Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 22

Jilid 22

"Can Kongcu," ia menirukan panggilan yang dipergunakan Lui Seng Cu tadi. "Sebenarnya aku sendiri pun mulai percaya bahwa engkau adalah pewaris dari pendiri Thian-te-kauw dan engkau berhak memimpin perkumpulan kita. Akan tetapi karena kemunculanmu Begini tiba-tiba, tentu saja hati kami menjadi penasaran. Karena itu, aku pun Ingin sekali menguji kepandaianmu, dan lebih dulu aku ingin menguji ilmu kepandaianmu bertangan kosong."

Hong San memandang dan hatinya kagum. Wanita ini kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih, bahkan hampir enam puluh tahun, akan tetapi sungguh orang takkan percaya kalau melihatnya. Pantasnya ia baru berusia tiga puluh tahun lebih! Masih cantik dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping, dan anehnya, ada sesuatu yang menarik hanya pada wajah itu, seperti wajah seorang wanita yang pernah dikenainya. Perasaan pemuda ini memang tidak menipunya. Yang membuat ia merasa kenal adalah karena wajah Ban-tok Mo-li Pha Bi Cu mirip sekali, hanya berbeda usia dengan wajah puterinya, yaitu Sim Lan Ci, isteri Coa Siang Lee yang hampir saja menjadi korban perkosaan Hong San Hong San tersenyum. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ban- tok Mo-li adalah seorang wanita yang lihai lebih lihai dibandingkan Lui Seng Cu. Dari nama julukannya saja dia pun sudah menduga bahwa wanita ini tentu ahli racun dan memiliki pukulan-pukulan beracun maka sengaja menantangnya bertanding dengan tangan kosong. Tentu saja dia tidak merasa gentar. Ayahnya adalah seorang datuk besar golongan sesat, dan dia sudah banyak belajar dari ayahnya tentang pukulan yang mengandung hawa beracun dan bagaimana untuk mengatasinya.

"Baik sekali, Ban-tok Mo-li. Aku pun tidak ingin kita yang hanya menguji kepandaian sampai terluka oleh senjata tajam walaupun aku tahu bahwa kedua tangan dan kedua kakimu tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam Pedang  bagaimanapun. Nah, aku sudah siap!" Dia pun menyimpan kembali pedang dan sulingnya, lalu berdiri tegak menghadapi Ban-tok Mo-li, kelihatan tenang saja dan acuh, namun diam- diam dia siap siaga dengan penuh kewaspadaan. 

"Can Kongcu, sambut seranganku!" Ban-tok Mo-li tanpa sungkan lagi mendahului, membuka serangan dengan pukulan tangan kanan terkepal ke arah muka disusul cengkeraman tangan kiri yang membentuk cakar ke arah perut.

"Bagus sekali!" Hong San memuji sambil mengelak ke belakang, akan tetapi kaki kanan wanita itu menyusul dengan tendangan dahsyat mengarah dadanya!"

"Plakkk!" Hong San menangkis dan tubuh Ban-tok Mo-li berputar di atas sebelah kaki saking kerasnya tangkisan itu. Namun, wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan sambil berputar, kaki tetap melancarkan tendangan susu bertubi-tubi.

Hong San berloncatan mengelak, ia membalas dengan tamparan tangannya kearah wanita itu. Karena tamparan hebat, maka terpaksa Ban-tok Mo-li menghentikan desakan tendangannya untuk mengelak. Kemudian ia mengeluarkan gerengan halus seperti seekor kucing yang dielus lehernya dan ke dua lengannya tergetar. Hong San melihat betapa kedua tangan dan sebagian lengan yang nampak dari lengan baju itu berubah menghitam! Tahulah dia bahwa wanita itu telah mengeluarkan simpanannya yaitu kedua tangan bahkan sampai lengan yang mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka diam-diam dia pun mengerahkan tenaga sin- kangnya untuk melindungi tubuh dari hawa racun.

"Hyaaaaattt !!" Wanita itu mengluarkan bentakan 

melengking dan ia sudah menerjang dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Angin pukulannya desir dan mengeluarkan suara bersuitan, dibarengi hawa panas dan bau yang amis. Itulah ilmu silatnya yang paling hebat dan mengerikan, yang diberi nama Ban-tok Hwa-kun (Silat Bunga  selaksa Racun). Kedua tangan itu, sampai ke kuku-kukunya, mengandung racun yang dapat menghanguskan kulit dan daging lawan.

Hong San menyambutnya dengan ilmu Koai-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang dahsyat dan ganas. Dia menjaga diri dengan hati-hati sekali jangan sampai kulitnya tergores kuku-kuku runcing melengkung beracun itu. Karena dia memíliki si-kang yang kuat, maka dari semua gerakannya timbul angin pukulan yang mendorong pergi semua hawa beracun yang keluar dari gerakan kedua tangan lawan.

Semua orang yang menonton pertandingan itu merasa tegang. Bukan main hebatnya gerakan Ban-tok Mo-li, bukan saja gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan, namun juga amat kuat karena setiap tangannya menampar atau memukul, terdengar angin bersiut. Akan tetapi mereka amat kagum kepada Hong San. Pemuda itu sama sekali tidak nampak terdesak, melainkan membalas dengan serangan dahsyatnya sehingga pertandingan itu berlangsung amat seru dan menegangkan 

Akan tetapi hal ini disengaja oleh Hong San. Dia melihat betapa wanita ini lebih lihai dan kelak akan dapat menjadi tangan kanannya yang boleh diandalkan. Selain itu, gairahnya sudah bangkit oleh gerak-gerik wanita yang usianya sudah lanjut namun masih cantik menarik ini, dan dia tidak ingin menanam kebencian dalam hati wanita itu. Kalau dia menghendaki, tentu pertandingan itu tidak akan berlangsung lama itu. Dia sengaja mengalah dan membuat pertandingan itu nampak seru dan ramai. Setelah lewat lima puluh jurus, barulah dia mencari kesempatan baik dan ketika kedua tangan lawannya itu menyerang dengan cakaran dari kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke atas dan berjungkir balik, lalu di meluncur turun menyerang dari atas den gan kedua tangan melakukan pukulan dasyat ke arah ubun-ubun kepala lawan. "Ihhhhh !" Ban-tok Mo-li terkejut bukan main karena 

serangan itu sungguh dahsyat dan tidak mungkin baginya untuk mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya mengangkat kedua tangan menangkis dengan resiko terluka dalam karena tentu tenaga pemuda itu ditambah berat badannya akan merupakan beban yang sukar dapat ditahannya. 

"Dukkk!" Ban-tok Mo-li terkejut ketika kedua lengannya bertemu dengan sebuah lengan saja, itu pun lunak. Ia segera menduga bahwa tentu tangan lain pemuda itu akan menyerangnya, namun terlambat. Jari tangan kiri Hong San sudah menotok punggungnya dan seketika tubuh Ban-tok Mo- li menjadi lemas, kehilangan tenaga dan ketika Hong San melayang turun, ia pun terhuyung dan hampir jatuh.

"Mo-li, hati-hati !" Hong San menubruk, tangan kanan 

memegang pundak akan tetapi tangan kiri dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh siapapun, memegang payudara kanan Ban-tok Mo-li. Hanya memijat sekali saja namun tentu saja. terasa sekali oleh wanita itu, yang juga merasa betapa totokan itu telah dibebaskan pula oleh Hong San ketika pemuda itu menahan sehingga ia tidak sampai terjatuh itu.

Wajah Ban-tok Mo-li menjadi merah sekali, akan tetapi bibirnya tersenyum dan matanya menatap tajam wajah yang tampan itu. Bukan main bocah ini, kirnya. Masih begitu muda, tampan pandai bicara, lincah Jenaka, dan miliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan itu saja, bahkan tadi pemuda itu sempat memijat dadanya dan hal ini saja sudah jelas baginya bahwa kecantikannya masih sempat dikagumi pemuda i tu. Jantungnya berdebar dan ia melihat kesempatan baik untuk memperoleh seorang kekasih baru yang selain muda, tampan, akan tetapi juga lihai sekali dan agaknya akan menjadi seorang atasannya! Akan tetapi, ia harus menjaga nama besarnya, bukan hanya sebagai pang-Cu dari Thian-te- pang, akan tetapi juga sebagai Ban-tok Mo-li yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Biarpun tadi  kekalahannya tidak kelihatan mutlak berkat sikap Hong San, namun tetap saja semua orang melihat betapa ia terhuyung akan jatuh dan bahkan dibantu oleh Hong San sehingga tidak jadi terpelanting jatuh. Kini ia habis memperlihatkan kehebatannya bermain senjata, bukan saja kepada Hong San akan tetapi juga kepada semua orang yang berada di situ. Selain itu, juga ingin membuktikan sendiri kehebatan pedang dan suling di tangan pemuda itu.

"Singgggg !" Nampak sinar merah berkelebat dan 

tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang kemerahan dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang terbuka dan di atas Kipas itu nampak gambar kelabang dan kalajengking, seolah-olah memberi isarat bahwa kipas itu mengandung racun seperti binatang itu! Pedang kemerahan itu pun merupakan pedang beracun yang disebut Ang-tok Po- kiam (Pedang Pusaka Racun Merah). Ban-tok Mo-li memiliki dua batang pedang. Yang sebuah lagi adalah Cui-mo Hek- kiam yang hitam dan pedang hitam ini telah ia beri kepada Sim Lan Ci, puterinya. Yang pegangnya itu, Ang-tok Po-kiam juga merupakan pedang pusaka yang ampuh karena telah direndam racun ular mer ahyang amat berbahaya. Jangankan sampai tertusuk atau terbacok pedang itu, baru tergores sedikit saja kulitnya, kalau sudah berdarah, maka luka itu akan melepuh dan kalau tidak cepat mendapatkan obat pemunah, racunnya akan naik dengan darah dan membuat seluruh tubuh yang dilalui racun itu melepuh membengkak!

"Can Kongcu, hebat ilmu silatmu dengan tangan kosong. Sekarang, harap tidak bersikap pelit, berilah petunjuk kepadaku dalam ilmu silat bersenjata jelas bahwa ucapan Ban-tok Mo-li itu mulai merendahkan diri dan menghormat, seperti orang bicara kepada lawan yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya. Senang hati Hong San mendengar itu dan dia pun ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada wanita cantik ini dan kepada semua orang yang hadir. Dia tidak mengeluarkan suling dan pedang seperti tadi, melainkan kini memegang suling di tangan kanan dan dia mengambil caping (topi lebar) dengan tangan kiri!

"Mo-li, bagaimanapun juga, aku adalah seorang pria dan engkau seorang wanita. Tidak enak kalau aku harus menggunakan senjata tajam terhadap seorang wanita. Nah, aku menggunakan suling dan capingku ini saja dan kita main- main sebentar. Aku sudah siap, Ban-tok Mo-li, engkau boleh mulai menyerangku!"

Diam-diam Ban-tok Mo-li mendongkol juga. Pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Betapapun lihainya pemuda itu, kalau senjatanya hanya suling dan caping bambu, mana akan mampu menghadapi pedang dan kipasnya yang merupakan senjata senjata beracun yang ampuh sekali? Hemm pikirnya. Kalau engkau kalah dan mati terluka oleh senjataku, salahmu sendiri dan engkau layak mampus karena telah memandang rendah kepadaku. Akan tetapi kalau engkau dengan senjata seperti itu mampu menandingiku, sungguh pantas menjadi atasanku dan lebih pantas la menjadi kekasihku! Dengan pikiran demikian, Ban-tok Mo-li mengeluarkan jerit melengking dan pedangnya berkelebat menjadi sinar merah menyambar denga tusukan ke arah ulu hati, sedangkan kipasnya ditutup dan ditusukkan sebagai totokan ke arah leher.

Hong San menangkis pedang denga santai, menggunakan sulingnya dan totokan kipas itu pun dapat dihalau dengan menggerakkan capingnya yang lebar. Caping itu dapat bertugas seperti perisai dan ketika gagang kipas menyambar, terdengar bunyi keras dan tahulah Ban-tok Mo-li bahwa caping yang dipandangnya rendah itu ternyata hanya di luarnya saja merupakan anyaman bambu, akan tetapi di sebelah dalamnya terlindung baja atau besi atau semacam logam yang kuat. Ia pun tidak berani memandang rendah dan memainkan pedang dan kipasnya dengan cepat sehingga nampak gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hong San menggerakkan sulingnya dan terdengar suling itu seperti ditiup dan dimainkan. Dan caping itu ternyata mampu melindungi tubuhnya dari sambarang hawa beracun dari pedang dan kipas! Sebaliknya, dari kanan kiri atas atau bawah caping, mencuat suling secara tiba-tiba dan sukar diduga, melakukan totokan-totokan yang amat cepat. Ban-tok Mo-li menjadi bingung dan beberapa kali nyaris jalan darah dibagian depan tubuhnya tertotok. Setidaknya, ujung suling sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang peka dan ia pun semakin kagum. Pemuda itu masih sempat main-main dan menyatakan berahinya lewat sentuhan-sentuhan ujung suling! Tentu saja amat sukar diduga dari mana suling itu akan mencuat ke luar karena tertutup caping. Sedangkan semua serangan pedang dan kipasnya selalu dapat dihindarkan oleh Hong San.

Akhirnya, setelah lewat hampir lima puluh jurus, tenaga Ban-tok Mo-li mulai berkurang dan napasnya mulai memburu Hong San tidak mau membikin malu wanita itu, maka ujung sulingnya secepal kilat menotok siku kanan dan ketika pedang lawan terlepas dari tangan yang mendadak lumpuh itu, dia cepat menempel pedang dengan sulingnya dan memutar pedang itu sedemikian rupa sel hingga terus menempel pada sulingnya dan tidak sampai jatuh!

Ban-tok Mo-li terkejut dan cepat melompat ke belakang. Dirampasnya pedang dari tangannya sudah merupakai bukti cukup jelas bahwa ia memang kalah pandai. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hong San yang memberi ia kekalahan terhormat, tidak sampai terluka atau roboh, bahkan pedangnya pun tidak sampai terjatuh ke lantai! Hong San lalu menggerakkan tangan dan pedang itu terlepas dari suling, lalu melayang ke arah Ban-tok Mo-li yang menerima dengan tangan kanannya dan wanita ini pun memberi hormat kepada pemuda itu tanpa malu lagi.

"Can Kongcu telah memberi petunjuk kepadaku, aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah." Kemudian, wanita  itu berdiri menghadap ke arah mereka yang duduk di bawah panggung, lalu berkata dengan suara lantang, "Para anggauta Thian-te-pang, dengarlah. Mulai detik ini, aku memerintahkan kalian semua untuk mengakui dan menerima Can Kongcu sebagai pemimpin kita semua!"

Ucapan yang nyaring ini disambut tepuk sorak para anggauta Thian-te-pang yang sudah merasa kagum sekali melihat betapa pemuda tampan itu dapat mengalahkan kauwcu dan pangcu, suatu hal yang mereka anggap luar biasa sekali. Apalagi mereka tadi pun menyaksikan dengan mata kepada sendiri betapa pemuda itu mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong yang hidup!

Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu juga segera bangkit menghampiri Can Hong San dengan sikap hormat dia mempersilakan pemuda itu duduk di kursi kehormatan yang berada di antara dia dan Ban-tok Mo-li. Tempat itu memang telah diaturnya ketika pemuda itu bertanding melayani Ban-tok Mo-li. Dia sudah menduga bahwa Ban-tok Mo-li juga bukan tandingan pemuda sakti itu, maka.dia sudah mengatur sebuah tempat duduk terhormat bagi Hong San.

Tentu saja Hong San merasa gembira sekali melihat sikap dua orang itu! Setelah duduk di atas kursi di antara mereka, dia lalu berkata kepada mereka.

"Hek-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li, seperti sudah kukatakan tadi, aku datang untuk menuntut hakku sebagai ahli waris mendiang Ayahku, menjadi orang nomor satu dalam Thian-te-pang. Akan tetapi itu bukan berarti aku merampas kedudukan kalian. Aku tidak ingin repot bekerja menjadi kauwcu atau pang-cu. Biarlah kalian lanjutkan kedudukal kalian sebagai kauwcu dan pangcu, akan tetapi kalian adalah pembantu-pembantuku. Akulah pemimpin umumnya, dan aku tidak ingin disebut pemimpin atau ketua, cukup kalau kalian dan semua anggauta menyebut aku Can Kongcu saja. Akan tetapi seluruh harta milik dan pemasukan uang harus berada  di bawah pengamatanku dan aku yang menentukan dan mengatur semuanya. Mengertikah kalian?"

Tentu saja kedua orang ini merasa girang sekali. Mereka tidak kehilangan muka dan juga tidak kehilangan kekuasaan. Maka keduanya mengangguk-angguk dan secara langsung maka kauwcu dari Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan dengan lantang dia lalu bicara kepada semua orang yang hadir.

"Para tamu yang terhormat, sobat-sobat dan para anggauta Thian-te-kauw dan Thian-te-pang! Kami mengumumkan bahwa mulai detik ini, Kongcu Can Hong San ini menjadi pemimpin besar kita. Semua harus tunduk kepada perintahnya dan kebijaksanaannya. Ketahuilah bahwa Kongcu adalah putera dari mendiang Suhu kami, yaitu Cui-beng Sai-kong, pendiri Thian-te-kauw. Hidup Can Kong-cu!"

Serentak para anggauta, juga para tamu berteriak, "Hidup Can Kongcu!"

Hong San tersenyum-senyum penuh kegembiraan. "Nah, mari kita lanjutkan pesta perayaan ini. Urusan dalam perkumpulan kita dapat kita bicarakan lain waktu di antara kita sendiri."

Para tamu lalu datang satu demi satu untuk memperkenalkan diri kepada Hong San. Di antara mereka itu, yang merasa amat kagum dan menyatakan ingin sekali membantu sepenuhnya adalah Siangkoan Tek, putera Siangkoan Bok, Ji Ban To murid Ouw Kok Sian, dan dua orang murid Lui Seng Cu sendiri, yaitu] Siok Boan dan Poa Kian So. Empat orang pemuda ini merasa kagum bukan main kepada Hong San dan mereka berempat merasa gembira untuk dapat membantu seorang seperti Hong San. Dan Hong San sendiri senang kepada mereka, apalagi mengingat bahwa mereka adalah murid-murid dan putera orang-orang yang pandai dan berpengaruh. Ketika hidangan dikeluarkan, Hong San bahkan  mengundang mereka berempat itu untuk duduk semeja dengan dia, bersama Ban-tok Mo-li dan lui Seng Cu.

Can Hong San merasa betapa bintangnya terang. Dia memberi selamat pada dirinya sendiri yang sudah memilih tempat yang amat tepat baginya. Apalagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Thian-te-pang telah merupakan sebuah perkumpulan yang kaya! Dia dapat mempergunakan kekayaan itu sesuka hatinya. Selain itu, juga mulai hari itu, Ban-tok Mo-li, wanita yang masih amat cantik dan menggairahkan itu, wanita yang memiliki banyak sekali pengalaman, selalu menemaninya dan melimpahkan cinta yang berkobar-kobar kepadanya. Lebih menyenangkan hatinya lagi, para anggauta Thian-te-pang yang wanita, banyak di antara mereka yang muda dan cantik, agaknya juga berlomba untuk mendekatinya dan menjadi kekasihnya! Sekali pukul saja, Hong San kini telah dibanjiri harta, kedudukan terhormat, wanita-wanita cantik dan segala kesenangan dapat diraihnya dengan amat mudahnya!

ooOOoo

Liu Bhok Ki yang berjalan seora diri meninggalkan rumah suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci itu sungguh jauh berbeda dengan Liu Bhok Ki ketika datang ke dusun itu kemarin. Kini dia melangkah dengan hati ringan dengan dada lapang dan perasaan penuh bahagia. Dia merasa seolah-olah ada batu besar sekali yang selama bertahun talah menekan hatinya, kini telah lenyap membuat dadanya terasa lapang sekali. Kakek berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar itu nampak lebih muda dari biasanya. Dadanya yang bidang itu makin membusung, langkahnya bagaikan langkah seekor harimau jantan dan sepasang matanya mencorong, bibirnya yang terhias kumis dan jenggot itu tersenyum cerah, bahkan ketika mendaki bukit itu, dia setengah berlari sambi bersenandung! Sin-tiauw Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti itu bersenandung! Sungguh suatu hal yang luar biasa sekali dan kalau ada orang yang sudah mengenalnya mendengar  senandung itu, tentu dia akan terheran-heran. Pendekar yang biasanya berwatak kasar dan keras itu hampir tidak pernah kelihatan bergembira, dan pada hari ini dia berjalan kaki seorang diri sambil bersenandung!

Tidak mengherankan kalau kita mengingat akan keadaan hidup pendekar yang perkasa ini. Sejak muda dia menderita sakit hati, dendam yang setinggi langit sedalam lautan. Hatinya disakiti oleh isterinya yang mengkhianatinya, yang melakukan penyelewengan dengan pria lain. Padahal dia amat menyayangi isterinya itu! Dendam ini membuatnya seperti gila dan membuat dia menjadi seorang yang luar biasa kejamnya terhadap dua orang yang berjina itu. Dia menyimpan kepala isterinya dan kasih isterinya, dan setiap hari dia seperti menyiksa dua buah kepala itu! Bahkan lebih dari itu, dia mendendam kepada keturunan dan keluarga dengan istennya dan kekasih isterinya. Kepada putera kekasih isterinya putera keponakan isterinya datang untuk membalas dendam dan membunuhnya, dia menangkap mereka, bahkan dengan memberi obat perangsang dia membuat mereka itu terangsang dan melakukan hubungan suami isteri. Dia ingin menghukum mereka itu sehebatnya. Dia ingin merasa berdua itu menjadi suami isteri, saling mencinta, kemudian selagi mereka hidup bahagia, dia ingin muridnya merusak kebahagiaan rumah tangga mereka dengan merayu si isteri atau memperkosanya, agar hancur luluh hati mereka dua!

Akan tetapi, ternyata muridnya, Si Han Beng, tidak melakukan perintahnya itu, bahkan membela mereka. Dan dalam keadaan marah itu, suami isteri putera mereka pun menyerahkannya di tangannya. Dan dia pun sadar! Dia sadar akan semua kesalahannya, sadang betapa dia menjadi seperti gila karena cemburu dan dendam. Terutama sekali anak mereka itulah yang membuatnya sadar, seorang anak kecil berusia tiga tahun yang lucu dan pemberani! Dan kini dia telah bebas! Dan baru sekarang dia mengenal apa yang dinamakan kebahagiaan itu! Kebahagiaan adalah kebebasan! Bebas dari segala perasan seperti marah, dendam, benci, iri, malu, takut dan sebagainya. Juga bebas dari perasaan senang yang timbul dari nafsu. Sebelum ini dia terikat oleh senang dan susah, puas dan kecewa yang bukan lain hanya permainan daya-daya rendah atau nafsu-nafsu dalam dirinya.

Ketika dia tiba di tepi sebuah hutan kecil di lereng bukit, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara orang berkelahi. Tak salah lagi, suara berdentingnya senjata-senjata tajam saling bertemu, dan terdengar pula teriakan-teriakan banyak orang. Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar perkasa yang berjuluk Sin-tiauw, tentu saja setiap kali ada perkelahian atau adu ilmu silat, hatinya tertarik sekali. Apalagi suara orang berkelahi itu terjadi di dalam hutan, maka dia pun merasa khawatir kalau-kalau sedang terjadi kejahatan di dalam hutan itu. Dia segera mengerahkan tenaganya dan berlari cepat memasuki hutan.

Ketika dia tiba di tempat terbuka tengah hutan itu, dia melihat seorang wanita muda yang memegang sepasa pedang dikeroyok oleh sedikitnya lima belas orang! Dan di situ sudah men geletak lima orang dalam keadaan terluka. Agaknya gadis itu mengamuk berhasil merobohkan lima orang, akan tetapi pengeroyoknya masih banyak dan di antara para pengeroyok terdapat dua orang laki-laki setengah tua yang cukup lihai. Gadis itu telah menderita beberapa luka, pakaiannya sudah berlepotan darah dan gerakannya mulai mengendur sehingga ia terancam bahaya maut!

Melihat ini, tentu saja Liu Bhok tak dapat tinggal diam saja. Dia melihat betapa kini dua orang di antara para pengeroyok yang paling lihai itu memang "masing-masing mempergunakan sebatang golok besar, mendesak Si Gadis berbaju hijau. Gadis itu melawan matian-matian, memutar sepasang pedangnya, namun terdesak dan terhuyung. "Tranggggg. !" Pertemuan pedang kanannya dengan 

golok seorang di antara dua pengeroyok itu demikian kerasnya sehingga pedang di tangan gadis itu terpental dan lepas dari tangannya. Padahal, pada saat itu, orang ke dua sudah mengayun goloknya membacok ke arah kepalanya. Sungguh berbahaya sekali keadaan gadis itu dan agaknya sudah tidak ada waktu lagi baginya untuk dapat menghindarkan diri dari bacokan kilat itu.

Tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping dan sinar ini menangkis golok yang membacok kepala gadis berbaju hijau.

"Plakkk!" Sinar putih itu ternyata sehelai sabuk sutera yang telah menangkis golok, sekaligus menggulungnya dan sekali tarik, golok di tangan laki-laki itu terlepas dan berpindah ke tangan Liu Bhok Ki!

Semua pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh empat tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa. Mereka merasa penasaran sekali karena mereka sudah hampir berhasil merobohkan wanita itu, akan tetapi kini muncul seorang kakek yang menggagalkan usaha mereka! Dua orang lihai yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu, dengan marah lalu memberi aba-aba untuk mengeroyok Liu Bhok Ki!

Liu Bhok Ki melihat betapa gadis berbaju hijau itu terhuyung dan jatuh terduduk, lalu gadis itu memejamkan mata dan agaknya sedang menderita nyeri yang hebat. Dia pun cepat mendekati gadis itu, tanpa ragu lagi dia menotok punggungnya sehingga gadis itu roboh pingsan dan segera dipondongnya gadis itu. Pada saat itu, belasan orang itu sudah maju mengeroyoknya.

Liu Bhok Ki menggerakkan sabuk putihnya dan tubuhnya berloncatan bagaikan seekor rajawali sakti, menyambar- nyambar dan dalam waktu beberapa menit saja, hampir  semua senjata di tangan para pengeroyok telah terampas dari tangan mereka. Ada yang terlibat sabuk dan ditarik lepas, ada yang terlepas karena pergelangan tangan pemegangnya tertotok ujung sabuk. Dan sabuk itu pun lalu lecut-lecut seperti cambuk dengan mengeluarkan suara ledakan-ledakan. Kocar- kacirlah para pengeroyok itu dan tak lama kemudian mereka semua melarikan diri sambil membawa teman-teman yang tadi terluka oleh gadis itu.

Liu Bhok Ki berdiri dengan memondong tubuh gadis yang pingsan itu, se¬jenak memandang kepada mereka yang melarikan diri. Pada saat itu baru dia rasa keadaan hatinya sudah mengalami perubahan yang luar biasa. Tanpa disengaja, tadi dalam perkelahian itu, dia sama sekali tidak mau melukai berat para pengeroyoknya, apalagi merobohkan dan membunuhnya! Padahal, dahulu kalau dia berhadapan dengan lawan, dia tidak mengenal ampun lagi! Lebih-lebih lagi kalau lawannya itu orang-orang jahat. Dan gerombolan yang mengeroyok seorang wanita seperti itu, mana bisa disebut orang-orang baik?

Liu Bhok Ki tidak menyesali perubahan pada dirinya, hanya merasa heran saja, kemudian dia membawa pergi gadis itu keluar dari dalam hutan, membawanya mendaki bukit dan setelah tiba puncak, di mana terdapat sebatang pohon yang lebat daunnya, dia berhenti merebahkan tubuh gadis itu ke atas tanah bertilamkan rumput tebal.

Dengan lembut dia menyadarkan gadis itu dari pingsannya. Gadis itu membuka matanya dan begitu melihat seorang laki- laki duduk di dekatnya, ia mengeluarkan seruan tertahan dan cepat meloncat bangun dengan sikap menyerang. Akan tetapi karena luka-lukanya, ia pun terpelanting dan tentu akan roboh terbanting kalau saja Liu Bhok Ki tidak menangkap lengannya.

"Nona, tenanglah. Aku bukan musuhmu. Mereka itu sudah melarikan diri." Gadis itu mengamati wajah Liu Bhok Ki dan teringatlah dia bahwa kakek itu yang tadi muncul menyelamatkan sambaran golok. Akan tetapi ia pun teringat bahwa setelah itu, kakek itu merontoknya sehingga ia roboh dan tidak ingat apa-apa lagi.

"Tapi tapi kenapa engkau menotokku dan membuat 

aku pingsan?" tanyanya penuh keraguan dan dengan sikap masih siap untuk menyerang walaupun seluruh tubuhnya terasa nyeri, dan terutama sekali luka di paha kirinya mendatangkan rasa panas bukan main.

"Aku terpaksa, Nona. Kalau tidak kubikin pingsan, tentu engkau akan tetap mengamuk dan hal itu berbahaya sekali karena engkau sudah terluka parah. Tentu engkau tidak mau pula kupondong. Setelah membuat engkau pingsan dan memondongmu, aku berhasil memaksa mereka melarikan diri."

Sepasang mata yang tajam itu mengamati Liu Bhok Ki penuh perhatian, kemudian ketegangannya melunak dan ia pun terkulai dan jatuh terduduk, lalu terdengar suaranya lemah, "Harap Lo-cian-pwe sudi memaafkan aku. Karena tidak mengenal maka aku tadi mengira Lo-cian-pwe seorang di antara mereka dan aduhhh " la mengeluh dan 

kedatangannya memijat-mijat paha kiri.

"Cukup, jangan banyak cakap dulu Nona. Engkau terluka parah dan agaknya yang paling parah adalah luka di pahamu. Biarkan aku memeriksanya. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan."

Agaknya gadis itu sudah percaya penuh kepada Liu Bhok Ki. Ia hanya mengangguk dan membiarkan kakek itu memeriksa luka di paha kirinya. Ketika melihat betapa celana di bagian paha dirobek dan penuh darah, Liu Bhok berkata, "Maaf, untuk dapat memeriksa dengan baik, celana ini terpaksa dirobek sedikit di bagian yang terluka. Engkau tidak keberatan, Nona?" Gadis itu menggeleng kepala. Dengan hati-hati Liu Bhok Ki merobek sedikit celana itu di bagian paha yang terluka sehingga luka itu pun nampak jelas. Liu Bhok Ki adalah seorang laki-laki jantan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Walaupun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah dekat dengan wanita, namun dia telah mampu menundukkan gejolak nafsunya sehingga melihat kulit paha yang putih mulus itu dia sama sekali tidak tergerak. Yang menjadi pusat perhatiannya hanyalah luka itu. Luka tusukan yang tidak berapa lebar, dan dalamnya juga tidak sampai mengenai tulang. Akan tetapi melihat keadaan luka yang membengkak dan kehitaman itu, dia mengerutkan alisnya.

"Nona, engkau terluka oleh senjata beracun!"

Gadis itu mengangguk. "Yang melukai aku di paha adalah sebatang pisau yang dipergunakan secara curang oleh seorang di antara kedua pemimpin gerombolan itu. Mungkin pisau itu yang beracun. Aughhh nyeri, panas rasanya 

.............!" Gadis itu mengeluh.

"Untung bahwa racun ini hanya racun biasa saja, Nona. Belum terlalu jauh menjalar, hanya di sekitar luka. Engkau tidak berkeberatan kalau aku menyedot racun itu dan luka di pahamu?" Sejenak mereka saling pandang dan melihat sinar mata tajam yang penuh kejujuran itu, gadis itu lalu mengangguk.

Liu Bhok Ki lalu menundukkan mukanya dan menyedot luka itu dengan mulut. Di mengerahkan sin-kang sehingga sedotannya itu kuat sekali. Setelah menyedot dia meludahkan darah bercampur racun yang tersedot, lalu mengulangi lagi. Sampai lima kali dia menyedot dan setiap kali disedot, gadis itu merasakan kenyerian yang menusuk jantung namun dia mempertahankan diri dan tidak mau mengeluh, hanya menggigit bibir sendiri. "Nah, sekarang kurasa racun itu sudah keluar semua," kata Liu Bhok Ki sambil menyusut bibirnya, dan memeriksa luka itu. "Dengan obat luka tentu akan cepat sembuh." Dia lalu mengeluarkan obat bubuk dari saku bajunya, menaburkan obat itu kedalam luka dan membalut paha itu dengan kain bersih robekan sabuknya. Setelah itu, dia memeriksa luka-luka lain, akan tetapi hanya luka biasa saja, tidak berbahaya.

Gadis itu kembali memberi hormat "Lo-cian-pwe telah menolong diriku bahkan telah menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada Lo-cian-pwe, tentu aku sudah tewas di tangan gerombolan itu."

"Sudahlah, Nona. Engkau tidak perlu banyak sungkan dan tidak boleh terlalu banyak bicara. Jawab saja secara pendek hal-hal pokok yang ingin kuketahui. Gerombolan apakah mereka tadi?"

"Mereka perampok-perampok," jawab gadis itu. "Bagaimana engkau bentrok dengan mereka? Jelaskan 

singkat saja."

"Ketika aku lewat di sini aku melihat mereka itu merampok sebuah keluarga yang lemah. Aku menolong keluarga itu dan berhasil mengusir para perampok. Akan tetapi mereka itu datang lagi membawa dua orang yang lihai tadi dan aku terdesak."

Liu Bhok Ki mengangkat tangan. "Cukup, Nona. Aku melihat engkau lemah kali, kalau bicara engkau menjadi pu¬cat dan nampak kesakitan. Apakah ada sesuatu yang terasa sakit?"

"Dalam dadaku .......... nyeri dan kalau bicara ah, 

semakin nyeri." "Coba aku memeriksanya," kata Liu Bhok Ki dan dia pun berdiri di belakang gadis itu, lalu berlutut sedangkan gadis itu duduk bersila. Liu Bhok Ki menempelkan telapak tangannya pada punggung itu, menekan-nekan.

"Ah, ternyata selain luka beracun pahamu,, juga engkau menderita luka dalam oleh pukulan yang cukup kuat Nona."

"Tadi ............. Si Muka Hitam itu berhasil memukul 

punggungku."

"Hemmm, sekarang ke manakah engkau hendak pergi?" tanya Liu Bhok Ki kini sudah berada kembali di depan gadis itu sambil memperhatikan wajah yang bulat berkulit putih dan bermata tajam itu.

"Aku akan melanjutkan perjalanan mungkin ke kota raja. Aku sedang mencari Pamanku " kata gadis itu lirih dan 

hati-hati karena kalau dipakai bicara, dadanya seperti ditusuk rasanya.

Liu Bhok Ki menggeleng-geleng kepalanya. "Nona, engkau perlu mengaso dan perlu perawatan. Keadaanmu tidak memungkinkan engkau melakukan per jalanan, apalagi yang jauh dan seorang diri pula. Engkau seorang gadis muda, itu akan menghadapi banyak rintangan di jalan dan dalam keadaan seperti ini, kalau itu akan berbahaya sekali. Kalau engkau mau, Nona, marilah engkau ikut bersamaku. Aku akan melanjutkan perjalanan dengan berperahu sehingga tidak melelahkan dan kalau tiba di tempat tinggalku, aku akan merawatmu sampai sembuh. Kalau engkau sudah sembuh dan sehat kembali, baru engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Sekarang tidak perlu banyak bicara. Kalau engkau mau, marilah."

Gadis itu nampak ragu dan bingung, ucapan kakek itu memang benar. Ia terluka parah dan dalam keadaan seperti  itu, kalau muncul orang-orang jahat, dan mengganggunya, tentu ia tidak akan mampu membela diri lagi. Akan tetapi, ia baru saja bertemu dengan kakek ini. Sama sekali tidak mengenalnya dan tidak tahu orang macam apakah adanya kakek Ini.

"Lo-cian-pwe ........ siapakah ?" Akhirnya ia 

memberanikan diri bertanya belum mengambil keputusan.

Liu Bhok Ki tersenyum. Dia dapat menduga apa yang membuat gadis itu meragu, maka dia pun menjawab, "Harap engkau jangan khawatir, Nona. Aku Bhok Ki. disebut orang Sin-tiauw dan selamanya aku tidak pernah berbuat jahat apalagi kepada seorang gadis muda yang sepantasnya menjadi anakku."

Sepasang mata bintang itu terbelak "Ah, kiranya Lo-cian- pwe adalah Sin tiauw Liu Bhok Ki? Paman pernah bercerita kepadaku tentang Lo-cian-pwe."

"Siapakah Pamanmu itu?" "Dia bernama Lie Koan Tek "

"Lie Koan Tek? Tokoh Siauw-Lim pai itu? Pantas kulihat tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu adalah ilmu pedang Siauw Lim-pai. Kiranya engkau murid Siauw lim- pai! bagaimana, Nona? Apakah engkau menerima usulku tadi demi kebaikan sendiri?"

Keraguan kini lenyap sama sekali dan mata gadis itu. Sudah lama ia dengar tentang nama besar Sin-tiauw Liu Bhok Ki sebagai seorang pendekar perkasa walaupun menurut pamannya, watak pendekar ini aneh dan keras. Namun, ia tidak melihat kekerasan dalam sepak terjangnya tadi. "Baiklah, Lo-cian-pwe dan sebelumnya terima kasih atas kebaikan Lo-cian-pwe kepadaku."

"Hemmm, siapakah namamu? Sudah pantasnya aku mengetahuinya." Gadis itu agak tersipu. Orang telah melimpahkan bantuan kepadanya dan ia pun lupa untuk memperkenalkan namanya! "Namaku Bi Lan, Lo-cian-pwe."

"Nah, Bi Lan, mari kau ikut dengan aku. Terpaksa engkau harus kupondong karena kakimu itu akan menjadi bengkak kalau kau pakai berjalan jauh. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dan setelah tiba di sana, kita selanjutnya menggunakan perahu."

Gadis itu tidak membantah, dan ia melawan perasaan malunya dengan memejamkan mata ketika merasa betapa tubuhnya diangkat oleh lengan yang kokoh kuat itu.

Sambil memondong tubuh gadis i Liu Bhok Ki mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dalam waktu dua jam saja dia sudah tiba di Sungai Huang ho. Dia lalu menyewa perahu melanjutkan perjalanan sampai ke kaki bukit Kim-

hong-san di lembah Huang-ho. Kemudian, kembali dia memondong tubuh Bi Lan mendaki puncak dan semenjak hari itu Sin-tiauw Liu Bhok Ki merawat Bi Lan dengan penuh perhatian. Gadis itu merasa terharu dan bersukur sekali karena kakek itu merawatnya dengan penuh ketelitian seolah- olah ia dirawat oleh ayahnya sendiri.

Setelah gadis itu agak pulih kesehatannya dan tidak lagi nyeri dadanya kalau bicara, barulah Liu Bhok Ki menanyakan riwayatnya. Bi Lan kini tinggal sedikit lemah saja, akan tetapi luka-lukanya sudah sembuh, baik luka di badan maupun luka di dalam dadanya.

Kwi Bi Lan hidup berdua saja dengan ibunya karena ayahnya telah meninggal dunia ketika ia masih kecil. Oleh  pamanya, yaitu Lie Koan Tek adik kandung ibunya, ia dimasukkan ke dalam perguruan silat seorang murid Siauw- lim-pai, bahkan kemudian pamannya itu melanjutkan memberi pelajaran ilmu silat Siauw-Lim pai kepada keponakannya itu. Bi Lan dan ibunya hidup di sebuah dusun sebagai petani. Biarpun agak jarang, namun Lie Koan Tek tentu singgah di dusun itu kalau dia kebetulan melakukan perjalanan melalui daerah itu sehingga hubungan antara paman dan keponakan itu cukup akrab. Akan tetapi, dua bulan yag lalu, ibu Bi Lan jatuh sakit dan meninggal dunia. Tentu saja Bi Lan yang menjadi sebatangkara itu merasa ber¬duka sekali. Hanya dibantu oleh para tetangga, ia mengurus penguburan jenazah Ibunya, dan setelah itu ia hidup menyendiri kesepian. Pamannya Lie Koan Tek yang sudah lama tidak pernah datang itu ditunggu-tunggunya, akan tetapi tidak pernah muncul. Akhirnya, Bi Lan mengambil keputusan nekat untuk mencari pamannya.

"Paman memberi dua alamatnya kepada kami, yaitu di kuil Siauw-lim-dan di kota raja. Karena kota raja lebih dekat, maka saya hendak menyusul dan mencarinya di sana, Lo-cian-pwe."

Liu Bhok Ki mengelus jenggotnya merasa iba kepada gadis ini. Bi Lan telah memiliki ilmu silat Siau lim-pai yang cukup tangguh namun kepandaian itu masih belum cukup untuk bekal seorang gadis muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri.

"Kota raja itu ramai dan luas, Bi Lan. Tahukah engkau di mana rumah tinggal Lie Koan Tek?"

Bi Lan menarik napas panjang. "Paman Lie Koan Tek tidak pernah memberitahu dengan jelas di mana letaknya hanya di kota raja saja. Saya akan mencari keterangan di sana."

"Aih, sungguh berbahaya sekali, Bi Lan. Perjalanan ke kota raja cukup jauh dan melalui daerah-daerah rawan, banyak sekali orang jahat di dunia ini engkau tentu akan menemui  banyak halangan. Biarpun aku tahu bahwa engkau telah menguasai ilmu silat cukup baik, namun kiranya masih belum cukup untuk melindungi dirimu dari gangguan para tokoh sesat di dunia kang-ouw."

"Bagaimanapun juga, saya harus berani menghadapi bahaya itu, Lo-cian-pwe. Saya tidak mungkin hidup sebatangkara saja di dunia ini. Saya masih mempunyai seorang paman, maka saya akan menumpang hidup pada Paman Lie Koan Tek."

"Memang benar pendapatmu itu. Akan tetapi setelah engkau bertemu denganku, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya seperti itu? Bi Lan, terus terang saja, aku merasa kasihan kepadamu dan kalau engkau suka, biarlah engkau tinggal beberapa lama di sini. Aku akan mengajarkan beberapa ilmu silat kepadamu agar engkau lebih kuat dan lebih mampu membelamu di dalam perjalananmu mencari Pamanmu. Bagaimana pendapatmu?"

Mendengar ucapan penolongnya itu, Bi Lan menjadi girang sekali dan segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar tua itu. "Sungguh berlimpahan Suhu, menumpuk budi kebaikan terhadap diri teecu, semoga Tuhan yang akan membalasnya. Teecu mentaati perintah Suhu Liu Bhok Ki tersenyum, hatinya merasa lega sekali dan diapun memegang kedua pundak gadis itu dan menyuruhnya bangkit dan duduk kembali di atas pembaringannya.

"Cukup, Bi Lan. Aku hanya ingin melengkapi kepandaianmu, akan tetapi kalau engkau suka mengakui aku sebagai gurumu, aku pun merasa gembira sekali. Ketahuilah bahwa selama hidupku, hanya mempunyai seorang saja murid dan kini kepandaiannya sudah jauh melampaui kepandaianku sendiri. Dan kau adalah murid ke dua, padahal engkau sudah menguasai banyak ilmu silat Siau lim-si dan aku hanya akan  menambahi beberapa jurus saja untuk memperkuat dirimu dan sebagai bekal."

Demikianlah, mulai hari itu Bi Lan menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki d setelah tubuhnya sehat kembali, mulailah ia merima gemblengan kakek perkasa itu yang mengajarkan jurus-jurus pilihan dari Hui-tiauw Sin-kun (Silat sakti Rajawali Terbang) dan juga dia pemberi petunjuk tentang ilmu siang- kiam pedang pasangan) kepada gadis itu sehingga dalam waktu tiga bulan saja, Bi Lan telah memperoleh kemajuan pesat. Gadis yatim piatu itu pun tahu diri. lama tinggal di pondok gurunya sebagai murid, ia bukan hanya mengantungkan diri sendiri dengan mempelajari ilmu ilat saja. la rajin bekerja membersihkan pondok, mencuci pakaian, memasak dan menyediakan semua keperluan suhunya dengan penuh perhatian. Biarpun ia seorang gadis yang pendiam, namun ia selalu bersikap ramah, lembut dan penuh hormat kepada gurunya sehingga kakek perkasa itu merasa semakin sayang kepadanya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah memasak air dan membuatkan air teh panas untuk gurunya, kemudian ia menyapu pekarangan dan membawa pakaian kotor ke sumber air untuk mencucinya. Gurunya baru saja bangun dan kini gurunya sedang berlatih silat untuk melemaskan otot-otot. Setiap pagi, untuk setengah jam lamanya, Sin tiauw Liu Bhok Ki selalu bersilat untuk menjaga kesehatan dan kesegaran tubuhnya.

Liu Bhok Ki merasa segar dan gembira hatinya pagi itu. Semenjak Bi Lan berada di situ sebagai muridnya, Bhok Ki merasa seolah-olah kehidupan menjadi lebih menyenangkan. Kalau dahulu kadang-kadang dia merasa kesepian sekali, merasa betapa hidupnya sudah tidak ada guna dan manfaatnya lagi baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang lain, merasa tidak dibutuhkan manusia lain, kini dia merasa sebaliknya. Bi Lan membutuhkan bimbingannya! Dan dia merasa berguna, juga tidak lagi merasa kesepian. Kalau saja  Bi Lan itu puterinya! Dia menghentikan latihannya menyeka keringat dan duduk di atas batu di pekarangan depan rumahnya itu. Pekarangan itu sekarang nampak bersih. Daun- daun pohon kering tertumpuk sudut dan terbakar. Bunga- bunga tumbuh dengan segarnya. Memang tempat tinggalnya telah berubah sejak Bi Lan datang di situ. Pekarangan selalu bersih, bunga-bunga subur berkembang, dalam rumah juga bersih, semua pakaiannya tercuci bersih dan setiap hari pun ada saja sayur dimasak gadis itu dengan lezatnya. Kalau saja Bi Lan itu puterinya, pikirnya lagi. Akan tetapi, dia mengerutkan alisnya. Andaikata puterinyaa, setelah menikah pun akan meninggalkannya' Demikianlah hidup, pikirnya sambil menarik napas panjang. Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan.

Memang demikianlah keadaan hidup ini. Kita selalu diombang-ambingkan senang dan susah. Senang kalau bertemu dan berkumpul, lalu susah kalau berpisah. Senang kalau mendapatkan, susah kalau kehilangan. Senang susah menjadi dua hal bertentangan yang silih berganti mencengkeram dan mempermainkan kita. Dan kita selalu menghendaki senang dan menolak susah. Bagaimana mungkin? Senang dan susah merupakan dua muka yang tak dapat disahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama. Kalau kita mengejar senang, tentu akan bertemu susah pula. Bahkan adanya senang karena ada susah dan sebaliknya. Kalau tidak ada senang, bagaimana tahu akan susah. Kalau tidak ada susah pun tidak mungkin mengenal senang. Seperti terang di gelap, seperti siang dan malam.

Biasanya, kalau ada kesadaran pada kita sehingga kita berusaha untuk mengatasi kesusahan, maka yang ingin kita atasi, yang ingin kita tiadakan atau h ilangkan, tentu hanya susah itu saja. sebaliknya, senang ingin tetap kita rangkap dan kita miliki! Padahal keadaan seperti ini tidak mungkin. Keinginan ini pun timbul karena ingin senang, dengan cara ingin terlepas dari susah. Jadi yang masih sama saja! Bahkan  susah itu sudah membuat ancang-ancang hendak menerka begitu kita menginginkan senang!

Susah dan senang bukan suatu keadaan, melainkan buatan hati dan pikir belaka. Merupakan kerjasama antara hati dan akal pikiran. Pikiran yang bergelimang nafsu yang timbul dari dayanya rendah selalu ingin mengulang segala pengalaman yang mengenakkan dan Menghindari segala pengalaman yang tidak enak. Kalau bertemu pengalaman yang mengenakkan, yang menguntungkan, maka hati pun senanglah. Kalau pikiran bertemu peristiwa yang dianggap tidak kuak dan merugikan, maka hati pun susah.

Enak atau tidak enak ini timbul dari an daya-daya rendah. Suatu pengalaman yang mengenakkan selalu dikejar oleh pikiran, ingin diulang sampai menjadi suatu kebiasaan. Segala yang menyerangkan ingin dijadikan miliknya. Dari kemilikan ini, makin besarlah rasanya.si aku, makin berarti. Kemilikan ini yang memupuk dan membesarkan aku. Karena itu, kalau terpisah dari yang dimilikinya, yang mengenakkan dan menyenangkan atau menguntungkan, hati terasa sakit.

Peristiwa yang terjadi di dunia ini tidaklah baik ataupun buruk. Baik buruknya hanya merupakan pendapat saja dari hati dan pikiran yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Suatu peristiwa yang saja dapat saja mendatangkan penilaian yang saling bertentangan bagi satu orang karena tergantung dari keadaan hati dan pikirannya. Seseorang menjadi sahabat baik kita karena kita menganggap dia mengenakkan hati, menguntungkan atau menyenangkan. Kalau dia pergi atau merasa susah, merasa kehilangan kita selalu ingin agar dia dekat dengan kita. Akan tetapi, suatu ketika dia melakukan sesuatu yang merugikan kita tidak mengenakkan hati kita, dan diapun menjadi tidak menyenangkan! Kalau pergi kita merasa senang! Padahal, sebel itu kalau dia pergi kita merasa susah! Jelah bahwa senang dan susah adalah keada hati yang timbul dari pertimbangan pikir yang selalumengejar enak dan menghindarkan yang tidak enak. Semua itu wajar. Hidup memang sudah disertai daya-daya rendah yang menjadi alat untuk mempertahankan hidup. Kalau daya-daya rendah itu tetap berfungsi menjadi alat, maka hidup pun baiklah. Yang gawat adalah kalau daya-daya rendah demikian kuatnya sehingga menjadi penguasa dan memperalat kita. Hidup kita seolah-olah hanya untuk mengejar pemuasan nafsu belaka. Pengejaran pemuasan nafsu Inilah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang menimpang dari kebenaran. Bukan lagi hawa nafsu yang menjadi kuda dan kendalinya dan di tangan kita, melainkan kita yang menjadi kuda, dikendalikan nafsu!

Banyak daya upaya manusia untuk mengembalikan fungsi nafsu daya-daya rendah ini di tempatnya semula, yaitu sebagai hamba, sebagai alat dan daya upaya ini dilakukan melalui bermacam-macam agama, melalui ancaman hukuman dan harapan-harapan. Bahkan ada yang sengaja menjauhkan diri dari keramaian dunia, bertapa di tempat-tempat sunyi agar daya-daya rendah tidak mendapatkan sasaran, agar nafsu- nafsu dalam diri tidak dapat hidup subur karena tidak adanya pupuk. Ada pula usaha melalui nasihat-nasihat, petuah. Namun, betapa sedikitnya hasil yang diperoleh dari semua usaha itu. Nafsu tetap merajalela di antara manusia. Manusia pada umum masih saja diperbudak nafsu daya-daya rendah sehingga perbuatan-perbuat sesat, jahat dan menyeleweng daripada kebenaran terjadi di seluruh dunia.

Selama usaha untuk menalukkan nafsu ini timbul dari hati dan akal pikiran maka selalu akan gagal. Karena hati dan akal pikiran sudah bergelimang dengan daya-daya rendah, sehingga apa pun yang dilakukan hati dan akal pikiran, selama berpamrih pula. Hati dan akal pikiran sudah mengerti bahwa perbuatan yang dilakukan itu tidak benar, namun hanya dan akal pikiran sendiri tidak berada karena memang sudah diperhamba oleh nafsu, sudah dipegang oleh nafsu semua kendalinya. Hanya Tuhan yang akan mampu mengubah segalanyal Tuhan Maha Pencipta Tuhan pula yang menciptakan semua yang berada dalam diri manusia, Tuhan pula yang menganugerahkan nafsu sebag alat untuk hidup. Maka kalau alat itu merajalela dan mengubah kedudukannya menjadi penguasa, hanya Tuhan yang menciptakannya saja yang akan dapat fnengubahnya. Oleh karena itu, satu-satunya usaha yang dapat ditempuh oleh kita hanyalah menyerah kepada Tuhan! Menyerah dengan pasrah, menyerah dengan Ikhlas, dengan sabar dan tawakal. Kita membiarkan pintu hati terbuka dan sekali cahaya Tuhan masuk, maka kekuasaan luhan yang akan membersihkan semua kekotoran dalam batin kita, kekuasaan Tuhan yang akan mengadakan perombakan, menaruh segalanya di tempatnya yang benar, dan mengadakan pembaharuan. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan memegang kendali dan memberi bimbingan.

Liu Bhok Ki duduk termenung, mengenangkan hidupnya yang penuh kepahitan. Semenjak kematian isterinya, tiga puluh tahun lebih yang lalu, sinar matahari kebahagiaan seolah-olah selalu bersembunyi, tertutup awan gelap baginya. Kemudian, setelah dia terbebas dari tekanan dendam, baru dia merasa lega dan bebas. Dan perjumpaannya dengan Bi Lan seolah-olah merupakan cahaya terang dan membuatnya merasa berbahagia sekali Ketika pikirannya membayangkan betapa gadis itu suatu ketika akan pergi ninggalkannya, untuk mencari pamannya alisnya berkerut dan dia cepat mengusir bayangan yang menyedihkan itu.

Tiba-tiba dia memandang ke depan dan alisnya berkerut kembali! Dia lihat dua sosok tubuh orang mendaki puncak bukit itu. Dari gerakan mereka tahulah dia bahwa dua orang yang mendaki puncak itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Hatinya marasa tegang. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini pun datang gangguan? Siapa yang berani mendaki bukit ini kalau bukan mereka yang datang dengan niat buruk terhadap dirinya? Sudah lama dia  meninggalkan dunia kang ouw sehingga boleh dibilang dia sudah putus hubungan dengan para tokoh persilatan, maka tidak masuk di akal kalau ada tokoh kang-ouw yang sengaja datar berkunjung dengan iktikad baik. Dia sudah siap siaga, akan tetapi tetap duduk dengan sikap tenang. 

Bahkan ketika kedua orang itu sudah tiba di depannya, Liu Bhok Ki tidak mengangkat muka memandang, melainkan tetap menunduk, akan tetapi tentu saja dia mengikuti gerakan mereka itu pendengarannya.

"Suhu !"

Suara ini yang membuatnya cepat angkat muka. Seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah berdiri di depannya, bersama seorang gadis yang cantik jelita! Pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di depannya dan kembali suaranya yang amat dikenalnya itu menggetarkan perasaan Liu Bhok Ki.

"Suhu !"

Wajah Liu Bhok Ki kini berseri, sinar matanya mencorong dan suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Han Beng muridku !" Semenjak peristiwa 

yang terjadi di rumah Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, yaitu pertemuannya yang terakhir kalinya dengan muridnya, dia merasa semakin kagum dan sayang kepada muridnya ini. Seorang murid yang berani menyerahkan nyawanya demi untuk menyadarkan hatinya yang ketika itu menjadi buta dan mabuk oleh dendam. Sejak itulah dia merasa betapa selama puluhan tahun hidupnya dipenuhi racun dendam, selama puluh tahun hatinya terhimpit oleh gunung dendam yang membuat hidup terasa seperti dalam neraka. Dan muridnya inilah yang menghapus racun itu, yang menyingkirkan gunung itu, yang membuat dia menjadi seorang manusia yang bebas. "Suhu sehat dan baik-baik saja, bukan?" Han Beng berkata lagi.

Liu Bhok Ki mengangguk dan kini dia memandang kepada gadis cantik yang datang bersama muridnya itu. Seorang gadis yang wajahnya cantik, berbentuk bulat telur, dengan tubuh yang tinggi semampai dan ramping, pakaiannya rapi dan bersih, bibirnya yang merah sehat itu selalu tersenyum, matanya jeli dan kocak. Gagang pedang yang tersembul belakang pundak itu saja menunjukkan bahwa gadis ini bukan seorang wanita lemah.

"Han Beng, siapakah Nona yang datang bersamamu ini?"

Sebelum Han Beng menjawab, Giok Cusudah mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan memberi hormat. "Lo- cian-pwe, dua belas tahun yang lalu Lo-cian-pwe pernah berjumpa dengan saya di Sungai Huang-ho. Apakah Lo-Cian- pwe sudah melupakan saya?" Berkata demikian, Giok Cu menatap wajah Si Rajawali Sakti itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Eh? Bertemu di Huang-ho? Kapankah itu, Nona? Dan di mana?" Dia bertanya heran.

"Dua belas tahun yang lalu, di atas perahu dekat pusaran maut ketika terjadi perebutan anak naga. Ketika itu, seperti juga Han Beng, saya dijadikan perebutan oleh para tokoh kang-ouw, dan Ayah Ibu saya menderita luka di atas perahu mereka " Giok Cu bukan sekedar mengingatkan, akan 

tetapi juga memancing sambil menatap tajam wajah Pendekar tua itu.

Sin-tiauw Liu Bhok Ki mengingat-ingat dan membayangkan peristiwa yang terjadi dua belas tahun yang lalu itu. Peristiwa memperebutkan anak naga Sungai Huang-ho yang takkan terlupakan selama hidupnya karena dalam peristiwa itulah dia  bertemu dengan Han Beng yang kemudian menjadi muridnya. Teringatlah dia akan seorang gadis cilik yang kemudian ikut pula diperebutkan orang-orang kang-ouw karena seperti juga Han Beng, gadis itu telah bergulat dengan "anak naga" dan menggigit serta menghisap darah anak naga itu.

"Ahhhhh sekarang aku ingat! Engkau adalah gadis 

cilik yang pemberani itu yang bersama Han Beng melawan anak naga dan berhasil membunuhnya dan menghisap pula darahnya. Bukankah engkau gadis cilik itu?"

Bukan itu yang dikehendaki Giok "Benar, Lo-cian-pwe. Dan Lo-cian-pwe tentu masih ingat kepada Ayah Ibunya berada dalam perahu dalam keadaan terluka. Lo-cian-pwe bersama Han Beng datang dengan perahu lain dan naik perahu orang tuaku, bukan? Tentu Lo-cian-pwe masih ingat apa yang terjadi dengan Ayah Ibuku pada waktu itu ia sengaja tidak melanjutkan karena ingin memancing pendekar tua itu. Tanpa berpikir panjang lagi, Liu Bhok Ki sudah tentu saja ingat akan semua itu. Dia mengangguk-angguk. "Ya benar, aku ingat semuanya. Setelah menyelamatkan Han Beng dari tangan tokoh-tokoh sesat itu, Han Beng mengajak aku mencari kedua orang tuanya. Akan tetapi gagal, dan kami bertemu dengan orang tuamu di perahu yang juga menderita luka-luka. Aku bahkan masih sempat mengobati mereka sebelum kami berdua meninggalkan mereka."

Giok Cu memandang semakin tajam dan penuh selidik sehingga Liu Bhok Ki terheran, lalu berseru, "Ah, Nona, kenapa engkau memandangku seperti itu?"

Sejak tadi Han Beng hanya diam saja, bahkan menundukkan mukanya. Dia mengerti akan sikap Giok Cu. Dia tahu bahwa gadis itu, walaupun percaya kepadanya, namun masih merasa penasaran dan ingin mendengar sendiri pengakuan gurunya, dan kini gadis itu memancing-mancing agar Liu Bhok Ki menceritakannya apa yang sesungguhnya terjadi ketika itu. Dia sengaja diam saja tidak mau mencampuri  karena dia yakin akan kebersihan gurunya maka tidak perlu dia membelanya. Biarlah gadis itu mendapat keyakinan sendiri setelah bicara dengan gurunya yang dia percaya dapat mengusut semua keraguan dari hati Giok Cu. "Lo-cian-pwe, apakah yang Lo-cia pwe lakukan ketika naik ke perahu Ayah Ibuku?" tanyanya dan pandang matanya menatap tajam. Liu Bhok Ki memandang heran.

"Eh? Apa yang kulakukan? Aku bertanya kepada orang tuamu tentang orang tua Han Beng, kemudian melihat mereka menderita luka-luka, aku lalu mengobatinya."

"Apakah ketika Lo-cian-pwe mengobati mereka, Ayah dan Ibuku itu menderita luka-luka parah?"

Liu Bhok Ki menggeleng kepala dengan tegas. "Sama sekali tidak! Luka yang mereka derita hanya luka di luar saja, dan aku yakin setelah kuobati ketika itu mereka tentu sembuh kembali."

Giok Cu membayangkan ketika ia bersama subonya berada di perahu ayah Ibunya itu. Ayah ibunya yang ia temukan dalam keadaan terluka, akan tetapi mereka tidak parah, dan mereka bercerita bahwa mereka diserang oleh orang-orang jahat, mereka terluka dan hanya seorang saja pembantu mereka selamat. Yang lain tewas. Juga ayah bundanya yang menceritakannya bahwa orang tua Han Beng tewas. Juga ayahnya bercerita bahwa Han Beng dan Liu Bhok Ki, pendekar tua itu yang mengobati mereka, demikian cerita ayahnya. Dan tiba-tiba Ban-tok Mo-li yang berseru keras mengatakan bahwa ayah bundanya diracuni Liu Bhok Ki dan ayah ibunya tiba-tiba terkulai dan tewas dengan muka berubah menghitam! Racun yang amat keras dan dapat menewaskan orang seketika. Hal itu tentu saja baru diketahuinya setelah ia mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Ayah ibunya tewas oleh racun jahat yang merenggut nyawa orang seketika, bukan racun yang membunuh perlahan-lahan. Kalau benar Liu Bhok Ki yang meracuni ayah ibunya, tentu ayah ibunya sudah tewas ketika ia dan Ban-tok Mo-li tiba perahu mereka. Jelas bahwa ayah ibunya tewas oleh racun yang membunuh mereka seketika, dan racun itu pasti bukan dari Liu Bhok Ki datangnya dan lebih masuk akal kalau Ban- tok Mo-li yang meracuni mereka!

"Lo-cian-pwe adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, tentu Lo-cian-pwe tidak sudi untuk berbohong, dan bukan seorang pengecut yang tidak berar mempertanggung jawabkan perbuatannya ”

"Heiiiii! Nona, apa maksud kata-katamu itu?" Liu Bhok Ki terbelalak dan wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong.

"Ketika Lo-cian-pwe berada di perahu orang tua saya itu, Lo-cian-pwe mengobati ataukah meracuni mereka?"

Dengan alis berkerut dan mata mencorong pendekar tua itu bertanya, suaranya dalam dan berwibawa, "Nona, mengapa engkau bertanya demikian? Aku telah mengobati mereka. Kenapa aku harus meracuni mereka? Tidak ada alasan sama sekali! Dan mengapa pula engkau menduga bahwa aku telah meracuni orang tuamu?"

"Karena ketika saya dan Subo tiba di perahu orang tua saya itu, saya menemukan mereka dalam keadaan terluka dan tak lama kemudian mereka tewas keracunan. Dan menurut keterangan Subo (Ibu Guru), mereka itu tewas karena Lo-tan- pwe yang meracuni mereka."

Liu Bhok Ki semakin terkejut. "Aku meracuni mereka? Gilakah sudah Subomu itu? Siapa gurumu itu yang bermulut demikian lancang melempar fitnah kepadaku?"

"Subo adalah Ban-tok Mo-li " "Ahhhhh! Pantas kalau begitu! Iblis betina ahli racun itu yang mengatakannya? Ha-ha-ha, Nona. Kalau ada orang yang dapat membunuh orang lain dengan racun tanpa diketahui, orang itu adalah Ban-tok Mo-li! Jelas bahwa Ban-tok Mo-li itulah yang telah meracuni orang tuamumu, bukan aku!"

“Akan tetapi, ia adalah guru saya. Bagaimana mungkin ia yang sudah mengambil saya sebagai murid, membunuh orang tua saya?" Giok Cu membantah.

Tiba-tiba Liu Bhok Ki tertawa. "Hal ha-ha! Alangkah lucunya, akan tetapi juga amat penasaran! Nona, engkau mengaku sebagai murid Ban-tok Mo-li akan tetapi agaknya engkau belum mengenal siapa adanya gurumu itu! Ia seorang tokoh sesat yang amat jahat, seorang wanita iblis yang tidak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Dan engkau agaknya lebih percaya kepada Ban-tok Mo-li daripada kepadaku, bahkan menduga bahwa aku yang telah membunuh orang tuamu? Heiii, Hai Beng, apa alasanmu engkau mengajak murid Ban-tok Mo-li ini datang ke sini?” 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar