Bab 16

Tangis Li Ki mulai reda.

”Aku dengar bangsa Cek Tek sering datang mengganggu negeri kita. Mengapa Tuanku tidak mengirim Sin Seng untuk menumpas bangsa itu? Mari kita lihat, apakah Sin Seng mampu memakai tenaga rakyat yang dikasihinya atau tidak? Jika dia kalah, maka Tuanku punya alasan untuk menghukum dia. Tetapi jika dia menang, itu berarti dia sangat disukai oleh rakyat!” kata Li Ki.

”Ya, kau benar,” kata Chin Hian Kong.

Alangkah senangnya Li Ki, baru dia tersenyum manis seperti biasa. Esok harinya......

Ketika Raja Chin Hian Kong bersidang dengan menteri-menterinya di istananya. Raja Chin mengeluarkan perintah agar Sin Seng memimpin pasukan perang ke Kiokah untuk menghajar bangsa Cek Tek. Tetapi banyak menteri yang keberatan.

”Putera Mahkota orang kedua setelah Raja, jika Raja tidak ada, Putera Mahkota-lah yang mewakili mengurus pemerintahan,” kata Li Kek.

Menteri Li Kek berusaha hendak mencegah keinginan Raja Chin Hian Kong.

”Sebenarnya seorang Putera Mahkota dijauhkan saja dari samping Raja sudah tidak pantas, apalagi jika disuruh memimpin angkatan perang?” Li Kek menambahkan.

”Tetapi Pangeran Sin Seng sudah sering memimpin pasukan perang!” kata Raja Chin Hian Kong kurang senang.

”Dulu dia berperang ikut dengan Tuanku, tetapi sekarang mau disuruh sendiri, ini berbeda jauh sekali,” sahut Li Kek.

”Aku punya sembilan orang putera, aku belum menetapkan siapa yang bakal mejadi ahli warisku!” kata Chin Hian Kong mendongkol. ”Aku tidak akan membatalkan perintahku. Aku tak ingin orang ikut campur!”

Li Kek tertegun tidak berani buka suara lebih jauh.

Setelah itu pertemuan dibubarkan. Li Kek pergi menemui Ho Tut, seorang menteri tua di negeri Chin. Li Kek langsung menceritakan bahwa Raja Chin telah mengutus Pangeran Sin Seng ke medan perang. ”Ah, kalau begitu Pangeran dalam bahaya,” kata Ho Tut terperanjat.

Dia sudah menduga pasti Sin Seng bakal difitnah. Ho Tut segera menulis surat kepada Sin Seng, dalam suratnya dia menyarankan agar Sin Seng jangan pergi ke medan perang, tetapi lebih baik pergi mengasingkan diri ke negeri lain.

Ketika Sin Seng menerima surat dari Ho Tut, dia menolak nasihat menteri tua itu. Sambil menghela napas dia berkata, ”Ya, aku pun sudah tahu, Ayahku menyuruh memimpin angkatan perang karena dia senang kepadaku. Baiklah, aku mengerti, jika aku menolak maka aku akan dianggap melanggar perintahnya. Jika aku ke medan perang dan aku mati tidak apa. Dengan demikian aku sudah menjalankan perintah Ayah dan Raja dengan benar!”

Sin Seng menyiapkan angkatan perangnya di Kiok-ah untuk menghadapi bangsa Cek Tek di Cek-heng. Tidak lama terjadi pertempuran hebat antara pasukan Chin dengan tentara Cek Tek. Dalam peperangan itu Sin Seng yang gagah berhasil mengalahkan musuh. Dia segera mengirim laporan kepada Raja Chin Hian Kong. Malamnya Raja Chin bercerita pada Li Ki bahwa putera sulungnya berhasil mengalahkan bangsa Cek Tek.

”O, Pangeran benar-benar bisa memakai tenaga rakyat Kiok-ah!” kata Li Ki seolah kaget. ”Sekarang apa yang kita harus lakukan?”

”Kita belum punya alasan menghukum dia, biar kita beri waktu kepadanya,” jawab Hian

Kong. Li Ki diam saja, tetapi dia sangat berduka, hanya tidak diperlihatkan saja.

Keadaan di negeri Chin ini sangat memprihatinkan menteri tua Ho Tut. Karena itu dia pura- pura sakit dan tidak mau keluar rumah.

***

Ketika itu negeri Gi dan negeri Kek bersahabat kekal, bukan saja rajanya sesama she (marga), sedang negaranya bertetangga dan salah satu berbatasan dengan negeri Chin.

Raja negeri Kek sangat sombong dan suka mencari masalah, tidak heran jika ada masalah, walaupun kecil, dia langsung menyerang ke daerah Chin.

Pembesar Chin yang menjaga perbatasan negeri melapor kepada Raja Chin Hian Kong.

”Raja Kek sangat keterlaluan dan sombong. Dia perlu diajar adat!” kata panglima penjaga perbatasan.

Mendengar laporan itu Raja Chin Hian Kong marah sekali. Dia sepakat akan melabrak negara Kek itu. Niat Raja Chin diketahui oleh Li Ki, isterinya, kembali dia hendak meminjam tangan musuh untuk membinasakan Sin Seng.

”Jika Tuanku hendak menghajar negara Kek, mengapa Tuanku tidak menyuruh Pangheran Sin Seng saja.” kata Li Ki.

”Tidak aku tidak setuju!” kata Raja Chin. ”Mengapa Tuanku tidak setuju?” tanya Li Ki. Raja Chin yang sudah terpengaruh oleh hasutan Li Ki, dia mulai curiga pada Sin Seng.

”Jika sekarang dia lagi yang maju ke medan perang, dan dia menang. Bukankah namanya akan jadi lebih terkenal. Malah dia akan makin disayang oleh semua menteriku. Dengan

demikian, bagaimana aku bisa menyingkirkan dia?” kata Raja Chin.

Raja Chin lalu mengumpulkan menteri-menterinya untuk diajak berunding. Dia bertanya pada menteri Sun Sit.

”Menurut Anda, apakah negeri Kek boleh kita serang?” tanya Raja Chin.

”Saat ini negara Gi dan Kek sedang rukun,” sahut Sun Sit, ”jika kita serang negeri Kek, pasti Raja Gi akan membantunya. Begitu juga jika kita serang negeri Gi, pasti Kek akan membantunya. Jika keduanya kita serang, hamba tidak yakin kita akan menang!”

”Kalau begitu harus bagaimana?” tanya Raja Chin. ”Hamba dengar Raja Kek sangat suka

perempuan elok, kita gunakan saja sebuah tipu ”Bi Jin Ke” pasti kita bisa mengalahkan dia. Sekarang kita cari beberapa perempuan cantik, ajari mereka bernyanyi dan menari. Jika mereka sudah pandai. Dandani mereka lalu kirim ke sana.” kata Sun Sit.

”Boleh juga!” kata Raja Chin. ”Lalu selanjutnya bagaimana?”

”Jika Raja Kek sudah tergila-gila oleh perempuan cantik, dia akan lupa diri. Lupa mengurus pemerintahan. Pasti menterinya yang setia akan jengkel kepadanya.” kata Sun Sit.

”Ah bagus!”

”Selanjutnya kita suap Raja bangsa Kian-jiong, minta bangsa itu mengacaukan negara Kek. Sesudah kacau, baru kita serang mereka. Hamba yakin kita bisa menang!” kata Sun Sit.

Raja Chin Hian Kong setuju pada saran Sun Sit. Mulailah Raja Chin menyuruh mencari

wanita cantik. Dia berhasil mengumpulkan beberapa orang. Kemudian dilatih. Sesudah pandai mereka dikirim ke negeri Kek. Benar saja kiriman Raja Chin itu sangat menarik hati Raja

Kek.

Salah seorang menteri Raja Kek curiga.

”Tuanku jangan terima!” kata Menteri Ciu Ci Kiao. ”Ini pasti jebakan Raja Chin dan memberi umpan pada Tuanku. Mengapa Tuanku menerimanya?”

Raja Kek tidak menghiraukan nasihat itu. Malah dia menerima berdamai dengan negara Chin. Benar saja semenjak mendapatkan beberapa wanita cantik Raja Kek jadi lupa daratan. Siang dan malam bersenang-senang saja. Dia jarang menghadiri persidangan di istananya.

Sekalipun berulangkali Ciu Ci Kiao menasihatinya tetapi Raja Kek tidak mau menghiraukannya. Malah berbalik marah-marah pada Ciu Ci Kiao. Dia peritahkan Ciu Ci Kiao menjaga kota He-yang. Dengan demikian Raja Kek jadi bebas dari gangguan menteri Ciu tersebut.

Selang beberapa bulan kemudian, bangsa Kian-jiong yang mendapat suapan dari Raja Chin, datang menyerang daerah Kek. Waktu tentara Kian-jiong sudah sampai di Wi-jwe, tetapi telah berhasil dipukul mundur oleh tentara Kek. Raja Kian-jiong yang masih penasaran segera mengeluarkan seluruh kekuatan tentaranya datang menantang lagi. Raja Kek mengerahkan tentaranya menangkis serangan musuh tersebut. Sesudah berperang cukup lama, mereka jadi terpaku di daerah Song-tian.

Berita tentang terhentinya peperangan antara Raja Kek dan bangsa Kian-jing, karena masing- masing bertahan di tempat, sampai ke telinga Raja Chin.

”Aku dengar tentara San-jing dan Kek masih bertahan di daerah Song-tian. Apa sekarang kita boleh mulai menyerang mereka?” kata Raja Chin.

”Jangan, belum boleh, sebab hubungan negeri Gi dan Kek belum putus,” sahut Sun Sit.

”Tetapi hamba sudah menyiapkan sebuah tipu. Hari ini kita ambil Kek. Esoknya kita ambil Gi.”

”Tipu bagaimana?”

”Tuanku suap Raja Gi, sesudah itu minta pinjam jalan untuk melabrak negeri Kek.”

”Kita dengan Kek baru berdamai, tidak ada alasan melabrak mereka, apa Raja Gi mau percaya?”

”Dengan diam-diam Tuanku perintahkan orang di Utara mencari gara-gara dengan Kek,

panglima Kek yang menjaga perbatasan pasti akan menegur, Lalu kita pakai alasan itu untuk meminjam jalan pada Gi.”

Raja Chin Hian Kong girang sekali. Kembali dugaan Sun Sit tidak meleset, benar saja panglima Kek yang menjaga perbatasan menegur tatkala orang Chin melanggar perbatasan. Ketika itu baik dari pihak Kek, maupun dari pihak Chin, masing-masing sudah menyiapkan pasukan perang siap untuk bertempur.

Padahal waktu itu Raja Kek sedang siaga menghadapi serangan bangsa Kian-jiong, sehingga tak mungkin menghadapi perselisihan perbatasan dengan Chin. Ketika Raja Chin Hian Kong sudah mendapat kabar tentang perselisihan perbatasan itu, dia girang. Lalu memanggil Sun Sit.

”Sekarang sudah ada alasan untuk menghajar negeri Kek. Barang apa yang harus kita berikan pada Raja Gi?” kata Raja Chin.

”Raja Gi sekalipun serakah, tetapi jika tidak disuap dengan mustika yang bagus, pasti dia tidak akan tertarik,” kata Sun Sit. ”Hamba pikir hendak menyuap dia dengan barang berharga, tetapi hamba khawatir Tuanku tidak mengizinkannya.”

”Barang apa itu? Katakan saja!” kata Raja Chin.

”Hamba dengar Raja Gi menginkan batu Giok dari Sui-kek dan kuda bagus dari Kut-can

milik Tuanku. Dua barang itu bisa membuat dia terkecoh, dan usaha kita akan berhasil!” kata Sun Sit.

”O, tidak bisa!” kata Raja Chin terperanjat. ”Dua barang barang wasiat, bagaimana bisa aku serahkan pada orang lain?” ”Nah, hamba juga menduga begitu.” kata Sun Sit. ”Jika tidak bisa meminjam jalan, berarti usaha kita gagal! Padahal jika Tuanku setuju, barang-barang itu cuma dipinjam sementara. Sesudah mendapat jalan dan berhasil melabrak negeri Kek, kita bisa merampasnya lagi dari negeri Gi. Ibarat pepatah tua mengatakan : Menyimpan batu giok di gudang orang dan memelihara kuda bagus di istal orang lain, cuma untuk sementara saja.”

”Tetapi ingat di negeri Gi ada dua menteri pandai. Mereka Kiong Ci Ki dan Pek Li He,” kata Li Kek. ”Apa mereka tak akan menerka siasat kita. Lalu menasihati Raja mereka, hingga

berbalik menipu kita?”

”Tidak masalah,” kata Sun Sit. ”Raja Gi sangat serakah dan bodoh. Sekalipun dinasehati, pasti tak akan didengar!”

Raja Chin Hian Kong diam berpikir sebentar, kemudian mengambil putusan. ”Baik, barang-barang itu akan kuserahkan!” kata Raja Chin.

Setelah mendapatkan dua barang itu Sun Sit pamit, dia mengantarkan batu giok dan kuda itu ke negeri Gi. Tentu saja Raja Gi girang diberi hadiah dua barang berharga itu.

”Ini barang wasiat milik negaramu, di kolong langit jarang ada, mengapa Rajamu mau

memberikannya kepadaku?” kata Raja Gi heran,

”Rajaku senang kepada Tuanku,” kata Sun Sit. ”Dia juga kagum oleh kegagahan dan kebajikanmu, maka dia bersedia menghadiahkan barang itu pada Tuanku!”

”Tetapi aku rasa hadiah ini harus ada imbalannya, apa mau Rajamu.” Kata Raja Gi.

”Ya, cuma sedikit saja. Lantaran orang Kek sering datang menyerang daerah Chin. Demi keamanan dan ketenteraan negeri kami maka Rajaku akan menemui Raja Kek untuk berdamai. Tetapi damai belum lama, sudah timbul perselisihan perbatasan. Maka dengan terpaksa Rajaku mau meminjam jalan pada Tuanku untuk memberi pelajaran pada Raja Kek. Jika dalam perang nanti Rajaku berhasil mengalahkan Raja Kek, maka semua harta-benda milik Raja Kek akan diserahkan kepada Tuanku. Bagaimana pendapat Tuanku?”

Raja Gi memang agak bodoh, dia tidak sadar pancing itu sudah mulai nyangkut di tenggorokannya. ”Baik! Baik aku setuju!” kata Raja Gi.

”Harap jangan Tuanku luluskan permintaannya!” kata Kiong Ci Ki. ”Peribahasa mengatakan: Jika bibir telah hilang maka gigi akan kedinginan. Bukankah Tuanku sudah tahu, Raja Chin telah menghancurkan negeri-negeri yang rajanya sesama she dengannya? Malah bukan cuma satu negeri saja? Jika selama ini dia tidak berani berbuat begitu pada negeri Gi dan Kek, lantaran dua negeri ini bersahabat kekal satu sama lain. Sehingga mirip dengan gigi dan bibir. Hamba yakin jika Kek hari ini musnah, maka besok negeri kita! Percaya pada hamba.”

”Raja Chin rela menyerahkan mustika negaranya. Masakah aku kikir hanya meminjamkan jalan untuk mereka lalui?” kata Raja Gi yang bodoh itu.”Apa kau lupa, Chin lebih kuat. Aku kehilangan Kek, tetapi mendapatkan Chin menjadi sahabatku. Sudah, kau pergi dari sini. Jangan banyak bicara!”

Ketika Kong Ci Ki hendak menasihatinya lagi, lengan bajunya ditarik oleh Pek Li He. Dia batalkan niatnya. ”Baik aku setuju memberi jalan, katakan pada Rajamu terima kasih atas hadiahnya,” kata Raha Gi girang sekali. Sun Sit pamit kembali ke negerinya.

Sesudah meninggalkan istana Kiong Ci Ki bertanya pada Pek Li He. ”Sahabatku, kau bukan membantuku bicara, malah mencegah aku bicara. Apa maksudmu?” kata Kiong Ci Ki.

”Setahuku memberi nasihat pada orang bodoh sama saja dengan batu mustika jatuh dalam

kotoran,” kata Pek Li He. ”Jangan lupa, Raja Kiat membunuh Koan Liong Hong, Kaisar Tiu Ong membunuh Pi Kan. Sebabnya karena terlalu mendesak memberi nasihat! Karena aku anggap kau dalam bahaya, maka kau kuingatkan!”

”Tetapi jika begini gelagatnya negeri Gi bakal musnah, apa tidak lebih baik kita kabur saja?” kata Kiong Ci Ki.

”Jika kau mau pergi, pergilah! Jika kau ajak oranglain, dosamu makin berat.Tentang aku

jangan kau pikirkan, aku sendiri tahu bagaimana baiknya.”

Akhirnya Kiong Ci Ki mengucapkan selamat tinggal kepada Pek Li He, dia ajak seluruh keluarganya melarikan diri.

Di negeri Chin....

Begitu Sun Sit sampai ke negerinya, dia melapor.

”Tuanku Raja Gi menyetujui saran kita. Kita boleh melewati negaranya,” kata Sun Sit. Raja Chin sangat girang, dia siapkan pasukan perangnya untuk menyerang ke negeri Kek. Li Kek minta izin untuk memimpin pasukan perang itu, Chin Hian Kong setuju, Li Kek diangkat menjadi Jenderal Besar dan Sun Sit menjadi pembantunya.

Sebelum angkatan perang itu berangkat, Sun Sit memerintahkan orangnya memberi khabar kepada Raja Gi bahwa tentara Chin akan segera sampai ke negeri Gi. Sementara Raja Gie sibuk menyiapkan penyambutan. Tidak lama pasukan Chin sudah sampai di negara Gi.

”Aku sangat berhutang budi pada Raja Chin, beliau merelakan barang mustikanya. Karena aku tak punya apa-apa, maka aku bersedia menyertakan tentara kami berperang dengan Raja Kek,” kata Raja Gi pada Sun Sit.

”Aku senang Anda jujur,” kata Sun Sit girang. ”Jika Tuanku hendak ikut berperang, Tuanku serahkan saja kota He-yang.”

”Kota He-yang dijaga oleh panglima Kek, bagaimana aku bisa menyerahkannya?” kata Raja Gi.

”Aku dengar Raja Kek sedang berperang dengan bangsa Kian-jiong di Song-tian, mana yang bakal menang dan kalah belum ketahuan? Sekarang Tuanku pura-pura hendak membantu Raja Kek, tetapi diam-diam dalam pasukan Tuanku kita sertakan tentara Chin. Dengan

demikian Tuanku bisa masuk dan merampas kota He-yang.”

Raja Gi memuji kepandaian Sun Sit, dia turuti siasat Sun Sit tersebut. Panglima Kek yang menjaga kota He-yang bernama Ciu Ci Kiao. Ketika melihat tentara Gi datang dia senang. Lalu membuka pintu kota. Tetapi seketika dia kaget sebab di tengah-tengah tentara Gi terdapat tentara Chin. Serentak tentara Chin menyerang Ciu Ci Kiao. Sementara pasukan yang dipimpin oleh Sun Sit dan Li Kek pun sudah sampai di situ. Ciu Ci Kiao jadi panik, sehingga kota itu jatuh ke tangan musuh. Ciu Ci Kiao yang takut dihukum oleh Raja Kek, terpaksa mereka takluk pada tentara Chin. Li Kek menerima takluknya Ciu Ci Kiao dengan baik, Ci Kiao dipakai menjadi penunjuk jalan untuk menyerang kota Siang-yang.

Ketika itu Raja Kek ada di Song-tian. Mendengar kota He-yag telah jatuh ke tangan musuh,

dia kaget sekali. Dengan tergersa-gesa dia tarik mundur tentaranya. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh bangsa Kian-jiong, mereka serang tentara Kek hingga rusak berat, maka terpaksa mereka kembali ke negaranya. Begitu sampai di kota Siang Yang, Raja Kek memerintahkan tentaranya menjaga keras kota itu. Tetapi dia sudah tidak punya harapan bisa mengusir tentara Chin yang datang menyerangnya.

Kepungan yang dilakukan oleh tentara Chin sangat hebat. Dari mulai bulan delapan sampai

bulan duabelas, Siang-yang dikepung dengan ketat. Celakanya di kota Siang-yang sudah

mulai kekurangan makanan. Sudah beberapa kali Raja Kek mencoba menerobos keluar dari kepungan. Tapi usahanya sia-sia saja.

Dengan demikian bukan saja tentaranya kelelahan, tetapi yang mati dan terluka pun bertambah banyak. Rakyat menangis dan sangat menderita.

Mengetahui kedaaan musuh sudah sangat parah, Li Kek memerintahkan pada Ciu Ci Kiao, agar bekas panglima Kek itu menulis surat untuk membujuk supaya Raja Kek mau menakluk. Surat itu oleh Ciu Ci Kiao diikat pada sebatang panah, lalu dilepaskan ke dalam kota.

Setelah Raja Kek membaca surat itu, sambil menghela napas dia berkata, ”Leluhur pernah menjadi menteri Kaisar Ciu, bagaimana aku punya muka untuk menyerah kepada seorang raja muda!”

Untuk melawan sudah tidak mungkin. Dengan terpaksa dan mengajak semua keluarganya, Raja Kek keluar kota hendak melarikan diri ke negara Ciu.

Ketika Li Kek mengetahui Raja Kek sudah kabur, dia tidak mengejar raja itu, tetapi langsung masuk ke dalam kota Siang-yang. Li Kek dengan tegas melarang tentaranya mengganggu harta maupun rakyat Siang-yang. Perintah ini membuat rakyat sangat bersyukur. Kemudian Li Kek membuka gudang milik negara Kek, mengambil sepertiga harta dan memilih wanita cantik. Semua itu dia serahkan kepada Raja Gi sebagai hadiah. Dengan cepat kota Siang-yang tentram kembali.

Berbagai hadiah dari Li Kek kepada Raja Gi sebenarnya seperti umpan berbahaya. Tetapi

karena Raja Gi sangat tolol, dia malah girang bukan main. Diam-diam Li Kek mengirim

orang melapor pada Raja Chin.Dengan sengaja Li Kek suatu hari menyebar khabar bohong. Dia katakan dia sakit keras dan belum bisa pulang ke negaranya. Mendengar Li Kek sakit Raja Gi setiap hari mengirim obat dan menanyakan kesehatannya. Dengan begitu satu bulan telah lewat.

Pada suatu hari tiba-tiba datang juru kabar melapor kepada Raja Gi.

”Raja Chin bersama angkatan perangnya datang dan telah masuk ke perbatasan negara Gi!” kata pelapor itu.

”Apa maksud kedatangan Raja Chin kemari?” tanya Raja Gi. ”Katanya Raja Chin khawatir tentaranya yang menyerang negeri Kek tidak berhasil, maka dia datang akan membantu!” kata si pelapor itu.

”Akh kebetulan,” kata Raja Gi. ”Tadinya aku akan datang ke negeri Chin untuk mempererat

persahabatan. Malah sekarang dia datang! Ini sungguh kebetulan!”

Raja Gi mengadakan penyambutan. Pertemuan mereka sangat menggembirakan kedua belah pihak. Segera juga raja Gie perintahkan tentaranya pergi menemui raja Chin, pertemuan mana akan menggirangkan pada kedua pihak. Raja Chin Hian Kong mengajak Raja Gi pergi

berburu di gunung Ki-san.

Raja Gi sedikit pun tidak curiga malah dia sengaja memamerkan kekuatan tentaranya. Dia tunjukkan kereta-kereta perang dan pasukan berkudanya pada Raja Chin. Mereka bersama- sama pergi berburu ke Ki-san. Saat mereka sedang asyik mengepung buruannya. Datang khabar buruk, di kota Gi terjadi kebakaran besar.

”Akh celaka!” kata Raja Gi.

”O ini pasti ada penduduk yang alpa sehingga rumahnya terbakar,” kata Raja Chin. Anda tak perlu cemas!”

Raja Gi mau pulang. Dia ingin tahu bagaimana terjadinya kebakaran tersebut.

”Tidak pelu cemas, pasti api akan segera padam! Mari kita teruskan saja berburu,” kata Raja Chin.

Ketika Raja Gi memaksa akan pulang, Raja Chin tetap mengajak meneruskan perburuan mereka. Karena tidak enak hati akhirnya Raja Gi setuju meneruskan berburu. Pek Li He mendapat firasat kurang enak, dia bisiki Raja Gi.

”Karena di dalam kota terjadi kebakaran, Tuanku tidak boleh terlalu lama di sini.” kata Pek Li He.

Raja Gi menngangguk setuju, dia pamit pada Raja Chin akan pulang lebih dulu. Di tengah jalan Raja Gi melihat rakyatnya banyak yang melarikan diri.

”Hai kalian mau ke mana? Tunggu!” kata panglima tentara Gi.

”Kota sudah diduduki oleh tentara Chin! Kota sudah jatuh ke tangan bangsa Chin!” kata mereka.

Bukan main terkejutnya Raja Gi ketika mendengar teriakan itu. Dengan gusar dia perintahkan tentaranya maju untuk bertempur. Sampai di depan kota, dia melihat di atas loteng kota berdiri seorang panglima perang yang kelihatan angker sekali, panglima itu ternyata Sun Sit adanya.

”Dulu Tuanku telah meminjamkan jalan!” kata Sun Sit sambil tersenyum, ”Sekarang Tuanku meminjamkan negeri Gi, sungguh aku harus mengucapkan banyak terima kasih pada

Tuanku.”

Sindiran itu membuat Raja Gi murka sekali, segera perintahkan tentaranya hendak melabrak pintu kota. Tetapi sebelum dia bisa berbuat apa-apa, di atas kota terdengar suara letusan yang keras. Berbareng dengan itu berhamburan anak panah bagaikan hujan menyambar ke arah tentara Gi. Terpaksa mereka harus mundur. Ketika Raja Gi memerintahkan orang agar

meminta pasukan kereta perangnya; dia mendapat jawaban, bahawa pasukan kereta perangnya

telah dihadang musuh. Hadangan ini memubuat tentara Gi banyak yang mati dan luka parah.

Sekarang Raja Gi terjepit di tengah-tengah kepungan musuh. Dia jadi serba salah, maju salah mundur pun susah.

”O celaka. Mengapa aku tak mau mendengar nasihat Kiong Ci Ki?” kata Raja Gi. ”Li He, mengapa kau tak menasihatiku?”

”Nasihat Ci Ki saja tidak diturut, apa Tuanku mau mendengar omongan hamba?” kata Pek Li He.

”Kenapa kau tak ikut kabur bersama Ci Ki?” kata Raja Gi.

”Aku ingin ikut Tuanku sampai mati!” kata Pek Li He. Kembali Raja Gi menarik napas.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar