Jilid 02

Sim lan Ci, yang mukanya berubah merah sekali karena teringat betapa ia telah menyerahkan diri bulat-bulat dan dengan suka rela kepada pemuda ini, betapa ia dirangsang oleh gairah yang memuncak, kini juga mengingat-ingat dan ternyata bahwa apa yang dialaminya persis seperti yang diceritakan pemuda itu kepadanya. Sampai lama ia termenung, kemudian ia mengangguk. 

“Aku ……. Aku percaya kepadamu.” Ia pun menjadi 

bersedih sekali karena ia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan keperawanannya dan hal ini bagi seorang wanita gagah sperti ia, lebih hebat daripada kematian.

“Ah, si jahanam Liu Bhok Ki!” Siang Lee berseru sambil mengepal tinju dan menghadap kearah pondok itu.

“Jelaslah sekarang, ini adalah perbuatannya. Dia merobohkan kita, membuat kita pingsan dan dalam keadaan pingsan itu, dia agaknya membawa kita kedalam pondok, diatas dipan kayu itu, dan agaknya dia menanggalkan pakaian kita dan meminumkan obat perangsang yang membuat kita berdua lupa segala. Tidak salah lagi Nona, itulah yang terjadi!”

“Jahanam Liu Bhok Ki!” Sim Lan Ci memaki dan ia pun mengepal tinju, percaya penuh bahwa memang demikianlah tentu yang telah terjadi dengan mereka.”

“Dia atau kita yang mati!” Tiba-tiba Siang Lee berseru dan dia pun sudah meloncat ke dalam pondok untuk mencari musuhnya, diikuti oleh Lan Ci yang sudah marah sekali.

Akan tetapi, mereka tidak menemukan Liu Bhok Ki dalam pondok itu, bahkan kepala Coa Kun Tian yang tadinya tergantung di tengah ruangan, dan kepala Phang Hui Cu yang terendam anggur dalam botol, tidak terdapat disitu. Yang  mereka temukan adalah pedang-pedang mereka yang berada diatas meja. Mereka segera mengambil pedang masing- masing akan tetapi untuk apa? Musuh mereka rsudah pergi.

Sim Lan Ci dengan pedang ditangan, berdiri didepan pembaringan dan menilhat noda merah tanda hilangnya kehormatannya sebagai seorang gadis, membuat ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangislah Lan Ci sesunggukan. Melihat keadaan gadis itu, Siang Lee berdiri bengong. Dia merasa kasihan, dan dia pun harus mengakui bahwa ia amat tertarik kepada gadis itu, apalagi membayangkan apa yang telah terjadi diantara mereka, membayangkan kemesraan sikap gadis itu, kemanisan dan kehangatannya. Dia merasa suka dan takkan malu untuk mengaku bahwa dia telah jatuh cinta seperti yang belum pernah dialaminya.

“Nona ………… maaf ……….. mengapa engkau menangis?” 

katanya lirih sambil menghampiri. Tangannya digerakkan, ingin rasanya untuk menyentuh, untuk memeluk dan menghibur hati gadis yang sedang berduka itu, namun dia tidak berani.

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Lan Ci membalikkan tubuh menghadapinya dengan air mata mengalir sepanjang kedua pipinya. “Mengapa? Engkau bisa Tanya mengapa? Aaahhh, bagimu seorang pria, peristiwa itu agaknya tidak berbekas apa-apa. Akan tetapi bagi aku dunia rasanya hancur. Aku telah ternoda, aku tertimpa aib, aku kehilangan kehormatan dan engkau masih bertanya mengapa? Uhu-

hu-huuuuh… ”

Siang Lee memandang bingung dan merasa semakin iba kepada gadis yang kini menangis tersedu-sedu sambil menutupi muka dengan kedua tangan itu. gadis itu gagah perkasa, berilmu tinggi akan tetapi sekarang menangis seperti anak kecil. “Nona, dengarlah baik-baik. Aku Coa Siang Lee, cucu ketua Hek-houw-pang sejak kecil sudah mendapat didikan agar menjadi orang gagah yang bertanggungjawab. Biarpun apa yang terjadi diantara kita tadi bukan merupakan perbuatanku yang kusengaja atau kusadari, biarpun hal itu terjadi karena kita berdua terjebak perangkap musuh, namun Coa Siang Lee bukan orang yang tidak bertanggungjawab.

Aku mempertanggungjawabkan perbuatanku, nona. Dan kalau sekiranya engkau setuju…….. aku aku ingin 

mengambilmu sebagai isteriku. Nah, dengan demikian, aib itu akan lenyap dari dirimu, Nona.”

Mendengar ucapan ini, lan Ci menurunkan kedua tangannya dan untuk sesaat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, ia mengusap kedua matanya. Berapa kali, mengeringkan air matanya. Ia ingin melihat apakah ucapan itu keluar dari hati sanubari pemuda yang tampan dan gagah!

Biarpun hal itu belum cukup untuk membuat ia jatuh cinta, akan tetapi setelah apa yang terjadi antara mereka tadi, tidak ada jalan lain yang lebih baik daripada kalau mereka menjadi suami isteri yang sah! Iapun samara-samar teringat akan kemesraan diantara mereka tadi, dan wajahnya kembali menjadi semakin merah.

“Kau kau ingin menjadi suamiku hanya karena 

kasihan dan ingin menghindakan aku dari aib? Kalau begitu, perjodohan antara kita hanya seperti permainan sandiwara saja?” tanyanya mengambil jalan lain untuk menjenguk isi hati pemuda itu.

“Ah, tidak, nona. Terus terang saja aku telah amat tertarik dan kagum kepadamu sejak kemunculanmu tadi, dan    

Setelah apa yang terjadi antara kita dan diluar kesadaran kita, aku aku suka dan aku cinta kepadamu. Tentu saja kalau 

tidak terjadi peristiwa itu, aku tidak akan berani begitu lancing mengakui hal itu.” Wajah lan Ci semakin merah dan jantungnya berdegup karena girang. Bukan saja ia akan mendapat jalan keluar untuk terhindar dari aib, akan tetapi juga ia mendapatkan seorang calon suami yang mencintainya.

“Be……..benarkah ……….. kata-katamu itu…..?” katanya, suaranya agak gemetar dan ia menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

Terdorong oleh perasaan hatinya, Siang Lee melangkah maju mendekati, kemudian dengan hati-hati dia menyentuh pundak gadis itu. tidak ada penolakan dan dilain saat dia telah merangkul dan memeluk tubuh gadis itu, mendekap kepala gadis itu, kedadanya. “Perlukah aku bersumpah?” bisiknya.

Lan Ci tidak menjawab melainkan menekan mukanya pada dada pemuda itu sambil membayangkan kemesraan tadi dan hatinya terasa girang bukan main.

“Aku, aku percaya kepadamu. Tapi kita belum saling 

berkenalan… ”

Mendengar ucapan ini, Siang Lee tertawa dan Lan Ci juga tertawa. Keduanya tertawa gelid an rngkulan mereka menjadi semakin erat.

“Ha-ha, sungguh lucu sekali. Kita belum saling berkenalan, belum saling mengenal nama, akan tetapi sudah sudah 

………..”

“Sudah apa?” Lan Ci bertanya sambil mencubit. “Sudah seperti suami isteri. Dewiku yang tercinta, 

perkenalkanlah, aku bernama Coa Siang Lee. Ayahku Coa 

Kun Tian dibunuh oleh Liu Bhok Ki, ketika aku masih berada dalam kandungan ibuku, dan ayahku adalah putera ketua Hek- Houw-pang. Kini ibuku dan kakekku di Hek-houw-pang yang  berada di dusun Ta-bun-cung, di sebelah selatan kota Po- yang, di lembah sungai kuning. Usiaku dua puluh satu tahun. Nah, sekarang bagianmu, moi-moi.”

Tanpa melepaskan mukanya yang bersandar pada dada pemuda itu, Lan Ci memperkenalkan diri. 

“Namaku Sim lan Ci, usiaku delapan belas tahun. Ibuku seorang janda bernama Phang Bi Cu, didunia persilatan dikenal dengan julukan Ban-to Mo-li. Kami tinggal di Ceng- houw, di propinsi Shantung, aku datang untuk membunuh Liu Bhok Ki karena dia telah membunuh bibiku, adik ibuku yang bernama Phang Hui Cu, yang dahulu adalah isterinya.”

“Ah, maksudmu… Yang kepalanya berada dalam botol 

anggur itu?’ Tanya Siang Lee.

“Benar, dan bukankah yang tergantung di tengah itu kepala ayah kandungmu?” Tanya pula Lan Ci.

Siang Lee mengangguk. Keduanya diam. Mereka sama- sama tahu bahwa kedua orang itu dibunuh karena telah berzina.

Tanpa melepaskan pelukannya, Siang Lee berkata, “Agaknya …….. Ayah kandungku itu dan bibimu mereka 

saling mencinta.”

Lan Ci memepererat dekapannya. “Agaknya begitu. Dan kulihat muka ayahmu itu sama benar dengan wajahmu    

Koko !”

Disebut koko dengan suara demikian mesra, Siang Lee gembira bukan main. Dia memegang dagu dari muka yang bersandar pada dadanya itu, diangkatnya dan dia pun mencium mulut gadis itu, disambut oleh Lan Ci dengan mesra. “Dan aku melihat bahwa bibimu itu persis wajahmu, sama cantik jelita dan manis.”

Lan Ci tersenyum. “Kalau begitu pantas kalau mereka itu saling jatuh cinta !”

Mereka berciuman lagi dan sambil bergandengan tangan, mereka lalu keluar dari dalam pondok. 

“Lee-koko, sekarang marilah kau ikut bersama aku untuk menghadap ibuku, akan kuperkenalkan kepada ibu, sebagai calon mantunya.”

“Nanti dulu, Ci-moi. Karena tempatku lebih dekat, tidakkah sebaiknya kalau kita pergi menghadap ibuku dan kakekku lebih dulu? Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka dan akan kuberitahukan mereka tentang keadaan kita, setelah itu, baru aku minta kakek dan ibuku mengajukan pinangan kepada ibumu secara resmi dan kita pergi menghadap ibumu.”

“Baiklah, koko. Dan setelah itu baru kita berdua pergi mencari musuh besar kita itu. kita berdua akan membunuhnya.”

“Benar, hanya melihat kelihaian Liu Bhok Ki, sebaiknya kalau kita minta bantuan orng-orang yang lebih pandai.”

“Aku akan mencoba membangkitkan kemarahan ibuku agar ia suka pergi menghadapi Liu Bhok Ki. Agaknya ibu akan mampu menandinginya dan mengalahkannya.”

Sambil bergandengan tangan, kedua orang muda itu meninggalkan pondok sunyi di lembah sungai Huang-ho itu. setelah membakarnya sebagai pelampiasan kemarahan mereka, dan Siang Lee menggali sebuah lubang besar dibantu oleh Lan Ci untuk mengubur jenazah tiga belas orang murid Hek-houw-pang. Setelah mereka pergi, menjelang malam barulah Liu Bhok Ki keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk gembira. Semua rencananya berjalan dengan baik sekali. Mereka berdua akan menjadi suami isteri. Bagus pikirnya. Dengan demikian, maka akan ada kesempatan baginya untuk membalas dendam secara memuaskan kelak. Dan dia pun tidak peduli melihat pondoknya dibakar orang dan dia pun pergi meninggalkan tempat itu, membawa buntalan yang terisi pakaian, juga dua buah kepala berada dalam buntalan itu.

Kepala Coa Kun Tian yang telah kering dan kepala Phang Hui Cu yang masih terendam anggur dalam botol besar!.

oooOOooo

Pada waktu itu, yang menguasai Tiongkok sebelah utara dan sebagian besar daerah tengah adalah Kerajaan Sui (581- 681). Setelah zaman Sam Kok (221-265), Tiongkok dilanda perang saudara yang tiada henti-hentinya. Negara itu terpecah-belah. Setiap orang gubernur atau jenderal yang berkuasa di suatu daerah, membentuk wangsa-wangsa sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling gempur, maka terjadilah perang saudara yang kacau balau, memperebutkan wilayah dan kekuasaan.

Keadan ini membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa asing dari utara dan barat untuk menyerbu ke pedalaman Tiongkok. Mereka adalah bangsa Sui-nu, Turki, Tibet dan bangsa Toba. Masih banyak lagi bangsa-bangsa nomad yang kecil-kecil menyerbu masuk dan menduduki wilayah kecil- kecil.

Rakyatlah yang menjadi korban perebutan kekuasaan diantara para pembesar itu. kekacauan dan keadaan perang saudara seperti ini terjadi sampai berabad-abad lamanya sehingga catatan sejarah pun lenyap dalam kekacauan itu. Pada tahun 581, seorang penguasa bernama Yang Cian berhasil mempersatukan para raja kecil yang saling berebut kekuasaan itu dan berdirilah wangsa baru, dinasti baru yang diberi nama dinasti atau kerajaan Sui. Mulailah Kaisar Yang Cian ini menyusun kekuatan dan berhasil mengamankan seluruh daerah dan rakyat mulai dapat hidup teratur dan tentram setelah selama beberapa generasi menderita terus- menerus sebagai akibat perang saudara yang tiada hentinya.

Kaisar Yang Cian adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pendai. Dia menghapuskan beban rakyat berupa pajak- pajak yang tadinya secara semena-mena ditetapkan oleh penguasa setempat untuk menggendutkan perut sendiri, menggantikan dengan aturan pajak yang adil bahkan cukup ringan bagi rakyat.

Hokum Negara pun diadakan dan dijalankan dengan baik. Bahkan kaisar yang bijaksana ini mementingkan kebutuhan rakyat petani, maka dia pun memelopori usaha penggalian terusan-terusan yang menghubungkan Sungai Kuning (Huang- ho) dengan Sungai Yang-ce. Bukan hanya ini saja usaha Kaisar Yang Cian, bahkan dia pun memperkuat Negara dan mengembalikan kedaulatan Negara dengan menundukkan kembali daerah-daerah yang tadinya dirampas oleh bangsa- bangsa asing. Diantaranya, dia mengirim pasukan besar dan menundukkan kembali daerah Tongkin dan An-nam di selatan. Karena itu, sekali lagi Tiongkok menjadi sebuah Negara besar yang wilayahnya luas.

Kaisar Yang Cian meninggal dunia dalam tahun 604, dan pemerintahan dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Yang Ti. Kaisar baru ini melanjutkan usaha yang dirintis ayahnya, bahkan lebih aktif lagi daipada ayahnya. Dia memperluas penggalian terusan-terusan anatara Huang-ho dan Yang-ce, bahkan diteruskan sampai ke Hang-couw. Bukan ini saja, bahkan dalam hal memperluas wilayah dan merebut kembali wilayah-wilayah di pinggiran yang tadinya dikuasai bangsa asing diapun amat aktif. Dia seringkalai memimpin sendiri  pasukan-pasukan besar, memerangi bagsa Toba, Turki dan Mingol.

Kaisar Yang Ti terkenal sebagai seorang kaisar yang gagah perkasa dan mencintai rakyatnya. Dia berpendapat bahwa sebuah pemerintahan tiada bedanya dengan sebatang pohon. Kekuatan dasar pohon itu terletak pada akar-akarnya yang harus dengan kokoh kuat tertanam didalam tanah samapai dalam. Demikian pula dengan pemerintahan, kekuatannya terletak pada rakyat jelata. Pemerintah yang mencintai dan dicintai rakyat, yang mempunyai hubungan mendalam dengan rakyat, pastilah menjadi pemerintah yang kuat. Kekuatan ini yang akan menyuburkan pohon melalui akar-akarnya. Dan kalau pohonya subur, tentu ranting-rantingnya juga subur, dan akan menghasilkan bunga dan buah yang amat baik. Demikian pula, kalau pemerintahan kuat, kalau pemimpinnya yang tertinggi bijaksana dan dicinta rakyat, tentu akan muncul pejabat-pejabat yang bijaksana dan baik pula, dan pemerintahan itu akan menjadi sehat, subur dan menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Saying bahwa kadang-kadang manusia lupa akan dirinya kalau sudah mabuk kekuasaan. Bukan hanya arak yang memabukkan, akan tetapi juga semua hal yang mendatangkan kesenangan dapat memabukkan seseorang. Harta, nama, kekuasaan dapat membuat orang menjadi mabuk dan lupa diri. Demikian pula halnya dengan Kaisar Yang Ti. Saking semangatnya, saking senangnya melihat kemajuan-kemajuan dan hasil-hasil yang diperolehnya, dia lupa diri dan mulailah terjadi tindakan yang berlebihan. Untuk membangun terusan- terusan yang merupakan pekerjaan besar, berat dan sukar, demi melihat segera tercapainya hasil baik, dia melakukn tekanan kepada bawahannya sehingga para bawahan itu pun mulai menekan kebawah lagi.

Akibatnya, banyak rakyat dipaksa bekerja berat untuk membangun pembangunan terusan. Semacam kerja paksa atau kerja rodi ! tentu saja hal ini tidak diketahui oleh kaisar yang selalu sibuk itu. dan mulailah terdapatgolongan yang tidak setuju, bahkan mulai membenci pemerintah, terutama di kalangan para pendekar yang selalu memperhatikan keadaan rakyat jelata.

Memang benar bahwa terusan itu dibangun demi kepentingan pertanian, akan tetapi caranya membangun itu yang tidak menyenangkan hati para pendekar karena banyak rakyat yang ditekan, bahkan banyak pula yang menjadi korban dan tewas dalam pembangunan yang amat besar itu.

Dan timbullaah semacam dongeng diantara rakyat bahwa tentu akan ada anak naga yang keluar dari sungai Kuning. Biasanya, kalau terjadi sesuatu yang besar, tentu akan muncul seekor anak naga di bagian sungai itu yang dinamakan Pusaran naga! Tempat itu merupakan sebuah kedung, bagian yang dalam dari sungai itu, di sebuah tikungan dan disitu terdapat pusaran yang amat kuat arusnya. 

Para nelayan tidak ada yang berani melintasi arus pusaran ini apabila sedang pasang, dan dalam keadaan biasa pun nelayan selalu menjauhi pusaran yang berada di tengah- tengah sungai yang membelok itu.

Ada yang mendongengkan bahwa pusaran ini menembus sampai kelaut timur. Entah sudah berapa banyak perahu yang tiba-tiba diserang air berpusing itu dan lenyap bersama para penumpangnya, tersedot kedalam pusaran dan terus kebawah entah kemana. Dan ditempat itulah dikabarkan munculnya anak naga selama beberapa puluh tahun sekali, atau kalau ada terjadi hal-hal besar yang menggegerkan rakyat. Dan setiap kali tanda-tandanya, yaitu bahwa pusaran itu pasang dan sedang keras-kerasnya sehingga air berpusing keras di tempat itu. 

Tentu saja ada sebab-sebab yang tidak diketahui rakyat mengapa terjadi pusingan air yang demikian kerasnya pada waktu-waktu tertentu pula. Mungkin sekali ada hubungannya  dengan perubahan musim, dengan bergantinya musim hujan dengan musim kering, atau bergantinya musim dingin yang digantikan musim panas. Mungkin ada pula terjadi pergerakan di bawah tanh, tepat di bawah air berpusing di Sungai Kuning itu.

Yang jelas, berita bahwa pada tahun itu akan muncul anak naga, segera terdengar oleh dunia kang-ouw dan tentu saja orang-orang yang paling tertarik oleh berita ini adalah para tokoh dunia persilatan. Hanya orang-orang dunia persilatan yang memiliki ilmu silat yang tinggi, ilmu kepandaian yang hebat saja merasa tertarik dan berani mendatangi tempat itu. dan hanya orang-orang dunia persilatan saja yang berkepentingan dengan munculnya anak naga itu, untuk diperebutkan karena anak naga itu dianggap memiliki khasiat yang mukjijat bagi orang-orang dunia persilatan itu.

Bagi rakyat jelata, mendengar adanya berita tentang anak nagaa itu saja sudah mendatangkan rasa takut. Apalagi semua orang tahu belaka betapa berbahaya pusaran air di Sungai Kuning itu yang mereka sebut Pusaran Maut. Lebih lagi dengan berkumpulnya banyak tokoh dunia persilatan, tentu saja diantara mereka banyak pula tokoh kaum sesat disamping kaum pendekar, rakyat jelata semakin tidak berani mendekati. Biasanya, kalau terjadi pertemuan antara kedua pihak itu, ada atau tidak adanya anak naga, tentu akan terjadi perkelahian besar-besaran dan rakyat merasa lebih aman kalau menjauhi tempat seperti itu.

Memang mirip dongeng, akan tetapi nyata karena pada suatu hari, kedua tepi sungai besar itu nampak sibuk dengan banyak orang berdatangan dan hilir-mudik, lalu mereka semua itu menuju ketepi dimana terdapat pusaran air yang dihebohkan itu.

Besok malam adalah malam bulan purnama, sat dimana anak naga akan muncul, demikian menurut cerita dari mulut ke mulut dan turun temurun. Akan tetapi sehari sebelumnya,  sudah banyak orang berkeliaran di sekitar tempat itu! dan bermacam-macam orang yang bermunculan disitu. Banyak diantara mereka yang kelihatan menyeramkan, baik mukanya maupun pakaiannya yang aneh-aneh dan nyentrik. Ada pula yang berpakaian pengemis, pendeta, ada yang berpakaian sastrawan. Akan tetapi, mudah diduga bahwa mereka ini bukanlah pendeta, pengemis atau sastrawan biasa, karena biasanya siapa yang berani datang ke tempat itu, sudah pasti orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi atau setidaknya yang merasa memiliki kelihaian.

Diantara para toh kang-ouw yang aneh-aneh yang nampak berkeliaran di tempat itu, terdapat seorang laki-laki setengah tua yang tinggi besar dan gagah perkasa, namun berpakaian sederhana sekali. Tidak seperti orang-orang lain, laki-laki tinggi besar ini sejak muncul hanya duduk saja di tepi sungai dan selain sebuah buntalan besar yang diturunkan dari punggung dan diletakkan diatas tanah di dekatnya, dia pun membawa dua buah papan tebal. 

Dia duduk bersila dan matanya dipejamkan, kadang- kadang dibuka untuk memandang kearah sungai dimana mulai terdapat orang-orang berperahu, akan tetapi selalu menjaga agar perahu mereka tidak memasuki daerah pusaran yang amat berbahaya itu, yang berada di tengah Sungai.

Laki-laki itu bukan lain adalah Liu Bhok Ki. Seperti kita ketahui, dia terluka oleh pedang Cui-mo Hek-kiam ditangan Sim Lan Ci, dan racun pedang ini jahat bukan main. Pengobatan biasa ditambah pengerahan sinkangnya tidak mampu mengusir hawa racun yang mengeram di pundaknya, dan karena menurut ucapan Sim Lan Ci, selain obat penawar yang ada pada ibunya, Ban-tok Mo-li, juga mustika di kepala naga akan dapat menyembuhkannya, maka Liu Bhok Ki segera pergi ke Pusaran Maut untuk ikut memperebutkan anak naga. Kebetulan sekali kemunculan anak naga yang diharap- harapkan itu akan terjadi, hanya beberapa hari setelah dia terluka dan tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari Pusaran Maut itu, hanya perjalan tiga hari saja. Diapun mengharapkan bahwa berita tentang anak naga itu akan menarik pula wanita yang berjuluk Ban-tok Mo-li ke tempat itu.

Dengan demikian, maka ada dua kemungkinan baginya untuk menyembuhkan lukanya. Pertama, merebut anak naga kalau benar muncul, dan kedua mencari Ban-tok Mo-li dan minta obat penawarnya! Dia pun sudah siap dengan sebuah perahu kecil yang disewanya dari seorang nelayan, diikatnya di sebuah patok dan dia akan mempergunakannya kalau perlu.

Karena sudah dua puluh tahun lebih Liu Bhok Ki tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Dia sendiri masih mengenal beberapa orang yang kebetulan lewat disitu, antaranya Kiu-bwe-houw (Harimau kor Sembilan) Gan Lok, seorang jagoan dari Tai- goan, aliran utara yang dulu pernah bentrok dengan dia hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

Ada pula Kim-kauwpang Paouw In Tiang, ahli tongkat emas yang lihai ilmu tongkatnya, jagoan dari Luliang-san. Kedua orng ini usianya sekitar lima puluh dua sampai lima puluh lima tahun, tidak banyak selisihnya dengan usianya sendiri, namun karena sudah dua puluh tahun lebih tidak pernah bertemu, maka mereka itu agaknya sudah lupa padanya. 

Dia dulu adalah seorang pemuda yang ganteng dan berpakaian rapi, tidak seperti sekarang, seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana, mendekati pakaian jembel. Diapun mengenal Tung-hai Cin-jin, seorang tosu perantau dari pantai timur yang bertubuh pendek kecil itu. Dia masih ingat betapa lihainya tosu ini yang sekarang sudah berusia tujuh puluh tahun dan masih nampak gesit dan sehat. Ada lagi seorang yang amat mudah dikenalnya. Orang ini berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan  pakaiannya pengemis. Akan tetapi Liu Bhok Ki tahu bahwa orang itu bukanlah jembel sembarangan, melainkan berjuluk Sin-Ciang Kai-ong (Raja Jembel Bertangan Sakti), seorang datuk dari Hok-kian yang lihai sekali ilmu tangan kosongnya. Masih banyak yang dapat dikenalnya di tempat itu dan diam- diam dia merasa ikut gembira. Akan ramai sekali nanti kalau benar-benar ada anak naga yang muncul di permukaan air yang berbahaya itu.

Tiba-tiba dia melihat serombongan orang yang alisnya berkerut. Sialan, pikirnya karena dari jauh dia sudah mengenal bahwa rombongan Hek-houw-pang. Dia mengenal gambar harimau hitam didada baju mereka. Dia tidak ingin terjadi keributan selagi dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada kemunculan anak naga, maka diapun cepat memanggul buntalan dan papan, dibawanya ke perahu, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian diapun mendayung perahunya ke tengah, akan tetapi tentu saja diapun menjauhi daerah Pusaran Maut karena biarpun seorang yang berkepandaian tinggi, menghadapi pusaran maut di hanya akan menjadi permaian yang tidak ada artinya. 

Liu Bhok Ki mencari tepi sungai yang sunyi untuk dipakai tempat melewatkan malam. Besok malam baru bulan purnama akan muncul dan kabarnya, anak naga itu akan muncul apabila bulan sedang purnama, tepat ditengah malam, dan kemunculannya pun hanya beberapa jam saja, lalu lenyap kembali kedalam pusaran maut.

Makin banyak orang berdatangan pada keesokan harinya. Liu Bhok Ki tetap menjauhkan diri dari keramaian. Dan jelas nampak betapa para tokoh kangouw yang brkeliaran di tempat itu, kini untuk mempersiapkan diri. Makin dekat malam bulan purnama itu, makin tegang suasananya. Menjelang senja, banyak sudah perahu-perahu berseliweran akan tetapi selalu menjauhi daerah pusaran maut. Menurut dongeng, anak naga itu akan keluar dai pusaran maut dan akan berenang keluar dari daerah pusaran air, bermain-main dan mencari ikan,  setelah kenyang makan ikan, baru akan kembali ke Pusaran Maut.

Diantara perahu-perahu itu, terdapat dua buah perahu dan penumpang lain! Semua perahu ditumpangi oleh tokoh-tokoh kang-ouw, mereka yang sengaja mencoba peruntungan mereka, barangkali “Berjodoh” dengan anak naga yang diperebutkan. Setidaknya, mereka datang untuk melihat keadan dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Akan tetapi, dua buah perahu itu ditumpangi oleh dua keluarga dari dusun yang berlainan. Hanya kebetulan saja perahu mereka bertemu di dalam pelayaran dan mereka saling berkenalan lalu melanjutkan pelayaran bersama-sama dalam dua perahu agar lebih aman.

Sebuah diantaranya ditumpangi dari dusun Hon-cu. Si Kian berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Karena dia ditekan oleh pejabat daerahnya untuk ditarik sebagai pekerja paksa dan dikirim ke tempat pembangunan terusan sungai, dia nekat melarikan diri bersama isterinya dan seorang puteranya yang bernama Si Han Beng yang berusia dua belas tahun. Dia mendayung sendiri perahunya dibantu oleh Si Han Beng. Ayah dan anak ini tinggal di Lembah Sungai Juning, maka mereka tidak asing dengan pekerjaan mendayung perahu. Akan tetapi karena tempat tinggal mereka jauh dari Pusaran Maut, mereka tidak pernah mendengar tentang tempat berbahaya itu. dia terpaksa melarikan diri karena sudah mendengar betapa banyak orang dusun yang tadinya dibujuk untuk bekerja di terusan, tidak dapat kembali ke dusunnya, bahkan banyk yang kabarnya mati di tempat pekerjaan mereka.

Adapun keluarga kedua adalah keluarga Bu Hok Gi. Berbeda dengan si Kian, Bu Hok Gi seorang pejabat melarkan diri karena ditekan oleh atasannya, dipaksa untuk dapat mengumpulkan sedikitnya dua puluh lima orang laki-laki dari dusunnya dijadikan pekerja paksa dengan ancaman dia akan ditangkap dan dihukum kalau tidak berhasil mendapatkan  jumlah itu. Bu Hok Gi teringat akan kakaknya seorang pejabat tinggi dan dia melarikan diri hendak mengunjungi kakaknya dan minta bantuan kakaknya agar dia terlepas dari ancaman atasannya.

Kedua keluarga ini, yang masih tinggal di satu daerah karena dusun mereka bertetangga, bertemu di dalam pelayaran ketika keduanya berhenti melewatkan malam di sebuah dusun tepi sungai. Setelah mereka salaing memperkenalkan diri dan tahu bahwa keduanya menjadi korban peraturan kerja paksa, kedua pihak merasa senasib dan mereka pun bersahabat. Keluarga Bu pergi melarikan diri karena takut atasan, sedangkan keluarga Si Takut kepada kepala dusun yang mengharuskan Si Kian menjadi pekerja paksa. Bu Hok Kian pergi bersama seorang isteri dan seorang anak perempuan yang bernama Bu Giok Cu dan berusia sepuluh tahun. Masih ada lagi seorang pembantu yang bertugas mengantar dan mendayung perahu.

Demikianlah, pada sore hari itu, mereka tiba di daerah yang amat ramai diluar pusaran Maut. Tentu saja kedua keluarga ini merasa heran melihat keramaian di tempat itu, betapa banyak perahu berseliweran. Karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain, dan mereka dua keluarga sedang melarikan diri sehingga takut kalau-kalau dikenal orang walaupun tempat itu jauh sekali dari dusun mereka dan mereka sudah melakukan pelayaran selama setengah bulan lebih, maka kedua keluarga itu bersepakat untuk meminggirkan perahu mereka ke tempat yang agak jauh.

Hari sudah mulai gelap dan mereka ingin melewatkan malam di tepi sungai yang sepi. Juga perbekalan makan mereka sudah menipis dan mereka ingin mencari bekal makan tambahan dengan membeli di pedusunan tepi sungai.

Bu Hok Gi dan Si Kian segera meninggalkan keluarga mereka setelah perahu mereka didaratkan dan mereka memesan kepada keluarga masing-masing agar berkumpul di  tepi sungai yang sunyi itu dan jangan pergi kemana-mana, menanti sampai mereka berdua kembali. Mereka berdua berlalu pergi ke perkampungan di tepi sungai sebelah bawah yang menjadi pusat keramaian orang-orang yang berkumpul di tempat itu.

Ketika mereka tiba di perkampungan itu, mereka melihat ramai-ramai diantara perahu-perahu yang hilir mudik di bagian pinggir. Karena tertarik, mereka pun ikut meonton dan berdiri diantara banyak orang di tepi sungai. Cuacana masih belum gelap benar sehingga mereka pun dapat melihat apa yang sedang terjadi.

Seorang laki-laki setengah tua yang berperahu seorang diri, nampak dikejutkan dan dikurung oleh empat buah perahu yang masing-masing ditumpangi empat orang! Dan jelas nampak betapa enam belas orang itu mengancam pria setengah tua yang perahunya kini terkurung di tengah-tengah.

Belasan orang itu sudah mengeluarkan senjata dan perahu mereka bergerak semakin dekat. Ada gambar harimau kecil di baju enam belas orang itu, di bagian dada. Mereka adalah orang-orang Hek-houw-pang yang datang ke tempat itu karena tertarik pula akan berita kemungkinan munculnya anak naga di permukaan Pusaran Maut.

Tak mereka sangka, sebelum tengah malam bulan purnama tiba, mereka melihat musuh besar mereka, Liu Bhok Ki, berada disitu, naik perahu seorang diri! Tentu saja begitu melihat musuh besar ini, belasan orang itu pun segera mengepung dengan perahu mereka. 

Diwajah mereka terbayang penuh kegeraman dan kebencian, dan mereka merasa gembira karena kini mengharapkan akan dapat membunuh musuh besar itu. kalau di daratan, beberapa kali usaha Hek-houw-pang gagal dan jatuh korban banyak diantara para murid Hek-houw-pang. Akan tetapi kini mereka berada di permukaan sungai, diatas  perahu dan mereka mengharapkan musuh besar itu tidak akan mampu meloloskan diri pembalasan mereka.

Tentu saja para tokoh kang-ouw, para tokoh dunia persilatan yang berada disitu tahu akan sikap orang-orang Hek-houw-pang itu yang mengepung laki-laki setengah tua yang tidak dikenal itu. mereka semua tertarik, merasa tegang dan maklum bahwa akan terjadi perkelahian yang menarik. Maka, perahu-perahu segera minggir dan nonton dari jauh, sedangkan orang-orang yang berada di daratan, segera berkumpul di tepi sungai untuk menonton pertunjukan yang amat menarik bagi mereka itu. tidak ada pertunjukan yang lebih menarik daripada perkelahian bagi orang-orang dunia persilatan itu.

Liu Bhok Ki tentu saja tahu bahwa perahunya dikepung oleh empat buah perahu orang-orang Hek-houw-pang, akan tetapi dia bersikap tenang saja, bahkan mendayung perahunya ke tengah, mendekati daerah pusaran maut. Makin dekat daerah itu, airpun mulai beriak dan terdengar suara angin besar. Dia mendayung dan duduk ditengah perahu, kelihatan tenang seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Buntalan besar berada diatas punggungnya.

Setelah empat buah perahu itu mengepung dalam jarak dekat, tiba-tiba Liu Bhok Ki bangkit berdiri diatas perahunya, berdiri tegak dan dayung itu masih berada ditangannya. Agaknya gerakan ini menjadi isyarat bagi enam belas anggota hek-houw-pang untuk bergerak menerjang setelah perahu mereka yang masih meluncur itu dekat benar dengan musuh. Akan tetapi, pada saat belasan orang itu melakukan gerakan menyerang dari empat penjuru, tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki meloncat keatas meninggalkan perahunya dan dia melompati kepala orang-orang dalam perahu di depannya dan urun di sebelah belakang mereka. Ternyata kedua kaki Liu Bhok Ki telah dipasangi papan yang ditalikan dengan betisnya, dan ketika tubuhnya turun keatas air, tubuh itu tidak tenggelam melainkan berdiri diartas kedua lembar papan it! Hal ini tidak  nampak oleh para anggota Hek-houw-pang karena selain gerakan Liu Bhok Ki amat cepat juga cuaca sudah mulai gelap. Mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga melihat betapa musuh besar itu dapat berjalan diatas air!

Akan tetapi, keheranan mereka berubah menjadi kekagetan dan kepanikan ketika tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki melayang diatas permukaan air kea rah mereka, dan pendekar ini sudah mengayun dayung di tangannya, menyerang mereka!

Repotlah belasan orang itu ketika diserang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengira Liu Bhok Ki dapat “berjalan” diatas air dan serangan orang tinggi besar itu memang hebat sekali.

Biarpun anggota hek-houw-pang mencoba untuk menangkis dengan pedang dan golok mereka, tetap saja mereka terpukul atau terdorong dari atas perahu mereka, jatuh terlempar kedalam air! Dan karena sudah berada di daerah Pusaran air, maka tubuh mereka segera terseret oleh arus air yang dasyat. 

Tubuh Liu Bhok Ki terus melayang dari perahu ke perahu dan dalam waktu sebentar saja, tubuh enam belas orang itu telah terpelanting semua ke dalam air dan mereka terbawa arus air kearah pusat pusaran. Enam belas orang itu mati- matian berenang untuk membebaskan diri dari arus, namun sia-sia belaka. Tubuh mereka terseret semakin cepat dan arus itu kuat sekali. Mereka berteriak-teriak, menjerit dan melolong, namun sia-sia belaka karena arus itu lebih kuat. Bukan hanya tubuh enam belas orang itu yang hanyut oleh arus air pusaran, juga empat perahu mereka mulai terseret!

Setelah melihat betapa semua lawannya terseret arus, Liu Bhok Ki meloncat kembali kedalam perahunya, menggunakan dayungnya dengan kekuatan sepenuhnya dan akhirnya dia berhasil membawa perahunya terbebas dari arus pusaran air dan menjauhkan diri dari tempat itu agar tidak menjadi pusat perhatian orang yang sejak tadi menonton dengan penuh  kagum, bahkan mereka bertanya-tanya siapa adanya laki-laki setengah tua yang demikian lihaynya! Sukar dipercaya bahwa enam belas orang anggota Hek-houw-pang yang terkenal gagah perkasa itu akan menemui maut sedemikian cepatnya ketika mengeroyok orang itu!

Sementara itu, kalau orang-orang kang-ouw itu gembira nonton perkelahian tadi, Si Kian dan Bu Hok Gi saling pandang dengan muka pucat. Tak mereka sangka bahwa di tempat itu akan terjadi perkelahian dan pembunuhan demikian banyaknya orang, tanpa seorangpun menolong mereka yang hanyut tadi. Diam-diam mereka lalu meninggalkan pantai, menuju ke darat untuk mencari kebutuhan mereka akan bekal makanan.

Dua orang dari dusun yang masih berdebar-debar penuh ketegangan dari ketakutan itu, menuju ke sebuah kedai yang mulai memasang lampunya. Agak sunyi disitu karena sebagian besar orang masih berkumpul di tepi sungai.

Mereka tiba di depan kedai yang agaknya menjual makanan dan minuman itu, keduanya berhenti dan merasa ragu-ragu untuk masuk karena mereka melihat beberaapa orang berada di ruangan depan kedai itu.

Ada seorang wanita cantik duduk diatas bangku, mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas yang indah sekali. Wanita itu sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah empat puluh tahun, akan tetapi mungkin pula baru tiga puluh tahun. Wajahnya cantik dan pesolek, pakaiannya indah pula, akan tetapi kecantikannya itu sama sekali tidak cerah, bahkan menyeramkan karena ada sikap yang dingin sekali, dingin dan angkuh. Hal ini nampak dari pandangan matanya yang acuh, dan mulutya tersenyum mengejek atau memandang rendah itu. 

Dan pada saat itu, ia agaknya memandang rendah kepada lima orang laki-laki yang berdiri mengelilinginya dan agaknya  lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun ini memang hendak iseng atau menggodanya! Lima orang laki-laki ini pun baru datang dari nonton perkelahian di sungai tadi.

“Ah, Enci ini datang bukan untuk nonton perkelahian,” kata orang kedua.

“Habis, mau apa?” kata yang ketiga

“Agaknya hendak mencari anak naga Sakti Sungai Huang- ho!” kata yang ke empat nadanya mengejek.

“Kalau tidak ada naga sakti, kamipun merupakan lima ekor naga yang cukup dasyat!” kata orang kelima dan mereka tertawa-tawa.

Wanita cantik itu memperlebar senyumnya, akan tetapi dari sepasang matanya muncul sinar mencorong bagaikan kilat menyambar.

“Kalian ini anak-anak anjing jelek pergilah. Sebelum mati konyol!” katanya

Suaranya lirih saja, namun mengandung ancaman yang sebenarnya amat mengerikan. Akan tetapi, lima orang itu bukanlah orang-orang biasa. Mereka memang berjuluk Lima naga Bukit Hijau. Nama Jeng-san Ng0-liong memang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi.

Sebetulnya, mereka bukanlah segolongan laki-laki rendah yang suka menggoda wanita, akan tetapi sekali ini mereka iseng karena melihat keadaan wanita itu yang juga luar biasa. Mereka sudah dapat menduga bahwa wanita ini bukan wanita sembarangan, dan memiliki kecantikan yang aneh, juga kemunculannya di situ seorang diri, maka hati mereka tertarik dan mereka mendekati untuk berkenalan dan sekedar iseng  sambil menanti datangnya saat yang menegangkan dan mendebarkan hati itu.

Kini, wanita itu memaki mereka sebagai anak-anak anjing jelek dan mengusir mereka begitu saja! Hal ini membuat wajah mereka berubah merah dan seorang tertua diantara mereka, yang kepalanya botak sampai hampir gundul, membentak.

“Heh, perempuan tak tahu diri! Tahukah kau siapa kami? Kami adalah Jeng-San Ngo-liong dan kami menegurmu secara baik-baik. Bagaimana engkau berani mencaci dan menghina kami? Apakah nyawamu sudah rangkap lima?”

Wanita itu mempercepat kebutan kipasnya pada leher, seolah-olah ia semakin gerah.

“Sekali lagi bicara, engkau akan mampus!” katanya dan suaranya mengandung desis seperti desis ular.

Melihat sikap wanita itu, empat orang diantara Jeng-san Ngo-Liong agaknya menjadi gentar juga. Mereka adalah orang-orang dunia persilatan dan mereka tahu bahwa di dunia persilatan ada suatu hal yang harus mereka perhatikan, yaitu bahwa mereka harus berhati-hati, apabila berhadapan dengan orang yang kelihatannya lemah. Misalnya berhadapan dengan pendeta, sastrawan, pengemis dan wanita. Karena yang nampaknya lemah ini juteru amat berbahaya. Kalau mereka ini sudah berani berkeliaran di dunia kag-ouw, berarti bahwa mereka tentu sudah memiliki tingkat tinggi dalam ilmu silat.

“Sudahlah, mari kita pergi saja,” ajak empat orang itu kepada toa-suheng (sudara tertua) mereka.

Akan tetapi si Botak itu masih penasaran. Dia dihina di depan adik-adiknya, bahkan diluar kedai itu sudah berkumpul banyak orang yang ikut pula mendengar ketika dia diancam tadi. Sekali lagi bicara, dia akan mampus. “Tidak!” dengusnya ketika empat saudaranya membujuknya untuk pergi.

“Ia telah menghinaku! Wanita ini harus berlutut minta maaf, atau setidaknya ia harus mau memberi ciuman satu kali kepadaku, baru aku mau membebaskn dan memaafkannya!”

Wanita itu menghentikan gerakan kipasnya, dan kini ia tidak lagi melirik, melainkan memandang langsung kepada si botak, dan ia pun tersenyum. Wajahnya nampak lebih muda lagi, deretan gigi putih seperti mutiara nampak dan jilatan lidah jambon pada bibir merah mengisaratkan tantangan yang panas.

“Aku lebih suka mencium daripada minta maaf,” katanya dengan suara lembut, mulut tersenyum akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin. 

Empat orang sute itu menjadi bengong. Mereka tadinya sudah mengkuatrkan kalau-kalau wanita itu akan melakukan penyerangan kepada suheng mereka, tidak tahunya wanita itu malah menyatakan bersedia untuk mencium toa-suheng itu! tentu saja saling pandang dan menyeringai.

Si botak tersenyum bangga. Dia rasa menang dan mengira bahwa wanita cantik itu gentar menghadapinya, maka untuk menyombongkan kemenangannya diapun lalu menghampiri wanita itu.

“Marilah, manis, beri ciuman sekali kepadku dan engkau akan kami anggap sahabat baik!”

Wanita itu tidak menjawab, melainkan mengembangkan kedua lengannya dan bangkit, lalu melangkah maju menyambut pria botak itu. mereka saling rangkul dan didepan banyak orang yang nonton dengan gembira, ada yang cekikikan ada pula yang menahan ketawanya, wanita cantik itu lalu mencium mulut si botak dengan mulutnya. Ciuman itu  mesra dan mengeluarkan bunyi, bahkan si pria botak merasa betapa wanita itu menjulurkan lidahnya, seperti lidah ular memasuki mulutnya. Akan tetapi, suara cekikikan dan ketawa para penonton seketika terhenti ketika wanita itu melepaskan rangkulanya dan melangkah mundur. Pria botak itu terhuyung sambil berkata lirih, “Aduh ….. aduh ”

Orang-orang yang berada disitu masih ragu-ragu akan arti keluhan mengaduh ini, karena suara keluhan ini berarti sakit akan tetapi orangpun mengaduh kalau merasakan nikmat! Akan tetapi, pria itu terhuyung lalu terpelanting roboh tertelentang dan semua orang terkejut melihat betapa pria botak itu telah mati dengan mata melotot dan muka menghitam, bahkan kedua bibirnya membengkak besar!

Kalau orang-orang lain terkejut dan ngeri, empat orang sute dari si botak menjadi terkejut dan marah bukan main melihat toa-suheng mereka tewas setelah berciuman dengan wanita itu. mereka sudah mencabut pedang dan kini mereka menyerbu wanita yang masih berdiri sambil tersenyum mengejek itu.

“Siluman betina mampuslah!” bentak mereka.

Akan tetapi, kini wanita cantik itu menyambut serbuan mereka dengan gerakan kedua lengannya yang cepat meluncur seprti dua batang anak panah terlepas dari busurnya, juga lengan itu seperti dua ekor ular. Tubuh wanita itu berkelebat diantara sambaran empat batang pedang dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan disusul robohnya empat orang itu secara berturut-turut. Sukar diikuti dengan pandang mata dan sukar pula mengetahui mengapa empat orang itu roboh. Akan tetapi mereka roboh untuk tidak bangkit kembali, dengan muka berubah menghitam dan membengkak, dan ternyata mereka berempat itu sudah tewas semua! 

Setelah membunuh lima orang itu, dengan tenang sekali wanita cantik ini melemparkan mata uang keatas meja, lalu  meninggalkan kedai itu dengan langkah tenang, lenggangnya menarik sekali, membuat kedua pinggulnya menari-nari di balik celana sutera yang ketat.

Semua orang cepat minggir memberi jalan kepada wanita itu dan ketika ia lewat, terciumlah bau harum yang menyengat hidung, harum bercampur amis, seperti bau ular. Seorang diantara para penonton, seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, berbisik kepada temannya.

“Ia adalah Ban-to Mo-li !” Nama ini terdengar oleh 

penonton lain dan mereka pun bergidik.

Siapa yang belum pernah mendengar Ban-to Mo-li? Andaikata belum pernah bertemu dengan orangnya, namanya tentu sudah pernah didengar karena nama ini terkenal di dunia kang-ouw. Ban-to Mo-li (Iblis Betina Selasa Racun) adalah seorang datuk sesat yang amat terkenal karena kelihaiannya, juga karena kekejamannya. Terbukti kekejamannya ketika dengan mudah saja ia membunuh Jeng-San Ngo-liong hanya karena ia digoda.

Si Kian dan Bu Hok Gi yang tadinya hendak membeli makanan di kedai itu dan menjadi penonton, tentu saja terkejut dan muka mereka pucat sekali.

Baru tadi mereka menyaksikan perkelahian diatas perahu- perahu itu dan melihat maut menyeret belasan orang, dan kini di depan mata mereka, demikian dekatnya, mereka melihat lima orang tewas dengan muka menghitam dan membengkak, mata melotot, dibunuh oleh seorang wanaita cantik! Tentu saja nyali mereka seperti terbang melayang dan tapa banyak cakap lagi keduanya meninggalkan tempat itu dengan muka pucat dan kedua kai gemetaran.

Mereka kembali ke tepi sungai dimana mereka meninggalkan keluarga mereka tadi tanpa membawa  sedikitpun makanan karena mereka sudah ketakutan untuk tinggal lebih lama lagi di perkampungan itu.

“Kita harus cepat meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalan kita,” kata Bu Hok Gi yang masih ketakutan.

“Memang benar, Bu-toako,” kata Si Kian. “Akan tetapi kita harus berhati-hati. Sekarang, didepan sana masih banyaknya mereka sekali perahu berseliweran dan agaknya mereka adalah orang-orang jahat yang mudah membunuh orang. Sebaiknya kita menanti sampai malam menjadi sunyi, diam- diam kita melanjutkan perjalanan dan lolos dari daerah yang berbahaya ini.”

Bu Hok Gi membenarkan pendapat Si Kian dan mereka pun menanti sampai malam menjadi larut. Karena ayah mereka tidak membawa makanan, Si han Beng dan Bu Giok Cu, dua orang anak dua keluarga itu, segera mencoba untuk memancing ikan. Bu Giok Cu sejak tadi mengomel terus karena perutnya terasa lapar dan ayahnya yang sejak tadi dinanti-nanti, datang tanpa membawa makanan. Dan lebih sial lagi, sejak tadi ia mengail, tidak ada ikan yang menyambar umpannya.

Bu Giok Cu yang baru berusia sepuluh tahun itu sudah memperlihatkan tanda yang jelas bahwa kelak ia akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Akan tetapi, sebagai puteri tunggal seorang kepala dusun, ia amat manja. Biarpun manja, Giok Cu adalah seorang anak yang tidak malas dan cerdik, juga nakal. Berbeda dengan Giok Cu, Si han Beng lebih pendiam dan biarpun usianya baru dua belas tahun, Han Beng tidak kekanak-kanakan, bahkan seperti seorang yang sudah dewasa saja. Hal ini adalah karena sejak kecil dia hidup dalam keluarga yang tidak mampu, memaksanya sejak kecil ikut bekerja membantu ayahnya, baik mencari ikan sebagai nelayan atau bekerja di sawah lading sebagai petani. Tubuhnya juga tinggi besar dan kuat karena sudah terbiasa bekerja berat sejak kecil. Wajahnya tampan, mewarisi wajah ibunya yang termasuk wanaita cantik walaupun orang dusun.

Suasana di daerah Pusaran Maut itu makin malam menjadi semakin sunyi. Agaknya, ketegangan terasa diantara para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan anak nag. Ketegangan menanti munculnya anak naga, ditambah dengan ketegangan karena terjadinya perkelahian dan pembunuhan besar-besaran yang terjadi sore tadi, mencekam hati semua orang dan banyak diantara mereka yang kini bersiap-siap saja di tepi sungai.

Mereka percaya akan berita atau dongeng bahwa anak naga itu muncul pada tengah malam, maka mereka pada siap di tepi sungai dengan perahu mereka, menanti datangnya malam.

Bulan sudah muncul, bulan purnama yang membuat permukaan air sungai nampak keemasan. Malam telah larut biarpun tengah malam masih dua tiga jam lagi, sudah mulai ada perahu yang bersiliweran di luar daerah Pusaran maut. Menurut dongeng, anak naga akan muncul di tengah pusaran itu dan berenang keluar dari arus pusaran, karena anak naga itu ingin mencari ikan di air yang tenang. Ikan tidak terdapat di air yang terseret arus pusaran. Karena tidak dapat menentukan, di bagian mana dari luar pusaran yang akan didatangi oleh anak naga, maka perahu-perahu itu hanya berseliweran di sekitar daerah pusaran.

Bulan purnama sudah naik tinggi ketika nampak dua buah perahu di dayung perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali, dengan tenang meluncur di luar daerah pusaran berbahaya. Itu adalah perahu yang ditumpangi kega Si Kian dan Keluarga Bu Hok Gi. Perahu Si Kian didayung oleh Si Kian sendiri, dibantu oleh Han Beng, sedangkan perahu Bu Hok Gi didayung oleh seorang pembantunya dan oleh Bu Hok Gi sendiri. Mereka mendayung perahu perlahan-lahan sambil mata mereka memandang kea rah beberapa buah perahu yang berseliweran di daerah itu dengan mata takut-takut. 

Bulan purnama cukup terang sehingga para penumpang dua buah perahu ini dapat melihat betapa daerah ini dikelilingi oleh banyak sekali perahu. Akan tetapi perahu-perahu itu hanya diam saja, seperti menanti sesuatu, dan hanya sedikit yang berseliweran.

Tiba-tiba terdengar suara rebut dan banyak perahu yang tadinya diam itu bergerak semua. Hal ini mengejutkan dan menakutkan Si Kian dan Bu Hok Gi. Mereka menghentikan perahu mereka yang dibiarkan berhimpitan, takut kalau sampai ketahuan perahu-perahu lain dan terlibat dalam keributan itu. sejak tadi Bu Giok Cu masih enak-enakan memancing ikan, tidak peduli akan semua itu dan mencurahkan perhatiannya ke ujung tangkai pancingnya.

Keributan terjadi di dekat daerah pusaran ketika seorang diantara para tokoh kang-ouw melihat adanya benda yang mengeluarkan cahaya di permukaan air. Cahaya itu berkilau seperti beberapa ekor binatang laut kalau muncul di tengah malam dan mengeluarkan semacam sinar dari tubuhnya, seperti udang dan beberapa macam ikan lainnya.

Dan tokoh kang-ouw itu kemudian melihat jelas bahwa yang sedang berenang melawan arus air pusaran itu adalah eekor binatang seperti ular atau belut warnanya kehitaman, sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya kurang lebih satu setengah meter.

“Anak ……… anak naga !” teriaknya di luar kesadarannya 

saking kaget, girang dan tegangnya. Kalau saja dia tidak panic, tentu dia diam saja agar jangan ada orang lain mendengarnya dan akan diam-diam berusaha menangkap binatang yang ditunggu-tunggu itu. Dia mendayung perahunya, meluncur dekat binatang yang seperti ular itu. akan tetapi ketika dia menjulurkan tangan hendak menangkapnya, binatang itu mengelak dan berenang kembali ke pusaran. Tokoh kang-ouw itu mengejar dengan perahunya, tidak sadar bahwa binatang it uterus berenang ke tengah. Dia baru tahu ketika tiba-tiba perahunya terseret oleh arus yang amat kuat dan binatang itu lenyap. Dia terbelalak melihat perahunya meluncur cepat tanpa dapat dikuasainya lagi. Dia mencoba untuk mendayung sekuat tenaga, namun tetap saja tenaganya tidak mampu menahan kekuatan arus yang menyeret perahunya. Mulailah dia panic.

“Tolooooooooong !” Tanpa malu-malu dia berteriak 

ketika perahunya terseret pusaran air, dibawa berpusing oleh pusaran air, makin lamaa makin cepat dan makin menyempit garis lingkarannya. Saking takutnya, diapun melompat dari perahunya, mencoba untuk berenang. Akan tetapi sia-sia sajaa, tubuhnya terseret dan beberapa kali terdengar dia menjerit minta tolong, juga perahunya, disedot oleh pusat pusaran air!

Akan tetapi teriakannya tentang anak naga tadi sudah menarik perhatian semua tokoh. Mereka ini sama sekali tidak peduli akan nasib orang yang tersedot pusaran air itu. perhatian mereka seluruhnya ditujukan kepada benda berkilau yang tadi berenang dan kemudian lenyap.

Tiba-tiba, dua buah perahu yang ditumpangi oleh delapan orang gagah, para anggota perkumpulan Jit-Seng-pang (Perkumpulan Tujuh Bintang) di Cin-an nampak sibuk. Dua orang diantara mereka mempergunakan jala yang bergagang bamboo panjang dan mereka agaknya telah berhasil menjala anak naga yang dihebohkan itu. di dalam jala mereka itu nampak benda panjang yang mengeluarkan sinar berkeliuan bergerak-gerak hendak lepas.

Melihat betapa delapan orng anggota Jit-seng-pang itu agaknya berhasil menangkap “Anak Naga”, banyak perahu  meluncur mendekati mereka. Melihat ini, para anggota Jit- seng-pang siap dengan senjata mereka, dan kepala rombongan mereka berseru :

“Kami dari Jit-seng-pang dan ular naga kecil ini sudah kami tangkap. Kami yang berhak memilikinya, harap para sahabat yang gagah tidak mengganggu kami!”

Akan tetapi, nampak seorang laki-laki tinggi gemuk bermuka hitam meloncat dari perahunya, ketas perahu orang- orang Jit-seng-pang. Dua orang anggota Jit-seng-pang yang menyambutnya dengan bacokan golok, dibuat terjungkal dari perahunya oleh tendangan laki-laki gemuk itu dan sekali dia menyambar, jala itu telah dirampasnya. Dengan kecepatan luar biasa, dia sudah meloncat ke perahunya sendiri. Akan tetapi ketika dia hendak melarikan diri dengan perahunya, membawa jala yang membungkus ular berkilauan itu terdengar bentakan halus.

“Tinggalkan anak naga itu padaku dan sinar hitam meluncur cepat sekali kerah laki-laki gemuk bermuka hitam. Laki-laki yang amat lihai itu hendak menangkis, akan tetapi ternyata ada sianr kedua menyambar dan mengenai pundaknya. Dia roboh dalam perahunya, jala itu terlepas dari tangannya kedalam air. Laki-laki yang roboh di dalam perahunya itu tidak dapat bergerak lagi, mukanya berubah membiru dan dia tewa seketika terkena senjata rahasia jarum yang tadi dilepaskan oleh Bn-to Mo-li, wanita cantik yang tadi membunuh Ceng-san Ngo-liong di kedai!

Sebelum Ban-to Mo-li dapat menangkap ular dalam jala yang terlempar agak jauh dari perahunya, sebuah perahu lain meluncur dekat dan seorang laki-laki tinggi kurus menyambar jala itu dan dia cepat mengeluaarkan ular dari dalam jalan. Tiba-tiba dia memekik, ular itu telah mengigit pangkal lengannya dan begitu kena digigit, dia berkelonjotn dan ular itu melesat kedalam air dan menghilang!  Orang tinggi kurus itu hanya sebentar berkelonkotan karena dia sudah tewas dalam perahunya dengan tubuh membengkak seluruhnya, seperti balon yang ditiup. Ternyata racun gigitan ular atau anak naga itu tidak kalah hebatnya dibandingkan racun yang terkandung dalam jarum yang dilemparkan Ban-to Mo-li.

Keadaan menjadi makin kacau karena anak naga itu lenyap lagi. Perahu-perahu berseliweran dan semua mata mengamati air dan mencari-cari anak naga yang tadi terlepas dan menyelam. Karena semua orang tenggelam dalam perhatian mereka untuk mencari “anak naga” itu, keadaan menjadi sunyi sekali. 

Perahu-perahu semua diam dan tak seorangpun mengeluarkan suara seolah-olah takut kalau ada suara gaduh, anak naga yang tadi sudah memeperlihatkan diri akan tetapi tidak berani muncul muncul kembali.

Dari ketegangan memuncak karena semua orang maklum bahwa untuk memperebutkan anak naga itu, para tokoh kang- ouw tidak segan-segan untuk merampas dan membunuh, seperti dilakukan oleh si Muka Hitam, kemudian Ban-to Mo-li.

Keadan yang sunyi itulah yang menyebabkan suara anak perempuan itu terdengar nya.

“Heiiiii! Umpan pancingku disambar ikan!” teriakan ini mengandung kegembiraan besar dan Bu Giok Cu yang sejak tadi memancing dan tidak pedulikan keadan sekitarnya, nampak bersusah payah menahan pancingnya sehingga tangkai pancingnya melengkung dan Giok Cu harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menahan diri.

“Wah, ikannya besar dan kuat sekali !” katanya dan di 

lain saat tubuhnya terjatuh kedalam air karena terbawa oleh  tarikan ikan pada pancingnya yang amat kuat dan ia tidak mau melepaskan gagang pancingnya.

“Byuuuuurrrrr…….!”

Dua keluarga itu terkejut bukan main. Akan tetapi yang lebih dulu bergerak adalh si Han Beng. Melihat betapa kawan barunya itu terjatuh kedalam air, diapun tanpa membuang waktu lagi segera melepaskan dayung ditangannya dan melompat kedalam air. Sebagai seorang anak nelayan, Han Beng pandai berenang, demikian pula Giok Cu yang dusunnya terletak di tepi sungai.

“Iiiiihhh…….! Ular ………. Ular ” Giok Cu menjerit dan ia 

berenang menjauh. Akan tetapi ular yang ternyata menjadi korban pancingannya itu agaknya marah. Karena anak perempuan itu lupa melepas gagang pancingnya, maka ular itu pun terseret dan ular itu menggunakan tubuhnya yang panjang untuk membelit tubuh Giok Cu! Anak perempuan itu menjerit karena merasa jijik dan takut.

Pada saat itu, Han Beng sudah berenang dekat. Melihat anak perempuan itu dibelit ular yang besarnya selengan orang tua dan panjangnya satu setengah meter, membuat anak perempuan itu tidak dapat berenang lagi dan gelgapan, Han Beng lalu merasa kuatir dan menjadi nekat. Dia memegang leher ular itu menarik-narik lilitannya agar terlepas dari tubuh Giok Cu! Ular itu memang melepas lilitannya pada tubuh Giok Cu, akan tetapi kini dengan marah menggerakkan kepalanya dan mulutnya tahu-tahu sudah mengigit pundak Han Beng! 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar