Mulan Ksatria Putri Tionggoan Jilid 10

Jilid 10

Bab 46

Ia bukan genta dari kemilau emas

hingga gemanya ke dasar hati tetapi ia adalah

senandung largisimo yang menyentuh hati

- Bao Ling

Refleksi Taichi Chuan

***

1219, Kabupaten Chengdu Namaku Fang Wong.

Aku lahir di Sichuan, salah satu kota provinsi di Tionggoan Selatan. Sejak lahir aku sudah tidak pernah bertemu dengan ayahku. Kata ibu, ayah sudah meninggal di Goa Fu Xien, salah satu lembah di Bukit Wudan. Terkurung di sana sampai ajal menjemputnya.

Namun ada dua versi yang kudengar. Pertama, ia mati karena dirangsa gergasi. Kedua, ia mati karena nelangsa. Aku masih kecil ketika itu. Ibu tidak pernah terbuka, jujur mengatakan yang sebenarnya. Namun ketika beranjak dewasa, aku baru mengerti kalau kematian ayah sangat mengenaskan. Lebih dari kedua versi yang samar aku dengar.

Lalu amarah itu bergejolak di dalam dadaku. Seperti lahar kepundan di gunung berapi. Semestinya Ibu tidak bisa begitu. Seharusnya perempuan itu tidak menutupi rahim kebenaran, meski aroma yang dikeluarkannya serupa sempedah dahak berdarah sekalipun.

Belasan tahun tubuhku yang ringkih ini dipahat Ibu selaksana arca gaharu. Ia halus gemulai menyebarkan harum. Selantun hio yang terbakar, aku ditelikung semerbak wangi, menggiring masa kanak-kanakku ke dalam suka tanpa lara. Ia memasungku, menjauhkan aku dari apa yang dinamakan replika. Ia tidak ingin anak tunggalnya, Fang Wong serupa Fang Hong! Serdadu Kaisar Yuan Ren Xing telah mencacah tubuhnya sehingga menjelma menjadi jerangkong. Mayat hidup tanpa nyawa. Ia terasing di pengasingannya. Goa Fu Xien menjadi saksi bisu kebiadaban manusia atas manusia lainnya. Belasan tahun ia terbebat di antara tubir cadas. Tembok-tembok beku yang dingin dan kelam.

Aku berguru pada Shaolin dilatarbelakangi dendam yang membara. Perempuan yang melahirkan aku dari rahimnya itu meraung. Aku tetap bersikeras. Pergi ke dunia para resi.

Menempa diri setebal baja. Belajar ilmu silat mereka yang mashyur.

Namun aku salah kaprah.

Shaolin bukan alternatif penggumpal dendam. Dunia gerbang nirwana itu terlalu suci untuk dikotori dengan sekelumit dendam. Takdir bicara. Aku terkapar. Lalu terdampar ke dusun ini, Chengdu. Bertemu dengan gadis luar biasa. Gadis jelmaan Dewata. Fa Mulan!

"Guru, apakah yang dimaksud dengan Taichi?"

Ia bertanya demikian kepadaku, suatu petang saat belajar sembunyi-sembunyi. Kedua orangtuanya memasungnya dalam pranata ribuan tahun. Kakinya dibebat dengan benang merah kultur Tionggoan yang kaku. Anak gadis hanyalah penghuni sangkar madu! "Taichi merupakan harmonisasi kehidupan ini dengan alam semesta. Semua bentuk kehidupan harus berselaras dan beriringan dengan alam. Perpaduan siklus alami, sebuah keseimbangan yang abadi."

"Apa itu, Guru?"

"Air, api, tanah, logam, dan angin. Itulah unsur-unsur alam. Kelima unsur alam itu telah membentuk sebuah kehidupan hakiki yang bernama ren."

"Ren?!"

"Ya. Manusia dan alam adalah satu. Masing-masing saling melengkapi. Bukannya memusnahkan."

"Tapi Guru, saya melihat banyak manusia saling memusnahkan!" Fa Mulan bertanya lugu. Suaranya yang mungil itu mengentakkan jiwa. "Bukankah perang yang dilakukan manusia itu juga merupakan pemusnahan sesama?!"

Aku memandang langit.

Rembang petang masih menyisakan segumpal awan kelabu. Bias kelam belum menyaput benar jingga yang masih bercokol di ufuk barat. Tujuh tingkat di atasnya ada svargaloka.

Mungkinkah ini presensi neonatus Dewata di muka bumi?! Gadis cilik itu memang maharani!

"Perang adalah inharmoni, Mulan," kataku lembut. "Perang adalah penentangan terhadap unsur-unsur alam." Kepala kecil itu mengangguk mafhum.

Namun bola matanya seolah berbicara. Bibirnya tidak sertamerta terkatup oleh sebaris penjelasan. Ia lantas bertanya. Bertanya apa saja. Aku mengurai senyum.

Gadis cilik memang itu penggambaran chi langit.

"Guan Yu bertempur dan berperang untuk mempertahankan negara. Beliau malah digelari pahlawan besar. Apakah perang yang dilakukan oleh beliau itu sahih dan tidak melanggar aturan alam? Bagaimana menurut Guru?"

"Beliau bertempur bukan untuk memusnahkan. Tapi, untuk menjaga agar unsur-unsur alam tidak dirusak. Rakyat, negara, dan kemakmuran juga termasuk bagian dari unsur alam tersebut!"

"Apakah Taichi itu semata-mata kelembutan, Guru?" "Kenapa Mulan bertanya begitu?"

"Karena saya lihat tidak ada kekerasan di dalam Taichi Chuan." "Lembut itu belum tentu lemah, Mulan. Lemah gemulai bukan berarti tidak kuat. Air merupakan unsur yang paling jelas dalam Taichi Chuan."

"Air?"

"Ya, air. Air itu lunak dan gemulai. Tapi air dapat mengauskan karang. Air dapat menghanyutkan sebuah desa sekaligus. Itulah kekuatan terpendam pada air yang gemulai." "Hebat!"

"Dan ketahuilah, Mulan. Air adalah unsur alam yang paling 'rendah hati'. Air selalu menggenang di tempat yang rendah. Air selalu merendah meskipun sebenarnya dahsyat. Air merupakan paradoks dari orang yang bijak. Orang bijak itu tidak akan melawan kekuatan dengan frontal, tapi ia akan mengalah dan membiarkan musuhnya melumer dengan kelembutan."

"Wushu Taichi Chuan sungguh hebat!"

"Bukan wushunya yang hebat, tapi inti dari unsur-unsur alamnya. Kekuatan mahadahsyat bagaimanapun tidak akan dapat mengalahkah arus deras air di sungai. Wushu Taichi Chuan hanya berguru pada alam. Makanya, proses lahirnya jurus-jurus dalam Taichi Chuan ini tidak terlepas dari unsur-unsur alam tadi."

"Jadi, tekniknya merupakan replikasi unsur-unsur alam. Lemah gemulai mengalahkan kekuatan besar. Seperti arus air sungai yang menjebol batu karang dan juga akar pohon raksasa!" "Betul."

"Guru, mohon ajari saya Taichi Chuan!" Aku tersenyum.

Tersenyum melihat tingkahnya yang lugu. Ia bersujud di hadapanku. Meminta dengan sangat agar aku mau mengajarinya Taichi Chuan. Tentu saja aku akan mengajarinya! Aku tidak ingin Dewata murka!

Sebab gadis cilik itu adalah maharani! "Bangunlah."

"Ja-jadi, Guru mau mengajari saya?!" Aku mengangguk.

Gadis cilik itu merangkul perutku.

Airmatanya bergulir ditabuh haru. Aku terbahak. Dewata seperti mengutus seorang anak manusia untuk kugembleng menjadi pusaka. Sebilah pedang naga yang akan menyelamatkan bumi dari angkara. Rasa-rasanya aku menjadi makhluk paling beruntung di dunia ini!

Fang Wong, manusia setengah lumpuh, yang akhirnya dapat mengaplikasikan sedikit kebajikan untuk perkembangan dunia. Replika alam Taichi Chuan memang bukan sertamerta terilhami di serabut kelabu otakku. Semuanya predestinasi dari langit.

Takdir yang tidak dapat kutolak!

Bab 47

Kekerasan dan kelembutan adalah dua kubu yang berbeda satu bersaif mawar berbisa dan satu bersaif yang-liu masing-masing bertarung dalam jarak tak seberapa

- Fa Mulan

Refleksi Taichi Chuan

***

1220, Provinsi Guandong

Namaku Wong Qi Bei.

Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi pendekar dengan dianugerahi sepasang lengan baja, yang nyaris setiap hari kuisi dengan perkelahian. Orangtuaku tidak pernah bermimpi anak sulung mereka akan menjadi petarung. Karena mereka menganggap pendekar adalah centeng-centeng naif yang memenuhi hidup dunia dengan darah.

Tetapi dunia ini memang sudah babur.

Yang kuat menjazam yang lemah. Tidak ada keadilan lagi ketika dajalis melanda Tionggoan. Pemampasan menjadi cerita subur di tanah ini. Aku ke biara Shaolin bersangu itu. Kelaknatan zaman mengaburkan perjalanan hidupku.

Aku gamang. Diombang alur takdir. Rupanya Shaolin yang sesuci yang-liu bukanlah tempat menempa harap. Kebatilan harus dilawan dengan kebajikan. Bukan dengan kekerasan! Aku terpental. Nasib membawaku kembali ke tanah kelahiranku ini. Di sini aku belajar menyelaras dengan alam. Bukan kehendak berlandas keinginan sekeras karang semata. Kusosialisasikan paruh hidupku demi kebajikan. Aku belajar memadani. Membaur dengan kesederhanaannya. Meresapi hidup penuh warna tanpa kekerasan. Nasehat yang kutepis jumawis dulu dari sepasang manusia peniup lafaz dalam napasku menyata.

Hitam dan putih sisik-melik dunia memang hanya setipis sutra! Lalu suatu waktu aku menerima surat dari saudara seperguruanku , Fang Wong. Ia mengabariku presensi neonatus Dewata. Sekarang gadis cilik itu berada di Chengdu. Aku diminta untuk memoles permata tersebut. Mengasahnya sehingga menjadi batu permata yang paling mulia di antara segala permata.

Maka berangkatlah aku ke sana. Kutemui gadis cilik jelmaan Dewata.

Aku terkesiap. Ribuan tahun tanah di Tionggoan tidak pernah ditumbuhi bunga secantik ini.

Ia adalah Magnolia. Keindahan segala bunga.

Kuajari ia Totok Nadi. Ortopedi. Juga pengobatan tawar racun. Kukenalkan ia pada segala jenis racun dan juga penawarnya. Alangkah girangnya ia bukan kepalang.

"Guru, kenapa di dunia ini ada yang namanya racun?" Ia bertanya demikian, suatu hari ketika mengajarinya semua hal. "Seperti juga dalam kehidupan manusia, hati manusia diliputi dua hal mendasar. Pertama, kebajikan. Kedua, kebatilan.

Kebatilan dapat kita ibaratkan dengan racun. Lalu, kebajikan dapat kita ibaratkan dengan penawarnya. Dua hal itu seiring sejalan. Tapi, kadang-kadang racun dapat menjadi penawar racun bagi yang lainnya. Begitu pula sebaliknya. Kebajikan dapat menjadi kebatilan bagi kebajikan lainnya. Itulah fenomena yang terjadi di lingkungan kita. Di Shaolin misalnya, ada maharesi yang dapat berubah jadi serigala. Begitu pula sebaliknya di dunia hitam, ada serigala yang dapat menjelma menjadi Dewata."

"Maksud Guru, racun itu tidak selamanya buruk?"

"Racun adalah bagian dari alam. Racun mengisi kehidupan kita sejak terbentuknya kali pertama dunia ini. Yang-liu dan Mawar Beracun tumbuh seiring dengan pesonanya masing-masing." "Apakah hal yang Guru sebutkan tadi masuk dalam komponen Taichi Chuan?"

"Tidak ada unsur yang lepas dari alam. Semuanya menyelaras sehingga terjadi perimbangan yang kosmis. Kalau menentang hukum-hukum tersebut, maka manusia akan menemui petaka." "Petaka?! Apa maksud Guru?"

"Petaka itu bersumber dari diri kita sendiri. Seseorang dapat menuai bencana dan mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. Salah satu unsur yang tak dapat dielakkan adalah proses penuaan, sakit, dan mati. Manusia kadang-kadang ingin hidup di luar hukum alam tersebut. Mengabadikan dirinya dalam ambivalensi maya. Tapi, tidak ada yang dapat membendung unsur alam dahsyat kematian. Semua manusia pasti mati!" "Guru, apakah yang dimaksud dengan ambivalensi maya yang seperti Anda sebutkan tadi?"

"Itu adalah nafsu keinginan dan ambisi. Ambivalensi maya itu terangkai dari egosentrisme dan utopis manusia. Padahal awal mula neonatus, manusia tidak membawa apa-apa. Semuanya terlahir bugil. Dan ketika berpulang ke Sang Pencipta pun begitu."

"Jadi menurut Guru, awal petaka itu bermula dari ambisi dan keegosentrisan manusia?"

"Betul. Bencana bagi kehidupan datang susul-menyusul dibahang oleh ambisi manusia. Perang, genosida, pemusnahan dan masih banyak lagi ulah batil manusia."

"Kalau begitu, apakah darah akan dibalas dengan darah, Guru?" "Darah dibalas darah, tidak akan ada habisnya. Karenanya, kebencian mesti dilawan dengan kasih sayang. Kekerasan tidak pernah akan berakhir bila dilawan dengan kekerasan. Tapi kekerasan akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. Bukankah itu yang diajarkan oleh Sakyamuni?"

"Saya gamang, Guru. Terjadi banyak ketidakselarasan yang membumihanguskan peradaban. Perang dan perang. Apakah Dewata akan murka dan menjatuhkan sanksi kiamat?!" "Beragam sanksi dapat dijatuhkan Dewata sebagai kompensasi kemurkaan. Ia dapat berupa bencana jasadi. Tapi, ia dapat juga berupa takdir. Utusan yang sudah menjadi predestinasi."

"Siapa yang dimaksud utusan itu, Guru?"

"Pahlawan dan satria. Mereka dapat berasal dari kalangan manapun. Jelata sekalipun. Tidak hanya dari puak terpandang dan keluarga bangsawan."

Aku lihat ia mengangguk mafhum ketika itu. Aku tersenyum.

Utusan itu adalah Fa Mulan!

Bab 48

Hingga masa itu tiba

tak jua gergasi manapun menggentarkanmu satria,

biarlah kali ini saja lentera itu menuntunmu

dalam lagu sunyi kekalahan Jangan sesali sinar jingga lentera

yang mengajakmu ke tempat pada sekumpulan koi di Onon

dan pada sekawanan domba di Gobi Sebab api telah membubung tinggi kala maharana tak terelak

satria,

airmatamu setipis cadar

tak mampu membasuh luka ambigu Mongolia

- Bao Ling

Elegi Si Pendekar Danuh

***

1231, Kabupaten Chengdu Namaku Fa Mulan.

Aku anak seorang veteran prajurit Yuan, Fa Zhou. Aku adalah gadis desa biasa. Namun mereka selalu menyebutku Magnolia, gadis jelmaan Dewata. Kadang-kadang mereka memanggilku, Fa Mulan - Prajurit Garda Langit.

Hah, mungkin ini terlalu hiperbolis?! Mungkin, ya mungkin.

Bagiku, sebutan itu terlampau mengada-ada. Ataukah, mereka telah mendewakan aku?! Ah, entahlah. Yang pasti aku merasa tidak pernah menjadi pahlawan. Aku ini manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan. Aku hanya terdiri dari daging dan darah. Aku juga takut mati.

Keberanian-keberanian yang telah aku tunjukkan selama maharana bukanlah sesuatu hal yang, bagi kebanyakan orang dianggap muskil dan fenomenal. Perang adalah pilihan terakhir yang mau tidak mau harus aku jalani. Di dalam perang, hanya ada dua pilihan. Hidup atau mati. Dan ternyata dalam beberapa pertempuran, aku masih hidup. Bukan karena aku heroik. Bukan pula karena aku jawara. Bukan. Namun kusadari semua itu adalah anugerah Dewata. Aku dapat bertahan hidup di dalam kelam maharana karena semata ajallah yang belum menjemputku.

Aku juga tidak senang mereka mengkultuskan aku sedemikian rupa. Karena selama ini aku hanyalah sehelai yang-liu yang mengikuti alur air sungai, dan sampai pada sebuah tempat di mana sang air bermuara. Nasib telah membawaku ke medan maharana. Nasib yang telah membawaku ke Tung Shao. Nasib jualah yang telah membawaku ke Istana.

Aku menjalani hidup ini apa adanya. Menyaru sebagai laki-laki, menelusup dan memasuki kewajiban kemiliteran Yuan.

Selanjutnya, aku bertempur sebagai prajurit Yuan. Melaksanakan tanggung-jawab dan kewajiban mempertahankan negara dari agresi bangsa lain. Bukannya karena aku beda dengan prajurit-prajurit yang lainnya. Bukan. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanyalah manusia biasa.

Masih banyak tugas yang belum aku tunaikan. Tionggoan masih pula bergejolak. Aku memiliki tanggung jawab moral untuk memaparkan kebajikan bagi perkembangan di tanah yang kerontang ini.

Namun yang terutama, aku belum dapat membahagiakan Ibu. Ia selalu menuntut cucu laki-laki dariku. Kadang-kadang aku benci cerocosannya yang bawel itu. Tetapi setiap merenung sebentar, maka kebenaran samar terungkap dari keceriwisannya tersebut. Bahwa aku sebenarnya memang perempuan. Ya, aku memang seorang perempuan.

Bab 49

Seterang apakah gemintang timur yang memias serupa lelatu api dari sembur mulut Sang Naga?

Oh, patriot dari Chengdu serupakah engkau tetomis yang kasat dan hidup lantas menggeliat serta terbang di atas tanah nan kerontang ini?

- Bao Ling Litani Nirwana

***

Di manakah letak sang jiwa, yang melanglang dan kadang melarung dalam mayapada tak bertepi? Serupa dengung kecapi dan sitar pengembara, ia terus menerus menelusup lantas menelikung di antara basir pasir dan cadas. Kegalauan ini sungguh tak terjamah jawab, meski dawai-dawai itu melengking parau dan membiasi malam dengan pongah.

Lalu, apalah arti seorang manusia yang ditiupi lafaz dari langit. Ia mengecap dengan tangisnya. Ia meraba dengan jeritan dan celotehnya yang mungil.

Oh, aku tak paham. Sungguh tak paham

Kepandaian ini menjadikanku pandir. Sungguh dina jiwa yang semelata ular-ular di Gobi. Sungguh lara hidup yang mengagungkan rasa dan raga.

Lantas, apakah Fa Mulan yang dianugerahi Prajurit Garda Langit merupakan seorang perkasa di antara gergasi buana? Sehingga ia mampu memecahkan karang gemarang hanya dengan aumannya?

Oh, sahabatku. Tidaklah bijak mendewakan aku dalam selaksa puja. Kultus telah menjadikanku batu di antara karang. Dan menjadikanku pemati di antara nisan.

Mohon, sahabat. Sekali lagi aku pinta, enyahkan selantun litani yang mengikatku dalam pranata ini. Aku ini hanya seonggok daging. Aku ini hanya segumpal darah. Aku ini hanya raga yang terbentuk dari segala najis, yang sungguh tak kalian pahami maknanya.

Sebab, Fa Mulan yang kalian gelari Prajurit Garda Langit juga sesekali melakukan nista tercela dalam gelimun gemawan gelap. Ya, nista tercela.

***

Saya tidak pernah dapat memahami apa makna kehidupan ini. Semuanya babur. Rangkaian episode kisah manusia seperti rantai yang sambung-menyambung tanpa ujung. Ada kehidupan, ada kematian. Ada tawa, ada tangis. Jauhar afeksi menjadikan saya serupa rani. Sementara rana menjadikan saya serupa pemati. Kebajikan dan kebatilan beriringan serupa bayang- bayang yang mengikuti cakra pedati.

Apa yang terjadi dengan Tionggoan?!

Sabda yang diturunkan dari langit untuk para Tuan dan Puan melamur seperti pendar pelangi, dan tak lagi memiliki makna keindahan untuk dititi dedewi. Maka kuduslah engkau para rani. Kuduslah engkau yang senantiasa meletupkan lelatu kebajikan dalam sanubari manusia, meski iramanya yang minor menjadi rekwin. Meski biramanya yang platonis tak terjamah para hati yang telah terpenjara oleh tirai-tirai kegelapan.

Saya Fa Mulan, Prajurit Garda Langit, perempuan yang disabda dan diturunkan dari Langit untuk mengabdi demi kebajikan agar semuanya tak jadi nisan.

Ya, tak jadi nisan.

Bab 50

Akulah kelana dina

yang mengitari taman nirwana

serupa pelacak dengan sebuah mangkuk, jaksi rumbia, dan tongkat kayu

Namun bukan demikian adanya demikian Puan berkata

dari Istana nan megah Sebab,

engkaulah Teratai nan Indah bunga sesungguhnya

yang mengembang dan menangkup purna derita para papa jelata

- Oey Young Teratai nan Indah

***

Hari sudah beranjak petang. Lembayung yang yang memayungi sisi barat langit sudah menggelap serupa gergasi bisu, yang diam dan memisteri. Ia menangkup segala fana ketika Fa Mulan baru saja menghabiskan semangkuk bubur jagungnya dengan lahap. Dan seketika pula itu Shang Weng menguak tirai tendanya.

"Jangan terlalu memaksakan diri bekerja keras, Mulan," selantun kalimat selembut bayu terdengar seiring terkuaknya tirai tendanya. Shang Weng menjenguknya.

Fa Mulan mengangkat wajahnya dari manuskrip strategi yang tengah disusunnya. Ia menghela napas pendek sebelum mengembangkan senyumnya yang samar sebagai awal balasan. Belum dijawabinya kalimat subtil dari kekasihnya tersebut. "Istirahatlah, Mulan."

Fa Mulan menghela napas panjang. "Masih banyak tugas yang harus saya kerjakan."

Senada dengan gadisnya, Shang Weng pun melakukan hal yang sama. Sungguh, ia cemas dengan apa yang tengah berkecamuk dalam benak Fa Mulan. "Saya tahu. Tapi, jangan sampai tugas- tugas tersebut merusak kesehatanmu."

Fa Mulan menampik santun. "Saya bisa jaga diri, Kapten Shang."

"Tapi. "

Helaan napas panjangnya kembali terdengar desis. Sungguh, kali ini ia resah dan nyaris kehilangan semangat. Pertempuran demi pertempuran telah menguras tenaga dan pikirannya.

Namun hal tersebut tidaklah sebanding dengan apa yang tengah dicemaskannya. Fa Mulan adalah hal terpenting dalam hidupnya. Gadisnya itu melebihi segalanya. Melebihi segala- galanya bahkan melebihi rasa kasih dan cintanya terhadap kedua orangtuanya. Begitu pula terhadap kekasih masa lalunya yang pahit, Shiaw Ing.

Dan kini tidak ada sepatah kata pun yang dapat pemuda itu letupkan untuk meluyakkan hati gadisnya. Pertempuran heroistiknya di Tung Shao memang telah membuktikan kalau gadis itu seteguh karang. Ia adalah Hwasan, kokoh nan indah. Betapa mulianya penciptaan dedewa atas segala karunia ini. Betapa sucinya platonistis yang ia pancarkan dari diri seorang Fa Mulan. Sungguh, ia kerdil di antara semua itu.

Dan ketika Mongol menyerbu Tionggoan, hal itu hanyalah siklus dari pencakra, berputar seolah gasing di antara majas dan ambisi para petuan dan pepuan. Tetapi muskil benar adanya jika hal tersebut ditujukan baginya. Yah, mungkin. Sebab siklus batil adalah resital yang mesti dihentikan. Manusia membutuhkan kebajikan yang senatur dengan alam. Denting pedang dan tombak adalah nada rekwin yang setiap saat mengembuskan virulen, hawa kematian yang menyengat sengat. Lalu manusia akan mati karenanya!

Lalu, seperti apakah patriotisme itu?!

Metode pengorbanan ataukah pola pada sebentuk pengabdian tanpa pamrih? Sungguh, semuanya babur. Kecongkakan dan kesombongan manusia adalah mayor, dan jauh melampaui batas nalarisasi tentang kebatilan. Para rani hanya seonggok daging yang terus mengelana dan mengembara di berbagai belahan fana. Kehadirannya tak lebih berarti dari metamorfosis, keindahan yang mengejawantah dari kepompong menjadi kupu- kupu.

Andai epik kepahlawanan itu tak pernah terjelma dalam bentuk pengorbanan yang platonis. Andai gadis itu tak pernah ada.

Andai seorang Fa Mulan tak terlahir. Lantas, di manakah sesungguhnya harmonisasi yang membirama dari dawai hari para rani demi perdamaian dunia? Sungguh, ia tidak pernah tahu.

Ya, ia tak pernah tahu. Lalu, kupu-kupu tersebut membentangkan sayapnya. Ia terbang seirama angin. Ia terbang seiring denting indah sang hati. Di mana saif telah menjadikan mereka pengabdi. Di mana syair menjadikan mereka lagu sendu yang menggelimun di antara tubir dan cadas. Mereka terluka. Mereka tercabik. Mereka juga mati karenanya. Namun, kecintaan yang bermuasal dari dawai- dawai hati tersebut telah menjelma menjadi seonggok jiwa yang putih. Mereka akan bersinar secerlang gemintang di langit. Jiwa- jiwa mereka akan terus hidup, mengembara, dan jauh melampaui segala zaman. Ia menembusi tabir pebatil, memboyak kebusukan dari pendosa yang hidup tanpa nurani.

Mereka akan mengejawantah dalam segala bentuk kebajikan. Dan mereka akhirnya merasuk dalam raga yang dilahirkan oleh rahim manusia.

Dan ketika ia dilahirkan, ia akan tersisih dari pekasih. Ia adalah Magnolia dengan selaksa kekurangan. Ia adalah Magnolia yang tumbuh di antara lalang dan gulma. Ia adalah Magnolia yang tersisih. Namun keindahannya yang tiada tara telah mengembangkan secercah asa dalam kekalutan yang luar biasa. Ia adalah predestinasi yang diturunkan dedewa dari langit. Sesungguhnya ia adalah manusia biasa yang terbuang.

Sesungguhnya ia adalah gadis biasa dengan segala kekurangannya. Gadis itu adalah jejelma dedewi yang hidup di antara tabir-tabir awan. Yang bernapas lewat sepasang mata di balik dada putih mereka. Yang setiap hari menari diiringi sitar dan harpa berdawai emas. Itulah keindahan nirwana yang tak terbanding apa pun. Itulah kemegahan istana surga yang tak sedikit pun pernah digelimuni oleh kelam gemawan. Namun karena kemaruk manusia, maka mereka bersedih dengan meneteskan airmata sebanyak air telaga. Bahkan jauh ketimbang itu. Bahwa airmata tersebut perlahan telah membanjir dan menjadi Sungai Kuning tak lama kemudian.

Lalu apakah arti lektur indah di antara niraksara?

Itulah maras dedewa atas marcapada yang mendosa. Seperti tahu apa lacur yang akan menimpa tanah yang hangat tersebut, sertamerta mereka turun dari rengga gegajah, berdiri dan mengaum tidak seperti biasanya. Lantas dengan lantangnya mereka berteriak, bahkan beberapa di antara dedewa memaki segala sepah yang telah dimuntahkan manusia lewat mulut bacar mereka. Ulah yang tak pernah dimafhumi sebagai bagian dari hikayah, kebajikan yang diturunkan dari surga.

Namun dari pembatil terus saja berulah dengan kejahatan- kejahatan. Mereka saling menjazam. Mereka saling membunuh. Mereka saling membakar. Semuanya gosong dan kobong.

Sehingga atmosfer hanyalah making di antara mayat-mayat yang bergelimpangan serta berbelatung.

"Tionggoan sudah bagai telur di ujung tanduk, Kapten Shang. "

"Sudah menjadi tanggung-jawab kita sebagai abdi negara untuk memikirkan pembelaan dan penyelamatan bangsa kita, Mulan. Tapi, bukan berarti kamu sampai mengenyahkan kesehatan dan keselamatan kamu sendiri."

"Tak ada waktu lagi. Tionggoan sudah di ambang kehancuran. Mongolia sudah masuk semakin jauh ke dalam daerah kita." "Mengandalkan kekuatan diri sendiri seperti apa yang tengah kamu lakukan sekarang merupakan kesia-siaan, Mulan. Mustahil melawan Mongolia hanya. "

"Jangan melemahkan semangat hanya dengan melihat kekuatan besar musuh, Kapten Shang. Itulah salah satu kelemahan yang tak kasatmata. Ingat, kekuatan itu tidak dapat ditakar dengan melihat banyaknya jumlah pasukan dan lain sebagainya.

Pertempuran di Tung Shao adalah contoh bagaimana kelemahan itu dapat menjelma menjadi kekuatan. Jadi, saya tidak pesimistis dalam hal ini. Seberapa hebat pun kekuatan musuh kita."

"Benar, benar. Tapi, armada berkuda Mongol sangat jauh dari praduga para pakar strategi militer kita. Apakah bukan berarti. "

"Kemenangan dan kekalahan itu hanya setipis bilah rambut. Semuanya memiliki kemungkinan yang sama. Bagai cakra pedati, yang setiap sebentar di bawah dan setiap sebentar di atas."

"Mungkinkah kekalahan kita ini atas kelalaian para atase jenderal di Ibukota Da-du, Mulan?"

"Maaf, saya tidak dapat menebak duga kalau merangseknya pasukan Mongol sampai jauh ke dalam negara kita akibat kesalahan maupun kelalaian segelintir petanggung-jawab." "Kenapa?!"

"Asumsinya beragam." "Maksudmu. "

"Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan tidak menguntungkan begini bagi kita, Kapten Shang." "Apa misalnya?"

"Kalau menilik penyebab kealpaan kita menakar seberapa besar kekuatan terselubung musuh sehingga mereka dapat menguasai daerah perbatasan kita hanya dalam bilangan hari - barangkali hal tersebut disebabkan karena jumawitas kemenangan kita atas pemberontak Han."

"Jumawitas?"

"Ya. Pandang enteng, mengangap remeh, dan lain sebagainya. Maka, sahihlah hal itu dapat dibenarkan sebagai biang kekalahan kita. Kebanyakan dari kita tidak pernah belajar dari pengalaman. Manusia selalu terjatuh ke dalam lubang yang sama. Namun lepas dari semua itu, pertempuran adalah taktis lapangan. Semuanya dapat saja terjadi. Si Kuat dapat saja menjadi lemah karena sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya.

Prediksi tidak dapat ditebak semudah membalik telapak tangan." "Apakah dengan demikian berarti kita sudah habis ?"

"Manusia akan habis bila sudah tak bernyawa. Selagi masih bernapas, tidak ada kata kalah atau habis bagi manusia. Jadi, sesungguhnya kita sama sekali belum habis atau kalah. Kita hanya terdesak, kritis, dan. "

"Ta-tapi. "

"Ah, hidup ini memang berat, Kapten Shang. Manusia telah menambah sulit kehidupan mereka sendiri. Perang yang membahang merupakan ulah manusia sendiri. Perang buatan manusia telah menyengsarakan manusia sendiri. Jadi, apa yang telah kita lakukan itu merupkan kebatilan bagi peradaban. Ah, entahlah kapan semuanya dapat berakhir."

Perwira belia itu diam menyimak. Apakah jejelma dedewi telah diturunkan dari langit tetapi ia tergolek tak berdaya karena maharana telah menghancurkan segalanya?!

Sejenak ia menggeleng. Wajahnya yang keras dan persegi tampak lesi. Sungguh, ia tak paham atas apa yang terjadi dengan Tionggoan. Makna yang dicerapinya hanya setipis ari. Apakakah gada kebatilan telah menghancurkan segala kebajikan di dunia ini?!

Ah, gadis itu hanyalah seonggok daging dan tulang-belulang yang ringkih. Ia bukan Hwasan yang kokoh dan gagah perkasa. Setiap saat ia dapat terbunuh di medan laga. Dan hal itu lebih menyakitkan ketimbang alur fiktif khayalannya sendiri. Bahwa ia mendapati dirinya terbantai dalam maharana. Ia takut kehilangan gadis itu lebih dari apapun juga di dunia ini. Ia akan menangisi kematian gadis itu lebih dari seribu malam. Ia akan hancur bersama hilangnya jasad gadis itu menjadi debu. Ia akan merasa kehilangan nyawanya sendiri. Nyawa yang telah manunggal dengan dirinya. Oleh karenanya, ia akan menjadi tameng bagi seorang Fa Mulan. Ia tidak dapat membiarkan gadis yang sangat dipujanya itu menyongsong perang.

Namun dedewa seolah rungu, tak mampu menjelmakan sebuah mana bagi gadisnya yang heroik. Tak ada mukjizat yang diturunkan dari svargakaloka. Dedewa telah menulikan telinganya sendiri. Dedewa telah membutakan matanya sendiri. Mereka tidak mampu lagi meraba segala kebajikan, dan memusnahkan rona kebatilan yang telah meranggas dengan cepat serta melahap semua benih-benih kebaikan di mayapada. Lantas kini ia seolah meniti lapak ajal yang telah tertoreh untuknya. Detak demi detak pada jantungnya, dan denyut demi denyut pada nadinya, ia hanya menghirup kekobongan hingga kematian itu memaksa jiwanya melayang-layang entah kemana. Inikah sesungguhnya kematian yang virtual?! Kematian yang sejati, yang selama ini hanya memberdirikan raganya saja?! "Saya tidak pernah takut terhadap kematian. Saya hanya takut terhadap apa yang telah ditimbulkan oleh maharana."

Sebuah penegasan yang kerap ia dengarkan dari gadis itu kembali berdenyar di telinganya. Sesungguhnya dedewa tidaklah berlaku adil terhadapnya. Bukankah dengan segala kesaktian mereka, gadis itu dapat diberi kekuatan untuk mengatasi kematian yang cuma sedepa itu? Tetapi mereka tidak melakukannya. Mereka seolah tidak peduli. Bahkan mereka membiarkan sang angkara murka dengan bebas mempermainkan nasib gadisnya.

Gadis itu masih kecil. Namun ia telah menghadapi gergasi masalah. Seribu satu pelik persoalan bangsa telah menghantamnya bagai gada raksasa yang siap meremukkan kepalanya. Inikah keadilan yang diturunkan dari surga untuk Magnolia Tionggoan?!

"Kadang-kadang saya terlalu egois, Kapten Shang. Saya terlalu oportunis, dan melalaikan satu hal, bahwa kita manusia penuh dengan keterbatasan. Saya percaya Anda diutus Dewata untuk mengingatkan saya akan hal itu."

"Saya tidak sesuci yang kamu katakan tadi, Mulan." "Memang tidak sepenuhnya demikian, tapi paling tidak saya dapat memahami konteks kontemplasi, sehingga tidak bertindak gegabah dan sia-sia. Dan satu hal lagi, saya tak akan binasa dengan sia-sia."

"Mulan. "

"Memang benar, bukan?"

Shang Weng melirik. Didapatinya senyum tulus pada wajah lesi gadisnya. Bukan sekali dua ia begini. Namun telah berkali-kali. Berkali-kali, sehingga ia tidak pernah tahu apa yang tengah dialaminya. Dalam maharana kali ini pun ia tak pernah takut akan kematian. Ia tidak pernah terkalahkan oleh rasa kerdil dan inferior. Ia adalah gergasi patriotik yang sesungguhnya.

Pemberontakan jelata Han dan Mongolia adalah remah dari bentuk ketidakpuasan manusia. Itulah mulakat kesalahan yang tak boleh terulang pada masa-masa yang akan datang.

Kehancuran lantaran inferioris adalah bentuk kelalaian yang tidak dapat dimaafkan oleh sesiapa. Pun tak terkecuali para pemimpin bangsa yang mengendalikan segala titah dan amar keputusan. Karena itulah kesewenang-wenangan harus dihentikan. Karena itu pulalah gadis Magnolia bernama Fa Mulan itu terus berjuang dan berjuang tanpa pamrih agar kedamaian menyata di Tionggoan. Namun sungguh perjuangan yang tanpa berbelas. Ia menyuarakan kebajikan dan menampik kebatilan atas nama langit dan cinta yang wangi. Ia memimpin secara tegas tetapi jauh dari tiranisasi. Bukankah, ia merupakan pemimpin yang unggul dan mengungguli segala para pemimpin yang ada di Tiongggoan sekalipun ia merupakan kaisar tertinggi?!

Oh, Mahadewa nan Agung!

Dimanakah letak keadilan surga yang telah didengung- dengungkan sejak para leluhur beranak pinak bahkan telah meleluri di kekinian? Tunjukkanlah kesaktian-Mu, tunjukkanlah kuasa-Mu sehingga mereka dan mereka tahu mana kebenaran dan mana kebatilan. Pertumpahan darah telah menyebabkan segalanya menjadi tak ada artinya. Genosida dan pembantaian telah menjadi budaya di mana-mana! Manusia telah menjadi serigala bagi manusia lainnya. Letupan amarah bagai meriam, meletup, meledak, dan melantakkan segala. Itukah angkara dan hukuman, ataukah hanyalah sebentuk ketidakpedulian yang Engkau tunjukkan karena kekhilafan manusia?!

Lalu, apakah gadis Magnolia itu adalah jejelma dedewi yang diturunkan oleh-Nya untuk menghalau segala angkara?! Oh, inilah bentuk ketidaktahuan oleh sesiapa dan sesiapa. Inilah bentuk kebodohan manusia yang telah digariskan secara verbal oleh dirinya sendiri. Inilah bentuk ketololan manusia yang telah ditakdirkan olehnya sendiri sehingga ia menjadi keledai yang selalu dan selalu jatuh ke dalam lubang yang sama.

Ya, manusia adalah keledai. Keledai yang setiap sebentar dapat menjelma menjadi serigala dan memangsa sesiapa yang merupakan kaumnya sendiri. Bukankah demikian merupakan tindak ketololan yang jauh melebihi ketololan yang ada di muka bumi ini?!

Dan ini adalah ketololan Tionggoan!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar