Lima Jagoan Jaman Cun Ciu Bab 12

Bab 12

Malam harinya, Raja We I Kong melakukan perondaan di markasnya. Ketika itu dia hanya sendirian saja. Dia ingin tahu bagaimana keadaan tentaranya. Saat itu dia mendengar tentaranya banyak yang bernyanyi demikian bunyi nyanyian itu:

”Burung bangau makan makanan enak, rakyat menghabisan tenaganya bekerja di sawah. Burung bangau naik di kereta, rakyat memegang senjata mengadu jiwa.

Senjata bangsa Tek sangat tajam, sungguh tidak bisa diremehkan.

Jika dicoba melawan perang, dari sepuluh bagian tinggal hidup dua orang. Burung bangau sekarang di mana adanya?

Membuat aku ngeri melakukan pekerjaan yang sia-sia!”

Mendengar nyanyian itu We I Kong jadi sangat berduka, dia tidak tahu bagaimana caranya harus berdaya agar bisa menggembirakan hati tentaranya.

Kesulitan jadi bertambah karena Ki Khong menjalankan aturan terlalu keras, sehingga balatentara menjadi semakin tidak senang.

Ketika tentara bangsa Tek datang, Ki Khong melihat mereka cuma beberapa ribu orang saja banyaknya. Sedang pasukan itu tampak kalut, dia jadi girang sekali, dia pikir bangsa Tek itu pengecut dan tidak mengerti mengatur pasukan. Dia perintahkan tentaranya membunyikan genderang perang, dia maju menerjang tentara Tek. Bangsa Tek hanya melawan sebentar, mereka berpura-pura kalah dan lari serabutan.

Ki Khong mengira musuh tersebut kabur sebenarnya. Dia perintahkan anak buahnya mengejar. Setelah sampai di Eng-tek, tiba-tiba terdengar suara sorakan riuh sekali, sesaat kemudian barisan We jadi terpecah menjadi tiga bagian. Dengan demikian mereka jadi tidak bisa saling membantu.

Tentara We memang tidak punya keberanian untuk berperang, begitu mengetahui mereka sudah terjebak ke dalam tipu-muslihat musuh, mereka langsung melemparkan senjatanya dan meninggalkan kereta perang untuk melarikan diri.

Saat itu We I Kong sedang terkepung oleh tentara Tek dan kepungannya itu berlapis-lapis.

Melihat gelagat kurang baik itu, Ki Khong memberi saran pada We I Kong supaya

merobohkan bendera kerajaan dan Raja We harus segera menyamar menjadi serdadu untuk melarikan diri.

Tetapi Raja We menolak saran tersebut.

”Aku tahu rakyat tidak menyukaiku. Jika aku tidak bisa menang perang, biarlah aku binasa di medan perang saja! Biar supaya rakyatku puas!” kata We I Kong dengan gagah.

Tidak lama tentara We di bagian depan maupun belakang semua sudah musnah.

Ui I telah binasa di tangan musuh. Khong Eng Ce karena ketakutan tertangkap oleh musuh, dia telah bunuh diri.

Makin lama tentara Tek mengepung makin hebat, sehingga I Pek pun terguling dari kereta perangnya karena terkena anak panah. Raja We I Kong dan Ki Khong sial mereka mati dicincang sampai hancur. Tay-su Liong Kut dan Le Kong tertangkap hidup-hidup. Ketika bangsa Tek hendak menbunuhnya, dia tersenyum dan berkata, ”Aku berdua berpangkat Tay- su di negeri We, aku yang mengatur upacara sembahyang di negeri ini.

Jika kau mau mengizinkan kami pulang dulu, aku akan menyiapkan upacara sembahyang untuk keselamatanmu. Tetapi jika kau bunuh kami berdua, pasti malaikat dan iblis tidak suka padamu, hingga jangan harap kau bisa dapat negeri We.”

Orang Tek memang percaya soal tahyul, mereka meluluskan permintaan itu. Begitu bebas kedua Taysu itu naik kereta mereka dan langsung kabur ke negeri We.

Ketika itu Leng Sok sedang meronda memeriksa kota, saat dia melihat ada kereta perang dilarikan demikian kencang dan sesampainya di bawah kota kelihatan dinaiki oleh dua Tay- su, dia kaget sekali.

”Mengapa Raja kita tidak ikut kembali?” tanya Leng Sok.

”Cu-kong dan tentaranya sudah binasa sama sekali!” teriak Hoa Liong Kut. ”Balatentara bangsa Tek sangat gagah perkasa dan jumlahnya besar sekali. Kita harus segera menyelamatkan diri!”

Leng Sok membuka pintu kota supaya kedua Tay-su bisa masuk.

”Tidak, aku tidak mau masuk ke dalam kota,” kata Le Khong dengan suara terharu. ”Aku keluar bersama-sama Cu-kong, tetapi masuk kota tidak bersama-sama dengannya, itu namanya bukan seorang menteri yang setia. Akh, sudahlah, lebih baik kita ikut Cu-kong kita ke alam baka!”

Sehabis berkata begitu dia cabut pedangnya dan menggorok lehernya hingga binasa.

Tetapi Hoa Liong Kut berpikir lain seorang Tay-su sangat penting, jika dia ikut bunuh diri seperti Le Khong, dia khawatir buku sejarah akan hilang karena itu dia langsung masuk kota.

Leng Sok dan Ciu Ki Cu cepat-cepat mengajak keluarga Raja We ke istana, malam itu juga dengan kereta kecil mereka keluar dari kota menuju ke Timur. Begitu juga Hoa Liong Kut sambil memeluk buku hikayat negara We ikut melarikan diri.

Mendengar dua Tay-hu telah kabur mengajak keluarga raja pergi.

”Tahukah kau di mana Raja kita telah binasa?” tanya Hong Yan pada seorang budak.

Budak tersebut menunjuk ke onggokan daging berlumuran darah, sambil menangis dia berkata.

”Itulah jenazah Raja kita! Aku menyaksikan Raja kita dicincang oleh musuh! Aku bisa menyaksikannya karena aku pura-pura mati dan kakiku terluka parah.” kata budak tersebut.

”O, Tuhan! Mengapa Cu Kong jadi begini!” ratap Hong Yan.

Hatinya hancur karena sangat terharu melihat mayat sudah tidak berbentuk itu. Hong Yan memberi hormat ke arah tumpukan daging manusia itu.

”O sungguh malang nasibmu, Tuanku. Jenazahmu tidak ada yag menguburkan. Baiklah hatimu yang belum hancur akan kumasukkan ke tubuhku.” kata Hong Yan. Sesudah itu Hong Yan berpesan.

”Jika aku sudah mati, hati Raja We kau masukkan ke dalam tubuhku, sebagai ganti peti mati. Lalu kau kubur jenazah bersama hati Raja We di tengah hutan. Kelak jika ada Raja We yang baru, beritahu di mana kuburan hati Raja We. Kau ceritakan juga apa yang telah terjadi atas Raja kita.” kata Hong Ya.

Sesudah itu dia cabut pedangnya lalu bunuh diri. Anak buahnya kaget, tetapi tidak sempat mencegahnya. Pengikut Hong Yan menuruti apa pesan Hong Yan kepadanya. Sesudah hati Raja We dimasukkan ke dalam perut Hong Yan, mayat Hong Yan dinaikan ke atas sebuah kereta. Budak yang kakinya terluka itu juga dinaikan bersama. Sesudah menguburkan jenazah Hong Yan maka mereka menyeberangi sungai Huang-hoo akan mencari kabar ke mana perginya sanak famili Raja We.

**

Ketika sampai di tepi sungai Hoang-hoo (Sungai Kuning), Cio Ki Cu memimpin Pangeran

Sin naik perahu lebih dulu, sedang Leng Sok mengumpulkan rakyat yang menyusul mereka di belakangnya. Dari situ mereka harus pergi ke Cu-ip.

Sesampai di kota Cu-ip, Leng Sok dan Ciu Ki Cu berdamai. Mereka berpendapat harus diangkat seorang raja baru. Maka mereka sepakat mengangkat Pangeran Sin menjadi Raja We dengan gelar We Tai Kong.

Mendengar di negeri We telah ada raja baru, Raja Song dan Raja Khouw mengirim utusan untuk mengucapkan selamat kepada We Tai Kong yang baru jadi raja. Pemberian selamat itu dibalas dengan ucapan terima kasih.

Raja We Tai Kong sebelum menjadi raja pun tubuhnya kurang sehat dan sering sakit-sakitan. Ketika dinobatkan menjadi raja, We Tai Kong sedang sakit keras. Jadi hanya beberapa hari saja dia menyandang gelar raja, kemudian meninggal.

Wafatnya We Tai Kong membuat Cio Ki Cu dan Leng Sok serta rakyat We jadi sangat berduka. Sesudah selesai menguburkan jenazah Raja We Tai Kong, Leng Sok pergi ke negeri Cee untuk menyambut kedatangan Pangeran Hui.

Kedatangan Leng Sok membuat Raja Cee Hoan Kong sangat terkejut, dia merasa menyesal tidak dapat datang menolong, sehingga negeri We berantakan dan We I Kong mati dibunuh musuh. Tetapi Raja Cee merasa bersyukur karena Pangeran Hui bakal jadi raja. Raja Cee Hoan Kong menghadiahkan seperangkat kereta bersama kuda-kuda bagus kepada Pangeran Hui, lima pasang pakaian sembahyang, kerbau, kambing, babi dan ayam masing-masing tiga ratus ekor.

Selanjutnya Raja Cee memerintahkan Pangeran Bu Kui memimpin 300 kereta perang untuk mengantarkan Pangeran Hui ke negeri We. Dan dipesan agar Pangeran Bu Kui membantu membangun kembali kota We.

Pangeran Hui menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Raja Cee Hoan Kong kepadanya. Sesudah itu Pangeran Hui mengucapkan selamat berpisah.

Ketika Pangeran Hui baru berjalan dan sampai di kota Cu-ip, mereka bertemu dengan anak buah Hong Yan almarhum. Dia sedang membawa budak yang kakinya patah itu. Anak buah Hong Yan langsung menemui raja baru itu. Dia menceritakan bagaimana dia telah mengubur hati Raja We di dalam perut Hong Yan. Jenazah Hong Yan dikuburkan di suatu tempat.

Mendengar cerita anak buah Hong Yan, Pangeran Hui tidak hentinya menangis. Dia sangat terharu atas terjadinya musibah pada keluarganya itu. Segera dia perintahkan orang membawa peti mati pergi ke Eng-tek untuk mengurus jenazah almarhum I Kong. Baru kemudian dia mengenakan pakaian berkabung atas wafatnya I Kong dan Tai Kong dua raja We itu. Dia juga ingat kepada Hong Yan yang begitu setia kepada rajanya.

Ketika mendengar khabar bagaimana Raja Cee Hoan Kong begitu memegang teguh janjinya dan budinya luhur, banyak Raja Muda yang mengirim utusan untuk turut berduka cita.

Sekarang Pangeran Hui yang menjadi raja di negeri We. Dia bergelar We Bun Kong. Dia berusaha memajukan negara dan rakyatnya. We Bun Kong mendapat pujian sebagai raja yang bijaksana.

Ketika Pangeran Bu Kui mau pulang ke negeri Cee, sengaja dia tinggalkan sebahagian tentaranya untuk membantu membetulkan kota yang rusak. Ketika sudah pulang kepada Raja Cee Hoan Kong diceritakan, bagaimana raja yang baru itu hidup hemat. Mau bekerja keras dan rajin. Begitu juga tentang kesetiaan Hong Yan pada junjungannya.

”Akh, sungguh mengherankan,” kata Hoan Kong sambil menarik napas, ”seorang raja lalai kewajibannya, tokh masih ada menterinya yang begitu setia.Kalau begitu memang pantas negeri We tidak boleh musnah.”

Koan Tiong mengusulkan, sebaiknya Raja Cee mengajak semua Raja muda membantu membangun ibukota baru untuk negeri We. Raja Cee Hoan Kong setuju, dia hendak mengumpulkan Raja-raja muda, namun mendadak negeri Heng mengirim utusan memberi khabar.

”Bangsa Tek kembali menyerang ke negeri Heng, kami tidak tahan mohon bantuan!” kata utusan tersebut.

”Apa perlu kita menolong negeri Heng?” tanya Raja Cee Hoan Kong pada Koan Tiong. ”Semua Raja-raja Muda bersedia tunduk pada negeri Cee, mereka menganggap negeri Cee

kuat dan bisa membantu mereka jika ada bahaya. Jika kita tidak mau membantu mereka untuk

apa kita menjadi jago di antara mereka?” kata Koan Tiong..

”Kalau begini negeri Heng dan negeri We punya kepentingan yang sama. Mana yang harus ditolong lebih dahulu?” kata Raja Cee.

”Amankan dahulu negeri Heng dari ancaman bangsa Tek, sesudah beres, baru kita bantu negeri We membangun Ibukotanya,” kata Koan Tiong. Raja Cee Hoan Kong setuju. Segera dia mengirim khabar ke negeri Song, Louw, Co dan Chu. Mereka diminta masing-masing mengerahkan pasukan perangnya berkumpul di Liap-pak (tanah Heng).

Sesampai pasukan Cee di Liap-pak hampir berbareng dengan pasukan dari negeri Song dan Co. Di tempat itu Koan Tiong mengatur siasat dan berkata pada Raja Cee Hoan Kong. ”Orang Tek sedang berkonsentrasi menyerang negeri Heng,” kata Koan Tiong. ”Semangat bangsa Tek masih tinggi dan gagah. Jika kita serang mereka maka kita harus menggunakan kekuatan dua kali lipat. Sebaliknya untuk membantu belum habis kekuatannya, maka jasa kita dianggap kecil.”

”Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Raja Cee.

”Untuk sementara waktu, kita harus menunggu sampai Raja Heng tidak sanggup menangkis serangan bangsa Tek. Maka tentara Heng akan rusak berat, sedang tentara bangsa Tek sudah kelelahan. Saat itu baru kita turun tangan mengusir bangsa Tek. Dengan demikian kita bisa

mengalahkannya dengan gampang. Ini namanya siasat menggunakan sedikit tenaga, mendapat

pahala besar!” kata Koan Tiong.

Raja Cee Hoan Kong setuju. Dengan alasan masih menunggu kedatangan pasukan Louw dan

Chu, Raja Cee menahan tentaranya. Dia mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan di

medan perang.

Dua bulan lamanya tentara gabungan pihak Cee berada di Liap-pak, selama dua bulan itu

bangsa Tek menyerang kota Heng semakin sengit. Siang dan malam tidak hentinya. Maka

habislah kekuatan tentara Heng. Mereka dengan mati-matian mencoba menerobos kepungan bangsa Tek. Baru saja juru kabar memberi laporan pada Cee Hoan Kong, apa yang terjadi atas tentara Heng. Orang-orang Heng, lelaki dan perempuan serempak berdatangan. Mereka berlindung di perkemahan tentara Cee. Raja negeri Heng, Siok Gan berlutut sambil menangis minta tolong. Raja Cee Hoan Kong segera membangunkan Siok Gan. Dengan manis Raja Cee menghiburnya.

Sesudah itu baru Raja Cee mengajak Raja Song dan Raja Co bersama-sama mengerahkan tentaranya hendak mengusir bangsa Tek. Raja Tek, So Mhoa, karena sudah berhasil merampok harta Raja Heng, tidak bersemangat untuk berperang lagi, ketika mendapat khabar pasukan dari tiga negara hampir sampai. Dia memerintahkan tentaranya membakari rumah- rumah penduduk. Mereka lalu kabur ke arah Utara.

Ketika pasukan gabungan bersama Raja Heng masuk ke dalam kota, mereka hanya menyaksikan kobaran api raksasa yang menghabisi rumah penduduk kota. Sedang bangsa Tek sudah kabur semua.

Raja Cee Hoan Kong mengeluarkan perintah untuk memadamkan api kebakaran. ”Apakah kota ini masih layak ditinggali?” tanya Raja Cee.

”Aku rasa tidak bisa lagi, karena bangsa Tek telah merusakannya,” sahut Raja Heng dengan terharu.

”Sekarang bagaimana pendapatmu? Mau memperbaiki kota yang hancur, atau mau membangun yang baru?” tanya Raja Cee.

”Rakyat kami semua kabur ke tanah I-gi. Jika Tuanku merasa kasihan pada kami, kami akan membangun kota baru di I-gi saja,” kata Siok Gan.

Raja Cee Hoan Kong meluluskan permohonan Raja Heng, dia perintahkan tentara ketiga negara untuk membantu membangun kota baru di I-gi. Raja Cee juga mengirim berbagai binatang peliharaan untuk bibit seperti sapi, kerbau, kuda, ayam dan sebagainya. Ini dimaksudkan agar kota yang baru itu sempurna adanya. Raja negeri Heng, Sio Gan bersama rakyatnya jadi girang sekali. Setelah urusan di negeri Heng jadi beres, Raja Song dan Raja Co pamit pada Raja Cee hendak pulang ke negerinya. Tapi Cee Hoan Kong mencegahnya, dia ajak mereka menolong negeri We. Karena negeri Heng sudah dibuatkan kota baru, seharusnya negeri We pun dibuatkan kota. Ajakan ini diterima baik oleh Raja Song dan Raja Co.

Berangkatlah pasukan tentara tiga negara mereka berangkat dari negeri Heng pergi ke negeri We.

Ketika Raja We Bun Kong mendapat kabar Raja Cee Hoan Kong akan datang ke negaranya, dia segera datang menyambut. Raja Cee sangat senang melihat Raja We hidupnya demikian sederhana.

Raja Cee Hoan Kong memberitahu maksud kedatangannya, yaitu hendak memperbaiki kota Raja We.

Kemudian bertanya pada Raja We Bun Kong.

”Kota mana yang anda setujui untuk kota raja?” kata Raja Cee.

”Aku berniat mendirikannya di Couw-kiu,” sahut We Bun Kong. ”Cuma biaya mendirikannya tidak kecil. Hamba rasa biaya sebesar itu tidak mungkin bisa dipikul oleh kami, sebuah negara yang hampir musnah!” kata Raja We.

”Tidak usah kau cemaskan masalah itu,” kata Raja Cee. ”Semua biaya pembangunan. Biar aku yang tanggung!”

Raja Cee Hoan Kong memerintahkan tentara dari tiga negara pergi ke Couw-kiu. Mereka ditugaskan untuk mendirikan ibukota di sana. Sedang semua bahan dan biaya didatangkan dari negeri Cee.

Sesudah kota selesai dibangun, Cee Hoan Kong mempersilakan Raja We meninggalinya. Tentu saja Raja We girang dan sangat berterima kasih pada Cee Hoan Kong.

Sesudah semua beres, raja-raja itu kembali ke negerinya masing-masing.

Oleh karena Raja Cee Hoan Kong telah membangun kembali tiga buah negara yang hampir musnah. Pertama dia telah mengangkat Hi Kong menjadi Raja Louw, membangun kota I-gi untuk negara Heng. Membangun kota Couw-kiu untuk negara We. Maka ketiga negara itu menganggungkan Kerajaan Cee. Dari kelima negara, Cee Hoan Konglah yang terhitung paling terkenal. Di antara Ngo Pa (Lima Raja Jago), Cee Hoan Kong adalah jagonya.

***

Waktu itu Raja Cee sangat terkenal, tetapi di negeri Couw, Couw Seng Ong mengandalkan Leng-i Pangeran Bun (Touw Kok O-to) untuk mengurus pemerintahan negaranya. Dengan demikian negaranya jadi makmur dan tentaranya sangat kuat. Tidak heran jika Raja Couw Seng Ong senantiasa berniat merebut kedudukan sebagai Jago di Tiongkok.

Sejak Couw Seng Ong mendengar Raja Cee telah membantu Raja Louw, dia jadi kurang senang. Dia khawatir negaranya akan berada di bawah para Raja Muda yang tergabung dengan negeri Cee itu. ”Aku berpendapat, Raja Cee tidak boleh dibiarkan berbuat semena-mena,” kata Couw Seng

Ong pada Chu Bun. ”Dia hanya berpura-pura menyiarkan kebajikan, padahal dia memikat hati para Raja Muda agar takluk kepadanya. Sedang aku tinggal statis di bagian timur sungai

Han-sui. Dengan demikian kebaikanku tidak membangkitkan kebaikan. Sedang kegagahanku

pun tenggelam di mata para raja muda. Aku sangat malu. Itu sebabnya aku ingin mencoba kekuatan Raja Cee itu!”

”Jangan, kita belum pantas untuk berselisih dengan negeri Cee,” kata Chu Bun. ”Buat mendapatkan gelar Hong Pek, Raja Cee telah bekerja keras hampir 30 tahun lamanya. Dengan menggunakan alasan hendak menjunjung tinggi ”Dewan Kerajaan Ciu”, maka banyak Raja- raja Muda yang bersedia takluk kepadanya. Itu sebabnya kita belum boleh bermusuhan dengannya. Letak negeri The ada di antara bagian Selatan dan Utara. Negeri itu mirip

tenggorokan daerah Tiong-goan (Tiongkok). Manakala Tuanku punya niat hendak menjagoi di Tiong-goan, jika belum mendapatkan negeri The pasti tidak akan berhasil.”

Raja Couw memerintahkan panglimanya memimpin 200 kereta perang dan pasukannya menyerang ke negeri The. Ketika mendengar Raja Couw menyerang, Raja The sangat khawatir dia perintahkan Tam Pek memimpin pasukan Tje menjaga pintu kota. Lalu mengutus orang untuk minta bantuan kepada Raja Cee.

Ketika utusan negeri The sampai dan melaporkan keadaan negaranya. Serta meminta pada Raja Cee agar membantu mereka. Raja Cee memanggil semua Raja Muda dalam perserikatannnya agar membantu negeri The.

Ketika Touw Ciang maju sampai ke perbatasan negeri The, dia kaget saat mendengar pasukan bantuan dari negeri Cee telah datang. Maka karena tak akan sanggup melawan, dia menarik mundur pasukannya. Raja Couw Seng Ong mendengar kabar ini. Dia marah kepada Touw Ciang yang tanpa berperang sudah mundur. Dia loloskan pedang di pinggangnya yang dia serahkan pada Touw Liam.

”Segera kau berangkat, penggal kepala Touw Ciang!” kata Couw Seng Ong.

Touw Liam terpaksa menerima pedang itu. Tetapi walau bagaimana dia adalah kakak Touw Ciang. Mana tega dia membunuh adik sendiri. Ketika bertemu dengan adiknya, Touw Liam menceritakan perintah Couw Seng Ong agar membunuh dia. Tentu saja Touw Ciang kaget.

”Jangan cemas,” kata Topuw Liam. ”Aku sudah punya siasat untuk menyelamatkan jiwamu.” Kata Touw Liam. ”Raja The pasti sudah tahu kau menarik mundur pasukanmu. Mereka pasti tidak mengira kau akan segera balik kembali. Jika kau kembali dan menyerang mereka secara tiba-tiba, maka aku yakin mereka akan kalah. Sesudah mendapat kemenangan, baru kau

pulang. Bukan hukuman malah kau berpahala.” Touw Ciang senang dia turuti nasihat kakaknya itu. ”Terima kasih, Kak.” kata Touw Ciang.

Dia bagi tentaranya menjadi dua bagian. Dia memimpin pasukan depan. Sedang Touw Liam memimpin pasukan belakang.

Dalam perjalanan kembali ke negeri The, Touw Ciang melarang tentaranya membunyikan genderang maupun mengibarkan bendera mereka. Diam-diam mereka maju menyerang dan masuk kembali ke perbatasan negeri The. Saat itu kebetulan dia betemu dengan Tam Pek yang sedang memeriksa kereta perang mereka.

Mendengar tentara musuh datang, Tam Pek tidak mengetahui musuh dari mana, karena dia

tidak menduga Touw Ciang bakal kembali lagi. Dengan tergesa-gesa dia pimpin pasukannya untuk melakukan perlawanan.

Saat Tam Pek asyik bertarung melawan Touw Ciang, datang Touw Liam membantu Touw Ciang. Diserang dari dua jurusan Tam Pek kaget dan kebingungan. Pasukan The jadi kacau- balau.

Karena dikepung dari dua jurusan. Tam Pek yang gugup agak lengah, dia terhajar oleh ruyung milik Touw Ciang. Dia terguling dan ditangkap oleh tentara Touw Ciang.

Touw Liam berhasil mengobrak-abrik pasukan The hingga berantakan. Sesudah berhasil menawan Tam Pek, Touw Ciang akan maju terus menyerang tentara The. Tetapi Touw Liam mencegah niat adiknya itu.

”Kita sudah menang, lebih baik kembali saja. Kau pun sekarang sudah luput dari hukuman mati Raja Couw!” kata Touw Liam.

Nasihat sang kakak kembali diturut oleh Touw Ciang. Lalu dia pimpin pasukannya pulang. Begitu sampai di negeri Couw dia menghadap pada Raja Couw Seng Ong.

”Touw Ciang! Aku dengar kau telah mundur dari medan perang. Sekarang kau berani datang menemuiku!” kata Raja Couw.

”Memang benar hamba mundur, tetapi itu cuma siasat hamba untuk kembali memukul musuh, Tuanku. Buktinya hamba menang!” kata Touw Ciam berbohong.

”Ya, kau boleh bilang begitu!” kata Raja Couw Seng Ong dengan hati masih mendongkol.

”Karena kau berhasil menangkap panglima musuh, maka kuampuni kesalahanmu! Negeri The belum takluk, mengapa kau sudah menarik mundur angkatan perang kita?”

”Karena tentara hamba sedikit, jika maju terus hamba khawatir gagal, sehingga merusak nama baik tentara Couw,” sahut Touw Ciang.

Dia kaget dan hatinya berdebar-debar ditegur begitu.

”O, kau gunakan alasan tentaramu sedikit,” kata Raja Couw dengan marah. ”Nah, sekarang aku tambah dengan 299 kereta perang dan tentara. Kau harus berangkat lagi jika kau tidak bisa mengalahkan Kerajaan The, kau jangan kembali lagi ke sini!”

”Tuanku, izinkan aku ikut dengan adikku ke medan perang,” kata Touw Liam. ”Jika adikku tidak bisa mengalahkan Kerajaan The, maka jika adik hamba tak berhasil menaklukan negeri The. Dia akan hamba ikat dan akan hamba bawa ke hadapan Tuanku!”

”Baik, kau kuzinkan pergi bersamanya. Kau boleh bawa 400 kereta perang dan tentara untuk memerangi negeri The!” kata Couw Seng Ong.

Touw Liam diangkat menjadi Jenderal Besar, sedang Touw Ciang menjadi pembantunya. Mereka berangkat bersama-sama ke negeri The. Ketika Raja The mendengar kabar Tam Pek tertangkap oleh musuh, dia perintahkan anak buahnya pergi ke negeri Cee untuk minta bantuan. Mendengar khabar itu, Koan Tiong berkata pada Raja Cee Hoan Kong.

”Dalam beberapa tahun ini, Tuanku telah menolong negeri Yan, membereskan kekacauan di negeri Louw, membangun kota untuk negeri Heng, dan menyempurnakan negeri We, sehingga kepribadian Tuanku tersiar di seluruh negeri. Keangkeran Tuanku termasyur di kalangan Raja-raja Muda. Sehingga jika Tuanku akan menggunakan tenaga mereka, mereka siap membantu. Jika Tuanku ingin menyelamatkan negeri The, serang saja negeri Couw.

Tetapi jika mau menyerang negeri Couw, Tuanku harus membuat perserikatan dengan semua Raja-raja Muda.” Kata Koan Tiong.

”Jika kita harus mengadakan pertemuan dengan semua Raja-raja Muda, itu akan makan waktu,” kata Raja Cee. ”Dengan demikian orang-orang Couw sempat melakukan persiapan. Maka akan sulit kita menang melawan mereka!”

”Bukankah sudah lama Tuanku berniat melabrak negeri Coa, karena dia membantah tidak mau tunduk di bawah perintah Tuanku?” kata Koan Tiong. ”Letak negeri bersambung dengan negeri Couw. Jika kita gunakan alasam hendak menghajar negeri Coa, tetapi sesampai di sana kita berbalik menyerang negeri Couw. Pasti orang Couw tidak akan menyangka kita akan menyerang mereka! siasat ini dinamakan : Bergerak saat musuh tidak menduga.”

Raja Cee Hoan Kong mengangguk dan setuju pada saran Koan Tiong ini. Dia segera menghubungi semua Raja Muda agar bersiap-siap. Mereka harus menunggu perintah dan langsung bergerak.

Pada suatu hari.......

Raja dari negeri Kang dan negeri Ui mengirim utusan minta berserikat dengan negeri Cee. Sebelum meluluskan permintaan itu, Raja Cee Hoan Kong berunding dulu dengan Koan Tiong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar