Lima Jagoan Jaman Cun Ciu Bab 01

Bab 01

baginda, Raja negeri Cee bernama Cee Siang Kong. Baginda berputra dua orang. Putra sulungnya

bernama Kiu, dilahirkan oleh istri pertama baginda. Istri baginda ini berasal dari

negeri Louw.

Putra baginda yang ke-dua bernama Siao Pek. Anak ini lahir dari istri ke-dua seorang putri berasal dari negeri Kiu.

Kedua putra Raja Cee itu dilahirkan dari istri-istri mudanya (selir-selirnya), tetapi kedua putra baginda ini sudah diaku sah sebagai putra Raja Cee. Malah mereka sudah hendak dicarikan guru untuk dipimpin atau dididik dalam ilmu Bun (sastra) maupun Bu (kemiliteran).

Mendengar niat baginda Koan I Gouw alias Koan Tiong sangat tertarik. Dia ingin menjadi guru salah satu dari kedua putra raja tersebut. KoanTiong lalu menemui seorang menteri sahabatnya. Dia bernama Pao Siok Gee. Kemudian mereka membahas niat baginda dengan Pao Siok Gee.

”Putra Raja kita ada dua orang,” kata Koan Tiong, ”di kemudian hari mereka pasti raja. Jika bukan Kiu, pasti Pangeran Siao Pek. Bagaimana jika kita masing-masing mendidik salah seorang dari mereka? Jika di kemudian hari mereka sudah siap manggantikan ayahnya. Kita lihat, siapa di antara mereka yang beruntung?”

”Baik, aku setuju pada pendapatmu itu,” jawab Pao Siok Gee.

Mereka sepakat akan mendidik salah seorang dari kedua pangeran itu. Kemudian Koan Tiong dan Siao Hut menemui Raja Cee. Mereka memohon agar mereka diizinkan menjadi guru Pangeran Kiu. Begitu juga Pao Siok Gee. dia juga memohon untuk menjadi guru Pangeran Siao Pek. Permohonan kedua menteri yang akhli dan pandai itu diluluskan oleh Cee Siang Kong.

Sejak saat itu kedua pangeran belajar di bawah pimpinan Koan Tiong dan Pao Siok Gee.

Pangeran Siao Pek belajar di bawah pimpinan Pao Siok Gee dan Pangeran Kiu belajar di

bawah pimpinan Koan Tiong.

**

Ada peristiwa yang tak senonoh terjadi atas Raja Cee. Setiap kali Cee Siang Kong bertemu dengan Bun Kiang, adik kandungnya, mereka melakukan perselingkuhan. Kelakuan Raja Cee main serong dengan adik kandungnya lama-lama ketahuan juga. Salah seorang Pao Siok Gee yang memergoki mereka. Perbuatan itu oleh Pao Siok Gee dianggap sangat biadab dan memalukan. Suatu hari Raja Cee akan menemui adiknya, Bun Kiang di Tanah Ko.

Mendengar niat Raja Cee ke Tanah Ko, Pao Siok Gee menasihati Raja Cee agar baginda tidak pergi ke sana. Pao Siok Gee juga minta agar baginda mau mengubah kelakuannya. Keadaan lebih buruk lagi, karena adiknya Bun Kiang, sudah menikah dengan raja dari negeri Louw.

Tetapi nasihat Pao Siok Gee tidak dihiraukan.

Sesudah Pao Siok Gee resmi menjadi guru Pangeran Siao Pek, dia tetap berusaha ingin menasihati Raja Cee. Kali ini lewat Pangeran Siao Pek. Dia minta muridnya itu membujuk ayahnya agar mengubah tingkah buruknya.

”Kekejian Maha-Raja sudah tersiar, sehingga rakyat tidak senang,” kata Pao Siok Gee. ”Jika Kong-cu (Pangeran) tidak mencegahnya, aib itu akan bertambah besar! Tetapi jika baginda mau mengubah sikap, keburukan itu bisa agak reda. Tetapi jika usahamu gagal selanjutnya bahaya akan mengancam kita. Seumpama sebuah bendungan air, jika terlalu penuh isinya, pasti airnya meluap. Kemudian menjadi air bah! Maka itu Kong-cu harus memperingatkan Ayahmu.”

Mendengar keterangan gurunya Siao Pek kaget, dia tidak menyangka ayahnya main serong dengan bibinya. Sesudah berpikir sejenak Siao Pek berjanji akan menasihati ayahnya. Dia berjanji akan berusaha sampai ayahnya itu insyaf.

Suatu saat dia masuk ke istana ayahnya. Dia langsung menemui ayahnya. Sesudah memberi hormat, dengan muka manis Siao Pek berkata, ”Ayah, aku harap Ayah tidak marah, karena aku punya sedikit kata-kata yang hendak disampaikan pada Ayahanda. Sekali lagi mohon

Ayahanda tidak marah.”

”Katakan, soal apa itu?” kata Raja Cee.

”Seperti khabar yang tersiar di luaran, hamba mendengar gosip tentang kematian Raja Louw. Hamba dengar tuduhan buruk ditujukan kepada Ayahanda. Orang membuat cerita burung tentang Ayahanda. Terutama mengenai pergaulan Ayah dengan kaum lelaki dan perempuan.

Hamba dengar orang mencurigai dan menuduh yang bukan-bukan pada Ayah. Hamba rasa lebih baik Ayah membatalkan niat akan pergi ke tanah Ko.” kata Siao Pek.

”Apa kau bilang? Anak kurang ajar!” sentak Cee Siang Kong marah. ”Kau satu anak kecil, mengapa kau berani banyak omong di depanku? Ayo, lekas pergi dari sini!” Sehabis mengucapkan kata-kata kasar itu, Raja Cee mengangkat kakinya dan menendang. Dengan sigap Siao Pek mengelak hingga luput dari tendangan ayahnya. Siao Pek buru-buru berlari keluar, terus kabur meninggalkan istana. Kejadian itu buru-buru dia sampaikan kepada Pao Siok Gee.

”Aku rasa orang keji pasti akan mendapat balasan yang setimpal juga,” kata Pao Siok Gee.. ”Aku bersedia pergi bersamamu, Pangeran.”

”Pergi ke mana?” tanya Siao Pek bingung.

”Mari kita pergi ke negeri orang. Sementara di sana kita tunggu saat yang baik bagimu, Pangeran!” kata Pao Siok Gee.

”Baik, aku setuju Su-hu. Tetapi pergi ke negeri apa?” tanya Siao Pek.

”Kegembiraan dan bencana di negeri besar tidak menentu, alangkah baiknya jika kita pergi saja ke negeri Ki. Di negeri Ki yang kecil dan letaknya sangat dekat dengan negeri Cee ini.” kata Pao Siok Gee. ”Karena kecilnya negeri Ki, maka negeri itu tidak menarik perhatian. Aku yakin di sana tidak akan ada yang menghina kita. Sedang jaraknya yang dekat dengan negeri Cee, akan memudahkan jika kita akan pulang kampung.”

”Ya, baiklah, aku setuju,” kata Siao Pek.

Begitulah diam-diam mereka meninggalkan negeri Cee. Ketika mendapat laporan Raja Cee Siang Kong tidak memusingkan kepergian putera dan menterinya itu.

**

Suatu ketika Raja Cee Siang Kong dibunuh oleh Kong-sun Bu Ti, kerajaannya dirampas. Dalam rapat sesudah Kong-sun Bu Ti berkuasa, Kwan Ci Hu usul pada raja baru itu. Dia minta agar Kong-sun Bu Ti memanggil Koan Tiong untuk dijadikan menteri. Usul itu diterima oleh Kong-sun Bu Ti. Dia segera memerintahkan orang mengundang Koan Tiong.

Dia minta agar Koan Tiong mau bekerja sama dengannya. Tetapi Koan Tiong menolak ajakan itu. Dengan sengit Koan Tiong berkata, ”Ha, bagus betul tingkah pengkhianat itu! Dia tidak sadar golok yang tajam sudah hampir sampai di lehernya. Malah dia mau merembet-rembet orang lain?!”

Koan Tiong segera berunding dengan Siao Hut untuk mencari akal menghidar dari Kong-sun Bu Ti. Mereka berpendapat negeri Louw negara ibu Pangeran Kiu. Negeri itu tidak ubahnya seperti rumah Pangeran Kiu juga. Mereka lalu mengajak Pangeran Kiu pergi berlindung ke negeri Louw.

Raja Louw Cong Kong menerima baik kedatangan mereka, malah mereka diberi tempat tinggal di tanah Seng-touw. Makan dan pakain mereka setiap bulannya dikirim sampai cukup.

**

Pada tahun Louw Cong Kong ke-dua belas.....

Waktu itu tepat pada musim Cun (semi) di bulan Ji-gwe (bulan 12). Ketika itu Kong-sun Bu Ti sudah menjadi raja di negeri Cee. Seluruh pejabat baik sipil dan militer waktu itu hendak memberi selamat kepada raja baru itu. Ketika itu mereka sudah berkumpul di kamar samping istana sedang menunggu waktu dibukanya persidangan. Di ruang tunggu tersebut tingkah- laku Lian Ceng dan Kwan Ci Hu sangat angkuh dan sombong. mereka pikir mereka berdualah

yang telah membantu Kong-sun Bu Ti menggulingkan Cee Siang-kong. Lantaran jasa mereka berdua Cee Siang Kong binasa. Kemudian Kong-sun Bu Ti pun naik tahta menjadi raja. Mereka pikir pahala mereka sangat besar. Tidak mengherankan jika tingkah mereka jadi sombong, dan tidak memandang sebelah mata pada menteri lain yang juga ikut berjasa.

Sebagian besar menteri-menteri jadi sangat benci kepada kedua menteri yang congkak itu. Kebencian mereka itu terlihat jelas dari tingkah mereka.Yong Lim mengerti bagaimana keadaan dan perasaan para menteri itu. Dengan sengaja dia berkata kepada rekan-rekannya itu, ”Tadi aku dengar ada tamu yang datang dari negeri Louw. Tamu itu bercerita bahwa Pangeran Kiu hendak meminjam tentara dari negeri Louw akan menyerang ke negeri Cee..

Apakah Tuan-tuan sudah mendengar khabar itu?”

Semua pembesar di tempat itu saling pandang di antara mereka. Mereka bilang, ”Kami tidak tahu mengenai khabar itu.”

Sebelum Yong Lim melanjutkan ceritanya lebih jauh, lonceng istana sudah terdengar dibunyikan. Lonceng sebagai tanda Kong-sun Bu Ti sudah duduk di atas tahtanya. Maka semua pembesar lantas masuk ke dalam istana untuk memberi selamat. Setelah upacara pengangkatan raja baru itu selesai dijalankan, persidangan pun ditutup. Semua pembesar keluar dari istana. Sebagian besar menteri itu tidak segera pulang ke rumahnya. Mereka langsung ke rumah Yong Lim. Mereka mau minta keterangan lebih jauh tentang khabar Pangeran Kiu yang hendak memerangi negeri Cee. Sesudah mereka berkumpul, salah seorang langsung bicara.

”Benarkah apa yang Tuan katakan di istana tadi? Apakah benar Pangeran Kiu suidah siap menyerrang negeri ini?” tanya salah seorang pembesar.

Yong Lim tidak langsung menjawab, malah dia berbalik bertanya.

”Jika benar Kong-cu Kiu datang membawa angkatan perang yang dipinjam dari negeri Louw dan menyerang negeri Cee. Apa pendapat Tuan-tuan mengenai hal ini?” tanya Yong Lim.

”Sekalipun Raja Cee Siang Kong almarhum tidak bijaksana dan tidak benar saat menjadi raja. Tetapi putera beliau tidak berdosa. Siang dan malam aku mengharap-harap kedatangannya,” kata Tong Kok Gee. Suaranya mantap tetapi agak terisak karena terharu.

Mendengar ucapan Tong Kok Gee, sebagian besar pembesar-pembesar itu meneteskan air mata mereka.”Tadi aku ikut berlutut bukan karena aku tunduk kepada Kong-sun Bu Ti,” kata Yong Lim.

Yong Lim girang karena banyak menteri yang sependapat dengannya.

”Aku diam saja tidak melawan, karena aku belum tahu bagaimana isi hati Tuan-tuan sekalian. Sekarang jika Tuan-tuan suka bahu-membahu menyingkirkan si pengkhianat. Mari kita angkat putera Raja Cee Siang Kong almarhum menjadi raja kita. Perbuatan ini baru bisa dikatakan kita adalah menteri yang setia dan tahu kewajibannya.”

Semua pembesar menyatakan setuju pada pendapat Yong Lim. ”Tetapi bagaimana caranya kau mau melaksanakan masalah ini?” tanya Tong Kok Gee.

”Kho He alias Keng Tiong, seorang menteri yang sudah turun-temurun dari Kerajaan Cee.

Beliau seorang yang cerdas dan pandai. Beliau juga paling ditakuti dan dipercaya oleh semua

orang,” kata Yong Lim. ”Sedang Lian Ceng dan Kwan Ci Hu, dua pengkhianat besar! Malah aku dengar mereka mencoba membujuk Kho He, agar Kho He mau berpihak kepada Kong- sun Bu Ti. Jika mereka berhasil membujuk Kho He ke pihaknya, maka pengaruh akan bertambah besar. Tetapi tahukah tuan-tuan, keinginan mereka tidak terpenuhi. Mereka sangat mendongkol kepada Keng Tiong.”

”Syukurlah kalau begitu,” kata Tong Kok Gee dengan sangat girang. ”Lalu apa akal kita sekarang?”

”Kita minta pada Kho He supaya dia mengatur sebuah perjamuan. Kemudian mengundang kedua pengkhianat itu datang ke pesta tersebut. Mereka pasti akan sangat girang sekali, karena mereka mengira Kho He bersedia bekerja sa-ma dengan mereka. Mereka pasti akan datang ke pesta itu,” kata Yong Lim ”Nanti aku akan berpura-pura memberi khabar kepada Kong-sun Bu Ti. Akan kukatakan bahwa Pangeran Kiu te-lah mengerahkan angkatan

perangnya. Karena dia sangat bodoh dan tidak punya kekuatan, niscaya dia percaya saja pada khabar ini. Nanti jika aku sudah bisa mendekatinya, aku akan menikam hulu hatinya, pasti dia binasa! Kemudian aku akan menyalakan api sebagai pertandaan. Kjo He boleh segera

menutup rapat pintu rumahnya. Kemudian membasmi dua pengkhianat itu. Dengan demikian, bukankah urusan ini lantas bisa dibereskan seperti gampangnya membalikkan telapak

tangan?”

”Ya, ini salah satu siasat yang sangat bagus!” kata Tong Kok Gee dengan girang, ”Bagi Kho He, sekalipun kami tahu dia sangat benci pada Raja Cee Siang Kong almarhum. Tapi demi kepentingan negeri ini, pasti dia tidak akan menolak membantu. Aku berani jamin, pasti dia akan setuju dengan rencana kita ini.”

Semua menteri turut girang, masing-masing berjanji dan bersedia membantu dengan segenap hati. Tong Kok Gee segera pergi ke rumah Kho He. Dia langsung bicara dengan Kho He dan memberitahukan rencana mereka dan siasat Yong Lim yang hendak mereka atur dan jalankan.

Kho He memang sangat benci kepada kedua pengkhianat dan kepada Kong-sun Bu Ti. Begitu mendengar rencana rekan-rekannya, dia langsung setuju. Dia memerintahkan Tong Kok Gee agar pergi ke rumah Lian Ceng dan Kwan Ci Hu untuk menyampaikan undangannya. Maka bergegaslah Tong Kok Gee ke rumah kedua pengkhianat itu.

Ketika Tong Kok Gee sampai, kedua pengkhianat itu menerima kedatangan Tong Kok Gee dengan girang. Sesudah berbasa-basi, Tong Kok Gee menyampaikan undangan dari Keng Tiong pada mereka. Tentu saja mereka gembira sekali menerima undangan itu. Mereka langsung berjanji akan datang ke pesta tersebut.

**

Ketika waktu yang ditetapkan telah tiba. Lian Ceng dan Kwan Ci Hu datang ke rumah Kho He. Mereka disambut dengan gembira oleh menteri tua tersebut. Kemudian mereka dipersilakan masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah telah diatur sebuah meja makan yang penuh dengan santapan yang lezat-lezat. Sesudah Kho He mempersilakan kedua pengkhianat itu duduk dan mereka sudah duduk dan langsung bersantap. Kho He memegang cawan arak sambil tersenyum manis. Kemudian Kho He berkata, ”Raja Cee Siang Kong almarhum telah berbuat banyak hal yang tidak patut, sehingga siang dan malam aku khawatir negeri Cee akan musnah. Ternyata sekarang! Semua benar-benar terjadi. Beruntung Ji-wi Tay-hu (Anda berdua Menteri) sudah bisa menjatuhkan Raja Cee Siang Kong. Bahkan sudah bisa mengangkat Raja yang baru. Dengan demikian

maka aku pun bisa menjaga dan memlihara tempat abu leluhur sendiri dengan tenteram.

Tempo hari lantaran aku sedang tidak enak badan, sehingga aku tidak bisa turut menghadap ke istana. Sungguh aku merasa sangat menyesal. Sekarang untung badanku sudah mulai sehat, maka aku suguhkan arak ini untuk membalas budi kalian berdua yang besar. Lebih jauh aku

ingin menitipkan anak cucuku pada kalian berdua.”

Lian Ceng dan Kwan Ci Hu bersikap sangat hormat dan merendah, tetapi mereka senang sekali dipuji begitu. ”Hamba berdua tidak berani menerima pujian yang begitu besar dari Tuan.” kata mereka.

Tengah makan minum Kho He memerintahkan pada anak buahnya agar mereka menutup rapat pintu rumahnya. ”Hari ini aku mau minum arak sepuas-puasnya.” kata Kho He. Tetapi dengan diam-diam dia berpesan pada si pengawal pintu,

”Kau jangan melaporkan segala khabar yang datang dari luar, tetapi harus menunggu jika di dalam kota sudah dinyalahkan api, baru kau boleh datang melapor kepadaku.” kata Kho He lagi sambil berbisik.

**

Di tempat lain pada waktu yang sama, Yong Lim dengan membekal sebilah pisau kecil yang tajam luar biasa, datang ke istana. Dia langsung menemui Kong-sun Bu Ti. Sesudah bertemu dengan Kong-sun Bu Ti, Yong Lim langsung melapor.

”Celaka Tuanku!” kata Yong Lim.

”Hai ada apa? Kau tiba-tiba datang begitu gugup dan ketakutan?” kata Kong-sun Bu Ti. ”Celaka Tuanku. Pangeran Kiu telah mengerahkan tentara dari negeri Louw! Dia akan

menyerang ke negeri Cee. Tidak lama lagi mereka akan segera sampai di sini. Apa akal kita? Kita harus segera mengatur penjagaan yang kuat supaya negeri ini selamat!” kata Yong Lim.

Mendengar khabar itu Kong-sun Bu Ti yang memang bodoh dan penakut sangat terkejut. Dengan jantung berdebar-debar dia berkata, ”Kok Kiu Lian Ceng ada di mana?”

”Kok Kiu dan Kwan Tay-hu sedang berpesta di luar kota belum bisa pulang. Tetapi semua pembesar sudah berkumpul di istana. Mereka sedang menunggu Cu-kong (Tuanku) tiba untuk merundingkan masalah ini.” kata Yong Lim pura-pura gugup dan panik.

Kong-sun Bu Ti percaya saja pada omongan Yong Lim. Buru-buru dia bergegas akan ke istana. Tetapi baru saja sampai, sebelum sempat duduk dengan sempurna, semua menteri serempak maju. Tiba-tiba Yong Lim yang ada di belakang Kong-sun Bu Ti, menikam

punggung Bu Ti dengan pisau kecil di tangannya. Saat itu juga dia binasa. Kong-sun Bu Ti naik tahta menjadi raja cuma sebulan lamanya. Nyonya Lian, yaitu bekas isteri muda Raja Cee Siang Kong almarhum yang direbut oleh Kong-sun Bu Ti, mendengar khabar telah terjadi huru-hara di istana, dia langsung menjerat lehernya sendiri dan meninggal dengan sangat mengenaskan di dalam istana.

Yong Lim memerintahkan orangnya agar menyalakan api di luar istana. Begitu api menyala

asapnya segera mengepul tinggi ke angkasa.

Ketika itu Kho He sedang asyik makan minum bersama kedua pengkhianat Lian Ceng dan Kwan Ci Hu. Mendengar suara pintu diketuk dan mulai terdengar orang berseru.

”Di luar api sudah dinyalakan!”

Mendengar tanda rahasia ini, Kho He bangun dan lari masuk ke dalam kamarnya.

Lian Ceng dan Kwan Ci Hu tidak mengerti apa maksud tuan rumah berlari ke dalam kamarnya. Baru saja mereka hendak ikut mengejar,dan ingin bertanya pada Kho He. Orang- orang Kho He yang gagah dan tadi bersembunyi di suatu tempat. Secara bersamaan mereka keluar. Mereka langsung melabrak dan mencincang kedua pengkhianat itu. Tubuh mereka berdua menjadi beberapa potong. Para pengikut dua pengkhianat itu karena tidak membawa senjata, saat itu semua dihabisi jiwanya.

Tidak berapa lama Yong Lim dan menteri-menteri lainnya telah datang ke gedung keluarga Kho. Mereka segera mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu telah diambil keputusan, bahwa kedua pengkhianat itu harus dibedah perutnya dan dikeluarkan hatinya untuk menyembahyangi arwah almarhum Raja Cee Siang Kong. Lalu diperintahkan agar orang pergi ke istana Kouw-hun, yaitu tempat Raja Cee Siang Kong dibinasakan, yaitu ketika beliau sedang pergi berburu. Orang-orang itu diperintahkan untuk mengambil jenazah Raja Cee Siang Kong yang akan dikuburkan kembali dengan upacara raja-raja. Kemudian dikirim utusan pergi ke negeri Louw untuk menyambut kedatangan Pangeran Kiu yang akan diajak pulang ke negeri Cee.

Ketika utusan dari negeri Cee sampai ke negeri Louw dan mereka memberitahukan kepada Raja Louw Cong Kong, tentang maksud kedatangan mereka, Raja Louw Cong Kong sangat girang. Beliau berjanji akan mengerahkan angkatan perangnya untuk mengantarkan Pangeran Kiu.

Tetapi sebelum niat itu dilaksanakan salah seorang menteri negeri Louw, yang bernama Si Pek, segera mencegah niat Raja Louw Cong Kong itu.

”Negeri Cee dan negeri Louw masing-masing ingin berebut kekuasaan dan kedudukan. Sekarang negeri Cee tidak punya raja, ini hamba rasa suatu kesempatan baik bagi negeri Louw.”, kata Si Pek.

”Apa maksudmu, lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja Louw.

”Sebaiknya Tuanku buat supaya keadaan di negeri Cee menjadi bertambah kacau.” jawab Si Pek.

Mendengar nasihat ini Louw Cong Kong termenung sejenak. Tiba-tiba Louw Cong Kong jadi sangsi. Dia tidak tahu bagaimana harus mengambil keputusan. Ketika itu Ibusuri Bun Kiang, ibu Louw Cong Kong atau adik perempuan Cee Siang Kong, ketika mendapat khabar Raja Cee Siang Kong sudah terbunuh, dari Ciok-kiu dia segera pulang ke negeri Louw. Siang dan malam dia bujuk anaknya supaya mengerahkan angkatan perang untuk menyerang ke negeri Cee. Dia minta puteranya membinasakan Kong-sun Bu Ti. Maksud Bun Kiang

untuk membalas dendam pada musuh kakaknya. Tetapi setelah mendapat khabar Kong-sun

Bu Ti sudah mati. Bahkan utusan dari negeri Cee datang untuk menyambut Pangeran Kiu supaya pulang. Alangkah senangnya Ibusuri Bun Kiang. Kemudian dia desak agar Raja Louw Cong Kong segera mengantarkan Pangeran Kiu, anak kakaknya atau keponakannya ke negeri Cee.

Oleh karena ibu Raja Louw sangat memaksa, Raja Louw Louw Cong Kong jadi bimbang. Maka nasihat Si Pek tidak dihiraukannya. Dia pimpin 300 kereta perangnya dan beribu-ribu tentara Louw. Dia angkat Co Moay menjadi kepala perangnya. Cin Cu dan Liang Cu menjadi pembantu di bagian kiri dan di kanan pasukannya. Iringkan Pangeran Kiu ini berangkat menuju ke negeri Cee.

Di tengah perjalanan Koan Tiong yang ikut pulang berkata kepada Raja Louw.

”Pangeran Siao Pek ada di negeri Ki, dari negeri Ki ke negeri Cee jaraknya lebih dekat daripada dari negeri Louw ke negeri Cee. Jika Siao Pek sudah masuk lebih dahulu ke ibukota, niscaya Cu-kong-ku akan kehilangan haknya. Karena itu aku mohon supaya aku diberi kuda yang baik agar aku bisa berjalan lebih dahulu untuk mencegah Siao Pek bisa merebut kedudukan Cu-kong-ku.” kata Koan Tiong.

”Ya, pendapatmu benar, kalian mau memakai tentara berapa banyak?” kata Louw Cong Kong.

”Tiga puluh kereta perang saja sudah cukup,” sahut Koan Tiong.

Setelah Koan Tiong menerima apa yang dia minta, segera dia berangkat dengan cepat.

**

Di negeri Ki......

Ketika itu Pangeran Siao Pek sudah mendengar khabar di negeri Cee telah terjadi huru-hara dan ayahnya telah binasa. Tetapi si pengkhianat Kong-sun Bu Ti sudah binasa juga. Dan sampai saat ini belum diangkat raja baru sebagai penggantinya. Kemudian dia berunding dengan Pao Siok Gee. Mereka mencari akal dan apa yang harus mereka lakukan. Dalam perundingan diputuskan bahwa Siao Pek harus segera pulang ke negeri Cee untuk menerima kedudukkan bekas ayahnya. Beruntunglah Siao Pek, ketika dia meminjam tentara dari negeri Ki, dia mendapat pinjaman sebanyak seratus kereta perang dan tentara dari Raja Ki. Sesudah mendapat kekuatan maka berangkatlah Lao Pek dengan diiringkan oleh pasukan Ki untuk pulang ke negeri Cee.

**

Koan Tiong yang memimpin tentara pinjaman dari negeri Louw, siang dan malam dengan cepat berjalan menuju ke negeri Cee. Ketika sampai di Cek-pek, dia mendengar khabar bahwa tentara dari negeri Ki sudah lewat di tempat itu. Waktunya sudah cukup lama juga. Koan Tiong kaget dia buru-buru memacu kudanya dengan cepat. Niatnya menyusul tentara Ki yang sudah ada di depannya. Sesudah berjalan tiga puluh li lebih, barulah dia bertemu dengan tentara negeri Ki. Ketika itu mereka sedang istirahat. Tampak tentara Ki sedang masak nasi. Melihat Siao Pek sedang duduk di dalam kereta, Koan Tiong maju ke dapan Pangeran Siao Pek dan memberi hormat.

”Kong-cu, sejak berpisah dulu apakah Anda baik-baik saja? Sekarang Kong-cu (Pangeran) hendak pergi ke mana?” tanya Koan Tiong.

”Ya, aku selalu sehat walafiat. Sekarang aku hendak pu;ang ke negeri Cee untuk menjenguk ayahku yang katanya sudah wafat,” sahut Siao Pek.

”Pangeran Kiu lebih tua dari Anda. Seharusnya dia yang memimpin upacara berkabung Ayahanda kalian. Maka aku harap Kong-cu bersedia menunggu sebentar sampai dia datang bertemu dengan Kong-cu di sini. Dengan demikian Kong-cu tidak cape sendiri,” kata Koan Tiong.

Koan Ting bermaksud hendak mengakali Pangeran Siao Pek. ”Ha, ha, ha, pandai sekali Koan Tiong bicara!” kata Pao Siok Gee.

Ketika itu Pao tidak jauh dari situ. Sambil tertawa dia keras berkata pada Koan Tiong. ”Ayo, lekas kau mundur! Kita wajib membela junjungan kita masing-masing!”

Tentara negeri Ki pun kelihatan geram dan garang-garang mereka siap maju jika diperlukan.

Melihat tentara negeri Ki matanya melotot semua dan alisnya berdiri. Mereka seperti hendak menggerakin tangan dan menyerang; Koan Tiong jadi khawatir. Dia sadar jumlah tentaranya sangat sedikit. Jika terjadi pertempuran, pasti mereka akan kalah. Kemudian Koan Tiong pura-pura menurut dan pergi. Tetapi tiba-tiba sambil melompat ke atas kudanya, Koan Tiong segera mengeluarkan busur dan anak panah. Dia membidik dan menarik tali busur. Anak panahnya dia tujukan ke arah Pangeran Siao Pek. Ketika busur panah menjeprat, terdengar Siao Pek berteriak kesakitan. Dari mulut Siao Pek segera menyembur darah segar! Dia muntah darah dan jatuh dari atas kereta yang dinaikinya.

Pao Siok Gee buru-buru menolongi junjungannya itu. ”Celaka!” teriak Pao Siok Gee.

Mereka menangis tersedu-sedu. Melihat kejadian itu Koan Tiong memimpin tentaranya segera pergi. ketika itu Koan Tiong menduga Pangeran Siao Pek sudah binasa. Dengan demikian Pangeran Kiu akan mendapat rejeki menjadi raja di negeri Cee.

Koan Tiong memacu kudanya untuk menemui Raja Louw bersama Pangeran Kiu dan

rombongannya.

Tatkala Koan Tiong sudah bertemu dengan pasukan Raja Louw, dia memberitahu Raja Louw, apa yang sudah terjadi atas Pangeran Siao Pek. Kemudian dia suguhkan secawan arak pada Pangeran Kiu sebagai tanda ucapan selamat. Sesudah itu baru mereka meneruskan perjalanannya dengan harapan besar.

**

Apa yang sebenarnya telah terjadi atas Pangeran Siao Pek?

Di luar dugaan Koan Tiong, yang terjadi sebaliknya. Anak panah Koan Tiong ternyata hanya mengenai gaetan ikat pinggang Pangeran Siao Pek! Karena Pangeran Siao Pek tahu benar ketangkasan Koan Tiong menggunakan busur panah, ketika terkena anak panah dia kaget. Tetapi dia ingat jika tak menggunakan akal dia khawatir dipanah lagi oleh Koan Tiong. Maka seketika itu juga dia gunakan sebuah tipu muslihat.

Begitu kena anak panah, Siao Pek buru-buru menggigit ujung lidahnya sehingga berdarah.

Lalu dia pura-pura muntah darah sambil pura-pura jatuh dari keretanya.

Sesudah Koan Tiong kabur dan Pao Siok Gee menggetahui muridnya hanya pura-pura mati, dia senang sekali, Pao Siok Gee memuji kecerdikan Siao Pek yang dia anggap sangat pandai. Tetapi dia tetap khawatir Koan Tiong akan kembali lagi. Maka mereka tidak berani ayal lagi. Dia minta Pangeran Siao Pek segera mengganti pakaiannya. Dia juga diminta pindah ke sebuah kereta tertutup. Kemudian rombongan itu berangkat lagi dengan memotong jalan

lewat jalan kecil.

Ketika sudah hampir sampai ke kota Lim-cu, Pao Siok Gee lebih dahulu masuk ke dalam kota untuk menemui para menteri negeri Cee. Di hadapan para menteri tersebut Pao Siok Gee memuji-muji kepandaian Pangeran Siao Pek. Pao Siok Gee mengusulkan agar Pangeran Siao Pek-lah yang diangkat menjadi raja di negeri Cee.

Semua menteri tampak masih sangsi, di antaranya lalu ada yang bertanya, ”Apabila Pangeran Kiu datang juga ke sini? Bagaimana kami harus memberi alasan, jika dia datang menuntut?

Karena Pangeran Kiu putera tertua dari almarhum Raja kita!”

”Sudah beruntun dua Raja Cee terbunuh, jika kita tidak mendapatkan seorang Raja yang

pandai, pasti negara ini tetap kacau,” kata Pao Siok Gee. ”Ingat, mana boleh kalian menyambut Pangeran Kiu, pada hal yang sampai lebih dahulu Pangeran Siao Pek. Apakah ini bukan takdir Allah maunya begitu? Lebih jauh pikirlah, Raja Louw yang mengantarkan Pangeran Kiu pulang. Aku yakin dia bermaksud buruk, dan ingin menjadi raja di sini. Apa kalian lupa dulu. Ketika Raja Song mengangkat Pangeran Tut menjadi raja di negeri Cee.

Tidak henti-hentinya dia minta suap, sehingga pecah perang bertahun-tahun lamanya. Ingatlah, negeri kita sudah lama dalam keadaan susah. Apakah kalian kelak mau menuruti perintah dari Raja Louw?”

”Tetapi bagaimana caranya kita mengucapkan terima kasih kepada Raja Louw yang mau bersusah-patah mengantarkan Pangeran Kiu kemari?” tanya pula salah satu menteri yang lain.

”Kita sudah punya Raja yang baru, yaitu Pangeran Siao Pek. Dengan demikian pasti dia akan mundur sendiri jika dia tahu hal ini!” sahut Pao Siok Gee.

”Kami kira omongan Pao Siok Gee benar sekali!” kata Sek Peng dan Tong Kok Gee.

Semua menteri ikut menyetujui rencana itu. Mereka setuju akan mengangkat Pangeran Siao Pek menjadi raja di negeri Cee.

Pangeran Siao Pek segera diundang ke dalam kota Lim-cu. Kemudian dia dinobatkan menjadi

raja dengan gelar Cee Hoan Kong. Selesai pengangkatan Pao Siok Gee membisiki agar

berlaku bijaksana.

Dalam sidang, Raja Cee Hoan Kong mengeluarkan perintah. Dia minta semua panglima perangnya mengatur penjagaan. Kemudian Raja Cee Hoan Kong memerintahkan Tiong Sun Ciu pergi menemui Raja Louw Cong Kong. Maksud kepergiannya untuk memberitahukan bahwa di negeri Cee sudah ada raja baru.

** Dikisahkan Tiong Sun Ciu yang bergegas menemui rombongan Raja Louw yang ada di tengah perjalanan. Begitu Tiong Sun Ciu dengan Raja Louw langsung dia menyampaikan pesan Raja Cee Hoan Kong.

”Di negeri Cee sekarang telah ada seorang Raja baru, yaitu Pangeran Siao Pek yang bergelar Raja Cee Hoan Kong.” kata Tiong Sun Ciu.

Ketika Raja Louw sudah mendengar keterangan Tiong Sun Ciu, Raja Louw Cong Kong kaget ternyata Pangeran Siao Pek belum mati. Dengan sangat gusar ia berkata, ”Mengangkat seorang raja, seharusnya yang diangkat harus putera yang sulung! Putera yang lebih muda mana boleh diangkat menjadi raja? Pendeknya aku katakan, aku tidak akan menarik tentaraku dengan tangan kosong tanpa hasil dari sini!”

Mendengar ancaman Raja Louw Cong Ong tersebut, Tiong Sun Ciu buru-buru mohon diri akan segera pulang. Sampai di negerinya dia akan menyampaikan ucapan Raja Louw tersebut pada Raja Cee Hoan Kong.

Tak lama Tiong Sun Ciu sudah tiba di negeri Cee. Dia menyampaikan apa yang diucapkan oleh Raja Lauw Cong Kong .Khabar tersebut membuat Raja Cee Hoan Kong ngeri. Dia bertanya pada Pao Siok Gee.

”Balatentara dari negeri Louw tidak mau mundur, sekarang kita harus bagaimana?” ”Dengan tentara pula kita akan lawan mereka!” kata Pao Siok Gee dengan gagah.

Pao Siok Gee segera mengeluarkan perintah kepada Yong Lim agar dia membawa pasukan

Sian-hong (Pelopor) maju ke medan perang. Ong-cu Seng Hu dengan dibantu oleh Leng Wat mengepalai barisan di sebelah kanan, Tong Kok Gee dengan dibantu oleh Tiong Sun Ciu mengepalai barisan di sebelah kiri. Pao Siok Gee sendiri mengajak Raja Cee Hoan Kong memimpin pasukan bagian tengah. Angkatan perang Cee itu terdiri dari 500 kereta perang dan pasukan berjalan kaki. Sesudah angkatan perang diatur beres, Tong Kok Gee berkata.

”Raja Louw karena menduga kita telah membuat persiapan yang cukup kuat, pasti dia tidak akan langsung menyerang. Aku rasa pasti dia akan mendirikan perkemahan dulu di Kian-si.

Di tempat itu mereka gampang mendapatkan air bersih dan rumput untuk makanan kuda-kuda mereka. Kian-si sebuah tempat yang bagus untuk tentara beristirahat. Aku punya usul, entah

disetujui atau tidak?” kata Tong Kok Gee.

”Apa usulmu itu? Katakan saja!” kata Pao Siok Gee.

”Jika kita sembunyikan tentara kita di tempat itu dan melabrak mereka saat mereka belum siap sedia, aku yakin mereka akan mendapat kerusakan berat.” kata Tong Kok Gee.

”Ya, betul juga pendapatmu itu,” kata Pao Siok Gee.

Pao Siok Gee menyatakan setuju pada usul Tong Kok Gee yang cemerlang itu. Dia langsung memerintahkan Leng Wat dan Tiong Sun Ciu masing-masing memimpin pasukannya. Mereka diperintahkan bersembunyi di daerah Kian-si yang strategis itu. Sesudah itu Pao Siok Gee masih memerintahkan Ong-cu Seng Hu dan Tong Kok Gee pergi ke lain tempat. Mereka diperintahkan menyerang tentara Louw dari bagian belakang. Meminta Yong Lim untuk menantang perang dan memancing musuh supaya terjebak ke dalam perangkap yang sudah mereka siapkan. **

Sementara itu di tempat Raja Louw Cong Kong dan Pangeran Kiu...

Setelah berjalan sampai di Kian-si, angkatan perang mereka berhenti sejenak. Ketika itu Koan Tiong mengajukan saran.

”Siao Pek baru saja diangkat menjadi raja, hati rakyat belum tetap benar. Kita harus segera menyerang mereka, supaya di dalam kota terjadi huru hara.” kata Koan Tiong.

”Tunggu! Aku rasa tidak ada gunanya kita terburu napsu,” kata Raja Louw. ”Aku tidak setuju dan tidak sependapat dengan rencana Koan Tiong. Lebih baik kita dirikan dulu perkemahan di sini. Kita harus istirahat dulu.”

Sehabis berkata begitu Raja Louw Cong Kong mengeluarkan perintah. ”Segera dirikan perkemahan, kalian boleh istirahat!” kata Raja Louw.

Perkemahan Raja Louw didirikan di depan kemah Pangeran Kiu. Benteng yang satu dan yang lainnya saling berpisahan 20 li jauhnya.

**

Esok paginya...

Pengintai dari pasukan Louw datang memberi laporan. ”Tentara Cee yang dipimpin oleh Yong Lim sudah datang menantang berperang.”

Mendengar laporan itu, Raja Louw Cong Kong geram. ”Sekarang kita labrak dulu tentara Cee yang ada di luar kota! Yang di dalam kota jika mendengar tentara di luar sudah dihajar, pasti ketakutan!” kata Raja Louw.

Raja Louw memimpin tentaranya maju bersama Cin Cu dan Liang Cu maju ke medan perang. Sesudah kedua pasukan mereka berhadapan, Raja Louw Cong Kong berteriak minta Yong Lim keluar menemuinya. Yong Lim buru-buru keluar dari dalam barisannya, dia sengaja bertingkah kocak.

”Hai, pememipin pengkhianat! Kau yang minta seorang raja kepadaku. Mengapa pikiranmu berubah? Mana kesetiaanmu pada negara?” tegur Raja Louw Cong Kong.

Yong Lim pura-pura salah tingkah. Seolah dia merasa malu ditegur demikian. Yong Lim

buru-buru menundukin kepalanya terus pergi. Raja Louw memerintahkan Co Moay mengejar

Yong Lim. Tiba-tiba Yong Lim membelokan kereta perangnya. Dia melawan Co Moay.

Tetapi baru bertarung beberapa puluh jurus, Yong Lim melarikan kereta perangnya.

Co Moay mengeluarkan seluruh kegagahannya. Dia putarkan senjata Hong-tian-keknya mengejar Yong Lim.

Melihat pasukan musuh mengejar terus, Pao Siok Gee mengirim pasukan Cee mengepung musuh. Akhirnya Co Moay terkepung di dalam barisan musuh. Dia coba menerjang ke kiri dan kanan, tetapi tidak berhasil meloloskan diri. Tubuhnya telah terkena oleh dua buah anak panah. Sesudah kehabiskan tenaga, baru Co Moay bisa meloloskan diri. Sementara itu Cin Cu dan Liang Cu khawatir Co Moay celaka. Mereka maju akan membantu. Baru saja kereta perangnya maju, tiba-tiba dari bagian kiri dan kanan terdengar suara meriam meledak. Dari dua jurusan Leng Wat dan Tiong Sun Ciu dan pasukan perangnya datang menyerang. Pao Siok Gee pun memimpin pasukan perang bagian tengah datang mengamuk di tengah pasukan negeri Louw.

Oleh karena diserang dari tiga jurusan oleh musuh, tentara Louw tidak sanggup melawan. Sebagian besar dari mereka lari simpang-siur menyelamatkan diri.

Pao Siok Gee mengeluarkan perintah menangkap Raja Louw Cong Kong dengan menjanjikan hadiah besar bagi yang mampu melakukannya. Maklumat itu segera tersiar di kalangan tentara Cee sehingga sangat menarik hati mereka.

Melihat gelagat yang kurang baik bagi pihaknya, buru-buru Cin Cu mengambil bendera yang terpasang di kereta Raja Louw Cong Kong. Bendera berwarna kuning dengan dilukis huruf sulam dirobohkan. Tetapi Liang Cu mengambil bendera itu dan dia tancapkan di atas keretanya sendiri.

”Mengapa kau tancapkan bendera Raja Louw di keretamu?” tanya Cin Cu.

”Aku berharap mata musuh salah lihat dan menyangka keretaku ini kereta Raja kita!” kata Liang Cu.

Waktu itu Raja Louw Cong Kong sudah melihat ada bahaya mengancam dirinya. Buru-buru dia melompat turun dari atas keretanya. Dia pindah ke kereta perang yang kecil. Dengan menyamar sebagai laskar perang biasa dia langsung melarikan diri. Cin Cu mengiikuti junjungannnya. Dengan gagah berani dia bertarung agar bisa keluar dari kepungan musuh.

Ketika melihat bendera sulam ada di sebuah kereta musuh, Leng Wat menduga kereta itu dinaiki oleh Raja Louw Cong Kong. Langsung dia memberi tanda kepada tentaranya untuk mengepung kereta itu lebih hebat lagi.

Melihat serangan musuh begitu hebat, Liang Cu segera memperlihatkan wajahnya sambil tertawa. ”Aku adalah panglima Louw! Rajaku sudah pergi jauh!” kata Liang Cu.

Leng Wat kecewa dan sangat mendongkol, dia merasa ditipu. Dia perintahkan tentaranya menyerang Liang Cu lebih sengit lagi. Dia sendiri segera memutarkan senjatanya menikam musuhnya itu dengan geram.

Meskipun Liang Cu gagah perkasa, dia tidak sanggup bertempur melawan orang yang jumlahnya banyak sekali. Ditambah lagi Leng Wat memang panglima Cee yang tersohor gagah berani. Akhirnya Liang Cu yang sangat kelelahan ditawan oleh Leng Wat.

Dengan hebat Tiong Sun Ciu melabrak tentara Louw serta merampas kereta perang juga senjata mereka.

Tatkala Pao Siok Gee melihat tentara Cee mendapat kemenangan besar, dia memerintahkan anak buahnya membunyikan gembreng untuk menarik mundur tentaranya.

Tiong Sun Ciu datang menyerahkan kereta perang dan senjata rampasan. Leng Wat pun menyerahkan Liang Cu yang dia tawan.

Ketika kemenangan besar ini dilaporkan kepada Raja Cee Hoan Kong, tentu saja dia sangat girang. Dia mengeluarkan perintah untuk menebas batang leher Liang Cu. Raja Cee belum mendapat khabar dari dua pasukan yang dipimpin oleh Ong-cu Seng Hu dan Tong Kok Gee. Raja Cee meninggalkan Leng Wat dan Tiong Sun Ciu supaya menjaga di Kian-si. Pasukan besar Raja Cee segera berangkat lebih dulu.

**

Dikisahkan Koan Tiong yang menempatkan tentaranya di perkemahan belakang, mendapat khabar perkemahan depan mereka sudah kalah. Koan Tiong berpesan pada Siao Hut dan Pangeran Kiu agar mereka menjaga dengan baik perkemahan mereka. Koan Tiong segera mengerahkan sebagian besar tentaranya pergi menolongi Raja Louw Cong Kong.

Baru saja Koan Tiong berangkat belum berapa jauh, dia sudah berpapasan dengan Raja Louw Cong Kong. Meraka segera menggabungkan tentara mereka. Co Moay yang sudah mengumpulkan sisa laskar perangnya pun telah lari sampai di tempat itu. Ketika mereka periksa tentaranya, hanya sepertiga yang selamat. Melihat keadaan angkatan perangnya begitu buruk, Koan Tiong menggelengkan kepalanya.

”Semangat juang tentara kita sudah lenyap sama sekali! Kita tidak bisa tinggal diam lama- lama di sini!” kata Koan Tiong.

Malam itu juga mereka membongkar perkemahan mereka. dan berangkat pulang. Tetapi baru berjalan belum dua hari, tiba-tiba mereka melihat sekelompok kereta perang. Kereta perang tersebut berlerot-lerot berjalan mendatangi. Pemimpin pasukan perang itu adalah Ong-cu Seng Hu dan Tong Kok Gee.

Co Moay segera menyiapkan Hong-thian-keknya, dengan keras ia berseru. ”Tuanku lekas jalan! Biar aku yang akan beretempur sampai mati di sini!” kata Co Moay dengan gagah. Sehabis berkata begitu dia melirik ke arah Cin Cu dan terus berkata, ”Kau bantu aku!” Cin Cu memutarkan senjatanya menerjang Ong-cu Seng Hu, sedang Co Moay menyerang Tong Kok Gee.

Sementara itu Koan Tiong mengawal Raja Louw Cong Kong ke tempat yang aman. Siao Hut mengawal Pangeran Kiu. Mereka pergi mencari jalan untuk kabur.

Salah seorang panglima Cee berbaju merah mengejar Raja Louw Cong Kong. Raja Louw melepaskan anak panah, anak panah itu tepat mengenai jidat panglima Cee itu, dia jatuh terjungkel dari kudanya.

Tak lama seorang panglima Cee berbaju putih datang mengejar. Kembali Raja Louw Cong Kong melepaskan anak panahnya. Panglima itu pun kehilangan jiwanya. Melihat raja Louw Cong Kong pandai memanah, tentara Cee gentar mereka tidak berani mengejar terlalu dekat.

Koan Tiong menggunakan tipu-muslihatnya. Sambil melarikan diri dia tinggalkan satu persatu kereta perangnya. Selain itu persenjataan dan lain-lain barang. Dia berbuat begitu dengan ”sengaja” yaitu untuk mengumpan agar musuh mengambilnya. Dengan cara begini Koan Tiong berhasil membuat musuh jadi lambat melakukan pengejaran pada mereka.Akhirnya Koan Tiong bersama anak buahnya bisa luput dari bahaya maut.

Waktu itu Co Moay yang pundak kirinya terkena bacokan musuh, masih bisa bertarung membunuh tentara Cee. Beruntung dia bisa menerobos keluar dari kepungan musuh. Tetapi kasihan sekali Cin Cu, dia telah binasa dalam peperangan itu.

Sesudah Raja Louw Cong Kong dan kawan-kawannya bisa keluar dari bahaya, mereka seperti ikan yang baru lolos dari jala. Dengan terbirit-birit mereka melarikan diri pulang ke negeri Louw Sek Peng dan Tong Kok Gee dari pihak Cee mengejar mereka sampai melewati sungai Bun-sui. Serangan mereka itu berhasil merampas sawah-sawah yang ada di daerah Bun-yang. Tanah pesawahan itu termasuk ke dalam bilangan negeri Louw. Kemudian mereka menempatkan tentara di sana untuk menjaga tempat itu. Sesudah itu barulah mereka pulang ke negeri Cee.

**

Begitulah tentara Cee telah mendapat kemenangan besar dan pulang ke negerinya dengan gembira sekali.

Esok paginya....

Raja Cee Hoan Kong alias Pangeran Siao Pek duduk di atas tahta. Semua menterinya datang memberi selamat. Pao Siok Gee lalu maju ke hadapan Raja Cee Hoan Kong.

”Sekarang belum waktunya menerima ucapkan selamat, karena Pangeran Kiu masih ada di

negeri Louw. Bukan saja dia dibantu oleh Koan Tiong dan Siao Hut yang cerdik, Raja Louw Cong Kong pun sepenuhnya membantu mereka.”

”Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Raja Cee Hoan Kong..

”Saat berperang di Kian-si, raja dan panglima negeri Louw bisa dikatakan sangat ketakutan,” kata Pao Siok Gee, ”hamba akan memimpin tiga pasukan tentara pergi ke tanah Louw. Di sana hamba akan mengajukan permintaan kepada Raja Louw. Aku minta supaya dia membunuh Pangeran Kiu. Aku yakin karena takut pada kita, mau tidak mau terpaksa dia harus menuruti permintaan kita itu.”

”Ya, kau benar! Sekarang untuk urusan negara aku serahkan kepadamu,” kata Raja Cee dengan girang.

Pao Siok Gee segera memilih kereta perang, kuda dan tentaranya. Kemudian dia pimpin pasukan besar mereka berangkat sampai di daerah Bun-yang. Di sini dia perintahkan Sek Peng membawa surat untuk dipersembahkan kepada Raja Louw Cong Kong.

Surat Pao Siok Gee kira-kira demikian: ”Aku Pao Siok Gee, dengan segala hormat mempersembahkan surat ini kepada Louw Hian Houw Tian He. Sebagaimana Hian Houw tentu sudah mengerti, di dalam rumah boleh ada dua majikan, sedang di dalam negara tidak boleh ada dua orang raja. Sekarang rajaku sudah merawat kelenteng leluhurnya dengan sempurna, tapi Pangeran Kiu hendak mencoba merampas darinya, apakah ini bukan kelakuan yang sangat durjana? Tapi karena rajaku masih mengingat kecintaan dan persaudaraan dengannya, dia tidak tega untuk menjatuhkan hukkuman kepada Pangeran Kiu sendiri, karena itu dia ingin meminjam tangan Hian Houw untuk menghukum Pangeran Kiu. Mengenai Koan Tiong dan Siao Hut mereka musuh Rajaku, maka Rajaku minta supaya mereka dikirim ke

negeri Cee, karena hendak dibunuh di hadapan kelenteng Raja Cee Siang Konng almarhum.”

Begitu surat itu selesai. Surat diserahkan pada Sek Peng. Ketika Sek Peng akan berangkat Pao Siok Gee berpesan agar Sek Peng berhati-hati.

”Koan Tiong seorang yang pandai luar biasa. Aku sudah bicara dengan Cu-kong kita hendak memakai dia sebagai pembantu kita. Kau harus jaga dengan hati-hati jangan sampai dia

binasa.” kata Pao Siok Gee. ”Bagaimana jika Raja Louw Cong Kong hendak membunuhnya?” tanya Sek Peng sangsi. ”Katakan karena Koan Tiong telah memanah Raja Cee Hoan Kong, dia akan dibunuh sendiri oleh Raja Cee. Pasti Raja Louw akan percaya hal ini.” kata Siok Gee. ”Sebenarnya kita ingin menyelamatkannya.”

”Ya, baiklah,” kata Sek Peng sambil berjalan pergi. Dia akan menyampaikan surat dari Pao Siok Gee kepada Raja Louw Cong Kong di negeri Louw.

* * *

Tatkala Raja Louw Cong Kong sudah menerima surat dari Pao Siok Gee dan sudah membacanya, dia bersungut-sungut. Lalu berkata kepada Si Pek, “Dulu karena aku tidak menuruti nasihatmu, angkatan perangku hancur berantakan. Sekarang aku ingin bertanya, apakah aku harus membunuh Pangeran Kiu atau membelanya terus? Mana yang lebih baik menurutmu?”

“Sekarang Siao Pek sudah menjadi raja. Sekalipun baru, ia sudah bisa memakai orang-orang yang bijaksana. Para panglimanya gagah berani, menteri-menterinya cekatan. Dia mampu mengalahkan tentara kita di Kian-si. Semua ini satu bukti bahwa ia bukan tandingan Pangeran Kiu,” kata Si Pek. “Apalagi sekarang tentara Cee sudah masuk ke perbatasan negeri kita.

Kejadian ini merupakan bahaya besar yang mengancam kita. Maka sebaiknya Tuanku bunuh saja Pangeran Kiu dan berdamai dengan negeri Cee.”

Waktu itu Pangeran Kiu, Koan Tiong dan Siao Hut semuanya sedang tidak ada. Mereka ada di Seng-touw.

Mendengar nasihat dari Si Pek, Raja Louw Cong Kong langsung setuju. Dia segera memerintahkan Pangeran Yan.

“Kau bawa pasukan secukupnya, bunuh Pangeran Kiu, juga tangkap Koan Ting dan Siao Hut. Bawa kemari!” kata Raja Louw.

Berangkatlah Pangeran Yan menuju ke Seng-touw. Ternyata Raja Louw Cong Kong terpengaruh oleh surat dari Pao Siok Gee. Begitu Pangeran Yan sampai, dia langsung mengepung gedung kediaman Pangeran Kiu.

Kedatangan Pangeran Yan ke Seng-touw telah membuat kaget dan sedih Pangeran Kiu dan pengikutnya. Koan Tiong dan Siao Hut menangis sedih sekali. Mereka berat untuk berpisah dengan junjungannya itu. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan, apa yang bisa mereka minta? Mau tidak mau terpaksa Pangeran Kiu harus menerima hukuman mati. Koan Tiong dan Siao Hut terpaksa harus siap ditangkap dan dibawa ke negeri Cee.

Ketika Siao Hut hendak dimasukkan ke dalam kerangkengnya, Siao Hut mendongak ke langit

dan berkata, ”Ayah mendapat bencana, anak harus ikut binasa, itu baru bisa disebut anak yang berbakti! Raja atau junjungan mendapat celaka, hambanya ikut mati, itu baru bisa disebut menteri yang setia. Sudah selayaknya aku ikut Pangeran Kiu mati. Aku tidak mau

dipermalukan dan menerima begitu saja kaki dan tanganku diborgol!” Sehabis berkata begitu Siao Hut membenturkan kepalanya ke sebuah tiang batu. Saat itu juga rohnya melayang ke akhirat.

”Sejak dahulu kala jika ada Raja mendapat celaka, ada hambanya yang ikut mati, juga ada menterinya yang tetap hidup. Biarlah aku tetap hidup supaya aku bisa masuk ke negeri Cee. Kelak aku bisa membalaskan sakit hati Pageran Kiu dan rasa penasarannya.” pikir Koan Tiong. Dia menyerahkan diri untuk diikat dan dimasukkan ke dalam kereta kerangkeng.

Sesudah Pangeran Yan mengambil kepala Pangeran Kiu yang telah dipenggal juga kepala Siao Hut, dia bergegas mengiringkan kereta kerangkeng kembali ke istana Louw.

Ketika Pangeran Yan sampai, dia serahkan kedua kepala korbannya kepada Raja Louw Cong

Kong. Raja Louw sedikit kaget. Dia menghelah napas berulang-ulang.

Si Pek buru-buru mendekati Raja Louw Cong Kong sambil berbisik, ”Menurut penglihatan hamba, pasti Koan Tiong tidak akan dibunuh, malah akan jadi pembantu utama di dalam negeri Cee. Dia pandai luar biasa.”

”Lalu bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Raja Louw Cong Kong.

”Jika dia tidak dibunuh dan malah dipakai oleh Raja Cee Hoan Kong, negara Cee akan

menjadi jagoan di ini zaman. Bukan tidak mungkin kelak negeri Louw akan mengalami hal- hal yang tidak enak karena diganggu oleh negeri Cee.” kata Si Pek.

”Kalau begitu apa akal kita sekarang?” tanya Raja Louw Cong Kong.

”Karena kita sudah tahu Raja Cee Hoan Kong tidak akan membunuh Koan Tiong, sebaiknya Tuanku pura-pura memintakan ampun untuk Koan Tiong. Jika permohonan Tuanku dikabulkan, mau tidak mau Koan Tiong jadi hutang budi kepada Tuanku. Karena dia hutang budi pada kita, maka aku yakin dia mau bekerja di tempat kita. Jika hal itu bisa terjadi, kita tidak perlu gentar lagi pada negeri Cee. Sudah pasti akan datang saatnya untuk kita membuat pembalasan kepada mereka.”

”Jika kita pakai Koan Tiong menjadi pembantu kita dan dia tinggal bersama kita di sini,” sahut Louw Cong Kong dengan pelahan, ”maka aku khawatir sekalipun kita sudah membunuh Pangeran Kiu, tetapi tidak urung Raja Cee tetap marah dan tetap penasaran.

Kejengkelan merek belum hilang. Selanjunya kita akan tetap bermusuhan dengan mereka!”

”Jika Tuanku tidak mau memakai dia, lebih baik Tuanku bunuh saja sekarang juga! Tuanku serahkan jenazahnya kepada Cee Hoan Kong,” kata Si Pek dengan suara dalam.1)

”Ya, baiklah,” sahut Louw Cong Kong.

Raja Louw mengeluarkan perintah untuk membunuh Koan Tiong. Ketika Sek Peng, panglima dari negeri Cee mendengar khabar ini, dengan tersipu-sipu dia menemui Raja Louw. ”Koan Tiong telah memanah Rajaku. Untung panahnya hanya mengenai sangkutan angkinnya.

Rajaku sakit hati benar kepadanya,” kata Sek Peng sedikit agak cemas.

Karena dia mendapat tugas untuk menjaga keselamatan Koan Tiong. Kemudian dia memberi alasan begini: ”Karena itu Rajaku ingin membunuh dia dengan tangannya sendiri. Alasan beliau untuk memuaskan rasa penasaran hatinya. Jika hanya diantarkan jenazahnya, ini sama juga dia belum Koan Tiong.”

Mendengar keterangan tersebut Raja Louw Cong Kong percaya saja pada ucapan Sek Peng. Dia mengurungkan niatnya membunuh Koan Tiong. Kemudian memerintahkan agar Koan Tiong dimasukan kembali ke dalam kerangkengnya. Kemudian Raja Louw menyerahkan sepucuk surat balasan bersama kepala Pangeran Kiu dan Siao Hut kepada Sek Peng. Sesudah mengucapkan terima kasih dan mengucapkan selamat berpisah, Sek Peng pulang ke negeri Cee.

Koan Tiong sadar ketika mendapat perlakuan begitu, ini pasti tipu-muslihat dari Pao Siok Gee yang hendak menolong dia. Tapi Koan Tiong tetap khawatir pada Si Pek. Dia tahu siapa Si Pek ini. Dia seorang ahli pikir yang pandai di negeri Louw. Meskipun dia melepaskan dirinya, siapa tahu dia berbalik pikir. Karena menyesal, kemudian Si Pek mengirim orang mengejarnya. Maka celakalah dia.

Setelah berpikir seketika lamanya, Koan Tiong mendapat satu ide yang bagus. Dia menciptakan sebuah pantun atau syair Burung Hong-gok. Kemnudian dia minta orang-orang yang menarik kerangkengnya menyanyikan syair yang diciptakannya tersebut. Bunyi syair itu begini:

”Hong-gok, Hong-gok, sayap dan kakimu diikat; Tidak bisa terbang tidak bisa berbunyi dikurungan tinggal merungkut; Langit begitu tinggi bumi begitu tebal, mengapa bertindak cupet? Di bulan sembilan cukuplah tiga ratus enam puluh hari yang tercatat; Cenderongkan lehermu berteriak menangis perkara dulu jadi teringat.”

”Hong-gok, Hong-gok, Allah menciptakan sayap maka bisa terbang; Allah menciptakan kakimu maka kau bisa gampang berlari; Bertemu jala pikatan siapakah yang membawa pulang? Satu pagi rusakkan kurungan turun di darat tidak sembarangan. Ha, sungguh kasihan pemanah berpikir bimbang.”

Orang-orang yang menarik kerangkeng ketika mendapat nyanyian itu jadi girang. Sambil menarik kerangkeng mereka bernyanyi. Mereka sambil berlari-lari seperti tidak mengenal lelah karena senang.

Dengan demikian kendaraan mereka dilarikan dengan kencang. Biasanya perjalanan memakan dua hari, tapi hanya dijalani dalam sehari saja. Tak terasa mereka sudah keluar dari wilayah negeri Louw.

Tatkala rombongan yang membawa Koan Tiong sudah berjalan jauh, benar saja Si Pek menyesali Raja Louw Cong Kong.

”Kita telah melakukan kesalahan besar membebaskan Koan Tiong dalam keadaan masih hidup. Kelak dia akan menjadi penghalang kita!” kata Si Pek.

Raja Louw Cong Kong kaget. Dia sadar pada kesalahnya. Segera dia perintahkan Pangeran Yan untuk segera mengejar rombongan dari negeri Cee itu. Jika sudah tersusul Koan Tiong harus dibunuh! Tetapi mereka sudah terlambat. Koan Tiong bersama rombongan negeri Cee sudah tidak terkejar lagi. Terpaksa Pangeran Yan dari negeri Couw pulang dengan tangan kosong.

Setelah rombongan yang memmbawa Koan Tiong sampai di Tiong-hu, di tempat itu mereka disambut oleh Pao Siok Gee. Kedatang Koan Tiong diumpamakan sebagai kedatangan sebuah barang berharga. Dengan girang Pao Siok Gee berkata, ”Selamat datang sahabatku Koan Tiong! Syukurlah kau tidak sampai kenapa-napa!”

Pao Siok Gee memerintahkan orangnya agar merusakkan kerangkeng dan mengeluarkan Koan Tiong dari dalam kerangkeng tersebut. ”Sebelum ada izin dari Raja kau tak boleh membuka kerangkengku, sahabatku!” kata Koan Tiong. Dia mencoba mencegah tindakan Pao Siok Gee.

”Oh, itu tidak apa-apa!” kata Pao Siok Gee sambil tertawa. ”Aku akan usulkan agar kau dijadikan pembantunya!”

”Akh itu tidak mungkin,” kata Koan Tiong. ”Aku bersama Siao Hut membantu Pangeran Kiu, tetapi gagal. Tetapi aku tidak ikut mati bersama junjunganku. Aku malu sekali. Mana aku

punya muka menakluk, padahal Siao Hut rela mati untuk junjungan kami.”

”Pendapatmu salah, sahabatku!” kata Pao Siok Gee dengan sabar. ”Orang yang bercita-cita tinggi, tidak perlu menghiraukan perasaan malu. Aku yakin kau mampu bekerja hebat. Rajaku membutuhkan orang sepertimu. Mengapa hanya karena ingin menjaga moral, kau sia-siakan hidupmu? Sudahlah jangan kau pikirkan itu!”

Koan Tiong tetap bengong saja tidak berkata suatu apa. Pao Siok Gee membebaskan Koan Tiong dari ikatannya. Dia minta Koan Tiong tinggal dulu di Tiong-hu untuk sementara waktu. Kemudian dia pergi ke kota Lim-cu menemui Raja Cee Hoan Kong. Ketika bertemu pertama- tama Pao Siok Gee menyatakan duka cita atas wafatnya Pangeran Kiu. Sesudah itu baru dia mengucapkan selamat kepada Raja Cee Hoan Kong.

”O, mengapa kau harus mengucapkan berduka cita?” tanya Raja Cee Hoan Kong heran.

”Bagaimanapun Pangeran Kiu adalah Kanda Tuanku. Karena masalah negara Tuanku terpaksa membinasakan saudara sendiri. Bagaimana hamba tidak menyatakan ikut berduka cita?” kata Pao Siok Gee dengan sangat berduka.

”Tetapi mengapa kau mengucapkan selamat kepadaku?” tanya Cee Hoan Kong pula.

”Koan Tiong orang yang luar biasa pada masa ini, jika dia dibandingkan dengan Siao Hut,

Koan Tiong bukan bandingan Siao Hut,” kata Pao Siok Gee. ”Sekarang hamba sudah membawa dia sampai kemari dalam keadaan hidup. Dengan demikian Tuanku mendapatkan seorang perdana menteri yang pandai. Mana mungkin hamba tidak mengucapkan selamat?”

”O, mengenai dia!” kata Raja Cee Hoan Kong. ”Apa kau sudah lupa Koan Tiong telah memanahku? Tahukah kau, sampai sekarang panahnya masih aku simpan. Setiap kali aku ingat pada perbuatannya, aku sakit hati sekali. Sekalipun aku makan dagingnya, tetapi aku belum puas. Bagaimana aku bisa memakai dia?!”

”Hamba harap Tuanku tidak salah mengerti,” kata Pao Siok Gee, ”orang yang menjadi hamba seseorang, mereka harus membela majikannya. Ketika Koan Tiong memanah Tuanku ketika itu dia hamba Pangeran Kiu almarhum. Jika Tuanku pakai dia, hamba yakin dia akan setia kepada Tuanku. Apalagi Tuanku pun selamat, itu urusan kecil!”

Mulanya Raja Cee tetap menolak. Tetapi sesudah terus dibujuk akhirnya dia menurut juga. ”Baiklah, aku setuju!” kata Raja Cee. ”Bebaskan dia!”

Pao Siok Gee girang. Dia pamit pada Raja Cee Hoan Kong dan menemui Koan Tiong. Diajaknya Koan Tiong tinggal di rumahnya. Sejak saat itu siang dan malam mereka bercerita panjang lebar berdua saja. Ketika Raja Cee Hoan Kong memberi ganjaran pada orang yang berjasa. Kho He diangkat

menjadi Su-keng ditambah dihadiahi tanah untuk perusahaan. Pao Siok Gee akan diangkat

menjadi Siang-keng dengan tugas mengurus pemerintahan. Tetapi Pao Siok Gee menampik pangkat itu.

”Tuanku baik kepada hamba, hamba pun hidup bahagia. Semua sudah cukup bagi hamba.

Tetapi menjadi Siang-keng, hamba tidak bersedia.”

”Mengapa begitu? Aku sudah tahu kepandaianmu,” kata Cee Hoan Kong.

”Terus terang hamba harus mengaku, sesungguhnya hamba tidak punya kepandaian seperti dugaan Tuanku.” kata Pao Siok Gee bersungguh-sungguh. ”Hamba cuma punya sifat selalu berhati-hati dan tertib dalam pekerjaan. Hamba selalu menjaga adat istiadat menurut aturan. Kepandaian hamba itu cuma cukup untuk kewajiban seorang yang menjadi hamba. Jelas belum bisa dikatakan punya kepandaian untuk mengurus pemerintahan sebuah negara.

Misalnya ke dalam dia harus bisa mengamankan rakyat; ke luar dia harus bisa menalukkan bangsa Ie di empat penjuru. Pahalanya tercatat oleh Dewan Kerajaan, kebajikannya tersiar pada semua Raja-raja Muda. Negeri jadi sentausa, Raja banyak rejekinya, pahalanya terukir di batu pualam, namanya termasyur beratus-ratus tahun. Ini barulah pembantu Raja atau pelaksana pekerjaan Raja. Lalu bagaimana hamba bisa memangku jabatan yang Tuanku tawarkan itu, jika hamba sendiri mengaku tidak mampu?”

Paras Raja Cee Hoan Kong berubah girang. Raja Cee menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pao Siok Gee.

”Menurut apa katamu barusan, apakah sekarang kau pikir sudah ada orang yang kau katakan itu? Aku harap kau suka menolong menunjukannya kepadaku!” kata Raja Cee.

Pao Siok Gee dengan sikap kikuk segera mengangkat untuk membangunkan Raja Cee Hoan Kong. Kemudian dengan suara tegas ia berkata, ”Jika Tuanku tidak mau mencari orang lain, ya sudah! Tetapi jika mau tahu orang itu siapa adanya, orang itu Koan Tiong!”

Raja Cee Hoan Kong terkejut sekali mendengar Pao Siok Gee menyebut nama itu.

”Tuanku jangan kaget!“ kata Pao Siok Gee. ”Ada lima perkara yang menyatakan bahwa hamba tidak bisa disamakan dengan Koan Tiong. Pertama, dalam soal kesabaran untuk menyebarkan kebajikan kepada rakyat. Yang ke-dua untuk memegang teguh kendali pemerintahan, yang ke-tiga untuk memimpin rakyat supaya setia dan punya kepercayaan, yang ke-empat untuk menyebarkan peraturan yang baik di seluruh negeri, dan yang ke-lima untuk memegang pimpinan angkatan bersenjata. Agar rakyat punya keberanian di medan perang. Semua pengetahuan itu tidak hamba miliki seperti yang dimiliki oleh Koan Tiong.”

”Kalau begitu, silakan kau panggil dia kemari, aku hendak menguji kepandaiannya,” kata Cee Hoan Kong.

”Harap Tuanku jangan terlalu menggampangkan saja,” kata Pao Siok Gee sambil tersenyum. ”Karena orang yang rendah tidak bisa mendekati para bangsawan, yang miskin tidak bisa bergaul dengan orang kaya dan yang berjauhan tidak bisa mencintai benar-benar. Tuanku hendak memakai Koan Tiong. Jika Tuanku tidak memberi kedudukan sebagai Perdana Menetri, dan memberi dia gaji yang besar. Tuanku tidak menghormatinya seperti Tuanku menghormati Ayah atau Kanda sendiri. Itu tidak bisa terjadi. Perdana Menteri, adalah menteri yang terutama. Jika Tuanku akan memanggil dia dan Tuanku tidak memberi jabatan Perdana Mentri, berarti Tuanku tidak menghargainya. Apabila seorang Perdana Menteri tidak dihargai, maka Raja pun pasti tidak akan orang indahkan. Seorang yang luar biasa, harus dihormati dengan aturan luar biasa juga. Sebaiknya Tuanku memilih hari yang baik, kemudian baru pergi menyambut dia. Dengan bersikap begitu, rakyat seluruh dunia akan mengetahui, bahwa Tuanku telah menghargai orang pandai dan menghormati orang terpelajar. Apalagi jika Tuanku tidak dendam sekalipun orang itu bekas musuh Tuanku. Lalu siapakah orang yang

tidak ingin datang bekerja dan mengabdi kepada Kerajaan Cee nanti?”

”Baiklah, kuturuti nasihatmu itu,” kata Raja Cee Hoan Kong sambil menganggukan kepalanya.

Kemudian Raja Cee memerintahkan seorang berpangkat Tay-su memilih hari baik untuk menyambut Koan Tiong. Pao Siok Gee sangat girang. Sesudah pamit kepada Raja Cee Hoan Kong dia menemui Koan Tiong. Dia antarkan sahabatnya ini pergi ke sebuah gedung tamu dan tinggal di situ buat sementara waktu.

**

Ketika sampai waktu yang telah ditetapkan, Pao Siok Gee memerintahkan Koan Tiong agar keramas sampai bersih. Dia diberi pakaian dan kopiah seperti pakaian orang berpangkat Siang Tay-hu.2)

Sementara itu Raja Cee Hoan Kong keluar dari istananya. Dia pergi ke gedung tamu untuk menemui Koan Tiong. Dia ajak Koan Tiong naik kereta dan bersama-sama pergi ke istana. Seluruh rakyat negeri Cee yang melihat kejadian itu tidak ada yang tidak tercengang-cengang.

Setelah Koan Tiong masuk ke dalam istana, dia berlutut di hadapan Cee Hoan Kong untuk merima dosa dan memberi hormat kepada sang junjungan.

”Hamba seorang tawanan, sudah dibebaskan dari hukuman mati pun sudah sangat beruntung.

Bagaimana hamba berani menerima penghormatan lebih dari seharusnya ini?” kata Koan

Tiong dengan sikap hormat.

”Aku sangat percaya kepadamu, silakan kau duduk dulu, kemudian baru aku mau bertanya,” kata Raja Cee dengan manis.

Koan Tiong sekali lagi memberi hormat baru kemudian duduk.

”Negeri Cee mempunyai seribu pasukan kereta perang,” kata Raja Cee Hoan Kong sambil tersenyum. ”Ketika Raja Hi Kong almarhum memegang kendali pemerintahan, dengan keangkerannya beliau telah menaklukan Raja-raja Muda lain, sehingga mendapat pujian dan bergelar Siao Pa Ong. Tetapi, sejak Raja Cee Siang Kong almarhum memerintah, karena

beliau tidak mengurus dengan benar pemerintahan negeri Cee, sehingga negeri Cee menjadi kacau sekali. Sekarang aku yang mengepalai pemerintahan negeri Cee ini dan mengeluarkan berbagai undang-undang dan kebijakan. Menurut Anda sebaiknya aku harus mengatur negara ini bagaimana?”

”Tahu adat-istiadat, tahu kewajiban, tahu kesucian dan tahu malu! Itulah empat dasar yang harus dimiliki oleh sebuah negara,” kata Koan Tiong. ”Jika ke-empat dasar itu tidak teguh, pasti negeri bisa musnah. Sekarang Tuanku hendak membuat undang-undang negara, maka Tuanku harus meneguhkan dulu empat dasar itu agar rakyat mengerti dengan jelas. Dengan demikian maka undang-undang bisa ditegakkan dan pamor negara bisa berjalan.” ”Bagaimana caranya membuat rakyat mengerti dan rakyat mau menurut?” kata Cee Hoan Kong.

”Jika ingin membuat rakyat menurut, lebih dahulu Raja harus sayang kepada mereka. Kemudian baru kita punya jalan buat menetapkan peraturan bagi rakyat.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar