Kesatria Berandalan Bab 6

Bab 6

Malarat dikampung orang. Disandera, diikat, diringkus. Langit baru tampak memutih. Lie Ta-gu bersama 4 orang temannya mengantar Kie Yam-ke sampai ujung jalan kampung, terasa engggan benar untuk berpisah.

Kie Yam-ke mengepuk pundak Lie Ta-gu berkata dengan amat berat:

"Ta-gu, tunggu setelah masalah ini berlalu. Aku pasti kembali lagi kemari, kita minum lagi sampai sepuas- puasnya!"

Lie Ta-gu membelalakan mata, terus memandang Kie Yam-ke. Baru dengan suara rendah berkata:

"Betul Yam-ke, aku pasti menunggumu pulang untuk minum bersama"

Percakapan yang pendek ini sudah mencakup semua kehangatan, perhatian dan harapan di dalamnya.

Kie Yam-ke orang yang amat perkasa hatinya terharu, air mata sudah berlinang, dia sekuatnya menahan perasaan yang bergejolak:

"Ta-gu, selamat tinggal, jaga dirimu baik-baik!" Lie Ta-gu pun berujar dengan nada berat: "Selamat jalan Yam-ke!"

Sambil menepuk pundak Lie Ta-gu memandangnya dalam-dalam, Kie Yam-ke berpamitan dengan 4 orang temannya, Kie Yam-ke memutar tubuh, tanpa bersuara pergi secepatnya dengan langkah yang mantap!

Lie Ta-gu berdiri tidak bergerak memandang Kie Yam-ke tambah lama tambah jauh. Tiba-tiba dia memekik keras:

"Yam-ke, ingat aku menunggu janjimu!" Kie Yam-ke yang terus bertahan tidak mau memalingkan kepala, akhirnya tidak tahan memutar rubuh dan mengangkat tangan menyahut:

"Aku pasti pulang!"

Menyongsong matahari yang mulai nampak, hati Yam- ke terasa amat berat tapi langkahnya tetap gesit dan terus berjalan cepat. Jujur saja dia juga tidak ingin berpisah dengan teman yang amat setia, teman yang sejati.

Seorang diri kesepian, dia terus berjalan, masa lalu terus bermunculan dalam pikirannya, dari orang tua yang meninggalkanya, saudara-saudara yang amat baik pada dirinya, Siau-ih yang suka padanya sayang dicelakai oleh Kian Ta. Berpikir dan berpikir terus, berjalan sambil berpikir, hampir saja dia menubruk seseorang.

Untung saja dia masih sempat berhenti, maka lidak sampai menubruk orang yang berdiri di tengah jalan ini.

Kie Yam-ke ingin sekali berkata "Maaf!", begitu melihat orang setengah umur yang memandang dirinya dengan bengis sambil tertawa sinis. Dia pun menelan kembali perkataan maaf yang sudah dimulut. Dia mundur selangkah, dengan dingin memandang orang yang berdiri di tengah jalan ini.

Orang setengah umur ini mengenakan jubah sutra ungu, rambutnya pun diikat dengan kain ungu, pinggang bersoreng sebilah pedang panjang. Mukanya pulih kelimis dan pantas seperti seorang terpelajar yang kalem dan sopan, kalau matanya tidak bersorot keji.

Memang Kie Yam-ke tidak banyak bergerak di sungai telaga, tapi selalu bergumul dengan para gembel dan gelandangan, orang yang macam apa yang dia tidak pernah lihat? Tentu saja dia mampu membedakan orang di depan mata ini yang seperti kalem dan sopan. Dia bukan orang yang terpelajar yang tulen. Tapi seorang pesilat, pesilat yang akan mengancam dirinya, ini semua terlihat dari sinar matanya.

Dalam hati Kie Yam-ke penuh perhitungan, dia tidak mau berbicara, diam berdiri menunggu orang setengah umur ini membuka mulut duluan.

Setelah tertawa keji orang setengah umur itu dengan sinis, ringan dan pelan berkata:

"Pasti kau yang bernama Kie Yam-ke itu?"

Kie Yam-ke tahu masalah yang akan menimpa dia lagi, maka dengan lantang berkata:

"Tentu anda demi 50 ribu tail perak kemari mau memenggal kepalaku bukan?"

Orang setengah umur itu tertawa ngakak: "Anda betul, aku mau memengggal kepalamu!"

"Siapa namamu?" Kie Yam-ke ingin tahu jati dirinya. "To Giam-Lian!" orang itu berkata sekata-sekata.

"Si-jit-kiam (Pedang panah matahari) To Giam-Lian!" Kie Yam-ke berkata lepas, "Apa kabar?"

"Si-jit-kiam" To Giam-Lian sebuah nama yang amat tenar di dunia persilatan. Dia termasuk pesilat utama dari pesilat kelas satu. Si-jit malang melintang si selatan dan utara sungai besar, 2 pesisir Huang-ho (sungai kuning) tidak pernah menemukan musuh yang seimbang, dia benar-benar seorang tokoh yang lihai.

Ketika di ibu kota Kie Yam-ke pernah mendengar nama ini, tapi tidak pernah bertemu, maka meskipun sudah bertemu dia tidak mengenalinya. "Kalau sudah tahu aku To Giam-Lian, tentu mengerti aturanku!" kata To Giam-Lian dengan sombong, "Kie Yam- ke aku menghargaimu seorang laki-laki, aku tidak mau mempersulitmu, kau lakukanlah sendiri!"

Dengan mantap Kie Yam-ke berkata: "Nama Si-jit-kiam To Giam-Lian memang seram, tapi aku Kie Yam-ke tidak takut, kau mau memengggal kepalaku, silahkan coba saja!"

Betul To Giam-Lian master di dunia persilatan, tapi Kie Yam-ke tidak dapat menghargai dia, demi uang S0 ribu tail perak sampai mau membunuh dirinya, dia merasa lawan amat tidak bijak dan tidak bermoral, sehingga perkataan dia tidak seramah tadi lagi.

To Giam-Lian tertawa panjang 3x ke langit, suara tertawanya merdu dan bergema tidak berhenti sampai Lima, tentu saja tenaga dalamnya amat kuat:

"Kalau begitu aku terpaksa melakukannya sendiri" perkataannya amat meremehkan Kie Yam-ke.

Sulit menyalahkan dia memandang remeh Kie Yam-ke, sebab dia mengira seorang pemuda gembel, sebaik apapun kungfunya tentu amat terbatas, kalau dia ndah mendengar "Kai-san-liok-teng" saja kalah oleh Kie Yam-ke, pasti dia tidak akan semena-mena begini.

Kie Yam-ke paham To Giam-Lian tidak mudah di hadapi. Dia mengambil nafas panjang, mengeluarkan mistarnya dan dipegang erat-erat, dengan tawar berkata

"Coba saja!"

Tergesa-gesa To Giam-Lian mencabut pedang panjangnya, memasang sebuah gaya pedang sambil berkata:

"Berhati-hatilah!" Pedangnya mulai bergerak, suara pedangnya berderu- deru seperti kilat menusuk muka Kie Yam-ke.

Pedang belum tiba sudah terasa ada hawa dingin yang menyambar, sinar pedang yang berkelebatan itu membuat mata Kie Yam-ke kabur.

Kie Yam-ke tidak bergerak, dia menunggu setelah ujung pedang sudah amat dekat kemukanya. Sesudah memastikan tidak ada lagi gaya pedang To Giam-Lian, dan tidak ada lagi perubahan, baru dia mengangkat mistarnya menahan.

Mistarnya bagaikan kilat menempel di antara alis langsung diangkat "Crriiinggg..!!" terdengar suara nyaring dan merdu bergema. Mistar itu dengan tepat menahan ujung pedang yang menusuk dari To Giam-Lian.

To Giam-Lian tertawa rendah, pedang panjang di tarik sedikit lalu ditusukan kembali.

Kie Yam-ke bungkam tidak bersuara, dalam kelebatan sinar hitam, berturut-turut menahan 32 tusukan pedang lawannya.

Selanjurnya mistar Kie Yam-ke bagaikan naga hitam yang muncul dari dalam gua juga seperti awan gelap bergulung-gulung sangat cepat, lansung menotok tenggorokan To Giam-Lian

Ternyata To Giam-Lian tidak bisa menahan mistar Kie Yam-ke. Tidak ada jalan lain, dia terpaksa mundur dan meloncat.

Kie Yam-ke tidak mengejar dalam kesempatan ini. bayangan hitamnya menyusut, dia tetap berdiri di tempat, bersoja pada To Giam-Lian yang telah mundur beberapa meter jauhnya, katanya: "To Tayhiap, kita hentikan sampai di sini saja, bagaimana?"

To Giam-Lian sama sekali tidak terduga hanya dibalas satu jurus sudah membuat dia mundur beberapa meter jauhnya, diam-diam dia kagum dan terkejut sekali. Saat akan melancarkan jurus Si-jit-kiam yang membuat dia mendapat nama harum, tidak disangka Kie Yam-ke malah mengajak dia berhenti, dia terkejut dan tertawa panjang seraya berkata:

"Kie Yam-ke, rupanya aku salah melihat, terlalu memandang rendah dirimu, tidak terduga kau seorang jago yang membenamkan diri dalam gembel-gembel, hari ini aku mesti mencobanya"

Selesai berkata, dia memainkan pedang maju mendesak. Kie Yam-ke terpaksa melayaninya dengan ekstra hati-

hati.

ooo0dw0ooo

Tiba-tiba siulan panjang menggema. To Giam-Lian, orang dengan pedang bagaikan sinar mentari menyorot keras, ganas dan cepat menusuk kepada Kie Yam-ke.

Kilauan pedang yang tajam mula-mula seperti di ikat, lalu terbencar kemana-mana bagaikan sinar matahari yang terik menyirami bumi, sekujur tubuh Kie Yam-ke dari atas kebawah semua terkurung di dalamnya.

Kie Yam-ke bersiul ringan, dia bergeser selangkah, mistarnya di gerakan menari-nari bagaikan ahli sulap, menimbulkan riak ribuan gelombang bintik-bintik hitam, menyonsong dan menantang berjuta-juta titik kilatan pedang yang ganas. Kilatan cahaya terang yang menyilaukan mata berseliweran dan beradu dengan bintik-bintik hitam yang semarak, bagaikan manikam yang melorot jatuh ke dalam piring kemala menimbulkan suara logam beradu yang renyah dan jernih beruntaian yang sambung menyambung.

Hanya dalam satu kali bentrokan ini saja, keduanya sudah mengeluarkan beratus-ratus jurus pedang dan mistar.

Mula-mula bintik hitam beradu dengan kilauan terang masih dapat terlihat rupa kedua orang ini, selanjurnya tubuh kedua orang ini lenyap menyatu dengan bintik-bintik hitam dan kilauan cahaya terang itu.

Terlihat bintik-bintik hitam dan kilauan terang saling bergumul. Berputar-putar dengari cepat menari-nari keatas kebawah, dilihat sekilas bagaikan naga hitam dan naga putih sedang bertarung dan bergulung-gulung indah dan menabjubkan sekali.

Saat keduanya bertarung sengit, tidak henti hentinya terdengar suara logam bentrok yang terus menerus, lama kelamaan tiap mengeluarkan suara logam beradu selalu keras, jernih dan mantap seperti gada sekali-sekali memukul diatas pelat besi.

Dari suara-suara yang timbul itu dapat diduga, keduanya mengerahkan tenaga dalamnya, tidak saja pertarungan jurus, juga pertarungan tenaga dalam.

Suara bentrokan terus terdengar, tiap pukulan menggetarkan hati, bintik-bintik hitam dan kilauan cahaya terang saling bergumul, berputar cepat dan menari-nari, sedikitpun tidak mengendur.

Pertarungan dan pergumulan sudah sampai puncak titik didih tertinggi! Tiba-tiba dalam suara bentrokan yang keras dan berat itu, cahaya yang menyilaukan melejit dan terlontar bagaikan roda berputar, menggelinding mengeluarkan cahaya terang di tanah, setelah berhenti sejenak, kembali melayang miring, menyembur lagi keatas seperti pelangi meluncur, menggoreskan seberkas kilauan yang amat terang bagaikan meteor melayang di udara, secepat halilintar menyambar pada Kie Yam-ke yang berdiri tegak, padahal baru saja dia menarik kembali mistarnya yang menebarkan bintik-bintik hitam itu.

Kie Yam-ke melirik pada seberkas cahaya yang berkelebatan secepat halilintar datang menyambar padanya, matanya menyorot sinar tajam, tubuhnya langsung melambung, begitu kakinya menghentak dia sudah melambung setinggi 2 meter, lalu melepaskan pukulan sambil melipat kakinya, segumpal angin pukulan segera membungkus sekujur tubuhnya dari atas sampai ke bawah, tubuhnya seperti berhenti di udara, tidak melorot turun!

Cahaya terang akibat dari perubahan ilusi tubuh dan pedang To Giam-Lian bagaikan besi bertemu sembrani, cahaya terang itu begitu muncul, tampak bergerak miring langsung menyembur pada bintik-bintik hitam yang berhenti di udara!

Setelah cahaya terang yang keras dan menyilaukan itu terhenti di udara, segera itu muncul suara dan getaran yang keras, cahaya terang yang menyembur bintik-bintik hitam itu bagaikan meteor lalu jatuh meluncur ke bawah. Sinarnya buyar dan orangnya pun muncul. Terlihat To Giam-Lian meluncur miring terlentang di tanah, pedang panjang yang dipegang di tangan kanan sudah putus di bagian tengahnya, rambutnya acak-acakan, muka pucat, bernafas terengah-engah, di sudut mulut terlihat sedikit tetesan darah. Tidak lama, bintik-bintik hitam yang berhenti di udara tiba-tiba lenyap, baju hitam Kie Yam-ke berkibar bagaikan kepinis menari-nari kian kemari. Serong-serong turun ke bumi, saat tubuhya menyentuh tanah, kakinya agak tersendat, tubuhnya oleng sedikit lalu berdiri tegak tidak bergerak, air mukanya pucat pasi.

Jelas To Giam-Lian sudah menderita kalah!

Kie Yam-ke menghela nafas beberapa kali, menahan darah yang bergolak dalam dadanya, berkata pada To Giam-Lian yang belum sanggup berdiri:

"Jurus pedang panah mentari memang hebat, jurus yang tadi anda pergunakan apa betul jurus maut 'Pedang Sakti Memanah Matahari' yang tiada tandingannya?"

Sambil menghela nafas panjang To Giam-Lian memaksakan menahan tubuh berdiri, dalam matanya penuh rasa terkejut dan curiga, bersuara serak:

"Betul itulah jurus 'Pedang Sakti Memanah Matahari'!" katanya lagi, "jurus yang kau pergunakan pun sangat hebat, bisa mengatasi jurus pedang ku, boleh tahu apa nama jurusnya?"

"Nama jurusnya 'Kelinci Kemala Bergantung di Udara' " jawab Kie Yam-ke dengan datar.

To Giam-Lian mengangkat lengan baju mengusap darah di sudut mulut dengan serak berkata:

"Jurus 'Kelinci Kemala Bergantung di Udara' yang hebat, aku sudah kalah di tanganmu, tidak bisa berkata apa-apa lagi, kau ingin berbuat apa padaku silahkan saja!"

Perbuatan To Giam-Lian di dunia persilatan tidak terlalu buruk. Kie Yam-ke pun tidak ingin membunuh orang, dia menggelengkan kepala berkata: "Aku tidak ingin membunuhmu, pergilah!" To Giam-Lian yang kalah dibawah di tangan Kie Yam-ke, dalam hati sangat senang, dia bersoja dengan kedua belah tangan di rangkapkan, katanya:

"Anda berjiwa besar, aku tentu akan membalas budi ini di kemudian hari, permisi!"

Tubuhnya berputar, dengan langkah besar tapi gontai dia pergi secepatnya.

Kie Yam-ke berdiri sesaat, menggeleng-gelengkan kepala lalu cepat-cepat melangkah pergi.

Karena sudah tahu pemerintah telah menempelkan pengumuman penangkapan dirinya, demi menghindari kerepotan, Kie Yam-ke berjalan tidak mengambil jalan besar tapi memilih jalan kecil atau jalan hutan, lengan membawa makanan kering untuk mengisi perut di perjalanan, dia pun menghindar beristirahat di dalam kota, kalau malam dia hanya mencari tempat yang dapat menahan angin atau hujan untuk menginap. Vihara rusak dan gubuk ilalang tempat terbaik baginya untuk menginap.

Beberapa hari ini, sambil berjalan dia berfikir, tapi tidak terpikir harus pergi kemana, dia hanya merasa dunia begitu besar dia tidak tahu di mana tempat untuk dia menitipkan diri, tadinya, dia ingin ke ibukota, mencari teman berandalan yang dulu, tapi setelah tahu Kian Jit-san menyediakan hadiah 50 ribu tail perak untuk mengambil kepalanya, pemerintah pun membuat pengumuman penangkapan untuk memburu dirinya, sehingga dia membatalkan niatnya untuk pergi ke ibukota dia tidak ingin membawa kesulitan pada teman-temannya.

Sekarang dia hanya terus melangkah tanpa tujuan. Beberapa kali, dia ingin sekali masuk ke dalam gunung atau rawa-rawa, tidak muncul lagi ke masyarakat membenamkan diri selama-lamanya. Tapi setelah dipikir ulang dia merasa sayang, dia masih muda, bertenaga memiliki kepandaian pula, kalau dia menghilang dari peredaran manusia, dia menyia-nyiakan capai lelah gurunya yang sudah mengajarkan ilmu silat. Berfikir begitu dia membatalkan pikiran yang menjurus ke pertapaan. Dia sebatang kara tidak perlu merasa khawatir pada apapun, kenapa tidak mencari pengalaman saja di dunia persilatan yang ganas ini? Akhirnya dia mengambil keputusan.

Saat senja, Kie Yam-ke tergesa-gesa berjalan di sebuah gunung, diam-diam dalam hatinya gelisah sekali.

Kalau sebelum gelap dia tidak mendapat tempat untuk menginap. Terpaksa dia harus tidur dikolong langit atas tanah tandus ini, rasanya tidak enak. Memang dia bukan anak orang kaya yang bertubuh lemah, tapi rasa digigit nyamuk, dicocol ulat, dia pernah mengalami.....

Sambil berjalan matanya mencari-cari, berharap bisa menemukan sebuah kuil tua, sebuah gubuk reot atau sebuah keluarga, tapi... satupun tidak tampak, lambat laun cuaca gelap mulai menghinggap. Langkahnya pun dipercepat, senja pelan-pelan menjadi malam, Kie Yam-ke sudah putus asa dia menghela nafas dalam-dalam, siap untuk mencari tempat untuk bermalam.

Tapi saat ini pandangannya menjadi terang. Dia melihat di balik hutan dalam kegelapan ada setitik cahaya yang bergoyang-goyang!

Itulah sinar lampu!

Sinar lampu orang yang tinggal dipegunungan! Semangat Kie Yam-ke bertambah, dia segera berlari menuju sinar lampu yang berkedip-kedip.

Setelah menembus sebuah hutan, akhirnya lerlihat di atas bukit kecil samar-samar ada bayangan sebuah rumah, sinar lampu yang tambah lama tambah inang itu memancar keluar melalui sebuah jendela yang terbuka.

Kie Yam-ke girang segera berlari naik ke atas bukit itu. Sampailah di depan sebuah rumah yang pendek, mengangkat tangan mengetuk pintu rumah itu.

Mendengar suara ketukan pintu, dari dalam iiimah segera ada suara tua berkata:

"Siapa itu?"

Kie Yam-ke menjawab:

"Aku Kie Yam-ke, karena tergesa-gesa belum mendapat penginapan. Apa aku boleh bermalam disini? Tolonglah!"

Dari dalam rumah terdengar suara: "Ki-ji bukakan pintu biar tamunya masuk"

Terdengar suara orang berjalan lalu pintu dibuka, 2 daun pintu pun terkuak. Sinar lampu yang menguning segera menyembur keluar dari terbukanya 2 daun pintu.

Sorotan mata Kie Yam-ke jatuh pada nona yang membukakan pintu, katanya:

"Silahkan masuk!" suaranya lembut dan nyaring, matanya bersinar-sinar.

Sinar lampu tidak terang. Nona itu berdiri di tempat gelap membelakangi lampu. Kie Yam-ke tetap bisa memandang dengan jelas wajah nona itu. Biar pun tidak berdandan, bajunya pun asal-asalan, tetap tidak menutupi keayuan wajahnya, di rumah gubuk dalam hutan, ternyata berdiam seekor merak.

Kie Yam-ke bukan orang yang kurang ajar, melihat pada gadis yang menundukan kepala itu sambil berkata:

"Maaf merepotkan" dia langsung masuk ke dalam rumah.

Seorang bapak kira-kira berumur 60 tahun-an kebetulan berdiri, bertatap muka dengan Kie Yam-ke yang masuk ke dalam rumah.

Kie Yam-ke segera maju lalu memberi salam:

"Maaf, malam-malam cayhe kemari merepotkan lopek"

Orang tua itu mengenakan baju katun biasa, rambutnya sudah beruban, sepasang matanya memicing ke atas ke bawah mengamati Kie Yam-ke, lalu membalas salam berkata:

"Tidak usah sungkan-sungkan! Duduk-lah!"

Kie Yam-ke mengucapkan terima kasih, duduk di bangku kayu lalu berkata:

"Terima kasih lopek"

Orang tua itu tertawa, berkata:

"Jangan sungkan-sungkan, memberi kemudahan orang lain sama dengan memberi kemudahan bagi dirinya sendiri, pendengaranku kurang baik, siapa namamu?"

Cepat-cepat Kie Yam-ke menjawab:

"Cayhe bernama Kie Yam-ke" Lalu bertanya lagi, "boleh tahu lopek bermarga apa?"

Orang tua itu tertawa lagi, berkata: "Kie Yam-ke, sebuah nama yang bagus, bapak bermarga Toan"

Kie Yam-ke berdiri kembali memberi salam sambil berucap:

"Toan lopek"

Orang tua itu mengamati Kie Yam-k:

"Anak, rupanya kau belum makan ya? "

Makanan kering yang di bawa tidak banyak, tadi siang sudah habis dimakan, sekarang pemt sedang keroncongan, ditanya begitu dengan malu Kie Yam-ke menjawab:

"Terus terang cayhe    "

Orang tua itu memotong perkataan Kie Yam-ke, himbil menghadap ke dalam berser:

"Ki-ji, apa masih ada makanan?"

Kemudian gadis itu menutup pintu lalu masuk ke dalam:

"Ayah, aku segera menyiapkan makanan untuk tamu" suara gadis yang dipanggil Ki-ji begitu merdu bagaikan burung berkicau, dia melirik sekilas pada Kie Yam-ke, lalu menuju dapur.

Dilirik sekilas oleh Ki-ji, entah ada penyebab apa tiba- tiba hati Kie Yam-ke jadi berdebar-debar, batinnya pun berguncang, lalu berkata pada orang tua bermarga Toan:

"Anda ayah dan putri tinggal di tempat terpencil begini, apa tidak merasa kesepian?"

Sambil menghela nafas orang tua itu berkata:

"Kami sudah dua turunan tinggal disini, karena miskin, mau tidak mau terpaksa tinggal disini terus" Kie Yam-ke merasa gadis itu terlalu cantik, sama sekali tidak seperti nona yang tinggal di kampung, dia juga menyayangkan gadis itu lalu berkata:

"Lopek, Cayhe punya sedikit uang, anggap saja sebagai biaya menginap satu malam, harap bisa diterima"

Setelah berkata, dia membuka bungkusan baju, menyerahkan semua uang perak 50 tail pemberian Lie Ta- gu pada orang tua itu

Orang tua itu menolak:

"Jangan, ambil kembali, bagaimana pun aku tidak boleh menerima uangmu"

Kie Yam-ke melihat ayah dan putri berdua ini amat terkucil, dia berniat untuk membantu mereka, maka bersikeras mohon orang tua ini menerimanya, bapak ini tidak kuasa menolak, terpaksa dengan mengucapkan banyak terima kasih menerimanya.

Mereka berdua berbincang-bincang sebentar, setelah Ki-ji menyiapkan santapan, maka membawa keluar dengan beralas baki kayu dan ditaruh di atas meja.

Kali ini Kie Yam-ke bisa melihat jelas wajah Ki-ji, tidak tahan Kie Yam-ke memuji dalam hati.

Di bawah sorotan lampu, alis Ki-ji bagaikan dilukis, persis seperti dewi turun dari khayangan, susah dilukiskan dengan kata-kata. Diam-diam Kie Yam-ke membandingkannya dengan Siau-ih. Kalau Siau-ih perawan ayu di keluarga sederhana, tapi Ki-ji adalah itu bunga di antara bunga.

Meskipun begitu, Kie Yam-ke tetap suka Siau-ih, memang Siau-ih telah tiada, tapi Siau-ih adalah gadis pertama yang menyelinap masuk ke lubuk hatinya yang paling dalam, selamanya akan terkenang dan tidak akan terlupakan.

Dia hanya terkesima oleh kecantikan Ji-er bukan tergoda hatinya.

Tapi rupanya Ki-ji berminat pada dirinya, dia tidak masuk lagi ke ruangan dalam, begitu saja duduk di depan Kie Yam-ke, sebentar menundukan kepala, sebentar mengangkat kepala melirik dirinya.

Hal ini membuat Kie Yam-ke jadi kikuk.

Sesudah kikuk tentu saja makan pun menjadi kurang nyaman, sampai tidak bisa membedakan enak tidaknya makanan yang disantap ini, hanya asal-asal saja masuk ke dalam perut.

Akhirnya perutnya pun kenyang.

Kie Yam-ke yang dari tadi tidak berani mengangkat kepala, menunda mangkok dan sumpitnya, ngangkat mata, pandangannya langsung bentrok dengan pandangan Ki-ji, lalu segera bersama-sama mengalihkan sorotan matanya, hati Kie Yam-ke berdebar-debar lagi.

Untung orang tua yang duduk di atas dipan, entah kapan, tahu-tahu sudah menyandar di dinding dan tertidur pulas, pantas saja Ki-ji berani menatap terus pada Kie Yam- ke.

Kie Yam-ke tidak berani berhadapan dengan Ki-ji, terlalu kikuk juga terlalu memikat, dia berdiri dengan batuk-batuk ringan berkata:

"Cayhe sudah berjalan seharian, dan merasa letih, apa nona boleh "

Ki-ji berdiri dengan senyum manis berkata: "Mari ikut kesini" dia membawa Kie Yam-ke berjalan menuju kamar dekan pintu rumah.

Dalam kamar lampu sudah terang, ada ranjang dan selimut bersih dan rapih, Ki-ji dengan cepat melirik lagi pada Kie Yam-ke seraya dengan suara rendah berkata.

"Silahkan beristirahat dan selamat malam" dia menunduk mundur keluar sambil menutup pintu.

Kie Yam-ke memang sudah lelah sekali, tapi tidak bisa tidur dengan cepat, dia sedang memikirkan dua orang, ayah dan putrinya ini, dia merasa aneh. Seorang gadis yang lemah, satunya orang tua, kenapa menetap di tempat sepi dan terpencil? Apa usahanya? Membuat orang tidak habis berpikir.

Mungkin karena putri orang tua ini terlalu cantik, takut orang yang tidak karuan mengggangu, maka memilih tinggal di tempat terpencil begini. Kie Yam-ke mendapatkan alasan yang kuat kenapa ayah dan putrinya tinggal di tempat begini. Tapi di tempat terpencil begini kalau ada penjahat mau minta tolong kemana? Kie Yam-ke terus berpikir tentang ke-2 orang ini, tidak terasa dia pun tertidur.

Dia pun tidak merasa sudah tertidur berapa lama. Pokoknya tidurnya amat nyaman dan lelap. Dalam mimpinya tidak sengaja dia bertemu Siau-ih, tapi lebih banyak melihat si gadis Ki-ji.

Tidurnya enak dan lelap, tapi setelah sadar Kie Yam-ke merasa ada yang kurang beres, dia merasa tidak nyaman, dia kesakitan.

Tentu saja tidak beres dan kesakitan, sebab begitu dia bangun dia menemukan dirinya seperti ketupat diringkus orang, diikat amat kuat, hingga tidak dapat bergerak. Dia tidak mengerti kenapa dirinya bisa diikat kencang- kencang diatas ranjang, tapi tidak lama kemudian dia pun mendapat jawabannya.

Pintu kamar terkuak, ayah dan putri berdua masuk bersama ke dalam kamar, wajah orang tua itu sudah tidak menunjukan roman ramah seperti semalam, sekarang digantikan dengan senyuman yang keji.

Putrinya Ki-ji sudah tidak lagi tersenyum malu-malu seperti semalam, tapi digantikan dengan senyum genit, bagaikan kain kasar masih menempel di dirinya, dia sedang main mata pada Kie Yam-ke.

Melihat ke-2 orang ini Kie Yam-ke sudah mengerti, tali ini pasti kedua orang ini yang mengikatnya, dia menghela nafas, dalam hati, hanya bisa menyalahkan diriya yang ceroboh, dia memuji ke-2 yang ini yang bisa berpura-pura dengan hebat sekali, persis orang miskin yang tinggal dalam pegunungan.

Sekarang dia sudah terperangkap, apa boleh buat, tapi dia tetap bertanya:

"Kenapa kalian mengikatku? Di tubuhku sudah tidak punya uang lagi"

Dengan tertawa sinis orang tua itu berkata: "Karena kau adalah Kie Yam-ke"

Begitu mendengar, Kie Yam-ke balik menarik nafas dalam-dalam, dia sudah mengerti semua yang terjadi. Tapi dia tetap bertanya-tanya

"karena aku adalah Kie Yam-ke, maka kalian meringkus aku untuk menukar 50 ribu tail perak?"

Ki-ji yang cantik bagai dewi turun dari khayangan itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Betul, menukarmu dengan 50 ribu tail perak!"

Kie Yam-ke menghela nafas panjang lagi, sekarang dia baru melihat dengan jelas wajah asli wanita cantik bagaikan ular dan kalajengking ini.

Aneh sekali, dalam hatinya segera terpikir Siau-ih, tubuh dan wajah Siau-ih yang ayu itu muncul jelas ke depan mukanya, dia memekik dalam hati:

"Siau-ih, Siau-ih, kau tidak akan menyendiri dan kesepian lagi, aku akan segera menyusul. Kita akan bersama lagi"

Hati yang tadinya bergejolak keras, sebentar lagi saja sudah tenang bagaikan air yang tidak beriak.

"7 nadi utamamu telah kutotok, bagaimanapun kau berusaha tidak akan berhasil, maka jangan befikir macam- macam!" Ki-ji maju selangkah mencubit keras-keras lengan Kie Yam-ke yang sedang melamun.

Karena lengannya dicubit Kie Yam-ke tersadar kembali, lalu memandang sekilas pada Ki-ji yang dibuat-buat genit "Phuihhh!" Dia meludahinya.

Dia tidak habis pikir, Ki-ji semalam dan sekarang perubahan begitu besar, kalau bukan tubuh dan wajah yang sama dia tidak akan menyangka dia adalah orang yang sama.

Diludahi Kie Yam-ke, Ki-ji bukan saja tidak marah malah tertawa keras sampai tubuh bergoyang-goyang, lalu dengan suara manja berkata:

"Yo, jangan marah begitu, memang kau tidak akan luput dari kematian, tapi aku akan mengenangmu untuk selamanya." Diam-diam Kie Yam-ke melatih pernapasan tapi sedikit tenaga pun tidak dapat diangkat, dia percaya perkataan Ki- ji, maka dia tidak berencana memberontak, lapi dia mau mencari tahu siapa kedua orang ini sebenarnya:

"Boleh tahu siapa sebenarnya kalian berdua?"

Sambil terkekeh-kekeh orang tua itu mengusap lenggotnya dengan pelan berkata:

"Agar kau tidak mati penasaran aku beritahu. Namaku Toan Keng-cai, orang menjuluki aku "Melihat Harta Mata Membelalak!"

Ki-ji menyambung dengan genit:

"Aku Toan Ki-ji, orang-orang menyebutku Thian-cu-ih- ki."(Angrek suci rupawan)

Gelarnya memang tepat, orangnya sangat cantik, amat memikat.

Mendengar mereka masing-masing menyebutkan nama dan gelarnya, Kie Yarn-ke menarik nafas panjang, dia merasa dirinya pasti mati, tidak ada harapan lagi.

Toan Keng-cai dan Toan Ki-ji betul adalah ayah dan anak, Kie Yam-ke bisa memastikan karena dia pernah mendengar temannya menceritakan masalah 2 orang ayah dan putrinya ini.

Bapak dan anak ini muncul dalam dunia persilatan Tionggoan membuat banyak masalah, banyak pesilat babak belur roboh di tangan mereka.

Orang-orang dunia persilatan yang kalah oleh mereka adalah orang-orang kaya yang bergelimangan harta, 2 orang ini menggunakan kungfu dan kecantikan Ki-ji membuat mereka bankrut dan nama baik hancur lebur. Sehingga mereka bapak dan anak ini banyak mengeduk kekayaan.

Mereka tetap seperti buaya rakus tetap berusaha mencari harta sebanyak mungkin, asal ada kesempatan dan dengan cara apa saja berusaha merebut harta itu sampai dapat. Cara Ki-ji itu cara yang paling mujarab.

Dia mempergunakan modal alaminya, kecantikannya yang memikat para lelaki.

Apakah di kolong langit ini ada pria yang tidak terpikat oleh kecantikannya?

Sebab itu bapak dan anak ini hartanya bertambah banyak terus, mereka tambah hari tambah menyukai kekayaan.

Dalam mata mereka hanya ada satu kata yaitu uang. Hanya uang yang bisa memikat mereka.

Orang dunia persilatan pun merasa aneh, bapak dan anak ini mendapatkan uang sebanyak ini untuk apa? tempat mana yang bisa untuk menumpuk begini banyak harta?

Dari orang kaya di utara Coh Thian-ci saja, harta yang didapat cukup untuk mereka hidup sampai 8 keturunan, cukup menumpuk menjadi satu rumah besar.

Coh Thian-ci yang terpikat oleh kecantikan Ki-ji akhirnya bangkrut, namanya hancur berantakan dan menjadi gelandangan di tengah kota.

It-siau-ceng-seng, Cai-siau-ceng-kok (sekali tersenyum meruntuhkan kota, tersenyum lagi meruntuhkan negara) perkataan ini jika dipakai untuk diri Ki-ji rasanya cocok sekali.

Harta orang dunia persilatan yang mana jika di incar oleh ke-2 orang ini, sudah barang tentu hartanya akan habis semua di raih oleh mereka. Ayah dan putri ini begitulah keadaanya.

Kie Yam-ke pun jatuh ke tangan mereka, sebab Kie Yam-ke laku 50 ribu tail perak!

"Kenapa kalian masih belum mau memenggal kepalaku untuk ditukarkan dengan uang 50 ribu tail perak?" tanya Kie Yam-ke.

Muka Toan Keng-cai dan Ki-ji berseri-seri, tertawa renyah dan cekikikan, lalu berkata-kata:

"Kenapa harus memenggal kepalamu? itu akan menyusutkan uang setengah nya"

Toan Keng-cai mengusap-usap janggut yang memutih, sepasang matanya seperti menikmati etumpuk uang perak yang putih berkilau-kilau, dia mengamat-amati Kie Yam-ke, lalu berkata:

"Aku tidak menyangka dirimu akan berharga begini tinggi, kau tahu? Kepalamu saja sudah senilai 50 ribu tail, kalau bisa mendapatkan dirimu hidup-hidup dan diserahkan pada Kian Jit-san, nilainya bisa bertambah menjadi seharga 100 ribu tail perak, tentu saja kami akan menyerahkanmu hidup-hidup, sehingga kami akan mendapatkan lebih dari 50 ribu tail perak."

Selesai berbicara, dengan rakus menelan ludahnya. "Apakah Kian Jit-san telah menambah lagi hadiahnya?"

Kie Yam-ke bertanya dengan suara datar.

"Betul!" kata Ki-ji sambil menjulurkan pinggangnya. Gayanya saja akan memabukan banyak orang-orang yang mata keranjang, dia tertawa renyah berkata, "Kian Jit-san sudah menambah 50 ribu tail perak bagi yang dapat menangkap hidup-hidup untuk sembahyang putranya, tapi kalau tidak kepalanya saja tetap dihargai 50 ribu tail perak" Kie Yam-ke terkejut, dia tidak menyangka Kian Jit-san dendam sekali padanya, tidak saja mengeluarkan uang membeli nyawanya, sampai mau dibuat menjadi kurban hidup untuk sembahyang putranya yang mati!

Sepasang mata Toan Keng-cai bersinar-sinar, dengan ramah berkata pada Kie Yam-ke:

"Bagaimanapun kau jangan menyalahkan aku dan anakku. Kalau ingin menyalahkan harus pada Kian Jit-san sebab dia mau mengeluarkan upah 100 ribu tail perak untuk membeli nyawamu!"

Tiba-tiba Kie Yam-ke bertanya:

"Kenapa kalian yakin aku pasti akan datang mencari tempat menginap"

Toan Ki-ji dengan lancang mengusap muka Kie Yam-ke, berkata:

"Apa kau tahu? demi 100 ribu tail perak itu. Aku dan ayah sudah 5 hari 5 malam mengikutimu, juga sudah mengintip kau bertarung dengan To Giam-Lian, wah... tidak disangka kungfumu sangat tinggi, sehingga kami merubah rencana, menangkapmu dengan siasat lebih baik dari pada dengan kekerasan. Tadi malam, melihat kau berjalan di pengunungan, ayahku segera berjalan memutar mendahuluimu, Diam-diam menyelidiki keadaan di depan jalan dan sekitarnya, ternyata hanya ada satu keluarga. Ayah lalu berunding denganku, kami memutuskan memancingmu dengan rumah keluarga itu, kami mendahulimu ke rumah itu. Setelah kami bantai pemburu tua dan cucu perempuannya, kami memakai pakaian mereka, hari mulai gelap kami sengaja memasang lampu lebih terang dan di tempatkan di depan jendela yang terbuka, memancingmu mendekat, ternyata kau akhirnya terperangkap juga." Dia bercerita kembali dengan santai dan tenang, seolah- olah sedang mengobrol masalah rumah tangga sehari-hari, masalah membunuh bagaikan menginjak semut. seperti membunuh pemburu tua dengan cucu perempuannya, Toan Ki-ji ini boleh dikata parasnya lebih cantik dari dewi, tapi hati lebih kejam dari ular dan kalajengking.

"Sekarang kau sudah puas?" Toan Keng-cai seperti tutup mata membiarkan kelakuan putrinya yang centil.

Kie Yam-ke tidak bisa berkata-kata tapi dia tidak tahan atas kekurang ajaran Toan Ki-ji, maka dengan nara rendah dia berteriak:

"Nona sopan sedikit, tarik kembali tanganmu!".

Sebab saat ini tangan lembut dan halus Toan Ki-ji telah menyusuri leher Kie Yam-ke terus menjulur masuk ke dalam kerah leher bajunya mulai meraba dada dia yang kekar dan berisi itu.

Toan Ki-ji tidak menarik kembali tangannya, dengan mimik muka yang menggoda terus meraba-raba.

"Ayoyoo... tidak perlu berpura-pura, semalam kau merasa kesal tidak bisa tidur bersamaku bukan?"

Muka Kie Yam-ke hijau membesi marah oleh celoteh Toan Ki-ji yang sembarangan itu, kalau saja dia bisa bergerak, sudah dia tampar perempuan siluman yang kurang ajar ini. Dia merasa berdebatpun tidak ada gunanya, dia menelan semua kekesalannya, menutup mata tidak berkata kata lagi.

Dia diam tapi tangan Toan Ki-ji tetap merayap di atas dada Kie Yam-ke, membuat Kie Yam-ke merasa nyaman dan bergairah, lama-lama tumbuh gejolak yang tidak tertahankan dalam tubuhnya. Saat ini Toan Keng-cai sudah keluar kamar.

"Nyaman tidak?" suara cabul Toan Ki-ji membuat orang merasa gatal sekujur tubuh, tubuhnya yang ideal pelan- pelan menempel ke Kie Yam-ke.

Kie Yam-ke sudah tidak tahan, kalau keadaan berlangsung terus begini sulit untuk dibayangkan, tiba tiba dia memekik keras:

"Mengingkirlah!"

Bersamaan waktunya, dari luar rumah terdengar suara Toan Keng-cai memekik kesakitan.

Toan Ki-ji seperti tersengat listrik, secepat kilat tangannya ditarik kembali, wajahnya yang penuh nafsu birahi seketika berubah menjadi bengis bagaikan es dan salju, setelah ragu-ragu sejenak, tubuhnya sekali melintir sudah menerjang keluar rumah.

Kie Yam-ke tidak bisa bergerak. Hanya berbaring diatas ranjang, membelalakan ke dua matanya, entah apa yang terjadi.

Saat Toan Ki-ji menerjang keluar rumah, daun jendela berbunyi ringan. Bubuk kayu beterbangan, sesosok bayangan manusia menerobos masuk, mengikuti suara melayang ke depan ranjang Kie Yam-ke tidak berkata-kata, sekali meraih Kie Yam-ke sudah dipanggulnya, kakinya sekali menejeh sudah menerobos jendela pergi dengan cepat.

"To Giam-Lian!"

Ketika orang itu menundukkan tubuh merangkul, Kie Yam-ke bisa melihat dan mengenali, dia Si-jit-kiam To Giam-Lian, tidak tertahan tanpa sadar berseru. "Kau jangan pergi To Giam-Lian!" saat To Giam-Lian mengapit Kie Yam-ke dan menerobos keluar dari jendela, dari pintu kamar terdengar suara hardikan.

Kie Yam-ke tidak perlu melihat, sudah tahu dia pasti Toan Ki-ji yang tadi pergi sudah kembali lagi.

Ilmu meringankan tubuh To Giam-Lian sangat hebat, suara hardikan Toan Ki-ji baru terdengar, dia sudah menggendong Kie Yam-ke, menerobos jendela yang hancur sudah menapakkan kakinya ke tanah diluar jendela.

Baru saja kakinya menapak, segera pula berlari terbirit- birit meloncat lagi, bagaikan segumpal asap mengapit Kie Yam-ke berlari menuruni bukit.

Ketika Toan Ki-ji menerobos keluar rumah, sekilas melihat Toan Keng-cai tergeletak di pojok rumah menyandar di dinding.

Sebelah tangannya memegang dada yang penuh berlumuran darah.

Ketika dia mau mendekat, sambil menahan sakit Toan Keng-cai mengayunkan tangan memekik:

"Aku tidak akan mati, cepat jaga Kie Yam-ke."

Toan Ki-ji jadi sadar, tubuhnya bagaikan kincir angin, berputar cepat, seperti angin puyuh menyerbu lagi ke dalam rumah.

Baru sampai depan pintu, mendengar Kie Yam-ke menyebut "To Giam-Lian" dia melihat seseorang mengenakan jubah ungu sedang mengapit Kie Yam-ke. Hanya sekali meloncat, sudah terlontar menuju jendela yang hancur. Diapun menghardik.

Sebenarnya dia tidak kenal dengan To Giam-Lian, melihat To Giam-Lian membawa kabur Kie Yam-ke, Toan Ki-ji gusar sekali, wajahnya yang rupawan pun berubah, tubuh mungilnya melesat, mengikuti menerobos keluar jendela, tapi To Giam-Lian membawa Kie Yam-ke sudah berlari jauh.

Melihat bebek yang sudah dimasak matang di gondol orang, sama dengan kehilangan ratusan ribu tail perak, wajah Toan Ki-ji berobah menjadi hijau membesi, kakinya sekali melesat, segera mengikuti To Giam-Lian, sedikitpun tidak berani lengah.

Sambil melompat dan melesat, dia mengangkat tangan melemparkan segenggam Amgi berwarna perak yang bersinar terang.

Inilah Am-gi miliknya yang disebut Gin-lian-cu (Biji teratai perak).

To Giam-Lian membawa lari Kie Yam-ke dengan ilmu meringankan tubuh yang paling tinggi, seperti peluru terbang terus berlari menuruni gunung., sedikitpun tidak mengendur meskipun membawa beban, mendengar di belakang tubuhnya ada suara yang memecah udara diapun tidak perduli lagi, mengikuti keadaan berlari, tiba-tiba tubuhnya merendah ke tanah bergelinding bagaikan batu gunung terus meluncur ke bawah bersama Kie Yam-ke.

Gin-lian-cu yang ditimpukan oleh Toan Ki-ji berdesir- desir bunyinya tapi semua tidak mengenai sasaran, semua meluncur jatuh ke kaki bukit.

Melihat Am-ginya tidak mengenai sasaran, gigi Toan Ki- ji gemertak, dia gemas sekali pada To Giam-Lian, pengejaran pun dipercepat.

To Giam-Lian memang hebat, sambil mengapit Kie Yam-ke, dia menggelinding bersama sampai jauh. Tiba-tiba dia bangun dengan miring menyembur sampai berpuluh- puluh meter jauhnya, selanjutnya berlari lagi dengan cepat menuruni bukit.

Tapi bagi Kie Yam-ke bertambah payah. Karena jalan darahnya tertotok, sedikit tenagapun tidak ada, dia seperti orang biasa saja, tidak ada daya menangkal, saat bergelinding tadi sekujur tubuhnya sakit, kepala pening mata berkunang-kunang terbentur batu-batu gunung.

Dari awal Toan Ki-ji tetap tidak sanggup mengejar To Giam-Lian dan Kie Yam-ke, sebab jaraknya terlalu jauh.

To Giam-Lian sudah menerobos masuk hutan di bawah bukit, sekejap sudah menghilang.

Toan Ki-ji melompat dan menerjang sampai di depan hutan segera berhenti. Sepasang mata yang ayu dengan penuh kebengisan mengamati ke dalam hutan, tapi tidak berani mengejar masuk ke dalam hutan.

Ada teori berkata, bertemu hutan jangan berani masuk. Toan Ki-ji tentu mengerti teori ini, maka dia tidak berani gegabah masuk ke hutan ini, dia berjaga-jaga agar tidak terkena siasat To Giam-Lian.

Karena ragu-ragu, jadi memberi kesempatan bagi To Giam-Lian lebih leluasa kabur.

Di hutan bagian lain, akhirnya To Giam-Lian berhenti juga. Kie Yam-ke pun dibaringkan di tanah.

Karena berlari dalam waktu yang lama. Kie Yam-ke pun hampir pingsan, setelah terlentang di atas tanah, dia baru bisa menghela napas keras-keras, hingga terasa enakan.

To Giam-Lian pun terkuras habis banyak tenaganya, nafasnya terengah-engah dalam waktu panjang.

Lama tidak bersuara, To Giam-Lian mengamati Kie Yam-ke yang diringkus dan diikat kencang-kencang. Kie Yam-ke pun memandang To Giam-Lian, dia merasa aneh kenapa dia tahu dirinya jatuh ke tangan Toan Keng- cai dan Toan Ki-ji. Apa maksudnya menolong dia terlepas dari tangan mereka?

"Apa anda bermaksud menyerahkan aku pada Kian-Jit- san?" Kie Yam-ke tidak terpikir alasan apa To Giam-Lian menolong dirinya.

To Giam-Lian berdiri diam, mengeleng-geleng-kan kepala.

"Kalau begitu kau mau membunuh aku untuk membalas kekalahanmu?" Kie Yam-ke merasa alasan ini lebih yakin.

Muka To Giam-Lian timbul sedikit senyuman, dia menggeleng-geleng lagi kepalanya, katanya: "Tidak juga."

Kie Yam-ke bingung, dia tidak habis berpikir sebab apa To Giam-Lian mau menolong dirinya dari tangan Toan Keng-cai dan putrinya itu, akhirnya dia tidak mau bertanya lagi.

Tawa To Giam-Lian tambah kental, semua di luar dugaan Kie Yam-ke, To Giam-lian berkata:

"Aku mengambilmu dari bapak dan putri itu karena ingin menolongmu."

Lalu dia berjongkok, membukakan tali yang mengikat Kie Yam-ke. Kie Yam-ke bertanya:

"Aku pernah mengalahkanmu, kau juga pernah mau memenggal kepalaku untuk ditukar hadiah, kenapa tiba-tiba ingin menolongku?"

Sambil mengurai tali To Giam-Lian berkata: "Kau sudah mengalahkan aku, dan aku merasa terhina, tapi saat ada kesempatan membunuh kau tidak mau melakukannya. Nyawa ini adalah hadiah darimu, orang sungai telaga paling mementingkan budi dan dendam, kau sudah menanamkan budi padaku, aku pasti membalas kebaikan itu."

Sambil berkata dia membuka totokan jalan darah Kie Yam-ke.

Sekarang Kie Yam-ke baru mengerti kenapa To Giam- Lian menolong dirinya, terhadap kelakuan To Giam-Lian dia jadi punya pengertian baru. Dia jadi bertambah hormat. Setelah melemaskan kaki tangannya sebentar dia segera melompat bangun, memegang ke dua tangan To Giam- Lian, berkata tulus:

"To Toako. Aku amat berterima kasih padamu, moga kita bisa menjadi teman akrab."

To Giam-Lian pun balik memegang tangan Kie Yam-ke: "Kie-heng, sejak kau mengizinkan aku pergi, aku sudah

menganggapmu sebagai teman."

Tentu saja Kie Yam-ke menangkap arti perkataan To Giam-Lian, dia menggenggam tangan To Giam-Lian sambil digoyang-goyang, mereka berdua segera menjadi teman akrab.

"To Toako, bagaimana kau bisa tahu aku jatuh ke tangan kedua orang ini?" tanya Kie Yam-ke.

"Sebab aku mengikutimu terus, maka aku tahu" To Giam-Lian menjelaskan, "Dua hari yang lalu, aku melihat dua siluman itu mengikutimu, aku merasa pasti mereka akan berbuat jahat padamu. Tapi aku tidak enak campur tangan, hanya diam-diam mengawasi dari kejauhan. Ternyata kau terjebak jatuh ke tangan mereka. Aku khawatir tidak bisa mengalahkan mereka berdua. Jadi aku menunggu kesempatan, akhirnya aku mendapatkan kesempatan itu. Ketika aku tusuk dia dengan pedang. ternyata dia terluka dan meraung memancing perempuan siluman itu meninggalkanmu..."

Sekarang Kie Yam-ke sudah mengerti semua dari awal sampai akhir

"Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah.." To Giam-Lian sambil tertawa memotong:

"Sudahlah, lebih baik kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini."

Kie Yam-ke diam, mengikuti To Giam-Lian keluar dari hutan, dengan cepat pergi menuju ke arah timur laut.

ooo0dw0ooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar