Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 11

Jilid 11

“Ah, begitukah?" Han Beng terkejut, dan Hui Im juga kaget mendengar ini. "Lalu apa yang akan Suhu lakukan sekarang?"

"Aku yakin bahwa telah terjadi sesuatu di Ang-kin Kai-pang, sesuatu yang yan amat dirahasiakan mengenai diri Koai tung Sin-kai yang sesungguhnya. Ini tentu ada hubungannya dengan perubahan sikap para anggauta Ang-kin Kai-pang yang condong untuk menjadi sewenang-wenang. Malam ini juga aku akan melakukan penyelidikan, apa yang terjadi dengan Lo-koai dan di mana dia sekarang berada. Kalian berdua menunggu saja di dalam hutan ini karena lebih leluasa melakukan penyelidikan sendirian saja."

"Akan tetapi, Suhu sedang sakit, biarlah teecu saja yang melakukan penyelidikan," kata Han Beng.

Kai-ong melirik ke arah Hui Im lalu menggelengkan kepalanya. "Penyakitku tidak penting, akan tetapi karena aku yang mengenal Lo-koai yang aseli, maka sebaiknya aku yang pergi sendiri Engkau dan Nona Souw bersembunyi dalam hutan ini dan engkau tentu dapat melindunginya kalau ada bahaya mengancam. Nah, aku pergi sekarang juga'" Kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ, akan tetapi pendengarannya yang tajam dari Han Beng membuat dia mampu mendengar suara terbatuk-batuk itu dari jauh. Suhunya belum sembuh!

Setelah kakek itu pergi, Han Ben berdiri saling pandang dengan Hui Im. Sinar bulan memungkinkan mereka saling melihat wajah masing-masing, waalaupun hanya remang- remang. Han Beng melihat gadis itu menunduk dan menarik napas panjang. Tentu teringat akan keadaannya dan duka melanda hatinya la pikirnya. Untuk mengalihkan perhatian dia lalu berkata, "Nona, untuk mengusir nyamuk dan dingin, sebaiknya kita membuat api unggun." "Apakah tidak berbahaya? Bagaimana kalau terlihat oleh musuh?"

"Saya kira tidak, Nona. Kalau memang pihak Ang-kin Kai- pang hendak menyerang kita, tentu sudah dilakukan tadi ketika kita berada di sana. Agaknya mereka itu ragu-ragu dan jerih menghadapi Suhu yang namanya sudah terkenal sekali."

Han Beng mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun. Mereka duduk menghadapi api unggun."Engkau mengaso dan tidurlah, Nona, biar aku yang berjaga di sini sambil menanti kembalinya Suhu."

Gadis itu menggeleng kepala dan merenung memandangi api yang merah.

"Bagaimana dalam keadaan seperti ini aku dapat tidur? Lo- cian-pwe sedang melakukan perjalanan berbahaya dan engkau sendiri juga melakukan penjagaan. Kalau kuingat, betapa bodohnya aku, Tai-hiap, mengira bahwa engkau seorang pengemis biasa. Tidak tahunya gurumu adalah seorang Lo-cian-pwe yang sakti dan engkau sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi."

"Ah, engkau terlalu memuji-muji Nona. Buktinya, aku tidak mampu melindungi Ayahmu dan Susiokmu sehingga mereka menjadi korban"

"Jumlah musuh terlalu banyak, Tai-hiap, dan Ayah bersama Susiok terlalu nekat. Mereka itu amat mendendam atas terbakarnya kuil Siauw-lim-si."

Keduanya berdiam diri sampai berapa lamanya, termenung memandang api unggun yang nyalanya merah keemasan. Tiba-tiba gadis itu mengangkat mukanya memandang. Mendengar gerak ini, Han Beng juga mengangkat muka Mereka saling pandang. "Tai-hiap……."

"Nona, kuharap engkau jangan menyebut aku tai-hiap. Sungguh tidak enak hati ini mendengarnya. Lihat, aku tidak hanya seorang pemuda jembel, sungguh menggelikan dan memalukan kalau terdengar orang lain seorang gadis seperti engkau menyebutku tai-hiap." Dia berhenti dan menatap wajah yang manis di bawah cahaya api unggun. "Namaku Han Beng, Nona."

Hui Im kelihatannya kebingungan, dan dengan gugup, seperti orang yang baru berkenalan dan saling memperkenalkan diri, ia pun menjawab. "Namaku Souw Hui Im ……… ah, lalu aku harus menyebut apa?"

"Terserah, asal jangan tai-hiap saja!" jawab Han Beng sambil tersenyum.

"Bolehkah aku menyebutmu Toako (Kakak Besar)?" "Tentu saja boleh," kata Han Beng dengan wajah berseri, 

"dan aku akan menyebutmu Siauw-moi (Adik Kecil)."

Sejenak mereka diam, hanya menunduk. Perubahan panggilan itu saja amat terkesan di dalam hati masing-masing dan membuat mereka merasa malu-malu dan sungkan. Memang dua orang muda Ini memiliki watak yang sama, yaitu pendiam sehingga sukarlah bagi mereka untuk memulai bicara, tidak tahu apa vang harus mereka bicarakan. Akhirnya, dengan menekan hatinya mengumpulkan keberanian, Hui Im berkata dengan suara lirih.

"Twako, engkau telah mengetahui keadaan diriku. Aku kini yatim piatu tidak mempunyai apa-apa lagi. Akan tetapi aku belum mengetahui riwayatmu Twako. Sudikah engkau menceritakannya kepadaku?" Han Beng menarik napas panjang, Riwayatnya amat tidak menarik, akan tetapi dia teringat bahwa keadaannya yang mirip dengan keadaan gadis tentu akan dapat menghibur hati Hui membuka mata gadis itu bahwa ia tidak seorang diri saja hidup sebatangkara dunia ini, tidak mempunyai apa-apa! lalu dia memandang gadis itu dan tersenyum baru dia menjawab.

"Siauw-moi, keadaan diriku pun tidak banyak bedanya denganmu. Ayah ibuku telah tiada, tewas di tangan orang orang kang-ouw di Sungai Kuning ketika keluarga kami melarikan diri dari kerja paksa. Aku sendiri tidak tahu si pembunuh mereka, karena ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan anak naga di Sungai Huang-ho. Aku tidak mempunyai keluarga lagi, sebatangkara dan seperti kaulihat, aku hidup dengan guruku, dan kami hanyalah pengemis-pengemis miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal."

"Ahhhhh……… kasihan sekali engkau, Twako," kata gadis itu dengan tulus.

"Sudahlah, Siauw-moi, tidak ada gunanya kita memupuk iba diri seperti katakan Suhu tadi. Iba diri hanya menumbuhkan duka dan kecil hati. Bagaimanapun juga, kita masih hidup dan dunia ini cukup luas, bukan? Matahari beesok masih akan bersinar terang dan lihat, biairpun bulan 

mulai tenggelam, sebagai gantinya nampak begitu banyaknya bintang cemerlang di langit. Sesungguhnya kita tidak sebatangkara di dunia ini, Siauw-moi. Bukankah banyak terdapat manusia-manusia budiman di dunia ini yang dapat kita harapkan menjadi keluarga kita?"

Gadis itu mengangguk. "Engkau benar, Twako. Ah, kalau tidak bertemu dengan engkau dan Lo-cian-pwe, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Mungkin aku sudah putus asa menghadapi keadaan seperti ini." "Sudahlah, Siauw-moi, lebih baik engkau beristirahat. Engkau perlu mengumpulkan tenaga. Siapa tahu, tenagamu dibutuhkan besok. Tidurlah, biar aku yang berjaga di sini."

Karena merasa dirinya lelah sekali dan seluruh tubuh terasa lemas karena duka, gadis itu mengangguk, merebahkan diri miring dan sebentar saja pun napasannya yang lembut menunjukkan bahwa ia telah jatuh tidur. Sampai lama Han Beng mengamati wajah yang tidur pulas itu, wajah manis yang seperti sinar api unggun dan hatinya terger. Dia sendiri tidak mengerti mengapa sejak pertemuan pertama kali, sejak di diberi obat oleh gadis itu, dia merasa tertarik sekali, ada rasa suka dan kagum, dan kedua perasaan itu kini tambah dengan rasa iba yang mendalam. Ada perasaan di dalam hatinya untuk menghiburnya, untuk menyenangkan hatinya, untuk membahagiakan hidupnya.

Apakah yang dinamakan cinta? Dia tidak mampu menjawabnya.

Sementara itu, dengan cepat Sin-Ciang Kai-ong lari meninggalkan muridnya, bukan karena tergesa-gesa, melainkain karena dia tidak ingin kalau batuknya terdengar oleh murid itu. Sejak tadi dia sudah menahan diri, menahan agar tidak terbatuk, padahal kerongkongannya gatal sekali dan napasnya sesak. Ia tahu bahwa kesehatannya memang belum pulih. Dia harus bertindak cepat. Rahasia yang menyelimuti Ang-kin Kai-Kai.pang dan yang agaknya membuat perkumpulan itu berubah menjadi jahat, harus dapat dibongkarnya. Setelah tiba diluar tembok yang mengelilingi bangunan arang Ang-kin Kai-pang, dia lalu melakukan pengintaian. Kebetulan sekali dia melihat seorang anggauta perkumpulan itu yang bersabuk merah cerah, tanda bahwa dia bertingkat dua, keluar dari pintu gerbang. Diam-diam dia membayanginya dan pengemis yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu menuju ke sebuah rumah tak jauh dari sarang Ang-kin Kai-pang itu. Pengemis itu berperut gendut bertubuh agak pendek, mukanya merah d hidungnya besar. Dia mengetuk dan jendela rumah itu, bukan mengetuk pintu. Hal ini saja menimbulkan kecurigaan di hati Sin-ciang Kai-ong dan dia melakukan pengintaian tak jauh dari situ.

"Siapa?" terdengar suara wanita dari dalam, lirih. "Aku, Hong-moi, bukalah dan biarkan aku masuk."

"Ihhh, kenapa baru sekarang kau datang? Begini larut?" tegur suara warnita itu dan jendela belum juga dibuka.

"Gara-gara Sin-ciang Kai-ong keparat itu! Kami menjadi sibuk dan melakukkan penjagaan. Baru sekarang aku dapat meninggalkan gardu penjagaan, aku rindu kali padamu, bukalah jendelanya "

"Sudah terlalu larut, sebentar lagi suamiku pulang." "Aaahhh, jangan khawatir. Sebentar saja. Bukalah dan 

biarkan aku masuk Manis… "

Daun jendela dibuka dari dalam dan biarpun tubuhnya gemuk dengan perut gendut, laki-laki itu meloncat dengan gesitnya bagaikan seekor burung saja meluncur ke dalam melalui jendela yang segera ditutup kembali.

Akan tetapi, belum ada lima menit Si gendut itu memasuki rumah itu, pintu depan diketuk orang dengan kerasnya. Seorang pria mengetuk pintu rumahnya, berteriak kepada penghuni rumah itu untuk membuka pintunya. Sin-ciang Kai- ong mengintai dari atas genteng dan mendengar suara wanita tadi di dalam rumah.

"Celaka! Itu suamiku datang! Lekas kau pergi, aku akan membuka pintunya." "Hemmm, jahanam itu! Berani dia mengganggu kesenanganku? Biar kuhajar mampus dia!"

"Jangan…….. , jangan ……. , dia itu suamiku ”

"Hemmm, jangan cerewet! Buka pin¬tunya dan biarkan dia masuk!" pengemis gendut itu membentak.

Sin-ciang Kai-ong sudah melayang turun dan mengintai dekat pintu depan jika daun pintu dibuka dari dalam. tiba-tiba, sesosok bayangan gendut melayang keluar dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala suami wanita yang baru datang itu.

"Trakkk!" bukan kepala suami itu yang remuk, melainkan tongkat itu patah-patah ditangkis oleh tongkat di tangan Sin- ciang Kaj-ong. Si Gendut terbelalak kaget, akan tetapi sebelum dia dapat bergerak, tangan kiri Sin-ciang Kai-ong sudah menyambar ke arah pundaknya dan dia pun terkulai lemas. Tentunya suami wanita itu menjadi terkejut dan terheran-heran. Sin-ciang Kai–ong menyeret pengemis gendut itu dan berkata kepada suami yang keheranan itu. Sebaiknya engkau jangan meninggalkan rumah di malam hari agar rumahmu tidak diganggu oleh orang-orang jahat. Berkata 

demikian, dia melompat membawa tubuh gendut itu seolah- olah memanggul benda yang ringan saja. Suami Isteri itu bengong karena dalam sekejap mata saja pengemis tua itu lenyap dari depan mereka.

"Hayo katakan, di mana adanya Koai-tung Sin-kai'?" untuk ke tiga kalinya Si ciang Kai-ong membentak. Pengemis gendut itu rebah telentang di depan di tepi sebuah hutan di luar kota.

Pengemis gendut mencoba untuk menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat dia bergerak karena tubuhnya sudah lumpuh oleh totokan. Seperti tadi, dia menjawab, "Sudah kukatakan bahwa Pangcu berada di Asrama! Buka kah tadi  engkau datang berkunjung d melihat sendiri?" Sikap Si Gendut itu masih angkuh karena dia mengira bahwa kakek jembel yang disebut Sin-cia Kai-ong dan namanya amat terkenal ini agaknya jerih terhadap ketuanya, Koai-tung Sin-kai.

"Engkau bohong!" Kakek itu membentak. "Dia bukan Koai- tung Sin-kai. Dia hanyalah ketua yang palsu! Ya kutanyakan, di mana Koai-tung Sin-ka yang aseli?"

Si Gendut membelalakkan matanya jelas nampak bahwa dia kaget bukan main. "Siapa bilang bahwa Pangcu kami palsu?"

"Tak perlu kautahu siapa yang bilang, yang penting kaukatakan di mana Pangcu yang aseli? Dan siapakah ketua palsu itu sebenarnya?"

Si Gendut memandang dengan wajah berubah pucat, lalu membuang muka kesamping dan berkata, "Aku tidak tahu!" Sin-ciang Kai-ong menambah kayu kering pada api unggun di dekat mereka sehingga api bernyala tinggi dan sinar-menimpa Si Gendut yang pucat, kemudian, tiba-tiba tangan kiri kakek jembel itu bergerak, cepat bukan main dan dia sudah menotok dua kali, pertama ke arah leher, dan ke dua kalinya arah pundak.

Si Gendut terbelalak, mulutnya terbuka seperti hendak menjerit-jerit, akan tapi tidak ada suara keluar dari mulutnya, dan mukanya kini penuh kerut-kerut tanda bahwa dia menderita nyeri yang luar biasa hebatnya. Sin-ciang Kai-ong membiarkan dia menderita bebepa menit lamanya, lalu membebaskan totokannya sehingga rasa nyeri itu lenyap dan Si Gendut mampu bicara kembali.

"Nah, jawablah pertanyaanku dengan baik-baik. Di mana adanya pangcu yang aseli dan siapa pangcu yang palsu itu?" Si Gendut itu kini menangis. Rasa nyeri dan tak berdaya membuat dia dipenuhi rasa takut, sedih, dan penasaran.

"Aku………. aku tidak berani………. tidak berani menjawab "

Dia sudah mengatakan tidak berani, bukan tidak tahu lagi dan ini merupakan kemajuan, pikir Sin-ciang K ong. Tiba-tiba dia menyeret tubuh si Gendut, didekatkan pada api dan menarik lengannya, lalu membakar tangan kiri Si Gendut itu pada api unggun. Tercium bau sangit dan Si Gendut mengerang kesakitan. Ketika Sin-ciang Ka ong menarik kembali lengan itu, jari-jari tangan kiri Si Gendut melepuh hangus!

"Engkau masih belum berani jawab? Akan kubakar tubuhmu sedikit demi sedikit sampai habis terbakar!" kakek itu mengancam. 

Si Gendut menjadi ketakutan. Ancaman bahaya dari ketuanya masih jauh, masih belum terasa, akan tetapi ancaman Sin-ciang Kai-ong ini sudah di depan mata dan sudah dirasakannya pula.

"Baiklah…….. aku …………. aku mengaku… "

Dengan suara tersendat-sendat dia lalu menceritakan keadaan Ang-kin Kai-pang yang aneh.Kiranya telah terjadi hal- hal hebat di dalam asrama Ang-kin Kai-pang. Seorang musuh besar dari Koai-tung Sin-kai, yaitu seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Lam-Sin Hui Houw (Harimau Terbang dari Gunung Selatan), mendendam kepada Koai-tung Sin-kai yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang di kota raja. Pernah Si Harimau Terbang ini dihajar oleh Koai-tung Sin-kai dalam suatu bentrokan ketika datuk ini melakukan kejahatan di kota raja. Dengan hati penuh dendam, si Harimau Terbang melarikan diri kembali ke selatan di mana dia menggembleng diri dan memperdalam ilmu silatnya. Sepuluh tahun kemudian,  menjadi seorang yang amat lihai dengan belasan orang anak buahnya yang sudah terlatih dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi, kembalilah dia ke kota raja dan mengunjungi Ang-Kin Kai-pang.

Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil membalas kekalahannya, bahkan dia merobohkan Koai- tung Sin-kay, menangkapnya dan menawannya ke dalam tahanan di bawah tanah. Dia sendiri, dengan ilmu penyamaran yang telah dipelajarinya, lalu menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai menjadi orang yang berkuasa di perkumpulan Ang-kin Kai- pang itu. Mulanya memang para anggauta perkumpulan itu merasa heran sekali akan perubahan sikap dan watak ketua mereka. Akan tetapi karena ketua mereka bersikap keras mereka pun tidak berani banyak bertanya. Apalagi ketua mereka itu mempunyai pembantu-pembantu yang amat lihai. Demikianlah, setahun yang lalu mulai terjadi perubahan besar dari perkumpulan pengemis itu.

"Ketua kami yang sekarang, yang menyamar sebagai Koai- tung Sin-kai sesungguhnya adalah Lam-san Hui-houw si Gendut mengakhiri ceritanya.

Sin-ciang Kai-ong mengangguk-angguk. Sudah diduganya demikian.

"Akan tetapi di mana adanya Koay-tung Sin-kai yang aseli? Ditawan di nana?"

"Di dalam kamar bawah tanah," kata Si Gendut yang sudah terlanjur membuat pengakuan. Dia merasa kepalang tanggung dan diceritakanlah tentang keadaan penjara bawah tanah itu. Yang ditawan di situ selain Koai-tung Sin-kai, juga ada kurang lebih sebelas orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang megetahui rahasia itu dan yang memberontak terhadap ketua palsu.  Setelah menguras pengakuan dari Si Gendut itu, Sin-ciang Kai-ong lalu menotoknya lagi dan meninggalkan Si Gendut dalam keadaan tak mampu bergerak itu di dalam hutan. Tentu saja Si Gen¬dut ini ketakutan bukan main, bukan hanya takut kepada Lam-san Hui-hou yang rahasianya sudah dia buka, akan tetapi juga takut kalau-kalau muncul harimau atau binatang buas lain da menerkam dia yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu. Rasa takutnya ini ternyata kemudian menjadi kenyataan. Terdengar gerengan-gerengan dalam hutan itu dan kalau orang melihat di mana Si Gendut itu ditinggalkan, dan hanya akan menemukan sisa-sisa pakaian dan potongan-potongan badan yang tidak sampai tertelan oleh binatang buas dan kini potongan-potongan itu pun sedang diperebutkan antara beberapa ekor anjing hutan dan burung- burung gagak dan pemakan bangkai yang lain.

Sin-ciang Kai-ong sendiri lalu lari cepat menuju ke asrama Ang-Kin Kai-pang. Matahari pagi sudah mulai bersinar. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota raja, sesosok bayangan muncul dari balik pohon dan ternyata bayangan ini adalah Si Han Beng.

"Eh, engkau di sini?" tanya Sin-cia Kai-ong. "Di mana Nona Souw?"

"Setelah Suhu pergi, teecu mengkhawatirkan keselamatan Suhu yang masih belum sehat benar. Nona Souw teecu suruh menanti di dalam hutan itu dan teecu menyusul ke sini."

"Bagus kalau begitu. Memang aku membutuhkan bantuanmu, Han Beng. Engkau tahu, sahabatku Koai-tung Sin-kai benar-benar mereka tawan dan yang kini bertindak sebagai Koai-tung Sin-kai adalah seorang datuk sesat dari selatan berjuluk Lam-san Hui-houw." Kakek itu menceritakan apa yang didengarnya dari kaki tangan ketua palsu itu. Han Beng mendengarkan dengan heran dan juga kagum akan kecerdikan gurunya yang ternyata telah menduga tepat sekali "Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan dan apa yang harus teecu lakukan?"

"Aku akan mencoba untuk membebaskan sahabatku Koai- tung Sin-kai dan para pembantunya yang ditawan, dan engkau dapat membantuku, Han Beng." Kakek itu lalu berunding dengan muridnya dan mengatur siasat agar dia berhasil membebaskan para tawanan itu dan membongkar rahasia kejahatan Lam-sar Hui-houw.

Munculnya Han Beng di depan asrama Ang-kin Kai-pang tentu saja menimbulkan keributan lagi pada perkumpulan itu. Belasan orang anggauta Ang-kin Kai-pang sudah menyambut dengan senjata di tangan, mengepung pemuda yang dianggap sebagai musuh besar atau biang-keladi keributan yang terjadi antara mereka dengan keluarga Souw. Mereka merasa heran dan penasaran bagaimana pemuda ini berani muncul lagi seorang diri!

Melihat mereka semua siap untul mengeroyoknya, Han Beng mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata lantang, "Saudara-saudara, dengarlah baik baik. Aku, Si Han Beng, datang untuk menantang ketua Ang-kin Kai-pang untuk keluar dan mengadu kepandaian denganku! Aku merasa berdosa kepada keluarg Souw karena aku yang menjadi biang keladi sehingga keluarga itu dimusuhi dan diserbu oleh Ang-kin Kai- pang. Maka, aku ingin membalaskan penasaran mereka, dan aku tantang ketua Ang-kin Kai-pang untuk keluar dan melawan aku kalau memang dia seorang gagah!"

Akan tetapi, para pengemis Ang-kin Kai-pang tentu saja memandang rendah kepadanya. Pemuda jembel dari luar kota seperti itu menantang ketua mereka yang lihai? Merendahkan sekali!

"Engkau tidak pantas dilayani ketua kami!" "Bunuh anjing busuk ini!" "Keroyok dan bunuh dia!"

Belasan orang itu menyerbu dan mengeroyok Han Beng, sedangkan dari dalam dan luar asrama itu datang berlarian lebih banyak lagi para anggauta Ang-Kin Kai-pang. Selain para pembantu ketua palsu itu yang memang terdiri dari orang-orang sesat, para anggauta Ang-Kin Kai-pang adalah orang-orang gagah. Akan tetapi selama satu tahun lebih mereka dipimpin oleh seorang ketua yang sama sekali berubah wataknya, yang mempunyai pembantu-pembantu yang mengutamakan tindakan kekerasan kejahatan maka 

sedikit banyak merekapun terpengaruh. Perbuatan buruk jahat memang seperti penyakit menular mudah sekali menular kepada orang lain. Sebaliknya, perbuatan baik sukar sekali menjadi contoh dan tak banyak orang mau mengikutinya. Hal ini adalah karena perbuatan buruk itu hampir selalu didorong oleh pamrih demi kesenangan pribadi. Justeru kesenangan pribadi inilah yang menarik hati setiap orang maka berbondong-bondong mereka mengikuti contoh ini demi menikmati kesenangan itulah. Sebaliknya, perbuatan baik hampir selalu meniadakan atau mengurangi keinginan menyenangkan diri pribadi yang berarti bahwa untuk melakukan perbuatan baik orang hampir selalu menderita rugi, baik rugi lahir maupun rugi batin. Maka sudah barang tentu jarang ada yang mau melakukannya.

Melihat betapa belasan orang anggauta Ang-kin Kai-pang itu, dengan segala macam senjata, menerjangnya berbagai penjuru, Han Beng lalu mengamuk! Dia berhasil merampas sebatang tombak, mematahkan ujungnya yang runcing sehingga tombak itu berubah menjadi sebatang tongkat dan dia pun mengamuk dengan memainkan ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Sin-ciang Kai-ong. Dan memang hebat sekali ilmu tongkat ini. Dalam pandangan para pengeroyoknya, tubuh Han Beng seolah-olah menjadi banyak, dan tongkatnya pun menjadi puluhan banyaknya, menyambar- nyambar dan kadang-kadang berubah menjadi gulungan sinar yang setiap kali menyambar senjata lawan tentu membuat senjata itu terlepas dari tangan pemegangnya dan terpental jauh. Melihat kehebatan gerakan pemuda ini, para anggauta Ang-kin Kai-pang yang tadinya hanya menonton, segera terjun ke dalam pertempuran dan semakin banyak yang kini mengeroyok pemuda itu. Hal ini menyenangkan hati Han Beng, karena memang sesuai dengan siasat gurunya, dia ingin memancing keluar semua orang yang berada di dalam asrama itu. Sambil terus memutar tongkatnya ke sana-sini, merobohkan para pengeroyok dengan sapuan tongkatnya, tamparan tangan kiri atau tendangan-tendangan kedua kakinya, dia tiada hentinya berteriak menantang kepada ketua Ang-kin Kai-pang

"Mana ketua Ang-kin Kai -pang? Hayo Pangcu, kalau engkau memang bukan pengecut, keluarlah dan tandingilah aku!" Teriaknya nyaring dan terdengar sampai ke dalam. Teriakan bukan saja untuk mengejek sehingga ketua Ang-kin Kai-pang itu akan keluar, akan tetapi juga untuk memberi isarat kepada gurunya yang dia percaya sudah berada di dalam, isarat bahwa agaknya para anggauta Ang-kin Kai-pang telah keluar semua mengeroyoknya, kecuali ketuanya.

Tidak salah perhitungan Han Ben Ketua itu memang sejak tadi mengintai dan diam-diam ketua palsu itu terkejut melihat sepak terjang Han Beng. Tahulah dia bahwa para pembantunya bukan tandingannya pemuda lihai itudan dia sendiri yang harus turun tangan. Betapapun lihainya pemuda itu, kalau dia turun tangan sendiri dibantu para jagoan dan para anggautanya yang cukup banyak, tidak mungkin pemuda itu tidak akan lapat dirobohkan!

"Pemuda sombong, mampuslah!" bentaknya dan dia pun sudah meloncat keluar dari tempat pengintaiannya dan dengan sebatang tongkat yang panjang dan bentuknya seperti seekor ular, ketua Ang-kin Kai-pang menerjang Han Beng dengan dahsyatnya! "Tuk-tuk-desssss……!" Pertemuan tongkat ular dan tongkat di tangan Han Beng mendatangkan getaran hebat, dan keduanya merasakan betapa lengan mereka tergetar dan tubuh terguncang. Han Beng terkejut dan memandang kakek itu, diam-diam dia bersikap hati-hati karena ternyata, palsu atau tidak, ketua Ang-kin Kai-pang ini sungguh lihai dan tidak oleh dipandang ringan sama sekali. Sebaliknya, Koai-tung Sin- kai palsu itu pun memandang dengan mata terbelalak. dia tadi telah mengerahkan tenaga sin-Kang pada ayunan tongkatnya, namun selalu dapat ditangkis oleh tongkat pemuda itu dengan kekuatan yang tidak kalah dahsyatnya. Dengan marah dan penasaran, ketua Ang-kin Kai-pang itu memberi isarat kepada para pembantunya untuk mengeroyok.

"Bunuh bocah sombong ini!" teriaknya dan ketika para pembantunya sudah mengepung dan mengeroyok lagi, dia pun menggerakkan tongkatnya dan ikut pula mengeroyok!

Kalau tadi dikeroyok oleh puluhan orang anggauta Ang-kin Kai-pang masih dapat menahan diri dan mengamuk, kini setelah ketuanya maju sendiri ikut mengeroyok, Han Beng mu terdesak hebat. Ketua itu sendiri sua amat lihai, merupakan seorang lawan yang harus dihadapinya dengan pengerahan tenaga dan perhatian, maka pengeroyokan banyak sekali lawan itu saja membuat perhatian dan tenaganya terbagi dan beberapa kali serangan dahsyat yang dilakukan ketua Ang-kin Kai-pang itu membuatnya terhuyung kebelakang. Namun, dengan permainan tongkat yang dipelajarinya dari Sin-ciang Kai-ong yaitu Ilmu Tongkat Dewa Mabuk, ditambah lagi dengan gerakan Hui-tiauw kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) dari gurunya pertama, Sin-tiauw Lui Rhok Ki yang membuat tubuhnya dapat ' beterbangan" di antara sambaran senjata- senjata lawan, Han Beng mengamuk dan melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, dia selalu berlompatan menjauhi ketua Ang-kin Kai-pang yang amat lihai itu.

Akan tetapi, Koai-tung Sin-kai yang palsu terus mengejarnya dan mendesaknya. Permainan tongkat dari Koai- tung Sin-kai memang hebat dan diam-diam Han Beng harus mengakui bahwa orang yang memalsukan Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) itu memang tepat menjadi Koai-tung Sin-kai palsu. Permainan tongkatnya benar-benar amat hebat. Andaikata dia harus melawan kakek itu satu lawan satu, dia merasa yakin takkan terdesak dan agaknya masih mampu untuk mengalahkannya. Namun, dia dikeroyok banyak sekali orang, dan belasan orang pembantu Koai-tung Sin-kai juga rata-rata miliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi sedangkan puluhan anggauta perkumpulan pengemis itu pun semua masing-masing memiliki kepandaian silat. Pengeroyokan yang ketat itu membuat Han Beng lelah dan beberapa kali tubuhnya telah menerima hantaman tongkat dan bacokan golok yang membuat pakaiannya robek-robek dan sedikit kulit tubuhnya lecet karena dia sudah melindungi tubuh dengan tenaga sin-kang yang membuat kebal.

Betapapun juga, Han Beng mengerti bahwa kalau pengeroyokan itu dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh juga. utung bahwa selama ini, dia selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat ketua Ang-kin Kai-pang yang terus mendesaknya, dan hanya pukulan-pukulanpara anggauta perkumpulan itu saja yang sempat mengenai tubuhnya. Kalau tongkat kakek ketua itu yang mengenai tubuhnya, sungguh berbahaya karena belum tentu kekebalannya mampu melindungi tubuhnya.

oooOOOooo Pada saat itu, terdengar teriakan Melengking nyaring yang mengejutkan semua orang. "Tahan, semua senjata! Saudara-

saudara para anggauta Ang-kin Kai- pang, tahan senjata dan dengarkan kata-kataku!"

Semua orang terkejut karena suara itu mengandung getaran kuat dan mereka semua menengok ke arah   suara itu. Kiranya seorang 

kakek telah berdiri diatas wuwungan sehingga nampak oleh mereka semua. Para anggauta Ang-kin Kai-pang yang lama tentu saja mengenal Sin-ciang Kai-ong dan mereka memang tadinya sudah merasa terheran-heran mendengar akan kunjungan Sin-ciang Kai-ong yang agaknya menentang kebijaksanaan ketua mereka. Padahal, dahulu Sin-ciang Kai- ong adalah sahabat baik ketua mereka.

Sin-ciang Kai-ong berdiri di atas wuwungan itu dan kini dia memandang kepada ketua Ang-kin Kai-pang yang nampak marah. "Jangan dengarkan jembel tua busuk itu!" teriaknya kepada anak buahnya. "Bunuh pemuda sombong ini, dan bunuh pula Sin-ciang Kai-ong yang jelas ingin memusuhi kita!" Mendengar ini, para pengemis sudah menggerakkan senjata lagi hendak melanjutkan pertempuran. "Tahan dulu dan biarkan aku bicara Sin-ciang Kai-ong membentak, suaranya mengatasi suara gaduh para pengemis itu. "Saudara-saudara para anggauta Ang-kin Kai-pang tentu merasa betapa dalam setahun ini telah terjadi perubahan besar dalam sikap ketua kalian! Dengarlah baik-baik dan lihat! betul-betul bahwa ketua kalian ini adalah seorang ketua palsu, dia sama sekali bukan Koai-tung Sin-kai! Dia adalah orang luar yang menyamar menjadi ketua kalian dan menyeret kalian ke jalan jahat!" 

Tentu saja ucapan ini disambut dengan seruan-seruan kaget, heran tidak percaya. Para pengemis itu memandang kepada ketua mereka dan tak seorang pun di antara mereka meragukan bahwa ketua mereka itu masih tetap Koal-tung Sin-kai!

"Bohong!" teriak ketua Ang-kin Kai-Pang itu. "Dia bohong! Aku adalah Koai-Tung Sin-kai!"

"Bohong…….. ! Bohong… !" teriak pula para pembantu 

ketua itu dan banyak mulut anak buah perkumpulan itu pun berteriak bohong karena mereka sama kali tidak melihat kelainan pada ketua mereka.

"Aku tidak bohong! Dia bukan sahabatku Koai-tung Sin-kai, akan tetapi ia adalah Lam-san Hui-houw seorang Datuk sesat dari selatan!" Kembali teriakan ini membuat semua orang tertegun, dan diam-diam ketua Ang-kin Kai-pang terkejut bukan Main, bahkan dia tidak dapat mencegah wajahnya yang berubah pucat. Akan tetapi cepat dia memutar tongkatnya dan seru, "Bohong! Jembel busuk itu menyebar fitnah, dia bohong besar!" Berkata demikian, sekali meloncat tubuhnya telah mencelat ke atas wuwungan dan dengan beringas dia menyerang Sin-ciang Kai-ong dengan tongkatnya. 

"Dukkk!" Sebatang tongkat lain menangkisnya dan tiba-tiba saja di atas wuwungan itu, di dekat Sin-ciang Kai-ong, berdiri seorang kakek lain yang bukan lain adalah Koai-tung Sin-Kai  sendiri! Semua orang mengeluarkan seruan kaget melihat munculnya seorang kakek lain yang wajah dan tubuhnya persis sekali dengan ketua mereka! Hanya bedanya, kalau ketua mereka mengenakan pakaian tambal tambalan yang bersih dan indah, sebaliknya kakek yang baru muncul itu pakaiannya compang-camping dan butut, juga rambut brewoknya tidak terawat, berbeda dengan rambut dan brewok ketua mereka yang mengkilat oleh minyak! Tangkisan itu membuat ketua Ang-kin Kai-pang loncat turun lagi dari atas genteng, sedangkan Sin-ciang Kai-ong dan kakek yang baru muncul itu masih berdiri atas genteng.

"Nah, Saudara-saudara para anggota Ang-kin Kai-pang. Inilah Koai-tung Sin-kai yang aseli, ketua kalian yang sejati! Selama ini dia ditangkap oleh Lam-san Hui-houw dan belasan orang anak buahnya itu, ditawan didalam kamar bawah tanah sedangkan dia sendiri menyamar sebagai ketua kalian dan menyeret kalian ke dalam lembah kejahatan!" Sin-ciang Kai- ong berseru nyaring.

"Saudara-saudara sekalian, harap kalian mundur dan biarlah kami yang akan menangkap penjahat-penjahat ini!" terdengar suara Koai-tung Sin-kai yang aseli dan kini para anggauta Ang-kin Kai-pang menjadi semakin ragu. Suara kakek yang baru muncul itu memang suara khas dari ketua mereka yang dahulu! Maka, para anggauta Ang-kin Kai-pang lalu mundur dan membentuk lingkaran besar. Yang tidak mundur hanyalah ketua Ang-kin Kai-pang dan lima belas orang pembantunya, juga Han Beng yang masih berdiri di situ, kagum melihat sepak terjang gurunya yang ternyata telah berhasil membebaskan Koai-tung Sin-kai yang aseli. Kini dua orang kekek itu melayang turun dari atas genteng dan dengan ringan mereka hinggap di atas tanah. Han Beng segera bergabung dengan mereka.

Melihat betapa rahasianya telah terbuka, diam-diam Lam- san Hui-houw menjadi menyesal dan juga baru dia tahu bahwa sikap pemuda yang mengamuk tadi merupakan siasat untuk  memancing dia dan semua pembantunya keluar, sementara itu, Sin-ciang Kai-ong agaknya menyelinap ke bawah tanah dan membebaskan Koai -tung Sin-kai dan para pembantunya! Karena rahasianya telah bocor dan dia merasa terdesak ke sudut, Lam-san Hui-houw menjadi marah dan nekat.

"Bunuh mereka!" teriaknya kepada lima belas orang pembantunya. Akan tetapi pada saat itu, dari atas genteng berlompatan sembilan orang pengemis yang pakaiannya compang-camping. Mereka ini adalah para pembantu Koai- tung Sin-kai yang aseli, yang sudah dibebaskan pula oleh Sin- ciang Kai-ong.

Melihat betapa pihak lawan sudah bergerak, Sin-ciang Kai- ong berkata kepada pada sahabatnya, "Lo-koai, engkau dan para pembantumu basmi saja anak buah penjahat itu, serahkan Macan Terbang ini kepada muridku dan aku!"

"Baiklah, Lo-kai, akan tetapi sebaiknya jangan bunuh dia. Ingin aku menyerahkan dia kepada Phoa Tai-jin, sahabatku dan pejabat yang jujur dan adil di kota raja ini!" jawab Koai- tung Sin-kay.

"Han Beng, tangkap ketua palsu itu!" Mendengar perintah gurunya, Han Reng lalu maju menyambut Lam-san Hui-houw yang sudah memutar tongkat ularnya. 

Terjadilah perkelahian yang seru antara mereka. Kini barulah Han Beng mencurahkan seluruh kepandaian dan perhatiannya kepada ketua palsu ini sehingga lambat laun dia mulai mendesak ketua palsu itu yang selalu main mu¬dur.

Sementara itu, Koai -tung Sin-kai yang aseli dibantu sembilan orang pembantunya, dengan mudah saja membabat lima belas orang pembantu penjahat sehingga mereka roboh malang melintang terkena hantaman tongkat-tongkat para pimpinan Ang-kin Kat-pang yang aseli. Kalau dulu Koai-tung  Sin-kai sampai dapat ditawan adalah karena dia diserang secara tiba-tiba oleh Lam-san Hui-ho yang menjadi tamunya, lalu dikeroyok pula. Dan setelah dia ditawan, tentu saja para pembantunya dengan mudah dan ditangkapi. Andaikata Lam- san Hui-ho yang datang sebagai tamu itu tidak mempergunakan siasat busuk, belum tentu dia akan mampu menangkap Koai- tung Sin-kai yang mempunyai banyak anak buah dan dia sendiri pun memiliki ilmu kepandaian tinggi dan belum terima dia kalah oleh Lam-san Hui-houw.

Melihat betapa para pembantu penjahat itu telah roboh semua, sedangkan muridnya sudah mendesak hebat kepada Lam-san Hui-houw, Sin-ciang Kai-ong lalu melompat ke depan dan dengan tangan kirinya dia mengirim tampar kepada Lam- san Hui-houw yang sudah repot menahan desakan Han Beng. Lam-san Hui-houw cepat melempar tubuhnya belakang dan memutar tongkatnya, akan tetapi sinar hitam dari tongkat butut tangan kanan Sin-ciang Kai-ong menyambar dan di lain saat, datuk sesat terguling dan tidak mampu melawan lagi. Dia maklum bahwa dia takkan mampu nelawan lagi, maka dia pun segera bangkit dan melempar tongkatnya. 

"Aku menyerah kalah!" 

Melihat sikap ini, Sin-ciang Kai-ong menyuruh muridnya mundur dan dia pun tertawa. "Bagus, orang yang tahu diri, tahu pula akan kesalahannya, masih ada kemungkinan kembali ke jalan benar."

Akan tetapi, Lam-san Hui-houw tidak menjawab, hanya memandang dengan mata muram.

"Bagaimanapun juga, dia telah merusak rumah baik Ang-kin Kai-pang. Tidak akan mudah mengangkat kembali nama Ang- kin Kai-pang setelah dibikin cemar olehnya untuk dosa itu, dia harus mempertanggungjawabkannya dan aku akan menyeretnya ke depan kaki Phoa-taijin agar dia dihukum sesuai dengan dosa-dosanya!" kata Koai-tung Sin-kai,  sementara itu, para anggauta Ang-kin Kai-pang kini sudah Menjatuhkan diri berlutut menghadap ketua mereka yang aseli.

"Kami telah berbuat dosa, mentaati perintah ketua palsu yang mengubah jalan hidup kami, kami mohon ampun kepada Pangcu, dan kami siap menerima hukuman!" kata seorang anggauta pengemis tua, mewakili kawan-kawannya.

Koai-tung Sin-kai menarik napas panjang. "Sudahlah, kalian telah tertipu tidak tahu bahwa dia bukan aku. Akan tetapi, biarlah semua itu menjadi pengalaman dan pelajaran bagi kalian dan jangan mudah diselewengkan orang kemudian hari!"

Pada saat itu, tiba-tiba Lam-san houw bergerak secepat kilat menyerang kepada Koai-tung Sin-kai dengan sebatang pisau yang tadi disembunyikan diikat pinggangnya. Serangan kilat ini tentu akan menewaskan Koai-tung Sin-kai kalau saja Han Beng tidak segera bertindak. Pemuda ini memang sejak tadi bersikap waspada. Dia selalu memperhatikan Lam-san houw yang berwajah muram dan dia melihat pula kilatan cahaya pada sepasang mata itu, kilatan sinar penuh kebencian dan kekejaman yang ditujukan kepada gurunya dan ketua Ang-kin Kai-pang. Pemuda ini memang sudah mengkhawatirkan kalau-kalau datuk sesat yang sudah tersudut itu akan menjadi nekat. Oleh karena itu, begitu tangan Lam-san Hui-houw bergerak dan nampak sinar pisau berkilauan dan penjahat itu menyerang kepada Koai-tung Sin- kai, Han Beng sudah meloncat ke depan dan tongkatnya sudah menghantam ke arah pergelangan tangan yang menyerang dengan pisau itu.

"Takk!" Pukulan itu keras sekali sehingga lengan Lam-san Hui-houw patah, pisaunya terpental. Melihat ini, Koai-Tung Sin-kai cepat menggerakkan tongkatnya dan dia pun sudah menotok roboh jahat itu! "Ah, terima kasih Tai-hiap. Kalau tidak ada Tai-hiap yang mencegah, tentu aku sekarang telah tewas di tangan penjahat itu," kata Koai-tung Sin-kai kepada Han Beng, lalu menoleh kepada Sin-Ciang Kai-ong. "Lo-kai, muridmu memang hebat sekali!"

Sin-ciang Kai-ong tertawa. "Aku sendiri tidak menduga akan gerakan jahanam itu, masih untung muridku tidak lengah. Akan tetapi, kami tidak ingin terlibat lebih mendalam, Lo-koai, maka perkenankan kami pergi. Mari, Han Beng kita pergi karena ada yang menunggu kita."

Han Beng teringat akan Souw Hui Im yang menanti di dalam hutan, maka dia pun mengangguk.

"Lo-kai, mengapa tergesa-gesa? Aku masih belum sempat membalas budimu, Dan masih kangen untuk bercakap-cakap denganmu!" Koai-tung Sin-kai mencoba untuk menahan.

"Engkau masih banyak urusan, Lo-koai, mengurus penjahat-penjahat ini dan memulihkan nama baik perkumpulanmu. Biarlah lain kali kita berjumpa lagi. Mari, Han Beng." Guru dan murid ini lalu meninggalkan kota raja dan memasuki hutan di mana Hui Im menanti dengan sabar. Ia menyambut dengan sinar mata penuh harapan ketika dua orang penolongnya itu muncul kembali di hadapannya.

"Bagaimana, Twako? Apakah Twako dan Lo-Cian pwe berhasil membasmi para pengemis jahat itu?” Tentu saja gadis ini mengharapkan agar kematian ayahnya dan susioknya (paman gurunya) dapat terbalas. Guru dan murid itu mengajak Hui duduk di atas rumput, kemudian Sin-cia Kai-ong menyuruh muridnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Hui Im terkejut dan terheran-heran mendengar cerita itu, dan akhirnya dara itu menarik napas panjang. "Aih, kiranya mereka itu pimpinan Ang-kin Kai-pang yang palsu! Pantas telah terjadi perubahan besar dalam sikap para anggautanya selama setahun ini Kini Ji-wi telah dapat membongkar rahasia itu dan mengembalikan Ang-ki Kat-pang ke jalan yang benar seperi dahulu. Akan tetapi Ayah dan 

Susiok telah berkorban nyawa……"

"Ha, anak baik. Ketahuilah bahwa kalau Thian sudah menghendaki seseorang itu harus mati, tidak perlu dia itu anak kecil atau orang tua, sehat atau sakit, dia sudah pasti akan tewas! Sebab kematiannya hanyalah menjadi jembatan saja, dan jembatan itu dapat berupa penyakit, kecelakaan, perkelahian dan sebagainya lagi. Ayahmu dan Susiokmu memang sudah seharusnya mati, sudah dikehendaki Thian, maka tidak perlu engkau merasa penasaran lagi. Setidaknya, engkau boleh berbesar hati bahwa Ayah dan Susioknya tewas sebagai orang-orang gagah!"

"Siauw-moi, apa yang dikatakan Suhu memang benar sekali. Kita boleh saja berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diri ini, namun kalau Thian sudah menghendaki kita meninggalkan dunia ini, ada saja yang menjadi penyebabnya dan kita tidak perlu merasa penasaran lagi, Siauw-moi."

Gadis itu menyusut air matanya dan mengangguk. "Aku dapat mengerti, dan terima kasih kepada Lo-cian-pwe dan kepadamu, Beng-twako. Aku akan berusaha untuk melenyapkan atau setidaknya melupakan kedukaan ini."

Tiba-tiba Sin-ciang Kai-ong tertawa. Watak aneh dari pengemis tua ini sudah diketahui Hui Im, apalagi Han Beng maka mereka tidak merasa heran lagi dan mereka memandang kepada kakek itu.

"Kedukaan tidak dapat dilupaka Yang dapat dilupakan itu tentu akan teringat kembali. Kita tidak mungkin dapat lari dari duka, karena yang berduka itu adalah kita sendiri, batin kita sendiri. Bagaimana mungkin kita dapat lari dari diri kita  sendiri? Duka bukan sesuatu yang terpisah dari kita. Duka adalah suatu kenyataan yang harus kita hadapi, kalau kita ingin agar kita dapat bebas seluruhnya daripada duka, bukan bebas dari duka yang ini atau yang itu. Duka adalah suatu keadaan dari batin kita sendiri, disebabkan oleh pikiran kita sendiri, ditimbulkan oleh perasaan iba diri yang berlebihan."

"Lalu bagaimana kita harus berbuat agar terlepas daripada duka, Lo-cian-pwe?" tanya Hui Im.

"Duka adalah kita, maka tidak mungkin kita, yang terdiri daridarahdan daging dan pikiran ini, yang menginginkan ini dan itu, termasuk keinginan bebas dari duka, dapat membebaskan diri sendiri dari duka. Kita harus menghadapi duka itu, menerimanya sementara memuji atau mencelanya, menerimanya sebagai suatu kewajaran, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan dan terutama sekali, kita menyerahkan segalanya kepada Thian! Sikap menyerah dengan penuh kepercayaan akan kekuasaan Thian inilah yang akan memberi kekuatan kepada kita untuk menerima kenyataan seperti apa adanya, termasuk menerima apa yang kita namakan duka seperti sesuatu yang nyata dalam diri kita. Tanpa mengeluh, tanpa menolak, tanpa mengejar. Kekuasaan Thian akan membuka mata kita, mendatangkan kewaspadaan bahwa duka dan suka itu sama, saja! Itu hanya merupakan permainan si-aku, pikiran yang selalu mendambakan kesenangan dan menjauhi kesusahan. Pikiran kita selalu dijadikan medan perang sementara pencarian kesenangan dan penghindaran kesusahan, maka kita terombang-ambing antara susah senang, suka duka yang tiada hentinya sepanjang hidup! Mengertikah engkau, Nona?"

Hui Im hanya mengerti sedikit! "Aku akan mencoba untuk merenungkannya dan mudah-mudahan Thian akan memberi kewaspadaan itu kepadaku, Lo-cian-pwe.”

"Bagus, nah sekarang bagaimana dengan engkau, Nona? Keluargamu sudah binasa, akan tetapi karena kini Koai-tung  Sin-kai sedang berusaha memperbaiki Ang-kin Kai-pang, kuyakin bahwa rumah orang tuamu akan dapat diperbaiki dan dikembalikan kepadamu. Nah, langkah apa yang akan kaulakukan sekarang?"

Mendengar pertanyaan kakek pengemis yang aneh itu, Hui Im menarik napas panjang. "Lo-cian-pwe, aku sudah tidak ingin kembali lagi ke rumah ayahku, karena hal itu hanya akan mendatangkan kenang-kenangan pahit saja.”

"Siauw-moi, kalau engkau tidak kembali ke rumahmu, lalu engkau akan pergi kemana?" Han Beng bertanya namun suaranya mengandung penuh perasaan iba.

Gadis itu memandang wajah Han Beng "Twako, aku ingin mencari Pamanku, adalah kakak dari mendiang Ibuku, namanya Tang Gu It dan dia tinggal di Kota Pei-shen, di Propinsi Shantung di lembah Huang-ho."

"Tempat yang cukup jauh dari sini," tata Han Beng. "Han Beng, engkau antar Nona ini mencari Pamannya 

sampai dapat ia temukan," tiba-tiba Sin-ciang Kai-ong berkata. 

"Memang sudah tiba saatnya engkau berpisah dariku. Aku sendiri akan kembali ke Hok-kian mencari para sahabatku…   

"

"Akan tetapi, Suhu belum sehat benar! Suhu membutuhkan teman untuk merawat Suhu!" kata Han Beng, terkejut dan baru ingat dia bahwa sudah lima tahun dia berguru kepada raja pengemis itu. 

Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, Han Beng. Engkau hanya membuat aku menjadi manja dan malas saja. Selama lima tahun ini aku hidup enak-enakan saja dan mengandalkan engkau. Padahal sebelumnya aku pun biasa berkelana seorang diri. Tidak, sekarang ini yang lebih membutuhkan  engkau adalah Nona Souw Hui, bukan aku. Nah, kalian berangkatlah dan ini……. engkau perlu bekal dalam pengawalan Nona Souw. Kaubawalah ini untuk keperluan dan biaya di dalam perjalanan." Kakek itu mengeluarkan sebuah kantung dari dalam bajunya dan ternyata kantung itu terisi beberapa potong emas murni yang amat berharga Han Beng terkejut sekali. Selama ini dia dan gurunya mencukupi kebutuhan hidup mereka dengan jalan mengemis. Kiranya diam-diam suhunya menyimpaf emas sekian banyaknya!

"Tapi, Suhu. Bukankah untuk keperluan itu kami dapat…   

"

"Hushhh! Kau mau mengajak Nona Souw mengemis? Tak tahu malu kau Sudahlah, cepat pergi dan mulai saat in engkau pun tidak perlu lagi berpakaian pengemis seperti aku!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tubuhnya dan seketika lenyap di balik pohon-pohon dalam hutan itu. Souw Hui Im menghela napas panjang dan memandang wajah Han Beng.

"Aih, Twako. Aku hanya menjadi seorang pengganggu saja. Bukan hanya aku merepotkan engkau, juga menjadi penyebab perpisahan antara engkau dan gurumu."

"Sama sekali tidak, Siauw-moi. Engkau sama sekali tidak merepotkan, karena memang sudah menjadi tugasku untuk membantu sesama hidup sekuasaku, dan tentang perpisahanku dengan Suhu, hal itu memang sudah tiba saatnya seperti dikatakan Suhu. Sudah lima tahun aku belajar ilmu dari Suhu, dan memang menurut perjanjian, aku hanya belajar lama lima tahun."

"Engkau hebat, Twako. Belajar ilmu silat hanya lima tahun akan tetapi sudah dapat menjadi seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya!" "Ah, tidak semudah itu, Im-moi. Sebelum belajar dari Suhu Sin-ciang Kai-Ong, aku telah mempelajari ilmu silat Hari guruku yang pertama."

"Ah, begitukah? Dan kalau boleh aku mengetahui, siapa gerangan gurumu yang pertama itu?"

"Dia berjuluk Sin-tiauw dan namanya Liu Bhok Ki. Aku belajar lima tahun dari suhu pertama itu. Mari, kita mulai dengan perjalanan kita, Im-moi. Perjalanan cukup jauh dan harus dilakukan dengan cepat. Mudah-mudahan saja aku akan berhasil mengantar engkau sampai bertemu dengan Pamanmu itu."

Mereka pun mulai dengan perjalana mereka yang cukup jauh. Tanpa mereka sadari, keduanya saling tertarik. Han Beng memang sejak semula amat tertarik kepada gadis itu. Dalam pertemuan pertama saja gadis itu telah memperlihatkan kebaikan budinya, disamping kegagahannya yang menimbulkan rasa kagum dalam hatinya. Kini, setelah melakukan perjalanan bersama, makin, jelaslah bahwa Hui Im memang seorang gadis yang luar biasa. Dia sendiri seorang pemuda yang berpakaian tambal-tambalan seperti seorang pengemis. Biar pun gadis itu sudah mengetahui bahwadia bukanlah seorang pengemis hina yan sembarangan saja, namun orang lain tentu tidak mengetahuinya. Biarpun demikian, gadis itu sama sekali tidak kelihatan canggung atau malu-malu melakukan perjalanan dengan seorang pemuda jembel dan miskin!

Ketika mereka memasuki sebuah kota yang pertama, Hui Im berkata kepada Han Beng, "Beng-twako, tunggu sebentar, ya? Aku ingin sekali memasuki toko itu." Tanpa memberi kesempatan kepada Han Beng, gadis itu sudah melangkah me masuki sebuah toko yang menjual pakaian. Melihat ini, Han Beng menahan senyumnya. Bagaimanapun juga, temannya itu hanya seorang wanita! Agaknya me mang wanita suka berbelanja. Hanya dia merasa heran bahwa gadis itu berani  berbelanja, yang berarti gadis itu mempunyai uang, padahal gadis itu terpaksa meninggalkan rumah secara mendadak.

Ternyata tidak berapa lama Hui Im memasuki toko. Dari luar toko, agak jauh karena dia tidak ingin disangka hendak mengemis, Han Beng menunggu dan dia melihat gadis itu keluar dari toko membawa sebuah buntalan dan Hui lm menghampirinya sambil tersenyum. Memang Hui Im memiliki watak yang periang sehingga agaknya ia sudah dimengusir kedukaannya dan kini ia lalu memperlihatkan wajah cerah.

"Wah, engkau memborong pakaian Im-moi?"

Gadis itu hanya mengangguk, kita cepat keluar kota, aku ingin segera mencoba pakaian ini!" katanya. Kembal Han Beng tersenyum. Agaknya memang semua wanita suka akan pakaian indah, pikirnya dan mereka lalu cepat keluar dari kota itu. Setelah mereka tiba di tempat sunyi di mana tidak nampak ada seorang pun yang lewat, Hui mengajak Han Beng berhenti di dekat sebuah gubuk di tengah sawah tepi jalan.

"Berhenti dulu, Twako. Di sini engkau dapat mencoba pakaian ini. Nah, kaugantilah pakaianmu, aku sudah ingin sekali melihat engkau mengenakan pakaian ini!"

Han Beng tertegun ketika gadis itu mendorongkan buntalan ke dalam kedua lengannya yang terpaksa menerimanya Dia merasa bingung, dan sejenak di hatinya bengong, tidak tahu apa yang dimaksudkan gadis itu karena dia tadinya membayangkan bahwa Hui Im akan segera berganti pakaian indah!

"Apa…….. apa ini… ? Apa maksudmu, Im-moi?"

Gadis itu tersenyum, agak lebar sehingga deretan gigi putih nampak sedikit. "Aku tadi masuk toko untuk membeli pakaian,  Twako. Pakaian untukmu, dua stel. Lihat, pakaianmu robek- robek dan sudah kumal, perlu diganti, bukan?"

Gadis itu kini mendorong-dorong Han Beng untuk memasuki gubuk itu. Biarpun wajahnya berubah merah, namun sambil tersenyum Han Beng terpaksa masuki gubuk itu. Hui Im tinggal di luar. Ternyata, setelah membuka buntalan Han Beng melihat dua stel pakaian sederhana namun kuat dan berwarna biru polos. Dia menanggalkan pakaian jembelnya dan memakai pakaian baru. Alisnya agak berkerut. Mengapa gadis itu membeli pakaian untuknya? Kelirukah dugaannya dan sesungguhnya gadis itu merasa malu berjalan dengan seorang pengemis?

Ketika dia keluar dari gubuk itu, Hui Im memandang kepadanya dan wajah gadis itu berseri, sepasang matanya menyinarkan kekaguman. "Aih, Twako, engkau kelihatan tampan dan gagah sekali serunya gembira. Akan tetapi Han Beng tidak nampak gembira, sebaliknya mengamati wajah gadis itu

.

"Siauw-moi," katanya dengan si agak kaku. "Katakanlah, mengapa engkau memberi pakaian kepadaku? Kenapa engkau membelinya untukku? Apakah engkau merasa malu berjalan bersama seorang yang berpakaian seperti seorang jembel?"

Sepasang mata yang tadinya bersih? sinar penuh kegembiraan itu terbelalak dan wajah yang tadinya berseri gembira dan kemerahan itu kini tiba-tiba berubah pucat.

"Ah, tidak…………, tidak… harap jangan salahduga, Twako. 

Ah, kau maafkanlah aku, sama sekali bukan maksudku membelikan pakaian karena aku malu berjalan denganmu. Hanya ……… kukira… pakaianmu sudah begitu kotor dan 

tidak pantas… " Melihat kegugupan gadis itu, Han Beng merasa kasihan dandia sesalkan kecurigaannya sendiri. "Sudahlah, Siauw-si, aku pun percaya bahwa engkau tidak melakukannya karena malu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat 

membelinya? Bukankah engkau tidak sempat membawa uang ketika meninggalkan rumah orang tuamu?"

Hui Im mengeluarkan segenggam uang dari saku bajunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya meraba leher sendiri. "Aku tadi… menjual kalung emasku pada pemilik 

toko, Twako dan ini kelebihan uangnya."

Han Beng merasa terharu sekali. Gadis ini menjual kalungnya untuk membelikan pakaian untuknya! Di samping keharuan itu, juga dia merasa malu. Bukankah dia membawa bekal emas dari gurunya? Cukup untuk pembeli keperluan apa pun juga, dan dia melihat bahwa gadis itu tidak mempunyai bekal pakaian kecuali yang dikenakan pada tubuhnya. Sungguh kasihan. Kadang-kadang, hampir sehari penuh gadis itu "bersembunyi" kalau bertemu sungai di dalam tempat sunyi, selain mandi juga untuk mencuci pakaian satu-satunya itu kemudian menanti sampai kering, baru dipakainya kembali dan berani muncul di depannya. Dan gadis yang telah menjual kalungnya itu hanya membeli pakaian untuk dia sama sekali tidak membeli untuk dir sendiril

"Im-moi… "

"Ya… ? Engkau tidak marah, Twako?" tanya Si Gadis 

khawatir.

Han Beng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak, kenapa marah? Akal tetapi sekarang mari kita kembali ki kota itu, Siauw-moi."

"Eh? Kembali ke sana? Untuk apa Twako?" "Hayolah, aku ada keperluan penting di sana, tadi aku lupa." ajak Han Beng dan seperti biasa, Hui Im hanya menyetujui dan tanpa banyak cakap lagi ia mengikuti Han Beng memasuki kota tadi. Akan tetapi, ia merasa heran dan khawatir ketika Han Beng mengajaknya memasuki toko di mana ia membeli pakaian untuk Han Beng tadi! Jangan- jangan pemuda itu hendak mengembalikan pakaian yang dibelinya? Akan tetapi tidak! Han Beng menarik tangannya dan menunjuk ke arah beberapa stel pakaian wanita yang digantung di sudut.

"Siauw-moi, yang berwarna hijau muda dan biru-kuning itu tentu pantas sekali untukmu!"

Barulah Hui Im merasa lega, wajahnya kemerahan dan ia pun tersenyum-senyum malu. 'Terserah kepadamu saja, Twako," katanya dan ia pun pergi ke sudut lain di mana dijual segala keperluan pakaian pria. Dengan jantung berdebar dan perasaan bahagia bukan main, Hui Im lalu memilih sepatu, kaus kaki, pakaian dalam, saputangan dan segala keperluan pakaian pria untuk dibelinya.Uang sisa penjualan kalung tadi masih cukup banyak dan pemilik toko yang mengenal Hui Im yang tadi menjual kalung, segera menghampirinya. Dia tadi melihat betapa Hui Im masuk bersama seorang pemuda ganteng, maka sambil tersenyum-senyum pemilik toko yang sudah setengah tua itu cepat menghampiri Hui Im.

"Nona, kalau Nona hendak memilihkan pakaian suami Nona itu… ”

Hui Im mengerutkan alisnya, aku tetapi tidak marah. "Aku belum bersuami dia itu sahabatku!" katanya singkat.

"Aih, maafkan saya, Nona. Saya kira sahabatmu ganteng itu akan pantas sekali kalau memakai pakaian ini, dan yang ini………, dan sabuk ini tentu menarik sekali…… " Sebagai seorang pedagang yang luwes, pemilik toko itu berhasil  menarik hati Hui Im sehingga gadis itu memborongkan semua sisa uangnya untuk bermacam pakaian pria.

Di bagian lain, Han Beng juga membeli banyak pakaian untuk Hui Im, dan pengurus toko yang juga amat cerdik banyak membantunya memilih segala macam pakaian. Dia sama sekali tidak mengerti tentang pakaian wanita, apalagi pakaian dalam, maka pengurus toko itulah yang membantunya.

Ketika keduanya keluar dari toko masing-masing membawa sebuah buntalan besar dan keduanya saling pandang sambil tersenyum-senyum! Dan tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan sunyi, bagaikan dua orang anak kecil baru saja menerima hadiah dan kini membuka buntalan dan mengagumi semua hadiah pakaian itu, Han Beng dan Hui Im tertawa-tawa gembira sambil mengagumi pakaian mereka

"Aih, tentu banyak sekali uang yang kaukeluarkan untuk membeli semua ini, Twako!"

"Tidak lebih banyak daripada yang kau keluarkan, Siauw- moi!"

"Aduh, indah sekali celana dan baju ini! Engkau pandai sekali memilih untukku, Twako.Terima kasih banyak!"

"Engkau pun pandai memilih untukku siauw-moi… heiii, 

kenapa engkau?" Han Beng terkejut melihat betapa Hui Im tiba-tiba menangis, duduk di atas tanah sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan terisak-isak. "Kenapa engkau menangis, Siauw-moi ?" Han Beng berlutut di 

dekatnya, khawatir kalau-kalau dia telah menyinggung perasaan gadis itu.

Sampai beberapa lamanya Hui Im tidak mampu menjawab, hanya sesenggukan dan Han Beng membiarkannya saja,  menanti sampai gadis itu menjadi tenang kembali. Setelah Hui Im dapat menguasai dirinya, Han Beng berkata dengan suara lembut, "Siauw-moi, sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang menyusahkah, hatimu sehingga engkau menangis tadi."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar