Pahlawan Harapan Jilid 03

Jilid 03

Tjik Piau turun dengan cepat, Louw Eng merapati tubuhnya dengan cepat pula. Tangannya hampir dapat mencengkeram tengkuk Tjiu Piau. Tjiu Piau dengan cepat mengeluarkan ilmu Wo Liong Toh Tju (naga rebah menyemburkan mustika) tubuhnya berbaring, tangannya melepaskan enam butir batu menghajar bayang bayang hitam yang akan menerkam itu.

Ilmu Louw Ecg itu bernama Ngo Eng Pu Tjiok (Elang lapar memburu pipit) sekali kali jarang mengalami kegagalan. Tak terkira tak terpikir, bisa menerkam angin. Lebih - lebih kagetnya dalam keadaan dengan butiran butiran batu. Tubuhnya yang masih berada di uiara tak dapat megegos hanya dapat dimiringkan. Dengan jalan ini tiga butir batu dapat dihindarkan ke samping. Tangannya berhasil menangkap dua butir, sebutir lagi tepat mengenai tangan kanannya. Sedikit rasa nyeri dinikmatinya. Hal ini membuat Louw Eng kaget sekali, la diam terpaku sambil mengusap-usap lengannya yang kena batu itu. Louw Eng merasakan sesuatu yang gaib. Kejadian delapan belas tahun di Oey San seperti terulang kembali dalamkelopat matanya. Bedanya tahun dulu lengannya kena Bwee Hoa Tok Tju, kini hanya kena batu kecil. Tapi yang lainnya semua serupa semata-mata. Ilmu senjata ranasia ini, gerak dan jurusnya satu persatu serupa belaka. Pemuda ini tak diragukan lagi pasti puteranya Tjiu Tjian Kin. Orang yang delapan belas tahun dicari-cari, kini berada di depan mata! Louw Eng sudah tahu harus bagaimana berbuat. Dari itu ia tersenyum, senyuman yang misterius ini membuat orang merasa tak keruan rasa!

Tjiu Piau berdiri bengong, tak mengira sama sekali, bahwa serangannya dapat mengenai seorang lawan yang demikian targguh.

Diam diam tangannya sudah siap menantikan segala kemungkinan dengan Bwee Hoa Tok Tjunya. Hatinya menjadi besar atas hasilnya tadi Sehingga keraguannya hilang sebagian besar. Pikirnya, bahwa ia masih dapat mengadu jiwa dengan jago kelas wahid!"

Senyum Louw Eng masih belum pudar, ia berkata. "Tjit djie." (keponakan) katanya, "kau adalah keponakan dari Tjiu Tjian Kin, dari itu dengan sendirinya menjadi keponakanku juga. Kau tahu delapan belas tahun lamanya aku ingin bertemu muka dengan putera dari kakak Tjiu Tjian Kin. Kini baru bertemu denganmu saja hatimu sudah merasa girang sekali. Tit djie biar bagaimana kau harus berdiam di sini untuk beberapa hari lamanya, sekedar untuk melepaskan kerinduanku kepada kakakku almarhum. Dari itu kau jangan merasa asing lagi berdiam di sini. Kau akan mendapat perlakuan seperti anakku sendiri." Louw Eng berkata kata disertai gerak gerik yang penuh kecintaan. Saat ini matanya membayangkan sinar welas asih dari seorang itu. Hal ini membuat Tjiu Piau menjadi terbaru. Tak terasa lagi kakinya melangkah setindak setindak, tiba tiba ia menubruk ke dalam rangkulan Louw Eug sambil berseru : "Siok siok"

Dalam sekejap mata, pemuda yang sedari kecil kehilangan akan kasih ayahnya ini merasakan kehangatan waktu mendengar perkataan Louw Eng. Dalam hayalnya itu sang pemuda menganggap Louw Eng adalah orang yang terdekat dari ayahnya. Air matanya membanjir di kedua kelopak matanya dan mengalir membasahi kedua pipinya Tak tertahan lagi akan kesedihannya, ia berseduh sedan sepuas puasnya.

"Apakah kau Tjiu Piau Tit djie yang selalu menjadi buah pikiranku siang danmalam?" tanya Louw Eug lemah lembut.

"Siok siok memang benar aku adalah Tjiu Piau," jawab Tjiu PiaU sambil mendongakkan kepalanya memandang Loung Eng. Ahhhhb sebuah senyum iblis memenuhi ruang matanya. Tjiu Piau seperti tersadar dari impian manis!

Tubuhnya seperti diguyur air dingin! Perlahan lahan lengannya melepaskan Louw Eng, kakinya mundur beberapa langkah Keadaan menjadi hening dan sunyi, pasangan-pasangan mata berputar dengan tak wajar. Mereka menantikan jawab. Untuk menghilangkan suasana yang janggal ini. "Hei kawan!'* suara mendatang memecahkan kesunyian, "jagalah diri baik baik! Lain waktu kita berjumpa pula." Suara itu datang dari tumpukan batu batu aneh berbentuk orang. Tjiu Piau buru buru menoleh ke arah suara datang. Pada waktu inilah matanya melihat dua benda putih melayang datang. Tjiu Piau menangkap senjata rahasia itu dengan kedua tangannya.

Louw Eng melihat ke angkasa yang luas sambil berkata: "Surya sudah menunjukkan diri, siapa yang bersedia masuk ke dalam untuk mengundang beberapa kawan itu?"

"Tumpukan batu batu ini demikian gaibnya, meski sudah terang tanah, tapi tak boleh sembarangan masuk. Kalau kalau diserang musuh secara menggelap. Cukup kita jaga dari luar saja. Di mana ada gerakan di situ kita rintangi dengan cara ini jangan kuatir mereka dapat melarikan diri!" kata salah satu dari Mau San Djie Hoo.

Louw Eng menggangukkan kepala membenarkan. Pek Hoo dan Hek Hoo menjelat naik di batu tinggi yang berdekatan dengan tubuhnya. Matanya celingukan ke dalam batu, gerak-geriknya tak ubahnya seperti rase yang jahat.

Tjiu Piau mengambil dan memegang senjata rahasia yang bersinar putih itu, benda itu demikian lemas. Kiranya tak lain tak bukan adalah dua sobekan kain. Benda itu dipegangi terus sedari tadian. Kini baru dapat dilihatnya, waktu orang-orang Louw Eng sibuk dengan orang-orang yang berada di dalam tumpukan batu. Waktu dibuka kain itu berhuruf yang mengejutkan Tjiu Piau bukan alang kepalang. Dua carikan Kain itu bertulisan: "Tamu menanti malam Tiong Tjiu bulan delapan." "Peristiwa Oey San membawa dendam bagi lautan." Huruf-huruf itu merah warnanya sebab ditulis pakai darah.

Tjiu Piau berpikir: "Dua Sie-seng itu Pasti putera dan puteri Ong Pee-bo. Toa Sie-seng pasti yang disebut A Pang semasa kecilnya. Siauw Sie-seng seharusnya anak perempuan, kenapa menyampai anak laki-laki?" Bukankah ia menyamar? Berpikir sampai di situ Tjiu Pilu bukan main napsunya untuk segera mendapatkan kedua saudara Ong itu. Pikirnya, ia akan saling berpelukan dan menangis sepuas - puasnya!" Di samping itu bersama sama merundingkan hal membalas dendam dan sakit hati. Ia menyesali dirinya yang demikian bodoh ! Kenapa ia tak menyadari sedikit juga, bahwa dua orang itu adalah saudara-saudara dari keluarga Ong. Untuk mencarinya kini sukar sekali. Demikianlah ia berpikir atas dirinya sendiri.

Sementara itu Louw Eng dan kawan-kawan masih tetap mengurung batu-batu aneh itu untuk menjaga ke luarnya Toa Sie seng, Siauw Sie seng dan orang tua itu. Misalkan diketemukan pasti terjadi perkelahian yang hebat. Tapi dapat dipastikan pihak orang tua itu akan menderita rugi, sebab jumlahnya sedikit. Tjiu Piau sangat kuatir atas keselamatan ketiga orang itu. Hatinya sudah mengambil ketetapan, bila mana ketiga orang itu tertangkap, Bwee Hoa Tok Tju pasti akan mengamuk untuk membantu mereka !!!

Tunggu punya tunggu matahari sudah jauh tinggi. Batu batu yang gaib itu hilang kegaibannya di bawah sinar surya yang panas itu. Sehingga keadaan di dalam dapat dilihat dengan tegas. Tapi orang yang dinantikan itu tidak kelihatan mata hidungnya. Djie Hoo meloncat turun.

"Tumpukan batu batu itu menjorok sampai ke kaki gunung, sudah dapat dilihat dengan tegas! Tapi sungguh aneh bayangan kedua orang itu tak kelihatan Sedangkan gerakan gerakan juga tidak teriihat sama sekali! Apakah di dalam tumpukan batu batu itu terdapat jalan di dalam tanah?''

Mendengar ini parasnya Louw Eng agak kaku, tubuhnya meloncat ke atas bata sambil mengawasi sekeliling.

Kemudian melompat turun dan jalan pulang. Orang-orang mengikuti dari belakang. Semua kembali ke Ban Liu Tjung. Tjen Tjen tidak segera berlalu, tapi ia naik sebentar ke atas batu, kemudian berlari lari menyusul yang lain.

Di tengah jalan Tjea Tjen mengnampiri Tjiu Piau. Ia berbisik: "Aku mengetahui bagaimana mereka meloloskan diri. tapi semenetara waktu tak dapat aku menerangkan kepadamu!" Baru Tjiu Piau ingin bicara. Suara Louw Eng sudah mendahului

"Saudara-saudara harap datang lagi di Ban Liu-Tjung.

Aku masih mempunyai beberapa hal yang masih per!u dirundingkan dan minta petunjuk petunjuk dari saudara- saudara."

Ramai ramai orang kembali ke Ban Liu Tjung, semua berkumpul di ruangan tamu. Sesudah semua duduk dengan teratur. Louw Eng mulai membuka suaranya lagi.

"Kejadian hari ini sudah disaksikan saudara-saudara sendiri. Yakni Ban Liu Tjung mempunyai jalan di dalam tanah, yang dapat berhubungan ke luar. Sedangkan mulut goa ini t'dak jauh letaknya dari tumpukan-tumpukan batu batu aneh. Pada siang hari batu batu itu kelihatannya biasa saja. Sebaliknya batu batu itu menjadi tempat persembunyian yang baik di kala malam. Malam tadi kedapatan orang di dalam goa. Ini semata mata bukan karena orang orang itu salah jalan dan masuk ke sana!

Orang orang itu menjadi seteru kita yang berbahaya. Orang orang itu pasti mempunyai bagian dalam pertemuan Tiong Tjiu di bukit Oey San. Karena demikian kita harus terlebih waspada!"

"Mau San Hek Hoo berkata: "Menurut hematku, orang itu sudah lama dan sering masuk ke dalam terowongan itu untuk mencuri dengar rahasia kita. Hari ini kalau bukan Tjen Tjen mendahului masuk ke dalam, pasti mereka menyusup dan mendengari rahasia penting kita. Dapat dikatakan kita masih mujur, bahwa mereka belum mengetahui sesuatu apa yang kita percakapkan." Louw Eng mengangguk anggukkan kepalanya mendengar keterangan Hek Hoo itu.

Tiang Bin Kau Tam Tjiu Liong, biasanya sangat pendiam tak banyak berkata kata, kinipun mengeluarkan pendapat.

"Mengenai Liong Hong Siang Kiam Kek (kedua pendekar pedang Naga dan Merak) yang demikian berani menyatroni istana dan meninggalkan surat, ini membuktikan bahwa mereka bukan orang yang sembarangan! Mungkin mereka sudah menghimpuni orang orangnya untuk menyelidiki kita, Tiga orang yang masuk ke dalam tumpukan batu batu, bukan lain dari pada penyelidik dan sepion mereka."

Louw Eng manggut-manggut mendengar ini seraya berkata. "Ban Liu Thun sebenarnya kita pergunakan untuk menyelidiki gerakan gerakan orang orang Kang ouw Siapa kira sebaliknya kita yang kena di selidiki musuh!" kata kata ini memerahkan selebar muka Ouw Yu Thian. Louw Eng mengawasi kesemua, mendadak ia berdiri dan berkata lagi ; "Terhadap hal ini masih adakah pendapat pendapat yang berharga dari saudara saudara?"

"Kami mempercayai dan menyerahkan semuanya kepada Toako!" jawab mereka serentak.

Suasana menjadi hening seketika, sedikit suarapun tidak ada. Louw Eng melanjutkan lagi perkataannya:/'Rapat rahasia diOey San tinggal beberapa bulan lagi. Sebenarnya masih ada waktu untuk berpikir guna menghadapinya. Tapi dengan adanya kejadian kemarin malam. Nyata dan tak perlu di sangsikan lagi, pengacau pengacau itu sudah bertekad untuk mengadu kekuatan dengan kita. Kita harus ingat, semenjak tentara Tjeng kita masuk ke wilayah Tiong Goau. Orang orang gagah dari dunia Kang ouw sudah dua puluh tahun lamanya tidak mengunjukkan diri. Andaikata pengacau pengacau itu berserikat dengan mereka. Hal ini harus dipikirkan secara mendalam. Tak usah dikatakan lagi saudara saudara yang berada di sini adalah orang orang gagah kelas utama. Tapi untuk merebut kemenangan secara meyakinkan, yang rendah berniat mengundang seorang berilmu yang luar biasa."

Sebenarnya kepandaian Louw Eng sudah sampai di batas sempurna. Biasanya menganggap dirinya yang terpandai, sehingga dimatanya tak ada yang dipandang. Tapi kini mengeluarkan pernyataan yang demikian. Membuat para hadirin merasa heran bercampur cemas. Mereka sadar pertemuan Oey San kali ini hebat adanya. Musuh musuh pasti terdiri dari orang orang berilmu tinggi.

Tong Leng berpikir di dalam hati: "Terhadap bocahnya saja aku agak kewalahan, apalagi kelak?" Menikir sampai di sini hatinya menjadi deg degan. Louw Eng berkata pula: ''Ban Liu Tjung tidak berjauhan dengan Oey San, cocok untuk kita berkumpul. Bocah tadi sungguh tak kenal mati, keberanian datang memenyelidiki kita. Dari itu kita harus memburu mereka. Untuk membalikkan keadaan kita di pihak menyerang. Untuk membereskan hal ini kuserahkan pada saudara Ouw."

"Legakan hati Tjako, hal ini dapat kami lakukan dengan sempurna," sahut Ouw Yu Thian dengan penuh keyakinan.

"Jangan memudahkan sesuatu hal dengan begitu saja!" kata Louw Eng memperingati. "'Saudara-saudara mungkin agak heran melihat keadaanku hari ini. Menang dalam hal ini aku terlalu hati-hati! Inikah yang mengherankan? Hal ini tidak dapat kujelaskan sekarang. Tunggulah pada saatnya! Yang perlu saudara saudara ketahui ialah, tersebarnya jaring jaring sepion musuh untuk menyelidiki kita.

Dari itu cucu kura-kura itu harus pula kira awasi. Kendati demikian saudara saudara tidak perlu kuatir, sebab kemenangan pasti di tangan kita. Dalam beberapa bulan ini aku akan mengadakan perjalanan ke Kwan Tong guna mengundang Hek Liong Lo Kway (Naga hitam yang gaib) untuk membantu kita. Bukankah dengan cara ini kemenangan pasti terjamin secara mutlak?" Kata-katanya habis ditutup dengan suara tertawa yang aneh.

Orang banyak menjadi heran lagi. Mereka masing masing berpikir: "Mungkinkah Hek Liong Lo Kway masih hidup?"

Mendengar kata-kata Louw Eng, seolah-olah hubungannya dengan Hek Liong Lo Kway erat adanya. Tapi hal ini belum pernah didengar dan diketahui orang.

Perundingan selesai keputusan sudah diambil.Yakni bagaimana menyelidiki lawan, bagaimana mengundang kawan, semuanya sudah diatur dengan baik untuk menghadapi pertemuan Oey San.

Tjiu Piau yang berdiri di samping, hatinya merasa cemas.

Keringat dingin membasahi sekujur badannya. Berbagai pertanyaan timbul dalam hatinya: Di Oey San kelak akan terjadi pertempuran dahsyat yang bagaimana? Siapakah Liong Hong Siang Kiam Kek itu? Kenapa dua pendekar itu memberi tahu rapat Oey San ini kepada raja? Apakah rapat Oey San yang dimaksud mereka adalah rapat Oey San yang akan dihadirinya sendiri? Atau rapat lain lagi? Tapi yang pasti rapat Oey San kali ini akan menerangkan dan memberi jawaban tentang kematian ayahnya secara terang.

Sementara itu para hadirin sudah meninggalkan tempatnya masing masing, Tjiu liau pun bangkit berlalu. Sebelum itu Lauw Eng sudah membuka mulut. "Tjiu Tit djie, harap jangan berlalu dulu." Tjiu Pau merasa kaget, entah apa yang menyebabkan Louw Eng menahannya. Sesudah Louw Eng mengantar para tamu segera merapatkan daun pintu. Dihampirinya Tjiu Piau, dijabat tangannya dengan erat. Sedangkan air mata buayanya menggenangi kedua kelopak matanya.

"Tit djie, delapan belas tabun lamanya aku mencari dan merindukan kau siang dan malam. Banyak kata kata memenuhi dadaku, baiklah nanti perlahan lahan kita bicarakan. Sebaliknya adakah sesuatu pertanyaan dalam hatimu? Silahkan kau bertanya sekaranng."

Mendapat kesempatan ini Tjiu Piau jadi berpikir. "Sesuatu pertanyaan yang menyesak dada, kiranya sudah tiba waktunya kuketahui," Diberanikan dirinya ujcuk bertanya. "Louw Siok siok, dapatkah kau ceritakan perihal kematian ayahku dengan sejujur jujurnya?"

Louw Eng sudah menduga bakal mendapat pertanyaan ini. Tanpa berkata kata digulung lengan baju kanannya. Di situ tertera dengan tegas setangkai bunga bwee. Inilah peninggalan Bwee Hoa Tok Tju keluarga Tjiu. Tjiu Piau tidak mengerti maksud Louw Eng, Akhirnya Louw Eng merunjuk tanda itu sambil berkata. "Inilah tanda peninggalan dari Tok Tju, tentu kau kenal bukan?" suara mi demikian halus di ucapkannya, sedikitpuu tak mengandung nada kebencian.

Tjiu Piau menganggukkan kepalanya. "Yah, Tit dje kenal."

"Racun dari Tok Tju Keluarga Tjiu, tak ada duanya di dunia ini. Barang siapa terkena, hanya keluarga Tjiulah yang dapat menolong dengan obat pemunah buatan mereka. Tapi kalau sejam kemudian sesudah terkena, obat keluarga Tjiupun tak ada gunanya. Betulkah demikian?"

Mendengar ini Tjiu Piau manggut lagi. Di samping itu hatinya kembali berpikir. "Louw Eng kena racun tapi tidak mati, tentu seketika juga mendapat obat penawarnya. Obat pemunah itu hanya berada pada ayah dan hanya ayah pula yang mengetahui cara menggunakannya. Louw Eng mendapat kesembuhan pasti mendapat pertolongan dari ayah. Kalau demikian jadinya, sampai matinya ayah masih menmpunyai hubungan yang baik dengan Louw Eng. Dari segi ini dapat dipastikan pembunuhan dari ayah adalah orang lain!" memikir sampai di sini hatinya menjadi panas. Ia berhasrat mengetahui pembunuhan ayahnya dengan cepat.Di balik itu kau karena ia seorang yang berhati polos.

Apa yang terkandung dalam pikirannya, semua digambari dalam wajahnya dengan terang. Dari wajah curiga sampai ke percaya dari percaya menjadi gusar, semua perubahan ini nyata dan tegas. Louw Eng melihat perubahan ini dengan tenang. Sebab kata-kata dari Louw Eng di atas itu bermaksud untuk menarik kepercayaan Tjiu Piau semata-mata. Sebelum Tjiu Piau membuka mulut Lou Eng sudah melanjutkan lagi kata katanya: 'Delapan belas tahun berselang, kami berempat memenuhi permintaan Wan Tie No untuk menghadiri rapat Oey San. Hal ini tentu kau sudah ketahui. Sesudah rapat berjalan, kami sadar bahwa diri kami ini sudah masuk perangkap tipu keji Wan Tie No. Tak banyak cerita lagi pertarungan terjadi ketika itu juga. Tak kira Wan Tie No demikian lihay. Kekuatan bergabung dari kimi berempat hanva dapat mengimbangi kekuatan Wan Tie No seorang. Pertarungan bei jalan dengan hebatnya, tiba-tiba ayahmu terpeleset jatuh, menggunakan kesempatan ini Wan Tie No mengirimkan pukulan beSinya!"

"Aiihh!" seru Tjiu Piau tanpa terasa.

Louw Eng melanjutkan lagi kaca-katanya: "Dengan nekad dan tak menghiraukan nyawaku lagi, kutubruk punggung Win Tie No, demi keselamatan dari ayahmu. Entah bagaimana mendadak Wan Tie No meloncat menjauhi diri? Tidak tahunya ayah mu sambil merebahKan diri melepaskan Tok Tju, aku tak dapat menghindarkan diri lagi. lengan kananku tak ampun lagi kena dilukai Tok Tju."

Louw Eng berhenti sebentar untuk menyeka air matanya, "kalau kuingat kejadian ini hatiku merasa sedih dan hampa. Ayahmu melihat aku roboh lekas lekas membanguni aku serta memberikan obat penawar racun dan menitahkan aku harus bagaimana memakainya. Karena sedikit ini, Wan Tie No berkesempatan pula untuk mengirimkan pukulan mautnya secepat kilat pada ayahmu. Ah pukulannya itu demikian ganas, ayahmu terpental sejauh dua tumbak dan tergelincir ke dalam jurang." Bicara sampai di sini Louw Eng menarik napas sambil mengelah. "Duhhh, apa gunanya hidup di dunia dengan kehilangan saudara yang kucinta"

Kata kata ini membuat Tjiu Piau mengeluarkan air matanya secara deras. "Tak nyana pembunuh dari mendiang ayahku kiranya benar benar Wan Tie No adanya," pikir hatinya. Mulutnya sudah hampir bergerak untuk bicara Tiba tiba sekali dari luar terdengar tertawa dingin. "Louw Eng lidahmu sungguh beracun!"

Suara ini datang dari atas pohon. Louw Eng mengenjot tubuhnya mencelat bagai alap alap menerjang wuwungan rumah. Krakkkk atap rumah hancur menjadi sebuah liang. Cepat sekali Louw Eng sudah berdiri tegak di atas genteng.

Tjiu Piau meloncat melalui liang itu. Sementara itu pohon liu di paviliun timur turun naik bagai ombak. Di ujung ranting tampak dua tubuh orang. Mereka terdiri dari seorang anak laki - laki dan seorang anak gadis. Usia mereka lebih kurang tujuh-delapan belas tahun. Mereka berpakaian yang singset dan pas. Caranya berpakaian ini bukan main gagahnya. Yang laki laki beralis kereng, bermata seperii macan, berapi-api penuh semangat. Yang gadis serupa benar dengan raut wajah yang laki laki. Hanya gerak-geriknya lebih ayu, Begitu Tjiu Piau melihat mereka, hatinya tergerak, ia berkata di dalam hati: "Kalau pemandangan indah mempunyai sukma, pasti sukma itu masuk di tubuh mereka. Gagahnya cantiknya, manisnya, segalanya, berkumpul menjadi satu di tubuh mereka."

Louw Eng lebih terkejut lagi. Dalam matanya kedua muda mudi ini mempunyai paras welas asih yang sudah dikenal betul, entah di mana rasanya pernah bertemu. Yang lebih mengherankan, ranting - ranting pohon liu ini demikian halusnya. Tapi kedua bocah yang masih ingusan ini, mempunyai ilmu mengentengkan tubuh yang demikian mengagumkan. Mereka dapat berdiri dengan seenaknya di ranting yang kecil itu. Kepandaian ini dapat dikatakan sudah sampai di batas yang sukar diselami. Angin bertiup datang pohon pohon itu bergerak gerak, mereka dengan anteng mengiKut alunan dahan dahan itu turun naik tanpa bergerak gerak!

Tanpa berkata kata lagi Louw Eng menghunus pedang.

Kedua tangannya masing-masing memegang sebilah. Kedua pedang mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Pada pedang itu tertera ukiran burung hong dan naga. Tjiu Pau menjadi terkesiap hati nya melihat pedang pedang ini.

orang mengenal kepandaian Louw Eng sudah jarang tandingan. Orang orang Kang Ouw sangat menyeganinya. Biasanya untuk menghadapi lawan jarang sekali menggunakan senjata. Tapi hari ini begitu ketemu dua orang budak ini, entah bagaimana hatinya. Mungkin dikarenakan gentar? Lebih lebih ia menghunus pedang untuk menghadapi bocah bocah! Hal ini sebelumnya belum pernah terjadi Kedua anak muda itu, begitu melihat Louw Eng menghunus pedang. Matanya tak henti hentinya mengawasi pedang itu sambil berbisik bisik. Ketawa dingin ke luar dari mulut pemuda itu: "Louw Eng kau jangan kuatir, hari ini kami kakak beradik tak mau berkelahi denganmu, ingat saja hutangmu pada kami, pada suatu hari harus kau lunaskan. Sebenarnya hutangmu pada kami sudah terlampau banyak, pedang Liong dan Hong yang kau pegang itupun harus dibayar kembali kepada kami, tapi tidak sekarang. Yang penting hari ini dengarlah sepatah kataku. Jangan mendustakan orang, jangan terlampau banyak membuat kejahatan!"

Habis bicara matanya melirik pada Tjiu Piau. "Kawan yang baik, jangan sembarangan percaya pada mulut orang. Kau harus dapat berpikir secara mendalam, untuk mem bedakan mana kawan mana lawan. Semoga kau dapat berlaku terlebih hati-hati Untuk hari hari yang akan datang."

Louw Eng tidak menantikan orang bicara habis, tubuhnya sudah melesat seperti anak panah. Masuk ke bawah pohon. Sinar pedang berkelebatan bulak balik, tujuh delapan cabang liu berbareng putus menjadi dua. Menyusul suara ambruk dahan dahan itu susul menyusul jatuh di bumi.

Kedua muda mudi itupun mengikuti cabang liu turun hinggap di bumi tanpa kurang sesuatu apa. Sinar pedang berkelebatan lagi sambil membawa angin yang menderu- deru, cepatnya seperti kilat menyerang dua anak muda itu. Kedua orang itu hanya mengegos egoskan badannya, tanpa menderita luka. Juga tidak melawan. Pemuda itu berkata lagi dengan dingin: "Louw Eng kami tidak mau melawan hari ini, tunggulah nanti. Atas ini kami minta maaf dan mohon pamit!"

Dua orang itu dengan sebelah tangan memegang cabang liu, sesudah itu dengan berbareng membal ke atas.

Sesampai di atas pohon mereka melompat lompat dengan cepat dalam sekejap mata segera hilang dalam pandangan mata!

Lou Eng berdiri di tanah dengan gemas sambil berpikir: "Kedua pemuda itu pasti, adalah orang yang menyatroni istana. Aku menjelma menjadi enghiong (orang gagah) mana mau dipermaini mereka. Biarlah dalam Pertemuan di Oey San nanti akan kutangkap mereka hidup hidup untuk melampiaskan kedongkolanku hari ini!"

Kegaduhan ini membuat orang orarg Ban Liu Tjung budal semua. Tapi mereka datang kesiangan karena Liong Hong Siang Kiam Kek siang siang sudah menghilang. Apa yang terlihat mereka hanya cabang cabang pohon liu bertumpukan di samping tubuh Louw Eng. Melihat lagi pada cabang cabang liu yang halus bergoyang-goyang ditiup angin, mereka tak menduga ada orang bisa hinggap di atasnya. Tak sadar lagi mereka saling pandang memandang pada kawan kawannya dengan penuh pertanyaan.

Walaupun terjadi demikian, paras Louw Eng sedikitpun tidak berubah. Akan hatinya siapa yang tahu? Dalam suasana gaduh dan ribut, tentu saja Tjen Tjen tak mau ketinggalan "Ada apa, ada apa," tanyanya pada Tjiu Piau.

Tjiu Piau tengah dilandai berbagai soal, mana mau menghiraukan dia Tjeu Tjen menjadi uring-uringan. "Ayo bilang, ayoo... bilang, bilang tidak! Awas yah kalau nanti baru kau beritahu, sepatahpun aku tak sudi mendengarnya!" Tanpa menunggu jawaban ia lari ke luar.

"Tjen Tjen ke mari kau!" panggil Louw Eng.

Tjen Tjen merandek, tanpa menoleh lagi ia menjawab: "Ada apa ayah?"

"Tjen Djie, ayahmu lama tak mengajak kamu bermain main. Sebenarnya ayah niat mengajakmu main main di tempat yang indah dan permai Berjalan jalan di tempat keramaian untuk membeli mainan. Makan-makan di rumah makan. Coba kau katakan baik tidak?'' Tjen Tjen kegirangan, kontan balik badan menubruk ayahnya. "Ayah, betulkah ayah?"

''Pasti benar benar tapi kini ayah masih sibuk dan belum bisa menemani kau."

Tjen Tjen hatinya mencelos, harapan muluknya menjadi buyar seketika. "Eummm, tuh dibohongi lagi, ayah gitu sih."

Low Eng bergelak gelak tertawa. "Lau Bok, lihat lagak muridmu!"

Peng San Hek Pauw Bok Tiat Djiu pun tertawa: "Kau lihat anakmu, dari pagi menggerecok saja. Sampai hari siang masih belum mengasih hormatnya kepada yang menjadi guru!" Kedua orang lantas tertawa bergelak-gelak.

Tjen Tjen sedari kecil sslalu dimanja-manja. Kini ia masih mangkel dan sedih atas janji palsu dari ayahnya. Ia diam sambil ngedumel terus. Orang orang ada yang ikut ikutan tertawa. Ada yang berpikir di dalam hati: "Bapaknya gelo, pasti anaknya sableng!"

Louw Eag sengaja membuat suasana menjadi gembira, semata mata untuk menghilangkan perasaan cemas dan tegang para tamunya. Sesudah itu ia baru berkata: "Tjen djie, ayahmu ingin mengurus sesuatu hal yang maha penting, dari itu tak lama lagi akan meninggalkan Ban Liu Tjung. Karena ini kau harus memperlakukan tamu istimewa ini secara memuaskan. Temanilah dia bermain main, agar hatinya tak merasa kesal, dapatkah kau lakukan?"

Tjen Tjen tahu ayahnya menyuruhnya menemani Tjiu Piau. karena ini hatinya dongkol kembali. Dimonyongkan mulutnya. "Tamu macam apa? Istimewa segala!"

"Ke mari, ini adalah saudaramu Tjiu Piau! Ia adalah anak dari saudara angkat ayah yang bernama Tjiu Tjian Kin, yakni yang sering sering kukemuKakan dan sebut sebut di depanmu. Tak lain tak bukan dari Tjiu Piau adanya. Mulai hari ini kau harus berkumpul, sama sama bermain dan berlatih silat! Kau harus bersungguh-sungguh memanggil Piau Koko!"

Mendengar ini orang banyak menjadi girang. Yang dicari cari kini di depan mata. Didapat tanpa banyak membuang tenaga. Lebih lebih Ouw Yu Thian girang nya bukan main. "Toako, kiranya pemuda ini Tit djie Tjiu Piau. Berapa lama dicari cari kini berada di depan mata, hal ini sungguh menggirangkan. Untuk ini kita harus mengadakan malam gembira untuk bersuka ria bersama sama!" kata Ouw Yu Thian. Louw Eng tentu saja melulusi dan setuju.

Pada malam harinya Ban Liu Tjung menjadi ramai sekali, tapi hal ini tidak perlu banyak diceritakan.

Semenjak itu orang orang di Ban Liu Tjung bersungguh sungguh memperlakukan Tjiu Piau dengan hangat.

Sampaipun Tong Leng yang pernah merasakan batunyapun, memperlakukannya secara mesra. Hal ini membuat Tjiu Piau menjadi syukur dan senang. Beruntun beberapa hari Louw Eng sering sering mencarinya untuk mengobrol, Tjiu Piau takut ditanyai kenapa delapan belas tahun yang lalu keluarganya melarikan diri dimalam buta? Juga takut ditanyai keadaan sekarang Tapi sungguh heran Louw Eug tak pernah menyinggurg nyinggung hal ini.

Hari ketiga Louw Eng berangkat pergi. Jago jago yang berkumpul di Ban Liu Tjung pun satu demi satu berangkat pergi ke tempatnya masing masing. Akhirnya tinggal enam Kauw dan para pelayannya saja. Sebelum pergi Louw Eng memesan pada Tjen Tjen agar ia menemani Tjiu Piau baik baik, setengah bulan kemudian baru ia kembali lagi Sebaliknya Tjiu Piau tidak menampik untuk tinggal sedikit lama di Ban Liu Tjung sebab pertemuan Oey San masih agak lama. Apalagi memikir pembunuh ayahnya sudah meninggal, apalagi yang akan dibalasnya.

Satu dua hari kembali berlalu tanpa meninggalkan bekas.

Pada suatu hari sehabis bermain main Tjiu Piau merasa lelah sekali, ia beristirahat dimalam sunyi dengan tenang. Malam itu bulan tak menampakkan diri. Di cakrawala hanya terdapat ribuan bintang yang berkelap kelip dengan adem. Sambil memandang pada bintang bintang itu Tjiu Piau berpikir: "Bintang bintang ini demikian banyaknya, membingungkan saja untuk dihitung. Aku Tjiu Piau ingin mencari saudara saudara dari keluarga Ong dan Tju, tak ubahnya bagai ingin mencari beberapa bintang kecil tanpa nama di antara lautan bintang. Entah kapan baru dapat bersua. Ah sayang hari itu aku menyia-nyiakan ketika, waktu berjumpa dengan dua saudara Ong. Dapatkah kiranya aku bertemu dengan mereka sebelum malam Tong Tjiu? Waktu berpikir sampai di sini, mendadak sekali dari luar terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Satu dengan tindakan berat, satu dengan langkah ringan agaknya orang orang itu terdiri dari dua orang.

Tjiu Piau buru buru bangun mencelat dari tempat duduknya. Pikirnya penjagaan di Ban Liu Tjjng demikian keras, kenapa dengan mudah kena dimasuki orang.

Jangan - jangan ada jago - jago datang menyelidiki lagi? Lilin segera dikebut padam. Perlahan lahan ia ke luar pintu. Terlihat dua bayangan orang, satu besar satu kecil. Dengan lincah mereka masuk ke kebun liu. Dilihat dari bentuk badannya. Siapa lagi kalau bukan saudara saudara dari keluarga Ong. Tjiu Piau bergembira sekali Orang itupun sampai ditembok luar. Kedua orang itu berbareng melompati tembok. Tjiu Piau mengikuti jejak mereka.

Sesudah berada di luar masih tetap tak terdengar gerakan apa apa dari dalam, hal ini membuat Tjiu Piau menarik napas lega. Tjiu Piau mengikuti kedua orang di depannya itu dengan jarak yang terrentu. Kira kira sudah satu dua lie dilewati, jalan selanjutnya sudah dikenal Tjiu Piau. Tak lain ialah jalanan menuju ke tumpukan di mana terdapat batu batu aneh. Yang besar berkata, perlahan pada Tjiu Piau: "Mari kita bicara di dalam." Sesudah berkata tubuhnya, langsung masuk ke dalam tumpukan batu-batu. Tjiu Piau mengikuti terus.

Di luar tahu ketiga orang ini. bayangan seseorang mengikuti jejak mereka dari tadian, Orang ini gerakannya sangat lincah dan gesit. Tapi agaknya acuh tak, acuh kelihatannya. Siapakah dia? Oh bukan lain dari Tjen Tjen adanya. Malam ini ia tengah bermain dengan kakak tuanya. Tiba,tiba dilihatnya bayangan Tjiu Piau berkelebat lari ke luar. Ia gemar bermain - main segera, diikutinya dari belakang.

Jalanan di Ban Liu Tjung sudah dikenalnya dengan baik. Diri itu ketiga orang itu tak merasa dirinya dibuntuti sedari siang siang Tambahan berkat tubuhnya yang ringan dan lincah.

Dia melihat ketiga orang memasuki batu-batu itu. Ia sadar orang orang itu sudah mengambil kedudukan baik. Yakni mereka dapat melihat ke luar tanpa dapat dilihat orang dari luar.

Kiranya batu aneh ini, berantakan dan jadi sendiri. Tapi sebenarnya teratur dengan rapi dan merupakan satu Tin, Memang kalau dilihat sepintas lalu berserakan dan kalang- kabut. Cobalah perhatikan dengan cermat dari utara ke selatan, atau dari selatan ke utara. Terdapat dua baris batu menjadi garis lurus yang saling menutupi. Kalau dari dua baris batu ini berjalan kita dapat mengandalkan bentuknya ini untuk bersembunyi.sehingga tidak diketahui orang. Tak heran waktu dua Sie seng dan orang tua itu dapat meninggalkan tempat ini tanpa meninggalkan bekas. Hal ini Waktu itu juga sudah diketahui Tjen Tjen. Kemudian Tjen Tjen datang seorang diri untuk mempelajari terlebih jauh. Sehingga keadaan batu batu itu dikenalnya dengan matang. Kini Tjen Tjen berpikir "Kebenaran sekali waktunya untuk aku mencoba kegaiban dari batu batu ini." Dari itu ia berputar ke utara dan dari sana perlahan, lahan masuk ke dalam.

Baru saja ia masuk bebe.apa tindak. Terdengar suara orang bercakap cakap, seorang berkata perlahan-lahan. "Peristiwa Oey San membawa dendam bagai lautan".

Mendengar ini Tjen Tjen buru buru bersembunyi, untuk mendengarkan terlebih lanjut apa yang akan dipercakapkan mereka.

Terdengar Tjiu Piau menjawab: "Delapan belas tahun hidup menanggung perasaan." Suara ini bernada gemetar. "Ong Toako, Ong Moy-tju kalian bersembunyi di mana?

Kenapa tidak mau ke luar"

"Tjiu Heng teekah?" tanya orang itu.

"Benar, Siau tee bernama Piau. Mendiang ayahku adalah Tjiu Tjian Kin." Sesaat kemudian baru terdengar pula orang itu berkata, suaranya tetap perlahan. "Tjiji Heng tee kita harus hati hati dari itu lebih baik kita bicara dengan cara ini." Tjiu Piau pikir beralasan. "Ong Toako Siau tee sangat merindukan kalian, mengenai Tju Heng-tee apa ada kabarnya?"

"Hal ini baru mau dilanjutkan kepadamu."

Tjiu Piau mercelos mendengar ini. "Habis bagaimana?

Moga-moga saja bisa bertemu dan berkumpul di Oey San." "Yah, semoga demikian hendaknya."

"Ong Toako kini kalian tinggal di mana? Bagaimana keadaan Pee-bo? Bertahun-tahun ibuku merindukannya!"

"Semua dalam keadaan sehat, ibukupun selalu mengenang kalian. Entah di mana Siok bo kini berada?"

"Ibuku tinggal di Thian Bok San. Melewatkan hari depan memetik daun obut-obatan."

Mendengar sampai di sini Tjen Tjen merasakan kenal suara orang yang bicara dengan Tjiu Piau Sesudah diingat- ingat terpikirlah bahwa orang ini adalah Pek Sek Sie seng (Pelajar seratus lidah) yang bernama Ie Kim Wan. Binatang ini kenapa datang ke sini untuk menipu orang? Hampir hampir Tjen Tien tertawa atas' penipuan ini.

Ie Kim Wan mempunyai kepandaian yang melebihi orang lain dalam hal memutar lidah. Yakni ia dapat meniru suara segala macam burung, ternak dan binatang liar Hal ini dapat ditiru asal ia sudah mendengar suara iru. Lebih-lebih suara orang tak peduli perempuan atau laki laki dapat ditirunya dengan baik sekali. Pagi itu, ketika dua kakak beradik berkelahi dengan sengit dengan orang-orangnya Louw Eng, Ie Kim Wan berada di dekat liang goa.

Percakapan antara kakak beradik itu didengarnya dan kini ditirunya untuk menipu Tjiu Piau. Tambahan ia bertubuh besar serupa benar dengan Ong Toa Sie seng. Entah dari mana ia mendapat pembantu yang bertubuh kecil dan serupa dengan tubuh Ong Siau Sie seng. Sehingga mereka dapat menyamar demikian sempurna. Tjiu Piau tidak sadar dirinya kena disengkilit orang. Demi untuk tidak diketahui Tjiu Piau mereka mengajak bicara dengan terpisah. Ilmu lidahnya demikian lihay tidak urung kena diketahui Tjen Tjen yang cerdik.

Makin mendegar Tjen Tjen makin geli dan ingin tertawa. Sebaliknya Tjiu Piau kian bicara kian serius, sehingga Tjen Tjen mules dibuatnya, Beberapa kali ia riat ke luar untuk membuka kedok orang. Tapi ia balik pikir. Biarlah dahulu, dengari saja si Bocah Tolol itu akan mengeluarkan kata kata apa lagi.

Pek Sek seng bertanya pula: "Tjiu Hian tee, kapan kau mau ke Oey San?"

"Sebenarnya aku mau terlebih pagi sedikit. Guna mencari daya guna bertemu dengan Tjiu Piau. Tapi," orang itu agak terkejut. "Bukan malam Tong Tjiu tapi sebelumnya bukan?"

"Toako kenapa lupa? Sebelum Tiong Tjiu adalah untuk kita berempat berkumpul. Malam Tiong Tjiu menantikan orang yang memberikan sajak itu." _"Oh yah aku lupa." "Toako ini kenapa bohelo betul!" pikir Tjiu Piau di dalam hati. Sebelum percakapan mereka berlangsung pula.

Mendadak terdengar suara gemuruh menggelunggung bagai gunung runtuh. Eutah bagaimana beberapa batu baru besar berjatuhan roboh. Pecahan pecahan batu beterbangan.

Sesosok bayangan manusia muncul dengan tiba tiba. Kedua tangannya mulai bergerak gerak memindahkan batu batu. Membuat satu lirgkaran batu yang menyerupai sebuah penjara kecil. Orang ini meloncat ke atas batu. menatap ke bawah seperti harimau lapar. Perubahan ini terjadi dalam sekejap mata sampat orang tak sempat berjaga. Tapi Tjiu Piau tidak terkurung di pembuian kecil itu.

Baju orang itu bergeleberan disampok angin.

Dandanannya sangat keren tak ubahnya seperti anak sekolah. Siapa lagi kalau bukan Ong Toa Sie seng? Tjiu Piau kegirangan, ia melompat menghampiri. "Toako,aku di sini!"

"Tjiu Heng tee apa yang kau katakan barusan sudah kudengar semua. Tapi orang yang bicara dengannu bukanlah aku!"

"Habis siapa?"

Ong Toa Sie seng menunjukkan jarinya ke bawah. "Tuh lihat!"

Dua saudara Ong sejak mengetahui bahwa pemuda itu Tjiu Piau adanya, segera memberikan kata kata dari sajak itu. Mulai dari malam itu, siang malam mereka mencari daya guna bertemu dengan Tjiu Piau. Tapi akalnya kandas dalam penjagaan pagar manusia Ban Liu Tjung.

Malam ini mereka kembali datang berkeliaran di luar kampung untuk menyelidiki keadaan. Pada waktu inilah secara kebetulan dilihatnya dua bayangan terbang!

Menyusul terlihat lagi dua bayangan lagi, satu didepan satu di belakang. Dua bayangan yang ke belakangan ini salah satunya adalah Tjiu Piau. Kedua saudara Ong tanpa membuang waktu membuntuti mereka dari belakang.

Mereka melihat bayang bayang itu masuk ke dalam Tumpukan batu. Dua kakak beradik-pun masuk ke dalam tumpukan batu batu aneh. Waktu inilah mereka mendengar Je Kim Wan memalsukan dirinya dan menipu Tjiu Piau.

Gusarnya tidak tertahan. Dia diam dua saudara memberi tanda. Sang adik mengawasi Tjen Tjen. Sang kakak segera ke luar sambil mengeluarkan ilmu Tiu San Tjiang (pukulan menggempur gunung) mengatur batu batu menjadikan sebuah buaian kecil mengurung dua penipu itu.

Dua orang itu kaget mengalami perubahan yang tiba tiba. Dilihatnya musuh sudah berdiri dengan baik di tempat yang menguntungkan. Dua orang inipun tak merasa gentar.Masing masing menghunus senjatanya.

Senjata Ie Kim Wan adalah sebatang pipa vang lebih panjang setengah kali lebih dari pada seruling. Di atas pipa terdapat banyak liang besar dan kecil yang tidak serupa.

Entah apa runanya belum dapat diketahui. Yang menyamar sebagai Siau Sie seng bersenjatakan sebilah pedang.

Pedang itu lain dan pedang biasa, karena di ujungnya bulat mengkilap seperti mutiara. Kiranya orang itu adalah salah seorang Tjit Kauw yang bergelar Tiat Diiau Kauw (Kauw berkuku besi) bernama Hoo Pun. Seorang yang terkenal sebagai ahli totok. Ujung pedang yang bulat itu khusus digunakan untuk menotok.

Dua orang ini siang siang sudah mempunyai rencana untuk menghadapi dua saudara Ong. Yakni mengambil sesaat turun tangan terlebih dahulu. Sehingga tak memperdulikan lagi aturan Kang Ouw yang tidak memperbolehkan tingkatan tuan mencabut senjata terlebih dahulu. Sebaliknya Ong Toa Sie seng mempunyai perhitungan sendiri pula. Yakni ingin sekali gebrak mengalahkan orang.

Ong Toa Sie seng segera mengeluarkan ilmu Hong Gwa Lian Tjiang (ilmu bukit berantai) yang lihay. Mulutnya berseru panjang, tubuhnya merupakan bayangan hitam menyergap dari atas menindih datang. Kedua tangannya membuat lingkaran besar berputar-putar. Jurus ini dinamai Kie Hong Hui Lay ( puncak gaib terbang mendatang ).

Dalam lingkungan dua lingkaran yang dibuat mengeluarkan angin yang menderu deru dengan dahsyat, tak ubahnya seperti puncak gunung runtuh dengan bahana gemuruh gugur ke bawah !

Si Lidah Seratus tertawa panjang, pipa besinya digigit di mulut, tubuhnya berkelit kesamping, menghindarkan diri dari serangan maut ini. Menyusul tangannya bergerak mengeluarkan jotosan keras ke daju Ong Toa Sie seng.

Berbareng dengan jotosan mengiringi semacam suatu gemuruh yang aneh seperti setan jejeritan. Suara ini menusuk pendengaran dan membuat kacau pikiran si pendengar.

Sebenarnya Ong Toa Sie-seng akan mengirimkan kelanjutan dari ilmunya yang bernama Hong Gwa U Hong (di luar bukit terdipat bukit) dengan sepenuh tenaga. Tak kira Pek Sek Sie seng mengeluarkan bunyi aneh itu, sehingga perhatian dari Ong Toa Sie seng agak kacau.

Lekas lekas serangannya dibatalkan untuk memusatkan kembali pikirannya. Pek Sek Sie-seng tidak berhenti sampai di sini tangan kanannya menyerang dengan jurus Torg Tju Tui Tjuang (kacung buka jendela) ke sebelah kiri tubuh Ong Toa Sie-seng. Waktu mengeluarkan tangan sekalian mengebas, sehingga pipa besi yang berada di mulut pindah ke tangan dipakai menghantam bagian kiri orang.

Berbareng mulutnya mengeluarkan gerakan dan mengaum dari harimau lapar. Ong Toa Sie-seng mengebutkan kedua lengan bajunya, untuk melindungi di atas dan bawah. Jurus ini bernama Louw Hong In Pek (Puncak hitam bertembok mega) sehingga penjagaannya menjadi rapat. Pipa besi Pek Sek Sie-seng kena dikebut lengan baju, telapak tangannya merasa tergetar. Pada waktu inilah Ong Toa Sie-seng merasakan di belakang tubuhnya suara tebasan pedang. Ia tahu tentu si pemalsu adiknya sudah turun tangan.

Perhatiannya jadi terbagi untuk menghadapi dua musuh, tiba - tiba terdengar suara mendesingnya senjata rahasia di samping tubuhnya. Tangan kirinya segera menyampok, tapi tangannya menyampok angin kiranya suara ini buatan mulut Si Lidah Seratus" Pada detik inilah Ong Toa Sis seng merasakan bahu kirinya kesemutan kena totokan lawan. Perlahan lahan tangannya menjadi kaku tak dapat bergerak. Tiat Djiau Kauw Hoo Pun tertawa sambit berkata: "kiraku lihay sekali, tidak tahunya hanya begini saja!" Habis berkata pedangnya menjurus ke bahu kanan lawan, dengan maksud melumpuhkan tangan kanan lawan.

Mendadak berkelebat sebuah bayangan: "Toako aku datang membantu!" serunya Ini adalan suara Tjiu Piau. Dari jarak dua depa ia melepas batu-batu kecil menuju Ong Toa Sie seng, tepat mengenai jalan darah Tjian Kin sehingga totokan musuh terbuka. Walau pun totokan Hoo Pun demikian berat, batu itu tidak dapat membuka semua. Tapi Ong Toa Sie sengmempunyai Nai kang yang cukup baik.

Sekali ia mengirimkan tenaga, lengan kirinya segera dapat bergerak lagi.

Tjiu Piau takut terjadi perkelahian lagi buru buru berkata: "Ong Toako Hoo Siok-siok, Ie Siok siok. Harap jangan salah mengerti. Kita adalah orang sendiri."

Hoo Pun terkekeh-kekeh; '"Akupun hanya bermaksud mengundang mereka ke rumah, siapa kira ia turun tangan main main, aku tidak berniat menyusahkan atau mencelakakannya mereka "

Mendengar ini Ong Toa Sie seng menjadi gusar. "Tjiu Heng tee jangan percaya pada mulut gilanya. Tanyakan pada mereka apa maksudnya menyamar sebagai kami, untuk memancing kau ke sini. Tanyakanlah bermaksud apa?"

Tjiu Piau memang mempunyai pertanyaan yang serupa dengan ini, segera ia menoleh sambil berkata: "Djie-wie Siok siok, untuk apakah kau bergurau dengan cara demikian?"

Si Lidah Seratus berkata: "Kenapa heran? Ini toh hanya main main saja, Louw Siok siokmu berkata bahwa kau sangat merindukan saudara Ong, Untuk menggirangkan hatimu kami menyamar sekedar melucu dan berkelakar."

Tjiu Piau setengah percaya setengah tidak.Tapi dua Siok- siok ini sama sekali tidak mempunyai laga kaya anak kecil. Tjiu Piau Jadi bingung.

Ong Toa Sie seng kembali tertawa dingin. "Omongan macam itu hanya dapat menipu nenek pikun! Tjiu Heng tee kenapa mereka mengetahui' kata kata sajak itu. Apakah kau perlihatkan pada mereka-" Tjiu Piau bagai tersadar dari impian, diraba raba tubuhnya, kedua carikan kain itu sudah hilang dicuri orang. Pikirannya bekerja. "Waktu terjadi perkelahian di mulut goa aku tidak mengetahui, bahwa pelajar besar dan kecil ini adalah kedua saudara Ong. Aku mengetahui diri mereka sesudah menerima kedua baris sajaknya. Hal ini hanya aku seorang yang mengetahui.

Terhadap Louw Siok siokpun belum pernah kukatakan Kedua Siok siok ini kenapa bisa mengetahui?" Berpikir sampai di sini hatinya menjadi curiga. "Djie wie Siok siok perkataanmu barusan mungkin kata kelakar pula?"

Ong Toa Sie seng berkata. "Kata - kata yang ke luar dari mulut orang orang Ban Liu Tjung dapat dipercaya! Di dunia masih ada perkataan lain yang tak dapat dipercayakan? Tjiu Heng tee Ban Liu Tjung bukan tempat yang baik. Marilah turut kami berlalu." Mendengar ini Tjiu Piau mengakui kata- kata itu cukup beralasan. Tapi ada pula sesuatu yang tidak mengena hatinya. "Ong Toako. Louw Siok siok siang malam memikiri kita, kenapa kau tak mau menemuinya untuk membicarakan urusan yang lain dengan jelas?"

Ong Toa Sie seng tidak senang mendengar kata kata ini. "Louw Siok siok, Lojw Siok siok, hemmmm demikian mesra kau membahasakan dia!" Tangannya bergerak dengan sembarangan, tapi bertenaga besar. Tenaga ini sengaja dikebutkan menuju Tjiu Piau. Dengan sepenuh teaaga Tjiu Piau baru dapat menangkis kebutan ini. Tjiu Piau. berpikir; "Hari ini dengan susah payah dapat berjumpa dengan saudara Ong. Dari itu tidak-boleh membuang kesempatan. Ia tidak mau tinggal, biar aku mengikuti dia pergi. Sekalian menjelaskan duduknya hal yang sebenarnya. Segera ia berkata; "Baiklah kita berlalu!"

Hoo Pan tertawa sambil berkata : "Untung datang mudah, tapi berlalu tidak semudah datang. Tjiu Tit jie, kenapa kau tak menahan tamu, berbalik kena diajak tamu?

Ketahuilah olehmu tiap tiap tamu yang lewat di Ban Liu Tjung hari ini. Pasti mendapat penghormatan untuk sama sama dahar! Sesudah kenyang dan puas baru boleh berlalu." Sesudah bicara, Tiam Hiat Kiamnya melintang menghadang jalan. Pek Sek Sie seng (si Seratus lidah) membunyikan pipa besinya dengan nada irama sedih.

Sehingga suasana berubah menjadi demikian menyayatkan sukma, hening membenamkan pikiran orang ke dalam duka--- Tiba tiba ada suara orang dari belakang memecahkan kesunyian yang sedih ini. "A-pa benar Ong Tit djie datang?" Kedatangannya ini tidak menerbitkan suara. Siapa dia, siapa dia, siapa lagi kalau bukan Louw Eng.

Katanya ia ingin ke luar ru nah untuk setengah bulan lamanya. Tidak tabunya kata kata itu hanya untuk pelabu saja. Yang benar ia tengah bersandiwara. Hatinya ingin lekas lekas dapat mengetahui kediamannya dan anak anaknya mendiang saudara angkatnya dari Tjiu Piau. Orang ini bekerja tanpa kentara, Tjiu Piau ditahan beberapa hari tanpa ditanyai hal hal ini, juga dengan sengaja menyuruh Tjen Tjen untuk menemani Tjiu Piau bermain. Di balik itu diam-diam mengawasi sepak terjangnya Tjiu Piau. Sesudah beberapa hari berlalu tanpa dapat mengorek sesuatu dari mulut Tjiu Piau. Di luar tahu siapa siapa barang barang bawaan Tjiu Piau digerayanginya dan diperiksa satu peisatu.

Sebab kelalaian Tjiu Piau seketika, yakni tidak membawa sajak pemberian saudara Ong di badan. Sehingga hal ini dapat diketahui Louw Eng. Dua baris dilihat Louw Eng dengan hati hari. Ia sadar dua baris sajak itu mempunyai hubungan erat dengan peristiwa Oey San dimasa dulu.

Melihat pula bahwa surat itu ditulis memakai darah, menandakan darah yang baru. Diingat-ingat sesuatu dengan teliti, sesudah dikaji sebentar, sadarlah dan mengetahuilah. Dua Sie seng besar dan kecil melepas senjata rahasia kepada Tjiu Piau. Tapi ia tidak mengetahui makna dari sajak itu. Juga tidak dapat memastikan bahwa dua Sie-seng itu adalah keturunan dari keluarga Ong. Untuk mengetahui ini dengan diam-diam Louw Eng mengatur akalnya. Dicarinya Pek Sek Sie-seng dan Hoo Pun untuk menyamarsebagai Ong Kee Sie seng. Tjiu Piau dapat dipancing dengan akal ini. Dengan kepandaian lidahnya Pek Sek Sie seng berhasil mengorek keterangan dari mulut Tjiu Piau, sedangkan Louw Eng sendiri sebelumnya sudah bersembunyi di balik batu untuk mendengari pembicaraan mereka. Di luar perkiraan hal ini menimbulkan suasana yang ramai. Persaudaraan Ong menampilkan diri di luar perkiraan orang. Louw Eng sangat girang. Dipikatnya ikan besar masuk kedalam jaring, tapi ia tak tergesa-gesa menarik jalanya itu.

Waktu Pek Sek Sie seng membunyikan pipa besinya, ia ke luar dari tempat persembunyiannya. Terkecuali dari Pek Sek Sie seng dan Hoo Pun yang lain terkejut heran.

"Louw Siok siok, saudara ini adalah Ong Toako. Mari kuperkenalkan." kata Tjiu Piau. Ong Toa Sie seng matanya membara, memberalak memandang Louw Eng. Dari matanya seolah olah ke luar api yang menembus dan menghanguskan tubuh Louw Eng, Louw Eng tak enak rasa, kena tusukan sinar mata membenci itu. Keadaan menjadi hening dan sepi untuk seketika lamanya.

Louw Eng berbalik badan menghadapi Hoo Pun dan Pek Sek Sie seng, lalu berkata: "kalian berdua bukan anak kecil lagi! Kenapa masih gemar melakukan pekerjaan anak kecil semacam ini? Kalian kira lucu? Apa maksudmu melakukan permainan ini? Sulgguh tak bermalu!"

Di antara tujuh Kouw Hoo Pun paling akur dengan Louw Eng, dari itu ia menjadi orang kepercayaan Louw Eng yang sangat diandalkan. Hoo Pun tentu saja mengerti maksud Louw Eng yakni ingin menumplekkan semua kesalahan ini pada mereka berdua. Hoo Pun mengetahui Ie Kim Wan adalah orang yang kenamaan di dunia Kang Ouw. Tentu saja tidak mau begitu saja menerima makian serupa itu.

Dari itu lekas-lekas ia berkata: "Toako hal ini semua Siau tee yang sa'ah. Hal ini dilakukan karena Siau tee bertaruh dengan Ie-heng, untuk mencoba kepandaian lidahnya itu. Sehingga mengakibatkan terjadinya kelakar ini. Dari itu mohon beribu maaf?"

"Apakah ini termasuk juga urusan bergurau?" tanya Louw Eng dengan gusar tubuhnya bergerak seperti kilat, dua jeriji tangannya berkelebat di samping Hoo Pun Secara mentah-mentah pedang Hoo Pun kena dijepit dan direbut, "dasar kuya!" katanya. Berbareng menyusul suara trang tak pedang itu kena dijepit patah jerujinya, Patahan pedang berjatuhan di tanah!

Amarah Louw Eng masih belum reda, kembali mulutnya nyapnyap: "Enyahlah kalian dari sini! Menunggu apa lagi di sini?" Hoo Pun buru buru memungut patahan pedangnya dan mengundurkan diri sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Sebaliknya Ie Kim Wan. ia merasa tidak senang "Semula aku datang untuk membantu atas permintaanmu sendiri. Siapa yang kesudian dimaki maki kamu?" pikirnya. Sudah itu tanpa ba atau bu, ia berlalu dengan sombong Sambil meniup lagi pipanya dengan lagu kematian yang sangat sedih!

Louw Eng tidak mau meladeni. Sebaliknya dengan mesra ia memanggil. "A Pang." ketahuilah inilah nama kecil dari Ong Toa Sie-seng. Biasanya suara panggilan ini hanya dapat didengar kalau ibunya memanggil. Kini mendadak mendengar suara ini ke luar dari mulut Louw Eng. Dengan terpaksa ia menyahut 'eh'.

Louw Eng berkata pula: "A Pang kini kau lebih besar dari ayahmu. Tuhan sungguh pemurah Ong Toako pun akan merasa senang di alam baqa. Tit djie kepandaianmu sungguh lihay, semua sudah kusaksikan barusan. Berlatih- lah beberapa tahun lagi, tenagamu pasti menjadi besar dan ilmumu bertambah lihay. Sehingga bisa menggolongkan diri di dunia Kang Ouw sebagai orang gagah kelas satu." Sambil bicara kakinya sambil mendekati, perlahan lahan pundak A Pang ditepak tepak. A Pang merasa serba salah dan tak dapat ngadat. Mendengar Louw Eng menyebut nyebut ayahnya, teringat ia akan pesan ibunya.

"Louw Eng membunuh ayahmu, itu sakit hati keluarga. Dia sebagai anjing bangsa Boan, entah berapa banyak penyinta negara binasa di tangannya, ini sakit hati negara. Sakit hati keluarga belum dapat dipastikan, tapi sakit hati negara sudah pasti. Hal keluarga adalah kecil, hal negara adalah besar."

Karena memikir hal ini, perasaannya terhadap Louw Eng menjadi tetap dan tak merasa sukar pula untuK menghadapinya. Akan tetapi pada saat ini juga punggungnya merasakan panas, suatu tenaga maha besar menindihnya. Dalam kagetnya tenaga dalamnya bergerak melawan. Siapa kira tenaga menekan itu berat sebagai gunung Thai San dan ringan seperti kapuk. Kalau ia tak mengerahkan tenaganya, tenaga menekan itu segera menjadi ringan. Kalau ia mengerahkan tenaga, tenaga menekan itu turut bertambah sebanyak tenaga yang dikeluarkan! Hal ini membuat hatinya A Pang menjadi cemas, ingin hatinya melepaskan diri dari tangan setan Louw Eng itu. Tapi tangan Louw Eng yang mengusap-usap itu tak mau lepas lepas, agaknya sudah melekat saja !

Hal ini membuat A Pang menyesal, hatinya berpikir: "Ah. sebab kelalaianku aku kena akal Louw Eng. Kini asal ia mengerahkan tenaganya jiwaku pasti melayang. Ibu oh

iba. capai lelahmu untuk mendidik aku guna mengetahui tentang kematian ayah dan membalas sakit hati, nyatanya sia sia belaka!" Pikirannya baru Sampai di situ, tenaga di pundaknya terasa kendur. A Pang tak ragu ragu lagi, dengan sekuat tenaga ia membalik badan secepat mungkin. Ber -- ber tangannya bekerja mengirimkan dua serangan beruntun. Sebenarnya Louw Eng sudah berpikir untuk membinasakannya, tapi pikirannya berubah dengan cepat, "empat orang yang kucari sudah tiga berada di tangan.

Lebih baik kuselesaikan saja nyawa mereka terlebih dahulu". Waktu akan turun tangan hatinya kembili berpikir, "Kenapa harus tergesa gesa? Biarlah mereka tinggal hidup dulu, masih ada gunanya." Dari itu tenaga di tangannya dikendurkan dan A Pang dapat melepaskan diri.

A Pang menyerang dengan ganas, Louw Eng sengaja mengalah, serangannya itu tidak ditangkis, melainkan diegos ke kiri dan kanan! Sebaliknya A Pang jurus demi jurus menyerang dengan gencar! Pukulan bukit barisan dipergunakan dengan cermatnya, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada lawan. Sampailah pertandingan di jurus ke tujuh, A Pang dengan tiba tiba saja memutar ke belakang tubuh Louw Eng. Tangannya berbareng diangkat dan ditebaskan dengan ganas ke pundak Louw Eng. Louw Eng terancam serangan ini secara hebat. Serangan ini tak mungkin untuk diegos atau dikelit lagi. Mau tak mau Louw Eng terpaksa harus mengeluarkan tangan untuk menakis.

Tubuhnya berbalik, tangannya terangkat naik untuk menakis. Di luar perkiraan orang tenaga A Pang itu terlampau keras, tak mungkin dapat disambut oleh kekerasan. Terpaksa Louw Eng mundur beberapa tindak.

"Kiranya ilmu pukulan Bukit Barisan yang terdiri dari delapan jurus lihay, kini sudah mendapat tambahan jurus- jurus yang indah dan Hoa San Kie Sau," kata Louw Eng sambil memasang mata.

Kiranya Hoa San Kie Sau yang disebutkan Louw Eng bukan orang lain. Yakni orang tua berambut putih yang datang bersama dua saudara Ong. Ia adalah Su-heng. Ia bernama Nio Tay!

Adapun Nio Tay senang bergelandangan dan mengem- bara melebihi dari Ong Tie Gwan. Sesudah ia berusia empat puluh lima tahun. Ia mengundurkan diri dari dunia Kang Ouw. Sebaliknya untuk melewatkan hari, ia berdiam di Hoa San. Hoa San adalah gunung indah, di lereng gunung terdapat kupel untuk beristirahat kaum pelancong. Di kupel itu terdapat pula tempat bermain catur. Nio Tjay setiap hari pergi ke sana membawa anak catur untuk melewatkan hari sambil menghibur diri dengan anak-anak catur. Demikianlah pekerjaannya setiap hari, yakni mengajak pelancong- pelancong itu menanyakan namanya. Jawabnya selalu Hoa San Kie Sau (biji catur dari Hoa San)

Terkecuali dari bercatur. Setiap hari Nio Tjay menikmati keindahan pemandangan gunung kenamaan ini Bukit- bukitnya yang indah, tebing tebingnya yang keren serta sejuknya udara dan suasana tenang ini, membuat Nio Tjay mengenangkan pada tempat tempat dan gunung gunung yang kenamaan yang sudah pernah dijelajahnya. Pikirannya bekerja siang dan malam. Akhirnya ia berhasil menciptakan ilmu pukulan tersendiri.

Jurus dan gerakan gerakan dari ilmu pukulannya mengandung suasana pegunungan. Tenang adem, sejuk sepi, seram berbahaya, berubah-ubah tak dapat diselami.

Ilmu bukit barisan ini sangat terkenal di dunia Kang Ouw. Delapan belas tabun yang lalu ilmu pukulan ini hanya terdiri dari delapan jurus seperti yang disebutkan Louw Eng. Tapi keanehan di alam fana sungguh luar biasa, perubahan perubahan terjadi di luar perkiraan orang. Misalkan gunung runtuh tanah longsor dan lain-lain yang tak perlu disebut satu demi satu. Dari hal inilah Hoa San Kie Sau sudah berhasil menambah jurus jurus lihay yang tidak dikenal Louw Eng.

Sesudah Ong Tie Gwan meninggal dunia, isterinya membawa anak anaknya menemui Nio Tjay. Sesudah berulang kali memaksa akhirnya Nio Tjay menerima kakak beradik ini sebagai muridnya. Hoa San Kie Sau terkecuali memberikan ilmu pukulan dan perburuannya, juga memberikan ilmu ciptaannya sendiri pada dua muridnya itu.

Kini pertemuan Oey San sudah hampir sampai. Hoa San Kie Sau menemani Kedua saudara Ong turun gunung.

Sebelum itu ia berjanji lebih dahulu, yakni begitu sakit hati Ong Tie Gwan terbalas, sebera ia akan kembali ke Hoa San untuk bermain catur lagi.

Pukulan Ong Toa Sie seng walaupun lihay, tapi peryakinannya belum sampai, titik sempurna. Biar begitu tekanan lengannya bagai puncak gunung runtuh kerasnya.

Karena Louw Eng memandang rendah dan mengalah, dalam gebrakan ini hampir hampir kena dirugikan.

Louw Eng mengawasi dengan teliti setiap pukulan lawan sambil memasang kuda kuda. Tampak tubuhnya Ong Toa Sie seng mencelat naik, sepasang lengannya berputar-putar menderu deru membawa angin yang keras. Dari atas menurun menyergap lawan.

"Inilah pukulan Puncak Gunung Aneh Terbang Mendatang!" seru Ong Toa Sie seng dengan keras.Louw Eng tidak menunggu suara habis sudah meloncat sejauh dua tumbak menghindarkan serangan ini. Ong Toa Sie seng membayangi dari belakang sambil mengirimkan lagi sebuah pukulan. Louw Eng tidak mengegos lagi ditangkisnya serangan itu. Lagi lagi ia tergempur mundur.

"Kembali jurus yang lihay!" puji Louw Eng sambi berseru.

Tidak tahunya Louw Eng sengaja pura-pura tidak kuat menahan dan mundur beberapa tindak. Semata-mata untuk mengetahui pukulan baru yang bagaimana sudah diciptakan Hoa Son Kie Sau. Hal yang sebenarnya tenaga dan kepandaian Loaw Eng sudah berlebihan untuk menghadapi bocah umur dua puluhan ini Tapi pertarungan ini agaknya luar biasa. Walau pun tenaga Ong Toa Sie-seng tidak memadai tenaga Louw Eng. Tapi pukulan pukulannya dari ilmunya luar biasa lihay dan tak boleh dipandang enteng.

Louw Eng berhasrat untuk memancing kepandaian lawan guna mengetahui dan menyelidiki ilmu pukulan lawan.

Kendati kekurangan kekurangan dan lowongan lowongan didapat dari sang lawan, sekali kali Louw Eng tidak berniat menurunkan tangan jabat Ia membuat pertarungan selalu berjalan dengan seimbang. Dengan cara begini tak urung Louw Eng setengah mati juga menghadapi serangan serangan bocah ini.

Sepuluh jurus berlalu, Louw Eng sudah menghiturg jurus jurus baru dari Hoa San Kie Sau yakni tidak lebih dan tak kurang terdiri dari enam belas rupa, di gabung dengan yang lama cukup menjadi dua puluh empat jurus. Diam-diam louw Eng menjadi kaget. Hitinya berpikir: "Apakah pukulan pukulan ini tak habis-habisnya dan dapat ditambah lagi?

Bagaimana kalau Hoa San Kie Sau sendiri yang memainkan ilmunya ini. Ah benar benar aku tak boleh memandang enteng." Ong Toa Sie seng mengetahui Louw Eng mengulur ulur waktu, tapi tak mergetahui apa maksudnya yang dikandung Louw Eng. Ia sendiripun sengaja mengulur waktu, untuk mencari ketika guna melarikan diri. Pertarungan sudah berlangsung demikian lamanya, Ong Toa Sie seng hatinya merasa heran dengan tak munculnya sang adik. Sepuluh jurus kembali berlalu, hatinya semakin cemas, sambil - menghalau serangan serangan lawan ia memanggil adiknya; "Moy Tju (adik perempuan) tiup angin selatan!" Tanda ini diberikan dengan artian agar sang adik lari menurut angin ke utara. Berulang ulang ia berteriak-teriak tanpa mendapat jawsban. Ingin hatinya melompat untuk menjenguk sang adik. Tapi Louw Eng melibatnya dengan serangan-serangan hebat.

Dalam kecemasannya Ong Toa Sie seng merasa menyesal, hatinya mengeluh :"Kalau tahu begini tak: sepatutnya aku membohongi Suhu untuk melakukan penyelidikan malam ini."

Kiranya Sesudah terjadi perkelahian di mulut goa tempo hari. Ong Kee Sie seng ingin menemukan Tjiu Piau dengan tak sabar. Tapi mereka selalu dilarang oleh gurunya. Kerena itu kedatangan mereka malam ini ke Ban Liu Tjung adalah di luar tahu Hoa San Kie Sau.

Ber -- ber--- ber- - Louw Eng melakukan serangan hebat, Ong Kee Sie-seng tak dapat menangkis, mundur serba salah. Louw Eng berbasil dengan tangan kirinya menangkis kedua lengan lawan. Tangan kanannya seperti kampak membacok turun. Dalam keadaan genting ini Ong Toa Sie- seng meng-ambil putusan tekad. Pikir hatinya, kukerahkan semua tenaga dalamku ini untuk menangkis dan kubarengi menyerang ulu hatinya. Biar sama sama menemui ajal!" Di perhatikan turunnya tangannya Louw Eng dengan mantap.

Siapa tahu lengan Louw Eng mendadak terhenti di udara. Kedua orang ini dia tidak bergerak. Matanya terbuka lebar saling melotot, kedua mata Ong Toa Sie-seng berapi api, sebaliknya Louw Eng matanya sayu, sehingga sukar diketahui hatinya. Kemudian Louw Eng membatalkan serangannya itu sambil mundur ke belakang. Dengan ramah tamah ia berkata: "A Pang mengertikah kau akan hatiku?

Kita adalah orang serumah. Jika kau menganggap aku Siok- siok silahkan datang ke Ban Liu Tjung. Kita dapat bicara dengan tenang untuk menghilangkan salah faham ini,"

A Pang tahu apa yang harus dilakukan. Kata kata Louw Eng sedikitpun tak didengar, seratus kali tak didengar! Ia bersiul sambil memanggil adiknya: "Moy Tju!"'

"Kau ingin mencari Tit-lie (keponakan perempuan) akukah? Ia sudah melulusi permintaanku untuk bermalam beberapa hari diBan Liu Tjung!" kata Louw Eng, "Tjen djie ke luarlah!''

Batu batu aneh itu bergerak, Tjen Tjen sambil tertawa jalan ke luar.

"Ayah, nenek-nenek yang menyamar laki-laki ini, walaupun tadi berbasil menotok Jalan darahku. Tapi kini mendapat gilirannya.

*Aku sudah mengikatnya seperti lepat!" Ong Toa Sie seng agak ragu-ragu mendengar ini. Ia tahu kepandaian sang adik bukan dari golongan kampungan. Tambahan mengenal keadaan tempat. Kenapa tidak keruan keruan dapat dikalahkan bocah berandalan ini?

Tidak tahunya sewaktu dua saudara menampak Tjen Tjen membuntuti Tjiu Piau.sang adik diam-diam mendekatinya dengan dialingi batu batu itu tanpa disadari Tjen Tjen. Dengan cepatnya Tjen Tjen disergap dan ditotok.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar