Jilid 06
Dengan cepat sekali Hek-bin Hwesio berlari turun dari Siong-san (Gunung Siong) sebelah selatan. Bagaikan terbang saja dia menuruni bukit itu sehingga tidak lama kemudian dia sudah sampai di kaki bukit, di mana dia melihat terjadi pertempuran yang sengit antara belasan orang murid Siauw- lim-pai melawan belasan orang tosu. Para murid Siauw-Iim-pai itu dipimpin oleh seorang Hwesio tua tinggi besar yang dikenalnya sebagai Thian Gi Hwesio, yaitu sute dari Thian-cu Hwesio yang menjadi wakil ketua Siauw-lim-pai. Biarpun antara Hek-bin- Hwesio dan Thian-cu Hwesio, ada hubungan persaudaraan seperguruan, namun dengan Thian Gi Hwesio, hwesio bermuka hitam itu tidak ada hubungan perguruan karena kalau dia satu perguruan dengan Thian-cu Hwesio ketika menjadi murid pertapa sakti di Himalaya, sebaliknya Thian Ci Hwesio men jadi saudara seperguruan dari Thia Hwesio dalam perguruan Siauw-lim Karena itu, Thian Gi Hwesio adalah orang yang ahli dalam ilmu silat Si-lim-pai dan terutama sekali, dia ahli bermain toya dalam ilmu silat Lo-kun.
Pertempuran yang terjadi di bukit itu memang tadinya disebab oleh perkelahian perorangan antara seorang murid Siauw-Lim-pai melawan seorang tosu yang lewat di tempat itu. Karena memang sudah ada permusuhan antara kedua pihak, maka terjadilah saling mengejek yang berakhir dengan perkelahian. Akan tetapi, teman-teman to-su itu berdatangan dan mengeroyok. Hal ini diketahui oleh murid-murid Siauw-lim- pai yang segera membantu saudara mereka, dan terjadilah pertempuran hebat yang melibatkan belasan orang Siauw- lim- pai melawan belasan orang to-su.
Karena para murid Siauw-lim-pai yang terlibat dalam pertempuran itu adalah murid-murid kelas satu dan dipimpin sendiri oleh Thian-Gi Hwesio, sedangkan para tosu itu pun orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, maka per¬tempuran itu seru bukan main dan sung¬guhpun ketika Hek-bin Hwesio tiba disitu belum ada yang terluka parah, na¬mun kakek ini maklum bahwa kalau di¬lanjutkan tentu kedua pihak akan menderita hebat dan jatuhnya banyak korban di kedua pihak takkan dapat dihindarkan lagi. Dia juga melihat betapa Thian-Gi Hwesio yang amat lihai itu memperoleh seorang lawan yang juga amat lihai, yaitu seorang tosu berjenggot panjang yang memainkan sepasang pedang dengan amat baiknya. Tongkat atau toya di ta¬ngan Thian Gi Hwesio yang digerakkan amat cepat berubah menjadi gulungan sinar yang lebar itu saling desak dengan gulungan sinar pedang di tangan kanannya.
Pertempuran itu sudah mem¬pergunakan senjata dan sewaktu-waktu Musti jatuh korban kalau dia tidak se¬gera turun tangan, pikir Hek-bin Hwesio. Dan satu-satunya usaha terbaik untuk melerai dan mendamaikan dua pihak yang bertentangan adalah mengundurkan pihaknya sendiri lebih dahulu.
"Saudara-saudaraku dari Siauw-lim-pai, kuminta kepada kalian, mundurlah dan hentikan perkelahian!" Berkata demikian, Hek-bin Hwesio melompat ke medan pertempuran dan menggunakan kedua tangannya untuk melakukan dorongan-dorongan ke arah Thian-Gi Hwcsio dan para murid Siauw-lim-pai. Dari kedua tangannya menyambar hawa yang lembut namun amat kuatnya, membuat para murid Siauw-lim- pai terkejut da terdorong mundur!
Pada saat itu, terdengar suara lembut.
"Siancai , orang-orang penganut To tidak akan
menggunakan kekerasan menentang kekuasaan Alam atas diri manusia, mundurlah kalian, Saudara-saudaraku!" Dan sesosok bayangan pakaian putih berkelebat, seperti yang dilakukan Hek-bin Hwesio, bayang putih ini pun mendorong ke arah para tosu sehingga mereka terpaksa mundur. Maka, berhentilah pertempuran mati-matian itu. Thian Gi Hwesio dan para murid Siauw-lim-pai yang tadinya merasa pena¬saran melihat ada orang menghalangi mereka, ketika melihat bahwa yang menghalangi adalah hwesio tua bermuka hitam, mereka terkejut. Biarpun baru dua kali mereka bertemu dengan Hek-bin Hwesio, mereka semua telah mengenalnya sebagai suheng dari ketua mereka dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, lebih lihai daripada ketua mereka. Maka kemarahan Thian Gi Hwesio lenyap, berubah menjadi keheranan dan juga penasaran mengapa suheng dari ketua Siauw-
lim-pai ini, yang biarpun bukan anggauta Siauw-lim, akan tetapi juga seorang pendeta Buddha, melerai perkelahian itu dan tidak membantu para murid Siauw-
lim-pai!
Sementara itu, para tosu juga ter¬kejut melihat bayangan putih yang me¬larai dan mengundurkan mereka, akan tapi ketika mereka mengenal tosu ber¬jenggot panjang dan berjubah putih itu, mereka pun terkejut dan segera memberi hormat. Tosu itu memang terkenal sekali di antara para penganut Agama To, terutama sekali di kalangan para tokoh besarnya karena tosu itu meru¬pakan seorang datuk Agama To yang berilmu tinggi. Nama julukannya adalah Pek I Tojin (Penganut To Berbaju Putih). Dia amat sederhana, bahkan julukannya hanya memakai Tojin (Penganut To) dan jelas julukan itu hanya menunjuk pakai¬annya yang putih sebagai identitasnya. Dia seorang pertapa di puncak Gunung Thai-san, dan kadang-kadang merantau mengunjungi kuil-kuil Agama To untuk bertemu dengan para ketuanya, memberi¬kan pengarahan dalam Agama To, dan juga memberi petunjuk dalam ilmu silat. Baik ilmu silatnya maupun ilmu penge¬tahuannya dalam Agama To, amat luas.
Setelah kedua pihak menghentikan pertempuran, bahkan mundur berkelompok di tempat masing-masing, dua orang kakek itu kini saling berhadapan dalam jarak hanya dua meter. Mereka saling pandang, keduanya tersenyum dan Hek-bin Hwesio yang lebih dulu tertawa. “Ha-ha-ha. ,” sungguh menyenangkan telah bertemu
dengan seorang bijaksana, apakah pin-ceng berhadapan dengan Pek-I-Tojin."
Pek-I Tojin mengelus jenggotnya dan perlebar senyumnya. "Sian cai sudah lama mendengar nama besar Hek-bin
Hwesio dan sungguh bahagia rasa pin-to hari ini dapat
berhadapan demgan dia."
Keduanya tertawa gembira dan dua jika yang tadi saling berkelahi dan kini berkelompok, hanya mendengarkan tanpa mengeluarkan kata-kata. Mereka masing-masing mengharapkan agar orang sakti-sakti itu membantu pihak masing-masing.
"Omitohud Pek I Tojin benar-benar mengenakan pakaian putih sesuai dengan ita julukannya!"
"Benar, dan Hek-bin Hwesio juga mempunyai muka hitam sesuai dengan jukannya!" Kembali keduanya tertawa.
"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak mengenakan pakaian putih, mungkin julukanmu bukan lagi Pek I Tojin, akan tetapi, engkau akan tetap engkau!"
"Siancai, benar sekali! Kalau rnukamu tidak hitam, mungkin julukanmu bukan Hek-bin Hwesio, akan tetapi tentu pun engkau tetap engkau!"
Keduanya tertawa lagi, melangkah maju dan saling berpegang kedua tangan dengan sikap yang penuh damai! Kata-kata yang keluar dari mulut dua orang sakti itu seperti kelakar saja, namun sesungguhnya mengandung pernyataan yang membuka kebenaran. Mereka itu hendak mengatakan bahwa segala bentuk lahir belaka dan sama sekali tidak hubungannya dengan dirinya. Boleh saja muka diubah-ubah, pakaian diganti-ganti dan nama diganti-ganti pula, namun orangnya tetap itu-itu juga, manusia yang hidup di dunia tanpa dikehendakinya sendiri! Mereka kini saling berpegangan tangan sambil tertawa.
"Siancai, Hek-bin Hwesio, engkau aku tiada bedanya!" "Memang, engkau dan aku sama juga Karena itu, sungguh
menyedihkan melihat saudara-saudara kita saling hantam,
saling benci dan berusaha untuk saling bunuh. Mari kita bicarakan baik-baik, Pek I Tojin!"
"Engkau benar sekali, Hek-bin Hwesio, mari kita duduk dan bicara."
Keduanya lalu duduk bersila di atas tanah, saling berhadapan dan melihat ini, kedua kelompok yang sejak tadi berdiri melihat dan mendengarkan, ikut pula duduk di atas tanah.
“Hek-bin Hwesio, sekarang selagi kita mempunyai keberuntungan untuk saling bertemu, pinto harap engkau tidak pelit dan suka memberi penerangan kepada kami para tosu yang bodoh. Mengapa antara para penganut Agama Buddha dan para pemeluk Agama To terdapat permusuhan?"
"Omitohud , semoga Sang Buddha mnuntun kita semua ke jalan terang, saudaraku yang baik, Pek I Tojin, kalau menurut apa yang pinceng lihat, segala bentuk permusuhan timbul karena •kebodohan! Kalau permusuhan timbul antara kedua kelompok yang beragama, .jika hal itu tentu dikarenakan kefanatikan dan kefanatikan adalah kebodohan!
Apakah maksud kita memasuki suatu agama? Bukan lain untuk meninggal segala macam kejahatan dan mengambil jalan bersih dalam hidup kita. Kita dapat memulai hidup baru,mengalami jalan kehidupan yang bersih kalau meninggalkan semua kotoran dari perbuatan kita di masa lalu! Perbuatan kotor itu termasuk perbuatan yang dasari nafsu, termasuk kebencian, sekarang, dua kelompok orang beragama saling bermusuhan dan saling membenci. Bukankah ini berarti bahwa kita tidak meninggalkan jalan kotor, melainkan meninggalkan jalan baru yang bersih kembali ke jalan kotor? Mungkin tidak menyadari akan hal ini, mengingat bahwa apa yang kita lakukan ini benar dengan alasan-alasan dan pembelaan pun juga untuk membenarkan yang salah ini, untuk membersihkan yang kotor ini. Namun, jelas bahwa kebencian dan permusuhan adalah jalan kotor yang salah. Kita, dalam bakaran nafsu pementingan diri sendiri yang meluas menjadi kentingan kelompok, agama dan lain-lain, menjadi buta dan lupa bahwa inti ajaran agama kita masing-masing adalah mencari kedamaian dan meninggalkan segala bentuk pertentangan! Dan kita, dengan nafsu kita, bahkan menyeret aga¬ma ke dalam kebencian dan permusuhan. Hal inilah yang perlu kita sadari, kita harus membuka mata melihat kenyataan dan berani melihat kesalahan dalam diri sendiri, bukan selalu membuka mata melihat kesalahan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain. Bagaimana Pendapat mu, Pek 1 Tojin?"
"Siancai ! Saudara-saudaraku penganut Agama To, apakah kalian sudah mendengar semua kebenaran yang keluar dari mulut Hek-bin Hwesio tadi?”
Kalau sudah mendengar dan mengerti,kerjakanlah! Buang semua pertikaian dan permusuhan, lenyapkan kebencian dari daam batin, dan kalau ada persoalan dengan pihak lain, rundingkanlah dengan
damai, dengan musyawarah seperti yang sepatutnya dilakukan orang-orang beragama yang taat kepada ajaran agamanya!"
Setelah berkata demikian kepada para tosu di belakangnya, Pek I Tojin lalu menghadap hwesio muka hitam itu lagi dan berkata, "Hek-bin Hwesio, semua penjelasanmu tentang kefanatikan yang bodoh itu memang tepat sekali. Pinto juga melihat akan kebenaran ini Sayangnya bahwa kita mempunyai suatu penyakit lain, yaitu selain kefanatikan juga kemunafikan. Kita adalah oran-orang munafik! Ini pun suatu kebodohan besar karena kita tidak sadar bahwa kita adalah orang-orang munafik, selalu berpura-pura, tidak ada kesatuan antara ucapan, pikiran, dan perbuatan! Kita menutupi kekotoran diri dengan bermacam cara. Kekotoran badan kita tertutup dengan pakaian bersih, perbuatan kalau kita ditutupi dengan alasan- alasan bersih, demi ini dan demi itu. Seorang bijaksana tidak akan membiarkan kepicikan pikiran menguasai dirinya, tidak membiarkan si-aku merajalela karena selagi si-aku merajalela, maka segala perbuatan pasti berpamrih demi kepentingan aku. Si-aku ini dapat membesar menjadi milikku, keluargaku, kelompokku, bangsaku, agamaku dan selanjutnya. Seorang bijaksana akan selalu waspada akan si-aku dalam dirinya karena pikiran dan nafsu yang mencipta si-aku itulah satu- satunya musuh berbahaya selama hidupnya. Bukankah demikian keadaannya, sahabatku Hek-bin Hwesio?"
"Omitohud. !” mendengar engkau bicara seperti
mendengar hati nurani k.ita sendiri yang bicara, sahabatku Pek I tojin.'
Kakek bermuka hitam itu lalu menoleh kepada para murid Siauw-Iim-pai.
“Saudara-saudaraku dari Siauw-Iim-pai, indahkah kalian mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Pek I Tojin tadi? Kita harus menyadari bahwa selama kita membiarkan si-aku merajalela, maka hidup kita akan penuh keinginan. Kalau Keinginan-keinginan si-aku dari diri kita masing-masing itu kita kejar dalam pelaksanaan, maka akan terjadi bentrokan antara keinginan-keinginan yang saling bertentangan. Dan bentrokan ini menimbulkan permusuhan, dendam dan kebenci¬an. Apakah kalian sebagai penganut Agama Buddha yang menuntun kita arah jalan terang dan kasih sayang, mau membiarkan diri kita bcrlepotan kotoran berupa benci, dendam dan permushhan?"
Thian Gi Hwesio dan para mu Siauw-lim-pai terkejut dan mereka pun menggeleng kepala. Percakapan antara kedua orang sakti itu menggugah kesadaran mereka yang selama ini dibutakan oleh nafsu kemarahan dan dendam.
"Lo-cian-pwe berdua menggugah kesadaran kami," demikian Thian Gi Hw sio berkata, suaranya lantang dan tegas, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
"Kami menyadari kesalahan kami dan mulai detik ini akan berusaha kembali ke jalan benar yang terang. Akan tetapi, hendaknya ji-wi Lo-cian-pwe melihat kenyataan bahwa para murid Siauw-lim-pai menuruti bisikan jiwa untuk membela rakyat jelata yang tertindas oleh adanya kerja-paksa sehingga banyak jatuh korban. Apakah menurut Ji wi Lo-cian-pwe (Dua Orang Tua Gagah) kita harus tinggal diam saja melihat betapa rakyat jelata yang sudah serba kekurangan hidupnya itu kini diperas, ditekan dan dijadikan korban kekejaman para petugas? Melihat orang lain menderita dan kita diam berpangku tangan saja bukankah itu merupakan suatu dosa yang besar pula? Apalagi bagi seorang pendekar, pantaskah dia disebut pendekar kalau tidak turun tangan menolong?"
Mendengar ucapan wakil ketua Siauw-iim- pai itu, para murid Siauw-lim-pai mengangguk tanda setuju karena mereka pun menjadi bingung dan sangsi karena ada¬nya kenyataan itu. Tiba-tiba tosu jenggot panjang yang pandai menggunakan pedang dan yang tadi menjadi lawan tangguh Thian Gi Hwesio, berseru dengan lantang pula.
"Siancai ,bukan maksud pin-to untuk membantah siapa pun. Pinto dan para murid juga mengerti akan kebenar- kebenaran yang tadi diucapkan oleh dua orang Lo-cian-pwe, akan tetapi, ada kenyataan lain yang membuat kami merasa bingung. Bagaimanapun juga, kita semua adalah orang-orang yang berne¬gara, dan negara mempunyai pemerintah yang patut dipatuhi dan dibela karena tanda adanya pemerintah, kehidupan rakyat jelata akan menjadi kacau balau rusak, tanpa ada ketertiban lagi. Dan kita melihat betapa usaha pemerintah menggali terusan yang menghubungi Huang-ho dan Yang-ce-kiang adalah suatu usaha yang amat baik, walaupun merupakan pekerjaan besar yang amat sukar dan berat. Kalau usaha itu sudah jadi, maka rakyat pulalah yang akan menikmati hasilnya. Kemudian, kita melihat betapa ada golongan yang menentang kebijaksanaan pemerintah itu. Kami sebagai rakyat yang baik, tentu tidak mendiamkan hal ini terjadi kami bangkit untuk membantu pemeritah, menentang mereka yang hendak menghalangi pekerjaan besar itu. Nah,demikianlah keadaannya sehingga timbul bentrokan- bentrokan, maka bagaimaa baiknya, harap Ji-wi Lo-cian-pwe sudi memberi petunjuk kepada kami."
Hek-bin Hwesio dan Pek I Tojin saling pandang, kemudian tiba-tiba keduanya tertawa bergelak.
"Pek I Tojin, apakah engkau melihat kelucuan ini?" tanya Hek-bin Hwesio.
Tosu tua itu mengangguk.
"Ya, aku melihatnya. Sama, tapi tidak serupa, serupa, tapi tidak sama!"
"Ha-ha-ha, memang lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi buta oleh berkilauannya tujuan. Semua tujuan itu baik, semua cita-cita itu baik, tentu saja. Mana ada cita-cita yang buruk? ikan tetapi orang terlalu memperhatikan dan mementingkan tujuannya sehingga tidak melihat lagi apakah pelaksanaan untuk mencapai tujuan itu benar atau tidak!
Para hwesio mempunyai tujuan untuk melindungi rakyat, sebaliknya para to-su juga ingin membela pemerintah demi kebaikan rakyat! Keduanya jelas mempunyai tujuan yang baik. Akan tetapi mengapa mereka sampai bermusuhan walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu demi kebaikan rakyat? Karena cara Mereka untuk melaksanakan tujuan itu yang berbeda, bahkan bertentangan! Kali nn lupa bahwa yang terpenting bukanlah tujuannya, melainkan caranya, pelaksanaannya!
Pelaksanaan inilah perbuatan, inilah kehidupan, sedangkan cita-cita dan tujuan itu hanyalah khayalan belaka. Yang harus diperhatikan justeru pelaksan ini, justeru cara yang melahirkan perbuatan ini. Apapun tujuannya betapa luhur cita-citanya, kalau dilaksanakan dengan cara yang tidak benar, akhirnya akan melahirkan hal yang tidak benar pula! Nah, sekarang kalian sudah melihat bahwa tujuan kalian sama, mengapa tidak mencari persamaan pula dalam cara melaksanakannya?"
Kedua pihak yang mendengarkan menjadi tertarik dan semakin tergugah kesadaran mereka.
"Siancai , memang Hek-bin Hwesio hanya mukanya
saja, hanya kulitnya saja yang hitam! Akan tetapi isinya alangkah putih bersihnya! Nah, kalian semua sudah mendengar dan pinto akan merasa heran kalau belum juga terbuka mata batin kalian. Mata batin baru dapat terbuka kalau batin itu sendiri bebas 'dari segala bentuk kotoran, dan batin bersih dan bebas kalau di situ sudah tidak ada lagi penonjolan si-aku dengan segala dendam kebenciannya, iri hatinya, kecewaannya, harapan-harapannya kekuasaannya, dan segala macam kepentingan diri sendiri. Nah, marilah mulai detik ini kita buang jauh-jauh segala rasa dendam dan kebencian, seolah-olah semua itu telah mati dan kita hidup ba ru dengan segala kebersihan dan kebebas-batin!"
Kini semua orang dari kedua pihak itu bangkit dan saling menghampiri, tanpa diberi contoh lagi, dengan spontan mereka saling memberi hormat, saling memberi maaf dan saling mengaku salah, dipelopori oleh Thian Gi Hwesio dan tosu berjenggot yang tadi menjadi lawannya. Melihat ini, Pek I Tojin dan Hek-bin Hwesio menjadi girang sekali dan mereka berdua lalu saling bergantian memberi wejangan-wejangan kepada lebih dari tiga puluh orang itu.
Hidup adalah belajar. Belajar adalah hidup. Mempelajari isi kehidupan ini tidak seperti mempelajari suatu ilmu pe¬ngetahuan yang harus dihafaldan ulang-ulang. Hidup bukanlah suatu perulangan sehari-hari. Hidup seperti sungai mengalir, seperti awan berger diangkasa, setiap saat berubah, setiap detik berbeda. Tidak mungkin mengambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang mandek. Mempelajari hidup berlaku selama hidup sendiri. Dengan membuka mata. Dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan, penuh perhatian. Bukan dengan menjiplak pelajaran yang sudah ada, karena penjiplakan adalah pemaksaan dan karenanya palsu, betapapun baik nampaknya. Dan yang palsu itu, betapapun indah kelihatannya, tetap saja palsu dan karenanya tidak wajar lagi, tidak bersih lagi Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari, tidak mungkin dapat dihafalkan. Kebaikan yang dipelajari dan dihafalkan, hanyalah suatu kemunafikan suatu kepalsuan karena kebaikan perti itu pasti berpamrih.Dan pamrih ingin baik, dan kalau yang ingin baik itu si-aku, sudah pasti karena si-aku melihat suatu keuntungan dalam kebaikan itu! Si-aku ini tidak mungkin dapat bernuat tanpa pamrih demi keuntungan diri sendiri, betapapun kadang-kadang pamrih itu diselundupkan, disusupkan, disembunyikan dan diberi pakaian dan sebutan macam- macam. Tetap saja pamrih, tetap saja akhirnya demi kepen¬ingan si-aku. Amat cerdiklah si-aku ini sengga kadang- kadang Sang pamrih dapat disulap sedemikian rupa sehingga titak nampak sebagai pamrih lagi. Akan rapi, disulap bagaimanapun juga, tetap perbuatan yang didorong oleh si- a¬ku, sudah pasti berpamrih. Perbuatan baru bebas dari si- aku, bersih dari pamrih, kalau perbuatan itu didasari cinta kasih, didorong bukan oleh nafsu, pikiran atau si-aku, melainkan terdorong oleh getaran perasaan yang tersentuh, oleh iba hati, oleh keharuan dan cinta kasih, dan cinta kasih bukan lagi cinta kalau sudah ada si-aku bercokol di situ, karena yang disangka cinta kasih itu hanyalah cinta kasih birahi semata, cinta nafsu yang selalu mengharapkan balas jasa demi kepentingan, kebaikan kesenangan diri sendiri pada akhirnya.
Waktu berjalan cepat sekali kalau tidak diperhatikan. Mereka yang sedang mendengarkan uraian kata-kata penuh wejangan penting dari dua orang sakti itu pun lupa akan waktu.
Matahari mulai condong ke barat ketika tiba-tiba muncul seorang murid Siauw-lim-pai berlari-larian.
"Su-siok celaka ! Siauw-lim-pai diserbu pasukan
pemerintah!" demikian kata mereka kepada Thian Gi Hwesio. Tentu Thian Gi Hwesio dan para murid Sia lim-pai terkejut sekali dan mereka baru ingat bahwa pada tengah hari, Siauw- Iim-si akan diadakan pertempuran antara para murid Siauw- lim-pai untuk membicarakan tentang penderitaan rakyat jelata berhubung dengan digali terusan itu. Dan mereka semua begitu tertarik oleh wejangan kedua orang kek sakti itu sehingga lupa waktu kini tiba-tiba dikejutkan dengan berita bahwa Siauw-lim-si diserbu oleh pas pemerintah!
"Ji-wi Lo-cian-pwe, maafkan kami!" kata Thian Gi Hwesio dan dia cepat bangkit dan meloncat lari mendaki bu¬kit, diikuti oleh belasan orang murid Siauw-lim-pai.
"Siancai ! Kita harus membantu para sahabat dari Siauw- lim-si kalau mere¬ka terancam bahaya!" kata tosu berjenggot panjang dan dia pun meloncat dan lari diikuti belasan orang tosu lainnya.
Melihat ini, Pek I Tojin dan Hek-I n Hwesio menarik napas panjang dan saling pandang, kemudian Hek-bin Hwe-i berkata, "Omitohud, segala sesuatu telah digariskan menurut Karma, dan manusia takkan dapat terlepas dari kar¬manya."
"Yang penting adalah saat ini. Kemairin sudah berlalu dan biarkan ber¬lalu. Esok hanyalah bayangan dan biarkan esok datang seperti apa adanya. Saat Ini yang penting, dan apa pun yang ter¬jadi saat ini, itulah yang harus kita hadapi dengan penuh kewaspadaan yang akan menimbulkan kebijaksanaan," kata Pek I Tojin.
"Benar sekali, To-tiang. Mari kita lihat apa yang terjadi di sana." Katanya lalu bangkit dan mendaki bukit itu. Ketika mereka melihat asap mengepul puncak bukit, keduanya berhenti memandang dengan alis berkerut.
"Hemmm, terjadi kebakaran di sana kata Pek I Tojin. "Omitohud haruskah sampai begitu?" Hek-bin Hwesio
berkata seperti bertanya kepada diri sendiri. Mereka lalu berlari dengan cepat mend bukit menuju ke Siauw-hm-si.
Apakah yang telah terjadi di Sia lim-si, di vihara yang megah dan biasanya amat sunyi penuh kedamaian itu, Seperti kita ketahui, Thian-cu Hwesl ketua Siauw-lim-pai pada saat itu dangan mempersiapkan pertemuan dengan para murid Siauw- lim-pai yang tinggal luar kuil, satu dan lain untuk membicarakan tentang pertentangan antara para murid Siauw- lim-pai dan petugas pengumpulan tenaga untuk bekerja proyek besar penggalian terusan.
Thian-cu Hwesio adalah seorang yang berwatak keras berdisiplin. Memang watak seperti ini dibutuhkan seorang ketua yang memimpin banyak murid. Tanpa disiplin, maka tidak akan ada ketertiban, walaupun disiplin ini mengandung kerasaan pula. Disiplin yang dipaksa-ii pihak lain, apalagi disiplin yang me¬lindung ancaman hukuman, pasti mendatangkan konflik. Berbeda dengan dsisiplin diri, disiplin yang timbul karena kebijaksanaan, karena pengertian mendalam dari kewaspadaan. Disiplin diri memang perlu, mutlak perlu bagi kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga.
Ketika mendengar laporan dari para idnya tentang kekejaman para petugas terhadap rakyat jelata, betapa nyak rakyat harus melarikan diri mengungsi agar jangan sampai diambil secara paksa oleh para petugas yang diperkuat oleh pasukan pemerintah, betapa isteri dan anak-anak ditinggal suami, orang-orang tua yang membutuhkan pelayanan ditinggal putera-putera mereka, betapa para pekerja disuruh bekerja siang-malam, diperlakukan sebagai para hukuman yang melaksanakan kerja-paksa, mendengar semua ini, Thian-cu Hwesio merjadi marah.
Akan tetapi, selagi mendengar laporan seorang demi seorang dari banyak murid itu, tiba-tiba masuk seorang murid penjaga yang dengan muka pucat melaporkan bahwa ada pasukan pemerint datang menuju ke Siauw-lim-si! Men¬dengar ini, para murid Siauw-lim-pai menjadi kaget dan bersiap-siap, akan tetapi Thian-cu Hwesio memperingatkan mereka agar jangan melakukan kekerasan.
"Ingat, tanpa perintahku, tidak boleh ada yang melawan pasukan pemerintah, demikian katanya. "Pinceng sendiri ak menemui komandan pasukan dan bica ra dengan dia. Bagaimanapun juga, kita membela rakyat sebagai pendekar, bukan sebagai pemberontak. Kita buka pemberontak, karena itu, jangan ada yang menyerang pasukan itu kalau mer ka datang ke sini!"
Biarpun merasa khawatir sekali, para pendekar Siauw-lim- pai itu menyatatakan taat kepada pemimpin mereka. "Dan ingat, mereka yang pernah bentrok degan para petugas dan dikenal, sebaik-bersembunyi di dalam saja dan jangan memperlihatkan diri agar tidak menimbulkan keributan." pesan pula Thian-cu Hwesio sebelum dia keluar dari ruangan pertemuan itu, menuju ke ruangan depan. Ternyata laporan murid itu benar, sebuah pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima ratus orang telah menge¬pung vihara Siauw-lim, dan kini rombongan perwira yang memimpin pasukan sudah turun dari atas punggung kuda mereka dan menuju ke pintu gerbang, Yang mengepalai mereka adalah seorang panglima berusia lima puluhan tahun, pakaian gagah gemerlapan, bersikap acuuh dan dengan pedang tergantung di pinggang dia melangkah menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh belasan orang perwira pembantu. Beberapa orang pengawalnya memegang bendera dan tanda ngkatnya.
Panglima ini bukan orang asing ba gi para murid Siauw-lim pai. Dia adalah Ciong Hak Ki, seorang panglima yang sudah seringkah berkunjung ke Siauw- lim-si, baik sebagai utusan pemerintah atau sebagai tamu dari ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi sekarang sikapnya tidak seperti seorang sahabat atau seorang tamu yang baik. Dia kelihatan marah, congkak, bahkan ketika para penjaga pintu gerbang memberi hormat, dia dak menanggapi, melainkan dengan angkuhnya terus melangkah masuk mela pintu gerbang yang sudah dibuka, diiringi belasan orang pembantunya yaitu rata-rata memasang wajah yang kaku dan keras.
Ketika rombongan perwira ini tiba serambi depan, mereka berhenti karena melihat Thian-cu Hwesio yang mengenakan pakaian ketua Siauw-lim-pai lengkap, dengan jubah berwarna kuning berkotak-kotak merah, dan tongkat ketua di tangan, telah berdiri menyambut di ruangan depan itu ditemani para hwesio pembantunya dan murid-murid kepala yang sebagian besar adalah para hwesio yan sudah tinggi ilmunya. Para murid yang berdatangan dari luar vihara, ti¬dak memperlihatkan diri. Jumlah para Hwesio, dari para pimpinan sampai dengan para petugas rendahan, semua ada kurang lebih lima puluh orang. Akan tapi, yang kini berada diluar kuil bersama Thian-cu Hwesio untuk meng¬hadapi para tosu ada belasan orang sehingga yang berada di kuil tinggal tiga puluh orang lebih. Para murid yang berdatangan dari luar kuil berjumlah dua puluh orang lebih sehingga pada saat itu, jumlah murid Siauw-lim-pai yang berada di kuil kurang lebih enam puluh orang.
Melihat ketua Siauw-lim-pai sudah berdiri menyambutnya, bersama murid-murid Siauw-lim-pai, Ciong Hap Ki atau Ciong Ciangkun (Perwira Ciong), me¬mandang tajam. Matanya mengerling kekanan kiri mencari-cari, seolah-olah dia hendak mencari orang-orang yang bersembunyi di dalam kuil. Sementara itu, Thian-cu Hwesio dapat melihat betapa sikap Ciong Ciangkun tidak bersahabat, maka dia pun mendahului dengan angkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, suaranya halus.
"Omitohud selamat datang, Ciong Ciangkun. Kunjungan Ciangkun sekali ini mengejutkan, tiba-tiba dan membawa pasukan. Ada urusan apakah gerangan, Ciangkun?"
Ciong Hap Ki adalah panglima sudah terkenal pandai dalam ilmu pe rang dan ilmu silat. Karena dia seorang ahli silat yang pandai, maka dia bersahabat dengan ketua Siauw-lim. Akan tetapi dia pun seorang yang berwatak keras, sesuai dengan kedudukannya sebagai panglima perang yang selalu dihadapkan kekerasan. Karena dia sudah berprasangka buruk dan memandangi Siauw-lim-pai pada saat itu sebagai lawan dan musuh, sikapnya pun nampak keras. Lenyap semua keramahannya yang terhadap sahabatnya itu.
"Lo-suhu," katanya, suaranya lantang dan mengandung kekerasan. "Pelukah lagi berpura-pura? Sudah berbulan- bulan lamanya Siauw lim-si memperlihatkan sikap bermusuhan, bahkan akhir-akhir ini para murid Siauw-lim-pai bertindak sebagai musuh! Apakah Lo-suhu hendak menyangkal dan kini berpu-pura tanya lagi apa maksud kedatanganku dengan pasukan?"
"Omitohud, Ciong Ciangkun. Belum pernah-pihak Siauw- lim-pai mempunyai sedikit pun maksud untuk melawan pemerintah. Harap Ciangkun jelaskan, dalam hal bagaimana Ciangkun menganggap kami bertindak sebagai musuh?"
“Thian-cu Hwesio!" Ciong Ciang membentak, suaranya menggelegar,
"Engkau telah membiarkan murid-murid menentang pemerintah, bahkan menggunakan kekerasan membunuh banyak pasukan pengawal para petugas y ang melaksanakan pekerjaan galian terusan. Apakah engkau hendak menyangkal itu? Siauw-lim-pai hendak memberontakl Betapa rendahnya budi orang-orang yang tidak ingat akan kebaikan orang. Bukankah vihara Siauw-lim-pai dibangun karena bantuan pemerintah pula? sekarang, Siauw-lim-pai hendak menentang pemerintah, hendak memberontak?"
"Omitohud harap Ciangkun suka bersikap sabar dan
tenang. Ciangkun sudah cukup mengenal kami, apakah kami orang-orang yang berjiwa pemberontak terhadap pemerintah? Sama sekali tidak Mungkin. Kami tidak memberontak, tidak menentang pemerintah.Yang dilakukan oleh anak murid Siauw-lim-pai hanyalah suatu kewajaran saja, melihat rakyat yang ditekan dan dipaksa harus kerja tanpa perhitungan, tanpa perikemanusiaan. Siauw-lim-pai menentang dasan, bukan menentang pemerintah!”
"Akan tetapi melawan para petugas pemerintah berarti melawan pemerintah! Itulah," tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu bahwa para pemberontak itu, yang telah menentang pemerintah dan lakukan pembunuhan terhadap banyak tugas pemerintah, kini bersembunyi di kuil! Thian-cu Hwesio, kami masih memandang muka para pimpinan Siauw-lim-si yang tidak berdosa. Keluarkan semua pemberontak yang bersembunyi itu untuk kami tangkap, dan para anggauta Siauw-Iim-pai yang lain akan dibiar tinggal di vihara seperti biasa, tidak akan kami ganggu. Kami hanya akan menangkap mereka yang menentang pemerintah!" Thian-cu Hwesio mengerutkan alisnya. Dia tahu siapa yang dimaksudkan oleh panglima itu. Tentu para murid Siauw-lim- pai yang berdatangan tadi. Agaknya panglima itu telah mempunyai mata-mata yang melapor akan kedatangan para murid Siauw-lim-pai dari itu.
"Ciong Ciangkun, pinceng tidak lihat adanya seorang pun pemberontak kuil ini. Ciangkun mendapatkan keterangan palsu. Tidak ada pemberontak di dalam kuil kami!"
"Bohong! Harap engkau tidak membela para pemberontak itu, Lo-suhu kalau kau ingin melihat vihara ini selamat!"
"Pinceng tidak berbohong, Ciangkun Memang tidak ada seorang pun pemberontak di dalam kuil ini!"
Ciong Ciangkun terbelalak. Hwesio tua itu tidak mungkin berbohong, pikirnya. Dia mengenal benar Thian-cu Hwesio dan yakin bahwa ketua Siauw-lim-pai itu tidak mungkin bicara bohong, maka dia pun menoleh kepada seseorang yang ikut dengan rombongan perwira masuk. Orang ini bukan seorang perwira, melainkan seorang yang berpakaian seper¬ti pendeta, seorang tosu! Ketika melihat perwira tinggi itu memandang ke¬nanya, orang itu lalu maju ke depan suaranya lantang ketika telunjuknya menuding kearah Thian-cu Hwesio.
"Thian-cu Hwesio, sungguh tidak pantas sekali engkau, sebagai seorang ketua yang berkedudukan tinggi, masih hendak melindungi kaum pemberontak dan bicara bohong! Pinto melihat dengan mata kepala sendiri bahwa para pemberontak itu memasuki kuil sejak pagi tadi, dan engkau berani mengatakan bahwa di dalam kuil tidak ada pemberontak?”
Thian-cu Hwesio memandang kepada Tosu itu dan sinar matanya seperti mencorong. "Omitohud. , kiranya ada
ularnya di bawah rumput! To-tiang, siapapun juga adanya engkau, pinceng jelaskan sekali lagi bahwa di dalam kuil ini tidak pemberontak dan tidak ada penjilat!"
Wajah tosu itu berubah merah ka na dia merasa disindir dengan sebutan penjilat. "Siancai ! Sungguh seorang
Hwesio yang sudah tua akan tetapi , pandai berdusta. Thian- cu Hwesio, kalau memang engkau tidak berbohong, beranikah engkau bersumpah bahwa di dalam kuil ini tidak ada pemberontak bersembunyi?"
"Ucapan seorang hwesio tidak pernah berbohong.Tidak perlu bersumpah akan tetapi pinceng menyatakan sekali lagi bahwa di dalam kuil ini tidak seorang pun pemberontak!"
"Thian-cu Hwesio!" Tosu itu kini berseru marah. "Siauw-lim- pai sungguh dak mengenal budi! Dibaiki oleh pemerintah malah kini menentang pemerintah. Begitukah pelajaran agamamu? Tidak mengenal budi orang?"
“Totiang, dengarlah baik-baik.Dalam pelajaran kami, tidak ada sebutan hutang budi! Kalau ada murid kami yang menentang, jelas bahwa yang ditentangnya itu adalah orang- orang yang tidak benar! Siapa pun dia, biar yang pernah melepas budi sekalipun, kalau bertindak jahat tentu akan ditentang oleh murid-murid kami. Seorang yang berhutang budi lalu membantu penolongnya itu melakukan kejahatan, jelas bukan orang baik, hanya seorang penjilat yang berbahaya. Kami tidak biasa begitu! Kami tidak ingin melibatkan diri dalam karma dengan hutang piutang budi dan dendam!"
"Ciong Ciangkun, sudahlah, tidak perlu ¬banyak cakap lagi dengan pendeta tua yang pandai berbohong ini. Lebih baik lakukan penggeledahan ke dalam kuil. Pinto yakin mereka berada di dalam. Kalau sampai pinto berbohong dan mereka berada di dalam, kepala pinto menjadi penggantinya!" Mendengar ucapan tosu itu, Ciong Ciangkun kembali bersemangat. Dia pun melangkah maju dan dengan nada meng¬ancam dia berkata kepada Thian-cu Hwesio, "Lo-suhu, sekali lagi kuperingatkan kepadamu agar menyerahkan para pemberontak itu baik-baik kepadaku. Engkau dengarlah, Lo- suhu. Lihat ini, datang atas nama pemerintah, atas nama Kaisar!
Aku telah mendapat perint untuk menangkap para pemberontak! Aku datang bukan atas namaku sendi melainkan sebagai wakil pemerintah, wakil yang menjunjung perintah Kaisar sendiri!" Dia memperlihatkan leng-ho (bendera perintah kaisar) kepada Thian-cu Hwesio yang diam-diam menjadi tekejut sekali. Kalau kaisar yang memberi perintah, berarti hancurlah Siauw-lim-si! Akan tetapi, bagaimana mungkin menyerahkan para murid Siauw-lim sebagai pemberontak? Dan dia tidak pernah berbohong. Dalam pandangan para murid itu bukan pemberontak! Mereka menentang para petugas yang menindas rakyat, bukan berarti memberontak kepada pemerintah untuk menggulingkan Kaisar dan merampas kedudukan!
Biarpun wajahnya berubah pucat dan dia cepat memberi hormat kepada bendera tanda kekuasaan yang diberikan Kaisar itu, dia menggeleng kepala.
"Maaf, Ciong Ciangkun, di dalam ku¬il ini tidak ada pemberontaknya, tidak ada seorang pun pemberontak di antara kami!"
Tosu itu tiba-tiba berteriak. "Hwesoi tua, jangan mengelabuhi kami! Pa¬ra pemberontak itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang datang pagi hari ta¬li dan kini berada di dalam kuil! Hayo katakan bahwa tidak ada murid-murid Siauw- lim-pai yang bukan hwesio di da¬lam kuil!" Tosu ini memang cerdik dan dia mengerti mengapa ketua Siauw-lim-pai yang tidak pernah berbohong itu berani berkukuh mengatakan bahwa tidak ada pemberontak di dalam kuil. Tentu saja, ketua itu tidak menganggap para murridnya pemberontak maka dia berani berkata demikian.
Kini Thian-cu Hwesio yang menundukkan mukanya. "Omitohud. , tentu saja ada murid-murid kami di dalam kuil,
akan te¬pi mereka bukan pemberontak."
Ciong Ciangkun juga baru menyadari, maka dia pun melangkah maju lagi makin dekat. "Losuhu, minggirlah biarkan kami masuk untuk melakui penggeledahan dan penangkapan!" Dan memberi isarat ke belakang dan masuklah pasukannya ke dalam sehingga memenuhi pekarangan depan dan bagian depan serambi itu, mereka siap dengan senjata mereka.
Tahulah Thian-cu Hwesio bahwa saat terakhir telah tiba di mana dia harus mengambil keputusan, yaitu meryerahkan para muridnya untuk ditangkap sebagai pemberontak, atau mempertahankan kehormatan Siauw-lim-pai yang hendak dilanggar. Kini Ciong Ciangkun para pembantunya sudah bergerak melangkah maju, agaknya hendak memaksa memasuki kuil.
"Tahan !" bentak Thian-cu Hwesio'
"Ciong Ciangkun menghentikan langkahnya, lalu membentak,
"Thian-cu Hj sio, apakah engkau hendak melawan utusan Kaisar dan menjadi pemberontak pula?”
Wajah Thian-cu Hwesio kini menjadi merah sekali, matanya mencorong ketika dia berkata, "Ciong Ciangkun, engkau tentu tahu bahwa pinceng dan seluruh murid Siauw-lim-pai bukanlah pemberontak. Kalau andaikata ada di antara Mur id pinceng yang melawan petugas pemerintah, itu bukan berarti melawan pemerintah, melainkan karena Si petugas ng bertindak sewenang-wenang ter¬hadap rakyat dengan mengandalkan kekuasaan yang ada padanya! Memang ada murid-murid Siauw-lim-pai yang berada dalam kuil, akan tetapi sama sekali bukan pemberontak. Vihara kami adalah tempat ibadah yang suci, tidak dapat di masuki sembarang orang saja. Oleh karena itu, sesuai dengan peraturan vihara pinceng melarang siapapun juga untuk memasukinya."
"Thian-cu Hwesio, ingat, kami adalah petugas yang mewakili pemerintah, membawa perintah Kaisar! Kami akan menggeledah ke dalam kuil!"
“Maaf, pinceng melarangnya!" kata Thian-cu Hwesio. "Bagus! Itu namanya pemberontak. Kalau kami memaksa
masuk, engkau akan menyerang kami?"
Para murid Siauw-lim-pai sudah loncatan dan berbaris melintang, menutup jalan masuk dan sikap mereka sudah jelas. Mereka akan mempertahankan vihara mereka mati- matian, kalau perlu dengan pertumpahan darah, tetapi Thian- cu Hwesio membentak 5 muridnya.
"Kalian mundur!"
Mendegar bentakan ini, para murid terkejut terpaksa mereka mundur, walaupun mereka merasa penasaran mengapa ketua mereka menahan mereka dan menyatakan mundur. Bukankah sudah jelas bahwa panglima kerajaan itu mempunyai buruk terhadap Siauw-lim-pai?
Dengan sikap tenang, Thian-cu Hwesio menghadapi para perwira itu, lalu berkata kepada seorang murid dibelakang "Ambilkan seguci minyak bakar!"
Biarpun murid itu merasa heran tidak mengerti, namun dia cepat mentaati perintah gurunya dan tak lama kemudian, Thian-cu Hwesio menerima guci minyak itu. Tanpa ragu lagi, dia menyiramkan minyak ke atas kepalanya sehingga minyak membasahi seluruh tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.
"Ciong Ciangkun, pin-ceng bukan pemberontak, juga semua murid Siauw-lim-Si bukan pemberontak. Biarpun pemerintah telah membantu kami dengan pemnangunan kuil ini, namun seluruh vihara ini adalah milik kami dan menjadi hak kami. Oleh karena itu, sekali lagi pin-ceng minta agar Ciangkun dan semua pasukan meninggalkan tempat ini, dan Pin-ceng akan menghadap Sribaginda Kaisar di kotaraja untuk menerima keputusan beliau. Akan tetapi kalau Ciangkun berkeras hendak melanggar hak kami dan memasuki vihara, apalagi menangkap murid-murid Siauw-lim-pai, terpaksa kami melarangnya."
"Kami membawa surat perintah, membawa kekuasaan dari Kaisar! Biarpun kalian melarang, kami akan tetap masuk dan menangkapi para pemberontak!" kata Ciong Ciangkun.
"Kalau begitu, pinceng akan membakar diri untuk memprotes tindakan Ciangkun, dan untuk menyatakan bahwa kami sungguh bukan pemberontak."
"Ha, silakan!" kata Ciong Ciangkun sudah marah karena dia merasa yakinbahwa orang-orang Siauw-lim-pai itupemberontak dan menentang kebijaksai pemerintah membuat terusan yang me rupakan pekerjaan besar dan penting itu.
Thian-cu Hwesio berseru lirih, "Omitohud. " lalu
mulutnya berkemak-kemik membaca doa dan tongkatnya dia pukulkan dengan kerasnya ke atas lantai depan kakinya. Pukulan itu sedemikian kerasnya sehingga mengeluarkan bara api yang menyambar kaki pendeta yangbasah oleh minyak bakar. Seketika api bernyala dan dengan cepatnya lidah api menjilat ke atas dan berkobar-kobar. "Suhuuuuu !" Beberapa orang mirid kepala Siauw-lim-pai terkejut dan berloncatan ke depan untuk menyelamatkan guru mereka, akan tetapi Thian Hwesio yang masih berdiri tegak berseru dengan suara nyaring.
"Berhenti! Biarkan pinceng menjadi korban demi kebersihan nama Siauw-Lim-Si. Akan tetapi ingat pesan pinceng. Para Murid Siauw-lim-pai selamanya bukanlah pemberontak- pemberontak, melainkan para Pendekar yang selalu menentang kejahatan menjadi pelindung rakyat tertindas!"
“Setelah berkata demikian, Thian-cu Hwehio roboh dan tubuhnya terus terbakar sampai hangus. Sementara itu,Ciong Ciangkun sudah memberi aba-aba Kepada pasukannya untuk menyerbu ke dalam. Melihat ini,para murid Siauw-Lim-pai berloncatan menghadang.
"Ha, jadi kalianbenar hendak me¬lawandan memberontak?" bentak perwira itu.
“Tidak, kami mempertahankan hak kami!"
Ciong Ciangkun memberi isarat dan pasukannya lalu menyerang, disambut oleh para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah pertempuran yang hebat di ruangan depan vihara Siauw-lim-si. Disaksikan api yang masih bernyala-nyala membakar tubuh Thian-cu Hwesio, para murid Siauw-lim-pai mengamuk. Juga murid bukan pendeta yang tadi bersembunyi di dalam, ketika mendengar bahwa guru mereka membakar diri' kini pasukan menyerbu dan bertempur melawan para saudara mereka yang ada diluar, kini berlarian keluar terjun kedalam medan pertempuran sehingga pertempuran menjadi semakin sengit.
Seorang di antara para murid kepala yang bukan hwesio itu bernama Lie Koan-Tek, seorang pendekar gagah perkasa berasal dari Hok-kian. Dia memiliki pandaian tinggi karena sudah menguasai semua ilmu dari Siauw-lim-pai dan merupakan seorang di antara para pendekar yang membela rakyat yang di paksa untuk bekerja rodi di proyek penggalian terusan, bahkan oleh para murid Siauw-lim-pai lainnya dia dianggap seorang suheng yang dipercaya kepemimpinannya. Sejak tadi, Lie Koan Tek yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu mengintai ke luar dan dia lihat semua yang telah terjadi. Karena itu, begitu dia dan teman-temannya menyerbu keluar, dia lalu menerjang orang yang agaknya menjadi mata-mata pasukan pemerintah. Dengan geramnya dia menyerang tosu itu dengan senjatanya yang, tadinya melilit pinggangnya, yaitu sebatang rantai baja.
Tosu kurus kering yang giginya ompongg di bagian depannya itu adalah Cun-bin Tosu, seorang tosu yang memang di¬gunakan oleh para tosu yang memu¬suhi Siauw- lim-si untuk menjadi mata-mata Ciong Ciangkun. Melihat seorang pria gagah perkasa menyerangnya dengan rantai baja, Cun Bin Tosu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menyambut dengan pedangnya.
"Tranggg !" Bunga api berpijar ketika rantai bertemu pedang, dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Namun Lie Koan Tek menyerang terus dengan semakin dahsyat sehingga terpaksa tosu itu pun memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang sangat sengit antara kedua orang ini.
Ciong Ciangkun sendiri sudah memimpin para perwira pembantunya yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, untuk menyerang para murid Siauw-li pai, dibantu oleh pasukan mereka sehingga tempat itu menjadi hiruk pik uk oleh pertempuran, sementara api masih bernyala membakar tubuh Thian-cu Hw sio..
Para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, ol eh karena itu, Ciong Ciangkun dan kawan- kawannya merasa kewalahan. Apala karena mereka tidak mungkin dapat mengerahkan seluruh pasukan mereka y ang masih berada di luar. Tempat di serambi depan itu terlalu sempit untuk suatu pertempuran terbuka di mana lima ra tus orang pasukan itu dapat terjun semua. Kini,. yang terjun dalam pertempuran itu tidak lebih dari dua ratus orang pasukan saja, menghadapi kurang lebih enam puluh orang murid Sia lim-pai. Murid-murid Siauw-lim-ini, lihai, apalagi barisan Lo-han- dengan toya ditangan mereka merupakan barisan silat yang amat tangguh Mulailah anggauta pasukan berjatuhan terluka atau tewas oleh senjata di tangan para murid Siauw-lim-pai.
Perkelahian antara Lie Koan Tek melawan Cun Bin Tosu berjalan amat seru. Tidak ada anggauta pasukan yang membantu tosu itu. Hal ini tidaklah aneh. Para anggauta pasukan tentu saja t hanya membantu para perwira, dan tosu itu tidak mereka kenal, maka mereka tidak mau membantunya. Maka, perkelahian antara Lie Koan Tek dan Cun Bin Tosu berjalan seru tanpa pengeroyokan, satu lawan satu. Cun Bin Tosu terdesak hebat dan biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, tetap saja gulungan sinar rantai baja di tangan Lie Koan Tek mendesak dan menghimpitnya sehingga tosu itu terpaksa main mundur dan hanya dapat memutar pedang untuk menangkis dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran kedua ujung rantai baja di tangan lawannya.
"Singgggg !" Tosu itu mencoba untuk membalas ketika mendapatkan kesempatan. Pedangnya meluncur dan menyambar kearah tenggorokan lawan dengan tusukan kilat yang kuat dan cepat Lie Koan Tek miringkan tubuh menggeser kaki menjauh, rantai bajanya menyambar seperti ular ke arah pedang dan berhasil melibat pedang itu dengan ujung Rantai. Cun Bin Tosu terkejut dan barusaha menarik kembali pedangnya Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Lie Koan Tek untuk menendang kakinya ke arah lutut kaki kiri lawan. "Dukkk!" Tubuh tosu itu terjungkal. Dia terpaksa melepaskan pedangnya masih dilihat ujung rantai, lalu bergelingan menjauh Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, rantai itu melepaskan pedang dari libatannya dan pedang meluncur ke arah tubuh yang bergulingan.
"Ceppp!" Pedang menancap, memasuki lambung sampai hampir tembus, tewaslah Cun Bin Tosu.
Melihat betapa pasukannya tidak mampu mendesak lawan, dan banyak anggauta pasukan yang roboh, sedangkan para pembantunya juga terdesak dan ada yang menderita luka- luka, terpaksa Ciong Ciangkun memberi aba-aba agar pasukannya mundur. Dia sendiri mengajak para pembantunya untuk melarikan diri ke luar dari pekarangan vihara itu, masuk ke dalam pasukan yang masih menjadi di luar.
Para Murid Siauw-lim-pai tidak berani mengejar karena jumlah pasukan yang berada di luar banyak sekali, sedangkan jumlah mereka yang kurang lebih enam puluh orang itu kini sudah berkurang, karena ada beberapa orang murid yang terluka, bahkan ada yang tewas, dalam pertempuran itu, walaupun jumlah lawan yang luka atau tewas lebih banyak lagi. Mereka lalu mengurus jenazah Thian-cu Hwesio yang sudah menjadi arang, juga mengurus suadara-saudara yang tewas, dan merawat mereka yang terluka sambil bersiap-siap. Ciong Ciangkun tidak tinggal diam. Dia mundur hanya untuk mengatur siasat, Dia tahu betapa lihainya orang-orang Siauw- lim-pai. Kalau dia menyerbu dalam, akan sukar dapat mengalahkan para pendekar itu. Bertempur secara kucing- kucingan begitu tidak akan menang, karena dia tidak dapat mengerahkan pasukan untuk mengeroyok seperti kalau bertempur di tempat terbuka, Jalan satu-satunya adalah memancing murid Siauw-lim-pai itu keluar dari Vihara mereka, atau memaksa mereka keluar! Dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan api! "Siapkan barisan panah berapi!" teriaknya. Para pembantunya segera mereka persiapkan barisan panah berapi. Setelah mengatur pasukannya, Ciong Ciangkun yang merupakan seorang ahli siasat perang itu lalu mengadakan penyerbuan Sekali ini, yang menyerbu vihara adalah anak- anak panah dan diantaranya banyak anak panah berapi, Sementara itu, pasukannya mengepung vihara luar.
Siasatnya itu berhasil dengan baik. Sebentar saja vihara itu terbakar! Tentu saja para murid Siauw-lim-pai tidak mungkin dapat tinggal terus di dalam vihara. Mereka juga berusaha memadamkan kebakaran-kebakaran itu, namun mereka kalah cepat oleh api yang mulai berkobar besar di segala jurusan. Para murid itu menjadi kacau balau dan terpaksa berlarian keluar untuk menyelamatkan diri. Setiba mereka di luar, mereka disambut oleh pasukan pemerintah yang mengeroyok mereka!
Kini terjadilah pertempuran mati-Mian. Para murid Siauw- lim-pai itu kini membela diri untuk mempertahankan hidup mereka. Akan tetapi jumlah Musuhterlalu banyak, dan hati para murid Siauw-lim-pai ini sudah terlampau jeri sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi nekat untuk bertempur sampai mati!
Ketika Hek-bin Hwesio dan Pek I Lojin yang mendahului para hwesio dan tosu yang berlarian ke kuil Siauw-lim-mereka berdua bertemu dengan Lie Koan Tek dan lima orang sutenya. Enam orang murid utama Siauw-lim-pai ini keadaan luka-luka dan mereka segera menjatuhkandiri berlutut ketika mereka melihat Hek-bin Hwesio yang mereka tahu adalah suheng dan juga sahabat dari mendiang Thian-cu Hwesio.
"Lo-cian-pwe, malapetaka menimpa Siauw-lim-si" kata Lie Koan Tek dengan keringat bercucuran bercampur mata dandarah dari luka di lehernya. Hek-bin Hwesio mengangkat muka memandang ke puncak bukit. Api berkobar besar di puncak sana dan dia dapat menduga apa yang terjadi.
"Omitohud , vihara Siauw-li terbakar? Apa yang telah terjadi?"
"Vihara diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya, dikepalai Ciong Ciangkun yang ditemani seorang tosu yang melaporkan bahwa kami adalah pemberontak-pemberontak!" Bekata demikian, Lie Koan Tek memandang kepada Pek I Tojin dengan mata melotot penuh kemarahan "Siancai.......siancai. !” Pek Ilojin hanya merangkap kedua
tangan didepan dada.
Melihat sikap murid utama Sia-lim--pai itu, Hek-bin Hwesio segera berkata, "Jangan membenci para tosu, orang muda yang gagah. Baru saja pertikaian antara para hwesio dan para tosu sudah dapat dilerai dan didamaikan, berkat Kebijaksanaan Pek I Tojin ini. Segala permusuhan antara keduapihak mulai sekarang harus dilenyapkan. ”
“Akan tetapi, Lo-cian-pwe, kebakaran Siauw-lim-pai akibat serbuan pasukan pemerintah adalah karena hasutan mereka itu. "
"Andaikata benar demikian, kalian tidak bolehlalu memusuhi semua tosu! kesalahan seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membenci semua golongannya. Itu tidak adil namanya. Ke¬salahan seseorang adalah tanggung jawab g itu sendiri, bukan tanggung jawab anya, atau golongannya, atau sukunya, atau bangsanya.Kaulihat, itu pa¬ra sudaramu dan Susiokmu datang bersama denganpara tosu yang hendak membantu Vihantu Siauw-lim-si!"
Rombongan Thian Gi Hwesio bersama para muridnya dan para tosu yang tadinya menjadi musuh, datang ke tempat itu. "Lie Koan Tek, apa yang terjadi Kenapa vihara kita terbakar dan di mana Suheng Thian-cu Hwesio?" tanya Th'tfi G i Hwesio dengan muka pucat.
"Celaka, Susiok " Lie Koan Tek dan lima orang sutenya menangis. "Vihar dibakar, kami diserbu pasukan yang dipimpin Ciong Ciangkun, dan Suhu. Suhu telah tewas membakar
diri.......... ”
Lie Koan Tek dengan suara sedih lalu menceritakan semua yang terjadi, dan m nutup ceritanya dengan suara lirih, “
................... hanya teecu berenam yang sempat lolos agaknya semua ................ semua saudara telah tewas "
"Omitohud !'• Thian Gi Hwesio tebelalak, mukanya pucat sekali dan dia pun roboh pingsan!
Setelah Thian Gi Hwesio sadar, Lie Koan Tek lalu menceritakan tentang pingsan terakhir Thian-cu Hwesio bahwa semua murid Siauw-lim-pai tidak boleh memberontak, karena mereka adalah pendekar-pendekar yang menentang kejahaatan dan membela rakyat jelata yang terrtindas.
"Omitohud , betapa bijaksana mendiang Thian-cu Hwesio. Pinceng girang mendengar kebijaksanaannya itu di sa¬at terakhir hidupnya. Sesungguhnyalah, bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur, sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dan apa pun yang terjadi, semua itu sudah menurut garisnya yang benar,baik dan sempurna, walaupun akal budi kadang-kadang mengherankan semua itu. Jalan pikiran dan akal budi kita sama sekali tidak mampu untuk menjenguk inti dari arti yang paling men¬eluri dari setiap persoalan. Kita haya melihat kulitnya saja, luarnya saja dan kadang-kadang merasa betapa jangal dan tidak adilnya peristiwa yang terjadi. Kalau kita mampu menerima segala sesuatu, mengembalikan kepada kebijaksanaan dan kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka tidak ada permasalahan apa pun juga," kata Hek-bin Hwesio. "Siancai " Apa yang dikatakan oleh sahabatku Hek-bin Hwesio memang tepat sekali.
Kewajiban kita manusia hidup hanyalah berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan kekotoran dari diri lahir batin, namun segala keputusan berada di tangan Yang Maha Kuasa. Yang sudah mati biarlah mati, akan tetapi yang hidup berkewajiban untuk melanjutkan hidup ini melalui jalan benar. Vihara yang sudah musnah dapat saja sekali waktu dibangun kembali, permusuhan yang pernah terjadi dapat saja dilenyapkan dan diganti perdamaian. Tidak perlu ada dendam yang hanya akan meracuni batin kita dan mendatangkan kekeruhan saja,” kata Pek I Tojin.
Apa yang diucapkan kedua orang sakti ini memang benar. Jalan kehidupan kita ini penuh liku-liku, penuh perubahan dan kadang-kadang terjadi hal-hal yang menimpa diri kita yang kelihatan amat janggal, amat sukar dimengerti sebab- sebabnya. Jalan yang ditempuh oleh Tuhan sungguh penuh rahasia, gaib, kadang-kadang begitu jauhnya tak terjangkau oleh alam pikiran dan akal kita. Ada kalanya terjadi peristiwa yang menurut pertimbangan dan perhitungan akal kita, nampak janggal, bahkan nampak tidak adil! Akal pikiran kita melihat betapa seseorang yang kita anggap jahat dan patut dikutuk, bahkan hidup penuh kemuliaan, berkedudukan tinggi, terhormat, kaya raya, sehat dan selamat.
Sebaliknya, akal pikiran kita melihat betapa seseorang seseorang yang kita anggap baik dan patut dipuji, hidupnya serba kekurangan dan sengsara, tertindas, terhina, miskin dan papa! Kita me¬lihat pembesar yang hidupnya penuh ko¬rupsi, makmur dan nampak senang, se¬baliknya pembesar yang hidupnya jujur dan adil, nampak hidup serba kekurang¬an dan sama sekali tidak makmur. Kita melihat orang yang kita nilai baik hidup berpenyakitan sebaliknya orang yang kita lihat dan kita nilai buruk dan kotor, hidup sehat! Apalagi biasanya kita menilai diri kita ini sudah cukup baiik, sudah cukup mentaati hukum agama, sudah cukup berusaha menjadi orang yang baik, akan tetapi kita merasa be¬tapa hidup kita selalu sengsara! ini menimbulkan kekecewaan dan penasaran!
Kita lupa bahwa jalan pikiran hanyalah mendasarkan semua itu dengan nilai kebendaan, nilai kesenangan nafsu badani yang hanya sementara sifatnya. Kita tidak tahu bahwa di dalam batin orang yang kelihatan kaya raya dan senang, belum tentu berbahaya sebaliknya di dalam batin seorang petani miskin, belum tentu sengsara. Pikiran kita hanya merupakan gudang pengetahuan dan pengalaman. Pikiran akalnya tidak mungkin dapat menjangkau dan mengerti jalan yang diambil Tuhan. Kita tidak mempunyai kekuasaan apa pun atas diri kita sendiri sekalipun. Jalan satu-satunya hanyalah menyerahkan segalanya kepada-Nya. Apa pun yang kehendaki-Nya, pasti baik dan benar, walaupun bagi akal pikiran kita kadang-kadang dianggap buruk dan salah. Hanya orang yang mampu menerima segala suatu sebagai kehendak Tuhan, menerima segala apa sebagai suatu kenyataan yang wajar, sebagai apa adanya, tanpa keluhan, tanpa protes, tanpa penasaran atau kekecewaan, hanya orang seperti inlah yang dapat tersentuh sinar Kasih, dan dapat merasakan apa yang kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan!
Sisa-sisa murid Siauw-lim-pai terpaksa melarikan diri ceral- berai, menyadari hidup masing-masing. Siauw-lim-telah terbakar habis, rata dengan tanah,namun semangat kependekaran para muridnya masih tetap utuh dan dimana pun mereka berada, mereka selalu mengulurkan tangan untuk membela kaum lemah tertindas, dan menentang perbuatan jahat dalam bentuk apa pun dan dilakukan oleh siapapun.