Bab 17

Saat Raja Gi sedang terancam bahaya, mendadak dari belakang datang sebuah kereta perang.

Di kereta itu tampak Ciu Ci Kiao, panglima Kek yang menakluk pada Chin. Melihat panglima itu Raja Gi jadi malu sendiri.

”Tuanku salah pilih, memutuskan persahabatan dengan Raja Kek,” kata Ciu Ci Kiao. ”Akhirnya Tuanku celaka! Lebih baik Tuanku menyerah saja!”

Raja Gi bengong dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama Raja Chin bersama tentaranya telah tiba. Dia minta agar Raja Gi menghadap kepadanya. Karena tidak punya pilihan lain, terpaksa dia menemui Raja Chin.

”Kedatanganku ini, untuk mengambil sewa batu mustika dan kuda baikku!” kata Raja Chin sambil tertawa.

Kemudian dia perintahkan anak buahnya membawa Raja Gi ke kereta di belakang. Pek Li He ikut terus dengan rajanya, sekalipun rajanya itu sudah ambruk. Raja Chin masuk kota. Dia disambut oleh Sun Sit yang tangan kirinya memegang batu giok dan tangan kanannya

menuntun kuda Raja Chin.

”Siasat hamba berhasil mengecoh Raja Gi, sekarang kedua barang ini hamba kembalikan kepada Tuanku,” kata Sun Sit.

Raja Chin Hian Kong girang sekali, dia memuji kepandaian Sun Sit.

Setelah mengamankan negeri Gi, Raja Chin kembali sambil membawa Raja Gi ke negaranya. Sampai di negeri Chin sang raja memerintahkan agar Raja Gi dihukum mati. Tetapi Sun Sit mencegahnya.

”Raja Gi seorang yang tolol, jangan dibunuh dia tidak berbahaya!” kata Sun Sit. Raja Chin menurut. Raja Gi tidak jadi dihukum mati, malah diberi hadiah dan dibiarkan tinggal di negeri Chin. Ciu Ci Kiao oleh Raja Chin diberi pangkat. Sedang Pek Li He yang dipromosikan oleh Ciu Ci Kiao juga diampuni dan akan diberi pangkat. Tetapi Pek Li He menolak tawaran Raja Chin lewat Ciu Ci Kiao itu.

”Kenapa Tuan menolak?” kata Ciu Ci Kiao.

”Aku akan tetap mengabdi kepada Raja Gi sampai akhir hayatnya. Sesudah beliau mati, baru aku mau bekeja pada orang lain,” kata Pek Li He.

Jawaban itu membuat Ciu Ci Kiao tersinggung. Dia sangat mendongkol.

”Seorang yang berbudi jika mau menyelamatkan diri, tidak akan bekerja pada musuh. Apalagi menjadi bawahan musuh. Jika aku akan menjadi pejabat, pasti bukan di negeri Chin!” kata Pek Li He.

Mendengar ucapan itu Ciu Ci Kiao merasa tersindir oleh Pek Li He, sehingga sangat mendongkol sekali. Dia ingin mencari jalan untuk memfitan Pek Li He.

**

Ketika itu raja di negeri Cin yang bergelar Cin Bok Kong sudah bertahta enam tahun lamanya. Karena belum punya permaisuri maka dia minta Tay-hu Kong-ci Ci pergi ke negeri Chin. Dia diminta meminang puteri sulung Raja Chin bernama Pek Ki, sebenarnya adik Pangeran Sin Seng.

Lamaran itu oleh Raja Chin Hian Kong diterima baik. Ci pulang akan memberi kabar pada

rajanya. Di tengah perjalanan Kong-cu Ci melihat seorang bermuka merah, berewokan.

Dengan kedua tangannya orang itu membenamkan cangkulnya. Kemudian dia menantang. ”Siapa yang bisa mengangkat cangkulku ini!” kata orang itu.

Beberapa orang yang tertarik lalu mencobanya, tetapi tidak seorang pun yang mampu mencabut cangkul itu dari tanah.

Menyaksikan kekuatan orang itu, Kong-cu Ci sangat kagum, dia hampiri orang itu. Lalu dia memberi hormat dan bertanya.

”Sobat, siapa she dan nama?”

”O, baik,” sahut itu orang. ”Aku she (marga) Kong-sun, namaku Ci alias Chu Song, aku ini keponakan luar dari Raja Chin.”

”Kau pandai dan kuat, mengapa kau tinggal di sini?” tanta Kong-cu Ci.

”Ya, apa boleh buat,” kata Kong-sun Ci sambil menghela napas. ”Aku tak ada yang memimpin!”

”Maukah kau ikut aku jalan-jalan ke negeri Cin.” Tanya Kong-cu Ci. ”Jika Tuan tidak keberatan, memang aku sangat ingin ke sana.” Dengan girang Pangeran Ci mengajak Kong-sun Ci naik di keretanya, mereka segera menuju ke negeri Cin. Sampai di negeri Cin, Pangeran Ci memberitahu Raja Cin Bok Kong.

”Lamaran Tuanku diterima,” kata Pangeran Ci. ”Di perjalanan pulang aku bertemu dengan orang gagah bernama Kong-sun Ci!”

Raja Cin Bok Kong senang sekali, Kong-sun C diangkat menjadi pembantunya. Kemudian

Raja Cin Bok Kong mengutus Pangeran Ci mengantar bingkisan dan menyambut pengantin

perempuan Pek Ki ke negeri Chin. Kedatangan Pangeran Ci disambut gembira oleh Chin

Hian Kong.

Kepada menterinya Chin Hian Kong lalu bertanya.

”Siapa di antara kalian yang bersedia mengantar puteriku ke negeri Cin?” kata Chin Hian

Kong. Mendengar Raja Chin bertanya begitu, timbul ide jahat dari Ciu Ci Kiao ingin menyingkirkan Pek Li He dari negeri Chin. Buru-buru Ciu Ci Kiao menghadap. Dia berkata dengan perlahan pada Raja Chin.

”Pek Li He tidak mau bekerja pada Tuanku, hamba khawatir dia berniat jahat! Lebih baik Tuanku kirim dia untuk mengantar puteri Tuanku ke negeri Cin. Bagaimana pendapat

Tuanku?” kata Ciu Ci Kiao.

Raja Chin Hian Kong setuju atas usul itu. Maka dia perintahkan Pek Li He ikut mengantar pengantin perempuan ke negeri Cin. Mendapat perintah itu Pek Li He jadi berduka. Dia menghela napas panjang pendek.

”O Tuhan! Buruk benar nasibku ini. Aku siap menjadi menteri untuk mengatur negara. Tidak kusangka, sekarang aku diberi pekerjaan hina ini. Tidak beda aku ini seperti seorang prajurit atau seorang gundik. Aku sudah tua, tapi belum juga menemukan junjungan yang bijaksana. Sungguh malang nasibku,” keluh Pek Li He.

Dia tahu tugas itu tidak bisa ditolak, maka menangislah dia. Tapi dia jalankan juga tugas itu. Di tengah perjalanan Pek Li He minggat meninggalkan robongan pengantin itu.

”Aku harus ke negeri Song,” pikir Pek Li He. ”Tetapi bagaimana jika aku dihadang?” Karena ragu-ragu dia batalkan ke negeri Song. Akhirnya dia memilih kabur ke negeri Couw.

Ketika Pak Lie He sampai di kota Wan-shia, saat itu penduduk Wan-shia sedang berburu. Orang-orang itu curiga lalu menangkap Pek Li He. Kemudian mereka ikat.

”Aku orang dari negeri Gi,” kata Pek Li He memberi keterangan, ”sebab negeriku sudah musnah, maka aku menyingkir dan sampai di sini.”

”Kau bisa apa?” tanya orang dusun itu.

”Aku mengerti merawat kerbau,” sahut Pek Li He. Orang dusun segera membuka ikatan pada tubuh Pek Li He, mereka ajak Pek Li He pulang ke rumah mereka. Dia diperintah supaya merawat kerbau orang dusun itu. Ternyata Pek Li He memang pandai merawat kerbau, makin hari kerbau-kerbau mereka jadi makin gemuk. Orang-orang dusun itu sangat sayang kepadanya. Kepandaian Pek Li He merawat kerbau tersiar ke mana-mana. Suatu hari Raja Couw mendengar tentang kepandaian Pek Li He ini. Dia sangat tertarik, karena ingin mendapat seorang perawat kuda. Dengan cepat Raja Copuw memerintahkan orangnya memanggil Pek Li He. Sesudah sampai di ibukota Couw; Raja Couw menyuruh Pek Li He menjadi penggembala kuda di Lam-hay.

**

Tatkala Raja Cin Bok Kong menerima kedatangan pemaisurinya, sesudah menjalankan adat- istiadat sebagaimana mestinya, dia membuka surat Raja Chin. Ketika dia baca, Raja Chin memberitahu bahwa Pek Li He menjadi pengantar pengantin, tetapi orangnya tidak ada. Raja Cin jadi heran sekali.

”Siapakah Pek Li He itu?” tanya Cin Bok Kong pada Kong-cu Ci.

”Bekas menterinya negeri Gi,” jawab yang ditanya. ”Di tengah jalan dia melarikan diri dari rombongan, tidak ketahuan entah ke mana perginya.”

Raja Cin Bok Kong menoleh ke arah Kong-sun Ci sambil berkata: ”Chu Song tinggal di negeri Chin, paling sedikit tahu siapa Pek Li He itu?”

”Dia seorang yang bijaksana,” kata Kong-sun Ci. ”Dia tahu Raja Gi tidak bisa diberi nasihat, dia biarkan saja. Dia pandai dan setia. Dia ikut Raja Gi dibawa ke negeri Chin. Tetapi pendiriannya teguh, ketika oleh Raja Chin ditawari jabatan, dia menolak. Dia hamba yakin bisa mengurus negara, hanya sayang. Sekali lagi sayang dia belum bertemu dengan seorang

junjungan yang bijaksana.”

”Apa kau kira aku bisa mendapatkan dia atau tidak?” kata Raja Cin.

”Hamba dengar kabar keluarganya tinggal di negeri Couw, coba Tuanku perintahkan orang mencarinya ke sana!” kata Kong-sun Ci.

Raja Cin Bok Kong girang sekali. Saat itu juga dia perintahkan seorang anak buahnya pergi ke negeri Couw untuk mencari Pek Li He.

Selang beberapa bulan suruhan Raja Cin kembali. Dia langsung memberi laporan pada Raja Cin Bun Kong.

”Hamba bertemu dengannya. Dia ada di tepi pantai Lam-hay (Laut Selatan).” kata utusan itu. ”Apa kerjanya?” tanya Raja Cin.

”Dia bekerja pada Raja Couw sebagai penggembala kuda!” kata si utusan. Raja Cin Bok Kong kaget. Dia sangat menyayangkan kepandaian orang itu.

”Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan dia? Jika kuantarkan bingkisan ke Raja Couw, maukah dia menyerahkan Pek Li He padaku?” kata Raja Cin.

”Tidak, pasti Pek Lie He tidak akan datang.”

”Eh, kenapa begitu?” tanya Raja Cin Bok Kong heran. ”Karena Raja Couw tidak tahu kepandaian Pek Li He itu apa, maka dia menyuruhnya menggembalakan kuda. Tetapi, jika Tuanku membawa bingkisan yang sangat berharga untuk ditukar dengan Pek Li He, pasti dia curiga dan keheranan. Cara Tuanku, sama saja dengan Tuanku akan memberitahu Raja Couw bahwa Pek Li He sangat berharga. Jika sudah tahu Pek Li He pandai, pasti dia mau memakainya sendiri. Mana mau menyerahkannya kepada

Tuanku!” kata Kong-sun Ci.

”Oh, oh . . . ya aku mengerti!” kata Raja Cin Bok Kong sambil manggut-manggut.

”Karena itu,” kata pula Kong-sun Ci yang meneruskan bicaranya, ”lebih baik gunakan alasan bahwa dia telah berdosa, pada saat mengantarkan pengantin perempuan dia telah kabur.

Dengan Tuanku hanya memberi sedikit bingkisan saja, pasti Raja Couw girang. Sedang rahasia kepandaian Pek Li He tetap rahasia. Ini siasat yang pernah dipakai oleh Koan Tiong saat kabur dari megeri Louw.”

Raja Cin Bok Kong setuju pada rencana Kong-sun Ci, dan memerintahkan anak buahnya mengantarkan beberpa lembar kulit kambing untuk dihadiahkan pada Raja Couw.

Berangkatlah utusan Raja Cin. Sesampai di negeri Couw, saat menghadap pada Raja Couw utusan itu melapor.

”Hamba utusan negeri Cin, Raja hamba bilang ada orang bernama Pek Li He. Saat dia mengantar calon permaisuri Raja Cin, telah kabur dari rombongan pengantin. Raja kami hendak menangkap dia untuk dihukum. Ini untuk contoh bagi menteri lain agar dia tidak lalai saat menjalanlan tugasnya. Sebagai tebusan hamba bawa lima lembar kulit kambing terbaik untuk Tuanku.” kata si utusan.

Sebenarnya Raja Couw sayang pada Pek Li He yang dia tahu pandai merawat binatang, tetapi karena khawatir Raja Cin marah, jika dia tolak permintaannya. Ditambah lagi apa artinya seorang gembala kuda. Maka dia perintahkan anak buahnya agar pergi ke Lam-hay untuk menangkap Pek Li He akan diserahkan kepada utusan Raja Cin. Saat di Lam-hay Pek Li He senantiasa bersikap baik, saat ditangkap tentu saja kenalannya di tempat itu sangat kaget.

Mereka juga khawatir kalau Pek Li He akan dihukum berat. Mereka semua menangis.

Pek Li He malah tertawa dan berkata, ”Aku dengar, Raja Cin punya niat ingin menjadi raja jago, untuk apa seorang pengantar pengantin? Raja Cin memintaku pada Raja Couw, pasti dia perlu memakaiku. Kali ini aku beruntung, mengapa kalian malah menangis?” kata Pek Li He.

Sehabis berkata begitu dia masuk ke dalam kerangkeng pesakitan, dan segera dibawa pergi. Raja Couw menyerahkannya pada utusan Cin yang membawanya pulang ke negeri Cin.

Ketika hampir sampai di daerah Cin, Pek Li He disambut oleh Kong-sun Ci atas perintah Raja Cin. Pek Lie He langsung dikeluarkan dari krangkeng oleh Kong-sun Ci, dan langsung diajak menemui Raja Cin.

Ketika bertemu dan melihat Pek Li He sudah tua, Raja Cin Bok Kong agak kecewa. ”Sekarang kau sudah umur berapa?”

”Tujuh puluh tahun,” sahut Pek Li He.

”Oh, sayang. Sudah tua.” kata Raja Cin Bok Kong sambil menghela napas. ”Jika Tuanku mau menyuruh hamba mengejar burung yang terbang atau menangkap binatang buruan; hamba memang sudah terlalu tua. Jika untuk mengurus urusan di dalam negeri, maka hamba masih mampu dan bisa dianggap masih muda!” kata Pek Li He.

Raja Cin Bok Kong mengangguk.

”Dulu Lu Siang atau yang biasa disebut Kiang Tay Kong sudah berumur 80 tahun, kerjanya duduk sambil memancing ikan. Baginda Bun Ong mengajak dia dan mengangkatnya menjadi Siang-hu (Menteri negara). Hingga beliau bisa membangun Kerajaan Ciu, dan membentuk Dewan Kerajaan Ciu sampai sekarang berdirinya. Jika usia hamba dibandingkan dengan Lu Siang, hamba justru masih lebih muda 10 tahun.” kata Pek Li He lagi.

Raja Cin Bok Kong terperanjat setelah mendengar perkataan Pek Li He. Wajah Raja Cin yang tak dingin kini berubah jadi ceria.

”Letak negaraku berada di antara negara Tek dan Jiong,” kata Raja Cin. Aku tidak berserikat dengan Tiongkok, apa Anda bisa membantuku?” kata Raja Cin.

”Dalam masalah apa?” tanya Pek Li He.

”Aku ingin kau membantuku agar derajat negeriku setingkat dengan negara lain. Apalagi lebih baik dari mereka!” kata Raja Cin.

”Jika Tuanku tidak mencela hamba, seorang tawanan dari negeri yang sudah musnah. Tentu dengan sekuat tenaga hamba bersedia membantu,” kata Pek Li He.

”Nah, aku harus mulai dari mana?” kata Raja Cin.

”Tanah Yong-ki tempat pertama Bun Ong bergerak. Gunungnya berjajar bagaikan gigi anjing, tanahnya subur. Kerajaan tidak sanggp menjaganya dan menyerahkannya pada Kerajaan Cin, ini suatu berkah.” kata Pek Li He.

Raja Cin tersenyum hatinya senang.

”Negara Cin terletak di antara bangsa Jiong dan Tek maka angkatan perangnya teguh, tidak turut berserikat dengan Tiongkok, maka tenaga terkumpul,” begitu kata Pek Li He. ”Sekarang di antara tempat-tempat bangsa Jiong dan Tek bisa dikatakan negara kecil. Jika negara itu direbut, berguna untuk persawahan. Jika rakyatnya dijadikan tentara, maka hamba yakin Raja- raja muda di Tiongkok tak akan bisa menandinginya. Hamba yakin, Tuanku bisa menjadi

jago!”

Raja Cin girang bukan main.

”Aku senang seperti Raja Cee mendapatkan Koan Tiong!” kata Raja Cin.

Secara beruntun selama tiga hari Raja Cin berdiskusi dengan Pek Li He. Semua pertanyaan Raja Cin selalu dijawab dengan baik oleh Pek Li He. Kemudian Raja Cin akan mengangkatnya menjadi Sin-siang (Perdana Menteri) di negeri Cin.

”Jangan, hamba belum pantas memangku jabatan itu. Kepandaian hamba masih kalah oleh Kian Siok, jika Tuanku mau mengangkat dia, hamba akan membantu Tuanku.” kata Pek Li He. ”Kepandaian Anda sudah aku uji dengan seksama, tetapi aku belum kenal siapa Kian Siok?” kata Raja Cin ragu-ragu.

”Kepandaian Kian Siok memang belum orang dengar, bahkan Raja Cee maupun Raja Song

pun belum mengetahuinya. Hanya hamba yang tahu. Baik akan hamba ceritakan pada Tuanku tentang dia.” kata Pek Li He. Sesudah berdiam sejenak dia mulai bercerita.

”Hamba pernah mengembara di negeri Cee. Ketika hamba hendak bekerja pada Pangeran Bu

Ti, tetapi Kian Siok mencegah. Maka hamba tinggalkan negeri Cee. Dengan demikian hamba bebas dari bencana bersama Pangeran Bu Ti oti. Lalu hamba ke negeri Ciu. Ketika hamba akan bekerja pada Ong-cu Tui, sekali lagi hamba dicegah oleh Kian Siok. Dengan demikian hamba pun bebas dari bencana saat Ong-cu Tui dibinasakan. Akhirnya hamba pulang ke negeri Gi. Hamba sangat miskin, terpaksa bekerja pada Raja Gi, sekalipun Kian Siok mencegah hamba juga. Selanjutnya Raja Gi ditawan oleh Raja Chin, sampai akhirnya hamba mendapat perintah untuk mengantarkan pengantin perempuan. Hamba kurang senang kemudian kabur dan bekerja di negeri Couw. Coba Tuanku bayangkan. Selama hamba ikuti sarannya, hamba selalu selamat. Ketika hamba mebangkang, hampir saja hamba binasa. ”

”O, ada di mana Kian Siok sekarang?” kata Raja Cin Bok Kong girang.

”Sekarang dia ada di negeri Song, tepatnya di kampung Beng-yok-coan. Lekas panggil dia sebelum direbut oleh orang lain!” kata Pek Li He.

Raja Cin Bok Kong memerintahkan Pangeran Ci menyamar menjadi pedagang, sambil membawa bingkisan berharga dia mencari Kian Siok di negeri Song. Pek Li He menitipkan sepucuk surat kepada Pangeran Ci untuk disampaikan kepada Kian Siok. Sesudah Pangeran Ci membereskan bingkisan yang akan dibawa, segera dia berangkat dengan naik kereta menuju ke kampung Beng-yok-coan.

Ketika utusan Cin itu sampai di kampung tersebut, ia bertemu dengan beberapa petani sedang duduk berdendang di atas gili-gili sawah, mereka sedang menyanyi begini kata-katanya:

”Di gunung tinggi, tidak ada joli pikulan.

Di jalan remang-remang, tiada lilin penerangan.

Ramai-ramai diam di sini, airnya bagus tanahnya subur sudah pasti. Rajinkan kaki-tangan, untuk mendapat penghasilan.

Tiga waktu tidak ada bahaya, makanan berkecukupan.

Senanglah dengan takdirnya Allah, tidak dapat kemuliaan atau kehinaan.”

Pangeran Ci diam di atas keretanya. Setelah mendengar nyanyian itu, dia tahu maksud nyanyian itu, Kian Siok tidak suka ikut campur urusan dunia, lalu dia menghela napas dan berkata, ”Pepatah tua mengatakan – di kampung ada orang budimannya segala kebiasaan yang buruk jadi berubah. – Sekarang baru saja sampai di kampung Kian Siok, para petani seperti orang terhormat, kalau begitu pasti Kian Siok seorang pandai.”

Pangeran Ci memerintahkan kusir agar menghentikan keretanya. Dia hampiri petani-petani itu.

”Sahabatku aku mohon bertanya, rumah Kian Siok di mana?”, kata Pangeran Ci. ”Sahabat menanyakan dia, ada keperluan apa?” kata seorang petani. ”Sahabatnya yang bernama Pek Li He, mengirim surat dan menitipkannya padaku untuk disampaikan kepadanya.” kata Pangeran Ci.

Petani itu menunjuk ke satu arah. ”Tuan jalan terus ke sana. Sesudah menemukan hutan

bambu dan mata air yang ada batu besarnya, di situ ada gubuk kecil. Itulah rumah belia!” kata si petani.

”Terima kasih, ” kata Pangeran Ci.

Pangeran Ci meneruskan pejalanannya. Setengah li kemudian sampailah dia di tempat yang ditunjukan si petani. Dia berhentikan keretanya di depan rumah gubuk itu dan memerintah pengikutnya untuk mengetuk pintu. Tidak lama pintu terbuka, keluar seorang anak kecil dan bertanya pada Pangeran Ci.

”Sahabat dari mana?”

”Kedatanganku hendak mencari Kian Sian-seng,” sahut Pangeran Ci. ”Tuan hamba tidak ada di rumah.”

”Pergi ke mana beliau?”

”Bersama beberapa orang tua tetangga di sini ia pergi memeriksa mata air di Sek Liang, sebentar lagi ia pulang.”

Pangeran Ci tidak berani sembarangan masuk. Dia duduk di atas sebuah batu besar menunggu. Anak kecil itu segera menutup separuh pintu itu, dan terus masuk lagi ke dalam rumah.

Sesaat kemudian dari arah barat di galangan sawah kelihatan seseorang berjalan mendatangi,

orang itu alisnya kereng, matanya jeli, mukanya bundar dan tubuhnya tinggi dan tegap,

sedang di bahunya terpanggul dua potong kaki menjangan. Melihat dari parasnya orang itu bukan orang sembarang. Pangeran Ci bangun akan menyambut kedatangan orang itu. Orang itu menaruh kaki menjangan itu di tanah, baru memberi hormat kepada Pangeran Ci.

”Congsu (Anda) she apa dan siapa nama Anda?” kata Pangeran Ci.. ”Aku she Kian namaku Peng alias Pek It,” jawab orang itu.

”Kian Siok dengan anda pernah apa?” ”Dia Ayahku.”

”O, syukurlah. Aku hendak cari Kian Sian Seng.”

”Ciok-he (Tuan) orang mana? Ada urusan apa hendak mencari Ayahku?”

”Sahabat Ayah Anda yang bernama Pek Lie H, sekarang menjadi menteri di negeri Cin, dia mengirim surat untuk Ayah Anda.” kata Pangeran Ci.

”O, begitu! Harap Tuan sudi masuk ke gubukku dan duduk sebentar, aku rasa tidak lama lagi Ayahku pasti datang.” Sehabis berkata begitu, Kian Peng lalu mendorong daun pintu dan menyilakan Pangeran Ci masuk ke dalam rumah itu. Sementara tamunya sudah masuk, Kian Peng mengambil kaki menjangan itu. Dia masuk sampai di dalam dia disambut oleh seorang bocah. ”Silakan

duduk,” kata Kian Peng pada Pangeran Ci.

”Terima kasih,” jawab Pangeran Ci.

Tidak lama mereka sudah mulai asyik berbincang, dari soal ilmu silat, sampai masalah pertanian. Pokoknya ngalor-ngidul mereka bicara. Tidak lama Pangeran Ci disuguhi secangkir teh harum.

”Nak kau lihat-lihat di luar, barangkali Tuan Besar pulang!”” kata Kian Seng.

Selang beberapa jam kemudian, baru anak tadi datang menghadap dan memberi tahu bahwa Kian Siok sudah pulang. Kian Peng berpesan kepada Pangeran Ci duduk saja, sedang Kian Peng keluar menemui ayahnya, lalu dia ceritakan tentang maksud kedatangan tamu itu.

”Sekarang dia ada di dalam sedang menunggu kedatangan Ayah,” kata Kian Peng mengakhiri ceritanya. Kian Siok dan dua temannya segera masuk ke pertengahan rumah. Pangeran Ci buru-buru menyambut kedatangannya. Sesudah saling memberi hormat lalu mereka semua duduk.

”Barusan anakku bilang, bahwa adik angkatku Ceng Pek (maksudnya Pek Li He), berkirim surat padaku, mana suratnya?” kata Kian Siok.

Buru-buru Pangeran Ci menyerahkan surat itu pada Kian Siok. Secara singkat Pangeran Ci juga menceriakan, apa yang dialami Pek Li He sebelum bekerja di negeri Cin. ”Malah saya

berharap, Tuan juga mau datang ke negeri kami untuk membantu Raja kami,” kata Pangeran Ci.

Koan Siok segera membaca surat dari sahabatnya itu. Sekarang Kian Siok baru tahu orang yang ada dihadapannya itu utusan Raja Cin, ia minta maaf.

”Semula Tuan Pek Li He akan diberi jabatan sebagai Perdana Menteri oleh Raja kami, tetapi Saudara Pek menolak.” Kata Pangeran Ci.

”Kenapa begitu?” tanya Kian Siok.

”Dia bilang kepandaiannya kalah oleh Tuan, maka dia mengusulkan supaya Tuan yang

menjadi Perdana Menteri dan dia bersedia menjadi bawahan Tuan,” kata Pangeran Ci berterus terang.

Kian Siok menggelengkan kepalanya. ”Ada-ada saja,” kata dia.

Kemudian Pangeran Ci menyerahkan berbagai hadiah dari Raja Cin kepada Kian Siok. ”Harap Tuan terima hadiah yang tidak berharga ini,” kata Pangeran Ci.

”O terima kasih aku mendapat penghargaan seperti ini. Tetapi sayang aku tak bisa ikut ke negeri Cin!” kata Kian Siok.

”Kenapa begitu, Tuan?” kata Pangeran Ci. ”Dulu karena Raja Gi tidak mau mendengar nasihat dari Pek Li He, maka kerajaannya jadi runtuh, tetapi jika sekarang Raja Cin mau menggunakan orang pandai, seorang Pek Li He saja sudah lebih dari cukup! Aku sudah tidak mau ikut campur urusan dunia, maka hadian-hadiah

ini harap kau bawa pulang lagi saja!” kata Kian Siok. ”Sampaikan salam hormat dan ucapan

terima kasihku pada Raja Cin!”

”Hamba dengar Pek Li He pun tidak mau tinggal di negeri Cin, kalau Tuan tidak mau tinggal bersamanya. Harap hal ini Tuan pertimbangkan ” kata Pangeran Ci.

Kian Siok diam, dia berpikir seketika lamanya, kemudian dengan menghela napas ia berkata:

”Pek Li He seorang pandai, hanya belum sempat kepandaiannya itu dia gunakan. Dia sudah berulang kali bekerja, tetapi mendapat majikan yang tidak bijaksana. Baiklah, aku bantu dia tetapi hanya untuk sementara saja.” kata Kian Siok.

Sementara itu si bocah memberi tahu bahwa sup kaki menjangannya sudah matang.

Kian Siok mengajak Pangeran Ci dan dua orang tua tetangganya duduk bersantap bersama- sama. Sambil makan mereka berbincang-bincang terus sampai langit sudah gelap baru mereka bubaran.

Malam itu Pangeran Ci bermalam di rumah Kian Siok. Esok paginya, dua orang tua itu mengatur perjamuan sebagai ucapan selamat jalan. Pangeran Ci memuji kepandaian Pek It, dia minta pada Kian Siok supaya mengajak Pek It bersama-sama pergi ke negeri Cin.

Kian Siok mengabulkan permintaan itu. Kemudian barang bingkisan Raja Cin, oleh Kian Siok dibagikan pada kedua orang tua itu.

”Tolong kalian jaga dan lihat-lihat gubukku,” kata Kian Siok.

Kedua orang tua itu berjanji akan memperhatikan pesan itu, dan mengucapkan selamat jalan. Kian Siok mengucapkan selamat tinggal, segera dia naik ke kereta, sedang Kian Peng atau yang disebut juga Pek It menjadi kusirnya. Pangeran Ci duduk di kereta yang satunya, dengan merendengkan kereta itu dengan kereta Kian Siok mereka berangkat menuju ke negeri Cin.

Malam hari mereka bermalam di penginapan, siangnya mereka meneruskan perjalanan, dengan begitu, akhirnya mereka tiba di perbatasan negara Cin. Pangeran Ci meneruskan perjalanan lebih dahulu, dia akan menemui Raja Cin Bok Kong untuk memberitahu, bukan saja dia sudah berhasil mengundang Kian Siok, ia juga berhasil mengajak anaknya, juga orang pandai yang bernama Kian Peng, yang menurut pendapatnya anak itu sangat gagah perkasa.

Khabar itu membuat Raja Cin Bok Kong sangat senang, dia minta pada Pek Li He pergi untuk menyambut kedatangan Kian Siok dan anaknya itu. Tatkala Kian Siok sudah datang dan naik ke tangga istana lalu menjalankan adat-istiadat seperti umumnya, Raja Cin Bok Kong mempersilakan Kian Siok duduk.

”Pek Li He sering menceritakan bahwa Sian-seng sangat pandai, apa Tuan mau membantuku untuk mengurus kerajaan ini?” kata Raja Cin Bok Kong. ”Letak negeri Cin ada di sebelah Barat, selain bertetangga dengan bangsa Jiong, Tek, ditambah lagi letak tempatnya sangat berbahaya. Tetapi tentara Cin selain banyak, hamba rasa sangat kuat. Jadi baik maju mau pun mundur tentara Cin cukup bisa diandalkan,” kata Kian Siok mulai bicara. ”Tetapi kekuatan itu belum Tuanku manfaatkan dengan baik dan belum Tuanku sempurnakan. Jadi bagaimana

Tuanku bisa menjagoi di seluruh Tiongkok?” ”Kegagahan dan kebajikan, di antara kedua masalah itu, yang mana yang harus didahulukan?” kata Raja Cin.

”Kebajikan menjadi dasar utama dan kegagahan pendukungnya. Punya kebajikan tetapi tidak

gagah dan angker, negaranya dipandang dari luar menjadi sangat lemah,” kata Kian Siok. ”Demikian juga kegagahan tanpa kebajikan, maka rakyat di dalam negeri akan payah dan tidak teguh.”

”Jika aku hendak membangun kebajikan dan keangkeran, aku harus bagaimana hingga bisa berhasil?” kata Raja Cin.

”Kehidupan di negeri Cin sudah berbaur dengan adat kebiasaan bangsa Jiong, sehingga rakyat Cin jarang sekali yang kenal adat-istiadat maupun pendidikan.” kata Kian Siok.

”Lantaran tingkat dan derajat tidak tertata benar, maka kemuliaan dan kerendahan tidak kelihatan jelas. Jika Tuanku setuju, hamba mohon Tuanku membantu bidang pendidikan dulu. Supaya rakyat terdidik dan tahu adat-istiadat. Kemudian ajari mereka budi-pekerti. Jalankan hukum dengan baik dan adil, sehingga mereka tahu aturan dan tata tertib berbangsa dan bernegara. Contoh Koan Tiong dia mampu menegakkan hukum denga baik, sehingga rakyat taat pada hukum!”

”Jika semua yang Tuan katakan sudah terlaksana, jadi aku bisa langsung merebut kedudukan menjadi seorang jagoan?” kata Raja Cin.

”Jangan! Jangan dulu!” kata Kian Siok. ”Untuk menjadi orang terkenal di dunia, dia harus

tahu dulu tiga macam pantangan. Pertama jangan serakah, yang kedua jangan berangasan dan yang ketiga tidak boleh terburu nafsu. Jika kita serakah akan banyak kehilangan, jika

berangasan akan mendapat kesulitan, jika terburu nafsu akan tergelincir!” Raja Cin mengangguk kagum. Kemudian Kian Siok melanjutkan.

”Ketika kita mengikhtiarkan sebuah masalah besar maupun kecil, jangan tamak atau serakah, waktu menimbang perbuatan orang lain atau diri sendiri, jangan berangasan atau mudah marah, waktu menjalankan sesuata urusan, jangan terburu nafsu.

Manakala Tuanku bisa memegang tiga pantangan itu, boleh dibilang Tuanku hampir bisa menjadi jago di Tiongkok!” kata Kian Siok.

”Baik, akan aku perhatikan apa yang kau katakan itu. Kemudian selanjutnya bagaimana?” kata Raja Cin.

”Sekarang Raja Cee sudah tua, kegagahan dan keangkerannya sudah mulai pudar!” kata Kian Siok. ”Jika Tuanku bisa mengamankan Yong-wi dari gangguan bangsa Jiong, dan mereka tunduk benar kepada kekuasaan Tuanku, maka pekerjaan Tuanku akan bertambah ringan. Saat itu siapkan angkatan perang yang kuat untuk membereskan semua kekacauan di Tiong-goan (maksudnya Tiongkok), akhirnya Tuanku bisa meneruskan kekuasaan Raja Cee untuk menyiarkan kebajikan dan kewajiban, dengan begitu sekalipun Tuanku tidak ingin disebut

jago, tetapi pasti Tuanku akan mendapatkan gelar tersebut!”

Bukan main senangnya Raja Cin. Malah dia angkat Kian Siok dan Pek Li He menjadi dua menteri besar, yang satu menjadi perdana menteri dan yang lain wakilnya. Sejak kedua perdana menteri dan wakilnya mengurus pemerintahan di negri Cin, perlahan-lahan negeri itu menjadi semakin maju dan teguh saja Pangeran Ci pun mengajukan Se Kip Sut pada Raja Cin yang juga dijadikan pembantu di negara Cin.

Tentang diangkatnya Pek Li He menjadi wakil Perdana Menteri, telah ramai dibicarakan oleh

rakyat Cin, sehingga Touw-si, istri Pek Li He, yang pada waktu itu menjadi seorang tukang cuci pakaian di negeri Cin, girang. Dia ingin sekali bisa bertemu dengan suaminya.

**

Semula Pek Lie He alias Ceng Pek orang asal negeri Gi. Ketika berumur 30 tahun, dia menikah dengan seorang wanita she (marga) Touw. Mereka telah punya seorang anak laki- laki.

Pek Li He sangat miskin dan tidak punya pekerjaan. Suatu hari dia bilang pada isterinya akan mengembara, maksudnya akan mencari pekerjaaan. Tetapi Pek merasa berat meninggalkan isterinya yang tidak bersanak saudara lagi.

Melihat suaminya ragu, Topuw-si, isteri Pek membesakan hati suaminya.

”Suamiku, aku tahu seorang laki-laki punya cita-cita yang luhur,” kata Touw-si. ”Jika semasa

kau masih gagah dan tidak pergi mencari pekerjaan, kapan lagi? Apa kau pikir aku senang

jika kau tetap menjagaiku, tetapi kita hidup sengsara? Biar aku menanggung susah, aku bisa mencari nafkah sendiri.”

Mendengar ucapan isterinya, Pek terharu. Tetapi dia mencoba menguatkan hatinya dan akan pergi mengembara ke negeri orang. Ketika Pek Li He akan pergi mengembara, mereka hanya memiliki seekor ayam biang. Karena ingin mengucapkan selamat jalan, isterinya memotong ayam yang semata wayang itu. Ketika akan masak nasi, karena beras tidak ada dia memasak Hong-kiu. Kesulitan lain, dia tidak punya kayu bakar. Terpaksa salah satu jendela rumah mereka dikorbankan untuk dijadikan kayu bakar. Demikian miskinnya mereka. 

Sesudah masakan matang lalu disajikan untuk makan bersama-sama. Dengan hati seperti diiris-iris karena sedihnya, Pek Li He terpaksa makan. Mereka saling berpelukan sambil menangis sedih, baru Pek meninggalkan anak dan isterinya.

Sejak suaminya mengembara, Touw-si bekerja menenun untuk mencari nafkah. Sungguh malang pada suatu hari datang bahaya kelaparan melanda negeri itu. Terpaksa Touw-si meninggalkan kampung halamannya, mencari penghidupan yang baru dan lebih baik.

Mereka hidup terlunta-lunta. Touw Si mengajak anaknya pergi di berbagai tempat, dan akhirnya sampai di negeri Cin. Di sini dia bekerja menjadi seorang tukang cuci. Anaknya

yang bernama Pek Si alias Beng Beng, atau yang biasa juga disebut Beng Beng Si, setiap hari bersama orang-orang kampung pergi berburu atau belajar silat, sehingga dia jadi pandai sekali dalam ilmu silat dan jadi seorang yang gagah perkasa.

Ketika Pek Li He oleh Raja Cin diangkat menjadi wakil Perdana Menteri di negri Cin, Touw-

si mendengar khabar itu. Dia senang bukan main. Bahkan Touw-si pun sudah pernah melihat Pek Li He ketika naik kereta, tetapi dia belum berani mengakui bahwa orang yang naik kereta itu suaminya.Untuk membuktikan dugaannya dan supaya tidak salah, Touw-si datang ke gedung wakil perdana menteri itu. Dia melamar kerja untuk menjadi tukang cuci di gedung yang dia duga milik suaminya itu.

** Pada suatu hari......

Pek Li He sedang duduk di pertengahan rumahnya, sedang pemain musik sedang beraksi di depan emper rumahnya. Menurut Touw-si itu adalah saat yang tepat baginya untuk mencoba memperkenalkan dirinya. Atau lebih tepat dia ingin melihat pria itu dari dekat.

Kemudian kepada pemian musik Touw-si bilang, bahwa dia bisa menyanyi dan main kim (siter Tiongkok). Pemain musik itu girang, dia melapor pada Pek Li He.

”Baik, boleh kau coba suruh dia menyanyi!” kata Pek Li He.

Touw-si yang diberitahu tentu saja girang sekali. Dia segera berpakaian rapi, lalu berdiri di depan pemain musik. Kemudian dia mulai menyanyi:

”Pek Li He lima lembar kulit kambing!

Waktu berpisah telah masak ayam biangsatu-satunya, Menumbuk Hong-kiu dan membakar daun jendela sekeping, Hari sudah beruntung melupakan aku yang merana!”

Pek Li He terkejut. Tetapi Touw-si meneruskan nyanyiannya:

”Pek Li He lima lembar kulit kambing!

Ayahnya makan daging anaknya menangis sangat kelaparan, Suami berpakaian bagus istri menjadi kuli yang paling susah, O, sesudah beruntung melupakan aku yang merana!”

Pek Li He jadi semakin kaget dia awasi Touw-si yang sedang menyanyi. Tetapi kembali Touw-si menyanyi lagi:

”Pek Li He lima lembar kulit kambing!

Dulu kau berangkat aku menangis mengantarmu, Hari kau duduk enak aku terpisah di sampingmu,

Ya, Allah, sudah beruntung melupakan aku yang sengsara!”

”Tunggu! Hentikan dulu!” kata Pek Li He mencegah Touw-si menyanyi lagi. ”Mari sini aku mau bertanya kepadamu!”. Touw-si datang menghampiri Pek. Sesudah berada dekat dan berbincang-bincang, Pek Li He baru mengenali benar isterinya. Mereka saling rangkul dengan sangat gembira. Mereka bertangisan berdua. Sesudah agak lama Pek Li He ingat sesuatu.

”Mana anak kita?” kata Pek. ”Anak kita Beng Beng Si sedang berburu!” jawab sang isteri. Pek Li He lalu mengutus orang mencari anaknya yang sedang berburu itu.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar