Lima Jagoan Jaman Cun Ciu Bab 20

Bab 20

Pi The Hu jadi terkejut.

”Eh ada apa ini, mengapa kau berkata begitu?” tanya Pi.

”Cu-Kong menyangka aku membantu Li Kek membinasakan He Ce dan Tok Cu, dia hendak menjatuhkan hukuman padaku, sekarang bagaimana baiknya?”

”Lu dan Kiok yang memegang kekuasaan, mengapa kau tidak minta pertolongan mereka?” kata Pi The Hu.

”Aku hendak dihukum, semua itu ulah kedua jahanam itu!” kata Youw Gan I. Jika bisa aku ingin menelannya, apa gunanya minta tolong pada mereka?”

”Lalu apa maumu?”

”Pangeran Tiong Ji sangat baik, orang terpelajar semua suka membantu dia, semua rakyat negeri pun ingin dia yang menjadi raja. Selain itu Raja Cin juga benci pada raja yang sekarang. Karena dia melanggar janji. Jika mau apa saja boleh Tay-hu perintahkan aku, misalnya menemui Pangeran Tiong Ji. Untuk membujuk Kong-cu Tiong Ji melawan dengan kekuatan dari dua negeri Cin dan Ek mengusir Chin Hui-kong!”

Mendengar ucapan Touw, Pi The Hu kaget. Tetapi dia tetap tidak segera mempercayai kata- kata Touw. Tetapi Touw Gan I terus berusaha meyakinkan Pi The Hu yang akhirnya terjebak juga.

”Apa benar kau punya niat seperti itu?” kata Pi The Hu dengan hati berdebar. Touw Gan I gigit salah satu jari tangannya, sehingga mengeluarkan darah, dia mengangkat sumpah.

”Jika aku berhati serong, biarlah seluruh kaum keluargaku habis seluruhnya!” kata Touw Gan I.

Melihat sikap Touw Gan I yang sungguh-sungguh, Pi The Hu baru yakin.

”Besok aku akan mengadakan pertemuan,” kata Pi The Hu akhirnya. ”Nanti masalah ini akan kami putuskan.”

Pada esok malamnya, Touw Gan I pergi kembali ke rumah Pi The Hu, di sana dia melihat Ki Ki, Kiong Hoa, Ke Hoa dan Tiauw Coan sudah sampai lebih dulu, dan ada lagi Siok Kian, Lu Hu, Tek Kiong dan Tian Ki, yaitu kerabat Pangeran Sin Seng, dengan Pi The Hu dan Touw Gan I jumlahnya sepuluh orang. Di situ mereka mengatur meja sembayang dengan minum darah mengangkat sumpah, bahwa sama-sama akan mengangkat Pangeran Tiong Ji menjadi raja.

Sesudah mengangkat sumpah, Pi The Hu mengajak kawan-kawannnya minum arak, sampai semuanya mabuk baru berpisah pulang ke masing-masing rumahnya. Kejadian ini diam-diam oleh Touw Gan I dilaporkan pada Kiok Peng. Kiok Peng jadi girang, dengan muka manis dia berkata. ”Kalau cuma kau punya omongan saja tidak ada buktinya, maka kau harus

mendapatkan surat Pi The Hu, dengan demikian baru bisa jatuhkan hukuman kepadanya.” Esok malamnya Touw Gan I datang lagi ke rumah Pi The Hu. Kebetulan Pi ingin mengirim surat untuk Pangeran Tiong Ji. Surat itu memang sudah lama disediakan oleh Pi The Hu. Dalam itu sudah dicantumkan sepuluh nama, dan sembilan orang sudah membubuhkan tanda tangannya, cuma tinggal Touw Gan I seorang yang belum menanda tangani surat itu.

Touw Gan I mengambil pit dan membubuhkan tanda tangannya. Pi The Hu segera memasukkan surat itu ke dalam sampul dan segera ditutup dengan rapih, kemudian diserahkan pada Touw Gan I, serta dipesan harus berhati-hati jangan sampai rahasia itu bocor. Touw Gan I girang karena sekarang dia telah mendapatkan bukti yang diinginkan.

”Mampuslah kalian!” pikir Touw Gan I.

Begitulah, sekeluarnya dari rumah Pi The Hu, Touw segera menuju ke rumah Kiok Peng dan dia serahkan surat itu. Setelah Kiok Peng membuka dan memeriksa surat itu, dia menjadi girang sekali, lalu dia suruh Touw Gan I bersembunyi di dalam rumahnya, sedang surat itu ditaruh di dalam tangan bajunya. Dengan tidak ayal lagi dia temui Lu I Seng. Mereka pergi menemui Kok-kiu Kek Shia, untuk melaporkan adanya gerakan rahasia itu.

”Jika tidak segerea menyingkirkan orang-orang yang hendak berkhianat itu, maka negara akan kacau!” kata Lu I Seng.

Malam hari itu juga Kek Shia pergi mengetuk pintu istana, setelah berjumpa dengan Raja Chin Hui- Kong, dia segera menceritakan bahwa Pi The Hu dan kelompoknya hendak berkhianat, maka ia minta besok pagi jika Chin Hui-Kong bersidang di istana boleh langsung menjatuhkan hukuman pada mereka. Buktinya adalah surat itu.

Esok harinya, Chin Hui- Kong mengadakan sidang di istana, sedang Kiok Peng dan Lu I Seng sudah menyembunyikan beberapa orangnya di bagian dalam istana. Sesudah semua pembesar memberi hormat, Chin Hui Kong segera memanggil Pi The Hu menghadap.

”Aku tahu kau hendak menyingkirkan aku untuk mengangkat Pangeran Tiong Ji!” begitu kata Chin Hui-Kong dengan geram. ”Sekarang aku mau tanya hukuman apa kau inginkan?”

Ketika Pi The Hu mau menyahut, Kiok Peng sudah segera mencabut pedangnya dan berteriak.

”Kau memerintahkan Touw Gan I membawa surat untuk mengundang Tiong Ji, untung rejeki Rajaku besar, Touw Gan I sudah tertangkap di luar kota dan kami mendapatkan surat itu!

Orang yang ikut berkhianat berjumlah sepuluh orang! Sekarang Touw Gan I sudah mengaku, kau tidak usah banyak bicara lagi!”

Chin Hui-kong segera melemparkan surat itu di atas meja. Lu I Seng segera mengambilnya maka sesuai yang namanya tertulis di situ, dibacakan satu persatu. Secara serempak diadakan penangkapan besar-besaran. Di antara para penanda tangan hanya Kiong Hoa yang tinggal di rumah tidak datang ke istana, tetapi dia juga disuruh ditangkap.

Delapan menteri yang ada di situ jadi saling pandang dan kaget tidak mengira rahasia mereka telah bocor. Mereka sudah tidak punya harapan akan lolos dari kematian.

Chin Hui-Kong segera memanggil algojo untuk mengggiring delapan orang itu dibawa keluar istana untuk ditebas batang lehernya. Sementara itu Kiong Hoa yang ada di rumahnya setelah mendengar Pi The Hu dan yang lain-lain sudah dihukum mati, dia segera datang ke istana untuk menerima hukuman mati, sehingga tanpa ditangkap lagi dia menyerahkan diri. Chin Hui-Kong yang memang kejam segera mengeluarkan perintah untuk menghukum mati

Kiong Hoa. Anak Pi The Hu, Pi Pa namanya, ketika mendengar ayahnya sudah dibunuh,

dengan tidak ayal lagi dia segera pergi ke negeri Cin. Rupanya Chin Hui-Kong masih penasaran, segera hendak membasmi kaum Li, Pi dan lain-lain kaum keluarganya. Tetapi untung kekejaman Chin Hui-Kong bisa dicegah oleh Kiok Peng, sehingga Chin Hui-Kong membatalkan niatnya. Ia mengangkat Touw Gan I menjadi Tiong-tay-hu serta diberi hadiah sawah di Hui-kui tiga ratus petak.

Pi Pa yang lari ke negeri Cin lalu menghadap pada Raja Cin Bok-kong, dia ceritakan apa yang sudah terjadi, dan dia minta supaya Raja Cin Bok-kong mengerahkan pasukan perang menyerang ke negeri Chin. Tetapi Kian Siok dan Pek Li He menyatakan tidak setuju.

”Jangan Tuanku, jika Tuanku memerangi Chin, sama juga Tuanku membantu menteri memerangi rajanya. Ini jadi kurang baik di mata para raja. Kita tunggu saja sampai di negeri Chin timbul kekacauan. Saat itu baru kita serang mereka!” kata Kian Siok.

Raja Cin Bok- Kong menurut dia tidak setuju pada usul Pi Pa, tetapi Pi Pa dipakai dan bekerja menjadi menteri di negeri Cin.

***

Pada tahun itu, Ong-cu Tay, yaitu saudara tiri Baginda Siang-ong, telah memberi suap pada bangsa Jiong, yang disuruh menyerang ke Kota-raja, karena ia berniat hendak merebut tahta kerajaan. Tetapi Baginda Siang-ong segera minta bantuan pada semua Raja muda.

Cin Bok-kong, Chin Hui-kong dan Raja-muda yang lain datang menolong, sedang Cee Hoa-

kong juga memerintahkan pada Koan Tiong supaya mengerahkan pasukan perang untuk

melabrak bangsa Jiong.

Raja Jiong takut pada tentara Cee yang sangat kuat, juga terhadap para Raja-muda yang datang membantu, lalu mereka mundur dan minta ampun pada Baginda Siang-ong. Raja bangsa Jiong pun menjelaskan kedatangannnya atas anjuran dari Ong-cu Tay.

Baginda mengampuni Raja bangsa Jiong, tetapi Ong-cu Tay segera diusir keluar dari daerah Ciu.

Baginda ingat pada Koan Tiong yang berpahala dan telah menetapkan kedudukannya dan sekarang kembali berjasa sudah menalukkan bangsa Jiong, maka segera diadakan pesta besar untuk menghormati Koan Tiong.

Tetapi Koan Tiong tidak berani menerima kehormatan itu, Koan Tiong memberi alasan, dia tidak mau melebihi pangkat dua pejabat negara. Sesudah Baginda memaksa sampai berulang- ulang, apa boleh buat Koan Tiong cuma terima saja aturan He-keng yang dijalankan untuk menghormatinya.

Sehabis pesta dirayakan, Koan Tiong segera pamit pada Baginda dan terus pulang ke negri Cee. Pada musim Tang pada tahun juga, Koan Tiong sakit. Waktu itu Leng Cek dan Pin Si Bu semua sudah meninggal dunia.

Cee Hoan-kong merasa sangat berduka, dia sendiri pergi menengok Koan Tiong yang sedang sakit, dia lihat perdana mentri itu kurus sekali. ”Tiong-hu, mengapa sakitmu sampai begini hebat?” ratap Cee Hoan-kong sambil memegang

tangan Koan Tiong, ”seandainya kau sampai tiada, harus diserahkan pada siapa pemerintahan

di negeri Cee?”

”Pada Leng Cek,” sahut Koan Tiong sambil menghela napas.

”Selain Leng Cek, siapa lagi yang boleh dipakai? aku pikir hendak memakai Pauw Siok Gee,

apa kau pikir boleh?”

”Pauw Siok Gee memang seorang yang budiman, cuma sayang dia jangan diberi kedudukan di pemerintahan. Dia seorang yang terlalu menilai kebaikan dan kejahatan terlalu tegas. Jika suka pada kebaikan memang bagus, tetapi jika membenci kejahatan keterlaluan, siapakah yang akan taat kepadanya? Tegasnya, sekali saja dia melihat kejahatan orang, seumur

hidupnya dia tidak lupakan. Ini keburukan tabiatnya.” kata Koan Tiong. ”Kalau Sek Peng, bagaimana?”

”Hampir boleh. Ia tidak malu untuk bertanya pada bawahan, meskipun sedang di rumah dia tidak melupakan pekerjaan negeri.”

Sehabis berkata begitu, Koan Tiong menghela napas, lalu berkata pula.

”Cuma sayang Allah menghidupkan Sek Peng, cuma untuk menjadi lidahnya I Gouw. Jika badannya sudah mati, di manalah lidahnya bisa tinggal tetap, maka aku khawatir jika Tuanku memakai Sek Peng tidak bisa lama.”

”Kalau begitu, apakah Ek Ge boleh dipakai?”

”Tuanku meski tidak bertanya pun, hamba hendak mengatakan begini. Ek Ge, Si Tiauw dan Kay Hong, tiga orang itu, harus Tuanku jauhi mereka.”

”Ek Ge memasak daging anaknya untuk disuguhkan kepadaku, jelas dia mencintaiku terlebih dari kepada anaknya, apakah orang ini masih harus dicurigai?”

”Sifat orang biasanya lebih menyayangi anaknya, jika anaknya saja tega dia korbankan, bagaimana dengan Tuanku?” kata Koan Tiong.

”Si Tiauw rela menyerahkan gedungnya dan merawat aku dengan telaten, jelas dia mencintaku lebih dari kepada dirinya, apakah dia juga masih harus dicurigai?” tanya Cee Hoan-kong.

”Semangat orang lebih diperlukan untuk dirinya sendiri, manakala dirinya sendiri tak dihiraukannnya, bagaimanakah sikapnya terhadap Tuanku nanti?” kata Koan Tiong.

”We Kong-cu Kay Hong telah meninggalkan gelar Si-cu (Putera Mahkota) dan berhamba kepadaku, sehingga ayah dan ibunya meninggal dunia, dia tidak pergi menjenguknya. Ini jelas sekali dia mencintaiku terlebih dari kepada ayah dan ibunya, apakah ia juga harus dicurigai?”

***

Raja Cin Bok-kong setuju pada saran itu, segera dia keluarkan perintah untuk memberi izin menjual beras pada orang Chin. Beberapa laksa karung beras segera diangkut di sungai Wi- sui dan dibawa masuk ke negeri Chin. Atas izin Raja Cin Bok-kong yang murah hati, rakyat negeri Chin tidak ada yang tidak bersyukur dan berterima kasih.

Pada lain tahun di musim Tang, di negri Cin dilanda musim paceklik, tetapi di negeri Chin, tanaman gandumnya sangat subur. Raja Cin Bok-kong segera memerintahkan Leng Ci untuk minta membeli gandum pada Chin. Semula Raja Chin Hui-kong hendak memerintahkan mengeluarkan gandum yang ada di Hoa-say untuk dijual pada negeri Cin, tetapi niat itu segera dicegah oleh Kiok Peng.

”Tuanku menjual makanan pada Raja Cin, apakah Tuanku juga hendak menyerahkan tanah kepadanya?” kata Kiok Peng yang dengki ini.

”Tidak, aku cuma mau menjual makanan saja,” jawab Chin Hui-kong. ”Aku tidak mau

memberikan tanah.”

”Apa sebabnya Tuanku menjual makanan pada mereka?” kata Kiok Peng. ”Untuk membalas kebaikan Raja Cin.”

”Tuanku menjual makanan dengan anggapan Cin sudah berbuat kebaikan pada Tuanku, sedang dulu dia mengantarkan Tuanku masuk ke negeri Chin, itu juga kebaikannya malah sangat besar, lalu apa gunanya Tuanku melupakan yang lebih besar dan membalas yang kecil?” 

”Tetapi kita harus ingat tahun lalu, ketika negeri kita ditimpa paceklik, dan Tuan memerintahkan hamba membeli beras pada Cin,” kata Keng The, ”Raja Cin segera setuju dan tidak menolak menjual makanannya pada kita. Tindakan mereka sangat bijaksana sekali. 

Sekarang jika kita tidak mengizinkan mereka membeli makanan dari kita, niscaya orang Cin akan sakit hati kepada kita.”

”Ketika Cin menjual makanannya pada kita, bukan maksud baik. Tetapi mereka mengharap kita menyerahkan lima kota yang kita janjikan pada mereka!” kata Lu I Seng.

”Jika dulu mereka tidak mengizinkan kita membeli beras, Chin akan sakit hati pada Cin. Memberi makanan dan tidak menyerahan tanah, maka tetap Cin akan membenci pada kita! Maka apa gunannya kita jual makanan pada mereka?”

”Merasa beruntung atas kecelakaan orang lain, bukan suatu kebajikan, sehingga budi kebaikan mereka dulu jadi sia-sia saja,” kata Keng The. ”Jika kita tidak punya kebajikan dan keadilan, apa dasar kita mengatur negara ini?”

”Ucapan Keng The benar!” kata Han Kan. ”Seandainya tahun lalu Cin tidak izinkan kita membeli beras, apa jadinya kita, Tuanku?”

”Tahun lalu Allah menjatuhkan bahaya kelaparan pada negeri Chin, untuk memberi kesempatan yang baik pada negeri Cin,” kata Kek Shia dengan suara nyaring, ”tetapi Cin sudah tidak menggunakannya. Sebaliknya mereka malah mengizinkan kita membeli beras mereka. Jelas mereka bodoh! Sekarang Allah menurunkan bahaya kelaparan kepada negeri Cin untuk memberikan kesempatan baik pada negeri Chin. Mengapa bolehnya negeri Chin melanggar kehendak Allah, dan tidak mau bergerak? Maka menurut pendapat hamba, lebih baik kita membuat perjanjian dengan Raja Liang. Dengan menggunakan kesempatan yang baik ini kita serang negeri Cin, kemudian kita bagi daerahnya dengan Raja Liang, ini hamba rasa jalan yang paling menguntungkan bagi kita.”

Akhirnya Raja Chin Hui-kong mengambil keputusan menuruti usul Kek Shia, dia menolak menjual bahan makanan pada negeri Cin, dia katakan pada Leng Ci, utusan Cin dengan alasan beras dan makanan hanya cukup untuk dipakai di negeri Chin, maka dia tidak bisa menjual kepada Cin.

Dengan sangat mendongkol Leng Ci pulang ke negeri Cin, dia laporkan pada rajanya, bukan

saja Chin tidak mau menjual makanan mereka, bahkan Chin malah akan berserikat dengan

negeri Liang, hendak mengerahkan angkatan perang menyerang ke negeri Cin.

”O, mengapa orang sampai begitu tidak tahu aturan!” kata Raja Cin Bok-kong dengan sangat

marah. ”Aku harus melabrak lebih dahulu negeri Liang, kemudian baru membasmi negeri

Chin!”

Pek Li He memberi saran sebelum pasukan Chin datang menyerang, lebih baik didahului diserang.

”Apa alasan Tuan?” tanya Ci Bok-kong.

”Karena negeri Chin sebuah negeri besar sedangkan negeri Liang negeri kecil, apabila yang besar sudah dikalahkan, pasti yang kecil dengan gampang bisa dijatuhkan.” kata Pek Li He.

Raja Cin Bok-kong setuju pada saran Pek Li He, lalu dia tinggalkan Kian Siok dan Yu I untuk membantu Pangeran Eng menjaga negeri Cin. Dia memerintahkan Beng Beng Si memimpin tentara maju meronda di perbatasan negeri, untuk menjaga apabila ada kaum Jiong yang datang menyerang, sedang Raja Cin Bok-kong sendiri dengan mengajak Pek Li He memimpin pasukan induk, dan didampingi oleh Se Kip Sut dan Pek It Peng. Kong-sun Ci memimpin pasukan kanan, Kong-cu Ci memimpin pasukan kiri, dengan membawa empat ratus kereta perang menyerang ke negeri Chin.

Pembesar negeri Chin yang menjaga tempat di sebelah Barat, segera mengirim laporan kepada Raja Chin Hui-kong tentang adanya serangan dari negeri Cin ini. Raja Chin Hui-kong segera mengerahkan enam ratus kereta perang, dan memerintahkan Kiok Pouw Yang, Ke Pok Touw, Keng The dan Ngo Sek memimpin pasukan kiri dan kanan, sedang Raja Chin Hui- kong sendiri bersama Kek Shia memimpin pasukan induk, Touw Gan I menjadi Sian-hong (Pemimpin Pasukan Pelopor), berangkat dari kota Kang-ciu menuju ke jurusan Barat.

Sementara itu pasukan Cin telah menyeberangi sungai dan menyerang dari arah Timur, tiga kali mereka berperang tiga kali juga mereka menang, semua panglima Chin telah kabur karena tidak sanggup mempertahankan tempat yang mereka jaga, sehingga tentara Cin maju terus sampai ke Han-goan dan mendirikan pesinggahan di sana.

Ketika Raja Chin Hui-kong mendapat kabar pasukan Cin sudah maju begitu jauh, dia jadi kaget dan khawatir, sekira sepuluh li lagi ke Hangoan, dia perintahkan pasukannnya mendirikan peristirahatan dan menyuruh Han Kan pergi mencari keterangan berapa besar pasukan Cin itu.

Selang tidak berapa lama Han Kan sudah kembali, dia memberi tahu. ”Meskipun pasukan Cin cuma terdiri dari tiga ratus kereta perang, tetapi pasukan itu sangat tangguh dan angker kelihatannya.: kata Han Kan. Raja Chin Hui-kong segera memerintahkan Han Kan maju ke depan barisan Cin untuk menantang perang, dengan kekuatan 600 kereta perangnnya, pasukan Chin menyerbu. Menurut perkiraan jika pasukan Cin tidak segera mundur, mereka akan menderita kerusakan berat.

Ancaman ini sedikit pun tidak membuat Raja Cin Bok-kong jadi takut, malah dia tertawa terbahak-bahak. Dia perintah Kong-sun Ci segera menghadapi tantangn musuh itu.

”Apa yang kau inginkan, ketika minta diantar untuk menjadi raja, kami turuti. Ketika paceklik mau membeli beras kami ladeni. Sekarang kalian ingin berperang, masakan tak kami lawan!” kata Kong-sun Ci.

Ucapan Kong-sun Ci membuat Han Kan malu bukan main, segera dia mundur dan melapor pada Raja Chin Hui-kong. Mendengar laporan itu Chin Hui-kong menjadi marah, dia majukan pasukan perangnya untuk menghadapi pasukan Cin.

Waktu Pek Li He sedang ada di tempat yang tinggi, dari sana dia mendapat kenyataan sesungguhnya jumlah tentara Chin sangat banyak. Pek Li He memberi saran.

”Lebih baik jangan dilawan perang dulu.” kata Pek Li He.

Tetapi Cin Bok-kong tidak setuju, dia atur barisannya di kaki gunung Liong-bun-san untuk menunggu kedatangan pasukan Chin. Tidak lama pasukan Chin sudah datang dan juga segera mengatur barisannya. Kedua barisan sudah langsung berhadapan, dari masing-masing pasukan bagian tengah segera membunyikan tambur perang dan memajukan balatentaranya.

Touw Gan I mengeluarkan kegagahannya, dengan di tangan memegang tombak yang beratnya beberapa ratus kati, dia menerjang masuk ke dalam barisan Cin, setiap bertemu orang Cin dia langsung tusuk dan dibinasakan. Serangan Touw Gan I begitu hebat, sehingga tentara Cin tidak tahan dan lari simpang-siur. Tetapi sesaat kemudian justru Touw Gan I yang berpapasan dengan Pek It Peng, yang dengan sengit menangkis serangan Gan I, sekarang Gan I baru ketemu tandingannya yang setimpal.

Kedua pihak sudah berperang lima puluh jurus lebih belum ada yang merasa lelah, malah masing-masing jadi geram, lalu melompat turun dari kereta perang dan bertempur dengan hebat.

Akhirnya Touw Gan I segera menahan senjata Pek It Peng dan berkata, ”Aku hendak bertarung denganmu sampai salah satu ada yang mati! Siapa yang minta bantuan bukan seorang gagah!”

”Baik!” sahut Pek It Peng dengan gagah. ”Memang aku hendak menangkapmu dengan tangan kosong, dengan begitu baru boleh disebut orang gagah.”

Masing-masing segera memberitahu anak buahnya, agar mereka jangan ikut membantu. Sesudah menyingkirkan senjatanya, kedua orang itu segera berkelahi dengan kepalan, dan jadi bergumul hebat di tengah barisan belakang.

Waktu itu Raja Chin Hui-kong melihat Touw Gan I sudah masuk ke dalam barisan musuh, segera dia perintah Han Kan dan Nio Yu Bi maju memimpin sebagian pasukan perangnya untuk menerjang ke barisan musuh yang di sebelah kiri, sedang dia sendiri dengan mengajak Ke Pok Touw dan yang lain-lain menerjang barisan musuh yang di sebelah kanan, dan berjanji nanti berkumpul di tengah pasukan musuh.

Raja Cin Bok-kong ketika itu melihat tentara Chin di pecah dua, ia pun segera membagi

tentaranya menjadi dua untuk menyambut kedatangan musuh tersebut. Ketika kereta perang Raja Chin Hui-kong masuk ke dalam barisan Cin, justru ketemu dengan Kong-sun Ci, dan Chin Hui-kong segera memberi perintah pada Ke Pok Touw melawan berperang.

Tetapi Ke Pok Touw bukan tandingan Kong-sun Ci, baru bertempur belum berapa lama, Ke Pok Touw sudah sangat kepayahan. Raja Chin Hui-kong yang melihat keadaan kurang baik,

lalu memerintahkan Kiok Pouw Yang agar berhati-hati memegang kendali kereta perangnya,

karena ia sendiri hendak pergi membantu berperang.

Sedikit pun Kong-sun Ci tidak merasa keder, malah dengan suara keras dia berteriak, ”Ayo! Siapa yang pandai berperang boleh maju semuanya!”

Teriakan Kong-sun Ci yang keras bagaikan guntur membuat Kek Shia semangatnya seolah

terbang, dia tengkurap di dalam kereta perang tidak berani menyembulkan kepalanya. Sedang kuda yang menarik kereta perang Chin Hui-kong pun jadi kaget, dengan tidak mempedulikan kendali kusir lagi langsung kabur sekencang-kencangnya dan akhirnya kejeblos ke dalam lumpur.

Meski Kiok Pouw Yang mencambuk kudanya dengan sengit, kuda itu tetap tidak bisa bergerak di lumpur, tidak bisa angkat kakinya. Saat Chin Hui-kong sedang terancam bahaya, justru dia melihat kereta perang Keng The mendatangi, dia teriaki. ”Keng The, lekas tolong aku!” teriak Chin Hui-kong. ”Kek Shia di mana, mengapa kau memanggil hamba?” tanya Keng The menyindir.

”Lekas kemarikan keretamu itu!” teriak Chin Hui-kong dengan tubuh gemetar. Keng The tidak meladeninnya, lalu membelokkan keretanya dan pergi ke lain jurusan. Kiok Pouw Yang hendak pergi mencari kendaraan lain, tetapi karena tentara Cin sudah mengepung sangat rapat, sehingga dia tidak bisa keluar. Di sini Raja Chin Hui-kong sedang terancam bahaya, sedang di pasukan perang Chin yang lain, Han Kan yang memimpin pasukan perang menerjang masuk di dalam barisan Cin. Han Kan bertemu dengan Raja Cin Bok-kong yang dikawal oleh Se Kip Sut, yang segera serang-menyerang.

Setelah bertarung tiga puluh jurus lebih dan belum ketahuan siapa menang dan kalah, sekonyong-konyong datang Ngo Sek yang memimpin pasukan perang, dan segera mengeroyok Se Kip Sut.

Se Kip Sut tidak sanggup menangkis serangan dua panglima itu, sehingga dia tertusuk oleh Han Kan dan lantas roboh ke bawah kereta perangnya Melihat hal itu Nio Yu Bi segera

berseru, ”Panglima yang roboh sudah tidak berguna! Mari kita orang tangkap Raja Cin itu!”

Han Kan tidak memperdulikan Se Kip Sut lagi, dia mengeluarkan perintah pada tentaranya untuk mengepung Raja Cin Bok-kong.

Ketika Raja Cin Bok-kong sedang terancam bahaya, dari jurusan Barat segera kelihatan mendatangi satu barisan orang gagah yang jumlahnya kira-kira tiga ratus orang lebih, dengan suara keras mereka berseru-seru.

”Jangan ganggu Raja kami!” Orang-orang itu rambutnya riap-riapan, badannya telanjang, kakinya memakai kasut rumput, tetapi jalannya begitu cepat sehingga seperti terbang, di tangan mereka semua memegang golok besar, di pinggang mereka tergantung busur dan anak panah, sehingga mirip seperti tentara iblis. Begitu mereka sampai, mereka menyerang membuat kalang-kabut tentara Chin.

Panglima Han Kan dan Nio Yu Bi dengan tergopoh-gopoh segera menyambut kedatangan musuh baru tersebut. Tetapi tidak lama dari jurusan Utara datang seorang yang melarikan kereta perangnya seperti terbang, orang itu adalah Keng The. Dia menghampiri pasukan Chin dan berteriak, ”Jangan berperang lagi, sebab Cu-kong sudah terkepung oleh tentara Cin di gunung Liong-bun-san dan sudah terjerumus di tengah lumpur! Ayo, segera tolong beliau!”

Mendengar kabar itu Han Kan dan yang lain-lain tidak ada yang bernapsu lagi untuk berperang. Mereka meninggalkan kawanan orang gagah itu, lari ke gunung Liong-bun-san. Tetapi kedatangan mereka sudah terlambat, waktu itu Raja Chin Hui-kong sudah tertawan oleh Kong-sun Ci, begitu pun Ke Pok Touw, Kek Shia, Kiok Pouw Yang dan yang lainnya.

Mereka semua sudah diikat dan digiring masuk ke dalam pesanggrahan besar. Alangkah jengkel dan penasarannnya Han Kan dan Nio Yu Bi, mereka buang senjata mereka menyerahkan diri pada Cin.

Tiga ratus orang gagah sesudah menolong Raja Cin Bok-kong dan Se Kit Sut mereka pergi. Sementara tentara Cin membasmi tentara Chin, hingga mayat manusia berserakan di kaki gunung Liong-bun-san seperti gunung, enam ratus kereta perang hanya tinggal dua bagian saja.

Keng The setelah mendengar Raja Chin Hui-kong sudah tertangkap, buru-buru dia keluar dari barisan Cin, kebetulan dia bertemu dengan Ngo Sek yang tergeletak di tanah dengan luka berat. Lalu dia angkat dan dinaikan di kretanya dan terus dibawa pulang ke negeri Chin

Sementara itu Raja Cin Bok-kong telah pulang di pesanggrahan besar, setelah bertemu dengan Pek Li He dia berkata, ”Karena aku tidak mendengarkan nasihat Tuan, hampir saja aku celaka di tangan orang Chin.”

Ketika itu 300 orang gagah itu menghadap pada Raja Cin Bok-kong.

”Kalian orang mana? Mengapa kalian bersungguh-sungguh membantuku?” kata Raja Cin.

”Apa Tuanku sudah lupa ketika Tuanku kehilangan kuda?” kata salah seorang di antara orang gagah itu. ”Sebenarnya kami adalah orang yang makan daging kuda itu.”

Raja Cin Bok-kong baru ingat, betul dulu dia pernah keluar berburu di gunung Liang-san, malam harinya dia telah kehilangan beberapa ekor kuda bagus, dia perintahkan menterinya pergi mencari kuda itu.

Ketika itu menteri mencari sampai di kaki gunung Ki-san, di situ terdapat 300 orang pengebun sedang berkumpul makan daging kuda. Tetapi pembesar ini tidak berani menegur. Dia pulang untuk melapor pada Cin Bok-kong, agar memerintahkan tentara menangkap mereka.

Tetapi Raja Cin Bok-kong segera menghela napas dan berkata, ”Kuda-kuda itu sudah mati, jika karena itu kita membuat orang celaka, niscaya rakyat negeri akan mengatakan aku lebih menghargai binatang dan merendahkan martabat manusia.” Sesudah itu dia perintahkan orangnya untuk mengambil arak yang baik beberapa guci dan diperintahkan pergi mengantarkan ke kaki gunung Ki-san untuk dihadiahkan pada orang desa itu.

Semua orang itu merasa kagum sekali atas kebaikan Cin Bok-kong, padahal mereka mencuri kudanya, bukan dihukum, malah dihadiahi arak bagus untuk menambah kelezatan daging kuda itu. Sehingga mereka sangat bersyukur dan mengingat budi ini.

Ketika mereka mendengar kabar Raja Cin Bok-kong sedang berperang dengan orang Chin, mereka datang membantu. Kebetulan waktu itu Cin Bok-kong sedang terkepung musuh.

Cin Bok-kong menghela napas terharu mendengar kisah para petani itu.

”Lihat, petani saja masih punya ingatan untuk membalas kebaikan orang, cuma Raja Chin saja yang tidak bisa dikatakan manusia!” kata Raja Cin Bok-kong. Raja Cin Bok-kong bertanya.

”Apakah kalian ingin bekerja di pemerintahan?” kata Raja Cin. ”Tidak, Tuanku,” jawab mereka.

Raja Cin lalu memberi mereka hadiah uang dan kain sutera. Tetapi orang-orang itu menolak hadiah itu. Kemudian Raja Cin Bok-kong mengucapkan terima kasih, dan mereka pun bubar kembali ke tempat mereka.

Ketika Raja Cin Bok-kong memeriksa panglima perangnya, dia hanya kehilangan Pek It Peng seorang, dia perintahkan beberapa anak buahnya mencarinya. Di suatu tempat dari dalam sebuah lubang terdengar suara orang merintih, maka mereka memeriksa lubang itu. Di situ mereka menemukan Pek It Peng dan Touw Gan I, kedua orang gagah itu semula berkelahi dengan tangan kosong, tidak diduga mereka terjerumus ke dalam lubang. Waktu itu masing- masing sudah kehabisan napas, tetapi tangannya masih saling cengkeraman tidak mau terlepas.

Tentara Cin segera mengangkat mengeluarkan kedua orang itu dan memisahkan pelukan mereka yang kencang, lalu mereka digotong dan masing-masing diletakkan di atas sebuah gerobak, terus dibawa pulang ke pesanggrahan besar.

Raja Cin Bok-kong melihat keadaan kedua orang itu terluka parah, Raja Cin bertanya pada Pek It Peng.

”Apa yang terjadi dengan kalian?” tanya Raja Cin.

Tetapi Pek It Peng sudah tidak bisa bicara dan diam saja. Ada orang yang melihat ketika mereka berdua bertarung, lalu orang itu maju ke hadapan Raja Cin Bok-kong dan menceritakan dengan jelas, bagaimana hebatnya mereka berdua berkelahi.

”O, ternyata kedua orang ini kuat sekali!” kata Cin Bok-kong memuji. Cin Bok-kong memandang pada menteri-menterinya dan bertanya.

”Apakah di antara kalian ada yang kenal pada panglima Chin ini?” tanya Raja Cin. Kong-cu Ci segera menghampiri kereta yang membawa Touw Gan I.

”Dia panglima Touw Gan I namanya.” kaya Kong-cu Ci. ”Apakah orang bisa kita pakai?” tanya Cin Bok-kong.

”Dialah yang membunuh Tok Cu dan membinasakan Pi The Hu,” sahut Kong-cu Ci. ”Hari ini dia harus dihukum mati!”

Raja Cin Bok-kong setuju pada saran Kong-cu Ci, dia perintahkan algojo menebas kepala

Touw Gan I Kemudian Raja Cin membuka baju sulamnya untuk menutupi tubuh Pek It Peng,

dan diperintah agar Pek Li He membawa panglima itu ke kereta kurung untuk dibawa pulang

duluan ke negeri Cin.

Sesudah membongkar pesanggrahan, Cin Bok-kong perintah Kong-cu Ci memimpin seratus kereta perang mengiringkan Chin Hui-kong, sedang Kek Shia, Han Kan, Nio Yu Bi, Ke Pok Touw, Kiok Pouw Yang, Kwee Yan dan Kiok Kip, semua rambut acak-acakan dan berjalan kaki mengikuti rajanya, seperti orang yang sedang mengantar peti jenazah.

Setelah tentara Cin berjalan pulang sampai di batas tanah Yong-ciu (negeri Cin), Cin Bok- kong segera memerintahkan berhenti dulu, dia kumpulkan semua panglimanya untuk berunding.

”Sesuai kehendak Tuhan aku berbuat kebaikan,” kata Cin Bok-kong, ”aku berhasil menaklukan Raja Chin, aku telah mengangkat I Gouw menjadi raja di negeri Chin. Sekarang itu raja Chin telah melupakan kebaikanku, sama saja dia berdosa kepada Allah. Maka aku menurut pendapatku hendak membunuh Raja Chin untuk sembahyang. Bagaimana pendapat kalian?”

”Ucapan Tuanku benar sekali!” kata Kong-cu Ci menyatakan setuju.

”Jangan, jangan Tuanku bunuh dia,” kata Kong-sun Ci. ”Chin ada negeri besar, kita tawan

rajanya pasti rakyatnya jadi benci kepada kita, apalagi jika kita bunuh rajanya, pasti rakyatnya jadi bertambah gemas pada kita, boleh jadi Chin akan membalas pada Cin, akan terlebih hebat dari pada pembalasan Cin pada Chin.”

”Maksudku bukan hanya membunuh Chin Hui-kong, tetapi kita juga angkat Kong-cu Tiong Ji menggantikannya,” kata Kong-cu Ci pada Cin Bok-kong. ”Jika kita bunuh yang jahat dan menggantinya dengan yang baik, pasti rakyat Chin akan bersyukur kepada kita. Mengapa mereka harus dendam pada kita?”

”Kong-cu Tiong Ji seorang yang bijaksana, Ayah dan sanaknya dia sayangi. Ketika Ayahnya meninggal pun, dia tak mengharapkan apa-apa. Aku ragu, apakah dia mau menerima menjadi Raja Chin, padahal kita membunuh adiknya I Gouw? Tidak ada beda siapapun yang kita angkat di sana. Seandainya Tiong Ji mau menjadi Raja Chin, pasti dia juga akan memusuhi kita, negeri Cin karena saudaranya mati di tangan kita. Malah Tuanku membuat jasa baik

Tuanku dulu lenyap.” kata yang lain.

”Kalau begitu, usir dia, penjarakan dia atau kembalikan dia ke negerinya, di antara tiga pilihan itu, yang manakah yang lebih baik?” tanya Cin Bok-kong.

”Memenjarakan dia cuma menyiksa seseorang, untuk kebaikan negeri Cin, apa gunanya? Mengusir dia pasti akan ada panglima atau menterinya yang akan menyambut kembali. Hamba rasa, lebih baik kembalikan dia ke negerinya.”

”Dengan demikian tidak membuat sia-sia jika waktu dan tenaga kita terbuang sia-sia saja.” ”Maksud hamba bukan mengembalikan dia dengan percuma saja. Lebih dulu kita minta dia

menyerahkan lima buah kotamu yang ada di sebelah Timur sungai Hoang-ho, dan minta puteranya, Pangeran Gi, dijadikan jaminan di negeri kita. Baru kita buat perjanjian. Dengan

demikian seumur-umur Chin Hui-kong tidak berani berbuat macam-macam pada Cin. Sudah

lumrah kerajaan jatuh pada anaknya. Kita baiki Pangeran Gi, hingga turtun-menurun Raja Chin tunduk pada Cin!” kata Cu Song.

”Pendapat Cu Song sungguh bagus!” kata Cin Bok-kong sambil tertawa.

Segera dia perintahkan orangnya membawa Chin Hui-kong dan ditempatkan di istana di gunung Leng-tay-san, dengan dijaga oleh seribu orang.

Ketika perintah Raja Cin Bok-kong hendak dijalankan, mendadak kelihatan mendatangi sekelompok budak istana mengenakan pakaian berkabung. Raja Cin Bok-kong terkejut, dia mengira terjadi apa-apa pada permaisurinya. Baru saja dia ingin bertanya, itu budak keraton sudah keburu buka suara. Baru saja Raja Cin Bok-kong hendak bertanya. Budak-budak itu sudah berkata.

”Atas perintah Hu-jin kami disuruh menemui Tuanku!” kata budak-budak itu. ”Hu-jin bilang Thian telah menurunkan bencana, hingga Raja Chin dan Cin bermusuhan. Sekarang Raja Chin telah ditawan, Hu-jin merasa malu. Jika Tuanku tidak mengampuni Raja Chin, maka dia ingin mati saja. Semua terserah Tuanku saja!”

Mendengar keterangan itu bukan main kagetnya Raja Cin Bok-kong. ”Sekarang apa yang dilakukan oleh Hu-jin?” tanya Cin Bok-kong.

”Sejak mendengar kabar Raja Chin tertangkap, dia segera berpakaian berkabung” sahut budak itu, ”dia jalan kaki keluar istana, naik ke loteng Cong-tay dan tinggal di sana. Di kaki loteng

dia tumpukkan kayu-kayu bakar kering. Ketika Hu-jin dan puteranya naik maupun turun, mereka lewat tumpukan kayu kering itu. Jika Raja Chin tiba, Hujin bersama putranya akan bunuh diri. Ini katanya demi cintanya pada saudaranya, Raja Chin!”

”O, untung Cu Song melarang membunuh Raja Chin!” kata Cin Bok-kong. ”jika tidak, Hu-jin pasti sudah binasa.”

Segera dia perintahkan budak membuka pakaian berkabungnya, dia suruh mereka pulang,

”Beri tahu pada Hu-jin Bok-ki, tidak lama lagi akan kuantarkan Raja Chin.” kata Cin Bok- kong.

Maka pulanglah para budak itu hendak melapor. Raja Chin Hui-kong ditahan di gunung Leng Tay-san belum lama, pada suatu hari Kong-sun Ci menemuinya, dia menanyakan kesehatan Raja Chin.

”Tidak lama lagi Anda akan diantarkan pulang ke negerimu!” kata Kong-sun Ci.

”Sebenarnya pembesar Cin ingin membunuh Anda, tetapi karena Permaisuri Rajaku ingin bunuh diri jika Anda mati, maka Anda dibebaskan. Tetapi dengan syarat kau harus menyerahkan lima kota yang Anda janjikan dulu, dan jaminkan Pangeran Gi pada kami. Kau boleh pulang!” Raja Chin Hui-kong girang, dia menghaturkan terima kasih pada Raja Cin yang murah hati, segera dia perintahkan Kiok Kip pulang ke Chin, untuk memberitahu Lu I Seng mengenai syarat pemulangannnya.

Begitu menerima kabar itu, Lu I Seng datang ke negeri Cin menemui Raja Chin Bok-kong, dia serahkan peta lima kota serta dilampiri data penduduk, bangunan dan bahan makanan yang ada di lima kota itu, juga Pangeran Gi diserahkan sebagai jaminan.

”Tetapi mengapa Pangeran Gi tidak ikut datang?” tanya Raja Cin Bok-kong.

”Karena di anatara pembesar Chin belu sepakat semua, maka sementara Pangeran Gi tinggal dulu di Chin,” kata Lu I Seng. ”Begitu Rajaku kembali, Pangeran Gi akan segera kemari!”

Ketika Raja Bok-kong menanyakan ketidak cocokan di antara pembesar Chin, oleh Lu I Seng dijawab.

”Atas masalah ini ada dua pendapat, ada yang ingin mengangkat Pangeran Gi sebagai pengganti Raja Chin, ada yang berharap Raja Chin dibebaskan,” kata Lu I Seng.

Chin Bok-kong mengangguk mengerti. Segera dia perintahkan Beng Beng Si menetapkan

batas-batas lima kota, dan menempatkan panglima serta tentara untuk menjaganya. Kemudian Raja Chin ditempatkan di perbatasan dengan status sebagai Tamu Agung. Sesudah semua beres Raja Cin Bok-kong memerintahkan Kong-sun Ci mengantarkan Lu I Seng dan Raja

Chin Hui-kong pulang ke negerinya.

Dua bulan lamanya Chin Hui-kong menjadi tawanan di negeri Cin. Di antara menteri- menterinya yang ikut sengsara semua ikut pulang, kecuali Kek Sia yang karena sakit telah meninggal di negeri Cin.

Tatkala Chin Hui-kong hampir sampai di kota Kang-ciu, Pangeran Gi dengan mengajak Ho Tut, Kiok Peng, Keng The, Ngo Sek, Su-ma Swat dan Put Te keluar untuk menyambut.

Raja Chin Hui-kong ketika melihat Keng The segera menjadi marah sekali, dia ingat saat keretanya terperosok di lumpur, Keng The tidak mau menolonginya, sehingga dia tertangkap, Segera dia panggil Keng The menghadap, sesudah dia damprat dengan sengit Keng The akan dihukum mati.

Ngo Sek dan Kek Pouw Touw meminta ampun, tetapi Nio Yu Bi yang juga jengkel pada Keng The, karena ketika hampir Raja Cin Bok-kong hampir terangkap, Keng The menyuruh dia menolong Raja Chin Hui-kong, sehingga Raja Cin lolos. Chin Hui-kong memutuskan

Keng The harus dihukum mati.

Sesudah Chin Hui-kong ada di istana, dia memerintahkan pada pangeran Gi agar ikut bersama Kong-sun Ci ke negeri Cin, Raja Chin minta agar jenazahnya Touw Gan I dikirim ke negeri Chin untuk dikuburkan.

Pada suatu hari......

Raja Chin Hui-kong memberitahu Kiok Peng, bahwa dia khawatir Tiong Ji menyerang ke negerinya,

”Kalau begitu lebih baik kita bunuh saja Tiong Ji,” usul Kiok Peng. ”Siapa yang diperintah untuk tugas membunuh dia?” tanya Raja Chin Hui-kong. ”Put Te saja,” kata Kiok Peng.

Raja Chin Hui-kong segera memanggil Put Te dan diam-diam diperintah membunuh Tiong Ji.

”Tiong Ji sudah dua belas tahun lamanya menetap di negeri Ek,” kata Put Te. ”Dulu Raja Ek memerangi bangsa Kiu-ji, berhasil menangkap dua perempuan bernama Siok-kui dan Kui-kui, keduanya berparas elok. Kemudian Raja Ek menikahkan Kui-kui dengan Tiong Ji, sedangkan

Siok-kui dinikahkan dengan Tio Swi. Masing-masing melahirkan anak lelaki. Maka menurut hamba karena Tiong Ji sudah hidup tentram, dia pasti tidak bermaksud mengganggu kita lagi. Jika Tuanku tetap ingin membunuhnya, jangan gunakan angkatan perang. Jika kita serang dia, pasti Raja Ek akan membantu dia. Kita kirim saja pembunuh bayaran untuk membunuhnya!”, kata Put Te.

Raja Chin Hui-kong setuju, Put Te dihadiahi uang emas dan diperintahkan mencari pembunuh bayaran, jika berhasil akan diberi hadiah besar. Pribahasa mengatakan jika tidak mau ada yang mengetahui, jangan lakukan perbuatan itu, jika tidak mau ada yang mendengar, jangan bicarakan masalah itu. Sekalipun Raja Chin Hui-kong cuma menyuruh Put Te seorang, ternyata ada juga budak yang tahu rahasia ini.

Ketika Ho Tut mengetahui Put Te dengan menghambur-hamburkan uang mencari orang gagah, Ho Tut jadi curiga. Diam-diam dia menyelidikinya. Ho Tut ipar raja almarhum, dia banyak kenal dengan para budak istana. Tidak heran keterangan yang dia cari segera didapatkan.

”Alangkah kagetnya Ho Tut ketika mengetahui rencana pembunuhan terhadap Tiong Ji tersebut. Maka segera dia menulis surat rahasia dan mengirimkannya kepada Tiong Ji di negeri Ek. Ho Tut ketakutan setengah mati. Pada hal di negeri Ek, Tiong Ji santai dan sedang berburu binatang liar.

Pada suatu hari.......

Tiong Ji bersama Raja Ek sedang berburu di tepi sungai Wi-sui, datanglah seseorang minta bertemu dengan dua saudara Ho. Orang itu mengaku sebagai utusan Ho Tut dari negeri Chin.

Mendengar kabar itu Ho Mo dan Ho Yan terkejut.

”Biasanya Ayah belum pernah mengirim kabar, sekarang mendadak mengirim surat, pasti ada unrusan penting. ” kata Ho Mo.

Segera utusan itu dipanggil menghadap dan dia terima surat dari Ho Tut. Lalu membuka dan membacanya.

”Cu-kong hendak membinasakan Kong-cu Tiong Ji, dia sudah memerintahkan Put Te; dalam

tiga hari mendatang sudah berangkat ke negri Ek dengan mengajak pembunuh bayaran

mereka. Kau berdua, segera beri tahu pada Kong-cu supaya segera menyingkir ke lain negeri, jika terlambat sedikit saja, niscaya bisa mendapat bencana.”

Ho Mo dan Ho Yan sangat terperanjat sesudah membaca surat itu, mereka memberitahu Tiong Ji. Tapi Tiong Ji merasa sangsi. ”Anak-istriku semua ada di sini, maka di sinilah rumah tanggaku berada, lalu aku mau pergi ke mana lagi?” kata Tiong Ji.

”Kedatangan kami ke sini, bukan untuk mencari rumah supaya Kong-cu menetap di sini, tetapi hendak berikhtiar untuk mendapatkan negara,” kata Ho Yan. ”Karena belum ada kesempatan, terpaksa menumpang di negeri Ek. Di sini kita sudah terlalu lama dan sekarang Pu Te datang, seolah dia diutus oleh Allah untuk memaksa Kong-cu pergi ke negara yang

lebih besar!”

”Jika kita pergi dari sini, kita mau pergi ke negeri mana?” tanya Tiong Ji.

”Raja Cee meskipun sudah tua, tetapi dia masih menjadi yang terkuat sekarang ini,” kata Ho Yan. ”Dia baik pada semua Raja-muda sekalipun Koan Tiong dan Sek Peng sudah meninggal, di istananya kurang orang yang pandai. Jika Kong-cu ke sana kita tunggu sampai saatnya tiba untuk kembali ke negeri Chin. Mungkin kita dibantu oleh Raja Cee!”

Tiong Ji setuju atas saran itu. Maka dia pulang untuk memberitahu keluarganya.

”Raja Chin menyuruh orang hendak membunuhku,” kata Tiong Ji dengan sedih. ”Maka aku berniat pergi ke negeri besar untuk menyingkirkan diri. Kelak jika ada rejeki, aku akan berserikat dengan Raja Cin untuk pulang ke negeri Chin. Kau rawat anak kita, jika sudah 25 tahun aku tidak kembali, kau boleh ikut orang lain.”

”Aku tidak dapat menghalangi niatmu,” kata Kui-kui. ”Jangankan baru 25 tahun, sekalipun harus seratus tahun, akan kutunggu jika aku ada umur.”

Sedang Tiong Ji berkata pada isterinya, Kui-kui, Tio Swi pun meninggalkan pesan pada Siok- kui. Betapa sedihnya mereka karena harus berpisah.

Esok paginya......

Tiong Ji perintahkan Ouw Siok menyiapkan kereta dan siap akan berangkat.

Saat Tiong Ji sedang mengatur anak buahnya, tiba-tiba datang utusan dari Ho Tut menyampaikan kabar pada Ho Yan dan Ho Mo, bahwa Pu Te sudah berangkat dan sedang menuju tempat Tiong Ji. Bukan main kagetnya Tiong Ji, dengan tidak tukar pakaian lagi bersama dua saudara Ho segera berangkat.

Ouw Siok yang hanya membawa kereta kecil segera menyusul Tiong Ji, dan dia minta mereka berangkat. Tio Swi dan yang lainnya sudah tidak keburu naik kendaraan, semua berjalan kaki untuk menyusul. Setelah semua orang berkumpul, Tiong Ji segera bertanya.

”Mengapa Tauw Si tidak ikut?” tanya Tiong Ji.

Di antara anak buah Tiong Ji melapor bahwa Tauw Si telah kabur entah ke mana.

Tiong Ji jadi sangat berduka, karena semua barang berharga miliknya hilang dibawa kabur oleh Tauw Si.

Sesudah berjalan setengah hari lamanya Tiong Ji bersama rombongannya berangkat, Raja Ek baru mengetahuinya. Dia akan membekali uang pada Tiong Ji, tetapi sudah tidak sempat.

Raja Ek mencari tahu, kenapa Tiong Ji pergi dari negerinya. Sesudah tahu, Raja Ek melakukan penjagaan keras di negerinya. Ketika Put Te sampai di negeri Ek, Put Te ditahan dan diperiksa. Karena tidak bisa memberi keterangan yang jelas, Pu Te tidak diizinkan masuk ke negeri Ek. Terpaksa Put Te kembali ke negeri Chin dan memberitahu hal itu pada Raja Chin Hui-kong. Raja Chin tidak bisa bilang

apa-apa, melainkan cuma menyesal dan penasaran.

Tatkala Tiong Ji dan menteri-menterinya sudah keluar dari perbatasan negeri Ek, karena tidak

punya ongkos di perjalanan, mereka sangat menderita sekali. Selang beberapa hari, mereka

sampai di perbatasan negeri We.

Pembesar negeri We yang menjaga perbatasan negerinya segera menahan Tiong Ji dan rombongannnya.

”Kalian semua mau ke mana?” tanya si penjaga.

”Ini majikan hamba, Pangeran Tiong Ji. Karena ada bahaya, maka kami ingin mencari tempat aman.” jawab Tio Swi. ”Tujuan kami ke negeri Cee maka kami mohon diberi jalan.”

Penjaga perbatasan tidak keberatan, Tiong Ji dan rombongannya diizinkan masuk ke negeri We. Sedang dia langsung melapor pada rajanya. Perdana menteri Leng Siok dari negeri We, berkata pada Raja We Bun-kong.

”Sebaiknya Tuanku menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji dengan manis,” kata Leng Siok.

Tetapi Raja We Bun-kong tidak setuju, dia berkata, ”Negeriku bertetangga dengan negeri Couw, sedikit pun aku tidak berhutang budi pada negeri Chin. Sekalipun Raja We dan Raja Chin satu she (marga), tetapi belum berserikat.

”Sekalipun dia melarat, sebagai tamu kita harus menjamunya. Hal itu buang waktu dan biaya saja. Lebih baik kita usir saja dia dari sini!”

Sehabis berkata begitu, Raja We mengeluarkan perintah, agar Tiong Ji dilarang masuk ke negeri We.

Tiong Ji tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa menahan sabar dan meneruskan perjalanan. Tetapi Gui Cun dan Tian Kiat menjadi gusar, mereka merasa geram sekali pada penghinaan Raja We ini.

”Raja We tidak punya aturan!” kata Gui Cun pada Tiong Ji.

”Akh, biarkan saja, jangan ambil pusing,” kata Tio Swi. ”Ular besar atau naga, jika hilang pengaruhnya seumpama seekor cacing saja. Kong-cu harus tahan sabar saja, meski orang sudah tidak punya aturan, kita sedang tak berdaya.”

”Karena Raja We sebagai Tuan rumah tidak punya aturan, bagaimana kita rampok saja

rakyatnya?” kata Tian Kiat.

”Orang yang merampok namanya penjahat,” kata Tiong Ji dengan air mata berlinang-linang. ”biarlah aku sengsara menanggung lapar, aku tidak sudi menjalankan pekerjaan penjahat.”

Mendengar ucapan Pangeran Tiong Ji semua anak buahnya terharu bukan main.

Pangeran Tiong dan anak buahnya semuanya belum makan pagi, dengan menanggung lapar mereka berjalan perlahan-lahan. Tidak lama pagi pun  sudah menjadi siang. Waktu itu mereka sudah sampai di suatu tempat yang disebut Ngo-lok, di sana mereka melihat sekelompok petani sedang berkumpul makan nasi di  atas gili-gili. Karena sangat kelaparan, Pangeran Tiong Ji segera memerintahkan pada Ho Yan menemui para petani itu minta dibagi sedikit makanan.

”Sobat datang dari mana?” tanya salah seorang petani itu.

”Kami dari negeri Chin, itu orang yang ada di atas kereta majikan kami,” kata Ho Yan sambil menunjuk pada Tiong Ji. ”Karena kami hendak berjalan jauh dan di sini kami kekurangan ransum, maka ingin minta sedikit makanan pada kalian.”

”Ha, ha, ha! He, he, he!” para petani tertawa semua.

Di antaranya ada yang berkata, ”Mengapa seorang laki-laki tidak mampu mencari makanan sendiri, malah menumpang makan pada kami orang miskin! Kami petani pedusunan, kami kerja keras baru bisa makan. Mana kami punya makanan lebih?”

Ho Yan jadi sangat mendongkol dan malu, tetapi seberapa bisa dia tahan sabar dan berkata lagi, ”Kendati tidak dapat makanan, bisakah kami diberi alat masak.”

Salah seorang petani itu mengambil sebongkah tanah sambil tertawa cengar-cengir dia berikan pada Ho Yan sambil berkata, ”Nah, tanah ini kau bikin alat masak.”

Gui Cun yang sudah sangat mendongkol atas kekurangajaran petani itu, sudah tidak bisa menahan sabar lagi.

”Setan dusun! Kau kurang ajar sekali! Mengapa kau begitu berani menghina kami?” dia memaki. Gui Cun merebut alat masak terbuat dari tanah milik petani yang dia banting sampai hancur.

Tiong Ji pun sangat murka, segera mengambil cambuk hendak menghajar petani-petani itu. Tetapi Ho Yan segera mencegah tindakan Tiong Ji it.

”Mendapatkan nasi gampang, tetapi mendapatkan tanah susah. Tanah adalah modal utama sebuah negara. Allah telah meminjam tangan petani untuk menyerahkan tanah kepada Kong- cu, ini adalah alamat Kong-cu bakal mendapat negeri. Mengapa marah? Sebaiklah Kong-cu turun dari kereta terima tanah itu.”

Tiong Ji menuruti saran dari Ho Yan, dia turun dari keretanya, dengan hormat dia sambut tanah itu. Petani-petani itu keheranan menyaksikan sikap Tiong Ji ini. Mereka lalu berkumpul dengan kawan-kawannya dan tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir mereka telah bertemu dengan serombongan orang kurang waras. Tiong Ji dan semua pengikutnya tidak menghiraukannnya. Mereka meneruskan perjalanan mereka.

Setelah berjalan kira-kira sepuluh li lebih, saking laparnya banyak yang tidak bisa meneruskan perjalanannya. Mereka segera berhenti dan istirahat di bawah sebuah pohon. Ketika itu Tiong Ji merasakan sangat kelaparan, sehingga sekujur badannya menjadi lemas, dia rebahkan kepalanya di lutut Ho Mo sambil tiduran.

”Cu I masih membawa sedikit bubur encer,” kata Ho Mo terharu, ”ia berjalan di belakang, sebaiknya tunggu dia.” ”Bubur encer itu,” kata Gui Cun, ”untuk Cu I sediri pun tidak akan cukup, barangkali malah sudah tidak tersisa!”

Semua berebut mencari rumput dan akar yang bisa mereka masak untuk dimakan. Tetapi Tiong Ji tidak bisa makan makanan itu. Tiba-tiba datang Kai Cu Cui membawa semangkok daging rebus yang dia suguhkan kepada Tiong Ji, yang segera dimakannya dengan lahap sekali.

Sesudah selesai makan Tiong Ji segera bertanya, ”Di tempat seperti ini, dari manakah kau bisa mendapatlan daging selezat itu?” tanya Pangeran Tiong Ji.

”Itu daging paha hamba, Tuanku,” jawab Kaij Cu Cui, ”karena hamba mendengar pepatah

begini : anak yang berbakti mengorbankan dirinya untuk membela orang tuanya, sedang

hamba yang setia berkorban untuk membela majikannya. Sekarang Kong-cu kebetulan kekurangan makanan, maka hamba sengaja memotong paha hamba untuk Tuanku makan.”

”Ya, Allah, telah menyusahkanmu sungguh keterlaluan, di kemudian hari entah aku bisa membalas budimu entah tidak?” kata Tiong Ji sambil menangis.

”Biarlah hamba doakan supaya Kong-cu bisa segera pulang ke negeri Chin,” jawab Kai Cu

Cui. ”Kalau hamba telah melakukan kewajiban hamba, dan memotong paha hamba. Itu bukan karena hamba mengharapkan untuk mendapatkan balasan, maka jangan Kong-cu pikiran soal itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar