Kisah Si Pedang Kilat Jilid 1

Jilid 1

MALAM yang gelap dan dingin Hawa yang amat dingin menyusup tulang membuat semua orang lebih suka tinggal di dalam rumah, menghangatkan diri dengan api di perapian. Jalan raya di depan rumah- rumah besar itu amat sepi, tak nampak seorang pun di sana. Angin bertiup lembut, membawa hawa yang amat dingin sehingga lampu-lampu gantung yang bergoyang perlahan. itu seperti ikut kedinginan, cahayanya lembut dan redup. Belum juga tengah malam, namun kota itu seperti kota mati, tidak ada kesibukan di luar rumah.

Akan tetapi, di atas sebuah rumah yang besar dan tinggi karena berloteng, ada kesibukan yang aneh. Lima bayangan hitam berkelebatan di atas wuwungan rumah itu dan dari gerakan mereka yang cepat bagaikan lima ekor burung rajawali, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Angin yang berdesah di antara daun- daun pohon membantu mereka, menghilangkan sedikit suara yang ditimbulkan kaki mereka ketika mereka bengerak di atas wuwungan dan genteng.

Biarpun mereka memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka bersikap hati-hati sekali. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa pemilik rumah itu adalah seorang ahli silat kenamaan yang di kota Nan-ping dikenal sebagai Kwa-enghiong (Pendekar Kwa). Dia bernama Kwa Tin, seorang akil silat murid Siauw-lim-pai yang dihormati semua orang karena wataknya yang gagah perkasa, selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Kwa Tin memiliki perusahaan toko kain yang cukup besar dan maju sehingga keadaan keluarganya tergolong mampu. Rumahnya besar, di bagian depan dibuka sebagai toko kain, di belakang sebagai rumah tinggal di mana dia tinggal bersama isterinya dan anak tunggalnya, seorang anak laki-laki bernama Kwa Bun Houw yang pada waktu itu sudah berusia limabelas tahun.

Nama Kwa-enghiong dihormati di kota Nan-ping karena sudah beberapa kali pendekar ini berhasil membasmi para penjahat yang mengganggu keamanan penduduk Nan-ping. Beberapa kali para penjahat yang menganggap Kwa Tin sebagai pengganggu dan penghalang pekerjaan mereka, mencoba untuk membalas dendam.

Akan tetapi Setelah mereka selalu dikalahkan Kwa Tin yang lihai, kota Nan-ping menjadi aman dan tidak ada penjahat berani beraksi di kota itu atau di dusun-dusun sekitarnya. Apalagi setelah puteranya mulai menjadi pemuda remaja, keluarga Kwa semakin ditakuti penjahat. Sejak kecil, Kwa Bun Houw digembleng oleh ayahnya sendiri. Ternyata dia memiliki bakat yang amat baik, bahkan lebih baik dari pada ayahnya sehingga setelah dia berusia limabelas tahun, ilmu silat ayahnya telah dipelajarinya semua dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit saja di bawah tingkat ayahnya karena dia kalah pengalaman dan kalah matang. Akan tetapi, dalam hal tenaga dan kecepatan gerakan, Bun Houw tidak kalah oleh ayahnya!

Lima sosok bayangan orang itu berkelompok di sudut wuwungan yang gelap, agaknya mereka mengadakan perundingan. Kemudian mereka berpencar. Tak lama kemudian, nampak api berkobar di bagian belakang bangunan itu. Gudang barang telah terbakar! A Piauw, tukang kebun yang tidur di dekat gudang yang terbakar, terkejut dan berteriak-teriak.

"Kebakaran ! Kebakaran ... !"

Ketika dia masih berteriak-teriak, nampak api berkobar di sebelah kanan bangunan, lalu sebelah kiri dan terdengar jeritan dua orang pelayan wanita.

Kwa Tin keluar dari kamarnya bersama isterinya. Dia melihat api berkobar di belakang, kanan dan kiri rumahnya. Selagi dia hendak lari untuk memadamkan api, tiba-tiba nampak lima bayangan hitam berloncatan turun dari atas dan Kwa Tin telah dikepung oleh lima orang berpakaian hitam yang menutupi muka mereka dengan kedok hitam pula, masing-masing memegang sebatang pedang. Tanpa banyak cakap lagi, mereka berlima sudah menyerang Kwa Tin!

Pendekar ini tidak memegang senjata, karena baru keluar dari kamarnya. Melihat munculnya lima orang itu, tahulah dia bahwa rumahnya diserbu penjahat. Dia mendorong tubuh isterinya sehingga isterinya terhuyung dan masuk lagi ke dalam kamar. Wanita itu menutup daun pintu dan menguncinya dari dalam.

Lega melihat isterinya sudah bersembunyi, Kwa Tin lalu menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Dia menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, berloncatan di antara sambaran sinar pedang. Sementara itu, api terus mengamuk dan di luar rumah sudah terdengar para tetangga yang mencoba untuk menyiramkan air dari luar rumah, berusaha memadamkan api yang mengamuk di bagian belakang dan kanan kiri rumah.

Kwa Tin segera mendapat kenyataan bahwa lima orang berkedok yang mengeroyoknya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi! Permainan pedang mereka amat cepat, kuat dan berbahaya sekali. Dia merasa menyesal bahwa dia tidak memegang senjata. Kalau saja dia membawa pedangnya! Akan tetapi penyesalan tiada gunanya dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua kepandaian dan kemampuannya untuk membela diri.

Lima batang pedang itu menyerangnya dengan ganas, menjadi lima gulung sinar yang berkelebatan sehingga amat repot bagi Kwa Tin untuk mengelak dari sambaran lima batang pedang yang bertubi- tubi datangnya itu. Biarpun dia memiliki gerakan lincah, berloncatan ke sana sini dan kadang-kadang menyampok dengan tangannya ke arah tangan yang memegang pedang, namun lewat belasan jurus, pundak kirinya tercium ujung sebatang pedang. Bajunya robek dan pundaknya tengores luka. Dia menyambar sebuah bangku panjang dan mengamuk dengan bangku itu. Namun, sebentar saja dia terpaksa melemparkan bangku yang beberapa kali bertemu pedang dan terpotong-potong. D'sambarnja sebuah meja dan dan g n benda itu dia membela diri, menggunakan meja sebagai perisai dan kakinya kadang-kadang menyambar dengan tendangannya yang kuat. Seorang pengeroyok termakan kakinya, tepat mengenai pahanya dan orang itu terpelanting. Melihat kesempatan ini, Kwa Tin menubruk, menghantamkan mejanya ke arah orang yang sudah roboh itu.

Orang itu menangkis dengan pedangnya. "Brakkk!"

Meja menghantam lengan itu sehingga pedang itu terpental. Kwa Tin melompat dan menyambar pedang itu sambil melemparkan mejanya ke arah pemilik pedang. Pada saat itu, disamping ada pedang meluncur seperti anak panah.

“Cappp ...!” Pedang memasuki rongga dada Kwa Tin, dari bawah ketiak.

Kwa Tin mengeluarkan suara gerengan dan dia masih berhasil menangkap pedang yang terlepas tadi, lalu membalik dan membabat.

"Crokkk!"

Orang yang menusuknya tadi menjerit, tangan kanannya sebatas pergelangan buntung oleh babatan pedang Kwa Tin! Akan tetapi Kwa Tin sendiri roboh dengan pedang masih menancap di dadanya. Sambil roboh, Kwa Tin masih mampu melemparkan pedang ke depan dan seorang pengeroyok lagi berteriak kesakitan ketika paha kakinya tertusuk pedang yang dilontarkan itu. Para pengeroyok yang melihat Kwa Tin sudah roboh dengan luka parah dan suara tetangga semakin ramai, mereka membawa teman yang terluka dan berlompatan ke atas genteng, menghilang dari atap ke atap. Mereka juga merasa jerih melihat betapa Kwa Tin demikian gagahnya, masih mampu melukai dua orang teman mereka, bahwa yang seorang mengalami cedera buntung lengan tangan sebatas pergelangan! Akan tetapi seorang di antara mereka menendang daun pintu sehingga jebol, lalu keluar lagi sambil memondong tubuh seorang wanita yang kelihatan lemas karena tertotok. itulah isteri Kwa Tin yang mereka culik.

Kwa Tin masih belum tewas, bahkan juga tidak pingsan. Dia melihat betapa Isterinya diculik oleh seorang di antara para penjahat bertopeng itu, akan tetapi ketika dia hendak bangkit untuk menolong isterinya, dia roboh lagi dan mengeluh, dadanya terasa nyeri dan pendekar inipun maklum bahwa ajalnya sudah dekat!

Pada saat itu, di antara para tetangga yang sedang sibuk berusaha memadamkan api, tanpa mengetahui apa yang terjadi di dalam, nampak seorang pemuda menerobos di antara banyak orang dan diapun menendang pintu depan yang sudah terbakar separuh itu sampai jebol lalu dia melompat masuk menerjang api sambil berteriak.

"Ayaaaahhh ... ! Ibuuu ... !" Semua orang memandang tegang, tidak berani mengikuti pemuda yang menerjang api itu. Pemuda itu adalah Kwa Bun Houw yang tadi tidak berada di rumah karena dia sedang berada di rumah keluarga Cia, yaitu keluarga calon isterinya! Calon ayah mertuanya yang menjadi sahabat baik ayahnya, mengajak dia bercakap-cakap sampai jauh malam. Ketika akhirnya dia mendapat kesempatan berpamit dari calon mertuanya dan tiba di dekat rumah, dia terkejut melihat rumah orang tuanya terbakar dan banyak tetangga sedang berusaha memadamkan api. Dia segera mencari ayah ibunya, akan tetapi para tetangga mengatakan bahwa ayah ibunya tidak nampak keluar dari rumah yang terbakar itu! Mendengar ini, dengan nekat Bun Houw lalu menerjang daun pintu dan melompat ke dalam.

"Ayaihhhh ... !" Dia menubruk orang tua itu yang menggeletak bermandikan darah sendiri dengan sebatang pedang masih menancap di dadanya.

“Ayah, apa yang terjadi? Siapa melakukan semua ini?" Bun Houw memangku kepala ayahnya yang sudah terkulai lemas. Pendekar itu mendengar teriakan anaknya dan dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk membuka mata dan mulutnya. "Bun Houw ... mereka ... lima orang ... berkedok

... yang seorang ... buntung tangan kanannya ... " Dia terkulai dan napasnya berhenti.

"Ayah ...!” Bun Houw mengguncang tubuh ayahnya dan sungguh aneh, pendekar itu membuka matanya lagi. Seolah-olah teriakan anaknya tadi menarik kembali nyawanya yang sudah melayang, “Ibumu ... diculik mereka ... " Sukar benar dia mengeluarkan kata-kata ini dan kembali dia terkulai, sekali ini benar-benar menghembuskan napas terakhir.

"Ayah ...! Ibuuuu ... !" Bun Houw teringat Ibunya dan dengan cepat bangkit berdiri, meloncat ke dalam kamar. Ketika tidak melihat ibunya, teringat akan kata-kata terakhir ayahnya. Bun Houw meloncat ke atas genteng dan diapun mencari dan memandang ke kanan kiri. Namun, tidak nampak sesuatu kecuali para tetangga yang masih sibuk mencoba memadamkan api yang makin membesar. Bun Houw lalu meloncat keluar dan seolah-olah ada yang mendorongnya, dia lalu berlari keluar kota menuju ke selatan. Dia teringat bahwa di Selatan kota terdapat sebuah hutan, dan entah mengapa, seperti ada bisikan di hatinya bahwa para penjahat itu membawa ibunya ke sana!

Tanpa memperdulikan lagi rumah orang tuanya yang terbakar dan ayahnya yang sudah tewas, Bun Houw mencari-cari di dalam hutan. Sampai pagi dia masih mencari-cari dan akhirnya usahanya berhasil. Di sebuah sudut hutan, di atas rumput tebal, di bawah pohon besar, dia menemukan Ibunya. Sudah mati dan dalam keadaan telanjang bulat!

"Ibuuuu ... !" Dia menjerit dan menubruk mayat yang masih hangat itu. Agaknya belum lama ibunya tewas Bun Houw hampir pingsan, akan tetapi dia menguatkan hatinya, lalu meloncat dan berlari-lari mencari di sekitar tempat itu kalau-kalau akan dapat menemukan para penjahat itu.

Akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka dan akhirnya dengan hati penuh duka, dia menghampiri mayat ibunya, mengenakan kembali pakaian ibunya yang cerai berai di tempat itu, lalu memondong tubuh yang sudah tak bernyawa itu, menuju pulang! Wajahnya pucat dan muram, matanya seperti lampu kehabisan minyak, akan tetapi kadang-kadang mata itu mengeluarkan sinar penuh kebencian dan kemarahan yang membuat orang bengidik ngeri melihatnya.

Rumah keluarga Kwa itu habis terbakar. Rumah tinggal dan tokonya. Seluruh harta kekayaan keluarga itu musnah dan kini Bun Houw tidak memiliki apa-Apalagi kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya! Dia kehilangan ayahnya, ibunya, harta bendanya, rumah tinggalnya.

Para tetangga membantunya sehingga jenazah ayah-ibunya dapat dimakamkan sepantasnya. Setelah semua orang pulang. Bun Houw tinggal di tanah kuburan itu seorang diri, bersila di depan dua buah makam yang masih baru itu. Bau dupa masih mengharumkan sekitar kuburan, dan bagi Bun Houw yang bersila di situ, bau tanah juga menyengat hidungnya, mengingatkan dia bahwa ayah dan ibunya kini berada di dalam tanah itu!

Dia tidak menangis lagi. Sudah habis air matanya sebelum kedua Jenazah itu dikebumikan. Kini dia bersila, termenung. Bayangan mengerikan itu selalu menghantui mata hatinya. Bayangan ayahnya dikeroyok lima orang berkedok, lalu ayahnya roboh dengan dada tertusuk pedang. Lalu bayangan yang lebih menyakitkan hati lagi. Ibunya diperkosa dan dihina lima orang itu sampai mati! Dia mengepal tinju! Mengapa ayahnya dan ibunya dibunuh orang?

Bun Houw membiarkan pikirannya bekerja sendiri. Dibongkarnya semua isi pikirannya yang bertumpuk-tumpuk. Teringatlah dia akan keadaan ayahnya. Ayahnya seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Entah sudah berapa banyak penjahat dibasminya, dibunuhnya atau ditangkapnya, atau dihajarnya. Dia merasa yakin bahwa apa yang menimpa keluarganya itu adalah akibat dari pada dendam para penjahat. Ayahnya telah mengalahkan banyak penjahat, dengan kekerasan, dan hal ini tentu saja mendatangkan dendam. Akhirnya, para penjahat yang menaruh dendam itu berhasil membalas, Ayahnya dibunuh. Ibunya diperkosa dan dibunuh. Apakah dia harus mendendam pula? mendendam kepada siapa ?

Teringat dia akan nasihat-nasihat ayahnya ketika ayahnya menggemblengnya dengan ilmu silat. Satu di antaranya tentang dendam. "Anakku, seorang pendekar tidak akan bertindak karena benci! Biarpun ayahmu ini menentang kejahatan, menentang para penjahat, namun tidak ada rasa benci di dalam hatiku. Yang ada hanyalah rasa tanggung jawab dan tugas seorang pendekar, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun jahat. Jangan biarkan dirimu menjadi hamba dari nafsu kebencian. Jangan biarkan hatimu menjadi taman, di mana pohon dendam tumbuh dan membesar karena dendam adalah kebencian juga. Kalau kebencian menjadi dasar, maka setiap perbuatan adalah kejahatan, apapun alasannya!"

Teringat akan nasihat ini, Bun Houw menghela napas panjang. Ayahnya dibunuh orang dan ibunya juga dibunuh setelah diperkosa, apakah dia tidak boleh mendendam? Dendam kebencian merupakan racun bagi batin sendiri, demikian ayahnya pernah berkata. Tidak, dia tidak boleh mendendam, akan tetapi dia akan melanjutkan perjuangan ayahnya sebagai seorang pendekar. Dia akan menentang kejahatan dalam bentuk apapun juga, tanpa dendam kebencian. Dia akan membasmi mereka yang membunuh orang tuanya, kalau dia berhasil menemukan mereka, bukan karena dendam kebencian melainkan karena mereka itu penjahat yang harus ditentang.

Tadi keluarga Cia juga datang melayat. Bahkan calon ayah mertuanya membujuknya untuk pulang ke rumah keluarga Cia, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya merekapun pergi. Sejak kecil, oleh ayahnya dia ditunangkan dengan Cia Ling Ay, puteri tunggal Cia Kun Ti, sahabat baik ayahnya. Karena ikatan persahabatan antara ayahnya dan Cia Kun Ti amat erat maka dia dijodohkan dengan gadis itu, sejak mereka berdua masih kanak-kanak. Mereka bahkan diberi kesempatan untuk bergaul dan berteman, dan setelah mereka mulai dewasa, mereka juga saling tertarik dan saling mencintai. Walaupun Bun Houw dan Ling Ay tidak pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih mereka melalui kata-kata, dan bergaul seperti dua orang sahabat biasa, namun masing-masing dapat merasakan akan cinta mereka.

Ling Ay juga ikut bersembahyang di depan peti mati calon ayah dan ibu mertuanya, bahkan Ia menangis sesenggukan ketika melihat keadaan tunangannya yang demikian berduka. Di depan makam tadi, Ling Ay juga menangis dan ikut membujuknya agar mau pulang ke rumahnya dan meninggalkan kuburan, akan tetapi Bun Houw menolak dengan halus.

"Ay-moi, engkau pulanglah dulu. Biar aku sejenak menemani ayah dan Ibu di sini." jawabnya.

"Akan tetapi, Houw-koko, ayah ibumu sudah tiada. Tidak ada gunanya kalau engkau menyiksa diri dalam kedukaan di tempat ini.” Gadis itu membujuk dan mencoba untuk menarik lengan pemuda yang menjadi tunangannya, juga sahabat baiknya dan orang yang diam-diam dikasihinya.

"Moi-moi, kau pulanglah dulu, aku masih belum dapat meninggalkan tempat ini. Pengilah dan jangan ganggu aku ... "

Setelah menarik napas dan menghapus air matanya, gadis itu pun pergi meninggalkannya untuk pulang bersama ayah ibunya.

Kembali Bau Houw melamun. Kini baru dia mengerti benar apa yang dimaksudkan dalam kitab-kitab suci bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak abadi. Hidup penuh duka yang timbul dari ikatan. Begitu banyaknya ikatan selama ini membelenggu dirinya, bahkan ikatan itu telah mengakar di dalam batinnya. Ikatan kepada ayah Ibunya, kepada harta kekayaan milik keluarganya. Sekarang, dalam sekejap mata saja, semua itu direnggut musnah darinya. Habislah segala-galanya, semua miliknya. Hati siapa takkan berdarah, batin siapa takkan menderita duka? Kini dia mengerti apa artinya itu, setelah merasakannya sendiri. Hidupnya terasa kosong dan sunyi. Dia tidak mempunyai siapa- siApalagi.

Tidak mempunyai siapa-siApalagi? Ah, tidak begitu! Bukankah di sana masih ada Cia Ling Ay? Orang yang dicintanya.” Bagaikan orang yang tadinya tenggelam ke dalam kegelapan tiba-tiba melihat setitik sinar terang, Bun Houw bangkit berdiri. Bayangan Ling Ay memberi harapan. Dia memberi hormat kepada kedua makam itu, lalu perlahan-lahan melangkah pergi, menuju ke rumah keluarga Cia. Ke mana lagi dia dapat pergi? Rumahnya sendiri telah menjadi debu. Sedikitpun dia tidak memiliki apa- Apalagi, bahkan pakaianpun hanya yang melekat pada tubuhnya. Malapetaka dapat menimpa siapapun juga di dalam kehidupan di dunia ini. Tidak pandang bulu! Seorang manusia yang paling berkuasa sekalipun, tidak kebal terhadap malapetaka dan maut, kalau memang Tuhan sudah menghendaki. Tiada kekuatan apapun di dunia dan akhirat yang mampu mengubah kehendak Tuhan. Kehendak Tuhanpun terjadilah. Manusia hanya dapat menerima, tawakal, dengan penuh keikhlasan menyerahkan diri lahir batin sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Hanya inilah satu-satunya jalan. Hanya Tuhan yang dapat menentukan jalan hidup ini, seperti Tuhan pula yang menentukan dan mengatur segala sesuatu yang hidup dan mati, yang nampak dan tidak nampak. Tuhan mendahului yang paling dulu, mengakhiri yang paling akhir, di sebelah dalam yang paling dalam dan di sebelah luar yang paling luar! Tak terjangkau oleh akal pikiran. Kalau segala gerakan badan dan batin diatur oleh kekuasaan Tuhan, barulah sempurna dan benar dan hal ini mungkin saja dapat dicapai dengan penyerahan diri penuh keikhlasan dan kerendahan hati. Sebaliknya, segala gerakan badan dan batin yang diatur oleh akal pikiran selalu ditunggangi nafsu- nafsu dan akibatnya seperti yang kita lihat di sekeliling kita. Konflik dan pertentangan, perebutan, masing-masing menonjolkan kepentingan aku sendiri dan tak dapat dihindarkan lagi, bentrokan- bentrokan dan kekerasanpun terjadilah, di mana-mana!

Akal pikiran dan segala macam nafsu memang sungguh amat kita perlukan dalam kehidupan ini. Akal pikiran dan nafsu adalah alat-alat yang sangat benguna bagi kita untuk mempertahankan hidup di dunia ini. Karena mereka itu hanya alat, maka haruslah dapat kita manfaatkan, kita peralat demi kepentingan dan kebutuhan diri dalam kehidupan di dunia. Akan tetapi apa kenyataannya? Kita malah yang diperalat oleh mereka! Kita diperalat, diperhamba oleh akal pikiran dan nafsu, maka rusaklah ketenteraman hidup, lenyaplah kebahagiaan hidup. Akal pikiran dan nafsu hanya ingin ini, ingin itu. ingin lebih, ingin enak dan segala macam keinginan. Dan untuk mengejar terlaksananya keinginan itu, kita diperalat untuk mendapatkannya sehingga timbullah segala macam perbuatan kekerasan dan kemaksiatan. Kalaupun rasa kemanusiaan kita, hati nurani kita sewaktu-waktu menyadari akan hal ini, hati nurani kita itu sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu menanggulangi kekuatan daya rendah dari nafsu-nafsu dan akal pikir, dan kita tetap dicengkeram dan dikuasai, dipengaruhi. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu menalukkan kegarangan daya-daya rendah itu, menjinakkannya dan mengembalikan fungsinya sebagai alat, sebagai harta, bukan lagi sebagai majikan.

‘Tidak, aku tidak setuju! Pertunangan itu harus dibatalkan! Harus ! Ikatan perjodohan yang tidak seimbang ini harus putus!” Nyonya Cia Kun Ti berkata dengan penuh ketegasan kepada suaminya yang menundukkan mukanya dan duduk di kursi. Cia Kun Ti memang kalah wibawa dan selalu merasa rendah diri terhadap isterinya. Hal ini timbul sejak dia menikah dengan isterinya ini, yang dulu merupakan puteri dari majikannya! Dia hanya seorang karyawan dari toko besar ayah isterinya kemudian dia menjadi mantu. Kini dia dan isterinya membuka sebuah toko kain, juga semua itu milik Isterinya. Oleh karena itu, dalam segala hal isterinyalah yang mengemudikan dan menentukan dan hampir segala keputusan yang diambil isterinya, dia terpaksa meng’amin’kan dan tidak berani membantah. 

"Tapi, ketika mendiang ayahnya mengajukan usul pengikatan jodoh, kita sudah menyetujuinya. Bukankah engkau sendiri juga setuju kalau anak kita Ling Ay dijodohkan dengan Bun Houw?" Nada suaranya bukan membantah melainkan mengingatkan isterinya akan janji mereka terhadap mendiang keluarga Kwa.

"Benar, tidak kupungkiri hal itu! Akan tetapi kita berjanji kepada Kwa Tin dan isterinya. Dan sekarang mereka telah meninggal dunia. Dengan demikian, janji antara kita dengan merekapun sudah lenyap dan putus!”

"Akan tetapi, isieriku, Bun Houw sendiri masih hidup dan dia sudah kita terima sebagai calon mantu ... "

“Tidak, sekarang tidak lagi. Janji kita hanya kepada orang tuanya dan kini telah batal! Bagaimana mungkin aku mau menyerahkan anakku yang hanya satu-satunya itu kepada seorang pemuda yang yatim-piatu, dan tidak mempunyai apa-Apalagi? Kita menyerahkan anak kita dan semua harta benda kita kepadanya? Tidak! Aku tidak mau membikin anak sendiri sengsara!"

"Ah, begitukah maksudmu?” Cia Kun Ti yang merasa tidak enak sekali terhadap arwah sahabatnya, mengangguk. "Kiranya karena Bun Houw sudah kehilangan segalanya, harta miliknya musnah dimakan api, maka engkau lalu hendak menolaknya sebagai calon mantu?"

"Tentu saja! Mengapa tidak? Dulu, kita menerima Ikatan jodoh itu karena melihat ayahnya, bukan melihat dia, dan kuanggap memang keadaan mereka seimbang dengan keadaan kita. Sekarang? Anak itu yatim piatu dan miskin tidak memiliki apa-apa. Bagaimana mungkin akan menjadi suami Ling Ay? Tidak, harus putus!”

Cia Kun Ti menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa bagaimanapun juga ada kebenaran dalam ucapan isterinya. Dan diapun kasihan kepada Bun Houw. Anak itu baik sekali. Biarlah, biar Ikatan ini diputuskan. Agaknya malah lebih baik bagi Bun Houw dan juga bagi anaknya. Kalau dilanjutkan, tentu pernikahan itu sama keadaannya dengan dirinya sekarang ini! Yang memiliki harta isterinya dan yang berkuasa isterinya! Dia tidak menginginkan puterinya menjadi kuasa atas diri suaminya, dan dia kasihan membayangkan Bun Houw menjadi seperti dia!

Sementara dia termenung, Isterinya sudah berteriak memanggil puterinya, "Ling Ay ... ke sinilah!”

Gadis itu muncul dan duduk menghadapi ayah ibunya, pandang matanya penuh pertanyaan dan khawatir melihat sikap ayah dan ibunya yang begitu serius.

"Ada apakah, Ibu ?" tanya gadis itu.

Cia Kun Ti tidak dapat mengatakan apapun. Dia tahu bahwa puteri tunggalnya itu sudah menganggap Bun Houw sebagai calon suaminya. Sudah sejak kecil mereka ditunangkan dan puterinya sudah menerimanya sebagai suatu kepastian. Mungkin puterinya sudah terlanjur mencinta pemuda itu. Dia tidak tega untuk menyampaikan pemutusan Ikatan jodoh itu.

"Ling Ay. duduklah dekat Ibu. Aku hendak membicarakan urusan penting sekali, menyangkut kehidupanmu, masa depanmu."

Gadis itu semakin khawatir dan dengan gelisah ia mendekati ibunya. "Apa yang ibu maksudkan?"

"Engkau tahu apa yang telah terjadi dengan Bun Houw. Dia kematian ayah ibunya, kini dia menjadi seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara, bahkan seluruh harta milik orang tuanyapan musna dimakan api."

"Aku tahu, ibu, dan kasihan sekali Houw-koko." kata gadis remaja itu dan ia menunduk, kedua matanya basah. Ia masih terlalu muda, baru berusia empatbelas tahun untuk mengetahui benar apakah ia mencinta tunangannya itu. Namun, sudah jelas bahwa ia menyayangnya karena memang mereka telah bersahabat sejak kecil, dan Bun Houw adalah seorang sahabat yang selalu bersikap sopan, ramah dan baik kepadanya. Ia merasa pemuda itu seperti saudaranya sendiri, seperti seorang kakak.

"Memang, kita kasihan sekali kepadanya. Akan tetapi, tidak boleh rasa kasihan itu mengharuskan engkau mengorbankan diri."

Gadis remaja itu mengangkat mukanya yang manis, memandang ibunya dengan heran. "Apa maksudmu, ibu?"

"Ling Ay, ayah ibumu sudah mengambil keputusan bahwa pertunanganmu dengan Bun Houw harus putus! Engkau tidak mungkin dapat berjodoh dengan seorang yatim piatu karena hal itu kelak hanya akan menyengsarakan kalian berdua."

Gadis remaja itu terkejut sekali. Matanya terbelalak memandang ibunya. Baginya, menjadi isteri Bun Houw atau bukan tidak menjadi soal yang terlalu besar baginya. Ia masih belum dewasa dan masih terlalu muda untuk memikirkan soal pernikahan. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw.

"Akan tetapi, ibu! Houw-koko baru saja tertimpa kemalangan. Dia sedang berada dalam keadaan duka, kehilangan ayah ibu dan seluruh harta bendanya. Bagaimana sekarang kita bahkan tidak menghiburnya, melainkan menambah beban dukanya dengan memutuskan pertunangan itu?" Gadis itu memandang kepada ibunya dan air matanya mengalir turun karena ia merasa iba sekali kepada Bun Houw.

"Tidak, anakku. Biarlah engkau tidak perlu mencampuri urusan ini, kami yang akan bicara dengan dia. Aku percaya dia cukup bijaksana untuk menerima pemutusan pertunangan itu."

Ling Ay tidak membantah dan meninggalkan ayah ibunya, masuk ke dalam kamarnya dan menangis. Bukan menangis sedih karena pertunangan itu diputuskan, melainkan menangis karena kasihan kepada Bun Houw. Sore itu. menjelang senja, dengan pakaian lusuh, rambut awut-awutan dan wajah kusut muram, Bun Houw datang berkunjung ke rumah calon mertuanya. Dia tidak tahu ke mana lagi harus pergi. Tidak mungkin dia tinggal terus di tanah kuburan. dia tidak memiliki rumah, dan tidak memilili keluarga lain di kota Nan-ping kecuali keluarga calon isterinya. Biarpun hatinya terasa berat dan malu, terpaksa dia kini berkunjung ke rumah calon mertuanya yang besar.

Sambutan calon ayah dan ibu mertuanya sungguh di luar dugaannya. Ketika mereka datang berlayat dan ikut mengantar pemakaman, sikap mereka amat baik, menghibur dan juga ikut berduka. Akan tetapi setelah kini dia berhadapan dengan kedua orang calon mertua itu yang mecyambut kedatangannya di ruangan depan, wajah mereka nampak dingin dan sama sekali tidak ramah, Apalagi ikut berduka.

"Duduklah di dalam, Bun Houw. Kebetulan engkau datang karena kami ingin membicarakan urusan penting denganmu." kata Cia Kun Ti dengan suara kering.

Bun Houw masih belum menyangka buruk, mengira bahwa calon mertuanya tentu akan membicarakan urusan perjodohannya demi kebaikannya. Dia pun ikut masuk dan mereka bertiga duduk saling berhadapan, terhalang meja, di ruangan dalam. Akan tetapi calon ayah mertuanya kini tidak bicara, hanya lebih banyak menundukkan mukanya yang tidak seramah biasanya. Kini calon ibu mertuanya yang bicara.

"Bun Houw, kami sekeluarga merasa kasihan kepadamu atas malapetaka yang menimpa keluargamu. Akan tetapi, kami terpaksa bicara denganmu mengenai ikatan jodoh antara engkau dan anak kami, lebih cepat kita bicarakan lebih baik agar tidak menjadi ganjalan di hati."

Pemuda itu mengangkat mukanya yang muram dan diliputi kedukaan yang mendalam. "Apakah yang ibu maksudkan ?"

Wanita itu menelan ludah dulu sebelum bicara, menenteramkan hatinya yang berdebar. "Begini, Bun Houw. Kami percaya bahwa engkau sebagai seorang laki-laki, cukup bijaksana untuk dapat memaklumi bahwa ikatan jodoh antara engkau dengan puteri kami itu tidak mungkin dilanjutkan dan terpaksa harus kami putuskan atau batalkan."

Tentu saja Bun Houw terkejut bukan main mendengar ini. Matanya memandang kosong dan bengong seolah-olah dia khawatir salah dengar, wajahnya menjadi semakin pucat dan dia memandang kepada kedua orang tua itu bengantian dengan sinar mata bodoh dan tidak mengerti. Berbeda dengan keadaan hati Ling Ay yang masih kekanak-kanakan, Bun Houw yang baru berusia limabelas tahun itu merasa telah jatuh cinta kepada tunangannya. Dia sudah mencinta Ling Ay dan kini pertalian jodoh itu dibikin putus secara sepihak dan secara tiba-tiba!

"Di ... dibatalkan ... ? Akan tetapi ... saya tidak mengerti ... mengapa? Apa kesalahan saya ... ?"

Melihat pemuda itu kelihatan amat terpukul, Cia Kun Ti merasa kasihan sekali. ‘Engkau tidak mempunyai kesalahan apa-apa, Bun Houw ... " katanya, akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan, isterinya sudah menoleh kepadanya dengan pandang mata tajam penuh teguran.

"Engkau memang tidak bersalah, Bun Houw,” kata Nyonya Cia Kun Ti, "Yang bersalah adalah keadaanmu. Engkau telah menjadi seorang anak yatim piatu. Karena Ling Ay masih mempunyai ayah dan ibu, maka tidak mungkin ia menjadi isteri seorang yang yatim piatu. Nah, itulah sebabnya mengapa kami terpaksa, dengan berat hati, memutuskan tali perjodohan itu, Bun Houw."

Pemuda itu mengerutkan alisnya, tidak dapat menerima begitu saja alasan yang dikemukakan calon ibu mertuanya. “Akan tetapi, ibu. Kalau saya telah menjadi seorang yatim piatu, lalu mengapa? Kematian seseorang adalah tak dari Tuhan, dan seseorang, cepat atau lambat, sudah pasti akan menjadi yatim piatu, ditinggal mati ayah dan ibunya. Apa bedanya kalau saya sekarang menjadi yatim piatu atau kelak kalau sudah anak lebih tua? Sungguh alasan ini bagi saya tidak masuk di akal!"

Nyonya Cia Kun Ti merasa tersudut oleh bantahan Bun Houw itu dan ia mengerutkan alisnya. Sinar matanya membayangkan kemarahan dan ia lalu berkata, suaranya lantang. "Kwa Bun Houw, aku telah mengemukakan alasan yang paling halus agar tidak menyinggungmu, akan tetapi engkau malah membantah. Nah, dengarlah baik-baik. Bukan hanya karena engkau yatim piatu saja persoalannya. Engkau sudah yatim piatu, tidak ada lagi ayahmu yang akan mengurus pernikahanmu, dan memberimu warisan. Bahkan seluruh harta milik orang tuamu juga sudah habis terbakar. Engkau tidak mempunyai apa-Apalagi, tidak mempunyai orang tua yang boleh kausandari. Lalu apa akan jadinya kalau engkau menjadi suami anak kami? Engkau tidak memiliki apa-apa, rumah pun tidak, lalu apakah kelak anak kami akan kauberi makan tanah dan batu ? Nah itulah yang memaksa kami membatalkan perjodohan ini! Engkau memaksaku untuk berterus terang!”

Sepasang mata Bun Houw terbelalak, wajahnya kini menjadi merah sekali. Setiap kata yang keluar dari mulut wanita yang pernah dianggapnya sebagai calon ibu mertua, yang biasanya amat ramah kepadanya itu, bagaikan ujung pedang yang menikam ulu hatinya. dia ditolak menjadi calon mantu karena dia sudah yatim piatu dan miskin! Miskin itulah sebab utamanya dan diapun mengerti. Betapapun pahitnya kenyataan itu, harus ditelannya karena memang benar demikian. Dia sendiri sudah tidak memiliki apa-apa, tidak ada makanan untuk dimakan, pakaian untuk dipakai, bahkan tidak ada tempat untuk berteduh. Bagaimana dia dapat memenuhi kebutuhan seorang Isteri ?

Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kedua kakinya menggigil, akan tetapi dia menguatkan hatinya yang tenguncang. Kedua matanya terasa panas, matanya kabur oleh air mata yang dipertahankannya agar jangan jatuh, bibirnya gemetar ketika dia hendak bicara. Dia akhirnya dapat menekan semua perasaan terhina itu, dan dia berkata tersendat-seadat.

"Saya mengerti ... saya telah menjadi yatim piatu dan miskin ... saya tidak pantas menjadi calon suami Ay-moi ... saya ... saya mohon pamit ... dia membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan meninggalkan ruangan dalam itu menuju ke luar, tidak tahu betapa suami Isteri itu memanjang kepadanya dengan sinar mata penuh iba. Bagaimanapun juga. Nyonya Cia Kun Ti memang terpaksa melakukan keputusan itu, demi puterinya.

"Houw-koko ... !" Tiba-tiba Ling Ay lari keluar dari dalam dan mengejar Bun Houw yang baru tiba di ambang pintu antara kamar ruangan dalam dan beranda depan.

Mendengar seruan ini, Bun Houw menahan langkahnya dan membalikkan tubuhnya, terpaksa menggunakan punggung tangan menghapus beberapa tilik air mata yang tadi sempat turun dari pelupuk mata dan jatuh ke atas pipinya.

"Houw-koko, engkau hendak pergi ke mana ... ?" Ling Ay bertanya sambil lari menghampiri dan memegang kedua tangan pemuda itu.

Melihat wajah pemuda itu, dan pipi yang masih basah bekas usapan air mata, gadis remaja itu pun merintih, "Ah, Houw-koko ...!” dan iapun menangis.

Bun Houw merasa jartungnya seperti disayat-sayat. Dia mengusap rambut kepala yang menunduk dan menangis itu. "Sudahlah, Ay moi ... jangan berduka, Kupujikan agar kelak engkau memperoleh jodoh yang sesuai denganmu, semoga engkau berbahagia, Ay moi ... " dan Bun Houw membalikkan tubuhnya, cepat berlari keluar.

"Houw-koko ...!” Ling Ay hendak mengejar.

"Ling Ay ...!" Terdengar Ibunya membentak dan gadis itu menahan langkahnya, membalik lalu berlari menubruk kaki ibunya.

"Ibuu ...!” Iapun menangis sesenggukan.

Ibunya merangkulnya dan mengusap-usap rambut kepala anaknya.

Bun Houw berjalan seorang diri. Tubuhnya terasa lemas sekali karena semenjak ayah ibunya tewas dan sampai sekarang, sudah tiga hari tiga malam, dia tidak pernah makan tidak pernah tidur! Ditambah pula pukulan batin bertubi-tubi, ayah ibunya dibunuh orang, rumahnya habis terbakar, musibah pemutusan pertunangannya dengan Ling Ay, merasa dihina dan dipandang rendah, kehilangan segalanya. Langkahnya gontai, bahkan sesekali kakinya tersandung akar atau batu sehingga terhuyung, semangatnya menipis, mendekati keputusasaan.

Semenjak meninggalkan rumah kediaman keluarga Cia, dia berjalan terus meninggalkan kota Nan- ping, tak pernah berhenti dan semalam suntuk dia berjalan. Tanpa tujuan? Kemana? Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini yang dapat dikunjunginya. Tidak ada tujuan tidak ada rencana. dia melangkah asal pergi saja dari keluarga Cia, dari kota Nan-ping, membiarkan kakinya bergerak dan membawa ke mana saja kaki itu melangkah. Seperti sesosok mayat berjalan!

Matahari telah naik tinggi dan dia masih terseok-seok berjalan mendaki bukit itu, jalan yang sunyi. Tak nampak seorangpun manusia. Makin menanjak jalan itu, makin tertatih-tatih dia melangkah karena tubuhnya sudah lelah sekali. Di depan nampak sebuah hutan yang lebat. Kakinya menuju ke hutan itu, tanpa dituntun lagi suatu kehendak atau pikiran. Begitu dia tiba di tepi hutan, tiba tiba nampak lima bayangan manusia berlari-lari dengan cepatnya dari bawah bukit. Lima orang ini dapat berlari cepat biarpun jalannya menanjak dan ini saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang orang sembarangan. Ketika tiba di tereng bukit itu, mereka berhenti dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba seorang di antara mereka menuding ke atas, ke arah tubuh Bun Houw yang sudah tiba di dekat hutan.

"Itukah orangnya!”

"Mungkin saja! Tidak ada orang lain di sini." "Kalau begitu mari kita cepat kejar."

"Benar, membasmi rumput harus bersama akar-akarnya!”

Mereka berlima, kelimanya mengenakan kedok hitam, kini berlari lagi ke arah puncak bukit.

Bun Houw tidak mengetahui semua itu. dia kini seperti orang yang ditinggalkan semangatnya. Dia lelah lahir batin. Semalam tadi dia terhimpit perasaan duka yang amat berat. Pikirannya mengenang segala peristiwa yang menimpa dirinya. Makin dikenang, semakin pahit dan semakin menghimpit perasaannya. Timbullah perasaan iba diri yang amat besar dan hal ini menimbulkan duka. Demikian tertekan batinnya sehingga dia lelah, lelah sekali. Dia tidak memperdulikan apa-Apalagi.

"Berhenti ...!” terdengar teriakan dari arah belakang. Bun Houw melangkah terus, tidak mendengar karena tidak memperhatikan.

"Heii, orang yang berjalan di depan! Berhenti ...!” teriakan itu diulang, lebih nyaring.

Bun Houw melangkah terus, sudah mendengar akan tetapi tidak perduli, tidak mengira dia yang disuruh berhenti.

Tiba-tiba Bun Houw melihat ada beberapa bayangan orang berkelebat di kanan kirinya, datang dari belakang dan melewatinya. Ketika dia mengangkat muka, ternyata ada lima orang laki-laki yang kesemuanya memakai kedok hitam telah berdiri menghadang di depannya. Sikap mereka itu garang sekali. seorang di antara mereka, yang berperut gendut dan dagunya terhias bekas luka yang besar, kedok bitam itu hanya menutupi mata dan hidung, berkata dengan suara lantang.

"Hei, berhenti dulu, orang muda! Apakah engkau putera Kwa Tin di Nan-ping?"

Tadinya Bun Houw memandang kepada mereka dengan sikap acuh, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pesan terakhir ayahnya. "Bun Houw, mereka lima orang berkedok, yang seorang buntung tangan kanannya ... " demikian pesan ayahnya. Suara ayahnya itu selalu terngiang di telinganya. Dan lima orang di depannya itu berkedok, dan seorang di antaranya memang buntung lengan kanannya!”

"Ah, kalian ... kalian lima orang yang membasmi keluarga Kwa?" tanyanya, wajahnya berubah pucat kemudian merah dan suaranya gemetar.

"Tidak kami sangkal!” kata si perut gendut. "Dan engkau, siapakah engkau ? Apa hubunganmu dengan keluarga Kwa?"

Bun Houw telah memandang dengan kemarahan memuncak sehingga dia lupa akan tubuhnya yang lemah dan lemas, lupa akan kenyataan bahwa lima orang ini amat lihai sehingga ayahnya sendiripun tewas di tangan mereka.

"Aku Kwa Bun Houw, putera mereka!” teriaknya.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang engkau kami cari karena engkau harus menyusul ayah ibumu!”

Bun Houw terkenang akan ayahnya, dan Ibunya yang tewas secara menyedihkan, maka matanya mencorong seperti berapi-api. "Keparat jahanam, kalian ini Iblis-iblis jahat sekali. Kenapa kalian demikian kejam membunuh ayah dan bahkan menghina dan membunuh ibuku? Apa dosa mereka? Jawab dulu pertanyaanku agar aku tidak penasaran!”

SI gendut itu tertawa. "Tidak berdosa! Ayahmu tidak berdosa ? Hemm, berapa banyak sudah saudara kami dibunuhnya, dan kami sendiri sampai kehilangan mata pencaharian karena ayahmu! Kami datang membalas dendam atas kematian saudara saudara kami, dan ayahmu selalu merupakan ancaman bagi pekerjaan kami! Ibumu kami bunuh karena ia adalah isteri ayahmu, seperti juga engkau harus kami bunuh karena engkau adalah anak ayahmu!”

"Tapi ... ayah menentang kalian karena kejahatan kalian! Ayah selalu menentang orang ... orang jahat dan itu sudah menjadi tugas seorang pendekar!” "Huh ! Kami tidak perduli. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa."

"Sudahlah, toako. Kenapa melayani obrolan bocah ini? Bunuh saja dia, habis perkara!” bentak penjahat yang tangan kanannya buntung ketika mereka mengeroyok Kwa Tin.

Berkata demikian, dia sudah melangkah maju dan menyerang dengan tendangan kaki kanannya. Bun Houw cepat mengelak akan tetapi empat orang penjahat lainnya sudah pula menerjang dan mengeroyoknya. Agaknya, lima orang penjahat itu memandang rendah pemuda remaja berusia limabelas tahun itu, maka mereka hanya mempengunakan kaki tangan untuk menyerang, tidak mencabut senjata mereka.

Bun Houw mengamuk! Dia tahu bahwa perkelahian ini adalah prkelahian mati hidup. Dia harus dapat merobohkan lima orang itu kalau dia ingin agar dapat hidup terus, karena kalau dia kalah berarti dia akan mati. Dan dia bertekat untuk melawan sampai mati! Kenekatan inilah yang membuat dia menjadi lebih kuat dari pada biasanya. dia tidak lagi memperdulikan bahaya yang mengancam dirinya. Yang ada dalam hatinya hanyalah keinginan mengalahkan para pmgeroyoknya, maka dia pun menyerang seperti seekor harimau kelaparan.

Akan tetapi, Bun Houw menghadapi pengeroyokan lima orang lawan yang pandai pula, biarpun sejak kecil dia digembleng ayahnya dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, namun dia kurang pengalaman berkelahi, berbeda dengan lima orang lawannya yang merupakan tokoh tokoh kang-ouw yang sudah biasa berkelahi melawan musuh yang tangguh. Oleh karena itu, sukar bagi Bun Houw untuk dapat mengalahkan lima orang itu walaupun dia sudah mengamuk dengan nekat. Dia dihajar jatuh bangun, dihujani pukulan dan tendangan sampai babak belur. Akan tetapi, Bun Houw tidak pernah mengeluh, Apalagi menyerah. Begitu terkena pukulan atau tendangan yang membuat dia jatuh tersungkur, dia bangkit lagi dan melawan dengan penuh semangat, seolah-olah tubuhnya yang sudah babak belur dan matang biru itu sama sekali tidak dirasakan nyeri!

Namun, tubuh tidaklah sekuat hati yang sudah nekat. Kekuatan tubuh ada batasnya, Apalagi tubuh Bun Houw yang sedang lemah karena kelaparan, kurang tidur dan dilanda duka nestapa itu. Ketika tangan si gendut yang memimpin lima orang itu menghantam dadanya, amat kerasnya sehingga mengeluarkan suara berdebuk, tubuh Bun Houw terjengkang dan dia muntahkan darah segar dari mulutnya. Dia mencoba untuk merangkak bangun, tidak lagi secepat tadi. akan tetapi pada saat itu, sebuah kaki dengan kerasnya menendang, mengenai punggungnya. Kembali dia terpelanting. dia berusaha bangkit kembali namun gagal dan roboh tenguling.

Pada saat itu terdengar bunyi tak-tok-tak-tok dan seorang laki laki berusia limapuluhan tahun datang menghampiri tempat itu. Dia memegang sebatang tongkat yang panjangnya kurang lebih tiga kaki. Tongkat inilah yang mengeluarkan bunyi tak-tok-tak tok itu karena dia pengunakan untuk memukul- mukul batang pohon di kanan kiri dan batu-batu di depan kakinya. Dari tongkat ini mudah diduga bahwa dia adalah seorang buta. Namun, dia dapat berjalan dengan cepat, dibantu tongkatnya yang meraba-raba dan memukul-mukul. 

"Hei!, berhenti! Jangan pukuli orang seperti itu!” teriak si buta ini dan kini dia berdiri di depan Bun Houw yang masih menggeletak dan tidak mampu melawan lagi, sikapnya melindungi pemuda itu dan dia menghadapi lima orang sambil mengangkat muka ke atas. Matanya terbuka akan tetapi hanya nampak biji mata yang putih!

Lima orang berkedok itu saling pandang, Tadinya mereka sudah merasa lega melihat pemuda yang bandel dan kuat itu roboh, dan ingin memukulinya sampai mati. Munculnya orang ini mengejutkan mereka, akan tetapi setelah melihat bahwa dia hanya seorang laki-laki buta, merekapun tidak merasa khawatir.

"Heii, orang buta! Minggirlah dan jangan mencampuri urusan kami!” bentak si gendut marah.

"Hemm, selamanya aku tidak mau mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi bagaimana mungkin aku tinggal diam saja melihat orang dipukul dan dikeroyok untuk dibunuh? Tidak, kalian tidak boleh memukuli orang ini tanpa sebab!”

"Orang buta tak tahu diri! Apakah engkau sudah bosan hidup? Pemuda ini adalah musuh kami. apakah engkau sudah gila hendak melindungi musuh kami?" bentak pula si gendut.

"Lopek mereka ini penjahat-penjahat yang telah membunuh ayahku dan ibuku, dan sekarang mereka hendak membunuh pula aku." kata Bun Houw membela diri walaupun dia tidak dapat mengharapkan pertlongan seorang buta. dia hanya ingin mengulur waktu agar kekuatannya pulih kembali sehingga dia dapat membela diri dan melawan sampai titik darah terakhir!” Mendengar ucapan Bun Houw, orang buta itu menggerakkan tongkatnya dengan tidak sabar. "Wah, wah! Kalau begitu lebih tidak boleh lagi kalian membunuh pemuda ini. Pergilah kalian dan jangan ganggu pemuda ini!” kata si buta.

"Toako, untuk apa mendengarkan ocehan orang buta ini? Kalau dia tidak mau minggir, pukul saja atau bunuh sekalian!” teriak seorang di antara mereka dan tanpa menanti jawaban pemimpinnya, dia sudah melangkah maju lalu menendangkan kakinya ke arah perut orang buta itu.

"Tukkkl Aduhhh ...!” Si penendang itu berloncatan dengan kaki kirinya sedangkan kedua tangan memegangi kaki kanan yang diangkat dan ditekuk lututnya ke belakang. Tulang keringnya seperti patah rasanya karena bertemu dengan tongkat tadi. Ketika dia merabanya, tulang kering betisnya itu menjendol besar, dan masih untung tidak patah.

Melihat ini, empat orang lainnya maju dan menyerang si buta dengan pukulan dan tendangan seperti yang mereka lakukan kepada Bun Houw tadi. Bukan tendangan dan pukulan ngawur melainkan gerakan silat yang teratur dan setiap serangan amat cepat dan kuat datangnya. Akan tetapi segera terdengar suara tak-tuk-tak-tuk dan empat orang itu semua terhuyung ke belakang sambil mengaduh aduh, ada yang memegangi kaki ada pula yang memegangi lengan yang tadi tertangkis oleh tongkat. Sungguh aneh sekali orang itu jelas buta. akan tetapi mengapa setiap pukulan dan tendangan para pengeroyoknya itu dapat ditangkisnya dengan amat tepatnya, menggunakan tongkat yang digerakkan secara aneh dan cepat bukan main itu? Bun Houw yang melihat peristiwa ini, melongo penuh keheranan. Kalau saja laki-laki itu tidak buta, tentu hal itu tidak mengherankan dan jelas bahwa orang itu merupakan seorang yang berilmu. Akan tetapi kalau kenyataannya dia buta, sungguh luar biasa sekali! Mungkinkah seorang buta memiliki ilmu kepandaian yang membuat dia sedemikian lihainya seolah olah pandai melihat saja?

Kini lima orang berkedok hitam itu sudah mencabut senjata mereka, yaitu masing masing memegang sebatang pedang. Bun Houw terkejut bukan main. Baru bertangan kosong saja, lima orang itu sudah begitu ganas dan kuat, apalagi bersenjata pedang. Diapun khawatir sekali akan nasib orang buta itu. Akan matilah orang itu disayat-sayat pedang dan dia tidak rela membiarkan orang tak berdosa ini harus tewas karena membelanya. Maka, sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Bun Houw melompat dan memegang lengan orang buta itu.

"Lopek, engkau cepat pergilah dari sini, jangan mencampuri urusanku agar engkau tidak tertimpa celaka!" Berkata demikian, Bun Houw mendorong orang itu ke samping dengan sekuat tenaga. Namun. bukan orang buta itu yang terlempar, sebaliknya dia sendirilah yang roboh terpelanting seperti dilanda angin keras, disusul suara orang buta itu.

“Orang muda, engkau minggirlah dan biarkan aku menghadapi mereka yang jahat ini."

Kini Bun Houw merasa semakin yakin bahwa orang buta ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biarpun jantungnya masih berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran, dia tidak bengerak lagi dan tetap mendekam di atas tanah di mana dia terpelanting dan melihat dengan mata terbelalak dan tidak berdaya.

Lima orang itu mengepung si buta dengan pedang di tangan. Seorang di antara mereka, yang buntung lengan kanannya itupun memegang pedang dengan tangan kiri, dan sikap mereka buas sekali karena mereka sudah marah bukan main. Orang buta itu berdiri di tengah, berdiri agak membungkuk, dengan muka tunduk dan tongkat ditangannya menyentuh tanah. Kepalanya agak miring dan nampaknya dia tidak berdaya sama sekali.

Lima orang sudah merasa pasti bahwa mereka akan dapat menyayat-nyayat tubuh si buta itu dalam waktu singkat, dan mereka sudah merasa penasaran dan sakit hati karena tadi dihajar sehingga menderita sakit sakit. Tiba-tiba si gendut yang menjadi pemimpin, melakukan gerakan pertama sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

"Mampuslah kau, orang buta!" Dan mereka berlima sudah menggerakkan pedang dalam saat yang hampir berbareng. Lima sinar pedang menyambar dari lima jurusan dengan cepat sekali dan Bun Houw sudah hampir memejamkan matanya karena tidak tahan dia melihat betapa tubuh itu akan hancur dan darah akan bertebaran. Akan tetapi, dia terbelalak. Terdengar suara melengking tinggi dan tiba-tiba saja nampaklah sinar kilat yang menyilaukan mata. Sinar kilat itu keluar dari tongkat si orang buta, dan kilat itu menyambar dahsyat, membuat lingkaran sinar yang melindungi tubuh si buta dan membabat lima gulungan sinar pedang yang menyerang tadi. Hanya terdengar suara berkerontangan nyaring disusul teriakan-teriakan kaget dan lima batang pedang itu telah patah patah dan lima orang penyerang itu sudah terhuyung ke belakang dengan muka pucat, memandang gagang pedang yang teranggat di tangan mereka, lalu terbelalak memandang si orang buta yang kini masih berdiri tegak dengan sebatang pedang yang berkilauan di tangan kanan! Kiranya tongkat tadi sudah dicabut dan di dalamnya terdapat pedang itu! Dari balik topeng hitam, lima orang itu saling pandang kemudian seperti menerima komando tanpa suara, mereka segera berloncatan melarikan diri dari tempat itu!

Kini baru Bun Houw yakin benar bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, walaupun kedua matanya buta. Maka, tanpa ragu lagi dia pun menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang buta itu. Dia sudah mengambil keputusan bulat untuk menghambakan diri sebagai murid kepada orang itu dengan penuh hormat dan harapan, diapun memberi hormat dan membentur- benturkan dahinya di atas tanah depan kaki si orang buta.

"Siancai (damai) ... apa yang kaulakukan ini, orang muda ? Bangkitlah dan jangan berlutut seperti itu!” Dengan sekali menggerakkan tangan, nampak sinar terang berkilat lalu lenyap dan tahu-tahu pedang itu telah menyusup kembali ke dalam tongkat dan kini dia menggunakan tongkatnya mencokel tubuh Bun Houw. Pemuda ini merasa tubuhnya terangkat yang memaksanya untuk bangkit berdiri, akan tetapi begitu tenaga yang dahsyat itu meninggalkannya, diapun cepat menjatuhkan diri berlutut lagi.

"Lo-cian-pwe, harap sudi mengampuni dan mengasihani saya. Lo-cian-pwelah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menrhaturkan terima kasih, Akan tetapi juga kesaktian lo-cian-pwe membuat saya mengambil keputusan untuk mohon menjadi murid lo-cian-pwe. Saya sudah yatim piatu dan sedang putus harapan dan seakan-akan Tuhan yang mengirim lo-cian pwe kepada saya, untuk membimbing saya ... "

"Hemmm, aku hanya seorang buta. Apakah yang dapat kuajarkan kepada seorang yang tidak buta? Apakah engkau hendak belajar berjalan dibantu tongkat dan meraba-raba ke kanan kiri ?" Dia menarik napas panjang.

Bun Houw yang sudah berlutut lagi itu berkata sungguh-sungguh, "Lo-cian-pwe memiliki kesaktian dan dengan mudah telah mengalahkan lima orang penjahat itu. Lo-cian-pwe pandai memainkan pedang yang disembunyikan di dalam tongkat. Teecu (murid) mohon diberi pelajaran ilmu pedang itu."

Si buta kembali menarik napas panjang. “Aih, ilmu pedang ? Apakah engkau ingin merajalela dengan pedang, membunuhi orang dan terutama sekali mencari lima orang itu untuk membalas dendam ? Siai-cai ... aku tidak mau mengajar orang menjadi pembunuh kejam dan menjadi hamba dari nafsu dendam kebenciannya sendiri, orang muda."

"Tidak sama sekali, lo-cian-pwe. Mengenai kematian ayah-ibu, sudah teecu pikirkan dengan panjang lebar dan mendalam. Teecu tidak akan menaruh dendam karena sejak dahulu ayah melarang teecu dilanda dendam. Teecu maklum bahwa ayah dimusuhi banyak orang karena ayah selalu menentang perbuatan jahat, sudah menakinkkan banyak sekali penjahat yang mengganggu orang lain di sekitar Nan-ping, bahkan dalam perkelahian menentang para penjahat, entah sudah berapa banyak penjahat dibunuhnya. Tidak, teecu maklum bahwa memang ayah tewas sebagai seorang pendekar melaksanakan tugas. Teecu ingin mengikuti jejaknya, ingin menjadi pendekar pembasmi kejahatan dan untuk itu, teecu membutuhkan kepandaian tinggi yang kiranya bisa teecu dapatkan karena kemurahan lo-cian-pwe."

Kini si orang buta itu tersenyum lebar, tangan kirinya dijulurkan dan jari-jari tangan kirinya menyentuh kepala pemuda itu. Jari-jari tangan itu kini meraba-raba muka Bun Houw, menyentuh seluruh permukaan wajahnya dan dia merasa betapa kulit jari-jari tangan itu amat halusnya dan mengandung getaran halus. Kiranya si buta itu hendak "mengenalnya" dan mengetahui bentuk wajahnya dengan cara meraba-raba. Kemudian, sekali tangan kiri itu memegang pundaknya dan menarik, Bun Houw tidak mampu bertahan dan diapun tertarik berdiri. Kini tangan itu terus menggerayangi tubuhnya, pundak, dada, pinggang, paha dan terus ke kaki.

"Bagus, engkau seorang pemuda yang tegap dan kuat. Berapa usiamu?" "Saya berusia limabelas tahun, lo-cian-pwe."

"Hemm, masih remaja. Dan siapa namamu? Ceritakan tantang keluargamu, dan tentang peristiwa terbunuhnya ayah bundamu."

"Nama saya Kwa Bun Houw dan orang tua saya bernama Kwa Tin, dikenal sebagai Kwa-enghiong di kota Nan-ping, berdagang dan memiliki sebuah toko kain. Ayah adalah seorang murid Siauw-lim-pai. Beberapa hari yang lalu, pada malam hari ketika saya tidak berada di rumah, agaknya rumah kami kedatangan lima orang penjahat itu yang menuntut balas. Mereka membakar rumah, mengeroyok dan membunuh ayah, kemudian menculik ibu dan akhirnya membunuh pula ibu setelah mereka menghinanya di sebuah hutan." dengan singkat namun jelas Bun Houw menceritakan betapa dia sudah tidak memiliki apa-Apalagi, bahkan dia menceritakan tentang sikap calon mertuanya yang begitu saja tanpa alasan memutuskan ikatan pertunangannya dengan Cia Ling Ay. Betapa kemudian dia pergi meninggalkan Nan-ping tanpa tujuan dan dengan hati merana sampai tiba di tempat itu dan dihadang lima orang penjahat itu.

Si buta mendengarkan penuh perhatian beberapa kali mengangguk-angguk.

"Bagaimana engkau bisa mengetahui hahwa lima orang tadi adalah mereka yang telah membunuh orang tuamu dan membakar rumahmu?" tanyanya. "Bukankah ketika peristiwa itu terjadi engkau tidak berada di rumah?"

"Benar, lo-cian-pwe. Akan tetapi dari jauh teecu melihat kebakaran itu. Teecu cepat pulang dan masih sempat teecu menerima pesan terakhir dari ayah sebelum dia meninggal. Dia hanya sempat berkata bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah lima orang berkedok hitam dan seorang di antara mereka buntung tangan kanannya, agaknya buntung ketika berkelahi mengeroyok ayah. Kelima orang tadi tepat seperti yang dikatakan ayah, bahkan mereka tadi sudah mengaku bahwa merekalah pembunuhnya, dan mereka hendak membunuh saya untuk membasmi rumput berikut akar-akarnya."

Si buta itu kembali mengangguk. "Jadi kalau begitu, engkau sudah tidak memiliki keluarga ataupun tempat tinggal lagi ?"

"Begitulah, lo-cian-pwe. Oleh karena itu, mohon kemurahan hati lo-cian-pwe ... "

"Hemm, sebetulnya aku tak pernah ingin mempunyai murid agar tidak harus mewariskan ilmu yang hanya dapat dipakai untuk membunuh orang. Akan tetapi agaknya memang sudah ditentukan oleh Tuhan bahwa aku, Tiauw Sun Ong, terpaksa harus meninggalkan Ilmu kepada seorang murid, yaitu engkau, Bun Houw."

Bun Houw segera menjatuhkan diri lagi berlutut dan mencium ujung sepatu orang buta itu. "Terima kasih, suhu! Teecu bersumpah bahwa teecu akan mempergunakan ilmu-ilmu dari suhu hanya untuk menentang kejahatan, seperti yang pernah dilakukan mendiang ayah teecu!”

"Hemmm ? Menjadi pendekar? Ingat bahwa ayahmu yang menjadi pendekar itupun akhirnya tewas di tangan orang-orang jahat!”

"Lebih baik tewas sebagai pendekar dari pada mati sebagai seorang jahat, demikian ayah selalu memesan kepada teecu. Matinya seorang pendekar di tangan penjahat berarti mati dalam menunaikan tugas yang amat gagah dan mulia bagi seorang manusia."

Si buta yang bernama Tiauw Sun Ong itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Ayahmu memang hebat dan aku kagum padanya. Adapun aku ... aku hanya seorang bangsawan yang terbuang ... "

"Suhu! Ketika mendengar nama suhu, teecu mengira bahwa suhu memiliki nama seperti seorang bangsawan tinggi, seorang pangeran ... jadi benarkah itu ?"

Si buta itu kembali menarik napas panjang dan diapun berkata lembut, "Bawalah aku kepada batu- batu yang enak diduduki. Bun Houw, agar kita dapat bicara dengan santai."

Bun Houw cepat memegang tongkat gurunya dan menuntun gurunya menuju ke kiri di mana terdapat batu-batu yang halus dan rata. Di situ mereka duduk berhadapan.

"Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa orang buta yang menjadi gurumu ini, Bun Houw. Dahulu sekali, kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu, aku adalah seorang pangeran yang hidup mewah dan mulia di istana kaisar. Kaisar adalah kakak tiriku, dia putera permaisuri sedangkan aku hanyalah putera selir. Akan tetapi kaisar amat sayang kepadaku, maka aku diberi kedudukan tinggi dan selalu dekat dengannya, membantu tugasnya di dalam Istana. Lalu godaan yang mendatangkan malapetaka itupun muncul dalam bentuk tubuh seorang selir kakakku, yaitu kaisar. Selir terkasih yang amat cantik jelita. Kami saling jatuh cinta dan terjadilah hubungan gelap yang mesra di antara kami. Aku seperti mabok, lupa bahwa wanita itu adalah selir terkasih dari kakakku. Kami berdua meneguk anggur larangan itu sepuasnya sampai mabok dan akhirnya akibat buruk itupun terjadilah. Kami tertangkap basah. Aku merasa menyesal dan malu. Kubutakan sendiri kedua mataku di depan kakakku, kemudian aku lolos dari istana. Entah apa yang terjadi dengan selir kakakku itu."

Bun Houw memandang wajah orang buta itu dengan hati penuh perasaan iba. Sungguh menyedihkan sekali riwayat gurunya ini. "Akan tetapi, suhu. Mengapa suhu melakukan penghukuman atas diri sendiri yang demikian hebatnya?”

Tiauw Sun Ong atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si Buta Dari Utara itu menarik napas panjang. "Begitulah orang muda seperti aku dahulu. Mudah tertarik, mudah jatuh cinta, mudah membenci, mudah gembira, mudah marah. Pendeknya mudah diombang-ambingkan perasaan dikemudikan napsu. Namun, penyesalan di belakang tiada gunanya. Aku hidup terlunta-lunta, bahkan ingin mati saja. Namun akhirnya aku bertemu dengan seorang tosu yang memberi banyak nasihat. Aku sadar, timbul pula gairah hidupku dan aku bahkan mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Demikianlah riwayat gurumu ini, Bun Houw."

Kemudian, guru dan murid itu pergi meninggalkan tempat itu, dan mulai hari itu. Bun Houw menerima gemblengan ilmu-Ilmu silat yang amat hebat dari Si Buta, terutama sekali ilmu lotok jalan darah. Ilmu tongkat dan Ilmu pedang yang amat dahsyat.

"Bun Houw, Ilmu pedangku ini memang merupakan ilmu pedang yang khas untuk orang buta. Oleh karena itu, untuk dapat menguasainya dengan sempurna, pada saat mempelajari dan melatih dirimu dalam ilmu silat pedang itu, engkau harus berlaku seperti orang buta, yaitu engkau sama sekali tidak mempengunakan daya penglihatanmu dan harus memejamkan kedua matamu!”

Biar pun di dalam hatinya Bun Houw merasa heran mengapa dia yang pandai melihat harus tidak mempengunakan penglihatannya, namun sebagai seorang murid yang patuh, dia selalu mentaati pesan gurunya itu. Setiap kali berlatih silat yang diajarkan gurunya, dia menutup kedua matanya, dan hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan indera lainnya. Bahkan di waktu tidak berlatih silatpun gurunya menganjurkan agar dia seringkali menutupkan kedua matanya dan mencoba untuk melakukan pekerjaan tanpa bantuan penglihatannya.

"Terutama untuk melatih ketajaman pendengaranmu," demikian gurunya memberi nasihat.

Dan akibatnya memang hebat. Hasilnya memang di luar dugaan. Setelah lewat beberapa tahun saja, panca indera yang lain dari pemuda itu menjadi tajam bukan main. Terutama sekali pendengarannya. Kalau dia berlatih bersama gurunya, dengan pendengarannya saja dia mampu mengikuti semua gerakan tubuh gurunya. Pendengarannya menjadi amat tajam, dan kepekaan tumbuh dengan amat suburnya di ujung Jari-jari tangan dan kakinya karena seringkah dipakainya untuk meraba-raba, penciumannya juga menjadi amat tajam. Bahkan perasaannya bertambah peka seolah-olah Indra ke tujuh bangkit dengan cepat karena kekurangan satu indera, yaitu mata.

Enam tahun lewat dengan cepatnya. Kini Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia duapuluh satu tahun, dan biarpun usianya itu masih amat muda, namun berkat gemblengan kepahitan hidup dia telah menjadi seorang dewasa yang telah matang. Selama enam tahun, hampir tak henti-hentinya dia menggembleng diri dengan latihan-latihan berat sehingga suhunya merasa amat gembira dan kagum. Dan dalam waktu enam tahun, Bun Houw telah dapat menguasai ilmu-ilmu suhunya dengan baik, bahkan hampir sempurna dan hampir dia dapat menandingi tingkat gurunya. Dan dia mampu hidup dalam dua macam dunia. Dunia terang, yaitu dengan membuka mata seperti orang biasa, dan dunia gelap, dunianya orang buta. Dia sanggup berhari hari lamanya terus menutupkan kedua matanya seperti orang yang benar-benar buta, tanpa merasa canggung ataupun sengsara karena inderanya yang lain sudah demikian tajam mampu menggantikan pekerjaan mata. Mungkin karena latihan tidak mempengunakan kedua matanya inilah maka Bun Houw kini memiliki mata yang seperti sayu dan dibuka sedikit saja, seperti mata orang yang menanggung duka nestapa, akan tetapi dari balik kelopak mata yang hanya dibuka sedikit itu nampak mata yang mencorong bagaikan kilat menyambar. Apalagi kalau sewaktu-waktu dia membuka kedua matanya agak lebar, nampaklah sepasang mata yang amat tajam!

Selain berlatih silat, setiap harinya Bun Houw bekerja di sawah ladang milik suhunya yang berada di belakang rumah. Mereka tinggal di tereng sebuah bukit. Bukit itu tanahnya subur sekali dan semua penghuni dusun-dusun di kaki bukit bersawah ladang di tereng bukit itu. Guru Bun Houw membeli sebidang tanah di tereng dan dengan bantuan muridnya mendirikan sebuah pondok untuk mereka berdua. Para penghuni dusun yang kesemuanya petani, mengenal mereka sebagai guru dan murid yang baik budi dan ramah, namun diliputi penuh rahasia.

Hasil sawah ladang yang dikerjakan Bun Houw dan gurunya sudah lebih dari cukup untuk keperluan hidup mereka berdua, untuk makan dan membeli pakaian. Bun Houw semakin kagum dan mencinta gurunya. Biarpun gurunya itu dahulunya seorang pangeran, hidup di istana indah dan dimuliakan orang, namun kini gurunya tak pernah mau ketinggalan menggarap sawah ladang, mencangkul, menanam bahkan memelihara dan ikut pula menuai hasilnya. Gurunya seperti seorang petani tulen! Karena setiap hari bekerja di ladang, maka Bun Houw memiliki kebiasaan seperti para petani lainnya di daerah itu, iyalah memakai sebuah caping lebar dan ringan terbuat dari pada bambu yang amat tipis. Caping lebar seperti itu, dengan tali melibat bawah dagunya, dapat melindunginya dari panas dan hujan, semacam payung kecil. Dan dia selalu mengecat capingnya dengan warna hitam.

Pada pagi hari itu, ketika matahari mulai terbit, Bun Houw sudah memakai capingnya dan memanggul sebuah cangkul, bertelanjang kaki dan dada. Nampak dadanya yang bidang, dengan kulit yang kecoklatan karena sering terbakar sinar matahari. Dia baru saja mandi di air sumber tak jauh dari pondok setelah pagi tadi, pagi sekali, dia sudah bangun, berlatih silat, memikul air dari sumber ke pondok memenuhi bak air, baru kemudian dia mandi.

Kini dia sudah siap pergi ke ladang. "Bun Houw ... !"

Gurunya sudah duduk di belakang pondok, di atas sebuah bangku lebar buatan Bun Houw yang menjadi tempat kesayangan gurunya untuk duduk menghirup udara segar.

Bun Houw terheran. Biasanya, pagi-pagi sekali suhunya sudah bangun akan tetapi duduk bersamadhi di dalam kamarnya, baru keluar setelah sinar matahari menerangi bumi. Akan tetapi kini gurunya sudah duduk di situ.

"Suhu!” Bun Houw menghampiri dan berlutut di depan gurunya. "Sepagi ini suhu sudah keluar?" "Mulai pagi hari ini, aku yang akan bekerja di sawah ladang, Bun Houw."

"Akan tetapi, setiap hari suhu juga bekerja di sawah ladang!”

"Hanya membantumu. Akan tetapi mulai hari ini, aku sendiri yang akan mengolah tanah karena engkau harus pergi dari sini."

"Akhh ... ?" Bun Houw terkejut bukan main mendengar ucapan gurunya itu. "Apa ... maksud suhu? Apakah suhu hendak mengutus teecu (murid) pergi turun bukit ke dusun?"

Orang buta itu menggeleng kepala. "Memang turun bukit, akan tetapi bukan ke dusun di kaki bukit itu, melainkan jauh dan tidak kembali lagi ke sini."

"Suhu ...!” Baru dia tahu bahwa suhunya bermaksud mengusirnya! "Teecu ingin tinggal bersama suhu di sini!"

"Ha-ha-ha, orang muda! Apakah engkau ingin selamanya di sini dan menjadi karatan di bukit ini? Kalau begitu, apa artinya engkau bersusah payah mempelajari Ilmu selama enam tahun ini? Sebatang cangkul diasah setiap hari sampai menjadi tajam sekali, apa artinya kalau tidak dipengunakan? Lupakah engkau akan cita-citamu untuk melanjutkan perjuangan ayahmu sebagal seorang pendekar yang melindungi kaum lemah tertindas, menentang penjahat yang jahat ?"

Bun Houw teringat dan wajahnya berubah merah. Memang, dia telah menjadi seorang yang berkepandaian cukup, akan tetapi bagaikan seekor jago, dia adalah seperti seekor jago yang selalu dikurung dan diberi makan enak-enak sehingga dia menjadi keenakan dan gemuk. Dan kini, suhunya mengingatkan dia akan cita-citanya yang seperti telah dilupakannya karena dia ingin hidup tenang dan tenteram, enak-enakan terus di tempat sunyi itu.

"Maaf, suhu. Teecu tidak bermaksud melupakan cita-cita itu, hanya saja ... bagaimana teecu tega meninggalkan suhu hidup seorang diri saja di tempat ini ? Siapa yang akan melayani suhu, siapa yang akan mengerjakan sawah ladang suhu?"

"Bun Houw, kaukira aku ingin menjadi seorang tua yang dimanjakan? Bukankah setiap hari aku juga bekerja? Apa sih sukarnya mencukupi kebutuhan badanku ini ? Jangan khawatir, aku akan tetap dapat hidup di sini, biarpun tidak ada engkau. Aku mengambilmu sebagai murid bukan untuk mendapatkan seorang pembantu dan pelayan!”

"Maafkan kelancangan teecu, suhu!” Bun Houw berkata, terkejut karena suhunya seperti orang yang tersinggung.

Tiauw Sun Ong menghela napas dan mengelus jenggotnya. "Sudahlah, kini pelajaranmu sudah tamat dan sudah tiba saatnya engkau harus merantau dan mempengunakan segala Ilmu yang kaupelajari di sini. Bawalah semua pakaianmu dan aku tidak dapat memberi bekal apa-apa kecuali ini." Dia menyerahkan sebuah kantung kain kuning kepada Bun Houw. Ketika pemuda itu menerimanya, dia terkejut melihat isi kantung itu karena ternyata berisi uang emas, sedikitnya ada sepuluh tail banyaknya!”

"Ah, untuk apa emas ini, suhu? Begini banyak ... "

"Aku masih mempunyai yang lain. Bun Houw. itu milikku yang kubawa dari Istana dahulu. kausimpanlah, dapat kaupengunakan untuk biaya hidup. Ketahuilah, dalam perantauan engkau amat membutuhkan uang, tidak seperti di sini engkau dapat hidup dari hasil tanah. Dan engkau terimalah pusakaku ini, pergunakan sepatutnya karena selama berada di tanganku, Lui-kong-kiam (Pedang Kilai) ini tak pernah kupengunakan untuk melakukan kejahatan, bahkan tidak pernah membunuh orang!” Dia menyerahkan tongkatnya yang kelihatan butut itu, akan tetapi yang di sebelah dalamnya tersembunyi sebatang pedang pusaka yang ampuh.

"Terima kasih, suhu!” Sekali ini Bun Houw girang bukan main. Tentu saja pedang itu tidak asing baginya. Ketika dia digembleng ilmu pedang oleh gurunya, pedang Lui-kong-kiam itulah yang dia pengunakan untuk berlatih. Setelah menerima uang dan pedang dari suhunya, dan diberi wejangan agar dia berhati hati dalam perantauannya, dan juga diberi tahu tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang diketahui suaranya, maka Bun Houw berangkat meninggalkan tereng bukit itu, memanggul buntalan pakaian dan menyelipkan tongkat butut berisi pedang itu di pinggangnya. Caping lebar hitam itu tidak ketinggalan, akan tetapi karena hari masih pagi dan matahari belum panas, caping itu tengantung di punggung menutupi buntalannya.

***

Cia Kun Ti juga seorang pedagang yang cukup berhasil di kota Nan-ping. Akan tetapi dia bekerja terlalu keras. Hal ini mungkin karena dia merasa rendah diri terhadap isterinya. Cia Kun Ti dahulunya adalah seorang karyawan dari ayah isterinya dan dia diambil mantu oleh majikannya itu. Setelah dia membuka toko sendiri, tentu saja modalnya adalah milik isterinya dan dia hanya mengerjakannya saja. Maka diapun bekerja keras sehingga makin lama tokonya menjadi semakin maju. Akan tetapi, tetap saja dia merasa rendah diri dan selalu tunduk di bawah kemauan isterinya yang menguasai segalanya. Urusan apapun yang timbul dalam rumah tangga dan keluarga mereka, selalu keputusan terakhir berada di tangan isterinya! Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Cia Ling Ay, yang seperti kita ketahui, ketika terjadi malapetaka menimpa keluarga Kwa, usianya empa belas tahun, Isteri Cia Kun Ti pulalah yang memaksa suaminya agar pertunangan antara Ling Ay dan Bun Houw diputus, dibatalkan! Hal ini amat menyedihkan hati Ling Ay yang merasa kasihan kepada Bun Houw, juga diam-diam Cia Kun Ti menderita tekanan batin karena dia merasa berdosa kepada mendiang Kwa Tin, sahabat baiknya. Mereka telah saling mengikat perjodohan antara anak mereka itu, dengan sumpah, akan tetapi ketika keluarga Kwa dilanda malapetaka dan Kwa Bun Houw menjadi yatim piatu dan kehilangan segalanya, dia tidak dapat mengulurkan tangan menolong calon mantu itu, bahkan memutuskan ikatan perjodohan!”

Ketika datang pinangan dari Cun-taijin, kepala daerah yang meminang Ling Ay untuk dijodohkan seorang puteranya, isteri Cia Kun Ti pula yang mendesak agar suaminya menerima pinangan itu tanpa banyak pikir lagi, "Perlu apa kita bersangsi lagi? Kita seolah-olah kejatuhan bulan purnama! Sungguh, Tuhan telah memberkahi kita, memberkahi anak kita. Cun Tai-jin (Pembesar Cun) adalah orang nomor satu di Nan-ping! Dia bagaikan seorang raja saja di kota ini, orang yang paling berkuasa. Bukan hanya itu. Juga keluarga Cun selain berpangkat tinggi, mereka kaya raya pula. Kalau kita menjadi besan mereka, berarti nama keluarga kita akan terangkat tinggi, kita dihormati orang, dan anak kitapun hidup dalam kemuliaan dan kemewahan!” demikian antara lain isteri Cia Kun Ti mendesak suaminya.

"Akan tetapi, yang akan menikah adalah Ling Ay. Sudah sepatutnya kalan kila mendengar dulu pendapatnya, ia adalah anak tunggal kita, senangkah hatimu kalau kelak melihat Ia hidup menderita

?"

"Menderita? Menderita bagaimana maksudmu? Engkau tentu sudah mengenal siapa itu Cun Kongcu (Tuan Muda Cun). Dia masih muda, dia pun ganteng dan tampan, pandai, bangsawan, kaya raya. Mau Apalagi ? Semua orang tua ingin mempunyai mantu dia, semua gadis ingin mempunyai suami seperti dia! Dan engkau masih banyak rewel ? Kita harus bersembahyang ke semua kuil, mengucap syukur dan terima kasih kepada Thian bahwa anak kita yang dipilih oleh Cun Kongcu!”

UCAPAN isteri Cia Kun Ti itu memang tidak keliru. Cun Kongcu, atau nama lengkapnya Cun Hok Seng, adalah seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan. Ayahnya, kepala daerah Cun yang menjadi orang paling berkuasa di kota Nan-ping dan yang mencalonkan putera dan anak tunggal itu menjadi pembesar kelak, telah memberinya pendidikan sastra sehingga Cun Hok Seng menjadi seorang terpelajar yang dikagumi banyak gadis dan orang tua mereka.

Pertemuan antara Cun Hok Seng dan Cia Ling Ay terjadi secara kebetulan saja. Ketika itu, Cia Ling Ay ikut dengan ayah dan ibunya pergi ke kuil untuk bersembahyang. Hal ini terjadi atas permintaan Ling Ay yang diam-diam bermaksud untuk sembahyang memintakan berkah dan perlindungan untuk Kwa Bun Houw yang telah pergi selama empat tahun lebih dan tidak ada beritanya. Biarpun ia tahu bahwa tidak mungkin tali perjodohan antara mereka disambung lagi, namun ia merasa kasihan kepada bekas tunangan itu dan akan merasa ikut gembira kalau pemuda itu berada dalam keadaan selamat.

Ling Ay telah berubah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis, berusia delapanbelas tahun, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak mengharum. Ketika ia dan ibunya memasuki kuil, banyak pasang mata memandangnya penuh kagum, terutama sekali mata pria muda yang kebetulan berada di tempat itu. Sudah menjadi kebiasaan buruk para pemuda, kalau mereka sedang bergerombol dan melihat seorang wanita cantik, tentu timbul keinginan mereka untuk menggoda. Demikian pula dengan enam orang pemuda yang kebetulan berada di halaman kuil itu. Begitu melihat Ling Ay dan ibunya, mereka sejak tadi sudah memandangi gadis itu penuh kagum, saling bisik dan tersenyum-senyum. Kemudian, merekapun menghampiri Ling Ay dan ibunya, sengaja mereka menghadang.

"Nona, bolehkah kami menemani nona bersembahyang!” "Apakan nona hendak bersembahyang mencari jodioh?”

"Tak usah mencari jauh-jauh, nona. Pilihlah seorang di antara kami!”

Mereka itu menggoda sambil menyeringai. Wajah Ling Ay berubah merah, kemudian pucat karena merasa jerih dan khawatir kalau kalau para pemuda itu akan mengganggunya, Nyonya Cia Kun Ti memandang dengan mata melotot dan wajah berubah merah padam. Ia marah sekali.

"Kalian ini orang-orang muda sungguh tidak sopan dan kurang ajar! Belum saling mengenal kalian sudah berani mengajak anakku bicara." bentaknya marah.

"Aduh, bibi! Galak amat kepada calon mantumu." "Bibi, sekarangpun berkenalan kan belum terlambat," "Anak bibi sungguh manis sekali!”

Pada saat itu, muncullah Cun Hok Seng. Dengan alis berkerut pemuda yang juga hendak bersembahyang ini melihat dan mendengar sikap lima orang pemuda berandalan itu dan dia cepat menghampiri, lalu menegur dengan suara garang.

"Sungguh tidak tahu malu sekali! Kalian ini orang-orang tidak tahu susila, hendak mencemarkan kesucian kuil ini?"

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan berani mencampuri lima orang berandalan itu hendak marah. Akan tetapi mereka meiihat dua orang pengawal berpakaian perajurit yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, berwajah keren berada di belakang pemuda itu dan mereka melotot marah. Melihat ini, mereka menjadi jerih, Apalagi ketika seorang di antara mereka mengenal Cun Hok Seng. Dia cepat memberi hormat dan berkata dengan suara merendah.

"Kiranya Cun Kongcu! Maafkan kami, kami hanya ingin berkenalan dan bersendau gurau.”

"Bukan begitu caranya orang yang ingin berkenalan. Hayo kalian pergi dari sini, atau ingin kusuruh tangkap dan seret ke pengadilan?"

Lima orang itu kini ketakutan karena yang lain kini mengenal pula pemuda itu sebagai putera kepala daerah! Mereka cepat memberi hormat lalu pergi meninggalkan kuil tanpa berkata apapun.

Itulah awal perjumpaan Cun Hok Seng dan Ling Ay. Ibu Ling Ay cepat menghaturkan terima kasih dan bersama puterinya memasuki kuil untuk bersembahyang. Sedangkan Cun Hok Seng terpesona dan sampai lama dia berdiri bengong saja. Akhirnya, dua orang pengawalnya yang menyadarkannya dan dari pengawal itulah Hok Seng tahu bahwa gadis yang membetot sukmanya tadi adalah puteri dari Cia Ku Ti, seorang pedagang di Nan-ping. Dan kemudian, kepala daerah mengutus seorang perantara untuk mengajukan pinangan setelah beberapa kali puteranya minta agar dijodohkan dengan puleri Cía Kun Ti itu. Ketika pinangan itu diajukan, Cia Kun Ti tidak segera menerimanya melainkan minta waktu untuk berpikir-pikir dan hal inilah yang membuat isterinya marah-marah setelah perantara itu pulang. Watak Cía Kun Ti berbeda dengan isterinya. Dia lama sekali tidak memikirkan kepentingan diri sendiri menghadapi perjodohan puterinya, melainkan dia mementingkan kebahagiaan puterinya. Bagaimana dia dapat menerima pinangan begitu saja tanpa lebih dulu mengetahui bagaimana pendapat puterinya, orang yang akan melaksanakan atau menjalaninya? Namun, keraguannya ini membuat isterinya marah-marah sehingga ia mengomel dan memaksa agar suaminya menerima pinangan itu.

"Baiklah ... aku segera akan memberi kabar kepada Cun Tai jin dan menerima pinangannya itu dengan hormat. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memberitahu kepada anak kita." Tanpa menanti ucapan isterinya lebih lanjut, Cia Kun Ti lalu memanggil puterinya.

Cia Ling Ay yang sedang sibuk di dapur bersama seorang pembantu rumah tangga, segera keluar dan menuju ke ruangan duduk di mana ayahnya dan ibunya sudah duduk menantinya. Melihat wajah kedua orang tuanya; itu nampak bersungguh-sungguh, ia lalu duduk di dekat Ibunya.

"Ada urusan apakah ayah memanggilku,” tanyanya.

"Ling Ay, kami memanggilmu untuk minta pertimbanganmu tentang ... "

"Bukan minta pertimbangan, melainkan untuk menyampaikan berita yang amat membanggakan hati kepadamu, Ling Ay." isteri Cia Kun Ti memotong ucapan suaminya. "Kita telah kedatangan seorang utusan dari keluarga Cun Taijin, anakku. Engkau tahu, yang kumaksudkan dengan Cun Taijin adalah kepala daerah di kota ini. Orang nomor satu di sini, paling berkuasa, paling kaya, paling terhormat ... "

"Ada urusan apakah dengan kita, ibu ?"' Ling Ay memotong Ibunya agar rangkaian kata ‘yang paling’ itu tidak berkepanjangan.

"Urusannya ? Engkau tentu tidak pernah dapat menduganya, atau mungkin engkau sudah bermimpi kejatuhan bulan ? Aih, anakku yang manis, sungguh hati ibumu penuh dengan kebanggaan dan suka cita. Tahukah engkau mengapa Cun Taijin mengirim utusan ke sini ? Untuk meminangmu!" Ibu itu sambil tersenyum bangga memandang wajah puterinya.

Akan tetapi Ling Ay mengerutkan alisnya dan ia nampak kaget sekali. "Meminang aku ...?”

"Ya, engkaulah yang dipilih, anakku! Dan engkau tentu masih ingat. Pemuda yang ganteng itu, yang sopan santun dan menolongmu, di kuil itu. Dialah yang akan menjadi suamimu. Dia itu Cun Kongcu, putera tunggal Cun Taijin. Wah, engkau akan menjadi wanita yang paling mulia di kota ini!”

Akan tetapi, wajah gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan seperti ibunya. Bahkan ia mengerutkan alisnya karena pada saat itu terbayanglah wajah Kwa Bun Houw, terbayang ketika pemuda itu meninggalkan rumahnya dengan muka pucat dan kepala menunduk. Empat tahun yang lalu. ia masih seorang gadis remaja berusia empat-belas tahun. Sampai sekarang pun ia tidakk pernah dapat melupakan Bun Houw. pemuda yang pernah menjadi tuuangannya itu. Ia tidak pernah tahu apakah ia mencinta Bun Houw, karena ketika mereka ditunangkan, ia masih kecil dan ia masih belum mengerti benar apa artinya cinta. Akan tetapi buktinya, sampai sekarang ia tidak pernah dapat melupakan Bun Houw, walaupun setiap kali teringat, yang terasa olehnya hanyalah perasaan iba yang mendalam.

Ia selalu membayangkan betapa sakit perasaan hati pemuda itu ketika meninggalkan rumahnya, dan ia tidak tahu apa yang terjadi dengan pemuda itu yang telah kehilangan segala-galanya. Orang tuanya, harta miliknya bahkan tunangannya!

"Ling Ay, bagaimana pendapatmu dengan pinangan itu?" pertanyaan ayahnya ini menyadarkan Ling Ay dari lamunan. Lenyaplah bayangan wajah Bun Houw dan kini samar-samar ia teringat kepada pemuda yang pernah menegur para pemuda berandalan di kuil itu. Seorang pemuda yang memang tampan dan sopan, pikirnya, akan tetapi sama sekali ia tidak pernah merasa tertarik. Bahkan kini berita bahwa pemuda itu adalah putera tunggal Cun Taijin, dan telah meminangnya, tidak membuat hatinya merasa tertarik sama sekali.

"Ling Ay, kami telah menerima pinangan itu dengan hati gembira dan bangga sekali. Kami yakin engkaupun temu akan menjadi gembira. Bayangkan saja. Engkau akan hidup di dalam gedung seperti istana, dilayani banyak pelayan, dijaga pasukan pengawal, dihormati orang seluruh kota, hidup bermewah-mewahan dan mulia, naik turun kereta, mengenakan perhiasan lengkap dari emas permata ..." "Sudahlah, ibu. Kalau memang ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, untuk apa ditanyakan lagi kepadaku?"

"Aih, anakku, jadi engkau setuju?" Ibunya merangkulnya dengan gembira.

Akan tetapi, Cia Kun Ti memandang puterinya dengan penuh perhatian. "Anakku, mengapa engkau tidak gembira mendengar bahwa engkau akan menjadi mantu kepala daerah? Apakah engkau tidak setuju? Nyalakanlah pendapatmu agar hati ayah ibumu menjadi lega."

"Aih, Ingin pernyataan Apalagi? Anak kita tidak menolak, itu berarti ia sudah setuju. Ia tidak begitu bodoh untuk menolaknya! Menolak pinangan kepala daerah? Wah, hanya orang-orang gila yang akan menolak keberuntungan seperti itu!" kata isterinya.

Ling Ay melepaskan dirinya dari rangkulan ibnnya, lalu ia mundur selangkah, memandang wajah ayah dan ibunya dan betapa heran rasa hati orang tua gadis itu melihat bahwa kedua mata gadis itu basah. Ayahnya makin ragu, mengira bahwa anaknya tidak setuju maka menangis, sebaliknya ibunya mengira gadisnya menangis saking bahagianya!”

"Ayah dan ibu, apa yang harus kukatakan lagi? Apa artinya pendapat pribadiku dalam saat ini? Kalau ayah dan ibu sudah menerima pinangan itu, sudah menyetujui, dapatkah aku menolaknya? Maka, terserah saja kepada ayah! dan ibu ... "

"Tapi kau ... kau menangis? Ling Ay, mengapa engkau berduka?" tanya ayahnya.

"Engkau ini sungguh bodoh! Anak kita menangis saking gembiranya, bukan karena bersedih!” Ling Ay memejamkan kedua matanya karena air matanya kini turun semakin deras.

"Ayah dan ibu ... " Ia mengusap air mata dengan saputangan. "Aku ... aku ... teringat! kepada koko Kwa Bun Houw dan merasa kasihan sekali kepadanya ... " Dan iapun lari meninggalkan ruangan itu, memasuki kamar sendiri.

Suami isteri itu saling pandang. "Ah, kiranya ia masih teringat kepada anak yatim piatu miskin itu?" kata isteri Cia Kun Ti, lalu ia menyerang suaminya. "Ini semua salahmu! Engkau bertanya yang macam-macam saja!” Wanita itu lalu lari ke kamar anaknya dan mengetuk-ngetuk pintu kamar itu yang dikunci dari dalam. Akan tetapi ia mendengar suara Ling Ay.

"Ibu, biarkan aku sendiri. Aku sudah menerima kehendak ibu, jangan ganggu aku lagi. aku ingin beristirahat ... " Ibunya terpaksa pergi dan mematuki kamarnya sendiri sambil bersungut-sungut.

Cia Kun Ti yang ditinggal seorang diri di ruangan duduk, lalu menghela napas panjang. Dia ikut merasa sedih kalau-kalau anaknya itu berduka dan hanya menerima perjodohan itu karena terpaksa saja. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang bahwa puterinya itu ternyata seorang yang berbudi baik, tidak pernah melupakan bekas tunangan yang diperlakukan dengan tidak adil dan semena-mena itu. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu dan pertunangan dengan Kwa Bun Houw itu sudah putus, pemuda itu sudah bertahun-tahun tidak pernah ada beritanya, Apalagi sekarang dia harus menerima pinangan putera kepala daerah. Teringat ini, diapun cepat berkemas untuk mengenakan pakaian yang pantas karena dia harus berkunjung ke rumah keluarga kepala daerah untuk menyampaikan persetujuannya atas pinangan itu.

***
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar