Jilid 17
“ALOK, pindahkan meja itu ke sini!" teriak lagi cukongnya karena seperti orang lain, dia belum tahu akan peristiwa aneh itu. Hanya Alok sendiri yang merasakan keanehan itu. Dia, yang dengan mudahnya mengangkat dua orang pemuda tadi dan melemparkan mereka, kini tidak kuat mengangkat sebuah meja kecil yang ringan! Siapa yang akan dapat percaya?
“Hei, kerbau gila! Jangan ganggu Nona itu!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki yang duduk bersama dua orang pria lain di meja sebelah kanan Giok Cu.
Mendengar dia dimaki kerbau gila, tentu saja Alok menjadi marah bukan main. Dia adalah tukang pukul nomor itu dari hartawan Teng dari kota Siong-cu, dan di kota itu dia terkenal ditakuti orang, bahkan nama besarnya sudah banyak didengar orang di Siong-an. Bagaikan seekor kerbau gila benar, dia membalikkan tubuh meninggalkan meja depan Giok Cu dan memandang ke arah tiga orang yang duduk makan minum di meja itu. Mereka adalah tiga orang pria yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Wajah dan bentuk badan mereka biasa saja, tidak mengesankan, akan tetapi warna pakaian mereka yang menarik perhatian karena mereka bertiga memakai pakaian yang berwarna kuning, seperti pakaian seragam saja.
Melihat bahwa orang yang memakinya hanya orang "biasa", kemarahan Alok memuncak. "Siapa di antara kalian bertiga yang telah berani memaki aku tadi?"
"Memaki engkau apa?" Serentak tiga orang berpakaian kuning itu bertanya.
"Memaki aku kerbau gila!" kata Alok dan tiga orang itu pun tertawa bergelak, juga beberapa orang tamu yang mendengarkan ikut tertawa. Tadinya Alok tidak menyadari, akan tetapi kemudian ia teringat bahwa jawabannya tadi menjadi pengakuan bahwa dia kerbau gila! Dia telah dipancing dan dipermainkan tiga orang berpakaian kuning itu.
"Keparat, kalau kalian memang laki-lakidan bukan pengecut, hayo maju kesini!" tantang Alok dengan marah sekali.
Orang termuda dari tiga orang pria berpakaian kuning itu bangkit berdiri. Hemmm, kau ini kerbau gila hendak jual lagak di sini, ya?" Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan nampaklah sebuah cambuk berwarna kuning emas.
"Tar-tarrr-tarrrrr. !" Cambuk itu mengeluarkan suara
meledak-ledak dan sinar kuning emas menyambar-nyambar ke arah tubuh Alok. Raksasa itu terkejut dan mencoba mengelak, akan tetapi te¬tap saja ujung cambuk itu mematuk- matuk dan pakaiannya robek di sana-sini ditambah kulit tubuhnya nyeri seperti disengat lebah! Dia pun bergulingan ke tas lantai dan ketika dia sudah meloncat bangun, dia sudah mencabut golok besarnya. Dengan marah dia lalu menerjang ke arah orang yang memegang cambuk dan yang berdiri sambil tertaw tawa itu. Akan tetapi, sebelum tubuhnya mendekat, Si Baju Kuning itu sudah menggerakkan cambuknya lagi.
"Tar-tarr-tarrr. !" Golok yang berada di tangan
Alok terbang dan terlepas dari pegangannya, dan kembali dia menjadi bulan-bulanan lecutan cambuk itu
yang bertubi-tubi. Pakaian Alok kini sudah tidak karuan lagi macamnya, dan mukanya bergaris-garis merah dan berdarah.
"Kim-bwe Sam-houw (Tiga Harimau Ekor Emas)!”
Terdengar seorang di diantara lima tukang pukul hartawan Teng dari Siong-Cu itu berseru dan barulah Alok sadar bahwa yang dihadapinya adalah tiga orang tokoh besar yang terkenal lihai dan ditakuti semua orang kang-ouw di daerah itu! "Bagus, kalian sudah mengenal kami! kata Si Baju Kuning yang menghajar Alok tadi. "Hayo cepat kalian pergi!" Dan cambuknya kembali menyambar-menyanbar, kali ini ke arah hartawan Teng dari empat orang tukang pukulnya yang lain. Mereka mengaduh-ngaduh dan setelah cambuk itu berhenti menari-nari, lima orang itu masing-masing mendapat tanda guratan melintang pada muka mereka, guratan yang cukup dalam sehingga nampak merah dan ada pula yang berdarah! Tanpa banyak cakap lagi hartawan Teng dan lima orang tukang pukulnya meninggalkan restoran itu dan membayar uang makanan di luar. Yang paling parah adalah Alok sehingga dia harus dipapah oleh seorang rekannya.
Tadi, banyak diantara para tamu yang ketakutan. Akan tetapi setelah enam orang itu pergi dan suasana kembali tenang, mereka melanjutkan makan dengan tergesa-gesa dan ada pula yang segera meninggalkan tempat itu. Akan tapi, makanan yang dipesan Giok Cu baru tiba dan gadis itu pun makan minum dengan tenangnya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di dekatnya. Hanya diam-diam ia memperhatikan tiga orang berpakaian kuning yang disebut Kim-bwe Sam-houw itu, dan merasa penasaran karena tidak suka melihat kekejaman mereka ketika menghajar enam orang tadi. Si raksasa tadi memang pantas dihajar, akan tetapi lima orang lainnya tidak melakukan sesuatu yang pantas membuat mereka menjadi korban cambuk. Juga ia melihat kesombongai membayang di wajah tiga orang berpakaian kuning itu, apalagi ketika mereka itu memandang kepadanya dengan senyum yang angkuh namun tetap saja mengandung kegenitan.
"Hemmm, cantik dan manisnya memang mengagumkan. Akan tetapi sayani sekali, orangnya begitu cantik namun tidak mengenal budi orang!" Suara ini lirih akan tetapi terdengar jelas oleh Giok Cu dan ia tahu bahwa yang bicara adalah seorang di antara tiga pria berpakaian kuning itu, dan ia merasa bahwa ialah yang dimaksudkan oleh orang yang bicara itu. "Memang ia tidak sopan, padahal baru saja kami membebaskannya dari cengkeraman sekelompok serigala." suara kedua.
"Aihhhhh, mungkin ia malu. Sebaiknya malam nanti kita berkunjung ke kamarnya." suara ke tiga menyusul dan ucapan terakhir ira membuat muka Giok Cu menjadi agak kemerahan karena ia tersinggung sekali.
"Memang sebaiknya begitu, akan tetapi sekarang juga kita dapat memberinya peringatan agar malam nanti ia tidak sombong dan tidak banyak rewel lagi, bersikap ramah kepada kita," kata pula suara pertama.
Giok Cu semakin mendongkol, akan tetapi ia sudah banyak menerima gemblengan batin dari Hek-bin Hwesio maka ia mampu membiarkan kemarahannya lewat tanpa mempengaruhinya. Ia tetap makan walaupun kini ia waspada sekali terhadap tiga orang pria berpakaian kuning itu.
Tiga orang pria itu masing-masing menjumput sebutir kacang goreng di atas meja mereka, kemudian mereka mempergunakan telunjuk menyentil kacang itu ke arah Giok Cu. Tentu saja mereka membidik sasaran bagian tubuh yang tidak akan membahayakan, dan mengatur tenaga sentilan mereka karena mereka hanya ingin memperingatkan gadis itu bukan hendak menyerangnya. Begitu tiga butir kacang itu meluncur, Giok Cu yang sudah mengetahuinya lalu menggerakkan tangan kirinya, gerakan seperti orang mengusir lalat dan mengomel, "Ihh begini banyak lalat di sini!"
Tiga orang yang terkenal dengan julukan Kim-bwe Sam- houw itu terkejut bukan main ketika melihat betapa tiga butir kacang yang mereka sentil ke arah gadis itu tiba-tiba meluncur kembali ke arah mereka dengan cepat sekali. Mereka terpaksa merendahkan tubuh sehingga tiga butir kacang itu lewat di atas kepala! Giok Cu melihat hal ini dan ia terkejut bukan main melihat betapa tiga butir kacang itu kini meluncur ke arah seorang pemuda yang mengenakan sebuah caping lebar dan yang kebetulan duduk di meja sebelah tiga orang berpakaian ku¬ning itu!
Lebih kaget dan kagum hatinya melihat betapa pemuda itu, yang mukanya tersembunyi di balik caping lebar, tanpa menggerakkan kepala sehingga tentu dia tidak melihat datangnya tiga butir kacang yang menyambar, menjulurkan tangan kirinya dan sekali tangan kiri itu menggapai, tiga butir kacang itu telah ditangkapnya! Kini, caping itu merosot turun ke punggung dan nampaklah wajah pemuda itu. Wajah yang tampan dengan sepasang mata yang lincah jenaka dan tajam sinarnya. Hidungnya besar mancung dan bibirnya merah penuh gairah. Pakaian pemuda itu menunjukkan bahwa dia seorang pelajar atau pakaian yang biasa dipakai para sastrawan dan terpelajar. Pemuda itu memandang kearah Giok Cu dan senyumnya amat menarik sehingga Giok Cu memandang dengan kagum. Hanya sebentar saja pemuda itu memandang Giok Cu. Lalu ia memandang kepada tiga orang pria berpakaian kuning itu dan ia tersenyum lebar.
"Aha, memang banyak lalat, terutama tiga ekor lalat kuning yang amat menjemukan harus diusir agar tidak mengurangi selera makan!" berkata demikian, tiba-tiba tangannya bergerak dan tiga butir kacang itu sudah meluncur dengan kecepatan kilat kearah Kim bwe Sam-houw. Tiga orang ini sama sekali tidak menduganya. Mereka tadi tidak melihat betapa pemuda bercaping itu menangkap tiga butir kacang, maka begitu mendengar ucapan pemuda itu, mereka menengok pada saat tiga butir kacang itu meluncur. Mereka tidak mungkin mengelak lagi dan tiga butir kacang itu dengan tepat mengenai muka mereka! Seorang terkena hidungnya, seorang terkena pipinya dan orang ke tiga terkena dahinya. Mereka menahan teriakan karena biarpun hanya kacang goreng, akan tetapi karena dilepas dengan kekuatan yang hebat, maka muka yang terkena kacang itu terasa cukup nyeri, terutama dia yang terkena hidungnya. Ada tanda merah pada hidung, dahi dan pipi itu. Serentak mereka bangkit berdiri dan memandang kepada pemuda bercaping itu dengan marah.
"Jahanam! Apakah telingamu tuli matamu buta?" bentak orang pertama dari Kim-bwe Sam-houw yang tadi terkena lemparan karang pada hidungnya "Andaikata engkau tuli, tentu engkau tidak buta dan dapat melihat dengan siapa engkau berhadapan. Kami adalah Kim-bwe Sam-houw, dan berani engkau mengganggu kami?"
Pemuda itu menyumpit sepotong daging dan memasukkannya ke mulut, lalu mengunyahnya, agaknya tidak tergesal gesa menjawab walaupun dia sudah memandang kepada mereka bertiga. Setelah daging itu hancur lembut dan ditelannya, barulah dia menjawab, "Tidak ada yang mengganggu tiga ekor lalat kuning! Biasanya, lalat kuning yang suka mengganggui orang!"
Jawaban itu membuat Giok Cu tersenyum. Pemuda itu sungguh berani dan jenaka, dan melihat cara dia tadi melempar tiga butir kacang, mudah diduga bahwa tentu pemuda bercaping yang tampan itu memiliki ilmu kepaindaiain yang lumayan. Betapapun juga, ia pun tahu betapa lihainya cambuk emas dari tiga orang pria berpakaian kuning itu, maka diam-diam Giok Cu mengambil keputusan untuk melindungi pemuda bercaping kalau-kalau dia terancam bahaya.
Tiga orang Kim-bwe Sam-houw semakin marah. Mereka ketiganya menjadi korban lemparan kacang, maka kini ketiganya mengeluarkan cambuk emas mereka yang tadi sudah memperlihatkan kelihaiannya ketika seorang di antara mereka menghajar hartawan dari Siong-cu tadi bersama lima orang tukang pukulnya. Melihat ini, para tamu yang masih berada di situ, menjadi ketakutan dan mereka yang mejanya berdekatan, segera meninggalkan meja walaupun makanan mereka belum habis. Kini yang nampak di bagian ruangan itu hanyalah Si Pemuda bercaping, Giok Cu, dan tiga orang pria berpakaian kuning itu. Giok Cu masih tenang-tenang saja makan nasi dan bakminya, seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depannya.
Tiga orang Kim-bwe Sam-houw sudah bangkit berdiri dan berjajar menghadapi pemuda bercaping yang masih duduk dengan tenangnya, biarnya terkesan mengejek dan matanya yang jenaka memandang kepada tiga orang yang marah- marah itu.
"Keparat! Bangkitlah dan lawanlah kami kalau engkau memang laki-laki tantang seorang di antara Kim-bwe Sam- houw. Tiba-tiba, pemilik rumah makan itu datang berlari-lari, lalu sambil membungkuk-bungkuk kepada Kim-bwe Sam- houw, dia berkata, suaranya jelas membayangkan ketakutan.
"Mohon dengan hormat agar Sam-wi (Tuan Bertiga) menghentikan keributan ini."
Baru saja pemilik rumah makan bicara sampai di situ, orang termuda dari Kim-bwe Sam-houw yang tadi terkena lemparan kacang tepat pada hidungnya membentak, "Tutup mulutmu! Apak engkau ingin pula merasakan kerasnya cambukku?" Orang itu bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu, dan hidungnya besar maka mudah menjadi sasaran lemparan kacang tadi.
Akan tetapi pemilik rumah makan itu tidak mau pergi, melainkan memberi hormat dan berkali-kali mengangkat kedua tangan ke depan dada dan mengangguk-angguk. "Harap Eng-hiong (Orang gagah) tidak marah dan dengarkan dulu keterangan saya. Ruangan ini akan dilukai oleh rombongan Cang Tai-jin, pesanan mendadak dan itu rombongannya sudah hampir tiba di sini. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) pindah ke ruangan samping dan harap jangan membuat keributan." Mendengar bahwa ruangan itu akan dipergunakan rombongan Cang Tai-jin, sikap tiga orang jagoan itu berubah. Mereka adalah tiga orang yang menjadi kaki tangan atau pembantu utama dari pembesar itu, walaupun hanya sebagai orang-orang sewaan apabila diperlukan, bukan pegawai resmi. Maka, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi dan biarpun mereka bertiga melotot ke arah pemuda yang masih mengenakan caping merahnya itu, namun mereka tidak berani lagi membuat ribut, bahkan mereka ikut pula menyambut ke luar rumah makan karena rombongan itu sudah datang didahului oleh pasukan pengawal.
Pemuda bercaping merah itu hanya mengangguk ketika pelayan menghampirinya dan minta dengan hormat agar di suka pindah duduk di ruangan samping "Biarlah kami yang akan memindahkan hidanganmu, Kongcu (Tuan Muda)," kata para pelayan. Juga beberapa orang pelayan menghampiri Giok Cu dan menawarkan hal yang sama. Melihat pemuda itu mengangguk, Giok Cu yang masih ingin tahu kelanjutan dari pertengkaran tadi, juga karena memang ia belum selesai makan, mengangguk. Hatinya memang mendongkol terhadap gangguan itu karena baginya tidak pada tempatnya kalau para tamu rumah makan umum harus mengalah terhadap pembesar yan manapun juga. Akari tetapi, ia tidak dapat menyalahkan pemilik rumah makan yang tentu saja takut dan tunduk terhadap pejabat setempat yang berkuasa penuh. Kebetulan sekali, tanpa disengaja karena mereka berada dalam keadaan panik dan tegang sehubungan dengan peristiwa keributan tadi yang disusul Kunjungan rombongan Cang Tai-jin yang tiba-tiba, para pelayan itu memindahkan hidangan Giok Cu diatas sebuah meja yang bersebelahan dengan meja pemuda bercaping merah itu. Dan agaknya tanpa disengaja, mereka duduk saling berhadapan, terhalang kedua buah meja.
Ketika Giok Cu mengangkat muka memandang, ia bertemu pandang dengan sepasang mata yang amat tajam mencorong dan bagian hitam mata itu amat hitam sehingga menambah ketajaman pandang mata itu. Sejenak saja mereka saling pandang, sinar mata mereka bertaut, kemudian pemuda bercaping merah itu tersenyum dan bangkit berdiri sambil mengangkat tangan ke depan dada dan menjura.
"Aku mohon maaf, Nona, bukan maksudku hendak bersikap kurang ajar karena berani menyapamu, akan tetapi agaknya memang nasib telah mempertemuan kita dengan peristiwa tadi. Aku Can Hong San merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan Nona yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.”
Kalau saja kata-kata dan sikap pemuda bercaping merah itu menunjuk kekurangajaran, sudah pasti Giok Cu tidak akan sudi melayaninya. Akan tetapi, pemuda bernama Can Hong San itu bersikap amat sopan, bicaranya halus kata-katanya indah menunjukkan bahwa dia terpelajar, maka iapun merasa senang dan tidak enak kalau tidak melayani. Giok Cu bangkit berdiri pula dan membalas penghormatan orang.
"Terima kasih, Saudara Can Ho San. Engkau terlalu memuji. Namaku Giok Cu dan aku pun girang dapat berkenalan dengan engkau."
Sepasang mata yang hitam tajam itu berkilat tanda bahwa dia bergembir asekali. Hong San mengisi cawannya dengan arak, kemudian mengangkat cawan Itu sambil memandang kepada Giok Cu.
"Nona Bu Giok Cu, maukah engkau menghabiskan secawan arak bersarnak untuk menghormati perkenalan kita ini?"
Giok Cu tersenyum. Ia pun mengisi cawannya dengan anggur dan mereka berdua mengangkat cawan masing- masing sambil tersenyum dan minum isinya sampai habis. Setelah menurunkan kembali cawan kosong di atas meja, Hong San mengangguk hormat.
"Terima kasih, Nona Bu. Engkau sungguh berbudi dan ramah sekali, di samping gagah perkasa."
Giok Cu tersenyum, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan wajah girang mendengar pujian itu. "Harap jangan terlalu memuji!"
Pada saat itu, terdengar canang dipukul dan nampaklah serombongan pasukan pengawal memasuki pintu depan rumah makan dan mereka berdiri berbaris disepanjang pintu masuk. Kepala pasukan pengawal masuk dan berseru kepada pemilik rumah makan yang menyambut tergopoh-gopoh.
"Apakah tempat pesta untuk Cang Tai-jin sudah dipersiapkan?"
"Sudah............ sudah ruangan ini telah
dikosongkan dan dibersihkan."
Komandan itu lalu memeriksa dengan pandang matanya yang tajam. Dia mengerutkan alisnya melihat seorang pemuda dan seorang gadis makan ruangan samping yang terhalang tembok pendek. Melihat ini, pemilik rumah makan segera menghampirinya.
"Mereka itu tamu-tamu dari luar kota yang sedang makan. Akan tetapi sudah saya minta pindah ke ruangan samping yang tidak terpakai. Ruangan ini saya kira sudah cukup luas untuk rombongan Cang Tai-jin."
Karena pemuda dan gadis itu tidak mendatangkan kesan berbahaya, komandan itu mengangguk, lalu keluar lagi. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kaki kuda dan roda kereta, dan sebuah kereta besar berhenti di depan rumah makan Ho- tin yang terkenal memiliki hidangan! lezat dan juga merupakan rumah makan terbesar di kota Siong-an. Seorang pria gendut berjenggot panjang turun dari kereta, dibantu oleh para pengawal. Usianya sekitar lima puluh tahun, dari pakaiannya mewah, pakaian seorang pembesar. Dia adalah Cang Tai-jin, kepala daerah kota Siong-an yang berkuasa di kota itu dan sekitarnya. Para pengawal Itu nampaknya amat hormat kepadanya ketika membantunya turun dari kereta, bahkan ada yang cepat berlutut membersihkan sepatu pembesar itu dari debu, menggunakan lengan bajunya!
Akan tetapi pembesar itu sendiri agaknya tergesa-gesa, mendorong para pengawal yang membantunya setelah dia berada di bawah kereta, kemudian dia sendiri menyingkap tirai kereta sambil membungkuk hormat dan berkata dengan suara merendah, "Silakan, Tai-jin, silakan turun dari kereta. Mari, pergunakan kedua tangan saya untuk berpijak." Cang Tai-jin sudah merangkap kedua tangan agar menjadi tempat berpijak bagi orang yang hendak turun, karena dari kereta ke atas tanah memang agak tinggi sehingga tanpa pijakan perantara, akan menyulitkan bagi seorang pembesar yang mengenakan pakaian kebesaran.
Sebuah kepala menguak keluar dari tirai dan nampaklah tubuh seorang pria berusia lima puluh lima tahun yang kurus tinggi, wajahnya dingin berwibawa. Melihat sikap Cang Tai-jin yang menjadi tuan rumahnya, pembesar tinggi kurus itu menggeleng kepalanya.
"Harap Cang Tai-jin jangan repot-repot, biar pengawalku saja yang mermbantuku turun." Dia lalu memberi isyarat kepada seorang pengawal yang bersama dua belas orang anak buahnya mengawal di belakang kereta itu. Komandan pengawal itu cepat berlari menghampiri dan dia membantu pembesar tinggi kurus itu turun dari kereta.
Sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat, dengan mulut menyeringai, kini pembesar setempat yang menjadi tua rumah itu mempersilakan tamunya untuk memasuki rumah makan. Tamunya itu disebut Liu Tai-jin (Pembesar Liu) yan berpangkat lebih tinggi dan datang dari kota raja, melakukan tugasnya sebaga utusan jaksa Tinggi di kota raja untuk melakukan inspeksi dan penyelidikan terhadap para pejabat di daerah. Semua pejabat sudah mendengar bahwa Jaksa Tinggi mengutus seorang petugas melakukan penyelidikan di sepanjang Sungai Kuning, maka tentu saja setiap kali datangi sebuah kota, dia disambut nn dielu-elukan oleh para pejabat daerah. Apalagi tugasnya itu sungguh amat mendatangkan rasa takut dalam hati para pejabat.
Ketika dua orang pembesar ini memasuki ambang pintu, mereka disambut oleh pemilik rumah makan dan semua karyawannya. Yang disambut adalah Cang Tai-jin, karena mereka semua tentu saja ikut kepada kepala daerah ini. "Selamat datang, Cang Tai-jin yang dia. !" seru pemilik
rumah makan itu, diikuti oleh para karyawannya dan icreka semua berlutut, seperti menghadap seorang kaisar saja Melihat penyambutan ini, sejenak Cang Tai-jin tersenyum menyeringai dengan girang, akan tetapi segera dia tergopoh- gopoh berkata.
"Jangan memberi hormat kepadaku saja! Hayo cepat kalian sambut dengan penuh kehormatan kepada Liu Tai-jin dari kota raja ini!"
Melihat sikap pembesar setempat itu demikian hormatnya kepada tamunya, pemilik rumah makan dan para karyawannya terkejut, maklum bahwa tentu pembesar tinggi kurus yang disebut Liu Tai-jin itu lebih tinggi pangkatnya.
"Selamat datang, Liu Tai-jin yang mulia. !" Mereka
berseru dan kini mereka memberi hormat kepada Liu T-jin.
Pembesar tinggi kurus itu menggerakkan tangan kanannya dengan sikap tak sabar. "Sudahlah, kalian bangkitlah bekerja!" katanya. Pemilik rumah makan dan para karyawannya segera bangkit dan dua orang tamu agung itu persilakan duduk di tempat kehormatan. Sebuah kereta ke dua muncul dan turunlah sepuluh orang gadis cantik dengan pakaian warna- warni, mereka masuk diikuti oleh serombongan penabuh musik.
Segera tempat itu penuh dengan bau harum yang keluar dari pakaian para penari dan penyanyi itu, dan tak lama kemudian, setelah semua pemain musik dan gadis penghibur itu memberi hormat kepada dua orang pejabat tinggi, terdengar suara musik mengiringi nyanyian dan tarian para gadis itu.
Pesta pun dimulai, hidangan lezat yang masih mengepul panas dikeluarkan dan dua orang pembesar itu mulai makan minum sambil menoton tarian lemah gemulai dan nyanyian yang merdu merayu. Suasana menjadi gembira sekali. Para pasukan pengawal menjaga tempat itu dengan ketat, bahkan orang-orang yang menonton di luar rumah makan, diusir pergi. Tamu-tamu baru hanya diperkenankan masuk melalui pintu samping yang langsung menuju ke ruangan samping di mana Giok Cu dan Hong San masih duduk. Mereka sudah selesai makan, akan tetapi memperpanjang waktu duduk mereka dengan memesan tambahan minuman dan makanan kecil. Sejak tadi, kedua orang muda ini nonton pertunjukan yang mereka anggap amat menarik itu. Para penyanyi dan penarinya, selain cantik-cantik, juga pandai. Mereka adalah gadis-gadis penghibur yang paling terkenal, didatangkan Cang Tai-jin dari lain kota dengan bayaran mahal.
Tiba-tiba pemuda bercaping lebar tertawa lirih sehingga Giok Cu menengok dan memandang kepadanya. Pemuda itu sedang memandang ke arah dua orang pembesar, dan seolah-olah dia tahu bahwa suara tawanya itu menarik perhatian Giok Cu, karena dia segera berkata "Nona Bu, lihat, bukankah pembesar gendut itu sungguh merupakan seorang penjilat besar? Orang sekitarnya bersikap hormat dan menjilat kepadanya, dan lihai sikapnya ketika menemani dan melayani pejabat tinggi kurus itu. Menjilat-jilat yang berlebihan sekali!" Kembali Ho San tertawa lirih dan melanjutkan. "Dia seperti seekor babi gemuk yang mendengus-dengus, ha-ha!"
Giok Cu juga tersenyum geli. Mereka berani bicara lirih karena kegaduhan dan nyanyian itu membuat mereka dapat leluasa bicara tanpa khawatir terdengar dua orang pembesar itu.
"Hemmm, orang yang suka menjilat ke atas biasanya suka pula menginjak ke bawah. Contoh seorang pembesar yan korup dan sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya!" Giok Cu berkata dengan sikap muak membayangkan sikap sebagian besar pembesar yang wataknya seperti itu.
"Aku ingin sekali melihat mereka semua itu telanjang!" Hong San kembali tertawa. Giok Cu memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Telanjang? Apa maksudmu?" la curiga kalau-kalau pemuda yang mendatangkan rasa kagum dalam hatinya itu ternyata hanya seorang pemuda hidung belang dan kata-katanya tadi dimaksudkan untuk melihat para gadis penghibur itu telanjang!
"Ya, bertelanjang bulat! Ha-ha, tentu lucu sekali melihat pembesar itu telanjang bersama pengawalnya dan para karyawan rumah makan. Mereka hanya merupakan sekumpulan orang telanjang, seperti babi-babi yang tidak ada perbedaannya, hanya gemuk dan kurus tentu saja, akan tetapi tak seorang pun tahu mana pembesarnya, mana pengawal dan mana pula pelayan rumah makan! Aku berani bertaruh, tak seorang pun yang akan tahu perbedaannya!"
Giok Cu tertawa. Kiranya itu yang dimaksudkan pemuda yang gembira itu "Aku tahu perbedaan antara mereka kalau mereka ditelanjangi!" Hong San menghentikan tawanya tiba-tiba saja dan mukanya berubah aneh seperti orang marah. "Eh? Engkau tahu perbedaannya?" tanyanya, dan matanya penuh rasa penasaran, Giok Cu tidak melihat perubahan ini dan ia pun menjawab sambil tersenyum.
"Si Pejabat akan memaki-maki dan mengancam yang menelanjangi, pengawalnya akan mencak-mencak dan mengamuk, sedangkan karyawan itu hanya akan menangis dan minta ampun."
Berubah pula pandang mata Hong San dan kini dia tertawa bergelak sehingga Giok Cu menoleh ke ruangan tengah, khawatir kalau suara ketawa itu akan mengganggu pesta pembesar.
"Ha-ha-ha, engkau benar, Nona Bu, Akan tetapi itu pun karena mereka masih mengenakan pakaian ke dua, yaitu! kedudukan dan pangkat. Coba kalau pada suatu hari pembesar itu dipecat dan seorang karyawan diangkat menggantikan pangkatnya, tentu keadaannya menjadi terbalik pula. Ha-ha-ha!"
Giok Cu tertawa pula dan mengangguk. la teringat akan wejangan yang pernah di dengarnya dari gurunya yang ke dua, yaitu Hek-bin Hwesio. Pendekar Sakti itu pernah bicara tentang penghormatan yang dilakukan orang pada umumnya dengan menceritakan sebuah peristiwa. Seorang pemuda meninggalkan kampungnya sampai bertahun-tahun dan dia berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Pada suatu hari, dia pulang ke kampungnya dan sengaja mengenakan pakaian biasa, pakaian petani sederhana eperti ketika dia berangkat dan dikunjungilah seorang sahabatnya. Sahabat ini menerimanya dengan acuh, bahkan sikapnya menghina seolah kedatangannya itu hanya mengganggu saja, dan ada kecurigaan kalau-kalau dia datang untuk berhutang! Sikap sahabatnya ini membuat dia penasaran dan dia pun pergi. Beberapa hari kemudian dia datang kembali, sekarang mengenakan pakaian indah dan serba mahal, serba baru. Seketika sikap sahabatnya itu berubah. Dia diterima dengan ramah,dipersilakan duduk dan dijamu hidangan yang enak! Pemuda itu lalu menanggalkan baju dan sepatunya, menggantungkan baju di kursi, menaruh sepatu di meja dan dia pun dengan sikap hormat mempersilakan baju dan sepatu itu untuk makan minum. Sahabatnya menegur sikapnya yang aneh ini dan dia menjawab, "Bukankah yang kauhormat itu pakaian dan sepatuku? Bukan diriku yang kausuguh hidangan, melainkan pa kaian dan sepatuku inilah!"
Demikianlah cerita gurunya itu dan ia pun mengerti. Penghormatan yang kita lakukan ini, yang disebut kebiasaan umum, sesungguhnya hanyalah merupakan pemujaan terhadap benda, kekuasaan kedudukan mulia, kecantikan, kepandaian dan sebagainya. Bukan manusianya yang dihormati, melainkan yang melekat pada si manusia pada saat itu. Seorang pembesar dihormat sampai berlebihan karena kedudukannya yang tinggi, kekuasaannya yang besar, karena si penghormat ini memiliki pamrih, karena si penghormat ini dikuasai oleh daya rendah dan nafsu. Namun, begitu si pembesar kehilangan kedudukan dan kekuasaannya, maka penghormatan itu pun akan lenyap dengan sendirinya!
Karena itu, bagi seorang bijaksana, tidak akan silau oleh segala kelebihan lahiriah itu, tidak akan menjilat dan memuja orang yang kebetulan memiliki kelebihan lahiriah. Juga dia tidak akan mabuk oleh kelebihan lahiriah kalau kebetulan dia yang memiliki, karena semua itu hanya sementara saja, tidak abadi. Kasih sayang antar manusia bukan kasih sayang yang terdorong oleh kelebihan lahiriah, melainkan kasih sayang antara manusia itu sendiri. Jauh lebih baik miskin lahiriah namun kaya batiniah daripada miskin batiniah kaya lahiriah, walaupun tentu saja sebaiknya adalah kaya akan kedua- duanya. Dalam arti kata, secara lahiriah, dia memiliki kedudukan yang baik dan kehidupan yang serba cukup, juga secara batiniah dia memiliki kasih sayang terhadap semua manusia, berbudi baik dan selalu mentaati petunjuk Tuhan. Segala yang nampak gemerlapan, seperti kepandaian, kecantikan, kekayaan atau kedudukan, semua itu dapat lenyap. Pemujaan terhadap semua itu hanya menunjukkan ketamakan karena dorongan nafsu. Pemujaan dari orang lain, terhadap diri kita yang sedang ada kelebihan lahiriah adalah palsu. Pemujaan dan penjilatan itu sewaktuk-waktu dapat berubah menjadi kebencian. Oleh karena itu, siapa berpegang kepada kelebihan lahiriah untuk mendapatkan kebahagiaan, takkan pernah berhasil. Yang didapatkan melalui nafsu hanyalah kesenangan, dan kesenangan adalah saudara kembar kesusahan yang setiap waktu akan menggantikan kedudukan saudara kembarnya.
Manusia itu sama, dalam arti kata sama-sama sempurna sebagai ciptaan Tuhan, sama-sama menerima berkah berlimpah dari Yang Maha Kasih. Yang berbeda itu hanyalah pakaian, termasuk kebudayaan, tradisi, agama, pangkat kedudukan, harta, kulit dan sebagainya. kalau kulit pembungkus tubuh dan daging sudah rusak habis oleh kematian, apa yang tinggal? Kerangka dan tengkorak. Sama pula, tidak ada lagi yang cantik atau yang buruk, yang kaya atau yang miskin. Yang tinggal berbeda mungkin hanya bentuk nisan kuburannya!
Giok Cu semakin tertarik kepada pemuda yang selain tampan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, ternyata juga halus tutur sapanya dan luas pula pandangannya itu. Sebaliknya, Hong San kini sudah tergila-gila benar kepada Giok Cu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis seperti Giok Cu. Biarpun dia hanya mencuri-curi pandang, dia sudah melihat jelas betapa gadis itu lincah jenaka, gembira dan penuh gairah hidup, wajahnya demikian cantik jelita dan manis, dengan dandanan yang rapi dan pantas walaupun tidak terlalu pesolek. Memang sejak menjadi murid Hek-bin Hwesio, Giok Cu tidak begitu pesolek lagi seperti ketika ia masih menjadi murid Ban tok Mo-li. Kini pakaian dan dandanan rambutnya rapi dan segalanya nampak bersih, namun cukup sederhana, tidak mewah. oooOOooo
Tiba-tiba Hong San memberi isyarat kepada Giok Cu untuk mendengarkan. Mereka berdua mengerahkan tenaga kearah pendengaran mereka yang menjadi peka sekali sehingga mereka dapat mendengarkan percakapan antara kedua orang pembesar itu.
"Ha-ha-ha, kami merasa terhormat dan gembira sekali menerima kunjungan Liu Taijin. Seperti Tai-jin lihat, keadaan di sini baik-baik saja, semua pekerjaan berjalan dengan lancar dan kami selalu berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan pemerintahan yang baik," antara lain Cang Tai-jin berkata dengan menyeringai, sikapnya merendah dan menjilat.
Wajah yang dingin dari Liu Taijin tidak berubah, akan tetapi matanya menatap tajam wajah tuan rumah, lalu terdengar dia berkata, "Akan tetapi bagaimana dengan pelaksanaan pengumpulan tenaga kerja untuk melancarkan jalannya pembangunan terusan, Cang Tai-jin?"
"Ah, hal itu juga terjadi dengan lancar dan baik-baik saja. Bukankah kami telah mengirim ribuan orang pekerja dari daerah kami ini ke tempat pembangunan terusan? Kami sudah membantu banyak. "
"Lalu apa artinya berita yang kami terima tentang pemaksaan tenaga kerja, penekanan dan uang tebusan bagi mereka yang mampu membayar agar terbebas dari tenaga paksaan?" Kini sepasang mata pembesar tinggi kurus dari kota raja itu menatap wajah tuan rumah penuh selidik. Sejenak wajah Si Pembesar Gendut itu berubah agak pucat, akan tetapi dia lalu membungkuk-bungkuk dan menyeringai lebar, lalu berkata lebih lirih.
"Aih, Liu Taijin yang mulia, tidak perlu mempercayai kabar angin seperti itu! Tidak pernah terjadi hal demikian. Memang ada beberapa orang yang kami hukum, akan tetapi mereka itu memang membandel dan memberontakt menghasut penduduk agar tidak membantu pemerintah. Padahal, karmiselalu menyerahkan uang bagi mereka yang menjadi sukarelawan membangun terusan, sesuai dengan perintah atasan kami di kota raja."
"Hemmmmm. mudah-mudahan saja benar apa yang
engkau katakan itu, Cang Taijin," kata Liu Taijin, sikapnya tetap dingin seperti juga wajahnya.
"Aih, Liu Taijin tentu lebih percaya kepada laporan saya daripada lapor an orang-orang yang tidak suka kepada saya bukan? Kami percaya atas kebijaksanaan Liu Taijin agar kelak melaporkan ke kota raja bahwa semua tugas sudah kami laksanakan dengan sebaiknya. Untuk kebaikan hati Liu Taijin ini, kami tentu tidak akan melupakannya. Liu Taijin, sekarang juga kami telah menyediakan bekal untuk Taijin dalam perjalanan pulang, disertai pula dua orang teman seperjalanan yang masih gadis dan merupakan kembang dari seluruh gadis penghibur di daerah kami. Silakan Taijin melihat dan berkenalan dengan mereka!' Berkata demikian, Cang Taijin lalu memberi isyarat kepada seorang pengawalnya. Pengawal ini cepat keluar dari rumah makan dan tidak lama kemudian dia pun kembali mengantar dua orang gadis yang berusia antara lima belas dan delapan belas tahun, berwajah cantik berkulit putih mulus. Selain dua orang gadis itu, ada empat orang pengawal menggotong sebuah peti yang kelihatan berat.
Cang Taijin menyuruh dua orang gadis itu duduk di atas bangku di kanan kiri Liu Taijin. Sebagai dua orang gadis hiburan yang terlatih baik, walaupun mereka masih gadis, dua orang itu dapat menyuguhkan arak dan menyumpitkan daging dengan gaya yang manis memikat. Kemudian, Cang Taijin menyuruh Pengawal membuka tutup peti dan nampaklah barang-barang yang amat berharga di dalam peti itu, bongkahan-bongkahan emas dan perak, juga gulungan sutera dan perhiasan yang serba mahal, hanya sebentar saja peti itu dibuka, lalu ditutup kembali.
Liu Taijin mengelus jenggotnya, tersenyum dingin biarpun diapit dua orang gadis yang hangat. "Hemmm, apa artinya pemberian ini, Cang Taijin? Apa yang telah kulakukan maka engkau memberi hadiah sebanyak ini?"
Cang Taijin menyeringai. "Aih, Taijin yang mulia. Sumbangan ini tidak ada harganya kalau dibanding dengan jasa Taijin membuat laporan yang baik ke kota raja tentang pekerjaan saya. Biarlah kelak saya berkesempatan untuk dapat menghaturkan sumbangan yang lebih banyak."
Liu Taijin mengangguk-angguk para gadis penghibur melanjutkan tarian dan nyanyian mereka, pesta pora dilanjutkan. Karena merasa tidak enak kalau terlalu lama duduk di ruangan samping akhirnya sebelum dua orang pejabat tinggi itu mengakhiri pesta mereka, Giok Cu memanggil pelayan untuk membayar harga makannya.
"Biarlah saya yang membayarnya sekalian, Nona, tentu saja kalau Nona tidak berkeberatan, sebagai tanda perkelan kita. Hei, pelayan, hitunglah semua harga hidangan kami berdua!" kata Hong San.
Giok Cu tersenyum. "Hemm, agaknya engkau meniru pembesar gendut itu!" Hong San juga tertawa, akan tetapi dia membayar harga makanan dan minuman kedua meja itu kepada pelayan, kemudian, seperti dengan sendirinya dan sewajarnya, mereka keluar dari tempat itu bersama. Setelah tiba di luar rumah makan, Hong San berkata lirih.
"Nona Bu, aku ingin menghadang kereta pembesar kurus itu di luar kota dan menyerangnya. Bagaimana pikiranmu?" Giok Cu terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan heran. "Sungguh aneh sekali! Aku pun mempunyai niat demikian! Bagaimana jalan pikiran kita dapat sama?"
Hong San tersenyum gembira. "Ini namanya bahwa kita memang berjodoh untuk menjadi sahabat baik dan bekerjasama!"
Giok Cu merasa betapa jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas rnendengar ucapan itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu sopan, ia pun segera mengalihkan percakapan. "Ingin aku mengetahui, untuk apa engkau menghadang dan menyerangnya?"
Hong San adalah putera kandung di murid Cui-beng Sai- kong, seorang datuk besar dunia hitam, namun dia Cerdik bukan main dan dia tahu bahwa kepada seorang wanita seperti Giok Cu yang agaknya seorang pendekar wanita dia harus mampu menggunakan kedok seorang budiman. "Nona, peti hadiah itu berisi emas, perak dan barang berharga. Tidak pantas dan sayang sekali kalau barang berharga itu jatuh ke tangan pembesar pemakan sogokan seperti dia! Itu tentulah harta hasil korupsi, hasil pemerasan para pembesar itu dari rakyat. Maka, aku akan merampas peti itu Nona."
Giok Cu mengangguk-angguk. "Akan tetapi aku hendak menghadangnya untuk membebaskan dua orang gadis yang di hadiahkan tadi."
"Tapi. , tapi gadis-gadis macam itu untuk apa
dibebaskan? Bukankah mereka tadi kelihatan begitu jinak dan bahkan melayani pembesar kota raja itu dengan gembira?"
"Aih, engkau seorang laki-laki, tentu lak dapat melihat dengan jelas. Biarpun mereka melayani, namun mereka itu terpaksa dan takut kepada pembesar gendut. Aku melihat betapa mata dan bibir mereka menahan derita yang hebat. Aku akan membebaskan mereka."
"Kalau begitu, kita dapat bekerjasama, Nona. Kita robohkan dulu para pengawalnya, kemudian kita serbu kereta, engkau membebaskan dua orang gadis itu dan aku merampas peti."
"Baiklah, akan tetapi, kalau boleh aku bertanya, mau kaupakai apakah harta dalam peti itu?" Giok Cu bertanya sambil lalu, padahal di dalam hatinya dara ini ingin sekali tahu mengapa pemuda yang dikaguminya itu hendak merampas peti berisi harta itu.
Dengan cerdik Hong San yang semakin yakin bahwa Giok Cu adalah seorang pendekar wanita, menjawab seperti sudah sewajarnya. "Untuk apa? Tentu saja untuk kukembalikan ke rakyat jelata! Harta itu akan kubagikan kepada rakyat miskin di dusun-dusun!"
Dengan hati girang sekali Hong melihat betapa gadis perkasa yang cantik jelita dan manis itu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum, seperti sudah saling bersepakat keduanya lalu menanti sambil bersembunyi, pura- pura berjalan-jalan di sepanjang jalan raya itu, namun mereka selalu memperhatikan ke arah kereta yang berhenti di depan rumah makan.
Tak lama kemudian, saat yang mereka nanti-nantikan pun tiba. Nampak Taijin yang kurus itu naik ke atas kereta bersama dua orang gadis yang telah dihadiahkan kepadanya, dan peti pun dinaikkan ke atas kereta. Cang Tai-jin yang gendut menyeringai dan membungkuk-bungkuk mengantar tamunya naik kereta, akan tetapi dia sendiri tidak naik kereta itu. Pasukan pengawal yang tiga belas orang banyaknya, pengawal dari Kota raja yang rata-rata nampak gagah-gagah menjadi dua, sebagian mengawal di depan kereta, sebagian lagi di belakang kereta. Mereka semua menunggang kuda yang besar, dan kereta itu sendiri ditarik oleh empat ekor kuda. Berangkatlah kereta yang dikawal ketat itu meninggalkan rumah makan, diantar lambaian tangan Cang Tai-jin.
Melihat kereta itu menuju ke pintu gerbang kota sebelah utara, Giok Cu dan Hong San lalu cepat mengambil jalan memotong, mendahului rombongan itu keluar dari pintu gerbang utara. Setelah tiba di luar kota dan melalui jalan raya yang tidak begitu ramai, mereka lalu mengerahkan kepandaian dan berlari cepat, mengambil jalan kecil melewati sawah ladang agar tidak menarik perhatian orang yang berlalu-lalang di jalan raya. Akan tetapi mereka menanti sampai kereta itu muncul, dan dari jauh mereka membayangi
kereta yang dilarikan cepat menuju ke utara, memasuki daerah berhutan dan lalu lintas jalan raya itu mulai sunyi.
Setelah rombongan pembesar itu mu masuki hutan, dua orang muda itu pun berlari cepat melakukan pengejaran mengambil keputusan untuk turun tangan setelah kereta tiba di hutan, atau yang sudah agak jauh dari jalan yang ramai.
Tiba-tiba mereka berdua terkejut karena mendengar suara pertempuran depan. Mereka segera mempercepat lari mereka dan ternyata kereta itu telah dikepung oleh belasan orang dan sudah terjadi pertempuran antara para pengepung yang berpakaian macam-macam melawan tiga belas orang pengawal. Sedangkan kusir kereta yang sudah turun, berusaha menenangkan empat ekor kuda di depan mereka itu.
Tentu saja kedua orang muda itu menjadi terkejut dan juga terheran-heran membuat mereka meragu karena mereka tidak mengenal siapa belasan orang yang melakukan penyergapan terhadap rombongan pembesar itu. Karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, maka Giok Cu dan Hong San hanya menonton saja. Kini mereka baru melihat bahwa pembesar itu agaknya seorang yang amat penting, karena pasukan pengawal yang berkuda itu sungguh tangguh. Mereka itu pandai menunggang kuda, dan pandai pula menggerakkan pedang mereka dari atas kuda sehingga beasan orang yang mengepung itu menjadi kewalahan dan kocar kacir. Para penyerang itu diterjang kuda yang besar, dan pedang yang bergerak cepat lagi kuat. Namun, dua orang muda itu pun dapat melihat bahwa belasan orang penyerang itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang baik.
"Ini kesempatan baik," tiba-tiba Hong San berkata kepada Giok Cu. "Selagi para pengawal menghadapi orang-orang itu, kita turun tangan. Kaubebaskan dua orang gadis itu dan aku akan mengambil peti itu! Dan kita bunuh saja pembesar korup tukang makan sogokan itu!"
"Jangan. !" Tiba-tiba Giok Cu berkata agak ketus
sehingga mengejutkan hati Hong San. "Tidak boleh membunuhnya!" Memang semenjak menjadi murid Hek-bin Hwesio selama lima tahun Giok Cu sudah mendapat gembleng batin dari hwesio itu sehingga ia tid merasa tega untuk membunuh orang. Gurunya itu menanamkan perasaan kasih sayang di dalam hatinya terhadap semua orang, dan yang ia tentang hanyalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Maka, ia mau memberi hajaran kepada orang jahat agar orang itu bertobat dan tidak berani melakukan kejahatan lagi, bukan membunuhnya karena benci kepada orangnya.
Hong San tersenyum, dan mengangguk. Dia mulai mengenal watak gadis itu. Gagah perkasa, cantik jelita, riang jenaka, pemberani akan tetapi juga berbudi luhur! "Mari kita bergerak!" katanya setelah mengangguk menyetujui.
Bagaikan dua ekor burung garuda, Hong San dan Giok Cu meloncat seperti melayang saja, menuju ke arah kereta yang kini tidak terlindung karena tiga belas orang pengawal sibuk menghadapi pengeroyokan belasan orang itu. Akan tetapi pada saat itu, dari lain jurusan berkelebat pula bayangan orang yang tidak kalah cepat dan ringannya dibandingkan dua orang muda itu. Baru saja Giok Cu dan Hong San tiba di dekat kereta, terdengar bentakan nyaring "Perampok-perampok jahat!" Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, kokoh kuat dan tampan gagah. Mendengar bentakan ini dan melihat munculnya seorang pemuda yang gagah perkasa, Giok Cu dan Hong San terkejut. Saat itu dipergunakan oleh pemuda tinggi besar untuk berseru kepada kusir kereta.
"Kenapa engkau tidak cepat melarikan kereta ini, menyingkir dari sini, menyelamatkan majikanmu dan minta bantuan pasukan? Hayo cepat larikan kereta, biar aku menahan para perampok!"
Barulah kusir itu tergopoh-gopoh naik ke atas keretanya dan melarikan empat ekor kuda yang menarik kereta. Kereta bergerak ke depan dengan cepatnya.
"Heiii, tinggalkan peti itu!" Hong San berteriak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda tinggi besar itu telah menghadangnya dengan mata menyam tajam.
"Sayang, begini tampan dan gagah menjadi perampok!" katanya. Melihat pemuda tinggi besar itu menghadang, dan mengeluaran kata ejekan, mengatakan dia perampok, hati Hong San menjadi panas sekali.
"Engkau penjilat pembesar korup bentaknya dan tangan kanannya mengirim hantaman ke arah muka lawan dengan pengerahan tenaga yang dahsyat. Karena dia dapat menduga bahwa pemuda tinggi besar ini tentu lihai sekali, mungkin seorang jagoan dari kota raja yang bertugas melindungi Liu Tai-jin, maka dia pun begitu menyerang sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga dalam hantamannya itu terkandung kekuatan dasyat yang dapat menghancurkan batu padas!
Namun, pemuda yang diserangnya it sama sekali tidak menjadi gugup, bahkan dia pun memutar lengan kirinya menangkis. Melihat lawannya menangkis Hong San sudah merasa girang karena jarang ada yang mampu mempertahankan tenaga pukulannya, maka lawan yang menangkis itu tentu akan patah tulang tangannya atau setidaknya akan terpental atau roboh terbanting. Akan tetapi, tidak demikianlah dugaan Giok Cu. Gadis ini melihat betapa kedudukan kaki pemuda tinggi besar itu kokoh kuat, dan betapa sikapnya yang tenang itu membayangkan kekuatan dahsyat, maka dengan hati berdebar ia menanti bagaimana kelanlajutan adu tenaga antara Hong San yang juga belum diketahuinya benar tingkat kepandaiannya, dengan pemuda tinggi besar itu. Wajah pemuda tinggi besar yang tampan gagah itu seperti wajah yang tidak asing baginya, namun ia sama sekali tidak dapat mengingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda itu. Mungkin seorang di antara tamu gurunya yang pertama, yaitu Ban-tok Mo-li. Seorang teman Ban-tok Mo-li sudah pasti bukan orang baik-baik, dan tidak aneh kalau menjadi jagoan pengawal seorang pembesar koruptor besar yang kaya raya.
"Dukkk!" Dua buah lengan bertemudan tubuh Hong San terhuyung kebelakang, sedangkan tubuh pemuda tinggi besar itu tetap kokoh, sama sekali tidak terguncang! Hal ini amat mengejutkan Hong San. Dia tadi merasa betapa lengannya bertemu dengan lengan yang bagaikan baja kuatnya, dan tenaganya menyambut tenaga pukulannya juga amat dahsyat sehingga dia tidak mampu la mempertahankan kedua kakinya sehingga terhuyung ke belakang. Marahlah Hong San dan dia pun mencabut pedang dengan tangan kanannya.
Giok Cu juga melihat adu tenaga itu dan ia hanya menganggap bahwa mungkin tenaga Hong San belum begitu kuat. Dan melihat betapa dalam adu tenaga itu Hong San terhuyung ke belakang, ia pun menganggap bahwa lawan itu agaknya lebih lihai dari Hong San. Akan tetapi masih ingin melihat bagaimana kalau Hong San menyerang dengan pedangnya. "Singgggg. !" Pedang di tangan Hong San berubah
menjadi sinar menyambar dahsyat, lalu sinar pedang itu bergulung-gulung bagaikan ombak samudera menerjang ke arah lawannya. Barulah Giok diam-diam terkejut dan kagum. Ilmu pedang Hong San ternyata amat hebat. Bukan sembarang orang dapat men gerakkan pedang seperti itu, dan tentu tadi pun Hong San telah mengerahkan sinkang yang kuat. Mulailah Giok Cu menduga bahwa jagoan muda yang melindungi pembesar korup itu tentu memiliki kepandaian yang hebat pula.
Karena pemuda tinggi besar itu tidak memegang senjata, maka dia lalu melolos sabuknya yang terbuat dari sutera putih. Pada saat itu, setelah berloncatan dengan gerakan yang aneh seperti gerakan orang mabuk terhuyung-huyung nampak selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran gulungan sinar pedang, sinar pedang ditangan Hong San mencuat dengan sinar menyilaukan mata mengejar tubuh lawan dan menusuk ke arah perut. Pemuda tinggi besar itu meloncat kebelakang dan ketika pedang itu mengejar cepat, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur ke depan menangkis pedang.
"Takkk. !" Pedang itu pun terpental dan Hong San
membelalakkan matanya. Sabuk sutera putih itu tadi menangkis pedangnya dan berubah menjadi keras seperti logam yang kuat. Tanulah dia bahwa lawannya memang lihai bukan main, merupakan seorang lawan yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Maka dia pun cepat mencabut sulingnya dengan tangan kiri dan kini dia menyerang lawan kalang kabut dengan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri!
Namun, sabuk sutera putih itu lihai bukan main gerakannya. Kadang-kadang menjadi keras, kadang-kadang menjudi lemas dan suatu saat, suling di tangan kiri Hong San hampir dapat terampas karena sudah terlibat ujung sabuk yang imat kuat. Terpaksa Hong San membacokkan pedangnya ke arah sabuk yang nenegang itu dan dia berhasil melepaskan libatan sabuk dari sulingnya. Akan tetapi kini lawannya memutar sabuknya dan sabuk itu bagaikan berubah menjadi seekor naga yang melayang-layang dan menyambar-nyambar dari sega jurusan ke arah Hong San. Pemuda itu menjadi sibuk sekali mengelak atau menangkis dengan pedang dan sulingnya, dan dia pun terdesak. Hong San semakin kaget dan juga penasaran sekali. Dia memutar kedua senjatanya sehingga tidak lagi terdesak walaupun dia jarang mendapat kesempatan untuk balas menyerang walaupun senjatanya dua buah.
Melihat perkelahian itu, Giok Cu menjadi kagum bukan main. Kiranya sahabat atau kenalan barunya itu lihai bukan main dengan pedang dan sulingn Tingkat kenalan baru itu agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Namun, lawannya yang tinggi besar itu ternyata tidak kalah lihainya. Dengan sabuk suteranya, pemuda tinggi besar itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Maka, tanpa banyak cakap lagi ia pun mencabut senjatanya dan melompat ke dalam kalangan pertempuran itu untuk membantu Hong San. Melihat gadis ini meloncat dekat, Hong San berseru, "Jangan, dia lihai sekali, engkau dapat celaka nanti!"
Seruan ini penuh ketulusan hati, tanda bahwa Hong San amat menyayang Giok Cu, khawatir kalau gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu terluka oleh lawan yang lihai itu. Mendengar seruan itu, untuk kedua kalinya jantung dalam dada Giok Cu berdebar. Ia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. Hong San sendiri kewalahan dan terdesak lawan, namun dia melarang ia maju. Hal ini membuktikan betapa pemuda bercaping merah itu amat memperhatikan dan mengkhawatirkan dirinya! Tanpa banyak cakap lagi, tanpa menjawab ucapan Hong San, Giok Cu sudah menerjang dengan pedangnya ke arah pemuda tinggi besar.
Pemuda itu sedang mendesak Hong San dan tiba-tiba dia merasa ada angin dahsyat menyambar diikuti suara mencuit nyaring dan melihat ada sebatang pedang mencuat dan meluncur masuk di antara lingkaran sinar sabuknya! Ketika sabuknya menyentuh pedang itu, sabuknya terpukul mundur, seolah-olah seekor ular yang merasa ngeri berdekatan den alat pemukul! Dia terkejut, apalagi ketika pedang yang tumpul, tidak tajam tidak runcing itu meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang, lalu melakukan gerak bergulingan ke belakang. Ketika dia bangkit kembali, dia sudah memegang sebatang kayu cabang pohon yang didapatkan di atas tanah, dan sabuk itu sudah disimpannya kembali. Kiranya, menghadapi dua orang lawan yang amat lihai itu, pemuda tinggi besar ini telah mengganti sabuknya dengan sebatang tongkat.
Hong San terkejut dan girang melihat kelihaian Giok Cu! Semangatnya bangkit kembali. Dia tadi tahu bahwa seorang diri saja, amat terlalu sukarlah, baginya untuk dapat mengalahkan lawannya. Akan tetapi, melihat betapa serangan pedang di tangan Giok Cu membuat lawan seperti terkejut dan kewalahan, bahkan kini berganti senjata, dia menjadi gembira sekali dan bersama Giok Cu, dia pun cepat mendesak ke depan dan menghujankan serangan kepada lawannya.
Kini pemuda tinggi besar itu menggerakkan tongkatnya dan sungguh aneh, gerakannya ganjil sekali, kacau balau dan seperti orang mabuk saja. Tubuhnya terhuyung ke sana-sini, bahkan seperti kadang-kadang hendak jatuh. Hebatnya, semua gerakan aneh itu dapat membuat tubuhnya bukan saja terhindar dari hujan serangan dua orang lawannya, bahkan ujung tongkatnya masih sempat melakukan serangan balasan yang cukup ampuh, membuat Hong San dan juga Giok Cu terpaksa meloncat mundur dengan kaget.
Sementara itu, para penyerang tadi juga terdesak hebat oleh tiga belas orang pengawal berkuda. Beberapa orang di antara para penyerbu itu sudah roboh terluka. Akan tetapi tiba- tiba terdengar sorak sorai dan muncullah sedikitnya lima puluh orang, berlarian ke tempat itu dengan segala macam senjata di tangan. Mereka adalah orang-orang yang pakaiannya bermacam-macam, akan tetapi sebagian dari mereka, yang terbanyak, dapat dikenal dari pakaiannya bahwa mereka adalah suku bangsa Hui. Dengan senjata di tangan, mereka menyerbu dan mengamuk sehingga tiga belas orang pengawal itu tentu saja terkejut dan terdesak!
Melihat ini, pemuda tinggi besar yang tadi dikeroyok oleh Giok Cu da Hong San, tiba-tiba membuat gerakai melompat jauh meninggalkan dua orang lawannya, mendekati para pengawal lalui berseru dengan suara nyaring. "Kalian tidak lekas pergi mau tunggu mati? Cepat pergi susul majikan kalian dan lindungi dia!"
Para pengawal itu seperti diingatkan bahwa kereta yang membawa Liu Taijin sudah sejak tadi pergi maka kini mendengar seruan pemuda tinggi besar itu, mereka lalu membalikkan kuda dan melarikan diri. Tiga orang teman mereka yang roboh dan tewas terpaksa mereka tinggalkan. Para penyerbu itu tidak dapat melakukan pengejaran karena mereka tidak mungkin dapat menyusul lawan yang berkuda. Maka, kini semua kemarahan mereka tumpahkan kepada pemuda tinggi besar yang lihai itu. Akan tetapi, di antara suara riuh rendah mereka, tiba-tiba seorang di antara orang-orang Hui itu berteriak.
"Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning)!! Dia Huang-ho Sin-liong. !"
Teriakan ini membuat semua orang menghentikan gerakan mereka yang hendak mengeroyok pemuda tinggi besar itu. Mereka terkejut mendengar disebutnya nama julukan ini, sebuah nama julukan yang baru muncul akan tetapi sudah menggemparkan karena sepak terjang Huang-ho Sin-liong amat mengejutkan bagaikan seekor naga sakti yang turun dari angkasa untuk membersihkan segala bentuk kejahatan di sepanjang Sungai Huang-ho! Hong San juga menahan serangannya dan dia berdiri tertegun memandang pemuda tinggi besar itu. Kini dia teringat. Biarpun malam itu tidak begitu terang, akan tetapi dia ingat bahwa inilah orang yang pernah dilawannya, yaitu ketika dia hendak memperkosa seorang wanita gagah dan pemuda tinggi besar inilah yang menggagalkannya! Kini teringat, terutama sekali permainan tongkatnya yang aneh itu! Jadi orang yang telah dua kali ditempurnya ini berjul Huang-ho Sin- liong? Dia akan mencatat nama itu.
Mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertegun yang membuat dua orang pengeroyoknya yang lihai tadi pun menghentikan serangan mereka, pemuda tinggi besar itu lalu berloncatan cepat dan sebentar saja bayangannya sudah lenyap di antara pohon-pohon. Kalau saja Giok Cu tahu siapa pemuda itu, siapa Huang-ho Sin-liong itu! Pemuda tinggi besar itu bukan lain adalah Si Han Beng, Tentu saja Giok Cu tidak mengenalnya juga sebaliknya Han Beng tidak lagi mengenal gadis yang kini menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, manis dan lihai itu. Ketika mereka saling ber¬pisah, Han Beng berusia dua belas tahun dan Giok Cu baru berusia sepuluh tahun! Dan dua belas tahun telah lewat sejak mereka saling bertemu dan menjadi sahabat.
Kini semua orang yang tadi menyerang kereta, juga puluhan orang Hui yang datang membantu, memandang kepada Giok Cu dan Hong San. Tiga orang diantara mereka, yaitu seorang yang memimpin orang-orang Hui, dan dua orang yang memimpin penyerangan pertama, sudah melangkah maju menghampiri dua orang muda itu. Mereka memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata.
"Terima kasih atas bantuan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sayang sekali bahwa sergapan kita terhadap pembesar lalim penindas rakyat itu gagal karena Huang-ho Sin-liong melindunginya!" "Siapakah kalian dan mengapa kalian menyerang kereta pembesar Liu itu?" Giok Cu bertanya sambil memandang tajam kepada tiga orang itu.
Tiga orang itu saling pandang, lalu orang yang menjadi wakil pembicara tadi tersenyum. "Kami adalah orang-orang yang membenci para pembesar lalim dan agaknya tidak berbeda dengan Ji-wi yang juga memusuhi mereka. Kami mewakili rakyat yang menderita tekanan dan penindasan sehubungan dengan pengerahan rakyat yang dipaksa untuk bekerja membangun terusan! Kami dipaksa, kalau tidak dapat menyogok, maka pemuda-pemuda kami dipaksa bekerja, gadis-gadis kami dipaksa pula bekerja di dapr umum dan untuk menghibur para mandor. Kami ingin memberontak terhadap para pembesar lalim yang menindas rakyat! Dan para kawan yang baik ltu adalah orang-orang suku Hui yang juga membenci pemerintah karena banyak antara mereka yangmenderita karena tanah hak milik mereka disepanjang sungai dirampas."