Jilid 01
Laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan berotot, kokoh kekar membayangkan kekuatan yang hebat. Kepalanya seperti kepala harimau, rambutnya masih hitam kaku agak awut- awutan tersembul dari kain pengikat kepalanya. Mukanya jantan dan galak. Alis tebal hitam melindungi sepasang mata yang lebar dan tajam, bahkan kadang-kadang mencorong penuh wibawa, hidungnya besar mancung dengan lengkungan menonjol di tengah, mulutnya tertutup kumis yang dibiarkan tumbuh liar, dan dagu yang membayangkan kekerasan itu dihiasi jenggot pendek yang agaknya dipotong secara kasar. Andaikata dia merawat muka itu baik-baik, mudah dilihat bahwa wajah itu kelihatan menyeramkan. Pakaiannya sederhana dari kain yang kasar dan tebal kuat, biar sederhana sekali namun cukup bersih seperti juga rambut, jenggot dan kumisnya yang tidak terawat itu nampak bersih dan sering dicuci.
Dia duduk diatas sebuah bangku menghadapi meja, sedang makan. Keadaan dalam pondok itupun amat sederhana, seperti keadaan pemiliknya. Sebuah pondok kayu yang kecil saja, tidak memeliki kamar, dengan dua jendela di depan belakang, dan dua pintu di depan belakang pula. Di dalam pondok terbuka begitu saja dan agaknya dia tidur, makan dan melakukan segalanya di satu ruangan itu saja. Ruangan itu hanya diisi meja dan sebuah bangku, ada pula dipan kayu di sudut yang lain. Membayangkan kemiskinan, bukan sekedar kesederhanaan.
Di dalam pondok kayu beratap daun kering itu hanya mempunyai sebuah hiasan, atau mungkin juga tidak dimaksudkan, sebagai hiasan. Di dekat dipan terdapat sebuah rak senjta dan nampak beberapa macam senjata disitu. Tombak, golok, ruyung yang kesemuanya mempunyai ukuran besar dan berat.
Di tengah-tengah pondok, kini persis didepan mukanya ketika dia duduk menghadapi meja tergantung sebuah benda yang akan membuat orang lain bergidik ngeri. Benda itu sebuah kepala ! Kepala yang mongering, akan tetapi masih lengkap. Agaknya kepala itu direndam semacam obat yang membuat kepala itu tidak menjadi busuk. Masih dapat dilihat jelas bentuk muka itu. Sebuah muka laki-laki yang masih muda, tidak lebih dari tahun usianya, tentu saja pucat seperti muka mayat, dengan mata terbuka tanpa sinar sama sekali, seperti mata boneka. Mulutnya juga agak terbuka menyeringai seperti orang ketakutan atau kesakitan. Kepala itu tergantung pada rambutnya yang hitam panjang seperti rambut wanita dan tentu saja amat mengerikan. Setiap ada angin bersilir masuk, kepala itu bergoyang-goyang seperti menengok ke kanan kiri, mencari sesuatu.
Sunyi saja di dalam pondok itu. Pria itu makan tanpa mengeluarkan bunyi. Melihat keadaan tubuhnya dan kesederhanaannya, sungguh mengherankan melihat cara dia makan. Biasanya, orang yang hidupnya sederhana dan kasar seperti itu, kalau makan mengeluarkan bunyi, seperti mengecap-ngecap makanan dalam mulut, menggerak- gerakkan sumpit di pinggiran mangkok. Akan tetapi, orang ini makan seperti seorang terpelajar, orang yang biasa dengan aturan dan tatasusila. Mulutnya mengunyah makanan dengan bibir hampir terkatup, juga sepasang sumpitnya digerakkan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan bunyi. Diatas meja itu terdapat dua piring masakan sayur dan daging, sederhana saja karena dimasaknya sendiri dan semangkok besar nasi.
Akan tetapi diatas meja dekat mangkok nasi itu terdapat sebuah botol besar dan kalau orang melihat botol besar ini, tentu dia akan menjadi terkejut, ngeri dan seram. Botol itu berisi anggur merah yang merendam sebuah Kepala pula.
Sebuah kepala seorang wanita. Masih nampak uth seolah- olah masih hidup. Kulit mukanya yang putih bersih, sebagian leher yang mulus, rambut yang halus hitam panjang itu sebagian berada di luar botol. Mata kepala wanita itupun terbuka, mulutnya sedikit terbuka memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara. Namun bibir yang indah bentuknya itu tidak merah lagi, melainkan membiru, mengerikan !
Pria itu mengambil botol dengan tangan kiri, menuangkan anggur dari botol dengan hati-hati ke dalam sebuah cawan, sambil memandang muka kepala wanita itu, meletakkan kembali botol besar dengan muka itu menghadap padanya, dan dia pun tersenyum. Makin jelas nampak ketampanan wajah setengah tua itu ketika dia tersenyum. Lalu diminumnya anggur dalam cawan itu, matanya ki ni tetap memandang wajah kepala wanita dalam botol besar.
Ditaruhnya cawan kosong itu ke atas meja kembali. Dia sudah selesai makan dan kini duduk termenung, memandang wajah dalam botol, lalu terdengar dia bicara lirih seperti kepada diri sendiri, akan tetapi jelas ditujukan kepada wajah dalam botol itu.
“Hui Cu, pagi ini kau nampak semakin cantik saja ! Ah, engkau mengingatkan aku akan malam pengantin kita …… ah, betapa mesranya, betapa hangatnya, betapa manisnya ……” Dia memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali dan memandang wajah kepala wanita itu, jari tangannya bergerak mengelus rambut yang terjurai keluar dari botol dengan gerakan tangan mesra.
“Ketika itu engkau berusia delapan belas tahun, dan aku dua puluh lima tahun. Kita saling bersumpah untuk saling mencinta sampai mati dan kita saling curahkan cinta kita. Betapa mesranya, Hui Cu. Kemudian setiap malam, ya… hampir setiap malam, kita bermalam pengantin seperti itu. Aku semakin mencintaimu, aku tergila-gila kepadamu . akan tetapi
….. baru setahun, engkau mulai berubah ……”
Tiba-tiba dia menyambar sepasang sumpit didepannya, tubuhnya tak bergerak dan matanya setengah terpejam. Dia memusatkan perhatiannya kepada pendengarannya karena telinganya yang terlatih menangkap suara yang tidak wajar. Lalu dia bersikap biasa kembali, hanya saja tangan kanannya masih memegangi sepasang sumpit. Dan dia sudah melanjutkan “pembicaraannya” kepada wajah wanita dalam botol.
“Dan ketika dia datang ……” Dia menengok kearah kepala yang tergantung ke tengah ruangan dan yang kini kebetulan berputar menghadap padanya dan agaknya menyeringai lebih lebar dari biasanya, “…….dia si mulut manis, si perayu besar, sahabatku yang tadinya amat kusayang, sahabat yang ternyata berkhianat dan palsu, engkau pun jatuh! Ternyata engkau lebih menyukai sikap yang bermanis muka, rayuan- rayuan sikap gombal daripada sikapku yang selalu terbuka dan jujur. Bahkan, ketika aku mencoba kalian, sengaja aku berpamit pergi untuk suatu keperluan, kalin sudah berani mengkhianatiku, berzina didalam kamar kita, diatas ranjang pengantin kita. Aku menahan kemarahan, menantang Kun Tian keluar, untuk bertanding sebagai dua orang laki-laki, memperebutkan engkau ….”
Tiba-tiba nampak sinar kecil berkelebat kearah pria itu. Dengan sikap tenang sekali, pria itu menggerakkan tangan kanannya dan dilain saat sepasang sumpit itu telah menangkap atau menjepit sebatang senjata piauw beronce merah yang ujungnya menghitam dan berbau amis, tanda bahwa piauw itu beracun.
Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pria itu kini melanjutkan kata-katanya yang ditujukan kepada wajah kepala wanita dalam botol.
“Engkau menjadi saksi perkelahian kita yang adil. Aku berhasil merobohkannya, akan tetapi betapa sakitnya hatiku melihat engkau menubruk mayatnya dan menangisinya. Engkau terang-terangan lebih memberatkan dia daripada aku, suamimu yang sah. Hal ini tak dapat kutahan lagi, Hui Cu. Aku memenggal lehermu, juga leher Kun Tian. Aku terlalu cinta padamu, biarlah kepalamu selamanya dekat dengan aku, biarlah setiap hari aku minum anggur yang merendam kepalamu, dan biarlah kepala dia melihatnya dan merasa iri. Ha-ha-ha!” tiba-tiba saja pria itu tertawa bergelak, seperti orang mabuk dan kini dia memandang kepada muka kepala laki-laki yang tergantung di tengah ruangan. Akan tetapi, kalau mulutnya terbuka lebar tertawa bergelak, sepasang mata pria itu basah oleh air mata. Dia menaangis sambil tertawa, tanpa terisak. Sungguh dapat dibayangkan betapa besar penderitaan batin pria ini, yang belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Dan agaknya, bukan dia saja yang tidak melupakan peristiwa itu. Pihak lawannya, yang kepalanya kini tergantung ditengah ruangan pondoknya, agaknya juga tidak melupakannya.
Orang yang bernama Coa Kun Tian itu adalah putera ketua perkumpulan Hek-Houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam), sebuah perkumpulan yang amat terkenal disepanjang lembah Sungai Kuning. Putera ketua Hek-houw-pangini adalah seorang pemuda berilmu tinggi yang tampan dan gagah menjadi kebanggan perkumpulan Hek-houw-pang yang memang terdiri dari orang-orang gagah. Hanya saying sekali, ketampanan wajah dan kegagahan Coa Kun Tian ini dinodai oleh wataknya yang mata keranjang dan hidung belang. Dia mudah jatuh kalau berhadapan dengan wanita cantik, dan sekali tertarik, dia suka mata gelap dan berusaha merayu sedapatnya untuk merayu wanita itu, tidak peduli wanita itu sudah ada yang punya ataukah belum. Dan biasanya, karena dia gagah dan tampan, pandai merayu, maka jarang ada rayuan-rayuannya yang gagal. Jarang ada wanita yang mampu menolak rayuannya. Demikian pula Phang Hui Cu, isteri pria tinggi besar yang berada di pondok itu, ia jatuh menghadapi rayuan dan ketampanan Coa Kun Tian sehingga dengan penuh gairah melayani hasrat laki-laki itu dan mereka berzina didalam rumah dan kamar suami Hui Cu.
Setelah Coa Kun Tian tewas, gegerlah perkumpulan Hek- Houw-pang. Apalagi setelah mendengar bahwa putera ketua itu tewas di tangan Liu Bhok Ki, seorang pendekar yang menjadi sahabat baik Coa Kun Tian, bahkan menjadi orang yang dihormati oleh Hek-houw-pang ! Hek-houw-pang yang dipimpin ketuanya, tidak tinggal diam saja. Coa Liong, ketua Hek-houw-pang tidak membiarkan puteranya terbunuh tanpa dibalas. Dia lalu mencari Liu Bhok Ki, pendekar yang tadinya menjadi sahabatnya dan sahabat puteranya. Terjadi perkelahian mati-matian dan akhirnya, para anak buah Hek- houw-pang terpaksa membawa pulang jenazah ketua mereka dengan hati penuh duka.
Liu Bhok Ki sendiri hancur hatinya semenjak peristiwa yang menimpa keluarganyaa. Hatinya remuk, kebahaagiaan hidupnya lenyap dan dia hidup seperti seorang setengah gila, mengasingkan diri di Kui-san (Bukit Setan) yang berada di Lembah Sungai Huang-ho yang paling sunyi. Disini dia mendirikan pondok tinggal di situ bersama dua buah kepala. Yang sebuah adalah kepala Coa Kun Tian dan setelah direndamnya dengan ramuan yang membuat kepala itu tak dapat membusuk, bahkan kini mongering seperti kayu, dan digantungny di tengah pondok. Yang kedua adalah kepala isterinya Phang Hui Cu yang cantik jelita, yang direndamnya dalam anggur di botol besar dan kedua kepala inilah yang selalu menemaninya di dalam pondok sunyi itu.
Selama dua puluh tahun lebih ini, pihak Hek-Houw-pang tidak pernah diam untuk berusaha membalas dendam. Sudah puluhan kali, bahkan hampir setiap tahun ada saja dari pihak Hek-Houw-pang yang mencari Liu Bhok Ki untuk membalas dendam. Namun, selama ini belum pernah ada yang berhasil. Bahkan sebaliknya, ada saja pihak Hek-Houw-pang yang roboh dan tewas. Oleh karena itu, dendam Hek-Houw-pang terhadap Liu Bhok Ki menjadi semakin berlarut, semakin mendalam. Hal ini sebenarnya membuat Liu Bhok Ki merasa sedih juga. Akan tetapi apa hendak dikata, keadaan sudah seperti itu. Dia tidak mungkin mundur kembali, dan dia selalu siap membela diri kalau tiba serangan dari pihak Hek-Houw- pang.
Bahkan pada pagi hari itu, selagi dia makan, datang serangan gelap dalam bentuk sebatang piauw yang dapat ditangkapnya dengan sepasang sumpitnya. Cara menghadapi serangan gelap senjata piauw beracun itu saja sudah menunjukkan betapa lihaynya pria setengah tua tinggi besar ini. Memang sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat dan namanya pernah besar sebagai seorang pendekar yang selalu menentang para penjahat di sepanjang sungai Huang-ho. Akan tetapi, semenjak peristiwa menyedihkan itu, dimana dia terpaksa membunuh isteri tercinta dan sahabatnya terbaik, namanya lenyap dari dunia kangouw dan dia mengasingkan diri di pondok itu. Hanya kadang-kadang saja dia pergi ke dusun terdekat untuk membeli kebutuhan sehari-hari, ditukar dengan hasil dia bercocok tanam atau mencari ikan di sungai Huang-ho yang berada di dekat pondoknya.
Peristiwa itu sungguh menghancurkan kehidupannya. Dia seolah-olah telah mati, dan selalu terancam bahaya oleh pihak Hek-Houw-pang. Maklum bahwa para musuhnya itu takkan pernha berhenti berusaha untuk membalas dendam, diapun tidak tinggal diam dan setiap hari, kalau tidak bekerja, Liu Bhok Ki melatih diri, memperdalam ilmu-ilmunya, bahkan dengan bakat dan kecerdikannya, dia telah menciptakan beberapa macam ilmu silat yang hebat. Kini, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, dia memiliki ilmu kepandaian yng hebat, dan jarang ada orang yang akan mampu menandinginya.
Kini Liu Bhok Ki sudah tidak “berbicara” lagi dengan wajah kepala wanita di dalam botol, melainkan duduk termenung memandangi piauw yang tadi ditangkap sepasang sumpitnya dan kini dia letakkan diatas meja didepannya..
Sebatang piauw yang bentuknya segi tiga dan diujung belakangnya dihiasi ronce-ronce merah. Piauw ini kecil dan ringan sekali, akan tetapi runcing dan mengandung racun yang amat berbahaya, hal ini dapat dikenalnya dari baunya yang amis seperti bau ular. Dan melihat bentuk piauw yang kecil ringan itu, apalagi melihat hiasan ronce merah, Liu Bhok Ki dapat menduga bahwa yang mempergunakannya patutnya seorang wanita. Sepasang alisnya berkerut. Selama dua puluh tahun lebih ini, belum pernah Hek-Houw-pang mengirim seorang murid wanita untuk mencoba membunuhnya. Rasa gatal pada tangan kanannya membuat dia tiba-tiba seperti orang terkejut dan cepat dia memeriksa tangan kanannya, matanya terbelalak melihat betapa ada tanda menghitam pada dua jarinya, di permukaan telunjuk dari jari tengah.
“Ahhh ……” serunya perlahan dan cepat mengambil sebuah buntalan yang tergantung pada rak senjata.
“Sungguh tolol, memandang rendah lawan!” gumamnya sambil membuka buntalan dan dia mengeluarkan sebuah bungkusan kuning.
Dibukanya bungkusan itu dan ditaburkan sedikit bubukan merah pada noda hitam di kedua permukaan jari tangan, digosok-gosoknya dan noda itupun lenyap, rasa gatalnya lenyap.
Bubuk merah itu adalah obat manjur sekali untuk melawan racun. Kiranya, penyerang dengan piauw tadi agaknya sengaja melontarkan piauw secara perlahan saja agar dia dengan mudah dapat menangkapnya dengan tangan atau sumpit. Dan biarpun ditangkap dengan sumpit, namun agaknya ada bubuk atau hawa beracun dari piauw itu yang mengenai jari tangannya seolah-olah racun itu mampu menjalar melalui sumpit, mengenai dua jari tangan yang kalau tidak cepat diobati akan berbahaya sekali baginya, dapat membuatnya mati konyol!
Kini tahulah dia bahwa pelempar piauw itu merupakan seorang lawan tangguh yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan !
Pada saat itu, muncullah belasan orang di depan pintu pondok. Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun, mengiringkan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini berwajah tampan dan begitu melihat wajah pemuda itu, Liu Bhok Ki merasa jantungnya berdebar tegang.. Wajah itu! Persis wajah pria yang telah menggoda dan menggauli isterinya. Persis wajah Coa Kun Tian yang kepalanya kini tergantung di tengah ruangan pondok. Pemuda itu kini berdiri memandang kepada kepala kering yang tergantung itu, kepala yang bergoyang dan berputar. Ketika kepala itu menghadap keluar kepadanya, tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut.
“Ayah ……!” Dan diapun sambil berlutut memberi hormat delapan kali kearah kepala yang tergantung itu. Sejak tadi Liu Bhok Ki sudah bangkit berdiri dan dia memandang bengong kepada pemuda itu. Putera Coa Kun Tian ? rasanya tidak mungkin! Bukankah Kun Tian ketika menzinai isterinya dahulu itu belum menikah? Dia tahu benar akan hal ini karena dia bersahabat karib dengan Kun Tian dan dia mengenal betul keluarga ketua Hek-Houw-pang.
Bagaimana kini muncul seorang pemuda yang menyebut ayah kepada mendiang Coa Kun Tian? Akan tetapi, kalau bukan puteranya, lalu siapa dan mengapa mengaku anak? Dan wajah itu! Dia tidak akan meragukan bahwa itu adalah wajah Kun Tian, dan patut dipercaya bahwa pemuda ini memang putera bekas sahabat yang dibunuhnya itu.
Setelah memberi hormat kepada kepala yang terayun-ayun itu, si pemuda yang tampan berpakaian seba putih itu bangkit berdiri memandang kepada Liu Bhok Ki dengan sinar mata penuh kemarahan dan dendam. Pandang mata seperti ini sudah biasa dirasakan oleh Bhok Ki dari para anggota Hek- Houw-pang, maka diapun balas memandang dengan sikap tenang saja.
Pemuda itu melangkah mundur, dan para anggota Hek- Houw-pang yang berada dibelakangnya juga ikut mundur. Sambil melangkah mundur tanpa melepaskan pandang matanya dari laki-laki setengah tua di dalam pondok itu, si pemuda lalu berkata, suaranya halus walaupun mengandung kemarahan yang ditahannya. “Liu Bhok Ki, keluarlah dan mari kita selesaikan perhitungan yang telah terpendam lama sekali ini!”
Liu Bhok Ki melangkah maju, mulutnya tersenyum dan ketika dia berada diluar pondok, di udara terbuka, dia lalu tertawa bergelak. Tubuhnya terguncang-guncang dan wajahnya dilempar ke belakang, menengadah, seolah-olah dia tertawa kepada langit diatas. “Ha-ha-ha!” Lalu dia menunduk dan menatap pemuda didepannya itu penuh perhatian.
“orang muda, engkau telah mengenal namaku, akan tetapi aku belum mengenalmu. Biasanya, tidak pernah aku menanyakan nama orang-orang Hek-Houw-pang yang datang dengan maksud membunuh aku. Entah sudah berapa banyak, mungkin lebih dari enam puluh orang Hek-Houw-pang yang tewas dalam usaha mereka membunuhku. Akan tetapi engkau lain. Sikapmu menarik hatiku, terutama ketika engkau tadi berlutut dan menyebut ayah kepada Coa Kun Tian. Benarkah engkau putera Kun Tian dan siapa namamu?”
Sikap pemuda itu tenang dan cukup gagah, nampak ketabahan luar biasa pada sinar matanya.
“Namaku Coa Siang Lee dan memang mendiang Coa Kun Tian adalah ayah kandungku. Sebagai putera kandungnya, tentu engkau cukup maklum apa yang menjadi maksud kunjunganku ini. Bersiaplah untuk mengadu nyawa denganku, Liu Bhok Ki!”
Liu Bhok Ki memandang ragu dan penuh selidik. Biarpun wajah pemuda pakaian putih itu memang serupa dengan mendiang Kun Tian, akan tetap bagaimana mungkin Kun Tian yang masih belum menikah itu kini tiba-tiba mempunyai anak?
“Hemmmm, ketahuilah bahwa Kun Tian tadinya adalah sahabat karibku dan aku tahu benar bahwa dia belum pernah menikah. Bagaimana kini tiba-tiba saja muncul engkau yang mengaku sebagai puteranya?”
Mendengar ucapan ini, wajah yang tampan itu berubah merah, dan tiga belas orang anggota Hek-Houw-pang, yang dapat dikenal dengan lukisan harimau hitam kecil di dada sebelah kiri baju mereka, saling pandang dan merekapun kelihatan rikuh. Memang, pemuda bernama Coa Siang Lee ini adalah keturunan aseli dari Coa Kun Tian, putera kandung yang kinimenjadi jago mereka yang diharapkan, akan mampu menandingi dan merobohkan musuh besar mereka. Akan tetapi kelahiran Coa Siang Lee ini tidak sah, karena ibunya mengandung sebagai hasil hubungan gelap dengan mendiang Coa Kun Tian. Setelah Kun Tian meninggal barulah diketahui bahwa gadis yang digaulinya itu telah mengandung!
“Liu Bhok Ki, aku datang bukan untuk menceritakan riwayatku kepadamu. Bagaimana duduknya perkara aku menjadi putera ayahku, bukan urusanmu. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah putera kandungnya dan aku datang untuk menuntut balas atas kematian ayahku di tanganmu!”
Liu Bhok ki menarik napas panjang. Dia tidak pernah merasa gembira, setiap kali diserbu orang-orang Hek-Houw- pang. Dia melayani mereka hanya karena terpaksa, untuk membela diri dank arena mereka itu selalu menyerangnya mati-matian maka tidak dapat dihindarkan lagi setiap kali jatuh korban diantara mereka.
Apalagi kini yang maju adalah putera kandung Coa Kun Tian. Sebetulnya, dia dahulu amat saying kepada shabatnya itu. Bahkan sekarangpun, setiap kali memandang wajah kepala sahabatnya itu, timbul rasa saying, akan tetapi perasaan itu selalu diusirnya dengan membayangkan kembali perbuatan sahabatnya itu dengan isterinya yang membuat hatinya menjadi panas kembali. Tentu saja dia tidak membenci putera Kun Tian yang wajahnya tampan mirip sekali ayahnya itu. “Coa Siang Lee, tahukah engkau mengapa ayahmu sampai tewas di tanganku?” tanyanya, dan para anggota Hek-Houw- pang mendengar betapa dalam suara itu terdapat keraguan, agaknya si jago tua yang menggiriskan itu merasa gentar menghadapi jago muda mereka yang kelihatan amat tabah dan gagah itu.
“Aku tidak perduli! Yang jelas, engkau telah membunuh ayahku, bahkan telah berbuat sedemikian keji dan kejam, menyiksa dan mempermainkan kepala ayahku seperti itu. Sungguh perbuatan yang terkutuk! Pendeknya, aku datang untuk menuntut balas kepadamu, sebagai amal bakti kepada ayah kandungku! Aku akan membunuhmu dan membawa pulang kepala ayahku itu untuk dimakamkan dengan baik dan terhormat.”
Liu Bhok Ki kembali menarik napas panjang sehingga mengherankan para anggota Hek-Houw-pang. Mereka pernah beberapa kali ikut menyerbu musuh besar itu dalam belum pernah mereka melihat Liu Bhok Ki meragu seperti sekarang ini.
“Orang muda, kalau engkau hendak berbakti kepada ayahmu, semestinya engkau bukan datang kesini dan ingin membunuhku. Seharusnya engkau membuat jasa-jasa baik, melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menbus dosa- dosa ayahmu itu agar hukumannya lebih ringan di neraka sana.”
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan kini suaranya meninggi, tanda bahwa dia marah sekali.
“Liu Bhok Ki, tidak perlu engkau menasehati aku dan memburuk-burukkan ayahku! Tengok dirimu sendiri! Aku sudah tahu bahwa engkau membunuh ayahku karena ayahku bermain cinta dengan isterimu. Bukankah begitu? Kalau benar demikian, engkaulah yang tidak tahu malu! Seharusnya engkau tahu bahwa kalau isterimu suka kepada pria lain, itu berarti bahwa ia tidak cinta lagi kepadamu, bahwa pria yang dipilihnya itu lebih baik daripadamu! Mendiang ayahku tidak memperkosa dan kalau dia tidak dilayani dengan senang hati oleh isterimu tentu tidak akan terjadi hubungan itu! Sepatutnya engkau bercermin diri dan kalau benar laki-laki, harus tahu diri ditolak isteri sendiri yang memilih pria lain! Huh, sungguh tak tahu malu!”
Wajah Liu Bhok Ki berubah merah sekali, lalu pucat dan merah kembali.
Ucapan pemuda itu sungguh merupakan mata pedang yang tajam meruncing menusuk perasaan hatinya. Dia melihat kebenarannya, akan tetapi juga menjadi marah karena pemuda itu menghinanya.
Memang sesungguhnya, apa gunanya dia dulu menjadi seperti gila karena cemburu? Cinta antara pria dan wanita tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Kalau isterinya sudah tidak cinta kepadanya, dengan bukti bahwa ia menyerahkan diri kepada pria lain, tidak ada gunanya walaupun dipaksa juga.
Akan tetapi, bantah suara dikepalanya. Mereka telah menghinaku, menodai nama dan kehormatanku! Sudah sepatutnya mereka dibunuh, dihukum, bahkan hukuman yang dia berikan masih kurang memadai, masih kurang berat dibandingkan dengan penghinaan yang dia derita.
“Coa Siang Lee, sudah menjadi hakmu untuk membela ayahmu walaupun dalam pembelaanmu itu engkau seperti buta tidak melihat kejahatan ayahmu yang menghancurkan ketentraman rumah tanggaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku, mendatangkan aib dan penghinaan kepadaku. Akan tetapi aku pun berhak mempertahankan kehormatanku di waktu itu dan sekarang akupun berhak untuk membela diri kalau ada yang mengncam keselamatan diriku. Nah, sekarang engkau mau apa.” Pertanyaan ini mengandung tantangan. Kedua tangan pemuda itu bergerak dan nampak dua sinar terang berkelebat ketika dia mencabut Siang-kiam (Sepasang pedang) yang tadi tergantung di punggungnya. Dia menyilangkan kedua pedang di depan dada, matanya mencorong memandang kearah Liu Bhok Ki.
“Liu Bhok Ki, bersiaplah engkau untuk mati di ujung pedangku!” bentak pemuda itu dan tiba-tiba saja pedangnya mencuat berubah menjadi sinar terang menusuk kearah dada pria setengah tua itu.
Liu bhok ki bersikap tenang saja. Dengan gerakan mantap dia mengelak ke bukan belakang melainkan kesamping bahkan memajukan kakinya dan tangan kirinya menampar dari samping kearah kepala lawan.
Ketika CoaSiang Lee merasa betapa ada angina pukulan yang amat kuat mendahului tangan lawan, cepat dia menggerakkan pedang kedua di tangan kanan untuk menangkis dan sekalian membabat lengan lawan.
Liu Bhok Ki menarik kembali tangannya dan kini kakinya menendang dengan tendangan kilat kedepan. Tendangan ini mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan diapun terpaksa meloncat ke belakang sambil memutar kedua pedang melindungi dirinya. Liu Bhok Ki tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusun serangan baru. Dia cepat melangkah maju dan menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan kedua tangan dan kakinya.
Pemuda itu semakin kaget dan diapun mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak kesana-sini dan kadang- kadang menggunakan kedua pedangnya untuk membendung banjir serangan lawan itu. Dia terdesak hebat. Melihat betapa jago muda mereka terdesak walaupun mempergunakan sepasang pedang sedangkan Liu Bhok Ki bertangan kosong, tiga belas orang anggota Hek- Houw-pang tingkat tinggi itu lalu menyerbu dan mengepung Liu Bhok Ki. Itulah Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas) yang diciptakan oleh perguruan Hek-Houw- pang dan dilatih selama setahun ini untuk
dipergunakan menghadapi Liu Bhok Ki. Tadinya, mereka mengharapkan Sian Lee akan mampu menandingi musuh besar itu.
Coa Siang Lee memang putera kandung mendiang Coa Kun Tian. Kun Tian ketika masih hidup terkenal sebagai seorang laki-laki perayu wanita. Banyak sudah korban berjatuhan akibat rayuannya. Akan tetapi hanya ada seorang gadis yang mengandung akibat perbuatannya itu dan kemudian lahirlah Coa Siang Lee. Gadis itu menghadap ketua Hek-Houw-pang setelah mendengar akan kematian Coa Kun Tian, membawa anak laki-laki itu. Coa Siong, pangcu (ketua) Hek-Houw-pang menerima cucunya yang tidak sah itu dan Coa Siang Lee lalu digembleng, bukan hanya oleh kakeknya, bahkan oleh kakeknya dikirim kepada beberapa sahabat, tokoh-toh kangouw yang lihai, untuk memperdalam ilmu silatnya. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun lebih, Siang Lee pulang dan telah memiliki tingkat kepandaian yang melebihi tingkat kakeknya sendiri. Dia memang sejak kecil sudah mendengar kisah kematian ayahnya. Maka dia lalu dijadikan jago Hek-Houw-pang dan diharapkan akan dapat membalas dendam kepada musuh besar itu. Cap-sha-tin dari Hek-Houw-pang segera maju setelah melihat kenyataan betapa Siang Lee terdesak oleh Liu Bhok Kid an kini barisan itu mengepung pria tinggi besar yang gagah perkasa itu dan pedang mereka menyerang secara bertubi-tubi dan teratur sekali. Setiap kali Liu Bhok Ki mengelak dari suatu sambaran pedang, sudah ada pedang lain yang menyambutnya dengan tusukan atau bacokan. Semua bergerak secara otomatis dan kemana pun dia mengelak, selalu disambut serangan pedang lain. Dan setiap kali dia hendak membalas, sudah ada dua tiga batang pedang lain menyerangnya dari kanan kiri dan belakang, membuat dia sama sekali tidak sempat untuk balas menyerang lawan!
Tiba-tiba, tiga belas buah mulut mengeluarkan suara melengking panjang, sambung menyambung dan karena mereka itu mengerahkan khi-kang, maka tenaga yang tergabung ini menjadi kuat sekali, disusul gerakan pedang mereka menyerang secara berbareng dari semua jurusan! Liu Bhok Ki terkejut.
Harus diakuinya bahwa Cap-sha-tin ini hebat dan berbahaya. Dia cepat mengenjot tubuh keatas untuk menghindarkan diri dari serangan tiga belas batang pedang itu. Akan tetapi dua sinar terang meluncur dan menyerangnya selagi tubuhnya masih meloncat keatas.
Itulah sepasang pedang di tangan Siang Lee yang kini membantu Cap-sha-tin. Pemuda itu meloncat dan tubuhnya meluncur seperti terbang saja, didahului dua batang pedangnya yang lihay.
“Ahhh ….!” Liu Bhok Ki terkejut dan mengeluarkan bentakan ini, tangannya diputar untuk menangkis sinar pedang. Lengannya menangkis pedang. Namun sebatang pedang yang menyeleweng pundak kiri Liu Bhok Ki sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka mengeluarkan darah! Liu Bhok Ki berjungkir balik dan tubuhnya dapat turun diluar kepungan Cap-sha-tin ! kini barisan itu sudah berlari-larian mengepungnya lagi, dari jarak agak jauh, sedangkan Siang Lee yang paling lihay diantara mereka, kini berada di bagian kepala seolah-olah barisan itu membentuk seekor ular yang melingkari tempat itu dengan Liu Bhok Ki di tengah, dan Coa Siang Lee memimpin atau menjadi kepala ular.
Liu Bhok Ki berdiri tegak, kedua kakinya dipentang lebar, tubuhnya tidak bergerak, hanya matanya yang melirik kke kanan kiri pemperhatikan gerakan barisan itu.
Perlahan-lahan dia melolos sabuknya ketika barisan yang mengepung sambil berlari mengitarinya itu mempersempit lingkaran. Melihat ini, seorang diantara murid-murid Hek- Houw-pang mengeluarkan isarat kawan-kawannya, terutama kepada Siang Lee agar berhati-hati karena dia tahu betapa lihainya Liu Bhok Ki dengan senjata sabuk kain tebal yang kelihatan sederhana itu.
Pernah Liu Bhok Ki dikeroyok puluhan orang murid Hek- Houw-pang yang kesemuanya bersenjata pedang tau golok, namun sabuk itu membuat para pengeroyok tidak berdaya, bahkan banyak diantara mereka yang mengalami luka-luka berat, dan ada pula yang tewas.
Siang Lee adalah seorang pemuda yang sudah tinggi ilmu silatnya. Mendengar suara isarat ini, dia pun berhati-hati. Dia tidak berani memandang ringan kepada lawan ini, karena tadi, ketika berkelahi satu lawan satu, dia sudah merasakan kehebatan ilmu silat Liu Bhok Ki. Kini diapun mengerti mengapa banyak sekali murid dan anak buah Hek-Houw-pang tewas ditangan musuh besar ini.
Dan memang sesungguhnya Liu Bhok Ki amat berbahaya kalau sudah mempergunakan sabuknya sebagai senjata. Dia seorang ahli senjata apapun, dan permainan pedangnya juga hebat. Akan tetapi, untuk menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang menggunakan pedang, senjata sabuk kain tebal itu sungguh amat tepat. Kain itu bersifat lemas shingga tepat sekali untuk menghadapi senjata pedang atau golok yang keras dan sabuk itu dapat dipergunakan dari jarak dekat maupun jauh karena dapat diulur panjang. Ditangan ahli seperti Liu Bhok Ki, kain yang lemas itu dapat pula dibuat kaku, dapat berubah lemas kembali, untuk melibat dan membelit senjata lawan tanpa merusak sabuk.
Liu Bhok Ki maklum bahwa pemuda itu lihai, dan Cap-sha- tin juga berbahaya sekali. Maka dia pun tidak menunggu dan membiarkan dirinya didesak, begitu pengepungan itu mengetat dan di berhadapan dengan mereka yang melingkarainya dalam jarak dua meter, dia menggerakkan sabuknya dan mengamuk!
Sabuk itu lenyap bentuknya dan nampak hanya gulungan sinar hitam yang panjang, menyambar-nyambar seperti seekor naga hitam yang bemain diantara awan di angkasa.
Barisan itu berusaha membendung gerakan sinar bergulung-gulung itu dengan meningkatkan kerjasama mereka. Namun, belasan pedang itu tetap saja tidak mampu membendung daya serang dari sabuk panjang di tangan Liu Bhok Ki.
Terdengar bunyi berdesing-desing dan angina menyambar bagaikan angina puyuh, disusul teriakan-teriakan para anggota Hek-Houw-pang. Betapun mereka itu mempertahankan diri dan saling Bantu, tetap saja mereka dilanda oleh gulungan sinar hitam seperti naga mengamuk itu dan susunan barisan mereka pun cerai berai dan kacau balau.
Liu Bhok Ki menambah Sin-kang pada gerakan sabuknya dan terdengar teriakan susul-menyusul diikuti robohnya para pengeroyok seorang demi seorang. Para anggota Hek-Houw- pang masih melawan terus sekuat tenaga, dipelopori oleh Coa Siang Lee yang memaninkan siang-kiamnya dengan cepat dan kuat.
Namun, mereka itu bagaikan semut-semut yang mengeroyok seekor jangkerik. Tubuh mereka berpelantingan, dan akhirnya yang masih dapat bertahan hanyalah Coa Siang Lee seorang. Pemuda ini masih memainkan sepasang pedangnya melakukan perlawanan mati-matian, sedangkan tiga belas orang anggota Hek-Houw-pang itu telah tewas semua.
Tentu saja Coa Siang Lee tidak tahu bahwa andaikata Liu Bhok Ki menghendaki, diapun tentu sudah roboh dan tewas. Ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam perasaan hati pendekar tinggi besar yang sedang mengamuk itu. Melihat betapa Coa Siang Lee demikian mirip wajahnya dengan Coa Kun Tian dan melihat keberanian pemuda itu, besarnya semangatnya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, timbul suatu perasaan saying dan iba kepada pemuda itu. Kalau sampai saat itu CoaSiang Lee masih belum roboh, bahkan terluka, hal itu adalah karena perasaan ini yang mengganjal di hati Liu Bhok Ki.
Gerakan gulungan sinar sabuknya tadi menggulung Cap- sha-tin. Seluruh daya serangnya ditujukan untuk merobohkan tiga belas murid Hek-Houw-pang itu, sedangkan terhadap Coa Siang Lee, dia hanya menangkis dan membendung serangan sepasang pedang itu.
Kini terjadi perkelahian yang seru namun berat sebelah antara Liu Bhok Kid an Coa Siang Lee. Seru karena pemuda itu dengan nekad masih terus menyerang mati-matian, namun semua serangannya gagal dan kemanapun sianr sepasang pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan ujung sabuk dan terpental kembali. Perkelahian itu terjadi mati-matian diantara tiga belas sosok mayat yang berserakan. “Coa Siang Lee, sudahlah. Tiada gunanya engkau nekat. Engkau masih muda, saying kalau mati konyol. Apakah engku tidak mau menghentikan permusuhan gila ini? Pulanglah dan engkau boleh …. Membawa kepala ayahmu.”
Sungguh luar biasa sekali mendengar ucapan Liu Bhok Ki ini. Biasanya dia amat keras hati dank eras kepala, ingin “menyiksa” kepala orang yang menzinai isterinya itu selama dia masih hidup. Akan tetapi kini dia yang jelas menguasai pemuda itu dengan mudah akan mampu merobohkannya, mendadak menawarkan perdamaian dan membolehkan pemuda itu membawa pergi kepala ayahnya.
“Liu Bhok Ki, tak usah banyak cakap hari ini engkau atau aku yang mati!” Coa Siang Lee mendesak dengan sepasang pedangnya.
Pemuda ini memang lihai dan ilmu sepsang pedang itu pun berbahaya sekali. Sekarang, setelah tidak ada murid Hek- Houw-pang yang membantu, dia bahkan dapat mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya dan terasalah oleh Liu Bhok Ki bahwa pemuda ini memang cukup tangguh.
Diapun memutar sabuknya dan kini terjadilah perkelahian yang lebih hebat lagi., karena Liu Bhok Ki tentu saja tidak menjadi korban sepasang pedang yangganas itu dan dia mulai membalas dengan serangan-serangannya. Biarpun dia mampu mendesak pemuda itu, namun pendekar tinggi besar ini maklum bahwa tidak mau menerima usulnya berdamai itu membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga.
Pada sat itu terdengar bentakan nyaring, “Liu Bhok Ki memang seorang laki-laki pengecut dan jahat!” dan begitu bentakan itu terhenti, terdengar suara berdesing-desing dan ada tiga sinar kecil berkelebat menyambar kearah tubuh Liu Bhok Ki. Itulah tiga batang senjata rahasia piauw beronce merah yang mengandung racun.
Liu Bhok Ki mengeluarkan bentakan nyaring dan sabuknya diputar melindungi tubuhnya. Tiga batang piauw itu terpukul dan terlempar jauh, dan Liu Bhok Ki meloncat jauh kebelakang.
“tahan senjata!” bentaknya dan suaranya mengandung kekuatan khikang yang demikian hebatnya sehingga Coa Siang Lee dan orang yang baru muncul itu berhenti dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.
Ketika dia memandang gadis yang baru saja muncul dan yang menyerangnya dengan senjata rahasia piauw itu, hampir Liu Bhok Ki mengeluarkan teriakan kaget. Dia melihat wajah isterinya yang telah tiada.
Gadis itu mirip sekali dengan isterinya. Muka yang bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan, rambut yang hitam halus dan panjang, mata yang bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora, mulut yang bibirnya merah basah dan menantang itu.
“Kau ….. kau siapakah ?” akhirnya dia dapat
mengeluarkan suara yang agak bergetar.
“Sebetulnya, tidak pantas seorang macam engkau mengenal namaku, Liu Bhok Ki!” kata gadis itu dan Liu Bhok Ki terbelalak heran.
Suaranya juga persis suara isterinya.
”Akan tetapi agar engakau tidak mati penasaran, ketahuilah bahwa namaku Sim lan Ci, dan aku datang untuk membunuhmu!” “Tapi ……… tapi ” Suara pendekaryang biasanya tenang
dan tabah itu masih gagap karena jantungnya masih terguncang hebat melihat seolah-olah isterinya hidup kembali.
Apalagi kini gadis itu berdiri didekat Coa Siang Lee, seolah- olah dia melihat isterinya berdiri berdampingan dengan Coa Kun Tian, bersama-sama hendak menghadapinya dan membunuhnya.
Kepala Kun Tian itu masih tergantung disana, dan botl besar itupun masih diatas meja!
“Mengapa engkau hendak membunuhku, dan engkau ini
…….. puteri siapakah ?” Bergidik dia membayangkan bahwa
gadis itu, seperti juga Siang Lee yang mengaku sebagai putera Kun Tian, akan mengaku pula sebagai puteri Hui Cu, isterinya.
Akan tetapi tidak, gadis itu tidak mengaku demikian, dan memang hal itu tidak mungkin. Isterinya masih perawan ketika menikah dengan dia, dan isterinya mati dalam usia masih muda, tidak mungkin meninggalkan keturunan, seperti halnya Kun Tian.
“Buka telingamu baik-baik, Liu Bhok Ki. Aku hendak membunuhmu untuk menuntut balas atas kematian bibiku Phang Hui Cu, yang bukan saja kau bunuh secara keji, akan tetapi juga kepalanya kaunasukkan dalam botol besar dank au rendam dalam anggur, kau jadikan minuman. Sungguh hal itu tidak dapat kubiarkan begitu saja!”
Liu Bhok Ki mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa isterinya, Phang Hui Cu mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Phang Bi Cu dan menurut cerita isterinya, kakak perempuan itu sejak kecil sekali diculik orang dan tidak pernah ada kabar ceritanya. Apakah gadis itu puteri Phang Bi Cu? Kalau kakak perempuan isterinya itu wajahnya mirip dengan isterinya memang bukan tak mungkin wajah sang keponakan serupa benar dengan wajah bibinya.
“Kau …… puteri dari ….. Phang Bi Cu ?” tanyanya, masih
ragu dan masih terpengaruh wajah gadis yang sama benar dengan wajah isterinya itu.
Gadis itu tersenyum mengejek, “Agaknya engkau masih belum kehilangan ingatanmu! Benar sekali, aku puteri tunggalnya. Aku mendengar akan apa yang kau lakukan terhadap mendiang bibi Phang Hui Cu, maka aku datang untuk mencabut nyawamu dan untuk minta kepala bibi agar dapat kumakamkan dengan baik.”
“Tidak!” Tiba-tiba kekerasan hati Liu Bhok Ki datang kembali begitu dia teringat akan perbuatan isterinya dan Coa Kun Tian. Dua orang muda didepannya ini, yang mirip sekali dengan isterinya dan kekasih gelap isterinya, mengingat akan dia dan semua yang terjadi dua puluh tahun lebih itu, dan mendatangkan pula kemarahan dan kekerasan hatinya.
“Mereka berdua itu patut dihuku selama aku masih hidup. Mereka telah menghancurkan kehidupanku, menghancurkan kebahagianku!”
“Kalau begitu mampuslah!” teriakan ini disusul berkelebatnya sinar hitam yang selain cepat dan dasyat, juga membawa bau amis tanda bahwa pedang itu, yang berwarna hitam, seperti senjata rahasia piauw tadi, mengandung racun yang berbahaya. Pedang itu membuat gerakan memutar, berkelebat dan tiba-tiba menusuk kearah muka Liu Bhok Kid an begitu pendekar ini mengelak ke kiri, pedang yang luput menusuk muka itupun berkelebat mengejar ke kiri dan membacok kearah leher.
Cepat sekali gerakan gadis yang berpakaian serba hitam itu, dan bau amis dari pedangnya membuat lawan merasa muak dan pusing. Namun, Liu Bhok Ki yang maklum akan berbahayanya pedang hitam itu, cepat mengerahkan sin- kangnya untuk menahan serangan bau amis, dan begitu melihat pedang membacok, diapun menggerakkan ujung sabuk di tangan kiri untuk menangkis dan melibat agar dia dapat merampas pedang itu.
Akan tetapi, gadis itu ternyata lihai sekali karena begitu pedangnya ditempel sabuk sebelum sabuk itu melibat, ia sudah menarik kembali pedangnya, memutar tubuh, dan kini pedangnya membuat gerakan panjang menyapu kearah kedua kaki lawan.
“Hmmmmm!” Liu Bhok Ki meloncat keatas dan dari atas, ujung sabuknya menyambar kearah kepala gadis itu. Gadis bernama Sim Lan Ci pun dapat mengelak dengan gerakan yang cepat dan pada saat itu Coa Siang Lee sudah menerjang kedepan dan menyerang dengan Siang-kiam di kedua tangannya.
Kini Liu Bhok Ki dikeroyok dua dan terasalah oleh pendekar ini betapa sepasang muda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tingkat kepandaian gadis itu bahkan tidak kalah dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera Coa Kun Tian itu, dan terutama pedang gadis itu dan pukulan tangan kirinya, sungguh berbahaya bukan main. Tahulah Liu Bhok Ki bahwa Lan Ci ini selain memiliki senjata-senjata beraun, juga mahir menggunakan pukulan beracun.
Perkelahian itu terjadi lebih seru dibandingkan dengan ketika Liu Bhok Ki dikeroyok oleh Cap-sha-tin tadi. Karena kedua orang muda itu sama-sama menggunakan pedang, dan tempat perkelahian menjadi luas dengan hanya adanya mereka berdua yang mengeroyok, mereka dapat bersilat dengan leluasa, mengerahkan semua tenaga dan kepandaian.
Beberapa kali Liu Bhok Ki mencoba untuk merampas pedang kedua orang muda itu, namun selalu gagal. Kiranya selain memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, kedua orang muda itu pun cerdik sekali dan tidak pernah terlambat untuk menarik kembali pedang mereka sebelum terlibat. Sebetulnya, kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian kedua orang muda itu masih belum mampu menandingi tingkat kepandaian Liu Bhok Ki yang sudah matang, apalagi karena selama ini, biarpun mengasingkan diri, Liu Bhok Ki tak pernah lalai untuk melatih diri, bahkan memperdalam ilmu silatnya. Namun kedua orang muda itu silatnya hebat, dan terutama sekali hawa beracun yang keluar dari pedang dan tamparan tangan kiri Lan Ci amat berbahaya. Dan lebih daripada itu, entah bagaimana setiap kali sabuknya mendesak kearah Lan Ci, melihat wajah yang mirip sekali dengan wajah mendiang isterinya itu, hati Liu Bhok Ki menjadi lemas dan dia merasa tidak tega untuk melukai atau membunuh gadis itu.
Inilah yang membuat dia lengah bahkan lemah pertahanannya dan pada suatu saat, ketika kembali dia terpesona oleh wajah gadis itu, Lan Cid an Siang Lee mengeluarkan pekik yang melengking panjang hampir berbareng. Sepasang pedang siang lee membuat serangan kilat yang luar biasa cepatnya dan pada saat Liu Bhok Ki meloncat kebelakang, dia sudah menusukkan pedangnya dari samping.
Liu bhok Ki menangkis dengan sabuknya, namun dia terlambat sehingga pedang itu meleset dan masih menancap di pundak kirinya, kurang lebih satu dim dalamnya.
“Uhhh…..!” Liu Bhok Ki mendengus dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara kerengan hebat, tubuhnya mencelat keatas dan dari atas, tubuhnya itu bagaikan seekor burung rajawali menyambar, meluncur kebawah dan kedua ujung sabuknya menyambar-nyambar kearah kepala kedua orang lawannya.
Siang Lee dan lan Ci terkejut bukan main. Mereka tidak tahu bahwa ilmu Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang), sebuah ilmu yang baru diciptakan oleh Liu Bhok Ki di tempat pengasingannya.
Hebat sekali gerakan loncatan ini, bagaikan seekor burung rajawali terbang, cepat namun juga mengandung kekuatan yang amat dasyat. Kalau dia tidak memegang senjata sabuk, serangan itu dilanjutkan cengan cengkeraman kedua tangan ke bawah, karena dia memegang senjata ampuhnya itu, dia menggunakan sabuk untuk menyerang kebawah dan tentu saja serangan ini lebih cepat daripada kalau menggunakan kedua tangan, karena sabuk itu lebih panjang.
Dua orang muda itu sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang sudah tertusuk pedang itu akan mampu berbuat seperti itu.
Mereka terkejut dan karenanya terlambat menghindarkan diri. Kedua ujung sabuk itu menotok pundak dan mereka berdua roboh tak sadarkan diri.
Melihat kedua orang lawannya yang tangguh itu roboh pingsan, Liu Bhok Ki yang sudah turun keatas tanah, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Napasnya agak memburu dan dia memejamkan kedua matanya, merasa betapa kenyerian yang amat hebt menusuk-nusuk dari pundak kedalam tubuh, bahkan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Maklumlah dia bahwa dia tertusuk oleh pedang yang mengandung racun amat jahatnya. Terhuyung-huyung dia memasuki pondoknya, membuka buntalan simpanan obat dan segera minum tiga pel kuning, lalu menempelkan obat yang berwarna merah kepada luka di pundaknya setelah itu merobek bajunya bagian pundak.
Dia mengimpun hawa murni untuk mengusir hawa beracun dari lukanya, namun betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa racun itu memang hebat luar biasa dan tidak dapat disembuhkannya dengan obat dan pengerahan tenaga sakti. Dia hanya mampu menahan rasa nyeri dan menghentikan racun itu menjalar lebih lanjut ke hantungnya, namun dia tidak berhasil mengeluarkan racun itu dari tubuhnya.
Ini berarti bahwa ia terancam bahaya maut, kalau saja dia tidak menemukan obat penawarnya. Maka, diapun cepat berlari keluar lagi.
Dua orang muda itu masih rebah tidak pingsan lagi, akan tetapi belum mampu bergerak karena pengaruh totokan yang lihai dari ujung sabuk di tangan Liu Bhok Ki.
Melihat pria setengah tua tinggi besar itu sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, bahkan memandang kepadanya dengan mata melotoot penuh kemarahan dan kebencian.
“Sim Lan Ci,” katanya kepada gadis itu
“Engkau tahu bahwa sekali menggerakkan tangan, nyawamu akan melayang menyusul nyawa bibimu. Akan tetapi aku tidak membunuhmu, bahkan aku suka membebaskanmu dan membiarkan engkau membawa pergi kepala bibimu. Akan tetapi, engkau harus menebusnya dengan obat penawar racun pedangmu.”
Biarpun kaki tangannya tidak mampu bergerak, Lan Ci masih dapat bicara walaupun lirih. Namun bicara dengan penuh semangat dan sepasang matanya memancarkan kebencian.
“Aku sudah kalah, mau bunuh bunuhlah, siapa takut mampus. Engkau pun akan mampus karena racun pedangku dan kita sama-sama menghadap arwah bibi Hui Cu.” Liu Bhok Ki adalah seorang yang cerdik. Dia mengenal gadis yang berhati keras, maka membujuk takkan ada manfatnya. Maka dia lalu memancing untuk mengetahui macam racun yang dideritanya.
“Hemmmmm, engkau anak kecil yang sombong. Kaukira akan mudah membunuh aku begitu saja. Sudah puluhan kali aku terkena racun, akan tetapi selalu dapat kusembuhkan. Racun piauw darimu tadi pun dapat kuhilangkan pengaruhnya. Racun pedangmu ini pun tentu akan dapat kuobti sampai sembuh dalam waktu dekat.”
Pancingnya mengena. Gadis itu tersenyum mengejek. “Boleh kaucoba Obat penawar racun pedang Cui-mo Hek
Kiam (Pedang hitam Pengejar Iblis) ini hanya ada pada ibuku.
Kau tahu siapa ibuku? Ia berjuluk ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa racun).”
Mendengar julukan ini diam-diam Liu Bhok Ki terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa enci (kakak perempuan) dari mendiang isterinya itu, yang dikabarkan lenyap diculik orang ketika masih kecil, adalah datuk sesat berjuluk Ban-tok mo-li itu.
Tentu saja dia pernah mendengar nama itu, yang terkenal sebagai seorang ahli racun yang amat berbahaya dan jahat.
Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, bahkan tersenyum mengejek :
“Hemmmm, biar racun itu datang dari ban-to Mo-li atau siapapun saja, sudah pasti akan dapat kusembuhkan. Tak mungkin ada racun yang tidak ada obat penawarnya di dunia ini.” Sim Lan Ci masih terlalu muda untuk dapat menduga bahwa sikap lawannya itu adalah untuk memancing keterangan tentang racun itu. Ia menjadi penasaran dan berkata.
“Engkau akan mampus, takkan mungkin sembuh. Obat penawarnya hanya ditangan ibuku. Kecuali kalau engkau dapat menemukan raja-mustika di kepala naga ”
Sim lan Ci bukan berbohong atau sekedar mengulang dongeng kuno yang mengatakan bahwa mustika di kepala naga merupakan obat paling mujarab di dunia, dapat menawarkan segala macam racun, bahkan dapat memperkuat tubuh. Memang ia pernah mendengr dari ibunya itu bahwa satu diantara obat yang akan mampu mengobati luka bercun karena pedang Cui-mo Hek-kiam. Ia sengaja mengatakan ini, bukan berbohong, melainkan untuk mengejek karena tidak akan mungkin Liu Bhok Ki bisa mendapatkan mustika di kepala naga.
“Engkau bohong.”
“Huh, Perlu apa aku bohong? Engkau akan mampus dan kalau engkau hendak membunuhku, silakan! Kau kira dengan Sin-kang akan dapat mengusir racun dari pedangku? Tidak mungkin. Paling-paling dengan obat dan sin-kang engkau hanya akan dapat mengurangi rasa nyeri, akan tetapi racun itu tetap akan mengeram dalam tubuhmu. Memang dapat kauperlambat menjalarnya ke Jantung, akan tetapi lambat laun, akan sampai juga. Melihat betapa pedangku sudah melukai pundakmu tidak berapa jauh dari jantung, dalam waktu paling lama tiga bulan engaku tentu akan mati dalam keadaan yang sangat menderita.”
Liu Bhok Ki menjadi terkejut sekali mendengar ini. Memang cocok apa yang dikatakan gadis itu, berarti ia tidak berbohong. Dia menjadi marah sekali tangannya diangkat keatas untuk menghantam kearah kepala gadis itu. Gadis itu sama sekali tidak berkedip memandang kepadanya dengan mata yang tajam dan indah, mata isterinya. Tangannya tertahan dan dia menggeleng kepala keras-keras, lalu menoleh kea rah Coa Siang Lee yang sudah siuman akan tetapi tidak mampu bergerak. Dia mendapatkan gagasan yang luar biasa untuk melampiaskan hatinya.
“Tidak, aku tidak akan membunuhmu! Bahkan aku tidak akan membunuh dia. Biar kalian menggantikan Kun Tian dan Hui Cu untuk merasakan apa yang pernah kurasakan.”
Berkata demikian, dua kali tangannya bergerak dan dia sudah menepuk leher kedua orang muda itu yang seketika menjadi pingsan kembali.
Siang Lee siuman daro pingsannya dan merasa betapa tubuhnya panas, bukan panas yang menganggu, melainkan panas yang hangat dan nyaman. Kepalanya agak pening, akan tetapi bukan kepeningan yang tidak enak, seperti peningnya orang mabuk! Telinganya seperti mendengar suara merdu. Dia membuka mata dan silau ketika matanya bertemu dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela yang terbuka. Jendela ? dia merasa seperti dalam mimpi, akan tetapi mimpi yang indah sekali, yang membuat jantungnya berdenyut dan gairahnya memuncak.
Ketika dia mendengar suara disebelahnya, napas orang, dia cepat menengok kekanan dan disitu, dekat sekali dengan dia, dia melihat seorang gadis yang amat cantik jelita, tubuhnya mulus karena tubuh itu tidak tertutup apa-apa.
Gadis itu juga seperti orang bangun tidur, memandang kepadanya dengan heran, akan tetapi sepasang mata itu meredup dan sayu seperti mata orang mengantuk, dan mulut yang setengah terbuka itu membentuk senyum menantang, Siang Lee mendapat kenyataan bahwa bukan hanya wanita muda itu yang telanjang bulat, juga dia sendiri tidak berpakaian. Dan mereka berdua dalam keadaan tanpa pakaian, berada di dalam pondok yang jendelanya terbuka, dari mana sinar matahari masuk dengan indah dan hangatnya, dan mereka berdua rebah diatas sebuah pembaringan kayu yang kokoh kuat.
Keduanya saling pandang dan gairah berahi mereka memuncak, tak mungkin dapat ditahan lagi, dan tanpa bicara keduanya lalu saling rangkul, saling dekap dengan mesra dan panas. Tak ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu mencegah apa yang terjadi diantara mereka.
Keduanya seperti dikuasai nfsu berahi yang berkobar, tak mampu mempergunakan akal budi lagi, ingatan mereka seperti terapung di atas samudera luas yang indah menghanyutkan, seperti terbang melayang diantara awan- awan dia nagkasa dan mereka pun hanyut, tidak dapat mempertahankan diri karena tidak ada lagi yang dapat diingatnya kecuali melaksanakan hasrat yang berkobar.
Mereka seperti dua orang kehausan di padang pasir, yang sudah hampir mati kehausan, lalu tiba-tiba mendapatkan air yang jernih dan sejuk. Mereka minum dan meneguk air sejuk itu tanpa mengenal puas, sampai akhirnya keduanya terhempas dan terengah-engah diatas pembaringan itu, lalu tertidur pulas seperti pingsan, tubuh penuh keringat.
Tak kurang dari tig jam Siang Lee dan Lan Ci tidur tertelentang, sebelah menyebelah, tanpa pakaian sama sekali, tidur nyenyak seperti pingsan. Mereka sama sekali tidak tahu betapa ada byangan orang masuk dan melemparkan pakaian mereka keatas pembaringan dekat tubuh mereka, lalu bayangan itu menghilang lagi.
Mereka terbangun hampir berbarengan. Siang Lee yang lebih dulu bangun dan mengeluh karena kini dia merasa kepalanya pening, kepeningan yang menyakitkan, dan tubuhnya terasa lelah sekali. Keluhannya ini seperti menggugah Lan Cid an gadis ini pun terbangun. Seperti Siang Lee, ia pun merasa pening dan matanya berkunang. Akan tetapi, mereka dapat mengetahui kehadiran masing-masing, dan ketika membuka mata melihat betapa mereka telanjang bulat, bersama berada di dalam pondok diatas senbuah pembaringan, keduanya terkejut bukan main.
Lan Ci mengeluarkan jeritan tertahan, seperti kilat cepatnya menyambar pakaiannya yang ada didekatnya dan menutupi dada dan pahanya, matanya mengeluarkan kilat yang menyambar kearah Siang Lee yang juga berusaha menutupi perutnya dengan pakaiannya.
Keduanya saling pandang, terbelalak dan ketika Lan Ci melihat noda-noda merah diatas pembaringan, tahulah ia pa yang terjadi dengan dirinya. Ia mengeluarkan jerit tertahan, dan tangannya menyambar kedepan, kearah kepala Siang Lee yang juga terkejut dan terheran setengah mati, sudah dapat melempar tubuh ke bawah pembaringan sambil membawa pakaiannya dan dengan beberapa loncatan dia sudah keluar dari pondok itu.
Dengan tergesa-gesa dia mengenakan pakaiannya, memeras otak untuk mengingat apa yang telah terjadi dengannya dan dengan gadis itu.
Bagaimana mereka tahu-tahu berada di dalam pondok, diatas pembaringan dalam keadaan bugil dan telah terjadi hubungan diluar kesadaran mereka? Diapun samara-samar teringat betapa telah terjadi kemesraan antara dia dan Lan Ci, terjadi hubungan badan yang amat mesra dan semua kejadian itu seperti dalam mimpi saja.
“Wuuuuuutttttt… ” Kini Lan Ci meloncat keluar, dalam
keadaan sudah berpakaian. Kedua pipinya basah air mata dan mukanya pucat, matanya mencorong ketika ia memandang kepada Siang Lee. Lalu ia menuding pemuda itu dengan telunjuknya dan membentak.
“Jahanam, keparat engakau. Engkau Engkau harus
menebus dengan nyawamu!”
Akan tetapi Siang Lee sudah merenungkan peristiwa itu. dia memang terkejut dan batinya terguncang namun tidaklah sehebat guncangan batin yang diderita oleh Sim Lan Ci maka pemuda ini dapat lebih dahulu menenangkan batinya dan dapat merenungkan dan mengingat-ingat peristiwa yang telah terjadi itu.
“Nanti dulu, nona. Harap nona suka bersabar dulu sebelum menyerang aku, dan marilah kita bicara dengan kepala dingin. Percayalah, aku bersumpah bahwa aku tidak melakukan seperti apa yang kau sangka. Kita sama-sama berada dalam keadaan tidak sadar dan seperti dalam mimpi kita bersama melakukan hal itu, kita telah masuk perangkap musuh, Nona.”
Lan Ci mengerutkan alisnya dan menghapus air mata dengan punggung tangan kirinya.
“Apa ……….. apa maksudmu ?” tanyanya, heran dan
samar-samar ia teringat akan “mimpi” itu, betapa pemuda itu sama sekali tidak memperkosanya, melainkan betapa keduanya melakukan hubungan dengan mesra, dengan suka rela.
“Harap kau suka bersikap tenang, Nona. Sekali lagi, percayalah bahwa aku tidak melakukan hal keji seperti yang kau sangka. Nah, mari kita ingat-ingat, kita berdua telah roboh tertotok oleh musuh besar kita, Liu Bhok Ki? Kita tidak berdaya dan aku sudah menduga bahwa kita tentu akan dibunuh, setidaknya aku aku akan dibunuh, seperti yang terjadi pada tiga belas orang suheng-suhengku. Kemudian, ketika jahanam itu mengetuk leherku aku tidak ingat apa-apa lagi. Dan tahu- tahu aku terbangun, aku merasa seperti dalam mimpi, di dalam pondok diatas pembaringan itu, dalam keadaan
tanpa pakaian ………. Dan kau ……..pun disana dalam
keadaan yang sama lalu kita ………… kita ah, seperti dalam
mimpi saja, nona. Kemudian, tadi aku terbangun, sadar dan kepalaku pening dan Kudapati engkau lalu engkau
menyerangku! Nah, aku berani bersumpah bahwa seperti itulah kejadiannya.”