Iblis dan Bidadari (Hwee Thian Mo Li) Jilid 1

Jilid 1

01. Gadis Penari M isterius

SIAPAKAH orangnya yang tidak mengenal nama Liok Kong, hartawan besar di kota Kan-cou di propinsi Kiangsi? Seluruh penduduk kota Kan-cou tentu telah mengenal hartawan yang kaya raya, pemilik dari berbagai toko dan rumah gadai yang kenamaan ini. Sesungguhnya bukan karena kekayaannya maka ia amat dikenal, karena di kota Kan-cou memang banyak sekali terdapat orang-orang hartawan. Liok Kong dikenal banyak orang bukan hanya sebagai seorang hartawan, akan tetapi lebih lagi sebagai seorang jago tua yang mempunyai julukan Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa).

Toat-beng Sin-to Liok Kong adalah seorang yang telah banyak merantau dan diwaktu mudanya, ia malang melintang di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli golok yang jarang menemukan tandingannya. Setelah usianya menjadi tua, ia pindah ke dalam kota Kan-cou dalam keadaan sudah kaya raya. Sungguh amat mengherankan orang betapa cepatnya ia mendirikan rumah-rumah gedung, membuka toko-toko dan membeli rumah-rumah gadai yang terbesar. Bahkan dalam usia lima puluh tahun, ia lalu mengawini seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun, hidup mewah, memelihara banyak pelayan dan penjaga-penjaga yang banyak jumlahnya dan memiliki kepandaian silat t inggi.

Agaknya para penjaga atau lebih tepat disebut “tukang pukul” ini amat mengandalkan pengaruh kekayaan dan nama besar Toat-beng Sin-to Liok Kong, karena kadangkala mereka melakukan hal-hal yang menunjukkan kesombongan mereka. Tangan mereka amat ringan menjatuhkan pukulan kepada siapa saja yang tidak mau tunduk, dan bahkan di antara mereka tidak segan-segan untuk mengganggu si lemah.

Akan tetapi, siapakah orangnya yang berani menentang mereka? Tidak saja mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi orang-orang merasa segan terhadap Liok Kong yang kaya raya, terutama sekali karena Liok Kong telah mengadakan hubungan amat baiknya dengan para pembesar setempat.

Pada hari itu keadaan kota Kan-cou berbeda dari biasanya, lebih ramai dan yang amat menarik hati penduduk adalah banyaknya orang-orang asing, pendatang-pendatang dari tempat-tempat jauh. Para penduduk maklum bahwa orang- orang ini adalah para tamu yang hendak mengunjungi pesta yang diadakan oleh Liok-wangwe (hartawan Liok), yakni sebutan baru bagi Toat-beng Sin-to Liok Kong sete lah ia menjadi hartawan.

Hotel-hotel di kota itu penuh dengan para tamu ini, dan keadaan mereka memang amat menarik hati. Ada orang yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat, sebagai piauwsu (pengawal kiriman barang berharga), ada pula wanita-wanita yang membawa pedang, banyak pula yang berpakaian sebagai hwes io (pendeta Buddah) dan tosu (pendeta agama To). Hal ini sesungguhnya tak perlu diherankan, oleh karena di masa mudanya, Liok Kong telah merantau di seluruh propinsi. Biarpun propinsi K iangsi berada di selatan, namun pendatang- pendatang itu datang dari propinsi amat jauh di utara, seperti propinsi-propinsi Santung, Honan, Ho-pak, Sansi, dan lain-lain.

Rumah gedung Liok-wangwe sendiri menjadi pusat keramaian dan kemewahan. Gedung yang besar dan tinggi bertingkat dua itu dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari, para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang jumlahnya.

Sebagaimana biasanya dalam setiap pesta yang diadakan orang di masa itu, ruang bagi tamu terbagi dalam beberapa bagian. Ada tempat atau ruang bagi tamu-tamu “biasa”, yakni penduduk kota Kan-cou yang dianggap tak berapa penting. Mereka ini dipersilakan menduduki ruang di sebelah kiri dan hanya   dilayani   oleh    pelayan-pelayan    hartawan    itu. Para pembesar tinggi mendapat tempat yang lebih mewah, bersama dengan para hartawan, yakni di ruang sebelah kanan. Yang paling istimewa adalah tamu-tamu yang terkenal sebagai tokoh-tokoh persilatan tinggi dan pembesar-pembesar yang berpengaruh, karena mereka ini diistimewakan dan mendapat ruangan yang amat luas yakni di sebelah dalam. Mereka ini disambut sendiri oleh Liok-wangwe.

Bertumpuk-tumpuk barang antaran atau sumbangan memenuhi belasan meja yang dipasang berderet di ruang tengah, di jaga oleh belasan orang penjaga yang memegang golok, nampaknya gagah dan keren sekali. Hampir semua tamu tidak lupa untuk membawa sumbangan sebagai pernyataan selamat atas perayaan ulang tahun atau hari lahir yang ke lima puluh lima dari Toat-beng Sin-to Liok Kong.

Hartawan she Liok ini merasa gembira sekali melihat banyaknya tamu yang datang memberi selamat kepadanya, terutama sekali karena ia melihat kawan-kawan lama dari dunia kang-ouw yang memerlukan datang. Hampir setiap cabang persilatan mengirim wakil-wakilnya sehingga di situ terdapat wakil-wakil dari cabang persilatan Siauw-lim, Go-bi- pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.

Akan tetapi yang amat menggembirakan hatinya adalah hadirnya lima orang gagah yang amat terkenal yakni yang disebut Ngo-lian Hengte (Kakak Beradik Lima Teratai). Ngo- lian Heng-te ini terdiri dari lima orang laiki-laki yang usianya telah empat puluh tahun lebih. Yang tertua bernama Kui Jin, kedua Kui Gi, ketiga Kui Le, keempat Kui Ti. Dan kelima Kui Sin. Ke lima kakak beradik ini juga disebut Ngo ciangbun (Lima Ketua) dari perkumpulan Agama Ngo-lian-kauw (Agama Lima Teratai) yang berkedudukan di kota Po-teng di propinsi Hopak.

Pesta berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan-hidangan mahal dan lezat dikeluarkan. Arak yang wangi dituang berkali-kali sehingga makin lama makin riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai terpengaruh oleh arak wangi. Makin banyak arak keras ini memasuki perut, makin terlepaslah lidah makin bebaslah pikiran, lenyap segala keraguan dan kesusahan, yang terasa hanyalah kegembiraan hidup.

Berulang-ulang para tamu mengangkat cawan arak untuk keselamatan tuan rumah sehingga muka Liok Kong telah menjadi merah seperti udang direbus. Toat-beng Sin-to ini telah berusia lima puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan dan sehat. Rambutnya masih hitam dan pakaiannya yang mewah dan indah membuat ia nampak masih muda. Pada pinggang kirinya tergantung gagang goloknya yang terbuat dari pada emas terhias mutiara, dan sarung goloknya juga terukir indah sekali.

Pada saat pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba seorang penjaga dengan sikap hormat menghadap Liok Kong dan melaporkan,

“Lo-ya (tuan besar), di luar terdapat serombongan penari yang datang untuk menghibur lo-ya.”

Liok Kong menjadi heran akan tetapi juga gembira.

“Penari? Dari manakah dan siapa yang menyuruh dia datang?”

“Maaf, lo-ya. Hamba juga tidak berani langsung memberi perkenan masuk karena hamba juga merasa heran. Akan tetapi menurut penarinya, ia diperintah oleh seorang piauwsu di kota Buncu di Propinsi Cekiang sebagai sumbangan, karena piauwsu itu tidak dapat datang sendiri.”

Liok Kong mengingat-ingat dan tidak merasa mempunyai seorang kenalan piauwsu di Cekiang, akan tetapi karena ia ingin sekali melihat penari itu, ia lalu memberi perintah,

“Suruh dia masuk, biar aku sendiri yang bertanya kepadanya.” Penjaga itu tersenyum penuh arti. “Lo-ya takkan kecewa.

Penarinya benar-benar cantik seperti bidadari!”

Biarpun hatinya merasa amat girang mendengar kata-kata ini, akan tetapi dihadapan sekian banyaknya tamu-tamu orang kang-ouw yang memandang sambil tertawa-tawa, ia pura- pura marah,

“Jangan banyak cakap! Lekas suruh dia masuk!”

Penjaga itu memberi hormat lalu keluar lagi dan tak lama kemudian ia datang mengiringkan serombongan orang terdiri dari seorang penari wanita dan tiga orang laki-laki tua yang memegang alat musik. Melihat penari itu, seketika itu juga lenyaplah niat Liok Kong untuk mencari keterangan tentang piauwsu itu.

Ia hanya berdiri bengong dengan mata terbelalak dan ternyata bukan hanya dia seorang yang memandang dengan kagum sekali. Bahkan hampir semua mata para tamu laki-laki memandang dengan kagum dan terdengar pujian-pujian di sana-sini dari mulut tamu-tamu muda.

Penari itu adalah seorang dara berusia paling banyak delapan belas tahun dan cantik jelita bagaikan bidadari, tepat seperti yang dikatakan oleh penjaga tadi. Wajahnya yang berkulit kuning putih bersih bagaikan susu, membayangkan kemerahan pada sepasang pipinya, bagaikan bunga botan sedang mekar. Sepasang matanya jeli dan indah sekali, bersinar halus dan sayu akan tetapi amat tajam dan bening seperti mata burung Hong.

Entah mana yang lebih indah, sepasang matanya atau sepasang bibirnya. Bibir ini berbentuk indah, kecil penuh berkulit halus tipis, berwarna segar kemerahan bagaikan buah yang sudah masak. Hidungnya yang kecil mancung dan sepasang lesung pipit di kanan-kiri pipinya menyempurnakan kecantikannya. Rambutnya agak awut-awutan kurang teratur rapi, akan tetapi hal ini, sekali-kali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan mendatangkan kewajaran kepada wajahnya, menambah kemanisan yang benar-benar menggairahkan kalbu tiap laki-laki.

Bentuk tubuhnya menggiurkan, ramping dan penuh, terbungkus oleh pakaian dari sutera indah dan ringkas potongannya. Bajunya berwarna merah muda dan baju yang terbuat dari pada sutera di waktu tertiup angin mencetak tubuhnya dan mendatangkan pemandangan yang benar-benar luar biasa. Celananya ringkas, dari sutera biru dan pakaian ini masih tertutup oleh sehelai mantel kuning yang lebar. Sepatunya hitam dan penuh debu, tanda bahwa gadis cantik ini telah datang dari tempat jauh.

Tiga orang laki-laki tua yang mengikutinya dan membawa alat musik nampak seperti penabuh musik biasa saja, dan mereka nampak agak takut-takut memasuki ruangan gedung yang indah mewah dan penuh dengan tamu-tamu yang berwajah menyeramkan itu. Akan tetapi, gadis penari itu cepat maju dan berlutut di depan Liok Kong setelah penjaga memberitahukannya bahwa orang tua berbaju mewah itulah adanya Liok-wangwe.

“Hamba datang membawa pesan dari Tan-piauwsu di Buncu untuk menyampaikan ucapan se lamat panjang umur dan hormat yang setinggi-tingginya kepada Liok-loya.” Suara yang keluar dari bibir indah ini amat merdu bagaikan nyanyian burung.

Liok Kong masih berdiri terpaku di atas lantai, tak dapat bergerak dan agaknya hanya jantungnya saja yang bergerak lebih cepat dari pada biasanya. Ia tidak perdulikan lagi siapa adanya Tan-piauwsu itu, akan tetapi ia cepat membungkuk dan memegang kedua pundak penari itu, mengangkatnya bangun dan berkata,

“Nona yang baik, sungguh merupakan kehormatan besar sekali mendapat sumbangan sedemikian hebatnya dari Tan- piauwsu. Kebetulan sekali kau datang hendak menghibur para tamu, maka cepatlah kau perlihatkan kepandaianmu menari!”

Orang tua mata keranjang ini merasa betapa pundak penari itu biarpun tertutup pakaian, namun terasa halus, lunak, dan hangat. Juga dari rambut penari itu tercium olehnya keharuman yang membuat semangatnya melayang jauh ke sorga ketujuh. Cepat ia lalu memberi perintah kepada para pelayannya untuk mempersiapkan tempat kosong di tengah ruangan itu untuk penari ini agar pertunjukkannya dapat dinikmati oleh semua pengunjung.

“Maaf, lo-ya,” kata pula penari itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan lirikan matanya yang tajam mengiris jantung. “Ketiga lopek (paman tua) ini adalah penabuh- penabuh musik biasa saja yang hamba sewa, karena dari Buncu, hamba tidak membawa tukang penabuh musik sendiri.”

“Tidak apa, tidak apa!” jawab tuan rumah yang kaya raya itu gembira. “Yang penting bukan gamelannya, melainkan tarianmu. Eh, siapakah namamu, nona?”

“Apakah artinya nama seorang penari seperti hamba, lo- ya?”

Liok Kong tersenyum dan berusaha membuat bibirnya yang tebal itu tersenyum manis, tidak merasa bahwa usahanya ini gagal sama sekali dan senyumnya membuat wajahnya nampak menyeringai tidak menarik.

“Seorang nona yang demikian cantiknya tentu mempunyai nama yang indah pula!” kata seorang tamu muda yang bermata liar. Melihat betapa seorang yang masih muda dapat menduduki ruangan ini, dapat diduga bahwa ia adalah orang yang cukup penting. Memang demikian adanya.

Pemuda ini adalah seorang yang telah menjunjung tinggi nama sendiri karena kepandaian silatnya dan ia adalah seorang perampok tunggal yang telah terkenal sekali di daerah barat, yakni di Propinsi Kansu. Namanya Thio Kun, akan tetapi di daerah barat, ia terkenal sebagai si Pedang Maut.

Mendengar ucapan Thio Kun ini, para tamu yang duduk terdekat di tempat itu tertawa dan semua bibir tersenyum dengan mata mengerling penuh arti ke arah penari itu.

“Ha, ha, ha! Ucapan Thio taihiap tepat sekali!” kata Liok Kong lalu berkata pada penari itu. “Nona manis, sebelum kau mempertunjukkan tarianmu yang indah, lebih dulu beritahukanlah namamu.”

Dengan gaya yang amat menarik hati sambil menundukkan muka kemalu-maluan, nona penari yang cantik sekali itu lalu memperdengarkan suaranya yang merdu. Melihat keadaan yang sunyi senyap padahal ruangan itu penuh dengan para tamu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang memperhatikan jawaban ini dan semua orang ingin mendengar siapakah nama penari yang luar biasa ini.

“Lo-ya, hamba she Ong bernama Lian Hong, seorang gadis yatim piatu m iskin yang mengandalkan hidup dari sedikit kepandaian menari.”

“Bagus, bagus! Benar-benar indah sekali namanya!” Thio Kun berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. “Lian Hong .... sungguh nama yang merdu terdengar. Liok lo- enghiong, suruhlah nona Lian Hong lekas menari. Aku tak sabar lagi untuk segera menikmati tariannya yang indah!”

Ucapan ini mendapat sambutan sebagai pernyataan setuju dari sebagian besar para tamu yang hadir di situ. Tiba-tiba orang tua penabuh gamelan segera memulai memperdengarkan lagu yang merdu. Mereka bertiga mainkan tiga macam alat musik, sebuah suling, sebuah pipa (seperti gitar), dan yang seorang lagi memegang tambur kecil untuk mengatur irama. Merndengar bunyi-bunyian ini, semua orang menjadi kecewa karena ternyata bahwa musik terdiri dari tiga orang ini tidak merupakan sesuatu keistimewaan. Banyak rombongan musik yang dapat main jauh lebih bagus dari pada yang tiga orang ini.

Akan tetapi, setelah nona Ong Lian Hong menjura keempat penjuru dan mulai berdiri tegak, lalu mendengarkan irama musik, kemudian mulailah dengan tariannya, buyarlah semua kekecewaan para pendengar tadi. Bukan main indahnya tarian nona ini, atau mungkin juga bukan tariannya yang indah, melainkan gerakan tubuhnya yang menggiurkan itu.

Tubuhnya bergerak dengan lemah gemulai bagaikan sebatang pohon yang-liu tertiup angin lalu. Sepuluh jari tangannya yang kecil dan halus itu seakan-akan sepuluh ekor ular yang hidup dan bergerak amat indahnya. Pinggang yang sudah amat ramping itu bagaikan makin mengecil lagi tatkala tubuhnya bergerak melenggang-lenggok. Kerling matanya mengalahkan sambaran halilintar, senyumnya menyaingi bulan purnama.

Ternganga semua tamu, termasuk tuan rumah. Selama hidup mereka belum pernah menyaksikan tarian yang indah seperti ini, atau lebih tepat, seorang penari muda secantik dan sebagus bentuk tubuhnya.

Setelah menari beberapa lama, Ong Lian Hong lalu mengeluarkan sehelai selendang merah yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya dan kini ia menari dengan selendang itu. Makin terpesonalah semua tamu menyaksikan tari selendang ini, karena benar-benar amat indahnya.

Dengan cekatan sekali sepuluh jari tangan itu menggerakkan selendang sehingga selendang itu menari-nari di udara bagaikan seekor ular naga. Akan tetapi ketika ia merobah gerakan tangannya, selendang itu menjadi seperti bunga mawar merah yang tercipta di udara dan sebentar kemudian melambai lagi lalu terlepas pula, merupakan selendang sutera yang halus membelai kepala, leher, dan pinggang penari itu.

Ketika nona penari itu menghentikan tariannya, barulah terdengar suara pujian yang seakan-akan menumbangkan tiang-tiang rumah gedung itu dan menggetarkan genteng- genteng. Sorak sorai menggegap gempita, diselingi teriakan- teriakan kagum.

Suara pujian ini demikian kerasnya sehingga para penduduk yang tadinya tinggal di rumah menjadi tertarik dan berbondong-bondonglah mereka datang mengunjungi gedung yang sedang dipergunakan untuk tempat pesta itu. Di pekarangan depan berjejal-jejal penduduk yang ingin menjenguk ke dalam. Para tamu yang tadinya berada di ruang kanan dan kiri tanpa dapat dicegah lagi telah masuk ke ruang dalam. Hal ini dapat terjadi karena di situ tidak terdapat penjaga lagi, karena semua penjaga juga telah masuk ke dalam dan menonton.

“Bagus, bagus! Bukan main, Ong-siocia (nona Ong)!” Liok Kong memuji sambil menghampiri gadis penari itu. “Berikanlah selendangmu itu kepadaku, biarlah kutukar dengan ini!” Ia meloloskan sebuah hiasan topi terbuat dari pada emas ditabur batu permata.

“Nanti dulu, Liok lo-enghiong!” Thio Kun me lompat dan mengulurkan tangan. “Berikanlah se lendang itu kepadaku saja, nona! Akan kutukar dengan benda yang jauh lebih berharga lagi. Lihatlah ini!”

Ia mengeluarkan sebuah benda dari saku dalamnya dan semua orang memandang kagum. Di tangan Thio Kun terlihat sebuah patung terbuat dari batu pualam yang merupakan seekor kilin (binatang keramat seperti singa). Benda ini amat indah, sepasang matanya terbuat dari pada permata merah yang mengeluarkan cahaya gemilang. Tak dapat ditaksir berapa besarnya harga benda serupa ini. Sepasang mata penari itu seakan-akan mengeluarkan sinar kilat ketika ia melihat benda ini, akan tetapi sambil tersenyum ia lalu berkata,

“Terima kasih banyak, siauw-ya (tuan muda), akan tetapi hamba hanyalah seorang utusan yang harus menghormat kepada tuan rumah. Oleh karena itu, selendang ini terpaksa hamba serahkan kepada Liok-loya!” Sambil berkata demikian, dengan gaya manis dan dengan kedua tangannya ia memberikan selendang merah itu kepada Liok Kong yang menerima sambil tertawa besar.

Kakek mata keranjang ini ketika menerima selendang sengaja hendak memegang lengan yang halus itu, akan tetapi ia merasa heran sekali ternyata ia menangkap angin. Entah bagaimana, yang tertangkap olehnya hanya selendang merah itu saja. Liok Kong menganggap hal ini hanya kebetulan saja dan tertawalah ia bergelak sambil berkata kepada Thio Kun yang menyimpan kembali patungnya.

“Kau mendengar sendiri kata-katanya, Thio-taihiap, maka kau harus mengalah kepadaku!”

Thio Kun tersenyum masam dan berkata sambil menghela napas.

“Kau yang beruntung, lo-enghiong. Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau lain kali aku akan dapat kesempatan menarik tangan nona ini menjadi kawan se lama hidupku!”

Semua tamu yang sudah terpengaruh arak keras, tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Beberapa orang tamu yang sopan, seperti para hwes io dan tosu, hanya menggeleng kepala saja, namun mereka sudah maklum akan adat orang kang-ouw yang aneh dan kadang-kadang kasar, maka mereka juga mendiamkan saja.

“Mari ... marilah nona, kau mendapat kehormatan untuk duduk menemani kami dimeja besar. Untuk tarian sehebat itu kau harus diberi penghormatan dengan tiga cawan arak wangi!” kata Liok Kong.

Nona penari itu tidak menolak, lalu duduk dengan sikapnya yang sopan santun dan halus, sedikitpun tidak nampak kikuk atau canggung, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan sikap kegenit-genitan seperti sebagian besar para penari bayaran. Justru sikap yang sewajarnya, dandanan yang sederhana, bedaknya yang tipis itulah yang membuat hati para lelaki di s itu tergila-gila.

Pada saat semua orang bergembira karena melihat betapa nona Ong Lian Hong menenggak tiga cawan arak tanpa berkedip mata, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri seorang gadis dengan sikap gagah sekali.

“Manusia she Liok, bersiaplah untuk menghadapi kematianmu!” demikian gadis ini membentak.

Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar bentakan ini dan semua mata memandang ke arah gadis yang baru datang ini. Dia adalah seorang gadis yang berusia kurang lebih dua puluh tahun, cantik jelita dan luar biasa sekali. Pakaiannya sederhana berwarna biru se luruhnya, rambutnya diikat dengan saputangan merah dan di pinggangnya tergantung sarung pedang yang buruk dan sudah luntur catnya.

Memang aneh melihat gadis ini, karena sesungguhnya kalau dipandang dengan teliti, kecantikannya sempurna sekali. Dari rambutnya yang hitam mengkilap dan panjang, sampai kepada wajahnya yang bentuknya indah dan sempurna sehingga turun kepada tubuhnya yang padat dan ramping, sukarlah untuk mencari cacat celanya. Akan tetapi, begitu berhadapan dengan dia, orang mau tak mau harus merasa keder dan jerih, karena di balik kecantikan ini tersembunyi tenaga dan keganasan yang menakutkan. Mungkin sinar matanya yang bagaikan sepasang mata harimau marah itulah, atau tekukan bibirnya yang manis, entahlah. Pendeknya, melihat ia berdiri dengan tubuh tegak dan dadanya membusung ke depan seperti orang yang menantang, kedua kakinya dipentang sedikit ke kanan kiri, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri meraba gagang pedang, orang yang kurang tabah hatinya merasa bulu tengkuknya berdiri.

Liok Kong cepat menengok dan terheranlah ia karena selama hidupnya ia merasa belum pernah bertemu dengan nona cantik ini. Sambil memutar tubuh di atas tempat duduknya, ia menghadapi gadis itu dan membentak garang,

“Siapakah kau dan mengapa datang-datang berkata kasar?

Apakah kau seorang gila?”

Mulut gadis itu tersenyum, akan tetapi alangkah jauh bedanya dengan senyuman gadis penari tadi. Senyuman gadis ini biarpun amat manis akan tetapi merupakan penghinaan bagi orang dihadapannya.

“Liok Kong, manusia rendah! Aku tidak mau berbuat seperti orang lain, merendahkan diri memperkenalkan nama kepada binatang macam kau. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Hwe-thian Mo-li (Iblis Wanita Terbang)!”

Tidak hanya Liok Kong yang terkejut dan pucat mendengar nama ini, bahkan semua tokoh kang-ouw yang berada di situ menjadi tercengang. Nama Hwe-thian Mo-li ini di dalam dua tahun akhir-akhir ini telah terkenal sekali, terutama di kalangan hek-to (jalan hitam), yakni kalangan penjahat.

Jarang ada orang dapat melihat Hwe-thian Mo-li, karena iblis wanita itu bekerja dengan cepat, ganas, dan tidak pernah memperlihatkan diri. O leh karena ini, jarang ada orang kang- ouw yang pernah melihat wajahnya, sungguhpun namanya telah didengar oleh semua orang. Kini mendengar nama ini disebut, semua orang menjadi bengong dan terheran-heran. Memang pernah mereka dengar dari orang-orang yang telah bertemu muka dengan iblis wanita itu, bahwa Hwe-thian Mo-li adalah seorang dara yang cantik sekali, akan tetapi tidak pernah mereka sangka bahwa iblis wanita itu semuda dan secantik ini. Bagaimanakah seorang dara yang usianya kurang dua puluh tahun, yang demikian cantik jelita, disebut seorang iblis?

Adapun Toat-beng Sin-to Liok Kong, ketika mendengar nama ini, berdebarlah hatinya. Ia pernah mendengar bahwa iblis wanita ini memang berusaha mencarinya, dan bahkan seorang kawan baiknya telah tewas pula di dalam tangan Hwe-thian Mo-li. Ia masih belum mengerti mengapa wanita muda ini mencarinya dan hendak membunuhnya, dan mengapa pula iblis wanita ini telah membunuh kawan baiknya di Santung itu.

Dengan mengangkat dada, Liok Kong lalu turun dari tempat duduknya, berdiri dihadapan Hwe-thian Mo-li dan berkata,

“Hwe-thian Mo-li! Kau adalah seorang kang-ouw yang baru saja muncul dan boleh dibilang masih seorang kanak-kanak. Akan tetapi ternyata mulutmu besar sekali. Kau berani menghina Toat-beng Sin-to Liok Kong, apakah kau telah bosan hidup? Sayang kemudaan dan kecantikanmu! Dan sebagai seorang kang-ouw, kaupun telah bertindak secara serampangan dan membabi buta. Kau datang memaki dan memusuhi aku tanpa alasan sama sekali. Bilakah kita pernah bertemu? Pernahkah aku, Toat-beng Sin-to mengganggumu atau memusuhimu? Ingat, gadis kecil, di sini berkumpul puluhan tokoh kang-ouw, dan kau tidak boleh berlaku sombong dan sewenang-wenang!”

Pada saat itu terdengar suara ketawa nyaring dan tahu- tahu Thio Kun Si Pedang Maut telah melompat dan berdiri di dekat Liok Kong menghadapi Hwe-thian Mo-li. Jago pedang dari Kansu yang baru berusia tiga puluh tahun dan masih membujang ini, ketika tadi melihat Hwe-thian Mo-li, ia menjadi demikian kagum sehingga sampai beberapa lama tak dapat mengeluarkan sepata katapun. Dalam pandangan matanya, bahkan Hwe-thian Mo-li ini lebih cantik dan menarik dari pada gadis penari itu. Mungkin karena sikap Hwe-thian Mo-li yang gagah itulah yang menarik hatinya.

“Liok-lo-enghiong, serahkanlah yang galak ini kepadaku. Kau telah mempunyai kawan minum arak, sekarang datang giliranku. Ha, ha, ha!”

Biarpun hatinya agak merasa gelisah, mendengar ucapan Thio Kun ini, Liok Kong tersenyum senang. Ia maklum bahwa orang she Thio ini boleh diandalkan.

“Nanti dulu, Thio-taihiap, biar aku bertanya dulu kepada nona ini mengapa dia demikian rindu untuk memiliki kepalaku yang tidak muda lagi!”

Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Thio Kun, bahkan ia lalu berkata kepada Liok Kong,

“Toat-beng-sin-to, mungkin kau belum pernah mendengar namaku, akan tetapi tentu kau takkan lupa akan Pat-jiu K iam- ong (Raja Pedang Bertangan Delapan), bukan?”

Tiba-tiba wajah orang she Liok itu menjadi pucat sekali. Teringatlah ia akan pengalamannya belasan tahun yang lalu dan ketika ia teringat akan sahabat baiknya di Santung yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li, diam-diam ia bergidik. Liok Kong adalah seorang yang cerdik dan ia maklum bahwa gadis ini lihai sekali. Kebetulan sekali Thio Kun yang sombong datang mencampuri urusan ini, maka ia pikir lebih baik mengoperkan gadis ganas ini kepada Si Pedang Maut.

“Thio-taihiap, kau minta aku menyerahkan nona ini kepadamu? Akan tetapi tidak dengarkah kau akan nama besarnya Hwe-thian Mo-li?” Thio Kun tertawa bergelak, “Ha, ha, ha, biarpun ia disebut Iblis Wanita, kalau cantiknya seperti ini, siapakah yang akan takut menghadapinya?”

Liok Kong melompat mundur dan semua orang memandang ke arah Thio Kun dan Hwe-thian Mo-li dengan hati tegang dan tertarik. Pasti akan ada pertunjukan yang amat menarik, pikir mereka. Apalagi orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar nama Hwe-thian Mo-li, mereka ingin sekali menyaksikan nona itu bersilat. Nama Thio Kun tidak asing lagi dan sebagian besar orang kang-ouw yang hadir di ruangan itu maklumlah sudah akan kelihaian ilm u pedang dari Thio Kun.

“Nona,” kata Thio Kun dengan lagak sombong, “sudah lama aku mendengar nama Hwe-thian Mo-li dan oleh karena kita berdua adlah orang segolongan, mengapakah kau tidak ikut ke mejaku dan menikmati hidangan sambil minum arak wangi?”

Hwe-thian Mo-li tersenyum manis, akan tetapi dibalik senyumnya mengintai kemarahan besar. “Cih, orang she Thio! Siapakah yang tidak tahu bahwa kau adalah seorang perampok keji? Bagaimana orang macam kau berani menganggap aku orang segolongan? Aku datang untuk merenggut nyawa orang she Liok karena urusan dendam pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan kau atau dengan orang lain yang berada di sini! Akan tetapi ”

Ia berhenti sebentar lalu melemparkan pandang mata menantang ke empat penjuru, “jangan anggap bahwa kata- kataku ini menunjukkan bahwa aku takut! Siapa pun juga yang menghalangi aku mengambil kepala orang she Liok, boleh maju dan berkenalan dengan pedangku!”

“Aduh lagaknya! Pedang tumpul macam apakah yang kau bawa-bawa ke sini?” Thio Kun mentertawakan, akan tetapi segera ia berseru kaget dan cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak dari sambaran sinar kuning yang menyerang ulu hatinya. Entah bagaimana, tanpa kelihatan pandangan mata, tahu-tahu Hwe-thian Mo-li telah mencabut pedangnya dan telah mengirim serangan kilat menusuk ulu hatinya.

Pucatlah wajah Thio Kun, bukan hanya karena kaget, akan tetapi juga karena marah. Ia melihat betapa buruknya sarung pedang yang tergantung di pinggang gadis itu, akan tetapi setelah pedangnya dicabut, ternyata pedang itu berkilau mengeluarkan cahaya kekuningan.

“Masih adakah pikiranmu untuk membela jahanam she Liok dan menghadapi pedangku Thio Kun?” Hwe-thian Mo-li mengejek.

“Iblis wanita, kau kira kau akan dapat menyombongkan sedikit kepandaianmu di sini dan berani mengacau? Jangan kau membikin aku sampai menjadi marah. Kalau sekali pedang maut telah kucabut, sebelum ia mencium bau darah, ia takkan masuk kembali ke sarangnya!”

“Perampok hina dina, siapa takuti pedangmu ?” kata pula Hwe-thian Mo-li dan ia memandang dengan cara menghina sekali.

Thio Kun tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Ia berseru keras dan mencabut pedangnya yang berkilau dan mengeluarkan sinar putih kehijauan.

“Kau perlu dihajar!” bentaknya dan cepat sekali pedang di tangannya bergerak menyerang dengan hebat sekali. Hwe- thian Mo-li menangkis dan terdengar suara keras dibarengi bunga api yang berpijar. Thio Kun menjadi gentar sekali ketika pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan karena benturan ini. Baiknya ia memiliki pedang mustika, kalau tidak, tentu pedangnya telah terbabat putus oleh pedang di tangan Hwe-thian Mo-li.

Nama besar Thio Kun sebagai si Pedang Maut bukan timbul karena ilmu pedangnya terlalu lihai, melainkan sebagian besar ditimbulkan oleh kekejaman pedangnya. Memang benar seperti yang dikatakannya tadi, tiap kali pedangnya meninggalkan sarung pedang, pedang itu belum dikembalikan ke dalam sarung sebelum berlepotan darah. Oleh karena kekejamannya inilah maka perampok tunggal yang masih muda ini mendapat julukan Si Pedang Maut, walaupun maut yang tersebar dari pedangnya itu selalu mengambil kurban nyawa orang baik-baik.

Kini menghadapi pedang pusaka di tangan Hwe-thian Mo-li, mana dia dapat berdaya banyak? Hwe-thian Mo-li adalah murid terkas ih dari seorang gagah perkasa di bukit Liong-cu san yang bernama Ong Han Cu dan berjuluk Pat-jiu K iam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya. Dengan serangan-serangan dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat, baru beberapa belas jurus saja,

Thio Kun menjadi sibuk sekali. Ia masih berusaha mempertahankan dengan ilmu pedang dari Bu-tong-pai, namun karena tingkat ilmu pedangnya memang kalah jauh, dalam jurus kedua puluh terdengar ia menjerit keras dan robohlah ia dengan pundak terbabat pedang.

“Liok Kong, kau majulah untuk membuat perhitungan secara gagah. Kalau tidak mau maju, terpaksa aku turun tangan!” berkata Hwe-thian Mo-li dengan suaranya yang masih merdu akan tetapi mengandung ancaman maut.

Tadi ketika Liok Kong menyaksikan kelihaian Hwe-thian Mo- li, hatinya telah menjadi jerih. Ia sendiri adalah seorang ahli golok dan belum tentu ia akan kalah terhadap permainan pedang Hwe-thian Mo-li, akan tetapi oleh karena hatinya telah tidak karuan rasanya ketika ia mendengar nama Pat-jiu Kiam- ong tadi, ia lalu mencari jalan paling aman. Ia telah mendekati Ngo-lian Hengte, sahabat-sahabat baiknya, ketua dari Ngo- lian-kauw di Hopak itu.

Ngo-ciangbun atau lima ketua dari Ngo-lian-kauw ini memang telah lama merasa gemas dan penasaran melihat sepak terjang Hwe-thian Mo-li yang dianggapnya tidak tahu aturan. Mereka berlima takkan memperdulikan andaikata Hwe- thian Mo-li melakukan perhitungan dengan Liok Kong secara pribadi, akan tetapi jangan di dalam pesta seperti ini. Menantang tuan rumah dalam sebuah pesta tanpa mengingat akan kehadiran sekian banyak orang-orang gagah yang menjadi tamu, berarti menghina para tamu itu pula. O leh sebab itu, ketika Liok Kong minta bantuan mereka, dengan segera mereka menyanggupi.

Maka ketika mereka melihat Hwe-thian Mo-li me lompat maju hendak menyerang Liok Kong, kelima orang itu segera berdiri dari tempat duduk mereka dan menghadang di depan tuan rumah.

“Hwe-thian Mo-li, kau benar-benar terlalu menghina orang!” bentak Kui Jin, saudara tertua dari kelima jago Hopak itu. “Urusan pribadi dan sakit hati memang sewajarnya diurus, akan tetapi sikapmu yang mendesak tuan rumah di depan para tamu dari dunia kang-ouw yang sekian banyaknya ini benar-benar keterlaluan sekali. Kami harap kau suka memandang kepada kami dan pergi dari sini, jangan mengacaukan pesta ini. Kalau kau me lanjutkan sikapmu yang kurang ajar, terpaksa kami Ngo-lian Hengte takkan tinggal diam saja!”

Hwe-thian Mo-li tetap tersenyum mengejek seakan-akan nama Ngo-lian Hengte yang amat tersohor itu bukan apa-apa baginya.

“Sudah kukatakan tadi bahwa siapa saja yang membela jahanam Liok Kong, ia akan berhadapan dengan pedangku!”

“Wanita buas!” bentak Kui Sin anggauta termuda dari kelima ketua itu sambil mencabut pedangnya lalu menyerang hebat.

“Bagus, makin banyak lawan makin gembira!” seru Hwe- thian Mo-li dan ia segera memutar pedangnya untuk menangkis. Sebentar saja ia dikurung oleh kelima orang kakak beradik she Kui yang mainkan ilmu pedang Ngo-lian-kauw dan mengurungnya rapat-rapat. Akan tetapi, Hwe-thian Mo-li tidak menjadi gentar, bahkan nampak gembira sekali, mulutnya tersenyum-senyum dan pedangnya bergerak makin lama makin kuat.

Sementara itu, Liok Kong masih merasa gelisah lalu m inta tolong kepada beberapa orang tamu lain yang sepaham dengan dia, maka kini te lah ada belasan orang yang siap sedia dengan senjata di tangan. Mereka bersiap untuk mengeroyok Hwe-thian Mo-li andaikata kelima jago dari Hopak itu sampai kalah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Liok Kong dan diam-diam ia lalu melarikan diri me lalui pintu belakang. Akan tetapi, baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, tiba- tiba ia mendengar suara halus merdu dibelakangnya.

“Liok lo-ya, kau hendak pergi kemanakah?”

(Oo-dwkz-oO)

02. Perlombaan Mencari Musuh Besar

LIOK KONG cepat menengok dan alangkah herannya ketika ia melihat Ong Lian Hong, nona penari cantik jelita tadi telah berdiri dengan s ikap menarik dihadapannya. Ketegangan yang ditimbulkan oleh Hwe-thian Mo-li membuat semua orang lupa kepada nona penari ini yang hanya berdiri memandang Hwe- thian Mo-li dengan mata tajam dan sebentar-sebentar menenggak arak wangi sehingga habis beberapa belas cawan tanpa menjadi mabok sedikitpun.

Kalau saja ia tidak sedang ketakutan sangat, dan keadaan tidak sedang berbahaya bagi keselamatannya, tentu Liok Kong akan menjadi girang sekali dan akan menubruk tubuh yang amat menggiurkan itu untuk dibawa ke dalam kamarnya. Akan tetapi pada saat seperti itu, siapakah yang ingat akan kesenangan?” “Siocia, kau bersembunyilah! Nanti kalau sudah aman aku akan kembali ke sini!” katanya lalu hendak berlari me lalui pintu itu.

“Eh, perlahan dulu, loya!” tiba-tiba terdengar nona manis itu mencegah dengan halus dan bagaikan seekor naga merah, selendang merah yang serupa benar dengan yang tadi dibeli oleh Liok Kong, melayang melalui atas kepala s i kakek itu dan ujungnya lalu membalik menyambar ke arah kedua matanya.

Liok Kong terkejut sekali karena sambaran ini bukan main kerasnya sehingga anginnya telah mendahului ujung selendang itu. Ia cepat mengelak dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat nona penari itu masih tersenyum, bahkan lebih manis dari pada tadi, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang aneh dan yang mengingatkan Liok Kong akan pandang mata seorang yang dulu amat dibenci dan ditakuti.

“Nah, nah, kau mulai teringat, bukan? Pandanglah, pandanglah baik-baik, Liok Kong. Adakah persamaan antara wajahku dengan wajah mendiang ayahku Ong Han Cu yang telah kau binasakan dengan curang?”

Menggigil se luruh tubuh Liok Kong mendengar ucapan ini. Ia merasa betapa lehernya seperti dicekik. Dengan muka pucat ia menudingkan telunjuk ke arah nona itu sambil berkata gemetar.

“Kau..... kau ..... puteri Pat-jiu Kiam-ong    ??”

Lian Hong tersenyum dan begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mengeluarkan sebuah pedang yang amat indah dan aneh. Pedang ini demikian tipisnya sehingga tadi telah ia pakai sebagai sabuk tanpa diketahui oleh orang lain karena gagangnya juga kecil dan sebagian dari pada gagang tipis ini tertutup oleh mantelnya yang lebar.

“Bangsat she Liok, bersiaplah untuk mampus!” Suara Lian Hong masih terdengar halus, akan tetapi tiba-tiba pedang dan selendangnya meluncur ke depan melakukan dua serangan maut yang amat berbahaya.

Sementara itu, Liok Kong telah mencabut goloknya dan ia segera melakukan perlawanan. Rasa sayang dan cintanya terhadap gadis itu lenyap seketika itu juga, terganti oleh rasa takut dan nafsu membunuh. Ia pikir bahwa belum tentu gadis ini selihai Hwe-thian Mo-li dan dengan ilmu goloknya tentu ia akan dapat merobohkan puteri musuh besarnya ini, maka begitu bergerak, ia lalu mengeluarkan ilmu goloknya yang ganas dan dahsyat.

Tidak percuma Liok Kong mendpat julukan Toat-beng Sin- to atau Golok sakti pencabut nyawa, karena memang ilmu goloknya lihai sekali. Kalau saja ia tidak sedang gugup dan ketakutan, belum tentu nona jelita itu akan dapat mengalahkannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, segera ia mengeluh karena ternyata olehnya bahwa Ong Lian Hong, nona yang menjadi puteri dari Pat-jiu Kiam-ong dan yang telah menyamar seperti seorang penari ini memiliki kepandaian yang amat mengagumkan dan sama sekali tidak terduga-duga!

Tidak saja ilmu pedangnya luar biasa sekali, merupakan campuran dari ilmu pedang Liong-cu-kiam hwat dan ilmu pedang lain cabang, juga selendang merahnya amat lihai dan berbahaya. Selendang merah itu menyambar-nyambar mendatangkan kekacauan terhadap pandangan mata Liok Kong dan ujungnya merupakan senjata penotok jalan darah yang amat berbahaya!

Oleh karena mereka bertempur di ruang sebelah dalam lagi, maka tak seorangpun tamu yang melihat pertempuran mereka, kecuali beberapa orang pelayan yang hanya berlari ke sana ke mari tidak berani membantu. Di luar masih terdengar senjata beradu, tanda bahwa Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok oleh orang banyak. Memang inilah yang dikehendaki oleh Lian Hong, yakni berhadapan satu lawan satu dengan musuh besarnya ini! Dengan mengerahkan kepandaiannya, akhirnya ia dapat mendesak lawannya yang menjadi makin bingung dan gugup.

“Lebih baik lari saja,” pikir Liok Kong yang mencari kesempatan dan jalan keluar.

Lian Hong ketika melihat permainan golok lawannya diam- diam mengakui akan kelihaian lawan dan apabila lawannya bertempur dengan tenang, agaknya takkan mudah baginya untuk mengalahkan orang tua ini. Nona yang cerdik dan gagah ini ketika melihat gerakan Liok Kong dan pandangan matanya yang selalu mencari kesempatan, maklum akan maksud lawannya. Ia lalu menggunakan akal dan sengaja mengendurkan serangannya dan menjahui pintu yang menuju ke belakang.

Melihat kesempatan yang dinanti-nantikan ini, cepat Liok Kong menyerang hebat sehingga Lian Hong terpaksa mengelak mundur dan kakek itu lalu melompat melalui pintu yang terbuka. Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu itu, ia mendengar suara angin dan melihat selendang merah dari lawannya meluncur cepat mengarah kakinya.

Ia cepat melompat ke atas akan tetapi tiba-tiba pedang ditangan Lian Hong telah digerakkan dengan tipu gerakan Naga Sakti Menyemburkan Mustika. Gadis pendekar ini telah melontarkan pedangnya yang meluncur cepat bagaikan anak panah dan tanpa dapat ditangkis atau dielakkan oleh Liok Kong yang sedang melompat menghindarkan diri dari serangan selendang merah, pedang itu nancap pada punggungnya dan berhenti di antara tulang-tulang iganya.

Inilah kepandaian istimewa dari Ong Lian Hong. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu serangan istimewa ini, karena selain bentuk pedang tidak seperti bentuk senjata rahasia yang mudah dilemparkan, juga pedangnya itu amat tipis, namun berkat kemahirannya menyambitkan dan berkat tenaganya yang sudah cukup terlatih, pedang itu dapat menancap ke arah sasaran dengan tepat dan juga kuat sekali.

Liok Kong hanya dapat mengeluarkan teriakan satu kali, karena Lian Hong segera mencabut pedangnya dan sekali sabet, leher Liok Kong telah putus.

Sementara itu, Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok rapat-rapat oleh para tamu yang membela tuan rumah. Tadi ketika Ngo- lian Hengte maju mengurungnya, ia telah menjadi amat marah. Pedangnya bergerak ganas sekali dan baru beberapa jurus saja, Kui Ti dan Kui Sin terpaksa telah mengundurkan diri karena terluka oleh ujung pedang pada lengan dan paha. Tiga orang kakak mereka yang masih mengurung juga agaknya tidak akan dapat menang, melihat betapa sinar pedang Hwe-thian Mo-li bergulung-gulung makin membesar dan mengganas.

Melihat keganasan Hwe-thian Mo-li, belasan orang yang sudah menerima permintaan Liok Kong untuk membantu, segera mengepung maju dan sebentar saja kepungan orang terhadap Hwe-thian Mo-li makin rapat saja. Namun nona ini benar-benar luar biasa sekali.

Biarpun senjata para pengeroyoknya datang bagaikan air hujan menimpa ke arah tubuhnya, ia dapat mainkan pedangnya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, bahkan ia masih dapat merobohkan beberapa orang lagi. Akan tetapi, lambat laun ia mulai merasa lelah juga dan hatinya amat mendongkol. Ia sengaja datang hendak membalas dendamnya kepada Liok Kong, kini orang yang dicari dapat melarikan diri sedangkan ia terpaksa harus menghadapi beberapa orang kang-ouw yang mengeroyoknya.

Selagi ia mencari jalan untuk meninggalkan semua lawannya dan mengejar Liok Kong, tiba-tiba terdengar seruan halus, “Hwe-thian Mo-li, inilah hadiah untukmu!” dan sebuah benda besar bulat menyambar ke arah nona yang sedang mengamuk ini. Tidak hanya Hwe-thian Mo-li yang merasa kaget dan heran, akan tetapi juga para pengeroyoknya memandang benda yang menyambar itu dan ketika melihat benda itu jatuh di atas lantai, mereka berseru terkejut dengan muka pucat karena benda itu adalah kepala dari Liok Kong.

Sebaliknya, ketika Hwe-thian Mo-li memandang dan melihat kepala musuh besarnya ini, ia menjadi heran sekali. Pedangnya berkelebat ke arah kepala itu dan “Crack!” kepala itu terbelah menjadi dua.

Keadaan menjadi kacau balau. Melihat tuan rumah telah tewas dalam keadaan amat mengerikan ini, semua tamu yang tadinya mengurung Hwe-thian Mo-li, menjadi kehilangan semangat dan mulai mengundurkan diri.

Dan di dalam kekacauan ini, Hwe-thian Mo-li yang masih mainkan pedangnya, melihat bayangan penari cantik itu bergerak lincah sekali, me lompat dari ruang dalam dan dengan sebuah tendangan ia merobohkan Thio Kun yang berdiri menonton pertempuran sambil memegangi pundaknya yang tadi terluka oleh ujung pedang Hwe-thian Mo-li. Tanpa dapat berteriak lagi, Thio Kun roboh terguling dan cepat sekali tangan penari yang cantik itu menyambar ke bawah, terdengar pakaian robek dan patung Kilin tadi kini telah berada ditangan penari itu yang cepat melompat pergi dari ruangan itu.

Hwe-thian Mo-li merasa tak perlu lagi melanjutkan pertempuran karena kini musuhnya telah tewas. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok bergerak mundur, lalu tiba-tiba tubuhnya dienjotkan ke atas dan melompatlah ia ke ruang depan sambil berseru.

“Sahabat lancang, tunggu dulu!” Ia masih dapat melihat bayangan nona penari itu berlari di sebelah kanan rumah gedung maka iapun lalu mempercepat gerakan kakinya mengejar. Nona penari itu menengok dan mulutnya tersenyum geli ketika ia melihat Hwe-thian Mo-li mengejar. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat dengan ilmu lari Teng-peng-touw-sui. Melihat betapa bayangan yang ramping di depan itu kini berlari makin cepat keluar dari kota, Hwe- thian Mo-li menggigit bibir dan mempercepat pengejarannya dengan ilmu lari Hwe-hong-sut.

Kejar mengejar terjadi dan Hwe-thian Mo-li menjadi makin mendongkol, gemas, marah dan penasaran oleh karena betapapun ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat, ia tidak dapat mengejar gadis penari itu. Sebaliknya, yang dikejar juga tak dapat memperjauh jarak di antara mereka ternyata bahwa ilmu kepandaian mereka dalam hal ilmu berlari cepat ternyata setingkat. Setelah kejar mengejar sejauh tiga puluh li dan mereka telah tiba di tepi sungai Yang- ce, nona penari itu sambil tertawa-tawa lalu berhenti menanti kedatangan Hwe-thian Mo-li.

Dengan muka merah, Hwe-thian Mo-li menudingkan telunjuknya ke arah hidung nona penari itu sambil berkata ketus, “Siapakah kau yang sombong dan lancang ini? Mengapa kau berani mati sekali mendahului aku yang hendak memenggal leher binatang Liok Kong? Lekas katakan apa alasanmu. Kalau tidak jangan harap aku Hwe-thian Mo-li dapat mengampuni kelancanganmu?”

Dara penari yang lihai itu tersenyum manis sekali dan menahan gelinya. “Kau mau mengetahui namaku?”

“Ya, sebutkan namamu. Cepat!”

“Aku bernama Hwe-thian Sian-li (Bidadari Terbang)!”

Makin merahlah muka Hwe-thian Mo-li mendengar ini. Terang bahwa gadis penari ini main-main terhadapnya. Secepat kilat ia mencabut pedangnya dari pinggang dan memandang dengan mata melotot. “Kau hendak mengembari julukanku? Mengapa tidak memakai julukan Hwe-thian Mo-li sekali agar sama?” bentaknya.

Ong Lian Hong, dara penari itu tersenyum. “Untuk apa memakai nama seperti itu? Siapa suka menyebut diri sebagai Mo-li atau Iblis Wanita? Sungguh nama yang buruk dan menakutkan. Bagiku, lebih baik aku memakai nama Hwe-thian Sian-li!”

Hwe-thian Mo-li merasa terpukul oleh alasan ini. “Hm, tidak saja kau cantik, akan tetapi juga lidahmu amat lihai bicara. Lekas kau katakan mengapa kau berlancang tangan mendahului aku membunuh Liok Kong!”

“Cici, bukankah aku telah membantumu? Mengapa kau marah-marah?” gadis penari itu bertanya sambil memandang heran. Ia belum kenal adat yang keras dari Hwe-thian Mo-li dan karena adatnya inilah maka gadis ini disebut Hwe-thian Mo-li atau Iblis Wanita.

“Membantu? Siapa sudi kau bantu? Kau boca sombong, dengan sedikit kepandaianmu itu, kau sudah berani membantu tanpa kuminta? Kau benar-benar lancang sekali!”

“Enci Siang Lang, kau benar-benar galak sekali!” tiba-tiba penari ini berkata sambil tersenyum manis. “Kau hendak membalas dendam kepada jahanam Liok Kong, apakah orang lain juga tidak hendak membalas dendam? Apakah dendam hanya boleh kau miliki sendiri?”

Hwe-thian Mo-li tidak memperhatikan ucapan ini karena ia masih berdiri bengong mendengar betapa gadis cantik ini menyebut namanya yang jarang sekali diketahui orang lain.

“Bagaimana kau bisa mengetahui namaku? Siapakah kau?” tanyanya. “Tentu saja aku mengenal namamu. Kau bernama Nyo Siang Lan, murid dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu di Liong- cu san! Bukankah ini cocok sekali?”

“Bocah! Kau makin memperolok-olokku. Hayo katakan kau siapa dan bagaimana sampai dapat mengetahui keadaanku!”

“Kalau aku tidak mau memberi tahu padamu?” “Terpaksa ku paksa dengan pedangku!”

“Hm, Hwe-thian Mo-li, memang aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Marilah kita ma in-ma in sebentar! Sambil berkata demikian, Lian Hong me loloskan pedangnya yang tipis dan bersiap memasang kuda-kuda yang disebut Bunga Teratai Mengambang di Air. Sikapnya menarik sekali, matanya yang indah berseri, mulutnya tersenyum manis dan lagaknya nakal sekali.

Hwe-thian Mo-li diam-diam merasa kagum melihat kecantikan lawannya ini, akan tetapi ia juga merasa amat penasaran. Belum pernah ada orang, apalagi seorang gadis muda seperti ini, berani mengganggunya sampai sedemikian rupa.

“Bagus, kau memang perlu diberi sedikit hajaran!” bentaknya dan secepat kilat ia menyerang gadis itu. Serangannya, seperti biasa, cepat dan ganas sekali sehingga Lian Hong menjadi terkejut dan tidak berani ma in-main lagi. Gadis ini lalu memutar pedangnya yang tipis dan bersilat sama cepatnya mengimbangi permainan silat Hwe-thian Mo-li.

Kalau saja Lian Hong bersilat mempergunakan ilmu pedang lain dan sanggup menghadapinya, Hwe-thian Mo-li tidak akan demikian terheran, karena memang di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Akan tetapi yang membuatnya merasa terheran-heran adalah bahwa ilmu pedang gadis cantik ini m irip sekali dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Liong-cu-kiam-hwat. Pada dasarnya sama, hanya terdapat kembangan-kembangan lain yang agaknya terjadi dari percampuran dua ilmu pedang.

“Bocah sombong, dari mana kau mencuri ilm u pedang Liong-cu-kiam-hwat?” Hwe-thian Mo-li mmbentak sambil mengirim tusukan dengan gerak tipu Kim-so-tui-tee (Kunci Emas Jatuh di Tanah) yang dilakukan cepat sekali.

Lian Hong dengan tenang sekali karena sudah mengenal gerakan ini dengan baik, lalu mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya menangkis dengan gerakan Sayap Walet Mengipas Air.

“Siapa mencuri ilmu pedang? Hayo keluarkanlah se luruh kepandaianmu kalau kau bisa !” Lian Hong menantang sambil tersenyum-senyum.

Senyum yang manis sekali dan dapat melumpuhkan kalbu setiap laki-laki, ternyata bagi Hwe-thian Mo-li merupakan api yang panas membakar hatinya. Ia menggertak giginya dan berseru keras.

“Kau tidak tahu diberi hati! Kau minta dirobohkan dengan kekerasan? Baik, kau lihatlah!” Sambil berkata demikian, Hwe- thian Mo-li lalu mendesak maju dan mainkan pedangnya dengan luar biasa cepatnya. Ia benar-benar telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencari kemenangan. Tadipun ketika menghadapi banyak orang di rumah gedung Liok Kong, ia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya seperti sekarang ini.

“Hebat!” Lian Hong tak tertahan lagi berseru kagum dan iapun harus mengerahkan ginkang dan ilmu pedangnya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Pertempuran antara kedua nona jelita ini benar-benar hebat dan ramai sekali. Kian lama kian terheran-heranlah hati Hwe-thian Mo-li, karena jarang sekali ada orang yang dapat mempertahankan diri lebih dari tiga puluh jurus apabila ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya seperti ini.

Akan tetapi gadis muda ini dapat melayaninya sampai lima puluh jurus, bahkan dapat membalas dengan serangan- serangan dahsyat, mempergunakan pedang tipis dan selendang merah. Memang, melihat kehebatan sepak terjang Hwe-thian Mo-li, terpaksa Lian Hong mengeluarkan selendang merahnya untuk membantu gerakan pedang di tangan kanan.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar