Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 386

Buku 386

Tetapi orang yang rambutnya ubanan itu membentak, “Semua itu omong kosong. Sekarang aku akan membawa kalian kembali ke padukuhan. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Aku juga ingin membawa prajurit yang berusaha menjemput kalian itu bersama kami. Mereka juga harus ikut bertanggungjawab. Mereka telah membantu usahamu untuk melarikan gadis itu.”

“Prajurit yang mana?” bertanya prajurit yang dituduh melarikan gadis itu.

“Kemari kalian!” teriak orang berambut ubanan itu.

Setelah mengikat kudanya, Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua orang pengiringnya melangkah mendekati prajurit yang dituduh melarikan gadis itu. Prajurit itu pun dengan serta-merta telah menunduk hormat.

“Maaf, Ki Lurah. Aku tidak tahu bahwa Ki Lurah berada di sini.”

“Siapa yang kau sebut, Ki Lurah?”

“Aku belum mengenal sebelumnya. Tetapi menilik pakaian serta ciri-cirinya, maka ia adalah seorang lurah prajurit.”

“Jadi orang ini lurah prajurit?”

“Ya.”

“Maaf, Ki Lurah. Kami tidak tahu berhadapan dengan seorang lurah prajurit. Tetapi bukankah dugaan kami benar, bahwa Ki Lurah telah menjemput prajurit yang melarikan gadis ini?”

“Jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak mengenal Ki Lurah, Ki Lurah pun tidak mengenal aku. Jika aku tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang prajurit, seperti yang aku katakan, aku dapat mengenali ciri-ciri kepangkatannya.”

“Paman,” berkata gadis itu, “sebaiknya Paman tidak mencegah kami. Biarlah kami melakukan apa yang sesuai dengan keinginan kami.”

“Apa? Kau akan melakukan menurut kemauanmu sendiri? Aku tidak peduli dengan mereka. Sejak ayahmu meninggal, kau menjadi tanggunganku. Aku-lah yang membesarkanmu. Apa yang dilakukan ibumu dan kakekmu terhadapmu? Sekarang setelah kau dewasa, mereka merasa berhak mengambil keputusan.”

“Mereka tidak mengambil keputusan, Paman. Aku-lah yang mengambil keputusan. Mereka hanyalah tidak berkeberatan.”

“Cukup! Kau tidak dapat berkata seperti itu. Kau harus tunduk kepada perintahku. Aku sudah berbicara dengan pamanmu Bikan, bahwa kau akan diambil menjadi menantunya. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Kau tidak dapat lari dari keputusanku itu.”

“Tidak, Paman, aku tidak mau. Sudah aku katakan, aku tidak mau menjadi menantu Paman Bikan. Anak Paman Bikan adalah orang gila. Ia orang yang tidak berperasaan sama sekali. Wajahnya yang keras itu membuat aku ketakutan. Sikap dan tingkah lakunya sangat kasar. Matanya menyala seperti mata kucing candramawa jika ia melihat perempuan, Paman tentu tahu bahwa laki-laki itu sudah beberapa kali menerkam perempuan, Bahkan di padukuhan sebelah ia pernah dipukuli sampai hampir mati oleh anak-anak muda, karena ia tiba-tiba saja merunduk dan menerkam seorang gadis. Untung gadis itu sempat menjerit, sehingga beberapa orang berdatangan dan memukulinya. Di padukuhan kita, ia dapat berbuat semena-mena karena uang ayahnya yang melimpah. Paman tentu juga sudah menerima uangnya, sehingga Paman akan memaksa aku untuk menikah dengan laki-laki itu.”

“Cukup!” teriak orang yang rambutnya mulai ubanan itu.

Sementara itu, seorang yang lain berkata, “Kakang. Kita tidak usah terlalu banyak berbicara. Kita seret saja prajurit itu pulang, Sementara itu, Kakang dapat membawa gadis kemanakan Kakang yang akan menjadi menantu Kakang Bikan itu.”

“Tidak. Lebih baik aku mati daripada aku harus menjadi istri laki-laki liar itu.”

“Kau harus menurut perintahku. Kau harus membalas segala kebaikanku dan bibimu. Aku dan bibimu memeliharamu dengan kasih-sayang. Berapa banyak uang sudah aku keluarkan untuk membesarkanmu. Apalagi aku sendiri tidak mempunyai anak. Sekarang waktunya kau membalas kasih sayangku. Membalas jerih payahku.”

“Aku tahu bahwa aku harus membalas budi Paman dan Bibi. Tetapi tidak dengan cara ini, Paman.”

“Aku tidak melihat cara lain. Cara inilah yang aku kehendaki,”

“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu ” cobalah mendengar alasan-alasannya.”

“Ki Lurah. Meskipun kau lurah prajurit, kau tidak berhak mencampuri urusanku. Bahkan kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, karena kau sudah membantu prajuritmu menculik gadis itu ”

“Tidak, Paman. Sama sekali tidak ”

“Persetan kau. Kau kira kami takut menghadapi empat orang prajurit? Kami akan melumpuhkan kalian dan menyeret kalian ke padukuhan.”

“Sabarlah, Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “bukankah kita dapat berbicara dengan baik-baik?”

“Tidak ada lagi pembicaraan. Gadis itu harus bersedia menikah dengan anak Ki Bikan. Habis perkara.”

Tetapi yang tidak pernah terpikirkan itu tiba-tiba telah terjadi. Gadis itu ternyata tidak hanya mengancam memilih mati daripada menikah dengan anak Ki Bikan. Tiba-tiba saja di luar dugaan semua orang, gadis itu pun berlari sekencang-kencang menuju ke Kali Praga yang arusnya cukup deras.

“Nuri! Nuri!” teriak prajurit yang dianggap telah melarikannya itu. Dengan cepat prajurit itu meloncat memburu Nuri, yang seperti orang kesurupan berlari di tepian berpasir.

Ketika prajurit itu hampir menggapainya, maka Nuri itu pun tiba-tiba saja telah meloncat, menceburkan dirinya ke Kali Praga yang airnya berwarna lumpur.

Prajurit itu pun tidak berpikir panjang. Ia adalah anak yang lahir dan dibesarkan di sebuah padukuhan di tepi Kali Praga, sehingga prajurit itu pun langsung terjun pula memburu gadis itu.

Orang yang rambutnya mulai ubanan itu terkejut bukan kepalang. Sebenarnyalah bahwa ia pun menyayangi gadis itu, karena ia telah merawatnya sejak kecil. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, maka orang itu pun tiba-tiba saja telah berteriak, “Tolong! Tolong anakku!”

Pada saat yang bersamaan, sebuah rakit telah merapat di tepian sebelah timur. Ketika seorang tukang satangnya sedang menambatkan tali ke patok kayu di tepian, maka seorang tukang satang yang lain, yang melihat gadis itu berlari dan menceburkan diri, telah terjun pula ke arus sungai Praga.

Orang-orang yang berkerumunan di tepian, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua prajurit pengiringnya, berlari-larian mengikuti arus. Mereka masih melihat gadis itu menggeliat. Tangannya nampak menggapai-gapai.

Sementara itu prajurit yang dituduh melarikannya itu pun berenang dengan cepat menyusulnya. Sedikit di belakangnya, tukang satang yang juga terjun ke sungai itu menyusul pula.

Tetapi agaknya tukang satang yang setiap hari berhubungan akrab dengan air Kali Praga itu dapat berenang lebih cepat. Meskipun prajurit yang dituduh melarikan Nuri itu dapat menggapai Nuri lebih dahulu, tetapi ia mengalami kesulitan untuk menolongnya. Baru kemudian ketika tukang satang itu berhasil menyusul, maka tukang satang itulah yang dengan trampil menolongnya.

Tetapi agaknya Nuri sendiri tidak ingin mendapat pertolongan. Karena itu maka ia pun meronta-ronta sekuat tenaganya. Tetapi tukang satang itu cukup berpengalaman. Dipukulnya tengkuk Nuri sehingga gadis itu menjadi pingsan. Barulah tukang satang itu sempat menyeret gadis itu menepi.

Demikian tukang satang itu mengangkat gadis itu ke tepian dan meletakkannya di atas pasir, prajurit yang dituduh melarikannya itu pun telah naik ke tepian pula. Ia pun segera berlari mendapatkan Nuri yang masih pingsan. Dengan cekatan tukang satang itu telah memberikan pertolongan kepada gadis itu dengan menelungkupkannya, sehingga air yang terminum olehnya telah tumpah lewat mulutnya, sedikit demi sedikit. Sehingga perutnya pun kemudian menjadi semakin kecil.

“Nuri? Nuri?” prajurit itu pun segera berjongkok disampingnya. Diguncang-guncangnya kepala gadis itu sambil memanggil namanya, “Nuri? Nuri?”

Tetapi Nuri masih diam saja.

Dalam pada itu, orang-orang yang berlari-larian di tepian telah sampai pula ke tempat gadis itu diletakkan. Namun tiba-tiba prajurit yang dituduh melarikan gadis itu pun bangkit berdiri. Wajahnya menjadi tegang. Sedangkan matanya menjadi merah seperti bara.

“Aku akan membunuh kalian semuanya! Selama ini aku telah menghindari kekerasan. Aku memilih untuk menyingkir. Tetapi kalian telah berusaha merampas kebebasan kami menentukan nasib kami sendiri.”

“Tunggu, tunggu,” berkata orang yang rambutnya ubanan itu ” aku juga menyayangi Nuri. Aku juga tidak ingin Nuri mati.”

“Tetapi kau dan kalian semuanya telah menjerumuskannya, sehingga Nuri membunuh dirinya sendiri. Kalian tentu telah diupah oleh Ki Bikan. Dan Paman pun telah menjual Nuri kepada Ki Bikan pula. Sekarang kalau Nuri mati, maka bunuh aku sama sekali. Tetapi aku tidak mau mati sendiri. Aku akan bertempur. Aku akan membunuh kalian. Aku tidak akan menyerahkan kepalaku, tetapi aku akan berkelahi sampai mati dengan membawa serta kalian sebanyak-banyaknya. Aku adalah prajurit. Aku tahu caranya, bagaimana aku harus membunuh kalian.”

“Tunggu, tunggu dahulu.”

Tetapi prajurit itu nampaknya sudah menjadi mata gelap. Hampir saja ia menerkam orang yang rambutnya sudah ubanan itu. Namun tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu sudah berdiri di hadapannya.

“Jangan kehilangan akal. Bukankah Nuri belum mati? Ia tentu hanya pingsan saja.”

“Gadis itu sudah mati. Mereka-lah yang telah membunuhnya.”

“Sabarlah sedikit. Kita tunggu beberapa saat. Mungkin ia akan segera sadar. Bukankah kau akan menyesal jika itu terjadi?”

Prajurit itu sempat berpikir. Di hadapannya berdiri seorang lurah prajurit. Bagaimanapun juga sikap Ki Lurah Agung Sedayu itu pun berpengaruh atas prajurit itu.

Selagi prajurit itu berdiri dalam kebimbangan, tukang satang yang telah membantu menolong Nuri itu pun berkata, “Ki Sanak. Lihat, gadis ini mulai menggeliat.”

Sebenarnyalah Nuri telah membuka matanya perlahan-lahan. Prajurit yang dituduh melarikannya itu pun segera berpaling. Ia memang melihat Nuri membuka matanya dan bahkan mulai menggerakkan tubuhnya.

“Nuri? Nuri?” prajurit itu pun segera berjongkok di sampingnya sambil berdesis, “Bagaimana keadaanmu, Nuri?”

Nuri itu pun termangu-mangu. Perlahan-lahan ia pun bangkit dan duduk sambil bertelekan pada kedua tangannya. “Apa yang terjadi, Kakang?” bertanya Nuri sambil mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi.

“Nuri.” Orang yang berambut ubanan itu kemudian mendekat pula dan berjongkok di sampingnya.

Ketika Nuri melihat orang itu, maka ia pun segera teringat apa yang telah terjadi. Orang yang rambutnya mulai ubanan itu telah memburunya dan memaksanya untuk menikah dengan anak Ki Bikan yang kaya raya, tetapi jiwanya lebih kotor dari sampah.

Karena itu maka tiba-tiba saja Nuri itu bangkit berdiri sambil meloncat, berlari sekali lagi menuju ke arus Kali Praga yang cukup deras.

“Nuri!” Tetapi kali ini prajurit itu tidak terlambat. Ia pun dengan cepat memburu dan kemudian mendekap Nuri dari belakang, “Jangan, Nuri! Jangan lakukan itu.”

“Aku tidak mau menikah dengan orang gila itu. Lebih baik aku mati. Biar tubuhku diseret arus Kali Praga sampai ke muara.”

“Jangan, Nuri. Dengarkan aku.”

Nuri meronta. Namun kemudian terdengar suara pamannya, “Nuri. Jangan lakukan itu, Nuri. Aku tidak akan memaksamu lagi. Aku tidak ingin kehilangan kau, Nuri.”

Nuri yang meronta itu tiba-tiba menjadi agak tenang. Bahkan ketika prajurit itu melepaskannya, Nuri tidak berusaha untuk berlari lagi.

“Nuri,” berkata pamannya, “aku berjanji. Aku tidak akan memaksamu lagi.”

Nuri memandang pamannya itu dengan pandangan curiga. Katanya, “Paman berusaha membujukku sekarang. Tetapi nanti ketika aku sudah sampai di rumah, Paman akan mengikat aku di tiang pendapa sambil memanggil Ki Bikan dan anaknya. Paman akan menyerahkan aku kepada mereka.”

“Tidak, Nuri. Aku berjanji di hadapan Lurah Prajurit Mataram ini, bahwa aku tidak akan memaksamu lagi.”

Agaknya Nuri masih tetap dicengkam oleh kebimbangan. Dipandanginya prajurit yang dituduh melarikannya itu, seakan-akan ia menunggu keputusan yang justru datang dari prajurit itu.

“Baiklah, Nuri,” berkata prajurit itu, “sekarang kita mencoba mempercayai kata-kata pamanmu. Tetapi sekarang aku pun sudah bertekad, bahwa aku tidak akan menghindari lagi kekerasan, jika perlu. Jika Ki Bikan masih saja mempergunakan pengaruh uangnya, maka aku pun dapat mempergunakan kepedulian kawan-kawanku atas nasibku. Jika Ki Bikan mencoba mempergunakan kekerasan dengan mengupah orang untuk memaksakan kehendaknya, maka kawan-kawanku sekelompok prajurit tentu akan bersedia membantuku. Selama ini aku memang menghindari kekerasan, sehingga kita sepakat untuk menyingkir. Tetapi sekarang tidak. Kita tidak akan menyingkir. Kita akan menghadapi segala macam rintangan yang menghalangi niat kita. Jika rintangan itu berwujud kekerasan, maka kita pun akan melawan dengan kekerasan pula.”

“Aku berjanji,” berkata orang yang sudah ubanan itu, “aku berjanji untuk tidak mengganggu kau lagi, Nuri. Tetapi jangan mencoba lagi melakukan perbuatan yang sangat menakutkan itu.”

“Kita akan melihat, Paman, apa yang akan terjadi. Jika kemudian segala sesuatunya masih akan kembali kepada kesepakatan Paman dan Ki Bikan, maka umurku memang tidak akan panjang. Aku tidak akan sekedar mengancam. Tetapi aku akan menjalaninya.”

“Tidak, Nuri, itu tidak perlu. Kita tidak akan lari lagi. Seandainya kita harus mati, maka kita akan mati dengan cara yang lain. Seperti yang aku katakan, kawan-kawanku tentu akan membantu kita.”

“Aku berjanji, Nuri,” berkata pamannya, “aku bersumpah di hadapan Ki Lurah.”

“Baiklah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “aku menjadi saksi, meskipun aku belum mengenal kalian semuanya dari kedua belah pihak. Aku pun bukan sedang menjemput kawanku yang dituduh melarikan seorang gadis.”

“Aku minta maaf, Ki Lurah. Aku memang khilaf,” berkata orang yang rambutnya ubanan itu.

Ki Lurah pun kemudian berkata kepada prajurit yang pakaiannya basah kuyup itu, “Aku ikut berharap, mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Jika kau memerlukan kesaksianku, kau dapat menghubungiku. Barakku tidak terlalu jauh dari tempat penyeberangan ini.”

“Baik, Ki Lurah. Tetapi siapakah sebutan Ki Lurah ini?”

“Aku adalah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh?”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku adalah lurah prajurit yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh.”

Tiba-tiba saja prajurit itu pun mengangguk hormat sambil berkata, “Maaf, Ki Lurah. Aku tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Bukankah aku tidak ada bedanya dengan lurah prajurit yang lain, yang bertugas di tempat lain pula?”

“Jauh berbeda, Ki Lurah. Ki Lurah adalah lurah prajurit yang aneh. Setiap orang mempertanyakan, kenapa Ki Lurah masih saja seorang lurah prajurit.”

“Kenapa?”

“Banyak orang yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dari Ki Lurah, tetapi tidak memiliki kemampuan apalagi kelebihan sebagaimana Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tidak, Ki Sanak. Aku adalah seorang lurah pajurit. Aku tidak pernah merasa bahwa aku memiliki kemampuan melebihi para lurah prajurit yang lain.”

“Ki Lurah memang lebih senang merendah. Tetapi itu adalah kenyataan yang dilihat oleh para prajurit Mataram.”

“Sudahlah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “sekarang ajak Nuri pulang. Biarlah ia membenahi pakaiannya. Jika terlalu lama ia mengenakan pakaian yang basah, maka ia akan dapat menjadi sakit.”

“Baik, Ki Lurah. Kami akan pulang.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada prajurit itu serta gadis yang dituduh dilarikannya itu. Kemudian Ki Lurah minta diri pula kepada orang-orang yang berkerumun di tepian. Ia pun sempat mengucapkan terima kasih kepada tukang satang yang telah membantu menolong dan menyelamatkan nyawa Nuri.

Demikianlah, Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan tepian. Orang-orang yang berkerumun di tepian itu sempat memandanginya sehingga Ki Lurah itu naik ke atas tebing yang landai, meninggalkan debu yang kelabu di belakang kaki kudanya.

Prajurit itu masih memandangi arah perjalanan Ki Lurah yang menuju ke Mataram itu. “Beruntunglah bahwa Paman bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika prajurit itu bukan Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Tiga orang prajurit itu akan dapat dengan mudah membuat kalian tidak berdaya, jika saja tantangan Paman itu diterima.”

Wajah orang yang rambutnya mulai ubanan itu menjadi tegang. Sementara prajurit itu berkata, “Kalian semuanya tidak akan mampu melawan dua orang prajurit pengiring Ki Lurah itu. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu memang berbeda. Ia adalah seorang lurah prajurit yang rendah hati. Sabar dan tidak tergesa-gesa bertindak, sehingga ia tidak cepat menjadi marah meskipun kalian telah menuduhnya yang bukan-bukan. Tetapi jika Ki Lurah Agung Sedayu itu sudah marah, maka dengan sapuan sorot matanya, kalian hanya akan tinggal nama saja, karena tubuh kalian akan hangus terbakar.”

Jantung orang yang rambutnya mulai ubanan itu pun berdebar semakin cepat. Ia sadari, betapa ia telah kehilangan kendali diri. Seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, jika Ki Lurah dan pengiringnya itu bukan orang-orang yang sabar, maka mereka tentu sudah menerima tantangannya. Akibatnya tentu akan sangat buruk bagi mereka. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka tidak memiliki ilmu kanuragan sebagaimana seorang prajurit. Meskipun mereka berani melawan prajurit-prajurit itu, tetapi kemampuan mereka tidak akan mampu mendukung keberanian mereka.

“Aku menyesal,” desis orang yang rambutnya mulai ubanan itu.

“Sekarang, aku akan membawa Nuri pulang, Paman,” berkata prajurit itu, “aku akan mendahului Paman. Kami harus segera berganti pakaian.”

Orang yang rambutnya mulai ubanan itu termangu-mangu. Sementara prajurit itu pun berkata pula, “Aku akan mengantar Nuri pulang. Tetapi jika terjadi lagi usaha Paman untuk menyerahkan Nuri kepada anak Ki Bikan, maka seperti yang aku katakan, aku tidak akan menghindari lagi jika harus terjadi kekerasan. Seperti yang aku katakan, kawan-kawanku tentu akan membantuku. Apalagi jika aku menyampaikannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Tidak. Aku tidak akan mengganggu kalian lagi.”

“Jika Ki Bikan datang kepada Paman?”

“Aku akan mengatakan apa adanya. Aku juga akan mengatakan bahwa kau akan membawa kawan-kawanmu memasuki persoalan ini.”

“Baiklah, Paman. Sekarang aku akan membawa Nuri mendahului Paman.”

Demikianlah, maka prajurit itu pun telah membawa Nuri pulang. Seperti ketika mereka datang, maka prajurit itu membawa Nuri bersamanya di punggung kuda.

Orang yang rambutnya ubanan itu pun menarik nafas panjang. Ia pun kemudian mendekati tukang satang itu sambil berkata, “Aku mengucapkan terima kasih, Kang. Kakang telah menyelamatkan anakku. Aku tidak dapat membalas kebaikan Kakang. Semoga Yang Maha Agung memberikan balasannya yang setimpal.”

Ketika orang yang rambutnya ubanan itu membuka kantong pada ikat pinggangnya untuk mengambil uang, maka tukang satang itu pun berkata, “Jangan, Ki Sanak. Aku menolong gadis itu dengan ikhlas. Kalau aku menarik rakit menyeberang, aku memang minta upah, karena itu adalah pekerjaanku. Tetapi untuk menolong sesama, aku tidak ingin mendapatkan upah.”

“Bukan upah, Kang. Tetapi Kakang sudah membuang waktu. Seharusnya Kakang sudah menyeberangkan beberapa orang, tetapi Kakang harus menunggu di sini, sehingga rakit berikutnya sudah lebih dahulu menyeberang, Kakang sudah kehilangan beberapa orang yang seharusnya menumpang rakit Kakang.”

Tukang satang itu tertawa. Katanya, “Penumpang itu masih akan berdatangan.”

Tukang satang itu tetap tidak dapat menerima ketika orang yang rambutnya mulai ubanan itu agak memaksa memberikan uang kepadanya. Akhirnya orang berambut ubanan itu hanya dapat minta diri. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada tukang satang yang telah menyelamatkan nyawa Nuri itu.

Demikianlah, beberapa saat kemudian orang yang rambutnya ubanan serta beberapa orang yang menyertainya itu pun meninggalkan tepian.

“Apa yang akan kita katakan kepada Ki Bikan?” bertanya seorang yang berjalan di samping orang yang rambutnya ubanan itu.

“Kita akan mengatakan apa adanya. Kita akan berbicara sebagaimana yang kita lihat terjadi di tepian. Tentang Nuri yang akan membunuh diri, dan tentang seorang lurah prajurit yang kebetulan lewat dari seberang Kali Praga.”

Orang yang berjalan di sebelahnya itu pun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak yakin bahwa Ki Bikan akan dapat menerima begitu saja keputusan orang yang rambutnya mulai ubanan itu.

Tetapi ia tidak berkata lebih lanjut. Orang itu pun mengerti, jika prajurit yang dituduh melarikan Nuri itu menyeret kawan-kawannya ke dalam persoalan pribadinya, maka keadaan akan menjadi semakin parah. Prajurit itu agaknya telah kehilangan kesabarannya pula.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang pengiringnya melarikan kuda mereka semakin kencang jika mereka sedang menempuh jalan-jalan yang sepi. Tetapi jika mereka memasuki ruas jalan yang banyak dilalui orang, maka mereka pun memperlambat derap kuda mereka. Meskipun mereka terhambat di tepian, tetapi mereka berhenti tidak terlalu lama. Sehingga karena itu maka masih belum terlalu siang ketika mereka memasuki pintu gerbang kota.

“Mudah-mudahan Ki Patih ada di Kepatihan,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

“Bukankah hari ini bukan hari Pasowanan?” sahut salah seorang prajuritnya.

“Ya. Tetapi Ki Patih sering berada di Istana meskipun bukan hari Pasowanan. Apalagi jika sedang ada persoalan-persoalan penting yang harus dibicarakan oleh para pemimpin di Mataram. Tetapi kita berharap bahwa hari ini Ki Patih berada di Kepatihan, sehingga kita dapat menghadap langsung. Tidak usah menunggu Ki Patih pulang, atau menyusul ke Istana.”

Kedua orang prajurit pengiringnya mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, mereka bertiga telah berada di gerbang Dalem Kepatihan. Ketiganya pun segera turun dari punggung kudanya dan menuntunnya memasuki pintu gerbang yang sedikit terbuka.

Dua orang prajurit yang bertugas di pintu gerbang tidak menghentikan mereka, karena mereka mengenal dengan baik Ki Lurah Agung Sedayu.

“Selamat siang, Ki Lurah,” sapa salah seorang prajurit yang bertugas itu.

“Apakah Ki Patih ada?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ada, Ki Lurah. Ki Patih baru saja pulang dari Istana.”

“O. Jika Ki Patih telah pulang dari Istana pada wayah begini, apakah Ki Patih pagi-pagi telah pergi ke Istana?”

“Ya.”

“Apakah ada masalah penting yang harus dibicarakan?”

“Kami tidak tahu, Ki Lurah.”

Ki Lurah pun mengangguk-angguk. Bertiga mereka menuntun kuda mereka ke gardu para prajurit yang bertugas di Kepatihan. Setelah mengikat kuda-kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan, maka Ki Lurah pun telah pergi ku gardu.

“Silakan, Ki Lurah Agung Sedayu,” lurah prajurit yang bertugas pun segera mempersilakannya. “Ki Lurah akan menghadap Ki Patih?”

“Ya,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu sambil duduk di gardu itu pula bersama para pengiringnya.

“Kebetulan, Ki Patih telah pulang. Biarlah seseorang memberitahukan kepada yang bertugas di dalam.”

Seorang prajurit pun kemudian telah pergi memasuki seketheng untuk menyampaikan permohonan Ki Lurah Agung Sedayu untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.

Ketika permohonan itu disampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, maka Ki Patih pun dengan serta-merta menjawab, “Baik. Bawa Ki Lurah ke serambi.”

Ki Lurah itu pun kemudian telah masuk lewat pintu seketheng ke serambi samping. Sementara kedua orang prajurit pengiringnya menunggu di gardu penjagaan.

“Kebetulan sekali kau datang, Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka setelah Ki Patih itu duduk di serambi pula.

“Apakah ada titah, Ki Patih?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Jika kau datang menemui aku, Ki Lurah, agaknya kau mempunyai satu kepentingan. Nah, biarlah kau katakan lebih dahulu kepentinganmu.”

“Ampun, Ki Patih. Aku datang untuk menanggapi titah Ki Patih beberapa waktu yang lalu. Apakah Glagah Putih bersedia menjadi seorang prajurit ”

“O,” Ki Patih pun mengangguk-angguk. “Apa kata Glagah Putih tentang hal itu?”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian mencoba menjelaskan sikap Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dikatakan oleh mereka berdua. Ki Patih Mandaraka mendengarkan keterangan Ki Lurah Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh.

Kemudian sambil mengangguk-angguk Ki Patih itu pun berdesis, “Ya. Aku mengetahui sifat Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi tolong ingatkan kepada mereka, bahwa ada sesuatu yang menunggu mereka. Satu kehidupan keluarga yang utuh.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya, Ki Patih. Biarlah yang sudah terlanjur, seperti keluargaku yang terasa sangat sepi.”

Ki Patih Mandaraka mengerutkan dahinya. Katanya, “Maaf, Ki Lurah. Bukan maksudku aku menunjuk salah satu kekurangan dalam keluarga Ki Lurah.”

“Aku mengerti, Ki Patih.”

“Baiklah. Aku dapat menerima permohonan Glagah Putih dan Rara Wulan. Juga keinginan mereka untuk berada dalam kesatuanmu, yang pada saatnya akan segera berkembang menjadi satu kesatuan yang lebih besar.”

“Maksud Ki Patih?”

“Ki Lurah. Aku akan memberitahukan keputusanku untuk menerima Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi prajurit sandi, yang seperti diinginkan akan berada dalam kesatuanmu, kepada Ki Tumenggung Purbasena. Ki Tumenggung Purbasena adalah seorang Tumenggung yang sekarang mendapat tugas untuk mengatur para petugas sandi yang ada di Mataram. Ki Tumenggung Purbasena berada langsung di bawah perintah Pangeran Singasari.”

“Ki Tumenggung Purbasena?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu, “nama itu masih agak asing bagiku.”

“Tidak. Mungkin nama itu memang agak asing. Tetapi orangnya tentu tidak asing bagi Ki Lurah. Ki Tumenggung Purbasena adalah seorang yang baru saja diangkat setelah perang di Demak selesai. Sebelum ditetapkan menjadi seorang Tumenggung, namanya adalah Ki Rangga Wirasena. Ia adalah salah seorang yang mendapat anugrah pangkat dan kedudukan setelah perang di Demak selesai.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar bahwa ada beberapa orang yang mendapat berbagai macam anugrah. Bukan sekedar kesatuannya yang mendapat penghargaan tunggul yang berlapis emas, tetapi beberapa orang langsung mendapat anugrah bagi dirinya. Bagi pribadinya. Antara lain Ki Rangga Wirasena yang mendapat anugrah pangkat dan kedudukan, ditetapkan menjadi seorang Tumenggung dengan nama baru Ki Tumenggung Purbasena.

“Nah, bukankah kau mengenalnya?”

“Ya, Ki Patih. Aku mengenal Ki Rangga Wirasena. Ia memang seorang yang keras hati dan berilmu tinggi.”

“Nah. Kau harus membawa Glagah Putih dan Rara Wulan datang ke Mataram. Mereka akan aku pertemukan dengan Ki Tumenggung Purbasena. Selanjutnya Ki Tumenggung Purbasena akan menyerahkan keduanya kepada Ki Lurah Agung Sedayu untuk ditempatkan di kesatuan Ki Lurah.”

“Baik, Ki Patih. Jadi kapan Glagah Putih dan Rara Wulan harus menghadap? Apakah mereka harus menghadap langsung Ki Tumenggung Purbasena, atau lebih baik aku bawa menghadap Ki Patih lebih dahulu?”

“Bawa kepadaku lebih dahulu. Biarlah aku nanti menjelaskan kepada Ki Tumenggung Purbasena.”

“Baik, Ki Patih.”

“Datanglah sepekan lagi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku akan menunggumu sampai kalian datang. Bukankah kalian tidak akan terlalu siang?”

“Kami akan datang sebelum wayah pasar temawon, Ki Patih.”

“Kalian akan berangkat pagi-pagi sekali?”

“Bagi kami, apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan, dapat saja berangkat setiap saat. Bagi pengembara, mereka harus dapat mengatur waktu sebaik-baiknya.”

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Nah, sekarang biarlah aku yang memberitahukan kepadamu tentang dirimu sendiri, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Ki Patih?”

“Ki Lurah Agung Sedayu. Biarlah aku mendahului Surat Kekancingan yang bakal kau terima. Surat Kekancingan yang menetapkan bahwa Ki Lurah telah ditetapkan dinaikkan pangkatnya dari Lurah Prajurit menjadi seorang Rangga. Kenaikan pangkat ini akan diikuti oleh pemekaran Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Pasukan Khusus itu akan menjadi kesatuan yang lebih besar. Ki Rangga Agung Sedayu nantinya akan membawahi lima orang Lurah Prajurit. Empat orang Lurah akan memimpin kelompok-kelompoknya, sedangkan yang seorang akan membantu Ki Rangga memimpin pasukan itu.”

Jantung Ki Lurah Agung Sedayu tergetar. Namun kemudian Ki Lurah itu mengangguk hormat sambil berkata, “Kami seluruh pasukan mengucapkan terima kasih, Ki Patih. Kepercayaan itu merupakan ujud penghargaan bagi seluruh kesatuan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sebelum Ki Lurah menerima Surat Kekancingan yang menetapkan kedudukan Ki Lurah dengan resmi, biarlah aku tetap menyebutmu Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, Ki Patih. Penghargaan itu merupakan pengakuan pengabdianku selama ini kepada Mataram.”

“Ketetapan itu sebenarnya sudah sangat terlambat, Ki Lurah. Hampir semua pemimpin di Mataram mempertanyakan kepangkatan Ki Lurah. Pertanyaan-pertanyaan itu telah dipertegas dengan langkah-langkah dan sikap yang kau ambil dalam pertempuran di Demak. Juga kemenangan-kemenangan yang tidak dapat diingkari lagi selama perang itu terjadi.”

“Semua itu adalah termasuk dalam rangkaian tugasku, Ki Patih.”

“Karena itulah maka kau pantas untuk mendapat pengakuan atas kelebihan-kelebihanmu, Ki Lurah. Tetapi aku baru sekedar memberitahukan saja kepadamu, mendahului Surat Kekancingan yang bakal kau terima.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

“Nah, sebaiknya kau menunggu. Kau akan dipanggil secara resmi untuk menerima Surat Kekancingan itu dalam satu dua pekan ini. Mudah-mudahan Surat Kekancingan itu akan dapat kau terima bersama dengan Surat Kekancingan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, sekaligus menyerahkannya kepadamu, sehingga keduanya akan menjadi bagian dari pasukanmu.”

“Sungguh satu penghargaan yang sangat tinggi bagi kami, Ki Patih.”

“Segala sesuatunya akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Aku hanya sekedar memberitahukan kepadamu. Selebihnya, aku akan menyelesaikan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pengangkatan Glagah Putih dan Rara Wulan dalam tugas sandi, yang sebenarnya selama ini telah dilakukannya meskipun mereka belum ditetapkan menjadi prajurit dalam tugas sandi.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Selebihnya, Ki Patih Mandaraka masih memberikan beberapa keterangan tentang beberapa pergeseran kedudukan di Mataram. Namun sebagian besar adalah semacam penghargaan kedudukan atau lambang-lambang bagi kesatuan yang telah banyak berjasa. Tidak saja selama perang di Demak, tetapi juga atas pengabdian yang telah mereka tunjukkan sebelumnya.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun diperkenankan untuk meninggalkan Kepatihan, dengan pesan agar dalam waktu sepekan lagi, Ki Lurah itu datang ke Mataram bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Aku ingin segala sesuatunya dapat diselesaikan, agar keduanya dapat menerima Surat Kekancingan bersamaan dengan Surat Kekancingan bagi Ki Lurah, di sekitar dua pekan mendatang. Jika Glagah Putih dan Rara Wulan dapat segera datang, maka mereka akan segera dapat memberikan keterangan tentang diri mereka bagi kelengkapan Surat Kekancingan yang akan diberikan kepada mereka berdua.”

“Kami akan datang sebagaimana yang Ki Patih perintahkan. Sepekan lagi kami akan menghadap, sebelum wayah Pasar Temawon.”

Demikianlah, Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mohon diri. Sepekan lagi mereka harus menghadap Ki Patih Mandaraka kembali.

Beberapa saat kemudian, Ki Lurah pun telah meninggalkan Dalem Kepatihan bersama kedua orang prajurit pengiringnya.

Sementara itu matahari pun telah melampaui titik puncaknya. Ki Lurah dan kedua orang pengiringnya itu pun segera meninggalkan pintu gerbang kota. Kuda-kuda mereka berlari kencang menyusuri bulak-bulak panjang.

Ketika matahari mulai turun, mereka bertiga telah berada di tepian. Orang yang menyeberang tidak lagi sebanyak penyeberang di pagi hari.

Sebuah rakit telah tertambat pada patok di pinggir Kali Praga. Agaknya tukang satang yang membawa rakit itu sedang pulang untuk beristirahat, atau bahkan mungkin rakit itu sudah tidak akan menyeberang lagi. Ketika sebuah rakit yang lain menepi serta para penumpangnya sudah turun, maka Ki Lurah dan kedua pengiringnya pun telah naik ke rakit itu.

Ternyata tukang satang yang membawa rakit itu menyeberang, seorang di antaranya adalah tukang satang yang tadi pagi telah menolong gadis yang berusaha membunuh diri itu.

“Kasihan gadis itu,” berkata tukang satang, yang mengenali Ki Lurah yang pagi tadi lewat pada saat gadis itu meloncat ke Kali Praga.

“Ya. Tetapi agaknya ia tidak akan mengalami tekanan lagi dari pamannya.”

“Mudah-mudahan,” berkata tukang satang itu, “agaknya gadis yang bernama Nuri itu tidak main-main. Ia tidak sekedar mengancam. Seandainya akhirnya ia dipaksa juga, maka ia tentu benar-benar akan bunuh diri.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, sambil berbincang maka rakit itu pun bergerak membelah arus Kali Praga menuju ke sisi barat Kali Praga. Cahaya matahari yang menjadi semakin rendah terasa menyilaukan pandangan mata mereka.

Sementara langit nampak cerah menjelang senja hari. Sekelompok burung bangau terbang melintas di langit yang mulai menjadi kemerah-merahan.

Sejenak kemudian Ki Lurah dan kedua orang pengiringnya telah turun di sisi barat Kali Praga. Kemudian mereka memacu kuda mereka menuju ke barak Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan.

Namun Ki Lurah masih belum mengatakan apa-apa tentang dirinya sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka. Bahkan kedua orang prajurit yang mengiringnya itu pun masih belum tahu, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan mendapat anugrah pangkat. Serta Glagah Putih dan Rara Wulan akan memasuki tugas keprajuritan.

Ki Lurah singgah sebentar di baraknya. Namun kemudian ia pun segera meninggalkan barak itu, langsung pulang ke rumahnya.

Ki Lurah tidak juga segera memberitahukan anugrah yang diterimanya itu kepada keluarganya. Baru kemudian ketika malam turun, setelah Ki Lurah berbenah diri dan kemudian duduk melingkar di ruang dalam untuk makan malam, maka Ki Lurah pun mulai bercerita tentang titah yang disampaikan oleh Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi semuanya ini masih rahasia. Ki Patih berbaik hati memberitahukan kepadaku sebelum aku mendapatkan Surat Kekancingannya. Demikian pula bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Kita semua wajib bersyukur,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian. “Ini adalah kurnia bagi keluarga kita ”

“Ya, pada saatnya kita akan menyatakan ucapan syukur itu,” sahut Sekar Mirah.

Demikianlah, keluarga Ki Lurah Agung Sedayu itu telah diliputi oleh suasana yang cerah. Sudah sekian lama Ki Lurah Agung Sedayu mengabdi dalam kedudukan yang masih saja sama. Meskipun sebenarnya Ki Lurah tidak terlalu berharap akan anugrah apapun, namun ia menerima anugrah itu dengan ucapan syukur kepada Yang Maha Agung.

“Anugrah yang Ki Lurah terima sekarang ini seharusnya sudah Ki Lurah terima beberapa tahun yang lalu,” berkata Ki Jayaraga, “apa yang Ki Lurah berikan kepada Mataram sudah jauh lebih banyak dari kedudukan Ki Lurah selama ini.”

“Tidak banyak yang telah aku berikan kepada Mataram.”

“Ya, Ki Lurah tentu merasa bahwa apa yang Ki Lurah berikan itu masih terlalu sedikit, karena selama ini Ki Lurah berpegang pada satu sikap, apa yang dapat Ki Lurah berikan kepada negeri ini. Bukan apa yang akan Ki Lurah terima. Tetapi bagi orang lain akan dapat terjadi sebaliknya, apa yang akan kau dapatkan dari negeri ini. Bukan apa yang dapat aku berikan.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Ki Jayaraga masih saja selalu membesarkan hatiku. Terima kasih. Tetapi sanjungan itu akan dapat membuat ikat kepalaku menjadi terlalu kecil.”

Yang mendengarkan gurau Ki Lurah Agung Sedayu itu pun tertawa. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kalian pun harus bersyukur,” berkata Ki Jayaraga pula kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “kalian akan mendapatkan kesempatan semakin luas untuk mengabdikan dirimu kepada Mataram. Sehingga hidup kalian akan semakin berarti bagi banyak orang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk kecil.

Dalam pada itu, Ki Lurah pun telah memberitahukan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan bahwa sepekan lagi mereka akan pergi ke Mataram, menghadap Ki Patih Mandaraka. Segala sesuatunya akan diselesaikan oleh Ki Patih dengan seorang Tumenggung baru, Ki Tumenggung Purbasena, yang sebelumnya dikenal sebagai Ki Rangga Wirasena.”

“Ki Tumenggung itu juga baru saja menerima anugrah pangkat dan jabatan?”

“Ya.”

“Jadi tidak bersama-sama dengan Kakang Lurah Agung Sedayu?”

“Tidak.”

“Kenapa tidak, Kakang? Kenapa mereka yang menerima anugrah tidak mendapatkan Surat Kekancingan pada waktu yang bersamaan?”

“Kenapa harus bersamaan? Mungkin anugrah yang diterima oleh Ki Tumenggung Purbasena itu seharusnya bahkan sudah harus diterima jauh sebelumnya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bukankah Ki Tumenggung itu juga menerima anugrah karena peranannya dalam perang di Demak?”

“Mungkin tidak hanya itu. Mungkin sebelumnya Ki Tumenggung Purbasena telah menunjukkan kelebihannya. Ia telah banyak berjasa bagi Mataram bukan saja dalam bidang keprajuritan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mempersoalkannya lagi.

Malam itu, terasa cahaya lampu minyak di ruang dalam rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu menjadi lebih terang. Suasananya pun terasa lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Sambil makan malam mereka pun berbincang berkepanjangan.

Waktu sepekan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan terasa lebih lama dari hari-hari yang telah lewat. Sebenarnyalah mereka menunggu saat mereka dapat menghadap dan bertemu dengan Ki Patih Mandaraka. Meskipun mereka masih belum dapat meyakini bahwa mereka akan dapat melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, lebih baik dari sebelum mereka resmi menjadi prajurit, namun kesempatan yang ditawarkan oleh Ki Patih Mandaraka kepada mereka itu merupakan satu kehormatan bagi mereka.

Sambi] menunggu, maka Glagah Putih mempunyai waktu untuk berada di lingkungan para pengawal Tanah Perdikan. Glagah Putih sempat menemui Prastawa untuk membicarakan kemungkinan menambah jumlah pengawal Tanah Perdikan, karena beberapa orang yang waktu dan kesempatannya menjadi semakin sempit karena urusan keluarga mereka, harus meninggalkan kedudukan mereka sebagai pengawal Tanah Perdikan. Namun bukan berarti bahwa mereka akan benar-benar tidak lagi berhubungan dengan jajaran pengawal Tanah Perdikan. Jika diperlukan, maka mereka masih akan tetap bersedia menjalankan tugas-tugas Pengawal Tanah Perdikan.

Sambil membicarakan kemungkinan penerimaan anggota baru bagi pengawal Tanah Perdikan, maka Glagah Putih pun menyatakan bahwa Sukra berminat sekali untuk dapat diterima menjadi Pengawal Tanah Perdikan.

“Tentu saja jika anak itu lolos dalam pendadaran,” berkata Glagah Putih.

“Bukankah selama ini anak itu sudah membekali dirinya?”

“Ya. Ia sudah berlatih dengan tekun.”

“Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Menurut pendapatku, bekalnya cukup memadai. Tetapi jika yang lain memiliki kelebihan, biarlah ia berlatih lagi untuk mendapatkan kesempatan di waktu-waktu mendatang.”

“Pada saatnya ia akan dipanggil.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Ketika hal itu disampaikannya kepada Sukra, maka Sukra pun menjadi gembira pula.

“Kau berkata sebenarnya?” bertanya Sukra.

“Aku akan membawamu kepada Kakang Prastawa, agar Kakang Prastawa tidak melupakanmu pada saat akan diselenggarakan pendadaran kelak. Aku berharap bahwa aku dapat menyaksikan pendadaran itu. Tetapi jika terpaksa aku sedang tidak ada di rumah, maka biarlah Kakang Agung Sedayu atau Ki Jayaraga menyaksikannya. Apakah kau dapat lolos dari pendadaran atau tidak.”

“Siapakah yang melakukan pendadaran?”

“Para pemimpin Pasukan Pengawal. Mungkin Kakang Prastawa akan minta tolong kepada Kakang Agung Sedayu untuk mengirim satu dua orang prajurit, membantu menilai mereka yang mengikuti pendadaran.”

Sukra mengangguk-angguk.

Namun pernyataan Glagah Putih bahwa mereka yang akan memasuki Pasukan Pengawal akan melewati pendadaran, telah mendorong Sukra untuk berlatih semakin keras. Selama Glagah Putih berada di rumah, maka Glagah Putih telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan Sukra.

Tetapi Glagah Putih juga memberikan pesan-pesan agar Sukra memanfaatkan ilmu yang dikuasainya untuk kepentingan banyak orang.

“Kau harus berguna bagi sesamamu. Bukan sebaliknya. Bukan karena kau memiliki kelebihan, kemudian kau berbuat sesuka hatimu. Bahkan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang lemah. Dengan demikian maka ilmumu bukan bermanfaat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya, justru membebani banyak orang.”

Jika biasanya Sukra kurang bersungguh-sungguh, hari itu nampaknya Sukra bersikap dewasa, dengan wawasan yang nampak cukup luas menanggapi perkembangan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan tekun Sukra berusaha menempa dirinya. Ia tidak ingin mengecewakan Glagah Putih yang juga dengan bersungguh-sungguh membimbingnya.

Sambil mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan, akhirnya waktu yang sepekan itu pun telah datang. Glagah Putih masih juga sempat membawa Sukra menemui Prastawa, untuk menyatakan kesungguhan bahwa Sukra ingin memasuki lingkungan Pengawal Tanah Perdikan.

Ketika malam turun menjelang hari yang telah ditentukan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan seandainya, seperti juga pengawal Tanah Perdikan, mereka harus menempuh pendadaran, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah bersiap. Mereka telah mempersiapkan berbagai ilmu yang berlapis yang puncaknya adalah ilmu yang mereka sebut Aji Namaskara, yang setiap kali masih mereka sempurnakan sesuai dengan kitab yang ada di tangan mereka. Glagah Putih untuk kepentingan tertentu masih mampu bermain rinding, yang getarnya dapat mempengaruhi pendengarnya.

Sementara itu Rara Wulan pun pada tataran yang lebih rendah dari Aji Namaskara, mampu melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Sementara itu dengan melengkapi unsur-unsurnya, maka kemampuan keduanya pada landasan Aji Namaskara menjadi semakin tinggi pula.

Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sendiri masih akan melakukan penjajagan bagi tugas-tugas keprajuritan, namun keduanya merasa berdebar-debar juga. Karena itu maka keduanya tidak segera dapat tidur nyenyak. Sampai tengah malam keduanya masih berbicara tentang berbagai macam kemungkinan. Namun di dini hari keduanya sempat tidur sejenak.

Pagi-pagi sekali mereka sudah bangun dan berbenah diri. Mereka harus sudah berada di Mataram sebelum wayah pasar temawon. Karena itu, menjelang terang tanah mereka bersama Ki Lurah Agung Sedayu harus sudah berangkat ke Mataram.

“Mudah-mudahan sudah ada rakit yang menyeberang,” desis Rara Wulan.

“Tentu sudah. Di dini hari sudah ada rakit yang siap untuk menyeberang. Mereka yang mempunyai kepentingan yang sangat mendesak, akan dibantu dengan ikhlas oleh para tukang satang itu,” jawab Glagah Putih.

Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah bersiap untuk berangkat. Kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga mereka minta diri untuk waktu yang belum dapat mereka perkirakan.

“Jika Glagah Putih dan Rara Wulan harus menjalani pendadaran, mungkin kami akan bermalam. Bahkan mungkin dua malam. Tergantung sekali kepada ketentuan yang berlaku bagi penerimaan seorang prajurit.”

Sekar Mirah dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

Sementara itu Glagah Putih sempat berpesan kepada Sukra, yang juga melepas kepergian mereka, “Tunggu saja sampai Kakang Prastawa memberitahukan segala sesuatunya.”

“Baik, Kakang ” jawab Sukra.

“Kau tidak akan banyak mengalami kesulitan.”

“Mudah-mudahan, Kakang.”

Demikianlah, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera meninggalkan regol halaman rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Kuda-kuda mereka pun berpacu dengan kencangnya, sementara langit masih berwarna hitam kemerahan. Jalan-jalan masih sepi, sehingga kuda-kuda mereka itu pun dapat berlari kencang menyusuri jalan-jalan bulak.

Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, hari masih pagi sekali. Namun ternyata sudah ada beberapa orang yang juga akan menyeberang, sehingga demikian Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan naik, maka rakit itu pun segera bergerak.

Ketiga orang itu memasuki pintu gerbang Kota menjelang wayah pasar temawon. Sehingga ketika mereka sampai di pintu gerbang Kepatihan, maka mereka bertiga pun menjadi sedikit tergesa-gesa. Demikian mereka menuntun kuda mereka ke gardu penjagaan, maka lurah prajurit yang bertugas berkata, “Ki Patih Mandaraka sudah menunggu Ki Lurah.”

“Kami memang terlambat.”

“Hanya sekejap. Bukankah sekarang wayah pasar temawon?”

“Ya. Seharusnya aku sampai di sini sebelum wayah pasar temawon.”

Demikianlah, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian diterima oleh Ki Patih Mandaraka di serambi.

“Ampun, Ki Patih. Kami datang terlambat.”

“Belum terlambat. Sekarang wayah pasar temawon.”

“Seharusnya kami datang sebelum wayah pasar temawon.”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Masih cukup waktu, Ki Lurah. Nah, marilah. Kita pergi menemui Ki Tumenggung Purbasena. Bahkan sekaligus kalian akan menghadap Pangeran Singasari.”

Ketiganya hanya singgah sebentar di Kepatihan. Mereka pun kemudian telah pergi ke Istana. Tetapi mereka tidak akan menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Mereka akan menghadap Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena. Bersama mereka adalah Ki Patih Mandaraka sendiri. Ki Patih-lah yang telah membicarakan segala sesuatunya dengan Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena.

Sejenak kemudian, mereka berempat telah sampai ke Istana. Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena ternyata telah menunggu kehadiran Ki Patih Mandaraka. Sementara itu yang menghadap ternyata tidak hanya Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan, tetapi ada beberapa orang lain yang juga telah menghadap Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena.

Ki Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk di belakang orang-orang yang sudah lebih dahulu datang, sementara Ki Patih pun langsung mendekati Pangeran Singasari sambil berkata, “Kami datang agak terlambat, Ngger.”

“Belum, Ki Patih,” yang menyahut adalah Ki Tumenggung Purbasena, “masih banyak waktu yang tersedia. Kami pun belum terlalu lama menunggu.”

Ki Patih mengerutkan dahinya. Dipandanginya Tumenggung yang baru itu. Namun kemudian Ki Patih itu pun tersenyum.

Tetapi sebelum Ki Patih menyahut, Pangeran Singasari pun berkata, “Marilah, Paman, silakan duduk.”

“Terima kasih, Ngger.” Ki Patih itu pun kemudian duduk di sebelah Pangeran Singasari sambil berkata, “Aku datang bersama Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Seperti yang sudah aku katakan kepada Angger Pangeran serta Ki Tumenggung Purbasena, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah menyatakan dirinya untuk mengabdi sebagai prajurit di Mataram. Selama ini kita tidak dapat ingkar bahwa pengabdiannya tidak kalah dengan pengabdian seorang prajurit. Namun ia belum resmi ditetapkan menjadi prajurit Mataram.”

“Ya, Paman. Aku mengerti. Terakhir kita melihat apa yang mereka lakukan di Demak bersama Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ya. Aku juga melihat mereka sekilas bersama pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” sahut Ki Tumenggung Purbasena.

“Mereka memang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Baik, Paman. Seperti yang sudah kami katakan kepada Paman Patih, bahwa keduanya akan kami terima menjadi prajurit dalam tugas sandi. Mereka akan kami tempatkan kelak dalam Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh yang akan dikembangkan.”

“Tetapi aku sudah mengatakannya pula, Pangeran, bahwa siapapun yang akan menjadi prajurit, apalagi dalam penerimaan prajurit yang khusus ini, harus melalui pendadaran. Mataram harus yakin bahwa prajurit-prajuritnya adalah orang-orang yang memang pantas untuk diangkat menjadi prajurit,” berkata Ki Tumenggung Purbasena.

“Ya. Resminya memang harus demikian. Tetapi bukankah kita dapat menilai seseorang tidak sekedar pada saat pendadaran? Kita dapat menilai Glagah Putih dan istrinya Rara Wulan itu tidak sekedar pendadaran di sanggar terbuka di Pungkuran. Tetapi kita telah melihatnya langsung, apa yang telah mereka lakukan di medan pertempuran,” sahut Pangeran Singasari.

“Itu belum cukup, Pangeran. Dalam pertempuran kita dapat bekerja sama dengan banyak orang. Mungkin dalam kelompok-kelompok kecil atau bahkan dalam gelar. Tetapi seorang prajurit sandi harus didadar kemampuannya secara pribadi. Apalagi seorang perempuan. Bukankah tidak banyak perempuan yang memiliki kemampuan cukup? Karena itu maka perempuan itu harus membuktikan kemampuannya di hadapan para calon yang lain, agar tidak menimbulkan prasangka buruk, seakan-akan karena mempunyai hubungan yang baik dengan para Senapati, ia langsung dapat diterima menjadi prajurit tanpa membuktikan kelebihannya.”

Pangeran Singasari memandang Ki Patih Mandaraka. Namun keduanya pun kemudian tersenyum. Dengan nada dalam Ki Patih Mandaraka berkata, “Baiklah. Aku sependapat, bahwa semua calon prajurit, khususnya yang akan berada di dalam lingkungan tugas sandi ini, akan mendapat pendadaran khusus. Pelaksanaannya tentu tidak akan makan waktu terlalu lama, karena jumlahnya tidak banyak.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Agaknya Ki Purbasena, seorang Tumenggung yang baru ditetapkan itu, ingin menunjukkan betapa ia memang pantas untuk menjadi seorang Tumenggung. Tetapi apa yang dikatakan itu memang masuk akal. Jika seseorang tidak dapat membuktikan kelebihannya, maka tidak sepantasnya ia menjadi seorang prajurit, khususnya prajurit dalam tugas sandi.

Pangeran Singasari itu pun kemudian berkata kepada Ki Tumenggung Purbasena, “Selanjutnya, pelaksanaannya terserah kepada Ki Tumenggung. Yang harus menghadap Ki Tumenggung jumlahnya tidak banyak. Tidak lebih dari dua puluh orang. Agaknya Ki Tumenggung akan dapat menyelesaikannya besok dalam sehari. Mungkin Ki Tumenggung memerlukan bantuan beberapa orang Senapati yang lain, yang dapat Ki Tumenggung tunjuk. Selanjutnya di akhir bulan, Ki Tumenggung akan dapat melakukan pendadaran para kelompok ke-dua. Selanjutnya ke-tiga dan ke-empat.”

“Baik, Pangeran. Aku akan menjalankan perintah ini sebaik-baiknya.”

“Nah, sekarang aku serahkan mereka kepada Ki Tumenggung.”

“Baik. Aku akan minta beberapa orang Senapati. Di sini ada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi aku terpaksa tidak dapat minta bantuannya, karena dalam pendadaran ini akan ikut pula dua orang yang termasuk keluarga dekatnya. Selebihnya, pendadaran ini akan dilakukan oleh para Senapati yang serendahnya berpangkat Rangga, sementara Ki Lurah Agung Sedayu masih belum sampai pada tataran itu.”

Pangeran Singasari tiba-tiba saja memotong, “Tidak ada tatanan seperti itu, Ki Tumenggung. Pendadaran ini dapat dilakukan oleh seorang Senapati yang cakap, tanpa menilai kedudukannya. Tetapi jika Ki Tumenggung berkeberatan karena ada keluarga dekat Ki Lurah Agung Sedayu ikut dalam pendadaran ini, aku tidak menyangkal.”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Dahinya berkerut. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Segala sesuatunya akan dimulai nanti sore dan besok dalam sehari. Sekarang kalian dapat beristirahat di longkangan dalam, di belakang gerbang samping.”

Demikianlah, maka orang-orang yang menghadap Pangeran Singasari dan Ki Tumenggung Purbasena itu pun segera mengundurkan diri, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan.

Mereka pun kemudian berkumpul di serambi yang menghadap ke longkangan dalam. Beberapa helai tikar pandan yang putih telah dibentangkan, sehingga orang-orang yang berniat untuk mengikuti pendadaran itu pun dapat duduk beristirahat. Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di sudut serambi itu.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu tidak lama ikut duduk bersama mereka. “Aku harus meninggalkan kalian di sini. Keberadaanku di sini mungkin tidak akan menguntungkan kalian.”

“Ya, Kakang. Aku mengerti. Tetapi Kakang akan pergi kemana siang ini? Atau mungkin Kakang akan kembali dahulu ke Tanah Perdikan?”

“Tidak. Aku akan ke Kepatihan. Aku akan mohon ijin bermalam di Kepatihan saja. Sampai pendadaran ini selesai, aku tidak akan menemui kalian, agar tidak ada prasangka buruk dari para pengikut yang lain.”

“Baik, Kakang.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ia masih sempat mencari Ki Patih, yang kebetulan masih duduk bersama Pangeran Singasari. Tetapi Ki Tumenggung Purbasena telah tidak ada di antara mereka.

“Kau tinggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan?” bertanya Ki Patih.

“Ya, Ki Patih. Mereka sudah bukan kanak-kanak yang harus diantar. Selebihnya, keberadaanku bersama mereka akan dapat menimbulkan salah paham bagi para pengikut yang lain.”

“Kau benar, Ki Lurah. Nah, sebaiknya kau tidak menemui mereka,” berkata Pangeran Singasari pula.

“Ya, Pangeran.”

“Tetapi apakah kau akan kembali ke Tanah Perdikan, atau kau akan bermalam di Mataram?”

“Jika diperkenankan, hamba akan mohon ijin bermalam di Kepatihan, Pangeran.”

Pangeran Singasari tersenyum sambil berpaling kepada Ki Patih Mandaraka, “Bagaimana, Paman?”

“Tentu saja aku tidak berkeberatan. Tetapi Ki Lurah harus membayar tiga keping untuk semalam, termasuk makan malam dan makan pagi besok.”

Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka pun tertawa. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.

Ketika kemudian Ki Patih meninggalkan istana, maka Ki Lurah pun ikut pula bersamanya.

Dalam pada itu, di longkangan, Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu saat-saat pendadaran. Mereka melihat sikap dan tingkah laku orang-orang yang menempuh pendadaran itu dengan dada yang kadang-kadang berdebaran. Namun kadang-kadang mereka harus menahan tawa mereka.

Seorang yang berperawakan tinggi, besar dan berkumis lebat, duduk tidak jauh dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan nada rendah menekan, orang itu pun bertanya, “Kau mau ikut pendadaran, Ki Sanak?”

Glagah Putih-lah yang menjawab, “Ya. Kami ingin mengabdi sebagai seorang prajurit.”

“Kenapa kau bawa perempuan ini? Apakah perempuan ini calon istrimu.”

“Bukan calon, Ki Sanak. Ia memang istriku.”

“O. Jadi kenapa kau ajak istrimu?”

“Ia juga akan ikut pendadaran. Istriku juga ingin menjadi seorang prajurit.”

“Ah,” orang itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian tertawa, “Kau ini aneh-aneh saja. Setengah tahun yang lalu, aku ikut dalam pendadaran untuk memasuki prajurit dalam tugas sandi seperti sekarang ini. Tetapi aku tidak lulus. Aku diminta kembali setengah tahun lagi. Ketika kakakku yang sudah menjadi prajurit sejak hampir dua tahun yang lalu memberitahukan kepadaku bahwa dibuka lagi kesempatan untuk menjadi prajurit dalam tugas sandi, aku telah melamamya lagi. Tetapi jika enam bulan yang lalu aku tidak dapat diterima meskipun aku sudah berbekal ilmu, maka apakah seorang perempuan sekarang akan dapat diterima? Bukankah istrimu itu hanya membuang-buang waktu saja? Mungkin serba sedikit ia sudah berlatih olah kanuragan. tetapi seberapa besar tenaga seorang perempuan? Ki Sanak. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa pendadaran untuk menjadi prajurit sandi adalah sangat berat. Lebih berat dari pendadaran untuk menjadi prajurit biasa.”

“Kami akan mencoba, Ki Sanak. Entahlah apakah kami akan berhasil atau tidak. Jika tidak, maka setidak-tidaknya kami sudah mempunyai pengalaman.”

“Pendadaran ini akan disaksikan oleh banyak orang, termasuk para prajurit dan bahkan para Senapati. Daripada kalian berdua ditertawakan, lebih baik kalian urungkan saja niat kalian.”

“Kami sudah sampai di sini, Ki Sanak. Tanggung untuk mengurungkannya.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Terserah kepada kalian.”

Seorang yang lain, yang mendengar orang itu tertawa, bertanya, “Ada apa?”

“Orang ini,” jawab orang yang bertubuh tinggi besar itu, “ia datang bersama istrinya. Kedua-duanya ingin ikut dalam pendadaran untuk menjadi prajurit dalam tugas sandi.”

“Ya. Aku sudah merasa heran sejak mereka memasuki ruangan untuk menghadap Pangeran Singasari bersama Ki Patih. Nampaknya mereka mendapat belas kasihan Ki Patih, sehingga mereka dapat diikutsertakan dalam pendadaran.”

Tetapi seorang yang lain menyahut, “Bukankah justru Pangeran Singasari mengatakan, bahwa mereka sudah membuktikannya dalam pertempuran yang sebenarnya?”

“Sudah dijelaskan oleh Ki Tumenggung. Dalam pertempuran mereka bertempur bersama-sama banyak orang, sehingga mereka tentu mendapat perlindungan dari para prajurit.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar pembicaraan itu. Rasa-rasanya jantung mereka tergetar juga. Tetapi mereka merasa lebih baik berdiam diri saja. Mereka mencoba mengerti jalan pikiran orang-orang itu. Memang tidak sering terjadi seorang perempuan mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit. Pada saat itu juga hanya ada seorang perempuan saja yang mengikuti pendadaran, sehingga keberadaannya memang menarik perhatian. Rara Wulan sadar bahwa ia memang banyak mendapat perhatian, bukan saja dari mereka yang akan mengikuti pendadaran, tetapi juga oleh para petugas yang mempersiapkan pendadaran itu.

Menjelang sore hari, kepada mereka dihidangkan minuman hangat serta makan, karena mereka harus segera mempersiapkan diri untuk mengikuti pendadaran tahap pertama.

Setelah makan dan minum, menjelang senja, orang-orang yang mengikuti pendadaran itu telah dibawa ke alun-alun Pungkuran. Di alun-alun Pungkuran ternyata sudah menunggu Ki Tumenggung Purbasena serta beberapa orang perwira, yang bersama-sama Ki Purbasena akan melakukan pendadaran terhadap orang-orang yang menyatakan diri untuk menjadi prajurit.

Tidak lama kemudian, Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka pun telah hadir pula. Ki Lurah Agung Sedayu pun diperkenankan ikut pula bersama Ki Patih untuk menyaksikan pendadaran itu.

Setelah melakukan beberapa persiapan kecil, maka demikian gelap turun, Ki Purbasena itu pun segera memberikan beberapa perintah kepada para pengikut pendadaran. “Kalian akan diantar meninggalkan alun-alun Pungkuran ini pergi ke suatu tempat. Kalian akan pergi berkuda. Mereka yang tidak dapat menunggang kuda, akan terhenti di sini. Selanjutnya kalian harus kembali memasuki alun-alun Pungkuran ini. Jalan-jalan akan dijaga, sehingga kalian akan sulit dapat menembus penjagaan. Tetapi masih tetap ada beberapa jalan yang dapat kalian pergunakan untuk memasuki alun-alun Pungkuran ini. Sebelum tengah malam, kalian harus sudah berada di alun-alun Pungkuran. Tengah malam itu akan ditandai dengan suara kentongan dengan irama dara muluk. Sedangkan beberapa saat sebelumnya, akan dibunyikan kentongan dengan pukulan lima kali berturut-turut, untuk memberikan isyarat bahwa waktunya hampir habis.”

Seorang yang bertubuh raksasa yang telah mentertawakan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun bertanya dengan suara yang lantang menggelegar, “Apakah kami boleh menyerang para penjaga, kemudian lewat di jalan yang dijaganya itu?”

“Yang bertugas di setiap tempat penjagaan tidak hanya seorang. Jika seseorang menyerang mereka, maka ia justru akan kehilangan kesempatan, karena para prajurit yang lain akan membantu prajurit yang diserang itu. Kecuali jika orang itu mampu mengalahkan lima orang prajurit yang bertugas. Memang mungkin terjadi bahwa prajurit yang bertugas atau mereka yang menempuh pendadaran akan terluka. Tetapi tidak akan ada yang bersenjata. Dan tidak boleh terjadi pembunuhan dengan cara apapun juga.”

Sementara itu, yang lain pun bertanya, “Apakah antara kami boleh berusaha memasuki alun-alun Pungkuran ini bersama-sama?”

“Tidak. Kalian harus saling terpisah. Kalian harus berusaha memasuki alun-alun Pungkuran ini sendiri-sendiri.”

Tetapi ada seorang yang dengan sengaja berteriak, “Bagaimana kalau mereka itu suami istri?”

Ki Purbasena justru menjawab dengan lantang pula, “Yang sekarang dilakukan adalah pendadaran untuk menjadi-prajurit, bukan pengantin baru yang sedang berkasih-kasihan di bawah bulan purnama. Karena itu maka mereka akan dinilai seorang-seorang. Mereka juga tidak boleh bersama-sama mencari jalan untuk memasuki alun-alun Pungkuran ini.”

“Kalau perempuan itu memasuki alun-alun Pungkuran ini bersama-sama bukan dengan suaminya, apakah itu dibenarkan?”

Ki Purbasena menjawab sambil tersenyum,  “Persoalannya akan menjadi berbeda. Orang itu akan didadar oleh suami perempuan itu sendiri.”

Rara Wulan menahan perasaannya. Karena hanya ada seorang perempuan, maka ia tahu bahwa dirinya telah menjadi sasaran ejekan banyak orang. Tetapi Rara Wulan yang mempunyai bekal yang memadai itu masih saja mampu menahan diri, sehingga ia sama sekali tidak menanggapi suara-suara yang dirasanya sumbang.

Demikianlah, setelah Ki Tumenggung Purbasena memberikan pesan-pesannya sejelas-jelasnya, maka pendadaran itu pun segera dimulai. Beberapa orang prajurit kemudian telah membawa kuda sebanyak para pengikut pendadaran. Kuda-kuda yang besar dan tegar. Di samping itu, prajurit berkuda telah siap pula mengantar para peserta pendadaran itu ke tempat-tempat yang telah ditetapkan.

“Sekarang, silahkan naik ke punggung kuda. Siapa yang tidak dapat berkuda, maka ia tidak akan mengikuti pendadaran selanjutnya.”

Orang yang bertubuh tinggi besar, yang telah berbicara dengan Glagah Putih dan Rara Wulan di longkangan, mendekati Rara Wulan sambil bertanya, “Kau pernah naik kuda?”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk.

“Hati-hatilah. Agaknya kuda-kuda itu adalah kuda-kuda yang tegar.”

“Terima kasih. Aku akan berhati-hati,” sahut Rara Wulan.

Orang itu pun segera beringsut meninggalkan Rara Wulan. Namun seorang yang lain telah mendekatinya pula, “Kau takut melihat kuda-kuda itu?”

Rara Wulan memandang orang itu dengan kerut di dahi.

“Kalau kau takut, sebaiknya kau berkuda bersamaku saja.”

Hampir saja Rara Wulan menampar mulut orang itu. Tetapi niatnya itu pun diurungkan. la sadar bahwa ia berdiri di hadapan para Senapati Mataram yang akan melakukan pendadaran. Bahkan Ki Tumenggung Purbasena sendiri, yang memimpin pendadaran itu, agaknya juga meremehkan Rara Wulan.

Karena itu maka Rara Wulan harus menahan diri. Apalagi Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka ikut menyaksikan pendadaran pada tingkat pertama itu.

Sejenak kemudian, orang-orang yang mengikuti pendadaran itu telah berloncatan di atas punggung kudanya. Para Senapati yang mengamati pendadaran itu sudah mulai menilai cara-cara mereka naik ke punggung kuda. Seseorang yang tidak terbiasa naik kuda akan segera terlihat sejak ia meloncat ke punggung kuda itu.

Namun Glagah Putih masih sempat berbisik di telinga Rara Wulan, “Kau harus sabar, Rara Wulan. Ternyata selain ujud kewadagan, kau pun harus mengalami ujian kesabaran dan kelonggaran perasaan.”

“Aku hampir mengundurkan diri dan menantang mereka berkelahi, Kakang. Bahkan menantang Ki Tumenggung Purbasena sendiri.”

“Aku mengerti. Ujianmu jauh lebih berat dari para peserta yang lain. Tetapi bukankah kita berharap bahwa kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik?”

Rara Wulan mengangguk.

Demikianlah, sejenak kemudian setiap peserta, didampingi oleh seorang prajurit, akan segera meninggalkan alun-alun. Para prajurit itu akan mengantar para peserta keluar dari alun-alun dan pergi ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Mereka harus kembali memasuki alun-alun sebelum tengah malam. Mereka harus mencari jalan yang paling aman.

“Yakinlah bahwa ada jalan yang terbuka. Kalian harus menemukan jalan itu, agar kalian dapat kembali ke alun-alun. Jika kalian nekad melewati penjagaan, maka kalian harus berkelahi lebih dahulu. Mungkin kalian tidak akan dapat meneruskan pendadaran ini karena kesakitan. Tetapi seperti yang aku katakan, tidak boleh ada yang mempergunakan jenis senjata apapun. Tidak boleh ada kematian. Baik bagi mereka yang mengikuti pendadaran, maupun para prajurit yang bertugas.”

Berurutan para prajurit membawa para peserta melintasi pintu gerbang alun-alun Pungkuran. Mereka pergi ke tiga arah yang kemudian saling berpisah. Prajurit yang membawa Rara Wulan itu pun melarikan kudanya tidak begitu kencang. Di sepanjang jalan mereka melihat beberapa orang prajurit yang bertugas.

“Kenapa kau ikut dalam pendadaran ini, Nduk?” bertanya prajurit itu. Ternyata prajurit itu belum mengenal Rara Wulan.

“Aku sudah bersuami,” desis Rara Wulan.

“O. Maaf, Nyi,” berkata prajurit itu, “justru karena kau sudah bersuami, aku menjadi ingin tahu alasanmu, kenapa kau mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit.”

“Aku memang ingin menjadi seorang prajurit,” jawab Rara Wulan.

“Apakah perkawinanmu tidak berbahagia, sehingga kau ingin lari dari suamimu?”

“Suamiku juga ikut dalam pendadaran ini.”

Keduanya pun terdiam. Namun kemudian prajurit itu pun berkata, “Aku dapat menolongmu, Nyi. Aku tahu jalan-jalan sempit yang terbuka, sehingga kau akan dapat memasuki alun-alun lebih cepat dari orang lain.”

“Aku sedang menempuh pendadaran. Aku tidak boleh bergantung pada orang lain.”

“Jika saja kau tahu, ada di antara mereka yang mengikuti pendadaran ini telah menyuap para prajurit dan petugas yang terlibat dalam pendadaran ini.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Biarlah mereka yang mempunyai uang tetapi tidak mempunyai kepercayaan diri itu mempergunakan cara yang tidak dibenarkan. Tetapi aku tidak akan melakukannya.”

“Kau tidak perlu menyuapku. Aku hanya ingin membantumu. Sebenarnya aku merasa kasihan kepadamu, bahwa kau seorang perempuan yang harus melakukan pendadaran sebagaimana seorang laki-laki.”

“Terima kasih. Tetapi biarlah aku juga mengetahui, apakah aku mampu melakukannya atau tidak.”

“Agaknya kau memang seorang perempuan yang hatinya sekeras batu. Pikirkan baik-baik. Aku tidak ingin mendapat imbalan apa-apa. Aku hanya ingin menambah sahabat yang baik dan dapat saling mengerti.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, tetapi aku tidak ingin mendapat bantuan dari siapapun dalam pendadaran ini.”

“Kau memang keras kepala. Lihat, kau sekarang berada di daerah yang terpencil, Kau berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Aku berhak melakukan pendadaran pula bagi para calon prajurit.”

“Bagus,” jawab Rara Wulan. Jawaban yang tidak diduga-duga oleh prajurit itu.

“Apa maksudmu?”

“Aku hanya menanggapi kata-katamu. Jika kau merasa berhak melakukan pendadaran, maka lakukanlah.”

“Perempuan sombong. Jika aku benar-benar melakukan pendadaran, maka kau akan terhenti di sini. Aku dapat memberikan seribu alasan. Selanjutnya kau hanya akan bermimpi untuk menjadi prajurit perempuan di Mataram.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya, “Dimana kita akan berhenti? Bukankah kau harus kembali ke alun-alun dengan membawa kuda yang aku pakai ini? Aku tidak mau kehilangan banyak waktu.”

“Sudah aku katakan, jika hatimu sekeras batu, aku dapat menghentikan kau di sini.”

“Ki Sanak, jika aku memasuki pendadaran ini, itu berarti bahwa aku siap menghadapi pendadaran dengan cara apapun juga.”

“Kau benar-benar sombong. Aku seharusnya meninggalkan kau di sini. Tetapi karena kesombonganmu itu, aku akan memaksamu berlutut di hadapanku dan minta aku menolongmu.”

“Itu tidak akan pernah terjadi. Jika aku gagal, maka aku akan kembali menjadi seorang petani. Tidak berhasil dalam pendadaran ini dan tidak menjadi seorang prajurit bukan berarti kiamat bagiku. Jika aku berniat menjadi seorang prajurit, adalah karena aku ingin mengabdi. Sementara itu, jalan pengabdian akan terbuka di segala bidang. Tidak hanya di bidang keprajuritan.”

Tiba-tiba saja prajurit itu menarik kendali kudanya. Demikian kudanya berhenti, maka orang itu pun segera meloncat turun sambil berkata lantang, “Turun! Kau tidak akan pernah dapat kembali ke alun-alun. Aku tidak hanya dapat menghentikanmu, tetapi aku dapat membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke celah-celah batu-batu padas itu.”

Rara Wulan pun segera meloncat turun pula. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa kau tiba-tiba menjadi gila? Seandainya aku laki-laki, apakah kau juga akan memperlakukannya seperti itu di sini?”

“Tidak. Justru karena kau perempuan. Kau telah menolak tawaran-tawaranku yang aku sampaikan dengan niat baik. Apa salahnya aku bersikap sebagai seorang laki-laki terhadap seorang perempuan di tempat yang terpisah dari orang lain ini?”

“Sudah aku katakan, aku sudah bersuami.”

“Persetan. Suamimu tidak ada di sini. Sedangkan kau masih mempunyai banyak waktu sampai tengah malam. Jika aku menunjukkan celah-celah yang dapat kau lalui, maka kau akan dapat dengan cepat sampai di alun-alun.”

“Lupakan sampah di otakmu itu. Kau cemarkan nama prajurit Mataram. Meskipun aku belum menjadi prajurit, tetapi aku tidak rela kau kotori nama kesatuanmu.”

“Cukup.”

“Memang sudah cukup. Pergilah. Bawa kudaku itu pergi. Aku akan pergi ke alun-alun menurut jalanku sendiri. Aku tidak mau terlambat.”

“Tidak. Kau tidak akan pergi ke alun-alun. Aku dapat berbuat apa saja atasmu di sini.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku sudah siap melakukan pendadaran dengan cara apapun juga. Meskipun Ki Tumenggung Purbasena mengatakan bahwa tidak akan ada kematian dalam pendadaran ini, tetapi aku siap dibunuh atau membunuh.”

“Jadi kau berani melawan aku? Ingat, aku adalah prajurit Mataram. Sementara itu kau baru akan memasuki dunia keprajuritan itu. Bagaimana mungkin kau berani melawanku.”

“Sudah aku katakan, aku siap dibunuh atau membunuh.”

Prajurit itu pun menjadi sangat marah. la sudah kehilangan kesabarannya. Karena itu maka ia pun segera menambatkan kudanya.

“Kau akan menyesal,” geramnya.

Rara Wulan pun telah melepaskan kudanya pula. Ia pun segera bersiap menghadapi kemungkinan buruk dari prajurit yang telah menjadi gila itu.

Sambil melangkah mendekati Rara Wulan, prajurit itu pun berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Sekali lagi aku peringatkan, tidak ada gunanya kau melawan. Aku adalah seorang prajurit. Sedangkan kau baru mengikuti pendadaran. Itu pun belum tentu dapat diterima.”

Rara Wulan masih tetap berdiam diri. Tetapi ia bergeser sambil mengangkat tangannya di depan dadanya.

Prajurit itu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Ia pun segera meloncat menyerang. Tangannya terayun mendatar menampar ke arah kening.

Rara Wulan tidak menghindar. Tetapi ia sengaja menangkis serangan itu, sehingga terjadi benturan yang memang tidak terlalu keras. Tetapi benturan yang tidak terlalu keras itu telah mengejutkan prajurit yang telah menyerang Rara Wulan itu. Pada benturan yang tidak terlalu keras itu, terasa kekuatan perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu cukup besar.

“Ia merasa memiliki bekal yang cukup,” berkata prajurit itu di dalam hatinya, “karena itu maka ia berani mencoba melawan aku, meskipun ia tahu bahwa aku adalah seorang prajurit.”

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit. Prajurit itu mencoba untuk dengan cepat menekan dan mengalahkan perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Perempuan itu tidak segera dapat ditundukkannya.

Demikianlah, keduanya pun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Tetapi prajurit itu harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Ternyata ia tidak mampu mengimbangi ilmu perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu. Serangan-serangannya tidak berhasil menembus pertahanan Rara Wulan. Namun justru serangan-serangan Rara Wulan-lah yang telah beberapa kali mengenai dadanya.

Prajurit itu terpental beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh terguling. Tetapi di luar dugaannya, Rara Wulan dengan kecepatan yang tinggi telah meloncat sambil berputar di udara. Kakinya terayun mendatar, tepat mengenai kening prajurit itu, sehingga prajurit itu terlempar beberapa langkah surut.

Prajurit itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya. Tetapi prajurit itu telah terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Wajahnya bagaikan disurukkan ke batu-batu padas, sehingga beberapa gores luka menyilang di wajahnya. Hidungnya yang terantuk batu pun telah berdarah pula.

Prajurit itu menjadi sangat marah. Wajahnya terasa pedih. Ketika ia mengusap wajah itu dengan lengan bajunya, terasa cairan yang hangat telah menodai baju keprajuritannya itu.

“Iblis betina,” geram prajurit itu.

Tetapi prajurit itu tidak sempat berbicara lebih lanjut, Rara Wulan-lah yang kemudian berloncatan menyerang. Tangannya telah terjulur lurus menghantam dada prajurit itu. Sekali lagi prajurit itu terpental. Kemudian jatuh berguling di tanah berbatu padas.

Meskipun tulang-tulangnya terasa sakit, tetapi prajurit itu telah berusaha dengan cepat bangkit berdiri. Namun Rara Wulan yang marah itu sama sekali tidak memberinya kesempatan. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur menyamping dengan kaki terjulur lurus menghantam perutnya. Prajurit yang baru saja bangkit itu telah terlempar lagi. Tubuhnya telah menghantam sebatang pohon yang tumbuh dengan kokohnya.

Prajurit itu pun kemudian jatuh terkulai dengan lemahnya.

Ketika Kara Wulan berdiri sambil bertolak pinggang di hadapannya, prajurit itu pun berkata dengan suaranya yang bergetar, “Aku minta maaf. Jangan sakiti aku lagi. Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi atasmu.”

“Aku ingin memilin lehermu,” geram Rara Wulan.

“Jangan! Jangan. Jangan. Aku minta maaf.”

“Sudah aku katakan, aku siap dibunuh atau membunuh.”

“Ampun. Ampuni aku. Aku punya istri dan dua orang anak kecil.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara prajurit itu pun berkata, “Aku… aku akan menunjukkan kepadamu jalur-jalur manakah yang tidak sedang dijaga.”

“Sudah aku katakan, aku tidak memerlukan bantuanmu. Jika kau menunjukkan tempat-tempat yang terbuka itu, maka kau akan dapat memfitnahku.”

“Perempuan yang keras hati,” berkata prajurit itu di dalam hatinya.

Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian berkata, “Terserah apa yang akan kau lakukan. Aku sudah kehilangan waktu beberapa lama. Aku harus segera mencari jalan ke alun-alun.”

Prajurit itu masih akan menjawab, tetapi Rara Wulan telah berlari dan hilang di balik kegelapan.

Prajurit itu pun kemudian tertatih-tatih berdiri serta membenahi pakaiannya yang ternyata telah terkoyak. Wajahnya yang tergores batu-batu padas terasa pedih, sementara hidungnya telah berdarah karena terantuk batu.

Untuk beberapa lama prajurit itu berpikir, apa yang akan dikatakannya kepada kawan-kawannya tentang keadaannya. Bahkan kepada Ki Tumenggung Purbasena. Mereka tentu akan mempertanyakan, kenapa wajahnya tergores batu-batu padas serta hidungnya berdarah. Kenapa pula pakaiannya koyak, kusut dan kotor.

Namun akhirnya prajurit itu pun menemukan jawabnya. Karena itu maka ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan melarikannya ke alun-alun. Sementara kuda yang dipergunakan oleh Rara Wulan itu pun ditinggalkannya begitu saja tanpa terikat.

Seperti yang diduganya, ketika ia kembali ke kelompoknya, para prajurit berkuda yang mengantar orang-orang yang mengikuti pendadaran itu, segera dikerumuni oleh kawan-kawannya.

“Kau kenapa?” bertanya seorang kawannya yang melihat keadaan kawannya itu di bawah cahaya oncor.

“Kuda itu menjadi gila,” geramnya, “kuda itu terkejut ketika ia melihat seekor ular yang meluncur menyeberang jalan. Ular itu terhitung ular yang besar bagi ular welang. Gelang-gelangnya nampak berkilat-kilat di gelapnya malam. Aku terkejut, dan kuda yang aku pegangi kendalinya dan berlari di samping kudaku itu pun terkejut pula. Ketika kuda itu meloncat sambil meringkik, aku mencoba menahannya. Tetapi kuda itu justru berlari. Aku terjatuh dan terseret beberapa puluh langkah. Aku memang tidak segera melepaskannya, karena aku harapkan kuda itu segera menjadi tenang. Tetapi ternyata tidak. Dan inilah yang terjadi.”

Kawan-kawannya tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa tahun kau menjadi prajurit dari Pasukan Berkuda Mataram, yang nama kesatuannya disegani oleh kesatuan-kesatuan yang lain? Sehingga kau sempat terseret oleh kuda itu, bahkan sampai wajahmu tergores dan hidungmu tentu berdarah. Bahkan pakaianmu menjadi lusuh, kotor dan koyak.”

“Bukan hanya aku. Siapapun yang mengalami tentu akan bernasib seperti aku. Demikian tiba-tiba. Apalagi sebelumnya aku memang agak mengantuk.”

“Kau tentu mengantuk. Semalam suntuk dan bahkan sampai matahari tinggi kau masih bermain judi, ketika kau sedang bertugas semalam.”

“Aku menjadi penasaran. Aku kalah banyak. Bahkan lebih dari separuh gajiku.”

“Salahmu. Bahkan kau menjadi agak mabuk tuak.”

“Malam ini aku diseret kuda gila itu,” geramnya.

“Nasibmu memang buruk. Pergilah menemui tabib kesatuan kita. Tanpa diobati, goresan-goresan di wajahmu itu akan dapat menjadi luka-Iuka yang akan meninggalkan bekas.”

Prajurit itu pun kemudian berkata kepada Lurahnya, “Ki Lurah, aku akan berobat lebih dahulu sebelum terlambat, agar wajahku tidak menjadi cacat.”

“Tabib itu ada di sini. Aku melihatnya duduk di belakang panggungan.”

“Baik, Ki Lurah.”

Prajurit itu pun kemudian pergi ke belakang panggungan. la masih melihat Ki Tumenggung Purbasena berada di panggungan. Bahkan Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka. Nampaknya keduanya sangat tertarik pada pendadaran untuk memilih beberapa orang prajurit dalam tugas sandi yang terbaik.

Dalam pada itu, beberapa orang yang sedang menjalani pendadaran itu telah tersebar di berbagai tempat. Mereka berusaha untuk dapat sampai ke alun-alun. Mereka diperkenankan memakai berbagai cara. Bahkan dengan menerobos penjagaan, jika saja mereka dapat melepaskan diri dari para petugas. Memang dimungkinkan mereka mempergunakan kekerasan, tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Tidak seorangpun boleh bersenjata, yang mengikuti pendadaran maupun para prajurit yang bertugas. Selebihnya, tidak boleh ada kematian karena pendadaran tersebut.

Tetapi untuk menerobos penjagaan tentu sangat sulit, karena yang bertugas di setiap penjagaan tidak hanya satu dua orang prajurit. Kadang-kadang lima, bahkan lebih.

Rara Wulan yang menyusup dalam kegelapan itu pun dengan cepat mendekati alun-alun. la berusaha untuk menghindari benturan dengan para petugas. Rara Wulan berpegang pada keterangan Ki Tumenggung Purbasena bahwa ada jalan yang terbuka, sehingga jika orang-orang yang mengikuti pendadaran itu berpandangan tajam dan mampu bergerak cepat, maka mereka akan dapat mencapai alun-alun tanpa harus melewati tempat-tempat yang dijaga oleh para prajurit.

Rara Wulan bahkan menyusup melalui halaman-halaman rumah. la tidak selalu menyusuri jalan-jalan, bahkan jalan setapak sekalipun. Sehingga karena itu maka Rara Wulan itu pun menjadi semakin dekat dengan alun-alun pula.

Beberapa orang lain yang mengikuti pendadaran, kadang-kadang tersesat ke sudut-sudut yang berada di bawah pengawasan para prajurit, sehingga mereka harus berlari-lari dikejar oleh prajurit yang bertugas untuk menangkapnya.

Tetapi para prajurit itu pun menyadari, bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang mengikuti pendadaran. Karena itu, jika mereka berusaha melarikan diri, para prajurit itu tidak mengejar mereka seperti mengejar seorang penjahat. Biasanya orang-orang yang melarikan diri itu memang dilepaskan begitu saja oleh para prajurit itu.

Sementara itu, Glagah Putih yang berjalan melewati jalan di dalam lingkungan hunian yang padat, masih belum terhambat.

Ia berjalan melenggang seperti seorang yang sudah menjadi tua berjalan-jalan menjelang matahari terbit.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu berhenti. Telinganya yang sangat tajam, bahkan dengan mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, mendengar beberapa orang yang sedang bercakap-cakap.

Glagah Putih tersenyum. Tentu beberapa orang prajurit yang sedang bertugas menjaga jalan yang menuju ke alun-alun itu. Tiba-tiba timbul keinginan Glagah Putih untuk bermain-main dengan mereka.

“Aku akan lari. Aku harap mereka tidak akan berhasil memburuku.”

Glagah Putih itu pun kemudian bergeser beberapa langkah maju mendekati sebuah gardu di simpang empat. Beberapa orang prajurit yang bertugas telah mengambil tempat di gardu itu. Sementara para peronda malam itu mendapat kesempatan untuk beristirahat.

Para prajurit itu terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul dari dalam gelap. Mereka pun segera menyadari bahwa orang itu tentu salah seorang yang mengikuti pendadaran.

Karena itu, mereka pun segera berloncatan turun untuk menangkap orang yang tiba-tiba muncul dari kegelapan itu.

“Seharusnya kau lari dan bersembunyi. Tetapi kenapa kau justru mendatangi kami?”

Glagah Putih melangkah semakin dekat, sehingga cahaya lampu minyak di gardu itu menggapainya.

Prajurit yang bertugas di gardu itu pun terkejut. Mereka mengenali orang itu. Orang itu memang salah seorang di antara mereka yang mengikuti pendadaran.

“Glagah Putih,” sapa seorang prajurit.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi kaukah yang bertugas di sini?”

“Ya.”

“Aku tidak sengaja. Sungguh, aku tidak sengaja,” berkata Glagah Putih. “Jika aku tahu bahwa kalian-lah yang bertugas di sini, aku tentu akan mengambil jalan lain.”

Para prajurit itu berdiri termangu-mangu. Mereka mengenal Glagah Putih dengan baik. Ketika mereka berada di Demak, mereka tahu pasti apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih.

Karena itu, seorang di antara mereka pun berkata, “Seharusnya kau tidak usah mengikuti pendadaran. Setiap orang tahu bahwa kau memiliki kelebihan. Bahkan jauh lebih baik dari para prajurit yang akan mendadarmu besok.”

“Ki Tumenggung Purbasena menghendaki pendadaran itu dilaksanakan.”

“Tantang saja Ki Tumenggung Purbasena besok di alun-alun,” berkata salah seorang prajurit itu, “orang tentu akan mengira bahwa Ki Tumenggung Purbasena-lah yang sedang mengikuti pendadaran.”

Para prajurit itu tertawa. Glagah Putih juga tertawa. Sementara itu seorang prajurit yang lain pun berkata, “Marilah, duduklah. Kami telah membuat minuman hangat serta merebus ketela pohon.”

“Kalian telah melanggar tatanan prajurit yang sedang bertugas. Dengan minuman hangat serta ketela rebus, kalian tidak akan dapat melakukan tugas dengan baik. Itulah sebabnya kalian tidak melihat aku lewat di kegelapan halaman sebelah, jika saja aku tidak dengan sengaja mendekati gardu ini.”

“Kau tentu akan mengajak bermain kejar-kejaran.”

Glagah Putih tertawa.

Tetapi ternyata prajurit-prajurit itu pun berkata di antara mereka, “Marilah, kita duduk dan minum lagi. Nanti minuman kita dingin.”

“Itu lebih baik daripada berlari-lari mengejar Glagah Putih. Tentu akan sia-sia. Sampai di alun-alun ia tidak akan terkejar.”

Glagah Putih tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau mempunyai cara lain untuk menahan agar aku gagal dalam pendadaran itu.”

“Cara lain yang mana?”

“Kau akan minta aku duduk sambil minum-minuman hangat dan makan ketela rebus. Tahu-tahu terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk. Nah, maka gagal-lah pendadaranku.”

“Sebelum suara kentongan dengan irama dara muluk sebagai pertanda tengah malam, akan ada isyarat lain yang memberitahukan bahwa waktunya sudah hampir habis.”

“Aku tentu lebih senang menunggu minuman itu menjadi agak dingin dan kemudian menghirupnya.”

Para prajurit itu pun tertawa pula. Namun seorang di antara para prajurit itu pun berkata, “Baik, baik. Pergilah. Lanjutkan usahamu menggapai alun-alun Pungkuran sebelum terlambat.”

“Kalian tidak mengejar aku?” bertanya Glagah Putih.

“Sudah aku katakan, satu usaha yang sia-sia.”

Glagah Putih masih saja tertawa. Ia pun kemudian minta diri kepada para prajurit yang bertugas itu sambil berkata, “Sembunyikan minuman dan makanan itu. Jika ada prajurit dari pasukan berkuda yang meronda, maka kau akan terjerat tatanan.”

“Baik,” prajurit itu tersenyum, “tetapi jangan laporkan kepada Ki Tumenggung Purbasena.”

Demikianlah, maka Glagah Putih pun segera meninggalkan mereka.

Sementara itu, ternyata para prajurit yang bertugas itu pun baru menyadari akan kesalahan mereka. Dengan cepat mereka pun segera memindahkan mangkuk-mangkuk minuman serta ketela rebus itu ke belakang gardu. Namun mereka masih juga sempat menikmati minuman hangat serta ketela rebus mereka.

Namun ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka mereka pun segera berloncatan ke depan gardu perondaan itu. Dua orang justru berdiri di seberang jalan.

Empat orang prajurit berkuda agaknya sedang meronda berkeliling lingkungan yang mungkin dilalui oleh mereka yang mengikuti pendadaran. Mereka juga mengamati kesiagaan para prajurit yang bertugas di lingkungan itu.

Keempat prajurit berkuda itu berhenti di depan gardu perondaan itu. Seorang di antara mereka bertanya, “Apa ada sesuatu yang terjadi di luar kendali?”

“Tidak, Ki Lurah,” jawab seorang prajurit yang berdiri di depan gardu.

“Di mana para peronda yang seharusnya meronda di gardu ini? Apakah mereka sedang meronda berkeliling?”

“Tidak, Ki Lurah. Mereka beristirahat malam ini. Gardunya kami pinjam untuk melakukan tugas kami malam ini.”

“Kenapa mereka harus beristirahat? Bukankah mereka akan dapat menemani kalian dalam tugas ini?”

“Mungkin mereka akan dapat membantu kami. Tetapi mungkin mereka justru akan mengganggu tugas kami.”

Lurah prajurit berkuda yang meronda berkeliling itu mengangguk-angguk. Kepada para prajurit yang bertugas di gardu itu, ia pun berkata, “Hati-hati. Para peserta pendadaran itu tentu sedang berkeliaran mencari jalan. Tugas kalian bukan untuk menggagalkan mereka, tetapi untuk menilai kemampuan mereka. Karena itu, jangan perlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan seorang buronan yang sedang diburu.”

“Baik, Ki Lurah.”

Demikianlah, para prajurit berkuda itu pun segera meninggalkan gardu itu untuk melanjutkan tugas mereka meronda di sekeliling lingkungan pendadaran.

Sepeninggal para prajurit berkuda yang meronda itu, para prajurit yang berada di gardu itu pun menarik nafas panjang. Seorang di antara mereka pun berkata, “Untunglah, bahwa Glagah Putih telah lewat di jalan ini.”

“Ya. Kalau Glagah Putih tidak memperingatkan kita, maka kita akan dapat terjebak oleh mangkuk-mangkuk minuman hangat serta ketela rebus itu.”

“Sebaiknya mangkuk-mangkuk itu segera kita kembalikan.”

“Pemiliknya sedang tidur nyenyak. Jangan kejutkan mereka. Nanti saja setelah lewat tengah malam. Bukankah kita berjanji kepada anak-anak muda yang seharusnya bertugas meronda, untuk berkeliling sedikit lewat tengah malam sebagaimana mereka lakukan?”

“Ya.”

“Lewat tengah malam, para peserta pendadaran itu sudah berkumpul di alun-alun. Setelah kita meronda berkeliling sambil mengembalikan mangkuk-mangkuk itu, kita pun akan pergi ke alun-alun.”

Dalam pada itu, para peserta pendadaran itu pun telah merayap semakin mendekati alun-alun. Mereka memang ada yang sempat dikejar oleh para prajurit yang bertugas. Tetapi para prajurit itu sengaja tidak menangkap mereka.

Dalam pada itu, Glagah Putih tidak banyak menemui kesulitan. Jauh dari waktu yang ditetapkan, Glagah Putih itu sudah duduk di sudut alun-alun itu. Tetapi ia masih belum menampakkan dirinya, karena para peserta yang Iain juga belum berdatangan. Glagah Putih memang tidak ingin menarik perhatian dengan datang terdahulu di alun-alun itu.

Sementara itu, beberapa saat kemudian Rara Wulan pun telah memasuki alun-alun itu pula. Tetapi Rara Wulan berada di sisi yang lain, sehingga Rara Wulan pun tidak melihat bahwa Glagah Putih sebenarnya sudah berada di alun-alun itu.

Seperti Glagah Putih, Rara Wulan tidak ingin menjadi orang pertama yang tampil dalam pendadaran itu. Ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang dengan kelebihannya itu.

Karena itu maka Rara Wulan pun duduk di sudut alun-alun itu pula. Tetapi berseberangan dengan Glagah Putih.

Baru beberapa saat kemudian, seorang laki-laki yang bertubuh kokoh namun tidak begitu tinggi, telah meloncati dinding alun-alun. Ia pun kemudian berlari menyeberangi alun-alun menuju ke depan panggungan, di tempat para Senapati duduk menunggu.

“Aku adalah orang yang pertama memasuki alun-alun!” orang itu hampir berteriak. Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi yang juga berlari menyeberangi alun-alun itu pun berteriak pula, “Aku adalah orang kedua!”

“Bagus,” Ki Tumenggung Purbasena pun bangkit berdiri untuk menyambut orang-orang yang mulai berdatangan itu.

Namun Ki Patih Mandaraka pun berdesis, “Mereka bukan orang yang pertama dan kedua.”

“Kenapa, Ki Patih?” bertanya Ki Tumenggung Purbasena, “Jika bukan mereka, lalu siapa?”

Namun Pangeran Singasari pun menyahut, “Paman Patih benar. Mereka bukan yang pertama dan kedua.”

Ki Purbasena termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia bertanya, “Lalu siapakah yang pertama dan kedua?”

Ki Patih-lah yang menyahut, “Sudahlah. Anggap saja kedua orang itu adalah orang yang pertama dan kedua.”

Ki Purbasena masih saja bingung. Tetapi Ki Patih Mandaraka serta Pangeran Singasari yang memiliki penglihatan serta panggraita yang sangat tajam, dapat merasakan dan bahkan melihat bayangan dalam kegelapan di kejauhan, bahwa sudah ada orang yang datang sebelumnya. Meskipun yang sudah datang itu tidak terlalu jelas terlihat oleh keduanya, namun mereka sudah menduga bahwa keduanya adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun dalam pada itu, beberapa orang pun telah berdatangan pula. Baru kemudian kedua orang yang datang pertama dan kedua itu pun berjalan ke tengah alun-alun mendekati Ki Purbasena.

Glagah Putih-lah yang lebih dahulu melangkah di belakang orang yang datang pada urutan ke-tujuh. Rara Wulan yang melihat Glagah Putih, segera bangkit pula dan melangkah ke tengah alun-alun. Tetapi ia sengaja tidak mengambil urutan ke-delapan, tetapi urutan ke-sembilan.

Dalam pada itu, Pangeran Singasari telah berbisik di telinga Ki Patih Mandaraka, “Mereka yang datang pertama dan kedua telah menghadap Ki Tumenggung Purbasena pula.”

“Bukankah mereka Glagah Putih dan Rara Wulan?”

“Ya,” Pangeran Singasari mengangguk-angguk.

Tetapi Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari tidak mengatakan apa-apa, ketika Ki Purbasena menyatakan bahwa Glagah Putih telah memasuki alun-alun pada urutan ke-tujuh, sedangkan Rara Wulan datang pada urutan ke-sembilan.

“Ternyata mereka bukan orang yang terbaik,” berkata Ki Tumenggung Purbasena di dalam hatinya.

Malam itu, pada batas waktu yang ditentukan, di tengah malam yang ditengarai dengan kentongan dengan irama dara muluk, telah berhasil memasuki alun-alun delapan belas orang. Namun pada saat gema suara kentongan masih belum lenyap, dua orang yang lain pun telah menghadap pula, sehingga keduanya masih mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya esok pagi.

Setelah semuanya berkumpul, maka Ki Tumenggung Purbasena pun telah mengumumkan urutan para peserta pendadaran memasuki alun-alun Pungkuran, serta pernyataan Ki Tumenggung bahwa semuanya berhak untuk mengikuti pendadaran berikutnya.

“Besok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di sini untuk mengikuti pendadaran tahap berikutnya. Kalian besok harus menunjukkan kemampuan kalian dalam olah kanuragan. Ada tiga tahap pertarungan. Pertama adalah pertarungan di antara kalian. Karena jumlah kalian untuk pendadaran yang pertama ini dua puluh orang, maka kalian akan bertarung dalam sepuluh pasang. Tahap kedua akan terjadi pertarungan yang sama, tetapi dengan lawan yang berbeda. Sedangkan pertarungan yang ketiga adalah pertarungan di antara kalian dengan para perwira yang bertugas mendadar kemampuan kalian. Dalam pertarungan-pertarungan itu, yang penting bukan soal kalah dan menang, tetapi para Senapati yang bertugas akan menilai kemampuan kalian. Landasan ilmu yang kalian miliki, watak dan sifat ilmu kalian, serta perbandingan antara dasar-dasar olah kanuragan kalian dengan kecerdasan kalian menghadapi keadaan yang tiba-tiba. Kemampuan kalian untuk mengambil sikap pada saat-saat yang gawat. Karena itu, pada tahap terakhir, kalian akan melakukan pertarungan langsung dengan para Senapati yang sudah mempunyai hak untuk melakukan pendadaran menurut tataran kepangkatan mereka.”

Para peserta pendadaran itu mendengarkannya dengan seksama. Sementara itu di luar sadarnya, Ki Patih Mandaraka berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi agaknya Ki Lurah Agung Sedayu pun sedang mendengarkan keterangan Ki Tumenggung itu dengan seksama.

Beberapa saat kemudian maka pendadaran pada tingkat pertama itu sudah dianggap selesai. Besok mereka akan memasuki pendadaran pada tahap berikutnya.

“Kalian sekarang diperkenankan untuk beristirahat. Kalian akan ditunjukkan kemana kalian akan menginap.”

Demikianlah, para pemimpin yang menyaksikan pendadaran itu pun segera meninggalkan alun-alun pungkuran. Ki Lurah Agung Sedayu pun telah mengikut Ki Patih Mandaraka, karena ia akan bermalam di Dalem Kepatihan.

Sementara itu para peserta pendadaran pun telah ditempatkan di sebuah barak yang tidak terdapat sekat-sekatnya. Sementara itu pakiwan yang ada tidak mencukupi, sehingga para peserta yang ingin mandi harus bergantian atau bahkan mandi bersama-sama.

Karena itu maka Rara Wulan harus menunggu dan mandi pada giliran terakhir. Sehingga baru di dini hari Rara Wulan sempat membaringkan dirinya. Rara Wulan lebih senang tidur di serambi daripada tidur bersama para peserta yang lain. Tetapi selain Rara Wulan dan Glagah Putih, ada pula tiga orang lain yang memilih tidur di serambi, karena udara di dalam terasa agak terlalu panas.

Di pagi hari, Rara Wulan justru orang yang pertama pergi ke pakiwan, sebelum yang lain terbangun. Baru setelah Rara Wulan selesai mandi dan berbenah diri, maka yang lain pun baru mulai bangun.

Demikianlah, pada saat yang ditentukan, para peserta pendadaran itu pun telah berada di alun-alun Pungkuran. Kepada mereka sengaja tidak diberikan makan pagi. Mereka hanya mendapat minuman hangat masing-masing semangkuk sebelum mereka berangkat ke tempat pendadaran.

Seorang yang bertubuh tinggi besar berkata kepada orang yang berada di sampingnya, “Aku terbiasa makan pagi sebelum masuk ke sanggar.”

“Tidak makan pagi ini tentu termasuk salah satu syarat pendadaran,” sahut kawannya. “Untunglah bahwa aku juga tidak terbiasa makan pagi.”

Demikianlah, pada saat matahari terbit, para peserta telah siap melakukan pendadaran sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan.

Dua puluh orang peserta pada kelompok pertama, yang masih akan disusul dengan kelompok-kelompok lain itu pun segera berkumpul di depan panggungan, demikian Pangeran Singasari serta Ki Patih Mandaraka yang diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tiba.

Ki Tumenggung Purbasena telah membagi dua puluh orang itu menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari sepuluh orang. Mereka akan berhadapan dalam satu pertarungan. Tetapi menurut Ki Purbasena, yang penting bukannya kalah atau menang, tetapi mereka harus menunjukkan kemampuan dasar mereka. Watak dan sifat dari ilmu mereka, serta kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan ilmu mereka setelah mereka menjadi seorang prajurit.

Namun ternyata bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapat perhatian khusus. Keduanya harus berada dalam satu kelompok agar mereka tidak akan dapat saling berhadapan. Jika itu terjadi, menurut Ki Tumenggung Purbasena, mereka akan dapat memainkan peran masing-masing, sehingga ilmu mereka akan nampak lebih baik dari orang lain.

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menarik nafas panjang. Mereka harus melakukan segala ketetapan dan tatanan yang dibuat oleh pejabat yang bertugas mengatur pendadaran itu.

Sejenak kemudian maka di alun-alun itu telah berhadapan sepuluh pasang peserta pendadaran, yang siap untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Mereka pun menyadari bahwa yang penting bukanlah menang atau kalah. Sedangkan para Senapati yang bertugas telah siap menilai keduapuluh orang yang menempuh pendadaran itu.

Dalam pada itu, prajurit yang semalam berkelahi dengan Rara Wulan, yang menyaksikan pendadaran itu, berkata di dalam hatinya, “Orang yang berhadapan dengan perempuan itu adalah orang yang bernasib buruk seperti nasibku semalam. Untunglah kuda yang aku tinggalkan itu pulang sendiri. Jika tidak, nasibku akan menjadi lebih buruk lagi, karena aku hams mengganti. Setidaknya aku harus mencicil setiap bulan dipotong dari gajiku.”

Sebelum pendadaran itu dimulai, Ki Tumenggung Purbasena masih melihat pasangan-pasangan yang akan bertarung di arena pendadaran.

Ketika Ki Purbasena mendekati Kara Wulan, maka peserta pendadaran yang kebetulan berhadapan dengan Rara Wulan itu pun mengeluh, “Ki Tumenggung. Kenapa aku harus berhadapan dengan seorang perempuan? Hanya ada satu perempuan yang mengikuti pendadaran ini. Kenapa kebetulan sekali aku yang harus menghadapinya? Kalau boleh, aku minta agar aku dihadapkan kepada peserta laki-laki yang cukup tangguh, untuk memancing agar ilmuku dapat tertuang sehingga dapat dilihat oleh para Senapati yang menilai pendadaran ini.”

“Tidak ada kesengajaan bahwa kau harus berhadapan dengan perempuan ini. Tetapi dalam urutan nama peserta, kau-lah yang mendapat kesempatan untuk melawannya. Lakukan apa yang terbaik bagimu untuk menunjukkan kemampuanmu. Kita tidak boleh melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pendadaran ini. Jika ia sudah berani memasuki lingkaran pendadaran, maka tidak ada lagi laki-laki atau perempuan.”

Peserta yang kebetulan berhadapan dengan Rara Wulan itu menarik nafas panjang. Tetapi ia telah menunjukkan kekecewaannya, karena ia harus berhadapan dengan seorang perempuan.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi ia berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Ia merasa bahwa yang dilakukan itu memang tidak terbiasa. Tetapi Rara Wulan sudah bertekad untuk melakukannya. Rara Wulan pernah mendengar cerita tentang seorang perempuan yang bernama Srikandi pada dunia pewayangan. Bahkan di masa kejayaan Demak, nama Kanjeng Ratu Kalinyamat pun dikenal sebagai seorang prajurit perempuan yang tangguh. Tidak hanya di darat, tetapi Kanjeng Ratu Kalinyamat juga seorang prajurit perempuan yang gagah berani di lautan. Dengan pedang di tangan, Kanjeng Ratu Kalinyamat berdiri di atas kapal, berpegangan pada tali tiang kapalnya yang membelah lautan, di antara dentang meriam kapal-kapal asing yang berkeliaran di Laut Jawa.

“Aku pun tentu boleh memasuki dunia keprajuritan,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Tetapi Rara Wulan tetap mengendalikan perasaannya. Ia tidak akan menyalahkan sikap peserta yang akan menjadi lawannya itu. Sikap itu sungguh dapat dimengertinya. Orang itu tentu akan merasa sangat malu jika ia dikalahkan oleh seorang perempuan. Tetapi ia akan dianggap wajar-wajar saja jika ia menang dari seorang perempuan.

Ketika kemudian Ki Tumenggung Purbasena bergeser mendekati peserta yang lain, maka orang yang berhadapan dengan Rara Wulan itu pun bertanya, “Kenapa kau telah mencoba ikut dalam pendadaran ini, Nyi? Bukankah banyak lapangan pekerjaan yang sesuai kodratmu sebagai perempuan? Prajurit bukan pekerjaan yang tepat bagimu.”

“Aku kira tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, Ki Sanak. Apalagi dalam tugas sandi. Aku kira perempuan akan dapat memegang peran justru lebih baik dari seorang laki-laki, karena perempuan tidak terbiasa menjadi prajurit.”

“Tetapi aku merasa kurang mapan. Jika aku berhadapan dengan seorang laki-laki, maka aku akan dapat mengerahkan segenap kemampuanku. Tinggal siapakah yang lebih baik di antara kami. Tetapi menghadapi seorang perempuan, aku tidak tahu harus berbuat apa.”

“Ki Sanak,” berkata Rara Wulan yang perasaannya menjadi semakin tergelitik, “seperti dikatakan Ki Tumenggung Purbasena, di sini tidak ada perempuan dan laki-laki. Yang ada adalah mereka yang mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit, khususnya dalam tugas sandi. Nah, itulah peganganmu, Ki Sanak. Aku juga berpegangan dengan petunjuk Ki Tumenggung itu. Karena itu, jika aku mempunyai kelebihan dari Ki Sanak, itu adalah wajar-wajar saja.”

“Kau jangan terlalu sombong, Nyi.”

“Kau-lah yang terlalu sombong, karena kau laki-laki. Tetapi sebenarnyalah pada tubuh seorang laki-laki, banyak terdapat kelemahan-kelemahan, melampaui seorang perempuan.”

Wajah laki-laki itu menjadi tegang. la mencoba untuk melupakan bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang perempuan. Ia ingin mengenalinya sebagai seorang yang sombong dan tidak tahu diri.

Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah Ki Purbasena selesai mengamati pasangan-pasangan yang akan mengikuti pendadaran itu, maka Ki Tumenggung Purbasena pun memberi isyarat kepada para perwira yang akan menilai para peserta pendadaran itu.

Setelah segala sesuatunya siap, maka Ki Tumenggung Purbasena pun segera memberi aba-aba, bahwa pendadaran itu dimulai.

Dalam pada itu, Pangeran Singasari, Ki Patih Mandaraka yang diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tidak hanya duduk saja di panggungan. Mereka pun segera turun dan berdiri di antara gawar-gawar lawe yang membatasi setiap arena bagi peserta pendadaran itu.

Kepada seorang Rangga yang ikut mengawasi pendadaran itu, Ki Tumenggung berdesis perlahan-lahan, “Awasi Ki Lurah Agung Sedayu. Ia tidak boleh membantu adiknya suami istri dengan cara apapun juga.”

“Baik, Ki Tumenggung,” jawab Rangga itu.

Demikianlah, pendadaran itu pun segera berlangsung. Sepuluh pasang peserta telah bertempur di bawah pengawasan para perwira yang bertugas. Sementara itu, rakyat yang tinggal di sekitar alun-alun Pungkuran, bahkan dari tempat yang agak jauh yang tertarik dengan pendadaran itu, telah pergi ke alun-alun untuk menonton.

Sebenarnyalah dua puluh orang yang menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran itu telah menunjukkan kelebihan mereka masing-masing. Pada umumnya mereka telah memiliki bekal yang memadai. Mereka sebelumnya telah berguru untuk menguasai ilmu kanuragan.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Purbasena, yang dinilai oleh para pengamat bukanlah kalah atau menang dari para peserta. Mereka menilai dari berbagai macam segi. Juga kemungkinan untuk berkembang dari ilmu para peserta itu. Meskipun dalam pendadaran itu seseorang dikalahkan, tetapi jika kemungkinan berkembang bagi ilmunya nampak lebih baik, maka orang yang kalah itu masih akan dapat dipertimbangkan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.

Dalam pendadaran itu, Glagah Putih telah mendapat lawan seorang yang tubuhnya nampak kokoh. Dengan trampil orang itu berloncatan di arena. Tubuhnya nampak ringan, sementara tenaganya cukup besar dilambari dengan tenaga dalamnya.

Namun berhadapan dengan Glagah Putih, maka ilmu orang itu terasa menjadi sulit berkembang.

Tetapi Glagah Putih tidak ingin mematahkan kesempatan lawannya. Karena itu, setelah pertempuran di antara mereka mapan, maka Glagah Putih pun mendapat jalan untuk memberi kesempatan ilmu lawannya itu berkembang. Glagah Putih sendiri beberapa kali telah terdesak. Tetapi agar Glagah Putih sendiri tidak justru tersingkir, maka sekali-sekali Glagah Putih pun telah menunjukkan kelebihannya.

Adalah kebetulan bahwa seorang Rangga yang harus mengawasi Glagah Putih bertempur di arena pendadaran itu adalah seorang Rangga yang mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih di Demak. Karena itu maka Ki Rangga itu justru merasa heran, kenapa Glagah Putih masih juga diikutsertakan dalam pendadaran.

Dalam pada itu, seorang Rangga yang lain telah mendekatinya sambil berbisik, “Ki Tumenggung Purbasena berpesan, hati-hati jika Ki Lurah Agung Sedayu mendekat.”

“Kenapa?” bertanya Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih dalam pendadaran itu.

Ki Rangga yang menyampaikan pesan itu pun menjawab, “Jangan beri kesempatan Ki Lurah Agung Sedayu membantu Glagah Putih dengan cara apapun juga.”

“Membantu? Membantu dalam pendadaran ini, maksudmu?”

“Ya.”

“Kau belum pernah bersama-sama Glagah Putih berada di medan perang?”

“Medan perang? Bukankah baru sekarang Glagah Putih memasuki dunia keprajuritan? Itu pun baru mengikuti pendadaran.”

“Kau tidak ikut ke Demak beberapa waktu yang lalu?”

“Tidak.”

Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih mengikuti pendadaran itu pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baik, baik. Aku akan mengawasi Ki Lurah Agung Sedayu.”

Ki Rangga yang menyampaikan pesan Ki Tumenggung Purbasena itu pun kemudian meninggalkannya dan kembali menemui Ki Purbasena sambil berkata, “Sudah, Ki Tumenggung. Pesan Ki Tumenggung sudah aku sampaikan.”

“Bagus. Aku tidak ingin terjadi kecurangan dalam pendadaran ini. Semua harus berlangsung sebagaimana seharusnya.”

Dalam pada itu, pendadaran itu pun masih berlangsung. Semakin lama pertempuran antara pasangan-pasangan peserta pendadaran itu pun menjadi semakin sengit. Masing-masing telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Bahkan ada di antara mereka yang hampir kehilangan kendali, sehingga mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Namun rata-rata kemampuan mereka memang seimbang.

Sementara itu, Rara Wulan pun masih juga bertempur, bahkan semakin seru. Lawannya yang telah meningkatkan ilmunya justru menjadi heran. Perempuan itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan perempuan itu sekali-sekali sempat mendesaknya. Pada saat-saat tertentu, Rara Wulan telah memancing lawannya untuk bertempur semakin keras.

Baru kemudian lawan Rara Wulan itu menyadari bahwa lawannya, meskipun seorang perempuan, tetapi ia memang memiliki ilmu yang memadai untuk mengikuti pendadaran. Bahkan orang itu mulai menduga bahwa sebenamya perempuan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi.

Sambil bertempur, orang itu pun berkata, “Maafkan aku, Nyi. Aku telah salah menilai kemampuanmu. Aku mengakui, jika kau ingin mengalahkan aku, kau akan dapat melakukannya. Tetapi kau kendalikan dirimu karena kau mencoba menjaga perasaanku.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ia masih saja berloncatan justru semakin cepat. Namun dengan demikian maka lawannya pun dapat menumpahkan kemampuannya pula. Rara Wulan seakan-akan justru telah memancing ilmunya, sehingga para pengamat dapat melihat kelebihan-kelebihannya, tanpa mencemaskan keadaan lawannya. Orang itu yakin bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuannya, perempuan itu tidak akan dicederainya.

Demikianlah, matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya menjadi semakin terasa membakar kulit. Mereka yang mengikuti pendadaran itu menjadi semakin basah oleh keringatnya yang menjadi semakin deras. Namun dengan demikian, maka ilmu mereka pun telah meningkat semakin tinggi.

Sampai saatnya matahari sampai ke puncak langit, pertempuran di antara para peserta pendadaran itu masih berlangsung dengan sengitnya.

Para perwira yang bertugas untuk menilai para peserta pendadaran itu telah bekerja sebaik-baiknya. Mereka menilai para peserta itu sesuai dengan kemampuan mereka. Menurut para perwira yang bertugas, agaknya para peserta itu telah memenuhi syarat untuk ikut dalam pendadaran yang berikutnya.

Sedikit lewat tengah hari, maka satu dua di antara para peserta itu sudah kelihatan menjadi letih. Tetapi mereka masih tetap mampu bertahan.

Akhirnya, pada saat yang ditentukan, telah terdengar isyarat untuk menghentikan pertempuran di antara para peserta pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena menganggap bahwa pendadaran pada hari pertama itu sudah selesai. Besok mereka akan memasuki pendadaran pada tahap kedua. Para peserta itu masih akan berhadapan dalam pasangan-pasangan yang berbeda.

Prajurit yang semalam mengalami nasib buruk karena salahnya sendiri, bahwa ia telah mencoba mengganggu Rara Wulan, mengharap bahwa Rara Wulan akan memperlakukan lawannya sebagaimana ia memperlakukannya.

Tetapi ternyata Rara Wulan tidak berbuat demikian. Ia tidak menghajar lawannya sehingga beberapa goresan batu padas melukai wajahnya.

“Curang perempuan itu,” berkata prajurit itu kepada dirinya sendiri, “ia tidak mempergunakan tingkat tertinggi kemampuannya untuk mengalahkan lawannya.”

Namun bukan saja Rara Wulan yang tidak meningkatkan ilmunya sampai tataran tertinggi. Tetapi Glagah Putih pun berbuat demikian pula.

Demikian isyarat pendadaran itu berakhir, maka Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih bertempur itu pun berbisik, “Kau manjakan lawanmu itu.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia memang mengenal Ki Rangga yang menungguinya itu ketika Glagah Putih ikut ke Demak.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kau dapat menghentikannya dalam sekejap.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Ia pantas untuk ikut dalam pendadaran berikutnya.”

“Ya. Ia memang pantas.”

“Kalau aku menghentikannya dalam waktu yang singkat, maka kemungkinan itu akan menjadi sempit, meskipun Ki Rangga dapat memberikan keterangan tentang kemampuannya.”

Ki Rangga itu pun tersenyum. Katanya, “Aku telah mendapat pesan khusus dari Ki Tumenggung Purbasena ”

“Pesan apa?”

“Aku harus mengawasi Ki Lurah Agung Sedayu agar tidak membantu dalam segala bentuk.”

Glagah Putih menahan tertawanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.

Ki Rangga yang mengawasi Glagah Putih itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih sambil berkata, “Aku harus segera memberikan laporan.”

Ternyata bahwa semua perwira yang mengawasi pendadaran itu berpendapat bahwa semua peserta pendadaran telah berhasil melampaui tahap pertama itu.

Besok mereka akan memasuki tahap berikutnya. Para peserta itu akan memasuki arena pendadaran dengan lawan yang berbeda.

Demikianlah, para peserta itu pun telah diperkenankan kembali ke barak yang disediakan bagi mereka. Mereka pun segera membersihkan diri mereka, untuk kemudian makan siang dan beristirahat.

Seperti sebelumnya, Rara Wulan pun pergi ke pakiwan pada kesempatan yang terakhir.

Setelah berbenah diri, maka para peserta itu pun segera pergi ke ruang makan yang telah disediakan. Mereka pun mendapat pelayanan makan siang yang cukup baik.

Selesai makan, mereka pun telah duduk-duduk di serambi barak yang disediakan bagi mereka. Mereka mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Tetapi seperti kemarin, sikap mereka pun masih saja aneh-aneh, yang kadang-kadang agak kekanak-kanakan dan menggelikan.

“Mereka ingin menunjukkan kelebihan mereka,” berkata Rara Wulan yang duduk di tangga serambi itu bersama Glagah Putih.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Mereka adalah orang-orang yang masih kurang percaya diri. Tetapi keberhasilan mereka di tahap pertama ini seharusnya membuat mereka lebih bersikap dewasa. Mereka tidak perlu lagi berbuat seperti kanak-kanak yang bangga karena menang bermain bengkat.”

Rara Wulan tersenyum.

Namun pembicaraan mereka terhenti ketika seseorang ikut duduk di tangga serambi. Orang itu adalah orang yang dalam pendadaran yang baru saja dilakukan di alun-alun itu berhadapan dengan Rara Wulan.

“Namaku Legawa,” berkata orang itu.

“Namaku Rara Wulan. Mungkin kau sudah tahu. Ini suamiku, namanya Glagah Putih.”

“Aku bangga atas perkenalan ini,” berkata orang itu, “ternyata aku benar-benar salah menilai kemampuan Nyi Rara Wulan. Tetapi kemudian aku mendengar dari seorang prajurit yang sudah aku kenal, bahwa jangankan aku, bahkan para Tumenggung pun akan mengalami kesulitan melawan kalian.”

“Ah. Itu berlebihan,” sahut Glagah Putih, “kami memang pernah beberapa kali ikut bersama para prajurit dalam perang yang sebenarnya. Tetapi kemampuan kami tidak lebih dari para prajurit itu.”

“Itu adalah kelebihan kalian yang lain. Kalian selalu merendah. Untunglah bahwa Nyi Rara Wulan dengan tulus hati menjaga perasaanku, sehingga ia tidak membuat aku pingsan di medan pendadaran, meskipun sebelumnya aku telah meremehkannya.”

“Tidak apa-apa,” sahut Rara Wulan, “aku mengerti sekali perasaanmu.”

“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Besok kita pasti tidak akan bertemu lagi, karena kita akan berganti lawan. Mudah-mudahan lawanmu tidak membuatmu marah sehingga kau tidak lagi dapat mengendalikan diri.”

“Aku akan berusaha untuk tidak marah,” jawab Rara Wulan.

Orang itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja duduk di serambi. Orang itu pun kemudian masuk ke dalam barak dan berbaring di pembaringannya, sebagaimana beberapa orang yang lain:. Bahkan ada di antara mereka yang merasakan bagian-bagian tubuhnya yang sakit dan nyeri. Ada di antara mereka yang kebetulan mengikuti pendadaran bersama kawan dekatnya, saling memijit untuk mengurangi pegal-pegal di tubuh mereka.

Di sisa hari itu, mereka benar-benar mempergunakan waktu mereka untuk beristirahat. Namun ada juga yang sempat mendekati Rara Wulan sambil berkata, “Aku berharap esok kita akan bertemu di medan pendadaran. Aku akan memberimu kesempatan lebih baik dari orang yang tadi bertarung melawanmu.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia menjawab, orang itu sudah beranjak pergi.

“Jangan hiraukan,” berkata Glagah Putih, “yang penting kita harus terlepas dari masa pendadaran ini sehingga kita berkesempatan menjadi prajurit. Baru kemudian, jika orang-orang itu masih saja menyinggung perasaan, kita akan memperingatkannya.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Sejak semula ia memang sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyinggung perasaannya, justru karena ia adalah satu-satunya peserta perempuan dalam pendadaran itu.

Namun agaknya orang yang menemui Rara Wulan itu mempunyai kawan seorang perwira prajurit Mataram yang dapat mempengaruhi penataan pasangan-pasangan peserta pendadaran yang akan bertarung di arena besok pagi. Kepada kawannya itu, orang itu pun minta agar dapat diatur sehingga ia akan berhadapan dengan Rara Wulan.

“Kau ingin nampak sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, dengan mengalahkan perempuan itu?” bertanya kawannya.

“Tidak. Aku justru akan memberinya banyak kesempatan untuk dapat memasuki tahap berikutnya.”

“Tidak akan banyak gunanya. Tahap berikutnya adalah tahap yang sangat menentukan. Para peserta akan langsung berhadapan dengan para perwira prajurit Mataram yang bertugas dalam pendadaran ini.”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin meninggalkan kesan khusus di hati perempuan itu.”

“Kau masih belum berubah. Jika kau diterima menjadi seorang prajurit dalam tugas sandi, maka kau manfaatkan kedudukanmu untuk memikat banyak perempuan.”

“Ah, tentu tidak. Jika aku sudah menjadi prajurit, maka aku justru harus tahu diri.”

“Kenapa menunggu setelah menjadi prajurit?”

“Mumpung, Kakang. Mumpung.”

Prajurit Mataram itu menarik nafas panjang. Tetapi ia akan benar-benar berusaha ikut mengatur pasangan-pasangan para peserta pendadaran yang akan turun ke alun-alun dalam pertarungan di antara mereka.

Malam itu, para peserta pendadaran telah memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya untuk beristirahat. Sebelum wayah sepi bocah, pada umumnya mereka telah berada di pembaringan. Satu dua orang di antara mereka sempat menelan reramuan obat yang mereka bawa, untuk membuat badan mereka tetap segar di keesokan harinya.

Di keesokan harinya, pada saat matahari terbit, para peserta itu sudah berada di alun-alun Pungkuran sebagaimana hari sebelumnya. Mereka pun segera mempersiapkan diri untuk masuk ke arena pertarungan antara para peserta pendadaran.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar