Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 389

Buku 389

Tetapi Rara Wulan justru tertawa. Katanya, “Siapakah yang telah bercerita kepadamu tentang Alam Wang-Wung? Jika benar bahwa kematian itu akan memasuki Alam Wang-Wung, maka kau-lah yang akan masuk lebih dahulu.”

“Persetan,” geram Nyi Sangga Langit. Dengan garangnya ia pun kemudian berloncatan menyerang dengan sengitnya.

Sementara itu hujan masih turun, bahkan rasa-rasanya menjadi semakin lebat. Langit seakan-akan terbuka, sehingga air dapat tertumpah ke bumi.

Sementara Rara Wulan bertempur melawan Nyi Sangga Langit, maka Glagah Putih pun telah bertempur melawan Gempur Awang-Awang. Ternyata Gempur Awang-Awang memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Demikian pertempuran terjadi, maka Glagah Putih pun telah terdesak beberapa langkah surut.

Namun akhirnya Glagah Putih mampu membuat keseimbangan. Setelah menjadi sedikit mapan, maka Glagah Putih pun tidak lagi dapat didesak oleh lawannya. Meskipun lawannya pun kemudian menghentakkan ilmunya pula, tetapi pertahanan Glagah Putih tidak dapat lagi digoyahkannya.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit pula.

Gempur Awang-Awang yang pada mulanya, pada saat-saat ia dengan cepat mendesak Glagah Putih, merasa bahwa ia akan dapat menyelesaikan lawannya dengan cepat dan tidak terlalu sulit itu, ternyata telah mendapat kesan baru tentang lawannya yang masih terhitung muda itu.

Sementara itu Ki Tumenggung Purbasena dan kedua orang Rangga yang ikut serta dalam penjelajahan malam para calon prajurit itu memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Sedangkan para calon prajurit bagaikan membeku menyaksikan pertempuran di lebatnya hujan serta di gelapnya malam.

Para calon prajurit itu sempat menjadi cemas melihat Glagah Putih terdesak. Namun mereka pun kemudian mulai melihat tataran ilmu Glagah Putih yang tinggi. Setelah Glagah Putih mampu mengimbangi kemampuan lawannya, maka para calon prajurit itu pun dapat menarik nafas. Perlahan-lahan tumbuh harapan di hati mereka bahwa Glagah Putih akan dapat mempertahankan dirinya.

Sebenarnyalah bahwa Gempur Awang-awang itu tidak lagi mampu menekan Glagah Putih. Semakin lama Glagah Putih itu seakan-akan justru menjadi semakin tegar.

Dengan demikian pertempuran di bawah hujan yang lebat itu pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi.

Sementara itu Rara Wulan benar-benar telah mengejutkan lawannya. Bahkan ketika Rara Wulan berhasil mendesak Nyi Sangga Langit beberapa langkah surut, maka Rara Wulan yang tidak memburunya itu sempat berkata, “Kau telah menipuku, Nyi Sangga Langit.”

“Kenapa aku menipumu? Apakah kau sekarang melihat bahwa ilmuku jauh lebih tinggi dari yang kau duga?”

“Tidak. Bahkan sebaliknya. Bahkan ternyata kau sama sekali bukan murid dari Perguruan Kedung Jati. Apalagi murid terpercaya, sebagaimana kau katakan.”

“Aku adalah murid terpercaya dari Ki Saba Lintang.”

“Ilmumu sama sekali tidak mencerminkan aliran dari Perguruan Kedung Jati. Ketahuilah bahwa aku adalah salah seorang murid dari pemimpin tertinggi sejati dari Perguruan Kedung Jati itu. Karena itu aku tahu bahwa kau sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Perguruan Kedung Jati. Ilmumu terlalu kasar, karena agaknya kau sadap ilmumu dari dunia kegelapan. Betapa pun kau berusaha mengoles ilmumu dengan sikap-sikap lembut, tetapi jangan mencoba mengelabui penglihatanku atas ilmu kanuragan, karena aku mengenali berbagai macam ilmu kanuragan dari banyak aliran, termasuk aliran hitam.”

“Omong kosong. Kau tidak mengenali ilmu aliran Perguruan Kedung Jati sama sekali.”

Rara Wulan tertawa pendek. Katanya, “Jika kau mengenali ilmu aliran dari Perguruan Kedung Jati, maka kau tentu melihat bahwa aku sekarang bertempur dengan mempergunakan ilmu kanuragan dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

“Kau-lah yang mencoba berbohong, Rara Wulan.”

“Kebohongan itu jika dinyatakan dengan tegas dan tanpa ragu-ragu, memang mungkin dapat dipercaya orang. Tetapi tentu orang yang tidak tahu-menahu persoalannya.”

“Perempuan tidak tahu diri. Kau akan menyesali sikapmu itu. Kau akan tahu, siapakah aku ini.”

“Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Apa lagi yang harus aku sesali?”

Nyi Sangga Langit tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Rara Wulan pun mampu bergerak secepat Nyi Sangga Langit, sehingga karena itu maka serangan itu sama sekali tidak mengenainya.

Demikianlah, maka pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Namun dengan demikian Rara Wulan pun menjadi semakin yakin bahwa lawannya itu sama sekali bukan murid dari Perguruan Kedung Jati.

Demikian pula Glagah Putih. Seperti Rara Wulan, Glagah Putih pun telah berkata kepada Gempur Awang-Awang, “Kau juga bukan murid Perguruan Kedung Jati, seperti perempuan itu. Bahkan kau sama sekali tidak pernah tersentuh oleh ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati. Kau dengar bahwa istriku tahu pasti bahwa Nyi Sangga Langit itu bukan murid dari Perguruan Kedung Jati? Karena istriku adalah murid langsung dari pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.”

“Bohong. Dari mana istrimu mengenal pimpinan tertinggi Perguruan Kedung Jati?”

“Ketidak-tahuanmu itu semakin meyakinkan aku bahwa kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Perguruan Kedung Jati.”

Gempur Awang-Awang itu pun tidak berbicara lebih panjang lagi. Ia pun segera menyerang Glagah Putih dengan meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi.

Ki Tumenggung Purbasena memperhatikan pertempuran itu dengan tegang. Demikian pula kedua orang Rangga yang ada di dalam iring-iringan para calon prajurit itu.

Bahkan para calon prajurit yang berdiri di lebatnya hujan itu seakan-akan telah membeku menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Jantung mereka bagaikan berhenti berdetak ketika mereka melihat Glagah Putih tergelincir jatuh terguling.

Tetapi Glagah Putih justru berguling dalam air berlumpur mengambil jarak. Tetapi Gempur Awang-Awang itu pun justru memburunya. Demikian Glagah Putih meloncat bangkit, maka kaki Gempur Awang-Awang itu terjulur lurus menyamping.

Tetapi Glagah Putih telah sempat meloncat menghindar, sehingga serangan Gempur Awang-Awang itu tidak mengenainya. Bahkan demikian kaki Gempur Awang-Awang itu menyentuh tanah, maka Glagah Putih pun telah meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar menyambar kening Gempur Awang-Awang.

Gempur Awang-Awang-lah yang kemudian terpelanting dan jatuh ke dalam kubangan. Seperti Glagah Putih, maka pakaiannya pun menjadi sangat kotor oleh lumpur. Namun Gempur Awang-Awang pun dengan cepat pula bangkit.

Demikianlah, pertempuran pun menjadi semakin lama semakin sengit. Baik para calon prajurit maupun orang-orang yang datang bersama Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit, memperhatikan pertempuran itu dengan tegang.

Yang menjadi sangat tegang adalah Ki Tumenggung Purbasena. Beberapa kali ia bergeser agar dapat memperhatikan pertempuran itu dengan lebih seksama. Sekali-sekali ia mendekati lingkaran pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Sangga Langit. Kemudian ia pun bergeser mendekati Glagah Putih yang sedang bertempur dengan sengitnya melawan Gempur Awang-Awang.

Namun semakin lama Gempur Awang-Awang pun menjadi semakin terdesak. Ternyata ilmunya yang sangat tinggi itu tidak mampu menundukkan Glagah Putih.

Para calon prajurit yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin membeku. Mereka seakan-akan dicengkam oleh kenyataan yang sangat mendebarkan jantungnya. Mereka melihat bahwa Glagah Putih dan istrinya, Rara Wulan itu, seakan-akan tidak terbatas. Menghadapi lawan yang berilmu sangat tinggi itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama keduanya justru semakin menguasai medan.

Serangan-serangan Rara Wulan yang cepat, semakin sering menembus pertahanan Nyi Sangga Langit, sehingga setiap kali Nyi Sangga Langit terdesak surut. Bahkan sekali-sekali terdengar ia berdesah menahan sakit. Ketika serangan kaki Rara Wulan mengenai lambung Nyi Sangga Langit, maka terdengar Nyi Sangga Langit itu mengaduh tertahan. Perutnya menjadi sangat mual, sementara nafasnya menjadi sesak.

Tetapi Nyi Sangga Langit pun kemudian telah menghentakkan sisa tenaga dan kemampuannya. Ia pun telah meloncat maju sambil menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka.

Rara Wulan memang agak terkejut. Ia melihat jari-jari tangan Nyi Sangga Langit itu menjadi merah membara. Air hujan yang menimpa jari-jari tangan Nyi Sangga Langit itu pun segera menjadi gemerisik serta mendidih.

Rara Wulan yang mempunyai pengalaman yang luas itu pun segera mengenali ilmu itu. Tangan Nyi Sangga Langit memang membara. Setiap sentuhan ujung jarinya akan menjadi luka terbakar.

Sementara itu, air hujan yang mendidih karena menyentuh jari-jari Nyi Sangga Langit itu pun telah mengepulkan asap yang putih, sehingga gelapnya malam yang menjadi semakin kelam oleh air hujan itu pun bagaikan dibayangi tabir yang putih.

“Uap air ini terasa panas,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Ternyata bukan hanya Nyi Sangga Langit saja yang jari-jari tangannya telah membara. Tetapi jari-jari tangan Gempur Awang-Awang pun menjadi merah pula. Uap air yang mendidih juga menghangatkan udara di malam yang basah itu.

Tetapi baik Nyi Sangga Langit maupun Gempur Awang-Awang masih belum berhasil menyentuh tubuh Rara Wulan dan Glagah Putih, sehingga jari-jarinya yang membara itu tidak berhasil melukai lawannya.

Untuk melawan bara di jari-jari lawannya, Glagah Putih dan Rara Wulan masih dapat mengatasi serangan-serangan lawan mereka dengan kecepatan mereka bergerak. Kemampuan mereka meringankan tubuh mereka telah membuat lawan-lawannya kebingungan.

Glagah Putih memang sempat berpikir untuk mempergunakan ilmunya Aji Sigar Bumi. Tetapi Glagah Putih telah mengurungkannya. Demikian pula Rara Wulan, tidak berniat untuk melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Mereka tidak tahu batas kemampuan lawan-lawan mereka, sehingga jika ilmu lawan mereka lebih tinggi, maka keadaan mereka sendiri-lah yang akan menjadi sangat buruk.

Karena itu, dalam keadaan yang sangat memaksa maka mereka tidak mau mengalami kegagalan sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan berikutnya. Karena itu, jika sampai pada puncak perlawanannya maka mereka akan mengetrapkan ilmu puncak mereka, Aji Namaskara.

Tetapi sebelumnya, mereka masih berusaha untuk mengatasi jari-jari lawan mereka yang membara itu dengan ilmu meringankan tubuh, sehingga mereka dapat bergerak lebih cepat. Sehingga mereka selalu dapat mendahului serangan-serangan lawannya yang sangat berbahaya itu.

Sebenarnyalah bahwa Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit tidak mampu mengatasi kecepatan gerak Glagah Putih dan Rara Wulan. Meskipun mereka telah mengerahkan segenap kemampuan serta tenaga, namun jari-jari mereka sama sekali masih belum berhasil menyentuh tubuh lawan mereka. Dengan meningkatkan daya tahan tubuh mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berusaha mengatasi panasnya uap air yang mendidih dan jari-jari tangan Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit itu, masih saja mampu menembus pertahanan lawan-lawan mereka. Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit memang menjadi agak bingung jika tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan menyerang mereka dari belakang, tanpa dapat mengikuti kecepatan gerak mereka.

Ki Tumenggung Purbasena benar-benar menjadi tegang. Pertempuran yang berlangsung itu semakin lama menjadi semakin meyakinkan bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Namun Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Dalam keadaan yang memaksa, mereka pun akan dapat sampai ke puncak ilmu mereka.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun memiliki ilmu andalan yang akan dapat melindungi diri mereka, dan bahkan akan sangat berbahaya bagi lawan-lawan mereka.

Dalam pada itu, ketika Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit sudah tidak lagi dapat mengelakkan diri dari kenyataan bahwa ilmu Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat diatasinya dengan ilmu kanuragan, maka mereka pun siap untuk sampai ke puncak ilmu mereka. Gempur Awang-Awangpun kemudian telah memberikan isyarat kepada Nyi Sangga Langit, bahwa sudah sampai saatnya mereka akan melepaskan ilmu andalan mereka.

Jantung Ki Tumenggung Purbasena bagaikan berhenti berdetak. Dengan serta-merta ia pun berteriak, “Cukup, cukup! Aku tidak mau melihat calon prajuritku menjadi cedera.”

Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit pun terkejut. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Demikian pula kedua orang Rangga yang menyertai Ki Tumenggung itu, serta para calon prajurit. Para Rangga dan calon prajurit itu melihat bahwa justru Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang telah mendesak mereka. Bahkan seandainya kedua orang itu mempergunakan ilmu pamungkas mereka, mereka pun yakin bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan akan dapat melawannya.

Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit itu pun meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah bertekad untuk melawan ilmu puncak kedua lawannya dengan Aji Namaskara, justru termangu mangu.

“Ki Tumenggung Purbasena,” berkata Glagah Putih dengan suara yang bergetar menahan gejolak perasaannya, “biarlah kami menuntaskan permainan kami. Aku tidak ingin Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit menjadi kecewa. Ilmu apapun yang akan mereka tumpahkan, kami berdua sudah siap untuk melawannya. Dengan ilmu puncak kami masing-masing, maka pertempuran ini akan tuntas. Mungkin kami-lah yang akan binasa, tetapi mungkin aku akan dapat menyelesaikan pertarungan ini.”

“Tidak!” bentak Ki Tumenggung, “benturan ilmu puncak dari dua orang yang berilmu tinggi akan dapat mencederai kedua-duanya. Karena itu, aku tidak akan mengijinkan kalian, calon prajurit yang berada di bawah pimpinanku, membenturkan ilmu puncak kalian dengan mempertaruhkan nyawa kalian.”

Sebelum Glagah Putih menjawab, Ki Tumenggung itu pun berkata kepada Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit, “Sekali lagi aku peringatkan, pergilah. Uruslah persoalanmu dengan Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya, Sekar Mirah. Jangan ganggu calon prajurit yang berada di bawah tanggung jawabku.”

“Mereka tidak usah mencari Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah. Kami berdua sanggup menyelesaikan mereka di sini.”

“Tidak! Sekali lagi aku perintahkan, pergilah. Bawa orang-orang kalian, dan jangan mengganggu lagi calon prajuritku.”

Namun seorang di antara kedua orang Rangga itu pun berkata, “Kita harus menangkap mereka, Ki Tumenggung. Kita harus tahu, apakah latar belakang dari perbuatan mereka yang sebenarnya. Menurut Rara Wulan dan Glagah Putih pada saat mereka bertempur, aku mendengar bahwa ilmu mereka sama sekali bukan bersumber dari aliran Perguruan Kedung Jati. Aku juga meragukannya, karena aku pernah bertempur dengan gerombolan orang yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati. Bahkan aku percaya dengan pernyataan Rara Wulan yang tentu telah mendapat tuntunan serta telah menyadap ilmu Nyi Lurah Agung Sedayu, yang sebenarnya adalah salah seorang pemimpin sejati dari Perguruan Kedung Jati.”

“Cukup!” bentak Ki Tumenggung, “Aku bertanggung jawab atas keselamatan para calon prajurit. Jika terjadi pertempuran dengan kelompok yang tidak kita kenal itu, maka banyak kemungkinan dapat terjadi.”

Namun seorang Rangga yang lain tiba-tiba saja berkata, “Gempur Awang-Awang, apakah kau memang akan melarikan diri dari arena? Buat apa kau datang menemui kami dengan para pengikutmu, jika begitu mudahnya kau diperintah untuk pergi?”

Terasa wajah Gempur Awang-Awang menjadi panas. Tetapi perintah Ki Tumenggung Purbasena itu sebenarnya merupakan salah satu jalan keluar dari arena perkelahian yang mencemaskan itu. Bahkan Gempur Awang-Awang sendiri tidak yakin bahwa ilmu pamungkasnya menjanjikan kemenangan.

Sementara itu, agaknya para calon prajurit itu pun telah mempersiapkan diri untuk bertempur, seandainya ada perintah dari Ki Tumenggung Purbasena.

Dalam pada itu, yang terdengar di antara gemuruhnya air hujan adalah teriakan-teriakan Ki Tumenggung Purbasena, “Pergi! Pergi! Cepat pergi! Kalau kalian tidak segera pergi, maka kalian akan kehilangan kesempatan. Aku sendiri yang akan menyelesaikan kalian bersama para pembantuku, tanpa melibatkan seorang calon prajuritpun.”

“Baik, “berkata Gempur Awang-Awang, “sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa aku tidak akan dapat melawan K Tumenggung.”

Kepada para pengikutnya Gempur Awang-Awang segera memerintahkan untuk meninggalkan tempat itu.”

“Ki Tumenggung,” berkata salah seorang Rangga yang menyertainya, “apa artinya ini?”

“Sudah aku katakan, aku harus mempertanggung-jawabkan semua orang yang ada di sini.”

Para Rangga itu pun akhirnya berdiri. Apalagi para calon prajurit. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Aku tidak tahu kenapa Ki Tumenggung Purbasena tidak mengijinkan kami menyelesaikan pertempuran itu, apapun yang terjadi. Para calon prajurit dan para Rangga dapat menjadi saksi bahwa apa yang kami lakukan adalah tanggung jawab kami sendiri.”

“Cukup!” bentak Ki Tumenggung.

Glagah Putih terdiam. Sementara itu para calon prajurit dan para Rangga itu pun melihat, betapa Gempur Awang-Awang berjalan dengan kaki kiri yang agak diseretnya saja, karena sendi-sendinya yang nyeri. Dadanya pun terasa sakit, seakan-akan ada tulang iganya yang retak. Sementara itu Nyi Sangga Langit berjalan sambil menekan lambungnya. Nampaknya Nyi Sangga Langit itu pun merasa sangat kesakitan.

Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang meskipun juga merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, tetapi mereka masih mampu mengatasinya dengan daya tahan tubuhnya, sehingga keduanya masih tetap tegar.

Namun mereka tidak mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Lintang terlalu lama. Ki Tumenggung Purbasena pun kemudian telah memerintahkan para calon prajurit itu untuk segera bergerak meninggalkan tempat itu.

Sejenak kemudian iring-iringan itu pun sudah bergerak. Tetapi Ki Tumenggung Purbasena tidak lagi membawa pasukannya menelusuri jalan-jalan di Mataram dan sekitarnya. Ki Purbasena telah memerintahkan para calon prajurit itu untuk kembali ke baraknya.

Di dini hari, iring-iringan itu telah berada di barak. Mereka pun segera diperintahkan untuk membersihkan diri dan kemudian mengeringkan tubuhnya dan berganti pakaian.

Seperti biasanya, jika tidak yang pertama, maka Rara Wulan melakukannya yang terakhir. Karena malam itu semuanya tergesa-gesa pergi ke pakiwan karena pakaian mereka yang basah dan kotor oleh hujan serta lumpur, sehingga beberapa orang bahkan pergi ke pakiwan bersama-sama, maka Rara Wulan terpaksa menunggu hingga yang terakhir.

Setelah semuanya selesai berbenah diri, maka para calon prajurit itu pun duduk-duduk sejenak di serambi. Ternyata para petugas di dapur telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka yang kedinginan oleh hujan yang lebat.

Ki Tumenggung telah mandi dan berganti pakaian di barak para calon prajurit itu pula. Demikian juga kedua orang Rangga yang menyertainya.

Demikian para calon prajurit itu selesai minum minuman hangat, maka Ki Tumenggung Purbasena pun segera memerintahkan mereka untuk beristirahat.

“Perutku lapar sekali,” desis seorang di antara para calon prajurit itu.

Ternyata ia tidak sendiri. Hampir semua calon prajurit itu merasa lapar. Tetapi malam itu mereka hanya mendapat minuman hangat. Mereka tidak mendapat makanan.

Dengan perut lapar, maka para calon prajurit itu berusaha untuk memanfaatkan sisa malam. Mereka mencoba untuk tidur, karena di hari berikutnya mereka tetap menjalankan tugas mereka seperti biasa.

Ketika para calon prajurit itu membaringkan tubuhnya, hujan pun berhenti. Udara terasa dingin, apalagi mereka baru saja kehujanan. Sehingga mereka pun telah menyembunyikan tubuh mereka di bawah kain panjang mereka.

Namun sebelum mereka tertidur di waktu yang sangat sempit itu, mereka masih saja mengenang apa yang baru saja terjadi. Tidak hanya peristiwanya itu sendiri, tetapi juga ilmu Glagah Putih dan Rara Wulan. Meskipun mereka tahu bahwa suami istri itu mempunyai kelebihan, tetapi mereka tidak membayangkan bahwa ilmu keduanya itu seakan-akan tidak terbatas. Melawan dua orang yang ilmunya sangat tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan justru berhasil menguasai keadaan sepenuhnya.

Namun para calon prajurit itu memang menjadi bingung terhadap sikap Ki Tumenggung Purbasena.

“Entahlah,” berkata seorang calon prajurit di dalam hatinya, “sekarang aku harus tidur meskipun hanya sekejap. Besok segala sesuatunya akan berlangsung seperti biasa.”

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbasena sendiri sudah tidak berada di barak itu. Kepada petugas Ki Tumenggung hanya mengatakan bahwa Ki Tumenggung Purbasena itu akan pulang. Demikian hujan berhenti, terdengar derap kaki kuda meninggalkan barak itu. Sementara kedua orang Rangga yang menyertainya, masih tetap berada di barak. Namun kedua orang Rangga itu pun tidak tahu kemana Ki Tumenggung Purbasena itu pergi.-

Ternyata Ki Tumenggung Purbasena memang benar-benar pulang. Tetapi Ki Tumenggung hanya berada di rumahnya sebentar. Sementara malam masih tersisa, Ki Tumenggung pun telah pergi bersama dua orang prajurit pengawal khusus yang berada di rumahnya.

Malam itu Ki Tumenggung Purbasena telah mendatangi sebuah rumah yang terpencil di sudut kota Mataram. Demikian ia masuk, maka dua orang suami istri telah menyongsongnya dan mempersilahkannya duduk di ruang dalam.

Demikian Ki Tumenggung itu duduk, ia pun langsung saja mengumpati kedua orang itu, “Ternyata hanya mulut kalian saja yang besar. Tetapi apa yang terjadi?”

“Maaf, Ki Tumenggung, aku tidak mengira bahwa tingkat kemampuan Glagah Putih dan Rara Wulan sedemikian tinggi. Hampir saja aku kehilangan akal dan mempergunakan ilmu pamungkasku.”

“Menilik perbandingan ilmu di antara kalian, apakah kau kira kau akan dapat mengalahkannya? Kau-lah yang akan mati bersama istrimu. Aku tidak menghendaki pertarungan itu kau tuntaskan. Aku hanya ingin kau mempermalukan keduanya di hadapan kawan-kawannya. Aku ingin bahwa kesan tentang kelebihan Glagah Putih itu tidak meracuni kawan-kawannya, sehingga tanpa diangkat, Glagah Putih dan Rara Wulan seakan-akan telah menjadi pemimpin mereka. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kau kerahkan kemampuanmu sampai tingkat yang sangat tinggi. Namun akhirnya kau tetap saja tidak dapat memenangkan pertarungan itu.”

“Tetapi itu bukan salahku, Ki Tumenggung. Glagah Putih dan istrinya memang benar-benar berilmu tinggi.”

“Dan kalian tidak dapat mengunggulinya.”

“Aku sudah berniat menuntaskan pertarungan itu. Bahkan seandainya aku harus mati.”

“Aku tidak menghendaki. Aku hanya ingin kau memaksa Glagah Putih dan Rara Wulan tunduk kepadamu.”

“Ki Tumenggung tidak dapat menyalahkan kami,” sahut perempuan yang mengaku bernama Nyi Sangga Langit itu, “Ki Tumenggung ternyata tidak dapat menilai kemampuan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sebenamya, sehingga jika Ki Tumenggung tidak berhasil mencegah, mungkin aku dan Kakang sudah mati. Tetapi kematian kami itu adalah justru karena kesalahan pernilaian Ki Tumenggung atas kemampuan Glagah Putih dan Rara Wulan.”

“Lalu sekarang apa rencanamu?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku tidak mempunyai rencana apa-apa.”

“Tetapi kalian belum berhasil mempermalukan Glagah Putih dan Rara Wulan.”

“Bagaimana aku dapat mempermalukan Glagah Putih dan Rara Wulan, kalau ilmu mereka memang lebih tinggi dari ilmu kami? Bahkan jika kami jujur, jarak ilmu mereka dengan ilmu kami itu masih agak jauh. Kenyataan itu baru kami sadari setelah kami sampai di rumah. Beruntunglah bahwa kami masih tetap hidup.”

“Aku mengupah kalian jika kalian mampu mempermalukan Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi kalian tidak dapat melakukannya.”

“Kami tidak berpikir lagi tentang upah itu. Kami pun tidak berpikir untuk melakukan apa-apa lagi terhadap keduanya. Kami harus mengakui kenyataan ini. Jika sekali lagi kami mencobanya, maka kami akan mati. Apalagi mereka tahu pasti bahwa landasan ilmu kami bukannya ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

“Persetan dengan kalian. Tetapi apakah kalian tidak dapat menghubungi orang lain yang memiliki ilmu lebih tinggi dari ilmu kalian?”

“Ki Tumenggung, kami telah memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan pekerjaan ini, karena kami menyadari keadaan kami. Terserah kepada Ki Tumenggung, jika Ki Tumenggung akan berhubungan dengan orang lain.”

“Tetapi kau tidak dapat membuka rahasiaku. Kalian tahu akibatnya jika kalian membocorkan rahasia ini.”

“Kami bukan kanak-kanak lagi, Ki Tumenggung. Kami sudah berada di dunia kami untuk waktu yang cukup lama. Kami tentu tidak akan menutup jalan kami sendiri.”

Ki Tumenggung itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik. Kita berjanji untuk tidak saling mengkhianati. Tetapi aku tidak dapat menambah upah yang sudah aku berikan sebagian itu.”

“Sudah aku katakan, kami tidak berpikir lagi tentang upah itu. Bahwa kami masih hidup, kami sudah mengucapkan syukur.”

Ki Tumenggung Purbasena kemudian meninggalkan rumah itu dengan wajah yang gelap. Ketika Ki Tumenggung Purbasena sampai di rumahnya lagi, wajah langit sudah membayangkan cahaya kemerah-merahan.

Sementara itu para calon prajurit pun sudah terbangun pula. Tetapi mereka masih merasa sangat malas untuk bangkit.

Tetapi para calon prajurit itu harus turun dari pembaringan dan pergi ke pakiwan.

Sementara itu, seperti biasanya Rara Wulan adalah orang yang pertama mandi. Setelah mereka melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan ringan, Rara Wulan tidak merasa perlu lagi untuk mandi. Sedangkan para calon prajurit yang lain, biasanya hanya mencuci mukanya saja sebelum melakukan pemanasan ringan di halaman. Namun biasanya tubuh mereka menjadi basah oleh keringat, sehingga baru kemudian mereka mandi menjelang makan pagi.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbasena sendiri tidak pergi ke barak menunggui para calon prajurit yang melakukan pemanasan ringan, tetapi Ki Tumenggung itu justru lebih banyak merenung di pringgitan rumahnya. Minuman hangat yang dihidangkan hanya sedikit yang diteguknya. Sambil duduk merenung, Ki Tumenggung Purbasena memandang jauh menembus dedaunan di halaman rumahnya, menerawang seakan-akan tanpa batas.

“Apa yang kau renungkan, Kakang?” bertanya Nyi Tumenggung yang kemudian duduk di sampingnya.

“Tidak ada apa-apa, Nyi.”

“Kakang Tumenggung nampak gelisah.”

“Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan tugasku yang terasa semakin berat. Para calon prajurit itu ternyata tidak secerdas sekelompok calon prajurit yang terdahulu. Meskipun mereka taat kepada tatanan dan peraturan, tetapi mereka sulit sekali menyadap ilmu yang diturunkan kepadanya.”

“Tetapi Kakang tidak perlu menjadi demikian gelisah. Lakukan tugas Kakang sebaik-baiknya. Tetapi karena yang Kakang tangani bukan benda mati, maka segala sesuatunya tidak tergantung sepenuhnya kepada Kakang.”

“Ya. Aku juga sudah mencoba untuk berpikir seperti itu. Tetapi justru karena aku merasa bertanggung-jawab, maka aku masih saja merasa gelisah.”

“Sudahlah, Kakang. Sekarang sebaiknya Kakang minum saja. Aku sedang menyiapkan makan pagi bagi Kakang. Tetapi apakah Kakang pagi ini tidak pergi ke barak?”

“Bukankah aku tidak harus berada di barak setiap pagi? Selama ini aku juga hanya kadang-kadang saja berada di barak di pagi-pagi sekali. Aku justru lebih banyak berada di lapangan untuk menempa para calon prajurit, yang sebagian besar tidak tanggap akan tugas mereka.”

“Minumlah mumpung masih hangat, Kakang. Biarlah aku pergi ke belakang menyiapkan makan pagi Kakang.”

Sepeninggal Nyi Tumenggung, Ki Tumenggung Purbasena pun kembali merenung. Semakin lama kemampuan Glagah Putih dan Rara Wulan tentu semakin dikagumi oleh kawan-kawannya. Namun lebih dari itu, Ki Tumenggung Purbasena tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu Glagah Putih dan bahkan Rara Wulan memang lebih tinggi dari ilmunya. Ilmu Ki Tumenggung Purbasena tentu tidak lebih tinggi dari ilmu orang yang mengaku bernama Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit. Tetapi di hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan, Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit ternyata tidak mampu berbuat banyak.

Ki Tumenggung Purbasena telah mengupah Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit untuk mempermalukan Glagah Putih dan Rara Wulan. Dalam waktu yang pendek, Glagah Putih dan Rara Wulan harus dikalahkan. Glagah Putih dan Rara Wulan dipaksa merangkak dan kemudian berlutut di hadapannya untuk mohon ampun.

Tetapi yang terjadi, Glagah Putih dan Rara Wulan justru siap untuk melontarkan ilmu puncaknya yang bahkan akan dapat membahayakan jiwa mereka.

Sebenarnyalah Ki Tumenggung Purbasena menjadi gelisah bukan saja karena kekalahan Gempur Awang-Awang dan Nyi Sangga Langit. Tetapi Ki Tumenggung juga memikirkan wibawanya dihadapan para calon prajurit itu.

Jika Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian berniat mempermalukannya, maka pada suatu saat mereka tentu akan mendapat kesempatan. Tetapi Ki Tumenggung, tidak dapat menemukan cara untuk menekan perasaan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan mempermalukannya di hadapan kawan-kawannya.

Di alun-alun Pungkuran, para calon prajurit itu pun sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Meskipun semalam mereka kehujanan, namun bagi mereka tidak ada waktu untuk bermalas malasan.

Dengan demikian maka latihan-latihan yang berat masih selalu mereka lakukan.

Tetapi yang memimpin latihan-latihan hari itu bukannya Ki Tumenggung Purbasena sendiri atau kedua orang Rangga yang menyertainya semalam. Agaknya mereka sempat beristirahat. Berbeda dengan para calon prajurit yang harus tetap menjalankan tugas mereka, meskipun mereka merasa letih.

Sebenarnyalah apa yang telah terjadi semalam masih saja menjadi bahan pembicaraan para calon prajurit. Bahkan ada di antara mereka yang ingin mendengar tanggapan Glagah Putih dan Rara Wulan sendiri.

“Aku tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Persoalannya adalah antara mereka dengan Kakang Agung Sedayu serta Mbokayu Sekar Mirah.”

“Kenapa mereka justru ingin memburumu?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tetapi agaknya mereka tidak berani berhadapan langsung dengan Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah. Mereka tahu bahwa Ki Saba Lintang sendiri tidak sanggup menghadapi keduanya. Karena itu maka mereka ingin menumpahkan dendam mereka kepadaku dan istriku. Mereka pun tahu bahwa kami berdua sudah terlalu sering bertempur melawan orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Tetapi bukankah kalian mengatakan bahwa orang yang mengaku bernama Gempur Awang-Awang dan Sangga langit itu bukan murid-murid dari Perguruan Kedung Jati?”

“Banyak sekali orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati, tetapi dalam setiap benturan kekerasan, sama sekali tidak mencerminkan murid yang sudah menguasai ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati itu.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya Perguruan Kedung Jati yang sengaja menghimpun kekuatan yang sebesar-besarnya itu tidak peduli, apakah orang-orang yang bergabung dalam perguruan itu benar-benar murid dari perguruan itu sendiri. Sementara itu orang-orang lain yang bergabung di dalam Perguruan Kedung Jati itu adalah orang-orang yang ingin menumpang saja. Apabila Ki Saba Lintang berhasil, maka mereka akan mendapat kesempatan untuk menguasai satu jabatan atau lingkungan tertentu.”

Calon prajurit itu mengangguk. Namun mereka memang tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berbincang. Mereka harus segera turun lagi dalam latihan-latihan yang berat.

Sebenarnya bagi para Senapati yang memberikan latihan-latihan dengan kekhususan mereka masing-masing, kehadiran Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjadi soal. Mereka tahu dan bahkan ada yang sudah memahami sifat dan watak kedua orang suami istri itu. Mereka berusaha menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak akan pernah terganggu oleh keberadaan keduanya. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan pernah dengan sengaja merendahkan para Senapati yang memberikan latihan-latihan kepada para calon prajurit itu, apalagi di hadapan para calon prajurit itu. Bahkan kepada kawan-kawannya pun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak pernah menunjukkan kelebihan mereka. Dalam setiap kesempatan yang seharusnya terbuka bagi mereka, keduanya tidak pernah memanfaatkannya. Mereka telah menempatkan diri mereka sejajar dengan kawan-kawan mereka.

Tetapi karena kawan-kawan mereka dan para pelatihnya sudah mengetahuinya, maka mau tidak mau Glagah Putih dan Rara Wulan itu sering mendapat perlakuan yang berbeda, meskipun keduanya tidak menghendakinya.

Apalagi setelah mereka melihat langsung bagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan mengalahkan orang yang menyebut dirinya Gempur Awang-Awang dan Sangga Langit, maka mereka pun semakin yakin bahwa keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Orang-orang yang tidak pantas untuk berada di tengah-tengah para calon prajurit yang sedang menempuh masa penempaan diri. Para calon prajurit itu merasa bahwa meskipun kelak setelah mereka menyelesaikan latihan-latihan yang berat itu, mereka tidak akan mampu menyamai bahkan mendekati tingkat kemampuan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Demikianlah, latihan-latihan untuk menempa kemampuan para calon prajurit itu berlangsung terus. Latihan-latihan yang bagi para calon prajurit itu menjadi sangat berarti. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun menganggap bahwa latihan-latihan itu berarti pula bagi mereka. Ada beberapa hal yang sebelumnya tidak mereka pahami tentang isyarat-isyarat sandi, tentang penyamaran serta penilaian terhadap sikap seseorang yang mencurigakan. penyusupan dan berbagai macam rahasia dari para prajurit sandi.

Namun dengan landasan ilmunya yang tinggi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan adalah calon prajurit sandi yang akan dapat dibanggakan oleh kesatuannya, dimanapun mereka diletakkan. Tetapi seperti yang dijanjikan oleh Ki Patih Mandaraka, keduanya akan diletakkan di kesatuan Ki Lurah Agung Sedayu yang akan diperluas.

Dari hari ke hari, latihan-latihan itu rasa-rasanya memang menjadi semakin berat. Tetapi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, latihan-latihan itu betapa pun beratnya, belum menyamai laku yang harus dijalaninya pada saat mereka memperdalam isi kitab Ki Namaskara. Apalagi pada saat mereka harus menjalani Tapa Ngidang di tengah-tengah hutan yang lebat. Meskipun mereka sadar bahwa di tengah-tengah hutan itu tidak akan dijumpai seorangpun, namun syarat-syarat bagi Tapa Ngidang itu terasa sangat berat bagi mereka.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjalaninya pula. Bahkan Tapa Ngalong, berendam di rawa-rawa, serta berbagai macam laku yang lain.

Karena itu maka latihan-latihan yang harus dijalaninya sebagai calon prajurit itu sama sekali tidak terasa berat baginya, meskipun beberapa orang kawannya sempat juga mengeluh.

Sementara itu Ki Tumenggung Purbasena masih saja merasa cemas, bahwa pada suatu saat Glagah Putih dan Rara Wulan akan membalas perlakuannya yang mungkin telah menyinggung perasaan keduanya. Sementara itu Ki Tumenggung Purbasena sendiri harus merasa dan melihat kenyataan bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu memang berilmu sangat tinggi.

Dengan demikian maka Ki Tumenggung Purbasena tidak akan dapat melakukan sendiri jika ia ingin memaksa Glagah Putih itu berlutut di hadapannya.

Tetapi Glagah Putih sendiri tidak pernah berpikir untuk menyakiti hati Ki Tumenggung Purbasena. Apalagi dengan sengaja mempermalukannya. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan selalu berbuat dengan hati-hati agar tidak terkesan memusuhi Ki Tumenggung Purbasena, yang memang pernah menyinggung perasaannya.

Meskipun demikian, jika Glagah Putih duduk berdua saja dengan Rara Wulan, mereka masih saja berbicara tentang Gempur Awang-Awang dan Sangga Langit.

“Aku memang menjadi suriga, Kakang.”

“Ya. Aku juga. Tetapi sudahlah, kita akan melupakannya.”

Dalam pada itu, latihan-latihan yang semakin berat pun masih saja berlangsung terus. Namun nampak kemajuan yang sangat berarti bagi para calon prajurit itu. Bukan saja kecerdikan mereka sebagai calon prajurit sandi menanggapi keadaan, tetapi ilmu mereka pun berkembang pula. Bahkan daya tahan tubuh mereka serta tenaga dalam mereka pun meningkat semakin tinggi.

Hari-hari pun telah berlalu. Para calon prajurit itu pun semakin mendekati saat-saat terakhir dari latihan-latihan dengan penempaan diri. Dalam waktu yang terhitung singkat, kemampuan mereka pun telah berkembang dengan pesat. Mereka telah memahami berbagai macam ilmu yang pantas dikuasai oleh para petugas sandi. Bahkan mereka telah ditempa bukan saja tubuh mereka, tetapi juga jiwa mereka. Dalam keadaan yang terjepit, maka mereka tidak akan mudah membuka rahasia yang harus mereka lindungi. Betapapun kewadagan mereka mendapat tekanan, namun mereka harus tetap menyimpan rahasia serapat-rapatnya. Bahkan seandainya mereka harus mengorbankan jiwa mereka.

Akhirnya batas waktu yang ditentukan itu pun telah tiba. Ternyata para calon prajurit itu dapat memenuhi batasan-batasan kemampuan yang harus mereka kuasai. Mereka pun telah memiliki daya tahan tubuh serta tenaga dalam yang memadai.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbasena pun masih saja merasa cemas. Namun sampai saat-saat menjelang berakhirnya penempaan diri bagi calon prajurit itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berbuat apa-apa. Mereka berlaku wajar-wajar saja sebagaimana para calon prajurit yang lain.

Sehingga akhirnya para calon prajurit itu memasuki pendadaran kembali. Bukan untuk memilih di antara mereka yang dapat diterima, tetapi untuk menilai apakah latihan-latihan, penempaan diri serta berbagai macam pengetahuan tentang prajurit sandi itu sudah benar-benar mereka kuasai.

Di hari-hari terakhir, para calon prajurit itu tidak saja ditempa tentang olah keprajuritan khusus bagi para prajurit sandi, namun para pemimpin di Mataram pun mulai menempa jiwa mereka agar mereka benar-benar dapat menjadi prajurit yang baik. Prajurit yang mempergunakan segala kemampuan, ketrampilan serta pengetahuan mereka bagi kepentingan orang banyak. Prajurit yang lekat dengan kepentingan rakyat. Mereka harus melindungi rakyat Mataram yang memerlukan, bukan sebaliknya, justru untuk menakut-nakuti rakyat serta memanfaatkan kelebihan mereka untuk kepentingan pribadi.

Dengan demikian maka bekal yang mereka terima dari latihan-latihan serta penempaan diri menjelang penerimaan atas diri mereka dengan resmi menjadi prajurit Mataram itu menjadi lengkap.

Ternyata pendadaran yang dilakukan oleh para Senapati di barak itu terasa jauh lebih berat daripada saat mereka diterima menjadi calon prajurit. Bahkan pendadaran itu dilakukan bukan saja oleh seorang Senapati atas seorang calon prajurit, tetapi setiap calon prajurit barus berhadapan dengan tiga orang Senapati, yang akan menilai berbagai segi tentang bekal yang harus dimiliki oleh setiap prajurit sandi.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun harus mengikuti pendadaran itu pula. Tetapi ternyata mereka tidak harus berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbasena.

Karena itu maka tiga orang Senapati yang terdiri dari seorang Tumenggung dan dua orang Rangga itu tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka tidak merasa perlu untuk menjajagi peningkatan kemampuan olah kanuragan Glagah Putih. Bahkan Tumenggung yang melakukan pendadaran itu pun sambil bercanda bertanya, “Aku atau kau yang akan menjajagi kemampuan kita?”

Glagah Putih tertawa. Demikian pula kedua orang Rangga yang lain. Mereka memang tidak merasa perlu menilai seberapa jauh kemajuan Glagah Pulih selama berada di dalam masa penempaan diri.

Demikian pula para Senapati yang harus menilai kemampuan Rara Wulan. Mereka justru lebih banyak berbincang dan sekali-sekali terdengar mereka tertawa serentak. Tiga orang Rangga yang harus menilai kemampuan Rara Wulan itu tahu benar bahwa kemampuan mereka tidak lebih tinggi dari kemampuan Rara Wulan.

Para Senapati itu memerlukan beberapa hari untuk melakukan pendadaran di tingkat akhir di masa-masa latihan dan penempaan diri itu.

Ternyata bahwa semua calon prajurit yang mengikuti penempaan diri itu telah dinyatakan memenuhi syarat yang ditentukan, sehingga semua dinyatakan dapat ditetapkan menjadi prajurit.

Dengan demikian maka latihan-latihan khusus bagi para calon prajurit itu pun sudah selesai. Mereka tinggal menunggu saat-saat mereka diwisuda dan ditetapkan menjadi seorang prajurit. Jumlah mereka memang tidak banyak. Tetapi justru karena jumlah yang sedikit itu maka mereka benar-benar dapat ditempa menjadi prajurit sebagaimana disyaratkan sebagai seorang prajurit sandi Mataram.

Dalam pada itu, Mataram telah mempersiapkan wisuda bagi para prajurit sandi itu. Sebelumnya, Ki Tumengung Purbasena telah memerintahkan para prajurit sandi itu untuk menunjukkan kelebihan mereka di hadapan Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari, yang akan menyatakan bahwa mereka semua yang ikut dalam latihan-latihan khusus itu dinyatakan memenuhi syarat.

Mereka pada hari yang akan ditentukan akan diwisuda langsung di Paseban, bersama beberapa Senapati yang mendapat anugrah kenaikan pangkat, dan beberapa di antaranya juga kenaikan jabatan. Di antara mereka yang akan mendapat anugrah kenaikan pangkat adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi jabatan Ki Lurah Agung Sedayu masih saja menjadi Senapati di kesatuannya yang lama, Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Pasukan Khususnya-lah yang dikembangkan menjadi lebih besar.

Beberapa kelompok prajurit dari pasukan yang semula berada di barak yang lain, akan ditempatkan di barak Ki Lurah Agung Sedayu. Namun untuk itu diperlukan beberapa persiapan. Selain memperluas barak yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, maka tugas Ki Lurah Agung Sedayu setelah ditetapkan menerima anugrah kenaikan pangkat adalah menempa para prajurit baru itu, disesuaikan dengan landasan dasar kemampuan prajurit dalam Pasukan Khusus. Ki Lurah Agung Sedayu yang sudah memimpin pasukan khusus itu untuk waktu yang lama, mempunyai pengalaman yang cukup untuk melakukan tugasnya yang baru, tugasnya yang diperluas.

Demikianlah, para calon prajurit sandi itu pun telah mempersiapkan diri untuk menunjukkan beberapa permainan yang terutama dalam hubungan dengan tugas mereka. Ki Tumenggung Purbasena memerintahkan, agar mereka dapat menunjukkan jenis ketrampilan seorang prajurit yang berbeda dengan para prajurit dari kesatuan yang lain.

Para calon prajurit itu pun telah bekerja keras untuk menyusun pameran ketrampilan yang akan mereka tunjukkan di hadapan para pemimpin di Mataram, yang akan dihadiri oleh Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari. Keduanya akan memberikan laporan kepada Ingkang Sinuhun, apakah mereka sudah pantas untuk diwisuda di Paseban Agung yang akan diadakan secara khusus itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun ikut pula merencanakan pameran kemampuan dan ketrampilan para calon prajurit sandi itu. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin mendapat peran yang menonjol. Mereka akan berada di antara para calon prajurit itu sebagaimana yang lain-lain.

Ketika sampai pada saatnya, Mataram telah menyelenggarakan satu pameran kemampuan dan ketrampilan yang dilakukan oleh para calon prajurit sandi yang jumlahnya tidak banyak, sebagai satu upacara penutupan latihan dan bimbingan khusus bagi para calon prajurit yang akan menjalankan tugas sandi.

Upacara penutupan itu pun dilakukan dengan sederhana, namun dilakukan di hadapan Ki Patih Mandaraka serta Pangeran Singasari. Di samping keduanya, hadir pula beberapa orang Senapati, terutama mereka yang akan menerima anugrah pangkat dan jabatan baru. Termasuk Ki Lurah Agung Sedayu.

Pagi-pagi sekali, di alun-alun Pungkuran telah dipasang gawar yang mengelilingi satu arena yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan pameran kemampuan dan ketrampilan para calon prajurit sandi. Di pinggir alun-alun telah dibuat panggungan, yang akan dipergunakan oleh Pangeran Singasari, Ki Patih Mandaraka dan para Senapati menyaksikan pameran itu, sekaligus Ki Patih Mandaraka akan menutup latihan bagi para calon prajurit dalam tugas sandi itu.

Di samping Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari, akan hadir pula beberapa orang Senapati.

Pagi itu, Ki Lurah Agung Sedayu sudah berada di Mataram. Bahkan Ki Lurah sempat menemui Glagah Putih dan Rara Wulan, pagi-pagi sekali. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menceritakan apa yang telah mereka alami selama mereka ikut dalam latihan dan penempaan diri bagi para calon prajurit dalam tugas sandi itu.

“Lupakan saja semuanya itu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “jangan melakukan sesuatu yang dapat membuka persoalan baru.”

“Ya, Kakang.”

“Lakukan saja tugas kalian dengan sebaik-baiknya. Jika kau membuat persoalan baru, mungkin sekali pengaruhnya akan dirasakan oleh semua calon prajurit. Mungkin wisuda itu akan dapat ditunda. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak terpikirkan sebelumnya.”

“Ya, Kakang.”

“Nah, aku akan ikut bersama beberapa orang Senapati menyaksikan pameran kemampuan dan ketrampilan yang akan kalian lakukan. Bukankah kau menempatkan diri di antara kawan-kawanmu tanpa dengan sengaja menunjukkan kelebihanmu?”

“Tentu, Kakang. Kami akan berada di antara mereka.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan menonjolkan diri mereka untuk sekedar mendapat pujian sebagai calon prajurit terbaik, karena sebenarnyalah mereka sudah berada lebih tinggi dari kemampuan seorang calon prajurit terbaik itu.

Demikianlah, ketika tiba waktunya, maka Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari dan para pemimpin pada jajaran keprajuritan di Mataram sudah berada di panggungan. Ki Tumenggung Purbasena pun kemudian memberikan laporan kepada Pangeran Singasari, bahwa pameran kemampuan dan ketrampilan para calon prajurit dalam tugas sandi itu dapat dimulai.

“Silahkan,” berkata Pangeran Singasari.

Para calon prajurit itu pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun Pungkuran, yang melihat gawar serta beberapa umbul-umbul di alun-alun, telah berdatangan untuk menyaksikan satu kegiatan yang tentu sangat menarik bagi mereka.

Meskipun pameran kemampuan dan ketrampilan itu sendiri tidak dikabarkan secara luas, namun ternyata banyak juga orang yang menyaksikannya.

Yang mula-mula dipamerkan oleh para calon prajurit itu adalah kemampuan mereka sebagaimana para prajurit dari kesatuan yang lain. Kemampuan mereka yang tidak kalah dengan kemampuan para prajurit dari Pasukan Khusus.

Kemudian para calon prajurit itu pun telah menunjukkan kemampuan mereka berkuda. Mereka tidak saja terampil naik kuda yang berlari kencang serta berlari berkelok-kelok, tetapi mereka pun pandai pula mengendalikan kuda dengan berbagai cara. Ada di antara mereka yang mampu mengendalikan kudanya sehingga kudanya itu seakan-akan sedang menari. Tetapi ada pula yang dapat melarikan kudanya dengan melekat di sisi tubuh kudanya, sehingga tidak terlihat dari sisi yang lain, sebagai salah satu kemampuan penyamaran. Namun kekhususan yang diperlihatkan oleh para calon prajurit itu adalah kemampuan mereka mempergunakan bahasa isyarat. Beberapa orang calon prajurit sandi yang berdiri berjauhan dapat melakukan hubungan sehingga yang satu dapat mengetahui maksud yang lain, hanya dengan isyarat-isyarat kecil yang tidak nampak bagi orang lain. Mereka seakan-akan tidak berbuat apa-apa. Tetapi calon prajurit sandi yang berada di tempat yang jauh dapat menangkap dan menterjemahkan isyarat-isyarat yang dilontarkannya tanpa diketahui oleh orang lain.

Beberapa kali para penonton yang berada di sekitar arena itu bertepuk tangan. Tanpa tahu ujung pangkalnya, maka para calon prajurit sandi yang berada di tempat yang jauh itu dapat melakukan langkah-langkah yang seirama dalam sikap seorang prajurit. Mereka dapat memberikan perintah, petunjuk dan bahkan kesepakatan untuk melakukan langkah-langkah yang perlu, seandainya mereka benar-benar menghadapi persoalan dan bahkan tindak kekerasan.

Pangeran Singasari, Ki Patih Mandaraka dan para pemimpin dalam jajaran keprajuritan di Mataram menyaksikan pameran kemampuan dan ketrampilan itu dengan mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka sudah sering menyaksikan pameran serupa. Para calon prajurit sandi dari angkatan-angkatan sebelumnya. Namun kali ini mereka melihat ada sedikit kelebihan dari para calon prajurit sandi yang sudah di wisuda dari angkatan-angkatan sebelumnya.

Namun Ki Patih Mandaraka menghubungkan kelebihan itu dengan keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan di dalam kelompok calon prajurit yang sedang menyelenggarakan pameran kemampuan dan ketrampilan itu.

Tanpa terasa oleh orang-orang yang menyaksikan pameran kemampuan dan ketrampilan oleh para calon prajurit yang jumlahnya hanya sedikit itu, matahari telah menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa menggigit. Sementara itu acara demi acara dilaluinya dengan sangat menarik perhatian.

Namun akhirnya pameran itu pun diakhiri juga. Para calon prajurit, para pelatih dan Ki Tumenggung Purbasena sendiri, kemudian berdiri tegak di hadapan Pangeran Singasari, Ki Patih Mandaraka dan para pemimpin Mataram itu, yang kemudian berdiri tegak di atas panggungan.

Pangeran Singasari-lah yang kemudian memberikan sesorah singkat. Pangeran Singasari itu menutup sesorahnya dengan pernyataan bahwa para calon prajurit sandi itu telah memenuhi syarat dasar untuk dapat diangkat menjadi prajurit. Karena itu maka mereka tinggal menunggu wisuda yang akan dilakukan dalam Paseban Agung, yang segera akan diselenggarakan bersama dengan penerimaan anugrah kenaikan pangkat dan jabatan bagi para prajurit yang dianggap cukup berjasa kepada Mataram.

“Kalian akan tetap berada di barak kalian,” berkata Pangeran Singasari, “tetapi kalian dapat menikmati masa istirahat kalian sambil menunggu hari-hari wisuda.”

Kebanggaan dan kegembiraan melonjak di hati para calon prajurit itu. Mereka akhirnya dapat memetik hasil jerih payah mereka. Yang mereka lakukan tinggal menunggu. Mereka tidak perlu lagi bangun pagi-pagi sekali, kemudian melakukan berbagai macam tugas yang berurutan hingga sehari penuh, sejak matahari belum terbit sampai matahari terbenam.

Tetapi kemudian semua itu sudah lewat.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai kegiatan sama sekali. Meskipun tidak seperti biasanya pada saat mereka menempa diri, tetapi mereka harus tetap memelihara agar tubuh mereka tetap berada pada keadaan yang terbaik.

Hari itu Ki Lurah Agung Sedayu telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia akan datang lagi ke Mataram pada hari Pasowanan untuk diwisuda karena anugrah pangkat yang diterimanya.

Tetapi ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Ketika segala sesuatunya sudah disiapkan, maka Mataram pun segera menyelenggarakan hari wisuda bagi para calon prajurit serta para prajurit yang akan menerima anugrah pangkat.

Pada hari yang ditetapkan, maka di Paseban telah diselenggarakan Pasowanan untuk melaksanakan wisuda. Para calon prajurit serta para prajurit yang menerima anugrah kenaikan pangkat, telah menerima pula Surat Kekancingan bagi mereka masing-masing.

Suasananya memang terasa meriah. Para calon prajurit yang akan diwisuda menjadi prajurit, serta para prajurit yang akan menerima anugrah pangkat dan jabatan, nampak ceria.

Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghanyutkan dirinya dalam kegembiraan kawan-kawannya. meskipun mereka berdua sudah memiliki pengalaman yang luas dalam tugas yang juga termasuk tugas sandi. Namun bahwa baru pada hari itu mereka benar-benar menjalankan tugas mereka sebagai seorang prajurit.

Demikianlah, Pasowanan itu baru berakhir lewat tengah hari. Demikian mereka keluar dari Paseban, maka mereka yang mendapat anugrah pangkat dan jabatan telah mendapat sebutan lain. Bahkan ada di antara mereka yang mendapat anugrah nama di samping pangkat dan jabatan mereka.

Sementara itu para calon prajurit sandi yang telah diwisuda menjadi prajurit itu masih harus kembali ke barak mereka. Mereka masih menunggu di mana mereka akan ditempatkan.

Ki Lurah Agung Sedayu yang juga telah diwisuda menjadi seorang Rangga, ternyata tidak mendapat anugrah nama baru. Nampaknya yang bertugas tidak mengusulkan nama baru bagi Ki Lurah. Menurut beberapa orang pemimpin di Mataram termasuk Ki Patih Mandaraka yang ikut menangani pemberian anugrah pangkat, jabatan dan nama, menganggap bahwa nama Agung Sedayu telah dikenal oleh kalangan yang luas. Di dalam lingkungan keprajuritan dan di luar lingkungan keprajuritan.

Dengan demikian maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah mendapat sebutan baru, Ki Rangga Agung Sedayu.

Beberapa orang masih saja merasa heran bahwa Ki Lurah Agung Sedayu yang memiliki beberapa kelebihan itu, baru saat itu mendapat anugrah kenaikan pangkat. Sementara ada lurah prajurit yang sebaya dengan Ki Rangga Agung Sedayu telah menyandang pangkat Tumenggung, sebagaimana Ki Tumenggung Purbasena serta beberapa orang Tumenggung yang lain.

Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu sendiri agaknya tidak terlalu memikirkannya.

Namun seorang Tumenggung yang pernah menyandang pangkat lurah prajurit bersama-sama dengan Agung Sedayu, menduga bahwa karena Agung Sedayu tidak berada di pusat pemerintahan, tidak pula mempunyai sanak dan kerabat yang menjadi pemimpin yang berpengaruh di Mataram, maka kenaikan pangkatnya menjadi lamban.

“Padahal Ki Lurah Agung Sedayu pada waktu itu termasuk seorang yang sangat dikenal oleh Ki Patih Mandaraka,” berkata seorang Tumenggung yang lain.

“Ki Patih Mandaraka lebih banyak memperhatikan kelebihan kemampuan serta ilmu Ki Lurah Agung Sedayu serta sepupunya, daripada memperhatikan pangkat serta jabatannya,” sahut yang lain.

Demikianlah, setelah dilakukan wisuda maka Ki Rangga Agung Sedayu sempat singgah di barak Glagah Putih dan Rara Wulan, yang masih harus menunggu. Pada saatnya maka mereka akan meninggalkan barak mereka serta berada di kesatuan-kesatuan yang memerlukan mereka sebagai prajurit dalam tugas sandi.

“Kakang akan segera kembali ke Tanah Perdikan?”

“Ya,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu, “aku harus mempersiapkan segala sesuatunya sejalan dengan perkembangan kesatuanku. Aku harus mempersiapkan pembangunan barak serta menyusun kembali tatanan serta susunan kelompok-kelompok dalam kesatuanku itu.”

“Apakah kelompok-kelompok baru itu akan segera ditempatkan di barak Kakang Agung Sedayu?”

“Belum. Sebelum aku mempersiapkan barak yang siap menampung mereka.”

“Jadi, yang mula-mula harus Kakang kerjakan adalah memperluas barak serta lingkungannya?”

“Ya. Aku harus berbicara dengan Ki Gede. Meskipun lingkungan di sekitar barak yang sekarang itu sudah diserahkan bagi kesatuanku, tetapi untuk membangun aku harus memberitahukan kepada Ki Gede.”

“Lalu di mana kelompok-kelompok prajurit yang akan bergabung dengan kesatuan Kakang?”

“Mereka masih berada di kesatuan masing-masing. Sementara barak bagi mereka di bangun, mereka akan mendapat latihan-latihan khusus untuk meningkatkan kemampuan mereka, sehingga mereka berada di atas landasan dasar kemampuan seorang prajurit dari pasukan khusus.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi dia masih juga bertanya, “Kakang sendiri yang akan melatih mereka?”

“Di antaranya adalah aku sendiri. Tetapi aku akan dibantu oleh beberapa orang Senapati, sebagaimana dilakukan pada para calon prajurit sandi itu. Tetapi jumlahnya tentu lebih banyak. Para prajurit yang akan mengikuti latihan itu lebih dari seratus orang.” 

“Seratus orang? Jadi prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu akan mendapat tambahan pasukan lebih dari seratus orang?”

“Ya. Itu baru tahap pertama.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Pasukan Kakang akan menjadi besar.”

“Aku telah mendapat anugrah kenaikan pangkat. Tentu tanggung jawabku akan menjadi lebih besar lagi. Pasukanku akan menjadi sama besar dengan Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Rangga Darmasetika yang ada di Kotaraja, serta pasukan Ki Tumenggung Suradiija yang berada di kaki Perbukitan Seribu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarkan keterangan Ki Rangga Agung Sedayu itu pun mengangguk-angguk.

“Nah, hari ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan. Aku datang ke Mataram bersama dua orang prajurit, untuk menjadi kawan berbincang di sepanjang jalan, daripada aku harus berkuda sendiri dari dan kembali ke Tanah Perdikan.”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak terlalu lama berada di barak Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa saat kemudian maka Ki Rangga Agung Sedayu pun segera meninggalkan barak itu.

Sepeninggal Ki Rangga Sedayu, Ki Tumenggung Purbasena pun telah datang ke barak para prajurit sandi yang baru saja diwisuda itu. Ternyata Ki Tumenggung Purbasena itu datang untuk menemui dan berbicara dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Aku akan berbicara dengan mereka berdua,” berkata Ki Tumenggung Purbasena.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Selama mereka berada dalam masa penempaan diri, mereka sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mereka sama sekali tidak berusaha membalas sakit hati mereka atas sikap Ki Tumenggung Purbasena. Bahkan keduanya tidak lagi berniat untuk mempersoalkan peristiwa yang mencurigakan, dari sekelompok orang yang mencegat iring-iringan para calon prajurit yang sedang melakukan penjelajahan di malam hari.

“Kami sudah menjadi prajurit sekarang,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “seorang Tumenggung akan dapat memberikan perintah macam-macam. Apalagi Ki Tumenggung masih tetap pemimpin dari penghuni barak ini.”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berniat untuk mengelak. Mereka berdua pun kemudian telah menemui Ki Tumenggung Purbasena tanpa ada orang lain.

Beberapa orang kawan Glagah Putih dan Rara Wulan saling berbisik yang satu dengan yang lain. Apa pula yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung. Meskipun mereka tidak mengetahui persoalan apa yang sebenarnya menggelitik hati Ki Tumenggung Purbasena, namun kawan-kawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu dapat merasakan sikap yang tidak sewajarnya, yang kadang-kadang diperlihatkan oleh Ki Tumenggung terhadap keduanya.

Ketika Ki Tumenggung Purbasena itu sudah berada di tempat yang terpisah bersama Glagah Putih dan Rara Wulan, maka suasana pun terasa menjadi tegang. Namun Ki Tumenggung-lah yang kemudian berbicara, “Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku menemui kalian selagi masih sempat, karena mungkin kalian berdua akan ditempatkan di tempat yang jarang dapat aku temui.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menjawab. Tetapi mereka memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

“Selagi kita masih mudah untuk bertemu, aku akan minta maaf kepada kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Hampir di luar sadarnya Glagah Putih pun bertanya, “Kenapa Ki Tumenggung minta maaf kepada kami?”

“Kau tentu dapat menebak, apa saja yang sudah aku lakukan selama kalian mengikuti masa penempaan diri ini. Tetapi lebih dari itu, sampaikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu, bahwa aku pun minta maaf kepadanya. Aku tidak perlu mengatakan, kesalahan apa yang telah aku lakukan kepada kalian berdua serta kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi jika terasa ada sikapku yang menyinggung perasaan kalian dan Ki Rangga Agung Sedayu, maka aku ulangi lagi, aku minta maaf.”

“Tidak ada yang harus dimaafkan, Ki Tumenggung. Apa yang Ki Tumenggung lakukan selama ini adalah kewajiban Ki Tumenggung sebagai penanggung jawab di barak kami ini. Sedang apa yang Ki Tumenggung katakan tentang Ki Rangga Agung Sedayu, adalah justru menunjukkan sikap jujur Ki Tumenggung.”

“Aku tahu bahwa kalian berdua serta Ki Rangga Agung Sedayu tentu akan memaafkan aku.”

“Sudahlah, Ki Tumenggung. Lupakan semuanya itu. Semuanya sudah lewat, dan sekarang kita akan berada di lembaran baru. Aku dan Rara Wulan baru saja diwisuda. Karena itu, kami akan menikmati kegembiraan kami.”

“Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku tahu bahwa bagi kalian wisuda ini tidak ada artinya apa-apa.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia pun berkata, “Wisuda ini merupakan satu peristiwa yang amat penting bagi kami, Ki Tumenggung. Jika kami resmi seorang prajurit, maka apa yang kami lakukan, jika sesuai dengan tugas keprajuritan, adalah sah.”

“Bukankah selama ini kau juga sering mendapat pertanda yang menjadikan semua tindakan yang kau ambil adalah sah? Bukankah kau sering mendapat pertanda yang bahkan memiliki kuasa untuk memerintah prajurit Mataram dimanapun kau jumpai? Sekarang, kau justru tidak dapat melakukannya. Kecuali jika kau mendapat wewenang justru seperti sebelum kau menjadi prajurit.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu Rara Wulan pun berkata, “Jika kami menjadi prajurit, Ki Tumenggung, maka kami merasa mempunyai ikatan langsung dengan tugas-tugas kami. Bukan sekedar tugas sampiran. Meskipun kami juga selalu mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.”

Ki Tumenggung Purbasena itu menarik nafas panjang. Katanya, “Justru pada saat terakhir aku menerima banyak sekali keterangan tentang kalian berdua, sehingga akhirnya aku pun merasa menjadi kecil di hadapanmu.”

“Tidak. Ki Tumenggung tidak perlu merasa kecil.”

“Apalagi terhadap Ki Rangga Agung Sedayu, yang kini telah mendapat anugrah pangkat menjadi seorang Rangga. Ia akan mempunyai tugas yang luas untuk mengembangkan kesatuannya. Semoga Ki Rangga Agung Sedayu akan dapat berhasil dengan baik, sehingga ia akan menjadi salah seorang Senapati Mataram yang berpengaruh.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung,” sahut Glagah Putih, “aku akan menyampaikannya kepada Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Sekarang, aku sudah merasa tidak mempunyai beban lagi. Mungkin kita masih akan bertemu sekali dua kali. Tetapi mungkin tidak lagi, karena kalian akan segera ditempatkan di kesatuan yang berbeda-beda.”

“Kami pun minta maaf jika ada kesalahan kami, Ki Tumenggung. Mungkin ada kata-kata yang terlalu kasar. Bukan saja kepada seorang Senapati, tetapi juga kepada seorang yang lebih tua.”

Ki Tumenggung Purbasena itu pun tersenyum. Kemudian katanya, “Sudahlah. Aku akan kembali ke barak. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita.”

Sejenak kemudian Ki Tumenggung itu pun telah meninggalkan barak para prajurit sandi yang baru saja diwisuda.

Demikian Ki Tumenggung itu pergi, maka beberapa orang prajurit telah mengerumuni Glagah Putih dan Rara Wulan. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Ada apa, Glagah Putih?”

Glagah Putih tersenyum sambil menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Ki Tumenggung hanya memberikan beberapa pesan untuk aku sampaikan kepada Kakang Agung Sedayu.”

Kawan-kawan Glagah Putih itu pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi.

Demikianlah, sehari kemudian para prajurit itu pun mulai ditempatkan di kesatuan-kesatuan yang memerlukan. Sedangkan dua orang terbaik telah ditempatkan di Kotaraja, dalam jajaran pasukan sandi yang langsung berada di bawah perintah Senapatinya yang baru, Ki Tumenggung Yudapati, yang bertanggung-jawab kepada Pangeran Singasari.

Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih Mandaraka, yang akan memberikan perintah langsung kepadanya atas persetujuan Pangeran Singasari.

“Glagah Putih dan Rara Wulan,” berkata Ki Patih Mandaraka ketika keduanya menghadap, “aku telah menjanjikan bahwa kau akan aku tempatkan di kesatuan kakakmu, Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga Agung Sedayu sendiri telah mendapat tugas yang berat. Dengan pangkat yang disandangnya sekarang, maka kesatuan yang berada di bawah pimpinannya akan menjadi lebih besar. Selain bertanggung jawab atas perluasan barak bagi kesatuannya, Ki Rangga Agung Sedayu pun bertanggung jawab atas peningkatan landasan ilmu bagi para prajurit yang akan ditempatkan di kesatuannya. Kesatuan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan.”

“Ya, Ki Patih,” desis Glagah Putih.

“Tetapi ternyata kalian akan mendapat tugas yang lain. Sebelum kesatuan Ki Rangga Agung Sedayu tersusun, maka kalian berdua akan mendapat tugas melawat ke Timur. Sementara itu, Ki Rangga Agung Sedayu akan menyelesaikan tugasnya yang berat itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Glagah Putih pun berkata, “Kami akan melaksanakan segala tugas yang akan dibebankan ke pundak kami dengan sebaik-baiknya, Ki Patih.”

“Baiklah. Seperti kawan-kawanmu, maka sebelum kau mengemban tugas-tugas baru, kalian berdua akan mendapat waktu untuk beristirahat sepekan. Baru kemudian aku akan memberikan perintah terperinci kepada kalian. Sampaikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu, bahwa kau akan mendapat perintah untuk pergi ke Timur.”

“Kami akan menyampaikan kepada Kakang Agung Sedayu, Ki Patih. Seterusnya, kami akan mohon diri. Besok kami akan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh, langsung dari barak kami.”

“Salam buat Ki Rangga Agung Sedayu, buat Ki Gede Menoreh dan para kadang di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Baik, Ki Patih. Kami akan menyampaikan salam Ki Patih kepada Kakang Agung Sedayu, Ki Gede Menoreh serta sanak kadang di Tanah Perdikan.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian telah minta diri. Mereka akan kembali ke barak. Namun besok mereka akan langsung pulang ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka sampai di barak, kawan-kawannya pun telah berbenah diri. Mereka mendapat waktu beristirahat selama sepekan. Kemudian mereka akan langsung pergi ke tempat tugas mereka masing-masing, dengan membawa Surat Kekancingan yang telah diberikan setelah mereka menyelesaikan masa penempaan diri.

Hanya Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang masih belum membawa Surat Kekancingan bagi tugas mereka yang khusus.

Ki Patih Mandaraka memang sengaja memilih Glagah Putih dan Rara Wulan. Meskipun dalam masa penempaan diri keduanya tidak dinyatakan sebagai peserta terbaik, tetapi semua orang tahu, kawan-kawannya tahu, para pelatihnya tahu, bahkan orang yang disebut terbaik itu pun tahu, bahwa sebenarnya Glagah Putih dan Rara Wulan adalah orang-orang yang terbaik.

Ketika malam turun, maka para prajurit sandi yang baru saja diwisuda itu telah memanfaatkan waktu mereka untuk saling berbincang, bergurau dan saling minta maaf. Besok pagi-pagi mereka akan berpisah, pulang ke rumah mereka masing-masing.

Ternyata malam itu Ki Tumenggung Purbasena dan para perwira yang selama penempaan diri para calon prajurit sandi itu menjadi pelatih mereka, telah datang pula, untuk saling minta maaf jika telah terjadi singgungan-singgungan perasaan.

“Kami adalah prajurit yang menjalankan tugas. Mungkin kami telah lakukan kesalahan. Karena itu, maka kami minta maaf.”

Seorang di antara para prajurit yang baru saja diwisuda itu pun mewakili kawan-kawannya mengucapkan salam perpisahan. Atas nama kawan-kawannya, ia pun telah minta maaf pula, jika para prajurit itu telah bersalah sengaja atau tidak sengaja.

Pertemuan yang dilakukan dengan serta-merta itu ternyata berlangsung sampai malam hari. Para petugas di dapur pun mengerti dengan sendirinya, bahwa mereka harus menyediakan minuman panas bagi mereka yang akan berpisah besok pagi.

Lewat tengah malam, baru barak itu menjadi sepi. Para perwira telah meninggalkan barak itu. Sementara para prajurit pun merasa perlu untuk beristirahat, karena besok mereka akan menempuh perjalanan. Meskipun ada yang rumahnya tidak terlalu jauh, tetapi ada pula yang cukup jauh. Bahkan lebih jauh dari Tanah Perdikan Menoreh.

Demikianlah, di pagi-pagi sekali sebelum fajar, para prajurit itu sudah terbangun. Seperti biasanya maka Rara Wulan adalah orang yang pertama pergi ke pakiwan, sehingga Rara Wulan adalah orang yang pertama pula berbenah diri.

Para petugas di dapur pun telah bangun lebih pagi dari hari-hari biasa. Mereka tahu bahwa para prajurit baru yang berada di barak itu akan segera meninggalkan barak itu, pulang ke rumah mereka masing-masing untuk beristirahat selama sepekan. Baru kemudian mereka akan memasuki tugas mereka yang sebenarnya.

Pada saat para prajurit itu makan pagi sebelum matahari terbit, maka para prajurit itu pun sempat minta diri kepada para petugas di dapur. Ada di antara mereka yang setelah sepekan akan segera dapat bertemu kembali, karena mereka bertugas di Kotaraja atau di kesatuan yang berada di Kotaraja. Tetapi ada di antara mereka yang bertugas di kesatuan yang berada di luar Kotaraja, dan bahkan harus melawat ke tempat yang terhitung jauh.

Setelah makan pagi, para calon prajurit itu pun telah minta diri pula kepada para prajurit yang bertugas di barak itu. Mereka pun saling memaafkan pula apabila ada kesalahan di antara mereka.

Beberapa saat menjelang matahari terbit, maka para prajurit yang baru saja diwisuda itu pun telah meninggalkan barak yang telah mereka huni untuk beberapa lama, pada saat-saat mereka menempa diri untuk memasuki dunia keprajuritan.

Di depan pintu gerbang barak kecil mereka, mereka pun saling berpisah menuju ke arah yang berbeda-beda. Ada pula beberapa orang yang berjalan searah. Namun kemudian mereka pun akan segera berpisah di simpang jalan yang akan mereka lalui.

Ketika matahari mulai naik, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah keluar dari pintu gerbang Kota. Mereka merasakan segarnya udara pagi. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pada saat mereka masih terikat tatanan dan paugeran di dalam barak.

Tetapi sebenarnyalah bahwa latihan-latihan yang berat yang dilakukan di dalam barak itu masih belum seberat laku yang harus dijalaninya berdasarkan atas isi kitab Kiai Namaskara, sehingga bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, latihan-latihan di barak itu bukanlah laku yang sangat berat.

Tetapi bukan berarti bahwa latihan-latihan itu tidak berarti bagi keduanya. Banyak hal yang baru didapat setelah mereka berada di dalam barak itu. Terutama yang menyangkut tugas keprajuritan, khususnya prajurit sandi

Matahari pun telah memanjat langit semakin tinggi. Sinarnya mulai terasa menggatalkan kulit. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan yang ramai. Banyak orang yang hilir mudik ke arah yang berbeda. Ada di antara mereka yang nampaknya akan bepergian jauh dengan menunggang kuda. Ada yang berjalan kaki dengan agak tergesa-gesa, sambil menggandeng anaknya yang masih remaja. Tetapi ada yang berjalan seenaknya sambil berbincang dengan kawan seperjalanannya. Agaknya mereka akan pergi ke pasar.

Namun karena hari masih pagi, agaknya orang-orang yang akan pergi ke pasar itu tidak tergesa-gesa. Sementara itu beberapa buah pedati berayap perlahan-lahan di jalan berbatu-batu, membawa berbagai macam barang dagangan ke pasar.

Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus di antara mereka. Selain yang berpapasan, ada pula yang berjalan searah dengan keduanya. Namun semakin jauh dari pintu gerbang Kota, jalan pun menjadi tidak begitu ramai lagi. Apalagi ketika matahari menjadi semakin tinggi.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan semakin cepat. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi mereka memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berharap pada saat matahari mencapai puncaknya, mereka sudah menyeberangi Kali Praga. Bahkan jika mereka berjalan lebih cepat, maka di tengah hari mereka tentu sudah mulai berjalan di bumi Tanah Perdikan Menoreh.

Di luar sadarnya, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di belakang dua orang laki-laki dan dua orang perempuan yang masih terhitung muda. Sebaya dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Agaknya mereka juga ingin segera sampai ke tujuan, sehingga mereka berjalan semakin cepat.

Sambil berjalan, agaknya mereka tengah berbincang. Mereka berbicara dengan sungguh-sungguh. Yang mereka bicarakan tentu masalah yang mereka anggap penting.

Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya terpancing untuk berjalan semakin cepat pula, meskipun keduanya tetap memelihara jarak agar keduanya tidak disangka mengikuti keempat orang itu.

Ketika keempat orang itu berjalan semakin cepat, maka benar-benar di luar sadarnya Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin cepat. Tetapi mereka tidak menjadi lebih dekat dengan keempat orang itu.

Ketika ada beberapa orang berkuda lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun menepi. Ternyata ada empat orang berkuda yang kemudian mendahului mereka berdua.

Tetapi keempat orang berkuda itu menarik kekang kuda mereka, ketika mereka melewati empat orang yang berjalan di depan.

“Kenapa kalian lama sekali baru menyusul?” bertanya seorang di antara kedua orang laki-laki yang berjalan kaki itu.

“Ada tamu, Kang,” jawab penunggang kuda yang ternyata masih lebih muda itu. “Begitu kami akan berangkat, dua orang telah mencari Paman, sehingga Paman menemuinya sebentar.”

“Hanya sebentar,” berkata seorang separuh baya di antara orang-orang berkuda itu. “Aku terpaksa minta maaf untuk meninggalkan mereka. Tetapi mereka dapat mengerti.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengerutkan dahinya ketika orang-orang yang berjalan di depan itu berpaling. Kemudian orang-orang berkuda itu pun berloncatan turun.

“Kakang,” Rara Wulan pun menggamit Glagah Putih, “apa yang mereka bicarakan? Agaknya mereka berpaling ke arah kita.”

“Kita dengarkan saja,” sahut Glagah Putih.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, sehingga mereka dapat mendengar apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang berjalan di hadapan mereka, bersama keempat orang yang kemudian menuntun kuda mereka.

“Mereka mengikuti kami sejak tadi. Jika kmia berjalan perlahan, mereka pun berjalan perlahan. Tetapi jika kami berjalan cepat, mereka pun berjalan cepat pula,” berkata salah seorang di antara mereka yang berjalan kaki.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Mereka benar. Kita agaknya telah terpancing untuk berjalan mengikuti irama perjalanan mereka. Jika mereka berjalan cepat, kita pun berjalan cepat pula. Jika mereka berjalan lambat, kita juga memperlambat langkah kita, karena kita tidak ingin mendahului mereka.”

“Nampaknya hal itu akan dipersoalkan.”

“Asal kita tidak berbuat apa-apa, mereka tentu juga tidak akan berbuat apa-apa,” sahut Glagah Putih.

“Belum tentu,” desis Rara Wulan, “mungkin telah terjadi salah paham. Agaknya mereka dengan sungguh-sungguh menganggap kita mengikuti mereka.”

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar anak muda yang berkuda itu pun berkata, “Kita akan berjalan terus sampai ke tepian. Jika mereka masih mengikuti kita, maka kita akan bertanya kepada mereka di tepian, apakah kemauan mereka. Jika mereka berniat jahat, maka kita akan memaksa mereka berhenti. Kalau perlu dengan paksa.”

“Mereka hanya berdua, sedangkan yang seorang perempuan. Aku kira mereka tidak akan berbuat apa-apa.”

“Jadi untuk apa mereka mengikuti kita? Mereka tentu tahu bahwa kita akan menyampaikan asok tukon nanti malam. Mereka tentu tahu bahwa kita membawa barang-barang berharga.”

“Aku kira tidak. Mereka tidak akan berbuat apa-apa.”

“Aku menjadi curiga.”

“Apa yang dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, sementara di antara kita terdapat enam laki-laki dan dua orang perempuan? Jika perempuan di belakang kita itu ikut campur, biarlah Mbokayu berdua mengerubutnya. Seorang mencengkam rambutnya, seorang mencakar wajahnya.”

Keempat orang berkuda itu tertawa. Tetapi salah seorang dari kedua perempuan itu berkata, “Jangan menganggap sekedar lelucon.”

Suara tertawa mereka pun terputus. Seorang dari mereka berkata, “Jangan terlalu tegang, Ngger. Jika mereka ingin berbuat jahat, tentu bukan sekedar lelucon. Tetapi sudah aku katakan, mereka hanya berdua.”

“Berdua itu sekarang, Paman. Mungkin mereka mempunyai kawan-kawan yang sudah menunggu di tempat-tempat tertentu. Keduanya itu akan memberikan isyarat, sehingga kawan-kawannya itu pun akan berdatangan.”

“Jadi bagaimana menurutmu?”

“Kita tidak usah menunggu sampai ke tepian. Kita tidak usah menunggu sampai kawan-kawan mereka berdatangan. Kita temui mereka sekarang. Jika benar kawan-kawan mereka sudah menunggu dan bahkan mungkin di tepian, maka sekarang mereka tentu masih berdua saja.”

Kedua laki-laki yang berjalan kaki itu pun mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menyahut, “Benar, Paman. Kita temui saja mereka sekarang. Kita akan memaksa mereka untuk kembali dan tidak mengikuti kita lagi. Jika mereka berkeberatan, kita terpaksa mempergunakan kekerasan.”

“Itu tidak akan terlalu sulit, Ngger. Bahkan seandainya mereka sempat memanggil kawan-kawannya, bukan masalah yang berat bagi kita. Aku tahu siapakah kalian berdua. Aku pun tahu, siapakah orang-orang yang berkuda bersamaku. Karena itu, marilah kita teruskan saja perjalanan kita tanpa menghiraukan mereka. Jika mereka memanggil kawan-kawannya yang sudah menunggu di tepian, biarlah kita melemparkan mereka ke arus Kali Praga, yang kadang-kadang menjadi agak lebih besar dari biasanya jika di bagian atas Kali Praga itu turun hujan lebat.”

“Jangan meremehkan orang-orang yang berniat buruk, Paman. Mungkin mereka terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, yang malas bekerja keras untuk mencari nafkah dengan cara yang benar. Bahkan bukan hanya nafkah sesuai dengan kebutuhan hidup mereka, tetapi mereka pun mulai menimbun.”

Orang-orang berkuda itu tidak dapat berbuat lain. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan, meskipun mereka memperlambat jalan mereka, tetapi mereka sudah menjadi semakin dekat.

“Baiklah,” berkata orang yang sudah separuh baya, yang dipanggil Paman itu. “Aku akan berbicara dengan mereka.”

“Jika Paman bertanya kepada mereka, maka mereka tentu tidak akan mengaku. Karena itu Paman harus langsung bertindak tegas. Mengusir mereka agar tidak mengikuti aku lagi.”

Orang separuh baya itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baik. Aku akan memaksa mereka untuk berbalik dan tidak mengikuti kita lagi.”

Keempat orang berkuda itu pun kemudian telah mengikat kuda mereka pada pohon turi yang berjajar tumbuh di pinggir jalan Mereka berempat dan dua orang laki-laki yang masih terhitung muda itu pun kemudian berdiri menghadang di tengah jalan.

Untunglah bahwa jalan di bulak panjang itu telah menjadi sepi. Tidak ada lagi orang yang berlalu-lalang seperti di beberapa ruas jalan di belakang mereka. Sedikit lewat bulak itu, mereka pun akan sampai di tepian Kali Praga.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang dengan Aji Sapta Pangrungu dapat mendengarkan pembicaraan itu, menjadi berdebar-debar.

“Apa yang harus kita lakukan, Kakang?”

Glagah Putih juga menjadi bimbang. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika kita harus kembali dan mengambil jalan lain menuju ke tempat penyeberangan utara, maka perjalanan kita akan menjadi jauh lebih panjang. Sekarang kita sudah hampir sampai tepian Kali Praga di tempat penyeberangan selatan. Apakah kita harus kembali dan berbelok menuju ke tempat penyeberangan utara, yang masih jauh?”

“Aku malas, Kakang.”

“Tetapi jika mereka memaksa kita, apakah kita akan berkelahi untuk melawan mereka?”

“Kita berkelahi sebentar.”

“Belum tentu kalau kita hanya memerlukan waktu sebentar. Mungkin lama. Agaknya di antara para penunggang kuda itu ada yang berilmu tinggi.”

“Kita tunjukkan ciri keprajuritan kita, jika perlu. Mereka tentu tidak akan curiga lagi. Tetapi hanya jika perlu. Kita tidak sebaiknya memamerkan kedudukan kita sebagai prajurit.”

“Tetapi kalau kita menunjukkan timang keprajuritan kita sejak awal, maka mereka tentu tidak akan mengganggu kita. Kita tidak perlu berkelahi.”

“Tetapi kita akan mulai dikenal orang sebagai prajurit sandi. Jika pada suatu saat memerlukan kerahasiaan kita itu, maka kita akan menemui kesulitan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi Rara Wulan memang benar.

Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan menunjukkan ciri keprajuritan mereka jika tidak terpaksa sekali.

“Berhentilah, Ki Sanak,” orang-orang yang menghadangnya itu pun telah menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ada apa?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan berpura-pura. Katakan berterus-terang, kenapa kalian berdua mengikuti kami?” bertanya salah seorang laki-laki yang berjalan berempat.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan nada dalam Glagah Putih pun berkata, “Ki Sanak. Kami sama sekali tidak mengikuti Ki Sanak. Kami berdua dalam perjalanan pulang ke Tanah Perdikan Menoreh. Kami adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Semalam kami bermalam di rumah paman kami di Mataram.”

“Bohong. Kalau kau memang sedang menempuh perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh, kau dan perempuan itu tidak perlu selalu berada di belakang kami. Ternyata kalian berdua sengaja memperlambat perjalanan kalian, jika kami memperlambat perjalanan kami. Sebaliknya, kalian berjalan cepat jika kami juga berjalan cepat.”

“Ki Sanak,” berkata Rara Wulan, “jalan ini adalah jalan untuk orang banyak. Siapapun boleh berjalan lewat jalan ini. Jika jalan ini dibuat, maka tentu saja sengaja untuk memberikan kesempatan orang banyak mempergunakannya. Jadi bukan hanya kalian berdua saja yang dibenarkan menempuh perjalanan ini, tetapi kami juga. Orang lain juga.”

“Aku tidak mempersoalkan orang yang mempergunakan jalan ini. Tetapi aku mempersoalkan orang yang mengikuti perjalanan kami.”

“Kami tidak mengikuti perjalanan Ki Sanak. Kami akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika Ki Sanak akan pergi kemanapun, itu terserah kepada Ki Sanak. Kami tidak akan mengikutinya. Kami hanya akan melewati jalan yang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh saja.”

“Kalian dapat membohongi siapa saja, tetapi kalian tidak dapat membohongi kami. Kalian mengatakan bahwa kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, karena kalian tahu bahwa kami akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh pula. Bahkan pedukuhan di sebelah Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kau aneh, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “kadang-kadang orang yang berjalan di bulak panjang tanpa orang lain, berharap agar dapat kawan seperjalanan untuk kawan berbincang, atau setidak-tidaknya akan merasa tidak sendiri. Tetapi jika di perjalanan itu diketemukan ada orang lain, maka ia merasa dibayang-bayangi, sehingga timbul kecemasan bahwa orang itu akan berbuat jahat.”

“Sudahlah, Ki Sanak. Kami memang tidak akan berprasangka buruk. Tetapi kami harap bahwa Ki Sanak akan mengambil jalan lain. Maksud kami, sebaiknya Ki Sanak berbalik dan menempuh jalan lewat penyeberangan utara.”

“Bukankah aku harus melingkar lewat jalan yang jauh? Maaf, Ki Sanak. Aku akan ke Tanah Perdikan lewat jalan ini, agar perjalananku tidak menjadi terlalu jauh.”

“Mungkin kalian akan melewati perjalanan yang lebih jauh. Tetapi dengan demikian kalian tidak mengganggu orang lain. Jika lewat jalan ini, sedikit lewat tengah hari kalian sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika Ki Sanak lewat penyeberangan utara, kalian tentu sudah sampai di Tanah Perdikan menjelang sore hari. Bukankah tidak akan berselisih banyak.”

“Begini saja, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “supaya perjalananku tidak membayangi perjalanan Ki Sanak, maka biarlah Ki Sanak saja yang melewati jalur penyeberangan utara. Aku akan melewati jalur penyeberangan selatan. Nah, dengan demikian maka kita akan melewati jalan yang berbeda.”

Orang yang sudah separuh baya yang semula menunggang kuda itu pun mengangguk-angguk. Tetapi ketika ia berpaling, maka laki-laki yang masih terhitung muda, yang berjalan kaki berempat dengan dua orang perempuan itu pun segera menyahut, “Tidak. Waktu kami tidak banyak. Kami akan melanjutkan perjalanan kami lewat jalur penyeberangan selatan. Aku persilahkan Ki Sanak berdua menyeberang di jalur penyeberangan utara.”

“Maaf, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih, “kami berkeberatan. Tetapi kami masih mempunyai kemungkinan yang lain. Biarlah kami berjalan di depan, agar kami tidak dapat dituduh lagi membayangi perjalanan kalian, karena kami telah mendahului kalian.”

“Cara itu akan lebih mempermudah kalian untuk mengambil langkah-langkah untuk melakukan niat Ki Sanak berdua.”

“Niat apa yang Ki Sanak maksudkan?”

“Biarlah aku berkata berterus-terang. Ki Sanak berdua tentu sedang membayangi perjalanan kami. Di tempat tertentu, ada sekelompok kawan-kawan Ki Sanak yang menunggu. Mungkin beberapa puluh patok menjelang tepian. Atau mungkin bahkan di tepian Kali Praga. Atau dimanapun.”

“Jadi Ki Sanak menuduh bahwa kami akan merampok Ki Sanak di siang hari seperti ini?”

“Apa bedanya siang dan malam bagi sekelompok penyamun? Jika kesempatan itu datang, maka kalian tentu akan mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Aji Sapta Pangrungu telah mendengar rerasan orang-orang itu. Tetapi ketika mereka mendengar langsung tuduhan itu, rasa-rasanya jantungnya juga bergetar. Mereka masih juga merasa tersinggung.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan masih mencoba untuk menahan diri.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “jangan terlalu berprasangka buruk kepada orang lain. Jangan curiga kepada sesama. Pernyataan Ki Sanak itu dapat menyinggung perasaan.”

Orang yang sudah separuh baya, yang datang berkuda itu pun berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Aku persilakan Ki Sanak pergi lebih dahulu. Biar kami yang berada di belakang.”

“Tidak, Paman,” laki-laki muda yang lain, yang berjalan kaki itu pun menyahut. “Mereka harus kembali. Mereka harus menyeberang lewat jalur penyeberangan sebelah utara. Mereka tidak mempunyai pilihan lain.”

Rara Wulan pun akhirnya hampir kehabisan kesabaran. Katanya, “Ki Sanak. Jalan ini bukan milik kalian. Kalian tidak dapat melarang orang lain melewati jalan ini. Karena itu, aku akan lewat jalan ini. Terserah apa yang akan kalian katakan.”

Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara itu Rara Wulan pun berkata, “Marilah, Kakang, kita meneruskan perjalanan. Matahari sudah terlalu tinggi. Waktu kita jangan tersita oleh persoalan-persoalan yang tidak ada gunanya ini.”

“Tidak!” hampir bersamaan kedua orang laki-laki yang terhitung masih muda itu membentak.

Tetapi Rara Wulan tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian menarik tangan Glagah Putih.

“Dengar,” berkata salah seorang laki-laki yang masih muda itu, “kalau kau memaksa, maka kami akan mencegahnya dengan kekerasan. Kalian tentu akan menyesal.”

Laki-laki yang sudah separuh baya, yang datang berkuda itu pun berkata, “Bukankah mereka hanya berdua?”

“Sudah aku katakan, kawan-kawannya tentu sudah menunggu menjelang kita sampai di tepian, atau bahkan setelah kita sampai di tepian.”

“Aku berjanji. Jika mereka akan mengganggu perjalanan kita, maka aku akan melemparkan mereka ke arus Kali Praga.”

“Paman tidak perlu menunggu sampai terlambat. Sekarang kita akan memaksa mereka kembali.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun melangkah surut. Orang yang sudah separuh baya itu pun mendekati mereka sambil berkata, “Maaf, Angger berdua. Aku minta tolong agar Angger berdua bersedia menyeberang lewat jalur penyeberangan utara. Kemenakanku itu menjadi sangat ketakutan. Aku tahu bahwa Angger berdua tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi tolong, aku minta Angger bersedia menyeberang lewat penyeberangan utara.”

Yang menjawab adalah Rara Wulan, “Tidak, Ki Sanak. Kami juga minta maaf, bahwa kami tidak bersedia merubah jalur perjalanan kami. Jika ada yang ingin memaksa, maka kami akan bertahan.”

“Orang itu menantang, Paman.”

Rara Wulan pun menyahut, “Ya. Aku menantang. Aku tantang kalian berdua. Aku berjanji bahwa suamiku tidak akan mengganggu.”

Tantangan itu sangat mengejutkan. Tetapi Rara Wulan yang hampir kehabisan kesabaran itu justru berkata, “Aku ingin membuktikan, jika kami ingin merampok kalian, maka kami tidak usah menunggu orang lain. Kami tidak usah menunggu sekelompok kawan-kawan kami, karena aku sendiri dapat melakukannya.”

Orang yang sudah separuh baya itu mengerutkan dahinya. Pernyataan Rara Wulan itu sangat menarik hatinya. Justru perempuan itulah yang telah menantang kedua orang kemenakannya.

Bahkan Rara Wulan itu pun terlanjur berkata, “Jangan membiarkan kedua orang perempuan itu melawan aku. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak akan dapat mencengkam rambutku dan yang seorang lagi mencakar wajahku. Biarkan kedua orang laki-laki itu sajalah yang melawanku.”

Kedua orang laki-laki yang masih terhitung muda itu benar-benar merasa tersinggung. Karena itu maka seorang di antara mereka dengan serta-merta menyahut, “Baik, baik. Aku akan membungkam mulutnya yang sombong itu.”

“Bagus,” berkata Rara Wulan sambil menyingsingkan kain panjangnya, “sebenarnya aku tidak ingin berkelahi. Tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian merendahkan harga diri kami dengan menganggap bahwa kami adalah penyamun.”

Orang-orang itu pun terkejut. Tetapi laki-laki yang masih terhitung muda itu pun dengan serta-merta berkata, “Nah, apa kataku. Orang ini tentu bagian dari gerombolan penyamun yang akan merampas harta yang kita bawa. Mereka tentu sedang menunggu kawan-kawan mereka yang akan segera berdatangan.”

Tetapi Rara Wulan menyahut, “Sekarang, mumpung kawan-kawanku itu belum datang, lakukan apa yang ingin kalian lakukan.”

Laki-laki yang masih terhitung muda itu pun kemudian melangkah maju mendekati Rara Wulan. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Bersiaplah. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kalian akan berkelahi berdua, silakan. Dengan demikian maka pekerjaanku akan cepat selesai.”

“Aku akan mengoyakkan mulutmu yang besar itu, agar kau tidak dapat lagi menyombongkan dirimu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri. Laki-laki yang marah itu pun kemudian dengan serta merta telah menyerang Rara Wulan. Tangannya dengan kerasnya terjulur ke arah dada.

Tetapi dengan tangkas Rara Wulan bergeser sedikit ke samping, menangkap pergelangan tangan itu sambil merendah dan memutar tubuhnya. Diletakkannya tangan yang terpilin itu di atas bahunya, dan dalam sekejap tubuh orang itu berputar dan terpelanting jatuh di tanah.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit di punggungnya yang tulangnya serasa menjadi retak. Ketika Rara Wulan melepaskan tangannya, maka orang itu tidak segera dapat bangkit.

Laki-laki yang masih terhitung muda yang seorang lagi, tiba-tiba saja merasa ngeri, sehingga ia tidak segera ikut berkelahi. Tetapi ia justru bergeser surut. Tetapi orang yang sudah separuh baya itu memperhatikan Rara Wulan dengan seksama. Ia segera menyadari bahwa perempuan muda itu memiliki ilmu yang tinggi.

Sambil menarik nafas panjang orang itu pun melangkah mendekat sambil berkata, “Sungguh luar biasa, Nyi. Kau memiliki ilmu yang tinggi, Sebenarnya aku tidak berniat untuk berkelahi di pinggir jalan seperti pada masa remaja jika kami berebut mainan. Tetapi apa yang kau lakukan sangat menarik. Aku tidak ingin berbuat apa-apa, Nyi, karena aku yakin bahwa kau dan suamimu tidak akan melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan oleh kemenakanku itu. Tetapi ketika aku melihat betapa mudahnya kau mengalahkan kemenakanku, tiba-tiba aku justru ingin berkelahi. Tidak untuk memaksamu kembali. Tidak pula dengan kecurigaan bahwa kau akan merampok kami. Tetapi aku hanya ingin menunjukkan bahwa kami bukannya sekelompok orang yang sangat lemah, sebagaimana kau lihat kemenakanku itu.”

“Aku minta maaf, Ki Sanak,” sahut Rara Wulan, “aku terpaksa melakukannya. Sudah aku katakan bahwa aku ingin membuktikan, jika kami ingin merampok, maka kami tidak perlu menunggu orang lain.”

“Aku percaya bahwa kalian tidak akan merampok. Tetapi bukan berarti bahwa kalian dengan mudah dapat melakukannya seandainya kalian mau.”

“Perlukah itu Ki Sanak buktikan?”

“Ya. Tetapi sebaiknya aku tidak berkelahi dengan perempuan. Mungkin aku memang tidak dapat mengalahkan kau, Nyi. Meskipun demikian, rasa-rasanya akan lebih mantap jika aku menjajagi ilmu suamimu. Kecuali jika suamimu tidak bersedia.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang berdiri saja, seakan-akan tidak terlibat dalam persoalan itu.

Namun tantangan laki-laki yang sudah separuh baya itu telah menyentuh perasaannya. Tentu tidak seharusnya Glagah Putih membiarkan Rara Wulan menanggapinya.

Karena itu maka Glagah Putih pun berkata, “Jika itu yang kau kehendakim Ki Sanak, baiklah aku mencoba untuk melayanimu. Meskipun mungkin apa yang aku lakukan tidak sebagaimana kau harapkan. Tetapi seperti yang dikatakan istriku, maka jika kami ingin merampok, kami tidak perlu menunggu orang lain.”

Orang yang sudah separuh baya itu pun bergeser maju ketika Glagah Putihpun melangkah maju pula. Sementara Rara Wulan bergerak ku samping.

Dalam pada itu, orang-orang yang akan pergi menyeberang kali Praga untuk menyampaikan asok tukon itu menjadi tegang. Orang yang sudah separuh baya itu adalah orang yang paling diandalkan di antara mereka. Menurut pengertian sekelompok orang yang pergi bersamanya itu, maka orang yang sudah separuh baya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

Sejenak kedua orang itu berhadapan. Orang yang sudah separuh baya itu pun berkata, “Kita akan mulai, Ngger. Mungkin kita memerlukan waktu. Tetapi agaknya permainan kita akan menarik.”

“Mudah-mudahan aku mendapat pengalaman baru, Ki Sanak. Mungkin akan sangat berarti bagiku.”

Orang itu pun segera mempersiapkan diri. Ia bergeser selangkah, sementara Glagah Putih pun telah siap menghadapinya.

Sejenak kemudian orang itu pun mulai meloncat menyerang, namun serangannya masih belum terasa berbahaya bagi Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih pun masih belum meningkatkan ilmunya pula.

Namun beberapa saat kemudian, keduanya pun mulai bersungguh-sungguh. Serangan-serangan mereka menjadi semakin bertenaga.

Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin tegang. Orang yang sudah separuh baya itu bergerak menjadi semakin cepat. Kakinya berloncatan, sementara tangannya menyambar-nyambar.

Tetapi Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan Glagah Putih yang ingin segera sampai di rumah itu pun tidak mau membuang-buang waktu terlalu banyak.

Karena itu, ketika keringatnya menjadi semakin banyak mengalir di punggungnya, Glagah Putih pun meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Orang yang sudah separuh baya itu pun telah meningkatkan ilmunya pula. Tetapi ia mulai merasakan betapa rumitnya ilmu orang yang masih terhitung muda itu. Bahkan ketika orang itu semakin meningkatkan ilmunya, orang yang sudah separuh baya itu pun merasa menjadi semakin kesulitan.

Glagah Putih bahkan tidak memberikan banyak kesempatan. Ia ingin persoalan yang tidak ada gunanya itu cepat berakhir, sehingga ia akan semakin cepat pulang. Tekanan-tekanan Glagah Putih pun semakin tidak dapat dielakkan. Bahkan ketika kaki Glagah Putih menyusup di sela-sela pertahanan lawannya, maka lawannya itu telah terlempar dan terpelanting jatuh.

Tetapi dengan tangkas orang itu pun segera melenting berdiri, serta siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam perkelahian selanjutnya, orang itu benar-benar menjadi bingung. Serangan-serangan Glagah Putih memang tidak dilambari dengan kekuatan sepenuhnya. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih itu hanya menyentuh saja tempat-tempat yang lemah di tubuh lawannya. Namun unsur-unsur gerak yang sangat rumit membuat lawannya menjadi pening. Bahkan akhirnya lawannya itu tahu bahwa Glagah Putih memang tidak bersungguh-sungguh untuk membuatnya tidak berdaya. Tetapi laki-laki yang masih terhitung muda itu ingin ia menyadari, bahwa bagi laki-laki yang masih terhitung muda itu, dirinya bukan apa-apa.

Akhirnya laki-laki separuh baya itu memang berniat untuk menghentikan pertempuran, selagi lawannya belum menjadi marah. Jika laki-laki yang masih terhitung muda dan kira-kira masih sebaya dengan kemenakannya itu mulai merasa terganggu, ia akan dapat berbuat lebih jauh dari sekedar menggodanya dengan unsur-unsur geraknya yang sangat rumit.

Tetapi sebelum orang itu menghentikan perkelahian, terdengar derap kaki kuda yang berlari dari arah tepian. Orang yang sudah separuh baya itu pun segera meloncat mengambil jarak. Namun Glagah Putih pun memang tidak ingin memburunya. Ia pun tertarik kepada derap kaki kuda yang berlari dari arah tepian.

Ternyata sekelompok orang berkuda melarikan kudanya dengan kencang, sehingga debu pun nampak berhamburan.

Beberapa langkah dari orang-orang yang berhenti di bulak panjang menjelang tepian Kali Praga itu, sekelompok orang berkuda itu berhenti. Mereka pun segera berloncatan turun serta mengikat kuda-kuda mereka pada pohon perindang yang tumbuh di pinggir jalan bulak panjang itu.

“Aku tidak telaten menunggu di tepian,” berkata seorang yang berkumis tebal, “Waktunya sudah lewat. Ternyata kalian justru bermain-main disini.”

Laki-laki separuh baya yang baru saja berkelahi melawan Glagah Putih itu pun bertanya, “Siapakah kalian, Ki Sanak ? Apa pula keperluan kalian dengan kami?”

“Waktuku sudah banyak terbuang. Kalian seharusnya sudah tadi lewat jalan ini.”

“Memang ada sedikit hambatan Ki Sanak.”

“Sekarang, serahkan saja uang dan benda-benda berharga yang akan kalian bawa menyeberang untuk asok tukon itu. Kemudian kalian akan dapat segera melanjutkan perjalanan.”

“Nah,” laki-laki yang masih terhitung muda, yang berjalan berempat dan yang telah mencoba berkelahi dengan Rara Wulan itu pun berteriak, “bukankah kami benar? Kedua orang yang mengaku suami istri itu ternyata adalah bagian dari sekelompok penyamun yang akan merampas uang dan benda-benda berharga yang kita bawa untuk asok tukon.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Dipandanginya orang yang berteriak itu dengan tajamnya.

Tetapi justru laki-laki yang sudah separuh baya itu bertanya, “Darimana kau mengetahuinya?”

“Aku hanya menduga-duga, Paman. Jika ia mengikuti kami dalam perjalanan yang jauh, tentu bukannya tanpa maksud.”

“Tetapi kenapa kau langsung menghubungkannya dengan sekelompok penyamun?”

Laki-laki yang masih terhitung muda itu pun menjawab agak sendat, “Firasat, Paman. Firasatku mengatakan bahwa kedua orang itu bermaksud jahat.”

Tetapi orang yang berkumis tebal itu pun berkata lantang, “Aku tidak tahu apa yang kalian katakan. Yang penting serahkan uang dan benda-benda berharga itu kepada kami secepatnya.”

“Nanti dulu, Ki Sanak. Dari mana Ki Sanak tahu bahwa kami membawa uang dan benda-benda berharga?”

“Kalian tidak usah banyak bicara. Serahkan, atau aku akan mengambil sendiri dengan paksa. Aku tahu bahwa uang dan benda-benda berharga yang terdiri dari perhiasan emas dan berlian itu kalian bawa dalam kampil yang berwarna hitam. Serahkan kampil yang berwarna hitam itu.”

Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Apakah ada di antara kalian yang dapat melihat tembus ruang dan waktu, sehingga kalian tahu terlalu banyak tentang kerja yang kami lakukan sekarang ini Ki Sanak?”

“Cukup! Sekarang serahkan saja kampil yang berwarna hitam itu.”

“Jangan, Ki Sanak. Kami adalah sekelompok orang yang sudah menyatakan kesediaan kami untuk melakukan kerja ini. Karena itu, maka kami harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Apapun yang akan terjadi harus kami pertanggung-jawabkan.”

“Kalian jangan mencoba menghambat pekerjaan kami. Jika kalian mencoba untuk mempertahankannya, maka kami tidak akan ragu-ragu merampas kampil yang berwarna hitam itu dengan kekerasan.”

“Jika kau memilih melakukan kekerasan, maka kami pun akan mempertahankannya dengan kekerasan.”

“Agaknya kau sudah gila. Apakah kau belum pernah mendengar namaku?”

Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang berkumis tebal itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil menjawab, “Belum, Ki Sanak. Aku belum pernah mengenalmu.”

“Aku adalah Ki Sura Jingga. Aku-lah penunggu tepian di daerah penyeberangan selatan ini.”

Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu. Namun Rara Wulan pun berkata, “Setiap hari aku menyeberang di penyeberangan selatan itu. Aku baru kali ini bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Ki Sura Jingga. Tetapi aku yakin bahwa nama itu tentu bukan namamu yang sebenamya. Kau hanya ingin membuat dirimu menakutkan, karena kau akan merampok orang-orang yang akan mengantarkan uang dan perhiasan ini.”

“Persetan kau, perempuan yang tidak tahu diri. Jangan ikut campur, agar kau tidak mengalami perlakuan kami yang buruk.”

“Apa yang akan kau lakukan terhadap aku? Bukankah aku adalah bagianmu, yang harus memberikan isyarat jika iring-iringan ini lewat?”

“Apa yang kau katakan itu perempuan iblis?”

Rara Wulan tersenyum. Ketika ia memandang laki-laki yang sudah separuh baya itu, maka laki-laki itu pun mengangguk. Katanya, “Aku mengerti.”

“Apa yang kalian bicarakan?”

“Bukan apa-apa,” Glagah Putih-lah yang menjawab. “Agaknya kau akan mengingkari perjanjian kita. Bukankah aku harus berjalan mengikuti iring-iringan kecil ini. Kemudian memberi isyarat kepadamu, jika iring-iringan ini lewat.”

“Gila! Apa yang kau katakan? Apakah itu menjadi caramu untuk menyelamatkan diri, agar kami tidak menganggap kalian ikut serta dalam iring-iringan yang akan menyeberang Kali Praga untuk menyampaikan asok tukon itu?”

“Semuanya sudah jelas, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kepada laki-laki yang sudah separuh baya itu. “Sekarang aku berdiri di pihak Ki Sanak, untuk mempertahankan uang dan perhiasan yang akan kalian serahkan untuk asok tukon itu.”

“Jadi kalian akan mempertahankan kampil berwarna hitam itu ,dengan mempertaruhkan nyawa kalian?” bertanya orang yang menyebut dirinya Ki Sura Jingga itu.

“Ya,” jawab orang yang sudah separuh baya itu.

“Bagus!” teriak Ki Sura Jingga. “Aku tidak pernah gagal. Orang-orang yang menghalangi niatku, akan aku babat habis sampai orang yang terakhir.”

Orang-orang dari kedua belah pihak itu pun segera mempersiapkan diri. Ki Sura Jingga pun telah memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk bersiap.

“Mereka ternyata orang-orang yang keras kepala,” berkata Ki Sura Jingga kepada para pengikutnya, “karena itu kita harus memakai kekerasan untuk mengambil kampil hitam itu. Jangan ragu-ragu. Mereka yang melawan harus disingkirkan. Jika mereka terbunuh, itu bukan salah kalian. Tetapi salah nyawa mereka sendiri, kenapa tidak cukup lekat dengan tubuhnya.”

Ketika kedua belah pihak sudah siap untuk bertempur, Rara Wulan sempat melihat kedua orang perempuan di antara orang-orang yang akan menyeberang untuk menyampaikan asok tukon itu menjadi ketakutan. Tubuh mereka gemetar, serta wajah mereka pun menjadi pucat

Karena itu maka Rara Wulan pun mendekati mereka sambil berkata, “Jangan takut, Nyi. Mereka bukan orang-orang berbahaya. Ki Sanak yang sudah separuh baya, yang kalian panggil paman itu, tentu akan segera dapat menyelesaikannya.”

Kedua orang perempuan itu tidak menjawab. Sementara itu kedua orang laki-laki yang sebaya dengan Glagah Putih, yang berjalan berempat mendahului saudara-saudaranya yang menyusulnya berkuda, menjadi sangat gelisah pula. Pakaian mereka pun telah basah oleh keringat Bahkan wajah mereka tidak kalah pucatnya dengan kedua orang perempuan yang berjalan bersama mereka.

Demikianlah, kedua kelompok itu pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata orang-orang berkuda yang datang bersama laki-laki yang sudah separuh baya itu bukannya orang-orang yang mempunyai bekal ilmu yang cukup. Meskipun mereka mampu juga melindungi diri mereka sendiri, tetapi menghadapi orang-orang yang kasar, mereka pun segera mengalami kesulitan.

Hanya laki-laki yang sudah separuh baya itu sajalah yang dapat dengan tanggon menghadapi lawannya, orang yang berkumis tebal yang memimpin sekelompok penyamun berkuda itu.

Namun Glagah Putih yang sudah berjanji untuk melibatkan diri di pihak laki-laki yang sudah separuh baya itu, tidak tinggal diam. Demikian ia mulai meloncat memasuki arena pertempuran, maka dua orang penyamun telah terlempar dari arena.

Tetapi mereka pun segera berloncatan bangkit. Meskipun punggung mereka terasa sakit, tetapi mereka dengan cepat telah memasuki arena pertempuran itu kembali.

Pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Sementara itu Rara Wulan masih berdiri saja bersama kedua orang laki-laki yang sebaya dengan Glagah Putih itu serta kedua orang perempuan yang berjalan bersama mereka.

Menilik sikap kedua orang perempuan yang sangat ketakutan itu, agaknya keduanya tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, sementara pertempuran masih berlangsung semakin sengit

Orang-orang berkuda yang akan menyeberang ke barat serta dua orang laki-laki yang berjalan kaki lebih dahulu itu, ternyata merasa semakin sulit untuk bertahan. Hanya orang yang separuh baya itu sajalah yang masih belum merasa terdesak.

Tetapi Glagah Putih pun kemudian telah meningkatkan kemampuan dan tenaganya. Seseorang yang telah terpelanting jatuh, akan mengalami kesulitan untuk segera bangkit kembali. Punggung mereka akan terasa bagaikan retak. Atau tulang-tulang iga mereka terasa sangat nyeri. Ada di antara mereka yang pernafasannya bagaikan tersumbat. Sementara yang lain kepalanya seakan-akan telah berputar, sementara badannya terbaring diam.

Orang-orang yang akan merampas kampil yang berwarna hitam itu pun menjadi sangat gelisah. Ternyata sulit bagi mereka untuk mengatasi seorang saja di antara mereka yang berada di iring-iringan itu, meskipun yang lainnya hampir tidak berdaya apa-apa.

Tiba-tiba dua orang di antara mereka saling berbisik. Keduanya sempat memperhatikan tiga orang perempuan yang berdiri di pinggir jalan

“Yang seorang itu nampaknya agak berbeda. Perempuan itu mengenakan pakaian yang khusus, sementara ia sama sekali tidak menjadi ketakutan seperti dua orang yang lain.

“Kita singkirkan dahulu perempuan itu. Kemudian dua orang perempuan yang lain akan kita ancam. Jika mereka tidak mau memberikan kampil hitam itu, maka kedua perempuan itu akan menjadi korban.”

“Bukankah kita berjanji bahwa tidak akan ada korban yang jatuh dalam peristiwa ini?”

“Tetapi keadaannya ternyata berbeda dari yang kita bayangkan. Suasananya jauh berbeda. Orang-orang yang ada di sini pun sangat berbeda dengan yang kita gambarkan. Karena itu, tidak ada salahnya jika kita melanggar janji itu.”

Kawannya mengangguk-angguk.

Ketika kawannya memberikan isyarat, maka kedua orang itu pun segera meloncat menyerang Rara Wulan.

Rara Wulan memang tidak lengah. Bahkan ia pun sudah menduga bahwa serangan itu akan terjadi. Dua orang itu sekali-sekali berpaling kepadanya serta saling berbisik. Karena itu, ketika kedua orang itu menyerangnya, Rara Wulan pun telah siap untuk melawan mereka.

Kedua orang itu pun menyerang Rara Wulan dengan garangnya. Keduanya telah mengayun-ayunkan senjata mereka masing-masing. Pedang yang berwarna kehitam-hitaman segera berputar mengerikan. Sementara tombak pendek yang berujung rangkap telah merunduk pula.

“Jangan takut,” berkata Rara Wulan kepada kedua orang perempuan itu, “aku akan menghadapi mereka.”

Kedua orang perempuan yang ketakutan itu tidak menjawab. Sementara itu Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya dan kemudian memutamya di sisi tubuhnya.

Kedua orang yang menyerangnya itu pun tertegun. Senjata perempuan itu bukan senjata yang sewajamya. Tetapi justru senjata yang tidak wajar itu biasanya adalah senjata yang sangat berbahaya.

Karena itu maka kedua orang itu pun segera berpencar. Mereka berniat menyerang Rara Wulan dari arah yang berbeda.

Sebenarnyalah sejenak kemudian keduanya pun telah berloncatan menyerang.

Tetapi Rara Wulan dengan tangkasnya menggeliat, kemudian meloncat dan bahkan mengibaskan selendangnya.

Ternyata serangan kedua orang itu tidak menyentuh sasarannya sama sekali. Ketika ujung tombak yang rangkap itu menyentuh selendang Rara Wulan, terasa tombak itu bagaikan ditepis dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga hampir saja tombak itu terlepas dari tangannya.

Ketika kedua orang itu meningkatkan kecepatan gerak mereka, maka mereka justru menjadi bingung, Ternyata Rara Wulan mampu bergerak jauh lebih cepat lagi, sehingga kadang-kadang keduanya telah kehilangan perempuan yang bersenjata selendang itu.

Bahkan ketika ujung selendang itu menyentuh lambung seorang dari mereka, maka orang itu pun telah terpelanting jatuh. Lambungnya menjadi sangat nyeri. Perutnya mual dan nafasnya menjadi sesak.

Ketika orang itu kemudian bangkit berdiri, maka untuk beberapa saat ia masih saja berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya yang menggigit.

Sedangkan kawannya yang seorang lagi merasa tidak akan mampu menghadapi perempuan itu sendiri, sehingga ketika Rara Wulan melangkah maju mendekatinya, orang itu pun bergeser surut beberapa langkah, sampai kawannya, meskipun dengan kesakitan, dapat memasuki arena pertempuran itu lagi.

Tetapi keseimbangannya sudah jauh berubah. Kedua orang itu sudah tidak lagi dapat berbuat banyak. Apalagi ketika selendang Rara Wulan mengenai dada yang seorang lagi, maka rasa-rasanya nafasnya pun terhenti.

Sejenak kemudian maka para penyamun itu benar-benar sudah tidak berdaya lagi, kecuali pemimpinnya yang masih bertempur.

Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian berdiri termangu-mangu menyaksikan orang berkumis tebal itu bertempur melawan orang yang sudah separuh baya, yang bersama-sama dengan saudara-saudaranya berniat menyeberang Kali Praga itu.

Namun orang berkumis tebal itu harus melihat kenyataan bahwa ia tidak lagi mempunyai kawan yang masih sanggup untuk bertempur. Sementara itu ia pun harus mengakui bahwa sulit baginya untuk dapat memenangkan pertempuran itu.

Tetapi agaknya ia pun tidak mempunyai jalan untuk melarikan diri. Selain orang yang masih bertempur melawannya itu, dua orang laki-laki dan perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi itu berdiri di dua arah di belakangnya. Jika ia mencoba juga untuk lari, maka seorang di antara mereka tentu harus dihadapinya.

Sementara itu dua orang laki-laki yang masih sebaya dengan Glagah Putih, yang berjalan berempat bersama dengan dua orang perempuan mendahului keempat saudara-saudaranya yang berkuda itu pun berteriak dengan sangat marah, “Bunuh saja orang itu, Paman! Bunuh saja!”

Tetapi orang yang sudah separuh baya itu tidak melakukannya. Bahkan ketika lawannya yang berkumis tebal itu menyerah, maka orang yang sudah separuh baya itu pun telah berhenti bertempur pula.

“Seharusnya Paman membunuhnya!” teriak laki-laki yang masih terhitung muda itu.

Laki-laki separuh baya itu seakan-akan tidak mendengarnya Tetapi ia pun bertanya kepada orang berkumis lebat itu, “Apakah kau sadar tentang apa yang kau lakukan ini?”

“Ya, Ki Sanak.”

“Dari mana kau mengetahui bahwa kami membawa uang banyak? Membawa benda-benda berharga untuk diserahkan kepada calon istri cucu kakakku? Apalagi kalian tahu benar bahwa uang dan benda-benda berharga itu kami simpan di dalam kampil yang berwarna hitam.”

“Aku tidak tahu, Ki Sanak. Aku hanya berbicara asal saja. Bukankah biasanya kampil tempat uang dan benda-benda berharga itu berwarna hitam?”

“Tidak. Biasanya berwarna putih.”

“Aku tidak tahu bahwa kampil itu biasanya berwarna putih.”

“Katakan yang sebenarnya, atau aku akan mengikatmu di belakang kaki kuda. Kau harus memberikan keterangan yang jelas dan yang sebenarnya. Mungkin para pengikutmu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi kau tentu mengetahuinya.”

“Ki Sanak sendiri tahu apa yang sudah terjadi.”

“Kau tentu sudah mendapat keterangan lebih dahulu tentang uang dan benda-benda berharga itu. Kau tentu sudah benar-benar tahu bahwa uang dan benda-benda berharga itu disimpan dalam kampil yang berwarna hitam.”

“Tidak. Aku tidak tahu. Aku hanya menduga-duga.”

“Baiklah. Jika demikian, aku benar-benar akan membunuhmu Tetapi aku tidak akan menikam dadamu dengan keris sehingga kau akan cepat mati. Aku akan mengikat tubuhmu di belakang kaki kuda. Aku akan mennyeretmu ke tepian. Kemudian tubuhmu yang terikat itu akan aku ikat dengan rakit yang akan menyeberang. Jika tukang rakit itu berkeberatan, maka aku akan mempergunakan kekerasan.”

“Jangan! Jangan!”

“Apa hakmu menolak? Kau sudah kalah. Kau sekarang berada di tanganku, apapun yang aku lakukan. Jika kau menolak untuk aku ikat tubuhmu di belakang kaki kuda, maka kita akan berkelahi lagi. Aku akan membuat tubuhmu terkoyak-koyak.”

Wajah orang itu menjadi pucat. Ia memang tidak dapat memilih apa yang harus dilakukan atas dirinya.

Namun orang yang sudah separuh baya itu pun kemudian berkata, “Masih ada satu pilihan lagi. Tidak diikat di belakang kaki kuda dan diseret ke tepian kemudian diceburkan ke Kali Praga. Tidak pula berkelahi lagi sehingga tubuhmu terkoyak-koyak. Justru jauh lebih ringan dari semuanya itu. Katakan, dari mana kau tahu bahwa kami membawa uang dan perhiasan di dalam kampil yang berwarna hitam.”

Orang itu menjadi gemetar. Di luar sadarnya ia berpaling kepada salah seorang di antara kedua orang laki-laki yang berjalan berempat bersama dua orang perempuan itu.

“Aku hanya memberi waktu sebentar,” berkata orang yang sudah separuh baya itu, “jika kau tidak segera mengatakannya, maka aku menganggap bahwa kau telah memilih salah satu dari kedua tawaranku. Aku ikat di belakang kaki kuda, atau berkelahi sampai tubuhmu terkoyak-koyak.”

Orang itu menjadi semakin gelisah. Ketika orang separuh baya itu melangkah maju, maka orang itu pun bergeser surut.

“Pilih salah satu. Jika aku yang harus memilih, mungkin tidak sesuai dengan pilihanmu.”

“Baik, baik, Ki Sanak. Aku akan mengatakannya.”

“Bohong!” teriak salah seorang laki-laki muda yang masih sebaya dengan Glagah Putih.

Orang yang separuh baya itu berpaling kepadanya dan bertanya, “Apa yang bohong, Ngger?”

“Orang itu tentu berbohong.”

“Ia belum mengatakan apa-apa.”

Wajah orang yang sebaya dengan Glagah Putih itu pun menjadi sangat tegang, sementara orang yang berkumis tebal itu berkata, “Orang itulah yang telah menghubungi aku. Ia telah memberikan banyak keterangan tentang uang dan perhiasan yang akan kalian bawa ke seberang untuk upacara asok tukon itu.”

Orang-orang yang akan pergi menyeberang dengan membawa uang dan perhiasan itu terkejut. Tetapi orang yang separuh baya itu memang sudah menduga sebelumnya, sehingga ia tidak terkejut lagi.

“Nah, itukah kenyataannya?” bertanya orang yang sudah separo baya itu.

“Ya, Ki Sanak,” jawab orang berkumis tebal.

“Satu permainan yang sangat buruk. Seharusnya anak itu menghubungi seorang yang benar-benar penyamun dengan para pengikutnya, yang mempunyai pengalaman yang lebih luas. Bukan kalian, yang sebenarnya hanya tanggung saja.”

“Ampun, Paman, ampun,” laki-laki muda itu bersujud di hadapan pamannya sambil menangis, “aku bersalah, Paman. Aku mohon ampun.”

Ternyata istrinya sama sekali tidak tahu menahu permainan buruk yang dilakukan suaminya itu. Salah seorang dari kedua orang perempuan itu pun berlari dan berlutut pula di samping suaminya. Tetapi ia tidak berlutut kepada orang yang sudah separuh baya itu, tetapi ia telah mengguncang-guncang tubuh suaminya sambil menangis, “Jadi kau lakukan perbuatan terkutuk itu, Kakang? Jadi kau berniat merampok uang dan perhiasan yang akan kita bawa ke seberang Kali Praga sebagai pelengkap upacara asok tukon malam nanti? Jika ini benar terjadi, lalu apa kata Paman dan Bibi di seberang Kali Praga? Upacara itu akan dapat batal, sementara beberapa orang yang dituakan telah menyatakan akan hadir pada upacara itu.”

Laki-laki itu pun kemudian bersimpuh. Ia masih menangis. “Aku minta ampun. Aku minta ampun.”

Suasana pun menjadi lebih tegang daripada saat perkelahian terjadi.

Namun orang yang sudah separuh baya itu pun berkata, “Baiklah. Kita akan menyelesaikan masalah ini kemudian. Sekarang kita harus segera melanjutkan perjalanan. Uang dan perhiasan itu telah ditunggu. Upacara itu malam nanti akan berlangsung, sementara itu uang dan perhiasan yang kita bawa itu masih harus diatur dalam tempat-tempat yang khusus bersama beberapa helai kain dan perangkat pakaian yang Iain yang sudah disiapkan.”

Kepada orang berkumis tebal itu pun ia berkata, “Persoalan kita belum selesai, Ki Sanak. Kita masih akan bertemu lagi.”

Sejenak orang berkumis tebal itu tercenung. Namun kemudian orang yang sudah separuh baya itu pun berkata, “Minggirlah. Kemenakanku itu tentu tahu dimana rumahmu, karena ia sudah menghubungimu sebelum peristiwa ini terjadi. Kau tidak akan dapat ingkar lagi. Tetapi kami tidak ingin memperpanjang persoalan ini. Kemenakanku sendiri telah tersangkut di dalamnya. Tetapi bukan berarti bahwa kami akan begitu saja melupakannya.”

“Lalu, sekarang apakah yang harus kami lakukan?” bertanya orang berkumis tebal itu.

“Pergilah. Tetapi ingat, bahwa kita masih akan bertemu lagi pada kesempatan yang lain.”

Orang itu termangu-mangu sejenak, sementara orang yang sudah separuh baya itu menggeram, “Pergilah, sebelum kami berubah pendirian.”

Orang berkumis tebal itu pun kemudian bergeser surut. Ia pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu.

Beberapa orang tertatih-tatih bangkit. Ada di antara mereka yang menyeret kakinya ke kuda-kuda mereka. Ada yang timpang, dan ada yang harus menekan lambungnya dengan tangannya. Tidak ada satupun di antara mereka yang tidak kesakitan.

Tetapi sebaliknya, orang-orang berkuda yang menyusul keempat orang yang berjalan kaki itu pun merasakan tubuh mereka sakit-sakit pula. Bahkan orang yang sudah separuh baya itu pun merasakan perutnya menjadi mual.

Demikianlah, sejenak kemudian para penyamun itu telah melarikan kuda-kuda mereka menjauh. Sementara itu orang yang sudah separuh baya itu pun berkata, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar