakkan bibirnya dan biarpun tidak ada suara keluar dari mulutnya, namun Ci Kong mendengar bisikan di dekat telinganya.

“Ingat, kita datang bukan untuk mencari permusuhan. Serahkan saja kepada pinceng dan jangan ikut mencampuri urusan ini.”

Mendengar bisikan ini, Ci Kong menarik napas panjang untuk mencairkan kebekuan di dalam batinnya karena penasaran tadi, dan diapun duduk kembali bersila di belakang susiok-couwnya. Melihat ini, Siu Coan tertawa bergelak dengan sikap menghina.

“Ha-ha-ha… setelah tua bangka itu luka dan lelah, engkau kehilangan nyali!” Itulah penghinaan yang hebat bagi seorang gagah. Setiap orang pendekar pantang untuk merasa takut, dan makian bahwa dia kehilangan nyali merupakan penghinaan yang sukar dapat ditahan. Dan ini merupakan ujian berat bagi Ci Kong. Pemuda ini hanya menundukkan mukanya yang sebentar merah dan sebentar pucat menahan kemarahan yang berkobar di dalam dada. “Hemm, kalau kalian diam saja, biarlah aku yang turun tangan, menyelesaikan pekerjaan suhu yang kepalang tanggung tadi. Aku akan bunuh

kalian!”

Su Coan berkata lagi dan Seng Bu hanya memandang bingung. Di dalam hatinya dia tidak setuju dengan sikap suhengnya itu. Akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap membela musuh! Maka, pemuda ini hanya diam saja dan memandang dengan mata terbelalak penuh ketegangan.

Ong Siu Coan sudah melangkah maju, siap untuk menyerang kakek gendut itu. Diapun dapat menduga bahwa kakek itu sakti sekali, biarpun nampak lelah akan tetapi harus dihadapi dengan amat hati-hati.

“Siu Coan, mundurlah!”

Tiba-tiba terdengar suara Thian-tok. Siu Coan terkejut sekali dan diapun mundur lagi, tidak berani menentang perintah gurunya. Lalu terdengar Thian- tok tertawa.

“Heh-heh-heh, anak bodoh. Aku sendiri saja tidak mampu menandinginya, apa engkau kepingin mampus, berani mencoba untuk menyerangnya?”

“Suhu, untuk membela suhu, aku berani menghadapi kematian!” kata Siu Coan dengan sikap gagah.

Kembali Thian-tok tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, gagah-gagahan apa untungnya? Mundur dan jangan mencampuri urusanku dengan Siauw-bin-hud. Eh, Siauw-bin-hud, aku tidak perlu malu mengatakan bahwa sekali inipun aku belum mampu menandingimu. Nah, aku memenuhi janjiku tadi. Mari kita bicara tentang Giok-liong-kiam. Apa kehendakmu mengenai pusaka itu?”

“Ha-ha, engkau bersikap baik sekali, Thian-tok. Pinceng tidak tamak dan tidak butuh pusaka. Akan tetapi karena engkau merampas pusaka itu mempergunakan nama pinceng, atau setidaknya semua orang menyangka pinceng yang merampasnya, maka pinceng ingin membersihkan suasana. Serahkan pusaka itu kepada pinceng agar dapat pinceng kembalikan kepada yang berhak.”

“Siapa yang berhak?”

“Karena pusaka itu dicuri orang dari pusat Thian-te-pai, maka tentu saja akan pinceng kembalikan kepada mereka.”

“Uhh, tolol kalau kaukembalikan kepada mereka! Yang berhak memiliki pusaka itu adalah orang yang paling sakti di dunia ini. Siapa yang mampu memilikinya, dialah yang berhak menjadi pemiliknya.”

“Ha-ha-ha… tidak ada gunanya berdebat tentang pendapat, Thian-tok.

Serahkan pusaka itu dan pinceng akan akan pergi.”

“Heh-heh, tak kusangka engkau sebodoh ini, Siauw-bin-hud. Ketika engkau baru datang tadi, sudah kukatakan bahwa kedatanganmu terlambat. Baru pagi tadi pusaka itu hilang dari tanganku.”

“Omitohud...! Hilang lagi?”

“Bekas muridku yang amat pandai, mungkin lebih pandai dari pada aku sendiri, bernama Koan Jit, tadi datang dan mengambil pusaka itu. Kalau saja dia tidak lebih dulu datang dan melukai aku dengan pukulannya yang beracun, belum tentu sekarang aku sudah menyerah kalah padamu!”

“Omitohud! Muridmu sendiri yang merampasnya dan memukulmu? Hemm, dia bernama Koan Jit? Dimanakah tempat tinggalnya?”

“Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud. Engkau seperti nenek-nenek bawel saja dalam bertanya. Dimana dia? Mana aku tahu? Cari saja sendiri, nama Hek-eng- mo tidak sukar untuk dikenal.”

Siauw-bin-hud mengangguk-angguk.

“Hek-eng-mo! Hemmm, terima kasih, Thian-tok, selamat tinggal.”

Kakek gendut itu sambil tersenyum lalu menjura ke arah kakek gendut lainnya yang masih duduk bersila, kemudian memberi isyarat kepada Ci Kong untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dua orang murid Thian-tok tidak berani mengganggu dan hanya mengikuti gerakan dua orang itu dengan pandang mata sampai mereka lenyap di sebuah tikungan.

Setelah dua orang itu pergi, Thian-tok memandang kepada dua orang muridnya. Mulutnya masih menyeringai, akan tetapi sekarang nampak bahwa kakek ini menderita kesakitan yang ditahan-tahan sejak tadi.

“Siu Coan dan Seng Bu, mulai hari ini kalian boleh turun gunung dan berpencar. Kalian kuberi tugas untuk mewakili aku, mencari Koan Jit dan berusaha merampas kembali Giok-liong-kiam sebelum keduluan orang lain. Hati-hati, setelah kini Siauw-bin-hud tahu, tentu tugas kalian akan menjadi semakin berat karena akan terdapat banyak saingan. Siapa di antara kalian yang berhasil membawa Giok-liong-kiam kepadaku, akan kuwarisi ilmu pedang yang cocok untuk dimainkan dengan Giok-liong-kiam, dan dia yang akan menjadi pemilik Giok-liong-kiam. Nah, pergilah kalian, aku harus mengaso dan bertapa lagi untuk mengobati lukaku.”

“Tapi, suhu. Kemanakah aku harus mencari suheng Koan Jit itu?” Siu Coan bertanya.

“Ha-ha, kalau engkau pintar, tidak akan sukar mencari murid murtad itu. Julukannya Hek-eng-mo, dia haus akan kedudukan, ingin menjadi jago nomor satu di dunia, dan aku sendiri tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Akan tetapi ada dua hal yang patut kauingat dan selidiki. Dia sahabat baik pai-cu (ketua) dari perkumpulan wanita Ang-hong-pai, dan dia musuh besar perkumpulan Thian-te-pai. Agaknya karena permusuhannya itulah yang membuat dia ingin memiliki Giok-liong-kiam yang pernah menjadi pusaka Thian-te-pai. Sudahlah, aku tidak tahu apa-apa lagi. Kalian pergi dan selidiki sendiri.”

Mereka menuruni puncak bersama. Seng Bu menggendong sebuah buntalan pakaian yang kecil, hanya terisi beberapa potong pakaiannya. Sebaliknya, Siu Coan membawa bungkusan yang agak besar karena selain pakaiannya, juga diam-diam pemuda ini mengambil beberapa barang berharga dari dalam guha untuk bekal. Pemuda yang cerdik ini tahu bahwa perjalanan jauh membutuhkan banyak biaya, maka diam-diam dia mengambil beberapa puluh tail emas dari simpanan gurunya. Hal ini tanpa setahu gurunya. Karena andaikata Thian-tok tahu sekalipun, dia tidak akan marah, bahkan merasa bangga kalau muridnya itu pandai mencuri, satu di antara ciri kejahatan orang sesat. Setelah tiba di jalan simpangan, Siu Coan berkata.

“Sute, kita berpisah, karena kalau berpisah akan lebih mudah bagi kita untuk mencari jejak suheng Koan Jit. Apakah engkau telah membawa bekal, sute?” tanya Siu Coan sambil memandang buntalan di punggung sutenya, buntalan yang kecil itu.

Seng Bu mengangguk.

“Semua pakaianku sudah kubawa, suheng.”

“Bukan itu maksudku. Apa kaukira pakaian saja sudah cukup? Engkau butuh makan, dan mungkin butuh perahu atau kuda, semua itu membutuhkan uang. Apa engkau sudah membawa uang?”

“Uang ?”

Seng Bu bertanya dengan muka bodoh. Maklumlah, sejak kecil Seng Bu menjadi yatim piatu dan gelandangan sampai bertemu dengan Thian-tok dan diambil murid dan sampai sudah dewasa itu, dia tidak pernah mempergunakan uang, tidak pernah membeli apa-apa dan juga tidak memperhatikan soal harta benda, berbeda dengan Siu Coan yang banyak bertanya dan banyak melihat. Bahkan dalam hal ilmu baca tulis, Seng Bu kalah jauh dibandingkan dengan Siu Coan.

Siu Coan tertawa melihat kebodohan sutenya.

“Aih, sute. Tentu saja uang, atau barang berharga yang dapat dipakai untuk membeli kebutuhan dalam perjalananmu. Nih, aku sudah menduga bahwa engkau tentu tidak membawa bekal, terimalah ini untuk bekal.”

Seng Bu menerima belasan tail emas dari suhengnya dengan perasaan berterima kasih. Baru dia teringat bahwa kehidupan di tempat ramai membutuhkan uang dan diapun teringat akan keadaannya di waktu dahulu, sampai seringkali kelaparan karena tidak mempunyai uang untuk membeli makanan.

“Terima kasih, suheng. Engkau baik sekali.” Kembali Siu Coan tersenyum.

“Sute, setelah kita berpisah di sini, kemanakah engkau akan pergi dan apa tujuanmu? Kemana engkau hendak mencari Koan Jit?”

Seng Bu menggeleng kepala.

“Entahlah, suheng. Terus terang saja, aku tidak tertarik untuk mencarinya dan merampas pedang pusaka itu. Aku akan merantau dan mungkin mencari pekerjaan, dan tentu saja aku akan mencoba melanjutkan pekerjaan orang tua dahulu, yaitu berburu.”

Siu Coan tertawa bergelak. Setelah kini bebas bersama sutenya, watak guru mereka yang suka tertawa agaknya menurun kepadanya.

“Aihh, sute. Berburu binatang? Lalu apa artinya sampai bertahun-tahun dengan susah payah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Suhu?”

“Tentu saja kalau ada orang jahat menindas yang lemah, aku akan bangkit melindungi dan membela yang lemah, menentang si jahat yang sewenang- wenang! Bagaimana dengan engkau, suheng?”

Kembali Siu Coan tertawa geli.

“Aihh, engkau dengan cita-citamu yang muluk. Ingin menjadi pendekar, ya? Pendekar murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang justeru menjadi datuk-datuk kaum sesat. Alangkah lucunya dan siapa mau percaya padamu, Sute?”

“Suheng…” kata Seng Bu dengan wajah serius.

“Aku belajar dari suhu Thian-tok adalah untuk belajar ilmu silat, bukan untuk mempelajari perbuatan jahat. Dan kalau aku dapat melakukan kebaikan dan kegagahan, sedikitnya nama suhu akan terangkat dan siapa tahu dapat mencuci dan membersihkan namanya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk membalas budi suhu. Dan engkau sendiri, suheng?” “Aku tentu saja akan mencari Koan Jit dan merampas pusaka itu. Pula, aku tetap akan melanjutkan cita-cita para patriot. Aku akan mencari kawan-kawan, aku akan berjuang menentang pemerintah penjajah asing!”

Dengan sikap gagah dan sungguh-sungguh, Siu Coan berdiri tegak dengan muka menengadah dan kedua tangan dikepal. Sutenya memandang kagum dan mengangguk-angguk.

“Kelak kalau engkau sudah berjuang dengan pasukanmu, aku akan membantumu, suheng. Aku juga menghargai perjuangan para patriot menentang penindasan orang-orang Mancu.”

“Baik, sute, dan selamat berpisah. Kita mengambil jalan sendiri-sendiri, dan mudah-mudahan kita akan dapat berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik, sute.”

Dua orang pemuda itupun saling pegang pundak, lalu saling memberi hormat dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Sementara itu, Siauw-bin-hud serta Ci Kong kembali ke Siauw-lim-si karena waktunya telah tiba bagi para tokoh yang datang enam tahun yang lalu untuk berkumpul di Siauw-lim-si seperti yang telah dijanjikan oleh kakek gendut itu. Di sepanjang perjalanan, kakek dan pemuda itu mendengar betapa pergerakan orang-orang yang menentang pemerintah makin menjadi-jadi, betapa kekacauan timbul dimana-mana, terutama sekali karena ulah orang- orang kulit putih yang menyebarkan candu. Makin terasalah pengaruh racun madat di antara rakyat, dan walaupun yang terkena sebagian besar adalah orang-orang hartawan dan bangsawan, namun keguncangan-keguncangan terjadi karena harta benda penduduk dihisap dan ditukar dengan benda yang beracun dan amat berbahaya itu. Diam-diam Siauw-bin-hud merasa prihatin sekali, oleh karena itu setelah tiba di kuil Siauw-lim-si, dia cepat berunding

dengan para pimpinan kuil dan juga dengan Ci Kong.

“Ci Kong, pinceng dan para suhu di sini adalah pendeta-pendeta yang tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemerintah. Akan tetapi engkau bukan seorang hwesio dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Kini bangsa kita sedang terancam bahaya besar berupa candu. Karena itu, engkau harus turun gunung dan membantu setiap gerakan rakyat yang hendak menentang diperbolehkannya candu meracuni bangsa kita. Dengan adanya engkau yang mewakili kami, berarti Siauw-lim-pai juga ikut membantu. Kami akan memberi anjuran yang sama kepada semua murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta.” Demikian antara lain Siauw-bin-hud berkata.

Di sepanjang perjalanan, Ci Kong sudah mendengar banyak sekali tentang candu dan racunnya yang mengakibatkan lemahnya rakyat dari kakek itu, maka kini tanpa ragu-ragu lagi diapun menerima perintah itu. Dengan membawa bekal pakaian dan sedikit perak, pemuda ini meninggalkan Siauw-lim-si. Karena itu dia tidak tahu betapa beberapa hari kemudian, sesuai dengan janji Siauw-bin-hud, di kuil itu berdatangan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, termasuk Hai-tok dan San-tok yang hendak menagih janji. Yang datang kini lebih banyak lagi, karena banyak tokoh dunia kang-ouw ingin melihat sendiri bagaimana caranya Siauw-bin-hud membersihkan nama dan mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam yang menghebohkan itu.

Seperti juga enam tahun yang lalu, sekali ini San-tok atau Bu-beng San-kai datang bersama murid tunggalnya, yaitu Siauw Lian Hong. Akan tetapi siapapun akan pangling kalau bertemu dengan murid Racun Gunung itu. Enam tahun yang lalu masih seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih sebelas atau duabelas tahun, dan sekarang ia telah menjadi seorang gadis yang berusia hampir delapanbelas tahun! Kini ia telah menjadi seorang wanita yang cantik jelita walaupun pakaiannya sederhana sekali. Walaupun pakaian itu amat bersih, akan tetapi terbuat dari bahan yang kasar dan murah, dengan potongan yang ringkas sederhana, akan tetapi yang tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang sedang, ramping dan padat, tidak dapat menyembunyikan kulit putih kuning mulus yang nampak pada leher, tangan dan lengan sampai di siku. Sepasang matanya masih lebar seperti enam tahun yang lalu, akan tetapi kalau dulu lebar kekanak-kanakan, kini mata itu lebar dan tajam, dengan sudut-sudut yang tajam menarik, dengan alis yang hitam melengkung seperti dilukis, dengan bulu mata yang panjang lentik. Sinar matanya dapat menyambar secepat pedang, tajam terbuka. Hanya satu sifat yang masih dimiliki seperti enam tahun yang lalu, yaitu pendiam dan alim. Sebatang kipas lebar yang kedua gagangnya berujung runcing terselip di pinggang, karena kipas ini merupakan senjata ampuhnya yang diberikan oleh suhunya.

Hai-tok Tang Kok Bu kini juga sudah nampak tua, akan tetapi pakaiannya masih jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang hartawan dan berpengaruh, diikuti oleh pengawal-pengawal muda yang tanpan dan halus, masih memegang tongkatnya, yaitu Kim-kong-pang!

Di samping dua orang di antara Empat Racun Dunia ini, masih ada pula beberapa rombongan orang kang-ouw yang ingin mendengar tentang Giok- liong-kiam. Ketika Siauw-bin-hud muncul dari dalam kuil, suasana menjadi kacau, dan orang pertama yang menyambutnya adalah Bu-beng San-kai atau San-tok. Dengan senyumnya yang khas, sikapnya yang sembarangan dan tanpa sopan santun lagi, kakek yang usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih itu berkata.

“Heh-heh, engkau masih hidup, Siauw-bin-hud? Bagus sekali, aku sudah khawatir kalau-kalau engkau mati dalam menunaikan tugas! Dan mana itu Giok-liong-kiam?”

“Ya, dimana Giok-liong-kiam kami, locianpwe?” tanya Coa Bhok.

Wakil ketua Thian-te-pai yang kini kembali datang mewakili perkumpulannya, dikawani oleh duabelas orang murid. Coa Bhok yang menjadi wakil ketua Thian-te-pai itupun sudah nampak tua, sudah enampuluh tahun usianya.

Siauw-bin-hud tertawa bergelak, seperti merasa geli. Hal ini membuat Hai- tok menjadi marah.

“Hati-hati, Siauw-bin-hud! Jangan kau mempermainkan aku yang jauh-jauh datang menagih janji, atau... tongkatku takkan mengampuni tubuhmu yang sudah tua renta itu!”

Mendengar ancaman ini, Siauw-bin-hud menjadi semakin geli dan senyumnya melebar.

“Ha-ha-ha, betapa lucunya melihat kalian ini orang-orang tua masih saja dicengkeram setan tamak sehingga begitu haus memperebutkan sebuah benda mati. Giok-liong-kiam tidak ada padaku. Pinceng bahkan belum pernah melihatnya, ha-ha-ha…!”

“Aihh, Siauw-bin-hud, apa kau berani mengatakan bahwa engkau akan melanggar janji, menjilat ludah sendiri?”

San-tok berkata, kaget karena sukar dia membayangkan kakek gendut Siauw-lim-pai ini berani melanggar janji, padahal sejak dahulu Siauw-bin-hud terkenal sebagai seorang gagah yang memegang teguh janjinya dan dapat dipercaya sepenuhnya.

“Ha-ha-ha, San-tok, makin tua kau makin kurang sabar saja. Baiklah, dengarkan semua kawan yang sudah melimpahkan kehormatan kepada pinceng sehingga hari ini berkumpul di sini. Selama enam tahun ini, sama sekali pinceng tidak pernah melanggar janji. Pinceng menjelajahi hampir seluruh dunia untuk mencari jejak perampas Giok-liong-kiam yang menyamar sebagai pinceng. Dan pinceng sudah bertemu dengan orangnya!”

Kakek itu berhenti sebentar, membiarkan semua orang saling pandang dan keadaan menjadi berisik.

“Ha-ha-ha, kalian berdua, Hai-tok dan San-tok, kiranya tidak akan sukar menduga siapa orangnya. Agaknya kalian hanya pura-pura saja tidak tahu selama ini, bukan?”

Ketika dua orang kakek itu saling pandang dengan mata dilebarkan, Siauw- bin-hud menyambung.

“Ya, siapa lagi pelawak yang membuat lelucon yang tidak lucu itu kalau bukan rekan kalian Thian-tok?”

“Ahhh…” Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai berseru.

“Apakah buktinya bahwa beliau yang menyamar sebagai locianpwe?” tanyanya karena menghadapi seorang tokoh yang namanya pernah menjulang ke langit seperti Thian-tok, bukan hal yang boleh dibuat main-main.

“Ha-ha-ha, memang dia tidak pernah mau mengaku bahwa dia telah memalsukan nama pinceng. Dan dia benar, si cerdik itu! Dia hanya mencukur rambut dan menutupi bulu di dadanya dengan jubah kuning, cukuplah. Memang wajahnya mirip pinceng. Dan dia mengaku bahwa Giok-liong-kiam berada di tangannya, sampai pada hari dia bertemu dengan pinceng itu...”

“Ha-ha-ha, jadi si Racun Langit itu mengalah dan mengembalikan pusaka itu kepadamu, Siauw-bin-hud?”

San-tok mentertawakan rekannya yang disangkanya mengalah atau takut kepada hwesio ini sehingga mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam.

Kembali semua orang kecewa melihat Siauw-bin-hud tersenyum lebar sambil menggeleng kepalanya menjawab pertanyaan San-tok itu.

“Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu telah dirampas orang lain, hanya beberapa jam sebelum pinceng tiba di sana.”

Kembali terdengar suara berisik dari semua orang yang hadir, dan Hai-tok memukulkan tongkatnya ke atas tanah.

“Kalau bukan Siauw-bin-hud yang bicara, sungguh mati aku tidak akan dapat percaya begitu saja. Siapakah orang yang dapat merampas pusaka itu dari tangan Thian-tok?”

“Perampasnya adalah bekas muridnya sendiri yang bernama Hek-eng-mo Koan Jit. Jangan tanyakan dimana dia tinggal, karena pinceng sendiri juga tidak tahu. Nah, selesailah urusan Giok-liong-kiam ini yang mengait nama pinceng. Harap kalian jangan mengganggu pinceng lagi.”

Tentu saja semua tokoh itu merasa kecewa mendengar ini. Tak mereka sangka bahwa pusaka itu telah lenyap lagi begitu mereka ketahui jejaknya. Dan di antara mereka banyak yang sudah mendengar akan nama Koan Jit yang berjuluk Hek-eng-mo. Apalagi wakil ketua Thian-te-pai Coa Bhok. Wajahnya berobah ketika dia mendengar bahwa pusaka perkumpulannya itu telah terjatuh ke tangan Hek-eng-mo Koan Jit! Iblis Bayangan Hitam itu bukan orang asing bagi Thian-te-pai, karena merupakan musuh besar! Akan tetapi, keterangan itu mereka dengar dari Siauw-bin-hud yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Kakek pendeta Siauw-lim-pai itu tidak mungkin membohong. Maka merekapun bubaran dan kini terjadi lagi perlumbaan yang dipersiapkan, yaitu untuk mencari Hek-eng- mo Koan Jit dan mencoba untuk merampas pusaka Giokliong-kiam dari tangannya. Akan tetapi, tentu saja hanya tokoh-tokoh besar yang akan berani melakukan ini, karena semua orang sudah mendengar belaka akan kesaktian Iblis Bayangan Hitam itu yang namanya tidak kalah menakutkan dibandingkan Empat Racun Dunia.

San-tok Bu-beng San-kai mengajak muridnya meninggalkan Siauw-lim-si, dan di tengah perjalanan, kakek ini tiada hentinya senyum-senyum sendiri.

“Heh-heh, sungguh lucu sekali! Sejak dahulu aku sudah menduga bahwa tentu Racun Langit itu yang menyamar sebagai Siauw-bin-hud, akan tetapi karena ragu-ragu yang kukejar-kejar adalah Siauw-bin-hud. Sayang baru sekarang aku yakin setelah pusaka itu dirampas oleh si maling cilik Hek-eng- mo.”

“Su hu, siapakah Hek-eng-mo itu?” tanya Lian Hong ketika mereka berhenti di bawah pohon yang rindang di kaki gunung.

Setelah dewasa, Lian Hong tidak lagi menyebut kakek kepada San-tok, melainkan Suhu, karena ia menganggap sebutan ini lebih patut dan tepat.

Bagaimanapun juga, ia bukan cucu aseli dari kakek itu, dan yang jelas ia adalah muridnya. Ketika tadi diadakan pertemuan di Siauw-lim-si, gadis inipun diam-diam amat memperhatikan penuturan kakek gendut Siauw-bin-hud. Ia merasa kagum dan suka kepada kakek gendut itu, karena bagaimanapun juga, ia telah menerima warisan tenaga singkang dari kakek itu enam tahun yang lalu. Gurunya sendiri yang memberi keterangan kepadanya bahwa ia beruntung telah menerima warisan tenaga sinkang itu dari kakek sakti Siauw- bin-hud, bahkan gurunya pernah mengatakan bahwa ia telah menerima warisan tenaga dari Siauw-bin-hud dan betapa suhunya juga mengoper tenaga sakti kepada anak laki-laki yang menjadi murid Siauw-lim-pai, maka antara ia dan pemuda cilik itu terdapat pertalian saudara seperguruan.

“Hek-eng-mo adalah murid Thian-tok. Dia lihai dan cerdik bukan main, amat mengagumkan betapa dia pernah mencuri harta pusaka gurunya, bahkan kini merampas Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok. Ha-ha, ingin sekali aku melihat muka Thian-tok yang dikibuli oleh muridnya sendiri itu!”

“Suhu, aku jadi tertarik sekali mendengar tentang perebutan Giok-liong- kiam. Ingin sekali aku mencari Hek-eng-mo itu dan merampas pusaka dari tangannya.”

San-tok yang duduk bersila di atas rumput sambil mengipasi badannya dengan kipas bututnya, menghentikan gerakan tangannya dan menatap wajah muridnya yang cantik itu. Setelah melatih gadis ini selama duabelas tahun, San-tok merasa sayang sekali kepada murid ini yang dianggap sebagai satu- satunya orang yang dimilikinya di dunia ini, menjadi seperti anaknya atau cucunya sendiri. Inilah sebabnya maka dia menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lian-Hong yang memang berbakat baik sekali. Mendengar ucapan muridnya, dia benar-benar merasa terkejut dan heran. Biasanya, muridnya ini pendiam dan tidak banyak kehendak, akan tetapi tiba- tiba saja muridnya menyatakan hendak ikut memperebutkan Giok-liong-kiam! “Heh-heh, Hong Hong, cucuku juga muridku yang baik, sungguh mati aku merasa terkejut sekali mendengar ucapanmu tadi. Engkau tiba-tiba saja ingin memperebutkan Giok-liong-kiam! Apa artinya ini?”

“Selama belasan tahun suhu telah melimpahkan budi kepadaku. Aku ingin merampas pusaka itu untuk suhu, sekedar pembalas budi. Bukankah suhu menghendaki pusaka itu sehingga ikut pula datang ke Siauw-lim-si? Selain itu, untuk apa suhu susah-susah melatih ilmu silat kepadaku kalau tidak kupergunakan sekarang?”

Belum pernah muridnya ini bicara sebanyak itu, dan San-tok tertawa gembira. Hatinya merasa gembira dan hangat karena muridnya ini dengan terus terang menyatakan ingin membalas budi kepadanya. Dia adalah seorang tua yang cerdik dan banyak pengalaman, maka diapun dapat menjenguk isi hati muridnya. Muridnya selama duabelas tahun selalu ikut dengannya dan kini muridnya itu, setelah menguasai ilmu yang tinggi, tentu saja ingin bebas seperti burung di udara, melakukan segala yang diinginkannya sendiri. Tentu muridnya akan membalas kematian ayah bundanya pula. Kembali dia mengipasi badannya.

“Engkau benar, Hong Hong. Memang ilmu yang telah banyak kaupelajari itu perlu dipergunakan dan dimanfaatkan. Akan tetapi ketahuilah, segala macam ilmu yang kaumiliki itu masih belum mampu melindungi dirimu dan menjamin keselamatan. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang lihai sekali. Hanya kalau engkau berhati-hati dan waspada sajalah maka engkau akan dapat melindungi dirimu sendiri. Apalagi kalau berhadapan dengan Hek-eng-mo! Berhati-hatilah. Dia itu selain lihai ilmu silatnya, juga amat licik dan suka main-main dengan racun. Sayang, aku sudah terlalu tua dan sudah malas untuk pergi merantau. Maka, biarlah aku akan menanti saja sambil bertapa di puncak yang paling kusenangi.”

“Di puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san itu?” Kakek itu mengangguk.

“Aku selalu ingin mengakhiri hidupku di tempat indah itu. Aku akan menanti kembalimu di sana, Hong Hong.”

“Baik, suhu. Berilah waktu dua tahun kepadaku dan berhasil atau tidak dalam mencari Giok-liong-kiam, aku akan datang mengunjungi suhu di puncak Naga Putih.”

Mereka saling berpisah di kaki gunung itu juga. Siauw Lian Hong pergi meninggalkan suhunya sambil membawa buntalan pakaian dan bekal sedikit perak pemberian gurunya, juga tidak ketinggalan membawa kipas yang terselip di pinggangnya.

Gadis cantik sederhana ini melangkah dengan tegap dan tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, San-tok yang masih duduk bersila itu mengikuti kepergian muridnya dengan mata sayu. Senyumnya lenyap dan wajahnya membayangkan kesedihan. Berulang kali dia menghela napas panjang, merasa betapa hati dan semangatnya seperti terbang mengikuti gadis itu. Duabelas tahun dia hidup di samping muridnya dan dia merasa betapa setelah mempunyai murid itu, perobahan besar terjadi pada batinnya. Hidup seperti ada artinya dan hatinya tidak keras lagi seperti dahulu. Kini, melihat gadis itu pergi meninggalkannya, dia merasa kehilangan, kesepian dan berduka sekali, perasaan yang selamanya belum pernah dialaminya!

Kakek yang pernah menjadi seorang di antara Empat Racun Dunia, yang pernah menjadi datuk kaum sesat, yang dianggap jahat seperti iblis, yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman itu, kini duduk termenung dan dia tidak merasa bahwa senyum yang biasanya selalu membayang di mulutnya itu kini sama sekali lenyap, terganti oleh bayangan duka yang membuat kedua matanya menjadi basah!

Duka adalah iba diri. Merasa iba kepada diri sendiri, merasa kehilangan, kecewa. Dan semua ini timbul dari aku yang merasa kehilangan, aku yang merasa kesepian, aku yang merasa menjadi orang paling sengsara di dunia. Aku adalah suatu gambaran yang dibuat oleh batin tentang diri sendiri, dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lampau. Aku penuh dengan harapan-harapan memperoleh kesenangan seperti yang pernah dialaminya, atau seperti yang pernah didengarnya, pernah dibacanya dan diketahuinya. Aku penuh dengan keinginan akan merasakan dan menikmati kembali segala hal yang menyenangkan, penuh dengan rasa takut kalau-kalau tidak akan memperoleh lagi semua kesenangan itu, takut kalau-kalau ditinggalkan oleh hal-hal yang menyenangkan. Aku yang selalu haus akan kesenangan ini menciptakan ikatan-ikatan, belenggu-belenggu dan rantai-rantai emas yang dianggapnya membahagiakan, namun yang berakhir dengan kedukaan. Ikatan dengan orang lain karena orang lain itu menyenangkan aku, ikatan dengan benda, dengan nama, dengan gagasan-gagasan.

Sekali ikatan ini menguasai aku, maka yang ada hanyalah duka dan sengsara. Ikatan ini sama dengan candu, sekali terikat sukar untuk dilepaskan, karena akan menimbulkan perasaan duka dan sengsara.

Semakin besar si aku menonjol, semakin banyak pula ikatan-ikatan terbentuk, dan semakin banyak pula duka mengelilingi batin. Bebasnya batin dari ikatan berarti runtuhnya singgasana sang aku, bersamaan dengan lenyapnya pula duka. Semua ini jelas sekali nampak, akan tetapi betapa sukarnya terbebas dari pada ikatan! Betapa sukarnya meniadakan gambaran tentang diri sendiri dalam bentuk aku yang makin hari makin kita bentuk dan perkuat!

Kolam air di belakang rumah gedung yang besar megah dan luas itu amat jernih airnya. Kolam buatan itu tentu amat mahal biaya pembuatannya dan hanya orang kaya seperti keluarga Ciu di Tungkang sajalah yang mampu membuatnya. Di sekitar kolam air yang luas itu terdapat taman bunga yang indah, dan batu-batu alam yang bentuknya aneh dan nyeni terdapat pula di dekat kolam. Akan tetapi, pada pagi hari yang sunyi itu nampaklah hal-hal yang amat aneh terjadi di situ. Para pelayan sudah dilarang keras untuk tidak memasuki taman sehingga apa yang terjadi tidak nampak oleh orang-orang lain yang tentu akan terheran-heran dan mungkin akan merasa ngeri dan takut.

Seorang kakek yang bertubuh kecil pendek sedang duduk bersila di atas batu karang di tepi danau buatan, meniup sebuah suling. Kakek ini bukan lain adalah Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti telah kita ketahui, sejak enam tahun yang lalu, Racun Bumi ini diterima oleh hartawan Ciu Lok Tai sebagai pengawal keluarga, juga guru Ciu Kui Eng. Tentu saja Tee- tok merasa senang sekali tinggal di rumah keluarga kaya raya itu. Dia sudah tua, sudah capai bertualang. Usianya sekarang sudah tujuhpuluh tahun lebih dan hidup enak-enak di rumah keluarga itu amat menyenangkan hatinya. Apalagi dia memperoleh murid seperti Kui Eng yang berbakat baik sekali.

Selama enam tahun, Tee-tok mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk memberi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi kepada muridnya, menurunkan semua ilmunya kepada murid tersayang itu. Dan pagi hari ini, muridnya sedang digembleng dengan latihan yang paling sukar, ilmu silat dengan penggunaan ginkang yang amat hebat. Latihan ini merupakan ujian terakhir bagi muridnya itu.

Suara suling yang ditiup kakek itu meliuk-liuk aneh, melengking-lengking dan matanya ditujukan ke tengan danau buatan mengikuti gerak-gerik muridnya. Dan di tengah danau itu, nampak Ciu Kui Eng sedang bersilat! Di atas air danau! Dan kedua kakinya yang kecil itu dengan ringannya berloncatan ke sana-sini, menginjak... ular-ular yang berseliweran di purmukaan air danau. Ular-ular air itu sengaja dilepas di danau itu dan mereka itu bergerak-gerak, berenang di permukaan danau seperti dipimpin oleh lengking suling. Ular-ular air yang besar-besar, dan kini Ciu Kui Eng menggunakan badan ular-ular itu untuk tempat berpijak ketika ia bersilat dengan gerakan yang luar biasa lincahnya.

Inilah ilmu silat yang paling aneh dan yang amat hebat, yang diajarkan oleh kakek itu kepada muridnya. Ilmu silat ini diberi nama Cui-beng Coa-kun (Silat Ular Pengejar Arwah)! Ilmu silat dengan latihan seperti ini membutuhkan gingkang yang luar biasa, juga membutuhkan pengerahan sinkang, gerakan yang cepat dan tepat, juga kematangan ilmu silat, karena kesalahan sedikit saja dapat membuat tubuh Kui Eng tergelincir dan terjatuh ke dalam air dimana dara ini akan dikeroyok oleh ular-ular itu. Hebatnya, ular-ular yang puluhan banyaknya itu berenang-renang seperti berbaris saja mengikuti irama suara suling yang aneh!

“Heiiiittt... plakk!”

Kini Kui Eng mulai menyerang. Sambil melompat, kakinya menyambar ke bawah dan seekor ular mati dengan kepala remuk. Dara itu berloncatan, mengeluarkan pekik-pekik nyaring dan mulailah ia membantai ular-ular itu, dengan sambaran kaki dan tangan, seperti ular-ular mematuk. Permukaan danau itu mulai merah oleh darah ular dan mulai dipenuhi bangkai-bangkai ular yang mengambang. Loncatan terakhir dilakukan dari atas bangkai-bangkai ular yang mengambang, dan ketika ia berjungkir balik sampai lima kali sebelum hinggap di atas batu di depan suhunya, puluhan ekor ular itu telah mati semua. Bau amis memenuhi tempat itu dan Tee-tok menghentikan tiupan sulingnya.

“Suhu, mari kita duduk di sana, di sini bau amis!”

Kui Eng mengernyitkan hidungnya yang kecil sehingga nampak manis dan lucu. Kui Eng sekarang telah menjadi seorang gadis yang manis sekali, berusia delapanbelas tahun. Wajahnya manis, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan memiliki pandang mata yang amat tajam seperti kilat menyambar. Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya digulung ke atas dan diikat dengan sutera kuning, karena ia sedang berlatih, maka ia memakai pakaian ringkas dan rambut yang digelung itu masih panjang sekali sisanya, bergerak-gerak ketika ia bersilat tadi seperti ekor kuda yang indah. Muka yang putih halus itu kini kemerahan dan agak basah oleh keringat, berseri-seri di dalam cahaya matahari pagi yang mememuhi taman.

Tee-tok tersenyum puas. Hebat memang muridnya ini.

“Engkau lulus ujian, Kui Eng, dan mulai sekarang tak perlu aku mengajarmu lagi. Sudah cukup ilmu kepandaianmu dan agaknya takkan mudah orang lain mengalahkanmu.”

Kui Eng menggandeng tangan suhunya dan dengan manja mengajak gurunya itu duduk di ruangan sebuah pondok merah yang berada di tepi taman. “Semua itu berkat budimu, suhu,” katanya dan iapun bertepuk tangan memanggil pelayan.

Tiga orang pelayan wanita datang berlarian dan mereka semua mengembang-kempiskan cuping hidung ketika mencium bau amis itu.

“Ih, bau apakah ini?”

“Begini amis, aku ingin muntah...!” Kui Eng tersenyum geli.

“Sudah, jangan cerewet. Suruh tukang kebon bersihkan kolam air.”

Tiga orang pelayan wanita itu berlarian ke dekat kolam, dan Kui Eng geli ketika mendengar jeritan-jeritan para wanita itu yang tentu saja menjadi terkejut, takut dan jijik melihat puluhan ekor bangkai ular mengambang di atas air kolam. Kui Eng lalu memerintahkan para pelayan wanita mempersiapkan hidangan makan pagi yang mewah untuk gurunya, dan para pekerja kebun disuruh membersihkan danau dari bangkai-bangkai ular itu.

Setelah makan pagi yang mewah dan lezat, dilayani oleh muridnya, Tee-tok lalu minta berjumpa dengan Ciu Lok Tai.

Hartawan Ciu ini sudah berusia enampuluh dua tahun, akan tetapi pakaiannya masih mewah dan rambutnya tersisir rapi penuh minyak. Jenggot dan kumisnya juga masih terpelihara dengan baik dan sinar matanya masih seperti dulu, bahkan mungkin lebih mata keranjang lagi. Semenjak Tee-tok berada di situ sebagai pengawal keluarganya, apalagi mengingat bahwa puteri tunggalnya kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat amat tinggi, yang tidak dapat dilawan oleh semua pengawal dan jagoan di Tung- kang maupun Kanton, hartawan ini menjadi semakin angkuh.

Ciu Wan-gwe yang diberitahu puterinya bahwa Tee-tok ingin bertemu dengannya dan bahwa kakek itu akan pergi karena puterinya sudah tamat belajar, menjadi kaget dan bergegas datang ke pondokan Tee-tok di dekat taman di belakang gedung itu.

“Berita apakah yang saya dengar dari Kui Eng ini? Locianpwe hendak pergi meninggalkan kami? Ah, kenapa begitu?”

Tee-tok tersenyum dan menggoyang tasbeh hitamnya. Kakek pendek kecil ini memang selalu membawa tasbeh dan tongkatnya, seperti seorang petapa atau seorang pendeta tosu saja.

“Muridku, puterimu ini sudah tamat belajar, Ciu Wan-gwe, pekerjaanku sudah selesai, maka aku harus pergi dari sini. Jangan khawatir, semua kepandaianku telah kuajarkan kepada puterimu, dan dengan adanya puterimu di sini, tak seorangpun akan berani mengganggu keluargamu, karena pengganggunya berarti sudah bosan hidup, heh-heh!”

Tee-tok memandang kepada muridnya dengan perasaan bangga.

“Eng sudah tamat belajar. Kami akan menjamin kehidupan locianpwe selanjutnya di sini, karena kami sudah menganggap locianpwe seperti keluarga sendiri.”

“Ha-ha, terima kasih, Wan-gwe. Akan tetapi, seorang perantau seperti aku ini, mana bisa selama hidupnya tinggal di suatu tempat? Betapapun indahnya tempatmu ini, betapapun enaknya hidupku di sini, lama-lama aku menjadi bosan juga. Aku rindu akan keheningan di tempat-tempat sunyi. Kui Eng, kalau sekali waktu engkau perlu bertemu denganku, engkau tahu kemana harus mencariku. Nah, selamat tinggal, aku akan pergi sekarang juga.”

Ciu Lok Tai terkejut dan berusaha menahan.

“Saya… saya harap, locianpwe tunggu sebentar, akan saya suruh ambilkan bekal.”

Akan tetapi kakek itu melangkah terus dan membalikkan tubuh ketika tiba di pintu, lalu berkata.

“Bekal? Maksudmu harta? Heh-heh, menjadi beban saja. Kalau aku butuh harta, apa sukarnya bagiku? Tinggal ambil saja di sepanjang perjalanan.”

Kemudian dengan sekali menggerakkan kakinya, kakek itu berkelebat lenyap dari pintu taman! Ciu Wan-gwe hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang puterinya.

“Ayah, orang luar biasa seperti suhu tidak sama dengan manusia lain. Ayah tidak perlu sungkan-sungkan terhadap suhu.”

Barulah hartawan itu menarik napas panjang.

“Aihh, bertahun-tahun dia berada di sini dan kita merasa aman tenteram. Kalau dia pergi, tentu saja hal itu membikin hatiku khawatir sekali. Apalagi sekarang suasana menjadi semakin keruh, banyak terjadi pemberontakan dan banyak orang jahat membikin kota-kota menjadi tidak aman.”

Puterinya tersenyum manis sekali.

“Mengapa ayah khawatir? Tidak percuma selama enam tahun aku menjadi murid suhu Teetok. Dengan adanya aku di sini, sama saja seperti kalau suhu berada di sini.”

Agaknya Kui Eng dapat menduga apa yang diragukan ayahnya. Ia seorang anak manja yang biasanya haus akan pujian. Apalagi sekarang, setelah ia merasa bahwa dirinya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka keraguan ayahnya akan kemampuannya membikin hatinya terasa panas dan kecewa.

“Ayah, sebaiknya ayah mengundang para jagoan di kota ini dan juga dari Kanton, dengan alasan apapun, dan aku akan memperlihatkan kepada mereka bahwa tak seorangpun dapat mengganggu kita. Aku akan tantang semua jagoan yang ada, dan akan kuperlihatkan kepada ayah bahwa tidak ada seorangpun yang akan mampu mengalahkan aku.”

Biarpun di dalam hatinya masih terdapat keraguan, akan tetapi hartawan Ciu menganggap usul ini amat baik. Bukan saja dia akan dapat membuktikan sendiri kehebatan puterinya, akan tetapi juga dapat dia memamerkannya kepada semua kenalannya, dan sekaligus nama puterinya akan terangkat dan takkan ada yang berani mengganggu keluarganya.

“Baik, akan kuundang mereka dengan dalih merayakan engkau tamat belajar silat. Akan tetapi yakin benarkah hatimu bahwa engkau akan dapat mengalahkan jagoan dari Kanton? Jangan main-main, di sana terdapat banyak orang pandai.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar