Maling Budiman Berpedang Perak Jilid 4

Jilid 04

Tak lama kemudian, Tan Hong dan Siok Lan melayang turun ke dalam kamar itu. Tanpa memandang kepada kedua korban itu, Tan Hong lalu mengeluarkan dua buah kantong kuningnya dari saku baju dan mengisi kantong itu penuh-penuh dengan uang perak dan emas yang bertumpuk di atas meja, bahkan ditambahnya pula dengan uang perak yang tersimpan di dalam lemari. Ketika ia telah selesai dengan pekerjaannya dan menoleh kepada Siok Lan, ia melihat betapa gadis ini berdiri bagaikan patung memandang kepada dua orang itu. Wajah gadis itu memperlihatkan perasaan iba kepada mereka. Tan Hong memandang kepada mereka dan melihat bahwa kedua orang suami isteri itu mempunyai wajah yang baik dan sabar, mempunyai watak yang baik dan tidak kikir. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua ini dan segera memegang tangan sumoinya untuk diajak pergi dari situ. Siok Lan tidak berkata apa-apa, akan tetapi segera ikut melompat keluar dari kamar itu dengan wajah masih menyatakan tidak tega dan tidak senang. Ketika mereka tiba di luar, ia berkata kepada Tan Hong, “Tan-suheng! Betapapun juga aku tidak suka melihat pekerjaanmu ini.”

“Mengapa, sumoi?” tanya Tan Hong dengan tenang. “Kuanggap terlalu kejam!”

“Mengapa kejam? Bukankah kau sendiri yang mengusulkan tindakan itu dan totokan kita itu tidak berbahaya, dan paling lama satu jam lagi mereka akan sadar kembali tanpa menderita sakit?”

“Bukan itu maksudku. Tapi ketika aku melihat wajah kedua orang itu, aku merasa pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang baik hati. Kini uangnya kau curi, bukankah mereka akan merasa kecewa dan sedih? Suheng

... ! Kau begitu tega membuat orang lain menderita sedih?” Tan Hong tersenyum. “Sabarlah, sumoi, dan jangan kau berlaku kepalang tanggung. Marilah ikut aku dan saksikanlah sendiri pekerjaanku yang kauanggap kejam dan hina ini sampai selesai. Kalau sudah selesai, barulah kau boleh memberi komentar dan kritik.”

Biarpun masih merengut, namun Siok Lan menganggap bahwa ucapan ini benar juga, maka ia terus mengikuti pemuda itu menuju ke dusun-dusun. Alangkah bedanya keadaan di kota dan di dusun. Pada saat itu, bulan telah muncul setengah dan dari atas genteng Siok Lan dapat melihat jelas perbedaan ini. Baru genteng-gentengnya saja sudah jauh berbeda. Kalau rumah-rumah di kota tinggi- tinggi dan mempunyai wuwungan serta genteng yang kokoh kuat dan berwarna merah, adalah rumah di dusun- dusun jarang yang mempunyai genteng dari tanah. Kebanyakan hanya dipasangi daun-daun kering sebagai atap dan rumah-rumahnya rendah lagi kecil pula. Jika dibuat perbandingan, agaknya kandang kuda para hartawan di kota jauh lebih besar dan bagus daripada rumah orang- orang kampung ini.

Apalagi ketika itu kemiskinan sedang merajalela akibat bencana alam yang mengamuk dan yang paling merasakan akibatnya adalah orang-orang miskin ini.

Biasanya, apabila melakukan pekerjaan membagi-bagi hasil curiannya, Tan Hong tidak banyak memilih dan melemparkan potongan perak begitu saja dari atas atap ke atas pembaringan orang, akan tetapi kini ia sengaja membuka atap dan minta supaya Siok Lan menengok ke dalam. Tergetar juga hati Siok Lan melihat tubuh orang- orang yang kurus kering dengan pakaian tambal-tambalan serta dalam keadaan rumah yang benar-benar kosong dan miskin menyedihkan, tidur meringkuk kedinginan oleh karena mereka tidak mempunyai selimut untuk melindungi diri dari serangan angin yang dapat masuk melalui celah- celah bilik mereka yang bobrok.

Tan Hong sengaja melemparkan uang perak ke atas pembaringan dengan mengerahkan tenaga hingga uang itu menimpa papan pembaringan mengeluarkan suara keras.

Biasanya ia melempar dengan perlahan hingga tidak mengagetkan tuan rumah dan kebanyakan, mereka yang mendapat bagian ini pada keesokan harinya baru akan dapat melihat potongan uang di atas pembaringannya.

Karena suara nyaring yang ditimbulkan oleh bantingan uang di atas pembaringan itu, orang-orang yang tidur di dalam kamar menjadi terkejut dan terbangun. Alangkah kaget mereka ketika melihat tiga potong perak yang bercahaya di dalam gelap. Mereka segera menyalakan lampu minyak dan ketika melihat bahwa barang berkilau itu benar-benar uang perak, semua orang lalu merubung dan dengan mata terbelalak memandang.

Tan Hong mengajak Siok Lan pergi dari atas rumah itu, akan tetapi Siok Lan masih sempat melihat betapa orang- orang di dalam rumah itu menjatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada dewata yang telah memberi pertolongan kepada mereka!

Tanpa banyak cakap Tan Hong mengajak Siok Lan ke sebuah rumah lain dan secara bergilir ia membagi-bagikan potongan perak dan emas kepada penghuni-penghuni rumah gubuk di desa-desa itu. Banyak sekali pemandangan yang menimbulkan ngeri dan haru dalam hati gadis itu malam ini. Ia melihat pemandangan-pemandangan di dalam rumah yang benar-benar hebat mengharukan. Ada penghuni rumah yang sedang menangisi tubuh seorang anggota keluarga yang telah kaku dan mati. Ada pula yang sedang menangisi anaknya yang sakit, dan banyak sekali yang mengeluh dan menangis karena menderita lapar!

Yang paling mengesan di hati sanubari Siok Lan ketika mereka melihat dari atap ke dalam sebuah rumah yang amat bobrok. Seorang wanita muda tapi kurus kering dan pucat sedang menangisi mayat suaminya yang membuyur di atas balai-balai rusak dan seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun menangis pula memeluki ibunya.

“Ibu ... ! ibu ... ! ayah mengapa ... ibu ... ?”

Wanita itu tidak dapat menjawab, hanya menangis makin keras dan memeluki anaknya. Dari gerakan wanita itu, Siok Lan dapat menduga bahwa wanita itu juga menderita sakit payah, tubuhnya demikian lemah tak bertenaga.

“Sian-ji ... anakku ... jaga dirimu baik-baik nak ... kalau kau merasa lapar ... jangan malu-malu ... mintalah kepada orang lain ... minta belas kasihan orang-orang ... !”

“Aku harus mengemis, ibu ... ?” tanya anak itu. “Terpaksa, Sian-ji ... ! Apa boleh buat, kau tidak boleh

mati kelaparan seperti orang tuamu ... ! Kau masih anak-

anak, perlu hidup lebih lama ... anakku ... ! Oh, anakku Sian ji ... !” Wanita itu memeluk anaknya dan dekapan ini agaknya akan merupakan dekapan terakhir apabila wanita itu tidak segera mendapat pertolongan yang berupa obat- obat bagi penyakitnya dan beras bagi perutnya yang telah berhari-hari tidak diisi.

Akhirnya, setelah kesedihan dan keharuan itu agak mereda, terdengar ibu itu bertanya, “Sian-ji ... ! Kau ... lapar, nak?” Lama tidak terdengar jawaban, tapi kemudian terdengar juga suara anak itu lemah, “Ti ... tidak, ibu ... aku tidak lapar!”

“Sian-ji, jangan kau membohong, ibu dapat mendengar suara perutmu berkeruyuk ... “

“Tidak, ibu!” suara anak itu tetap dan keras. “Selama kau belum bisa mendapat makanan, aku takkan mau merasa lapar!”

Tak tertahan pula hati Siok Lan memandang dan mendengar semua ini, dan terdengarlah isak tangis gadis ini di atas atap! Dipegangnya lengan Tan Hong yang berjongkok di dekatnya. “Ah! Suheng ... kasihan sekali mereka itu ... tolonglah mereka!”

Tan Hong lalu mengambil semua sisa uang emas dan perak yang masih ada beberapa belas potong lagi lalu dilemparkannya uang itu ke dalam kamar tersebut.

Tak terdengar suara apa-apa di dalam kamar, seakan- akan kedua manusia yang berada di dalamnya merasa terkejut dan takut. Kemudian terdengar anak itu berseru lemah, “Ibu, ibu ... lihat, apakah ini?”

“Uang ... ! Ya Tuhan, uang emas dan perak ... Sian-ji ... “ terdengar wanita itu menangis lagi dan Siok Lan yang tak dapat menahan tangisnya, lalu melompat pergi dari situ sambil terisak-isak!”

Tan Hong mengejarnya dan segera memegang lengan sumoinya. “Sumoi, tenanglah! Pemandangan seperti itu bagiku tidak aneh lagi, dan sekarang nyatakanlah pendapatmu tentang pekerjaanku ini.” Sambil berkata demikian, Tan Hong mengebut-ngebutkan kedua kantong kuningnya yang telah kosong dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Siok Lan memandang semua ini dengan mata berlinang penuh air mata, kemudian ia berkata, “Ah, Tan-suheng, tak kusangka di dunia ini ada pemandangan yang demikian menyedihkan. Tak kusangka bahwa banyak sekali bangsa kita yang hidup sengsara! Ah, kini aku mengerti mengapa kau menjadi maling!”

Tan Hong menghela napas lega. “Sumoi, ternyata kau juga mempunyai keadilan dan kejujuran serta hati welas asih. Memang, jangan kaukira bahwa akupun tidak kasihan melihat kedua suami isteri hartawan yang kucuri uangnya tadi. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa selain harta yang kucuri, mereka itu masih mempunyai banyak harta lain yang takkan habis mereka makan selama hidup bersama anak cucu mereka! Dibandingkan dengan kesengsaraan para rakyat miskin itu, apakah arti kesedihan kedua suami isteri hartawan yang kehilangan sedikit uangnya itu?”

“Kau benar, suheng. Mulai sekarang aku tidak mau memandang rendah lagi kepada pekerjaanmu. “

“Sumoi! Baru melihat saja keadaan orang-orang yang miskin dan menderita kelaparan, hatimu telah tidak kuat, itu tanda seorang berbudi mulia. Kau baru melihat saja sudah ikut merasa sengsara, apalagi aku telah mengalami sendiri!” Tan Hong menghela napas karena teringat akan pengalamannya di waktu masih kecil.

“Engko Hong, kau pernah mengalami ... kelaparan?” tanyanya dan panggilannya

berubah “engko” yang lebih mesra daripada “suheng”. Perubahan ini terloncat keluar dari mulutnya tanpa dirasainya, sedangkan kedua matanya memandang dengan bersinar penuh perasaan iba.

Tan Hong tersenyum sedih. “Ayah ibuku meninggal karena kelaparan! Hal ini baru kepadamu saja kuceritakan dan tak perlu aku malu akan hal itu. Sedangkan aku sendiripun hampir saja mati kelaparan kalau tidak ditolong oleh suhu.”

Siok Lan makin tertarik dan mendesak supaya Tan Hong menceritakan pengalamannya dengan singkat dan Siok Lan yang mendengar penuturan ini, mengucurkan air mata karena terharu dan kasihan.

“Alangkah malang nasibmu, engko Hong. Kini mengertilah aku mengapa kau selalu bermuram durja seperti seorang yang telah menderita kesengsaraan hebat, dan tahu pula aku mengapa kau demikian memperhatikan nasib-nasib orang-orang yang menderita kelaparan hingga rela menjadi maling untuk menolong mereka! Kau mencuri semata-mata untuk menolong rakyat miskin hingga kau melupakan dirimu sendiri, dan lihatlah pakaianmupun sudah penuh tambalan. Ah, aku dulu sala sangka, engko Hong. Kau benar-benar seorang maling budiman yang mulia dan suci!”

“Terima kasih, adikku yang baik. Sekarang aku tidak menderita lagi, bahkan aku merasa hidupku penuh bahagia. Terutama sekali semenjak kita bertemu.” Tan Hong memandang tajam dan untuk sesaat Siok Lan membalas pandang, mata pemuda itu, akan tetapi gadis ini segera menundukkan muka dengan malu.

“Ah, hari telah mulai terang, mari kita pulang. Tentu Ong-suheng menanti-nanti kita!” katanya sambil melompat jauh. Tan Hong mengejar dan mereka lalu lari dengan cepat menuju ke rumah penginapan.

***

Ketika mereka tiba di atas genteng rumah penginapan itu, alangkah terkejut mereka melihat betapa Ong Kai sedang mengamuk dan dikeroyok oleh lima orang yang berpakaian sebagai piauwsu! Ternyata ketika Ong Kai berada seorang diri di dalam kamarnya dan tidur nyenyak, menjelang fajar, tiba-tiba ia mendengar suara banyak kaki orang berada di atas genteng kamarnya. Pemuda ini menyangka bahwa tentu ada orang- orang jahat hendak menyerbu, maka cepat ia mencabut pedangnya dan keluar dari jendela kamarnya. Benar saja, di atas genteng ia melihat bayangan beberapa orang memegang pedang.

Ong Kai memang pemberani dan tabah. Ia segera mengayun tubuhnya melompat ke atas sambil membentak, “Bangsat-bangsat kecil, mau apa pagi-pagi datang mengganggu orang?”

Kelima orang yang berada di atas genteng melihat pemuda muka hitam ini, berseru, “Nah, ini dia orangnya! Tangkap! Bunuh!” Mereka lalu maju mengeroyok tanpa banyak pertanyaan lagi!

Tentu saja Ong Kai sangat marah. Ia maklum tentu telah terdapat salah paham dan salah sangka, akan tetapi dasar ia berhati keras dan tabah, ia tidak mau banyak bertanya pula. Dengan sengit ia memutar-mutar pedangnya dan kelima orang piauwsu yang mengepungnya itu terpaksa mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menahan amukan pemuda muka hitam itu! Biarpun ia hebat dan keras hati, namun Ong Kai masih dapat membedakan orang jahat dan orang baik, maka iapun tidak mau menurunkan tangan kejam, dan hanya memainkan pedangnya sedemikian rupa untuk memamerkan kepandaian saja tanpa mengirim serangan yang dapat mendatangkan bahaya bagi kelima orang musuhnya!

Pada saat itu datanglah Tan Hong dan Siok Lan. Melihat bahwa para pengeroyok Ong Kai berpakaian piauwsu, Tan Hong segera berseru, “Saudara-saudara, tahan dulu! Saudaraku inipun seorang piauwsu, mengapa kalian mengeroyoknya?”

Kelima orang piauwsu itu memang telah terdesak hebat dan tak berdaya, maka ketika mendengar teriakan Tan Hong ini mereka lalu melompat mundur dan berdiri berjajar sambil memandang tajam.

Ong Kai tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha, ha! Piauwsu kampungan! Bagaimana, sudah kenal kehebatanku? Tiada hujan tiada angin kalian datang mengeroyokku, apakah di rumah tidak mempunyai pekerjaan lalu iseng-iseng memamerkan kepandaianmu?”

Seorang di antara kelima piauwsu itu tidak lain adalah Lim-piauwsu dari Wi-ciu yang pernah bertempur dan mengejar dan berusaha menangkap Tan Hong ketika pemuda ini berada di Wi-ciu. Melihat kedatangan Tan Hong, Lim-piauwsu terkejut dan segera menjura, “Ah, Gin- kiam Gi-to datang, tentu taihiap akan dapat menerangkan sejelasnya kepada kami, oleh karena kami percaya bahwa taihiap bukan tergolong para perampok hina!”

“Sabarlah dulu kawan-kawan, sebenarnya apakah yang telah terjadi?” tanya Tan Hong.

“Mereka berlima ini datang-datang menyerbuku tanpa memberi kesempatan sedikitpun!” seru Ong Kai dengan suara marah.

Lim-piauwsu menghela napas. “Mungkin sekali kami salah sangka, harap kau sudi memberi maaf,” katanya kepada Ong Kai. Kemudian kepada Tan Hong ia berkata, “Marilah kita turun ke bawah saja, kurang leluasa bicara di atas genteng. “

Semua orang lalu melayang turun dan oleh karena rombongan piauwsu-piauwsu itu telah dikenal dan dihormati semua penduduk sebagai orang-orang gagah, maka mudah saja bagi Lim-piauwsu untuk minta kepada pengurus hotel agar supaya ruang belakang disediakan khusus untuk mereka dan tidak boleh diganggu orang lain.

Setelah memasuki ruang belakang dan makan suguhan bakpauw dan air teh yang dipesan Lim-piauwsu, sebelum bercerita, Lim-piauwsu minta kepada Tan Hong supaya memperkenalkan si muka hitam dan si nona cantik itu.

“Ini adalah suteku bernama Ong Kai dan pekerjaannya juga menjadi piauwsu di Luikoan-bun, dan nona ini adalah sumoi-ku bernama Lo Siok Lan. “

Lim-piauwsu kembali menyatakan penjelasannya yang telah salah melihat orang dan minta supaya Ong Kai suka memberi maaf.

“Nanti dulu!” kata Ong Kai, “Soal minta maaf tidak ada artinya. Yang penting aku ingin sekali mengetahui, kalian sangka siapa aku ini?”

Dengan sejujurnya Lim-piauwsu menjawab, “Kami tadinya menyangka bahwa kau adalah Hek-bin-mo!”

“Hai!!” Oang Kai bangun dari tempat duduknya dengan kaget dan heran, sedangkan Tan Hong dan Siok Lan juga merasa terkejut sekali. Akan tetapi kelima piauwsu itu memandang heran tidak mengerti mengapa ketika orang muda itu menjadi demikian kaget.

“Apakah kalian ini kembali hendak mencari perkara dengan aku? Jangan kalian main-main!” Ong Kai membentak dan wajahnya yang hitam itu menjadi makin hitam oleh karena darah merah menjalar di urat-urat mukanya.

“Lim-piauwsu, suteku ini memang bernama Hek-bin- mo!” kata Tan Hong. Kini Lim-piausu dan kawan-kawannyalah yang terkejut sekali dan Lim-piauwsu buruburu berdiri menjura kepada Ong Kai. “Maaf ... ! Maaf ..., sekali lagi terjadi salah paham yang sama sekali tak kami sangka dan sekali-kali kami tidak sengaja hendak membikin marah dan tak senang kepada Ong-enghiong. Kami memang tidak membohong atau hendak mempermainkan orang, akan tetapi benar-benar kepala perampok yang kami musuhi itupun disebut Hek- bin-mo dan bernama Ciauw Lek.”

Lim-piauwsu lalu menuturkan bahwa baru-baru ini muncul serombongan perampok yang berkepandaian tinggi dan yang sama sekali tidak menghargai persahabatan dan mengganggu pengiriman barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu. Lim-piauwsu dan beberapa orang kawan telah mendatangi sarang perampok baru itu di sebuah hutan, akan tetapi mereka tidak mau memperdulikannya, bahkan para piauwsu itu lalu dimaki, dihina, kemudian diserang hingga sebuah pertempuran hebatpun terjadi. Akan tetapi, perampokperampok itu terlampau hebat hingga rombongan piauwsu itu dipukul mundur, bahkan tiga orang kawan Lim-piauwsu mendapat luka berat.

Dengan hati marah Lim-piauwsu lalu mengumpulkan kawan-kawannya dari beberapa kota dan mereka ini lalu menyerbu ke dalam hutan untuk membuat pembalasan, akan tetapi kembali mereka dipukul mundur. Di antara pimpinan perampok, terdapat tiga orang kepala perampok yang memiliki kepandaian silat tinggi sekali. Seorang di antara ketiga kepala rampok ini bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan berjuluk Hek-bin-mo! Dua orang yang lain adalah orang-orang tua yang berkepandaian hebat sekali, yakni dua saudara kembar bernama Ang Houw dan Ang Touw dan yang dinamai orang Sepasang iblis Kembar!” Setelah menceritakan ini semua, Lim-piauwsu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Tan Hong dan kawan- kawannya, hingga ketiga orang muda itu menjadi terkejut lalu buru-buru mengangkat bangun Lim-piauwsu dan piauwsu-piauwsu lain yang juga ikut berlutut.

“Sam-wi enghiong yang mulia, kami mohon pertolongan sam-wi untuk membantu kami, oleh karena selain sam-wi yang maju membantu, rasanya tak mungkin bagi kami untuk mengusir perampok-perampok itu dan ini berarti bahwa sumber nafkah kami menjadi lenyap! Tolonglah kami, demi persahabatan di kalangan kang- ouw.”

Tan Hong merasa kasihan juga melihat keadaan para piauwsu itu. Sebetulnya ia tidak tertarik dan tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan para jago liok-lim (perampok), maka ia lalu mengambil keputusan untuk menjadi orang penengah saja dan mencoba mendamaikan perampok-perampok itu dengan para piauwsu agar dapat bekerja sama dengan baik. Juga ia tertarik mendengar kehebatan mereka dan ingin sekali menyaksikan sendiri.

Akan tetapi tidak demikian dengan Ong Kai. Semenjak tadi hatinya telah amat tertarik mendengar bahwa ada kepala rampok yang bernama sama, bermuka serupa dan bertubuh sebentuk dengan dia! Maka ia lalu berkata kepada Lim-piauwsu, “Jangan khawatir, Lim-piauwsu! Aku takkan membiarkan seorang Hek-bin-mo lain melakukan kejahatan dan membikin cemar nama julukanku! Hendak kulihat bagaimana kehebatannya Hek-bin-mo palsu itu!”

“Lim-piauwsu, memang benar ucapan Ong-sute. Kita harus saling bantu dan sudah menjadi keharusan kita untuk membantu kawan-kawan yang menderita kesukaran. Biarlah siauwte ikut bersamamu ke sarang perampok itu dan mencoba mendamaikan urusan ini.” Sementara itu, Siok Lan tidak mau berkata apa-apa, dalam hati gadis ini merasa heran sekali melihat sikap Tan Hong. Pemuda itu sendiri adalah seorang maling besar, bagaimana sekarang ia mau memusuhi perampok? Bukankah mereka masih segolongan? Betapapun juga, apabila Tan Hong memusuhi golongan perampok, maka ia akan dapat dianggap mengkhianati golongan sendiri!

Setelah bersiap sedia, Lim-piauwsu lalu memberitahukan kepada kawan-kawan piauwsu lainnya, hingga tak lama kemudian telah berkumpul dua puluh orang piauwsu yang mengantar ketiga orang muda itu ke hutan tempat perampok itu bersarang. Mereka ini merupakan sebuah barisan panjang yang berjalan dengan sikap gagah oleh karena mereka menaruh pengharapan besar untuk dapat membalas dendam kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang itu. Dari Lim-piauwsu mereka mendengar bahwa ketiga anak muda yang hendak membantu mereka itu adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi, bahkan yang seorang adalah Gin- kiam Gi-to yang terkenal. Para piauwsu ini kagum sekali melihat Siok Lan yang selain cantik jelita, juga bersikap pendiam dan tampak gagah sekali. Oleh karena di antara rombongan piauwsu ini banyak pula yang masih muda- muda, maka sebagaimana biasanya pemuda-pemuda menghadapi seorang gadis jelita, biarpun mereka tidak berani terang-terangan oleh karena mendengar akan kehebatan Siok Lan, namun mereka tetap berlumba untuk berlagak agar nampak gagah dan menarik perhatian gadis itu! Akan tetapi, Siok Lan berjalan sambil tunduk dan sama sekali tidak mau memperdulikan pandangan mata semua orang, baik yang datang dari fihak rombongan piauwsu sendiri, maupun yang datang dari penduduk yang melihat rombongan itu berjalan. Para penduduk telah mendengar berita bahwa rombongan ini hendak menyerbu perampok dan mereka kagum melihat bahwa di antara sekian banyak laki-laki gagah, terdapat seorang pendekar wanita yang demikian cantik jelita dan yang berjalan dengan tenang, seakan-akan tidak sedang hendak menghadapi pertempuran dengan para perampok ganas !

***

Yang merajai hutan Pek-siong-lim adalah tiga orang kepala rampok yang diceritakan oleh Lim-piauwsu tadi, yakni kedua saudara kembar yang sudah tua Ang Houw dan Ang Touw yang berjuluk Sepasang Iblis Kembar, dan si muka hitam Ciauw Lek yang disebut orang Hek-bin-mo si Iblis Muka Hitam, julukan yang sama benar dengan julukan Ong Kai!

Mereka bertiga merupakan tiga serangkai yang telah membuat nama besar di daerah utara, akan tetapi pada suatu hari, di utara telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian tinggi sekali, sungguhpun keadaan kakek itu amat miskin dan buruk. Munculnya pendekar perantau ini membuat gempar kalangan liok-lim oleh karena pendekar ini benci sekali kepada bangsa perampok dan penjahat. Banyak sekali rampok yang telah tewas dan roboh di tangan pendekar ini, dan Ciauw Lek beserta kedua orang kawannya lalu lekas-lekas melarikan diri. Mereka lalu kabur ke selatan dan akhirnya memilih tempat di hutan Pek-sionglim, menjadi kepala rampok disitu. Tertarik oleh kehebatan tiga orang kepala rampok ini, banyak anak buah rampok yang datang membantu mereka.

Tak lama kemudian daerah itu menjadi tidak aman. Kepala rampok yang dulu, yang ditewaskan oleh ketiga kepala rampok baru ini, dapat bekerja sama dan menghargai para piauwsu hingga tak pernah mengganggu barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu ini. Sebaliknya para piauwsu juga seringkali memberi sumbangan-sumbangan kepada kepala rampok itu. Akan tetapi, setelah kepala rampok digantikan oleh Sepasang Iblis Kembar dan si Muka Hitam, siapa saja yang melewati daerah itu tentu akan dirampok habis-habisan tanpa pilih bulu! Bahkan ketiga orang kepala rampok baru ini tidak segan-segan menyerbu ke dalam dusun-dusun dan merampok penduduk dusun, mengangkut hasil bumi yang mereka tanam dengan susah payah!

Di antara semua piauwsu yang menjadi korban, juga barang-barang di bawah perlindungan Lim-piauwsu tak terkecuali. Lim-piauwsu menjadi marah dan menyerbu, akan tetapi kepandaian ketiga kepala rampok itu benar- benar hebat, hingga bukan saja ia tidak dapat mengalahkan mereka, bahkan di antara kawan-kawannya ada yang tewas dan luka!

Kini setelah para piauwsu itu bertemu dengan Ong Kai yang telah mereka ketahui kehebatannya ketika kelima piauwsu itu mengeroyoknya, dan terutama oleh karena Ong Kai berkawan dengan Tan Hong si Maling Budiman yang terkenal itu, ditambah pula dengan seorang pendekar wanita yang biarpun belum mereka saksikan kehebatannya, akan tetapi oleh karena pendekar wanita itu menjadi adik seperguruan dari si Maling Budiman, mereka percaya bahwa gadis pendekar itupun tentu memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Tentu saja mereka berbesar hati dan timbul pengharapan mereka untuk dapat mengusir gerombolan perampok yang jahat itu.

Ang Houw dan Ang Touw serta Ciauw Lek, mempunyai banyak sekali anak buah dan mereka memang mengadakan aturan yang keras serta berdisiplin. Di setiap sudut hutan Peksiong-lim mereka tugaskan penjaga-penjaga dan penyelidik-penyelidik hingga kedatangan para piauwsu itu telah mereka ketahui dengan cepat. Ciauw Lek tertawa geli, “Ha, ha, ha, piauwsu-piauwsu anjing itu benar-benar ingin mampus! Apakah mereka belum juga kapok? Lebih baik mengirim tanda takluk kepada kita agar kita dapat mengampuni mereka, daripada datang mengantar kematian! Ha, ha, ha!”

“Ciauw-sute, jangan kau pandang rendah mereka. Menurut laporan penyelidik, kini mereka datang mengiringkan tiga orang muda yang agaknya menjadi jago mereka. Lebih baik kita berhati-hati menghadapi mereka,” kata Ang Houw yang tertua dan lebih berhati-hati sikapnya.

“Twako berkata benar, sute,” kata Ang Touw yang selalu membela kakaknya. “Memang tidak ada salahnya kalau kita berhati-hati agar jangan sampai mengalami kegagalan seperti ketika di utara. “

Ciauw Lek yang bermuka hitam mencibirkan bibirnya dan tersenyum menghina. “Orang-orang selatan yang lemah ini perlu apa ditakuti? Tapi, kalau ji-wi twako hendak mengadakan sambutan secara baik-baik, akupun setuju saja. Apakah aku harus melarang anak buah yang hendak menganggu mereka?”

“Biarlah, biar mereka maju lebih dulu untuk sekedar menguji keadaan dan kekuatan mereka. Kita bersembunyi dan melihat sepak terjang mereka lebih dulu. “

Ketiga kepala rampok ini lalu mengatur persiapan dan memberi perintah-perintah kepada anak buah mereka. Mereka lalu mengadakan pencegatan di sebuah tikungan yang banyak ditumbuhi pohon siong yang besar-besar.

Rombongan piauwsu itu masuk ke dalam hutan dan hampir semua piauwsu yang pernah mengalami kekalahan besar di dalam hutan ini mau tidak mau merasa dag-dig-dug juga. Akan tetapi oleh karena melihat betapa Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan berjalan dengan sikap tenang dan berani, mereka lalu turut maju sambil memandang kekanan ke kiri sambil bersiap-sedia dengan pedang atau senjata lain di tangan!

Ketika mereka tiba di tukungan di mana para perampok telah menanti sambil bersembunyi di belakang pohon, tiba- tiba Tan Hong dan kedua orang kawannya yang bermata tajam berhenti dan mengangkat tangan ke belakang memberi isyarat supaya semua piauwsu berhenti.

Tiba-tiba dari depan terdengar suara mengiuk dan belasan batang anak panah meluncur cepat dari segala jurusan! Akan tetapi anak-anak panah ini kesemuanya menuju ketiga orang muda yang berdiri di depan. Ini memang kehendak para kepala perampok yang hendak menguji kepandaian ketiga orang muda itu!

Ong Kai dan Tan Hong tenang-tenang saja, akan tetapi Siok Lan merasa marah sekali. Gadis ini tahu-tahu telah melompat ke depan sambil mencabut pedangnya hingga semua anak panah kini menuju kepada tubuhnya. Para piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan hati berdebar. Akan tetapi, secepat kilat Siok Lan memutar pedangnya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya, bagaikan air hujan terhalang payung. Inilah gerakan pedang yang disebut Dewi Kwan Im Membuka Payung! Kagumlah para piauwsu melihat kehebatan gadis ini dan mereka memuji dengan girang. Ternyata gadis pendekar ini tidak mengecewakan harapan mereka!

“Perampok-perampok rendah tak tahu malu! Keluarlah kalau kalian laki-laki sejati, jangan menyerang secara gelap bagaikan lakunya pengecut hina!”

Tiba-tiba dari belakang pohon berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang memegang golok di tangan. Mereka ini maju menubruk dengan golok terangkat ke arah Siok Lan!

Kagetlah para piauwsu itu, apalagi ketika mereka melihat betapa Tan Hong dan Ong Kai hanya tersenyum sambil menonton saja, sama sekali tidak hendak membantu dara jelita

yang dikeroyok lima orang itu! Akan tetapi, sekali lagi mereka tertegun dan kagum. Siok Lan berseru keras dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sekali tangkis saja kelima golok lawannya terpental! Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari, akan tetapi tangan kiri dan kaki kanan Siok Lan bergerak cepat, dan robohlah dua orang perampok yang larinya paling belakang!

Gadis pendekar itu lalu memasukkan pedangnya di sarung pedang dan kini ia menyambar lengan tangan kedua orang itu dan menyentak keras ke atas sambil berseru, “Perampok-perampok hina, terimalah kembali dua ekor anjingmu ini!” Dan luar biasa sekali! Dengan sekali ayun saja kedua tubuh anak buah perampok itu, terlempar ke arah pohonpohon di depan bagaikan jatuhnya dua buah nangka!

Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan “Hebat sekali!” dan dari belakang semak-semak melayang keluar tubuh seorang tua yang cepat meyambar tubuh kedua anak buah perampok yang masih melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon itu! Begitu kakek itu mengulur kedua tangannya, ia berhasil menangkap dengan tepat leher baju kedua perampok dan tubuhnya melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Kemudian ia mendorong kedua perampok itu ke kanan dan ke kiri hingga keduanya jatuh terguling ke dalam semak! Diam-diam Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan kagum juga melihat gerakan Garuda Sakti Menyambar Kelinci yang diperlihatkan oleh kakek tadi untuk menolong kedua orang perampok itu.

Kakek itu tidak lain ialah Ang Houw dan pada saat itu juga, Ang Touw dan Ciauw Lek keluar pula dari tempat persembunyian mereka. Ketika melihat Ciauw Lek keluar, Tan Hong dan Siok Lan hampir tak dapat menahan geli hati mereka. Memang, orang tinggi besar ini hampir serupa dengan Ong Kai, baik kehitaman mukanya, maupun tubuhnya yang tinggi besar itu. Kalau saja Ong Kai berdiri di sebelah orang hitam ini, maka di situ akan terdapat dua orang kembar, oleh karena kedua orang itupun serupa betul!

Ang Houw yang selalu berhati-hati lalu menjura kepada ketiga anak muda itu dan bertanya, “Bolehkah kami mengetahui siapakah lihiap yang gagah ini dan siapa pula ji- wi enghiong yang datang memasuki daerah kami dengan para piauwsu itu?”

Sebelum Tan Hong membuka mulut menjawab, ia telah didahului oleh Ong Kai yang menuding sambil membentak marah, “Perampok-perampok busuk! Sebelum kalian bertanya, mengakulah lebih dulu. Apakah setan ini yang berani memakai nama julukan Hek-bin-mo?” Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah hidung Ciauw Lek!

Memang semenjak tadi Ciauw Lek memperhatikan Ong Kai yang nampak gagah itu, maka kini mendengar betapa pemuda muka hitam itu, mengeluarkan kata-kata menghina dan datang-datang memaki dirinya, ia lalu balas membentak, “Akulah Hek-bin-mo Ciauw Lek! Kau setan hitam, mau apa bertanya dan menyebut-nyebut namaku?”

“Bagus! Kalau begitu, mulai saat ini aku melarang kau menggunakan nama julukan Hek-bin-mo dan mulai saat ini kaupun harus pergi dari hutan ini dan jangan berani mengganggu orang lagi. Kalau tidak, tuanmu ini akan memutar batang lehermu!”

Bukan main marahnya Ciauw Lek mendengar ini. Kedua matanya melotot dan dadanya naik turun terdorong gelombang kemarahan, “Setan hutan! Siapa kau maka berani berlagak sesombong ini?”

Ong Kai tertawa, “Dengarlah, monyet! Aku bernama Ong Kai dan aku disebut Hek-bin-mo!”

Tan Hong dan Siok Lan tersenyum geli dan para piauwsu itupun menahan geli hati mereka, sungguhpun mata mereka memandang dengan penuh ketegangan melihat lagak kedua orang tinggi besar yang menyeramkan itu. Dengan heran Ciauw Lek melangkah mundur setindak.

“Kau ... ! Hek-bin-mo palsu!”

“Bangsat, kalau begitu kau harus mampus!” Ong Kai lalu menerjang dengan kepalan tangan dalam gerak pukulan Raja Maut Merampas Nyawa! Pukulan ini hebat sekali, akan tetapi dengan berani Ciauw Lek lalu menangkis dengan lengan tangannya. Dua lengan tangan yang besar dan kuat beradu dan akibatnya Ciauw Lek terhuyung mundur tiga langkah!

Melihat ini, kedua saudara kembar she Ang itu lalu maju dan berkata, “Sute, tahan dulu. Biar kita bicara dulu dengan mereka ini!”

Juga Tan Hong yang sebetulnya hanya bermaksud menjadi pendamai saja, mencegah Ong Kai menyerang terus, “Ong-sute, sabarlah dulu. “

Ong Kai menggigit bibirnya. “Kalau tidak dihalangi, pasti aku akan putar batang lehermu sampai putus!” Ang Houw lalu bertanya kepada Tan Hong, oleh karena itu ia tahu bahwa pemuda ini yang menjadi pemimpin rombongan itu.

“Enghiong yang gagah, sekali lagi kami ulangi pertanyaan kami tadi. Apakah maksudmu datang ke sini dan memusuhi kami? Apakah sam-wi sengaja datang hendak membela para piauwsu itu?”

Tan Hong menjawab dengan suara halus dan tenang. “Tai-ong, sebenarnya kami datang hanya hendak mendamaikan urusan yang timbul di antara kalian dan para piauwsu. Kami minta kiranya kalian sudi bertindak bijaksana dan tidak melakukan perampasan terhadap barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu itu. Ingatlah bahwa mereka inipun melakukan tugas pekerjaan mereka dan apabila kalian mengganggu, maka berarti kalian menanam bibit permusuhan yang tiada habisnya. “

“Kau anak muda, kurus kering dan jembel busuk! Siapakah kau ini maka begini cerewet?” Tiba-tiba Ciauw Lek membentak dan menubruk ke arah Tan Hong sambil mengirim kepalan ke arah kepala Tan Hong. Tan Hong berlaku tenang, dengan sedikit memiringkan kepala ia mengelak dari pukulan ini dan tanpa bergerak dari tempatnya, kaki kirinya meluncur ke depan dan tubuh Ciauw Lek tertendang sampai terlempar dua tombak jauhnya! Untung bagi si muka hitam bahwa Tan Hong tidak hendak mencelakakan jiwanya, maka ia hanya mendapat sedikit luka dan kecet saja ketika tubuhnya terlempar ke semak-semak berduri!

Biarpun Ang Touw juga mempunyai watak lebih sabar daripada Ciauw Lek, akan tetapi ia tidak sesabar Ang Houw. Melihat sutenya dirobohkan orang sedemikian mudahnya, naiklah darahnya dan secepat kilat ia maju menyerang dengan pedang di tangan! Ia menyerang dengan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang dan pedangnya meluncur ke arah leher Tan Hong! Melihat kecepatan gerakan ini dan merasa betapa pedang itu mendatangkan angin yang cukup hebat, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan menangkis. Tergetarlah telapak tangan Ang Touw ketika pedangnya kena ditangkis, akan tetapi tangkisan itu tidak cukup kuat untuk membuat pedangnya terpental! Diam-diam Tan Hong juga memuji tenaga orang itu.

Akan tetapi, ketika melihat pedang perak itu berkilauan di tangan Tan Hong, seorang di antara para anak buah perampok berteriak, “Hai, dia adalah Gin-kiam Gi-to si Maling Budiman!”

Terkejutlah ketiga kepala rampok itu mendengar nama ini disebut, Ang Houw segera menjura dan bertanya, “Betulkan, kau Gim-kiam Gi-to?”

Tan Hong tak menyembunyikan nama julukannya dan mengangguk sambil memandang tajam.

Maka merahlah wajah Ang Houw mengetahui bahwa pemuda yang hebat ini benar-benar si Maling Budiman adanya! Ia lalu menuding dan berkata marah, “Gin-kiam Gi-to! Kau seorang maling yang telah membuat nama besar, akan tetapi ternyata kau sama sekali tidak tahu aturan dalam kalangan liok-lim! Kau sendiri seorang maling, mengapa kau membela para piauwsu dan datang memusuhi kami? Apakah ini takkan membuat sesama kaum mengatakan bahwa sebagai seekor bebek kau telah berani masuk ke kandang besar dan menyerang angsa?” Perumpamaan ini dimaksudkan bahwa seekor bebek yang kecil tentu tidak mau menyerang angsa yang masih segolongan dengannya! Tan Hong tersenyum dingin dan menjawab, “Tai-ong, jangan kau berlancang mulut dan menggolongkan aku sebagai golonganmu! Biarpun aku seorang maling, akan tetapi bukan sembarang maling seperti yang kaukira! Memang pada umumnya, seorang maling boleh diumpamakan saudara muda dari seorang perampok! Akan tetapi, kau merampok, membunuh, dan mencelakakan orang lain hanya untuk memenuhi dan menyenangkan kebutuhan sendiri. Kau melakukan kejahatan terdorong oleh nafsu tamak dan terdorong oleh keinginan hidup mewah sehingga melupakan perikemanusiaan dan perikeadilan! Jangan kau persamakan aku dengan golonganmu ini! Selama menjalankan pencurian, aku belum pernah mempergunakan hasil curianku untuk kepentinganku sendiri! Kau dan kawan-kawanmu telah mengganggu dan mencelakakan para piauwsu ini, serta menurut pendengaranku, kalian telah melakukan perampokan ke dusun-dusun, merampok penduduk yang miskin, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan! Oleh karena itulah maka aku dan kedua adikku ini datang untuk memberi peringatan keras kepadamu!”

Ucapan Tan Hong ini disertai amarah yang meluap oleh karena ia tidak rela bahwa dirinya dipersamakan dengan mereka, penjahat-penjahat kejam ini!

Merahlah muka Ang Houw, “Jangan sembarangan menuduh! Aku tak pernah merampok penduduk dusun sebagaimana yang kau katakan itu!”

Tan Hong tersenyum menyindir, “Mungkin bukan kau sendiri yang bertindak. Akan tetapi kalau anak buahmu yang berbuat, apakah kau hendak melepaskan tanggung jawab dari tanganmu? Tidak bisa, tai-ong. Anak kecil yang berbuat jahat, orang tua harus bertanggung jawab. Anak buah yang menyeleweng, pemimpinnya tak lepas dari pertanggung jawabnya!”

Kini Ang Touw tak dapat menahan sabarnya lagi. “Gin- kiam Gi-to, apa kaukira kami berdua saudara Ang takut kepadamu? Marilah kita putuskan perkara ini dengan tangan, bukan dengan lidah! Apakah yang kau kehendaki? Kau datang bertiga dan kamipun bertiga pula! Kita mengadu kepandaian tiga lawan tiga atau maju semua dengan piauwsu itu? Anak buah kami juga sudah bersiap!”

Tan Hong maklum bahwa apabila semua maju akan terjadilah pertempuran besar dan akan banyak orang yang terluka atau tewas, maka ia berkata lantang, “Sam-wi tai- ong! Marilah kita mengadu kepandaian sebagai layaknya orang-orang ksatria, dan tidak main keroyokan! Ingin sekali kami bertiga minta pengajaranmu!”

Tiba-tiba Ciauw Lek melompat maju dengan marah. “Aku maju lebih dulu, siapa yang hendak main-main denganku?”

Ong Kai cepat menyambut si muka hitam ini. “Setan palsu! Akulah lawanmu!” Hekbin-mo ini cepat mencabut pedangnya.

“Bagus! Kaukira aku takut kepada tenagamu yang besar? Majulah kau, setan!”

Ong Kai lalu menyerang yang ditangkis dengan gesit oleh Ciauw Lek dan mereka lalu bertempur sengit. Semua orang menonton pertempuran ini dan para piauwsu bersiap sedia menghadapi kemungkinan majunya para anggauta perampok jika akan menyerbu.

Ilmu pedang Ciauw Lek cukup hebat dan ganas dan dari gerakan kaki dan tangan kirinya yang kadang-kadang maju pula menyerang dengan cengkeraman, dapat diduga bahwa ia mempunyai ilmu kepandaian silat dari utara yang tercampur dengan ilmu berkelahi bangsa Mongol. Akan tetapi, menghadapi Ong Kai ia tak mendapat banyak kesempatan, oleh karena selain tenaga lweekang Ong Kai lebih besar, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat itu ternyata mempunyai gerakan-gerakan yang aneh dan lebih cepat daripada ilmu pedang Ciauw Lek. Akan tetapi, oleh karena Ciauw Lek bertempur dengan nafsu besar dan dengan nekad, untuk beberapa lama Ong Kai belum mendapat kesempatan merobohkannya.

Para penonton merasa khawatir melihat pertempuran yang hebat ini. Tubuh kedua orang itu berputar-putar cepat hingga sukar membedakan mana Ong Kai dan mana Ciauw Lek! Akan tetapi Tan Hong dan Siok Lan dengan girang dapat melihat bahwa Ong Kai berada di pihak yang lebih unggul dan perlahan tapi tentu Hek-bin-mo itu mendesak lawannya.

“Hai, setan busuk! Kau berjanjilah untuk menanggalkan nama julukan Hek-bin-mo, baru aku mau mengampuni kau!” Ong Kai berseru sambil mendesak dengan pedangnya.

“Bangsat rendah, jangan banyak mulut!” balas Ciauw Lek sambil menangkis dengan sekuat tenaga. Akan tetapi ternyata serangan Ong Kai itu hanya gertak belaka dan ketika lawannya menangkis dengan keras, Ong Kai menarik kembali pedangnya dan cepat membuat serangan dari samping. Serangan ini tidak diduga-duga sama sekali oleh Ciauw Lek, oleh karena si muka hitam ini sedang mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan pertama, maka tidak ampun lagi ujung pedang Ong Kai mengenai pundak kirinya! Ciauw Lek menjerit dan darah mengucur dari pundaknya, akan tetapi dengan nekad, ia menyerang lagi.

“Eh ... eh, masih belum kapok? Ayoh, berjanjilah untuk tidak mengganggu penduduk kampung, baru aku mau memberi ampun!” Sekali lagi Ong Kai berseru.

“Bangsat sombong, saat ini aku Ciauw Lek akan menyabung jiwa denganmu!”

Melihat keadaan Ciauw Lek, Ong Kai lalu menggerakkan pedangnya bagaikan kitiran angin cepatnya dan ketika Ciauw Lek terdesak mundur hingga terhuyung- huyung, kaki kanan Ong Kai cepat menyambar dan tepat menendang dada lawannya hingga tubuh Ciauw Lek terlempar jauh dan roboh pingsan!

Para piauwsu bersorak girang melihat robohnya kepala rampok muka hitam yang tangguh itu, sedangkan pihak perampok menjadi marah sekali. Mereka telah bersiap untuk mengeroyok kalau saja mendapat komando dari kedua saudara Ang. Akan tetapi, baik Ang Touw maupun Ang Houw tidak memberi perintah apa-apa, hanya Ang Touw yang segera melompat maju dengan pedang di tangan, dan yang segera disambut oleh Siok Lan.

“Apakah kau mengiri melihat robohnya adikmu dan ingin juga merasakan betapa senangnya roboh pingsan?” Gadis ini menyindir hingga Ang Touw menjadi marah dan tanpa berkata apa-apa kepala rampok yang tua itu menyerang. Serangannya benar-benar hebat dan kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Ciauw Lek hingga Siok Lan mengelak cepat dan berlaku hati-hati.

Kalau pertempuran Ciauw Lek dan Ong Kai tadi mendebarkan jantung para penontonnya oleh karena keduanya mengadu tenaga dan kekuatan hingga debu mengepul di sekitar tempat di mana kaki mereka bergerak, adalah pertempuran kali ini membuat mata para penonton menjadi kabur dan kepala mereka pening. Gerakan kedua orang ini demikian cepatnya hingga tubuh mereka merupakan sinar saja, yakni sinar berkelebatnya pedang mereka yang menutupi tubuh! Diam-diam Tan Hong memuji kepandaian Ang Touw ini, akan tetapi ia percaya akan ketangguhan dan kehebatan Siok Lan.

Memang sebenarnya Siok Lan kalah pengalaman dan kalah ulet, akan tetapi dalam hal ilmu pedang gadis yang telah mewarisi ilmu pedang Bok-san-pai dari ayahnya ini, ternyata masih menang setingkat. Juga oleh karena lawannya sudah tua, maka kegesitan Ang Touw telah banyak berkurang, berbeda dengan Siok Lan yang memiliki ginkang yang cukup sempurna hingga gerakan-gerakannya tiada ubahnya bagaikan seekor burung kepinis saja!

Dalam saat yang tepat, ketika Ang Touw menyerang dengan tipu gerakan Angin Selatan Menghembus Cemara, Siok Lan tidak mau menangkis pedang yang ditusukkan ke arah lehernya, akan tetapi dengan gerakan yang tak terduga gadis ini lalu berjongkok dan dari bawah mengirim tusukan ke arah perut lawannya! Gerakannya lebih cepat daripada gerakan Ang Touw hingga kepala rampok itu terkejut sekali. Untuk menangkis sudah tiada waktu baginya, maka ia terpaksa lalu menjatuhkan diri ke belakang, berjungkir balik dan membuat salto tiga kali di udara baru tubuhnya turun ke tanah. Gerakan ini indah sekali hingga Siok lan menjadi kagum, akan tetapi gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya, dan cepat mengejar. Baru saja kedua kaki Ang Touw menginjak tanah, tiba-tiba Siok Lan telah menyerang lagi dengan tipu Ikan Leehi Gerakkan Ekor dan pedangnya menyambar kedua kaki Ang Touw. Oleh karena baru saja kakinya turun, maka kakek ini tidak keburu melompat ke atas lagi dan terpaksa cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu Siok Lan maju dan menggerakkan tangan kirinya dengan jari telunjuk dan jari tengah terbuka, menusuk ke arah mata lawan! Ang Touw terkejut dan memiringkan kepala sehingga gerakan pedangnya yang menangkis menjadi kalut. Saat ini digunakan dengan baiknya oleh Siok Lan yang mengubah tujuan pedang. Kini ujung pedangnya dimajukan sedikit hingga tahu-tahu Ang Touw merasa tangannya perih sekali dan terpaksa melepaskan pedang sambil melompat ke belakang! Ternyata sebuah jari tangannya telah putus oleh pedang Siok Lan dan darah mengucur keluar!

Ang Houw yang melihat betapa kedua orang sutenya berturut-turut dikalahkan, menjadi marah sekali dan sambil mengeluarkan geraman keras, ia menyerang Siok Lan. Akan tetapi Tan Hong lalu melompat maju sambil berkata, “Sabar dulu, tai-ong. Untukmu sudah disediakan lawan, yakni aku sendiri. Akan tetapi sebelum kita bertempur, hendak kujelaskan lagi kepadamu, bahwa pertempuran ini bersifat mengadu kepandaian belaka dan bukan maksud kami hendak mengambil jiwa kalian. Cukup asal kalian merasa bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatanmu yang sewenangwenang, dan suka mengembalikan barang- barang para piauwsu yang terampas, kami akan merasa puas.”

“Anak muda! Kau sungguh sombong! Kau hanya bicara tentang kemenanganmu, bagaimana kalau kau kalah olehku?”

Tan Hong tersenyum, “Hal ini bukan tidak mungkin! Kalau aku sampai kalah, maka segala keputusan terserah kepadamu!” “Dengar, Gin-kiam Gi-to! Kalau kau kalah olehku, aku akan menawanmu dan menyerahkan kau kepada pangcu (ketua) kami dengan tuduhan bahwa kau sebagai orang dari golongan liok-lim telah mengkhianati golongan sendiri!”

Tan Hong menjadi heran karena ia tidak menyangka bahwa mereka memiliki pangcu. “Siapakah pangcu yang kau maksudkan itu?”

Juga Ang Houw merasa heran mendengar bahwa Maling Budiman ini belum pernah mendengar nama pangcu dari golongan liok-lim.

“Pangcu kami adalah Kim-liong Hwat-su, dan beliau yang berhak menghukum segala pengkhianat golongan liok- lim. “

Tan Hong merasa heran oleh karena terdengar menggelikan bahwa golongan liok-lim yang terdiri dari segala macam penjahat seperti perampok, bajak, maling dan copet itu mempunyai seorang ketua dan dengan julukan Hwat-su yang berarti seorang berilmu dan ahli kebatinan atau singkatnya seorang pendeta!

“Selain itu, jika kau tak dapat mengalahkan aku, semua piauwsu harus berjanji untuk setiap kali lewat di sini, membayar pajak kepada kami sebanyak sepuluh bagian daripada harga barang yang mereka kawal!”

Semua piauwsu marah mendengar usul yang keterlaluan ini. Sedangkan mereka sendiri yang bekerja keras dan mengawal barang-barang itu, tidak berani menuntut upah yang demikian tingginya!

Tan Hong tersenyum dan bersikap tenang. “Sudah kukatakan tadi bahwa jika kami kalah, semua keputusan terserah kepadamu, akan tetapi ingat, aku belum kalah! Maka mari kita main-main sebentar dan segala macam keputusan itu dapat dilakukan nanti!”

“Baik dan awas pedang!” tiba-tiba Ang Houw berseru dan langsung melakukan serangan pertama. Melihat serangan Ang Houw yang mengembangkan tangan kiri keluar dan memasang bhesi (kuda-kuda) sambil menjungkitkan kedua kakinya, Tan Hong tercengang, inilah Sin-thiauw Kiam-hoat (Ilmu Pedang Rajawali Sakti) yang amat berbahaya dan hebat! Maka ia berlaku hati-hati dan melawan sambil mengeluarkan gerakan-gerakan paling hebat dari Bok-san Kiam-hoat.

Kalau dibuat perbandingan tentang ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat yang dimiliki Tan Hong dan Siok Lan, memang terdapat sedikit perbedaan dan sebetulnya Tan Hong jauh lebih kuat daripada gadis itu. Dulu ketika melawan Siok Lan, sengaja Tan Hong tidak mau mengalahkan dan merobohkan gadis itu. Ayah Siok Lan, yakni si Garuda Sakti Lo Cin Ki, biarpun seguru dengan Cin Cin Tojin, suhu Tan Hong, namun Lo Cin Ki lebih mengutamakan dan memperdalam pelajaran ilmu pengobatan, maka ilmu silatnya agak kurang tinggi apabila dibandingkan ilmu silat Cin Cin Tojin. Apalagi Cin Cin Tojin adalah seorang tosu perantau yang telah banyak sekali mengalami pertempuran dan banyak bertemu dengan orang-orang pandai dari segala cabang persilatan, maka tosu ini telah banyak mempelajari ilmu silat dan karenanya ia dapat menambah kekurangan- kekurangan yang terdapat dalam gerakan ilmu pedang Bok- san-pai. Pula oleh karena Tan Hong mempelajari silat dengan sebuah cita-cita yakni untuk menggunakan kepandaian itu menolong sesama manusia yang menderita sengsara, maka pemuda ini belajar dengan tekun, rajin, dan sepenuh hati hingga tentu saja ia memperoleh hasil yang gemilang. Ang Houw memang hebat sekali dan kalau saja Siok Lan yang menghadapi orang tua ini, maka keadaan mungkin akan berimbang. Akan tetapi kini ia bertemu dengan Tan Hong, maka baru beberapa puluh jurus saja mereka bertempur, tampaklah sudah betapa kepandaian pemuda itu memang lebih tinggi daripada kepandaiannya! Keduanya bergerak perlahan, tidak seperti ketika Siok Lan bertempur melawan Ang Touw, hingga para penonton yang kurang paham ilmu silat tinggi, menganggap bahwa Siok Lan lebih gesit dan lebih hebat daripada Tan Hong. Akan tetapi, gadis itu sendiri, Ong Kai dan juga kedua kepala rampok Ang Touw dan Ciauw lek yang telah dikalahkan, maklum bahwa kedua orang itu telah memperlihatkan kepandaian asli mereka. Setiap gerakan, biar dilakukan dengan lambat atau perlahan, namun mengandung tenaga lweekang yang tinggi dan setiap serangan itu kalau ditangkis oleh sembarang orang, maka penangkisnya akan roboh terpukul tenaga dalam yang melayang keluar dari serangan itu. Tidak ada debu mengebul dari bawah kaki mereka, bahkan gerakan kaki mereka tidak terdengar sama sekali, seakan- akan tidak menginjak tanah, akan tetapi apabila diperhatikan, ternyata daun-daun di sekeliling tempat itu melambai dan bergoyang bagaikan terhembus angin, padahal pada saat itu tidak ada angin menghembus! Inilah angin pukulan yang diterbitkan oleh serangan dan gerakan kedua orang itu!

Merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, tiba-tiba Ang Houw membuat gerakan serangan nekad. Ia berseru nyaring dan pedangnya membacok, sedangkan tangan kirinya dari bawah mengirim pukulan hebat ke arah perut tan Hong dengan jari-jari tangan miring! Tan Hong mengelak, akan tetapi ia lalu membuat gerakan yang sama, yakni Dewa Mabuk Menolak Gunung. Pedang kedua orang itu bertemu dan menempel, sedangkan kedua tangan kiri mereka juga bertumbuk keras. Untuk sesaat seakan-akan kedua tangan dan kedua pedang itu melekat, akan tetapi, tiba-tiba Ang Houw mengeluh dan tubuhnya seakan-akan terdorong oleh tenaga keras sekali, terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah! Wajahnya pucat sekali dan ia telah mendapat luka dalam.

Ang Houw menjura. “Gin-kiam Gi-to, kau memang hebat sekali. Aku mengaku kalah, akan tetapi tunggulah datangnya hari pembalasanku!” Setelah berkata demikian, ia ajak kedua sutenya pergi dari tempat itu setelah meninggalkan pesan kepada para anak buahnya untuk mengembalikan semua barang-barang pada piauwsu.

Diam-diam Tan Hong merasa menyesal sekali oleh karena ia maklum bahwa ia telah menanam bibit permusuhan dengan kepala rampok yang tangguh itu. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan kemenyesalannya, lalu bersama kawan-kawannya membantu para piauwsu mengambil kembali barang-barang mereka yang terampas dan masih berada di dalam sarang perampok di tengah hutan itu.

Para piauwsu, di bawah pimpinan Lim-piauwsu menghaturkan banyak terima kasih kepada Tan Hong dan kedua kawannya, dan menyebut mereka sebagai Bok-san Sam-hiap atau Tiga Pendekar dari Bok-san, yakni mengingat bahwa ketiganya adalah anak murid dari Bok- san-pai! Ong Kai merasa girang sekali atas kemenangan ini dan berkata, “Mulai sekarang si iblis hitam itu tentu tak berani lagi mengembari nama julukanku!”

Tan Hong dan Siok Lan tersenyum mendengar ini. Diam-diam ketika mereka mendapat kesempatan bicara empat mata, Tan Hong berkata kepada Siok Lan, “Sumoi, mulai sekarang kita harus berhati-hati sekali oleh karena menurut dugaanku, ketiga kepala rampok itu tentu manaruh dendam kepada kita dan berusaha mencari balas!”

Siok lan memandang kepada tan Hong dengan muka kagum setelah mengetahui bahwa kepandaian pemuda ini sesungguhnya masih berada lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri.

“Hong-ko, dengan adanya kau di dekatku, aku tidak pernah merasa takut?” Melihat kerlingan mata dan senyum bibir gadis itu, tiba-tiba di dada kiri Tan Hong terasa detak jantungnya mengeras.

“Aah, kau terlalu memuji, sumoi, “ katanya perlahan. “Hong-ko, ketika kita bertemu dan bertempur dulu itu,

mengapa kau tidak mau mengalahkan aku? Padahal kalau

kau mau, mudah saja, bukan?” tanya Siok Lan sambil memandang tajam.

Muka Tan Hong menjadi merah. “Mengapa kau berkata demikian, sumoi? Aku tak dapat mengalahkanmu, karena memang ilmu pedangmu hebat sekali!”

Diam-diam Siok Lan merasa girang oleh karena pemuda ini ternyata pandai sekali membawa diri dan tidak sombong, biarpun memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam ia merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini, apalagi setelah ia mendengar riwayat Tan Hong ketika masih kecil yang amat menyedihkan dan mengharukan itu. Hatinya menjadi lemah dan perasaan iba serta sayang timbul dalam dadanya!

***

Ketiga pendekar Bok-san-pai ini melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Pek-hoasan, mencari musuh-musuh mereka, yakni Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Di sepanjang perjalanan, tak pernah lupa Tan Hong melakukan pekerjaannya seperti biasa, dan kini tiap kali ia keluar malam untuk melakukan pencurian, Siok Lan tak pernah ketinggalan dan selalu membantunya dengan setia!

Bahkan Ong Kai yang selalu merasa kesepian karena ditinggal seorang diri diwaktu malam, mulai mencoba ikut membantu pula. Akan tetapi, setelah sekali dua kali ia ikut dan melihat betapa di dalam pekerjaan ini ia dapat pula merasakan kebahagiaan yang nampak pada sikap orang- orang miskin yang mereka tolong, Ong Kai makin sering ikut dan mulai melakukan pekerjaan itu dengan gembira. Bahkan kini mereka bekerja secara terpisah, seorang mencuri di gedung seorang hartawan dan setelah mendapat hasil, mereka bertemu di tempat yang sudah dijanjikan lebih dulu untuk bersama-sama pergi menbagi-bagikan hasil itu ke dusun-dusun yang berdekatan!

Pada suatu malam, Ong Kai mendapat bagian mencuri di rumah seorang pedagang hasil bumi yang kaya raya. Tan Hong dan Siok Lan mendatangi rumah lain. Ketika Ong Kai sedang mengintai dari atas genteng, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di atas genteng itu juga! Ia cepat bersembunyi di balik wuwungan rumah yang tinggi dan mengintai gerak-gerik orang yang baru datang ini. Orang itu berpakaian hitam dan di punggungnya nampak sebatang golok. Ong Kai merasa curiga dan menduga bahwa kalau ia bukan seorang maling, tentulah seorang yang mempunyai maksud lain yang buruk.

Dari gerakan orang itu, Ong Kai maklum bahwa tamu malan itu memiliki sedikit kepandaian dan bukan merupakan lawan berat, maka hatinya menjadi lega dan ia terus mengintai. Ketika ia melihat orang itu melompat turun ke belakang gedung, iapun ikut pula melompat di belakangnya dengan diam-diam dan terus mengintai. Ia melihat betapa dengan cekatan menandakan seorang ahli, orang itu membongkar jendela sebuah kamar, lalu melompat masuk! Ong Kai juga cepat melompat dan mengintai! Alangkah marah dan gemasnya melihat bahwa kamar itu adalah kamar seorang wanita dan hal ini dapat diketahuinya ketika penjahat itu menyingkap kelambu pembaringan oleh karena ia melihat tubuh seorang gadis sedang tidur pulas di atas pembaringan itu. Ong Kai berniat melompat masuk dan menyerbu penjahat itu, akan tetapi ia menahan maksud hatinya, lalu memandang penuh perhatian, siap untuk menolong apabila penjahat itu melakukan sesuatu. Akan tetapi, tiba-tiba penjahat itu membungkuk dan menotok jalan darah gadis itu yang menjadi sadar dari tidurnya, tetapi tak dapat bergerak maupun berteriak karena jalan darahnya telah di-tiam oleh penjahat tadi. Kemudian dengan cepat penjahat itu memondong tubuh gadis itu dan melompat keluar melalui jendela kamar!

Ong Kai tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia maklum bahwa penjahat ini tentu seorang jai-hoa-cat atau penjahat pemetik bunga, maka tanpa ajal lagi ia menghadang di depan kamar dan membentak,

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar