Mulan Ksatria Putri Tionggoan Jilid 05

Jilid 05

Bab 21

Jangan sodori aku sangu titah sebab lidahku mendadak kelu

ujung pedangku pun tumpul karenanya prosesi itu telah mematikan akal

aku tak hendak jadi nisan

- Bao Ling

Nyanyian Sunyi pada Pertempuran Suatu Malam

***

Kao Ching menghela napas panjang.

Sesaat menghentikan langkahnya menyaksikan dua bocah yang sedang asyik bermain di pasir. Anak laki-laki yang lebih jangkung dengan selempang kulit kambing di bahunya sesekali tertawa entah karena apa. Sementara itu bocah laki-laki lainnya, berbadan kurus dan pendek, tampak mewek dan mengentak- entakkan kakinya ke pasir. Stola beledu coklat tanah yang dikenakannya terpasang agak miring, dan nyaris menutupi ujung mata kirinya.

Kao Ching melangkah dengan dada sesak.

Dihindarinya langkah sekawanan kambing yang mengarah ke jalurnya. Ia menepi. Berhenti di samping jaro. Anak-anak Mongol yang dilihatnya bermain pasir tadi kini telah berdiri. Menepuk- nepuk tangan mereka yang berdebu. Lalu berusaha mengganggu sekawanan kambing yang berjalan lambat ke tengah gurun beroase. Anak berselempang kulit kambing itu tampak melompat-lompat kegirangan seusai menggebah seekor anak kambing yang tertinggal di belakang. Yang berlari terbirit akibat cambukan pelepah ilalang liar pada punggungnya.

Kenangan masa kecilnya terkuak.

Betapa damainya alam gurun. Sekian tahun diakrabinya sejumput aroma oase, embusan pasir yang basir, serta alunan tabuhan rebana yang mengiringi tarian para gadis Mongol berhidung bangir. Sehingga setiap jengkal tanah gersang itu telah mempolakan subtilitas nomadi di serabut kelabu otaknya. Kesederhanaan yang kini telah terpampas oleh sesosok makhluk majas yang bernama ambisi!

Temujin telah hilang dibawa oleh angin.

Ia telah dibuai oleh ambisi maya berpamrih takhta. Dimensi lain sang waktu telah membopongnya ke dalam lara majas buana. Sehingga terkungkunglah ia di dalam segenap ambiguitas mayor. Ia tak lagi baku. Seorang penggembala sejati, yang berbekal busur dan anak panah di atas punggung kuda Mongol. Lafaznya tak lagi sehangat dulu. Tak seramah embun pagi yang menyapa padang lalang di gurun.

Kao Ching mengusap wajah.

Kapabilitasnya telah terpampas. Kendali atas mobilitas pasukan Mongol tidak lagi berada di ujung lidahnya. Jenderal Thamu Khan telah merampasnya. Ia telah menggerakkan sekawanan nasar ke arah Tionggoan. Mengundang maharana. Pelantak damai di muka bumi!

Ia menyergah dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Maharana tidak boleh terjadi. Seluruh rakyat Mongol akan menderita. Ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan keluarga di Mongolia akan kehilangan anak dan sanak saudara mereka yang menjadi korban dari perang laknat. Kematian yang sia-sia, dan tidak membawa faedah apa-apa.

"Jangan gegabah, Jenderal Thamu Khan!" "Ini perintah Pemimpin Agung Genghis Khan!"

"Anda beserta beberapa atase militer dapat membatalkan penyerangan. Baba pasti akan mempertimbangkan keputusannya itu."

"Kalau bukan kita yang menyerang, maka Tionggoan-lah yang akan menyerang kita!"

"Lantas, apa bedanya dengan tindakan kita sekarang?! Kita menyerang duluan, lalu mereka akan membalasnya!" "Tapi. "

"Jenderal Thamu Khan, saya hargai deferens Anda terhadap Baba. Saya hargai pengabdian Anda terhadap Mongolia. Tapi, untuk hal yang satu ini Anda mesti melihatnya dengan mata hati."

"Saya hanya pengabdi kecil, Pendekar Kao."

"Tapi Anda harus memiliki jiwa besar untuk masalah hajat hidup orang banyak. Ini masalah jutaan nyawa manusia!"

"Saya paham afeksi perasaan Pendekar Kao. Tapi, kadang- kadang memang ada yang mesti kita korbankan untuk dapat mencapai cita-cita yang luhur."

"Cita-cita luhur tersebut akan ternoda apabila Jenderal Thamu Khan tetap bersikeras dengan keputusan menyerang Tionggoan! Perang bukan solusi yang baik!"

"Tapi perang dapat menyelesaikan masalah Mongol, Pendekar Kao!"

"Tidak ada penyelesaian masalah dengan jalan kekerasan. Justru hal itu akan membawa masalah baru. Saya sangat tidak sepaham dengan pola pikir seperti itu."

"Maaf, Pendekar Kao. Ribuan tahun kaum nomad Mongol bertahan hidup dari kekerasan. Kalau tidak begitu, mana bisa ada Mongolia sampai sekarang. Sedari dulu kita tidak bertempat tinggal tetap. Terusir dari satu daerah ke daerah yang lainnya." "Kalau itu sudah menjadi predestinasi, kita mau menggugat siapa?! Dan saya tidak ingin habitat yang sudah turun menurun diturunkan dari langit itu dijadikan dalih pemberontakan batin, dan mengkompensasikan keresahan itu dalam bentuk invasi ke negara lain."

"Masalahnya tidak semudah yang Anda pikirkan, Pendekar Kao."

"Dan penyerangan ke Tionggoan pun tidak semudah apa yang Anda bayangkan, Jenderal Thamu Khan! Banyak faktor yang mesti Anda pikirkan di luar dari strategi yang telah Anda susun dan rencanakan. Semangat yang menggebu-gebu dengan pasukan sebesar apa pun tidak cukup menjadi sangu untuk merebut wilayah orang."

"Tapi. "

"Bila Anda bersikeras, sama juga berarti Anda mengirimkan jenazah untuk keluarga prajurit Mongol!"

"Maaf, Pendekar Kao! Mungkin tidak etis Anda mengatakan hal itu di saat pasukan Mongol dalam persiapan penuh. Seharusnya Anda menjadi motivator. Bukan sebaliknya. Mengendurkan semangat tempur pasukan Mongol!" "Saya berkata apa adanya. Tidak ada yang saya tutup-tutupi untuk urusan seurgen nyawa orang."

"Tapi. "

"Pasukan Han pimpinan Jenderal Shan-Yu dan Han Chen Tjing baru saja dipukul mundur. Bahkan ratusan ribu prajurit mereka tewas di perbatasan Tembok Besar oleh kedahsyatan prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong Dinasti Yuan. Apakah Jenderal Thamu Khan tidak belajar dari pengalaman?!"

"Kita sudah mengantisipasi hal itu! Kita memiliki strategi jitu untuk meredam prajurit dari divisi baru mereka!"

"Jangan takabur, Jenderal Thamu Khan! Meski divisi baru mereka itu jauh tidak sebanding dengan jumlah pasukan kita, tapi mereka tidak boleh diremehkan!"

"Atase militer sudah memikirkan cara untuk melumpuhkan divisi baru mereka itu, Pendekar Kao. Salah satunya adalah dengan penyerangan secara frontal dan terpadu pada satu titik lemah lawan."

"Kekuatan mereka tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, Jenderal Thamu Khan!"

"Tentu. Tapi, berdasarkan data intelijen kita, mereka tidak akan dapat membendung pasukan Mongol yang datang bagai air bah!"

"Asumsi tidak dapat dijadikan landasan kekuatan Mongol!" "Mungkin. "

"Tidak ada strategi yang paling jitu selain diplomasi, Jenderal Thamu Khan."

"Diplomasi tidak masuk dalam agenda strategi."

"Kalau begitu, Anda mesti bersiap-siap untuk kehilangan banyak nyawa!"

"Itu risiko perang!"

"Kalau risiko bisa dihindari, kenapa tidak?!"

"Maksud Pendekar Kao, apakah kita harus mengalah?! Dan membiarkan Tionggoan. "

"Mengalah adalah salah satu strategi. Mengalah untuk mencapai kemenangan merupakan sebuah siasat yang paling jitu dalam peperangan. Menghindari terjadinya pertumpahan darah adalah kemenangan gemilang dalam maharana! Jauh lebih jaya ketimbang kemenangan tentatif!"

"Penaklukan merupakan satu-satunya cara, Pendekar Kao. Armada besar, kemampuan dan semangat tempur yang menggebu-gebu sudah dimiliki oleh pihak kita. Pengenduran adalah kekalahan. Kalau bukan sekarang, selamanya Mongolia akan dianggap bangsa yang lemah!"

"Status bangsa besar tidak ditentukan dari seberapa besar negara itu menaklukkan negara lain. Tapi seberapa jauh kontribusi dan eksistensi kehadiran negara tersebut sebagai bagian dari dunia. Sayang Baba sudah bertindak terlampau jauh. Tidak memikirkan bagaimana seharusnya prospektif Mongolia ini ditempatkan."

"Kekuatan sebuah negara terletak pada angkatan perangnya, Pendekar Kao. Saya sangat tidak sepaham kalau Anda mengabaikan hal itu. Negara yang seperti Pendekar Kao maksud itu nantinya akan menjadi negara lemah. Negara pesakit yang setiap saat dapat menjadi sasaran empuk invasi negara kuat dan besar. Makanya, Mongolia mesti memiliki armada perang besar. Persis yang dibangun oleh Pemimpin Agung Genghis Khan sekarang!"

"Membangun kekuatan armada perang semata akan melemahkan sektor lain, Jenderal Thamu Khan! Sektor lainnya akan terlalaikan sehingga menghambat perkembangan ekonomi negara. Rakyat pulalah yang akan menderita nantinya!" "Tapi. "

"Sekarang saya tidak memiliki kapabilitas apa-apa untuk mencegah penyerangan, Jenderal Thamu Khan! Tapi, saya hanya dapat meminta agar semua atase militer dapat membuka mata supaya bertindak benar. Bukannya jumawitas megalomania karena merasa telah memiliki legitimasi dan kemampuan tempur yang jauh di atas batas kemampuan negara lain!" "Tapi. "

Maklumat penyerangan itu sudah jelas.

Tidak ada yang dapat menghentikannya lagi. Sekawanan nasar akan menghitami langit Tionggoan. Menyerang negara itu bertubi-tubi seperti gemawan yang mencurahkan rambun kematian. Satu nestapa kemanusiaan yang telah merimbun dalam rupa baur. Ia menggeleng sedih. Gamang dengan keputusan ayah angkatnya!

Kao Ching melangkah tanpa permisi.

Ia keluar dari tenda salah satu atase militer kepercayaan Genghis Khan itu. Ia ingin secepatnya pergi dari tempat para nasar beranak-pinak. Jauh ke suatu tempat terpencil. Melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di sana.

Ia ingin mengobati luka hatinya.

Bab 22

Randa datang bersama selaksa nasar himpunan segala angkara dalam nisbi loba ada jeritan terdengar di langit hitam melengking membelah karang-karang maka gemintang tak lagi bercahaya meredup ditelan gulita malam Malang meranggas di bumi ini beberapa penyeru berkuda menyerbu tapak-tapaknya yang menggagah derap-derapnya yang meriuh

adalah gergasi kematian

- Bao Ling

Anominitas Tanah Babur

***

Rindu merenda hari ada bayang baur

pada lukisan wajah ayu

"Rindu merenda hari, ada bayang baur, pada lukisan wajah ayu. Pendek. Bao Ling, kamu yang menulis puisi alit ini?" Fa Mulan melambai-lambaikan kertas buram yang tengah digenggamnya. Bao Ling mendekat. Mengambil kertas di tangan Fa Mulan. Lalu membacanya dengan dahi mengerut. Fa Mulan masih menanti jawaban. Ia berkacak pinggang seperti biasa.

"Rindu merenda hari..."

"Ada bayang baur," timpal Fa Mulan.

"Pada lukisan wajah ayu," ujar Bao Ling pelan, seolah sedang mengeja. Ia menggeleng di ujung kalimatnya. "Bukan karya saya."

"Jadi, puisi ini punya siapa?!" "Dapat dari mana, Asisten Fa?" "Di tanah, di depan tenda." "Puisi siapa, ya?!"

"Kalau bukan punyamu, lalu punya siapa?"

"Saya juga bingung. Selama ini saya jarang menulis puisi cinta, Asisten Fa."

"Lalu. "

"Selain saya, setahu saya tidak ada prajurit yang bisa menulis puisi. Apa bukan karya Kapten Shang?"

"Tulisan dia tidak begini." "Aneh."

"Mungkin diterbangkan angin hingga sampai kemari." "Mungkin. Tapi, kenapa jatuh di depan tenda saya?!" "Mungkin kebetulan."

"Mungkin. Tapi kalau membaca maknanya, seperti elegi. "

"Benar. Meresapi karya ini, kita seperti mendengar sebuah ratapan tentang keresahan batin."

"Makanya. "

"Puisi alit ini bagus. Selain berkaligrafi indah, makna yang tersirat di dalam tulisannya juga menyuarakan dramatisasi hati. Pasti bukan penyair biasa."

"Saya pikir juga begitu kalau menyimak huruf-hurufnya yang hidup dan tegas." Fa Mulan mengambil kertas bertulis puisi alit itu dari tangan Bao Ling. Menyimaknya kembali seperti mengamati lektur tanpa tepi. Ia berjalan tiga langkah dari daun tenda. Mencoba mencari makna yang sebenarnya.

"Hei, lihat. Di sini ada kertas lagi, Asisten Fa. Tertancap dengan sebilah anak panah di tiang tenda!" Bao Ling spontan berteriak. "Rupanya sengaja dikirim melalui lesatan anak panah."

Fa Mulan mendekati Bao Ling yang tengah mencabuti beberapa lembar kertas di tancapan anak panah pada tiang kanan tendanya. Dibacanya kertas lembar pertama yang dipentang di telapak tangan Bao Ling.

Angin membawaku kemari pada padang ilalang Meski aku harus hilang dari rimba rani

Fa Mulan mengeja huruf kanji yang ditulis dengan sentuhan indah. "Angin membawaku kemari. Pada padang ilalang. Meski aku harus hilang. "

Bao Ling menerusi, menamatkan puisi alit yang dibaca oleh Fa Mulan. "Dari rimba rani."

"Masih berlantun elegi," reka Fa Mulan, mengerutkan keningnya. Bao Ling mengangguk.

Ia membuka lembaran kertas kedua. Kali ini ia tidak mendapati kaligrafi puisi. Tetapi sebuah surat biasa semacam manuskrip yang ditujukan untuk Fa Mulan.

"Surat untuk Asisten Fa," sahut Bao Ling, menyerahkan kertas- kertas buram tersebut kepada Fa Mulan yang masih mengernyitkan keningnya.

"Surat?!"

"Khusus ditulis untuk Anda, Asisten Fa," jawab Bao Ling. "Rupanya ada pesan penting yang hendak disampaikan oleh si Pengirim."

"Siapa?!"

Bao Ling mengerutkan dahinya.

Disibaknya lembaran kertas terakhir yang berada di tangan Fa Mulan. Dan ia terkesiap dengan pijar tegas yang sedari tadi melelatu dalam benaknya. Kao Ching. Si Pendekar Danuh! "Kao Ching!" desis Fa Mulan.

"Pantas. "

"Akurasitas bidikan anak panah ini. "

"Tidak meleset saat ditembakkan, tepat menancap di tiang kanan bagian atas tenda Anda, Asisten Fa!"

"Luar biasa. "

"Pasti dilesatkan dari jauh. Kurang lebih seperempat mil dari perbatasan Tembok Besar ini!"

"Pendekar hebat!" Bao Ling mengangguk mengakuri.

Diedarkannya pandangannya ke depan. Pada hamparan padang ilalang di bawah Tembok Besar. Jauh di sana, ia melihat

lembah-lembah yang menubir. Hanya seseorang yang memiliki kemampuan luar biasalah yang dapat melakukan hal menakjubkan. Melesatkan anak panah dari kejauhan yang tak dapat diterima nalar. Seperti sambaran kilat dari angkasa.

"Si Pendekar Danuh!" Fa Mulan kembali mendesiskan kalimat. Menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa takjub dan heran dengan talenta danuh yang dimiliki pemuda peranakan Mongol- Han itu.

"Sejak mula melihat anak panah yang menancap di tiang tadi, seharusnya saya sudah dapat menduga kalau Si Pengirim surat ini adalah Kao Ching, Asisten Fa!"

"Tentu. Selain Kao Ching, siapa lagi yang memiliki talenta danuh sehebat itu?"

"Tapi, saya terlebih tidak menyangka kalau Kao Ching juga pandai menulis puisi."

"Bakat terpendam seorang anak dari padang gurun." "Ya, itulah realita kebajikan seorang Kao Ching!"

"Dia serupa manusia bijak yang dimaksud Guru Fang Wong kepada saya semasa kanak-kanak dulu, Bao Ling."

"Dia memiliki banyak kelebihan. Selain talenta danuh, dia juga menguasi wushu yang tidak kalah baiknya. Tapi dia tidak pernah menyombongkan dirinya. Dalam beberapa sayembara, dia tidak pernah ikut sayembara adu tarung dan prosa. Padahal, dia mahir kungfu dan pandai berpuisi. Dia tidak kemaruk dengan hadiah sayembara ketangkasan lainnya. Bukankah itu replika air selaras Taichi Chuan seperti yang pernah Asisten Fa utarakan kepada saya?"

"Betul. Meski Kao Ching berada di pihak musuh, tapi saya tidak merasa dia sebagai lawan."

"Saya pun merasakan hal yang sama, Asisten Fa." "Surat ini pasti penting."

"Tentu, Asisten Fa. Sepertinya, ada hal penting yang hendak dia sampaikan sehingga mengirimnya melalui lesatan anak panah tanpa sepengetahuan prajurit pengawas binara Tembok Besar." Fa Mulan segera membaca surat yang telah dipaparkannya di telapak tangannya.

Prajurit Fa Mulan,

Maafkan saya karena lalai menyampaikan surat ini secara santun tindak. Namun terpaksa saya lakukan karena tidak memiliki jalan lain agar surat ini dapat sampai kepada Anda tanpa diketahui oleh prajurit pengawas binara Tembok Besar. Saya tidak ingin bertempur dalam kebimbangan ini. Duel kemarin sudah cukup meresahkan batin saya. Saya merasa bertemu dengan diri saya sendiri. Bertarung dengannya. Saling menyakiti sehingga masing-masing terluka. Saya tidak ingin hal itu terulang lagi.

Setelah berduel dengan Anda di bawah binara Tembok Besar, saya akhirnya menyadari satu hal. Bahwa saya harus menentukan sikap tegas dalam ambivalensi ini. Saya harus menentukan benar, mana kawan dan mana lawan dalam konsekuensi apa pun. Dan ketika semuanya telah tercetus dalam hati, maka rasanya saya terkapar lunglai tanpa jiwa.

Kawan adalah lawan saya selama ini. Dan kawan adalah lawan saya, yang tanpa saya sadari telah menelusup ke setiap sendi dan urat nadi saya.

Duel kemarin adalah kontemplasi. Denyar subtil melelatu dalam nurani. Batas itu telah saya sentuh. Menyakitkan memang ketika saya mendapati diri saya terhimpit dalam dilematisasi ini. Bahwa saya tidak pernah menganggap Anda dan pihak Yuan sebagai musuh. Justru sebaliknya. Namun alangkah naifnya kalau menafsir hal itu sebagai skenario. Mungkin itu semua merupakan aplikasi takdir. Entahlah.

Saya sama sekali tidak mengetahui kalau Anda sebenarnya adalah Fa Mulan. Sebuah kembang Magnolia milik Tionggoan yang sangat berharga! Saya ketahui semuanya itu setelah mendengar dari Jenderal Thamu Khan - seorang panglima perang yang, entah besok atau lusa, akan menyerang negeri Anda. Ia telah menceritakan semua kedigdayaan Anda memukul pasukan Han. Anda bukan prajurit sembarangan.

Surat ini hanyalah pencurah lara hati. Mungkin tidak etis. Tetapi saya tidak memiliki waktu lagi untuk mengungkap semua karena besok atau lusa, dua negeri akan diberangsang maharana.

Mungkin surat ini hanyalah romantisme baur. Keresahan hati saya yang terpendam selama ini!

Keresahan saya bukan karena bayang kematian yang mengikuti seorang prajurit seperti roda pedati mengikuti sang kuda. Tetapi saya galau melihat mawadah yang raib oleh sebuah ambisi bernama takhta. Saya tidak paham dengan segelintir Penguasa Mulia Mongolia. Mungkin juga puak terpandang di kalangan Anda. Apakah mereka mesti menumpahkan darah di tanah untuk menduduki Kursi Tunggal Sang Naga itu?!

Jika benar konspirasi batil yang telah meracuni otak para rani, maka saya tidak menyesal meninggalkan semua yang telah menyertai saya sejak lahir. Hutang-hutang jasa saya terhadap Temujin adalah belenggu terbesar yang telah memasung saya selama ini. Saya sadar, saya tak akan mampu melunasinya dalam kehidupan ini. Saya tidak ingin melunasi hutang-hutang jasa itu dengan tumbal darah dalam maharana. Membantai orang-orang tak berdosa. Saya bersumpah untuk membalasnya pada kehidupan saya yang akan datang. Tidak pada kehidupan ini. Sebab saya tidak manda melihat tangisan anak-anak kecil yang kehilangan kasih sayang orangtuanya. Karena saya merupakan duplikasi dari durja itu. Nestapa yang telah dilahirkan dari rahim maharana.

Saya kehilangan Ayah. Lalu sebuah takdir langit telah menggariskan saya dipelihara oleh Temujin. Ayah, pahlawan, sekaligus musuh saya sendiri!

Ini ironi!

Langit seolah menghukum saya. Saya dihadapkan pada sebuah dilema babur. Dua pilihan yang sungguh sulit untuk diputuskan. Namun demi yura, saya lebih memilih hengkang dari tanah yang telah meniupkan lafaz dalam napas saya.

Dan menentang sikap apriori Ayah saya sendiri....

Bab 23

Hingar benar denting itu

hingga menulikan sepasang gendang telinga ada apa dengan semesta?

sehingga mentari pun tak lagi ramah aku serasa dilalap murka

rudapaksa serupa pewaka - Kao Ching

Kisah pada Busur dan Anak Panah

***

Seminggu menjelang Festival Barongsai kawasan Istana Da-du tampak riuh dengan segala aktivitas penyambutan. Ibukota Da- du mendadak meramai oleh nuansa euforia, selayaknya penyambutan tahun baru penanggalan lunar Imlek yang sudah turun-temurun dirayakan rakyat Tionggoan. Masyarakat antusias menyiapkan diri ikut perayaan besar yang diselenggarakan Kaisar Yuan Ren Zhan sebagai simbolis kemenangan Yuan atas pemberontakan Han. Sebagian penduduk dari kalangan terpandang berbondong-bondong untuk turut menjadi peserta lomba barongsai tersebut.

Perguruan silat ternama juga tidak mau ketinggalan. Mereka malah sudah mempersiapkan diri berlatih jauh-jauh hari. Selain karena acara Festival Barongsai tersebut akan disaksikan oleh Sang Kaisar sendiri, juga karena lomba dalam Festival Barongsai tersebut menyediakan hadiah yang sangat menggiurkan bagi para pemenang.

Festival Barongsai itu sebetulnya lapat-lapat terdengar sebagai ajang pencarian bakat pewushu handal di balik euforia kemenagan Yuan atas musuh pemberontak Han di Tung Shao dan perbatasan Tembok Besar. Karenanya, Festival Barongsai itu dapat diikuti oleh khalayak umum dari kalangan manapun. Namun di balik itu, ada hal yang sebenarnya paling mendasari diselenggarakannya acara akbar inisiatif Sang Kaisar tersebut. Bahwa acara yang terbilang megah itu bertujuan memploklamirkan Yuan sebagai penguasa tunggal Tionggoan. Tionggoan di bawah Dinasti Yuan yang telah melahirkan prajurit- prajurit handal dan loyal seperti Fa Mulan.

Namun Kaisar Yuan Ren Zhan tidak pernah berterus terang mengungkapkan empati bangganya terhadap aksi heroik Fa Mulan. Justru Jenderal Gau Ming-lah yang gamblang ingin memberikan tanda penghormatan pada tindakan penyelamatan gemilang gadis mantan wamil itu pada Dinasti Yuan. Dan secara pribadi ia selalu mengagung-agungkan sosok Fa Mulan di hadapan penguasa tertinggi Tionggoan tersebut.

Tetapi seminggu menjelang Festival Barongsai itu pulalah, jenderal ahli strategi itu digamangkan oleh sebuah kasus yang baru terungkap sekarang. Berita yang diperolehnya dari pihak intelijen Istana membuatnya sangat terpukul. Sama sekali tidak menyangka persiapan pesta besar Istana Da-du yang telah rampung sempurna itu akan direcoki oleh satu hambatan besar. Dan lagi-lagi berasal dari biang pengganggu ketenteraman negara. Pemberontak Han!

"Kami menemukan indikasi adanya penyusupan jasus musuh ke dalam Istana Da-du, Jenderal Gau!"

"Apa?!" Jenderal tua itu melotot. Matanya yang sebesar kuaci itu membolide. Terperangah untuk beberapa saat sebelum menormalkan peredaran hormon adrenalin yang tiba-tiba menjalar seperti lahar di sekujur nadinya.

"Maaf, Jenderal Gau!" Zhung Pao Ling mengepalkan tangannya dengan sikap hormat disertai sedikit bungkukan badan sebagaimana lazimnya. Prajurit Kepala Intelijen itu tampak merasa bersalah, menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap wajah tua di hadapannya.

"Seminggu lagi Festival Barongsai sudah dimulai! Saya tidak ingin acara yang diselenggarakan kaisar itu hancur berantakan gara-gara ada pengacau kecil!" geram Jenderal Gau Ming dengan mimik gamang.

"Maaf, Jenderal Gau. Saya siap menerima hukuman. Ini kesalahan saya!"

"Sekalipun kepala kamu dipenggal, hal itu tak akan mampu menghapus coreng malu di wajah kaisar apabila terjadi gangguan sekecil apa pun pada Festival Barongsai minggu depan!"

Zhung Pao Ling terdiam.

Entah harus menjawab apa menanggapi kegusaran Jenderal Gau Ming. Diedarkannya mata ke sekeliling ruangan markas strategi sebagai reaksi kegamangannya. Ruangan tersebut sudah menjadi lafaz kehidupan jenderal tua itu sekarang - sejak Kekaisaran Yuan diganyang oleh pemberontakan dari kaum jelata Han dan nomad Mongol, Jenderal Gau Ming saban hari duduk menyendiri di belakang meja strategi. Memang, tentu bukan perkara gampang kalau jasus musuh sudah sampai memasuki lingkungan Istana Da-du. Selain Jenderal Gau Ming, maka ialah yang merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Sang Kaisar di Istana Da-du. 

Seharusnya jauh-jauh hari ia sudah harus mengantisipasi hal itu. Namun memang tidak mudah mengawasi ribuan peserta Festival Barongsai yang berasal dari berbagai negeri. Dan ketika sehari sebelum tiba pada saat festival, ia baru mengetahui kalau di dalam lingkungan Istana Da-du sudah menelusup beberapa orang jasus musuh. Kali ini mereka ikut sebagai peserta Festival Barongsai.

"Sekarang, saya tidak peduli bagaimana cara kamu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan! Lekas ambil tindakan pencegahan, serta perketat pengawasan kepada setiap peserta Festival Barongsai. Jangan sampai ada yang luput!" "Baik, Jenderal Gau!"

Zhung Pao Ling kembali menghormat dengan takzim sebelum meninggalkan ruangan strategi. Ia melangkah setelah pamit lewat bahasa gerak tubuhnya. Tidak ada basa-basi lagi. Ia harus segera mengenyahkan jasus yang sudah mengendap masuk ke dalam Istana Da-du. Mereka pasti bukan orang biasa kalau dapat lolos dari penjagaan ekstra ketat di gerbang masuk kawasan Istana Da-du. Namun sebelum hal yang terburuk terjadi, maka ia rela mengorbankan nyawanya mulai dari sekarang.

"Tunggu."

Prajurit loyal bertubuh jangkung itu tertahan di bawah bingkai pintu keluar, lalu membalikkan badan oleh satu panggilan yang berdesibel tinggi di gendang telinganya.

"Hormat saya," ujarnya spontan. "Apa yang dapat saya lakukan lagi untuk Anda, Jenderal Gau?"

"Cepat sampaikan pesan saya ke Prajurit Kurir Bao Ling di luar markas. Segera hubungi saya di sini."

"Siap, Jenderal Gau."

"Nah, cepatlah. Saya ingin dia menyampaikan sekali lagi undangan pesta Festival Barongsai ke Asisten Fa Mulan. Saya ingin Asisten Fa Mulan hadir juga di Istana Da-du. Saya khawatir musuh sudah berada di sekitar Kaisar. Mungkin juga ada musuh dalam selimut. Entahlah. Saya dapat bernapas lega kalau sudah ada Asisten Fa Mulan di sini!"

"Siap, Jenderal Gau." Zhung Pao Ling meninggalkan ruangan strategi dengan langkah gegas. Diayunkannya kaki secepat mungkin ke alun-alun markas. Menghubungi sesegera mungkin Prajurit Kurir Bao Ling yang sedang mengaso di sana.

***

Bao Ling sedang mengamati ratusan prajurit yang tengah berlatih. Kadang-kadang ia turut membetulkan gerak dan jurus- jurus yang salah diperagakan oleh beberapa prajurit. Akurasi tusukan tombak sangat penting untuk bekal dalam perang nantinya. Salah berarti maut. Makanya, ia yang sangat memahami dan ahli beladiri bersenjata toya serta tombak sangat memperhatikan kesalahan-kesalahan kecil yang kerap menjadi kendala di kemudian hari.

"Konsentrasi."

Bao Ling terdengar mengaba-aba, sesekali menyentuh lengan atau bahu seorang prajurit yang bermandi peluh.

"Ya, ya. Konsentrasi. Pusatkan mata kalian pada satu titik saat menombak!" tegasnya dengan setengah berteriak. "Ayo, kerahkan tenaga kalian. Dalam perang hanya ada dua pilihan. Hidup atau mati. Tidak ada yang namanya setengah-setengah. Kalian harus camkan itu semua. Ingat, nyawa kalian tergantung pada ketangguhan diri kalian masing-masing. Hidup mati kalian terletak di tangan kalian sendiri. Jadi jangan pernah berpikir untuk setengah-setengah. Menganggap remeh lawan karena lemah, ataupun sebaliknya. Jadi, jangan sampai lengah. Ingat, konsentrasi!"

Zhung Pao Ling menghampi prajurit kurir tangguh Yuan itu sesampainya di area latihan. Ternyata Bao Ling masih menyempatkan dirinya melatih beberapa ratus prajurit Kavaleri Infanteri setelah beristirahat sebentar seusai makan siang. Ia membantu instruktur kepala yang memiliki kemampuan beladiri setingkat di bawah dengannya.

"Maaf, saya mengganggu aktivitas Anda, Prajurit Kurir Bao." "Oh, tidak apa-apa," balas Bao Ling, meninggalkan area latihan sampai beberapa langkah sembari menyeka keringat di dahinya. "Ada apa, Prajurit Zhung?"

"Jenderal Gau Ming memanggil Anda. Sekarang Anda sedang ditunggu di ruang strategi," tutur Zhung Pao Ling diplomatis. "Hm, kalau tidak ada apa-apa lagi, saya mohon pamit."

"Terima kasih, Prajurit Zhung," angguk Bao Ling sesaat sebelum lelaki bertubuh jangkung itu pamit dan berlalu dari hadapannya. Bao Ling melangkah ke ruang strategi yang terletak tidak jauh dari area latihan setelah membetulkan dan merapikan gelungan seragamnya. Pasti ada hal penting yang hendak disampaikan mendadak kepadanya. Ia sudah tahu benar watak jenderal tua itu. "Hormat saya kepada Anda, Jenderal Gau," sapanya santun saat memasuki bingkai pintu ruang strategi.

"Masuklah, Prajurit Kurir Bao." "Terima kasih."

Jenderal Gau Ming berdiri dari duduknya. Ia melangkah menghampiri pemuda yang menjadi andalah Kekaisaran Yuan untuk hal-hal yang sangat urgensi seperti pengiriman kawat dan manuskrip kepada pihak berwenang.

"Saya ingin Prajurit Kurir Bao segera ke Tembok Besar, menyampaikan undangan Istana Da-du kepada Asisten Fa Mulan sekali lagi. Selain untuk menghargai jasa-jasanya menghalau pergerakan pasukan pemberontak Han di Tung Shao, kehadiran Asisten Fa Mulan juga diperlukan untuk mengantisipasi jasus yang sudah menyelinap di kawasan Istana Da-du."

"Ja-jasus?!"

"Ya. Menurut data intelijen yang telah kita peroleh, jasus dari pihak Han telah memasuki kawasan Istana Da-du, dan ikut sebagai salah satu peserta Festival Barongsai. Ada indikasi bahwa mereka menjadikan Kaisar Yuan Ren Zhan sebagai obyek sasaran pembunuhan. Belum jelas memang. Tapi kalau benar, maka hampir dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang suruhan mantan jenderal Yuan, Shan-Yu!" "Jadi, apa yang mesti kita lakukan untuk mencegah rencana busuk pihak Han, Jenderal Gau?!"

"Itulah yang merisaukan saya saat ini! Makanya, saya harap Asisten Fa Mulan dapat hadir sebelum acara Festival Barongsai dimulai. Mungkin dengan kehadirannya, pihak Han ragu melaksanakan rencananya tersebut."

Bao Ling mengangguk-angguk.

Ia mafhum atas ketenaran nama Fa Mulan yang tiba-tiba melejit sejak aksinya yang terbilang heroik di Tung Shao. Kini semua mata seolah tertuju kepada gadis yang baru berusia belasan itu. Kecerdikan dan ketangkasan Fa Mulan menjadi buah bibir semua atase militer dan jenderal di Ibukota Da-du. Ia bahkan jauh melampaui kapabilitas beberapa petinggi militer Yuan, termasuk Kapten Shang Weng yang sudah lama mengabdi dan memimpin di Kamp Utara.

Tetapi perempuan yang terlahir sebagai anak tunggal di keluarga Fa itu memang bukan gadis biasa. Anugerah cerlang segemerlap bintang-bintang di belahan timur langit seperti menaunginya. Menyertai langkahnya yang terseok oleh sarat beban pranata. Kegigihannya sebagai prajurit paling sejati di antara prajurit Tionggoan telah menyibak sampur kelabu yang dinaungi bagi kaumnya turun-temurun.

Tak sadar Bao Ling tersenyum. Fa Mulan adalah Magnolia. Ia seolah mewakili satu koloni yang dianggap lemah, dan hanya terlahir serta hadir sebagai penghias dunia yang telah dihuni oleh laki-laki. Kadang-kadang kalimatnya seperti racau kala menyuarakan kegelisahan batinnya.

Idealisme perempuan!

Hah, sesuatu yang perlu ia bangun seribu tahun lamanya lagi! batinnya.

"Tapi, apakah Asisten Fa Mulan bersedia menghadiri acara Festival Barongsai itu, Jenderal Gau?" tanya Bao Ling ragu, lebih terdengar kepada dirinya sendiri ketimbang sebuah kalimat tanya untuk lawan bicaranya. "Bukankah Asisten Fa Mulan pernah menolak undangan yang pernah saya sampaikan kepadanya sebulan lalu?"

Ia ingat bagaimana penolakan Fa Mulan terhadap undangan atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan sekalipun! Ia masih ingat bagaimana bersikukuhnya gadis itu terhadap prinsipnya yang keras. Dan mengatakan Festival Barongsai yang diselenggarakan Sang Kaisar itu merupakan euforia yang sepatutnya tidak pantas dilakukan pada saat situasi dan kondisi negara masih labil.

"Bujuk kembali Asisten Fa Mulan agar mau hadir dalam acara Festival Barongsai itu."

"Maaf, Jenderal Gau! Tapi saya skeptis dalam hal ini. Asisten Fa secara tegas telah menolak menghadiri acara tersebut. Berkali- kali saya membujuknya, tapi dia berasumsi kalau kehadirannya tidaklah lebih penting dibandingkan tetap waspada menjaga daerah perbatasan di pos pengawasan Tembok Besar. Lagipula, Kapten Shang Weng masih dalam tahap proses penyembuhan luka lamanya. Jadi, Asisten Fa belum dapat mendelegasikan tugasnya kembali kepada Kapten Shang Weng."

"Bagaimana mungkin dia menolak menghadiri acara atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan?!"

"Tapi. "

"Katakan ini perintah!"

Jenderal Gau Ming tampak emosional.

Amarahnya masih belum surut saat mendengar Zhung Pao Ling mengabarinya perihal penyusupan jasus Han itu. Kalimatnya mengguntur tanpa sadar. Namun selekas mungkin dihelanya napas panjang untuk menetralisir emosinya yang meletup dengan basuhan partikel udara yang sedikit mendinginkan dinding paru-parunya.

Bao Ling kembali mengatupkan kedua belah tangannya ke depan membentuk hormat.

"Baik, Jenderal Gau. Saya akan menyampaikan amanat Anda sesegera mungkin."

"Tolong katakan kepadanya, kehadirannya sangat dibutuhkan oleh Istana Da-du. Dia adalah simbol keberhasilan armada perang kita. Adalah penghormatan besar apabila Asisten Fa Mulan dapat hadir dalam acara Festival Barongsai nanti." "Akan saya sampaikan, Jenderal Gau."

"Terima kasih. Nah, berangkatlah. Dan juga tolong katakan kepadanya, undangan ini atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan." "Baik, Jenderal Gau."

Tak berapa lama setelah berada di luar ruang strategi militer, tampaklah seekor kuda melesat bagai anak panah membelah udara senja keluar dari Ibukota Da-du. Bao Ling kembali mendapat amanat yang tak kalah kurang pentingnya.

Atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan ia mesti dapat mengajak gadis itu ke Istana Da-du!

Apa pun yang terjadi!

Bab 24

Langit samar berkata

lewat awan-awan sebagai penyerunya dan seribu unggas yang migran "Datanglah, Magnolia!"

Namun Engkau tak kunjung tiba terlebih menari di padang lalang lalu rintih itu menyurut diembus angin nan bising Oh, Magnolia

jangan biarkan halilintar menggasing dan membiramakan amarah deraunya pada desing telingaku

Bicaralah

di manakah Engkau maharani? Tionggoan telah terluka

- Bao Ling Lagu Magnolia

***

Ia dapat merasakan betapa naifnya jiwa dalam kekerdilan ini. Ratusan pasang mata selaksana mambang mengawasinya dari renggang dedaunan yang setipis bilah rambut. Setiap saat ia dapat ditikam dari belakang sampai pangkal pedang musuh tertancap dan memboyak punggungnya. Keringatnya menitik seperti bulir padi. Jatuh satu-satu.

Rengsanya menegak kala diresapinya ketakutan itu sebagai hal yang lumrah. Sisa-sisa kegentaran yang menghinggapinya seperti mambruk pada dahan rapuh, tergebah oleh satu kekuatan bermuasal dari naluri kependekarannya. Dipacunya langkah kuda lebih cepat dari semula. Melewati beberapa rintangan bambu runcing yang dipasang untuk menjebak dan membinasakannya di tengah hutan.

Sebilah anak panah melesat melewati ceruk dagu dan tenggorokannya. Lesatan anak panah lainnya datang susul menyusul ditangkisnya dengan kibasan-kibasan tombaknya yang berputar serupa propeler.

Ia masih memacu laju kudanya dengan beragam kisah yang membebani benaknya. Suatu saat nyawa yang mengaliri nadi- nadi dan urat-urat syarafnya akan tercabut dari raganya.

Dimafhuminya hal itu sebagai konsekuensi tugas moral yang diembannya kini. Mungkin di hutan ini. Mungkin juga bukan di hutan ini. Tetapi pada suatu tempat di mana maharana meranggas seperti padang lalang yang menusuk-nusuk kafilah. Telah lebih dari seribu kejadian. Ketangkasan hanyalah keahlian yang dapat meluputkan ia sesaat dari maut. Kepasrahan pada kematian adalah hal terpenting dalam meringankan batinnya.

Tiga belas mil telah ditempuhnya menjauhi Ibukota Da-du menuju daerah perbatasan Tionggoan-Mongol di pos pengawasan Tembok Besar. Satu rintangan telah dilaluinya. Dan ia sadar akan menghadapi rintangan-rintangan berikutnya.

Nyawanya hanya selembar. Sepantasnya memang diisi dengan hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan. Bukankah itu merupakan warna terindah bagi kehidupan? Ia tersenyum.

Masih memacu kudanya secepat lesatan anak panah. Ia teringat Fa Mulan yang sebentar lagi akan ditemuinya di pos pengawasan Tembok Besar. Magnolia itu telah memperindah serumpun lalang dan rumput di tanah yang kerontang. Bukankah hal tersebut sudah diwujudkan gadis Fa Mulan pada Tionggoan yang mawai oleh maharana?

Lamunannya buyar oleh sekelebat sosok hitam yang mengambang di atas kepalanya. Seperti terbang, sosok itu mengepak-epakkan kakinya serupa sayap kelelawar.

Menyambar dan meliuk sangat dekat sampai-sampai kucirnya mengibas terkena angin yang mendesau dari arah depan. Sosok hitam itu seolah kelelawar yang hendak mematuk dengan sepasang gigi taringnya.

Bao Ling mengelak, salto dan berguling-guling ke tanah menghindari sayatan pedang yang tiba-tiba keluar dari balik jubah hitam si Penyerang Misterius yang mengganggu perjalanannya. Kudanya mengikik dan berhenti mendadak tidak jauh dari tempatnya memijak.

Sosok hitam-hitam tersebut terus mendesaknya saat sepasang kakinya yang menyepak-nyepak udara tadi menjumput tanah. Tusukan-tusukan pedangnya yang mengilap dan terpantul sinar jingga rembang petang masih meliuk-liukkan badan obyek sasarannya seperti trenggiling.

Bao Ling bangkit berdiri dengan satu gerakan memutar setelah memantulkan kakinya ke sebatang bambu. Setelah sigap berdiri, ia mengangkat dirinya dengan gaya terbalik menghindari tusukan bertenaga pedang musuh. Tubuhnya melayang ditopang sebilah tombaknya yang bertumpu vertikal di tanah.

Kini ia sudah berada di atas kepala musuh dengan tubuh terbalik.

Di atas ia lebih leluasa melancarkan balasan. Dan kepala musuh menjadi titik terbaik untuk pelumpuhan. Sejurus saat masih mengambang di udara, Bao Ling melancarkan satu totokan jari telunjuk untuk mengikat mati simpul syaraf tepat di ujung ubun- ubun penyerang misterius tersebut. Namun seperti sudah mengetahui niat lawannya, sosok berpakaian hitam-hitam itu menangkis jari telunjuk Bao Ling dengan kepitan jari telunjuk dan jari tengahnya. Seperti sepasang sumpit bambu yang mengapit erat sebatang sosis.

Menyadari kegagalan serangannya yang mematikan itu, Bao Ling pun sesegera mungkin melancarkan tendangan bertubi-tubi ke wajah lawannya ketika tubuhnya memutar normal. Jari telunjuknya terlepas dari kepitan jemari lawan yang sekeras kepit kepiting karena konsentrasi sang lawan yang terburai saat menghindari tendangan sekuat sepak kudanya. Si penyerang misterius itu sedikit terdesak oleh serangan Bao Ling yang akurat dan bertubi-tubi. Namun rupanya ia bukan orang berilmu beladiri rendah. Buktinya tendangan cangkul dari Prajurit Kurir Yuan itu yang biasanya ampuh menyepak titik sasaran dahi dengan tepat dapat dihindarinya dengan satu kelitan badan seluwes walet.

Seperti menyadari beberapa falsafah silat yang pernah dipelajarinya bahwa, salah satu pertahanan terbaik ada dalam bentuk penyerangan, maka Bao Ling pun tak mengendurkan serangan-serangannya yang keras dan bertenaga. Tubuhnya yang tinggi dan jangkung memang senantiasa mendistribusikan energi potensial, sehingga lawan-lawan yang kerap dihadapinya kewalahan menahan pukulan-pukulan dari arah atas ke bawah. Dan biasanya setelah melewati serangkaian jurus yang memakan waktu cukup lama, maka tenaga lawan yang hanya dapat menangkis dan menangkis akan terkuras dengan cepat. Tetapi meski agak terdesak mundur, sosok berbalut jubah hitam dengan sampur gelap senada yang menutupi kepalanya itu tetap menyimpan marabahaya. Dan sesekali menyulitkan Bao Ling dengan tohokan-tohokan pedang bajanya yang tajam. Beberapa saat terdengar dentingan mata tombak dan ujung pedang yang beradu. Nada dentingan benda logam itu diikuti oleh merebaknya dedaunan kerontang di radius pertempuran. Sesaat laga dua pendekar itu masih berimbang.

"Siapa kamu?!" teriak Bao Ling sebagai upaya taktik memecah konsentrasi musuhnya.

"Tidak perlu kamu tahu sebab ajalmu sudah di ujung pedang saya," balas si Penyerang Misterius itu.

Bao Ling tidak terpancing mendengar kalimat satir musuhnya. Ia masih berkonsentrasi mengoyak pertahanan lawan dengan menusuk-nusuk tombak ke bagian vital badan lawan. Si Penyerang Misterius itu masih menangkis dengan mengibas- ibaskan pedangnya serupa propeler.

"Oya?" umpat Bao Ling, balas memancing amarah lawannya saat senjata mereka saling menyilang di udara. Pergerakan mereka menjeda. Saling tatap dengan mata mawas dan menantang. "Kalau begitu, keluarkan semua kekuatanmu!" lanjut Bao Ling saat senjata mereka kembali berdenting-denting di udara, dan sesekali mendesing-desing di dekat kepala masing- masing.

"Nah, bersiap-siaplah untuk mati!" teriak si Penyerang Misterius itu sembari balik menyerang dengan sepenuh tenaga sampai urat-urat di sekujur lehernya tampak menegang. "Awas!

Rasakan pedang ini!"

"Baik kalau kamu tetap bersikeras untuk membunuh saya. Saya akan ladeni." "Jangan banyak bicara, Keparat!"

"Silakan. Tunjukkan seluruh kemampuan silat yang kamu miliki!" "Kurang ajar!"

"Ayo!"

"Mampus kamu!"

"Ayo, jangan buang-buang waktu lagi. Saya tidak ingin meladeni cecunguk seperti kamu. Rasanya terlalu mahal waktu saya untuk dipakai bertarung dengan pesilat pemula semacam kamu! Masih ada hal penting yang harus saya kerjakan selain meladeni manusia pengecut seperti kamu!"

Si Penyerang Misterius itu akhirnya terpancing. Ia kalap. Menyerang secara membabi-buta dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.

"Saya bunuh kamu! Saya bunuh kamu!" teriaknya histeris, merasa frustasi karena tak satu pun sabetan pedangnya mengenai tubuh lawannya.

"Ayo, cepat! Saya tidak punya banyak waktu lagi untuk melayani orang pongah seperti kamu!"

"Awas kamu! Saya bunuh kamu!"

Bao Ling masih bersabar dan tidak kesusu menyudahi duelnya. Ia hanya menggunakan ilmu silat dasar pada awal pertarungan, bermaksud melumpuhkan dan bukan untuk membunuh lawannya. Namun si Penyerang Misterius tersebut masih saja berusaha merangsek maju meski terdesak mundur. Musuhnya itu memang sangat bernafsu menghabisi nyawanya.

Pertarungan kali ini memang menyita banyak waktunya.

Meski tidak memiliki ilmu silat yang tinggi dan istimewa, tetapi si Penyerang Misterius itu sangat gesit dan lincah. Tohokan- tohokan tombak panjangnya dapat dihindarinya dengan hanya memutar-mutar kepala dan sedikit badannya tanpa harus menyeret kaki. Lalu sesekali ia melompat-lompat seperti kera.

Bao Ling sudah meningkatkan serangannya dengan menggunakan jurus-jurus maut. Tongkat Naga merupakan salah satu jurus andalannya. Tombaknya jadi lebih bertenaga, seperti mengandung kekuatan bertenaga dalam yang tersalur melalui lengannya yang kokoh. Tombaknya bergerak sangat cepat dari tangan kanan ke tangan kiri. Sesekali menggantung di badannya, berputar untuk beberapa saat sebelum gagang tombaknya mengarah menonjok ke dada lawannya tersebut.

Lelaki misterius itu terentak ke belakang.

Namun ia masih dapat menahan limbung tubuhnya dengan berdiri seimbang pada sepasang kakinya yang tegap. Bao Ling tidak ingin melepaskan peluang saat melihat musuhnya terdesak

- mengendurkan pertahanan karena menahan sakit akibat tohokan gagang tombaknya barusan. Dilemparkannya tombaknya ke atas kepalanya. Tombaknya memutar serupa propeler dan melayang di udara. Sekedip mata tombaknya sudah berada kembali di tangannya. Dan tanpa membuang- buang waktu lagi karena refleks telah mengecoh mata dan perhatian lawannya, ia melemparkan tombak tersebut dengan sekuat tenaga. Tombaknya bergerak secepat kilat, lurus dan terarah menghantam kembali ke dada lawannya itu.

Sepasang mata si Penyerang Misterius itu membeliak lewat celah pada sampurnya. Dan ia terlongong dengan mulut menganga saat tombak Bao Ling sudah menancap di dada kirinya. Darah tampak mengucur dari dadanya bersamaan dengan ambruknya tubuhnya yang melimbung. Ia pun terempas jatuh ke tanah. Menelentang mati dengan tombak yang masih menghunus di dada kirinya.

Bao Ling mendekat.

Mencabut tombaknya dari jasad lelaki yang menyerangnya secara misterius tersebut. Setelah itu ia membungkuk, duduk melutut di sisi mayat lelaki itu. Disibaknya sampur yang menutupi wajah lelaki yang sudah dilumpuhkannya itu kemudian. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat wajah si Penyerang Misterius yang sudah memucat itu.

"Zhung Pao Ling?!"

Bao Ling menahan napasnya.

Dahinya mengerut. Sama sekali tidak menyangka kalau si Penyerang Misterius tersebut adalah salah satu pemimpin prajurit intelijen Istana Da-du yang sudah dikenalnya lama. Tetapi, untuk apa Zhung Pao Ling ingin membunuhnya?! Bukankah mereka sama-sama prajurit Yuan, yang mengabdi dan berjuang untuk Kaisar Yuan Ren Zhan?! tanyanya membatin.

Sesaat Bao Ling menggeleng sebelum menutup kelopak mata mayat sahabat seperjuangannya itu dengan sekali sapuan telapak tangan. Tak ada bukti yang dapat menunjukkan siapa dalang sebenarnya dari usaha pembunuhan dirinya setelah tubuh jenazah diperiksa sebentar tadi. Ia berdiri. Menghela napas panjang.

Ah, konspirasi apa lagi yang akan terjadi untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan?!

Bao Ling membatin getir sebelum melompati punggung kudanya tanpa menapaki sanggurdi, dan memacu langkah hewan bertenaga serta bernapas kuat itu dengan gebahan sepasang tumitnya pada perut kuda. Ia mesti cepat-cepat ke pos pengawasan Tembok Besar. Menyampaikan maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan untuk Fa Mulan yang dimutasikan di sana setelah kemenangan gemilangnya atas penumpasan pemberontakan Han di Tung Shao.

Mumpung masih ada waktu. 

Bab 25

Adakah cinta sedendang napas yang ditiup selafaz embus angin? keteguhan ini menjadikanku batu mati dirangsa pewaka

pada malam-malam sepi dan langit yang tanpa binar

- Fa Mulan

Refleksi Nyanyian Cinta

***

Fa Mulan menghela napas panjang.

Dinikmatinya udara yang melingkar hangat di paru-parunya. Angin yang berembus lembut setelah melewati lembah-lembah dan bukit-bukit beriklim basah nun jauh di sana telah pula membasuh sekujur tubuhnya dengan nyaman. Seperti selubung selendang satin yang terbuat dari kepompong ulat sutra.

Menyenangkan sekali.

Jarang-jarang ia memiliki banyak waktu luang untuk berleha- leha. Melepas sejenak penat akibat maharana yang amat meresahkan dan melelahkan. Seminggu belakangan ini ia tidak pernah diganggu lagi dengan ulah kaum nomad dan beberapa jasus misterius yang hendak melompat serta melewati Tembok Besar. Diam-diam ia selalu bersyukur untuk itu.

Betapa sejuk dan damainya Tionggoan tanpa perang. Betapa indahnya alam yang merupakan anugerah langit untuk kehidupan beraneka ragam makhluk hidup beranak-pinak kalau saja dunia tempat berpijak ini tidak dirundung maharana. Andai saja suasana dunia terus seteduh begini!

Ia ingin semua nadir ulah manusia lekas berlalu. Ia ingin dunia menjadi sebuah rumah tangga raksasa, di mana semua manusia saling bersaudara di bawah naungan dan perlindungan kaisar dan permaisuri sebagai orangtua yang bijak.

Tetapi apakah ia terlalu naif menyikapi semua itu? Sementara nyaris semua pemimpin di tanah Tionggoan ini seperti tidak peduli atas sikap mereka yang loba. Semuanya berlomba-lomba merebut kekuasaan. Saling menjatuhkan satu sama lainnya sehingga pertumpahan darah menjadi satu-satunya alternatif dalam mewujudkan ambisi mereka. Lalu pada akhirnya pedang dan tombak menjadi wahana, penopang cita ambigu yang telah mematikan nurani. Syak wasangka dan intrik menjadi lafaz para pangeran di Istana. Saudara sedarah akan saling membunuh demi Kursi Tunggal Sang Naga. Tidak ada lagi keharmonisan dan keselarasan.

"Kapan Tionggoan dapat damai sejahtera?"

Suatu waktu semasa wamil dulu, ia pernah membuncahkan keresahannya kepada Chien Po. Ia tidak pernah dapat memendam perasaannya yang galau terhadap ulah batil beberapa penguasa Istana.

"Hah, kapan? Kapan katamu?" "Memangnya kenapa?"

"Hei, sadar tidak, Mulan. Kita ini hanya prajurit wamil. Huh, tahu apa kita tentang politik Istana?"

"Kalau efek perbuatan batil mereka berimbas kepada kita sebagai rakyat kecil, bukankah hal itu akan menjadi urusan kita juga? Ya, urusan kita. Urusan saya, juga urusan kamu."

"Saya mengerti. Tapi, kontribusi apa yang dapat kita lakukan terhadap perbaikan dan pengembangan negara ke arah yang lebih baik? Apa yang dapat dilakukan jongos Yuan seperti kita ini? Sudahlah, Mulan. Sekarang, kerja kita hanya bertempur. Itu saja. Jangan berpikir macam-macam. Dan, ingat! Jangan bertingkah macam-macam."

"Tapi kalau kebatilan dibiarkan berkembang di Tionggoan, rakyatlah yang akan semakin menderita. Rakyat jugalah yang akan semakin sengsara. Bencana perang dan kelaparan di mana-mana. Rakyat tidak punya tempat berteduh lagi. Dunia jadi seperti neraka."

"Neraka? Hahaha. Jangankan neraka, surga pun dapat mereka buat. Itulah predestinasi bagi putra langit." "Kamu picik!"

"Hahaha. Jadi, harus bagaimana lagi? Bukankah absoluditas ada di tangan mereka?"

"Memangnya kamu tidak punya hati, Chien Po?!" "Hahaha."

"Kenapa tertawa?" "Kamu lucu!" "Lucu kenapa?!" "Yah, lucu." "Kamu aneh."

"Bukan saya yang aneh. Tapi kamulah yang aneh, Mulan." "Saya? Kenapa saya?!"

"Iya. Pikir dengan otak, Mulan. Bagaimana kamu dapat memperbaiki Tionggoan kalau kamu tidak sadar dengan keterbatasan diri kamu itu?"

"Memangnya. "

"Kamu itu perempuan."

"Memangnya kenapa kalau saya perempuan?! Apa perempuan tidak bisa berbakti dan mengabdi untuk negara?!" tuntut Fa Mulan tersinggung. "Apa perempuan demikian lemah sehingga harus terpinggirkan oleh laki-laki?!"

"Hahaha. Saya tidak merendahkan kaummu."

"Tapi, saya tidak bisa menerima hal tersebut yang, bahkan sudah meluri. Pendiskreditan kaum perempuan terus menerus dan sepanjang masa merupakan dosa besar bagi saya. Dan camkam satu hal, Chien Po! Perempuan tercipta setara dengan laki-laki. Semuanya, baik laki-laki maupun perempuan mulanya fitrah. Namun dalam perjalanan hidup mereka, para laki-laki menganggap diri mereka 'lebih' di atas kaum yang lainnya. " "Mungkin, mungkin, Mulan. Tapi, dalam kenyataannya laki- lakilah yang selalu memegang peranan penting dalam berbagai bentuk pemerintahan. Kepala rumah tangga, contohnya. Untuk tampuk pimpinan kemiliteran, dan bahkan kaisar sebagai tokoh tertinggi pemerintahan."

"Ka-kamu. "

"Hahaha. "

"Lantas, bagaimana dengan Kaisar Wu Zetian pada Dinasti Tang dulu?! Apakah beliau bukan perempuan?!"

"Wu Zetian?" "Ya, Wu Zetian."

Wu Zetian yang dimaksud Fa Mulan adalah kaisar perempuan pertama di Tionggoan. Naiknya perempuan itu sebagai kaisar menggantikan mendiang suaminya penuh dengan intrik dan darah. Sepeninggal suaminya, Kaisar Taizong, Wu Zetian pun memimpin Tionggoan dengan kekuasaannya yang dianggap absolut oleh lawan-lawan politiknya. Ia dianggap kejam dan tiran. Menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan lawan- lawan politiknya yang menghalangi ia menduduki takhta di Kursi Tunggal Sang Naga sebagai kaisar Dinasti Tang.

"Wu Zetian memiliki posisi yang berbeda dengan kamu, Mulan," sahut Chien Po menanggapi ulasan Fa Mulan tentang kaisar perempuan pertama di Tionggoan itu.

"Berbeda bagaimana? Toh kami sama-sama perempuan!" "Saya tahu. Tapi ingat, Wu Zetian adalah permaisuri utama Kaisar Taizong. Beliau dekat dengan puncak kekuasaan Dinasti Tang. Beliau juga sudah turun-temurun hidup di dalam lingkungan Istana sebagai perempuan yang terlahir dalam keluarga berdarah biru. Kehidupan beliau tidak dapat dilepaskan dari politik Istana. Jadi kamu jangan samakan beliau dengan kamu."

"Tapi. "

"Maaf. Bukannya saya mengecilkan arti keberadaan kamu. Tapi, berhasil masuk ke Kamp Utara ini dengan menyamarkan identitas diri saja rasanya sudah lebih dari cukup. Jadi, jangan berpikir yang muluk-muluk lagi untuk dapat memperbaiki politik kisruh Tionggoan. Lagipula, hal itu bukan urusan kita. Jenderal- jenderal di Ibukota Da-du saja mungkin acuh tak acuh terhadap persoalan negara. Beberapa di antara mereka malah hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat." "Makanya saya. "

"Makanya apa? Makanya kamu ingin menjadi pahlawan Tionggoan? Menjadi figur penyelamat rakyat yang tertindas oleh kezaliman penguasa batil? Lalu, memimpin Tionggoan dengan bijaksana? Begitu?"

"Kalau iya, memangnya kenapa?"

"Hah, apa kamu mau bersaing dengan pangeran-pangeran di Istana Da-du untuk menggantikan Kaisar Yuan Ren Zhan bila mangkat kelak?"

"Hei, siapa bilang begitu?!" "Hahaha."

"Ka-kamu. "

"Maaf. Jangan marah, Mulan. Tapi sebagai seorang perempuan, apa yang menjadi cita-cita luhur kamu itu mungkin hanyalah fatamorgana."

"Tapi kalau bukan kita yang peduli terhadap nasib bangsa, harus siapa lagi?! Memangnya mengharap arwah para leluhur yang sudah berada di alam baka?! Untuk persoalan besar negara, bukannya sok pahlawan, tapi saya tidak ingin bakhil moral.

Sebisa mungkin saya akan mengkontribusikan tenaga dan pikiran saya untuk perbaikan tatanan politik Yuan. Apa pun bentuknya. Sebab nasib rakyat harus lebih baik dari sekarang. Mereka harus hidup makmur dan sejahtera." "Hahaha."

"Ah, sudahlah, Chien Po! Kamu bukannya memotivasi saya, malah menjatuhkan semangat."

Fa Mulan terjaga dari kenangan silam masa lalunya ketika angin sepoi menampar-nampar pipinya. Ia tersenyum tanpa sadar.

Setiap petang, ia memang selalu mengangin-anginkan dirinya. Berdiri di atas Tembok Besar setelah lebih memilih keluar dari tenda ketimbang baringan seperti yang dilakukan oleh banyak prajurit - yang jarang memiliki cukup waktu tidur. Biasanya ia akan berdiri lama sampai gemintang mulai menampakkan diri, serta satu-dua di antara basir bintang tersebut berkelap-kelip seperti mata flamboyan sang penggoda yang tengah mengedip ke arahnya.

Tetapi bukan semata hal itu sebenarnya. Namun lebih pada memori masa kanak-kanaknya yang sarat dengan kenangan. Ingatannya terseret jauh ke belakang. Ada lelaki tua bersorot mata teduh yang senantiasa menemani malam-malamnya menjelang tidur. Membelai-belai pipinya dengan telapak tangannya yang ringsing. Menghadiahinya seperangkat cerita dan dongeng sebelum ia benar-benar terpulas, dan bertemu tokoh-tokoh berhati baik di langit lewat mimpi-mimpinya yang indah.

Namun setiap kali ia terbangun, semua mimpi indahnya itu akan menjelma menjadi mimpi buruk yang melantakkan hati kecilnya. Seorang ibu bernama Fa Li adalah mimpi buruk itu.

"Mulan. "

Dulu ia selalu diantipati oleh ibu kandungnya sendiri. Ia dianggap biang petaka seorang ibu yang mendambakan mendapat seorang anak lelaki penerus marga Fa. Ia dianggap iblis kecil yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya.

"Dia iblis yang memangsa janin laki-laki kita, Fa Zhou!" "Kamu terlalu percaya pada ramalan Peramal Tua itu, Fa Li!" "Percaya atau tidak percaya, anak perempuan ini merupakan jelmaan iblis yang menghancurkan impian kita untuk memiliki anak laki-laki!"

"Saya tidak percaya dengan omong kosong itu. Tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, yang penting dia adalah anak kita.

Darah daging kita!"

"Kamu naif, Fa Zhou! Lihatlah, apa yang dibawa oleh jelmaan iblis itu dalam keluarga kita. Sejak kelahirannya, dusun kita mengalami musibah bencana alam berturut-turut. Prahara datang silih berganti tanpa henti. Apakah itu bukan merupakan bukti kalau bayi jelmaan iblis ini bukan biang prahara bencana bagi kita semua?!"

"Kamu sudah keterlaluan! Dia bayi kita! Anak kita! Darah daging kita! Tega-teganya kamu bilang kalau Mulan adalah anak jelmaan iblis!"

"Memang iya. Dia menyebabkan saya tidak akan dapat melahirkan anak lagi. Iblis itu sudah bersemayam di rahim saya!" Ketika itu Fa Zhou ayahnya sangat terpukul dengan keputusan ibunya yang tidak pernah menganggap Fa Mulan sebagai anak sahih, yang terlahir dari rahimnya sendiri. Yang menganggap Fa Mulan sebagai anak yang berasal dari darah dan dagingnya sendiri!

Maka sejak saat itu, ayahnyalah yang menjadi ibu dan ayah bagi dirinya. Selama bertahun-tahun menginjak pertumbuhan masa kanak-kanaknya, perempuan itu tidak pernah mau merawatnya. Ia masih saja terus mengutuk seorang Fa Mulan sebagai jelmaan iblis. Sampai-sampai ia terlantar, dan merasa tidak memiliki seorang ibu lagi.

Sampai sekarang ia merasa sangat sedih bila mengingat kenangan pahit hidupnya semasa kanak-kanak itu. Meski sekarang Ibu Fa Li tidak mengantipatinya sesarkastis dulu, tetapi ia masih melihat sisa-sisa kekecewaan di wajah perempuan tua itu, sebab tidak pernah dapat melahirkan seorang anak laki-laki. Laki-laki yang dianggap jauh lebih mulia dibandingkan perempuan. Karena hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan marga Fa.

Tetapi bukan pilihannya untuk terlahir sebagai seorang perempuan. Juga sebaliknya, memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki. Toh hal tersebut sudah menjadi keputusan langit. Lalu, apakah predestinasi itu akan dikutuknya sebagai sebuah ketidakadilan?! Kenapa ibu kandungnya sendiri berlaku tidak adil padanya hanya lantaran ia terlahir sebagai seorang perempuan?! Sebegitu tinggi dan mahalkah harkat seorang laki- laki sehingga kaum itu disanjung setinggi langit?!

Fa Mulan menggeleng. Bibirnya bergetar kemu. Ada rasa sakit yang mengaduk-aduk hatinya sehingga membilurkan luka lama yang sampai sekarang masih meruyak batinnya.

"Fa Mulan!"

Lamunan Fa Mulan buyar seketika oleh sebuah panggilan tegas yang merunut namanya lengkap. Ia berbalik, melempar secuil senyum sebagai balasan dan tanggapan menutupi reaksi keterkejutannya. Shang Weng sedari tadi telah berdiri di belakangnya tanpa disadarinya. Entah sudah berapa lama. "Kamu tidak apa-apa?"

Gadis berpipi sehalus pauh dilayang itu mengangguk. Ia berdeham sebelum membuka suara.

"Atau, apa kamu sakit?"

Fa Mulan menggeleng. "Tidak, Kapten Shang. Maaf, saya tidak menyadari kehadiran Anda," tuturnya sedikit jengah.

"Hm, tidak apa-apa," balas Shang Weng. "Kamu tidak beristirahat di dalam tenda?"

"Tidak. Saya belum dapat tidur. Lagipula, kalau sehari-harian di dalam tenda rasanya pengap sekali. Makanya, saya lebih memilih berada di luar tenda untuk mengangin-anginkan diri," jelas Fa Mulan sembari mengelus-elus gagang pedang Mushu- nya. "Eh, Kapten Shang sendiri belum beristirahat di dalam tenda?"

"Belum."

"Oo."

"Kamu tadi sedang memikirkan apa?" tanya Shang Weng, menyeret kalimatnya ke topik inti sembari melangkah menyenderi dinding bahu Tembok Besar. Menyejajari tubuh Fa Mulan yang juga sudah memunggungi dinding bahu Tembok Besar yang sudah berlumut.

"Tidak ada."

"Jangan bohong. Saya tahu seorang Fa Mulan tidak akan semurung tadi kalau tidak ada masalah," cecar Shang Weng. "Apakah wajah saya tadi sekeruh air cucian. "

"Mulan," Shang Weng menghela napas, seperti menyesali tindakan pura-pura gadis yang telah lama dikasihinya itu. "Kalau ada masalah, saya harap kamu mau berbagi."

"Tapi saya memang tidak mempunyai masalah, Kapten Shang." "Semua orang pasti memiliki masalah. Tinggal bagaimana mereka menghadapinya. Saya ingin kamu jujur. Kamu boleh bercerita apa saja kepada saya. Saya siap membantu sebisa mungkin."

"Saya tidak ingin menyusahkan orang lain." "Justru, saya tidak ingin melihat kamu susah." "Tapi. "

"Kamu tidak percaya sama saya, Mulan?" "Bukan begitu."

"Lalu?"

"Saya tidak ingin melibatkan orang lain dalam kesulitan saya," Fa Mulan mengibaskan tangannya dengan lembut. "Lagipula, saya dapat menyelesaikan masalah pribadi saya sendiri. Tidak perlu bantuan orang lain. Ah, sudahlah, Kapten Shang. Lebih baik jangan membicarakan hal-hal pribadi. Mungkin lebih baik kalau kita berkonsentrasi saja pada urusan negara. Hm, saya harap tidak akan terjadi apa-apa pada saat Festival Barongsai di Ibukota Da-du minggu depan."

"Jangan mengalihkan pembicaraan." "Tapi. "

"Mulan, saya harap kamu dapat menerima saya bukan hanya sebatas atasan."

"Maaf. "

"Mulan. " "Saya kira, sebaiknya saya beristirahat. "

"Tunggu, Mulan!" Shang Weng tergopoh, mengurungkan niat gadis yang sangat dicintainya itu untuk melangkah pergi. "Saya harap hubungan kita ini dapat lebih dari sebatas teman. Sa-saya mencintai kamu!"

Fa Mulan kembali mengibaskan tangan.

Ditekuknya wajah lebih dalam ke ceruk dada. Sesaat memejamkan mata dan menggigit bibir sebelum mengembuskan napas keras-keras. Sungguh. Saat ini ia tidak ingin membahas soal-soal pribadi. Ia tidak ingin menanggapi kalimat cinta yang berungkali diucapkan oleh pemuda atasannya tersebut. Rasanya masih belum pantas dan terlalu dini memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan hati.

"Sudahlah, Kapten Shang. Saya. "

"Maafkan saya, Mulan." "Maaf untuk apa?"

"Untuk sikap saya yang kekanak-kanakan di Tung Shao tempo hari. Saya sadari kalau saya memang terlalu cemburu terhadap hubungan pertemanan kamu dengan Bao Ling."

Fa Mulan kali ini menarik napas.

Sekali lagi memejamkan matanya sebelum mengembuskan udara kuat-kuat dari dalam paru-parunya. Tak sadar ada senyum bernada sinis yang menyembul di pelepah bibirnya. "Saya sudah memaafkan Kapten Shang sejak saat itu. Jadi. "

"Mulan," Shang Weng meluruskan punggungnya, menjauh sedepa dari senderannya di dinding bahu Tembok Besar. Disentuhnya lembut sisi kanan bahu Fa Mulan, seolah mencetuskan penyesalan yang dalam lewat getaran nadi di telapak tangannya. "Ti-tidak. Saya tahu kamu masih membenci saya sejak kejadian itu. Kamu masih membenci sikap sarkastis saya. Tapi sungguh, semua saya lakukan karena saya sangat mencintai kamu."

"Maaf, Kapten Shang," Fa Mulan mengangkat telapak tangannya di hadapan Shang Weng. "Tolong jangan membicarakan hal-hal pribadi lagi!"

"Mulan. "

"Jangan mendesak, Kapten Shang. Saya tidak ingin, justru karena kekerasan hati Kapten Shang, membuat saya jadi tidak pernah akan memaafkan Kapten Shang lagi."

"Tapi. "

"Tolong, Kapten Shang!" Fa Mulan mendesis dengan rahang yang mengeras. "Tolong hargai keputusan saya untuk tidak mau membahas masalah-masalah pribadi!"

Fa Mulan menatap tajam ke sepasang mata yang tampak tengah memohon itu.

Terus terang, ia paling benci melihat kerapuhan seorang satria. Ia paling tidak suka melihat laki-laki yang menitikkan airmata cengeng. Terlebih ketika tangis itu tercurah untuk sesuatu yang bernama cinta.

Mungkin ia terlalu naif mengartikan ketulusan Shang Weng. Disadarinya hal itu sebagai bagian dari pergolakan batin. Di satu pihak, ia memang mencintai pemuda itu. Tetapi di pihak lain, ia telah dibentuk dan dikukuhkan oleh keadaan untuk senantiasa bersikap tegar serta mengenyahkan romantisme-romantisme cengeng begitu. Sebab ia mesti menjadi Fa Mulan yang tangguh. Yang sanggup menghadapi terjangan badai dan topan tanpa bantuan orang lain - terlebih-lebih kepada makhluk yang bernama laki-laki! Bukannya perempuan yang hanya dapat meratapi nasibnya yang tertindas oleh kultur turun-temurun ribuan tahun lampau!

Ya, Dewata!

Fa Mulan menggigit bibir keras-keras.

Apakah ia telah demikian berdosa telah menyakiti pemuda yang sesungguhnya dicintainya itu?! Bukankah ia telah bertindak apatis, dan tidak jujur terhadap nuraninya sendiri?!

Bukankah kejujuran harus dijunjung setinggi langit?! Bukankah kejujuran mesti ditaruh pada tempat teratas?! Lalu, kenapa ia harus berbohong dan menampik cinta pemuda itu?! Bukankah apa yang telah dilakukannya itu sama juga dengan menorehkan mata pedang di hatinya sendiri sehingga bergelimang darah?! Ia menggeleng, masih menggigit keras pelepah bibirnya sehingga nyaris berdarah. Sungguh. Ia tidak ingin berada di dalam dilematisasi ini!

Shang Weng menundukkan kepala.

Ia sudah berputus asa. Tidak ada hal yang lebih baik ketimbang mundur perlahan meskipun hatinya terluka parah. Mungkin itulah satu-satunya jalan yang mesti ditempuhnya agar tidak ada yang lebih terluka lagi. Bagaimanapun, ia tidak bisa memaksakan kehendak cintanya pada gadis yang tidak mencintainya! "Baiklah, Mulan. Mulai hari ini saya tidak akan mengganggu kamu lagi. Saya akan berusaha sekuat mungkin untuk melupakan kamu. Melupakan gadis yang paling saya cintai!" Lalu pemuda itu memutar tumit.

Melangkah dengan gontai menuju tendanya di bawah kaki Tembok Besar. Sekali lagi hatinya terkoyak oleh kekerasan dan keteguhan hati gadis yang dikasihinya itu. Mungkin ia memang bukan terlahir untuknya. Matanya perlahan membasah. "Kapten Shang!"

Shang Weng menghentikan langkahnya. Ia hanya berhenti di salah satu titik binar panggilan Fa Mulan tadi. Tidak menoleh. Dan hanya mematung dengan kepala yang masih terkulai lemas. "Maafkan saya!" "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak bersalah." "Tapi, saya telah menyakiti hati Anda, Kapten Shang."

"Itu karena kesalahan saya sendiri. Terlalu mengharap dan mencintai gadis yang sama sekali tidak mencintai saya." "Kapten Shang. "

"Saya yang salah, Mulan. Maafkan saya yang terlalu mencintai kamu!"

"Sa-saya. "

"Sudahlah, Mulan. Saya harap hubungan kita ini tetap terjalin seperti biasa. Saya harap kamu jangan menyimpan benci terhadap sikap sarkastis saya yang selalu ingin memaksakan kehendak cinta saya. Anggap saja semua itu hanya masa lalu." Terdengar derap langkah kaki yang berlari kecil di belakangnya, dan berhenti pada satu titik tepat sedepa dari punggungnya. "Sa-saya sebenarnya juga cinta Anda, Kapten Shang!"

Ada gemuruh yang mendebum di hatinya. Shang Weng memutar tubuhnya, dan sertamerta merangkul gadis di hadapannya. Dirasakannya pipinya yang membasah oleh titik airmata gadis yang dikasihinya itu.

Mereka masih berangkulan ketika selaksa gemintang sudah bertabur di langit kelam. Di bawah kaki-kaki Tembok Besar, unggun-unggun jingga tampak bermekaran seperti yang-liu di penghujung musim. Gemeratak abnus dan kayu-kayu bakar mengiramai nada hati mereka yang sedang bernyanyi. Cinta dan maharana memang hanya sebatas maya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar