Ibu Hantu Jilid 5

Jilid 5

Segera juga para Piauw-su itu mengetahui bahwa orang yang sedang mereka hadapi ini adalah seorang yang berilmu tinggi, yang tidak bisa dibuat main-main, dan tidak boleh dianggap remeh.

Maka dari itu, dengan sendirinya, dengan adanya kejadian yang mengerikan itu dimana Siu Piauw-su terbinasa dengan cara perut terpotong dan isi perutnya berhamburan begitu, maka para Piauw-su lainnya jadi jeri sendirinya.

“Mana Po Sin Siu?” bentak orang bertopeng putih itu pula dengan suara yang keras sekali waktu dia melihat para Piauw-su tersebut masih berdiam diri.

Para Piauw-su itu seperti juga baru tersadar dari kesima mereka, dengan cepat mereka saling menatap diantara mereka.

Salah seorang diantara Piauw-su-Piauw-su itu telah menyahuti :

“Cong Piauw-tauw........ Cong Piauw-tauw ada didalam........!!” katanya dengan suara yang tergugu.

Dan salah seorang lainnya diantara Piauw-su itu ada yang telah memutar tubuhnya, dia bermaksud akan lari masuk kedalam guna memberikan kabar tersebut kepada Po Sin Siu.

Sedangkan orang bertopeng putih yang mengenakan tudung rumput yang lebar telah mendengus waktu mendengar jawaban Piauw-su itu, dia juga melihat Piauw-su yang lainnya ingin melarikan diri kedalam kantor dari Po-sin Piauw-kiok.

Dia mendengus mengeluarkan suara tertawa dingin, tahu-tahu tubuhnya itu telah mencelat dengan cepat sekali, gesit luar biasa.

Sambil mencelat begitu dia juga telah mengulurkan tangannya, mencengkeram baju dibagian punggung dari Piauw-su yang mau masuk kedalam kantor dari Piauw- kiok tersebut.

“Mau kemana kau?” bentak orang yang berpakaian serba merah dan aneh tersebut. Dia telah berhasil mencengkeram baju Piauw-su itu, sehingga membuat Piauw-su tersebut jadi terkejut dan ketakutan sekali, dia sampai mengeluarkan suara jeritan kaget.

Belum lagi dia tahu apa-apa, dirasakan tubuhnya telah melayang, dan ambruk ditanah dengan keras.

Begitu terbanting ditanah, Piauw-su tersebut lantas menjerit dengan suara ketakutan : “Ampun Ampun!!”

Melihat kepengecutan dari Piauw-su itu, kembali orang yang mengenakan tudung rumput yang lebar itu telah melangkah memasuki ruangan kantor dari Po-sin Piauw-kiok. Dia meninggalkan para Piauw-su itu yang berdiri ketakutan.

Sikap orang berpakaian serba merah yang tidak bisa dilihat wajahnya itu begitu angkuh, dan dia terus juga melangkah masuk dengan langkah yang lebar. Tak ada seorang Piauw-su pun diantara Piauw-su-Piauw-su itu yang berani menahannya.

Ketika orang bertopi tudung rumput itu memasuki kantor dari Piauw-kiok tersebut, dia melihat ada beberapa orang Piauw-su yang memandang dirinya dengan tatapan mata yang ngeri, karena biarpun tadi para Piauw-su yang berada didalam ruangan ini tidak keluar, toh mereka telah menyaksikan kematian yang dialami oleh Siu Piauw-su.

Tiba-tiba orang bertopi tudung rumput itu telah melompat dan mencengkeram baju salah seorang Piauw-su yang berada paling dekat dengan dirinya.

Dia mencengkeram keras sekali, juga Piauw-su yang dicengkeram bajunya itu jadi terkejut, dia sampai mengeluarkan seruan kaget.

“Mana Po Sin Siu?” bentak orang bertudung rumput ini dengan suara yang bengis sekali.

Piauw-su itu menggigil tubuhnya, dia tidak bisa menyahuti, karena dia bicara dengan tergugu, tak ada kata-kata yang berhasil keluar dari mulutnya, karena dia ketakutan sekali.

Orang bertopi tudung rumput itu jadi tambah gusar, dia telah mengankat tubuh Piauw-su, yang sedang dicengkeram bajunya tersebut, dan membantingnya.

“Katakan! Dimana Po Sin Siu?!” bentak orang bertopi tudung rumput itu dengan suara yang keras dan bengis sekali. “Atau kalian semuanya akan kubunuh!!”

Piauw-su yang dibanting itu jadi ketakutan sekali.

“Po Cong Piauw-tauw berada didalam kamarnya dibelakang kantoran ini!!” kata salah seorang Piauw-su lainnya saking ketakutan.

Piauw-su yang dibanting oleh seorang bertopi tudung itu telah merangkak untuk bangun.

Tetapi kaki orang bertopi tudung rumput, itu telah melayang menyepak tubuh orang tersebut, sehingga seketika itu juga Piauw-su itu jadi terdupak rubuh bergulingan ditanah.

Sambil bergulingan itu, Piauw-su tersebut telah menjerit dengan teriakannya : “Ampun Tay-hiap...! Ampun!!”

Tay-hiap berarti pendekar besar.

Piauw-su-Piauw-su lainnya juga pucat pias wajah mereka.

Tak ada seorangpun diantara mereka yang berani membuka suara.

Orang bertopi tudung rumput itu tahu-tahu telah mencekal pedangnya, dia menggerakkan pedangnya itu dan ‘sretttttt!’, terdengar beruntun seruan kaget.

Tampak orang bertopi tudung rumput itu telah memasukkan kembali pedangnya. Piauw-su lainnya masih berdiri seperti orang kesima ditempat mereka berdiri.

Hanya suatu keganjilan terjadi pada diri Piauw-su-Piauw-su tersebut. Ternyata rambut mereka semuanya rata-rata telah kena disapat putus sebagian oleh pedang orang bertopi tudung rumput itu!

Para Piauw-su itu jadi mengucurkan keringat dingin, hati mereka jadi ngiris.

Coba kalau memang orang yang memakai topi tudung rumput itu menghendaki jiwa mereka, bukankah mereka dengan sendirinya telah terbinasa dan jiwa mereka melayang menghadap Giam-lo-ong?

Sedangkan orang yang memakai topi tudung rumput itu telah mendengus dan melangkah kedalam meninggalkan para Piauw-su itu.

Tetapi baru saja orang bertudung topi rumput itu melangkah beberapa tindakan, tiba-tiba keluar dari arah dalam seorang lelaki bertubuh tinggi besar, tegap dan gagah, memelihara jenggot dan kumis yang lebat, yang sudah panjang dan berwarna putih.

“Siapa yang mencariku?” tanya orang yang baru keluar itu dengan suara yang gagah dan keras. Dia juga menyapu semua orang yang ada didalam ruangan tersebut dengan menggunakan kedua matanya yang bersinar tajam.

Dan dia melihat orang yang memakai topi tudung rumput itu.

Sedangkan orang yang memakai topi tudung rumput itu telah mengawasi orang yang baru keluar itu dengan tatapan mata yang tajam sekali.

“Engkaukah yang bernama Po Sin Siu?” tegur orang bertopi tudung rumput itu dengan suara yang agak nyaring, bengis suaranya.

Orang tua yang berjenggot putih itu telah mengerutkan sepasang alisnya, dia mengangguk :

“Benar!” dia menyahuti. “Siapakah kau?”

Orang bertopi tudung rumput itu telah tertawa dengan suara yang menyeramkan sekali, mengkirikkan bulu tengkuk.

“Aku?” kata orang bertopi tudung rumput itu seperti juga bertanya. “Kukira kalau memang kau melihat wajahku, tentu kau tidak akan bertanya begitu, karena aku yakin kau masih ingat kepada diriku!!”

Mendengar perkataan orang bertopi tudung rumput ini, lelaki gagah yang memelihara jenggot yang telah berobah putih seluruhnya disebabkan usia tuanya itu, jadi tambah bingung dan heran, dia juga mendongkol sampai mengerutkan alisnya itu dalam-dalam, dia pun menatap dengan pandangan mata yang tajam sekali.

“Aku tidak mengenalmu! Aku Po Sin Siu selalu menghormati sesama kawan didalam kalangan Kang-ouw, asalkan orang itu mau menghormati diriku! Tetapi kau ini! Kau terlalu kasar... maka dari itu, mana bisa aku menghormati dirimu?”

Orang bertopi tudung rumput itu tersenyum mengejek.

Perobahan wajahnya tidak terlihat, karena dia mengenakan topeng dari kain putih itu.

“Kau masih berpura-pura sebagai seorang Ho-han!” kata orang bertopi tudung rumput itu dengan suara yang mengejek. “Hmmm... apakah kau benar-benar berjiwa kesatria? Apakah kau sudah tidak ingat atau memang pura-pura, tak ingat pada belasan tahun yang lalu kau pernah mengeroyok seorang she Lie yang bernama Foe Thay bersama-sama dengan beberapa jago lainnya?”

Mendengar disebutnya nama Lie Foe Thay, lelaki tua yang mempunyai potongan tubuh gagah itu, yang ternyata memang Po Sin Siu, jadi berobah wajahnya, pucat sekali.

“Kau... kau...” suaranya tergugu.

Orang bertopi tudung rumput itu mengeluarkan suara tertawa dingin, nyata dia mengejek orang she Po tersebut.

“Hmmm... aku adalah orang she Lie itu yang akan menuntut balas atas dendam belasan tahun yang lalu!” kata orang itu.

“Dan... hari ini adalah hari kematianmu!!”

Dan setelah berkata begitu, orang bertopeng tudung rumput itu, yang mengaku adalah Lie Foe Thay, telah tertawa gelak-gelak dengan suara yang menyeramkan, karena didalam suara tertawanya itu mengandung nada pembunuhan!!

Wajah Po Sin Siu jadi berobah tambah pucat, tubuhnya agak menggigil.

“Dusta! Kau bukan orang she Lie itu! Dia telah mampus dengan tubuh yang dicincang!!” kata Po Sin Siu seperti orang kalap. “Kau jangan menjual nama orang she Lie itu! Mustahil kau orang she Lie itu?!”

Orang bertopi tudung rumput itu telah tertawa dingin, tawar sekali suara tertawanya itu.

“Hmmm...... yang penting sekarang kau mengakui secara jujur, apakah kau memang benar-benar telah ikut mengeroyokku pada belasan tahun yang lalu?” Jawablah sebagai seorang Ho-han!! kata orang bertopi tudung rumput itu, yang mengaku sebagai Lie Foe Thay dengan suara yang bengis dan agak menyeramkan bagi pendengaran Sin Siu.

Po Sin Siu tambah tergugu, dia menatap orang bertopi tudung rumput dengan hati yang berdebar keras.

“Buka topengmu itu!” bentak Po Sin Siu akhirnya. “Aku mau melihat dulu wajahmu, kalau memang kau benar-benar orang she Lie itu, maka aku masih dapat mengenali wajahnya!”

Mendengar perkataan Po Sin Siu, orang bertopi tudung itu, yang mengaku sebagai Lie Foe Thay, telah tertawa tawar, sikapnya tidak memandang Po Sin Siu sebelah mata.

“Kau ingin melihat wajahku?” tanya orang bertopeng itu dengan suara yang dingin sekali.

“Apakah kau tidak takut mampus berdiri disebabkan kaget melihat wajahku ?” “Buka topengmu!! bentak Po Sin Siu dengan suara yang keras dan gemetar,

karena disamping perasaan gusar, mendongkol, murka dan takut bercampur didalam hatinya. “Buka topengmu itu dan aku dapat mengenali kau orang she Lie itu atau bukan!!”

Kembali orang bertopeng dan bertopi rumput itu, telah mengeluarkan suara tertawanya yang menyeramkan, dan bersikap seperti juga meremehkan Piauw-su tua itu.

“Baik!” kata orang bertopi tudung rumput itu kemudian. “Aku akan turuti permintaanmu untuk melihat wajahku! Karena kalau tidak, kau tentu akan binasa dengan hati yang kecewa dan penasaran!”

Dan setelah berkata begitu, orang bertopi tudung rumput ini telah membuka topi rumputnya, dia melemparkan kesamping, dan topi rumput tersebut telah melayang meluncur dengan cepat sekali, kemudian hinggap diatas meja yang ada didalam ruangan tersebut dan indah sekali.

Rupanya waktu melemparkan topi rumputnya itu, dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga topi itu jatuh tepat diatas meja seperti juga dikendalikan.

Kemudian dengan perlahan-lahan tangan orang itu memegang topengnya yang terbuat dari kain putih.

“Nah.    kau lihat baik-baik!” kata orang bertopeng tersebut.

Po Sin Siu mementang matanya lebar-lebar, hatinya berdebar keras, dan suasana pada saat itu sangat tegang sekali.

Para Piauw-su yang menjadi anak buah dari Po Sin Siu juga ikut mengawasi dengan penuh ketegangan, karena biarpun mereka sangat takut dan jeri kepada orang- orang itu, toh tetap saja mereka ini ingin melihat Cong Piauw-tauw mereka menghadapi orang bertopeng ini.

“Lihatlah!” kata orang bertopeng itu sambil menarikkain topengnya itu. Dan seraut wajah yang ganteng dan cakap sekali terlihat!

Po Sin Siu mengeluarkan seruan gusar.

Tubuhnya juga mencelat dengan cepat sekali, karena Po Sin Siu telah menjejakkan kakinya, sehingga tubuhnya terlambung dan dia menyerang orang yang telah membuka topeng kainnya tersebut.

Orang she Po tersebut juga menyerang dengan goloknya, dia menyerang dengan jurus dari Cap-sie Hoan-to, hebat sekali serangannya itu.

Sambil goloknya itu berkelebat dari arah samping akan membacok dan menebas batang leher dari orang itu, juga Po Sin Siu mengeluarkan bentakan :

“Kau dusta! Kau mau menipu diriku, heh?” bentaknya dengan suara yang murka dan bengis sekali. “Kau harus kumampusi, bocah!”

  

ORANG YANG memakai topeng dari kain putih itu, yang telah membuka topengnya tersebut, ternyata seorang anak muda yang cakap sekali, kulitnya putih, matanya jeli, dan juga hidungnya mancung dengan dua alis berbentuk golok yang tebal sekali.

Dialah seorang pemuda yang sangat cakap luar biasa. Melihat Po Sin Siu menyerang dirinya, dia tertawa dingin.

“Hmmmm... kau cari mampus!!” kata anak muda itu dengan suara yang menyeramkan, dia juga mengelakkan samberan golok Po Sin Siu dengan hanya menundukkan kepalanya dan disaat golok orang she Po itu lewat diatas kepalanya, dia telah menggerakkan tangan kanannya, menghajar dada Po Sin Siu.

Seketika itu juga terdengar suara :

“Bukkkk!” keras sekali.

Dan tampak dada Po Sin Siu kena ‘digedor’ oleh orang yang menjadi lawan dari Po Sin Siu, seketika itu juga Po Sin Siu merasakan dadanya seperti dikemplang oleh palu besi yang keras sekali, sampai mengeluarkan suara ‘nggeekkk’ yang keras sekali.

Juga tubuh Po Sin Siu jadi terlambung tinggi, kemudian terbanting kelantai dengan mengeluarkan suara gedebukan yang keras sekali.

Dengan sendirinya, para Piauw-su yang menonton dikejauhan, jadi tambah pucat muka mereka.

Biar bagaimana mereka ini memang sudah jeri kepada anak muda yang tadi mengenakan topeng dan tudung rumput yang lebar itu, dan dengan sendirinya biarpun mereka melihat Cong Piauw-tauw mereka ini kena dihajar oleh anak muda itu, toh tetap saja mereka tidak berani untuk maju guna memberikan bantuannya, karena nyali mereka telah pecah!

Po Sin Siu begitu ambruk dilantai, dia telah meletik melompat bangun. Dia menggunakan jurus Lee Ie Ta Teng, ikan gabus meletik, dengan ringan tubuhnya mencelat, kemudian dia telah berdiri dengan wajah yang merah padam disebabkan perasaan gusar dan murkanya.

Po Sin Siu merasakan dadanya sakit luar biasa, seperti juga tulang-tulang didadanya itu telah terhajar remuk dan juga menimbulkan perasaan sakit yang benar- benar mengejutkan hati Sin Siu.

Hanya saja, biarpun pukulan dari orang itu agak keras terhadap Sin Siu, toh she Po ini tidak sampai muntah darah.

“Siapa kau? Mengapa kau menggunakan nama Lie Foe Thay untuk menggertak diriku? Ada sangkutan hubungan apa antara kau dengan she Lie itu?” bentak Po Sin Siu dengan mata yang mendelik lebar. Anak muda itu juga telah membuka jubahnya yang serba merah.

Segera juga tampak, bahwa dia juga berpakaian sebagai seorang sasterawan, seorang pelajar.

Anak muda ini telah tertawa dingin.

“Hmm...... akhirnya kau mengakui juga bahwa kau mengenal Lie Foe Thay, bukan?” tanya pelajar itu dengan suara yang bengis.

Po Sin Siu jadi mengerutkan alisnya, dia mengawasi anak muda ini dengan bimbang. Tetapi akhirnya, setelah mengambil suatu keputusan yang cepat, orang she Po tersebut telah mengangguk.

“Ya!” dia menyahuti dengan cepat sekali. “Aku memang mengenal Lie Foe Thay!”

Pemuda yang berpakaian sebagai pelajar itu telah tertawa dingin.

“Hmm..... bagus!” kata anak muda berpakaian sebagai sasterawan itu. “Aku adalah puteranya Lie Foe Thay!”

Mata Po Sin Siu jadi tambah mendelik. “Kau..... kau ” tergugu sekali suaranya.

Pelajar itu telah tertawa lagi, dingin sekali suara tertawanya itu.

“Hari ini adalah hari kematianmu, maka dari itu, jangan harap kau bisa meloloskan diri dari kematianmu!!” kata pelajar itu.

“Aku Lie Cie Kiat selalu akan membalas dan membayar semua hutang piutang darah pada belasan tahun yang lalu!!”

Wajah Po Sin Siu jadi berobah mendengar perkataan pelajar itu, yang ternyata memang Lie Cie Kiat adanya, dia jadi memandang Cie Kiat beberapa saat lamanya.

“Hmmm..... sekarang kau bersiap-siaplah untuk menerima kematian!!” kata Cie Kiat lagi waktu dia melihat Sin Siu hanya berdiam diri saja.

Po Sin Siu seperti baru tersadar dari mimpinya, dengan cepat, walaupun hatinya agak keder dan jeri, karena dia mengetahui bahwa Cie Kiat mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, toh dia telah mengambil keputusan akan memberikan perlawanan yang gigih. Dia telah memutar goloknya, dia akan menggunakan jurus-jurus dari ilmu golok Cap-sie Hoan-to.

Melihat Po Sin Siu memutar-mutar goloknya begitu, Cie Kiat tertawa tawar. “Hmm..... majulah, aku akan memberikan kau kesempatan sebanyak tiga jurus,

setelah itu kau harus mampus!” kata anak muda she Lie ini.

Po Sin Siu jadi nekad berbareng gusar.

Dengan mengeluarkan suara bentakan, dia telah melompat menyerang Cie Kiat dengan menggunakan goloknya.

Cie Kiat tertawa mengejek. Samberan golok dari Po Sin Siu dielakkan dengan jalan menggeser kaki kirinya dua incie, kemudian dia telah menyerampang dengan menggunakan kakinya itu, sehingga tubuhnya jadi doyong kesamping, dengan sendirinya golok Sin Siu jadi lewat disisi tubuhnya.

Sedangkan mulut Cie Kiat juga telah meneriaki kata-kata : “Jurus pertama!!”

Kemudian tampak Cie Kiat telah melompat menjauhi Sin Siu.

Para Piauw-su yang melihat itu tidak ada yang berani maju untuk memberikan bantuan kepada Sin Siu, karena mereka jeri sekali kepada Cie Kiat, telah pecah nyali mereka, sebab mereka tadi menyaksikan dengan mata kepala sendirinya, bagaimana Siu Piauw-su akan menemui kebinasaannya.

Dengan sendirinya, mereka hanya menyaksikan dari kejauhan saja dengan hati yang berdebar.

Pada saat itu, Sin Siu ketika melihat serangannya telah gagal dan mengenai tempat kosong, cepat-cepat telah menarik pulang goloknya.

Dengan cepat dia telah membarengi menyerang lagi dengan menggunakan goloknya itu membacok kearah pundak kiri Cie Kiat.

Sebat dan cepat sekali gerakan dari Sin Siu. Juga bacokan goloknya itu bertenaga sekali.

Cie Kiat juga melihat, Sin Siu sekarang telah berobah seperti orang kalap.

Mungkin hal ini disebabkan dia merasa jeri dan takut menghadapi Cie Kiat, jeri akan menghadapi kematian dirinya, maka dari itu, dia telah berobah menjadi nekad dan bermaksud akan mengadu jiwa.

Tetapi Cie Kiat dapat bergerak dengan gesit sekali.

Anak muda she Lie ini memang mempunyai kepandaiannya yang tinggi.

Gin-kangnya pun sempurna sekali, sehingga tiap gerakannya itu benar-benar sebat dan gesit, yang membuat Sin Siu selalu menyerang tempat kosong.

Serangan yang kali inipun ternyata menemui tempat kosong pula.

Bacokan dari golok Sin Siu telah membacok angin, sebab begitu golok Sin Siu melesat membacok kearah pundak Cie Kiat, cepat luar biasa Cie Kiat telah menggerakkan tangannya, dan didalam tangan anak muda she Lie tersebut telah menggenggam pedangnya, yang dicekal dengan cara membalik, sehingga tubuh pedang melekat pada lengannya.

Dengan menggunakan pedangnya tersebut, Cie Kiat telah menangkis bacokan dari Sin Siu.

“Trangggg!” terdengar suara benturan logam yang keras sekali. Sin Siu jadi mengeluarkan seruan kaget. Karena begitu goloknya kena ditangkis oleh pedang Cie Kiat, orang she Po ini merasakan goloknya itu terpental dan hampir saja membacok kepalanya sendiri, dan juga Sin Siu merasakan tangannya itu tergetar, telapakan tangannya perih, sebab kulit telapakan tangannya itu seperti juga terbeset.

Untung saja goloknya itu tidak sampai terlepas dari cekalannya. Sedangkan Cie Kiat telah melangkah mundur dua langkah kebelakang.

“Jurus yang kedua!” teriak anak muda she Lie ini dengan suara yang nyaring. Po Sin Siu jadi tambah keder, dia dibarengi oleh rasa takut.

Dengan sendirinya, dia jadi tambah gugup dan tambah nekad.

Dengan mengeluarkan seruan yang keras sekali, dengan mengeluarkan jeritan yang memekakkan anak telinga, dengan mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur, Sin Siu telah menjejakkan kakinya lagi.

Dia bermaksud akan menyerang disaat Cie Kiat belum dapat berdiri tetap. Akan tetapi Cie Kiat telah melompat menjauhi lagi.

“Ini adalah jurus yang ketiga, hati-hatiah seterusnya, karena kau akan segera menghadapi kematianmu!” kata Cie Kiat dengan suara yang tawar.

Suasana didalam ruangan tersebut jadi sunyi dan tegang sekali. Sin Siu jadi bermandian keringat dingin.

Hatinya berdebar keras, dan wajahnya jadi berobah-robah, sebentar pucjat, dan sebentar lagi merah padam, dia benar-benar jadi gugup sekali.

Para Piauw-su lainnya juga mengawasi dengan hati yang berdebar keras.

Tak ada seorangpun diantara Piauw-su itu yang mengeluarkan suara, sehingga ruangan itu sunyi sekali, hanya terdengar suara Sin Siu yang memburu keras. Jenggot dan misainya seperti juga berdiri kejang disebabkan hati si Piauw-su tua ini sangat murka dan gusar.

Cie Kiat mengawasi Sin Siu dengan tatapan mata yang tajam sekali. Sin Siu berusaha menguasai goncangan hatinya.

Dan setelah dengus napasnya agak merendah, tahu-tahu Sin Siu telah mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur, dibarengi oleh lompatan tubuhnya yang tinggi sekali. Dia mengeluarkan ilmu golok simpanannya, yaitu Liong Cie Sin To dari ilmu golok simpanannya, Cap Sie Hoan-to.

Hebat sekali serangan Sin Siu kali ini.

Dia menyerang dengan tubuh yang melayang ditengah udara seperti juga seekor Naga yang mau menerkam mangsanya, maka goloknya juga berkelebat dengan cepat dan bertenaga sekali, sebab Sin Siu menyerang dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga Lwee-kangnya. Cie Kiat tertawa tawar. Dia melintangkan pedangnya, dan disaat golok Sin Siu berkelebat akan membacok tubuhnya, dia telah menekuk kaki kirinya, sehingga tubuhnya itu jadi merendah kebawah seperti orang memberikan penghormatan, dan cepat luar biasa pedang Cie Kiat berkelebat kearah atas, dan disaat tubuh Sin Siu lewat diatas kepalanya, tubuh Sin Siu seperti juga melanggar ujung pedang Cie Kiat.

Terdengar suara jeritan yang menyayatkan hati.

Tubuh Sin Siu ambruk dilantai dengan menerbitkan suara gedebukan yang keras sekali.

Tubuh Piauw-su tua itu telah ambruk dilantai dengan keras.

Tubuhnya menggeliat, dan tampak darah memenuhi lantai, dia merintih kesakitan, karena perutnya ternyata telah tersodet tersabet pedang Cie Kiat, tersobek pecah isi perutnya sampai tampak keluar.

Para Piauw-su yang menjadi anak buah dari Sin Siu, jadi berdiri kesima dengan hati yang kecut dan keder, nyali mereka benar-benar pecah.

Sedangkan Cie Kiat telah berdiri kembali, pedangnya perlahan-lahan dimasukkan kedalam rangkanya, kemudian dia berdiri menghadapi Sin Siu.

Po Sin Siu menggeliat lagi dilantai, wajahnya pucat benar.

Tahu-tahu dia berusaha untuk merangkak bangun, dia telah menggunakan goloknya untuk menunjang tubuhnya.

Ternyata Piauw-su tua ini kuat sekali. Perlahan-lahan tubuhnya terangkat. Matanya mendelik kepada Cie Kiat.

“Kau.... kau....” dia berkata dengan suara tergetar, karena darah masih keluar dari lukanya yang lebar pada perutnya tersebut, dan tangan kiri Sin Siu mendekapi luka itu, sehingga tampak darah merah yang segar telah mengalir keluar dari sela-sela jari jemari tangan orang she Po itu.

Cie Kiat tertawa tawar, dingin sekali sikap anak muda she Lie ini.

“Inilah saat-saat kematiatmu! Kau bisa merasakan bagaimana orang harus menghadapi kematiannya!” kata Cie Kiat dengan suara yang tawar.

Sin Siu gemetar tubuhnya. Darah masih mengucur dari lukanya yang lebar itu. “Kau...... aku...... oh, aku penasaran sekali...... aku penasaran sekali.......” kata

Sin Siu dengan suara yang susah payah, tubuhnya menggigil menahan perasaan sakit

pada luka diperutnya itu.

Cie Kiat tertawa dingin.

“Kau memang akan menjadi setan penasaran!!” kata si anak muda she Lie ini dengan suara mengejek. “Nah, pergilah kau ke neraka untuk menghadap Giam-lo- ong!!”

Dan setelah berkata begitu, Cie Kiat tertawa gelak-gelak.

Semua Piauw-su memandang kejadian ini dengan mata yang mendelong. Mata mereka terbuka lebar memandang kesima kepada Piauw-su tua she Po tersebut.

Dilihatnya tubuh Sin Siu semakin gemetaran, rupanya dia akan merenggang nyawa.

Wajahnya pucat pias.

Dan darah merah yang mengucur dari lukanya itu diperut si Piauw-su she Po tersebut, telah memenuhi lantai.

“Kau...... kau......” kata Sin Siu dengan suara gemetar, dan dia tidak bisa meneruskan perkataannya, karena dia telah kehabisan tenaganya, matanya berkunang-kunang, lalu dengan tidak bisa dipertahankan terus, tubuhnya telah ambruk dilantai dan dia menghembuskan napasnya setelah tubuhnya mengejang beberapa kali!

Putuslah nyawa Piauw-su tua she Po itu! Melihat ini, Cie Kiat puas.

Dia tertawa tawar sambil menoleh kepada para Piauw-su yang berada disitu.

“Hmmm...... inilah suatu pembalasan yang setimpal atas kejahatan yang pernah dilakukannya!” kata Cie Kiat dengan suara yang tawar. “Dulu belasan tahun yang lalu orang she Po ini telah ikut mengeroyok ayahku dengan cara yang pengecut sekali, maka dari itu, sekarang dia juga harus menemui kematiannya dengan cara yang mengerikan ini! Tadi aku telah memberikan kesempatan padanya tiga kali, dan ternyata dia memang seorang yang tidak mempunyai kepandaian yang berarti, sehingga dia harus mampus!”

Dan setelah berkata begitu, Cie Kiat tertawa gelak-gelak.

Kemudian dia menoleh kepada mayat Sin Siu yang rebah dilantai dengan mengejang dan mata mendelik, isi perutnya tampak berhamburan keluar, bercampur dengan darah merah yang menggenangi lantai!

Kemudian Cie Kiat telah mengambil tudung rumput dan jubah merahnya. Dia mengenakannya kembali. Dia lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah yang tenang sekali, melewati Piauw-su yang sedang berdiri kesima menatap dirinya.

Waktu Cie Kiat menoleh menatap kepada para Piauw-su itu, maka para Piauw- su yang menjadi anak buah dari Po Sin Siu jadi menundukkan kepalanya.

Mereka tak berani untuk menentang tatapan mata dari Cie Kiat.

Cie Kiat tertawa tawar, kemudian sekali menggenjotkan tubuhnya, dia telah melesat cepat sekali, dan didalam waktu yang sangat singkat, dia telah lenyap dari pandangan para Piauw-su-Piauw-su itu.

Setelah melihat Cie Kiat berlalu, barulah para Piauw-su itu ribut. Mereka cepat-cepat menghampiri mayat Sin Siu.

Mereka juga mengeluarkan suara yang berisik sekali, ada yang memaki Cie Kiat, ada yang mengatakan bahwa Cie Kiat adalah setan penasaran, karena gerakannya hebat luar biasa, gesit dan sukar diikuti oleh pandangan mata..........

Sedangkan Po Sin Siu tetap rebah dilantai menjadi mayat dengan darah menggenangi tubuhnya, isi perutnya telah berhamburan dilantai diantara genangan darah itu !

*

* *

SEDANGKAN Cie Kiat telah berlalu dari Po-sin Piauw-kiok.

Dengan menggunakan Gin-kangnya sempurna sekali, dia berlari dengan cepat sekali diatas genting dari rumah penduduk.

Didalam waktu yang sangat singkat sekali, Cie Kiat telah berada diluar kota.

Dia kemudian membuka jubah merahnya, dia membungkus didalam Pauw- hoknya.

Setelah memandang sekelilingnya, dan tidak melihat ada seorang manusiapun yang mengikuti dirinya, Cie Kiat kemudian melangkah lagi menuju kearah timur.

Perjalanan yang dilakukannya kali ini ialah menuju kearah kota Siang-bian- kwan, kota yang terletak tak jauh dari tempat itu, karena dikota tersebut Cie Kiat akan menemui seorang musuh besarnya pula, yang bernama Auwyang Kim.

Perjalanan yang dilakukan oleh Cie Kiat kali ini akan membawa suatu pergolakan yang hebat didalam dunia persilatan, karena Auwyang Kim adalah seorang murid Siauw Lim-sie, dengan sendirinya, kalau memang Cie Kiat berhasil membunuh orang she Auwyang tersebut, peristiwa ini akan tersebar luas, dan juga dengan sendirinya Cie Kiat akan mempunyai banyak musuh!!

Tetapi sebagai seorang pemuda yang masih mempunyai semangat dan kemauan yang keras sekali, dengan sendirinya dia tidak mau memperdulikan akibat dari semua itu.

Yang penting didalam pendirian Cie Kiat, dia akan berhasil membalas sakit hati dan dendam atas kematian orang tuanya.

Maka dari itu, dengan bersemangat sekali, Cie Kiat menuju kekota Siang-bian- kwan.

Pada saat itu hampir menjelang sore hari, dan udara agak mendung. Rupanya akan turun hujan lebat.

Angin juga bertiup dengan keras sekali, sehingga Cie Kiat bermaksud akan mencari tempat untuk meneduh, takut kalau nanti hujan benar-benar turun dengan lebatnya.

Tetapi keadaan disekitar tempat itu sangat sepi sekali, tidak tampak sebuah rumah pendudukpun.

Cie Kiat mempercepat langkah kakinya, dan akhirnya dia melihat juga tak jauh dari tempat tersebut ada sebuah rumah. Rumah itu berukuran kecil, tidak besar. Tetapi untuk meneduh dari hujan yang mulai turun rintik-rintik, cepat-cepat Cie Kiat menghampiri rumah itu.

Ketika sampai didepan rumah itu, anak muda she Lie tersebut melihat daun pintu tertutup rapat.

Dia mengetuknya.

Tak terdengar suara sahutan. Dia mengetuk lagi.

Tahu-tahu, bukannya sahutan, melainkan daun pintu itu terbuka dengan mendadak, dan serangkum angin serangan yang kuat sekali menyerang kearah dadanya.

Hal ini mengejutkan Cie Kiat.

Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.

Tetapi karena Cie Kiat mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, dengan sendirinya dia bisa mengelakkan serangan itu.

Dia telah melompat kesamping.

Dan angin serangan tersebut telah menyerang batang pohon yang tumbuh dimuka pekarangan rumah tersebut.

“Bukkkk! Kreeekkkk!” tampak batang pohon itu rubuh, tumbang oleh angin pukulan yang keras itu.

Berbareng dengan tumbangnya pohon itu, Cie Kiat mendengar orang memaki : “Sial! Sial benar! Aku tidak berhasil menghajar setan itu!!”

Disusul kemudian melompatnya sesosok bayangan keluar dari rumah itu.

Cie Kiat jadi mendongkol sekali, tak keruan juntrung, orang telah menyerang dirinya.

Dia mengawasi orang yang melompat keluar dari dalam rumah dan telah berdiri dihadapannya itu.

Itulah seorang pengemis berusia diantara dua puluh tahun lebih.

Wajah pengemis itu memperlihatkan rasa penasaran karena tadi dia tidak berhasil menghajar Cie Kiat dengan angin serangan Lwee-kangnya.

Sedangkan pengemis tersebut telah melihat Cie Kiat, dia mengawasi dengan mata yang mencorong bengis.

“Kau pelajar edan?” bentak si pengemis dengan suara yang keras. “Hmmm......

masih berani kau datang kemari?”

Cie Kiat mengerutkan sepasang alisnya, dia mendongkol sekali, karena orang telah memusuhi dirinya tidak keruan juntrungannya.

Dia mengawasi pengemis itu dengan tatapan mata yang tajam sekali. “Saudara...... aku denganmu tidak pernah saling kenal mengenal, kita seperti juga antara air sumur dengan air sungai yang tidak saling mengganggu, mengapa datang-datang kau menyerangku begitu macam?” kata Cie Kiat dengan suara yang sabar, dia berusaha mengendalikan rasa mendongkolnya.

Pengemis itu telah tertawa gelak-gelak.

“Hmmm........ kau masih bisa berkata begitu?” tanya si pengemis dengan suara yang bengis. “Aku telah bersumpah, biar bagaimana aku harus membinasakan kau, pelajar edan!!”

Cie Kiat jadi tambah heran.

Disamping heran, dia juga mendongkol sekali.

“Antara kau dengan diriku tak pernah terjadi suatu persoalan, juga tak ada sangkutan apa-apa antara kau denganku, mengapa kau memusuhi diriku sampai begini rupa?” siapakah kau sebenarnya?”

Mendengar pertanyaan Cie Kiat, pengemis itu telah tertawa dingin.

“Hmmm, kau masih pura-pura bertanya begitu, heh?” kata si pengemis dengan suara yang dingin sekali. “Apakah kau mau mengatakan kau tidak mengenal diriku sama sekali?! Pembunuhan yang kau lakukan ditepi hutan dua bulan yang lalu itu, siapa yang lakukan?”

“Pembunuhan ditepi hutan?” tanya Cie Kiat dengan heran. “Aku,... aku tidak mengerti maksudmu?”

Pengemis itu telah tertawa dingin lagi, sikapnya berang sekali.

“Sungguh mukamu tebal seperti muka badak!!” kata pengemis tersebut dengan suara yang keras, nyata sekali dia sangat murka.

“Hmmm... dengan berkata begitu kau memang sengaja ingin memungkiri bahwa pembunuhan dipinggir hutan itu bukan kau yang lakukan!!”

“Aku memang benar-benar tidak mengerti maksudmu!!” kata Cie Kiat, yang juga mendongkol sekali, karena pengemis tersebut telah mendesak dirinya dengan persoalan yang benar-benar tidak dimengerti oleh dirinya. “Kau mungkin salah mengenali orang!!”

“Tidak mungkin!!” kata si pengemis dengan suara yang berang. “Aku dan kau memang telah berjanji akan bertemu disini pada waktu ini!!”

Cie Kiat jadi tambah heran dan bingung.

“Mengapa persoalan bisa begini aneh?” pikir Cie Kiat didalam hati. “Siapakah pengemis ini dan siapakah orang-orang yang telah dibunuh seperti apa yang dikatakan oleh pengemis tersebut?”

Melihat Cie Kiat berdiam diri saja, pengemis itu rupanya jadi tambah mendongkol.

“Alasan apa lagi yang akan kau keluarkan untuk memungkiri perbuatanmu itu, hai pelajar setan?” bentak si pengemis dengan suara yang keras sekali. Cie Kiat juga jadi mendongkol melihat orang terlalu mendesak dirinya.

“Baiklah!” kata Cie Kiat dengan suara yang dingin. “Kalau memang benar pembunuhan dipinggir hutan seperti apa yang kau katakan itu benar-benar aku yang lakukan, lalu apa yang akan kau lakukan terhedap diriku?”

Muka pengemis itu jadi merah padam mendengar pertanyaan Cie Kiat.

“Hmm, akhirnya kau mengakui juga perbuatan busukmu itu!” kata si pengemis dengan suara yang berang sekali. Bagus! Bagus! Aku akan membalaskan sakit hati saudara-saudaraku itu dan kau harus mampus ditanganku!”

Dan setelah berkata begitu, si pengemis telah menjejakkan kakinya. Tubuhnya dengan cepat menubruk pada Cie Kiat.

Dia telah menyerang dengan menggunakan kedua tangannya secara berangkai.

Dengan sendirinya, setiap serangan dari pengemis itu membawa angin pukulan yang keras sekali, sebab tadi saja waktu Cie Kiat diserang pertama kali, angin pukulan si pengemis telah dapat menghajar patah batang pohon!

Maka dari itu, bisa dibayangkan, betapa tenaga yang digunakan oleh pengemis itu kuat sekali.

Biarpun usianya masih muda belia, toh tenaga serangannya kuat luar biasa. Dengan sendirinya, Cie Kiat cepat-cepat mengelakan serangan si pengemis.

Dia tidak bisa meremehkan serangan dari si pengemis, karena biarpun usia si pengemis masih muda, toh tetap saja tenaga Lwee-kangnya telah sempurna!

Maka dari itu, dengan cepat sekali, gesit luar biasa Cie Kiat telah melompat mengelakan kedua serangan si pengemis.

Tangan si pengemis jadi menghajar tempat kosong. Hal ini membangkitkan kegusaran si pengemis.

Dengan sendirinya dia bergusar serangannya mengenai tempat kosong.

Dengan mengeluarkan seruan gusar, dia telah melompat dan menerjang lagi menyerang Cie Kiat.

Kali ini dia menyerang dengam menggunakan tangan kanannya untuk menghajar dada Cie Kiat, yang diincer adalah jalan darah Su-ting-hiatnya Cie Kiat.

Sedangkan tangan kirinya telah bergerak setengah lingkaran, jari-jari tangannya itu terbuka, tangannya akan menyerang kearah leher Cie Kiat seperti juga telapakan tangan itu berobah menjadi mata golok, kalau memang sampai leher Cie Kiat kena diserang, berarti leher itu akan patah!!

Cie Kiat melihat kehebatan si pengemis menyerang dirinya.

Lagi pula, Cie Kiat pun mengetahui, selalu serangan-serangan si pengemis kuat sekali, juga sangat telengas, karena serangan itu bisa menyebabkan kematian bagi orang yang terkena serangan itu. Dengan sendirinya Cie Kiat jadi mendongkol juga, darahnya jadi meluap.

Dia dengan si pengemis tidak saling kenal mengenal tetapi sekarang dirinya diserang begitu macam, dengan serangan-serangan yang mematikan, maka dengan cara begitu, kegusaran Cie Kiat jadi meluap.

Bukankah kalau memang dirinya kena diserang oleh si pengemis, dirinya akan terbinasa dengan cara yang konyol?!

Maka dari itu, Cie Kiat jadi mengambil keputusan, biar bagaimana dia harus dapat menundukkan pengemis ini.

Dengan cepat Cie Kiat telah menggerakkan tangannya.

Kali ini dia tidak menyingkir dari serangan orang, dengan cepat sekali dia telah menangkis serangan tangan kanan si pengemis, dan kemudian dia juga menangkis tangan kiri pengemis tersebut.

Terdengar beruntun dua kali suara benturan dari keempat tangan daritangan kedua orang ini. Nyaring sekali, karena masing-masing telah mengerahkan tenaga Lwee-kang mereka, dengan sendirinya benturan tangan-tangan itu jadi keras sekali.

Dan juga, karena benturan tersebut menerbitkan suara yang keras, dengan sendirinya si pengemis juga merasakan tenaga tangkisan dari Cie Kiat sangat kuat sekali.

Dengan sendirinya si pengemis jadi mengeluarkan suara seruan tertahan. Dia merasakan tangannya sakit sekali.

Tangannya itu tergetar akibat benturan dari tangan Cie Kiat.

Dan dengan terhuyung beberapa langkah. pengemis tersebut telah melompat mundur.

Cie Kiat juga terhuyung mundur satu langkah.

Dia tidak menyangka sedikitpun bahwa dirinya bisa terdorong mundur begitu.

Tadi Cie Kiat telah mengerahkan lima bagian tenaga Lwee-kangnya untuk menangkis serangan pengemis itu, dan ternyata pengemis itu masih bisa membuat Cie Kiat terhuyung kebelakang, hal itu menandakan bahwa pengemis ini sangat kuat sekali Lwee-kangnya, biarpun didalam kenyataannya pengemis itu juga telah terhuyung beberapa langkah jauhnya.

Si pengemis dengan cepat dapat menguasai dirinya, dia bisa berdiri tetap lagi.

Cie Kiat juga telah berdiri menatap pengemis tersebut, sehingga mereka jadi saling memandang dengan pancaran mata yang cukup tajam.

Pengemis itu telah mendengus dengan suara yang dingin sekali.

“Hmmmm........ ternyata kau memang mempunyai kepandaian yang lumayan! Pantas saudara-saudaraku jadi binasa seluruhnya ditanganmu!!” kata pengemis itu tawar. Cie Kiat tidak menyahuti perkataan pengemis itu, dia hanya memandang dengan pandangan tidak mengerti, karena dia memang benar-benar tidak mengerti dan tidak paham persoalan yang disebutkan oleh pengemis ini.

Melihat Cie Kiat berdiam diri saja, dengan cepat si pengemis telah melompat menyerang lagi.

Serangan pengemis tersebut kali ini hebat sekali.

Membawa angin serangan yang benar-benar luar biasa kuatnya, angin serangan itu berkesiutan nyaring dan menggugurkan daun-daun pohon.

Cie Kiat tidak berani berayal, dia tidak mau membiarkan dirinya ini kena diserang oleh pengemis itu.

Dia jadi teringat kepada dua ekor binatang berbisa yang pernah disaksikan beberapa saat yang lalu, gerakan-gerakan binatang berbisa itu yang telah menyebabkan Cie Kiat bisa menciptakan ilmu silat barunya.

Dengan cepat Cie Kiat telah menggerakkan tangannya, tanpa disadarinya, dia telah menggerakkan tangannya itu mengikuti gerakan kedua binatang berbisa yang pernah disaksikan olehnya.

Luar biasa sekali kesudahannya.

Tahu-tahu tangan Cie Kiat bergerak cepat sekali, dan entah bagaimana, tahu- tahu tangan Cie Kiat telah berhasil menghajar pundak pengemis itu.

“Dukkkkk!” tangan Cie Kiat menghajar pundak pengemis tersebut dengan keras sampai mengeluarkan suara benturan begitu.

Terdengar suara seruan kaget si pengemis, dia terlempar beberapa kaki jauhnya, ambruk ditanah dengan mengeluarkan suara gedebukan yang keras.

Tetapi pengemis itu liehay dan kosen sekali.

Begitu tubuhnya terbanting, begitu lekas dia telah mencelat untuk berdiri lagi. Dengan mata memancarkan cahaya yang bengis, pengemis ini telah menatap Cie

Kiat yang kala itu telah berdiri tenang-tenang ditempatnya.

Tubuh si pengemis gemetar, menggigil disebabkan kegusaran yang sangat berkecamuk didalam hatinya.

Dengan sendirinya dia ingin mengadu jiwa guna binasa bersama-sama dengan Cie Kiat.

Pengemis tersebut memang nekad benar.

“Kau... kau pelajar setan! Hari ini aku akan adu jiwa denganmu!” kata pengemis itu dengan suara gemetar. “Tak nantinya hatiku tenang kalau memang kau belum mampus dan dilenyapkan dari permukaan bumi ini!!”

Dan setelah berkata begitu, dengan berani dan nekad si pengemis telah melompat menerjang kearah Cie Kiat lagi.

Melihat kenekadan dari si pengemis, Cie Kiat jadi kewalahan juga. Tetapi karena Cie Kiat memang telah mengambil keputusan untuk menundukkan pengemis ini, dengan sendirinya dia jadi menghadapi terus.

Waktu si pengemis telah menyerang dirinya lagi, Cie Kiat telah bergerak cepat

lagi.

Dia mengegoskan serangan si pengemis, kemadian dengan cepat sekali, dia telah

mengulurkan tangannya, menotok jalan darah Tay-yang-hiatnya si pengemis.

Dan totokan Cie Kiat berhasil!

Si pengemis terkejut waktu dia merasakan jalan darah Tay-yang-hiatnya kena ditotok oleh si anak muda she Lie tersebut, dia sampai menjerit kaget.

Tetapi telah terlambat.

Tubuhnya telah mengejang dan ambruk ditanah dengan keras sekali, seketika itu juga dia meringkuk tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya!!



CIE KIAT menghampiri pengemis itu.

Dilihatnya pengemis tersebut sedang mendelik dengan mata yang terbuka lebar. Rupanya, biarpun tubuhnya sudah tertotok dan dia dalam keadaan tak berdaya,

toh tetap saja dia masih bergusar begitu rupa.

Sedikitpun tidak tampak perasaan takut diwajahnya, dia malah ingin memaki kalang kabutan.

“Pelajar edan! Pelajar setan! Cepat bebaskan aku!” memaki pengemis itu dengan suara yang mengancam benar. “Kalau memang satu kali saja aku terlolos dari tanganmu, niscaya aku akan mengadu jiwa, aku mau lihat, siapakah yang akan mampus diantara diri kita!” 

Cie Kiat tersenyum, sikapnya telah berobah sabar sekali.

“Saudara, kau ternyata telah salah paham!” kata Cie Kiat. “Kau telah salah mengenali orang! Percayalah pada kata-kataku, aku tidak mengenal dirimu dan belum pernah saling jumpa antara diriku dengan dirimu, maka dari itu.... janganlah kau bersikeras terus bahwa aku ini adalah musuhmu! Aku adalah orang pengelana, tetapi aku belum pernah mengalami persoalan yang kau sebutkan tadi!”

Mendengar perkataan Cie Kiat pengemis itu tertawa dingin dengan suara mendengus.

“Hmm, kau masih ingin berusaha membantah?” bentak pengemis itu dengan suara keras, nyata dia gusar sekali. Tubuhnya masih rebah tertotok tanpa bisa bergerak. “Tak usah kau memberikan alasan-alasan yang tidak masuk akal! Aku denganmu telah dua kali bertemu, mustahil aku tidak bisa salah mengenali orang! Kalau memang kau mau membunuhku, bunuhlah! Aku bukan sebangsa manusia yang takut mati!”

Mendengar perkataan pengemis tersebut, Cie Kiat jadi tambah heran.

Menurut si pengemis bahwa dirinya telah bertemu dua kali dengan pengemis ini, tetapi setahu Cie Kiat, dia tidak pernah bertemu dengan pengemis tersebut. Apakah didalam dunia ada seorang Cie Kiat lainnya?

Cie Kiat benar-benar bingung.

Sehingga akhirnya, saking herannya, Cie Kiat tidak berkata-kata, dia hanya mengawasi pengemis dengan tatapan mata yang heran.

Melihat Cie Kiat hanya berdiam diri, si pengemis jadi tambah murka. Dia duga Cie Kiat sengaja ingin mempermainkan dirinya.

“Kalau memang kau mau membunuh, bunuhlah!” teriak pengemis itu lagi dengan suara yang mengguntur, amarahnya telah meluap.

Cie Kiat tersadar, dia menghela napas.

“Saudara, aku sebetulnya menyesal sekali, mengapa kau masih demikian muda bisa salah mengenali orang? Perhatikanlah baik-baik wajahku... kau tentu akan menemui kelainan antara diriku dengan orang yang kau temui beberapa waktu yang lalu !”

Mendengar perkataan Cie Kiat begitu, dan lagi pula pengemis ini melihat Cie Kiat berkata dengan wajah yang bersungguh-sungguh, dengan sendirinya dia jadi bimbang juga.

Dia mcmperhatikan wajah Cie Kiat tajam sekali. Sampai akhirnya dia seperti kaget sendirinya.

“Oh... ini... ini... kau memang bukan dia... ohhh... bukan dia!” kata si pengemis seperti terkejut benar.

Cie Kiat mengetahui bahwa pengemis tersebut telah dapat melihat tegas wajahnya.

“Sudahkah kau melihat dengan tegas wajahku?” tanya Cie Kiat dengan sabar. “Bukankah benar perkataanku bahwa kau telah salah mengenali orang?”

Mendengar perkataan Cie Kiat pengemis itu tampaknya agak bingung.

“Inilah aneh! Kau berpakaian sama seperti orang itu! Tetapi ternyata sekarang aku bisa melihat tegas sekali, kau bukan dia! Kau bukan pelajar setan itu! Hai, aku memang benar-benar telah salah mengenali orang!!” mengumam si pengemis dengan suara yang perlahan.

Cie Kiat jadi girang melihat pengemis itu mau mengakui dirinya telah salah mengenali orang. Dia tersenyum sambil berjongkok disamping pengemis itu. Diurutinya jalan darah si pengemis yang tadi telah tertotok.

Sambil menguruti begitu, Cie Kiat berkata : “Maafkanlah tadi aku terpaksa menotok jalan darahmu, karena kau tidak tentu diantara diri kita berdua akan terjadi pertempuran yang hebat dan akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa!!

Pengemis itu tampaknya malu sekali, wajahnya sampai berobah menjadi merah.

Waktu jalan darahnya telah jalan kembali pulih seperti biasa, dengan cepat si pengemis telah bangun berdiri.

Tahu-tahu dia telah merangkapkan tangannya, dia memberi hormat kepada Cie

Kiat.

Hal ini membuat Cie Kiat jadi tergopoh-gopoh membalas pemberian hormat dari

si pengemis.

“Jangan begitu, saudara!!” kata Cie Kiat cepat. “Kita memang sering salah mata kalau mau mengenali seseorang!!”

Pengemis itu tersenyum malu, rupanya dia jengah sekali.

“Maafkanlah kekhilafanku tadi!!” kata pengemis itu. Aku Bo Tiong Hiap dengan ini meminta maafmu sebesar-besarnya!”

Cie Kiat juga cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah.

Kemudian Cie Kiat menanyakan, mengapa dia bisa begitu bermusuhan dengan orang yang dikatakan oleh pengemis tersebut hampir mirip dan menyerupai diri Cie Kiat.

Pengemis itu menghela napas.

“Kalau diceritakan sangat panjang sekali!!” katanya dengan suara berduka. “Banyak saudara-saudara kami dari pihak Kay-pang yang menjadi korban dari sasterawan setan itu!!” dan setelah berkata begitu, pengemis tersebut jadi kurang enak hati juga, karena segera juga dia teringat bahwa Cie Kiat adalah seorang pelajar juga, dengan sendirinya dia mengatakan musuhnya itu dengan sebutan pelajar setan, dia jadi tidak enak hati.

Tetapi Cie Kiat rupanya telah mengetahui kekikukan dari pengemis tersebut. Anak muda she Lie ini tersenyum.

“Bolehkah Hak-seng mengetahui persoalanmu itu?” tanya Cie Kiat dengan cepat mengalihkan pembicaraan mereka.

Dia juga membahasakan dirinya dengan sebutan Hak-seng, yang artinya aku si murid, suatu perkatakan yang merendah.

Pengemis itu dengan cepat telah mengangguk. “Boleh! Boleh!” dia menyahuti dengan cepat sekali. “Tak menjadi halangan bagiku! Tetapi lebih baik lagi kalau memang Kong-cu ikut menemui guruku dulu, nanti guruku itu yang akan menceritakan segalanya!”

Mendengar perkataan pengemis tersebut, Cie Kiat telah mengiyakan. Dia mau ikut bersama pengemis itu untuk menemui guru si pengemis. Dengan cepat mereka telah berlalu dari tempat tersebut.

Mereka berlari dengan cepat sekali, karena mereka telah menggunakan Gin- kang mereka yang sempurna.

Tubuh mereka melesat dengan cepat dan gesit sekali.

Ternyata biarpun Gin-kang Cie Kiat menang beberapa tingkat dari pengemis tersebut, namun Cie Kiat tidak mau memperlihatkan keunggulannya itu, dia sengaja telah berlari hanya mengerahkan lima bagian dari ilmu lari cepatnya itu, yang membuat mereka jadi bisa berlari berendeng.

Pengemis itu tidak menduga bahwa Cie Kiat sengaja telah memberikan suatu ketika dan mengalah kepadanya, dia hanya menduga bahwa kepandaian Cie Kiat dengan dirinya berimbang, dan tadi dia telah berhasil kena ditotok oleh Cie Kiat hanyalah disebabkan dia lengah dan kurang waspada, yang menyebabkan dirinya, atau jalan darahnya, berhasil ditotok oleh Cie Kiat.

Pengemis ini, Bo Tiong Hiap, malah telah mengerahkan tenaganya untuk berlari lebih cepat lagi.

Dia telah mengerahkan Gin-kangnya.

Tetapi tetap saja Cie Kiat dapat mengikutinya berlari berendengan dengan dirinya.

Hal ini menyebabkan dia mau tak mau jadi tambah penasaran.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga Gin-kangnya, pengemis yang mengaku she Bo itu telah berlari dengan cepat sekali.

Tubuhnya melesat bagaikan terbang, cepat luar biasa sekali.

Dan si pengemis menduga bahwa dia pasti akan dapat meninggalkan Cie Kiat didalam jarak yang cukup jauh.

Dia bermaksud mau memperlihatkan kepada Cie Kiat, bahwa Gin-kangnya berada disebelah atas dari anak muda she Lie itu.

Dengan bisa memperlihatkan bahwa Gin-kangnya berada disebelah atas Cie Kiat, Bo Tiong Hiap bermaksud menebus kekalahannya, dimana dia kena dirubuhkan oleh Cie Kiat. Tetapi Cie Kiat hanya tersenyum tenang saja waktu dia melihat kelakuan pengemis tersebut.

Dia tetap mengikuti dengan gerakan yang ringan dan tenang sekali.

Tubuhnya mencelat cepat luar biasa, biarpun tampaknya Cie Kiat tidak menggerakkan kakinya, toh tubuhnya telah melayang berlari dengan kecepatan yang luar biasa, dia berlari selalu berendeng dengan Bo Tiong Hiap. Hal ini, selain membuat Bo Tiong Hiap jadi penasaran sekali, juga dia sangat kagum.

Dengan sendirinya hatinya bercekat.

Dia segera mengetahui bahwa dirinya memang mempunyai kepandaian yang berada jauh disebelah bawah anak muda she Lie yang sedang berlari bersama-sama dengan dirinya akan menemui guru si pengemis guna meminta keterangan sang guru.

Cie Kiat masih terus mengikuti berendeng disamping pengemis tersebut. Sikapnya tenang sekali.

“Masih jauh, Bo Heng-thay?” tanya Cie Kiat waktu mereka telah berlari agak jauh dan masih tidak tampak sebuah rumah pendudukpun.

“Tidak jauh!!” kata Bo Tiong Hiap cepat. “Sebentar lagi kita akan sampai!!” Mereka berlari lagi dengan cepat.

Ketika sampai disebuah tikungan, tampak dihadapan mereka sebuah kelenteng. Bo Tiong Hiap telah menunjuknya.

“Itu dia!” kata Bo Tiong Hiap. “Dikuil itu guruku mondok!!”

Cie Kiat dan pengemis she Bo ini telah berlari lebih cepat lagi, tubuh mereka bagaikan melesat, agar cepat-cepat sampai dikelenteng yang ditunjuk oleh Bo Tiong Hiap!

*

* *

KELENTENG yang ditunjuk oleh Bo Tiong Hiap, pengemis muda itu, ternyata adalah sebuah kelenteng yang besar dan bangunannya indah serta kekar

Tembok kelenteng itu berwarna merah, juga daun pintu ruangan tengah dari kelenteng itu, kuil tersebut, berwarna merah pula.

Dengan ringan dan enteng sekali, Cie Kiat dan Bo Tiong Hiap melompat keatas dinding kuil itu.

Sepi sekali, tidak ada seorang manusiapun.

Bo Tiong Hiap tidak lantas turun, dia menoleh kepada Cie Kiat yang berdiri disisinya.

“Guruku berada didalam kuil ini, Kong-cu!!” kata Bo Tiong Hiap. Cie Kiat mengangguk.

“Hayo kita turun!!” kata Bo Tiong Hiap lagi sambil melompat dari atas dinding itu dengan ringan.

Cie Kiat hanya mengikuti saja dengan tenang.  

Mendengar suara itu, Bo Tiong Hiap telah berteriak : “Su-hu......

Tee-cu telah pulang!”

Waktu Bo Tiong Hiap menuju kebelakang kuil itu, dengan melalui pintu berbentuk rembulan, maka Cie Kiat pun mengikuti pengemis tersebut tanpa banyak bertanya.

Mereka membelok dua kali, akhirnya mereka sampai ditaman dari kelenteng itu.

Belum lagi mereka memasuki pekarangan kelenteng itu, yang menyerupai taman, telah terdengar suara ‘tak tuk’ berulang kali, disertai oleh suara orang berkata- kata : “Hai. kau benar-benar liehay, Loo-toa!”

Mendengar suara itu, Bo Tiong Hiap telah berteriak : “Su-hu...... Tee-cu telah pulang!”

Dan mereka telah melangkah masuk, maka tampak disamping batu gunung- gunungan kecil, disebuah kursi batu marmer putih, tampak duduk seorang pengemis tua yang sudah putih rambutnya dan jenggotnya, dan disampingnya tampak seorang lelaki setengah baya, yang memelihara jenggot pula, tetapi jenggotnya masih hitam legam. Wajahnya segat sekali, dia mengenakan baju Thung-sia yang berwarna kelabu.

Diatas kursi panjang itu, disisi mereka masing-masing tampak sebuah cawan. Sedangkan tangan si kakek pengemis yang rambutnya dan jenggotnya itu seluruhnya telah berwarna putih, sebentar-sebentar bergerak. Mereka memang duduk menghadapi dinding yang terpisah didalam jarak tujuh tombak.

Kedatangan Bo Tiong Hiap dan Cie Kiat seperti tidak diacuhkan oleh kedua orang ini.

Sedikitpun kedua orang tersebut tidak menoleh waktu Bo Tiong Hiap dan Cie Kiat melangkah masuk menghampiri mereka.

Dan, waktu saat itulah, disaat mereka telah melangkah dekat, Cie Kiat baru bisa melihat, bahwa kakek pengemis tersebut telah menggerakkan tangannya lagi, melemparkan sebutir biji Tokkie, yang melesat cepat sekali kearah dinding, dimana didinding tersebut terlukis lukisan kotak seperti juga papan Tokkie.

Biji Tokkie yang dilemparkan oleh kakek pengemis tersebut melesat cepat sekali, dan menancap didalam salah satu kotak.

Biji Tokkie itu tidak terlepas jatuh, tetap melesak masuk kedalam dinding. Hal ini bisa menunjukkan, betapa tingginya tenaga timpukan dari pengemis tua yang rambut dan jenggotnya itu keseluruhannya telah berobah putih semuanya.

“Bagus!” lelaki yang mengenakan jubah kelabu yang duduk disamping si pengemis. “Tauw memang benar-benar hebat! Dan sekarang giliranku membuka jalan kematianmu!” dan setelah berkata begitu, lelaki itu menggerakkan tangannya juga, maka melesatlah sebuah biji Tokkie.

Biji Tokkie itu meluncur dan menancap disalah satu kotak dideretan keempat dan dikotak keenam.

Tepat menancapnya biji catur itu.

Si pengemis tua itu jadi melompat berjingkrak sambil mengeluarkan seruan mendongkol.

“Hai, kau memang benar-benar licik!” seru si pengemis sambil tertawa. “Kau telah dapat memilih jalan kematianku, sehingga aku tidak bisa jalan lagi!”

Dan memang orang tua yang duduk disamping kakek pengemis tersebut liehay sekali. Tadi dia telah menjalankan biji Tokkienya itu jalan ‘Siung’, sehingga ketika itu juga jalan pengemis itu tertutup. Dia sedang berada didalam posisi ‘Ho’ dan ‘Pian’, sehingga dengan sendirinya ketika orang tua berpakaian serba kelabu itu berjalan menutup jalan ‘Siung’, dengan sendirinya jalan hidup bagi si kakek pengemis itu telah tertutup, jalan kematiannya jadi menjelang dirinya, yang membuat dia tak bisa jalan kembali.

Kedua kakek itu, yang satu pengemis, sedangkan yang saorangnya biarpun tidak berpakaian seperti pengemis, toh pakaiannya itu sederhana sekali, telah tertawa gelak-gelak.

Tampaknya mereka senang sekali. Mereka masing-masing telah mengambil cawan mereka, meminumnya.

Setelah itu, tanpa menoleh si pengemis tua telah berkata : “Hiap-jie..........

apakah kau berhasil?”

Pengemis Bo Tiong Hiap dan Cie Kiat tadi waktu melihat kedua orang tua tersebut sedang repot dengan permainan Tokkie mereka yang aneh itu, Cie Kiat dan Bo Tiong Hiap tidak berani mengganggunya.

Mereka hanya berdiri dipinggir menyaksikan saja.

Diam-diam Cie Kiat jadi kagum sekali ketika melihat betapa tenaga kedua kakek ini, si pengemis dan si kakek berpakaian baju kelabu itu, yang dapat menimpukkan biji Tokkienya dengan tepat dan meluncur menutupi jalan lawannya masing-masing.

Dan disaat pengemis tua itu menegur begitu, Bo Tiong Hiap cepat-cepat menjurah memberi hormat.

Pada saat itu si pengemis tua tersebut telah menoleh, dia memperhatikan Cie Kiat. Begitu juga kawannya si pengemis tua, dia menoleh dan mengawasi Cie Kiat. Tampaknya mereka agak tercengang.

Melihat hal ini, setelah memberi hormat kepada gurunya Bo Tiong Hiap lantas berkata :

“Su-hu dan Boen Su-peh jangan salah lihat, Kong-cu ini bukanlah si pelajar setan Coe Mie La........ memang pakaian dan wajahnya hampir menyerupai dan mirip sekali dengan Coe Mie La, tetapi ternyata dia tidak mempunyai sangkut paut dengan pelajar setan she Coe itu.

Tampak si kakek pengemis tersebut memperhatikan Cie Kiat dengan mata terpentang lebar.

Orang tua yang mengenakan baju kelabu itu juga memperhatikannya dengan teliti.

“Siapa namamu, Kong-cu?” akhirnya si pengemis tua itu segera bertanya setelah dia mengawasi sekian lama.

Cie Kiat menyebutkan namanya.

Pengemis tua tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya seperti juga sedang berpikir.

Sedangkan Bo Tiong Hiap telah menceritakan bagaimana dia bisa berjumpa dengan Cie Kiat.

“Jadi benar-benar kau tidak mengenal pelajar setan Coe Mie La itu?” tegur si pengemis tua sambil mengawasi tajam sekali kepada Cie Kiat.

Cie Kiat mengangguk. “Ya, Boanpwee tidak tahu menahu persoalan yang sedang Loo-cianpwee hadapi!” kata Cie Kiat cepat. “Juga memang sebenarnya Boanpwee tidak mengenal orang yang disebut Coe Mie La itu!!”

Si pengemis tua menghela napas.

Dia juga menyebutkan namanya, dan memperkenalkan kawannya, orang tua berpakaian baju serba kelabu itu.

“Ternyata pengemis tua itu bernama Ang Po Sian. Dia adalah seorang pengemis yang mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya.

Ang Po Sian adalah seorang tokoh didalam perkumpulan Kay-pang, dia sebetulnya yang harus duduk sebagai Pang-cu didalam perkumpulan Kay-pang, namun karena dia ini memang tidak mau direpoti oleh persoalan duniawi, maka dia telah menolak jabatan itu. Hanya saja, biarpun Kay-pang telah mengangkat seorang Pang-cu lainnya menggantikan kedudukan Ang Po Sian, toh tetap saja semua pengemis-pengemis didalam perkumpulan Kay-pang menghormati Ang Po Sian, lebih mengindahkan dan mematuhkan orang she Ang ini, kalau dibandingkan dengan Pang-cu Kay-pang yang sekarang sedang duduk. Mereka semuanya menghormati orang she Ang tersebut karena selain berhati welas asih, juga Ang Po Sian sangat bijaksana sekali didalam setiap tindakannya.

Setiap Kay-pang menghadapi persoalan yang rumit dan sulit, yang sukar dihadapi, maka Pang-cu Kay-pang sengaja mencari Ang Po Sian untuk meminta pendapat dan nasehatnya didalam soal mengambil langkah-langkah yang tepat menyelesaikan persoalan tersebut.

Maka dari itu, Ang Po Sian biarpun berkedudukan bukan sebagai Pang-cu Kay- pang, toh tetap saja dia berpengaruh besar sekali didalam perkumpulan pengemis tersebut.

Sedangkan kakek berpakaian serba kelabu yang menjadi kawan dari Ang Po Sian itu bernama Ma Thian Ie, seorang Kiam-khek, seorang ahli pedang, yang mempunyai ilmu pedang yang luar biasa, yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu pedang Coa-ting Sin-kiam!

Ma Thian Ie juga terkenal seorang yang tidak mau dipusingi oleh persoalan duniawi, maka dari itu, dia lebih banyak berkelana untuk menggembirakan hatinya. Dia selalu memilih tempat-tempat yang sepi untuk menikmati ketenangan hidupnya.

Dia dengan Ang Po Sian adalah dua orang sahabat yang baik sekali, mereka selalu sering bertemu untuk mengadakan pertandingan Tokkie, yang membuat mereka selalu tenggelam didalam keasyikan.

Ma Thian Ie juga seorang yang polos dan suka berterus terang. Dia selalu menghadapi persoalan tenang sekali.

Dan pada dua bulan yang lalu Ang Po Sian menghadapi persoalan yang benar- benar membikin kepalanya jadi pusing.

Beberapa orang Kay-pang, telah diketemukan terbinasa dimuka hutan.

Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang pelajar bermuka keren dan bertubuh tinggi tegap. Pelajar itu, mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya, namun dia sangat telengas sekali. Malah, salah seorang Tiang-lo dari Kay-pang kena dibunuh oleh pelajar itu.

Pembunuhan ini dapat disaksikan secara kebetulan oleh murid tunggalnya Ang Po Sian yang bernama Bo Tiong Hiap.

Bo Tiong Hiap melakukan pengejaran, dan mereka, Tiong Hiap dan pelajar itu, yang akhirnya diketahui bernama Coe Mie La, jadi bertempur dengan seru sekali.

Tetapi kepandaian mereka terpaut jauh sekali.

Coe Mie La mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya.

Kalau memang orang she Coe ini bermaksud mau membunuh Bo Tiong Hiap, sama mudahnya seperti dia membalikkan telapak tangannya sendiri.

Tetapi herannya, anehnya, pelajar she Coe itu tidak menurunkan tangan jahat kepada Bo Tiong Hiap.

Dia tidak membunuh Bo Tiong Hiap.

Tetapi Bo Tiong Hiap yang telah nekad terus juga telah melancarkan serangan nekad, dia bermaksud akan mengadu jiwa guna membalaskan sakit hatinya kepada diri pelajar she Coe tersebut, karena saudara-saudara satu perkumpulan pengemis telah terbunuh ditangan si pelajar she Coe tersebut.

Tetapi pelajar Coe Mie La itu banyak sekali mengalah terhadap Bo Tiong Hiap. Wajahnya yang cakap itu memperlihatkan senyumnya yang manis.

Sampai akhirnya, dia malah telah melompat menjauhi Bo Tiong Hiap.

“Pergilah kau pulang kegurumu!” kata pelajar itu dengan suara yang mengejek. “Aku tidak tega untuk membunuhmu! Beritahukan kepada Ang Po Sian, bahwa satu waktu nanti aku mau menemui dirinya!”

Bo Tiong Hiap mendongkol sekali, dia murka benar dan penasaran. Maka dari itu, dikejarnya, dan dia melancarkan serangannya pula. Pelajar she Coe itu mendengus.

“Kau terlalu bandel! Terlalu kepala batu!” kata. Coe Mie La. “Aku sudah mengatakan bahwa kau lebih baik pulang saja menggelinding kegurumu, karena percuma saja kau membuang jiwamu disini.”

Tetapi Bo Tiong Hiap memang telah nekad benar.

Dia tetap melancarkan serangannya terhadap diri pelajar Coe Mie La tersebut.

Dengan sendirinya setiap serangannya itu mengandung tenaga Lwee-kang yang kuat, sebab Bo Tiong Hiap bukanlah seorang lawan yang lemah.

Tetapi menghadapi Coe Mie La, Bo Tiong Hiap jadi tidak bisa berbuat banyak. Tampaknya Coe Mie La selalu dapat menghindarkan diri dari setiap serangan

Bo Tiong Hiap dengan mudah sekali. Hal ini membuat Bo Tiong Hiap jadi tambah bergusar.

Satu kali, dengan ringan sekali, Coe Mie La telab mencelat keatas dan berdiri disalah satu cabang pohon yang tumbuh didekat tempat itu.

Dia berkata dengan suara yang tawar :

“Kalau memang kau masih penasaran, maka lima hari lagi aku akan menemui dirimu dan kau boleh bertempur sepuas hatimu!” kata Coe Mie La. “Sekarang aku masih mempunyai urusan yang harus kuselesaikan, maka dari itu, aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi!”

Dan setelah berkata begitu, dengan cepat sekali dan ringan juga seperti bayangan, Coe Mie La telah mencelat pergi meninggalkan Bo Tiong Hiap.

Bo Tiong Hiap sangat penasaran sekali.

Dia mengejarnya, tetapi hanya didalam waktu yang sangat singkat sekali, Bo Tiong Hiap telah kehilangan jejaknya.

Hal ini membuat Bo Tiong Hiap jadi uring-uringan, karena Coe Mie La berjanji akan menemui dirinya lagi lima hari kemudian itu, tidak disebutkan tempatnya, membuat dia jadi tidak mengetahui akan menantikan dimana.

Maka dari itu, Bo Tiong Hiap mengambil keputusan bahwa dia akan menunggu ditempat,tersebut setiap harinya.

Untuk menggunakan kesempatan itu, Bo Tiong Hiap telah menemui gurunya, Ang Po Sian.

Diceritakan semuanya itu.

Hal ini membuat Ang Po Sian jadi murka benar.

Karena salah seorang Tian-lo dari Kay-pang juga ikut terbunuh oleh pelajar Coe

itu.

Dengan sendirinya, Ang Po Sian juga ingin menemui pelajar itu, guna

melakukan pembalasan dendam atas kematian salah seorang Tiang-lo dari Kay-pang dan beberapa orang anggauta Kay-pang yang terbinasa ditangannya pelajar she Coe tersebut.

Mereka guru dan murid selama lima hari telah menantikan dipinggiran hutan itu untuk menunggu pelajar she Coe tersebut menepati janjinya.

Namun sampai pada hari yang dijanjikan, pelajar Coe Mie La itu tetap saja tidak menampakan dirinya, tidak terlihat batang hidungnya, dengan begitu, hal ini membuat hati Ang Po Sian dan Bo Tiong Hiap jadi gusar benar.

“Kita harus mencarinya!” kata Ang Po Sian kepada muridnya, Bo Tiong Hiap, setelah mereka menantikan sampai menjelang malam hari kelima itu, dan Coe Mie La juga tidak menampakan dirinya. “Biarpun orang itu melarikan diri keujung dunia, tetap saja tidak bisa kita lepas begitu saja! Dia harus kita cari sampai dapat dan membalas sakit hati dari saudara-saudara kita di Kay-pang yang terbinasa ditangannya!” Bo Tiong Hiap juga menyetujui saran gurunya itu.

Mereka mengembara didalam kalangan Kang-ouw, sampai menjelang dua bulan, mereka masih tidak bisa mengendus jejak dari pelajar she Coe tersebut.

Namun pada suatu senja, dikala Bo Tiong Hiap tengah menikmati keindahan senja didekat sebuah lapangan rumput seorang diri, karena gurunya, Ang Po Sian, tengah beristirahat disebuah kelenteng didekat tempat itu, menemani seorang sahabatnya yang bernama Ma Thian Ie, dengan tidak terduga Bo Tiong Hiap bisa bertemu dengan pelajar she Coe tersebut.

Pertama-tama Bo Tiong Hiap melihat seekor kuda tengah berlari dengan cepat sekali kearahnya.

Waktu kuda itu telah mencongklang dekat sekali dengan dirinya, tampak penunggangnya itu seorang anak muda.

Tiba-tiba darah Bo Tiong Hiap jadi mendesir, karena segera juga dia mengenali bahwa penunggang kuda itu adalah Coe Mie La!

Dengan cepat Bo Tiong Hiap telah mengerahkan Gin-kangnya, dia telah mengejarnya.

Coe Mie La juga kaget waktu dia bertemu dengan Bo Tiong Hiap.

Dia berusaha membedal kudanya itu, tetapi dengan cepat sekali Bo Tiong Hiap telah berhasil mengejar kudanya.

Bo Tiong Hiap berusaha menjambret tali kendali tunggangan Coe Mie La. Tetapi Coe Mie La lebih cepat lagi, dia telah melompat turun.

Pelajar she Coe ini tertawa.

“Aha, rupanya kita bisa bertemu disini!” kata si pelajar dengan tertawanya. Bo Tiong Hiap sedang murka benar.

“Kau lelaki pengecut, seorang Siauw-cut yang tidak bisa menepati kata- katamu!” kata Bo Tiong Hiap dengan gusar sekali. “Hmmm, biarpun kau mau melarikan diri keujung dunia, tetap saja kau tidak akan dapat meloloskan diri dari tangan kami, tangan orang-orang Kay-pang!!”

Coe Mie La tertawa.

“Mengapa saudara kecil tampaknya begitu berang dan galak sakali?” tegurnya. Hal ini jadi tambah membangkitkan kemurkaan Bo Tiong Hiap.

Usia dirinya tidak lebih muda dari usia pelajar she Coe itu toh sekarang pelajar Coe Mie La telah membawakan lagak seperti orang angkatan tua, yang memanggil dirinya dengan sebutan saudara kecil.

Dengan berjingkrak saking murkanya, Bo Tiong Hiap telah berseru : “Kau pelajar setan! Tanganmu telengas sekali, dan sekarang aku ingin mengambil jiwamu!!” Mendengar perkataan Bo Tiong Hiap, Coe Mie La telah menggoyang- goyangkan tangannya.

“Sabar! Sabar!” kata Coe Mie La dengan cepat sekali. “Jangan kita bertempur dulu!!”

Bo Tiong Hiap mengerutkan alisnya.

“Jangan bertempur! Hmmmm! Aku akan adu jiwa denganmu untuk membalaskan sakit hatiku!!” kata Bo Tiong Hiap dengan suara yang keras. “Biar bagaimana hari ini kita harus menetapkan siapa yang berhak untuk hidup terus!!”

Dan setelah berkata begitu, Bo Tiong Hiap telah melompat mau menyerang. Tetapi kembali Coe Mie La telah menggoyang-goyangkan tangangnya.

“Sabar! Sabar!” kata pelajar bermuka cakap sekali, putih seperti muka perempuan itu. “Jangan cepat marah! Dengarkan dulu perkataanku! Aku mau menemanimu bertempur! Aku memang ingin mengetahui sampai dimana kepandaianmu!! Tetapi saat-saat sekarang ini aku benar-benar mempunyai urusan yang sangat penting sekali, maka dari itu, aku tidak bisa menemanimu! Aku minta waktu sampai besok sore! Kita bertempur dan boleh bertempur sepuas hati!”

Mendengar perkataan pelajar Coe Mie La itu, Bo Tiong Hiap tertawa dingin. “Aku mana bisa mempercayai peerkataanmu?” kata Bo Tiong Hiap sengit.

“Dulu dua bulan yang lalu kau telah menjadi seorang Siauw-cut, tidak menepati janjimu!! Kau tidak berani dan bersembunyi seperti juga seorang maling kecil! Hmm... sekarang biarpun kau mengemukakan alasan apa saja, tetap aku tidak bisa membiarkan kau berlalu seenakmu saja!”

Coe Mie La membawa sikap yang tenang, nyata dia sabar sekali.

“Aku datang menepati janji pada dua bulan yang lalu, tetapi ternyata kau tidak datang. Aku menantikan kau sampai dihari kedelapan dimuka hutan itu, selama tiga hari aku menantikanmu!” kata Coe Mie La.

Mendengar perkataan pelajar itu, Bo Tiong Hiap sangat gusar.

“Hmm... itu hanya alasan yang dibuat-buat olehmu!” kata Bo Tiong Hiap dengan murka. “Sekarang aku tidak mau mendengar apa alasanmu lagi, maka dari itu cepat kau bersiap-siap! Aku tidak akan sungkan-sungkan untuk menyerang dirimu!”

Coe Mie La tersenyum, manis sekali senyumnya itu, menyerupai senyum seorang gadis. Wajah Coe Mie La terlalu cakap untuk wajah seorang lelaki.

“Sahabat kecil, dengarlah!” kata Coe Mie La dengan cepat. “Didepan tempat ini, terdapat sebuah rumah kosong, tidak ditempati orang, maka dari itu kuminta besok kau tunggu aku disitu! Tetapi ingat, kau datang jangan bersama Ang Po Sian, gurumu itu, karena aku belum waktunya bertemu dengan dia! Kalau memang kau datang bersama orang she Ang itu, sama seperti dihutan pada dua bulan yang lalu, aku tidak mau menemui dirimu!”

Mendengar perkataan Coe Mie La, wajah Bo Tiong Hiap jadi berobah merah. Dia jadi jengah. Rupanya pelajar she Coe ini memang datang menepati janjinya, karena ternyata dia memang mengetahui bahwa dia datang bersama Ang Po Sian, gurunya itu.

Dengan sendirinya, untuk sesaat lamanya Bo Tiong Hiap jadi berdiri seperti orang kesima.

Melihat kelakuan anak muda pengemis tersebut, Coe Mie La tertawa.

“Nah sahabat kecil, aku akan menemuimu dirumah yang terpisah hanya tiga lie dari sini, pada saat itu kau boleh bertempur sepuas hatimu! Tetapi kau harus ingat, sekali lagi kuperingati, janganlah kau datang bersama-sama orang she Ang itu!!”

Mendengar perlataan Coe Mie La yang terakhir ini Bo Tiong Hiap jadi gusar benar.

Dia sampai mendengus berulang kali.

“Hmmm...... kenapa kau jeri kepada guruku?” bentak Bo Tiong Hiap dengan suara yang mengejek.

Mendengar itu, Coe Mie La tersenyum manis sekali.

Tidak tarlihat bahwa dia mendongkol mendengar perkataan Bo Tiong Hiap. “Aku bukan jeri kepada gurumu itu, tetapi kurasa belum waktunya aku menemui

dirinya!!” kata Coe Mie La kemudian.

Bo Tiong Hiap jadi ragu-ragu.

Tetapi Coe Mie La yang melihat keragu-raguan anak muda yang menjadi pengemis itu, telah tertawa.

“Kau tak usah kuatir, aku pasti akan datang menemuimu dirumah kosong yang terpisah tiga lie dari tempat ini besok siang katanya dengan suara yang pasti. “Nah...... sekarang berhubung aku masih mempunyai urusan yang penting, maka aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi!!” dan setelah berkata begitu, si pelajar telah melompat keatas kudanya, dia menggentak tali les kuda tunggangannya itu sambil tersenyum, kudanya lari dengan cepat.

Bo Tiong Hiap jadi berdiri diam ditempatnya.

Dia bimbang dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Kalau memang dia menghadang pelajar itu, tentu dengan sendirinya dia kalah jauh, sebab kepandaian Coe Mie La berada disebelah atas dirinya.

Maka dari itu, akhirnya si pengemis she Bo ini menghela napas disaat bayangan kuda dan Coe Mie La telah lenyap dari dirinya.

Dengan lesu dia kembali kekelenteng dimana gurunya dan Ma Thian Ie sedang berada.

Kepada gurunya Bo Tiong Hiap menceritakan segalanya, dia juga menceritakan bagaimana pelajar she Coe itu telah menjanjikan dirinya untuk bertemu disebuah rumah kosong yang terletak tak jauh tempat itu.

Ang Po Sian menghela napas. “Pelajar setan itu benar-benar seperti iblis yang muncul dan hilang begitu cepat!” kata Ang Po Sian kemudian. “Hai...... memang pepatah mengatakan bahwa ombak yang dibelakang mendorong ombak yang dimuka! Golongan tua akan digantikan oleh golongan muda! Itulah tidak salahl Menuruti cerita Hiap-jie, pelajar she Coe itu mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali !!”

Ma Thian Ie juga mengiyakan.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Ma Thian Ie kepada Ang Po Sian. Ang Po Sian tidak lantas menyahuti, dia telah menghela napas lagi.

Ditatapnya kearah langit, dia seperti memandang sesuatu yang jauh sekali.

“Biar bagaimana sakit hati dari kawan-kawan didalam Kay-pang yang telah terbunuh olah bocah she Coe itu, harus dibalaskan sakit hatinya! Tetapi Hiap-jie telah menjanjikan bahwa dia akan datang seorang diri menghadapi pelajar she Coe itu, hal ini membuat kita jadi tidak bisa bergerak, kalau memang kita datang pula ketempat itu, berarti kita akan kehilangan muka! Dengan sendirinya Hiap-jie harus menepati janjinya datang kerumah kosong itu, dan menemui si pelajar iblis she Coe itu guna melakukan pembalasan sakit hati dari saudara-saudara kita yang telah terbunuh!!”

Hiap-jie, Bo Tiong Hiap, cepat-cepat telah berlutut.

“Tee-cu menerima perintah dari Su-hu!!” kata Bo Tiong Hiap dengan cepat.

Dan, dengan berseorang diri, Bo Tiong Hiap datang kerumah kosong yang ditunjuk oleh Coe Mie La.

Secara tidak diduga-duga, dia jadi bertemu dengan Cie Kiat yang berpakaian sebagai seorang pelajar Coe Mie La dan mirip dengan pelajar she Coe itu, sehingga Bo Tiong Hiap menduga Cie Kiat adalah Coe Mie La, yang menyebabkan dia jadi menyerang dengan mati-matian!!

Tetapi, setelah ditegaskan wajah Cie Kiat, Bo Tiong Hiap dapat mengenali bahwa dia memang telah salah mengenali orang, karena wajah Coe Mie La lebih cakap dari wajah Cie Kiat, wajah pelajar she Coe itu seperti juga wajah seorang wanita, halus dan bersih, putih mulus dan matanya jeli sekali !



MENDENGAR cerita itu, Cie Kiat jadi mengerutkan alis matanya.

“Apakah sebelumnyja antara pihak Kay-pang dengan Coe Mie La itu terjadi suatu bentrokan?” tanya Cie Kiat kemudian.

Ang Po Sian menghela napas. Aku tidak mengetahui dengan pasti, tetapi yang membuat kami benar-benar sakit hati, kenapa dia menurunkan tangan begitu telengas, telah membunuh belasan orang-orang Kay-pang? Mengapa dia tidak menemui Pang-cu Kay-pang guna menerangkan dimana kesalahan Kay-pang atau memang dia pernah mengalami ketidak puasan dari salah seorang anggota Kay-pang? Mengapa dia harus main hakim sendiri dan membunuh belasan orang Kay-pang begitu saja?! Nyatanya sekarang, setelah dia menjanjikan untuk bertemu dengan Hiap-jie, kembali dia tidak muncul! Hai, sebetulnya apa maunya pelajar she Coe itu? Kalau menurut keterangan Hiap-jie, kalau memang Coe Mie La itu menginginkan kebinasaan Hiap-jie, sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangannya, karena kepandaian pelajar setan itu benar- benar tinggi dan kosen luar biasa!!”

Setelah berkata begitu, Ang Po Sian menghela napas lagi.

Sedangkan menggunakan disaat Ang Po Sian tidak berkata-kata lagi, Ma Thian Ie telah bertanya kemana tujuan dari Cie Kiat.

Cie Kiat tidak mau menerangkan sebenarnya. Karena dia masih mempunyai kesulitannya sendiri.

Kalau memang dia menerangkan bahwa dia harus mencari beberapa musuh besarnya, tentu persoalannya akan menjadi kacau kalau memang hal itu tersiar luas.

Maka dari itu, Cie Kiat hanya mengatakan bahwa dia hanya ingin mengembara, guna menambah pengalaman.

Ma Thian Ie, Ang Po Sian dan Bo Tiong Hiap mempercayai keterangan anak muda she Lie ini.

Mereka tidak terlalu mendesak.

Dan malam itu, Cie Kiat jadi bermalam dikelenteng tersebut bersama-sama dengan Ang Po Sian, Ma Thian Ie dan Bo Tiong Hiap.

Banyak yang didengar dari Ang Po Sian mengenai pergolakan didalam dunia persilatan. Lagi pula, soal kelicikan dan kejahatan yang sering dilakukan oleh jago- jago yang mempunyai kepandaian yang tinggi tetapi bertabiat jahat sekali.

Cie Kiat jadi tertarik mendengar cerita dari Ang Po Sian dan Ma Thian Ie.

Kedua jago tua yang berpengalaman itu menduga bahwa Cie Kiat memang benar-benar masih hijau didalam kalangan Kang-ouw, sungai telaga, maka dari itu, mereka telah menceritakan segalanya agar Cie Kiat memperoleh pengetahuan yang lebih luas lagi.

Cie Kiat merasa sangat senang sekali bergaul dengan Ang Po Sian, Bo Tiong Hiap dan Ma Thian Ie.

Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam.

Tetapi disaat mereka akan berpisah untuk mengaso dan tidur, tiba-tiba mendengar suara bentakan-bentakan yang nyaring disusul oleh suara benturan benda logam, yang mungkin dari senjata yang saling membentur.

Ang Po Sian, Ma Thian Ie telah melompat dengan cepat sekali. Tubuh mereka ringan luar biasa, seperti juga burung walet yang terbang meluncur.

Melihat itu, Cie Kiat jadi kagum sekali akan keringanan tubuh kedua pendekar tua itu.

Karena biar bagaimana Cie Kiat harus mengakui, gerakan dari Ang Po Sian dan Ma Thian Ie itui telah sempurna sekali.

Sedangkan Bo Tiong Hiap telah menoleh kepada Cie Kiat.

“Mari kita melihat keluar apa yang terja di disana!” ajak Bo Tiong Hiap. Cie Kiat mengiyakan sambil mengangguk.

Dengan cepat mereka juga melesat keluar dari kuil itu.

Begitu sampai diluar kuil, tampak dibawah sorotnya cahaya rembulan, berlari- lari dua sosok tubuh. Sebentar-sebentar dua sosok tubuh itu berhenti berlari, dan mereka tampak bertempur dengan hebat.

Semakin lama kedua sosok tubuh yang sedang bertempur itu jadi semakin dekat.

Ang Po Sian dan Ma Thian Ie telah berdiri berendeng dikejauhan mengawasi kedua sosok tubuh yang sedang bertempnr itu.

Cie Kiat dan Bo Tiong Hiap telah menghampiri jago tua she Ma itu. Mereka berdiri disitu.

Kedua sosok tubuh yang sedang bertempur dibawah cahaya rembulan itu semakin mendekat kearah Ma Thian Ie dan yang lain-lainnya.

Dan Ang Po Sian serta yang lainnya dapat melihat bahwa kedua sosok tubuh yang sedang bertempur itu ternyata adalah dua orang gadis!

Usia kedua gadis itu mungkin baru delapan belas tahun. Wajah mereka keduanya cantik sekali.

Tubuh mereka lemah gemulai waktu mereka bertempur, tetapi setiap serangan mereka itu mengandung tenaga yang kuat dan serangan yang benar-benar mematikan.

Ang Po Sian dan yang lainnya ketika melihat cara bertempur kedua gadis itu, mereka jadi kaget bukan main, sebab mereka bertempur dengan menggunakan ilmu silat yang luar biasa sekali.

Lagi pula keduanya bertempur dengan gesit sekali, yang menyebabkan mereka hanya merupakan dua sosok bayangan belaka.

Gadis yang seorangnya bersenjatakan sebilah golok pendek, tetapi gerakannya selalu cepat dan gesit, setiap serangannya akan membahayakan pihak lawannya.

Dan gadis yang seorangnya lagi bersenjatakan sebatang pedang ditangan kanannya, sedangkan ditangan kirinya telah mencekal sebatang Hud-tim, yang biasa dipakai oleh seorang Nie-kauw. Biarpun Hud-tim itu dibuat dari bulu-bulu yang halus, namun karena berada ditangan seorang jago yang kosen seperti gadis itu, maka Hud-tim tersebut telah berobah menjadi sebatang senjata yang hebat sekali.

Bulu-bulu Hud-tim yang lemas dan lembut itu terkadang bisa jadi berobah keras dan kaku seperti baja, yang sekali dapat menghantam batu gunung menjadi hancur berantakan!!

Gadis yang mencekal Hud-tim dan pedang ini, telah mengeluarkan serangan- serangan yang mematikan, dia melancarkan serangan-serangan yang benar-benar membuat gadis yang seorangnya jadi kelabakan sekali.

Gadis yang satunya, yang mengenakan gaun merah itu, yang mencekal sebatang golok pendek sebagai senjatanya, selalu terdesak mundur, dia main membela diri belaka, jarang sekali dia mempunyai kesempatan untuk membalas menyerang.

Sedangkan gadis yang seorangnya, yang mengenakan baju berwarna ungu, yang mencekal Hud-tim dan pedang sebagai senjatanya itu, telah merangsek terus dengan serangan-serangan yang luar biasa hebatnya.

“Hmmmm...... kuku garuda seperti kau harus mampus!” bentak gadis yang berpakaian serba ungu dan mencekal Hud-tim dan pedang itu sambil melancarkan terus serangan-serangannya yang membahayakan sekali. “Tak boleh sebangsa kau kuku garuda dibiarkan hidup, bisa membahayakan kawan-kawan dirimba persilatan!!”

Gadis yang seorangnya lagi, yang mengenakan baju serba merah itu, yang bersenjatakan golok pendek, telah mendengus tertawa dingin.

“Kau adalah seorang yang tidak tahu diri!” bentaknya dengan suara yang dingin. “Hmmm....... kalau memang orang-orangku mengetahui kau berada disekitar daerah ini, jangan harap kau bisa meloloskan diri lagi!!”

Dan sambil berkata begitu, gadis ini telah menggerakkan goloknya, dia menangkis keras sekali serangan Hud-tim lawannya.

Tetapi, begitu Hud-timnya kena ditangkis, gadis yang seorang ini telah membarengi menyerang dengan menggunakan pedangnya.

Dia menyerang kearah ulu hati si gadis bergaun merah.

Gadis ini sedang menangkis Hud-tim lawannya, maka dari itu dia tidak bisa menarik pulang goloknya.

Sedangkan serangan lawan telah hampir mengenai dadanya. Dengan berani dan cepat sekali, gadis itu menggerakkan tangannya. Dan. !

“Tringg. !” terdengar nyaring sekali badan pedang gadis itu telah kena disentil

oleh telunjuk gadis bergaun merah.

Gadis bergaun ungu itu jadi mendongkol, dia bergusar dan penasaran sekali. “Hari ini adalah hari kematianmu! Sakit hati dari saudara-saudara kami dirimba persilatan akan terbalas!” teriak gadis berbaju ungu itu dengan suara yang keras sekali.

Dan sambil berkata begitu, dia telah melancarkan serangan dari dua jurusan dengan cara yang serentak, Hud-timnya menyerang kearah kepala gadis bergaun merah itu, sedangkan pedangnya dipakai untuk menusuk paha gadis itu.

Hal tersebut membuat gadis bergaun merah ini jadi kewalahan, dia agak gugup. Jelas dirinya terancam sekali.

Kalau memang dia memakai goloknya untuk menangkis serangan Hud-tim orang, berarti pahanya akan menerima tusukan pedang, lawannya.

“Hari ini adalah hari kematianmu! Sakit hati dari saudara- saudara kami dirimba persilatan akan terbalas!” teriak gadis berbaju ungu.

Dan hal itu tidak diinginkan oleh si gadis bergaun merah.

Dia telah menjejakkan kakinya akan melompat menjauhi lawannya lagi. Tetapi kali ini gadis bergaun ungu itu tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya lagi. Dia telah melompat juga sambil tetap menyerang dengan serentak dengan menggunakan kedua senjatanya itu.

Hati gadis bergaun merah itu jadi mencelos hatinya.

Karena disaat tubuhnya sedang terlambung begitu, sulit baginya untuk mengelakan kedua serangan lawannya.

Sekuat tenaga dia telah memutar goloknya.

“Trangg!” goloknya itu dapat menangkis pedang lawannya, tetapi Hud-tim yang dicekal tangan kiri gadis bergaun ungu itu telah meluncur terus akan menghajar kepalanya.

Kalau memang sampai kepalanya kena dihajar, dikebut oleh bulu Hud-tim yang telah berobah keras seperti baja karena disaluri tenaga Lwee-kang, tentu batok kepalanya itu akan hancur dan polonya akan berhamburan keluar!

Gadis berpakaian gaun serba merah jadi mengeluarkan seruan kaget, karena mengetahui bahwa dirinya tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengelakan serangan itu.

Dengan sekuat tenaganya, dia telah mengelakkan serangan itu.

Tetapi bulu-bulu Hud-tim tersebut tetap telah mengincer akan menghajar kepalanya.

Keadaan gadis ini jadi berada didalam keadaan yang membahayakan jiwanya.

Dia sampai mengeluh, dan gadis ini merasa bahwa kali ini jiwanya akan habis ditangan lawannya.

Tetapi disaat jiwa gadis bergaun merah itu terancam begitu, maka tampak sesosok bayangan telah melompati dengan cepat sekali.

“Lepas!!!!” bentak bayangan yang melompat itu dengan suara yang keras sekali.

Dan Hud-tim yang sedang menyambar kearah kepala gadis bergaun merah, jadi kena dirampas oleh bayangan tersebut.

Gadis bergaun ungu jadi terkejut sekali, dia mengeluarkan seruan kaget, tetapi sebagai seorang jago betina yang hebat, dengan cepat sekali pedangnya yang tercekal ditangan kanan telah melesat menyambar kearah sosok bayangan itu.

Terdengar suara tertawa tenang, dan tahu-tahu pedang gadis tersebut telah kena ditangkis oleh Hud-timnya yang kena direbut orang itu.

Kemudian sosok bayangan tersebut telah melompat menjauhi gadis bergaun ungu ini. Begitu juga gadis bergaun merah telah melompat jauh sekali, berdiri dengan wajah yang agak pucat, sebab jiwanya seperti juga baru terlolos dari lobang djarum.

Semua orang mengawasi kearah orang yang telah menolong diri gadis bergaun merah dari kematian.

Ternyata itulah seorang anak muda berpakaian sebagai seorang pelajar. Wajahnya cakap sekali, dan dia berdiri dengan tersenyum manis dan ditangannya tercekal Hud-timnya gadis berpakaian serba ungu.

Pemuda pelajar yang berpakaian baju serba putih itu adalah Lie Cie Kiat. !

*

* *

GADIS yang berpakaian baju ungu itu mendongkol sekali Hud-timnya kena dirampas orang.

Dia mengawasi kearah Cie Kiat dengan mata mendelik.

Rupanya dia bergusar dan murka benar, tubuhnya sampai menggigil menahan perasaan murkanya itu.

Cie Kiat telah melangkah menghampiri gadis ini dengan bibir tersenyum.

Dia mengangsurkan Hud-tim si gadis dengan kedua tangannya. Dia bermaksud mengembalikan.

“Maafkan nona, tadi aku telah begitu lancang mencampuri urusan kalian, karena aku tidak mau sampai terjadi perkara jiwa!” kata Cie Kiat dengan tenang sekali.

Mata gadis itu jadi tambah mendelik lebar, dengan suara yang bengis dia telah menusuk dengan pedangnya.

Melihat orang bukannya menyahuti, malah telah menyerang dirinya dengan, penuh kegusaran begitu, Cie Kiat masih tersenyum tenang.

“Sabar nona!” kata Cie Kiat dengan cepat. “Jangan cepat marah, nanti lekas tua!! Nah, terimalah kembali Hud-timmu ini!!” sambil berkata begitu, Cie Kiat telah menggulung pedang si gadis yang sedang meluncur kearah dirinya itu dengan bulu Hud-tim, kemudian dia melemparkan Hud-tim itu, sehingga menjurus kepada kepala si gadis berpakaian serba ungu itu.

Si gadis terkejut sekali.

Dia sekali lagi mengeluarkan seruan kaget.

Karena sedikitpun tadinya dia tidak menduga bahwa Cie Kiat mempunyai kepandaian yang begitu luar biasa.

Ang Po Sian, Bo Tiong Hiap dan MaThian Ie juga jadi mengeluarkan seruan kaget.

Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa Cie Kiat mempunyai kepandaian yang begitu tinggi dan kosen sekali.

Dengan sendirinya mereka jadi kagum sekali, mereka juga merasakan, bahwa diri mereka kalau bertempur dengan Cie Kiat, belum tentu mereka akan dapat merubuhkan anak muda tersebut, yang tadinya mereka anggap sebagai seorang anak muda yang masih hijau! Sedangkan perempuan yang mengenakan baju serba ungu itu telah cepat-cepat mengulurkan tangannya menyanggapi Hud-timnya.

Setelah itu, ia berdiri dengan mata mendelik kepada Cie Kiat.

“Siapa kau?” bentaknya dengan suara yang bengis sekali. “Apakah kau juga kuku garuda seperti dia itu?!”

Si gadis menunjuk kepada gadis berpakaian serba merah, yang dimaksud dengan perkataan ‘dia’, dia maksudkan adalah gadis yang bergaun merah itu. Sedangkan arti dari kata-kata kuku garuda itu adalah mata-mata pemerintah.

Cie Kiat tertawa.

Dia merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada gadis bergaun ungu itu.

“Hak-seng she Lie dan bernama Cie Kiat!” kata Cie Kiat dengan suara yang tenang. “Dan Hak-seng dengan Jie-wie Kouw-nio tidak kenal mengenal, tadi Hak- seng turut campur persoalan Jie-wie Kouw-nio hanyalah disebabkan Hak-seng takut akan terjadi perkara jiwa! Maafkanlah atas kelancangan Hak-seng!”

Dan kembali Cie Kiat memberi hormat kepada gadis itu lagi.

Cie Kiat membahasakan dirinya dengan sebutan Hak-seng, suatu perkataan merendah, yang artinya aku si murid, dan juga dia membahasakan kedua gadis itu dengan sebutan Jie-wie Kouw-nio yang artinya nona berdua.

Muka gadis berpakainn serba ungu itu tetap masih mendelik, mukanya merah padam.

“Orang she Lie!” bentak gadis itu dengan suara yang bengis. “Dengan kau membelai diri ‘dia’ itu, maka sama saja kau juga membela seorang kuku garuda yang telah membawa mala petaka yang besar sekali bagi kita orang-orang didalam rimba persilatan! Hmm... aku Ong Sun Lan, tidak akan membiarkan kau hidup terus, kalau memang nanti terbukti kau juga seorang kuku garuda! Kawanan orang-orang gagah akan membasmi kalian!” dan setelah berkata begitu, dia melirik kepada Ang Po Sian, kemudian dia telah membalikkan tubuhnya, dengan beberapa kali enjotan tubuhnya telah lenyap.

“Tunggu dulu nona!” panggil Cie Kiat seperti mau mengejarnya. Tetapi sudah terlambat.

Gadis itu sudah lenyap.

Dengan sendirinya, Cie Kiat jadi membatalkan maksudnya itu untuk mengejar gadis yang mengaku bernama Ong Sun Lan itu.

Dia telah menoleh menghampiri gadis yang bergaun merah yang masih berdiri ditempatnya.

Dengan merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada gadis itu, Cie Kiat telah bertanya : “Bolehkah Hak-seng mengetahui mengapa Kouw-nio dengan nona tadi bertempur?” Gadis bergaun merah itu mengerutkan alisnya.

“Persoalan ini tidak dapat diketahui orang lain, karena soal ini adalah soal intern dari kami!” menyahuti gadis tersebut dengan suara yang agak ketus. “Kalau memang kau merasa pernah melepas budi kepadaku, maka budimu itu akan kubalas nanti!”

Mendengar perkataan gadis tersebut, Cie Kiat jadi gelagapan. “Ini... oh, kau salah paham...... ini. ” katanya gugup.

Gadis itu tertawa tawar.

“Aku Lan Mie Coe tidak akan melupakan budi orang!” katanya tawar. “Jangan takut nanti budi yang pernah kau lepaskan untukku ini akan kubalas! Dendam darah akan ditagih darah, menerima budi harus dibayar dengan budi! Nah, selamat tinggal!” Setelah berkata begitu, gadis yang mengaku bernama Lan Mie Coe telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat dengan cepat sekali.

Didalam waktu yang sangat singkat sekali dia telah lenyap dari pandangan orang banyak.

Tadi sebelum pergi, Lan Mie Coe telah melirik dulu kepada Bo Tiong Hiap, pemuda pengemis tersebut, dan Bo Tiong Hiap serasa kenal dengan pancaran mata Lan Mie Coe. Tetapi Bo Tiong Hiap lupa, entah dimana dia pernah bertemu dengan pandangan mata seperti itu.

Ang Po Sian dan Ma Thian Ie telah menghampiri Cie Kiat, yang kala itu sedang berdiri terpaku karena memikirkan sikap aneh dari Lan Mie Coe.

Diri gadis itu seperti juga diselubungi oleh berbagai macam rahasia. Ang Po Sian telah menepuk pundak Cie Kiat.

“Hebat kau, Kong-cu!” kata Ang Po Sian memuji Cie Kiat, sehingga terpaksa Cie Kiat mengeluarkan kata-kata merendah. “Aku tidak menduga sebelumnya bahwa kepandaianmu begitu tinggi dan sempurna sekali! Tadi saja kami masih tidak keburu untuk memberikan pertolongan kepada gadis yang mengaku bernama Lan Mie Coe, tetapi kau telah berhasil menolongnya! Hal ini telah menunjukkan kepandaian Gin- kangmu berada disebelah atas dari kami berdua.”

Cie Kiat buru-buru mengeluarkan kata-kata merendah lagi.

Ma Thian Ie juga memuji anak muda she Lie ini, dia menanyakan siapakah guru Cie Kiat.

Cie Kiat cepat-cepat memberi hormat kepada Ang Po Sian dan Ma Thian Ie. “Maafkanlah Jie-wie Loo-cianpwee!” kata Cie Kiat cepat sekali. “Bukannya

Boanpwee tidak mau memberitahukan siapa guru Boanpwee, namun Boanpwee, memang benar-benar mempunyai suatu kesulitan, sehingga maafkanlah Boanpwee tidak bisa menyebutkan nama guru Boanpwee!”

Ang Po Sian dan Ma Thian Ie tidak menjadi tersinggung.

Mereka seperti juga mengerti, bahwa di diri anak muda she Lie ini tentu terdapat suatu rahasia yang hebat, suatu kejadian benar-benar luar biasa, yang membuat anak muda she Lie tersebut jadi tidak bisa menyebutkan nama gurunya dan tidak bisa menerangkan asal usulnya.

Ang Po Sian dai Mi Thian Ie tidak mendesak lagi.

Mereka hanya segera juga mengalihkan pembicaraan membicarakan berbagai ilmu silat dari berbagai pintu perguruan.

Malah Cie Kiat sendiri, biarpun dia menyadari bahwa kepandaiaanya berada disebelah atas dari kedua jago tua itu, toh tetap saja dia masih banyak bertanya, sehingga sikapnya itu benar-benar menyenangi hati Ang Po Sian dan Ma Thian Ie.

“Lie Kong-cu!” Ang Po Sian pada suatu kali, sambil tertawa. “Aku kagum sekali kepadamu, selain kepandaianmu sangat tinggi, pun budi pekertimu luhur sekali, sehingga mau aku menjadi sahabatmu! Terlepas dari tingkatan aku tua dan kau muda, maka mau aku memberikan sebuah hadiah kepadamu, hadiah yang tidak berharga, entah kau mau menerimanya atau tidak ?!”

Cie Kiat jadi terkejut.

“Mana berani Boanpwee jadi mempunyai pikiran begitu dan tidak berani Boanpwee merepotkan Loo-cianpwee!” kata Cie Kiat dengan cepat.

Mendengar perkataan si anak muda she Lie ini, Ang Po Sian telah berkata memotong perkataan Cie Kiat : “Dengar Lie Kong-cu, kalau memang kau menolak pemberianku yang tidak ada harganya ini, maka aku akan marah kau tidak mau mengenalmu lagi!”

Melihat orang bersungguh-sungguh, maka Cie Kiat juga tidak berani menolaknya lagi.

Dia juga jadi berpikir, orang tua berpakaian seperti pengemis ini entah mau menghadiahkan dirinya benda macam apa. Cie Kiat jadi mengawasi saja.

Sedangkan Ang Po Sian telah merogoh sakunya. Ketika dia menarik keluar tangannya, maka ditangannya itu telah tercekal sebatang Leng, semacam lencana.

Melihat ini, Bo Tiong Hiap jadi terkejut sekali, dia dengan cepat telah berlutut dengan menekuk kedua kakinya dan menganggukkan kepalanya berulang kali.

Melihat kelakuan Bo Tiong Hiap, Cie Kiat jadi heran. Hanya Ma Thian Ie yang berdiri tenang-tenang saja, dia hanya tersenyum simpul.

Sebab Ma Thian Ie lelah mengetahui benda macam apa yang dikeluarkan oleh Ang Po Sian ini.

Sedangkan Ang Po Sian telah mengangsurkan benda itu kepada Cie Kiat. “Terimalah Leng ini!” kata Ang Po Sian dengan suara yang berobah keren dan

mukanya berwibawa sekali. “Leng ini adalah tanda kebesaran, dimana didalam perkumpulan Kay-pang hanya terdapat tiga. Leng yang satu, berwarna hijau, dipegang oleh Pang-cu, Leng kedua yang berwarna kuning emas adalah yang sekarang berada ditanganku, dan Leng yang ketiga yang berwarna hitam besi, dipegang oleh Toa Tiang-lo. Siapa saja yang memegang salah satu Leng diantara ketiga Leng tersebut, maka berarti seluruh anggota Kay-pang dari  ketua cabang sampai keseluruh anggota lainnya musti mendengarkan perintahnya, dan mematuhkannya! Biarpun perintah yang dikeluarkan itu memerintahkan anggota Kay-pang harus menyeburkan diri didalam minyak panas, perintah itu harus dipatuhi!!”

Mendengar perkataan Ang Po Sian dan mengetahui akan kehebatan benda yang akan dihadiahkan kepada dirinya, Cie Kiat jadi kaget.

Cepat-cepat dia telah merangkapkan tangannya memberi hormat kepada Ang Po Sian.

“Ang Loo-cianpwee...... Boanpwee memang seorang manusia yang tidak bisa membalas budi, maka Boanpwee tidak berani menerima pemberian yang begitu berharga dari Loo-cianpwee! Mana berani Boanpwee mempunyjai pikiran yang bukan-bukan terhadap partai Kay-pang yang besar dan mempunyai jago-jago yang gagah-gagah?”

Mendengar perkataan Cie Kiat, wajah Ang Po Sian jadi berobah.

“Jadi kau tidak mau menerima pemberianku ini ? “ tegur Ang Po Sian dengan suara yang berobah tawar.

Kembali Cie Kiat jadi kaget.

Harus diketahui, dulu didalam rimba persilatan dan didalam sungai telaga, kalau memang ada seorang sahabat yang memberikan barang hadiah kepada seseorang, dan orang itu telah menampik pemberian itu, mungkin hubungan persahabatan mereka akan pecah, dan juga akan hancur...... dengan sendirinya mungkin pula mereka akan menjadi dua orang musuh!

Maka dari itu, Cie Kiat jadi teringat akan pantangan tersebut. Cepat-cepat dia telah merangkapkan tangannya.

“Boanpwee bukannya tidak mau menerima pemberian Loo-cianpwee, hanya saja barang yang dihadiahkan oleh Loo-cianpwee terlampau berharga dan juga terlalu langka, maka dari itu, Boanpwee jadi tidak berani menerimanya!!” kata Cie Kiat dengan suara yang ragu-ragu.

Wajah Ang Po Sian telah berobah pulih kembali. Dia menghela napas.

“Lie Kong-cu! Terimalah Leng ini dan jagalah baik-baik!!” kata Ang Po Sian akhirnya tanpa memperdulikan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Cie Kiat. “Kalau memang suatu waktu nanti kau menghadapi kesulitan, maka dengan hanya menunjukkan Leng ini, kepada salah seorang anggota Kay-pang, kau bisa meminta bantuan apa saja kepada Kay-pang!!”

Setelah bersangsi sesaat lamanya, apa lagi Ang Po Sian telah mengangsurkan Leng itu, terpaksa Cie Kiat tidak berani menampiknya.

Dia menerimanya.

Dan Cie Kiat menyatakan rasa terima kasihnya yang besar sekali.

Dengan sendirinya, dia jadi terharu atas kebaikan hati Ang Po Sian, orang tertua didalam perkumpulan Kay-pang, pengemis. Bo Tiong Hiap masih berlutut tidak berani berdiri. Ang Po Sian telah menoleh kepada Bo Tiong Hiap. “Hiap-jie, bangunlah!!” kata Ang Po Sian.

Barulah Bo Tiong Hiap berani bangun, karena memang didalam Kay-pang telah ada peraturan, kalau melihat salah sebuah Leng diantara ketiga Leng itu, harus dihormati lebih dari penghormatan yang diberikan untuk Pang-cu mereka, sebab kedisiplinan anggoia dari Kay-pang terletak pada ketiga Leng tersebut.

Ma Thian Ie telah memberikan kata-kata selamat kepada Cie Kiat. Cie Kiat mengucapkan terima kasih.

Setelah itu, barulah mereka pergi tidur...!



MALAM ITU angin bertiup agak keras, pohon-pohon yang tertiup angin itu menimbulkan suara yang agak menyeramkan, karena daun-daun dari pepohonan tersebut bergoyang dan menimbulkan suara yang berkeresekan tertiup angin.

Disekitar kelenteng dimana Cie Kiat dan yang lainnya sedang tertidur nyenyak, tampak sunyi sekali.

Yang terdengar hanyalah suara binatang malam yang sedang bernyanyi.

Tetapi diantara kesunyian itu, tampak sesosok bayangan yang telah berkelebat didekat kelenteng tersebut.

Cie Kiat, Bo Tiong Hiap, Ang Po Sian dan Ma Thian Ie adalah jago-jago yang mempunyai kepandaian yang tinggi luar biasa.

Jangankan suara langkah kaki manusia, sedangkan suara jatuhnya sehelai daun saja, mereka pasti akan mendengarnya dengan jelas dan bisa membangunkan mereka dari tidurnya!

Maka dari itu, kedatangan sosok bayangan yang datang mendekati kelenteng tersebut, biarpun orang ini tampaknya mempunyai Gin-kang, ilmu entengi tubuh, yang tinggi sekali, toh tetap saja mereka dapat mengetahui kedatangan orang tersebut.

Dengan cepat mereka semuanya telah melompat bangun dari tidur mereka.

Cie Kiat telah melekatkan jari telunjuknya dekat bibirnya, memberi tanda agar kawan-kawannya itu tidak mengeluarkan suara.

Kemudian dengan berindap-indap Cie Kiat telah melangkah keluar. Tindakannya anak muda she Lie ini sangat ringan sekali, sehingga suara langkah kakinya seperti juga tidak terdengar.

Bo Tiong Hiap, Ang Po Sian dan Ma Thian Ie jadi mengawasi saja.

Mereka melihat, betapa Cie Kiat dengan ringan sekali telah melompat kedekat pintu ruangan tengah dari kelenteng tersebut, ruangan sembahyang, kemudian anak muda she Lie ini telah berjongkok untuk bersembunyi disitu.

Cie Kiat memasang mata kearah luar dari ruangan itu.

Tampak sesosok bayangan tengah mendekati ruangan itu dengan berindap- indap.

Cie Kiat memasang mata terus.

Ketika orang ini hampir datang dekat, Cie Kiat telah melompat keluar menampakkan dirinya.

Orang itu jadi terkejut sekali waktu tahu-tahu didepannya muncul Cie Kiat. Dia mengeluarkau seruan kaget.

Kemudian orang tersebut telah memutar tubuhnya, tanpa membuang waktu lagi dia melarikan diri.

Sikapnya benar-benar sangat mencurigakan sekali.

Cie Kiat mana mau melepaskan orang tersebut begitu saja. Dia telah melompat untuk mengejarnya.

Tetapi orang itu mempunyai kepandaian Gin-kang yang sangat tinggi sekali, sehingga tidak mudah bagi Cie Kiat untuk menyandak orang tersebut.

Cie Kiat berseru : “Tahan ! Berhenti!Aku ingin bicara sebentar denganmu!!”

Tetapi orang itu tidak menghentikan larinya, dia malah telah mempercepatkan langkah kakinya, dia lari sekuat tenaganya.

Dengan sendirinya Cie Kiat jadi mengempos semangatnya dan dia mengejar terus.

Orang itu telah berlari keluar dari kelenteng tersebut, dia telah berlari dengan cepat kearah selatan.

Cie Kiat penasaran sekali.

Sebab biasanya dengan hanya beberapa kali lompatan saja, dia telah dapat menyandak lawannya.

Namun orang tersebut ternyata mempunyai Gin-kang yang benar-benar luar biasa tingginya, maka dari itu, Cie Kiat jadi penasaran sekali, sebab jarak mereka masih terpisah agak jauh.

Ang Po Sian, Bo Tiong Hiap dan Ma Thian Ie, ketika melihat Cie Kiat mengejar orang itu, telah cepat-cepat melompat keluar dari kelenteng tersebut untuk ikut mengejar. Namun, begitu mereka sampai diluar, mereka tidak melihat lagi bayangan Cie Kiat atau orang yang sedang dikejar oleh anak mada she Lie tersebut.

Ang Po Sian, Ma Thian Ie jadi menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Betapa tingginya Gin-kang Lie Kong-cu!” memuji Ma Thian Ie dengan kagum. “Siapakah orang yang tengah dikejarnya itu, yang bisa meloloskan diri dari sergapan Lie Kong-cu?”

Bo Tiong Hiap juga sangat kagum sekali melihat keliehayan Cie Kiat.

“Lebih baik kita menantikan Lie Kong-cu dikelenteng ini, nanti juga dia akan kembali lagi dengan membawa tawanannya itu!!” kata Ma Thian Ie memberikan saran.

Bo Tiong Hiap dan Ang Po Sian menyetujuinya.

Mereka masuk kedalam kelenteng lagi untuk menantikan kembalinya Cie Kiat. Sedangkan Cie Kiat telah mengejar terus orang yang mencurigakan itu.

Dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, telah mengempos semangatnya untuk dapat menyandak orang itu yang mempunyai Gin-kang sangat tinggi.

Tetapi rupanya orang yang dikejar oleh Cie Kiat juga mengetahui bahwa dirinya sedang dikejar oleh Cie Kiat, maka dari itu, dengan sendirinya dia jadi menambah tenaga larinya, dia telah mengempos semangatnya untuk berlari lebih keras.

Sedangkan didalam hati orang itu diapun terkejut sekali.

Biasanya jarang ada orang yang bisa menandingi Gin-kangnya, tetapi sekarang Cie Kiat malah dapat mengejar terus membayangi dirinya. Yang lebih hebat lagi, jarak antara dirinya dengan Cie Kiat jadi semakin dekat.

Hal ini membuat orang itu jadi gugup bukan main.

Dia sampai penasaran sekali dan mengerahkan Gin-kangnya untuk berlari lebih keras.

Namun tidak berhasil, Cie Kiat tetap menjadi bayang-bayang bagi dirinya. Dia tidak berhasil mengelakkan dirinya dari kejaran Cie Kiat.

Cie Kiat sendiri jadi heran, mengapa dia tidak berhasil mengejar orang itu.

Hal ini menandakan betapa hebatnya kepandaian Gin-kang orang yang sedang dikejarnya.

Semakin lama mereka berlari jadi semakin jauh juga. Sedangkan orang itu masih berlari terus dengan cepat sekali.

Cie Kiat sendiri saking penasaran, dia jadi tidak mau melepaskan orang buruannya tersebut. Dia masih mengejar terus.

Malah anak muda she Lie ini telah mengempos semangatnya, dia telah mengejar terus dengan sekuat tenaganya, dan tubuh Cie Kiat bagaikan melesat pesat seperti juga melesatnya sebatang anak panah! Orang itu masih berlari terus.

Semakin lama mereka semakin jauh, mereka telah berlari sejauh kurang lebih belasan lie.!

Tiba-tiba Cie Kiat melihat, dibagian depan tampak sebuah bangunan rurnah. Orang itu berlari teras menuju kearah rumah tersebut.

Cie Kiat jadi berpikir, apakah orang ini ingin memanggil kawan-kawannya yang bersembunyi didalam rumah tersebut?

Tetapi sebagai seorang anak muda yang pemberani, maka dari itu, Cie Kiat tidak menjadi takut.

Dia malah mengejarnya terus.

Malah Cie Kiat telah mengempos semangatnya sekuat tenaganya, tahu-tahu tubuhnya telah mencelat kearah samping, dan tubuhnya itu berpoksay ditengah udara.

Sedang berpoksay ditengah udara, maka Cie Kiat juga telah mencabut pedangnya.

Disaat tubuhnya ini meluncur turun, maka tubuhnya itu turun tepat didepan orang yang dikejarnya.

Orang itu terkejut sekali.

Dia mendesak dan akan memutar tubuhnya untuk berlari kearah lainnya. Tetapi Cie Kiat telah bekerja cepat sekali, tangannya telah bergerak.

Pedangnya itu telah ditandalkan pada leher orang itu.

“Jangan kau bergerak!” bentak Cie Kiat dengan suara yang keren. Pedangnya itu juga ditekankan sedikit.

Orang itu jadi kaget sekali, dia sampai berdiri mengejang.

Sedikitpun orang itu tidak menyangka bahwa Cie Kiat dapat bekerja begitu cepat.

Dia jadi mengawasi Cie Kiat dengan tatapan mata yang bengis.

Namun biarpun dia bergusar dan murka benar, toh tetap saja dia tidak berani bergerak.

Karena ujung pedang Cie Kiat telah ditandalkan pada lehernya, dengan sendirinya kalau memang dia berkeras bergerak juga dan Cie Kiat menekankan pedangnya, berarti lehernya itu akan menjadi korban tusukan pedang Cie Kiat.

Cie Kiat mengawasi orang yang didepannya ini, yang menjadi tawanannya. Ternyata orang tersebut adalah seorang lelaki tua yang bertubuh kurus tinggi.

Wajahnya yang pucat kurus itu, bengis sekali mengawasi Cie Kiat, rupanya dia bergusar sekali. “Kau...... kau....... mau apa kau mengikuti diriku?” bentak lelaki tua kurus ini dengan suara yang agak gemetar disebabkan perasaan gusarnya.

Pada saat itu mereka berada dimuka rumah tersebut. Mereka berada dipekarangan muka rumah ini.

Cie Kiat tersenyum tawar mendengar pertanyaan orang itu.

“Kau masih bertanya mengapa aku mengikuti dirimu, heh ?” tanya Cie Kiat dengan suara yang dingin. “Apakah aku juga tak boleh bertanya, mengapa kau mengintai dikelenteng tempat kami bermalam?”

Mendengar pertanyaan Cie Kiat, wajah orang itu jadi berobah. “Kau...... kau ” suaranya tergugu.

Cie Kiat tertawa dingin lagi.

Tahu-tahu Cie Kiat memperlihatkan wajah yang keren sekali.

“Jawab! Apa maksudmu mengintai kami dikelenteng itu tadi?!” bentak Cie Kiat dengan suara yang tegas.

Wajah lelaki tua itu jadi berobah.

“Ini. oh, kau bocah kurang ajar!!” kata lelaki tua tersebut dengan gusar.

Tetapi belum lagi dia menggerakkan tubuhnya, pedang Cie Kiat telah bergerak tertekan lebih dalam lagi, sehingga menimbulkan perasaan sakit, yang membuat orang itu jadi tidak berani bergerak terus.

“Sekali saja kau bergerak, maka berarti kau mencari kematianmu!!” kata Cie Kiat dengan suara yang mengancam. “Jawab pertanyaanku, sebetulnya apa maksudmu mengintai kami?”

Orang tua itu mengerutkan alisnya, matanya memancarkan cahaya bengis. Rupanya dia murka sekali.

Namun perasaan murkanya itu tidak berani diumbar, karena dia mengetahui dan menyadari kalau memang dia mengumbar hawa amarahnya, berarti dia akan menemui kebinasaannya, tentunya pedang Cie Kiat yang telah menempel pada kulit lehernya itu akan bekerja dengan cepat sekali menabas dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya!

Maka dari itu, lelaki tua tersebut tidak berani berlaku semberono.

Sedang lelaki tua tersebut belum menyahuti pertanyaan Cie Kiat, tiba-tiba daun pintu terbuka.

Dari dalam tampak keluar seorang gadis belasan tahun yang mempunyai potongan tubuh sangat cantik.

Begitu keluar, si gadis melihat keadaan si kakek, dia jadi kaget sekali, sampai mengeluarkan seruan tertahan. Rupanya si gadis kaget sekali melihat si kakek sedang terancam lehernya oleh ujung pedangnya pelajar tersebut.

Cie Kiat juga telah melihat gadis itu.

Dia masih menandalkan ujung pedangnya tersebut dileher lelaki tua itu. Sedangkan si lelaki tua itu, telah berdiri dengan penuh kegusaran.

Tetapi dia bergusar untuk tidak berdaya, karena ujung pedang Cie Kiat tetap menempel pada lehernya.

Cie Kiat telah menatap lelaki tua tersebut dengan tatapan mata yang tajam. “Cepat kau sebutkan, apa maksudmu mengintai kami?” bentak Cie Kiat dengan

suara yang tegas. “Kalau memang kau tidak mau menyebutkan maksudmu itu, akan kutusukkan pedang ini kelehermu!”

Lelaki tua itu, si kakek jadi mendongkol sekali, dia bergusar benar, karena dia benar-benar berada dibawah ancaman pedang si pemuda she Lie tersebut.

“Kalau memang kau mau bunuh, bunuhlah! Aku tidak takut mampus!” kata si kakek dengan mendongkol sekali.

Cie Kiat telah tertawa tawar.

“Hmm...... membunuhmu?!” tanyanya dengan suara yang tawar. “Kukira tidak semudah itu! Kalau memang kau tidak mau bicara, maka aku akan membuat kau menjadi tempat goresan dari pedangku sehingga wajahmu akan rusak sekali oleh cacahan pedangku!”

Mendengar perkataan Cie Kiat, si orang tua itu tertawa dingin dengan suara mendengus.

“Hmm..... aku tidak menyangka dari semula bahwa orang seperti kau ini bisa melakukan ketelengasan! Lakukanlah kalau memang kau mau mencacah mukaku, tetapi kau harus ingat begitu aku bisa terlolos dari kematian pada hari ini, maka akan kucari dirimu biarpun kau melarikan diri keujung bumi!”

Bengis sekali kata-kata lelaki tua tersebut, dia juga berkata-kata dengan mata mendelik bengis.

Cie Kiat tertawa tawar waktu dia melihat sikap si kakek.

“Hmmm... kau bermaksud akan membalas dendam? Sedangkan kenal saja belum! Sekarang cepat kau jawab!!” bentak Cie Kiat yang berkata-kata dengan suar a yang semakin lama jadi semakin meninggi. “Kau mengintai kami beberapa saat yang lalu, sebetulnya apa maksudmu? Apakah kau memang ingin melakukan sesuatu yang tidak baik, heh?”

Si kakek mendelik kepada Cie Kiat lagi.

Baru saja dia mau berkata-kata, si gadis yang baru keluar dari dalam rumah telah menegur : “Thia... kenapa kau...?”  

“Cepat kau sebutkan, apa maksudmu mengintai kami?” bentak Cie Kiat.

Thia berarti ayah.

Cie Kiat tertawa dingin.

“Nona... kalau memang ayahmu ini terus juga membandel menutup mulut tidak mau mengakui apa yang dilakukannya, tentu dia akan kukirim ke nerakal!” kata Cie Kiat dengan suara yang tawar.

Perkataan Cie Kiat membuat si gadis jadi memandang dengan penuh kekuatiran. “Oh...... ini. ” katanya dengan suara yang tergugu.

Sedangkan si kakek jadi menggigil tubuhnya saking murkanya.

Tahu-tahu, kakek tersebut telah mengibaskan lengan jubahnya, dan dia melihat tubuh pedang itu, sambil mengibaskan lengan jubahnya dia juga telah menggeser kepalanya, yang dimiringkan, dan kakek tersebut mengeluarkan suara bentakan : “Lepas !!” Pedang Cie Kiat mau dirampasnya. !!

Nekad sekali tampaknya kakek ini.

*

* *

CIE KIAT juga tidak menduga bahwa kakek ini bisa berlaku begitu nekad.

Sebetulnya kalau memang Cie Kiat mau menekan kearah muka sedikit, tentu dengan sendirinya leher si kakek akan tertusuk oleh pedangnya.

Berati si kakek akan menemui kebinasaannya!

Tetapi Cie Kiat tidak tega untuk melakukan hal begitu, dia masih membiarkan pedangnya itu terlibat oleh lengan jubah si kakek, dia membiarkan kakek itu membetot pedangnya ingin merampasnya.

Tetapi begitu si kakek hampir berhasil merampas pedang Cie Kiat, anak muda she Lie ini telah mengedutnya, keras sekali, terdengar suara ‘breeett’ yang keras, kemudian tampak lengan jubah kakek itu pecah terpotong oleh pedang Cie Kiat.

Si gadis yang melihat hal ini jadi terkejut sekali. Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.

Dengan cepat dia melompat menerjang kearah Cie Kiat, dia menyerang dengan menggunakan kedua tangannya, yang sekaligus menyerang Cie Kiat dari dua jurusan.

Ternyata anak gadis ini mempunyai kepandaian silat yang tinggi sekali. Gerakannya juga gesit luar biasa.

Cie Kiat jadi heran.

Tetapi anak muda she Lie ini tidak bisa berpikir terlalu lama, karena dia harus cepat-cepat mengelakkan serangan-serangan dari si gadis.

Menggunakan kesempatan itu, kakek tua tersebut telah melompat mundur. Dia menjauhi Cie Kiat.

Setelah melihat kakek itu, ayahnya si gadis, terlolos dari tangan Cie Kiat, gadis itu telah melompat niundur juga.

Cie Kiat sengaja membiarkan gadis mengundurkan diri, karena dia memang tidak ingin mempersulit gadis ini.

Sedangkan si gadis telah mengawasi Cie Kiat dengan tatapan mata yang tajam sekali.

Cie Kiat merasakan tatapan mata si gadis seperti juga dia pernah melihatnya, tetapi Cie Kiat tidak mengingatnya, entah dimana.

Si kakek telah membentak dengan suara yang keras bengis : “Bocah, hari ini kau telah merobohkan diriku dengan cara yang sangat memalukan sekali, tetapi ingat, suatu waktu aku akan mencarimu guna melakukan pembalasan dari hinaan hari ini! Berhubung sekarang aku mempunyai urusan yang sangat penting sekali, maka aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi!”

Dan setelah berkata begitu, si kakek telah memutar tubuhnya, dia mencelat dan berlalu dengan cepat sekali. Kakek ini memang mempunyai Gin-kang yang sempurna sekali, dia telah berlalu dan lenyap dari pandangan mata Cie Kiat.

Sedangkan si gadis, yang tadi memanggil kekek itu dengan sebutan ‘Thia’, yang artinya ayah, tidak segera pergi.

Dia telah merangkapkan kedua tangannya dan tahu-tahu dia telah memberi hormat kepada Cie Kiat.

Hal ini membuat Cie Kiat jadi kaget berbareng gugup, dia tidak mengerti, mengapa si gadis bisa memberi hormat kepada dirinya.

Dengan sendirinya, cepat-cepat dia merangkapkan tangannya jagu mambalas pemberian hormat dari si gadis.

“Kong-cu...... sekali lagi kuucapkan terima kasihku tadi telah memberikan pertolongan kepadaku dari kejaran Ong Sun Lan......!” dan setelah berkata begitu, si gadis telah membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada Cie Kiat sebanyak tiga kali.

Hal ini membuat Cie Kiat jadi repot. Dia terpaksa membalas penghormatan orang.

Cie Kiat juga segera teringat bahwa gadis ini adalah yang semalam dibantunya, yang mengaku bernama Lan Mie Coe.

Setelah memberi penghormatan kepada Cie Kiat, si gadis menatap anak muda she Lie ini dengan tatapan mata yang tajam.

“Bolehkah Siauw-moy mengetahui nama dan she Kong-cu yang mulia?” tanyanya. Suara si gadis merdu sekali, karena dia berkata-kata dengan suaranya yang perlahan, tidak mengandung kekerasan.

Cie Kiat cepat-cepat memberitahukan namanya.

“Aku...... aku heran sekali melihat ayahmu itu berindap-indap, mendekati kelenteng tempat kami berteduh, maka dari itu, aku telah mengejarnya! Tak tahunya dia adalah ayahmu! Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud ayahmu dengan mengintai kami begitu?”

Mendengar pertanyaan dari Cie Kiat, gadis yang bernama Lan Mie Coe telah tertawa.

“Ya! Ya, memang semuanya ini aku yang salah sehingga terjadi salah paham diantara ayahku dengan dirimu, Lie Kong-cu!” kata si gadis dengan suara yang merdu, disertai oleh suara tertawanya. “Tadi aku telah menceritakan kepada ayahku, bahwa aku telah ditolong oleh seorang pemuda disaat jiwaku terancam bahaya kematian ditangan Ong Sun Lan. Mungkin ayahku bermaksud mencarimu guna menyatakan terima kasihnya juga?!” Cie Kiat menghela napas sambil memasukkan pedangnya kedalam serangka. Dia telah tertawa.

“Ya, mungkin juga begitu!” menyahuti Cie Kiat cepat. “Hanya yang membuatku masih heran, mengapa begitu dia berjumpa dengan diriku, ayahmu itu telah melarikan diri dengan gerakannya yang gesit sekali, sehingga membuat aku jadi payah mengejarnya.”

Gadis itu, Lan Mie Coe, mengerutkan alisnya, dia menghela napas.

“Kami mempunyai suatu kesulitan yang sukar untuk dijelaskan!!” kata Mie Coe dengan perlahan. Dia juga berkata-kata dengan kepala tertunduk. “Maka dari itu kami minta agar kau mau memaklumi saja!!”

Mendengar perkataan si gadis, Cie Kiat jadi tambah heran.

Dia tidak mengerti, ada rahasia apa yang terkandung didalam diri gadis ini dan ayahnya. Tetapi yang jelas memang kalau dilihat dari wajahnya, pada diri Mie Coe terdapat tabir rahasia yang sukar untuk dipecahkan.

Tetapi baru saja Cie Kiat mau berkata-kata lagi, tiba-tiba terdengar suara seruling, yang terdengar sebentar jauh dan sebentar lagi terdengar dekat sekali.

Hal itu menunjukkan bahwa orang yang sedang meniup seruling tersebut tentunya mempunyai tenaga Lwee-kang yang kuat sekali, sebab dia bisa meniup seruling dengan suara yang melengking tinggi.

Wajah Lan Mie Coe jadi berobah pucat, entah kenapa tubuhnya agak menggigil. “Si Iblis !!” katanya dengan suara gemetar.

Cie Kiat jadi heran melihat sikap dan kelakuan si gadis. “Kenapa?” tanya Cie Kiat.

“Si Iblis!” mengikuti Mie Coe. “Ah, dia datang. Iblis itu mengapa bisa berada

didaerah ini?”

Dan setelah berkata begitu, dengan gadis itu menoleh kepada Cie Kiat, dia berkata sambil melompat masuk kedalam rumah : “Mari kau ikut aku!”

Cie Kiat sangat heran sekali melihat kelakuan si gadis. Tetapi dia tidak banyak bertanya.

Dia telah melompat masuk kedalam rumah.

Cie Kiat melihat bahwa ruangan tersebut penuh oleh tumpukan padi, dan disebuah meja, disudut ruangan tersebut, terdapat penggilingan padi yang terbuat dari batu. Disamping ruangan itu, disudut kanan dari ruangan tersebut, tampak sebuah lukisan yang agak besar, dimana terlukis seorang lelaki tua.

Kalau diperhatikan potongan wajahnya, maka lelaki tua didalam lukisan itu adalah lelaki tua yang dikejar oleh Cie Kiat beberapa saat yang lalu, yang menurut keterangan si gadis adalah ayahnya. Sedang Cie Kiat berpikir begitu dan agak heran, si gadis telah menutup daun pintu.

Sikap si gadis ketakutan sekali, tangannya yang dipakai untuk menutup daun pintu, agak gemetar.

Hal ini benar-benar membuat Cie Kiat jadi heran sekali. Dia sampai memandangi terus kearah Lan Mie Coe.

Sedangkan suara seruling terdengar semakin dekat. Wajah si gadis jadi berobah semakin hebat.

Mie Coe telah menghampiri Cie Kiat.

“Iblis ini telengas dan kejam luar biasa, dia selalu membunuh orang dengan membabi buta!!” menerangkan si gadis. “Maka dari itu, kita akan repot kalau memang terlihat oleh dia! Kepandaian si Iblis luar biasa tingginya!!”

Mendengar perkataan si gadis, yang memperlihatkan mimik yang jeri kepada si Iblis, Cie Kiat jadi tambah heran.

Kalau menurut anggapan Cie Kiat, maka kepandaian si gadis sebetulnya tidak rendah, karena tadi waktu dia menyerang Cie Kiat guna membantui ayahnya, Cie Kiat memperoleh kesan bahwa kepandaian si gadis cukup tinggi.

Namun, sekarang mengapa dia begitu jeri sekali terhadap orang yang meniup seruling, yang disebutnya sebagai seorang Iblis.

Tetapi Cie Kiat tidak menanyakannya.

Hanya saja, si gadis telah menuju kesudut ruangan didekat tumpukan padi yang tertumpuk tinggi itu.

Gadis ini melambaikan tangannya memanggil Cie Kiat. Cie Kiat menghampiri.

“Kita tidak boleh terlihat oleh si Iblis, karena kalau memang terlihat olehnya, kita bisa menghadapi bahaya yang tidak kecil!!!” kata si gadis.

Cie Kiat jadi mengerutkan alisnya, dia jadi tambah heran.

Mengapa gadis tersebut begitu ketakutan sekali kepada si Iblis, padahal dia baru mendengar suara serulingnya belaka?

Melihat Cie Kiat seperti tidak mau mempercayai perkataannya, si gadis tampaknya jadi agak mendongkol.

“Kau tidak percaya?” tanya si gadis dengan suara yang mendongkol. Cie Kiat jadi tertawa kecil melihat kelakuan si gadis.

“Aku bukannya tidak mempercayai keteranganmu, hanya, kukira kepada seorang manusia seperti orang yang kau namakan si Iblis itu, kukira kita tidak perlu terlalu jeri, tidak perlu kita ketakutan begini rupa!!’ kata Cie Kiat.

Gadis itu jadi tambah mendongkol. “Kau belum mengetahui siapa sebenarnya dan kau belum mengenalnya, sehingga kau tidak mengetahui kekejaman dan ketelengasan tangan si Iblis.”

Cie Kiat hanya tertawa saja. Si gadis tambah mendongkol.

Baru saja dia mau berkata lagi, atau segera terdengar suara tiupan seruling yang mengalun-alun berirama menyedihkan sekali, terdengar semakin dekat... sehingga si gadis jadi membatalkan maksudnya untuk berkata, dia telah menarik tangan Cie Kiat, mereka telah menyelinap kedalam tumpukan padi....

Suara seruling terdengar semakin mendekati kearah tempat itu.



HATI CIE KIAT jadi berdebar cukup keras.

Hati anak muda she Lie ini berdebar bukan disebabkan dia ikut jeri kepada si Iblis, melainkan dia bisa merasakan wanginya bebauan yang tersiar dari tubuh si gadis.

Karena tubuh mereka berdiri berendeng dekat sekali, bahu dengan bahu saling sentuh satu sama lainnya, maka dengan sendirinya jarak mereka dekat sekali.

Yang membuat hati Cie Kiat jadi berdebar adalah tangan si gadis yang mencekal tangannya.

Cie Kiat dapat merasakan halusnya kulit tangan si gadis yang sedang mencekal tangannya.

Apa lagi si gadis sedang dalam keadaan tegang, sehingga setiap kali dia mendengar suara seruling itu tambah dekat, dia selalu meremas tangan Cie Kiat.

Tangannya diremas berulang kali begitu, hal ini membuat Cie Kiat jadi tambah gugup.

Sebetulnya Cie Kiat mau menarik pulang tangannya itu, tetapi dia takut nanti tersinggung hati si gadis.

Maka dari itu, tetap saja dia membiarkan tangannya tersebut dicekal oleh si gadis.

Keadaan disekitar tempat tersebut sangat sepi sekali.

Tidak terdengar suara apapun, karena malam telah larut benar. Hanya suara seruling itu yang terdengar semakin njaring. Suara seruling itu terdengar semakin dekat saja, hal ini membuat tangan si gadis Lan Mie Coe jadi tambah dingin dan keringat dingin memenuhi telapakan tangannya.

Cie Kiat merasakan tangan si gadis she Lan itu, yang dingin luar biasa. Dengan sendirinya Cie Kiat jadi merasa kasihan.

Baru saja dia mau menghibur diri si gadis, atau suara seruling yang melengking tinggi itu telah berhenti.

Sebagai seorang jago silat yang mempunyai pendengaran yang sangat tajam sekali, maka Cie Kiat segera juga mengetahui bahwa orang yang meniup seruling itu telah berhenti dimuka rumah.

“Dia ada didepan pintu!!” kata Cie Kiat berbisik didekat telinga si gadis. Dan waktu dia berbisik begitu, beberapa helai anak rambut si gadis menyentuh hidungnya, sehingga membuat hati Cie Kiat jadi tambah berdebar keras. “Orang itu berdiri bimbang dimuka pintu, dia, tidak lantas masuk. !”

Si gadis tidak menyahuti, hanya mencekal tangan Cie Kiat. Rupanya dia sedang ketakutan sekali.

Cie Kiat memasang terus pendengarannya.

“Dia. dia telah mengulurkan tangannya mendorong pintu!” bisik Cie Kiat.

Belum lagi Lan Mie Coe menyahuti, atau segera juga telah terdengar suara pintu menjeblak.

Si gadis sendiri sampai seperti orang terjengkit saking terkejutnya. Wajahnya pucat sekali dan tubuhnya menggigil sedikit.

Dengan mendengar suara daun pintu yang tertolak terbuka, si gadis segera mengetahui bahwa Iblis itu sedang melangkah masuk.

Maka dari itu cepat-cepat si gadis Lan Mie Coe menahan napasnya, dia jeri suara napasnya itu akan terdengar oleh Iblis.

Dan yang benar-benar membuat si gadis jadi tambah jeri kepada si Iblis adalah pintu itu, yang sebetulnya telah dikunci dan dipalang, dipalang oleh sebatang kayu yang tebal.

Namun oleh si Iblis hanya didorong begitu saja pintu itu telah terbuka.

Dan palang kayu yang dipalangkan telah patah, jatuh dilantai dengan mengeluarkan suara yang agak keras.

Wajah si gadis jadi tambah pucat.

Cie Kiat juga dapat merasakan ketakutan hati si gadis.

Dia memasang pendengarannya, karena dia mau tahu apa yang dilakukan oleh si Iblis.

Sebetulnya Cie Kiat mau untuk mengintai si Iblis, dia mau melihat, bagaimana rupa si Iblis yang telah membuat Lan Mie Coe begitu ketakutan. Tetapi tumpukan padi-padi itu terlalu tinggi dan juga terlalu banyak, sehingga tidak mungkin bagi Cie Kiat untuk mengintai.

Kalau memang dia menggeser tubuhnya, tentu si Iblis akan mendengar suara keresekan batang-batang padi itu yang bersentuhan dengan baju Cie Kiat, karena setidak-tidaknya sebagai seorang yang dijerikan dan ditakuti oleh Lan Mie Coe, seorang gadis yang mempunyai kepandaian cukup tinggi, tentunya si Iblis sangat liehay dan mempunyai kepandaian yang luar biasa serta mempunyai pendengaran yang tajam sekali.

Maka dari itu, Cie Kiat jadi tidak berani menggerakkan tubuhnya juga. Keadaan sangat sunyi sekali,

Tidak terdengar suara apapun. Sunyi benar.

Terdengar Iblis itu batuk-batuk beberapa kali. Kemudian sunyi lagi.

“Hmmm hanya rumah kosong!!” kata si Iblis, seperti orang mengumam.

Suara si Iblis lembut sekali, suara seorang wanita. Cie Kiat jadi tambah heran lagi.

Hanya seorang wanita saja, yang kalau didengar dari suara itu lembut sekali, mengapa harus dibuat jeri begitu oleh Lan Mie Coe?

Cie Kiat jadi penasaran sekali.

Sebetulnya dia mau melompat keluar dari tempat persembunyiannya guna melihat orang yang dinamakan dirinya si Iblis itu.

Tetapi Lan Mie Coe telah mencekal tangan si anak muda keras-keras.

Si gadis seperti juga mengerti dan mengetahui akan maksud hati Cie Kiat. Waktu Cie Kiat menoleh sedikit, si gadis menggelengkan kepalanya perlahan-

lahan, memberi tanda agar Cie Kiat tidak menimbulkan suara yang bisa menimbulkan kecurigaan si Iblis.

Cie Kiat jadi mengalah.

Dia tidak tega untuk menentang keinginan si gadis. Maka dari itu, dia telah tetap bersembunyi ditempatnya.

“Heran! Heran sekali! Kemana larinya setan kecil itu?” terdengar si Iblis telah mengumam lagi dengan suaranya yang lemah lembut sekali. Dan terdengar suara keresekan, rupanya si Iblis telah menggunakan ujung serulingnya untuk mencongkel- congkel tumpukan padi.

Lan Mie Coe jadi tambah ketakutan, tubuhnya agak gemetar. Dia jeri kalau memang si Iblis terus menerus mencongkelkan ujung serulingnya itu kebagian-bagian lain ditumpukan padi itu.

Tentu diri mereka akan terlihat juga akhirnya.

Hanya yang membuat si gadis Lan Mie Coe tidak mengerti pula, siapakah yang dimaksudkan oleh si Iblis dengan sebutan ‘setan kecil’ itu?

Apakah yang dimaksudkan itu adalah diri Mie Coe sendiri? Tetapi Mie Coe yakin bukan, tentu ada orang lainnya lagi. Terdengar si Iblis telah menghela napas.

“Hai.....! Setan kecil itu memang benar-benar gesit! Kurang ajar sekali memang dapat kucari, tentu biji matanya, akan kukorek keluar!” menggumam si Iblis lagi dengan suara yang tetap lembut, walaupua kata-katanya itu merupakan kata-kata makian. “Mungkin si setan kecil telah melarikan diri kearah timur!”

Dan setelah berkata begitu, terdengar si Iblis melangkah menjauhi. Hal ini menandakan bahwa si Iblis keluar dari ruangan tersebut.

Cie Kiat juga mendengar bahwa langkah Iblis ini semakin menjauhi, lalu tidak terdengar lagi.

Anak muda ini mau melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Tetapi tangan Cie Kiat tetap dicekal oleh si gadis she Lan itu, keras sekali.

“Jangan keluar dulu!!” kata Mie Coe dengan suara berbisik. “Kita tunggu sesaat lagi lamanya.”

Cie Kiat jadi heran sekali.

*

* *

TETAPI biarpun heran, toh Cie Kiat mau mendengar dan menuruti permintaan gadis itu.

Hanya yang membuat Cie Kiat jadi tidak mengerti, mengapa Lan Mie Coe menyuruhnya tidak keluar dulu, sedangkan si Iblis yang begitu ditakuti Mie Coe telah berlalu?

Mengapa mereka harus bersembunyi terus disitu, ditempat yang kotor dan sempit sekali.

Memang sebagai seorang anak muda tentunya Cie Kiat lebih mau berdiam terus ditempat seperti itu bersama si gadis duduk berendeng berhimpitan. Namun sebagai seorang Kong-cu, Cie Kiat tidak mau mempunyai pikiran yang bukan-bukan.

Dia tidak mau pikirannya itu dipenuhi oleh angan-angan yang kotor.

Maka dari itu, dia jadi heran sekali si gadis menahan dirinya supaya tidak keluar

lagi. Sedang Cie Kiat kebingungan begitu, tahu-tahu telah terdengar suara langkah kaki yang cepat sekali.

Cie Kiat jadi menduga bahwa yang datang ini adalah ayah si gadis, lelaki tua yang tadi menjadi orang buruan.

“Hmmmm.... setan kecil itu memang tidak bersembunyi disini! Kalau memang dia bersembunyi disini dan menduga aku telah berlalu, tentunya dia akan keluar!!” mengumam seseorang dengan suara kecewa.

Cie Kiat mendesir darahnya. Dia kaget sendirinya.

Karena dia mengenali suara itu.

Suara tersebut adalah suaranya si Iblis!

Dengan sendirinya dia jadi heran sekali, mengapa si Iblis kembali?! Sebagai seorang yang cerdas, Cie Kiat segera, tersadar!

Tadi rupanya sengaja si Iblis mengeluarkan kata-kata bahwa dia akan berlalu.

Kemudian dengan cepat dia telah meninggalkan rumah ini beberapa puluh langkah jauhnya, lalu dia kembali lagi.

Kalau memang ada yang bersembunyi disitu, tentunya orang itu akan kepergok olehnya, sebab orang yang bersembunyi di situ telah keluar dari tempat persembunyiannya, karena menduga si Iblis telah berlalu.

Dengan sendirinya, si Iblis akan memergoki orang itu. Mengetahui itu, Cie Kiat jadi menggidik sendiri.

Betapa cerdiknya Iblis itu.

Kalau memang tidak ada Lan Mie Coe. tentu dirinya telah tertipu oleh si Iblis.

Hal ini menunjukkan bahwa biarpun Cie Kiat mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, namun dia masih kurang pengalaman didalam kalangan Kang-ouw.

Terdengar si Iblis menghela napas, kemudian suara langkah kakinya yang kian menjauh.

“Sekarang Iblis itu baru benar-benar berlalu!!” kata Lan Mie Coe sambil melepaskan cekalan tangannya. “Sekarang kita boleh keluar!!”

Sambil berkata begitu, si gadis telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya lebih dahulu.

Cie Kiat juga telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara seruling yang ditiup oleh si Iblis yang semakin lama semakin menjauh.

Si gadis she Lan itu jadi menghela napas. Wajahnya masih agak pucat.

“Ah..... kalau memang tempat persembunyian kita kena dipergoki oleh si Iblis, tentu kita akan celaka!!” kata si gadis dengan memperlihatkan wajah yang mengandung perasaan ngeri. “Dia terlalu telengas, sehingga kita tidak mungkin dapat melawan dirinya Iblis itu, kepandaiannya terlalu tinggi dan kosen sukar untuk diukur.”

Mendengar perkataan si gadis, Cie Kiat tersenyum.

“Tetapi kukira kita tidak usah terlalu takut kepada Iblis itu!!” kata Cie Kiat dengan suara yang tenang.

Si gadis jadi mengerutkan alisnya waktu ia mendengar perkataan Cie Kiat. “Tak usah jeri padanya?” tanya si gadis.

“Hu, kau belum bertemu dengan dia, maka bisa kau mengeluarkan kata-kata begitu!!”

“Tetapi seliehay-liehaynya Iblis itu, tentunya dia tidak lebih liehay dari jago nomor wahid didaratan Tionggoan bukan?” kata Cie Kiat.

Si gadis jadi berbalik heran.

“Jago nomor satu?” tanyanya dengan suara tak mengerti. “Apa maksudmu?” Cie Kiat tersenyum.

“Ya, menurut anggapanku, biarpun kepandaian si Iblis liehay sekali, tinggi luar biasa dan tangannya telengas, toh dia belum tentu bisa menguasai rimba persilatan dan menjadi jago nomor satu, bukan?”

Mendengar perkataan Cie Kiat, si gadis memperlihatkan mimik wajah yang serius sekali.

“Tidak bisa kau berkata begitu!” kata Lan Mie Coe cepat. “Iblis ini mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya. Hampir tak ada tandingan bagi dirinya, maka dia selalu mengembara guna mencari seorang jago yang bisa menandingi kepandaiannya. Namun sampai detik ini, si Iblis masih belum menemui orang yang bisa menandingi kepandaiannya! Yang bisa merubuhkan dirinya! Maka dari itu, biarpun dia sangat telengas, tak ada seorang jagopun yang bisa menguasai dirinya dan membendung kejahatan yang dilakukan oleh si Iblis!”

Cie Kiat tidak mau mendebat perkataan si gadis lagi.

Dia hanya mengambil setumpuk kecil batang-batang padi, dibakarnya untuk mengurangi hawa dingin dan melenyapkan nyamuk-nyamuk yang banyak berkeliaran diruangan ini.

Api segera menyala, unggun kecil tersebut menyiarkan asap yang agak besar, sehingga binatang-binatang malam, kupu-kupu kecil, yang banyak bertebaran diruangan ini, telah lenyap.

Baru saja Cie Kiat mau berkata-kata lagi, tiba-tiba terdengar suara berkeresekan diantara batang-batang padi itu.  

Namun kepala manusia itu begitu tersembul, sudah lantas orang itu telah mengayunkan tangannya....

Cie Kiat jadi heran sekali, begitu juga Lan Mie Coe, mereka menoleh kearah asalnya suara keresekan itu.

Sedang Cie Kiat dan Mie Coe terheran-heran begitu, tahu-tahu tampak tersembul kepala manusia dari tumpukan padi itu.

Mie Coe jadi kaget sekali, dia mau menegurnya dan sambil mau melompat untuk berdiri.

Namun kepala manusia itu begitu tersembul, sudah lantas orang itu telah mengayunkan tangannya.

Meluncur sebatang paku segi tiga, yang biasanya dinamakan Tok-sin-teng.

Paku itu, senjata rahasia yang dilontarkan oleh orang asing tersebut, telah meluncur dengan cepat sekali kearah Mie Coe, sehingga si gadis kaget sekali, sebab jarak mereka dekat benar dan paku Tok-sin-teng telah menyambar dengan cepat sekali......  
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar