Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 ~ Jilid 2 : 1982 – 1994

Jilid 2 : 1982 – 1994

Kim Ji-yeong lahir pada 1 April 1982 di sebuah rumah sakit

bersalin di Seoul, dengan panjang tubuh 50 sentimeter dan

berat tubuh 2,9 kilogram. Saat itu ayah Kim Ji-yeong adalah pegawai negeri dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Kim Ji-yeong punya kakak perempuan yang usianya dua tahun lebih tua darinya, dan adik laki-laki yang usianya lima tahun lebih muda darinya. Ketiga kakak-adik itu tinggal bersama ayah, ibu, dan nenek mereka di sebuah rumah sempit yang hanya memiliki dua kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi.

Kenangan masa kecil yang masih diingat Kim Ji-yeong adalah ketika ia mencicipi susu bubuk adiknya. Karena ia lebih tua lima tahun daripada adiknya, usia Kim Ji-yeong saat itu pastilah sekitar enam atau tujuh tahun. Ia hanya ingin tahu seperti apa rasanya. Jadi, ketika ibunya menyiapkan susu untuk adiknya, Kim Ji-yeong mencolek susu bubuk yang jatuh ke lantai dan mencicipinya. Kadang-kadang ibunya akan mendongakkan kepala Kim Ji-yeong dan menuangkan sesen-

dok bubuk yang kental, manis, dan harum itu ke dalam mulutnya. Bubuk itu larut bersama liur, berubah lengket menjadi gumpalan seperti karamel. Setelah itu, gumpalan itu akan meluncur menuruni tenggorokannya, meninggalkan sensasi aneh yang tidak kering dan tidak pahit.

Nenek yang tinggal serumah dengan mereka tidak suka jika Kim Ji-yeong makan susu bubuk adiknya. Jika ketahuan makan susu bubuk, ia akan dipukul. Kim Eun-yeong, kakak Kim Ji-yeong, tidak pernah makan susu bubuk lagi setelah dimarahi neneknya.

“Kak, memangnya Kakak tidak suka susu bubuk?”

“Suka.”

“Kalau begitu, kenapa Kakak tidak makan?”

“Karena rasanya memalukan.”

“Ha?”

“Karena rasanya memalukan, jadi aku tidak akan pernah memakannya lagi.”

Kim Ji-yeong tidak mengerti apa maksud kakaknya saat itu, tetapi ia bisa memahami perasaan kakaknya. Alasan nenek mereka marah bukan karena Kim Ji-yeong sudah melewati usia untuk minum susu itu atau karena takut jatah susu adiknya berkurang. Sulit sekali menggambarkan nada suara, sorot mata, gerakan kepala, posisi bahu, dan tarikan napas nenek mereka menjadi satu kalimat, tetapi gambaran yang paling mendekati adalah nenek mereka seolah-olah menyatakan, “Berani-beraninya kau mengambil barang milik cucu laki-laki kesayanganku?”

Karena ada kesan bahwa adik laki-lakinya dan semua milik adik laki-lakinya sangat berharga sehingga tidak boleh disen-

tuh siapa pun, Kim Ji-yeong merasa seolah-olah dirinya adalah “orang asing”. Kakaknya pasti juga merasakan hal yang sama.

Yang selalu mengambil nasi lebih dulu adalah Ayah, lalu adik laki-laki, lalu Nenek. Adik laki-laki selalu mendapat tahu dan mandu' yang masih utuh dan bagus, sementara Kim Jiyeong dan kakak perempuannya selalu mendapat bagian yang bentuknya agak jelek atau hancur. Adik laki-laki mereka selalu mendapat barang-barang yang terlihat serasi, mulai dari sumpit, kaus kaki, pakaian dalam, pakaian luar, sampai tas sekolah, dan kantong sepatu: sementara barang-barang Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya tidak pernah terlihat serasi. Kalau ada dua payung, salah satunya akan dipakai sendiri oleh adik laki-lakinya, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya harus berbagi payung. Jika ada dua selimut, salah satunya akan dipakai sendiri oleh adik laki-laki mereka, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya harus berbagi selimut yang satu lagi. Jika ada dua porsi kudapan, satu porsi akan diberikan kepada adik laki-laki mereka, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya akan berbagi satu porsi yang tersisa. Sebenarnya dulu Kim Ji-yeong tidak pernah iri melihat adik laki-lakinya menerima perlakukan khusus. Karena itulah yang terjadi sejak dulu. Kadang-kadang ia merasa diperlakukan tidak adil, tetapi kemudian ia beralasan bahwa ia memang seharusnya mengalah karena ia lebih tua, dan ia memang sepantasnya berbagi dengan kakak perempu-

Semacam pangsit ala Korea, annya karena mereka sama-sama perempuan. Ibu selalu me-

muji mereka berdua karena mereka tidak pernah iri pada si adik dan selalu menjaganya dengan baik. Karena sering dipu-

ji mereka pun tidak pernah merasa iri.

Ayah Kim Ji-yeong adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak sulungnya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan lalu

lintas bahkan sebelum sempat menikah, sedangkan kakak keduanya sudah pindah ke Amerika Serikat bersama keluarganya. Ayah Kim Ji-yeong dan adiknya tidak lagi berhubungan sejak mereka bertengkar gara-gara masalah pembagian harta warisan dan masalah perawatan ibu mereka yang sudah tua.

Keempat kakak-adik itu lahir dan tumbuh besar di masa yang sulit. Di tengah perang, wabah penyakit, dan kelaparan yang mencabut nyawa banyak orang, baik tua dan muda, Go Sun-bun bekerja di ladang orang lain, menjual barang orang lain, tinggal di rumah orang lain, hidup sehemat mungkin demi membesarkan keempat anaknya. Kakek Kim Ji-yeong yang berwajah pucat dan bertangan halus sama sekali tidak pernah menyentuh tanah seumur hidupnya. Ia adalah pria yang tidak memiliki keahlian atau tekad apa pun untuk mengurus keluarga. Namun, Go Sun-bun tidak marah pada suaminya. la sungguh berpikir suaminya pria yang baik, karena suaminya tidak berselingkuh dan tidak memukul istri. Setelah bersusah payah membesarkan putra-putranya, yang benar-benar berperan sebagai anaknya pada akhirnya hanyalah ayah Kim Ji-yeong, tapi nenek Kim Ji-yeong masih menghi-

bur diri dengan alasan yang tidak logis. “Aku punya empat anak laki-laki, karena itu aku bisa ma-

kan makanan yang diberikan anakku dan bisa tidur di rumah yang disediakan anakku. Walaupun anakku mungkin tidak kaya, aku tetap bisa mendapatkan semua itu karena aku punya empat putra.”

Nenek selalu berkata seperti itu, walaupun yang menyiapkan makanan dan tempat tidur untuknya bukan putranya sendiri, melainkan menantunya, ibu Kim Ji-yeong, Oh Misook. Berbeda dengan para mertua lain sebaya dirinya, Nenek sungguh menyayangi menantunya dan selalu dengan tulus berkata bahwa menantunya harus melahirkan anak laki-laki, harus memiliki anak laki-laki, sekurang-kurangnya dua.

Ketika Kim Eun-yeong lahir, Ibu memeluk bayi yang baru lahir itu sambil menangis dan meminta maaf kepada mertuanya.

“Tidak apa-apa. Anak kedua nanti mungkin saja laki-laki,” hibur Nenek.

Ketika Kim Ji-yeong lahir, Ibu memeluknya sambil menangis dan meminta maaf kepada Nenek.

Kali ini pun Nenek menenangkannya, “Tidak apa-apa. Anak ketiga mungkin laki-laki.”

Kim Ji-yeong bahkan belum berumur satu tahun ketika ada berita tentang bayi ketiga. Suatu malam, Ibu bermimpi tentang seekor harimau raksasa yang menerobos masuk ke rumah dan bersembunyi di balik roknya. Mimpi itulah yang membuatnya yakin bahwa ia sedang mengandung anak lakilaki. Namun, dokter kandungan, yang juga membantu kelahiran Kim Eun-yeong dan Kim Ji-yeong, terlihat resah kerika memeriksa bagian bawah perut ibu Kim Ji-yeong dengan alat USG. Lalu ia berkata dengan hati-hati, “Bayi yang manis, bayi yang cantik... kau mirip kakak-kakakmu ya.” Sepulangnya ke rumah, Ibu menangis terus dan muntah-

muntah. Nenek menatap menantunya yang sedang berlutut di kamar mandi sambil muntah, dan berkata, “Ketika sedang mengandung Eun-yeong dan Ji-yeong, kau sama sekali tidak pernah mual-mual. Kenapa sekarang parah begitu? Sepertinya ini anak laki-laki.”

Ibu tidak mampu keluar dari kamar mandi, masih menangis dan muntah-muntah. Ketika hari sudah larut dan kedua anak perempuannya sudah tidur, ia bertanya kepada suaminya, “Misalnya, misalnya saja, anak yang ada dalam perutku sekarang adalah anak perempuan, bagaimana pendapatmu?”

Ia berharap suaminya berkata, “Pertanyaan macam apa itu? Anak laki-laki atau perempuan sama berharganya.” Namun, suaminya malah diam saja.

“Bagaimana pendapatmu?” desak Ibu.

Suaminya berguling menghadap dinding dan berkata, “Hatihatilah dengan ucapanmu, karena itu bisa menjadi kenyataan. Tidur saja. Jangan berkata yang tidak-tidak.”

Ibu menggigit bibir dan menangis tanpa suara sepanjang malam, sampai bantalnya basah. Keesokan paginya, bibirnya bengkak sampai tidak bisa menutup.

Saat itu pemerintah menetapkan kebijakan pengendalian kelahiran yang diberi nama “keluarga berencana”. Sepuluh tahun lalu, aborsi karena alasan medis diperbolehkan secara hukum, dan “anak perempuan” seolah-olah termasuk alasan

medis, membuat pemeriksaan jenis kelamin dan aborsi atas

janin anak perempuan meluas'. Situasi yang berlangsung se-

"Park Jae-heon, et al., Peluang Keluarga (Penerbit: Mari Books, 20151, halaman 57-58. Lihat artikel “Apa Akar Misoginis?” dalam majalah SisaIN nomor 417, lama tahun 1980-an ini menimbulkan ketidakseimbangan

perbandingan jumlah gender yang memuncak pada awal tahun 1990, ketika jumlah anak laki-laki yang menjadi anak ketiga dalam keluarga dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah anak perempuan”. Ibu pergi ke rumah sakit sendirian dan “menghapus” adik perempuan Kim Ji-yeong. Semua itu bukan pilihan Ibu, tetapi entah bagaimana semua itu menjadi tanggung jawabnya. Tidak ada anggota keluarga yang menghiburnya sementara jiwa dan raganya tersiksa. Dokter menggenggam tangan Ibu dan meminta maaf, sementara Ibu menangis meraung-raung seperti hewan yang kehilangan anaknya. Katakata hiburan dari dokter tua itulah yang membuat Ibu tetap mempertahankan kewarasannya.

Beberapa tahun kemudian, seorang anak laki-laki akhirnya

lahir dalam keadaan sehat. Bayi itulah adik laki-laki Kim Jiyeong, yang lima tahun lebih muda darinya.

Ayah Kim Ji-yeong adalah pegawai negeri, jadi ia memiliki pekerjaan dan penghasilan yang stabil. Namun, gaji pegawai negeri level rendah tidak besar, jadi mereka harus hidup hemat agar bisa memenuhi kebutuhan hidup enam orang dalam keluarga. Rumah yang hanya terdiri atas dua kamar tidur itu pun terasa semakin sesak ketika ketiga bersaudara itu tumbuh semakin besar. Ibu ingin pindah ke rumah yang lebih luas, sehingga kedua anak perempuannya bisa memiliki kamar tidur sendiri dan tidak perlu berbagi kamar dengan nenek mereka.

Perbandingan gender berdasarkan urutan kelahiran, Kantor Statistik Nasional, Ibu memang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak

berangkat ke kantor setiap hari seperti Ayah, tetapi sementara ia harus menjaga tiga orang anak, merawat mertuanya yang sudah tua, dan mengurus rumah, ia masih sempat mencari pekerjaan sampingan yang bisa menghasilkan uang. Itulah yang dilakukan sebagian besar ibu rumah tangga di wilayah tempat tinggal mereka. Pada masa itu, para ibu rumah tangga bekerja sampingan menjual polis asuransi, Yakult, dan kosmetik. Namun, karena mereka tidak dipekerjakan langsung oleh perusahaan-perusahaan tersebut, mereka sendiri yang harus mengatasi segala masalah dan kecelakaan yang mungkin terjadi menyangkut pekerjaan tersebut'. Ibu, yang harus membesarkan tiga anak, memilih bekerja sampingan dari rumah. Mengelim baju, melipat kotak, mengelem amplop, mengupas bawang putih, menggulung penyekat jendela, dan lain-lain. Sungguh, banyak sekali jenis pekerjaan sampingan yang tersedia. Ketika masih kecil, Kim Ji-yeong juga sering membantu ibunya. Biasanya ia akan membantu ibunya dalam hal bersih-bersih atau hitvung-menghitung. Pekerjaan yang paling merepotkan adalah menggulung penyekat jendela, yaitu spons tipis dan panjang yang biasanya ditempelkan di celah-celah pintu dan jendela untuk mencegah udara masuk. Penyekat itu harus digulung dan dimasukkan ke plastik kecil. Caranya, ujung penyekat dijepit dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri, lalu digulung dengan tangan kanan. Namun, lem di penyekat itu bisa menempel erat di jari dan jari bisa terluka

"Kim Si-hyeong et al., Pekerjaan Tak Tercatat (Penerbit: Jendela Hidup, 2016), halaman 21-29. apabila ditarik terlalu keras. Walaupun sudah mengenakan

sarung tangan kerja, tangan Ibu masih sering berdarah. Jumlahnya banyak, sampahnya juga banyak, bau spons dan lem membuat kepala pusing, tetapi ibu Kim Ji-yeong tetap melakukannya karena honornya cukup besar. Perlahan-lahan, pekerjaan Ibu pun bertambah dan waktu yang dihabiskannya untuk bekerja pun semakin panjang.

Sering kali Ibu masih menggulung penyekat ketika Ayah pulang dari kantor. Kim Ji-yeong dan Kim Eun-yeong akan membantu ibu mereka apabila mereka sudah selesai mengerjakan PR dan bermain, sementara adik laki-laki mereka bermain-main dengan sisa-sisa spons dan sibuk merobek-robek kantong plastik. Apabila pesanannya sedang banyak, mereka akan mendorong tumpukan penyekat itu ke sudut ruangan, lalu menyantap makan malam di samping tumpukan penyekat itu.

Suatu hari, ketika Ayah pulang setelah bekerja lembur sampai larut, ia melihat anak-anaknya masih bergulingan di tengah tumpukan penyekat. Itulah pertama kalinya ia mengungkapkan ketidaksenangannya pada Ibu. “Apakah kau harus melakukan pekerjaan yang bau dan berdebu seperti ini di dekat anak-anak?”

Tangan dan bahu Ibu mendadak membeku. Lalu ia mengumpulkan penyekat-penyekat yang sudah dibungkus dan memasukkannya ke kotak. Ayah berlutut, memasukkan spons dan serpihan kertas sisa ke kantong sampah berukuran besar dan berkata, “Maafkan aku. Aku hanya bisa membuatmu susah.” Kemudian Ayah menarik napas dalam-dalam, dan ba-

yangan besar di belakang punggungnya seolah-olah lenyap. Ibu mengangkat dan memindahkan kotak yang lebih besar

daripada tubuhnya sendiri, lalu menyapu lantai di samping Ayah. “Bukan kau yang membuatku susah. Hanya saja hidup kita berdua memang susah. Kau tidak perlu meminta maaf, tapi jangan bersikap seolah-olah hanya kau sendiri yang menanggung semua pengeluaran di rumah ini. Terus terang saja, tidak seorang pun akan berpikir seperti itu dan kenyataannya memang tidak seperti itu,” kata Ibu dengan nada dingin. Setelah itu, ia tidak lagi menerima pekerjaan menggulung penyekar.

Pria yang bertugas mengantar penyekat ke rumah pun heran kenapa orang yang hasil kerjanya paling cepat dan paling rapi mendadak berhenti bekerja. “Tapi kau memang terlalu berbakat untuk bekerja sebagai penggulung penyekat. Mungkin kau bisa belajar seni atau kerajinan tangan. Aku yakin kau bisa sukses,” katanya.

Ibu tersenyum dan mengibaskan tangan, berkata bahwa memangnya apa yang bisa dipelajari orang seusianya. Saat itu usia Ibu 35 tahun. Walaupun begitu, kata-kata pria yang mengantar penyekat itu meninggalkan kesan mendalam dalam diri Ibu. Ibu pun mulai menghadiri kursus, meninggalkan Kim Ji-yeong di bawah pengawasan Kim Eun-yeong, dan meninggalkan anak bungsunya di bawah pengawasan mertuanya yang sudah tua. Kursus itu bukan kursus seni kerajinan tangan, melainkan kursus kecantikan. Ia bahkan tidak berambisi mendapatkan sertifikat atau semacamnya. Katanya ia tidak butuh sertifikat untuk memotong rambut orang lain. Setelah belajar cara memotong rambut yang sederhana dan belajar mengeriting rambut, ia pun memulai usaha salon yang murah untuk para anak kecil dan

nenek di sekitar rumah. Berita pun menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.

Ternyata Ibu sungguh berbakat. Ia akan memberikan sedikit riasan di wajah para nenek yang datang untuk mengeriting rambut. Jika ada anak kecil yang datang untuk memotong rambut, Ibu juga akan sekaligus merapikan poni ibu anak itu tanpa memungut biaya. Ia sengaja menggunakan obat keriting yang sedikit lebih mahal daripada yang dipakai oleh salonsalon lain di sekitar sana, dan ia akan menunjukkan tulisan di kotak obat itu kepada para pelanggannya. “Anda lihat? Ini produk baru yang tidak akan membuat kulit kepala iritasi. Mengandung ekstrak ginseng. Seumur hidup aku belum pernah makan ginseng, tapi aku menggunakan ginseng ini untuk rambut Anda,” katanya

Ibu menerima bayaran dengan uang tunai dan tidak membayar pajak. Walaupun rambutnya pernah dijambak oleh pemilik salon lain karena Ibu dituduh merampas pelangganpelanggan, Ibu sudah lama tinggal di daerah itu, sehingga semua orang memihaknya. Para pelanggan terbagi rata, jadi salon lain dan salon Ibu bisa terus menjalankan usaha karena

mereka tidak pernah saling melewati batas.

Ibu Kim Ji-yeong, Oh Mi-sook, punya dua kakak laki-laki, satu kakak perempuan, dan satu adik laki-laki. Setelah dewasa, mereka semua meninggalkan kampung halaman. Konon, keluarga mereka hidup dari bertani tanpa kesulitan apa pun selama beberapa generasi. Namun, dunia sudah berubah. Korea, yang dahulu merupakan negara agrikultural, dengan

cepat berubah menjadi negara industri, sehingga bercocok tanam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhkan hidup sehari-hari.

Oleh karena itu, seperti sebagian besar orang tua yang hidup sebagai petani di wilayah itu, kakek Kim Ji-yeong juga mengirim anak-anaknya ke kota. Namun, kondisi mereka tidak memungkinkan untuk membiarkan anak-anak sebanyak itu mempelajari semua yang ingin mereka pelajari atau melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan. Biaya hidup di kota sangat besar, dan biaya pendidikan lebih besar lagi.

Ibu datang ke Seoul pada usia 15 tahun, setelah lulus SD dan setelah membantu orangtuanya dengan pekerjaan rumah tangga dan bertani. Karena kakak perempuannya yang berusia dua tahun lebih tua bekerja di pabrik tekstil di Cheonggyecheon di Seoul, ibu Kim Ji-yeong pun bekerja di pabrik yang sama dan tinggal bersama kakaknya di satu kamar sempit. Sebagian besar pegawai pabrik adalah gadis-gadis sebaya mereka. Selain usia yang sebaya, tingkat pendidikan dan latar belakang keluarga mereka juga serupa. Para pekerja wanita yang masih muda itu berpikir kehidupan sebagai pekerja memang pada dasarnya seperti itu. Mereka harus terus bekerja sementara mereka kurang tidur, kurang istirahat, dan kurang makan. Mesin pemintal mengeluarkan uap yang begitu panas sampai mereka tetap berkeringat walaupun mereka sudah menarik rok pendek mereka sampai ke paha. Banyak pekerja yang menderita penyakit paru-paru akibat debu yang beterbangan. Sebagian besar dari sedikit uang yang dihasilkan setelah bekerja sepanjang siang dan malam sampai wajah mereka pucat dan cekung akan digunakan untuk biaya pendidikan saudara lakilaki mereka. Masa itu adalah masa ketika anak laki-laki di-

anggap sebagai seseorang yang harus menjadi tulang punggung keluarga, dan anak laki-laki adalah inti dari kesuksesan dan

kebahagiaan keluarga. Anak-anak perempuan pun dengan senang hati mendukung saudara laki-laki mereka.

Paman sulung Kim Ji-yeong lulus dari universitas medis nasional dan bekerja di rumah sakit universitas itu seumur hidupnya, sementara paman keduanya sudah pensiun dari profesinya sebagai kepala polisi. Ibu bangga pada kedua kakak laki-lakinya yang pintar dan sukses, dan merasa kerja kerasnya selama ini berharga. Ia juga sering memuji-muji kedua kakaknya di pabrik, dan bagaimana setelah kedua kakaknya sukses, mereka juga membantu adik laki-laki mereka yang bungsu. Berkat mereka, si adik bungsu bisa bersekolah di universitas swasta di Seoul. Si putra sulung dipuji sebagai putra sulung yang bertanggung jawab karena berhasil memperbaiki keadaan keluarga. Saat itulah untuk pertama kalinya Ibu dan kakak perempuannya menyadari bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan di dalam keluarga mereka sendiri. Mereka berdua kemudian meneruskan pendidikan di sekolah yang berhubungan dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka bekerja di siang hari dan belajar di malam hari demi mendapatkan ijazah SMP. Ibu juga belajar untuk mengikuti ujian kualifikasi. Pada tahun adik bungsunya mendapat pekerjaan sebagai guru SMA, Ibu lulus SMA.

Ketika Kim Ji-yeong duduk di bangku SD, ibunya mem-

baca sebaris kalimat yang ditulis wali kelas Kim Ji-yeong di

"Park Jae-heon, et al., Peluang Keluarga (Penerbit: Mati Books, 2015), halaman 61. buku catatan dan mendadak berkata, “Mama juga tadinya

ingin menjadi guru.”

Kim Ji-yeong tertawa, karena baginya ibunya hanyalah seorang ibu.

“Sungguh. Ketika Ibu masih duduk di bangku SD, di antara kami lima bersaudara, Ibu yang paling pintar.”

“Kalau begitu, kenapa Ibu tidak menjadi guru?”

“Karena Ibu harus bekerja untuk menyekolahkan pamanpamanmu. Itulah yang dilakukan semua orang. Pada masa itu, para wanita hidup seperti itu.”

“Kalau begitu, Ibu bisa menjadi guru sekarang.”

“Sekarang Ibu harus mencari uang untuk menyekolahkan kalian. Itulah yang dilakukan semua orang. Pada masa sekarang, itulah yang dilakukan para ibu.”

Ibu menyesali hidupnya sekarang, hidupnya setelah menjadi seorang ibu. Seolah-olah hidupnya tertahan sebongkah batu berat. Kim Ji-yeong sedih berpikir dirinya adalah batu itu. Seolah-olah menyadari perasaan putrinya, Ibu pun mengusap-usap rambut putrinya yang acak-acakan dengan penuh

kasih sayang.

Kim Ji-yeong bersekolah di SD besar dan ia harus berjalan menyusuri jalan-jalan kecil selama dua puluh menit untuk pergi ke sekolah setiap hari. Ada 11 sampai 15 kelas di setiap jenjangnya dan setiap kelas terdiri atas sekitar 50 orang siswa. Sebelum Kim Ji-yeong mulai bersekolah di sana, kelas-kelasnya juga pernah dibagi menjadi kelas pagi dan kelas siang. Kim Ji-yeong tidak pernah masuk TK, jadi SD ini bisa dianggap sebagai kehidupan sosial pertamanya, dan ia berha-

sil mengatasinya dengan baik. Setelah Kim Ji-yeong bisa menyesuaikan diri, ibunya membiarkannya berangkat ke sekolah bersama kakak perempuan Kim Ji-yeong yang usianya dua tahun lebih tua dan yang juga bersekolah di tempat yang sama. Setiap pagi, kakaknya yang menyusun buku-buku pelajaran, buku-buku catatan, dan buku laporan Kim Ji-yeong sesuai jadwal mata pelajaran. Ia juga memasukkan empat batang pensil yang tidak terlalu tajam dan tidak terlalu trumpul ke dalam kotak pensil bergambar putri, bersama sebuah penghapus. Ketika mereka harus membeli perlengkapan sekolah, kakaknya menerima uang dari Ibu dan membeli perlengkapan sekolah di depan gedung sekolah. Kim Ji-yeong tiba di sekolah dengan selamat, tidak tersesat dan tidak salah arah. Dan selama pelajaran, ia duduk dengan tertib dan tidak buang air di celana. la mencatat semua tulisan di papan tulis, dan ia juga mendapat nilai 100 untuk ujian lisan.

Kesulitan pertama dalam kehidupan sekolah adalah “kenakalan anak laki-laki” yang sering dialami banyak anak perempuan. Hal itu bukan lelucon bagi Kim Ji-yeong. Rasanya lebih seperti gangguan daripada kenakalan biasa, dan rasanya begitu menyakitkan sampai ia menangis dan mengeluh kepada kakak dan ibunya. Namun, mereka tidak membantunya menyelesaikan masalah itu. Kakaknya hanya berkata bahwa anak laki-laki memang kekanak-kanakan dan menyuruh Kim Ji-yeong mengabaikan mereka, sementara ibunya malah memarahinya karena menangis padahal temannya hanya bermainmain dengannya.

Suatu hari, seorang anak laki-laki di kelasnya terus mengganggunya. Ketika hendak duduk atau berbaris, tasnya akan

membentur bahu Kim Ji-yeong seolah-olah hal itu tidak disengaja. Apabila berpapasan dengan Kim Ji-yeong, anak itu akan menghampirinya dan memukul lengan Kim Ji-yeong. Ia suka meminjam penghapus, pensil, dan penggaris Kim Jiyeong dan tidak mengembalikannya. Ketika diminta, ia akan melempar barang itu jauh-jauh atau menyembunyikannya di bawah bokong dan berkata bahwa ia sama sekali tidak pernah meminjamnya sejak awal. Mereka berdua pernah dihukum bersama karena membuat keributan di dalam kelas ketika Kim Ji-yeong berusaha menuntut peralatan sekolahnya dikembalikan. Ketika Kim Ji-yeong tidak mau lagi meminjamkan peralatan sekolahnya, anak itu mulai meledek pakaian Kim Ji-yeong atau ketika Kim Ji-yeong salah bicara. Ia juga menyembunyikan tas dan kantong sandal Kim Ji-yeong di tempat-tempat yang susah ditemukan.

Pada suatu hari di awal musim panas, Kim Ji-yeong melepas sandal kelasnya karena kakinya berkeringat, lalu menopangkan kaki ke penyangga kaki di bawah meja. Tiba-tiba, anak laki-laki nakal yang menjadi teman sebangkunya menendang sandal Kim Ji-yeong yang ada di bawah meja. Sandal itu meluncur lurus melewati deretan meja ke depan kelas. Semua orang meledak tertawa. Wajah guru mereka memerah dan ia menggebrak meja sambil bertanya, “Sandal siapa ini?”

Kim Ji-yeong tidak mampu membuka mulut. Ia takut. Ia ingin berkata bahwa itu memang sandalnya, tetapi ia juga ingin teman sebangkunya mengaku bahwa ia yang menendang sandal Kim Ji-yeong ke depan kelas. Namun, anak laki-laki

itu hanya menunduk. “Tidak ada yang mau menjawab? Bagaimana kalau kita

periksa sandalnya?”

Kim Ji-yeong menyiku teman sebangkunya dan berbisik, “Kau yang menendangnya.”

“Itu bukan sandalku,” balas teman sebangkunya sambil menunduk lebih rendah.

Guru mereka menggebrak meja sekali lagi. Tidak ada pilihan lain, Kim Ji-yeong pun terpaksa mengacungkan tangan. la kemudian disuruh maju ke depan dan dimarahi di depan teman-teman sekelasnya. Kim Ji-yeong disebut sebagai pembohong pengecut karena tidak langsung mengaku ketika ditanya siapa pemilik sandal itu, dan ia juga disebut sebagai pencuri karena sudah merampas waktu pelajaran teman-teman sekelasnya yang berharga. Kim Ji-yeong menangis tersedu-sedu, tidak mampu memberikan alasan atau penjelasan apa pun.

Saat itu seorang anak perempuan yang menempati meja di samping meja Kim Ji-yeong berkata dengan suara lirih, “Bukan Kim Ji-yeong yang melakukannya. Itu memang sandalnya. Tapi bukan dia yang menendang sandal itu ke depan kelas. Saya melihat semuanya.”

Guru mereka terlihat bingung dan bertanya kepada anak perempuan itu, “Apa maksudnya? Kalau begitu, siapa yang melakukannya?”

Anak perempuan itu tidak bisa menjawab karena malu dan hanya menatap tajam ke arah punggung si pelaku. Pandangan guru dan semua anak di dalam kelas pun tertuju ke arah yang sama. Saat itulah teman sebangku Kim Ji-yeong baru mengaku. Guru mereka pun kemudian memarahi anak laki-

laki itu dengan suara yang dua kali lebih keras, wajah yang dua kali lebih merah, dan waktu yang dua kali lebih panjang

daripada ketika ia mengomeli Kim Ji-yeong.

“Selama ini kau sering mengganggu Ji-yeong, bukan? Aku sudah mengawasimu selama ini. Setelah pulang ke rumah nanti, tuliskan semua yang sudah pernah kaulakukan untuk mengganggu Ji-yeong selama ini, lalu serahkan daftarnya kepadaku besok. Aku tahu semuanya, jadi jangan sampai kau melewatkan satu hal pun. Tulis di depan ibumu dan setelah selesai, minta ibumu menandatanganinya.”

Anak laki-laki itu pulang dengan lesu, berkata bahwa ia pasti akan diomeli habis-habisan oleh ibunya. Guru mereka meminta Kim Ji-yeong tetap tinggal di kelas.

Kim Ji-yeong merasa gugup, takut diomeli lagi. Namun, ternyata gurunya duduk di hadapannya dan meminta maaf. Gurunya meminta maaf karena memarahi Kim Ji-yeong sebelum memahami duduk perkara yang sebenarnya. Ia mengira si pemilik sandal bermain-main di tengah pelajaran. Lalu ia berjanji akan bersikap lebih bijak di kemudian hari. Kim Ji-yeong merasa lega dan matanya kembali berkaca-kaca. Ketika gurunya bertanya apakah ada yang ingin dikatakannya, Kim Ji-yeong berkata sambil terisak, “Tolong pindahkan dia ke bangku lain. Saya tidak mau duduk sebangku lagi dengannya.”

Gurunya menepuk-nepuk pundak Kim Ji-yeong. “Tapi, Ji-yeong, sepertinya kau tidak menyadarinya. Teman sebangkumu menyukaimu.”

Saking kagetnya, Kim Ji-yeong sampai berhenti menangis. “Dia benci padaku. Bukankah Anda tahu bagaimana dia

menggangguku selama ini?” Gurunya tersenyum. “Anak laki-laki biasanya sering meng-

ganggu anak perempuan yang mereka sukai. Jadi sebaiknya kau tidak salah paham dan meminta teman sebangku yang baru. Kuharap kalian berdua bisa bergaul dengan lebih baik mulai sekarang.”

Teman sebangkuku suka padaku? Dia menggangguku karena suka padaku? Kim Ji-yeong bingung. Ia mengingat-ingat kembali apa yang sudah terjadi selama ini, tetapi ia sama sekali tidak mengerti apa maksud gurunya. Jika kita menyukai seseorang, bukankah kita seharusnya bersikap lebih ramah dan bersahabat? Itulah yang harus kita lakukan pada teman-teman kita, keluarga kita, bahkan anjing dan kucing kita. Itulah yang diketahui Kim Ji-yeong yang saat itu berusia delapan tahun. Gara-gara gangguan dari teman sebangkunya, Kim Ji-yeong selalu merasa tersiksa di sekolah. Ia sudah cukup merasa buruk akibat gangguan yang diterimanya selama ini, tetapi sekarang ia juga dianggap sebagai anak jahat yang salah paham tentang temannya.

Kim Ji-yeong menggeleng. “Tidak mau. Saya sangat benci padanya.”

Keesokan harinya, tempat duduk semua anak diatur ulang. Kim Ji-yeong ditempatkan bersama anak laki-laki bertubuh jangkung yang selalu duduk sendirian di bagian belakang kelas. Mereka berdua tidak pernah bertengkar sama sekali.

Di kelas tiga, Kim Ji-yeong harus makan siang di sekolah dua kali seminggu, dan hal itu menyulitkan baginya karena ia makan dengan lambat. Sekolah Kim Ji-yeong adalah sekolah contoh untuk program makan siang di sekolah. Di antara sekolah-

sekolah lain di wilayah itu, sekolah Kim Ji-yeong adalah sekolah pertama yang menawarkan program makan siang. Sekolah itu juga adalah sekolah pertama yang dilengkapi dengan dapur dan ruang makan yang besar dan bersih. Pada jam makan siang, semua siswa akan berbaris sesuai nomor urut untuk mengambil makanan. Namun, karena ruang makannya tidak cukup besar untuk menampung semua siswa yang ada, maka mereka harus makan dengan cepat dan keluar untuk memberikan tempat kepada orang lain.

Sementara anak-anak lain sudah selesai makan dan sibuk berlarian di lapangan, Kim Ji-yeong masih menyendok nasi dan memasukkannya ke mulut. Terutama untuk anak-anak kelas 3, porsi makanan mereka sudah ditentukan oleh wali kelas dan mereka tidak diperbolehkan menyisakan makanan sedikit pun. Lima menit sebelum jam makan berakhir, guru akan berkeliling dan mendesak kenapa mereka belum selesai makan sambil memukul-mukulkan sendok ke nampan makanan. Nasi yang dimasukkan ke mulut pun harus dipaksa menuruni tenggorokan. Anak-anak berusaha menelan nasi dan lauk yang ada di dalam mulut dengan bantuan air, seolah-olah mereka sedang minum obat.

Kim Ji-yeong mendapat nomor 30 di antara 49 anak di kelasnya. Anak laki-laki mendapat nomor 1 sampai 27 dan anakanak perempuan mendapat nomor 28 sampai 49, diurutkan berdasarkan tanggal lahir. Kim Ji-yeong lahir di bulan April dan mendapat nomor 30, dan anak-anak perempuan lain yang lahir setelah dirinya baru bisa duduk dan makan setelah anak-anak

yang mendapat giliran lebih awal selesai makan. Karena itulah yang sering diomeli karena makan dengan lambat adalah anak-

anak perempuan.

Suatu hari suasana hari guru mereka sedang jelek. Karena papan tulis tidak dibersihkan dengan benar, anak-anak sekelas pun mendapat hukuman. Lalu mendadak guru mereka ingin melakukan pemeriksaan kuku. Alhasil, Kim Ji-yeong pun sibuk menggunting kuku tangannya dengan gunting di dalam laci. Pada hari itu, beberapa anak yang selalu belum menghabiskan makanan setelah jam makan berakhir pun kena getahnya. Mereka masih sibuk mengunyah ketika guru memukul-mukul nampan sampai nasi dan potongan ikan beterbangan ke wajah mereka. Beberapa di antara mereka meledak menangis dengan mulut yang masih penuh makanan. Pada jam bersih-bersih, mereka yang menangis saat makan berkumpul di bagian belakang kelas. Setelah bertukar pandang, gerakan tangan, kata-kata singkat, keputusan pun diambil. Sepulang sekolah, pasar Yeongjin, restoran tteokbokki si Nenek.

Setelah berkumpul di sana, anak-anak itu pun mulai mencurahkan isi hati.

“Dia hanya ingin melampiaskan amarahnya pada kita. Dia sudah marah-marah pada kita sejak pagi.”

“Benar.”

“Dia berdiri di sampingku dan terus memaksaku makan. Aku malah jadi tidak bisa menelan.”

“Aku bukannya tidak mau makan dan aku juga tidak sedang bermain-main. Pada dasarnya makanku memang lambat. Lalu aku harus bagaimana?”

Kim Ji-yeong pun pernah berpikir seperti itu. Tindakan

guru mereka tidak benar. Ja tidak bisa menjelaskan apa yang salah, tetapi ia merasa kesal dan tidak diperlakukan secara

adil. Namun, mungkin karena ia tidak terbiasa menyuarakan pikirannya, Kim Ji-yeong pun tidak mengeluh. Karena itu, ia hanya mendengarkan teman-temannya sambil menganggukangguk.

Lalu Yu-na, yang sejak tadi diam saja seperti Kim Ji-ycong, berkata, “Tidak adil.” Suaranya terdengar tenang ketika ia melanjutkan, “Rasanya tidak adil apabila kita harus makan sesuai nomor yang sama setiap kalinya. Aku akan meminta nomor-nomornya disusun ulang.”

Apakah ia benar-benar akan berbicara kepada guru mereka? Apakah ia berani mengatakannya? pikir Kim Ji-yeong. Namun, Yu-na mungkin akan berani melakukannya. Yu-na anak yang pintar dan ibunya seorang direktur perusahaan.

Pada hari Jumat, di tengah rapat kelas, Yu-na benar-benar mengacungkan tangan dan menyampaikan usulnya. “Menurut saya, kita harus mengubah nomor urut untuk makan siang. Karena kami harus makan sesuai nomor urut, anak-anak yang mendapat nomor urut akhir terpaksa harus makan terlambat. Rasanya tidak adil apabila yang selalu mendapat giliran makan lebih dulu adalah anak-anak yang mendapat nomor urut awal. Giliran makan harus diubah secara berkala.” Yu-na menatap wali kelas mereka lurus-lurus dan berbicara dengan suara tenang.

Wali kelas mereka tersenyum, tetapi sudut-sudut bibirnya terlihat pahit. Suasana di dalam ruang kelas itu sangat tegang. Yang berbicara adalah Yu-na, tetapi justru Kim Ji-yeong yang merasa gugup.

Wali kelas mereka menatap Yu-na selama beberapa saat,

yu? lalu ia tersenyum lebar, tertawa, dan berkata, “Mulai minggu

depan, yang mendapat giliran pertama adalah nomor 49. Kita akan mengubah giliran makannya sebulan sekali.”

Anak-anak perempuan yang mendapat nomor urut belakang pun bersorak. Giliran makan memang sudah berubah, tetapi suasana di dalam ruang makan masih tetap sama. Wali kelas mereka masih tetap tidak senang jika ada anak yang makan dengan lambat, makanan masih tetap dijejalkan ke dalam mulut sampai anak-anak mungkin akan mengalami masalah pencernaan, dan dua di antara enam orang anggora tetap di restoran tteokbokki si Nenek masih tetap berada di kelompok bawah. Kim Ji-yeong tidak merasakan perubahan besar karena nomor yang didapatkannya adalah nomor tengah, tetapi ia merasa kalah apabila ia tetap makan dengan lambat, jadi ia pun makan secepat mungkin dan akhirnya berhasil keluar dari kelompok bawah.

Mereka merasakan kemenangan kecil. Mereka berhasil mengubah hal-hal yang mereka anggap tidak adil dengan cara melayangkan protes kepada pihak berwenang. Ini adalah pengalaman yang berharga bagi anak-anak perempuan yang mendapat nomor urut akhir, termasuk Yu-na dan Kim Jiyeong. Kesadaran dan kepercayaan diri pun mulai terbit, tetapi saat itu Kim Ji-yeong masih belum menyadarinya. Kenapa anak laki-laki mendapat nomor urut awal? Rasanya wajar apabila laki-laki mendapat nomor satu, apabila laki-laki yang mendapat nomor urut awal, dan apabila laki-laki selalu didahulukan. Anak laki-laki selalu menempati barisan depan, selalu bergerak lebih dulu, selalu dipanggil lebih dulu, dan PR mereka selalu diperiksa lebih dulu. Sementara itu para anak perempuan menunggu giliran tanpa suara, kadang-kadang

merasa bosan, kadang-kadang merasa beruntung, dan sama sekali tidak merasa aneh. Seolah-olah nomor Jaminan Sosial untuk pria adalah 1 dan nomor untuk wanita adalah 2.

Sejak kelas empat, anak-anak mulai melakukan pemungutan suara untuk memilih ketua kelas. Setahun dua kali, untuk semester pertama dan semester kedua. Selama tiga tahun mereka sudah melakukan pemungutan suara sebanyak enam kali, dan ketua kelas yang terpilih untuk kelas Kim Ji-yeong selalu anak laki-laki. Banyak guru yang memilih lima atau enam orang anak perempuan yang pintar untuk melakukan tugas-tugas tertentu, menilai, atau memeriksa PR semua orang. Mereka sering berkata bahwa anak perempuan lebih pintar. Anak-anak juga merasa murid perempuan lebih tekun, tenang, dan teliti, tetapi ketika mereka memilih ketua kelas, mereka selalu memilih anak laki-laki. Ini bukan pengalaman Kim Ji-yeong sendiri. Pada masa itu, sebagian besar ketua kelas memang anak laki-laki.

Ketika Kim Ji-yeong duduk di bangku SMP, ibunya yang sedang membaca koran mendadak berkata, “Sekarang ini banyak sekali anak perempuan yang menjadi ketua kelas di Sekolah Dasar. Jumlahnya lebih dari 40 persen'. Nanti setelah Eun-yeong dan Ji-yeong dewasa, kita mungkin akan punya presiden wanita.”

Jumlah ketua kelas perempuan memang belum mencapai separuh, tetapi setidaknya itu peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan masa SD Kim Ji-yeong dulu. Ketua

"Tidak Bisakah Wanita Menjadi Kepata Sekolah?, Hankyoreh, 1995. 5. 4. bagian kesenian adalah anak perempuan, sementara ketua

bagian olahraga adalah laki-laki. Itulah kenyataannya, entah

itu atas usul guru atau keinginan para siswa itu sendiri.

Pada saat Kim Ji-yeong duduk di kelas lima, keluarganya pindah ke apartemen di lantai tiga gedung pemukiman yang baru dibangun di tepi jalan utama. Apartemen itu memiliki tiga kamar tidur, satu ruang duduk, satu dapur, dan satu kamar mandi. Ukurannya dua kali lebih luas daripada rumah mereka yang dulu, dan sepuluh kali lebih nyaman. Semua ini berkat gaji Ayah dan penghasilan Ibu. Ibu mempelajari bunga dan keuntungan yang ditawarkan berbagai bank dengan teliti, kemudian berinvestasi dalam berbagai macam bentuk tabungan dan deposito. Ia juga mengadakan arisan dengan sekelompok tetangga yang bisa dipercaya, yang ternyata menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Padahal ketika Bibi atau kerabat dari pihak Ibu dulu mengajaknya arisan, Ibu menolak mentah-mentah.

“Orang-orang yang paling tidak bisa dipercaya adalah kerabat sedarah yang tinggal di tempat yang jauh. Aku tidak mau sampai uangku hilang begitu saja.”

Rumah mereka yang dulu memiliki perpaduan aneh antara gaya tradisional dan modern karena rumah itu sudah tua dan pernah direnovasi sebagian. Ruang duduk dan dapur, yang dibangun di pekarangan, tidak memiliki pemanas. Kamar mandinya yang berlapis ubin tidak memiliki wastafel dan bak mandi, jadi air ditampung di ember dan mereka harus man-

di dan keramas menggunakan gayung. WC terletak di bilik sempit di samping pagar depan, terpisah dari kamar mandi.

Rumah baru mereka memiliki pemanas di setiap ruangan, mulai dari kamar tidur, ruang duduk, sampai dapur. Kamar mandi dan WC ada di dalam apartemen, di dekat pintu masuk, sehingga mereka tidak perlu lagi mengenakan sepatu apabila ingin pergi ke WC.

Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya akhirnya memiliki kamar mereka sendiri. Kamar utama yang paling besar ditempati oleh orangtua dan adik laki-laki mereka, kamar tidur kedua terbesar ditempati oleh Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya, dan kamar tidur paling kecil ditempati oleh nenek mereka. Ayah dan Nenek pernah berkata bahwa anakanak perempuan seharusnya sekamar dengan Nenek dan anak laki-laki seharusnya memiliki kamar sendiri. Namun, keputusan Ibu tak tergoyahkan. Ibu berkata, "Memangnya sampai kapan Nenek yang sudah lanjut usia harus berbagi kamar dengan cucu-cucunya? Bukankah sebaiknya kita memberinya kamar sendiri sehingga dia bisa tidur siang sambil mendengarkan radio atau mendengarkan doa-doa? Untuk apa membiarkan anak yang bahkan belum bersekolah menempati kamar sendiri? Aku yakin dia akan menyelinap masuk ke kamar kita di tengah malam sambil memeluk bantal dan menangis. Kau ingin tidur sendiri atau tidur bersama Ibu?”

Anak bungsu berumur tujuh tahun itu bersumpah bahwa ia ingin tidur bersama ibunya dan tidak membutuhkan kamar sendiri. Jadi Ibu akhirnya berhasil mendapatkan keinginannya, membiarkan kedua anak perempuannya memiliki kamar sendiri. Ibu juga berkata bahwa selama ini ia menyisihkan sedi-

kit uang tanpa sepengetahuan Ayah karena ia ingin mende-

u6 korasi kamar tidur anak-anak perempuannya. Ia membeli dua

meja belajar dan menempatkannya berdampingan di dekat jendela sehingga mendapatkan sinar matahari. Lemari pakaian dan rak buku baru ditempatkan di salah satu dinding. Ia juga membeli matras, selimut, dan bantal baru untuk kedua anak perempuannya. Lalu ada sebuah peta dunia berukuran besar tergantung di dinding lain.

“Lihar, Seoul ada di sini. Bentuknya hanya satu titik. Saat ini, kita hidup di dalam titik ini. Walaupun kalian mungkin tidak akan mengunjungi semua tempat yang ada, aku ingin kalian tahu bahwa dunia ini sangat luas.”

Setahun kemudian, Nenek meninggal dunia. Kamar yang dulu ditempati Nenek pun kini ditempati oleh adik laki-laki Kim Ji-yeong. Namun, untuk waktu yang lama adiknya tetap menyelinap ke kamar tidur Ibu pada tengah malam sambil

memeluk bantal “
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar