Pahlawan Harapan Jilid 09

Jilid 09

Begitu ia sampai dihadapinya tiga orang itu dengan tak gentar. Anak itu sengaja melewati tiga orang itu sambil membacakan lagi sajaknya: "Peristiwa Oey San membawa dendam bagai lautan." Dadanya ditonjolkan ke muka dengan gagah sedangkan matanya berputar-putar menyapu wajah tiga orang itu bergiliran seolah olah menantikan gerakan dari mereka.

Tanpa terasa mata Gwat Hee mengawasi Tjiu Piau sedangkan orang yang tidak di kenal itupun mengawasi pula kepada TjiuPiau.

Terlihat Tjiu Piau membuka mulutnya sesudah berpikir sejenak.

"Delapan belas tahun hidup menanggung penasaran."

Orang yang tidak dikenal itu dengan tergesa gesa melanjutkan sajak itu :

"Putera puteri membawa pedang mendaki Oey San " Suaranya itu demikian bersemangat penuh aliran darah mendidih, lain sekali dengan wajahnya tadi yang demikian adem. Air matanya tak dapat ditahan lagi mengalir dikedua pipinya. Orang itu tidak menghapus air matanya, hanya bengong sambil mengawasi pada Gwat Hee. Pada saat ini. Gwat Hee merasa orang ini usianya berubah dari tigapuluh tahun menjadi pemuda yang berusia serabilanbelas tahun. Dalam wajahnya yang ketua tuaan terlihat sifat kekanak kanakannya. Saat ini Gwat Hee pun merasakan pandangannya menjadi guram sebab air matanya sudah menggenangi kedua kelopak matanya. Lekas lekas ditahan perasaan hatinya dan ia melanjutkan sajak itu

"Tamu menanti lama Tiong Tjiu bulan delapan."

Sehabis membacakan sajak itu, ketiga orang itu menjadi diam dengan penuh pertanyaan. Kenapa Toa ko mereka tidak datang, sebaliknya seorang bocah yang mewakilinya. Tapi saat ini mereka tak sempat untuk mengatahuinya sebab masing masing perasaannya dipenuhi kegirangan dan kekangenan. Dalam hati Gwat Hee sudah memastikan orang yane berusia tiga puluh tahun ini adalah saudara Tju yang berusia sembilan belas, tahun. Sebaliknya Tjiu Piau masih tetap curiga. Ia tak habis pikir saudara Tju ini kenapa sudah berusia dtmikian tua. Sebaliknya orang itu hanya menjadi lega, sebab orang yang akan dicarinya ini tak salah lagi adalah dua orang ini. Masing masing pihak mempunyai pertanyaan di dalam hati tetapi tak tahu harus bagaimana membuka mulut. Akhirnya mereka kena didahului bocah kecil itu. Anak itu merogo sakunya mengeluarkan segulungan benda, kiranya adalah secarik kain, anak itu membeberkannya samoil berkata. "Lekas keluarkan sajak masing musing untuk diakurkan." Suaranya sangat keren dan sangat bersemangat. Gwat Hee begitu melihat segera mengenali benda itu adalah kepunyaan kakaknya, tak terasa lagi ia berteriak kaget, ia loncat sambil menarik lengan anak itu untuk ditanya. Anak itu lincah bukan buatan begitu tangan Gwat Hee datang, ia sudah berada di belakang tubuh Tjiu Piau tanpa diketahui orang sehingga Gwat Hee menangkap angin Sebaliknya bocah itu mengulurkan tangan kepada Tiiu Piau:

"Lekas ke luarkan kain sajakmu!"

Terhadap bocah yang nakal dan wajar ini Tjiu Piau harus mengalah. Dikeluarkannya kain yang bertulisan sajak itu untuk diberikan kepada bocah itu.Bocah itu mengulurkan sebelah tangannya menjambret. Kemudian bergilir ke orang ketiga dan ke empat mengambil kain sajak itu. Sesudah itu ke semua digelarnya di tanah untuk dicocokkan. Dilihatnya dengan cermat, lantas disambung sambung. Sampai satu dengan lain potongan itu menempel menjadi satu. Ia baru bangun dengan perasaan puas. Dengan lagaknya yang kocak sekali lagi ditatapinya wajah orang dengan bergiliran.

"Tak salah lagi, kalian adalah adik adiknya dia, aku dapat mengantar kalian untuk menemuinya!" Habis berkata segera ia mengangkat kaki, membuka jalan. Mulutnya masih tak henti hentinya bicara: "Lekas kalian susul aku, kalau tak dapat mencandaknya, aku tak mau meladeni lagi kalian untuk menjumpai dia!" Lagaknya sungguh banyak.

Tjiu Piau bertiga sebenarnya mempunyai banyak kata- kata yang akan diceritakan dan ditanyakan. Tetapi untuk sementara terpaksa ditahan dulu. Enam pasang mata saling berpandangan, menantikan yang lain untuk memutuskan dan mengambil ketetapan. Gwat Hee sangat memikiri kakaknya, dialah yang mengambil keputusan .terlebih dahulu dan berkata dengan perlahan: "Mari kita pergi!" Kakinya sudah melangkah dengan cepat. Dua orang lainnya menyusul dari belakang dengan kencang.

Bocah itu dari atas turun ke bawah dengan cepat. Ia tidak mengambil jalanan gunung yang biasa, sebaliknya belok kekiri berputar beberapa kali, menuju tepi tebing yang curam. Kakinya terus melangkah ke ujung tebing tubuhnya dirapatkan pada tebing itu dengan erat, menyusul tubuhnya merosot turun. Dalam sekejap mata tubuhnya sudah tak kelihatan lagi.

Ketiga orang itu dengan cepat sudah sampai ke ujung tebing. Tebing itu seolah olah buatan orangjuius ke bawah dengan dasarnya yang hitam gelap tak kelihatan dengan nyata. Tjiu Piau dan Gwat Hee merasa kaget juga, sebaliknya wajah orang itu tenang saja seolah olah tebing itu tidak dipandang sebelah mata.

Terang terang bocah itu terlihat merosot kebawah, kenapa kini tak tampak.

"Jangan jangan anak itu jatuh ke bawah! kata Gwat Hee berkuatir. Belum suaranya hilang dari pendengaran, bocah itu menonjolkan kepalanya dari jarak dua tumbak di bawah. "Lekas merosot ke sini!" Kiranya ia berdiam di sebuah goa.

Tjiu Piau dan Gwat Hee tidak tahu harus bagaimana turun ke bawah. Tengah mereka bingung, terlihat orarg itu sudah loncat turun dengan riang sekali. Begitu turun tubuh orang itu sudah duduk dengan tenang di sebuah pohon Siong yang berada di sebelah bawah goa. Lengannya mengeluarkan tambang dan dilontarkan ke atas sebuah batu. Dengan kokoh kaitan itu segera mencantel keras di sebuah batu karang.

"Kalian peganglah tambang ini dan segera turun!"

Tjiu Piau dengan berpegang pada tambang itu segera merosot turun. Dilihatnya di sebelah atas pohon terdapat dua mulut goa yang gelap dan hitam. Ia mencelat masuk terlebih dahulu dari yang lain ke dalam goa tersebut.

Selanjutnya Gwat Hee mengikuti dari belakang Orang itu memegang tambangnya dengan sekali kedutan tubuhnya sudah naik ke atas dan masuk ke dalam goa. Di dalam goa itu sangat gelap sekali, sampaipun lima jeriji sendiri tidak dapat di lihat dengan tegas. Berapa dalamnya goa ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Sedangkan bocah itu entah sudah lari ke mana, "Koko. Koko!" teriak Gwat Hee dengan keras. Dari dalam kembali terdengar gema suara "Koko, koko!"

Suara balikan itu agaknya dari tempat jauh datangnya, nyatanya bahwa goa ini dalamnya bukan buatan. Tjiu Piau dan Gwat Hee ragu ragu tak berani masuk ke dalam.

Sedangkan orang itu selangkah demi selangkah menindakkan kakinya ke dalam.

Agaknya ia dapat melihat dengan tegas di tempat gelap.

Sambil berjalan orang itu sambil bicara.

"Marilah! Jalanan ini tidak sukar untuk dilalui ... di sini harus menundukkan kepala sebab goa ini sangat rendah . .

. ah, di sini ada cadas gunung yang tajam, hati hatilah sedikit . . . ah, ada meja dan kursi dari batu. Hei Siau Tee tee, kiranya kau berada di sini! Kenapa kau tak mengeluarkan sepatah katapun? . . ."

Dua orang yang berada di luar mendengar suara ini, mengetahui bahwa orang tersebut sudah menemukan bocah pembawa jalan itu. Saat mana merekapun sudah dapat melihat bagaimana bentuknya goa ini. Tapi mereka masih tetap menurut petunjuk yang diberikan orang itu dengan hati hati sekali masuk ke dalam. Sesudah lama juga berkutet didalam liang yang gelap, perlahan - lahan dapat melihat keadaan dalam goa. Kiranya goa ini adalah goa alam, tetapi di sini terdapat kursi meja dari batu, menandakan goa ini ada penghuninya. Sesudah berputar dan melewatkan beberapa tikungan, akhirnya mereka melihat bocah itu tengah duduk bersila sambil melatih ilmu napas. Orang itupun berada di situ sedang menantikan mereka.

"Kakakku berada di mana?" tanya Gwat Hee tak sabar. Bocah itu hanya menunjuk dengan jarinya ke dalam. "Dari sini masuk ke dalam, melewati sembilan tikungan

dan memutar sebanyak delapan belas kali segera dapat bertemu," Gwat Hee bertiga setengah percaya setengah tidak terhadap bocah yang nakal ini. Tapi tak ada daya lain dari pada harus mencoba. Baru mereka berjalan beberapa tindak, kembali bocah itu memanggil mereka. "Hei, sedikit lagi aku lupa memesan kalian. Waktu kalian melihat dia sekali kali jangan mengajak bicara. Esok magrib ilmu silatnya baru selesai, saat itu kalian boleh bicara dengan dia sepuas puasnya."

Keadaan goa yang terletak tak seberapa jauh dari mulut goa keluar masih mendapat sinar rembulan sehingga masih dapat membedakan barang. Tatkala masuk kembali ke dalam segala sesuatu tidak terlihat lagi

Gwat Hee ingin menyalakan api, tapi orang itu sudah berkata terlebih dahulu.

"Lebih baik hati hati dan jangan menyalakan api Ikutlah kepadaku." Orang ini dimalam gelap matanya seperti mata harimau saja, karena itu ia dapat berjalan dengan sekehendak hatinya. Mereka sudah melewatkan sembilan tikungan dan tujuh belas putaran, sebelum mereka melewatkan putaran yang kedelapan belas sampailah mereka pada jalan buntu karena putaran itu tak ada lagi. Mata orang ini berkilat-kilat melirik ke sana ke sini tanpa melihat orang yang dicari.

Gwat Hee menyalakan api, terlihat satu ruangan yang lebar kosong melompong. Mereka merasa heran dan takut dipermainkan orang. Tak terasa lagi mereka menahan napas untuk mencurahkan pikirannya guna mendengar ada tidaknya suara orang bernapas.Tiba-tiba Gwat Hee berseru perlahan :

"Dengar ! Ada suara orang bernapas."

"Bukan seorang tapi dua orang." sambung orang itu.

Sesudah Gwat Hee mendengarkan lagi dengan penuh perhatian benar saja terdengar lagi pernapasan dari dua orang. Satu kuat satu lemah, tapi berbareng dihembuskannya dan bersama pula dihirupnya. Orang itu memeriksa lagi keadaan tempat. Dalam sekejap saja agaknya sudah ada yang didapat.

"Ada, ada," katanya kegirangan. Tubuhnya mencelat ke muka. sampai di dinding yang penghabisan itu.

"Liangnya masuk berada di sini!"

Ketiga orang susul menyusulnya masuk ke mulut jalan, suatu tempat yang tidak beberapa besar. Di sana terlihat seseorang yang tengah duduk, kedua matanya dimeramkan, diam tak bergerak gerak seperti patung di musium.

"Toa ko!" teriak Gwat Hee dengan penuh perasaan.

Sedangkan tubuhnya akan menubruk maju. Tjiu Piau buru- buru menghadang sambil menarik lengannya.

"Apakah kau lupa dengan pesan anak itu!"

Gwat Hee menghentikan kaki. Sedang Djie Hai masih tetap saja duduk tak bergerak. "Inikah Toa ko?" tanya orang tua itu kepada Gwat Hee. Gwat Hee memanggut membenarkan. Terlihat ia maju ke muka dua tindak. Dengan hormat sekali ia membungkukkan badan memberikan hormatnya kepada Djie Hai.

"Siau tee Tju Sie Hong memberikan hormat kepada Toa- ko."

Tapi Djie Hai tetap tidak bergerak, ia tidak meladeni dan menghiraukan, terus saja tekun dengan ilmunya.Orang ini mengaku sebagai putera dari Tju Hong dan membahasakan diri Siau-tee kepada Djie Hai. Ong Gwat Hee dan Tjiu Piau men jadi kaget, mereka mengawasi Tju Sie Hong dengan mendelong. Dalam keadaan gelap, tak terlihat tegas wajah dari Tju Sie Hong, sekali lagi seolah-olah mukanya itu kembali menjadi muda belia. Dalam pada itu Gwat Hee berpikir:

"Kasihan sekali kakak Tju ini, entah hal apa yang diderita. Sehingga menjadikan ia terlihat tua sepuluh tahun. Sebaliknya kakak tengah mempelajari ilmu yang kukuay, sehingga tidak boleh diusik. Lebih baik kami bertiga menceritakan dulu riwayat masing-masing. Sesudah perhatiannya tetap didengarnya sekali lagi jalan napas dari Ong Djie Hai. Ia tahu kakaknya bernapas dengan teratur, menandakan tak berbahaya dan tak perlu dikuatirkan.

"Kakak Tju. Tjiu Soe ko kita jangan mengganggu Toa ko, lebih baik kita bicara di luar saja. Dengan ini kita dapat beristirahat dan menjiga Toa ko bukan?"

Tju Sie Hong melangkah mundur dengan perasaan kaget. "Bukankah barusan kita mendengar suara napas dua

orang? Seorang lagi berada di mana? Kita harus mencari dulu!"

"Tak perlu dicari lagi, aku sudah mendengarnya dengan nyata." kata Gwat Hee sambil tersenvum.

"Di mana?" tanya Tjiu Piau dengan cepat. Gwat Hee menunjuk Djie Hai: "Semua berada di tubuhnya."

Tju Sie Hong dan Tjiu Piau memasang telinganya baik baik benar saja pernapasan satu kuat satu lemah ke luar dari tubuh Djie, mereka menjadi heran sekali Dua orang ini tidak mengerti apa yans tengah diperbuat Djie Hai. Tapi melihat Djie Hai demikian tekun melatih din dan tidak menghiraukan orang lain terpaksa mereka mundur ke luar untuk tidak mengganggu. Kerinduan Tju Sie Hong selama delapan belas tahun dan kerinduan Gwat Hee dan Tjiu Piau selama beberapa tahun tak dapat dituturkan kepada Djie Hai, mereka depat bertemu tapi tak dapat berkata kata.

Sesudah mundur mereka duduk dengan tenang di ruangan besar. Mereka duduk saling pandang entah apa yangharus dikatakan, dalam waktu sesingkat itu tak dapat dikeluarkan. Sesudah membungkem lama sekali Tjiu Piau membuka mulutnya:

"Sie Hong sahtee, tadi di atas puncak, kenapa begitu melihat aku lantas menyerang? Barangkali..."

"Aku sendirian saja. tentu saja takut kena diakali orang Dan itu aku ingin mencoba untuk meraba ilmu dari Ong pepe dan Tjiu pepe." dengan jengah ia melanjutkan lagi.

"Malahan aku ingin mendesak, agar djiko mengeluarkan mutiara emas."

"Dari atas pohon aku sudah meiihat senjata sahko itu dan aku sudah menebaknya siapa sahko ini. Tapi begitu melihat wajah sahko yang agak tua aku tak berani sembarang memperkenalkan diri. Sahko dalam tahun tahun lewat penghidupanmu bagaimana?"

Pertanyaan Gwat Hee ini membangkitkan sesuatu yang aneh pada Tju Sie Hong. Terlihat ia mundur maju sambil berkata :

"Ah, betul, tempat ini. Ya, tempat ini betul."

Ia memeriksa terus keadaan goa, tangannya mengusap usap pembaringan batu.

"Tak salah, di sini terletak sebuah pembaringan batu." Ia jalan ke lebar dan panjangnya goa. "Tak salah ada duapuluh langkah persegi luasnya." Tiba tiba ia menarik napas dengan sedih.

" ah, tempat ini kucari setahun lama nya, tak kunyana di sini adanya."

Tjiu Piau dan Gwat Hee mendengarkan kata kata yang tidak tentu juntrungannya itu dengan heran. Akhirnya Gwat Hee bertanya begitu kata kata Sie Hong berhenti. "Sahko, apakah kau sudah lama mencari tempat ini?"

"Benar, aku mendaki Oey San sudah lima tabun lamanya. Dalam waktu lima tahun ini aku kenyang menikmati segala penderitaan, menerima angin, embun, halimun, hujan. Terbakar sinar matahari yang panas.

Karena itu aku menjadi lebih tua sepuluh tahun. Sewaktu- waktu aku mengaca tanpa mengenal lagi wajahku, wajah ini biar bagaimana lain sekali dengan wajah lima tahun yang lalu."

"Ya, lima tahun yang lalu kau baru berusia empat lima belas tahun? Waktu itu kau menemukan dan mengalami hal apa?" tanya Tjiu Piau.

Belum bicara Sie Hong sudah mengucurkan air mata terlebih dahulu.

"Saat itu aku berusia empat belas tahun, sedikit banyak aku sudah mempunyai ilmu silat. Juga sudah bisa mempelajari ilmu silat warisan. Tiba tiba ibu menceritakan hal delapan belas tahun yang lalu kisah ayah dan mendesak aku untuk segera datang ke Oey San."

"Oh. kami belum menanyakan kesehatan dari Tjiu Siok- bo. entah bagaimana keadaan beliau sekarang?" sela Gwat Hee.

Tju Sie Hong tidak menjawab pertanyaan Gwat Hee. Ia terus saja menuturkan kisahnya sambil menundukkan kepalanya.

"Saat itu kami berada di gurun pasir. Jarak dengan Oey San jauh sekali. Ibu mendesak untuk segera berangkat. Katanya, bahwa ia tidak percaya ayahku bisa mati di dalam jurang. Sebab ayah mempunyai ilmu seperti burung walet katanya. Kalau sampai tak dapat mencari tulangnya beliau akan mati dengan tak meram. Terkecuali itu beliau sering terbangun dari tidurnya di malam buta. Katanya merasakan ayah tidak mati hanya terletak di bawah jurang tak dapat manjat ke luar. Beliau selalu berkata dan berpikir begitu . sehingga membuatku percaya penuh dan tak ragu ragu.

Ibupun berkata, tiga tahun lamanya tak dapat tidur dengan nyenyak. Setiap kali meramkan matanya pasti melihat ayah seorang diri mundar mandir di bawah jurang. Karenanya ibu menitahkan biar bagaimana aku harus mendapatkan ayah kembali. Kalau tak dicari, setiap saat hatinya tak dapat tenang. Akhirnya kami sampai di Oey San ini. Tetapi

ibuku tua dan tak kuat, baru mendaki sampai setengah gunung, tiba tiba jatuh tergelincir ke jurang yang dalam."

Sampai di tempat yang mengerikan ini, Tju Sie Hong masih dapat menuturkan dengan tenang. Agaknya hal itu tidak bersangkutan dengan dirinya. Tapi kisah itu membuat Tjiu Tiau dan Gwat Hee tak terasa lagi menjerit kaget.

Saat ini, Ong Djie Hai yang berada di dalam, perasaannya menjadi tidak keruan karena mendengar perkataan Tju Sie Hong Hampir-hampir ia mengeluarkan teriakan. Akhirnya dengan kekuatan yang luar biasa perasaannya itu dapat dikuasai. Kembali ia mengheningkan pikirannya. Tetapi telinganya ini tak dapat untuk tak mendengar sama sekali, entah bagaimana telinga ini mau mendengar terus penuturan Tju Sie Hong. Kembali terdengar suara Tju Sie Hong untuk menuturkan kisahnya yang lebih dapat menggoncangkan perasaan orang.

Enam hari sebelumnya Ong Djie Hai sudah berada di dalam goa ini berlatih semacam ilmu, apa yarg tengah dipelajarinya? Kiranya tak lain dan tak bukan ialah Ilmu Im Yang Kang yang terkenal di didunia.

Sejak Ong Djie Hai berpisahsn dengan adik nya dan Tjiu Piau di Bu Beng To, segera mencarinya ke sekeliling.

Lukanya di kaki tidak berapa hebat, sesudah dirawat beberapa hari luka itupun menjadi sembuh. Sedangkan mencari adiknya dan Tjiu Piau mengalami kegagalan, dari itu untuk melewati harinya ia memperdalam ilmunya yang sudah ada. Sementara itu pertemuan di Oey San sudah semakin dekat, hatinya menjadi gelisah, tak banyak pikir lagi Oey San segera didaki. Dengan kebetulan sekali ia bertemu dengan seorang nenek nenek pemetik daun obat obatan. Djie Hai dicobanya oleh nenek nenek itu beberapa jurus, sesudah itu tanpa sebab pula disuruhnya mempelajari Im Yang Kang. Saat ini Djie Hai belum boleh membuka mulutnya, dengan sendirinya ia tak dapat menuturkan kisahnya selama berpisah kepada saudara saudaranya itu, pembaca tak perlu kuatir kisah ini pasti dapat diketahui belakangan.

Adapun ilmu Im Yang Kang ini sangat aneh adanya.

Waktu mempelajarinya harus ditempat yang sunyi, segala pikiran lain yang terdapat di dalam kalbu harus di ke sampingkan segenap pikirsn dicurahkan melulu untuk mengatur dan mengendalikan pernapasan Im (negatif) dan Yang (positif) sekehendak hati. Ilmu ini dapat dirampungi dalam waktu tujuh hari, selanjutnya setiap tahun melatih diri kembali seperti semula. Sehingga kekuatan itu tambah terus tak putus putusnya. Sebaliknya waktu berlatih, apabila pikiran bercabang atau bicara maupun berdiri, dapat mengakibatkan yang dipelajari tidak diperoleh pelajaran yang sudah ada menjadi hilang.

Enam hari yang lalu Ong Djie Hai mendapat kesempatan baik untuk mempelajari ilmu ini dengan tekun Ketika yang baik ini tak disia siakan. Di balik itu ia mengingat di pertemuan di Oey San nanti pasti terjadi pertarungan yang sangat sengit, kini dapat mempelajari semacam ilmu lagi bukankah membuat diri bertambah kuat. Tapi selama tujuh hari itu terdapat hari Tiong Tjiu, ia tak dapat berkumpul dengan saudara saudaranya. Baiknya nenek nenek itu sesudah mengajarinya cara dari ilmu itu menyuruh pula seorang bocah kecil untuk menjaganya. Sebelum Djie Hai mempelajari ilmu Im Yang Kang, bocah itu sudah dipesan dulu untuk menggantikannya menemani saudara saudaranya dimalam Tiong Tjiu. Bocah ini nyatanya sangat cekatan, tidak mengabaikan tugasnya, buktinya saudara- saudaranya Djie Hai berhasil diajak ke dalam goa. Waktu Ong Gwat Hee memanggil kakaknya dengan keras, hampir hampir Djie Hai tak kuasa untuk tidak menjawab. Pikirlah mereka dua saudara demikian cinta dan menyayangi satu sama lain, tambahan sudah lama juga tidak bertemu dan tidak mengetahui hidup matinya. Tiba tiba mendengar suara orang yang disayangi itu memanggil, siapa yang tidak akan menjadi girang. Tapi begitu ia ingat akan ilmunya, dengan cepat ditindasnya perasaan-perasaan dan gangguan itu.

Sehingga ia tetap dapat bersemedi meyakini terus pelajaran yang baru itu.

Derak kaki Tjiu Piau bertiga didengar Djie Hai dengan nyata, ia tahu saudara Tju sudah berkumpul.

Kegirangannya meluap, hatinya bergelora penuh kerinduan, hampir hampir perasaannya ini tak dapat dikendalikan lagi. lebih-lebih adik-adiknya itu satu satu berkelebatan di depan matanya Ia ingin berkata kata tapi terlebih dahulu merasakan tubuhnya menjadi dua bagian. Sebagian demikian dingin sebagian begitu panas, asal ia membuka mulut seolah olah tubuhnya itu akan menjadi dua! Ong Djie Hai tak dapat berbuat lain dari pada mati-matian memeramkan mata menenangkan pikiran. Akhirnya ia berhasil menenangkan kegaduhan jiwanya sewaktu ketiga saudara-saudaranya pergi ke luar goa. Tak kira gangguan yang tidak disadari kembali datang dari ketiga saudara saudaranya itu. Yakni mereka di luar menceriterakan hal ikhwal masing masing, sehingga patah demi patah dari perkataan mereka meresap ke dalam telinganya, akibatnya gelombang pikiran menjadi turun naik dengan hebatnya!

Saat ini kembali terdengar penuturan dari Tju Sie Hong. Hati Djie Hai dapat menenangkan pikiran dengan baik, apa daya sang telinga itu selalu mendengar terus perkataan dari Tju Sie Hong. Waktu sampai Tju Sie Hong menuturkan ibunya jatuh ke dalam jurang. Tjiu Piau dan Gwat Hee menjadi kaget, tapi Tju Sie Hong tetap tidak menunjukkan perubahan wajahnya, ia Terus saja menuturkan kisahnya ; "Saat itu aku sebatang kara, kesedihan dan kedukaanku hanya bumi dan langit yang mengetahui. Dalam keadaan bagaimana juga aku tak dapat meninggalkan ibuku atau membiarkannya begitu saja. Dan memberanikan diri, segera kupergunakan ilmu warisan dari keluarga Tju. Pohon demi pohon yang terdapat di jurang itu ku gaet dan dengan hati hati aku menyusuri tebing yang terjal itu turun ke bawah. Untunglah tebing itu tidak berapa dalam, dalam waktu yang tidak kuketahui akhirnya aku sampai juga di tempat di mana ibuku. Beliau sudah memeramkan matanya untuk selama lamanya" Menutur sampai di sini Tju Sie Hong berhenti sebentar, dalam keadaan yang sunyi ini terdengar helahan napas dari Tjiu Piau dan Gwat Hee. Sedang Ong Djie Hai pun merasakan hatinya deg degan.

Seketika kemudian terdengar pula kelanjutan penuturan Tju Sie Hong dengan suara parau :

"Saat itu aku sangat duka, lebih lebih melihat mata ibuku yang tidak meram, beliau meninggal secara penasaran. Aku berpikir, mungkin beliau tidak menemukan ayahku sampai saat matinya. Dari itu di samping jenazahnya aku bersumpah, biar bagaimana harus mendapatkan ayahku kembali. Kalau tak dapat menemukan seumur hidup aku tak mau meninggalkan Oey San. Selesai bersumpah, dengan perlahan-lahan kurapati mata beliau kelopak itu secara perlahan lahan pula menutupi mata beliau. Jenazahnya itu tak dapat kubawa ke atas jurang, terpaksa ibuku yang kucinta itu kumakamkan di dalam jurang itu. Untuk memberikan baktiku semalam suntuk kugadangi makam ibuku itu. Pagi mendatang bagaimana baiknya aku tak tahu. Ketetapan untuk mencari ayah sudah tetap, kalau tidak demikian ibuku mana dapat tenang berada di alam baqa. terkecuali itu hatiku mana bisa menjadi tenang Hatiku semakin lama semakin tetap, keberanianpun bertambah- tambah, segala apa tidak kutakuti. Sebelum naik ke atas jurang, kuberikan lagi hormatku kepada mendiang ibuku.

Dengan beberapa kali menggaetkan kaitanku dan beberapa loncatan aku sampai di atas tebing itu dengan selamat.

Sesampainya di atas sekali lagi aku menoleh ke bawah Aku merasakan untuk turun lagi ke bawah itu adalah hal yang mudah sekali hal ini mungkin aku mendapat banturn dari arwah ibuku. Ketabahanku semakin menjadi jadi Tiap hari kujelajah bukit dan jurang-jurang yang terdapat di Oey San ini guna mencari ayahku. Ah, Oey San demikian besar, tujuh puluh dua bukit tiga pulun enam goanya. Bagaimana dan di mana harus aku mencarinya? Sedangkan makanan kering yang kubawa siang siang sudah habis termakan.

Untuk melewatkan hari memburu dan makan segala daun daunan Angin dan hujan serta teriknya matahari tidak kuhiraukan. Tanpa terasa lagi aku menjadi demikian hitam dan kurus seperti begini dalaum waktu setahun

Dua tahun yang lalu. aku d&tang dan terpekur di puncak Thian Tou itu dengan tiada tujuan. Tiba tiba mendatang semacam suara dari dasar jurang yang berada di balik teping puncak Thian Tou ini. Suara itu ,bukan auman dari harimau, bukan lolongan serigala, pokoknya segala binatang binatang buas aku sudah kenal suaranya. Tapi suara itu seperti suara orang, demikian mengilukan, sehingga membuat bulu rona berdiri dan membuat hati menjadi tersayat

Malam iiu bulan demikian bulatnya dan sangat terang, sedikitpun tidak ada awan yang menutupi sinarnya. juga tidak terdengar aliran angin barang sedikit. Sungguh sepi, hening tenang seorang diri. Aku bertiarap di atas batu besar yang berada di puncak itu, sambil memasang telinga ke arah jurang yang dalam menanti suara itu kembali. Sekali ini suara itu membuat bulu badanku berdiri, kiranya suara itu berbunyi. Kimmmm...aaa. Kim adalah nama kecil dari ibuku. Aku berpikir sebentar mungkinkah arwah dari ayahku sudah bertemu dengan arwah ibuku? Selanjutnya pada malam berikutnya selama tiga hari tiga malam aku tak dapat tidur, suara itu seolan-o'ah memenuhi tepian telingaku, putusan sudah kuambil untuk turun ke bawah guna menyelidiki. Keesokan harinya aku memburu dulu beberapa kelinci gunung guna dikeringkan, sekadar untuk bekal ke bawah. Dengan susah payah aku hanya sampai di tengah jurang, aku beristirahat di sebuah pohon Siong yang besar untuk melewatkan malam, hari kedua baru dapat mendekat pada jurang yang merupakan lembah itu. Tempat ini demikian gelap sekali, sinar matahari hanya dapat menyinari pada tengah hari saja, selanjutnya gelap kembali aku memernahkan diri di sebuah pohon Siong tua. Tanah itu demikian hitam dan busuk, sekelilingnya penuh dengan tengkorak tengkorak dari binatang dan manusia, melihat ini hatiku menjadi gentar juga sedikit. Entah berapa banyak orang dari dulu hingga sekarang hilang jiwanya jatuh ke jurang yang demikian dalam ini. Aku tak berani turun ke bawah, sedangkan di bawah tiada gerakan apa-apa, dan tiada tanda tanda dari jejaknya manusia. Senja mendatang, kedelapan di bawah semakin cepat, aku berpikir untuk melewatkan malam di atas pohon ini. Tapi baru aku duduk sejenak lamanya, secara tiba-tiba aku mendengar suara helahan napas aku yakin inilah suara orang. Saat itu urat syaraf ku menjadi tegang bercampur takut, tapi dasar jurang itu sudah menjadi gelap, segala sesuatu tak terlihat lagi. Malam itu sekejap juga tak berani aku menutup mata. otakku hanya mengharapkan lekasnya siang. Jurang ini seperti sebuah sumur yang dalam sekali dongak ke atas sudah siang melihat ke bawah masih tetap gelap. Sesudah matahari di atas baru melihat dasar jurang itu, tapi tetap seperti kemarin, tiada orang tiada gerakan. Aku memberanikan diri, dari atas pohon aku berteriak panjang, dengan harapan mendapat jawaban dari bawah. Ah betul saja suara kaokan ini berhasil memanggil ke luar seseorang! Jarak antara orang itu dengan aku kira kira sejauh lima enam tombak, yakni di sebuah batu karang yang besar. Batu itu sudah beberapa kali pernah kulihat, di atas batu itu bertumpuk rumput-jumput kering, tidak kira sekali teriak ini membuat rumput rumput kering itu bergerak gerak. Dari dalam tumpukan rumput rumput kering itu keluar sesosok tubuh orang, yang mengenakan baju terbuat dari rumput yang dianyam, kaki tangannya kurus seperti benang, rambutnya riap riapan terjuntai ke tubunnya, sedangkan mukanya demikian pucat tidak berdarah. Aku tak tahu, orangkah atau setan yang tengah kuhadapi ini, sehingga aku takut juga. Kutegasi dengan perasaan mantap gerak gerik darinya itu. Nyatanya matanya dari orang itu sangat sayup sekali, seolah olah tidak melihat sesuatu, tengah aku ingin bertanya apakah ia setan atau manusia, tiba tiba tangan kanannya terangkat memutarkan seutas tambang yang sudah tinggal separuh dan serupa dengan kepunyaanku, sedangkan ujung tambangnya yang lain masih berkaitan yang tinggal separu pula. Orang itu berkata."

Menuturkan sampai di sini, suara Tju Shie Hong menjadi parau dan tak terdengar lagi. Tjiu Piau dan Gwat Hee mengeluarkan sutera kaget yang berbareng:

"Orang itu pasti Siok-siok adanya?"

"Melihat dari romannya, dari tangannya yang memegang tambang, dari suaranya, tak kuragukan lagi beliau adalah ayahku. Djie ko, Sie moy, coba kalian pikir saat itu bagaimana perasaan jiwaku? Aku tak dapat berkata - kata, sekali loncat aku sampai di samping tubuhnya sambil berseru: ayah anakmu datang! Berulang kali aku sebutkan tanpa mendapat jawaban kiranya beliau sudah jatuh pingsan. Kulihat di samping tubuhnya penuh dengan biji buah Siong, kulit kayu, dan akar rumput-rumput. Ah kasihan sekali, sepuluh tahun lebih ayahku melewatkan hari dengan memakan benda benda itu, sehingga tubuhnya tersiksa menjadi lemah dan kurus! Saat itu berdiam diri di sisi tubuhnya menantikan beliau siuman dari pingsannya.

Sesudah beliau sadar, mulutnya tidak henti hentinya menyebut nyebut nama kecil dari ibuku. Kukatakan, bahwa aku sudah datang tapi siapa tahu bahwa kata kataku itu seolah olah tidak di mengerti. Beliau hanya tertawa secara mengenaskan sekali. Kulihat ia terlampau lemah, sehingga kesadaran dan kewarasan dan jiwanya agak terganggu.

Hatiku bukan main pilunya, aku menangis dengan sedih sekali, tidak kira beliau tetap tertawa terus!

Aku tidak berdaya untuk mengangkat beliau naik ke atas. Sesudah aku berpikir agak lama. keputusan sudah kuambil yakni, menantikan dahulu kesehatannya pulih baru mencari daya lain. Selanjutnya setiap hari aku membawa makanan untuk ayahku terkecuali itu akupun membawa kayu ke bawah. Sesudah kupilih tempat yang agak kering,, kudirikan sebuah rumah gubuk yang sangat ssederhana guna tempat tinggal darurat di bawah jurang itu. Setiap malam kalau tidak memburu binatang binatang selalu aku mendampingi ayahku. Sewaktu waktu hasil buruanku agak lumayan, kujual ke kota yang berdekatan, guna membeli beras dan roti serta baju untuk ayahku. Setahun kembali lewat, kesehatan dari ayahku berangsur-angsur menjadi baik, mukanya sudah tidak demikian pucat, tubuhnya tidak kurus lagi, tapi masih tetap seperti orang hilang ingatan, sangat susah untuknya bicara, apa yang dikatakan tidak dapat di mengerti, sewaktu waktu ia menjerit jerit ke atas, adakalanya berteriak teriak dimalam buta memanggil nama ibuku. Kadang kadang beliau duduk termenung menung seharian penuh, agaknya memikiri sesuatu, alhasil renungannya itu diselesaikan dengan helahan napas yang menyedihkan, rupanya apa yang, dipikir itu tidak diingat lagi. Beliau sering sering menatapku setengah harian penuh tanpa berkata-kata, kujelaskan bahwa aku adalah puteranya, yang berhasil mencarinya, agaknya,beliau mengerti juga. senyum kelihatan sangat girang, tapi kata katanya tidak kunjung datang. Djieko, Sie moy coba kalian bayangkan, bagaimana aku dapat melewatkan hari? Kau tabu penghidupan tidak ubahnya seperti makan madu yang manis, tapi pahitnya seperti empedu!"

Tju Shie Hong tidak dapat melanjutkan lagi kata Katanya, kerongkongannya itu seolah olah sudah menjadi kering. Demikian juga Gwat Hee dan Tjiu Piau tidak berkata kata, mereka terbenam dalam kesunyian dan kedukaan yang sangat'hebat sekali. Terharu dan sedih membuat Gwat Hee mengucurkan air matanya.

Sesaat kemudian baru Tjiu Piau dapat membuka mulutnya:

"Sah tee Tju Siok siok masih dalam keadaan sehat, dengan ini kita masih beruntung sekali. Kau tak perlu sedih lagi, hari hari yang penuh penderitaan itu segera akan berakhir. Banyak majukah pikiran dan kewarasan dari Tju Siok siok dalam hari belakangan ini?"

"Dalam tahun ini masih tetap biasa. Hanya satu hal yang sangat mengherankan yakni, sepanjang hari, bulan dan tahun lengannya tidak pernah melepaskan tambangnya itu. Hari-hari belakangan ini kalau pikirannya agak sadar, lengannya itu segera memutar-mutarkan tambangnya itu ke atas, seolah-olah ingin berusaha naik ke atas. Sewaktu-

waktu kugunakan ketika beliau dalam keadaan baikan untuk menanyakan sesuatu hal yang dulu-dulu Beliau berpikir sebentar, selanjutnya pikiran dan daya ingatan menjadi kabur kembali, seolah-olah tiada sesuatu yang diingatnya lagi kejadian yang sudah pernah dialami. Hari hari biasa suka juga beliau bicara tapi apa yang dikatakan tidak ada juntrungannya (tidak mengandung arti). Pernah sekali kalian berkata, ada satu tempat yang luarnya kurang lebih tiga puluh kaki, di dalamnya terdapat beberapa kursi dan meja, dan keadaannya sangat gelap. Yang lain tidak dikatakan lagi. Apa yang dikatakan kiranya seperti tempat ini!" Habis berkata Tju Stie Hong mundar mandir sambil mengawasi sekeiiling, agaknya tempat ini mempunyai sesuatu rahasia yang tersembunyi. Tjiu Piau dan Gwat Hee turut langak longok, tanpa mendapat sesuatu yang dapat dijadikan bahan pengusut. Saat ini Gwat Hee sudah berhenti beringsak ingsak. la berkata dengan suara perlahan:

"Sah ko, Tju Siok-siok pasti mengandalkan ilmunya yang lihay itu. sehingga tidak sampai membuang jiwa di dalam lembah yang gelap itu. Tapi kemungkinan besar mengalami geger otak, sehingga hilang daya ingatnya, kurasa penyakitnya dapat hilang kalau mendapat pengobatan dari seorang yang berilmu tinggi..."

Baru Gwat Hee bicara sampai di sini tiba tiba Tju Sie Hong memutuskannya dengan satu saruan kaget "Dengar! Dengar! Ayahku sudah berteriak teriak kembali !"

Perkataan ini membuat Gwat Hee dan Tjiu Piau menjadi tegang, serentak, keadaan menjadi sunyi, sampai suara napas dari Ong Djie Hai dapat didengar dengan tegas. Saat ini terdengar dari luar goa badai pohon Siong yang sangat keras, gelombang itu susul menyusul hilang terbawa angin, sedikit juga tidak terdengar suara kaokan atau jeritan orang. Hanya Tju Sie Hong seorang yang dapat mendengar suara itu. telinganya itu sudah terlatih dalam banyak tahun sehingga menjadi tajam sekali. Sesudah ia mendengari dengan tenang, ia berkata :

"Ayahku berkaok sebanyak tiga kali dengan nada yang gagah. Aku harus lekas lekas menengoknya!" Tubuhnya segera bangkit lari ke luar.

"Mari kita turut menengoknya!" kata Tjiu Piau. 'Baik,"jawab Gwat Hze. "tapi bagaimana dengan

kakakku! ' sambungnya tergesa gesa. Ong Djie Hai hampir

hampir akan loncat ke luar, tapi dengan kekerasan batinnva perasaan itu dapat dikekang. Hatinya seolah olah bertata "Jangan bergerak, jangan bergerak!"

Saat ini terdengar derap dari sepatu Gwat Hee yang sampai di depan mulut goa; "Koko, kami akan menyambangi dahulu Tju Stok siok sebentar, harap kau jangan kuatir! Hanya sejenak saja, aku segera kembali lagi." Ong Djie Hii mengdongakkan kepalanya, 'pergilah!' mulutnya hampir terbuka, untung kata kata ini tidak jadi ke luar! Buru buru kepalanya ditundukkan lagi, guna menenangkan pikirannya dalam semedi, karena sedetik ini hatinya kembali melakukan perang batin yang hebat sekali.

Jalanan di dalam goa berliku liku, tapi Gwat Hee dan Tjiu Piau sudah mengenalnya tadi, sehingga mereka bisa berlarian dengan cepatnya. Sesampainya di mulut goa, terlihat anak kecil itu masih duduk bersila dengan tekunnya, sekali kali tidak menghiraukan orang orang yang berserabutan lari di depan mukanya. Sesampainya mereka di mulut goa sudah tak menampak pula bayang bayang dari Tju Sie Hong. Gwat Hee segera membentangkan ilmunya yang baru, dengan miring-miring tubuhnya mencelat ke atas pohon, dengan cepat kakinya menotol batang kayu, membuat tubuhnya merapung ke atas tebing dan berdiri dengan tenang di atasnya. Ia menoleh ke bawah sambil berkata: "Tjiu Su ko, lekas naik!" Tjiu Piau tidak sekaligus mencapai atas tebing, ia loncat dulu ke atas pohon Siong, sesudah mengumpulkan Semangat dan tenaganya baru meloncat ke atas tebing.

"Tju Sie ko mungkin turun dari batu besar yang terletak di puncak Thian Tou itu, lekas kita ke sana!" Dengan kecepatan ilmu mengentengkan tubuhnya, mereka dapat memijakkan kakinya di atas batu itu dengan cepat, mereka mendengar suara menderunya dari suara tambang yang berputar putar. Kedua orang itu melongokkan kepalanya kebawah jurang, apa yang dapat dilihat mereka? Sesosok tubuh manusia dengan mengandalkan seutas tambangnya, merosot turun laksana terbang, hanya dalam sekejap mata sudah hilang dari pandangan dan kegelapan jurang itu.

Tanpa terasa Gwat Hee mengucurkan air matanya sambil berkata: ""Tjiu Su-ko cobalah kau bayangkan, bagaimana rasanya hidup di dalam jurang begini selama delapan belas tahun. Hari hari pasti dilakukan seperti di dalam neraka!" Sebaliknya Tjiu Piau mempunyai pikiran lain: "Su-moy coba kau pikir secara mendalam, misalkan tambang dari Tju Siok-siok tidak putus, mana bisa mendapat malapetaka ini. Tapi dengan tambangnya yang sudah tinggal separuh dan kaitannya tinggal sedikit masih dapat menyelamatkan jiwanya dari kematian, sehingga masih dapat hidup di dalam jurang selama belasan tahun, hal ini sungguh tak dapat kupikiri." Gwat Hee mengangguk anggukkan kepalanya tanpa disadari.

Kedua orang ini berdiam di tepian tebing sambil menduga duga kejadian yang lalu dengan asyiknya.

Kiranya kejadian pada tempo yang lalu, yakni begitu Tju Hong tambangnya diputusi tubuhnya segera jatuh ke dalam jurang yang dalam, tapi dengan mengandalkan kepandaiannya yang lihay, ia dapat menyelamatkan dirinya. Waktu itu ujung tambangnya sudah tidak berkaitan lagi.

Dengan sendirinya tidak mungkin dapat mengait pohon. Demikianlah ia melayang dengan cepat beberapa ratus meter dalamnya, ia melihat sebatang pohon Siong tua yang menjorok dari lamping gunung, dengan cepat tambangnya terbang memutari dahan itu dan mengikat dengan kokohnya. Semangatnya terbangun, diawasinya sekeliling, ia mendapatkan dirinya berada terkatung katung jauh dari bumi dan jauh dari langit, sedangkan di kanan kirinya terdapat tebing-tebing yang curam sekali, pokoknya tidak ada daya yang memungkinkan ia naik ke atas kembali. Ia tak dapat berbuat apa apa.

Akhirnya ia mengambil keputusan akan kedasar jurang itu dulu, Sedangkan hal yang lain akan diselesaikan kemudian. Demikianlah ia menerjunkan diri beberapa kali, dan dapat mendekati dasar itu kira- kira tinggal seratus meter. dia mengawasi ke bawah jurang, yang kolong melompong tak ada apa apa lagi. juga tidak ada pohon Siong besar lagi untuk membelitkan tambangnya, tiba di dalam saat ini juga tangannya yang sedang memegang tambang terasa semakin lemas, ditambah dahan kayu yang menahan diiinya itu sudah kering dan tak kuat pula, sedikit demi sedikit mulai oerbunyi "krek--- krek" suara ini sebagai suara kematian! untuk telinga Tju Hong. Sedangkan semangatnya sudah mulai goncang.dan akhirnya ia pingsan, tubuhnya langsung jatuh ke dasar lembah dengan hebatnya. Andaikata dasar jurang ini terdiri dari tanah yang keras, jiwa Tju Hong pasti sudah melayang. Baiknya di bawah ini terjadi dari tanah lumpur dan daun pohon yang sangat tebal, Tju Hong hanya pingsan selama tiga hari tiga malam dan akhirnya siuman kembali. Begitu ia sadar, otaknya sudah tidak wajar lagi, kejadian yang sudah dialaminya menjadi bilang dalam pikirannya. Sejak itulah belasan tahun lamanya ia hidup menderita dengan memakan segala sesuatu yang dapat diketemuinya. Akibat dari itu tubuhnya menjadi rusak dan tidak merupakan manusia lagi dan berubah seperti jejadian saja.

Dasar aja belum sampai akhirnya Tju Hong dapat juga diketemukan oleh anaknya sendiri. Hanya sayang Tju Sie Hong walau pun berkepandaian seperti ayahnya, tapi seorang diri ia tak dapat memondong ayahnya naik ke atas jurang yang ribuan meter tingginya.

Sesudah Tjiu dan Ong melihat lihat ke bawah dan membicarakan pendapat mereka, belum juga terlihat Tju Sie Hong naik kembali. Ong Gwat Hee berkata .

"Lebih baik kita kembali dahulu ke dalam goa. Toa ko akan merampungkan pelajarannya pada waktu senja kita harus baik baik menjaganya. Terkecuali itu kita harus istirahat, karena hari sudah siang." Demikianlah kedua orang itu menurut jalan yang semula kembali ke dalam goa,sesudah masing-masing mencari tempat yang baik mereka lantas tidur. Biar bagaimana Gwat Hee memeramkan matanya, tetap tidak bisa tidur, dipanggilnya Tjiu Piau yang nyatanya belum juga tidur.

"Tjiu Su ko. coba kau katakan bagaimana caranya dapat menolong Tju Siok-siok naik ke atas?"

"Aku tak dapat memikiri sesuatu daya."

"Aku mempunyai suatu pendapat, tapi belum tentu dapat dijalankan."

"Akal apa? Lekaslah kau katakan. Pokoknya asal masih ada daya biar bagaimana juga kita harus usahakan."

"Begini kita cari dan tebang sebatang pohon yang besar, kemudian kita palangkan di antara tebing yang curam itu, hal ini dapat dilakukan karena jarak antara dua tebing itu tidak beberapa jauh. Di atas batang itu kita taruhkan sebuah kerekan, dari atas kita gantungkan sebuah keranjang yang besar, agar Tju Siok-siok bisa duduk di dalamnya, kemudian dengan tenaga bersama kita kerek naik ke atas."

"Akal ini cukup bagus kenapa kau kata belum tentu dapat dijalankan?"

"Kau pikir, dari mana kita dapat memperoleh tambang yang demikian panjang? TerKecuali itu tambang harus kuat agar tak putus di tengah jalan."

Tjiu Piau berpikir, bahwa kata-kata itu benar adanya Sesudah menarik napas kesal, ia berkata:

"Tambang yang baik dapat kita usahakan, coba kau pikir urat rusa cukup kuat, bukan? Ah dari mana dapat kita cari urat rusa yang demikian banyak? Mungkin ribuan dari urat rusa belum tentu cukup untuk memenuhi lembah yang dalamnya luar biasa itu."

Kedua orang ini saling sahutan, membicarakan hal menolong Tju Hong. Tak kira kata-kata dari mereka itu terdengar oleh Ong Djie Hai, sehingga membangkit kekesalannya pula. Sidangkan ilmu yang tengah dipelajarinya memerlukan sekali ketenangan yang luar biasa, perhatiannya harus dicurahkan untuk mengatur dua jalan pernapasan Im dan Yang. Kini otaknya tak dapai tertahan lagi terpecah memikiri daya untuk menolong Tju Hong. "Akal apakah yang dapat menolong Tju Siok-siok?" pikirnya.

Tak heran begitu pikirannya bercabang, perjalanan dua napas ini menjadi kendur, kalau tidak tertahan lagi, akibatnya aliran dua napas ini tidak dapat dikendalikan lagi dan segera berhenti, kalau sampai hal ini terjadi sama juga pelajaran ini menjadi batal, sehingga yang dipelajaii gagal, bahkan pelajaran yang sudah dimilikipun akan menjadi musnah. Setakar tenaga Dji Hai berusaha untuk menghilangkan pikiran guna menolong Tju Stok sioknya. tapi biar bagaimana juga tak dapat dihilangkannya. Hal ini lebih berat dari pada waktu ia mendengar penuturan Tju Sie Hong tadi. Pikirannya semakin kacau sehingga tubuhnya terasa seperti dililit oleh ribuan ular berbisa, tanpa dapat dibebaskan. Ia bertahan dengan ketekunannya sejam lebih tanpa hasil dan merasakan tidak kuat pula untuk bertahan terlebih lama kini sekujur badannya terasa Sesuatu perasaan aneh. nanti panas, nanti bersemangat dan ingin meloncat-loncat serta menjerit-jerit. Kemudian merasakan lelah dan letih yang melewati batas, jalan napasnya itu seolah olah akan hilang, agaknya sudah akan mati saja.

Tanpa terasa lagi perasaan-perasaan itu menggoncangkan jiwanya, ia hampir pingsan agaknya. Pada saat inilah teringat ia akan ayahnya, teringat pesan ibunya sewaktu akan meninggalkannya ke tanah baQa, "anakku, biar gunung Himalaya akan menggencat dadamu, kau harus membalas dendam dari ayahmu!" B3gitu pikiran ini datang, segala susah kekacauan pikirannya itu sedikit sedikit menjadi hilang. Dengan payah ia menenangkan pikirannya selama beberapa jam. baru terasa sesuatu di dalam tubuhnya menjadi normal kembali. Dalam ketenangannya ini kembali telinganya mendengar sesuatu suara yang aneh sekali. Suara apakah ini? Bukan derak dari kaki orang, bukan suara telapak binatang buas. sewaktu waktu seperti bergeraknya kipas sewaktu waktu seperti angin badai yang besar, sehingga menimbulkan angin di dalam goa. Angin ini membawa bebauan yang amis sekali, sewaktu ia mengendus ini hatinya ingin sekali melihatnya, ia berpikir: "ke mana perginya Tjiu Piaudan Gwat Hee?"

Ia menenangkan pikirannya sehingga dapat mendengar suara pernapasan dari kedua orang itu, agaknya mereka sudah terlalu letih sekali, sesudah mengobrol sebentar, masing masing segera terbenam dalam alunan malam. Ia jadi gelisah, hatinya berpikir: "Kalau musuh datang, bagaimana baiknya?"

Ia menyesal, "Kalau tahu begini, pasti ilmu ini tidak kupelajari kini kalau terjadi perubahan, aku tak dapat berbuat apa apa. kalau bergerak segala ilmuku akan habis!" Tiba tiba benda yang bau amis itu berkesiur di depan mukanya dan bergelapakan dua kali Ia sadar dan tahu benda itu adalah garuda! Hatinya menjadi kuatir sekali dan tak tenteram! Tiba tiba sekali, ia merasa sesuatu benda hinggap di atas tubuhnya, kekagetannya bukan alang kepalang ia menahan napas dan tidak bergerak sedikit juga. Terasa benda ini mpunyai kuku yang tajam sekali dan mengait dengan keras di atas kepalanya. Benda apa lagi kalau bukan kuku garuda! ia sadar biar mempunyai kepandaian yang lihay dan dapat dengan sekati tepak untuk mematikan garuda itu. Tapi tak mungkin dapat menghindarkan diri dari kematian.

Menghadapi kegawatan yang luar biasa ini, ia dapat menenangkan dirinya dengan baik. Ia tetap duduk tak bergerak, sehingga merupakan arca, sehingga tidak dipatok oleh paruh garuda yang tajam. Begitu hatinya tenang napas Im dan Yang menjadi bergerak dengan baik secara otomatis, kelihatannya dari luar ia duduk seperti pilar tak bergerak-gerak, tapi pergerakan napas di dalam itu berjalan dengan sempurna. Ia merasakan ilmunya ini hampir selesai, hatinya menjadi girang, sehingga melupakan diri berada dalam bahaya. Ketenangan ini berlalu hanya sebentar telinganya kembali mendengar sesuatu suara lain, yakni suara menggelapaknya dari seekor burung kecil yang masuk ke dalam goa. Burung itu beterbangan berputar putar di dalam goa. Ia berpikir: "Tepat sekali kedatangan burung itu, sehingga bisa memancing garuda ini pergi ke luar." Tapi garuda itu tetap saja tak bergerak gerak. Tiba- tiba mendatang suara halus dari seorang anak perempuan. "Tempat yang baik, tempat yang indah." berulang kali disebutkannya. Suara ini cukup dikenalnya dan ia ingat suara ini bukan suara siapa-siapa terkecuali Lu Tjen Tjen adanya. Diam diam hatinya menyebut celaka, kegelisahannya melewati batas ia tak tahu gadis nakal itu bisa datang ke sini, yang mengherankan lagi ia tak mendengar suara napasnya. mungkinkah dalam jangka pendek Tjen Tjen dapat mempelajari ilmu yang luar biasa lihaynya?

Sekuat tenaga ia menenangkan pikiran dan memusatkan pendengarnya untuk mengetahui di mana Tjen Tjen berada. Sekian lama ia memasang telinga dengan cuma cuma, ia kuatir dan takut Tjen Tjen menurunkan tangan jahat kepada Tjiu Piau dan adiknya Sampai disaat ini kembali ia berpikir. 'Biar seluruh ilmu kepandaianku menjadi musnah, aku harus berteriak sekuat tenaga untuk membanguni mereka guna bersiap."

Pikirannya sudah tetap, baru saja ia akan berteriak dan membuka matanya, tiba tiba ia ingat pada burung garuda di atas kepalanya. Burung burung ini pasti kepunyaan Tjen Tjen. ia pernah melihatnya. Kalau ia bergerak, burung ini pasti mencakarnya, mungkinkah masih dapat hidup?

Memikir sampai di sini. ia menjadi ragu-ragu.

Saat ini seluruh darah di dalam tubuhnya menjadi panas, segala pikirannya serentak berkecamuk di dalam otaknya. Tapi otaknya dapat tenang juga akhirnya, ia berpikir: "Biar bagaimana jadinya mati luka berat kek, aku harus membangunkan mereka, jangan sampai sekaligus menderita rugi !" Segala keraguannya menjadi hilang, dikumpulkan semua semangatnya, guna mendengari di mana beradanya Tjen Tjen dan sekaligus akan menyerangnya !

Saat ini kembali terdengar suara Tjen Tieu dengan kata yang sama: "Tempat yang indah, tempat ymg baik." Yang mengherankan sekali, suara ini bergema dari atas kepalanya, mungkinkah anak itu sudah mati dan menjadi setan penasaran yang datang mengganggu? Dalam bingung dan keanehan yang dialami ini. membuatnya tidak dapat memastikan kejadian ini apakah benar benar atau hanya impian saja. Dalam saat yang sangat kritis ini. tepian telinganya mendengar seruan kaget dari Gwat Hee : "Tjiu Su-ko, Tjiu Su-ko!"

Begitu Tjiu Piau bangun, segera ia meloncat berdiri mereka itu menjadi kaget demi dilihatnya seekor garuda yang sangat besar hinggap di ataskepnla kakaknya. di atas garuda,, terdapat pula seekor burung kakak tua Burung ini tidak nenti hentinya berkata: '"Tempat yang indah, tempat yang baik!" Suaranya itu persik seperti suara Tjen- Tjen.

"Wah celaka, dua ekor burung ini adalah kawan bermain Tjen Tjen, kenapa mereka dapat datang ke sini?" kata Tjiu Piau.

"Mungkin .jahanam - jahanam semuanya datang ke sini?" tanya Gwat Hee.

"Jangan gelisah! Yang terutama kita harus berusaha untuk memancing pergi burung garuda itu. kalau diantap terus besar bahayanya untuk Toa-ko." Habis berkata Gwat Hee mencabut pedangnya dari dalam selangkah sedangkan Tjiu Piau segera menyiapkan batu batunya. Mereka mengeluarkan bunyi bunyi dari berbagai binatang untuk menghalau garuda itu, burung itu sangat pintar, didengarinya suara suara itu sedangkan tubuhnya tetap diam tak bergerak-gerak. Hanya burung kakak tua itu saja yang beterbangan dengan bersuara: 'Singguh indah, tempat yang baik!"

Gwat Hee mendapat akal, dibisikinya Tjiu Piau: "Kita tangkap burung kecil ini dahulu!"

Mereka mengikuti burung ini dari bawah, dinantikannya burung itu terbang rendah, serentak empat lengan terjulur menangkapnya. Sekali ini terpancinglah amarah dari garuda itu, sesudah mengeluarkan bunyi yang keras, . segera ia datang menubruk.

Biar bagaimana lihay burung garuda itu, tapi untuk melawan kepandaian orang, hanya impian belaka. Begitu ia menubruk datang, Gwat Hee sudah mencelat mendekati sang kakak, pedangnya terhunus dengan waspada menjaga dan melindungi kakaknya. Tjiu Piau bergulingan ke luar goa sambil memegang terus burung kakak tua itu, garuda itu membuntuti terus dari belakang dan sering sering menyerangnya tanpa mendapat hasil, sehingga amarahnya semakin besar, ia dikejar terus. Begitu burung itu hampir dekat dengan lengannya, lengannya segera melepas batu batu. sehingga terjangan hebat dari garuda itu dapat tertahan. Kira kira hampir sampai di mulut goa. dilepasnya burung kakak tua itu yang di pegang, burung itu terbang sambil berkata. "Tempat yang indah, tempat yang baik!" Garuda itupun terbang ke luar mengikuti burung kaitak tua. Dengan kecepatan luar biasa burung burung itu dalam waktu sekejap hilang dari dalam pandangan. Tjiu Piau mengerti goa itu sangat sempit, sehingga burung itu tidak dapat terbang dengan leluasa, bilamana tidak mana bisa dirinya dengan mudah menghindarkan serangan yang maha hebat dari paruh garuda itu. Saat ini goa itu telah menjadi agak terang entah sudah jam berapa sekarang ini, buru buru Tjiu Piau masuk ke dalam untut menemukan dua saudara Ong. tampak Gwat Hee dengan tekun menjaga Djie Hai, kaiau-kalau burung itu datang kembali. Begitu ia melihat Tjiu Piau kembali tak kurang apa apa hatinya menjadi lapang. Ia menunjuk kepala kakaknya sambil berkata; "Kau lihat, kuku garuda itu membuat beberapa tapak kuKu yang nvata sekali, bukan 'main berbahayanya!" Begitu Tjiu Piau mengawasi, benar saja di atas kepala Djie Hai terdapat tanda dari kuku garuda yang dalam, garuda itu tidak menggunakan tenaga, kalau tidak bukankah kepala itu bisa remuk dibuatnya.

"Sungguh bahaya, garuda itu merupakan lawan Keras dari kita!" kata Tjiu Piau.

"Kini yang ditakutkan ia pergi drn kembali pula membawa Tjen Tjen, kalau Louw Eng sekali datang ini bisa celaka "

Tjiu Piau menganggap perkataan Gwat Hee masuk di akal. segera ia berkata.

"Sekarang sebaiknya di belokan terakhir dari goa ini kita sumbat dengan batu. andaikata mereka datang, tidak dapat dengan segera menemukannya, kalau burung itu datang tidak bisa terbang masuk paling-paling di luar."

"Sungguh suatu pendapat yang manis!" puji Gwat Hee.

Dengan cepat kedua orang itu menyingsingkan lengan bajunya, untuk memindah mindahkan baiu. Dalam waktu sekejap belokan dari liang goa yang terakhir tersebut sudah disumbat dengan baik. dengan sengaja dibuatnya beberapa liang kecil untuk melihat ke luar. ke satu untuk mengawasi gerak gerik musuh, kedua takut Tju Sie Hong datang kembali dan tak dapat menemukan mereka. Sesudah selesai mereka duduk istirahat, pada saat ini baru mereka merasakan perutnya keroncongan dan lapar. Dibukanya ransum kering yang dibawanya dari rumah, dengan rakusnya makanan iiu digayangnya dengan napsu sekali.

Ong Djie Hai dengan tenang melanjutkan lagi pelajarannya, hatinya menjadi tenang sebab mengetahui di samping tubuhnya ada yang menjaga. Perlahan lahan di dalam tubuhnya ada sesuatu perasaan yang tak dapat disebutkan namanya 'Si perut, nadi dan sepir sepir dengan seenak hatinya dapat digerakkan ke mana mana tak ubahnya seperti dapat menggerakkan kaki dan tangan.

Sedang dua aliran napas positif dan negatif berjalan dengan seiring, tidak seperti api dan air lagi yang demikian berlawanan, sampai pada saat ini semangatnya terasa semakin penuh, sehingga Djie Hai merasa girang dan syukur.

Tidak lama kemudian terdengar derak sepatu yang membisingkan kepala, Tjiu Piau mengintai dari celah celah batu, dengan kaget digapaikannya Gwat Hse: "Kau lihat siapa itu?" Begitu Gwat Hee melihat, di luar dugaannya sekali, dengan nada halus ia berkata. "Louw Eug! Ah benar benar Louw Eng yang datang!"

Mendengar ini, hampir-hampir Ong Djie Hai mencelat bangun!

Tak salah dugaan seludah burung itu keluar dari goa segera kembali lagi membawa majikannva. Dengan cara berbisik Gwat Hee berkata. "Mungkin bukan ia sendiri, kita harus hati bati dan jangan bersuara " Tjiu Piau mengangguk tanda mengerti. Tampak oleh mereka Louw Eng tengah langak longok di dalam goa, dengan wajah penuh curiga.

Tak lama kemudian ia membalik badan dan berlalu. Mendengar derak sepatu yang semakin jauh ini, membuat mereka menarik napas lega.

Siapa tahu baru mereka merasa tenang kembali terdengar derak sepatu yang ringan, menyusul terdengar suara sayap garuda yang bergela pakan. Tampak oleh mereka di belakang burung itu terdapat majikannya.

Burung itu melihat liang goa sudah berubah, segera berterbangan berputar-putar. Dalam waktu sekejap garuda itu agaknya sudah mengerti, dengan dahsyat ia menyerang ke nada batu batu yang didirikan Tjiu Piau dan Gwat Hee. Sedangkan burung kakak tua itu tidak henti hentinya berkata. "Tempat indah, tempat baik." Tjiu Piau menjadi gelisah, dengan geram ia berkata perlahan. "Dua binatang yang laknat, lihatlah akan kukirim jiwamu ke akherat dengan batu batu ini!"

Sungguh tajam perasaan Tjen Tjen, begitu melihat keadaan sudah dapat menyelami delapan bagian. Walaupun ia datang mendekat serentak dipegang-pegangnya batu- batu itu, ia segera mengerti dan berseru ke luar dengan keras. "Ayah, lekas datang, mereka ada di sini!" Ia hanya dapat berteriak sekali saja, kemudian merasakan seluruh tubuhnya menjadi kaku den tak dapat bergerak. Kiranya begitu tubuhnya berputar ke arah luar, tepat sekali membelakangi lawannya, Gwat Hee menjulurkan lengannya dari liang batu dengan tepat menotoknya, sebenarnya Tjen Tjen berkepandaian tidak terlalu lemah, tapi dalam keadaan tak siap sedia kena di bokong secara mudah sekali.

"Seret jangan tubuhnya?" kata Tjiu Piau.

"Tak mungkin, sebab harus membongkar dahulu batu batu ini."

Mereka tengah berunding, sedangkan dari luar sudah terdengar derak yang berat dari musuh, mereka mengintai ke luar sambil menahan napas.

Louw Enp menjadi kaget, demi dilihatnya sang puteri terlentang tanpa dapat bergerak, ia mercelat mundur ke. belakang dinyalakannva bahan pembakar, sehingga Tjiu Piau dan Gwat Hee dapat dilihatnya dengan tegas. Mukanya perlahan lahan menunjukkan perubahan, matanya mulai mengedip-ngedip. sedangkan alisnya dikernyutkan. sehingga satu dengan lain menjadi nempel dan bersambungan, tepian bibirnya terbuka mengeluarkai gigi yang kuning sebesar besar kampak, dari dalam kerongkongannya mengeluarkan bunyi, "heee heee" dua kali. ia dapat dikatakan ia tertawa juga. Tertawa licik yang penuh kejahatan ini dapat dilihat dengan tegas dari sela sela batu, mereka bukan main muaknya menyaksikan gaya dan lagunya itu; lebih lebih suara tertawanya yang hanya dua kali "hehe" ini membuat mereka merasakan sesuatu menjadi tak wajar. Dengan gagah berani ia maju ke muka untuk membebaskan totokan anaknya. Tjen Tjen segera berkata:

'Di dalam ada orang! Jangan tergesa gesa, mari kita ke luar, aku mempunyai akal untuk membuat mereka terus mengeram di dalam goa ini !"

Dalam waktu yang pendek, pemuda-pemudi ini. tidak dapat menangkap maksud lawan. Djie Hai mencium asap api ia sadar musuh menyerang mereka secara keji, kegelisahannya sampai di puncak maunya, tanpa sedikit bimbang, ia mencelat bangun sambil menbentak : "Louw Eng kau jangan kabur!" kedua lengannya segera mendorong batu batu yang dibuat saudara saudaranya. Bahana guruh yang memekakkan telinga terdengar, demi kena digempurnya tembok itu. Gempuran ini bukan saja menghancurkan batu batu itu. bahkan menggugurkan pula dinding- dinding goa. sehingga batu dan debu beterbangan dalam goa mengejutkan orang. Jangan katakan orang lain. ia sendiri tidak akan mengira kepandaiannya demikian ampuh. Tapi gempuran ini sia sia belaka karena lawan lawan itu sudah' pergi ke tikungan lain.

Ketika itu pula Louw Eng mengangkat obor di tangannya tinggi tinggi, sehingga ia dapat melihat dengan tegas Ong Djie Hai. Ong Gwat Hee. Tjiu Piau tiga orang, hal ini membuatnya menjadi kaget, ia tak tahu siapakah diantara tiga orang ini yang mempunyai ilmu yang mengejutkan itu. Kelima orang ini saling pandang memandang tanpa berkata kata. Ong Djie Hai berdiri di tengah tengah dengan sikap gagah, matanya mencerong, ia berkata: "Kiranya kau belum mati?"

"Kebenaran sekali kita bertemu di tempat yang sempit ini, kalian tengah berbuat apa di sini? Kenapa kalian mengumpat seperti kurcaci tak bernyali waktu kami datang?" tanya Louw Eng sambil tertawa mengejek.

"kami sangat mencintai Oey San ini, dari itu kami datang ke sini untuk berkumpul. Sebaliknya aku ingin bertanya kepadamu: kenapa kau mengikuti perjalanan kami ke sini? Hatimu tentu mempunyai rencana busuk untuk mencelakakan kami, bukankah begitu?" tanya Ong Djie Hai.

Louw Eng tak mau berkata kata lagi, pertanyaan itu pura pura tidak didengar, ia mengawasi keadaan sekeliling, kemudian ia beikata kepada sang anak. "Tjen djie bawalah burung burung ke luar jaga mulut goa itu, satu juga jangan dikasih melolosi diri!" Habis bicara ia maju selangkah- selangkah dengan jumawa. Menggunakan kesempatan lawan bicara. Djie Hai membisiki adiknya dengan tergesa gesa: "Moy tju, aku sudah tak berguna lagi. kepandaian yang kumiliki kini sudah musnah sama sekali, sebaiknya kita mempergunakan akal untuk menghadapi mereka. Kau dan Tjiu Piau tee harus bersatu padu untuk berusaha menerjang ke luar!" Gwat Hee mengertakkan giginya sambil memandang wajah kakaknya, ia tak mengerti apa yang dimaksud, tapi keadaan sudah demikian mendesak dan tak bisa bertanya pula. Louw Eng maju lagi selangkah sedangkan wajahnya masih tetap dihiasi senyuman iblisnya. Nampak ia akan menerjang' Ong Djie Hai mendahului membentak. "Sabar! Kau ingin mengadu kepandaian apa?" sambil mundur setindak. Ia tahu ilmunya yang dahsyat tadi itu tak mungkin kembali pula, kalau terang terang bertarung dengan lawan, jeriji keliling dari musuh saja tak mungkin kena ditangkisnya. Ia ingin mengeluarkan kembangnya ilmu silat saja, karena ilmunya sudah musnah tersebab batalnya merampungkan Im Yang Kang. Pokoknya ia sendiri tidak takut mati, asal saja adik-adiknya dapat melepaskan diri. Louw Eng sudau mengambil keputusan mutlak untuk membinasakan mereka di dalam goa yang sepi ini, tanpa meninggalkan bekas dan diketahui orang, hal ini sungguh sesuai sekali dengan permintaannya. Secepat kilat tubuhnya mencelat tinggi dan turun menerkam Kepada Djie Hai.

Jurusnya ini sangat lihay sekali, gerakan gerakan lincah dan sukar diketahui lawan akan perubahannya. Ke mana lawan berkelit ke arah itu ia menubruk, tubrukan ini disertai dengan kedua belah kaki dan tangan sekaligus memasukkan lawan, inilah ilmu terli-hay yang dimilikinya. Andai kata Ong Djie Hai tidak kehilangan .ilmunya yang dahulu, belum tentu pula dapat menghindarkan serangan ini,,apalagi sekarang? Begitu ia melihat Louw Eng mencelat, ia segera membungkukkan badan, kepalanya menghadap kepada bumi, tubuhnya melingkar menjadi bulat, dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari tubrukan musuh itu. Walaupun ilmunya sudah musnah tapi masih tetap lincah sekali pusingan ini dilakukan dengan baik sekali. Louw Eng setaKar tenaga menubruk ke bawah, dengan hasil nol besar. Dua lawan ini masing-masing berpikir di dalam hatinya, yang satu berpikir. "Bisnisnya aku dapat dengan cepat menghindarkan serangan maut itu. kalau tidak? Pasti hancur kepalaku!" Sedangkan yang lain berpikir: "Terang terang lengan kananku dipat menjangkau pundaknya, tapi kenapa bisa diegosnya demikian mengherankan?

Mungkinkah mataku salah lihat?"

Louw Eng membalik badan sambil berdiri dengan tenang, diawasinya keadaan sekeliling dengan penuh perhatian. Apa yang terlihat hanya anaknya suja dengan garuda menjaga di depan pintu. Sebaliknya Ong Djie Hai merapat dirinya kepada saudara saudaranya, ia berbisik : "Kutitahkan kalian lekas pergi, kenapa masih tetap diam saja?" Louw Eng mendengari dengan acuh tak acuh pembicaraan, tapi ia terkejut mendengar suara yang diucapkan dengan serampangan itu seperti juga suatu tenaga yang maha dahsyat, mengiang-ngiang dalam pendengaran. Bukan main kagetnya sehabis mendengar ini, ia sadar kelihayan dan kedalaman ilmu bocah ini sudah setaraf dengan ilmunya. Ia tak berani lagi sembarangan menyerang, hanya matanya saja menatap wajah mereka dengan dingin.

Gwat Hee menjawab perkataan kakaknya: "Kak tak perlu kau takut, dengan tenaga kita bertiga pasti dapat mengalahkan elang (Eng dari nama Louw Eng berarti Elang hitam) jahat ini?"

"Apakah kau tidak mendengar dengan tegas, bahwa ilmuku sudah..." kata-katanya baru sampai di sini. segera diputuskan. "Walaupun ilmumu sudah sampai taraf yang luar biasa, kami tetap tidak mengijinkan kau menghadapi mereka seorang diri! Kalau mau mari kita menerjang bersama." kata Gwat Hee dengan salah mengerti. Habis berkata ia menyeret nyeret lengan kakaknya; "Mari kita ke luar!"
Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol merah dibawah ini :)

Posting Komentar